ungan dan tempat penitipan anak.
361
4. Reservoir – Manusia.
5. Cara penularan
Melalui droplet, sekret hidung dan tenggorokan selama periode infeksius. Tempat
masuknya kuman seringkali yaitu nasofaring.
6. Masa inkubasi – Tidak diketahui, mungkin sekitar 2-4 hari.
7. Masa penularan
Selama masih ada kuman di tenggorokan selama itu orang ini dapat menularkan
kepada orang lain; berlangsung cukup lama, walaupun tidak ada discharge hidung.
Penderita tidak lagi menular dalam waktu 24-48 jam setelah dimulainya pengobatan
dengan antibiotika yang efektif.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi. Imunitas timbul ditandai dengan adanya antibodi
bakterisidal dan atau antibodi antikapsul di dalam darah baik yang didapat secara
transplacental maupun sebab terinfeksi sebelumnya atau sebab imunisasi.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Upaya pencegahan
1) Melalui program imunisasi pada anak-anak. Beberapa jenis vaksin yang berisi
konyugat protein polisakarida dapat melindungi anak-anak dari meningitis pada
umur lebih dari 2 bulan dan vaksin ini telah terdaftar di AS sebagai vaksin tunggal
atau sebagai vaksin kombinasi dengan lainnya. Imunisasi dianjurkan mulai
diberikan sejak usia 2 bulan, diikuti dengan dosis berikutnya diberikan setelah 2
bulan, jumlah dosis bervariasi tergantung jenis vaksin yang digunakan. Semua
jenis vaksin membutuhkan booster pada usia 12-25 bulan. Imunisasi rutin tidak
dianjurkan pada anak usia di atas 5 tahun.
2) Lakukan pengamatan kasus yang mungkin timbul pada populasi yang rentan
seperti pada tempat-tempat penitipan anak dan rumah yatim piatu.
3) Berikan penyuluhan kepada orang tua tentang kemungkinan timbulnya kasus
sekunder pada saudara penderita yang berumur kurang dari 4 tahun dan perlu
dilakukan evaluasi dan pengobatan bila ditemukan penderita dengan demam atau
kaku kuduk.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; di daerah endemis tertentu di
Amerika Serikat wajib dilaporkan, kelas 3 B (lihat pelaporan tentang penyakit
menular).
2) Isolasi: Isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulainya pengobatan.
3) Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Perlindungan kontak: Pengobatan profilaksis dengan rifampin (diberikan oral
sehari sekali selama 4 hari dengan dosis 20 mg/kg BB, dosis maksimal 600
mg/hari), diberikan kepada semua kontak serumah (termasuk orang dewasa)
362
dimana di dalam rumah ini ada satu atau lebih bayi (selain dari kasus indeks)
yang berumur kurang dari 12 bulan atau di rumah ini ada anak berumur 1-3
tahun yang tidak mendapatkan imunisasi secara adekuat. Apabila dua atau lebih
kasus invasive ditemukan dalam waktu 60 hari, anak-anak yang tidak diimunisasi
atau diimunisasi tidak lengkap berkunjung ke tempat penitipan anak ini ,
maka dilakukan pemberian rifampin kepada semua pengunjung dan petugas
perawatan anak. Bila hanya timbul satu kasus saja, pemberian pengobatan
profilaksis dengan rifampin masih diperdebatkan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: lakukan pengamatan kontak bagi mereka
yang berusia di bawah 6 tahun khususnya terhadap bayi yang ada di rumah, yang
berada pada pusat perawatan anak untuk melihat kalau ada tanda-tanda sakit
khususnya demam.
7) Pengobatan spesifik: Ampisilin merupakan obat pilihan (dalam bentuk suntikan
200-400 mg/kg BB/hari). Oleh sebab 30% dari strain yang ada sudah resisten
terhadap ampisilin oleh sebab bakteri ini memproduksi beta laktamase,
maka dianjurkan untuk memakai ceftriaxione, cefotaxime atau
chloramphenicol bersama dengan ampisilin atau tersendiri sampai saat hasil tes
sensitivitas terhadap antibiotika diperoleh. Pasien harus diberi rifampin, sebelum
dipulangkan dari rumah sakit untuk memastikan eliminasi kuman.
C. Penanganan KLB: Tidak dilakukan.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Tidak ada.
II.C. PNEUMOCOCCAL MENINGITIS ICD-9 320.1; ICD-10 G00.1
Meningitis pneumokokus memiliki angka kematian yang sangat tinggi. Dapat muncul
dalam bentuk fulminan dan timbul bakterimia tanpa harus ada infeksi di tempat lain,
walaupun mungkin terjadi otitis media atau mastoiditis pada saat yang sama. Biasanya
penyakit muncul tiba-tiba berupa demam tinggi, kelemahan umum atau koma dan tanda-tanda
iritasi meningeal. Pneumococcal meningitis dapat muncul sebagai penyakit sporadis pada
neonatus, pada orang usia lebih tua dan kelompok tertentu yang berisiko seperti pasien tanpa
limpa dan pada penderita dengan hipogamaglobulinemia. Fraktur pada basioscranii
memicu terjadi hubungan yang menetap dengan nasofaring diketahui sebagai faktor
predisposisi.
363
II.D. NEONATAL MENINGITIS ICD-9 320.8, 771.8; ICD-10 P37.8, P35-P37, G00,G03
Neonatus dengan neonatal meningitis, timbul letargi, kejang, episode apnoe (napas
terhenti), susah makan, hipotermi dan kadang-kadang terjadi gangguan berat pada
pernafasan dan biasanya terjadi pada minggu-minggu pertama kehidupan. Hitung darah
putih bisa meningkat atau menurun. Kultur LCS memperlihatkan adanya streptokokus
grup B, Listeria monocytogenes (lihat Listeriosis), E. coli K-1 atau kuman lainnya yang
didapat melalui jalan lahir. Bayi usia 2 minggu-2 bulan bisa menunjukkan gejala yang
sama, ditemukan mikroorganisme Streptokokus grup B atau kelompok Klebsiella-
Enterobacter-Serratia didalam LCS dan bakteri ini biasanya didapat dari ruang
perawatan. Meningitis pada kedua grup ini berkaitan dengan terjadinya septikemia.
Pengobatan dilakukan dengan ampisilin ditambah dengan obat generasi ketiga
cephalosporin atau aminoglycoside, sampai kuman Pemicu diketahui dan hasil tes
sensitivitas terhadap antibiotika sudah ada.
MOLLUSCUM CONTAGIOSUM ICD-9 078.0; ICD-10 B08.1
1. Identifikasi
Suatu penyakit virus yang menyerang kulit berupa tonjolan di kulit dengan permukaan
yang halus, lembut berupa papula sferis dengan cekungan di puncaknya. Lesi biasanya
Tampak berwarna seperti daging, putih, bening atau kadang-kadang kuning. Kebanyakan
papula pada moluskum berdiameter 2-5 mm, namun papula pada giant cell molluscum
(kadang-kadang berdiameter lebih besar dari 15 mm). Lesi pada orang dewasa sering
terdapat pada bagian bawah dinding perut, daerah pubis, alat kelamin atau paha sebelah
dalam; lesi pada anak-anak seringkali terdapat di daerah muka, leher dan pangkal
ekstremitas. Lesi cenderung menyebar pada pasien HIV. Kadang-kadang lesi terasa gatal
dan sehingga tampak lesi berupa garis, yang mungkin disebabkan oleh auto inokulasi
sebab garukan. Juga pada penderita tertentu, 50-100 lesi bisa menyatu dan membentuk
sebuah plaque.
Tanpa pengobatan molluscum contagiosum bertahan selama 6 bulan sampai 2 tahun.
Setiap lesi bertahan selama 2-3 bulan. Lesi dapat menghilang secara spontan atau muncul
sebagai radang akibat infeksi sekunder atau setelah terjadi suatu trauma. Pengobatan
(dengan melakukan pengangkatan molluscum contagiosum secara mekanis) dapat
memperpendek masa sakit.
Diagnosis klinis dapat dibuat apabila ditemukan lesi multiple. Untuk konfirmasi diagnosa,
inti dari molluscum diletakkan pada slide dan diperiksa di bawah mikroskop lampu biasa
maka akan tampak inclusion bodies basofilik klasik, Feulgen-positif, yaitu
intracytoplasmic inclusion, disebut juga dengan nama Molluscum bodies atau Henderson-
Paterson bodies. Dengan pemeriksaan histology dapat ditegakkan diagnosa pasti.
2. Pemicu infeksi
Anggota dari famili Poxyviridae, genus Molluscipoxvirus; genus ini paling tidak terdiri
dari 2 spesies yang dibedakan dari peta DNA endonuclease cleavage. Virus ini tidak
pernah bisa tumbuh di dalam kultur sel.
364
3. Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia. Tes serologis belum terstandarisasikan dengan baik. Oleh
sebab itu pemeriksaan kulit merupakan satu-satunya teknik skrining yang ada. Hasil
penelitian epidemiologis dari penyakit masih sangat terbatas. Survei pada warga
pernah dilakukan hanya di Papua Nugini dan Fiji, dimana insidensi tertinggi dari penyakit
ini terjadi pada anak-anak.
4. Reservoir: Manusia.
5. Cara Penularan
Biasanya melalui kontak langsung. Penularan terjadi baik secara seksual maupun non
seksual, termasuk penyebaran melalui barang dan pakaian. Dicurigai adanya auto
inokulasi.
6. Masa inkubasi: dari inokulasi secara eksperimental, masa inkubasi berlangsung 19-50
hari; sedang dari laporan-laporan klinis masa inkubasi berlangsung 7 hari sampai 6
bulan.
7. Masa penularan: Tidak diketahui, namun penularan mungkin dapat terjadi selama ada lesi.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua usia dapat terkena; lebih sering menyerang anak-anak. Penyakit ini lebih sering
timbul pada penderita AIDS, dimana lesi bisa tersebar di seluruh tubuh.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Upaya Pencegahan: Hindari kontak dengan penderita.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan ke instansi kesehatan setempat; laporan resmi tidak diwajibkan, Kelas 5
(lihat laporan penyakit menular).
2) Isolasi: pada umumnya tidak perlu. Anak yang terinfeksi dengan lesi yang jelas
dilarang mengikuti kegiatan olah raga yang mengharuskan terjadi kontak dekat
misalnya olah raga gulat.
3) Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Bila mungkin dilakukan investigasi
pasangan seksual penderita.
7) Pengobatan spesifik: Pengobatan ditujukann untuk mengurangi risiko penularan.
Penguretan dengan anestesi lokal atau dengan mengoleskan cantharidin atau
bahan yang bersifat keratolitik (seperti asam salisilat atau asam laktat). Pembekuan
dengan nitrogen cair juga dapat dilakukan.
C. Upaya penanggulangan KLB: Pada waktu KLB tunda dulu kegiatan-kegiatan yang
memicu terjadinya kontak langsung.
365
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Tidak ada.
MONONUCLEOSIS, INFECTIOUS ICD-9 075; ICD-10 B27
(Mononukleosis Gammaherpesviral; Mononukleosis yang disebabkan oleh virus Epstein-
Barr, demam Glandular, Monocytic angina).
1. Identifikasi
Sindrom virus akut, gejala klinis ditandai dengan demam, nyeri tenggorokan (sering
dengan faringotonsilitis eksudatif), limfadenopati (khususnya bagian posterior) dan terjadi
pembesaran limpa; secara hematologis ditandai dengan mononukleosis dan limfositosis
sebesar 50% atau lebih, termasuk 10% atau lebih sel atipik; secara serologis ditandai
dengan ditemukannya antibodi heterofil dan antibodi virus Epstein-Barr (EBV).
Penyembuhan biasanya terjadi dalam waktu beberapa minggu, sebagain kecil penderita
baru sembuh setelah beberapa bulan untuk pulih kembali tenaganya. Tidak ada bukti
bahwa pada orang ini telah terjadi infeksi yang kronis.
Pada anak-anak penyakit ini biasanya muncul dengan gejala ringan dan sulit untuk
diketahui. Ikterus timbul pada 4% kasus dewasa walaupun 95% penderita menunjukkan
kelainan fungsi hati dan 50% kasus dengan pembesaran limpa. Lamanya sakit
berlangsung dari 1 sampai beberapa minggu; penyakit ini sangat jarang yang fatal.
Penyakit ini lebih berat bila diderita oleh orang dewasa. Pemicu infeksi yaitu EBV,
virus ini juga berkaitan erat dengan patogenesa dari berbagai jenis limfoma dan kanker
nasofaring (lihat bab keganasan yang disebabkan oleh infeksi kuman). Kelainan
immunoproliferative yang fatal sebagai akibat ekspansi dari limfosit B yang terinfeksi
oleh poliklonal EBV dapat terjadi pada orang dengan kelainan X-linked recessive
immunoproliferative; juga dapat timbul pada orang dengan gangguan imunitas yang
didapat, seperti pada penderita AIDS, penerima transplantasi dan pasien yang mendapat
pengobatan dengan obat imunosupresif jangka panjang.
Hampir sekitar 10-15% kasus-kasus infeksi mononucleosis yaitu heterofil negatif.
Bentuk heterofil negatif dari gejala klinis mononucleosis infectiosa sebagai bukti bahwa
penyakit ini disebabkan oleh infeksi cytomegalovirus dan menduduki tempat sekitar
5-7% dari “monosyndrome” (lihat infeksi cytomegalo virus); Pemicu lain yang jarang
yaitu toxoplasmosis (qv) dan virus herpes tipe 6 (lihat Exanthem Subitum setelah infeksi
Rubella). Penyakit yang menyerupai “monosyndrome” dapat muncul lebih awal pada
penderita infeksi HIV. Untuk membedakan berbagai Pemicu mononucleosis infestiosa
yaitu dengan pemeriksaan laboratorium antara lain dengan pemeriksaan IgM untuk virus
EBV; hanya EBV yang dapat memberikan hasil “the true” antibodi heterofil. EBV
sebagai Pemicu kasus heterofil positif maupun kasus yang heterofil negatif
pada”monosyndrome”.
Diagnosa laboratorium ditegakkan berdasarkan penemuan adanya peningkatan
limfositosis melebihi 50% (termasuk 10% atau lebih bentuk abnormal), kelainan tes
fungsi hati (AST) atau adanya peningkatan titer antibodi heterofil setelah dilakukan
absorpsi serum dengan ginjal marmot. Tes yang paling sensitif dan tersedia secara
366
komersial yaitu tes absorbsi eritrosit kuda; tes yang paling spesifik dan sering digunakan
yaitu qualitative slide agglutination assay. Anak kecil mungkin tidak memperlihatkan
adanya kenaikan titer heterofil, heterofil negatif dan bentuk-bentuk atipik jarang sekali
ditemukan pada usia yang lebih dewasa. Apabila tersedia di pasaran, maka tes IFA untuk
antibodi spesifik IgM dan Ig A untuk viral capsid antigen (VCA) atau antibodi terhadap
“early antigen” dari virus Pemicu sangat membantu untuk diagnosa kasus-kasus
heterofilik negatif, antibodi spesifik terhadap nuclear antigen EBV (EBNA) biasanya
tidak ditemukan pada fase akut. Dengan demikian titer anti VCA yang positif dan titer anti
EBNA negatif merupakan ciri respons diagnostik dari infeksi EBV primer fase awal.
2. Pemicu infeksi
Pemicu infeksi yaitu virus Epstein-Barr (EBV), human (gamma) herpes virus-4 yang
sangat mirip dengan virus herpes lainnya secara morfologis, namun berbeda secara
serologis; virus ini menginfeksi dan merubah limfosit B.
3. Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia. Infeksi sering terjadi pada anak-anak di negara berkembang
pada kelompok warga dengan sosioekonomi lemah, gejala penyakit biasanya ringan
atau tanpa gejala. Mononucleosis infectiosa yang khas terutama ditemukan di negara-
negara maju, dimana umur yang terkena infeksi tertunda sampai usia anak yang lebih
besar dan masa dewasa muda, sehingga seringkali ditemukan di sekolah menengah atas
dan universitas. Kira-kira 50% dari mereka yang terinfeksi akan menunjukkan gejala
infeksi klinis mono; yang lainnya kebanyakan asimptomatik.
4. Reservoir: Manusia.
5. Cara penularan
Menyebar dari orang ke orang melalui rute orofaring, melalui ludah. Anak-anak dapat
terinfeksi melalui saliva yang ada di tangan suster atau orang yang mengasuhnya dan
ludah yang melekat di mainan atau dari “papak” makanan bayi oleh si ibu, suatu praktek
pemberian makanan bayi yang ada di beberapa negara berkembang yaitu si ibu
mengunyah makanan bayi sebelum disiapkan kepadanya. Menyebar melalui ciuman pada
orang dewasa muda. Penyebaran dapat juga terjadi melalui transfusi darah kepada
penerima yang rentan, namun jarang muncul penyakit secara klinis setelah itu. Reaktivasi
EBV memainkan peran penting terjadinya pneumonia iinterstitial pada bayi dengan
infeksi HIV dan terjadinya hairy leukoplakia dan B-cell tumors pada penderita HIV
dewasa.
6. Masa inkubasi: dari 4 sampai 6 minggu.
7. Masa penularan
Masa penularan sangat panjang; penularan melalui ekskresi faring, tetap berlangsung
dalam bentuk bebas sel selama setahun atau lebih setelah infeksi; 15-20% atau lebih orang
dewasa sehat dengan antibodi positif terhadap EBV merupakan carrier yang
berkepanjangan dimana virus berada di dalam orofaring.
367
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi. Infeksi yang terjadi dapat merangsang timbulnya
kekebalan. Imunitas yang timbul sebab pengalaman infeksi pada masa anak-anak bisa
menjelaskan kenapa jarang sekali ditemukan kasus klinis pada warga dengan tingkat
sosioekonomi rendah. Biasanya infeksi yang terjadi pada masa anak-anak tanpa gejala.
Reaktivasi EBV dapat terjadi pada orang dengan imunodefisiensi, akibatnya terjadi
peningkatan titer antibodi terhadap EBV, namun bukan antibodi heterofil. Reaktivasi ini
dapat juga merangsang terjadinya limfoma.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Upaya pencegahan
Sulit dilakukan. Terapkan standar kebersihan perorangan dan lingkungan seperti
mencuci tangan untuk menghindari kontaminasi dengan ludah dari orang yang
terinfeksi; Hindari minum dari tempat yang sama untuk mengurangi kontak dengan
ludah.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Laporan resmi tidak diperlukan, Kelas 5
(lihat pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak dilakukan.
3) Desinfeksi serentak: Lakukan benda-benda yang terkena sekret hidung dan
tenggorokan.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Untuk kasus individual, kurang
bermanfaat.
7) Pengobatan spesifik: Tidak ada. Obat anti inflamasi nonsteroid atau steroid dalam
dosis kecil dengan dosis yang diturunkan secara bertahap selama kurang lebih
seminggu pada kasus toksik berat dan apsien dengan gangguan oropharingeal berat
dan gangguan nafas.
C. Penanganan KLB: Tidak ada.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
MUMPS ICD-9 072; ICD-10 B26
(Infectious parotitis)
1. Identifikasi
Merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus, di warga Indonesia
penyakit ini disebut gondongen atau radang kelenjar gondok. Di sebut juga parotitis
infectiosa. Gejala klinis ditandai dengan timbulnya demam, pembengkakan dan
melemahnya satu atau lebih kelenjar ludah. Biasanya kelenjar yang terkena yaitu
kelenjar parotis, kelenjar sublingualis dan kelenjar submaksilaris.
368
Dapat terjadi orchitis unilateral dan menyerang 20-30% dari laki-laki setelah usia
pubertas. sedang pada wanita dapat terjadi mastitis yang mengenai sekitar 31% dari
wanita berusia 15 tahun ke atas walaupun dapat terjadi sterilitas namun kasusnya sangat
jarang. Kira-kira 40-50% infeksi oleh virus mumps ini dapat menimbulkan gejala pada
saluran pernafasan terutama pada anak usiadi bawah 5 tahun. Tidak semua parotitis
disebabkan oleh infeksi virus mumps; namun infeksi oleh organisme lain yang juga
memicu timbulnya parotitis tidak muncul dalam skala KLB seperti halnya pada
infeksi oleh virus mumps. Infeksi mumps dapat memicu hilangnya pendengaran
sensorineural dengan insidensi kejadian 5/100.000 kasus. Ensefalitis dapat juga terjadi
namun sangat jarang (1-2/10.000 kasus); pankreatitis biasanya ringan terjadi pada 4% dari
penderita. Diduga pankreatitis ini dapat memicu terjadinya diabetes, namun belum
terbukti.
Gejala sisa yang permanen berupa paralysis, kejang dan hidrosefalus sangat jarang, seperti
halnya kematian pada penderita mumps juga sangat jarang terjadi. Mumps yang terjadi
pada trimester pertama kehamilan dapat meningkatkan terjadinya aborsi, namun belum
terbukti infeksi mumps dapat memicu kecacatan pada janin.
Infeksi akut oleh virus mumps dibuktikan dengan adanya kenaikan titer antibodi IgG
secara bermakna dari serum akut dan serum konvalesens. Pemeriksaan serologis yang
umum digunakan untuk mendiagnosa adanya infeksi mumps akut atau yang baru saja
terjadi yaitu ELISA, tes HI dan CF. Kekebalan terhadap mumps dapat diketahui dengan
pemeriksaan EIA, IFA atau tes netralisasi. Virus dapat diisolasi dari mukosa buccal, 7 hari
sebelum dan 9 hari sesudah terjadi pembesaran kelenjar ludah. Virus dapat juga diisolasi
dari air seni 6 hari sebelum dan 15 hari sesudah terjadinya parotitis.
2. Pemicu Infeksi
Virus mumps (gondok), anggota dari famili Paramyxoviridae, genus Paramyxovirus, yang
sifat antigenisitasnya sama dengan Parainfluenza virus.
3. Distribusi Penyakit
Mumps yaitu penyakit yang jarang ditemukan jika dibandingkan dengan penyakit-
penyakit lain yang umum menyerang anak seperti campak, cacar air, walaupun jarang
terjadi namun pada warga yang tidak diimunisasi, dalam suatu penelitian ditemukan
85% diantara mereka sampai dewasa sudah pernah mengalami infeksi virus mumps. Kira-
kira sepertiga mereka yang rentan yang terpajan dengan infeksi virus mumps merupakan
infeksi tanpa gejala. Kebanyakan infeksi yang terjadi pada anak-anak usia di bawah 2
tahun bersifat subklinis. Penyakit ini paling sering muncul pada musim dingin dan musim
semi.
Di AS, insidensi mumps menurun secara drastis sejak vaksinasi terhadap mumps
dilakukan secara luas. Vaksin mumps pertama kali diijinkan beredar di AS pada tahun
1967. penurunan ini terjadi pada semua umur, namun dengan tingginya cakupan imunisasi
pada bayi, maka infeksi virus mumps bergeser pada usia anak yang lebih tua, adolescents
dan dewasa muda. KLB yang terjadi pada tahun 1980 disebabkan rendahnya cakupan
imunisasi terhadap mumps, sehingga yang terserang yaitu mereka yang tidak
diimunisasi. sedang KLB yang terjadi belakangan ini terjadi pada warga yang
cakupan imunisasinya tinggi. Selama tahun 1990-an insidensi tahunan mumps menurun
secara pasti. Dan pada tahun 1997 di seluruh AS hanya dilaporkan kurang dari 700 kasus
setahun.
369
4. Reservoir: Manusia.
5. Cara penularan
Penularan terjadi melalui udara, melalui percikan ludah, atau sebab kontak langsung
dengan ludah orang yang terinfeksi.
6. Masa inkubasi
Sekitar 15-18 hari (rata-rata 14-25 hari).
7. Masa penularan
Virus dapat diisolasi dari ludah 6-7 hari sebelum terjadi parotitis hingga 9 hari sakit.
Penularan tertinggi dapat terjadi antara 2 hari sebelum hingga 4 hari setelah sakit. Infeksi
yang laten dapat menular.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Kekebalan yang timbul umumnya seumur hidup. Kekebalan dapat terbentuk setelah
mengalami infeksi yang tidak kelihatan atau infeksi dengan gejala klinis. Sebagian besar
orang dewasa, umumnya yang lahir sebelum tahun 1957, kemungkinan sudah terinfeksi
secara alamiah dan kemungkinan sekali sudah kebal, walaupun mereka tidak
menunjukkan gejala klinis. Ditemukannya antibodi IgG terhadap mumps melalui
pemeriksaan serologis sebagai bukti adanya imunitas terhadap mumps.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada warga , Anjurkan warga untuk
mengimunisasikan anak-anak mereka yang berusia di atas satu tahun yang lahir
pada tahun 1957 atau setelah itu.
2) Vaksin yang dibuat dari virus mumps yang telah dilemahkan (live attenuated)
dengan memakai strain virus Jeryl Lynn, sudah beredar di AS sejak tahun
1967 sebagai vaksin tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan vaksin lain
(MMR). Timbulnya reaksi samping yang berat setelah pemberian imunisasi
tergantung dari jenis virus yang dipakai untuk membuat vaksin. Pada salah satu uji
coba yang dilakukan, insidensi timbulnya demam pada mereka yang diberi
imunisasi dibandingkan dengan mereka yang diberikan placebo sama besar. Di
AS dilaporkan bahwa 1% dari mereka yang diimunisasi mengalami parotitis, 2
minggu setelah diimunisasi. sedang yang jarang sekali terjadi yaitu
meningitis aseptik, ensefalitis dan trombositopenia. Pemberian imunisasi kepada
orang yang sudah kebal sebab imunisasi atau yang kebal sebab infeksi alamiah
tidak meningkatkan risiko timbulnya efek samping pasca imunisasi. Lebih dari
95% mereka yang diimunisasi kemungkinan kebal seumur hidup. Vaksin mumps
dapat diberikan kapan saja setelah usia satu tahun, dalam bentuk MMR diberikan
pada usia 12-15 bulan. Jadwal imunisasi yang dilakukan di AS dengan pemberian
2 dosis MMR, akan melindungi warga dari infeksi virus mumps. Dosis
pertama diberikan pada usia 12 bulan dan dosis kedua dianjurkan untuk diberikan
pada usia 4-5 tahun. Namun pada saat dilakukan upaya akselerasi jadwal imunisasi
MMR dan pada saat dilakukan upaya untuk meningkatkan cakupan imunisasi
370
dengan “catch-up campaign”, maka dosis kedua diberikan 1 bulan (28 hari)
setelah dosis pertama. Upaya khusus perlu dilakukan untuk memberikan imunisasi
kepada anak-anak yang tidak jelas status imunisasinya sebelum mereka mencapai
usia akil baliq. Mereka dengan status imunosupresi merupakan kontraindikasi
pemberian imunisasi vaksin mumps. Namun mereka yang mendapat pengobatan
steroid dengan dosis selang-seling dengan interval satu hari, atau mereka yang
mendapat pengobatan steroid dalam bentuk aerosol atau topikal boleh diberikan
imunisasi mumps. Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil tiga bulan
lagi, tidak dianjurkan untuk diberikan imunisasi mumps dengan alasan teoritis
dikhawatirkan akan terjadinya kelainan pada abyi mereka, walaupun secara praktis
hal ini tidak pernah terjadi. Penjelasan lebih lanjut tentang vaksin mumps, lihat
penjelasan rinci pada bab measles/campak dan rubella. Pada bab ini
dijelaskan tentang cara-cara penyimpanan dan transportasi vaksin dan
kontraindikasinya.
B. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: laporan bersifat selektif, Kelas 3B
(lihat laporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Lakukan isolasi terhadap saluran pernafasan dan sediakan ruangan khusus
selama 9 hari setelah timbulnya parotitis apabila disekitar mereka banyak orang
yang rentan (tidak diimunisasi).
3) Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap semua barang-barang yang
tercemar oleh sekret hidung dan tenggorokan.
4) Karantina: Liburkan mereka yang rentan dan yang pernah terpajan dengan
penderita dari sekolah atau pekerjaan selama 12-25 hari setelah terpajan, apabila di
lingkungan sekolah atau pekerjaan mereka banyak anak atau orang yang rentan.
5) Imunisasi kontak: Walaupun pemberian imunisasi setelah seseorang terpajan tidak
melindungi mereka untuk menjadi sakit. Namun terhadap kontak yang telah
diimunisasi yang kemudian tidak sakit maka pemberian imunisasi ini akan
melindungi mereka terhadap infeksi berikutnya. Pemberian IG (Immune Globulin)
tidak efektif dan tidak dianjurkan.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber penularan infeksi: cari orang-orang yang
rentan dan kepada mereka harus diimunisasi.
7) Pengobatan khusus: Tidak ada.
C. Cara-cara Penanggulangan KLB
Lakukan imunisasi kepada kelompok yang rentan; khususnya kelompok risiko tinggi;
skrining serologis untuk mengidentifikasi mereka yang rentan, tidak praktis dan tidak
perlu, sebab tidak ada risiko apapun kalau imunisasi diberikan kepada mereka yang
sudah kebal.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
371
MYALGIA, EPIDEMIC ICD-9 074.1; ICD-10 B33.0
(Epidemic pleurodynia, penyakit Bornholm, Devil’s grippe)
1. Identifikasi
Epidemic myalgia atau mialgia epidemika yaitu penyakit akut yang ditandai dengan rasa
sakit paroksismal di sekitar wilayah dada atau perut yang mungkin diperberat sebab
banyak bergerak dan biasanya disertai demam dan sakit kepala. Pada balita dan anak-
anak, rasa sakit ini cenderung menyerang daerah perut dibandingkan dengan daerah dada
namun kebalikannya dengan orang dewasa. Kebanyakan penderita akan pulih kembali
setelah 1 minggu, namun kemungkinan kambuh lagi dapat terjadi; tidak ada kejadian fatal
yang pernah dilaporkan. Karakteristik dari penyakit ini timbul sebagai KLB terbatas.
Karakteristik munculnya sebagai KLB terbatas ini sangat penting untuk membedakannya
dari tanda-tanda klinis kasus-kasus bedah akut yang lebih serius, yang memerlukan
tindakan bedah. Komplikasi walaupun jarang dapat terjadi seperti: orchitis, pericarditis,
pneumonia dan aseptic meningitis. Selama terjadi KLB epidemic myalgia, miokarditis
yang disebabkan oleh kelompok B coxsackievirus pernah dilaporkan terjadi; sementara
komplikasi miokarditis yang terjadi pada orang dewasa walaupun jarang terjadi namun
kemungkinan terjadinya komplikasi ini harus dipertimbangkan. Diagnosis terjadinya KLB
mialgia epidemika ini ditengarai kalau ada beberapa anggota keluarga yang memiliki
gejala yang sama; diagnosis ditegakkan dengan adanya peningkatan signifikan titer
antibodi spesifik terhadap Pemicu infeksi pada sera darah akut dan konvalesens atau
dengan isolasi virus dari kultur sel atau bayi tikus yang diinokulasi dengan spesimen
sekret tenggorokan atau tinja pasien.
2. Pemicu infeksi
Pemicu infeksi yaitu grup B coxsackievirus tipe 1-3, 5 dan 6, dan echovirus 1 dan 6.
Grup A dan B coxsackievirus dan echovirus telah dilaporkan sebagi Pemicu terjadinya
kasus yang sporadis.
3. Distribusi penyakit
penyakit ini sangat jarang terjadi, biasanya terjadi pada musim panas dan awal musim
gugur; biasanya menyerang anak-anak dan dewasa muda usia 5-15 tahun, namun semua
umur dapat terserang. Beberapa orang penderita dapat dan sering muncul dalam satu
keluarga. Beberapa KLB penyakit ini pernah dilaporkan terjadi di Eropa, Amerika Utara,
Australia dan Selandia Baru.
4. Reservoir: Manusia
5. Penularan
Penularan dapat terjadi melalui rute orofekal atau melalui droplet orang yang terinfeksi
atau secara tidak langsung dapat menular melalui benda yang tercemar dengan tinja atau
discharge tenggorokan orang yang terinfeksi, orang ini mungkin dengan atau tanpa gejala.
Grup B coxsackievirus ditemukan pada limbah buangan dan lalat, namun cara
penularannya kepada manusia tidak jelas.
372
6. Masa Inkubasi: Biasanya 3-5 hari.
7. Masa penularan
Penularan terjadi selama fase akut dari penyakit, tinja penderita mengandung virus selama
beberapa minggu.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan, kekebalan spesifik yang muncul mungkin sebagai akibat dari infeksi.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan: Tidak ada.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan wajib dilakukan Kalau
terjadi KLB, Kelas 4 (lihat laporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Tindakan isolasi biasanya dilakukan terbatas pada tindkan kewaspadaan
enterik. Oleh sebab jika penyakit ini menyerang bayi yang baru lahir dapat
menjadi sangat serius maka apabila ada ibu atau pasien yang dirawat di klinik ibu
dan anak yang menderita suatu penyakit yang diduga disebabkan oleh enterovirus
maka tindakan kewaspadaan enterik ini harus segera dilakukan. Dokter, perawat,
staf klinik atau rumah sakit yang menderita infeksi enterovirus harus
dibebastugaskan sampai mereka sembuh.
3) Disinfeksi serentak: Lakukan pembuangan tinja dan discharge dengan cara aman;
cuci atau buanglah benda-benda yang tercemar. Perhatian ekstra hati-hati
sebaiknya diberikan kepada mereka yang merawat penderita untuk mencuci tangan
hingga bersih setelah menangani discharge, tinja dan benda-benda yang
terkontaminasi.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada.
6) Investigasi terhadap sumber infeksi dan kontak: Tidak praktis.
7) Pengobatan spesifik: Tidak ada.
C. Cara-cara Penanggulangan KLB
Pada waktu terjadi KLB, beritahukan semua dokter praktek swasta dan dokter rumah
sakit bahwa telah terjadi KLB. Diingatkan agar hati-hati dalam menegakkan diagnosa
penyakit ini sebab gejalanya mirip dengan gejala penyakit serius yang memerlukan
tindakan bedah seperti pada akut abdomen.
D. Implikasi penyakit bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
373
MYCETOMA ICD-9 039; ICD-10 B47
ACTINOMYCETOMA ICD-9 039; ICD-10 B47.1
EUMYCETOMA ICD-9 117.4; ICD-10 B47.0
(Maduromycosis, Madura foot)
1. Identifikasi
Suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh bermacam-macam bakteri aerob
actinomycetes dan eumycetes (jamur), ditandai dengan terjadinya pembengkakan dan
pembentukan nanah jaringan subkutan serta pembentukan sinus tract dengan granula yang
tampak jelas pada nanah yang keluar dari sinus tract. Lesi biasanya terjadi pada telapak
kaki atau tungkai bagian bawah, kadang-kadang pada tangan, bahu dan punggung, namun
jarang di tempat lain.
Mycetoma mungkin sulit dibedakan dengan chronic osteomyelitis dan botryomycosis,
yang disebut belakangan secara klinis dan patologis entitasnya sama yaitu disebabkan oleh
berbagai jenis bakteri seperti stafilokokus dan bakteri gram negatif.
Diagnosa spesifik ditegakkan dengan ditemukannya granula pada preparat baru atau pada
histopathologic slide dan isolasi actinomycetes atau jamur dalam kultur.
2. Pemicu penyakit
Eumycetoma disebabkan oleh Madurella mycetomatis, M. grisea, Pseudallescheria
(Petriellidium) boydii, Scedosporium (Monosporium) apiospermum, Exophiala
(Phialophora) feanselmei, Acremonium (Cephalosporium) recifei, A. falciforme,
Leptosphaeria senegalensis, Neotestudina rosatii, Pyrenochaeta romeroi atau beberapa
spesies lainnya. Actinomycetoma disebabkan oleh Nocardia brasiliensis, N. asteroids, N.
otitidiscaviarum, Actinomadura madurae, A. pelletieri, Nocardiopsis dassonvillei atau
Streptomyces somaliensis.
3. Distribusi penyakit
Jarang sekali ditemukan di Amerika Serikat, sering ditemukan di Meksiko, Afrika Utara,
Asia Selatan dan daerah tropis dan subtropics lainnya, khususnya di daerah dimana orang-
orang biasa bepergian tanpa alas kaki.
4. Reservoir: tanah dan tanaman yang membusuk.
5. Cara penularan
Implantasi conidia atau elemen hyphal kedalam jaringan subkutan dari sumber
saprophytic melalui penetrasi luka.
6. Masa inkubasi: Biasanya satu bulan.
7. Masa penularan: Tidak menular dari satu orang ke orang lain.
8. Kerentanan dan kekebalan
Walaupun Pemicu infeksi tersebar luas di alam, infeksi yang sampai menimbulkan
gejala klinis jarang terjadi, hal ini membuktikan bahwa ada kekebalan intrinsic didalam
tubuh manusia.
374
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
Lindungi bagian-bagian tubuh dari hal-hal yang dapat memicu luka dengan cara
memakai sepatu atau pakaian pelindung.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: laporan resmi biasanya tidak
diperlukan, Kelas 5 (lihat laporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Desinfeksi serentak: Tidak ada, lakukan tindakan menjaga kebersihan seperti
biasa.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Tidak dilakukan.
7) Pengobatan spesifik: Sebagian penderita dengan infeksi eumycetoma memberikan
respons yang baik dengan pengobatan itraconazole atau ketoconazole; sebagian
penderita actinomycetoma memberi respons yang baik dengan clindamycin, TMP-
SMX atau dengan long acting sulfonamides. Untuk actinomycosis, penisilin cukup
bermanfaat dan biasanya tidak bermanfaat untuk yang lain. Pada lesi yang masih
kecil, reseksi terhadap lesi cukup membantu sedang tindakan amputasi
diperlukan untuk lesi yang besar dan parah.
C. Cara-cara Penanggulangan KLB: Tidak dilakukan, sebab penyakit bersifat sporadis.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat Kolaborasi WHO.
NAEGLERIASIS DAN ACANTHAMEBIASIS ICD-9 136.2; ICD-10 B60.2; B60.1
(Primary amebic meningoencephalitis)
1. Identifikasi
Pada naegleriasis ameboflagellate hidup menyerang otak dan selaput otak melalui
mukosa hidung dan nervus olfactorius; invasi ini memicu terjadinya gejala yang
khas sindroma fulminating pyogenic, meningoencephalitis (primary amebic
meningoencephalitis (PAM) dengan gejala sakit tenggorokan, sakit kepala yang hebat,
kadang-kadang disertai dengan halusinasi penciuman, nausea, muntah, demam tinggi,
kaku kuduk dan somnolen, serta penderita meninggal dalam 10 hari; biasanya penderita
meninggal pada hari kelima atau keenam. Penyakit ini sering terjadi pada anak muda baik
laki-laki maupun perempuan dengan active immunocompetent (status kekebalan tubuhnya
baik).
Sebaliknya berbagai jenis Acanthamoeba dan Balamuthia mandrillaris (leptomyxid
amebae) dapat menyerang otak dan selaput otak individu dengan kekebalan tubuh yang
kurang dan kemungkinan masuk melalui lesi kulit, tanpa melalui jaringan organ
375
penciuman dan hidung; infeksi spesies ini sebagai Pemicu penyakit granulomatous
(granulomatous amebic encephalitis [GAE]), ditandai dengan timbulnya penyakit secara
perlahan dan penyakit menghilang pada hari kedelapan atau bisa sampai berbulan-bulan.
Pada acanthamebiasis, selain memicu GAE maka spesies Acanthamoeba (A.
polyphaga, A. castellanii) juga dapat memicu lesi granulomatous kronis pada kulit,
dengan atau tanpa invasi sekunder SSP. Infeksi pada mata (Conjunctivitis yang
disebabkan oleh Acanthamoeba, ICD-10 H13.1) dan infeksi pada kornea
(Keratoconjunctivitis yang disebabkan oleh Acanthamoeba, ICD-10 H19.2), dapat
menimbulkan kebutaan.
Diagnosa suspek PAM atau GAE ditegakkan dengan pemeriksaan terhadap preparat basah
dari LCS segar atau preparat LCS yang dicat dengan pewarnaan, dimana amuba motile
kemungkinan akan kelihatan. Pada suspek infeksi Acanthamoeba, penegakan diagnosis
dibuat dengan pemeriksaan mikroskopis terhadap preparat dari kerokan, aspirat atau
preparat apus mata dan lesi kulit, maupun dengan kultur agar nonnutrient yang ditanami
Escherichia coli, Klebsiella aerogenes atau spesies Enterobacter lain yang cocok.
sedang Balamuthia membutuhkan kultur sel mamalia untuk isolasi. Trofosoid
Naegleria bisa membentuk flagela setelah beberapa jam didalam air. Bentuk patogen dari
N. fowleri, Acanthamoeba sp. dan Balamuthia dapat dibedakan satu sama lain dari bentuk
morfologisnya dan melalui tes imunologis. Pada pemeriksaan mikroskopis dengan
pembesaran lemah terlihat seperti macrophagesi dan dikelirukan dengan Entamoeba
histolytica.
2. Agen Pemicu
Naegleria fowleri, beberapa spesies Acanthamoeba (A. culbertsoni, A. polyphaga, A.
castellanii, A. astronyxis) dan Balamuthia mandrillaris.
3. Distribusi penyakit
Organisme ini tersebar luas di lingkungan sekitar kita. Lebih dari 160 kasus PAM yang
terjadi pada orang sehat, lebih dari 100 kasus GAE terjadi pada orang dengan kekebalan
tubuh yang tidak baik (termasuk beberapa orang dengan AIDS) dan lebih dari 1.000 kasus
keratitis, terutama sebab pemakaian lensa kontak, telah dilaporkan dari beberapa negara
di dunia.
4. Reservoir
Acanthamoeba dan Naegleria hidup bebas pada habitat tanah yang berair dan basah.
Sedikit sekali pengetahuan kita tentang reservoir Balamuthia.
5. Cara-cara penularan
Infeksi Naegleria diperoleh oleh sebab hidung terpajan dengan air yang sudah
terkontaminasi, biasanya paling sering sebab berenang atau menyelam pada air tawar
terutama pada air yang tergenang atau di danau di daerah beriklim panas atau di daerah
dengan empat musim pada saat akhir musim panas; atau pada musim semi yang panas
atau sebab berenang di badan air yang dipanasi oleh efluen industri atau pada waktu
berendam di bak mandi yang panas, atau berenang di kolam renang yang pemeliharaannya
tidak baik. Trofosoit Naegleria menyerang dan membentuk koloni pada jaringan organ
hidung, kemudian menyerang otak dan selaput otak melalui nervus olfactorius.
376
Trofosoit Acanthamoeba dan Balamuthia mencapai SSP melalui aliran darah
kemungkinan besar melalui lesi pada kulit menyebar dari koloni primer di tempat lain.
Sering terjadi dan menyerang penderita penyakit kronis atau penderita dengan sistem
kekebalan tubuh yang kurang tanpa diketahui sumber penularannya dan tidak ada riwayat
pernah berenang. Infeksi pada mata terjadi terutama pada pemakai lensa kontak. Biasanya
infeksi pada pemakai lensa kontak ini disebabkan oleh pemakaian larutan garam fisiologis
yang dibuat sendiri di rumah untuk membersihkan lensa atau sebab terpajan dengan air
dari bak mandi air panas.
6. Masa inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 3-7 hari untuk infeksi Naegleria, biasanya menjadi lebih
lama bila bersamaan dengan infeksi Acanthamoeba dan Balamuthia.
7. Masa penularan
Tidak ditemukan terjadi penularan dari orang ke orang.
8. Kerentanan dan kekebalan
Tidak diketahui. Ternyata dan ironisnya tubuh yang sehat dapat terinfeksi Naegleria;
mereka dengan sistem kekebalan tubuh yang rapuh lebih rentan untuk terkena infeksi
Acanthamoeba dan kemungkinan juga Balamuthia. Tidak ditemukan adanya infeksi
asimptomatik dari Naegleria dan Balamuthia; Acanthamoeba pernah ditemukan pada
saluran napas orang yang sehat.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada warga tentang risiko atau bahayanya berenang di
danau dan kolam yang diduga atau diperkirakan sudah terinfeksi dan bahaya
masuknya air ke dalam hidung sewaktu menyelam atau ketika berenang di bawah
air.
2) Lindungi nasofaring terpajan air yang kemungkinan mengandung N. fowleri.
Dalam prakteknya sangat sulit untuk melakukannya sebab amebae tersebar luas
di badan-badan air termasuk kolam renang.
3) Kolam renang yang berisi residu khlorin bebas 1-2 ppm pada dasarnya cukup
aman. Belum pernah dilaporkan adanya infeksi pada kolam renang dengan
klorinisasi standar di Amerika Serikat.
4) Pemakai lensa kontak lunak hendaknya jangan memakai lensa kontak sewaktu
berenang di kolam renang atau pada waktu berendam di bak mandi yang hangat.
Pemakai lensa kontak benar-benar dan disiplin mengikuti prosedur cara pemakaian
dan pemeliharaan yang diharuskan oleh pabrik pembuat lensa kontak dan tenaga
professional.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Tidak wajib untuk dilaporkan pada
banyak negara, Kelas 3B (lihat tentang Laporan Penyakit Menular).
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Disinfeksi serentak: Tidak ada.
377
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Adanya riwayat pernah berenang dan
riwayat masuknya air ke hidung dalam waktu seminggu sebelum munculnya gejala
klinis yang mendukung dugaan tempat ini sebagai sumber infeksi Naegleria.
7) Pengobatan spesifik: N. fowleri sensitif terhadap amphotericin B (Fungizone®;
penyembuhan terjadi dengan pemberian amphotericin B dan miconazole secara
intravena dan intra tracheal bersamaan dengan pemberian rifampin secara oral.
Meskipun cukup sensitif terhadap pemberian berbagai antibiotika dalam
percobaan laboratorium, namun kesembuhan dengan pemberian antibiotika jarang
terjadi. Untuk infeksi mata, tidak ada pengobatan yang bermanfaat yang pernah
dilaporkan namun topical propamidine isethionate (Brolene®) dilaporkan cukup
efektif terhadap beberapa kasus; sedang clotrimazole, miconazole dan
pimaricin sudah dipergunakan pada sebagian kecil pasien dengan hasil yang cukup
baik.
C. Cara-cara Penanggulangan KLB
Penambahan jumlah kasus bisa terjadi setelah ada pemajanan dengan sumber infeksi.
Apabila ditemukan sekelompok penderita pada suatu waktu, memerlukan investigasi
epidemiologis yang tepat dan berlakukan larangan untuk berenang pada air yang
tercemar.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
NOCARDIOSIS ICD-9 039.9; ICD-10 A43
1. Identifikasi
yaitu penyakit kronis yang disebabkan oleh bakteri yang biasanya berasal dari paru,
menyebar melalui aliran darah hinga dapat menimbulkan abses di otak, janringan
subkutan dan organ-organ lainnya: CFR sangat tinggi pada penderita lainnya selain
penderita infeksi subkutan. Seringkali Nocardiosis asteroides ditemukan dari penderita
dengan penyakit paru-paru kronis sebagai bukti adanya koloni endobronchial. Organisme
ini bisa juga sebagai Pemicu penyakit cutaneous dan atau lymphocutaneous pada
bagian kaki/tangan dan dapat memicu actinomycotic mycetomas (lihat Mycetoma,
Actinomycetoma, Eumycetoma).
Dengan pemeriksaan mikroskopis dengan pengecatan sputum, nanah atau LCS bisa
ditemukan bakteri gram positif, tahan asam lemah, berbentuk jaringan filament bercabang,
konfirmasi kultur diperlukan sekali namun sulit diperoleh. Spesimen yang diambil melalui
biopsi atau autopsy dapat untuk mengetahui Pemicu infeksi.
378
2. Pemicu infeksi
Pemicu infeksi yaitu Nocardia asteroides complex (termasuk N. asteroides sensu
strictu, N. farcinica dan N. nova), N. brasiliensis, N. transvalensis dan N.
otitidiscaviarum; semuanya termasuk aerobic actinomycetes.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini termasuk penyakit yang muncul sporadis di warga dan binatang,
tersebar di seluruh dunia. Tidak ada perbedaan kejadian pada kelompok umur, jenis
kelamin atau ras.
4. Reservoir
Ditemukan tersebar di seluruh dunia sebagai saprofit tanah.
5. Cara-cara penularan
Diperkirakan Nocardia masuk kedalam tubuh melalui inhalasi dari debu yang sudah
terkontaminasi. Kontaminasi luka oleh tanah bisa menimbulkan infeksi cutaneous.
6. Masa inkubasi
Tidak diketahui dengan pasti; kemungkinan berlangsung beberapa hari hingga beberapa
minggu.
7. Masa penularan
Penularan tidak langsung dari manusia atau binatang ke manusia.
8. Kerentanan dan kekebalan
Tingkat kerentanan dan kekebalan tidak diketahui dengan pasti. Endogenous atau
iatrogenic adrenal hypercorticism dan proteinosis alveolar kemungkinan sebagai faktor
predisposisi terjadinya infeksi.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan: Tidak ada.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; Laporan resmi biasanya tidak
diperlukan, kelas 5 (lihat Laporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap discharge dan pakaian yang
terkontaminasi.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi: Tidak ada.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak dilakukan.
7) Pengobatan spesifik: TMP-SMX, sulfisoxazole atau sulfadiazine cukup efektif
pada infeksi sistemik jika diberikan lebih dini dan dalam waktu yang lama.
Minocycline bisa dicoba pada penderita yang alergi terhadap sulfa dan yang tidak
memiliki abses di otak. Amikacin, ipipenem atau ampicillin dengan dosis yang
379
tinggi bisa ditambahkan pada sulfonamides pada penderita yang gagal merespon
pengobatan. Insisi abses diperlukan bersamaan dengan terapi antibiotika.
C. Cara-cara penanggulangan KLB: Tidak dilakukan sebab penyakit bersifat sporadis.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
ONCHOCERCIASIS ICD-9 125.3; ICD-10 B73
(River blindness)
1. Identifikasi
Penyakit filarial yang tidak fatal dan bersifat kronis dengan benang-benang nodulus dalam
jaringan subkutan, umumnya menyerang daerah kepala dan bahu (Amerika) atau pinggul
dan bagian bawah kaki/tangan (Afrika). Cacing-cacing dewasa ditemukan pada nodulus
ini , di daerah superficial dan di daerah yang lebih dalam berupa buntelan (anyaman)
di bawah periosteum tulang atau dekat sendi. Cacing betina melepaskan mikrofilaria yang
bergerak dan berpindah melalui kulit, sering memicu gatal pada kulit yang hebat
pada saat cacing ini mati, timbul dermatitis kronis dengan pigmentasi yang
bervariasi, edema dan atrofi kulit. Perubahan pigmen, umumnya terjadi pada anggota
badan bagian bawah, memberikan gambaran yang dikenal sebagai “leopard skin””,
sementara itu hilangnya kelenturan kulit dan timbulnya lymphadenitis bisa memicu
terjadinya apa yang disebut dengan “hanging groin”. Seringkali mikrofilaria mencapai
mata dan cacing kemudian mati yang dapat memicu gangguan penglihatan dan
kebutaan. Mikrofilaria mungkin juga ditemukan di dalam organ-organ dan jaringan-
jaringan selain kulit dan mata, namun dampak klinik yang signifikan dari keadaan ini
belum jelas; pada infeksi yang berat mikrofilaria mungkin ditemukan juga di dalam darah,
air mata, dahak dan urin.
Diagnosa laboratorium dibuat dengan pemeriksaan mikroskopis dengan ditemukannya
mikrofilaria dari spesimen biopsi kulit segar yang direndam dalam air dan garam
fisiologis, terbukti juga bahwa mikrofilaria terdapat dalam urin. Diagnosa juga dibuat
dengan ditemukannya cacing dewasa dari eksisi nodulus. Perlu dilakukan upaya untuk
membedakan mikrofilaria ini dengan mikrofilaria daripenyakit filaria lain yang juga
endemis. Gejala-gejala khas lain yang membantu penegakan diagnosa onchocerciasis
pada mata yaitu ditemukannya mikrofilaria pada kornea dan pada bagian anterior
corpusvitreum dengan memakai lampu celah. Pada infeksi dengan densitas rendah
dari parasit dimana parasit tidak ditemukan pada mata dan kulit maka dilakukan tes reaksi
mazotti. Tes reaksi mazotti sangat berbahaya apabila dilakukan pada orang dengan infeksi
berat. Tes ini dilakukan dengan pemberian diethylcarbamazine citrate peroral sebanyak
25 mg atau obat ini dioleskan pada kulit yang akan menimbulkan pruritis pada kulit.
Tes ini dilarang dibanyak negara. Pemeriksaan PCR dari kerokan kulit dapat dilakukan
untuk mendeteksi DNA dari parasit.
380
2. Pemicu infeksi
Pemicu infeksi yaitu Onchocerca volvulus, sejenis cacing filaria termasuk kelas
Nematoda.
3. Distribusi penyakit
Distribusi geografis penyakit ini yaitu di belahan bumi bagian barat yaitu Guatemala
(umumnya di bagian barat dataran rendah pemisah benua); bagian Selatan Meksiko
(daerah Chiapas dan Oaxaca); fokus di bagian Selatan dan Utara Venezuela dan sebagian
kecil daearah di Kolombia, Ekuador, Brasilia (daerah Amazon dan Golas). Di daerah sub-
Sahara Afrika, penyakit ini tersebar di daerah yang luas mulai dari Senegal sampai ke
Ethiopia, kemudian Angola bagian barat dan Malawi bagian timur; juga ditemukan di
Yaman. Di beberapa daerah yang endemis di bagian Barat Afrika, sampai dengan
beberapa tahun belakangan ini ditemukan sebagian besar warga terinfeksi dan
gangguan penglihatan dan kebutaan merupakan masalah yang serius pada warga
ini . warga ini kemudian meninggalkan lembah-lembah ini dan
mereka kemudian berpindah menuju dataran tinggi yang aman, namun daerah ini
ternyata tidak subur. Dengan demikian penyakit ini menghancurkan kehidupan sosial
ekonomi mereka. Onchocerciasis ditanggulangi melalui Program Penanggulangan
Onchocerciasis di bagian Barat Afrika.
4. Reservoir
Manusia bertindak sebagai reservoir. Penyakit ini ditularkan melalui eksperimen kepada
simpanse dan secara alami penyakit sudah jarang ditemukan pada gorilla. Spesies
Onchocerca lain yang ditemukan pada binatang tidak dapat menginfeksi manusia namun
bisa ditemukan bersamaan dengan O. volvulus pada vektor serangga.
5. Penularan
Parasit ini hanya bisa ditularkan melalui gigitan lalat hitam betina dari genus Simulium; di
Amerika Tengah sebagian besar spesies yang ditemukan yaitu S. ochraceum; di Amerika
Selatan S. metallicum complex, S. sanguineum/amazonicum complex, S. quadrivittatum
dan spesies yang lain; di Afrika S. damnosum complex dan S. neavei complex, maupun S.
albivirgulatum di Zaire. Mikrofilaria yang terisap oleh lalat hitam pada saat menggigigt
orang yang terinfeksi, masuk menembus ke otot toraks serangga, kemudian berkembang
menjadi larva yang infeksius, pindah ke kapsul kepala serangan ini kemudian larva
ini dilepaskan dan masuk ke dalam kulit melalui lubang gigitan pada waktu lalat
ini menghisap darah lagi.
6. Masa inkubasi
Mikrofilaria ditemukan biasanya setelah 1 tahun atau lebih sejak saat infeksi melalui
gigitan; di Guatemala mikrofilaria sudah ditemukan pada anak-anak bahkan pada bayi
usia 6 bulan. Di Afrika, vektor penyakit ini menjadi infektif 7 hari setelah menghisap
darah; di Guatemala masa inkubasi ekstrinsik lebih panjang (hingga 14 hari) sebab suhu
yang rendah.
7. Masa penularan
Penderita tetap menular kepada orang lain apabila pada kulit mereka masih ditemukan
381
mikrofilaria hidup. Misalnya pada kasus tertentu seseorang tetap menularkan penyakit ini
selama 10-15 tahun setelah terakhir digigit lalat simulium, apabila mereka tidak diobati
dengan baik. Penyakit ini tidak ditularkan dari orang ke orang.
8. Kerentanan dan kekebalan
Setiap orang rentan terhadap penyakit ini. Dapat terjadi reinfeksi. Berat-ringannya
penyakit ini sangat tergantung jumlah kumulatif parasit dalam tubuh sebab infeksi yang
berulang.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Hindari gigitan lalat Simulium dengan selalu mengenakan pakaian pelindung dan
pelindung kepala sesering mungkin, atau dengan memakai repelan yang berisi
diethyltoluamide (Deet®)
2) Kenali dan temukan tempat-tempat perindukan lalat hitam yang berperan sebagai
vektor. Lakukan pemberansatan larva (larva biasanya hidup pada arus deras dan
pada saluran-saluran buatan) dengan memakai insektisida yang dapat terurai
seperti temefos (Abate®) pada konsentrasi rendah, ditaburkan atau disemprot
selama sepuluh menit seminggu sekali pada konsentrasi 0,05 mg/liter pada musim
hujan dan pada musim kering dengan konsentrasi 0,1 mg/liter. Jenis insektisida
lain yang disebut dengan B.t. H-14i, insektisida biologis yang dilarutkan dalam air
dapat digunakan pada konsentrasi 2,5 kali temefos. Resistensi dapat terjadi
terhadap temefos, namun resistensi terhadap B.t. H-14 sepertinya tidak terjadi. B.t.
H-14 harus ditaburkan di banyak titik sepanjang aliran sungai atau saluran air oleh
sebab efeknya yang pendek jika dibandingkan dengan temefos. Bila diperlukan
lakukan penyemprotan melalui udara untuk bisa menjangkau wilayah yang lebih
luas. Hal ini mungkin dilakukan pada program pemberantasan berskala besar di
Afrika. Di Amerika penyemprotan melalui udara tidak mungkin dilakukan sebab
banyaknya daerah bergunung-gunung. Eliminasi S. neavei dengan memakai
insektisida cukup efektif, S. neavei hidup dalam tubuh kepiting.
3) Sediakan fasilitas diagnosis dan pengobatan.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporkan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan resmi biasanya tidak
diperlukan, Kelas 5 (lihat Laporan tentang Penyakit Menular).
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi: Tidak ada.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Merupakan masalah warga
yang harus dipecahkan melalui gerakan warga .
7) Pengobatan spesifik: Ivermectin (Mectizan®) telah tersedia untuk pengobatan
Onchorciasis pada manusia yang diperoduksi oleh Merck & Company. Pemberian
dosis tunggal per oral sebanyak 150 µg/kg BB, pengobatan diulang tiap tahun.
Dosis ini dapat mengurangi angka mikrofilaria dan angka kesakitan. Obat ini
selain membunuh mikrofilaria, juga menghalangi pelepasan mikrofilaria dari
382
uterus cacing dewasa dan sangat efektif untuk menekan jumlah mikrofilaria pada
kulit dan mata selama periode 6-12 bulan.
Penelitian sedang berlangsung untk menemukan obat yang aman dan efektif yang
dapat membersihkan atau membunuh cacing dewasa, beberapa diantaranya sudah
masuk dalam fase uji klinik. Albendazole dilaporkan menghambat proses
embryogenesis.
Sementara itu diethylcarbamazine citrate (DEC, Banocide®, Hetrazan®, Notezine®)
efektif terhadap mikrofilaria, pengobatan dengan obat-obat ini di atas bisa
memicu timbulnya efek samping yang berat dan sedikit sekali yang responsive
terhadap pemberian corticosteroids. Obat ini tidak dianjurkan lagi digunakan untuk
pengobatan Onchocerciasis. Ivermectin diberikan bersama-sama dengan suramin
untuk pengobatan lengkap bagi penderita tertentu. Suramin (Bayer 205, Naphuride®,
Antrypol®) tersedia di Amerika (CDC, Atlanta) dapat membunuh cacing dewasa dan
Menghilangkan mikrofilaria secara bertahap. Obat ini dapat merusak ginjal dan reaksi
lain yang tidak didinginkan bisa terjadi. Oleh sebab itu pengobatan dengan Suramin
membutuhkan supervisi medis yang berat. Tidak ada obat yang cocok atau sesuai
untuk pengobatan massal sebab kemungkinan terjadi efek samping yang serius.
Di Amerika Tengah dimana nodules biasanya muncul di daerah kepala, sering
dilakukan eksisi, hal ini bisa mengurangi gejala dan mencegah kebutaan.
C. Cara-cara Penanggulangan KLB
Pada wilayah dengan prevalensi tinggi, titik berat upaya yang dilakukan yaitu untuk
mengurangi insidensi penyakit, melalui hal-hal seperti diuraikan pada butir 9 A di
atas.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut
Program Pemberantasan Onchocerciasis (Onchocerciasis Control Programme/OCP),
yaitu sebuah program terpadu di Afrika Barat yang disponsori oleh World Bank,
UNDP, FAO dan WHO, menangani wilayah terutama di daerah endemis dengan
“savanna blinding form” di 11 negara. Sebagian besar upaya penanggulangan
diarahkan pada upaya pemberantasan alalt hitam dengan aplikasi insektisida secara
sistematik pada tempat-tempat perindukan di sungai-sungai wilayah ini .
Ivermectin sekarang didistribusikan secara luas kepada warga sebagai penggantia
larvasida. Bahkan di daerah Barat Laut bagian Barat wilayah kerja OCP, pemberian
Ivermectin yaitu satu-satunya upaya pemberantasan. OCP di Amerika merupakan
program multi agensi dan multinasional untuk mengiliminasi kebutaan dan gejala sisa
pada kulit sebagai di daerah endemis di Amerika dengan target pencapaian pada tahun
2000. Program ini berupa aplikasi ivermectin sekali setahun atau dua tahun sekali
secara terus-menerus, bersamaan dengan upaya peningkatan promosi kesehatan dan
penggerakan peran serta warga .
383
ORF VIRUS DISEASE ICD-9 051.2; ICD-10 B08.0
(Contagious pustular dermatitis, Human orf, Ecthyma contagiosum)
1. Identifikasi
Suatu penyakit virus cutaneous proliferatif yang ditularkan kepada manusia melalui
kontak dengan kambing dan domba yang terinfeksi, dan kadang-kadang oleh binatang liar
seperti rusa/kijang, rusa kutub. Lesi pada manusia biasanya soliter pada tangan, lengan
atau wajah, berwarna merah hingga violet berupa vesiculonodule, maculopapue atau
pustule, yang berkembang menjadi kumpulan nodule dengan cekungan di tengahnya. Ada
beberapa bentuk dan ukuran lesi, setiap lesi berdiameter hingga 3 cm, biasanya
menghilang pada 3-6 minggu. Dengan infeksi sekunder oleh bakteri, lesi bisa menjadi
bentuk pustule. Adenitis di kelenjar limfe regional terjadi pada sebagian kecil kasus.
Ruam makulopapuler bisa muncul pada badan. Erythema multiforme dan erythema
multiforme bullosum merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Pernah dilaporkan
penyakit menyebar ke seluruh tubuh dan disertai dengan kerusakan mata yang serius.
Penyakit ini sering dikelirukan dengan cutaneous antrax dan penyakit keganasan.
Diagnosa dibuat dengan adanya riwayat kontak dengan domba, kambing atau binatang liar
dan terutama sekali kontak dengan bayi/anak binatang ini . Ditemukannya ovoid
parapoxvirions dengan EM dalam lesi atau dengan pemeriksaan bakteriologis
konvensional negatif; atau ditemukannya virus yang tumbuh dalam kultur sel ovine, kultur
jaringan sapi (bovine) atau primata; atau melalui hasil tes serologis yang positif.
2. Pemicu infeksi
Orf virus, virus DNA termasuk genus Parapoxvirus of Poxvirus (famili Poxviridae). Agen
Pemicu ini berkaitan erat dengan parapoxvirus lain yang dapat ditularkan kepada
manusia, dikenal sebagai penyakit akibat kerja “milkers nodule virus” di perusahaan susu
dan virus bovine papular stomatitis dari peternakan sapi. Ecthyma parapoxvirus dari onta
yang sangat menular bisa menginfeksi manusia namun sangat jarang terjadi.
3. Distribusi penyakit
Kemungkinan penyakit ini menyebar luas pada pekerja di bidang pertanian. Infeksi yang
biasa terjadi dinatar para gembala, dokter hewan dan pekerja di tempat pemotongan
hewan di wilayah peternakan domba dan kambing sehingga merupakan penyakit akibat
kerja utama di Selandia Baru.
4. Reservoir
Binatang berikut kemungkinan berperan sebagai reservoir seperti domba, kambing, rusa
kutub, must oxen. Virus ini sangat resisten terhadap faktor-faktor fisik, kecuali terhadap
sinar ultraviolet (uv light) dan bisa bertahan hingga berbulan-bulan dalam tanah dan kulit
atau bulu binatang.
5. Cara-cara penularan
Penularan terjadi secara langsung melalui kontak dengan selaput lendir binatang yang
terinfeksi, melalui luka pada ambin pengawas bendungan atau ditularkan oleh binatang
yang tampak tidak sakit setelah binatang ini terkontaminasi sebab kontak dengan
384
benda-benda seperti pisau, gunting besar, palung dan sisi kandang, truk dan pakaian yang
tercemar.
6. Masa Inkubasi: Umumnya 3-6 hari.
7. Masa Penularan
Tidakdiketahui dengan pasti. Jumlah virus pada lesi menurun selama perjalanan penyakit.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Setiap orang rentan terhadap penyakit ini. Seseorang yang sembuh dari infeksi penyakit
ini memberikan tingkat kekebalan yang berbeda-beda.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
Penerapan kebersihan perorangan yang baik dan daerah atau tempat-tempat yang
terpajan dicuci dengan air dan sabun. Binatang peliharaan dan binatang liar dianggap
sebagai sumber infeksi yang potensial. Kandang ternak atau rumah binatang
peliharaan dijaga kebersihannya dengan baik. Efikasi vaksin Parapoxvirus pada
binatang belum diketahui dengan jelas.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1). Laporkan kepada instansi kesehatan setempat: Tidak diwajibkan, namun perlu
dilaporkan kepada yang berwajib bila ditemukan kasus di daerah yang sebelumnya
tidak ada kasus, kelas 5 (lihat Laporan tentang Penyakit Menular).
2). Isolasi: Tidak ada.
3). Disinfeksi serentak: Pakaian dan kain-kain yang dipakai penderita direbus, di-
autoclave atau di-incenerasi.
4). Karantina: Tidak dilakukan.
5). Imunisasi: Tidak ada.
6). Investigasi: Penting untuk memperoleh informasi tentang riwayat kontak.
7). Pengobatan spesifik: Tidak ada.
C. Cara-cara penanggulangan KLB: Tidak ada.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada untuk manusia.
PARACOCCIDIOIDOMYCOSIS ICD-9 116.1; ICD-10 B41
(South American blastomycosis, Paracoccidioidal granuloma)
1. Identifikasi
Penyakit mikosis serius, kronis dan kadang-kadang fatal (tipe dewasa). Penyakit ini
ditandai dengan ditemukannya infiltrate tersebar di paru-paru dan atau lesi ulseratif pada
mukosa (mulut, hidung, saluran pencernaan) dan kulit.
385
Sering ditemukan limfadenopati. Pada penderita dengan tipe diseminata, penyakit juga
menyerang organ-organ dalam terutama yang terserang yaitu kelenjar adrenal. Penyakit
tipe juvenile, tipe akut, jarang terjadi, ditandai dengan terserangnya sistem retikulo
endothelial serta terjadi disfungsi sum-sum tulang. Ada satu jenis mikosis yang
sebelumnya dikira sebagai paracoccidioidomycosis. Penyakit ini yaitu keloidal
blastomycosis (Lobo disease), disebabkan oleh Loboa loboi, jamur yang hanya
menyerang kulit, belum bisa ditumbuhkan pada kultur.
Diagnosa paracoccidioidomycosis ditegakkan dengan pemeriksaan histologis atau dengan
dibiakkan pada media yang sesuai. Pemeriksaan serologis juga dilakukan untuk
menegakkan diagnosa.
2. Pemicu infeksi
Paracoccidioides brasiliensis, jamur dimorfis.
3. Distribusi penyakit
Endemis di daerah tropis dan sub-tropis wilayah Amerika Selatan dan sedikit ditemukan
di Amerika tengah dan Meksiko. Para pekerja yang kontak dengan tanah, seperti petani,
buruh dan pekerja konstruksi, sangat berisiko. Insiden tertinggi ditemukan pada orang
dewasa berusia 30-50 tahun, umumnya lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan
perempuan.
4. Reservoir
Diduga tanah atau jamur yang berisi debu.
5. Cara-cara penularan
Barangkali infeksi diperoleh melalui inhalasi debu atau tanah yang terkontaminasi.
6. Masa inkubasi
Sangat bervariasi mulai dari 1 bulan hinga bertahun-tahun.
7. Masa penularan
Penularan langsung dari orang ke orang belum diketahui.
8. Kerentanan dan kekebalan: Tidak diketahui.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan: Tidak ada.
B. Pengawasan kontak, penderita dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan resmi biasanya tidak
dilakukan, Kelas 5 (lihat Laporan tentang Penyakit Menular).
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi serentak terhadap discharge dan benda-
benda yang tercemar. Pembersihan menyeluruh.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi: Tidak ada.
386
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Tidak dilakukan.
7) Pengobatan spesifik: Itraconazole yaitu obat pilihan untuk semua jenis penderita
terkecuali bagi penderita yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, diberikan
amphotericin B (Fungizone®) diikuti dengan terapi Itraconazole dalam waktu yang
lama. Sulfonamide murah namun kurang efektif dibandingkan derivate azoles.
C. Cara-cara Penanggulangan KLB: Tidak dilakukan sebab penyakit bersifat sporadis.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
PARAGONIMIASIS ICD-9 121.2; ICD-10 B66.4
(Pulmonary distomiasis, Lung fluke disease)
1. Identifikasi
Penyakit yang disebabkan oleh trematoda yang sering menyerang paru-paru. Gejala klinis
yang sering muncul antara lain batuk, hemoptisis dan sakit dada. Pada pemeriksaan
radiologis bisa ditemukan infiltrate segmental atau difus, nodulus, caverne, kista atau efusi
pleura. Cacing kadang-kadang bukan saja menyerang paru. Dikenal juga tipe ekstra
pulmoner, dimana cacing ditemukan di luar paru seperti pada jaringan SSP, jaringan
subkutan, dinding usus, rongga perut, hati, kelenjar limfe dan saluran kemih. Infeksi
biasanya berlangsung selama bertahun-tahun dan biasanya orang yang terinfeksi kelihatan
sehat. Di kalangan imigran dari Asia penyakit ini dikelirukan dengan tuberculosis, sebab
gambaran foto thorax hampir sama.
Pada pemeriksaan sputum, ditemukan bintik-bintik berwaran coklat oranye tersebar
merata; pada bintik-bintik ini terlihat telur cacing. Diagnosa ditegakkan dengan
ditemukannya telur-telur cacing ini. Namun apabila dilakukan Pengecatan sputum untuk
menemukan bakteri tahan asam, maka teknik Pengecatan ini menghancurkan telur cacing
sehingga dapat mengacaukan diagnosa. Telur cacing dapat juga masuk kedalam tubuh
sebab tertelan, terutama pada anak-anak. Oleh sebab itu dengan teknik konsentrasi, telur
dapat ditemukan di dalam tinja. Teknik pemeriksaan yang sangat sensitif dan spesifik
dalah tes serologis dengan teknik immunoblot. Tes ini tersedia di CDC Atlanta.
2. Pemicu infeksi
Di Asia Pemicu penyakit yaitu Paragonimus westermani, P. skrjabini dan sepsies lain;
di Afrika P. africanus dan P. uterobilateralis; di Amerika P. mexicanus (P. peruvianus)
dan spesies yang lain; dan P. kellicotti di Amerika Serikat dan Kanada.
3. Distribusi penyakit
Penyakit ini dilaporkan terjadi di daerah Timur jauh, Barat Daya Asia, India, Afrika dan
Amerika. Cina, sekarang merupakan daerah endemis terbesar dimana 20 juta orang
diperkirakan terinfeksi; Laos, Propinsi Manipur-India dan Myanmar (Birma)
387
kemungkinan terbanyak setelah Cina. Penyakit ini sudah hampir hilang di Jepang,
sementara itu di Korea kurang dari seribu orang yang terinfeksi. Di negara-negaraAmerika
Latin, Ekuador yaitu negara yang paling banyak terinfeksi, yang mana sekitar 500.000
orang diperkirakan sudah terinfeksi; kasus ini juga ditemukan di Brazil, Colombia, Peru,
Venezuela, Costa Rica dan Meksiko. Di Amerika Serikat dan Kanada, penyakit ini jarang
ditemukan.
4. Reservoir
Manusia, anjing, kucing, babi dan binatang karnivora liar disebut hospes definitif dan
dapat juga berperan sebagai reservoir.
5. Cara penularan
Infeksi terjadi sebab mengkonsumsi sejenis kepiting air tawar mentah atau yang tidak
dimasak dengan sempurna, digaramkan atau diasinkan seperti Eriocheir dan potamon atau
sejenis udang seperti Cambaroides, yang berisi larva (metacercaria). Larva keluar di
duodenum, menembus dinding usus, migrasi melalui jaringan dinding usus kemudian
membentuk kapsul encapsulated (biasanya di paru), dan berkembang menjadi cacing
dewasa yang dapat memproduksi telur. Telur-telur ini dikeluarkan melalui sputum
dan apabila telur ini tertelan akan keluar melalui tinja, mencemari badan air dan
mengembrio dalam waktu 2-4 minggu. Larva (miracidia) menetas, masuk kedalam tubuh
keong air tawat (Semisulcospira, Thiara, Aroapyrgus atau genus yang lain) dan masuk
kedalam siklus pertumbuhan kira-kira berlangsung selama 2 bulan. Larva (cercariae)
keluar dari tubuh keong, masuk dan hidup dalam tubuh kepiting air tawar dan udang
karang. Pengawetan crustacean (binatang air berkulit keras) di dalam anggur dengan
garam atau cuka, biasa dilakukan di Asia. Cara-cara ini tidak membunuh kista larva.
Infeksi sering menyerang para pelancong atau pecinta makanan lokal yang eksotik.
6. Masa inkubasi
Cacing pita menjadi dewasa dan mulai mengeluarkan telur kira-kira 6-10 minggu setelah
seseorang menelan larva infektif. Interval saat infeksi sampai timbul gejala-gejala klinis
sangat panjang, bervariasi, tidak diketahui dengan pasti dan sangat tergantung pada organ
yang diserang dan jumlah cacing yang menyerang.
7. Masa penularan
Penderita dapat mengeluarkan telur hingga 20 tahun; lamanya infeksi pada moluska
(kerang-kerangan) dan crustacean tidak diketahui dengan pasti. Tidak ada penularan
langsung dari orang ke orang.
8. Kerentanan dan Kekebalan: Setiap orang rentan terhadap infeksi cacing ini.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Lakukan penyuluhan kesehatan kepada warga di daerah endemis tentang
siklus hidup parasit.
2) Beri penyuluhan kepada warga agar mengkonsumsi krustasea yang dimasak
dengan sempurna.
388
3) Membuang sputum dan tinja dengan cara yang saniter.
4) Lakukan pengawasan terhadap keong atau siput.
B. Pengawasan penderita,