Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 4. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 4


 resmi biasanya tidak 

dilakukan, Kelas 5 (lihat Petentang pelaporan penyakit menular). 

2. Isolasi : tidak perlu. 

3. Disinfeksi serentak : pembuangan kotoran pada jamban yang saniter. 

4. Karantina : tidak diperlukan. 

5. Imunisasi : tidak ada. 

6. Investigasi kontak dan sumber infeksi : cari & temukan penderita lain yang perlu 

diberpengobatan. Perhatikan lingkungan yang tercemar yang menjadi sumber 

infeksi terutama disekitar rumah penderita. 

7. Pengobatan spesifik : Mebendazole (Vermox®) dan albendazole (Zentel®) (juga 

efektif terhadap Trichuris trichiura dan cacing tambang, lihat Trichuriasis & 

cacing tambang). Kedua obat ini  merupakan kontraindikasi untuk diberikan 

selama kehamilan. Penyimpangan migrasi dari cacing ascaris telah dilaporkan 

setelah pemberian terapi Mebendazole; namun hal ini dapat juga terjadi dengan 

terapi obat yang lain atau penyimpangan migrasi dapat juga terjadi secara spontan 

pada infeksi yang berat. Pyrantel pamoate (Antiminth®, Combantrin®) juga efektif 

diberikan dalam dosis tunggal (obat ini dapat juga dipakai untuk cacing tambang, 

tapi tidak untuk T. Trichiura). 

 

C. Tindakan Penanggulangan Wabah : lakukan survei prevalensi di daerah endemis 

tinggi, berikan penyuluhan pada warga  tentang sanitasi lingkungan dan higiene 

perorangan dan sediakan fasilitas pengobatan. 

 

D. Implikasi Bencana : Tidak ada 

E. Tindakan lebih lanjut  : Tidak ada. 

 

 

 

 

ASPERGILLOSIS       ICD-9117.3; ICD-10 B44 

 

1. Identifikasi  

Penyakit jamur yang muncul dengan berbagai sindroma klinis yang disebabkan oleh 

spesies Aspergillus. Penderita dengan penyakit paru kronis (terutama asthma, juga 

penyakit gangguan paru kronis atau “cystic fibrosis”) dan penderita yang alergi terhadap 

jamur ini dapat memicu  kerusakan bronchus dan penyumbatan bronchus intermiten. 

Keadaan ini disebut sebagai allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA). Kolonisasi 

saprophytic endobronchial pada penderita dengan pelebaran bronchus atau bronkiektasi 

 

 61

dapat menimbulkan gumpalan hyphae, dan massa hyphae yang besar mengisi rongga-

rongga yang sebelumnya sudah ada (berupa bola jamur atau aspergilloma). Suatu spesies 

Aspergillus dapat muncul bercampur dengan organisme lain dalam abses bakteriil paru-

paru atau pada empiema.  

Aspergillosis yang invasif dapat terjadi, terutama pada pasien yang menerima terapi 

imunosupresif atau sitotoksik; ia dapat menyebar ke otak, ginjal dan organ lain dan 

seringkali fatal. Invasi kedalam pembuluh darah berupa trombosis dan memicu  

infark yaitu   ciri dari infeksi jamur ini pada pasien dengan kekebalan rendah. 

 

Organisme ini dapat menginfeksi tempat dipasangnya katup jantung prostetik. Spesies 

Aspergillosis yaitu   Pemicu  paling umum dari otomikosis; jamur membuat koloni atau 

memicu  infeksi invasif pada sinus paranasal. 

Jamur ini tumbuh pada jenis makanan tertentu, isolat dari A. flavus (kadang juga spesies 

lain) bisa memproduksi aflatoksin atau mikotoksin lain; toksin ini dapat memicu  

penyakit pada ikan dan hewan dan sangat karsinogenik pada hewan percobaan.  

Hubungan antara kadar aflatoksin yang tinggi pada makanan dan timbulnya kanker 

hepatoseluler ditemukan di Afrika dan Asia Tenggara. 

Diagnosis ABPA ditegakkan antara lain adanya reaksi benjolan merah di kulit jika 

dilakukan skarifikasi atau suntikan intradermal dengan antigen Aspergillus, adanya 

sumbatan bronchus yang menahun, eosinofilia, terbentuknya antibodi presipitasi serum 

terhadap Aspergillus, peningkatan kadar IgE dalam serum dan adanya infiltrat paru yang 

bersifat transien (dengan atau tanpa bronkiektasis sentral). Kolonisasi endobronkial 

saprofitik didiagnosa dengan kultur atau ditemukannya Aspergillus mycelia pada sputum 

atau pada dahak ditemukan hyphae. Serum precipitin terhadap antigen spesies Aspergillus 

biasanya juga muncul. Bola jamur dari paru biasanya dapat didiagnosa dengan foto toraks 

dan dari catatan medis. Diagnosa aspergillosis invasif ditegakkan dengan ditemukannya 

Mycelia Aspergillus dengan mikroskop dari jaringan yang terinfeksi; konfirmasi diagnosa 

dilakukan dengan kultur untuk membedakan dengan penyakit jamur lain yang gambaran 

histologinya mirip.     

 

2. Pemicu  penyakit 

Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus yaitu   Pemicu  paling umum dari 

aspergillosis pada manusia, walau spesies lain dapat juga sebagai Pemicu . Aspergillus 

fumigatus memicu  banyak kasus bola jamur; Aspergillus niger Pemicu  umum 

otomikosis. 

 

3. Distribusi Penyakit  

Tersebar diseluruh dunia, jarang dan bersifat sporadis, tidak ada perbedaan insidens 

berdasarkan ras atau jenis kelamin. 

 

4. Reservoir. 

Spesies Aspergillus secara alamiah ada dimana-mana, terutama pada makanan, sayuran 

basi, pada sampah daun atau tumpukan kompos. Konidia biasanya terdapat di udara baik 

di dalam maupun di luar ruangan dan sepanjang tahun. 

 

 

 

 62

5. Cara Penularan. 

Melalui inhalasi konidia yang ada di udara. 

 

6. Masa Inkubasi. 

Hitungan hari hingga minggu. 

 

7. Masa Penularan.  

Tidak disebarkan dari satu orang ke orang lain. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan. 

Spesies Aspergillus ditemukan dimana-mana, dan Aspergillosis biasanya muncul sebagai 

infeksi sekunder dan hal ini membuktikan bahwa orang yang sehat kebal terhadap 

penyakit ini. Kerentanan akan meningkat dengan pemberian terapi imunosupresif dan 

sitotoksik dan serangan invasif terlihat terutama pada pasien dengan netropenia yang 

berkepanjangan. Penderita HIV/AIDS atau penderita penyakit granulomatous kronik pada 

masa kanak-kanak juga peka terhadap infeksi jamur ini.  

 

9. Cara Cara Pemberantasan  

A. Cara Cara Pencegahan :  

Udara ruangan yang disaring dengan High Efficiency Particulate Air (HEPA) dapat 

menurunkan infeksi aspergillosis invasive pada penderita yang dirawat di RS terutama 

penderita dengan netropenia. 

 

B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya : 

1) Laporan pada instansi kesehatan setempat : laporan resmi biasanya tidak 

dilakukan, Kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi : tidak perlu. 

3) Disinfeksi serentak : menjaga kebersihan, pembersihan terminal. 

4) Karantina : tidak dilakukan. 

5) Imunisasi : tidak ada. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak diindikasikan. 

7) Pengobatan spesifik : ABPA diobati dengan corticosteroid suppression dan 

biasanya membutuhkan terapi yang lama. Reseksi bedah, jika memungkinkan, 

yaitu   pengobatan paling tepat untuk aspergilloma. Amphotericin B (Fungizone® 

atau formasi lipid) IV dapat digunakan untuk infeksi jaringan bentuk invasif. 

Pemberian Itraconazole bermanfaat bagi penderita yang perkembangannya lebih 

lambat dan untuk penderita yang memiliki  masalah kekebalan. Terapi 

imunosupresif harus dihentikan atau dikurangi sebisa mungkin. Kolonisasi 

endobronkial harus diobati sedemikian rupa untuk memperbaiki drainase 

bronkopulmoner.   

 

C. Tindakan Penanggulangan Wabah : tidak dilakukan upaya penanggulangan wabah; 

penyakit sifatnya sporadis. 

D. Implikasi Bencana : tidak ada.  

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 63

BABESIOSIS       ICD-9 088.8; ICD-10 B60.0 

 

1. Identifikasi  

Penyakit yang potensial berat dan dapat menimbulkan kematian, penyakit ini disebabkan 

oleh infeksi protozoa yang menyerang butir darah merah.  Gejala klinis berupa demam, 

menggigil, mialgia, lemah dan ikterus sebagi akibat dari  anemia hemolitik yang 

berlangsung dari beberapa hari hingga berbulan bulan. Studi seroprevalens menunjukkan 

bahwa kebanyakan infeksi tanpa gejala. Dalam bebarapa kasus, parasitemia tanpa gejala 

ini dapat bertahan sampai beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun. Infeksi ganda 

dengan Borrelia burgdorferi, Pemicu  Lyme disease dapat memperberat ke dua penyakit 

ini .  

Diagnosa dibuat dengan menemukan parasit dalam butir darah merah pada sediaan darah 

baik sediaan darah tebal maupun tipis. Adanya antibodi spesifik dengan pemeriksaan 

serologi (IFA babesial DNA (PCR)) atau dengan isolasi parasit dengan hewan percobaan 

yang tepat lebih mendukung pencegahan diagnosa. Membedakan Babesiosis dengan 

Plasmodium falciparum hanya dengan pemeriksaan sediaan darah mungkin sulit pada 

penderita yang berasal dari daerah endemis malaria atau yang mendapat infeksi melalui 

transfusi darah; jika diagnosa tidak jelas, perlakukan penderita seperti terhadap penderita 

malaria dan kirim sediaan darah tebal dan tipis ke laboratorium yang memadai. 

 

2. Pemicu  penyakit.  

Beberapa spesies diketahui sebagai Pemicu . Babesia microti yaitu   yang paling umum 

ditemukan di Amerika Serikat bagian timur, sedang  isolat Babesia tipe WA1 umum 

ditemukan di pantai barat. sedang  Babesia divergens yang paling umum ditemukan di 

Eropa. 

 

3. Distribusi Penyakit.  

Ditemukan diseluruh dunia, dengan penyebaran yang tidak merata. Di Amerika Serikat 

distribusi geografis dari infeksi B. Microti meningkat dengan meluasnya penyebaran kutu 

Ixodes scapularis (dulu disebut I. dammini). Babesiosis endemis di Nantucket dan pulau 

lain di Massachussetts, Block Island, Shelter Island, Long Island bagian timur dan 

Connecticut bagian selatan. Infeksi juga dilaporkan terjadi di Wisconsin dan Minnesota. 

Kasus pada manusia yang disebabkan oleh isolat Babesia tipe WA1 dilaporkan dari 

negara bagian California dan Washington, spesies lain memicu  infeksi pada manusia 

dilaporkan dari Missouri dan Mexico. Di Eropa infeksi pada manusia yang disebabkan 

oleh B. divergens dilaporkan dari Perancis, Scotlandia, Spanyol, Swedia, Rusia dan 

Yugoslavia. Infeksi pada manusia dari jenis Babesia yang kurang dikenal dilaporkan 

terjadi di China, Taiwan, Mesir, Pulau Canary dan Afrika Selatan. 

 

4. Reservoir. 

Hewan pengerat berperan sebagai reservoir bagi B. microti dan sapi bagi B. divergens. 

Inang untuk isolat Babesia jenis WA1 dan MO1 (Missouri) tidak diketahui. 

 

5. Cara Penularan 

B. microti tersebar selama musim panas oleh gigitan nymphe kutu Ixodes (I. scapularis) 

yang telah menggigit tikus rusa yang terinfeksi (Peromyscus leucopus) dan mamalia kecil 

 

 64

lain (Microtus Pennsylvanicus). Kasus Babesiosis telah dilaporkan menular melalui 

transfusi darah dari donor yang parasitemik tapi tanpa gejala. Pasien biasanya lupa atau 

tidak mengetahui pernah digigit kutu. Ada dua kasus penularan dari ibu kepada bayinya 

pernah dilaporkan.  

 

6. Masa Inkubasi – 1 minggu hingga 8 minggu setelah terpajan. 

 

7. Masa Penularan 

Tidak menular dari satu orang ke orang lain, kecuali melalui transfusi darah. Donor darah 

tanpa gejala tetap infeksius selama 12 bulan setelah infeksi awal.  

 

8. Kerentanan dan Kekebalan. 

Semua orang rentan terhadap B. microti. Mereka dengan daya tahan tubuh yang rendah, 

mereka yang tanpa limpa dan orang tua rentan terhadap infeksi.  

 

9. Cara Cara Pemberantasan  

A. Cara - cara Pencegahan 

Beri penyuluhan tentang cara penularan dan cara perlindungan perorangan. Basmi 

hewan pengerat di sekitar rumah dan gunakan obat gosok anti kutu. 

 

B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya : 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat : laporkan kasus baru yang dicurigai, 

spesifiknya pada daerah yang tidak endemis, Kelas 3B (lihat tentang pelaporan 

penyakit menular). 

2) Isolasi : lakukan kewaspadaan universal terhadap cairan tubuh dan darah. 

3) Disinfeksi serentak : tidak perlu. 

4) Karantina : tidak diperlukan. 

5) Perlindungan kontak dan sumber infeksi : tidak ada, namun anggota keluarga yang 

mungkin terinfeksi harus terus dipantau. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : kasus yang muncul di wilayah baru 

membutuhkan penyelidikan yang mendalam. Kasus yang terjadi melalui transfusi 

harus diinvestigasi segera dan donor darah dilarang mendonorkan darahnya lagi. 

7) Pengobatan spesifik : kombinasi clindamycin dan quinine terbukti efektif pada 

binatang percobaan dan pada kebanyakan pasien dengan infeksi B. microti. Infeksi 

tidak memberikan reaksi terhadap pengobatan dengan klorokuin. Pemberian 

Azithromycin saja atau dikombinasi dengan quinine atau dengan clindamycin dan 

doxycycline cukup efektif untuk kasus tertentu, sedang  kombinasi antara 

azithromycin dan atovaquone memberikan hasil yang menjanjikan pada binatang 

percobaan. Pentamidine dikombinasi dengan TMP – SMX efektif pada satu kasus 

yang dilaporkan terinfeksi B. divergens. Exchange transfusion mungkin 

dibutuhkan bagi pasien dimana sebagian besar eritrosit terinfeksi parasit. Dialisis 

mungkin dibutuhkan bagi penderita dengan gagal ginjal.   

 

C. Penanggulangan Wabah : tidak ada. 

D. Implikasi Bencana : Tidak ada 

E. Tindakan lebih lanjut  : Tidak ada. 

 

 65

BALANTIDIASIS      ICD-9007.0; ICD-10 A07.0 

(Balantidiosis, Disentri Balantidia) 

 

1. Identifikasi 

Protozoa yang menginfeksi usus besar dan memicu  diare atau disenteri diikuti 

dengan kolik abdominal, tenesmus, nausea dan muntah-muntah. Biasanya disenteri 

disebabkan oleh amebiasis, dengan kotoran yang berisi banyak darah dan lendir tapi 

sedikit pus. Invasi ke peritoneum atau saluran urogenital jarang terjadi.  

Diagnosa dibuat dengan menemukan trofozoit dari parasit atau kista dari Balantidium coli 

pada kotoran segar, atau trofozoit ditemukan melalui sigmoidoskopi.  

    

2. Pemicu  penyakit. 

Balantidium coli, protozoa besar dengan silia. 

 

3. Distribusi penyakit. 

Tersebar di seluruh dunia, infeksi pada manusia jarang terjadi namun wabah yang bersifat 

“water borne” biasa terjadi pada daerah yang sanitasi lingkungannya sangat buruk. 

Kontaminasi lingkungan dengan tinja dapat mengakibatkan peningkatan jumlah kasus. 

Wabah besar pernah terjadi di Equador pada tahun 1978. 

 

4. Reservoir. 

Babi, kemungkinan juga hewan lain, seperti tikus dan primata selain manusia. 

 

5. Cara Penularan. 

Dengan menelan kista yang berasal dari kotoran inang yang terinfeksi; pada saat wabah, 

penularan terutama melalui air yang terkontaminasi. Penularan sporadis terjadi sebab  

masuknya kotoran ke mulut melalui tangan atau melalui air, dan makanan yang 

terkontaminasi. 

 

6. Masa Inkubasi. 

Tidak diketahui, mungkin hanya beberapa hari. 

 

7. Masa Penularan : Selama infeksi. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan. 

Sebagian besar orang sepertinya memiliki kekebalan alami. Orang dengan keadaan umum 

yang jelek sebab  suatu penyakit sebelumnya, bila terinfeksi oleh parasit ini akan menjadi 

serius bahkan fatal. 

 

9. Cara Cara Pemberantasan. 

A. Cara Pencegahan :  

1) Beri penyuluhan pada warga  tentang higiene perorangan. 

2) Beri penyuluhan dan bimbingan kepada penjamah makanan melalui instansi 

kesehatan. 

3) Pembuangan kotoran pada jamban yang memenuhi persyaratan sanitasi. 

4) Kurangi kontak dengan kotoran babi. 

 

 66

5) Lindungi tempat penampungan/sumber air untuk warga  dari kontaminasi 

kotoran babi. Filter pasir/tanah dapat menyaring semua kista, klorinasi air dengan 

cara yang biasanya dilakukan tidak menghancurkan kista. Air dalam jumlah sedikit 

untuk diminum lebih baik dimasak. 

 

B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya : 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat : laporan resmi tidak diperlukan, 

Kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi : tidak dilakukan. 

3). Disinfeksi serentak : pembuangan kotoran yang saniter. 

4). Karantina : tidak dilakukan. 

5). Imunisasi : tidak dilakukan  

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : pemeriksaan mikroskopis tinja dari 

anggota rumah tangga dan kontak yang dicurigai. Lakukan investigasi terhadap 

mereka yang kontak dengan babi; bila perlu berikan tetrasiklin pada babi yang 

terinfeksi. 

7). Pengobatan spesifik: Tetrasiklin dapat menghilangkan infeksi; pengobatan dengan 

metronidazole (Flagyl) juga efektif .   

 

C. Penanggulangan Wabah : ditemukannya penderita atau sejumlah penderita di suatu 

daerah membutuhkan penyelidikan epidemiologis segera, terutama penyelidikan yang 

menyangkut sanitasi lingkungan. 

 

D. Implikasi Bencana : Tidak ada.  

 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 

 

 

BARTONELLOSIS       ICD-9 088; ICD-10 A44 

(Demam Oroya, Verruga peruana, Penyakit Carrion) 

 

 

1. Identifikasi. 

Penyakit infeksi bakteri dengan dua gejala klinis yang sangat berbeda; anemia febrile 

(Demam Oroya ICD-10 A44.0) dan erupsi kulit yang tidak berbahaya (Verruga peruana 

ICD-10 A44.1). Infeksi tanpa gejala dan dalam bentuk carrier dapat terjadi. Demam 

Oroya ditandai dengan demam yang tidak teratur, sakit kepala, nyeri otot, arthralgia, 

muka pucat, anemia hemolitik yang berat (makrositik atau normositik dan biasanya 

hipokromik) dan limfadenopati non tender menyeluruh. Verruga peruana memiliki masa 

pra erupsi yang ditandai dengan nyeri otot, tulang dan sendi; rasa nyeri ini  kadang 

amat berat, berlangsung beberapa menit hingga beberapa hari pada satu tempat tertentu.  

Erupsi kulit juga ditandai dengan munculnya benjolan kecil seperti hemangioma. Benjolan 

yang muncul dekat sendi dapat berkembang seperti tumor dengan permukaan merah. 

 

 67

Verruga peruana bisa didahului dengan demam Oroya atau didahului dengan infeksi tanpa 

gejala, interval antara kedua stadium berlangsung dalam hitungan minggu hingga bulan. 

CFR dari demam Oroya yang tidak diobati antara 10% - 90%; kematian biasanya 

disebabkan oleh kombinasi infeksi protozoa dengan superinfeksi bakteri, termasuk 

Salmonella septicemia. Verruga peruana dapat berlangsung lama tapi jarang memicu  

kematian. 

Diagnosa dibuat dengan menemukan Pemicu  infeksi dalam butir darah merah selama 

fase akut dengan pengecatan Giemsa, spesimen diambil dari lesi kulit selama fase erupsi 

atau diagnosa dapat juga dibuat dengan kultur darah pada media khusus, dimana spesimen 

dapat diambuil kapan saja. PCR dan berbagai teknik serologi telah digunakan untuk 

memastikan diagnosa. 

 

2. Pemicu  penyakit : Bartonella bacilliformis. 

 

3. Distribusi penyakit. 

Distribusi penyakit ini terbatas pada lembah pegunungan di Peru, Equador dan Colombia 

dengan ketinggian antara 2000 hingga 9200 kaki (600 – 2800 m) dari permukaan laut 

dimana terdapat vektor lalat pasir; tak ada batasan umur, ras dan jenis kelamin. 

 

4.  Reservoir. 

Manusia berperan sebagai reservoir dengan agen Pemicu  yang ditemukan dalam darah. 

Di daerah endemis, carrier tanpa gejala dapat mencapai 5%. Tidak diketahui adanya 

hewan sebagai inang. 

 

5. Cara Penularan. 

Penularan terjadi melalui gigitan “sand fly” dari genus Lutzomyia. Spesies ini tidak 

ditemukan di semua wilayah; Lutzomyia verrucarum terdapat di Peru. Serangga ini hanya 

menggigit dari petang hingga pagi. Transfusi darah, utamanya pada stadium demam 

Oroya, dapat menularkan infeksi. 

 

6. Masa Inkubasi. 

Biasanya 16 – 22 hari, tapi kadang kala sampai 3 – 4 bulan. 

 

7. Masa Penularan. 

Penularan tidak langsung dari orang ke orang kecuali melalui transfusi darah. Manusia 

menjadi sumber infeksi bagi “sand fly” untuk masa yang lama, agen Pemicu  dapat 

muncul dalam darah beberapa minggu hingga hitungan tahun setelah muncul gejala klinis. 

Lama dari masa infeksi “sand fly” tidak diketahui. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan. 

Setiap orang rentan terhadap penyakit ini, namun penyakit ini gejalanya lebih ringan jika 

menyerang anak-anak daripada orang dewasa. Kesembuhan dari demam Oroya 

kebanyakan memberikan kekebalan permanen. sedang  stadium Verruga dapat muncul 

kembali. 

 

 

 

 68

9. Cara Cara Pemberantasan  

A. Cara Pencegahan :  

1) Basmi “sand fly” (lihat Leishmaniasis, cutaneous, 9A). 

2) Hindari daerah endemis setelah matahari terbenam; jika tidak bisa menghindari 

daerah endemis, pakailah obat gosok anti nyamuk pada bagian tubuh yang terbuka 

atau pergunakan kelambu. 

3) Darah dari orang di daerah endemis jangan digunakan untuk transfusi, hingga hasil 

tes menyatakan negatif. 

 

B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya : 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat : pada daerah endemis tertentu; di 

kebanyakan negara bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, kelas 3B 

(lihat tentang pelaporan penyakit menular) 

2). Isolasi : hati-hati terhadap cairan tubuh dan darah Individu yang terinfeksi. 

Penderita harus terlindungi dari gigitan “sand fly” 

3). Disinfeksi serentak : tidak ada 

4). Karantina : tidak diperlukan. 

5). Imunisasi : tidak ada.  

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : lakukan identifikasi adanya “sand fly”, 

terutama pada lokasi dimana penderita pernah terpajan saat matahari terbenam 

dalam periode 3 – 8 minggu yang lalu 

7). Pengobatan spesifik: penisilin, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin efektif 

dalam mengurangi demam dan bakteriemia. Ampisilin dan kloramfenikol juga 

efektif terhadap infeksi sekunder, salmonellosis.   

 

C.  Tindakan Penanggulangan Wabah :  

Intensifkan penemuan penderita & lakukan penyemprotan rumah secara sistematis 

dengan insektisida yang meninggalkan residu. 

 

D. Implikasi Bencana :  

Perlu waspada kemungkinan timbul bencana KLB jika pusat pusat penampungan 

pengungsi dibangun pada daerah endemis. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : Tidak ada. 

 

 

 

BLASTOMIKOSIS      ICD-9 116.0; ICD-10 B40 

(Blastomikosis Amerika Utara, Penyakit Gilchrist) 

 

 

1. Identifikasi. 

Blastomikosis yaitu   mikosis granulomatosa, terutama menyerang paru-paru dan kulit. 

Blastomikosis paru dapat bersifat akut atau kronik. Infeksi akut jarang dikenal tapi muncul 

dengan serangan demam yang tiba tiba, batuk dan infiltrasi paru pada foto thorax. 

Penyakit akut sembuh dengan sendirinya setelah 1 – 3 minggu sakit. Selama atau sesudah 

sembuh dari pneumonia, beberapa penderita mengalami infeksi ekstrapulmoner. Dan ada 

juga kasus yang perjalanan penyakitnya secara perlahan menjadi kronis. 

 

 69

Batuk dan sakit di dada mungkin hanya ringan saja atau bahkan tidak ada sama sekali, 

memicu  seorang pasien pada saat didiagnosa penyakitnya telah menyebar ke bagian 

lain dari tubuh terutama ke kulit kemudian tulang, prostat dan epididimis. Lesi pada kulit 

dimulai dengan munculnya papula eritematosa dan selanjutnya menjadi verruca, ber 

krusta atau muncul lesi yang menyebar. Umumnya lesi ini  muncul pada muka dan 

extremitas distal. Biasanya disertai dengan penurunan berat badan, lemah dan demam. 

Lesi pada paru bisa menjadi cavitasi. Perjalanan penyakit yang tidak diobati dan atau pada 

blastomikosis paru kronis menjadi semakin berat dan biasanya berakibat kematian.  

Pemeriksaan mikroskopis secara langsung tanpa pewarnaan sputum dan specimen yang 

diambil dari lesi memperlihatkan bentuk-bentuk karakteristik “broad based” dari jamur, 

seringkali berbentuk sambel/halter, jamur dapat juga diisolasi dengan kultur. Pemeriksaan 

serologis tidak banyak manfaatnya. 

 

2. Pemicu  penyakit.  

Blastomycosis dermatitidis (Ajellomyces dermatitidis), sejenis jamur dimorfis yang 

tumbuh sebagai ragi pada jaringan dan media kultur yang diperkaya pada suhu 37oC 

(98,6oF) dan sebagai mold (jamur) pada suhu kamar (25oC / 77oF). 

 

3. Distribusi penyakit. 

Sangat jarang dan muncul secara sporadis di AS bagian tengah dan timur, Kanada, Afrika 

(Zaire, Tanzania, Afsel), India, Israel dan Saudi Arabia. Jarang terjadi pada anak-anak; 

lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit pada anjing sering terjadi; 

dilaporkan juga menyerang kucing, kuda, singa afrika dan singa laut. 

 

4. Reservoir. 

Tanah lembab berperan sebagai reservoir, terutama pada daerah yang banyak terdapat 

pepohonan sepanjang saluran air dan daerah yang tidak terusik misalnya pada tempat-

tempat yang terlindungi pepohonan. 

 

5. Cara Penularan. 

Penularan terjadi melalui Conidia, yang terhirup melalui udara.  

 

6. Masa Inkubasi. 

Tidak tentu, kemungkinan beberapa minggu atau kurang bahkan bisa hingga hitungan 

bulan. Untuk infeksi yang menimbulkan gejala masa inkubasi rata-rata 45 hari. 

 

7. Masa Penularan. 

Tidak langsung menular dari manusia ke manusia atau dari binatang ke orang. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan. 

Tidak diketahui. Infeksi paru tanpa gejala mungkin banyak terjadi tapi frekuensinya tidak 

diketahui. Terbukti bahwa kekebalan seluler memainkan peranan penting dalam 

pencegahan infeksi paru. Jarangnya penyakit ini terjadi secara alami maupun jarangnya 

terjadi infeksi melalui laboratorium menunjukkan bahwa manusia relatif kebal terhadap 

penyakit ini. 

 

 

 70

9. Cara Cara Pemberantasan  

A. Cara Cara Pencegahan : tidak diketahui. 

B.  Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya : 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat : bukan merupakan penyakit yang 

wajib dilaporkan, Kelas 5 (lihat Petentang pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi : tidak ada 

3) Disinfeksi serentak : lakukan terhadap sputum, luka berbau dan semua benda yang 

terkontaminasi. Pembersihan terminal. 

4) Karantina : tidak ada. 

5) Imunisasi : tidak ada. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : 

 Tidak bermanfaat kecuali bila ditemukan ada beberapa orang yang terserang 

penyakit ini. 

7) Pengobatan spesifik. Itraconazole yaitu   obat pilihan, namun amfoterisin 

(Fungizone) diindikasikan untuk diberikan bagi pasien berat atau mereka yang 

memiliki  lesi pada otak. 

 

C.  Penanggulangan Wabah : tidak diterapkan, merupakan penyakit yang sporadis. 

 

D.  Implikasi Bencana : Tidak ada 

 

E.  Tindakan lebih lanjut  : tidak ada 

 

 

 

 

BOTULISME      ICD-9 005.1; ICD-10 A05.1 

INTESTINAL BOTULISM, sebelumnya dikenal sebagai Botulisme anak. 

 

 

1. Identifikasi.  

Ada 3 bentuk botulisme, yaitu yang di tularkankan melalui makanan (bentuk klasik) dan 

yang ditularkan melalui, luka dan saluran pencernaan (bayi dan dewasa). Tempat produksi 

toksin berbeda untuk tiap bentuk, namun  semua bentuk memberikan gejala lumpuh layuh 

yang diakibatkan oleh racun saraf botulinum. Botulisme saluran pencernaan diusulkan 

sebagai identitas penyakit baru dari apa yang sebelumnya disebut Botulisme bayi. Nama 

baru secara resmi diterima pada pertengahan tahun 1999, dan akan digunakan secara 

umum di bab ini sebagai pengganti istilah botulisme bayi. 

Foodborne botulism yaitu   keracunan berat yang diakibatkan sebab  menelan racun yang 

terbentuk di dalam makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini ditandai dengan gangguan 

nervus cranialis bilateral akut dan melemahnya anggota tubuh disertai kelumpuhan. 

Gangguan visual (kabur dan dobel), disfagia dan mulut kering sering merupakan keluhan 

pertama. Gejala-gejala ini bisa meluas berupa layuh simetris pada orang yang waspada 

akan gejala-gejala ini. Muntah dan konstipasi atau diare mungkin muncul pada awalnya. 

Demam tidak terjadi bila tidak ada komplikasi Infeksi lain.  CFR di AS 5 – 10 %. 

Pemulihan bisa berlangsung beberapa bulan.  

 

 71

Untuk jenis Botulisme luka, gambaran klinis yang sama terlihat pada saat organisme 

Pemicu  mengkontaminasi luka dalam kondisi anaerob. sedang  botulisme saluran 

pencernaan (bayi) yaitu   bentuk botulisme yang paling sering terjadi di AS; ini muncul 

akibat menelan spora Clostridium botulinum kemudian tumbuh berkembang dan 

memproduksi racun   pada usus besar. Botulisme saluran pencernaan ini secara spesifik 

menyerang bayi dibawah 1 tahun, namun  dapat juga menyerang orang dewasa yang 

memiliki  kelainan anatomi saluran pencernaan serta terjadinya perubahan flora usus. 

Gejala klinis khas dimulai dengan konstipasi, diikuti dengan letargi, tidak nafsu makan, 

listlessness, ptosis, susah menelan, kehilangan kontrol gerakan kepala, hipotonia dan 

menjurus kepada keadaan lemah secara menyeluruh (floppy baby) dan pada beberapa 

kasus, terjadi kesulitan bernapas sampai gagal nafas. Botulisme pada bayi memiliki  

spektrum klinis luas, mulai dari sakit ringan dengan onset bertahap hingga kematian 

mendadak; beberapa penelitian menemukan bahwa penyakit ini merupakan Pemicu  

terjadinya 5% sindroma kematian mendadak (Sudden Infant Death Syndrome/SIDS). CFR 

dari penderita yang dirawat di rumah sakit di AS kurang dari 1 %; sudah barang tentu 

penderita tanpa akses ke Rumah Sakit dengan Unit Perawatan Intensif Anak akan terjadi 

lebih banyak kematian. 

Diagnosa dari botulisme yang ditularkan melalui makanan ditegakkan dengan menemukan 

racun botulinum dalam serum, tinja, cairan lambung atau makanan yang tercemar; atau 

dari kultur C. botulinum cairan lambung atau tinja penderita. Menemukan organisme dari 

makanan yang di curigai cukup membantu, namun  biasanya tidak punya nilai diagnostik 

sebab  spora ada dimana-mana, menemukan racun botulinum pada makanan yang 

terkontaminasi lebih bermanfaat. Diagnosa bisa dipastikan apabila orang dengan gejala 

klinis disertai dengan riwayat mengkonsumsi makanan yang tercemar dan didukung 

dengan bukti hasil pemeriksaan laboratorium. Botulisme luka didiagnosa dengan 

ditemukannya racun pada serum atau hasil kultur luka yang positif. Elektromiografi 

dengan rangsangan pengulangan cepat dapat digunakan untuk mendukung pencegahan 

diagnosa klinis untuk semua bentuk botulisme. 

Diagnosa dari botulisme saluran pencernaan dapat di tegakkan dengan menemukan 

organisme C. botulism dan atau racun pada tinja penderita atau pada spesimenotopsi. 

Racun jarang terdeteksi pada sera penderita. 

 

2. Pemicu  penyakit. 

Botulisme yang ditularkan melalui makanan disebabkan oleh racun yang diproduksi oleh 

Clostridium botulinum, spora membentuk basil anaerob. Beberapa nanogram dari racun 

dapat memicu  sakit. Kebanyakan KLB pada manusia terjadi sebab  tipe A, B, E dan 

jarang sebab  tipe F. Tipe G pernah diisolasi dari tanah dan dari specimen otopsi, namun  

perannya sebagai Pemicu  botulisme belum jelas. KLB tipe E biasanya berhubungan 

dengan konsumsi ikan, ikan laut dan daging mamalia laut. 

Racun diproduksi sebab  proses pengalengan yang tidak tepat, makanan basa, makanan 

yang dipasturisasi dan makanan yang diolah sembarangan dan disimpan tanpa 

memakai   pendingin, terutama dengan pengepakan kedap udara. Racun dihancurkan 

dengan cara direbus, untuk menonaktifkan spora dibutuhkan suhu yang lebih tinggi.  

 

 

 

 

 72

Racun tipe E dapat diproduksi pada suhu serendah 3oC (37,4oF), suhu yang lebih rendah 

dari suhu lemari es. 

Banyak kasus botulisme anak disebabkan sebab  tipe A atau B. Beberapa kasus  (racun 

tipe E dan F) dilaporkan berasal dari spesies clostridium neurotoksigenik, seperti C. 

butyricum dan C. baratii. 

 

3. Distribusi penyakit : 

Tersebar di seluruh dunia, secara sporadis. KLB yang terjadi didalam keluarga dan 

warga  terutama terjadi sebab  produk makanan dibuat dengan cara-cara yang tidak 

menghancurkan spora dan memberi peluang terbentuknya racun. Botulisme jarang 

diakibatkan oleh produk komersial; KLB terjadi sebab  kontaminasi melalui kaleng yang 

rusak selama proses pengalengan. Kasus botulisme saluran pencernaan dilaporkan dari 5 

benua; Asia, Australia, Eropa dan Amerika Selatan dan Utara. Insidens yang pasti dan 

penyebaran dari botulisme saluran pencernaan tidak diketahui sebab  kesadaran para 

dokter yang masih rendah dan fasilitas laboratorium untuk diagnostik sangat terbatas, 

seperti yang dilaporkan dalam review, kasus botulisme saluran pencernaan yang terjadi di 

California antara tahun 1976, dan awal tahun 1999. Dari 1700 total kasus secara global, 

1400 kasus terjadi di AS dengan hampir separuhnya terjadi di California. Di seluruh dunia 

sekitar 150 kasus dilaporkan dari di Argentina; kurang dari 20 kasus di Australia dan 

Jepang; kurang dari 15 kasus di Kanada; dan sekitar 30 kasus di Eropa (kebanyakan di 

Italia dan Inggris) serta beberapa kasus tersebar di Chili, Cina, Israel dan Yaman. 

 

4.  Reservoir 

Spora tersebar di atas tanah di seluruh dunia, kadang-kadang ditemukan pada produk 

pertanian termasuk madu. Spora juga ditemukan pada lapisan sedimen di dasar laut dan di 

saluran pencernaan binatang, termasuk ikan.  

 

5.  Cara penularan 

Mengkonsumsi makanan yang mengandung toksin botulinum akan mengakibatkan 

Botulisme terutama sebab  makanan ini  tidak dimasak dengan suhu yang cukup 

tinggi selama pengawetan atau tidak dimasak sebelum dikonsumsi. Di AS keracunan 

kebanyakan terjadi sebab  mengkonsumsi sayur dan buah-buahan yang dikalengkan 

dirumah; daging jarang sebagai perantara penyakit ini. Beberapa KLB yang baru-baru ini 

terjadi setelah mengkonsumsi ikan yang tidak dibersihkan ususnya. Kasus botulisme juga 

pernah dilaporkan terjadi sehabis makan kentang panggang dan potpies yang tidak 

ditangani dengan baik. KLB yang terjadi baru-baru ini dilaporkan sehabis memakan 

bawang merah, dua lainnya yaitu   sehabis mengkonsumsi acar dan bawang putih dalam 

minyak. Beberapa KLB bersumber dari restoran. Sayuran lain seperti tomat, yang 

sebelumnya di anggap terlalu asam untuk berkembang biaknya C. botulinum, ternyata 

dapat menjadi ancaman sebagai sumber keracunan makanan yang dikalengkan di rumah. 

Di Kanada dan Alaska, KLB terjadi sebab  mengkonsumsi daging anjing laut, salmon 

asap dan telur salmon yang difermentasi. Di Eropa sebagian besar kasus terjadi sebab  

makan sosis dan daging panggang atau daging olahan; di Jepang, sebab  ikan laut. 

Perbedaan ini disebabkan sebagian sebab  perbedaan dalam penggunaan natrium nitrit 

untuk mengawetkan daging di AS. 

 

 73

Kasus Botulisme luka kadang kala terjadi sebagai akibat dari kontaminasi luka dengan 

tanah ketika merawat patah tulang terbuka. Botulisme luka dilaporkan terjadi diantara 

para pecandu Napza (terutama abses kulit akibat injeksi subkutan dari pecandu heroin dan 

juga dari sinusitis para penghisap kokain). 

Botulisme saluran pencernaan terjadi sebab  seseorang menelan spora botulinum yang 

kemudian tumbuh berkembang di usus besar, bukan sebab  menelan racun yang telah 

terbentuk. Sumber spora bagi anak-anak berasal dari berbagai sumber termasuk makanan 

dan debu. Madu, yang diberikan pada bayi, dapat mengandung spora C. botulinum. 

 

6.   Masa inkubasi. 

Gejala neurologis dari botulisme yang ditularkan oleh makanan biasanya muncul dalam 

12 – 36 jam, kadang-kadang beberapa hari, sesudah mengkonsumsi makanan yang 

terkontaminasi. Pada umumnya, semakin pendek masa inkubasi, semakin berat 

penyakitnya dan semakin tinggi CFR-nya. Masa inkubasi dari botulisme saluran 

pencernaan pada bayi tidak diketahui, sebab  kapan saat bayi menelan makanan yang 

terkontaminasi tidak diketahui.  

 

7.  Masa penularan. 

Walaupun Racun C. botulisnum dan bakterinya dikeluarkan bersama tinja pada kadar 

yang tinggi (ca. 106 organisme/g) oleh pasien botulisme saluran pencernaan selama 

beberapa minggu hingga berbulan-bulan sesudah onset penyakit, namun tidak ada bukti 

terjadi penularan dari orang ke orang. Pasien Botulisme yang ditularkan melalui makanan 

biasanya mengeluarkan racun dan bakteri dalam jangka waktu yang lebih pendek.  

 

8. Kekebalan dan kerentanan. 

Semua orang rentan. Hampir semua pasien dengan botulisme pencernaan yang di rawat 

dirumah sakit berusia antara 2 minggu dan 1 tahun; 94 % berusia kurang dari 6 bulan, dan 

median umur penderita yaitu   13 minggu. Kasus botulisme saluran pencernaan terjadi di 

semua ras dan kelompok etnik. Orang dewasa yang memiliki  gangguan buang air besar 

yang mengarah pada gangguan flora usus (atau flora usus yang secara tidak sengaja 

terganggu sebab  pengobatan antibiotik untuk tujuan lain) bisa rentan mengidap botulisme 

saluran pencernaan. 

  

9. Cara pemberantasan. 

A. Tindakan pencegahan 

1). Lakukan pengawasan yang ketat terhadap proses pengolahan makanan dalam 

kaleng serta makanan yang diawetkan lainnya.  

2). Beri penyuluhan kepada mereka yang bekerja pada proses pengolahan makanan, 

baik pengolahan makanan kaleng rumah tangga maupun kepada mereka yang 

bekerja pada proses pengawetan makanan. Materi penyuluhan yaitu   tentang 

teknik pengolahan makanan yang benar terutama berkaitan dengan masalah waktu, 

tekanan dan suhu yang tepat untuk menghancurkan spora. 

 Begitu pula materi penyuluhan berisi pengetahuan tentang teknik penyimpanan 

makanan yang belum diolah secara sempurna didalam lemari es dan cara-cara 

memasak dan mengaduk dengan benar sayur-sayuran yang akan dikalengkan 

 

 74

sebagai industri rumah tangga. Diperlukan waktu paling sedikit selama 10 menit 

untuk menghancurkan toksin botulinum. 

3). C. botulinum kadang-kadang bisa atau tidak bisa memicu  tutup kaleng 

menggembung dan  menimbulkan bau. Bahan pencemar lain juga dapat 

memicu  tutup kaleng atau botol menggembung. Wadah yang menggembung 

sebaiknya tidak dibuka, dan makanan yang berbau sebaiknya tidak dimakan atau 

dicicipi. Makanan kaleng yang sudah menggembung sebaiknya dikembalikan ke 

penjualnya tanpa dibuka. 

4). Walaupun spora C. botulinum dapat dijumpai dimana saja, makanan yang 

diketahui tercemar seperti madu, sebaiknya tidak diberikan kepada bayi. 

 

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Kasus pasti dan yang dicurigai wajib 

dilaporkan di kebanyakan negara dan negara bagian, Kelas 2A (lihat tentang 

pelaporan penyakit menular); diperlukan laporan segera melalui telepon. 

2). Isolasi: tidak diperlukan, namun  cucilah tangan sesudah menangani popok yang 

tercemar. 

3). Disinfeksi serentak: makanan yang tercemar sebaiknya di detoksifikasi dengan 

cara merebusnya sebelum dibuang; atau wadahnya dihancurkan dan di kubur 

dalam-dalam di dalam tanah untuk mencegah makanan ini  dimakan oleh 

binatang. Barang-barang yang terkontaminasi sebaiknya disterilisasi dengan cara 

merebus atau dengan disinkfeksi klorin untuk menonaktifkan racun yang tersisa. 

Lakukan pembuangan tinja yang saniter dari penderita bayi. Pembersihan terminal. 

4). Karantina : tidak ada 

5). Manajemen kontak : tidak dilakukan untuk kontak langsung biasa. Terhadap 

mereka yang diketahui telah mengkonsumsi makanan yang tercemar harus diberi 

pencahar, dilakukan lavage lambung dan enema tinggi dan di observasi dengan 

ketat. Keputusan untuk memberikan pengobatan presumptive dengan antitoksin 

polyvalent (equine AB atau ABE) bagi orang yang terpajan namun tidak 

menunjukkan gejala harus dipertimbangkan benar : harus diperhitungkan manfaat 

pemberian antitoksin di awal kejadian (dalam waktu 1 – 2 hari sesudah 

mengkonsumsi makanan tercemar) terhadap risiko efek samping yang berat sebab  

peka terhadap serum kuda. 

6). Investigasi kontak dan sumber racun: selidiki makanan apa yang dikonsumsi oleh 

penderita, kumpulkan semua makanan yang dicurigai untuk pemeriksaan 

laboratorium yang semestinya dan kemudian dimusnahkan dengan cara yang 

benar. Cari kasus-kasus tambahan untuk memastikan bahwa telah terjadi KLB 

botulisme yang ditularkan oleh makanan. 

7). Pengobatan spesifik: jika terjadi botulisme berikan sesegera mungkin 1 vial 

antiracun botulinum polyvalent (AB atau ABE) intravena. Anti racun ini tersedia 

di CDC, Atlanta, dan dapat diminta melalui departemen kesehatan negara bagian 

sebagai bagian dari pengobatan rutin (nomor telpon darurat di CDC untuk 

botulisme pada jam kerja yaitu  : 404-639-2206 dan sesudah jam kerja atau hari 

libur : 404-2888). Serum sebaiknya diambil untuk mengidentifikasi toksin spesifik 

sebelum anti toksin di berikan, namun anti toksin sebaiknya jangan ditunda 

pemberiannya sebab  menunggu hasil tes. Yang terpenting dilakukan yaitu   akses 

 

 75

secepatnya ke ICU untuk antisipasi kemungkinan terjadinya kegagalan 

pernapasan, yang dapat memicu  kematian, sehingga perlu ditangani dengan 

cepat dan tepat. Untuk botulisme luka, selain anti toksin, luka sebaiknya di 

bersihkan (debridemen) dan atau di lakukan drainase, diberikan antibiotik yang 

tepat (misalnya penisilin). 

Pada botulisme saluran pencernaan, perawatan supportive yang cermat sangat penting. 

Anti toksin botulinum serum kuda tidak digunakan sebab  dikhawatirkan terjadi 

renjatan anafilaksis. Imunoglobulin untuk botulisme (Botulinal Immune, BIG) saat ini 

tersedia hanya untuk botulismus pada bayi yang telah disetujui oleh FDA dengan label 

Protokol penelitian penggunaan obat baru dari Depertemen Kesehatan California. 

Informasi tentang BIG untuk pengobatan empiris terhadap mereka yang dicurigai 

menderita botulisme saluran pencernaan bayi bisa diperoleh dari Departemen 

Kesehatan melalui Saluran 24 jam pada nomor 510-540-2646. Pemberian Antibiotik 

tidak berpengaruh pada perjalanan penyakit dan pemberian aminoglikosid justru bisa 

membuat keadaan lebih buruk oleh sebab  adanya blokade neuromuskuler. Dengan 

demikian antibiotik sebaiknya digunakan hanya untuk infeksi sekunder. Bantuan 

pernafasan mungkin diperlukan. 

 

C. Penanggulangan wabah. 

Bila terjadi kasus botulisme, sebaiknya segera diteliti apakah telah terjadi KLB yang 

menimpa keluarga atau orang-orang lain yang mengkonsumsi makanan yang sama. 

Makanan yang diawetkan dan dikalengkan dalam industri rumah tangga dan  dicurigai 

tercemar sebaiknya disingkirkan. Walaupun makanan dari restoran atau makanan 

olahan komersial yang didistribusikan secara luas, kadang-kadang terbukti sebagai 

sumber keracunan, dan ini jauh lebih mengancam kesehatan warga . Bahkan 

beberapa KLB yang dilaporkan terjadi baru-baru ini melibatkan jenis makanan yang 

tidak biasa, dan secara teoritis jenis makanan ini  tidak mungkin sebagai sumber 

KLB. Pada saat produk makanan tertentu terbukti tercemar melalui pemeriksaan 

laboratorium atau melalui penyelidikan epidemiologis, maka produk makanan ini  

harus ditarik segera dan lacak orang-orang yang mengkonsumsi makanan yang sama 

dan makanan yang tersisa dari produk yang sama. Sisa makanan dari produk yang 

sama mungkin tercemar, dan jika ditemukan harus dikirim untuk pemeriksaan 

laboratorium. Kumpulan sera dan cairan lambung serta tinja dari pasien, atau bila 

perlu dari orang yang terpajan namun  tidak sakit dan dikirim segera ke laboratorium 

yang telah di tunjuk sebelum  orang-orang ini diberi antitoksin. 

 

D. Implikasi bencana : tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : 

Produk komersial biasanya di pasarkan secara luas, oleh sebab  itu perlu ada upaya 

lebih lanjut  untuk menemukan dan menguji makanan yang tercemar. KLB Common 

Source lintas batas negara pernah terjadi oleh sebab  distribusi produk makanan yang 

tercemar sangat luas. 

 

 

 

 

 76

F. Tindakan bioterorisme : 

Toksin botulinum dapat dengan mudah digunakan oleh teroris, walaupun ancaman 

terbesar yaitu   melalui udara, ancaman yang lebih mudah yaitu   melalui makanan 

dan minuman. Kejadian keracunan botulisme, walaupun hanya satu kasus, bila tidak 

ditemukan sumber yang jelas, yaitu makanan yang tidak ditangani dengan baik, 

sebaiknya dicurigai kemungkinan adanya penggunaan racun botulinum secara sengaja.  

Semua kasus seperti ini harus segera dilaporkan kepada pihak yang berwajib sehingga 

investigasi yang tepat dapat dilakukan secepatnya.  

 

 

 

 

BRUCELLOSIS       ICD-9 023; ICD-10 A23 

(Demam Undulant, Demam Malta, Demam Mediteran) 

 

 

1. Identifikasi. 

Penyakit bakteri sistemik dengan gejala akut atau insidius, ditandai dengan demam terus 

menerus, intermiten atau tidak tentu dengan jangka waktu yang bervariasi. Gejala yang 

timbul berupa sakit kepala, lemah, berkeringat, menggigil, arthralgia, depresi, kehilangan 

berat badan dan sakit seluruh tubuh. Infeksi supuratif terlokalisir dari organ-organ 

termasuk hati dan ginjal bisa terjadi; gejala sub klinis dan infeksi kronis yang terlokalisir 

juga bisa terjadi. Penyakit ini bisa berlangsung beberapa hari, beberapa bulan atau 

kadang-kadang bertahun-tahun jika tidak diobati dengan tepat. Komplikasi osteoartikuler 

bisa di temukan pada 20 – 60 % kasus. Manifestasi pada sendi yang paling sering yaitu   

sakroiliitis. Infeksi saluran kemih dilaporkan terjadi pada 2 – 20 % kasus dan yang paling 

umum yaitu   orkitis dan epididimitis. Biasanya terjadi penyembuhan namun  bisa juga 

terjadi kecacatan. “Case Fatality Rate” dari bruselosis sekitar 2 % atau kurang dan 

biasanya sebagai akibat dari endokarditis oleh infeksi Brucella melitensis. Kompleks 

gejala neurosis kadang-kadang dikelirukan dengan bruselosis kronis.  

Diagnosa laboratorium dibuat dengan mengisolasi bakteri Pemicu  infeksi dari spesimen 

darah, sumsum tulang atau jaringan lain, atau juga dari discharge penderita. Pemeriksaan 

serologis perlu dilakukan di laboratorium yang berpengalaman, untuk menunjukkan 

adanya kenaikan titer antibodi pair sera. Interpretasi hasil pemeriksaan serologis pada 

pasien kambuh dan kronis sangat sulit sebab  titer antibodi biasanya rendah. Pemeriksaan 

untuk mengukur antibodi IgG mungkin membantu untuk penegakan diagnosa pada kasus 

kronis, sebab  pada infeksi aktif ada kenaikan titer IgG. Teknik pemeriksaan serologis 

spesifik diperlukan untuk deteksi antibodi Brucellosis canis yang tidak bereaksi silang 

dengan spesies lain.  

 

2. Pemicu  penyakit. 

Bruselosis disebabkan oleh Brucellosis abortus, biovarians 1 – 6 dan 9, B. melitensis 

biovarians 1 – 3, B. suis, biovarians 1 – 5 dan B. canis. 

 

 

 

 

 77

3. Distribusi penyakit. 

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama di negara Mediteran, Eropa, Afrika Timur, 

negara-negara timur Tengah, India, Asia Tengah, Meksiko dan Amerika Selatan. Sumber 

infeksi dan organisme, Pemicu  penyakit bervariasi tergantung letak geografis. 

Bruselosis terutama muncul sebagai penyakit akibat kerja, yaitu menimpa mereka yang 

bekerja menangani ternak yang terinfeksi dan jaringannya, seperti petani, dokter hewan 

dan pekerja di tempat pemotongan hewan. Penyakit ini banyak menyerang laki-laki. 

Kasus-kasus sporadis dan KLB terjadi pada orang yang mengkonsumsi susu mentah dan 

produk susu (terutama keju lunak yang tidak dipasturisasi) dari sapi, domba dan kambing. 

Kasus-kasus infeksi B. canis terbatas terjadi pada pekerja yang merawat anjing. Penderita 

yang dilaporkan terjadi di AS, kurang dari 120 kasus tiap tahunnya; diseluruh dunia, 

penyakit ini terkadang tidak diketahui dan tidak dilaporkan. 

 

4. Reservoir. 

Sapi, babi, kambing dan domba bertindak sebagai reservoir. Infeksi bisa terjadi pada 

bison, rusa besar, karibu dan beberapa spesies dari rusa. B. canis kadang-kadang menjadi 

masalah di tempat pemeliharaan anjing, sebagian kecil anjing peliharaan dan  sebagian 

besar anjing liar terbukti memiliki  titer antibody terhadap B. canis. Anjing hutan juga 

terbukti telah terinfeksi.  

 

5.  Cara penularan : 

Penularan terjadi sebab  kontak dengan jaringan, darah, urin, sekrit vagina, janin yang 

digugurkan, dan terutama plasenta (melalui luka di kulit) dan sebab  mengkonsumsi susu 

mentah dan produk susu (keju yang tidak di pasturisasi) dari binatang yang terinfeksi. 

Penularan melalui udara oleh binatang terjadi di kandang, dan pada manusia terjadi di 

laboratorium dan tempat pemotongan hewan. Beberapa kasus penularan terjadi sebab  

kecelakaan sebab  tertusuk jarum suntik pada saat menangani vaksin brusella strain 19, 

risiko yang sama dapat terjadi pada waktu menangani vaksin Rev-1. 

 

6.   Masa inkubasi. 

Bervariasi dan sangat sulit dipastikan, biasanya sekitar 5 – 60 hari, umumnya 1 – 2 bulan, 

kadang-kadang beberapa bulan. 

 

7.  Masa penularan. 

Tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan : 

Berat dan lamanya sakit tergantung dari berbagai hal. Lamanya imunitas yang didapat 

tidak diketahui dengan jelas. 

 

9.   Cara-cara pemberantasan. 

Tindakan pokok dalam pengendalian bruselosis pada manusia yaitu   dengan cara 

memberantas penyakit pada binatang rumah. 

  

 

 

 

 78

A. Tindakan pencegahan 

1). Beri penyuluhan kepada warga  (terutama turis) untuk tidak minum susu yang 

tidak dipasturisasi atau mengkonsumsi produk yang dibuat dari susu yang tidak 

diolah atau dipasturisasi. 

2). Beri penyuluhan kepada petani dan pekerja di tempat pemotongan hewan, pabrik 

pengolahan daging dan toko daging tentang bagaimana penyakit ini terjadi serta 

risiko jika menangani daging dan produk binatang yang potensial terinfeksi dan 

cara pengoperasian yang tepat dari tempat pemotongan hewan untuk mengurangi 

pajanan (terutama ventilasi yang memadai). 

3). Beri penyuluhan kepada para pemburu untuk memakai   pelindung (seperti 

sarung tangan, baju pelindung) yang dipakai sewaktu manangani hasil buruan, 

seperti babi hutan dan mengubur sisanya. 

4). Selidiki cara penularan yang terjadi diantara binatang ternak dengan tes serologis 

dan dengan tes ELISA atau uji cincin untuk susu sapi; musnahkan binatang yang 

terinfeksi dengan cara dipisahkan atau di sembelih. Jika infeksi terjadi pada babi 

maka seluruh kelompok babi ini  harus dipotong. Didaerah dengan prevalensi 

tinggi, berikan imunisasi kepada kambing muda dan domba dengan vaksin hidup 

yang dilemahkan dari strain Rev-1 B. melitensis. Sejak tahun 1996, vaksin RB 51 

rekombinan digunakan secara besar-besaran mengggantikan strain 19 untuk 

imunisasi ternak terhadap B. abortus. Vaksin RB 51 kurang virulen untuk manusia 

dibandingkan strain 19. 

5). Walaupun hasilnya belum diketahui melalui uji klinis, orang yang tidak sengaja 

tertusuk jarum suntik pada waktu menangani strain I9 atau Rev-1 dianjurkan 

diberikan doksisiklin 100 mg dua kali sehari dikombinasikan dengan rifampin 600 

– 900 mg sekali sehari selama 21 hari; untuk inokulasi konjungtiva, profilaksis 

sebaiknya diberikan selama 4 – 5 minggu. 

6). Lakukan pasturisasi terhadap susu dan produk susu dari sapi, kambing dan domba. 

Merebus susu hasilnya cukup efektif jika pasturisasi tidak mungkin dilakukan. 

7). Hati-hati pada saat menangani dan membuang plasenta, discharge dan janin dari 

binatang yang keguguran. Lakukan disinfeksi tempat-tempat yang terkontaminasi. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar : 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat : penderita beruselosis wajib 

dilaporkan di kebanyakan negara bagian dan negara di dunia, Kelas 2B (lihat 

tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi: Lakukan tindakan kewaspadaan universal terhadap lesi yang berair dan 

sekret, jika ada luka. Jika tidak ada lesi, tidak perlu tindakan kewaspadaan 

universal. 

3). Disinfeksi serentak:  terhadap discharge purulen. 

4). Karantina: tidak perlu dilakukan. 

5). Imunisasi kontak: tidak perlu dilakukan. 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Cari sumber infeksi individual atau yang 

bersifat “Common Source”, biasanya kambing peliharaan, sapi atau babi, susu 

mentah atau produk susu dari sapi dan kambing. Lakukan pemeriksaan terhadap 

binatang yang dicurigai terinfeksi dan musnahkan binatang yang positif . 

 

 79

7). Pengobatan spesifik: kombinasi rifampin (600-900 mg per hari) atau streptomisin 

(1 g per hari) dengan doksisiklin (200 mg per hari) paling sedikit selama 6 minggu 

yaitu   “drug of choice”. Bagi penderita yang berat, penderita toksis, kortikoseroid 

mungkin menolong. Tetrasiklin sebaiknya jangan diberikan pada anak-anak 

dibawah 7 tahun untuk menghindari bercak di gigi. TMP-SMX efektif, namun  

relaps sering terjadi (30%). Relaps terjadi sekitar 5% dari penderita yang diobati 

dengan doksisiklin dan rifampisin, hal ini terjadi lebih disebabkan sebab  putus 

berobat daripada sebab  resistensi; dalam hal ini penderita sebaiknya diobati 

dengan regimen dasar. Arthritis mungkin terjadi pada kasus yang kambuh kembali. 

 

C. Penanggulangan wabah: 

Cari media pembawa kuman, biasanya susu mentah atau produk susu, terutama keju, 

dari hewan yang terinfeksi. Tarik kembali produk yang diduga terinfeksi; hentikan 

produksi dan distribusi produk ini  kecuali tersedia fasilitas pasturisasi. 

 

D. Implikasi bencana : Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  :  

Lakukan pengawasan ketat terhadap binatang ternak dan produk binatang import 

dalam perdagangan lebih lanjut . Manfaatkan pusat kerjasama WHO. 

 

 

 

 

CAMPYLOBACTER ENTERITIS   ICD-9 008.4;ICD-10 A04.5 

(Vibrionic enteritis) 

 

 

1. Identifikasi.  

Merupakan penyakit enterik bakteri zoonotik akut yang spektrumnya bervariasi. Ditandai 

dengan diare, sakit pada abdomen, malaise, demam, mual dan muntah. Lama sakit 

biasanya 2 – 5 hari dan berlangsung tidak lebih dari 10 hari. Penyakit berlangsung lebih 

lama terjadi pada orang dewasa, relaps dapat juga terjadi. Darah nampak maupun tersamar 

ditemukan bersama-sama dengan lendir pada tinja cair. Bisa juga terjadi sindroma seperti 

tifus atau arthtritis reaktif, namun kejang demam, sindroma Guillain-Barre, atau 

meningitis jarang ditemukan. Beberapa kasus, menunjukkan gejala mirip dengan 

apendisitis. Banyak kasus tidak menunjukkan gejala. 

Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya organisme dalam tinja dengan memakai   

media selektif, yang dikurangi tekanan oksigennya pada temperatur inkubasi 43oC 

(109oF). Ditemukannya mikroorganisme dalam tinja berbentuk kurva, spiral atau batang 

berbentuk S bergerak, yang mirip dengan Vibrio cholerae diperiksa dengan memakai   

metode fase kontras atau mikroskopis medan gelap, cara ini dalam waktu singkat dapat 

membuktikan adanya Campylobacter enteritis. 

 

 

 

 

 80

2. Pemicu  penyakit. 

Umumnya sebagai Pemicu  yaitu   Campylobacter jejuni, dan yang jarang yaitu  , C. 

coli. Ada lebih dari 20 biotipe dan serotipe; identifikasi tipe campylobacter bermanfaat 

untuk tujuan penyelidikan epidemiologis. Organisme Campylobacter lain, seperti 

C.laridis dan C. fetus ssp, juga memiliki  hubungan dengan kejadian diare pada hospes 

normal. 

 

3. Distribusi penyakit. 

Organisme ini sebagai Pemicu  utama diare di seluruh dunia dan menyerang semua 

umur, memicu  5 – 14 % kejadian diare di seluruh dunia. Organisme ini sebagai 

Pemicu  utama diare yang menyerang para turis. Di negara maju, anak-anak (balita) dan 

dewasa muda paling banyak diserang. Di negara berkembang, penyakit ini paling banyak 

diderita anak di bawah 2 tahun, terutama bayi. Sumber utama Pemicu  penyakit biasanya 

ada hubungannya dengan makanan, terutama ayam yang tidak dimasak dengan baik, susu 

yang tidak dipasturisasi dan air yang tidak diklorinasi, ini terjadi biasanya pada musim 

gugur dan musim semi. Jumlah penderita terbanyak yang terjadi sporadis di daerah 

beriklim sedang biasanya pada bulan-bulan saat suhu udara lebih hangat. 

 

4. Reservoir. 

Binatang, biasanya unggas dan hewan ternak. Anak anjing, anak kucing, hewan peliharaan 

lain, babi, domba, tikus dan burung bisa menjadi sumber infeksi bagi manusia. 

Kebanyakan daging unggas mentah terkontaminasi C. jejuni. 

 

5. Cara penularan. 

Penularan terjadi sebab  menelan organisme yang terdapat dalam daging unggas dan babi 

yang tidak dimasak dengan baik, air dan makanan yang terkontaminasi, atau susu mentah; 

sebab  kontak dengan binatang peliharaan yang terinfeksi (terutama anak anjing dan anak 

kucing), binatang ternak atau bayi yang terinfeksi. Kontaminasi pada susu sering terjadi 

sebab  kontaminasi oleh tinja hewan ternak “carrier”; manusia dan makanan dapat 

terkontaminasi dari unggas, terutama dari papan alas pemotong daging. Penularan dari 

orang ke orang biasanya bukan disebabkan oleh C. jejuni. 

 

6. Masa inkubasi. 

Biasanya 2 – 5 hari, dengan kisaran 1 – 10 hari tergantung dari jumlah mikroorganisme 

yang tertelan. 

 

7. Masa penularan. 

Orang yang terinfeksi akan tetap menular sepanjang masa infeksi; biasanya berlangsung 

selama beberapa hari hingga beberapa minggu. Penderita yang tidak diobati dengan 

antibiotika bisa menjadi sumber penularan selama kurang lebih 2 – 7 minggu. Masa 

sebagai carrier sementara secara epidemiologis kurang begitu penting kecuali pada bayi 

dan mereka yang buang air besar terus menerus. Infeksi kronis pada unggas dan binatang 

lain merupakan sumber utama infeksi. 

 

 

 

 

 81

8. Kerentanan dan kekebalan. 

Mekanisme timbulnya imunitas tidak diketahui dengan jelas, namun imunitas secara 

serologis dapat dibuktikan timbul setelah terjadi infeksi. Di negara berkembang, 

kebanyakan orang kebal pada usia 2 tahun pertama kehidupannya. 

 

9. Cara–cara pemberantasan : 

A. Cara-cara pencegahan  

1) Gunakan bahan makanan yang telah diradiasi atau masaklah dengan seksama 

semua bahan makanan yang bersumber dari binatang, terutama unggas. Hindari 

kontaminasi ulang oleh bahan makanan mentah didapur seusai masak.  

2) Lakukan pasturisasi terhadap semua persediaan susu, dan lakukan klorinasi 

terhadap persediaan air atau rebuslah air minum. 

3) Lakukan tindakan higiene – sanitasi yang baik pada kandang ternak (ganti sepatu 

boot dan baju, bersihkan secara menyeluruh kandang dan lakukan disinfeksi) 

untuk mencegah menyebarnya organisme pada unggas dan binatang ternak. 

4) Temukan, cegah dan berantas infeksi Campylobacter pada binatang ternak dan 

binatang peliharaan. Anak anjing dan anak kucing dengan diare bisa menjadi 

sumber infeksi; eritromisin bisa digunakan untuk mengobati infeksi yang terjadi, 

hal ini dapat mengurangi risiko penularan pada anak-anak. Beri penyuluhan 

kepada warga  tentang pentingnya mencuci tangan sesudah kontak dengan 

binatang. 

5) Kurangi kontak dengan unggas dan kotorannya; cuci tangan dengan sabun sehabis 

kontak dengan unggas. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar: 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; merupakan keharusan untuk 

melaporkan penderita campylobacter di beberapa negara bagian dan sebagaian 

besar negara di dunia, kelas 2B ( lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi : terapkan tindakan kewaspadaan enterik untuk pasien yang dirawat di 

rumah sakit. Orang yang menunjukkan gejala penyakit ini dilarang menangani 

makanan atau merawat orang sakit di rumah sakit, lembaga pewarga an dan 

tempat penitipan anak. Orang yang baru sembuh namun tinjanya masih positif 

dianjurkan untuk dipisahkan dari orang lain jika kebiasaan cuci tangan dari yang 

bersangkutan kita ragukan. Tekankan pentingnya untuk mencuci tangan dengan 

sabun dan air mengalir sehabis buang air besar dan sebelum menjamah makanan.   

3). Disinfeksi serentak: dilakukan terhadap tinja dan barang-barang lain yang 

tercemar. Di warga , yang memiliki sistem pembuangan limbah yang baik dan 

modern, tinja dapat dibuang langsung kedalam saluran pembuangan tanpa 

disinfeksi awal. Lakukan disinfeksi menyeluruh. 

4). Karantina : tidak diperlukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak vaksin 

6). Investigasi kontak dan  sumber infeksi : investigasi hanya bermanfaat untuk 

mendeteksi KLB; investigasi KLB yang dilakukan dan diarahkan untuk 

mengidentifikasi makanan yang tercemar; air atau susu yang mungkin menjadi 

sumber penularan. 

 

 82

7). Pengobatan spesifik : tidak ada pengobatan spesifik kecuali pemberian cairan 

rehidrasi dan mengganti elektrolit yang hilang (lihat Cholera, 9B7). C. jejuni atau 

C. coli pada percobaan invitro sensitif terhadap sejumlah antibiotika seperti 

eritromisin, tetrasiklin dan kuinolon. Namun obat-obatan ini hanya bermanfaat jika 

diberikan pada awal sakit dan pada saat dimana agen Pemicu  penyakit sudah 

diketahui atau bermanfaat untuk mengeliminasi “carrier”. 

 

C. Penanggulangan wabah : 

Jika muncul sejumah kasus, seperti terjadi di dalam kelas, sebaiknya dilaporkan segera 

ke instansi kesehatan setempat, kemudian lakukan investigasi untuk mencari dan 

menemukan sumber penularan. 

 

D. Implikasi bencana : 

Risiko munculnya KLB bisa terjadi pada pemberian makanan secara massal seperti 

pada tempat penampungan pengungsi dalam lingkungan sanitasi yang jelek. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : 

Manfaatkan pusat kerjasama WHO. 

 

 

 

 

CANDIDIASIS      ICD-9 112;ICD-10 B37 

(Moniliasis, Trush, Candidosis). 

 

 

1. Identifikasi 

Mikosis yang biasanya menyerang lapisan superfisial dari kulit atau selaput lendir yang 

secara klinis nampak sebagai “trush”, intertrigo, vulvovaginitis, paronychia atau 

onychomycosis. Ulkus atau pseudo-membran bisa terbentuk di esofagus, lambung atau 

usus. Candidemia paling sering terjadi sebagai akibat dari kateterisasi intravaskular dan 

bisa menimbulkan lesi diberbagai organ tubuh seperti pada ginjal, limpa, paru-paru, hati, 

mata, selaput otak, otak dan kelep jantung atau sekitar katup jantung prostetik. 

Diagnosa dibuat dengan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium maupun gejala klinis 

dari candidiasis. Hasil pemeriksaan laboratorium yang paling penting yaitu   jika 

ditemukan dibawah mikroskop pseudohyphae dan atau sel ragi pada jaringan yang 

terinfeksi atau pada cairan tubuh. Konfirmasi kultur penting, namun  isolasi yang dilakukan 

dari spesimen yang diambil dari dahak, pencucian bronkial, tinja, urin, selaput lendir, kulit 

atau luka tidak membuktikan adanya hubungan sebab-akibat dari penyakit. Infeksi 

orofaringeal yang berat atau berulang pada orang dewasa dengan sebab yang tidak jelas 

bisa mengarah pada kemungkinan infeksi HIV. 

 

2. Pemicu  penyakit 

Candida albicans, C. tropicalis, C. dubliniensis dan kadang-kadang spesies lain dari 

Candida. Candida (Torulopsis) glabrata dibedakan dari candida lain Pemicu  

 

 83

candidiasis, yaitu infeksi dengan C. Torulopsis kurang membentuk pseudohyphae pada 

jaringan. 

 

3. Distribusi penyakit. 

Tersebar di seluruh dunia. Jamur C. albicans kadang-kadang merupakan flora normal 

pada tubuh manusia. 

 

4. Reservoir : Manusia. 

 

5. Cara penularan 

sebab  kontak sekret atau ekskret dari mulut, kulit, vagina dan tinja, dari penderita 

ataupun “carrier”, atau tertulari melalui jalan lahir pada saat bayi dilahirkan; penularan 

endogen. 

 

6. Masa inkubasi: Bervariasi, 2 – 5 hari untuk lesi mulut pada anak. 

 

7. Masa penularan : Diasumsikan menular ketika ditemukan lesi. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan 

Hampir selalu ditemukan spesies Candida didalam dahak, tenggorokan, tinja dan urin 

tanpa ada gejala klinis sebagai bukti rendahnya patogenisitas candida dan sebagai bukti 

adanya imunitas yang luas di kalangan warga . Lesi mulut banyak ditemukan, 

biasanya ringan dan muncul pada minggu-minggu pertama sesudah kelahiran. Gejala 

klinis muncul pada saat daya tahan tubuh hospes rendah. Kondisi lokal tubuh bagian 

tertentu turut mempengaruhi munculnya candidiasis superfisialis seperti interdigital 

intertrigo dan paronikia pada tangan yang terkena banyak air (pekerja pengalengan 

makanan dan binatu) dan munculnya intertrigo pada kulit yang lembab dari orang-orang 

yang gemuk. Lesi berulang pada kulit dan erupsi mukosa sering terjadi. 

Diantara faktor sistemis mencolok yang menjadi dasar munculnya kandidiasis superfisialis 

yaitu   kencing manis, pengobatan dengan antibiotik berspektrum luas dalam jangka 

waktu panjang dan infeksi HIV. Wanita pada kehamilah trimester 3 lebih mudah terkena 

vulvoganinal candidiasis. Faktor yang mempengaruhi terjadinya candidiasis sistemik 

antara lain imunosupresi, pemasangan kateter intravena permanen, netropenia, kanker 

darah, dan bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Candidiasis pada saluran kencing 

biasanya timbul sebagai komplikasi dari penggunaan kateter jangka panjang pada 

kandung kencing dan pelvis renalis. Kebanyakan orang dewasa dan anak-anak usia lebih 

tua mengalami hipersensitivitas kulit yang tertunda terhadap jamur  dan sebab  yang 

bersangkutan memiliki antibodi humoral.  

 

9.  Cara-cara pemberantasan 

A.  Cara-cara pencegahan : 

Lakukan deteksi dini dan pengobatan dini terhadap infeksi lokal pada mulut, esofagus 

atau kandung kencing bagi mereka yang memiliki faktor predisposisi sistemik (lihat 

butir 8 diatas) untuk mencegah terjadinya penyebaran sistemik. Kemoprofilaksis 

dengan fluconazole mengurangi kejadian candidiasis pada bagian dalam tubuh, 2 

bulan pertama setelah transplantasi alogenik sum-sum tulang. 

 

 84

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Laporan resmi biasanya tidak perlu 

disampaikan, kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular) 

2. Isolasi :Tidak diperlukan. 

3. Disinfeksi serentak : lakukan disinfeksi terhadap sekret dan benda-benda yang 

terkontaminasi. 

4. Karantina : Tidak diperlukan. 

5. Imunisasi kontak :Tidak diperlukan. 

6. Investigasi kontak dan sumber infeksi : Tidak bermanfaat pada kejadian kasus 

yang sporadis. 

7. Pengobatan spesifik : 

 

Memperbaiki faktor-faktor yang mendasari munculnya candidiasis sangat membantu 

pengobatan. Misalnya melepas kateter intravena. Pemberian nistatin topikal atau 

derivat azole (Miconazole, Clotrimazole, Ketoconazole, Fluconazole) sangat 

bermanfaat untuk berbagai bentuk candidiasis superfisialis. Clotimazole oral 

(Mycerex®) berupa tablet isap atau larutan Nystatin efektif untuk pengobatan lesi 

mulut. Suspensi Itraconazole (Sporanox®) atau Fluconazole (Diflucan®) – efektif 

untuk candidiasis oral dan esefagus. Infeksi vagina bisa diobati dengan Fluconazole 

oral atau Clotimazole topikal, Miconazole, Butoconazole, terconazole, tioconazole 

atau nystatin. Amphotericine B (Fungizone®) IV, dengan atau tanpa 5-fluorocytosine, 

yaitu   obat pilihan untuk visceral candidiasis atau candidiasis invasive. Preparat lipid 

Amphotericin B mungkin juga efektif. 

 

C. Tindakan penanggulangan wabah:  

KLB sering terjadi sebab  cairan infus yang terkontaminasi dan adanya bayi yang 

menderita lesi mulut di ruang perawatan bayi baru lahir. Disinfeksi serentak dan 

pembersihan secara menyeluruh seharusnya diterapkan sama seperti yang dilakukan 

pada disinfeksi KLB diare di rumah sakit. (lihat diare, bagian IV, 9A). 

 

D. Implikasi  bencana : Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : Tidak ada. 

 

 

 

CAPILLARIASIS 

 

Tiga jenis cacing dari superfamili Trichuroidea, genus Capillaria, memicu  penyakit 

pada manusia. 

 

 

 

 

 

 

 

 85

I.  CAPILLARIASIS sebab  CAPILLARIA PHILIPPINENSIS    

         ICD-9 127.5; ICD-10 B81.1 

(Intestinal capillariasis) 

 

 

1. Identifikasi : 

Pertama kali ditemukan di Pulau Luzon, Filipina pada tahun 1963. Penyakit ini secara 

klinis berupa enteropati yaitu hilangnya protein dalam jumlah besar disertai dengan 

sindroma malabsorpsi yang memicu  hilangnya berat badan dengan cepat dan terjadi 

emasiasi berat. Kasus fatal ditandai dengan ditemukannya parasit dalam jumlah besar 

didalam usus halus, disertai dengan asites dan transudasi pleura. CFR sekitar 10 %. Kasus 

subklinis juga terjadi, namun biasanya berkembang menjadi kasus klinis. 

Diagnosa ditegakkan dengan melihat gejala klinis dan ditemukannya telur atau larva atau 

parasit dewasa di dalam tinja. Telur-telur ini mirip dengan telur Trichuris trichiura. 

Dengan melakukan biopsi jejunum bisa ditemukan adanya cacing pada mukosa. 

 

2. Pemicu  penyakit 

Capillaria philippinensis 

 

3. Distribusi penyakit 

Capillariasis intestinal endemis di Kepulauan Filipina dan Thailand; beberapa kasus 

dilaporkan terjadi di Jepang, Korea, Taiwan dan Mesir. Satu kasus telah dilaporkan 

muncul di Iran, India, Indonesia dan Kolumbia. Penyakit ini mencapai tingkat endemis di 

Pulau Luzon, dimana sepertiga dari populasi telah terinfeksi. Pria berumur antara 20 dan 

45 tahun yaitu   kelompok umur dengan risiko tinggi. 

 

4. Reservoir 

Tidak diketahui. Kemungkinan burung air berperan sebagai reservoir. sedang  ikan 

berperan sebagai hospes intermediair. 

 

5. Cara penularan 

Kebiasaan mengkonsumsi ikan kecil yang tidak dimasak dengan baik atau mengkonsumsi 

ikan mentah diketahui sebagai Pemicu  timbulnya penyakit. Pada percobaan 

laboratorium larva infektif berkembang dalam usus ikan air tawar setelah ikan ini  

menelan telur cacing. Monyet dan sejenis tikus Mongolia dan beberapa jenis burung 

pemakan ikan, terinfeksi parasit dan parasit ini menjadi dewasa didalam usus binatang 

ini . 

 

6. Masa inkubasi 

Masa inkubasi pada manusia tidak diketahui. Penelitian yang dilakukan pada hewan, masa 

inkubasi kira-kira1 bulan atau lebih. 

 

7. Masa penularan : Tidak ditularkan dari orang ke orang. 

 

 

 

 

 86

8. Kekebalan dan kerentanan 

Didaerah dimana prevalensi parasitnya tinggi semua orang rentan terhadap penyakit ini 

Attack rate dikalangan warga  didaerah ini  biasanya tinggi. 

 

9. Cara-cara pemberantasan. 

A. Cara-cara pencegahan : 

1. Jangan memakan ikan atau hewan air lainnya yang tidak dimasak yang hidup di 

daerah endemis.  

2. Sediakan fasilitas jamban saniter yang memadai bagi warga . 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat, kasus-kasus dilaporkan dengan cara 

yang paling praktis, Kelas 3 B (Lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2. Isolasi; tidak diperlukan. 

3. Disinfeksi serentak; tdk dilakukan. Lakukan pembuangan tinja yang saniter 

4. Karantina; tidak diperlukan 

5. Imunisasi kontak; tidak dilakukan. 

6. Investigasi kontak dan sumber infeksi; lakukan pemeriksaan tinja terhadap semua 

anggota keluarga dan orang-orang yang mengkonsumsi ikan mentah atau yang 

tidak dimasak dengan baik. Obati orang yang terinfeksi. 

7. Pengobatan spesifik; Mebendazole (Vermox®), atau albendazole (Zentel®), yaitu   

obat pilihan.  

 

C. Tindakan penanggulangan wabah 

Pencarian kasus dan kontak serta pengobatan yang tepat dari penderita. Memberikan 

informasi pada warga  tentang pentingnya memasak semua jenis ikan.  

 

D. Implikasi bencana :  tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada 

 

 

II.  CAPILLARIASIS sebab  CAPILLARIA HEPATICA  

         ICD-9 128.8;ICD-10 B83.8 

 (Hepatic Cappilariasis)     

 

 

1. Identifikasi 

Penyakit yang jarang terjadi namun  kalau terjadi sering fatal, disebabkan oleh Capillaria 

hepatica dewasa yang hidup di hati. Gambaran klinis berupa hepatitis akut atau sub-akut 

yang ditandai dengan adanya eosinofil yang mirip dengan “Visceral Larva Migran”. 

Organisme dapat menyebar ke paru-paru dan organ tubuh lain. Diagnosa dibuat dengan 

menemukan telur atau parasit pada biopsi hati atau nekropsi. 

 

2. Pemicu  penyakit : Capillaria hepatica (Hepaticola hepatica). 

 

 

 87

3. Distribusi penyakit : Sejak dikenal sebagai penyakit pada manusia pada tahun 1924, 

sekitar 30 kasus dilaporkan dari Amerika Utara dan Selatan, Turki, Swiss, Cekoslowakia, 

Yugoslavia, Itali, Afrika, Hawai, India, Jepang dan Korea. 

 

4. Reservoir : Terutama menyerang tikus (86% tikus terinfeksi seperti disebutkan di 

beberapa laporan) Rodensia lain serta sebagian besar binatang rumah dan binatang liar 

juga berperan sebagai reservoir. Cacing dewasa hidup dan menghasilkan telur dihati. 

 

5. Cara penularan 

Cacing dewasa memproduksi telur yang matang dan hidup di hati hingga binatang hospes 

mati. Ketika hati yang terinfeksi ini dimakan, maka telur-telur dilepas melalui proses 

pencernaan, mencapai tanah melalui tinja dan berkembang menjadi infektif dalam waktu 2 

– 4 minggu