Tampilkan postingan dengan label penyakit polio 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit polio 1. Tampilkan semua postingan

penyakit polio 1




 Indonesia telah mencapai eradikasi polio bersama beberapa anggota Organisasi Regional Asia Tenggara 

(South-East Asia Regional (SEARO)) lainnya pada tahun 2014 karena berhasil menanggulangi penyakit yang 

disebabkan oleh virus polio liar. Sayangnya sejak itu Indonesia telah mengalami beberapa kali Kejadian Luar 

Biasa (KLB). Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab timbulnya poliomielitis lagi 

di Indonesia setelah dinyatakan bebas polio pada tahun 2014 dan langkah efektif untuk menghentikan KLB 

dan pencegahan munculnya kembali poliomielitis. Kewaspadaan tenaga Kesehatan dan Masyarakat 

terhadap penyakit polio harus ditingkatkan kembali agar Indonesia dan dunia dapat segera bebas polio. Dua 

KLB terjadi di Indonesia pada tahun 2022 dan 2023. KLB yang pertama terjadi pada tahun 2022 adalah di 

Kabupaten Pidie, Aceh, Indonesia. Menanggapi wabah poliomyelitis tersebut pemerintah segera 

mengadakan program vaksinasi secara serentak. Sejak saat itu tidak ditemukan kembali kasus poliomielitis 

hingga satu kasus ditemukan lagi pada Desember 2023 di Solo, Jawa Tengah, Indonesia. Sekali lagi untuk 

untuk merespon wabah poliomielitis pemerintah mengadakan program vaksinasi serentak di tiga kabupaten 

yaitu Pamekasan dan Sampang, Jawa Timur dan Klaten, Jawa Tengah. Diikuti setelah itu oleh seluruh wilayah 

di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Respon cepat dari pemerintah ini diharapkan dapat menghentikan wabah 

kembali. Target SubPIN (Sub Pekan Imunisasi Nasional) adalah untuk memutus rantai penularan, sehingga 

harus dipastikan cakupan tinggi, minimal 95% dan merata di seluruh wilayah. Selain itu informasi pada 

masyarakat mengenai bahaya penyakit dan pentingnya vaksinasi lengkap untuk mencegah penyakit harus 

terus diberikan.

Sertifikat bebas polio telah diberikan kepada Indonesia dan beberapa negara 

lainnya di Organisasi Regional Asia Tenggara (South-East Asia Regional (SEARO)) pada 

tahun 2014 karena berhasil menanggulangi penyakit yang disebabkan oleh virus polio 

liar. Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) menargetkan polio liar tipe 1 

dan 2 dapat dihilangkan secara global.(1) Meskipun demikian, paparan polio masih dapat 

terjadi baik dari virus polio yang diturunkan dari vaksin (Vaccine-Derived Polio Virus 

(VDPV)), virus polio liar, atau virus yang bermutasi. Tingkat vaksinasi yang rendah dalam 

jangka panjang mungkin menjadi penyebabnya. Dengan memastikan bahwa setiap anak 

menerima vaksinasi lengkap, polio dapat diberantas sepenuhnya. Rendahnya tingkat 

vaksinasi menimbulkan risiko terhadap kapasitas Indonesia untuk terus bebas polio.(2,3,4)

Awal November 2022, satu kasus polio ditemukan di Kabupaten Pidie, Aceh, 

berdasarkan penelusuran reverse transkriptase polimerase chain react (RT-PCR). 

Berdasarkan kesimpulan tersebut, pemerintah daerah Kabupaten Pidie menetapkan 

Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio. Seorang anak berusia 7 tahun 2 bulan ditemukan 

mengalami gejala kelumpuhan pada kaki kirinya. Anak laki-laki tersebut dibawa ke 

Rumah Sakit Umum Daerah Tgk Chik Ditiro Sigli (RSUD TCD Sigli) pada tanggal 18 

Oktober setelah ia mulai menunjukkan gejala demam pada tanggal 6 Oktober. Dua 

spesimen diperoleh dari dugaan kasus polio pada anak-anak pada tanggal 21-22 Oktober 

dan dikirim ke laboratorium provinsi. Kemudian, pada 7 November, keluar hasil RT-PCR 

yang mengonfirmasi adanya polio tipe 2.(5)

Pada akhir Desember 2023 dan awal Januari 2024, 3 (tiga) anak asal Pamekasan 

dan Sampang, Jawa Timur, serta Klaten, Jawa Tengah, dinyatakan positif mengidap 

poliomielitis. Sejak itu, status KLB ditetapkan oleh pemerintah.(6)

Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab timbulnya 

poliomielitis lagi di Indonesia setelah dinyatakan bebas polio pada tahun 2014 dan 

langkah efektif untuk menghentikan KLB dan pencegahan munculnya kembali 

poliomielitis


POLIOMIELITIS

Khususnya pada anak kecil, infeksi virus polio dapat mengakibatkan kematian 

atau lumpuh layu. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberantas infeksi ini di 

seluruh dunia. Saluran oral-fecal merupakan tempat penyebaran utama virus polio. 

Tenggorokan dan saluran pencernaan adalah dua area yang rentan terhadap infeksi, 

sebagian besar infeksi ini mengakibatkan gejala ringan atau tidak ada bergejala sama 

sekali. Virus akan menyebar lebih luas ke jaringan retikuloendotelial lainnya jika infeksi 

berlanjut. Hingga 95% kasus infeksi primer diketahui tidak menunjukkan gejala, namun 

4-8% pasien dengan infeksi sekunder menunjukkan gejala infeksi virus yang tidak 

spesifik.(7,8)

Etiologi

Virus penyebab poliomielitis, atau polio, sangat menular. Virus ini terdiri dari tiga 

strain yaitu strain 1 (Brunhilde), 2 (Lansig), dan 3 (Leon), yang semuanya merupakan 

anggota famili Picornaviridae. Urutan nukleotida dari tiga jenis strain berbeda satu sama 

lain. Ketika antibodi penetralisir terbentuk, VP1 adalah antigen yang paling umum. 

Strain 2 adalah yang paling jinak sedangkan strain 1 adalah yang paling paralitogenik dan 

sering menimbulkan wabah. Biasanya, fase inkubasi berlangsung tiga sampai enam hari, 

dan kelumpuhan terjadi tujuh sampai dua puluh satu hari kemudian. (9,10,11)

Virus polio yang telah ditemukan antara lain adalah virus Vaccine Derived 

Poliovirus (VDPV), virus polio liar/Wild Poliovirus (WPV), dan virus polio sabin. VDVP 

merupakan virus mutan yang dapat melumpuhkan manusia. Ada tiga jenis VDPV yaitu 

VDPV terkait imunitas (Immunodeficient-related VDPV( iVDPV)), yang berasal dari orang 

dengan sistem imun yang lemah, Circulating VDPV (cVDPV) ketika ada bukti transmisi 

dari orang ke orang di dalam masyarakat, dan Ambiguous VDPV (aVDPV) apabila tidak 

dapat diklasifikasikan sebagai cVDPV atau iVDPV. (12)

Sumber dan cara penularan Virus ini adalah melalui infeksi droplet dari orofaring 

(air liur) atau kotoran orang yang terinfeksi. Cara penularan utama adalah langsung dari 

manusia ke manusia (fecal-oral atau oral-oral).Epidemiologi 

Indonesia mendapat sertifikat bebas polio tahun 2014 karena berhasil 

menanggulangi penyakit yang disebabkan oleh virus polio liar. Perjalanan eradikasi polio 

di Indonesia cukup Panjang. Awal mula vaksin polio masuk dalam program vaksinasi di 

Indonesia dimulai pada tahun 1982. Cakupan rutin polio saat itu belum pernah mencapai 

1005 dan masih ditemukan virus polio liar pada tahun 1995. Menanggulangi hal tersebut 

dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) 1995,1996 dan 1997 dengan memberikan 2 

tetes vaksin Polio Oral sebanyak dua putaran. Pada tahun 1998 dilakukan mopping up 

di 5 kecamatan di Papua dan tahun 1999 dilakukan Bulan Imunisasi Anak Sekolah dari 

kelas III sampai IV sekolah dasar secara Nasional. Tahun 2000 dilakukan subPIN di 5 

provinsi yaitu Papua, Maluku, Maluku Utara, NTT dan NAD. Tahun 2021 kembali 

dilakukan subPIN di 10 kabupaten di 5 Propinsi.(13)

Patofisiologi 

Melalui mulut, virus masuk dan berkembang biak di orofaring dan sistem 

pencernaan. Virus ini biasanya bertahan dalam cairan nasofaring selama satu hingga dua 

minggu, dan pada orang yang terinfeksi dengan gejala minimal atau tanpa gejala, virus 

ini bahkan dapat bertahan dalam tinja selama beberapa minggu setelah infeksi. Virus ini 

menargetkan jaringan limfoid di dekatnya selama replikasi usus, yang membuka pintu 

bagi virus tersebut untuk memasuki aliran darah dan menginfeksi sel-sel sistem saraf 

pusat. Poliomielitis ditandai dengan kelumpuhan yang disebabkan oleh kerusakan 

neuron motorik di cornu anterior sumsum tulang belakang dan sel batang otak. (14.15)


Tanda dan Gejala 

Virus polio membutuhkan waktu tiga hingga enam hari untuk inkubasi dan 

kelumpuhan dapat terjadi dalam waktu tujuh hingga dua puluh satu hari. Tingkat 

keparahan infeksi virus polio pada manusia sangat beragam, mulai dari gejala yang 

sangat ringan hingga kelumpuhan. Ada dua bentuk infeksi virus polio yaitu penyakit 

ringan (minor illness) atau penyakit dengan gejala ringan, dan penyakit berat (major 

illness) atau jenis penyakit lumpuh dan non-lumpuh. Ada berbagai cara yang mungkin 

dilakukan oleh infeksi virus polio dengan virus tipe liar; penyakit tersebut termasuk 

poliomielitis abortif, poliomielitis nonparalitik, atau poliomielitis paralitik. Pada 90–95% 

kasus tidak menyebabkan penyakit atau tidak ada gejala sisa. Jika kelumpuhan 

berkembang, biasanya muncul 3–8 hari setelah timbulnya gejala.(16) (Tabel 1.)

Neuron besar yang terletak di bagian anterior sumsum tulang belakang dan 

batang otak merupakan sel motorik yang dirusak oleh poliomielitis. Cacat asimetris pada 

anak-anak seringkali disebabkan oleh cedera neuron motorik. Proses inflamasi tidak 

hanya mengganggu kemampuan motorik tetapi juga saraf otonom dan sensorik, namun 

tidak menimbulkan masalah daam jangka panjang. Manifestasi klinis dari paralisis 

terbagi dua tipe yaitu spinal dan bulbar. 

Selain gejala klinis langsung, gejala kelumpuhan akibat sindrom pasca polio 

(post-polio syndrome; PSS) mungkin bisa muncul bertahun-tahun (15-40 tahun) setelah 

infeksi akut. Gejala yang paling umum adalah nyeri otot yang berat, kelumpuhan baru 

atau berulang. Meskipun patofisiologinya tidak diketahui, hal ini bukanlah akibat dari 

penyakit yang menetap


Pemeriksaan Penunjang

Dengan kultur virus dari sampel tinja, virus polio dapat diidentifikasi. Sangat 

jarang ditemukan dari faring dan bahkan lebih jarang lagi ditemukan dari darah atau 

cairan serebrospinal (CSF). Untuk mengisolasi virus polio digunakan RT-PCR. Untuk memastikan serotipe virus (misalnya 1, 2, atau 3) dan apakah virus tersebut merupakan 

virus liar, strain turunan vaksin (Sabin), atau strain VDPV, dilakukan pengurutan genom 

(genomic sequencing). Pelepasan virus secara intermiten mungkin terjadi dan jumlah 

virus sering kali menurun setelah terjadi kelumpuhan. Disarankan untuk mengumpulkan 

setidaknya dua sampel tinja dalam waktu 24 jam selang waktu waktu 14 hari setelah 

timbulnya gejala Pada spesimen orofaringeal, virus polio dapat diidentifikasi dalam tiga 

sampai sepuluh hari pertama setelah timbulnya kelumpuhan, meskipun lebih sering 

ditemukan pada spesimen tinja. (14) Serologi untuk ketiga jenis virus polio saat ini belum 

tersedia di sebagian besar laboratorium karena adanya peraturan baru untuk 

pencegahan virus polio. Selain itu, serologi juga memiliki beberapa keterbatasan (14,15)

Diagnosis Banding 

Poliomielitis harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding dari setiap kasus 

kelumpuhan terutama lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis; AFP). Enterovirus 

lainnya juga dapat menyebabkan lumpuh layu akut, termasuk enterovirus A71, D68, dan 

coxsackie virus A. Virus lain yang mungkin muncul dengan gejala serupa adalah West 

Nile, Herpes Zoster, Japanese Ensefalitis, dan Rabies. Sindrom seperti Guillain-Barré juga 

harus disingkirkan. Pertimbangan juga penyakit non-infeksi termasuk infark sumsum 

tulang belakang, neuropati aksonal didapat, miastenia gravis, sindrom miastenik 

Lambert-Eaton, atau rhabdomiolisis.(15,20)

Tatalaksana 

Tidak ada pengobatan antivirus khusus yang tersedia. Yang tersedia hanyalah 

terapi suportif, yang bertujuan untuk memperlambat perkembangan penyakit, 

mencegah kelainan bentuk tulang dan mempersiapkan anak dan keluarga untuk 

mendapatkan perawatan jangka panjang yang diperlukan jika berpotensi kecacatan 

yang tidak dapat diperbaiki. Pasien dapat menerima perawatan di rumah untuk 

poliomielitis nonparalitik dan paralitik ringan. Selama fase akut penyakit, khususnya 

pada minggu pertama, semua suntikan intramuskular dan operasi pembedahan dilarang karena dapat memperburuk penyakit. Pemberian imunoglobulin mungkin dapat 

menghentikan penyebaran hematogen ke sistem saraf, namun sudah terlambat jika fase 

paralitik sudah dimulai. Pelepasan kontraktur sendi merupakan tindakan penting 

lainnya. Berbagai prosedur bedah dapat dipertimbangkan untuk menghentikan kelainan 

bentuk. Tujuan pembedahan adalah memulihkan kemampuan pasien untuk berjalan 

dan mengatasi segala kelainan bentuk akibat penuaan. Perawatan untuk tahap akut 

termasuk mengendalikan kelumpuhan pernafasan, mencegah infeksi pernafasan, dan 

memberikan perawatan suportif umum untuk demam dan ketidaknyamanan. Melalui 

program rehabilitasi fase pemulihan adalah untuk membawa pasien ke tingkat 

kesehatan fisik yang memungkinkan mereka untuk kembali beraktifitas. (15,21)

Pencegahan 

Pemberian vaksin polio dapat menghasilkan kekebalan polio. Vaksin polio oral 

yang dilemahkan (OPV/ oral attenuated poliovirus vaccine) atau vaksin yang dilemahkan 

(IPV/ Inactivated poliovirus vaccine) adalah dua jenis vaksin yang tersedia untuk 

mencegah infeksi virus polio. Manfaat utama OPV adalah kekebalan usus, yang 

membantu menghentikan penyebaran virus polio, sedangkan keunggulan IPV adalah 

antibodinya tinggi sehingga mencegah kelumpuhan. 

Dibandingkan virus yang tidak aktif, OPV lebih berhasil mengeradikasi 

poliomielitis. Setelah pemberian virus hidup (live attenuated) yang dilemahkan secara 

oral, saluran pencernaan bagian bawah dan tenggorokan akan mengalami replikasi virus 

yang dilemahkan. PVR akan menutup akibat vaksinasi OPV, mencegah perlekatan virus 

dan kelumpuhan lebih lanjut. IPV menghasilkan antibodi penetralisir dalam jumlah 

besar, yang menetralisir virus yang memasuki aliran darah atau aliran limfatik dan 

mencegahnya mencapai sumsum tulang belakang sehingga dapat mencegah 

kelumpuhan. Namun tidak mempunyai kemampuan untuk menghentikan penularan.

Alasan utama mengapa OPV masih digunakan di negara-negara berkembang adalah biay 

IPV yang tinggi. Meskipun demikian, IPV disarankan dalam jadwal imunisasi karena risiko 

Vaccine-Associated Paralytic Poliovirus (VAPP). Vaksin polio lengkap meliputi tiga dosis bOPV saat lahir, minimal dua dosis IPV dan bOPV saat lahir sesuai jadwal vaksinasi anak 

IDAI 2023.(22,23,24,25)

Komplikasi dan Prognosis 

Efek samping yang paling parah dari infeksi polio adalah sindrom pasca polio, 

gagal napas, gagal jantung, dan kelumpuhan yang melibatkan bulbar. Diperkirakan 

antara 30 dan 40 persen dari 15 hingga 20 juta kasus polio yang dilaporkan secara global 

dapat berkembang menjadi sindrom pasca-polio. Beberapa dekade setelah penyakit 

akut, tanda khasnya adalah kelemahan otot yang baru atau bertahap. Mialgia, 

ketidaknyamanan pernafasan, nyeri sendi, atrofi, disfagia dan kelelahan umum adalah 

gejala lainnya. Meskipun etiologi pasti dari sindrom pasca-polio tidak diketahui, penyakit 

ini diperkirakan disebabkan oleh penggunaan unit motorik yang tersisa secara 

berlebihan, perubahan inflamasi pada susunan saraf pusat, atau memburuknya 

sambungan neuromuscular. Sindrom ini dapat menyebabkan komplikasi seperti gagal 

tumbuh, patah tulang, atau gagal napas. (18,19,20,26)

Polio dapat muncul dengan berbagai gejala, mulai dari quadriplegia hingga gagal 

napas dan gejala virus tanpa kelumpuhan. Pasien dengan gejala prodromal virus 

mungkin akan pulih sepenuhnya dari gejala polionya. Tingkat kelumpuhan pada individu 

yang menderita kelumpuhan akut sering kali menetap. Tiga puluh hingga empat puluh 

persen penderita polio akan mengalami sindrom pasca polio. Penyakit ini kompleks dan 

dipengaruhi oleh sejumlah variabel, termasuk usia saat timbulnya penyakit, latar 

belakang sosial ekonomi dan tingkat kelumpuhan akut.(14,19)

KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) POLIOMIELITIS DI INDONESIA

Setelah PIN tahun 1995 Indonesia tidak melaporkan kasus polio sampai tahun 

2005 terdapat KLB Kembali. Kasus ditemukan di Sukabumi, Jawa Barat.(13) Setelah itu 

tidak ada laporan lagi kasus polio maupun virus polio liar sehingga Indonesia mendapat 

sertifikat bebas polio tahun 2014. Selang 4 tahun kemudian Kembali ditemukan KLB di 

Kabupaten Yahukimo, provinsi Papua, ditemukan 1 kasus AFP positif VDPV tipe 1 pada November 2018.(27) Kemudian pada tahun 2022 di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh 

ditemukan kembali kasus penyakit polio (tipe cVDPV2) melalui surveilans AFP di 

Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh pada tanggal 25 November 2022.(28) Selang satu tahun 

kemudian Desember 2023 dan Januari 2023 ditemukan kembali KLB polio di Jawa Timur 

dan Jawa Tengah.(6)

Akibat rendahnya tingkat vaksinasi selama sepuluh tahun terakhir, Aceh berisiko 

terjadi KLB Polio sehingga terjadi penularan virus polio liar dan mutasi virus polio. 

berdasarkan temuan survei cepat yang dilakukan di Kabupaten Pidie terhadap 26 

keluarga. Dari 33 anak, hanya 8 (atau 24%) yang telah mendapatkan semua suntikan 

OPV. Vaksin IPV belum pernah diberikan kepada siapapun. Ketakutan orang tua 

terhadap Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) menjadi alasan utama di balik hal 

tersebut. (29)

WHO diberitahu tentang terdapatnya kasus konfirmasi VDPV2 pada tahun 2022 

oleh Kementerian Kesehatan Indonesia. Pada tanggal 9 Oktober 2022, seorang anak 

berusia 7 tahun dari Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh mengalami AFP. Anak tersebut tidak 

memiliki riwayat perjalanan atau kontak dengan orang yang pernah bepergian, dan 

belum pernah mendapatkan vaksin polio oral (OPV) atau vaksin polio yang tidak aktif 

(IPV). Tiga isolat baru positif cVDPV2 ditemukan pada 25 November 2022, berdasarkan 

hasil laboratorium sampel tinja yang dikumpulkan dari tiga anak sehat yang tinggal di 

komunitas yang sama namun bukan merupakan kontak erat dengan pasien 

terkonfirmasi. Temuan pengurutan kasus AFP menunjukkan 25 perubahan nukleotida, 

sedangkan hasil pada tiga anak tanpa gejala menunjukkan 25-26 perubahan nukleotida. 

Hasil ini memenuhi persyaratan untuk dikategorikan sebagai sirkulasi sirkulasi VDPV2 

(cVDPV2) dan memberikan bukti adanya penularan virus. Tahap 1 (28 November – 4 

Desember 2022) melibatkan Pidie (kabupaten yang terkena dampak); Tahap 2 (5 

Desember – 11, 2022) melibatkan 6 kabupaten; dan Tahap 3 (12-18 Agustus 2022) 

melibatkan 16 kabupaten. Imunisasi Respons Wabah (ORI) dilaksanakan dalam tiga fase, 

yaitu fase 1 (28 Nov – 4 Des 2022): Pidie (kabupaten terdampak), fase 2 (5 Des – 11 Des 

2022): 6 distrik, fase 3 (12 – 18 Des 2022): 16 distrik.(29)

KLB polio kembali terjadi di Indonesia pada Desember 2023 akibat ditemukannya 

kembali kasus di Pamekasan dan Sampang, Madura, Jawa Timur, dan Klaten, Jawa 

Tengah. Menyikapi pandemi ini, Komite Imunisasi Nasional dan pemerintah 

merekomendasikan agar imunisasi tambahan diberikan segera, atau pada Pekan 

Imunisasi Subpolio (Sub Polio PIN). Sub PIN Polio ini akan dilaksanakan sebanyak dua 

putaran. Tanggal 15 Januari 2024 menandai dimulainya putaran pertama, sedangkan 19 

Februari 2024 menandai dimulainya putaran kedua. Ada jeda satu bulan antara setiap 

putaran, yang diadakan setiap minggu. Tiga kabupaten—Pamekasan dan Sampang di 

Jawa Timur, dan Klaten di Jawa Tengah—divaksinasi secara bersamaan. Berikutnya 

seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Terlepas dari riwayat vaksinasi 

sebelumnya, anak-anak usia 0-7 tahun merupakan populasi sasaran Sub PIN Polio. 

Setiap putaran, sasaran cakupannya adalah 95%, dan tersebar merata dari desa ke 

kabupaten. Jenis vaksin yang digunakan adalah vaksin generasi terbaru yaitu Novel Oral 

Polio Vaksin tipe 2 atau nOPV2 yang diberikan sebanyak dua tetes dengan interval 

minimal satu bulan.(30)

Faktor Resiko Kejadian Luar Biasa Polio di Indonesia 

Faktor lain yang berkontribusi terhadap penyebaran polio adalah buang air besar 

sembarangan, seperti di saluran air atau sungai. Ada kalanya lubang pembuangan air 

mengarah langsung ke sungai meskipun terdapat toilet. Selain itu, masyarakat juga 

masih memanfaatkan air sungai untuk berbagai kegiatan salah satunya untuk bermain 

anak-anak.(31) Imunisasi rutin pada masa anak-anak benar-benar efektif dalam 

menghentikan penyebaran global penyakit ini, seperti yang terlihat dari penurunan 

kasus sebesar 99% dari 350.000 pada tahun 1988 menjadi hanya 33 pada tahun 2018. 

(32) Kampanye pemberantasan polio telah berlangsung selama 33 tahun, dengan tujuan 

akhir dunia bebas polio pada tahun 2018. Akhirnya, batas waktu tersebut diundur ke 

tahun 2021, namun sampai saat ini tujuan tersebut masih belum tercapai. Tantangan 

saat ini terhadap upaya pemberantasan polio ada dua hal yaitu masih adanya polio tipe 

liar dan kelemahan vaksinasi OPV, yang dapat mengakibatkan efek samping pasca 

imunisasi seperti kelumpuhan atau VAPP dan munculnya virus polio yang berasal dari 

OPV (VDVP) yang dapat memicu wabah polio baru di daerah yang sudah bebas dari polio 

tipe liar.(33,34)

Di banyak negara, program vaksinasi polio untuk sementara dihentikan karena 

adanya Pandemi Global Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan munculnya severe 

acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) menjelang akhir tahun 2019. 

Hal ini menyebabkan ditemukannya kembali virus polio pada tahun 2020. Hal ini 

mencerminkan kemunduran program yang disebabkan oleh terhentinya kegiatan 

tanggap wabah.(35)

Cakupan imunisasi polio di Indonesia

Di semua fasilitas kesehatan yang dikelola oleh pemerintah, Kementerian 

Kesehatan menyediakan vaksinasi polio gratis. Vaksinasi yang diberikan adalah vaksin 

polio suntik (IPV) yang diberikan satu kali pada umur empat bulan, dan vaksin polio tetes 

(OPV) yang diberikan sebanyak empat kali pada umur satu, dua, tiga, dan empat bulan. 

Anak-anak yang belum menerima vaksinasi polio atau terlambat menerima vaksinasi 

harus segera mendapatkan status imunisasi lengkap. Vaksinasi polio dapat diberikan 

secara lengkap hingga usia lima tahun. (36,37)

Menurut data Kementerian Kesehatan, cakupan vaksinasi polio bayi di Aceh 

diperkirakan hanya mencapai 50,9% dari seluruh kelahiran hidup di provinsi tersebut 

pada tahun 2021 dari 101,52 ribu kelahiran secara keseluruhan. Secara nasional, Aceh 

mempunyai tingkat cakupan vaksinasi polio bayi terendah kedua. Papua Barat memiliki 

cakupan terendah, yakni hanya 43,4% dari 19,2.000 kelahiran hidup yang terjadi di sana 

pada tahun 2021. Provinsi dengan cakupan terendah berikutnya adalah Papua (61,5%) 

dan Sumatera Barat (61%). Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan cakupan 

vaksinasi polio tertinggi yaitu sebesar 96,7%. Sembilan belas dari tiga puluh empat 

provinsi memiliki tingkat vaksinasi polio yang lebih rendah dibandingkan rata-rata 

nasional yang sebesar 80,7%. Sementara itu, lima belas provinsi lainnya memiliki rata-rata yang lebih tinggi. Hal ini perlu dievaluasi kembali karena tingkat vaksinasi di seluruh 

Indonesia diperkirakan menurun pasca pandemi Covid-19.(38)

Penanggulangan KLB Polio

Strategi penghentikan penyebaran virus, membendung wabah, dan menurunkan 

jumlah kasus dan kematian, wabah polio harus dilakukan secepat mungkin. 

Meningkatkan tingkat imunisasi (juga dikenal sebagai Outbreak Response Immunization 

atau ORI) adalah salah satu cara untuk membendung wabah polio. Jenis vaksin polio oral 

(OPV) yang diberikan sesuai jenis VPL/VDPV yang menyebabkan epidemi. Jika wabahnya 

adalah VPL/VDPV tipe 1 atau 3, diberikan b-OPV (tipe 1 dan 3); jika wabahnya adalah 

VPL/VDPV tipe 2, diberikan m-OPV tipe 2. Berikut beberapa teknik mitigasinya: Pertama 

Respon Imunisasi OPV terbatas. Imunisasi OPV terbatas, dikenal juga dengan Outbreak 

Response Immunization (ORI), adalah pemberian dua tetes vaksin polio oral (OPV) 

kepada semua anak balita di desa atau kelurahan yang berpeluang terpapar virus, 

terutama di desa tempat kasus tersebut berada dan desa terdekat. Hal ini dilakukan 

tanpa memandang status imunisasi polio anak sebelumnya. Vaksinasi harus diberikan 

sesegera mungkin (dalam 3x24 jam) dan paling lambat pada minggu pertama setelah 

kasus atau virus polio ditemukan. Kedua, imunisasi Mopping Up dilakukan di daerah 

bebas polio, yang berisiko tertular virus polio. Imunisasi Mopping Up adalah kampanye 

intensif yang mencakup wilayah luas dengan pemberian dua tetes vaksin OPV pada 

serentak pada semua anak di bawah lima tahun, tanpa memandang riwayat status 

vaksinasi polio mereka. Kampanye ini dilakukan dari rumah ke rumah. Imunisasi 

Mopping Up di satu provinsi disebut juga dengan Pekan Imunisasi Sub Nasional (SubPIN), 

sedangkan imunisasi Mopping Up di seluruh Indonesia dikenal dengan Pekan Imunisasi 

Nasional (PIN) hal ini untuk membantu masyarakat memahami upaya imunisasi 

tersebut.

KLB yang terjadi di Indonesia pada tahun 2022-2023 disebabkan karena 

rendahnya tingkat imunisasi di 30 provinsi di Indonesia, termasuk Provinsi Aceh, 

terdapat sebanyak 415 kabupaten/kota yang memenuhi ambang batas risiko tinggi 

infeksi polio. Statistik Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa dalam dua tahun 

terakhir, terjadi penurunan cakupan vaksin polio OPV dan IPV. Persentase masyarakat 

yang menerima vaksinasi OPV turun menjadi 80,2% pada tahun 2021 dari 86,8% pada 

tahun 2020. Di beberapa lokasi lainnya masih terdapat daerah yang tingkat imunisasinya 

kurang dari 50% pada tahun 2020. Oleh karena itu, pemerintah berupaya lebih keras 

untuk meningkatkan tingkat imunisasi di tingkat nasional.

Akibat rendahnya tingkat vaksinasi selama sepuluh tahun terakhir, Aceh berisiko 

mengalami epidemi polio yang menyebarkan virus polio liar dan menyebabkannya 

bermutasi. Berdasarkan temuan survei cepat yang dilakukan terhadap 26 rumah tangga 

hanya 8 (24%) dari 33 anak di Kabupaten Pidie yang telah menerima vaksinasi OPV 

lengkap sesuai rekomendasi. Tidak pernah mendapat IPV. Sedangkan untuk Sampang, 

Madura, dan Klaten, saat ini belum ada informasi terkini mengenai tingkat imunisasi. 

Namun, kemungkinan besar ketiga wilayah tersebut, serta banyak wilayah lain di 

Indonesia, mengalami penurunan tingkat vaksinasi pasca wabah Covid-19. 

Upaya pemerintah untuk mengatasinya terbilang efektif menangani KLB yaitu 

yaitu dengan cara melakukan SubPIN dan mopping up. Tingkat vaksinasi nasional yang 

melebihi 95% akan menghentikan KLB. Selain itu sangat penting untuk mencapai tingkat 

cakupan vaksinasi polio (bOPV) tertinggi sesuai dengan jadwal yang disarankan oleh 

Kementerian Kesehatan Indonesia, yang mengharuskan bOPV pada usia 1 bulan 

kemudian diberikan bersamaan dengan vaksin DTP-HB-Hib pada usia dua, tiga, dan 

empat bulan. Selain OPV, vaksin IPV juga diberikan pada usia 4 bulan. Menurunnya 

tingkat vaksinasi polio mungkin menjadi salah satu penyebab terjadinya wabah. Upaya 

yang harus terus dilakukan agar Indonesia dapat terus bebas polio salah satunya dengan 

meningkatkan cakupan Imunisasi. Pelaksanaan program untuk memerangi wabah 

poliomielitis memerlukan kerja sama antara para profesional kesehatan, lintas sektor, dan antusiasme masyarakat. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko penyakit, 

terutama jika tidak diberikan imunisasi lengkap, merupakan langkah paling penting 

dalam mencegah penyakit menular yang dapat dicegah dengan vaksinasi, seperti polio. 



APA ITU POLIO

POPOLLIOIO

Polio adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Polio

yang dapat menyebabkan kelumpuhan. 

APA ITU SURVEILANS AFP

Surveilans AFP merupakan pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus 

lumpuh layuh akut atau Accute Flaccid Paralysis yang memenuhi 3 kriteria 

sebagai berikut: 

• Anak usia <15 tahun

• Kelumpuhan bersifat layuh dan terjadi secara mendadak

• Kelumpuhan bukan disebabkan oleh trauma/ruda paksa/ kekerasan

Pengamatan dilakukan pada semua kelumpuhan terjadi secara akut dan 

bersifat layuh untuk meningkatkan sensitivitas penemuan kasus Polio.

LAPORKAN KE PETUGAS PUSKESMAS ATAU DINAS KESEHATAN KABUPAT￾EN/KOTA SETEMPAT APABILA MENEMUKAN KASUS DENGAN KRITERIA AFP

PENGAMBILAN SPESIMEN

Ambil 2 spesimen tinja sebesar ibu jari orang dewasa, atau 1 sendok makan 

jika tinja encer, dengan jeda minimal 24 jam antara sampel 1 dan 2. 

Kirim sampel ke laboratorium dalam suhu 2-8oC.

DIAGNOSIS BANDING YANG DILAPORKAN

1 Sindrom Guillain barre

2 Myelitis tranversa

3 Hipokalemia

4 Erb’s paralysis

5 Stroke pada anak

6 Spinal muscular atropy

7 Meningitis

8 Ensephalitis atau ensefalopati

9 Miastenia gravis

10 Diare berat dan gizi buruk

1 Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

2 Memberikan imunisasi polio tetes dan suntik




APA ITU CAMPAK-RUBELA

Campak-rubela adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Campak

dan virus Rubela yang menular melalui percikan ludah penderita saat batuk/bersin.

LAPORKAN SETIAP KASUS YANG MENGALAMI GEJALA DEMAM

DAN RUAM MAKULOPAPULAR KEPADA PETUGAS PUSKESMAS 

ATAU DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA SETEMPAT.

PENGAMBILAN SPESIMEN

• Pengambilan sample serum

 minimal 1ml sampai hari

 ke 28 sejak timbul ruam

• Pengambilan urin atau swab

 tenggorokan untuk pemeriksaan

 virologi dilakukan sampai hari

 ke-5 sejak timbul ruam


TATA LAKSANA KASUS

• Isolasi mandiri (gejala ringan), jika

 ada komplikasi rawat di rumah sakit 

• Jauhkan populasi rentan (ibu hamil,

 anak <12 bulan dan penderita 

penyakit penurunan kekebalan) 

dari suspek campak

• Pemberian vitamin A dosis tinggi

 pada kasus sesuai usia:

Umur

0 - 6 bl*

6 - 11 bl

≥ 12 bl

Dosis Segera

50.000 IU

100.000 IU

200.000 IU

Dosis Hari ke 2**

50.000 IU

100.000 IU

200.000 IU

Jauhkan penderita

campak/rubela dari

ibu hamil karena jika mengenai

ibu hamil dapat menyebabkan 

komplikasi ke kehamilannya.

• Terapkan protokol kesehatan dan

 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

• Pemberian imunisasi Campak-Rubela

 pada bayi, baduta dan anak sekolah


Abstrak

Poliomielitis atau yang lebih dikenal dengan polio merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan atrofi 

otot yang ireversibel, bahkan kematian pada anak. Sejak dilaporkan kejadian luar biasa (KLB) terjadi di Eropa pada abad ke-19, angka 

kejadian polio terus meningkat hingga menjadi pandemi pada awal abad ke-20. Saat ini, gerakan inisiatif global yang dibentuk oleh 

WHO telah berhasil menurunkan angka insidensi polio sampai 80%, berkat pemberian vaksin yang didukung oleh program pemerintah 

dan sistem pengawasan yang baik. Namun, muncul masalah terkait pemberian vaksin, oral poliovirus vaccine (OPV), yaitu circulating 

vaccine derived polio viruses (cVDPVs) dan vaccine associated paralytic poliomyelitis (VAPP). Untuk itu, American Academy of Pediatrics

merekomendasikan pemberian inactivated poliovirus vaccine (IPV) sebagai pengganti OPV. Rekomendasi tersebut tidak efektif apabila 

diterapkan di negara berkembang yang masih banyak terdapat infeksi polio liar, seperti Indonesia, karena perlindungan IPV tidak 

cukup kuat, tidak dapat menimbulkan herd immunity, dan harganya jauh lebih mahal. Pemberian OPV masih menjadi pilihan, dengan 

rekomendasi terbaru dari WHO yang mempertimbangkan pemberian bivalent (bOPV) karena trivalent (tOPV) dapat meningkatkan 

angka kejadian cVDPV akibat virus polio tipe-2 (VP2). Upaya eradikasi polio ditunjang Global Polio Eradication Initiative (GPEI) 

melalui Eradication and Endgame Strategic Plan dengan target bebas polio pada tahun 2018. Sari Pediatri 2016;18(3):245-50


Poliomielitis merupakan penyakit menular 

yang dapat menyebabkan paralisis 

ireversibel dan kematian pada anak.1

Predileksi virus polio pada sel kornu 

anterior medula spinalis, inti motorik batang otak 

dan area motorik korteks otak, menyebabkan 

kelumpuhan serta atrofi otot.2 Mengingat penyakit 

ini menyebabkan kelumpuhan, maka polio menjadi 

salah satu penyakit yang penting untuk dieradikasi 

secara global. Dunia sangat beruntung karena 

ditemukan vaksin yang efektif untuk mencegah 

polio. Dikenal dua jenis vaksin polio, yaitu oral 

polio vaccines (OPV) dan inactivated polio vaccines 

(IPV).3 Namun terdapat masalah, yaitu circulating 

vaccine derived polio viruses (cVDPVs) dan kejadian 

vaccine associated paralytic poliomyelitis (VAPP), yang 

merupakan kasus polio paralitik yang disebabkan 

oleh virus vaksin.2

 Maka pemakaian OPVdiubah 

dari tOPV menjadi bOPV.4,5

Di saat ini, dunia hampir tiba pada masa eradikasi 

penyakit. Para ilmuwan telah bergabung untuk 

mendukung program eradikasi polio, dengan target 

bebas polio di tahun 2018, melalui Eradication and 

Endgame Strategic Plan, suatu strategi gerakan Global 

Polio Eradication Initiative (GPEI).1 

Sejarah 

Kata poliomielitis berasal dari istilah medis untuk 

menggambarkan dampak virus polio pada medula 

spinalis. Polio berasal dari bahasa Yunani yang 

berarti abu-abu dan saraf tulang belakang (myelon).6

Polio diduga pertama kali dikenal kira-kira 6000 

tahun yang lalu. Pada mumi dari zaman Mesir 

kuno ditemukan kelainan kaki, dan pada deskripsi 

Mesir kuno di tahun 1580-1350 sebelum Masehi 

yang digambarkan pendeta muda dengan sebelah 

kaki atrofi dan telapak kaki pada posisi equinus.

2

Deskripsi klinis pertama mengenai poliomielitis 

dibuat oleh Michael Underwood, seorang dokter 

dari Inggris yang melaporkan penyakit yang 

terutama menyerang anak-anak dan menyebabkan 

kelumpuhan menetap pada ekstremitas bawah.6

 Pada 

awal abad ke-19 dilaporkan kejadian luar biasa polio 

di Eropa dan pertama kali dilaporkan di Amerika 

Serikat pada tahun 1843. Namun, angka kejadian 

polio terus meningkat menjadi epidemi di awal 

abad ke-20.6

Etiologi

Virus penyebab polio pertama kali ditemukan di tahun 

1909 oleh Karl Landsteiner dan Erwin Popper, dua 

orang dokter dari Austria.6

 Virus polio (VP) adalah 

virus RNA ultra mikroskopik yang termasuk genus 

Enterovirus, dalam famili Picornaviridae.

2 Virus single 

stranded 30% terdiri dari virion, protein mayor (VP1 

sampai 4) dan satu protein minor (VPg). Virus terdiri 

dari 3 serotipe yaitu serotipe 1, 2, dan 3 masing-masing 

disebut juga serotipe Mahoney, Lansing, dan Leon. 

Perbedaan ketiga jenis strain terletak pada segmen 

nukleotida. Virus polio serotipe 1 adalah antigen 

yang paling dominan dalam membentuk antibodi 

netralisasi. Serotipe 1 adalah yang paling paralitogenik 

dan sering menimbulkan KLB, sedangkan serotipe 3 

adalah yang paling tidak imunogenik.2,6 

Patogenesis 

Virus polio ditularkan lewat jalur fekal-oral. Virus dapat 

diisolasi dari sistem limfatik saluran cerna manusia, 

termasuk tonsil, Peyer’s patch, dan kelenjar getah bening 

usus, juga dalam feses. Replikasi awal virus pada sel 

yang rentan infeksi di faring dan saluran cerna sebagian 

besar akan menimbulkan viremia minor dan singkat, 

serta asimtomatik. Apabila infeksi berlanjut, virus akan 

menyebar lebih luas pada jaringan retikuloendotelial 

lainnya. Dilaporkan 95% infeksi primer ini asimtomatik, 

dan pada 4%-8% infeksi sekunder akan muncul sebagai 

gajala infeksi virus non spesifik. Apabila infeksi tersebut 

sudah menginvasi sistem saraf, dapat terjadi meningitis 

aseptik pada 1%-2% kasus, dan terjadi polio paralitik 

pada 0,1%-1% kasus.1,6 

Berdasarkan manifestasi klinis spesifik, poliomieli￾tis paralitik tanpa gejala sensoris dan gangguan fungsi 

kognitif. Secara klinis, polio diklasifikasikan sebagai 

berikut, 6

1. Poliomielitis spinal, ditandai dengan acute flaccid 

paralysis (AFP) atau lumpuh layu akut, sekunder 

akibat destruksi selektif dari motor neuron pada 

medula spinalis dan sekuens denervasi dari struktur 

muskuloskeletal yang terlibat

2. Poliomielitis bulbar, terdapat paralisis otot 

pernafasan akibat serangan virus pada neuron di 

batang otak yang mengontrol pernafasan

3. Poliomielitis bulbo-spinalis akibat kerusakan 

batang otak dan medula spinalis.


Diantara kasus poliomielitis paralitik, diperkirakan 

angka fatality rate 2%-5% pada anak-anak dan 15%-

30% pada dewasa, dengan peningkatan kematian pada 

paralisis bulbar.6 

Epidemiologi 

Pada tahun 1988, menteri kesehatan dari berbagai 

negara anggota World Health Organization (WHO)

menyerukan gerakan eradikasi polio. Hasil dari 

gebrakan ini adalah menurunnya insidens polio lebih 

dari 99% pada tiga regional WHO (Amerika, Pasifik 

Barat, dan Eropa) dan mendapat sertifikasi bebas 

polio. Program intensif untuk eradikasi polio di Asia 

Tenggara dengan menggunakan trivalent OPV (tOPV) 

menyebabkan penurunan angka kejadian polio.7

 

Tahun 2012 disebut sebagai titik balik bagi negara￾negara endemis polio. Kasus baru infeksi virus polio 

liar berkurang dari perkiraan 350.000 kasus di 125 

negara (pada tahun 1988) menjadi hanya 748 kasus di 

tahun 2000, dan kurang dari 250 kasus di lima negara 

pada tahun 2012.1,7 India dinyatakan telah berhasil 

menghentikan transmisi virus polio liar di tahun 

2011.1

 Saat ini, hanya tinggal dua negara yang masih 

endemis polio, yaitu Pakistan dan Afganistan. Nigeria 

yang sebelumnya juga termasuk negara endemis, sudah 

tidak melaporkan lagi kasus polio liar sejak 24 Juli 2014 

dengan didukung oleh surveillance AFP yang baik.14

Vaksin polio 

Sejak pengenalan vaksin poliovirus di tahun 1950 dan 

awal tahun 1960an, efektivitas vaksin untuk mencegah 

poliomielitis telah dibuktikan secara nyata. Kasus polio 

terakhir di Amerika Serikat yang disebabkan oleh 

virus polio liar dilaporkan pada tahun 1979. Tidak 

ada kasus baru yang dilaporkan di negara barat sejak 

Agustus 1991, dan hal ini membuat Amerika mendapat 

sertifikasi bebas polio dari komisi internasional di 

tahun 1994.5

 Fakta ini membuat pemikiran positif 

bahwa polio dapat dieradikasi di dunia.

Jenis vaksin polio

1. Oral poliovirus vaccine (OPV) 

OPV sering disebut sebagai vaksin polio Sabin 

sesuai nama penemunya, bentuk trivalen (tOPV) 

untuk mencegah tiga jenis virus polio. Vaksin 

tOPV adalah vaksin hidup yang dilemahkan (live￾attenuated virus vaccine), diberikan tiga dosis secara 

serial untuk memberikan kekebalan seumur hidup. 

Vaksin polio oral lebih efektif untuk pemberantasan 

poliomielitis, karena virus yang dilemahkan akan 

mengadakan replikasi di traktus gastrointestinalis 

bagian bawah. Hal ini dapat menutup replikasi 

virus sehingga virus lain tidak dapat menempel dan 

menyebabkan kelumpuhan. Kemampuan ini dapat 

menekan transmisi virus saat KLB. Namun, vaksin 

OPV adalah virus yang dilemahkan, yang dapat 

mengalami mutasi sebelum dapat bereplikasi dalam 

usus dan diekskresi keluar. Hal ini menimbulkan 

kerugian berupa munculnya circulating vaccine 

derived polio viruses (cVDPVs) dan vaccine￾associated paralytic poliomyelitis (VAPP).2,3,5 Saat ini, 

mulai dipertimbangkan pemberian vaksin OPV 

bivalent (bOPV) yang berisi virus tipe 1 dan 3 

sesuai rekomendasi WHO.9

2. Inactivated poliovirus vaccine (IPV) 

Vaksin polio inaktif (IPV) sebenarnya lebih dulu 

ditemukan daripada OPV, disebut juga vaksin polio 

Salk, sesuai dengan nama penemunya Jonas Salk di 

tahun 1955. Vaksin IPV berisi virus inaktif, berisi 

3 tipe virus polio liar. Vaksin yang disuntikkan 

akan memunculkan imunitas yang dimediasi 

IgG dan mencegah terjadinya viremia serta 

melindungi motor neuron. Vaksin IPV mampu 

mencegah kelumpuhan karena menghasilkan 

antibodi netralisasi yang tinggi. Pada tahun 

1980an, komposisi awal IPV yang ditemukan 

Salk dikembangkan sehingga memiliki kandungan 

antigen yang lebih tinggi, dikenal sebagai enhanced￾potency IPV (eIPV) dan digunakan sampai 

sekarang. Pemberian IPV pada berbagai studi 

dilaporkan dapat menyebabkan serokonversi 

terhadap ketiga tipe virus polio sebesar 94% 

setelah pemberian dua dosis dan 99-100% setelah 

pemberian injeksi 3 dosis. Keuntungan lain IPV 

adalah dapat diberikan pada kasus dengan status 

immunocompromised. Namun bila dibandingkan 

dengan OPV, vaksin inaktif ini kurang kuat dalam 

memberikan perlindungan mukosa dan kurang 

efektif untuk menimbulkan herd immunity. Harga 

vaksin IPV ini juga relatif mahal.2,5,9,10 Di negara 

maju, pemberian IPV lebih direkomendasikan 

karena dapat mengurangi angka kejadian VAPP 

dan VDPV.4,5

Eradikasi polio, masalah, dan target 

Gerakan inisiatif global untuk eradikasi polio yang 

dicanangkan oleh WHO sudah menurunkan insidens 

polio sampai lebih dari 80%.5

 Selain pemberian vaksin, 

strategi untuk eradikasi polio ini perlu didukung 

dengan program pemerintah yang kuat dan sistem 

surveilans yang baik.1,9 Masalah utama yang muncul 

adalah bagaimana dapat melakukan eradikasi polio dengan vaksinasi, apabila vaksin yang dipergunakan 

dapat menyebabkan kelumpuhan. 

Pemberian vaksin polio secara besar-besaran sejak 

tahun 1988 dengan tujuan eradikasi polio dapat 

tercapai di sebagian besar negara-negara dunia adalah 

karena efektifitas OPV. Namun harus diingat bahwa 

vaksin OPV adalah virus yang dilemahkan, yang 

dapat mengalami mutasi sebelum dapat bereplikasi 

dalam usus dan diekskresi. Mutasi ini terjadi pada 

sekuens nukleotida dari 5-prime-end dari regio non￾koding genom virus, melibatkan satu sampai beberapa 

nukleotida. Definisi cVDPV jika mutasi lebih dari 1% 

koding genom RNA untuk viral capsid, dan isolate ini 

umumnya mengalami rekombinasi dengan enterovirus 

lain sehingga meningkatkan daya virulensi. Eksistensi 

cVDPV ditemukan di tahun 2000 selama penyelidikan 

21 kasus paralitik poliomielitis di Hispaniola. 

Sebetulnya mutasi virus vaksin dapat terjadi namun 

tidak menjadi masalah (menyebabkan kasus) apabila 

tidak terdapat kantong-kantong anak yang tidak 

terimunisasi. Di negara yang masih memiliki angka 

polio tinggi, VDPV dapat menyebabkan KLB polio 

yang sulit diatasi.2,5,9-11 Sekurangnya ada enam KLB 

cVDPV yang muncul di dunia sejak tahun 2000, yaitu 

di Hispaniola (Haiti dan Republik Dominica, tahun 

2000), Filipina (2001), Madagaskar (2003 dan 2005), 

China (2004) dan Indonesia (2005).12

Masalah lainnya adalah VAPP, yaitu kasus polio 

paralitik yang disebabkan oleh virus vaksin, dibagi 

menjadi VAPP resipien dan VAPP kontak. Kejadian 

VAPP resipien dijumpai pada kasus polio paralitik yang 

terjadi dalam waktu antara 7-30 hari setelah pemberian 

vaksin. Sementara VAPP kontak adalah kasus polio 

yang terjadi antara 7-60 hari setelah penderita kontak 

dengan penerima vaksin OPV, atau tinggal di daerah 

yang mengadakan imunisasi masal OPV dalam waktu 

7-60 hari sebelum sakit. Di Amerika, masalah VAPP 

ini lebih menjadi perhatian. Sejak mendapat sertifikasi 

bebas polio (1979) hampir semua kasus paralitik 

poliomielitis adalah berhubungan VAPP. Antara tahun 

1980 dan 1994, dilaporkan 125 kasus VAPP, dan 

saat itu masih dipakai vaksin OPV untuk imunisasi. 

Sejak itu dikembangkan pemberian IPV berdasarkan 

rekomendasi American Academy of Pediatricsmengenai 

pemberian IPV sebagai pengganti OPV.2,4,5

Di negara berkembang, tidak semudah itu 

menerapkan pemberian IPV. Pertama, harganya jauh 

lebih mahal dari OPV. Selain itu, di negara yang masih 

banyak infeksi virus polio liar, dikatakan perlindungan 

IPV tidak cukup kuat dan tidak dapat menimbulkan 

herd immunity. Berdasarkan data infeksi virus polio 

yang digolongkan sesuai tipenya, didapatkan bahwa 

insidens infeksi virus polio tipe-2 (VP2) paling sedikit 

dibanding VP1 dan VP3 (Tabel 2).13 Bahkan, kasus 

VP2 tidak pernah lagi dilaporkan sejak tahun 1999. 

Oleh karena itu, pada tanggal 20 September 2015, 

WHO resmi menyatakan bahwa virus polio liar tipe 

2 sudah musnah.15 Di lain pihak, angka kejadian 

cVDPV akibat VP2 cukup tinggi, terutama di Nigeria, 

Pakistan, dan Afghanistan. Bahkan lebih dari 90% 

KLB poliomielitis disebabkan cDVPV2. Maka dibuat 

rekomendasi baru untuk mengalihkan tOPV (trivalen) 

ke OPV bivalen (bOPV) yang hanya mengandung 

virus polio tipe 1 dan 3.1,7 Tentunya, kebijaksanaan 

ini mengandung risiko beredarnya virus polio tipe 

2, terutama cVDPV, sehingga jadwal imunisasi polio 

minimal satu kali diberikan dan berisi 3 serotipe polio.9

Berdasarkan hal tersebut, dibuat strategi menuju 

eradikasi polio di dunia yaitu, 

1. Pemberian tOPV beralih ke bOPV yang dilakukan 

serentak di seluruh dunia pada bulan April 2016.

2. Mengenalkan setidaknya 1 dosis IPV pada 

imunisasi rutin sebagai “priming”. Maka jika terjadi 

KLB polio karena cVDPV type2, akan langsung 

terjadi booster (penguat). Untuk Indonesia, 

IPV disarankan diberikan bersamaan dengan 

pemberian OPV yang terakhir.

3. Memberhentikan penggunaan OPV dan me￾lanjutkan dengan IPV saat infeksi virus polio liar 

sudah tidak ada di dunia.

4. Melakukan penelitian untuk memproduksi IPV 

dengan harga murah dan terjangkau.

Kesimpulan dan saran

Kelebihan OPV dibanding IPV adalah lebih murah, cara 

pemberian lebih mudah, dan daya imunogenisitas lebih 

tinggi, serta efektif menekan transmisi virus saat wabah.


Kerugian tOPV yang saat ini dipakai adalah VDPV 

dan VAPP. Sedangkan IPV sebaliknya, menghasilkan 

antibodi netralisasi yang tinggi, mengurangi risiko 

VAPP, namun karena harganya cukup mahal maka 

belum dapat digunakan untuk program imunisasi 

masal di negara-negara berkembang. Vaksinasi IPV 

juga tidak mempunyai efek untuk menekan transmisi 

di daerah dengan endemis polio.2,9 Diperlukan usaha 

dan komitmen bersama dari semua negara untuk 

me