Indonesia telah mencapai eradikasi polio bersama beberapa anggota Organisasi Regional Asia Tenggara
(South-East Asia Regional (SEARO)) lainnya pada tahun 2014 karena berhasil menanggulangi penyakit yang
disebabkan oleh virus polio liar. Sayangnya sejak itu Indonesia telah mengalami beberapa kali Kejadian Luar
Biasa (KLB). Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab timbulnya poliomielitis lagi
di Indonesia setelah dinyatakan bebas polio pada tahun 2014 dan langkah efektif untuk menghentikan KLB
dan pencegahan munculnya kembali poliomielitis. Kewaspadaan tenaga Kesehatan dan Masyarakat
terhadap penyakit polio harus ditingkatkan kembali agar Indonesia dan dunia dapat segera bebas polio. Dua
KLB terjadi di Indonesia pada tahun 2022 dan 2023. KLB yang pertama terjadi pada tahun 2022 adalah di
Kabupaten Pidie, Aceh, Indonesia. Menanggapi wabah poliomyelitis tersebut pemerintah segera
mengadakan program vaksinasi secara serentak. Sejak saat itu tidak ditemukan kembali kasus poliomielitis
hingga satu kasus ditemukan lagi pada Desember 2023 di Solo, Jawa Tengah, Indonesia. Sekali lagi untuk
untuk merespon wabah poliomielitis pemerintah mengadakan program vaksinasi serentak di tiga kabupaten
yaitu Pamekasan dan Sampang, Jawa Timur dan Klaten, Jawa Tengah. Diikuti setelah itu oleh seluruh wilayah
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Respon cepat dari pemerintah ini diharapkan dapat menghentikan wabah
kembali. Target SubPIN (Sub Pekan Imunisasi Nasional) adalah untuk memutus rantai penularan, sehingga
harus dipastikan cakupan tinggi, minimal 95% dan merata di seluruh wilayah. Selain itu informasi pada
masyarakat mengenai bahaya penyakit dan pentingnya vaksinasi lengkap untuk mencegah penyakit harus
terus diberikan.
Sertifikat bebas polio telah diberikan kepada Indonesia dan beberapa negara
lainnya di Organisasi Regional Asia Tenggara (South-East Asia Regional (SEARO)) pada
tahun 2014 karena berhasil menanggulangi penyakit yang disebabkan oleh virus polio
liar. Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) menargetkan polio liar tipe 1
dan 2 dapat dihilangkan secara global.(1) Meskipun demikian, paparan polio masih dapat
terjadi baik dari virus polio yang diturunkan dari vaksin (Vaccine-Derived Polio Virus
(VDPV)), virus polio liar, atau virus yang bermutasi. Tingkat vaksinasi yang rendah dalam
jangka panjang mungkin menjadi penyebabnya. Dengan memastikan bahwa setiap anak
menerima vaksinasi lengkap, polio dapat diberantas sepenuhnya. Rendahnya tingkat
vaksinasi menimbulkan risiko terhadap kapasitas Indonesia untuk terus bebas polio.(2,3,4)
Awal November 2022, satu kasus polio ditemukan di Kabupaten Pidie, Aceh,
berdasarkan penelusuran reverse transkriptase polimerase chain react (RT-PCR).
Berdasarkan kesimpulan tersebut, pemerintah daerah Kabupaten Pidie menetapkan
Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio. Seorang anak berusia 7 tahun 2 bulan ditemukan
mengalami gejala kelumpuhan pada kaki kirinya. Anak laki-laki tersebut dibawa ke
Rumah Sakit Umum Daerah Tgk Chik Ditiro Sigli (RSUD TCD Sigli) pada tanggal 18
Oktober setelah ia mulai menunjukkan gejala demam pada tanggal 6 Oktober. Dua
spesimen diperoleh dari dugaan kasus polio pada anak-anak pada tanggal 21-22 Oktober
dan dikirim ke laboratorium provinsi. Kemudian, pada 7 November, keluar hasil RT-PCR
yang mengonfirmasi adanya polio tipe 2.(5)
Pada akhir Desember 2023 dan awal Januari 2024, 3 (tiga) anak asal Pamekasan
dan Sampang, Jawa Timur, serta Klaten, Jawa Tengah, dinyatakan positif mengidap
poliomielitis. Sejak itu, status KLB ditetapkan oleh pemerintah.(6)
Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab timbulnya
poliomielitis lagi di Indonesia setelah dinyatakan bebas polio pada tahun 2014 dan
langkah efektif untuk menghentikan KLB dan pencegahan munculnya kembali
poliomielitis
POLIOMIELITIS
Khususnya pada anak kecil, infeksi virus polio dapat mengakibatkan kematian
atau lumpuh layu. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberantas infeksi ini di
seluruh dunia. Saluran oral-fecal merupakan tempat penyebaran utama virus polio.
Tenggorokan dan saluran pencernaan adalah dua area yang rentan terhadap infeksi,
sebagian besar infeksi ini mengakibatkan gejala ringan atau tidak ada bergejala sama
sekali. Virus akan menyebar lebih luas ke jaringan retikuloendotelial lainnya jika infeksi
berlanjut. Hingga 95% kasus infeksi primer diketahui tidak menunjukkan gejala, namun
4-8% pasien dengan infeksi sekunder menunjukkan gejala infeksi virus yang tidak
spesifik.(7,8)
Etiologi
Virus penyebab poliomielitis, atau polio, sangat menular. Virus ini terdiri dari tiga
strain yaitu strain 1 (Brunhilde), 2 (Lansig), dan 3 (Leon), yang semuanya merupakan
anggota famili Picornaviridae. Urutan nukleotida dari tiga jenis strain berbeda satu sama
lain. Ketika antibodi penetralisir terbentuk, VP1 adalah antigen yang paling umum.
Strain 2 adalah yang paling jinak sedangkan strain 1 adalah yang paling paralitogenik dan
sering menimbulkan wabah. Biasanya, fase inkubasi berlangsung tiga sampai enam hari,
dan kelumpuhan terjadi tujuh sampai dua puluh satu hari kemudian. (9,10,11)
Virus polio yang telah ditemukan antara lain adalah virus Vaccine Derived
Poliovirus (VDPV), virus polio liar/Wild Poliovirus (WPV), dan virus polio sabin. VDVP
merupakan virus mutan yang dapat melumpuhkan manusia. Ada tiga jenis VDPV yaitu
VDPV terkait imunitas (Immunodeficient-related VDPV( iVDPV)), yang berasal dari orang
dengan sistem imun yang lemah, Circulating VDPV (cVDPV) ketika ada bukti transmisi
dari orang ke orang di dalam masyarakat, dan Ambiguous VDPV (aVDPV) apabila tidak
dapat diklasifikasikan sebagai cVDPV atau iVDPV. (12)
Sumber dan cara penularan Virus ini adalah melalui infeksi droplet dari orofaring
(air liur) atau kotoran orang yang terinfeksi. Cara penularan utama adalah langsung dari
manusia ke manusia (fecal-oral atau oral-oral).Epidemiologi
Indonesia mendapat sertifikat bebas polio tahun 2014 karena berhasil
menanggulangi penyakit yang disebabkan oleh virus polio liar. Perjalanan eradikasi polio
di Indonesia cukup Panjang. Awal mula vaksin polio masuk dalam program vaksinasi di
Indonesia dimulai pada tahun 1982. Cakupan rutin polio saat itu belum pernah mencapai
1005 dan masih ditemukan virus polio liar pada tahun 1995. Menanggulangi hal tersebut
dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) 1995,1996 dan 1997 dengan memberikan 2
tetes vaksin Polio Oral sebanyak dua putaran. Pada tahun 1998 dilakukan mopping up
di 5 kecamatan di Papua dan tahun 1999 dilakukan Bulan Imunisasi Anak Sekolah dari
kelas III sampai IV sekolah dasar secara Nasional. Tahun 2000 dilakukan subPIN di 5
provinsi yaitu Papua, Maluku, Maluku Utara, NTT dan NAD. Tahun 2021 kembali
dilakukan subPIN di 10 kabupaten di 5 Propinsi.(13)
Patofisiologi
Melalui mulut, virus masuk dan berkembang biak di orofaring dan sistem
pencernaan. Virus ini biasanya bertahan dalam cairan nasofaring selama satu hingga dua
minggu, dan pada orang yang terinfeksi dengan gejala minimal atau tanpa gejala, virus
ini bahkan dapat bertahan dalam tinja selama beberapa minggu setelah infeksi. Virus ini
menargetkan jaringan limfoid di dekatnya selama replikasi usus, yang membuka pintu
bagi virus tersebut untuk memasuki aliran darah dan menginfeksi sel-sel sistem saraf
pusat. Poliomielitis ditandai dengan kelumpuhan yang disebabkan oleh kerusakan
neuron motorik di cornu anterior sumsum tulang belakang dan sel batang otak. (14.15)
Tanda dan Gejala
Virus polio membutuhkan waktu tiga hingga enam hari untuk inkubasi dan
kelumpuhan dapat terjadi dalam waktu tujuh hingga dua puluh satu hari. Tingkat
keparahan infeksi virus polio pada manusia sangat beragam, mulai dari gejala yang
sangat ringan hingga kelumpuhan. Ada dua bentuk infeksi virus polio yaitu penyakit
ringan (minor illness) atau penyakit dengan gejala ringan, dan penyakit berat (major
illness) atau jenis penyakit lumpuh dan non-lumpuh. Ada berbagai cara yang mungkin
dilakukan oleh infeksi virus polio dengan virus tipe liar; penyakit tersebut termasuk
poliomielitis abortif, poliomielitis nonparalitik, atau poliomielitis paralitik. Pada 90–95%
kasus tidak menyebabkan penyakit atau tidak ada gejala sisa. Jika kelumpuhan
berkembang, biasanya muncul 3–8 hari setelah timbulnya gejala.(16) (Tabel 1.)
Neuron besar yang terletak di bagian anterior sumsum tulang belakang dan
batang otak merupakan sel motorik yang dirusak oleh poliomielitis. Cacat asimetris pada
anak-anak seringkali disebabkan oleh cedera neuron motorik. Proses inflamasi tidak
hanya mengganggu kemampuan motorik tetapi juga saraf otonom dan sensorik, namun
tidak menimbulkan masalah daam jangka panjang. Manifestasi klinis dari paralisis
terbagi dua tipe yaitu spinal dan bulbar.
Selain gejala klinis langsung, gejala kelumpuhan akibat sindrom pasca polio
(post-polio syndrome; PSS) mungkin bisa muncul bertahun-tahun (15-40 tahun) setelah
infeksi akut. Gejala yang paling umum adalah nyeri otot yang berat, kelumpuhan baru
atau berulang. Meskipun patofisiologinya tidak diketahui, hal ini bukanlah akibat dari
penyakit yang menetap
Pemeriksaan Penunjang
Dengan kultur virus dari sampel tinja, virus polio dapat diidentifikasi. Sangat
jarang ditemukan dari faring dan bahkan lebih jarang lagi ditemukan dari darah atau
cairan serebrospinal (CSF). Untuk mengisolasi virus polio digunakan RT-PCR. Untuk memastikan serotipe virus (misalnya 1, 2, atau 3) dan apakah virus tersebut merupakan
virus liar, strain turunan vaksin (Sabin), atau strain VDPV, dilakukan pengurutan genom
(genomic sequencing). Pelepasan virus secara intermiten mungkin terjadi dan jumlah
virus sering kali menurun setelah terjadi kelumpuhan. Disarankan untuk mengumpulkan
setidaknya dua sampel tinja dalam waktu 24 jam selang waktu waktu 14 hari setelah
timbulnya gejala Pada spesimen orofaringeal, virus polio dapat diidentifikasi dalam tiga
sampai sepuluh hari pertama setelah timbulnya kelumpuhan, meskipun lebih sering
ditemukan pada spesimen tinja. (14) Serologi untuk ketiga jenis virus polio saat ini belum
tersedia di sebagian besar laboratorium karena adanya peraturan baru untuk
pencegahan virus polio. Selain itu, serologi juga memiliki beberapa keterbatasan (14,15)
Diagnosis Banding
Poliomielitis harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding dari setiap kasus
kelumpuhan terutama lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis; AFP). Enterovirus
lainnya juga dapat menyebabkan lumpuh layu akut, termasuk enterovirus A71, D68, dan
coxsackie virus A. Virus lain yang mungkin muncul dengan gejala serupa adalah West
Nile, Herpes Zoster, Japanese Ensefalitis, dan Rabies. Sindrom seperti Guillain-Barré juga
harus disingkirkan. Pertimbangan juga penyakit non-infeksi termasuk infark sumsum
tulang belakang, neuropati aksonal didapat, miastenia gravis, sindrom miastenik
Lambert-Eaton, atau rhabdomiolisis.(15,20)
Tatalaksana
Tidak ada pengobatan antivirus khusus yang tersedia. Yang tersedia hanyalah
terapi suportif, yang bertujuan untuk memperlambat perkembangan penyakit,
mencegah kelainan bentuk tulang dan mempersiapkan anak dan keluarga untuk
mendapatkan perawatan jangka panjang yang diperlukan jika berpotensi kecacatan
yang tidak dapat diperbaiki. Pasien dapat menerima perawatan di rumah untuk
poliomielitis nonparalitik dan paralitik ringan. Selama fase akut penyakit, khususnya
pada minggu pertama, semua suntikan intramuskular dan operasi pembedahan dilarang karena dapat memperburuk penyakit. Pemberian imunoglobulin mungkin dapat
menghentikan penyebaran hematogen ke sistem saraf, namun sudah terlambat jika fase
paralitik sudah dimulai. Pelepasan kontraktur sendi merupakan tindakan penting
lainnya. Berbagai prosedur bedah dapat dipertimbangkan untuk menghentikan kelainan
bentuk. Tujuan pembedahan adalah memulihkan kemampuan pasien untuk berjalan
dan mengatasi segala kelainan bentuk akibat penuaan. Perawatan untuk tahap akut
termasuk mengendalikan kelumpuhan pernafasan, mencegah infeksi pernafasan, dan
memberikan perawatan suportif umum untuk demam dan ketidaknyamanan. Melalui
program rehabilitasi fase pemulihan adalah untuk membawa pasien ke tingkat
kesehatan fisik yang memungkinkan mereka untuk kembali beraktifitas. (15,21)
Pencegahan
Pemberian vaksin polio dapat menghasilkan kekebalan polio. Vaksin polio oral
yang dilemahkan (OPV/ oral attenuated poliovirus vaccine) atau vaksin yang dilemahkan
(IPV/ Inactivated poliovirus vaccine) adalah dua jenis vaksin yang tersedia untuk
mencegah infeksi virus polio. Manfaat utama OPV adalah kekebalan usus, yang
membantu menghentikan penyebaran virus polio, sedangkan keunggulan IPV adalah
antibodinya tinggi sehingga mencegah kelumpuhan.
Dibandingkan virus yang tidak aktif, OPV lebih berhasil mengeradikasi
poliomielitis. Setelah pemberian virus hidup (live attenuated) yang dilemahkan secara
oral, saluran pencernaan bagian bawah dan tenggorokan akan mengalami replikasi virus
yang dilemahkan. PVR akan menutup akibat vaksinasi OPV, mencegah perlekatan virus
dan kelumpuhan lebih lanjut. IPV menghasilkan antibodi penetralisir dalam jumlah
besar, yang menetralisir virus yang memasuki aliran darah atau aliran limfatik dan
mencegahnya mencapai sumsum tulang belakang sehingga dapat mencegah
kelumpuhan. Namun tidak mempunyai kemampuan untuk menghentikan penularan.
Alasan utama mengapa OPV masih digunakan di negara-negara berkembang adalah biay
IPV yang tinggi. Meskipun demikian, IPV disarankan dalam jadwal imunisasi karena risiko
Vaccine-Associated Paralytic Poliovirus (VAPP). Vaksin polio lengkap meliputi tiga dosis bOPV saat lahir, minimal dua dosis IPV dan bOPV saat lahir sesuai jadwal vaksinasi anak
IDAI 2023.(22,23,24,25)
Komplikasi dan Prognosis
Efek samping yang paling parah dari infeksi polio adalah sindrom pasca polio,
gagal napas, gagal jantung, dan kelumpuhan yang melibatkan bulbar. Diperkirakan
antara 30 dan 40 persen dari 15 hingga 20 juta kasus polio yang dilaporkan secara global
dapat berkembang menjadi sindrom pasca-polio. Beberapa dekade setelah penyakit
akut, tanda khasnya adalah kelemahan otot yang baru atau bertahap. Mialgia,
ketidaknyamanan pernafasan, nyeri sendi, atrofi, disfagia dan kelelahan umum adalah
gejala lainnya. Meskipun etiologi pasti dari sindrom pasca-polio tidak diketahui, penyakit
ini diperkirakan disebabkan oleh penggunaan unit motorik yang tersisa secara
berlebihan, perubahan inflamasi pada susunan saraf pusat, atau memburuknya
sambungan neuromuscular. Sindrom ini dapat menyebabkan komplikasi seperti gagal
tumbuh, patah tulang, atau gagal napas. (18,19,20,26)
Polio dapat muncul dengan berbagai gejala, mulai dari quadriplegia hingga gagal
napas dan gejala virus tanpa kelumpuhan. Pasien dengan gejala prodromal virus
mungkin akan pulih sepenuhnya dari gejala polionya. Tingkat kelumpuhan pada individu
yang menderita kelumpuhan akut sering kali menetap. Tiga puluh hingga empat puluh
persen penderita polio akan mengalami sindrom pasca polio. Penyakit ini kompleks dan
dipengaruhi oleh sejumlah variabel, termasuk usia saat timbulnya penyakit, latar
belakang sosial ekonomi dan tingkat kelumpuhan akut.(14,19)
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) POLIOMIELITIS DI INDONESIA
Setelah PIN tahun 1995 Indonesia tidak melaporkan kasus polio sampai tahun
2005 terdapat KLB Kembali. Kasus ditemukan di Sukabumi, Jawa Barat.(13) Setelah itu
tidak ada laporan lagi kasus polio maupun virus polio liar sehingga Indonesia mendapat
sertifikat bebas polio tahun 2014. Selang 4 tahun kemudian Kembali ditemukan KLB di
Kabupaten Yahukimo, provinsi Papua, ditemukan 1 kasus AFP positif VDPV tipe 1 pada November 2018.(27) Kemudian pada tahun 2022 di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh
ditemukan kembali kasus penyakit polio (tipe cVDPV2) melalui surveilans AFP di
Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh pada tanggal 25 November 2022.(28) Selang satu tahun
kemudian Desember 2023 dan Januari 2023 ditemukan kembali KLB polio di Jawa Timur
dan Jawa Tengah.(6)
Akibat rendahnya tingkat vaksinasi selama sepuluh tahun terakhir, Aceh berisiko
terjadi KLB Polio sehingga terjadi penularan virus polio liar dan mutasi virus polio.
berdasarkan temuan survei cepat yang dilakukan di Kabupaten Pidie terhadap 26
keluarga. Dari 33 anak, hanya 8 (atau 24%) yang telah mendapatkan semua suntikan
OPV. Vaksin IPV belum pernah diberikan kepada siapapun. Ketakutan orang tua
terhadap Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) menjadi alasan utama di balik hal
tersebut. (29)
WHO diberitahu tentang terdapatnya kasus konfirmasi VDPV2 pada tahun 2022
oleh Kementerian Kesehatan Indonesia. Pada tanggal 9 Oktober 2022, seorang anak
berusia 7 tahun dari Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh mengalami AFP. Anak tersebut tidak
memiliki riwayat perjalanan atau kontak dengan orang yang pernah bepergian, dan
belum pernah mendapatkan vaksin polio oral (OPV) atau vaksin polio yang tidak aktif
(IPV). Tiga isolat baru positif cVDPV2 ditemukan pada 25 November 2022, berdasarkan
hasil laboratorium sampel tinja yang dikumpulkan dari tiga anak sehat yang tinggal di
komunitas yang sama namun bukan merupakan kontak erat dengan pasien
terkonfirmasi. Temuan pengurutan kasus AFP menunjukkan 25 perubahan nukleotida,
sedangkan hasil pada tiga anak tanpa gejala menunjukkan 25-26 perubahan nukleotida.
Hasil ini memenuhi persyaratan untuk dikategorikan sebagai sirkulasi sirkulasi VDPV2
(cVDPV2) dan memberikan bukti adanya penularan virus. Tahap 1 (28 November – 4
Desember 2022) melibatkan Pidie (kabupaten yang terkena dampak); Tahap 2 (5
Desember – 11, 2022) melibatkan 6 kabupaten; dan Tahap 3 (12-18 Agustus 2022)
melibatkan 16 kabupaten. Imunisasi Respons Wabah (ORI) dilaksanakan dalam tiga fase,
yaitu fase 1 (28 Nov – 4 Des 2022): Pidie (kabupaten terdampak), fase 2 (5 Des – 11 Des
2022): 6 distrik, fase 3 (12 – 18 Des 2022): 16 distrik.(29)
KLB polio kembali terjadi di Indonesia pada Desember 2023 akibat ditemukannya
kembali kasus di Pamekasan dan Sampang, Madura, Jawa Timur, dan Klaten, Jawa
Tengah. Menyikapi pandemi ini, Komite Imunisasi Nasional dan pemerintah
merekomendasikan agar imunisasi tambahan diberikan segera, atau pada Pekan
Imunisasi Subpolio (Sub Polio PIN). Sub PIN Polio ini akan dilaksanakan sebanyak dua
putaran. Tanggal 15 Januari 2024 menandai dimulainya putaran pertama, sedangkan 19
Februari 2024 menandai dimulainya putaran kedua. Ada jeda satu bulan antara setiap
putaran, yang diadakan setiap minggu. Tiga kabupaten—Pamekasan dan Sampang di
Jawa Timur, dan Klaten di Jawa Tengah—divaksinasi secara bersamaan. Berikutnya
seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Terlepas dari riwayat vaksinasi
sebelumnya, anak-anak usia 0-7 tahun merupakan populasi sasaran Sub PIN Polio.
Setiap putaran, sasaran cakupannya adalah 95%, dan tersebar merata dari desa ke
kabupaten. Jenis vaksin yang digunakan adalah vaksin generasi terbaru yaitu Novel Oral
Polio Vaksin tipe 2 atau nOPV2 yang diberikan sebanyak dua tetes dengan interval
minimal satu bulan.(30)
Faktor Resiko Kejadian Luar Biasa Polio di Indonesia
Faktor lain yang berkontribusi terhadap penyebaran polio adalah buang air besar
sembarangan, seperti di saluran air atau sungai. Ada kalanya lubang pembuangan air
mengarah langsung ke sungai meskipun terdapat toilet. Selain itu, masyarakat juga
masih memanfaatkan air sungai untuk berbagai kegiatan salah satunya untuk bermain
anak-anak.(31) Imunisasi rutin pada masa anak-anak benar-benar efektif dalam
menghentikan penyebaran global penyakit ini, seperti yang terlihat dari penurunan
kasus sebesar 99% dari 350.000 pada tahun 1988 menjadi hanya 33 pada tahun 2018.
(32) Kampanye pemberantasan polio telah berlangsung selama 33 tahun, dengan tujuan
akhir dunia bebas polio pada tahun 2018. Akhirnya, batas waktu tersebut diundur ke
tahun 2021, namun sampai saat ini tujuan tersebut masih belum tercapai. Tantangan
saat ini terhadap upaya pemberantasan polio ada dua hal yaitu masih adanya polio tipe
liar dan kelemahan vaksinasi OPV, yang dapat mengakibatkan efek samping pasca
imunisasi seperti kelumpuhan atau VAPP dan munculnya virus polio yang berasal dari
OPV (VDVP) yang dapat memicu wabah polio baru di daerah yang sudah bebas dari polio
tipe liar.(33,34)
Di banyak negara, program vaksinasi polio untuk sementara dihentikan karena
adanya Pandemi Global Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan munculnya severe
acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) menjelang akhir tahun 2019.
Hal ini menyebabkan ditemukannya kembali virus polio pada tahun 2020. Hal ini
mencerminkan kemunduran program yang disebabkan oleh terhentinya kegiatan
tanggap wabah.(35)
Cakupan imunisasi polio di Indonesia
Di semua fasilitas kesehatan yang dikelola oleh pemerintah, Kementerian
Kesehatan menyediakan vaksinasi polio gratis. Vaksinasi yang diberikan adalah vaksin
polio suntik (IPV) yang diberikan satu kali pada umur empat bulan, dan vaksin polio tetes
(OPV) yang diberikan sebanyak empat kali pada umur satu, dua, tiga, dan empat bulan.
Anak-anak yang belum menerima vaksinasi polio atau terlambat menerima vaksinasi
harus segera mendapatkan status imunisasi lengkap. Vaksinasi polio dapat diberikan
secara lengkap hingga usia lima tahun. (36,37)
Menurut data Kementerian Kesehatan, cakupan vaksinasi polio bayi di Aceh
diperkirakan hanya mencapai 50,9% dari seluruh kelahiran hidup di provinsi tersebut
pada tahun 2021 dari 101,52 ribu kelahiran secara keseluruhan. Secara nasional, Aceh
mempunyai tingkat cakupan vaksinasi polio bayi terendah kedua. Papua Barat memiliki
cakupan terendah, yakni hanya 43,4% dari 19,2.000 kelahiran hidup yang terjadi di sana
pada tahun 2021. Provinsi dengan cakupan terendah berikutnya adalah Papua (61,5%)
dan Sumatera Barat (61%). Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan cakupan
vaksinasi polio tertinggi yaitu sebesar 96,7%. Sembilan belas dari tiga puluh empat
provinsi memiliki tingkat vaksinasi polio yang lebih rendah dibandingkan rata-rata
nasional yang sebesar 80,7%. Sementara itu, lima belas provinsi lainnya memiliki rata-rata yang lebih tinggi. Hal ini perlu dievaluasi kembali karena tingkat vaksinasi di seluruh
Indonesia diperkirakan menurun pasca pandemi Covid-19.(38)
Penanggulangan KLB Polio
Strategi penghentikan penyebaran virus, membendung wabah, dan menurunkan
jumlah kasus dan kematian, wabah polio harus dilakukan secepat mungkin.
Meningkatkan tingkat imunisasi (juga dikenal sebagai Outbreak Response Immunization
atau ORI) adalah salah satu cara untuk membendung wabah polio. Jenis vaksin polio oral
(OPV) yang diberikan sesuai jenis VPL/VDPV yang menyebabkan epidemi. Jika wabahnya
adalah VPL/VDPV tipe 1 atau 3, diberikan b-OPV (tipe 1 dan 3); jika wabahnya adalah
VPL/VDPV tipe 2, diberikan m-OPV tipe 2. Berikut beberapa teknik mitigasinya: Pertama
Respon Imunisasi OPV terbatas. Imunisasi OPV terbatas, dikenal juga dengan Outbreak
Response Immunization (ORI), adalah pemberian dua tetes vaksin polio oral (OPV)
kepada semua anak balita di desa atau kelurahan yang berpeluang terpapar virus,
terutama di desa tempat kasus tersebut berada dan desa terdekat. Hal ini dilakukan
tanpa memandang status imunisasi polio anak sebelumnya. Vaksinasi harus diberikan
sesegera mungkin (dalam 3x24 jam) dan paling lambat pada minggu pertama setelah
kasus atau virus polio ditemukan. Kedua, imunisasi Mopping Up dilakukan di daerah
bebas polio, yang berisiko tertular virus polio. Imunisasi Mopping Up adalah kampanye
intensif yang mencakup wilayah luas dengan pemberian dua tetes vaksin OPV pada
serentak pada semua anak di bawah lima tahun, tanpa memandang riwayat status
vaksinasi polio mereka. Kampanye ini dilakukan dari rumah ke rumah. Imunisasi
Mopping Up di satu provinsi disebut juga dengan Pekan Imunisasi Sub Nasional (SubPIN),
sedangkan imunisasi Mopping Up di seluruh Indonesia dikenal dengan Pekan Imunisasi
Nasional (PIN) hal ini untuk membantu masyarakat memahami upaya imunisasi
tersebut.
KLB yang terjadi di Indonesia pada tahun 2022-2023 disebabkan karena
rendahnya tingkat imunisasi di 30 provinsi di Indonesia, termasuk Provinsi Aceh,
terdapat sebanyak 415 kabupaten/kota yang memenuhi ambang batas risiko tinggi
infeksi polio. Statistik Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa dalam dua tahun
terakhir, terjadi penurunan cakupan vaksin polio OPV dan IPV. Persentase masyarakat
yang menerima vaksinasi OPV turun menjadi 80,2% pada tahun 2021 dari 86,8% pada
tahun 2020. Di beberapa lokasi lainnya masih terdapat daerah yang tingkat imunisasinya
kurang dari 50% pada tahun 2020. Oleh karena itu, pemerintah berupaya lebih keras
untuk meningkatkan tingkat imunisasi di tingkat nasional.
Akibat rendahnya tingkat vaksinasi selama sepuluh tahun terakhir, Aceh berisiko
mengalami epidemi polio yang menyebarkan virus polio liar dan menyebabkannya
bermutasi. Berdasarkan temuan survei cepat yang dilakukan terhadap 26 rumah tangga
hanya 8 (24%) dari 33 anak di Kabupaten Pidie yang telah menerima vaksinasi OPV
lengkap sesuai rekomendasi. Tidak pernah mendapat IPV. Sedangkan untuk Sampang,
Madura, dan Klaten, saat ini belum ada informasi terkini mengenai tingkat imunisasi.
Namun, kemungkinan besar ketiga wilayah tersebut, serta banyak wilayah lain di
Indonesia, mengalami penurunan tingkat vaksinasi pasca wabah Covid-19.
Upaya pemerintah untuk mengatasinya terbilang efektif menangani KLB yaitu
yaitu dengan cara melakukan SubPIN dan mopping up. Tingkat vaksinasi nasional yang
melebihi 95% akan menghentikan KLB. Selain itu sangat penting untuk mencapai tingkat
cakupan vaksinasi polio (bOPV) tertinggi sesuai dengan jadwal yang disarankan oleh
Kementerian Kesehatan Indonesia, yang mengharuskan bOPV pada usia 1 bulan
kemudian diberikan bersamaan dengan vaksin DTP-HB-Hib pada usia dua, tiga, dan
empat bulan. Selain OPV, vaksin IPV juga diberikan pada usia 4 bulan. Menurunnya
tingkat vaksinasi polio mungkin menjadi salah satu penyebab terjadinya wabah. Upaya
yang harus terus dilakukan agar Indonesia dapat terus bebas polio salah satunya dengan
meningkatkan cakupan Imunisasi. Pelaksanaan program untuk memerangi wabah
poliomielitis memerlukan kerja sama antara para profesional kesehatan, lintas sektor, dan antusiasme masyarakat. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko penyakit,
terutama jika tidak diberikan imunisasi lengkap, merupakan langkah paling penting
dalam mencegah penyakit menular yang dapat dicegah dengan vaksinasi, seperti polio.
APA ITU POLIO
POPOLLIOIO
Polio adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Polio
yang dapat menyebabkan kelumpuhan.
APA ITU SURVEILANS AFP
Surveilans AFP merupakan pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus
lumpuh layuh akut atau Accute Flaccid Paralysis yang memenuhi 3 kriteria
sebagai berikut:
• Anak usia <15 tahun
• Kelumpuhan bersifat layuh dan terjadi secara mendadak
• Kelumpuhan bukan disebabkan oleh trauma/ruda paksa/ kekerasan
Pengamatan dilakukan pada semua kelumpuhan terjadi secara akut dan
bersifat layuh untuk meningkatkan sensitivitas penemuan kasus Polio.
LAPORKAN KE PETUGAS PUSKESMAS ATAU DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA SETEMPAT APABILA MENEMUKAN KASUS DENGAN KRITERIA AFP
PENGAMBILAN SPESIMEN
Ambil 2 spesimen tinja sebesar ibu jari orang dewasa, atau 1 sendok makan
jika tinja encer, dengan jeda minimal 24 jam antara sampel 1 dan 2.
Kirim sampel ke laboratorium dalam suhu 2-8oC.
DIAGNOSIS BANDING YANG DILAPORKAN
1 Sindrom Guillain barre
2 Myelitis tranversa
3 Hipokalemia
4 Erb’s paralysis
5 Stroke pada anak
6 Spinal muscular atropy
7 Meningitis
8 Ensephalitis atau ensefalopati
9 Miastenia gravis
10 Diare berat dan gizi buruk
1 Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
2 Memberikan imunisasi polio tetes dan suntik
APA ITU CAMPAK-RUBELA
Campak-rubela adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Campak
dan virus Rubela yang menular melalui percikan ludah penderita saat batuk/bersin.
LAPORKAN SETIAP KASUS YANG MENGALAMI GEJALA DEMAM
DAN RUAM MAKULOPAPULAR KEPADA PETUGAS PUSKESMAS
ATAU DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA SETEMPAT.
PENGAMBILAN SPESIMEN
• Pengambilan sample serum
minimal 1ml sampai hari
ke 28 sejak timbul ruam
• Pengambilan urin atau swab
tenggorokan untuk pemeriksaan
virologi dilakukan sampai hari
ke-5 sejak timbul ruam
TATA LAKSANA KASUS
• Isolasi mandiri (gejala ringan), jika
ada komplikasi rawat di rumah sakit
• Jauhkan populasi rentan (ibu hamil,
anak <12 bulan dan penderita
penyakit penurunan kekebalan)
dari suspek campak
• Pemberian vitamin A dosis tinggi
pada kasus sesuai usia:
Umur
0 - 6 bl*
6 - 11 bl
≥ 12 bl
Dosis Segera
50.000 IU
100.000 IU
200.000 IU
Dosis Hari ke 2**
50.000 IU
100.000 IU
200.000 IU
Jauhkan penderita
campak/rubela dari
ibu hamil karena jika mengenai
ibu hamil dapat menyebabkan
komplikasi ke kehamilannya.
• Terapkan protokol kesehatan dan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
• Pemberian imunisasi Campak-Rubela
pada bayi, baduta dan anak sekolah
Abstrak
Poliomielitis atau yang lebih dikenal dengan polio merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan atrofi
otot yang ireversibel, bahkan kematian pada anak. Sejak dilaporkan kejadian luar biasa (KLB) terjadi di Eropa pada abad ke-19, angka
kejadian polio terus meningkat hingga menjadi pandemi pada awal abad ke-20. Saat ini, gerakan inisiatif global yang dibentuk oleh
WHO telah berhasil menurunkan angka insidensi polio sampai 80%, berkat pemberian vaksin yang didukung oleh program pemerintah
dan sistem pengawasan yang baik. Namun, muncul masalah terkait pemberian vaksin, oral poliovirus vaccine (OPV), yaitu circulating
vaccine derived polio viruses (cVDPVs) dan vaccine associated paralytic poliomyelitis (VAPP). Untuk itu, American Academy of Pediatrics
merekomendasikan pemberian inactivated poliovirus vaccine (IPV) sebagai pengganti OPV. Rekomendasi tersebut tidak efektif apabila
diterapkan di negara berkembang yang masih banyak terdapat infeksi polio liar, seperti Indonesia, karena perlindungan IPV tidak
cukup kuat, tidak dapat menimbulkan herd immunity, dan harganya jauh lebih mahal. Pemberian OPV masih menjadi pilihan, dengan
rekomendasi terbaru dari WHO yang mempertimbangkan pemberian bivalent (bOPV) karena trivalent (tOPV) dapat meningkatkan
angka kejadian cVDPV akibat virus polio tipe-2 (VP2). Upaya eradikasi polio ditunjang Global Polio Eradication Initiative (GPEI)
melalui Eradication and Endgame Strategic Plan dengan target bebas polio pada tahun 2018. Sari Pediatri 2016;18(3):245-50
Poliomielitis merupakan penyakit menular
yang dapat menyebabkan paralisis
ireversibel dan kematian pada anak.1
Predileksi virus polio pada sel kornu
anterior medula spinalis, inti motorik batang otak
dan area motorik korteks otak, menyebabkan
kelumpuhan serta atrofi otot.2 Mengingat penyakit
ini menyebabkan kelumpuhan, maka polio menjadi
salah satu penyakit yang penting untuk dieradikasi
secara global. Dunia sangat beruntung karena
ditemukan vaksin yang efektif untuk mencegah
polio. Dikenal dua jenis vaksin polio, yaitu oral
polio vaccines (OPV) dan inactivated polio vaccines
(IPV).3 Namun terdapat masalah, yaitu circulating
vaccine derived polio viruses (cVDPVs) dan kejadian
vaccine associated paralytic poliomyelitis (VAPP), yang
merupakan kasus polio paralitik yang disebabkan
oleh virus vaksin.2
Maka pemakaian OPVdiubah
dari tOPV menjadi bOPV.4,5
Di saat ini, dunia hampir tiba pada masa eradikasi
penyakit. Para ilmuwan telah bergabung untuk
mendukung program eradikasi polio, dengan target
bebas polio di tahun 2018, melalui Eradication and
Endgame Strategic Plan, suatu strategi gerakan Global
Polio Eradication Initiative (GPEI).1
Sejarah
Kata poliomielitis berasal dari istilah medis untuk
menggambarkan dampak virus polio pada medula
spinalis. Polio berasal dari bahasa Yunani yang
berarti abu-abu dan saraf tulang belakang (myelon).6
Polio diduga pertama kali dikenal kira-kira 6000
tahun yang lalu. Pada mumi dari zaman Mesir
kuno ditemukan kelainan kaki, dan pada deskripsi
Mesir kuno di tahun 1580-1350 sebelum Masehi
yang digambarkan pendeta muda dengan sebelah
kaki atrofi dan telapak kaki pada posisi equinus.
2
Deskripsi klinis pertama mengenai poliomielitis
dibuat oleh Michael Underwood, seorang dokter
dari Inggris yang melaporkan penyakit yang
terutama menyerang anak-anak dan menyebabkan
kelumpuhan menetap pada ekstremitas bawah.6
Pada
awal abad ke-19 dilaporkan kejadian luar biasa polio
di Eropa dan pertama kali dilaporkan di Amerika
Serikat pada tahun 1843. Namun, angka kejadian
polio terus meningkat menjadi epidemi di awal
abad ke-20.6
Etiologi
Virus penyebab polio pertama kali ditemukan di tahun
1909 oleh Karl Landsteiner dan Erwin Popper, dua
orang dokter dari Austria.6
Virus polio (VP) adalah
virus RNA ultra mikroskopik yang termasuk genus
Enterovirus, dalam famili Picornaviridae.
2 Virus single
stranded 30% terdiri dari virion, protein mayor (VP1
sampai 4) dan satu protein minor (VPg). Virus terdiri
dari 3 serotipe yaitu serotipe 1, 2, dan 3 masing-masing
disebut juga serotipe Mahoney, Lansing, dan Leon.
Perbedaan ketiga jenis strain terletak pada segmen
nukleotida. Virus polio serotipe 1 adalah antigen
yang paling dominan dalam membentuk antibodi
netralisasi. Serotipe 1 adalah yang paling paralitogenik
dan sering menimbulkan KLB, sedangkan serotipe 3
adalah yang paling tidak imunogenik.2,6
Patogenesis
Virus polio ditularkan lewat jalur fekal-oral. Virus dapat
diisolasi dari sistem limfatik saluran cerna manusia,
termasuk tonsil, Peyer’s patch, dan kelenjar getah bening
usus, juga dalam feses. Replikasi awal virus pada sel
yang rentan infeksi di faring dan saluran cerna sebagian
besar akan menimbulkan viremia minor dan singkat,
serta asimtomatik. Apabila infeksi berlanjut, virus akan
menyebar lebih luas pada jaringan retikuloendotelial
lainnya. Dilaporkan 95% infeksi primer ini asimtomatik,
dan pada 4%-8% infeksi sekunder akan muncul sebagai
gajala infeksi virus non spesifik. Apabila infeksi tersebut
sudah menginvasi sistem saraf, dapat terjadi meningitis
aseptik pada 1%-2% kasus, dan terjadi polio paralitik
pada 0,1%-1% kasus.1,6
Berdasarkan manifestasi klinis spesifik, poliomielitis paralitik tanpa gejala sensoris dan gangguan fungsi
kognitif. Secara klinis, polio diklasifikasikan sebagai
berikut, 6
1. Poliomielitis spinal, ditandai dengan acute flaccid
paralysis (AFP) atau lumpuh layu akut, sekunder
akibat destruksi selektif dari motor neuron pada
medula spinalis dan sekuens denervasi dari struktur
muskuloskeletal yang terlibat
2. Poliomielitis bulbar, terdapat paralisis otot
pernafasan akibat serangan virus pada neuron di
batang otak yang mengontrol pernafasan
3. Poliomielitis bulbo-spinalis akibat kerusakan
batang otak dan medula spinalis.
Diantara kasus poliomielitis paralitik, diperkirakan
angka fatality rate 2%-5% pada anak-anak dan 15%-
30% pada dewasa, dengan peningkatan kematian pada
paralisis bulbar.6
Epidemiologi
Pada tahun 1988, menteri kesehatan dari berbagai
negara anggota World Health Organization (WHO)
menyerukan gerakan eradikasi polio. Hasil dari
gebrakan ini adalah menurunnya insidens polio lebih
dari 99% pada tiga regional WHO (Amerika, Pasifik
Barat, dan Eropa) dan mendapat sertifikasi bebas
polio. Program intensif untuk eradikasi polio di Asia
Tenggara dengan menggunakan trivalent OPV (tOPV)
menyebabkan penurunan angka kejadian polio.7
Tahun 2012 disebut sebagai titik balik bagi negaranegara endemis polio. Kasus baru infeksi virus polio
liar berkurang dari perkiraan 350.000 kasus di 125
negara (pada tahun 1988) menjadi hanya 748 kasus di
tahun 2000, dan kurang dari 250 kasus di lima negara
pada tahun 2012.1,7 India dinyatakan telah berhasil
menghentikan transmisi virus polio liar di tahun
2011.1
Saat ini, hanya tinggal dua negara yang masih
endemis polio, yaitu Pakistan dan Afganistan. Nigeria
yang sebelumnya juga termasuk negara endemis, sudah
tidak melaporkan lagi kasus polio liar sejak 24 Juli 2014
dengan didukung oleh surveillance AFP yang baik.14
Vaksin polio
Sejak pengenalan vaksin poliovirus di tahun 1950 dan
awal tahun 1960an, efektivitas vaksin untuk mencegah
poliomielitis telah dibuktikan secara nyata. Kasus polio
terakhir di Amerika Serikat yang disebabkan oleh
virus polio liar dilaporkan pada tahun 1979. Tidak
ada kasus baru yang dilaporkan di negara barat sejak
Agustus 1991, dan hal ini membuat Amerika mendapat
sertifikasi bebas polio dari komisi internasional di
tahun 1994.5
Fakta ini membuat pemikiran positif
bahwa polio dapat dieradikasi di dunia.
Jenis vaksin polio
1. Oral poliovirus vaccine (OPV)
OPV sering disebut sebagai vaksin polio Sabin
sesuai nama penemunya, bentuk trivalen (tOPV)
untuk mencegah tiga jenis virus polio. Vaksin
tOPV adalah vaksin hidup yang dilemahkan (liveattenuated virus vaccine), diberikan tiga dosis secara
serial untuk memberikan kekebalan seumur hidup.
Vaksin polio oral lebih efektif untuk pemberantasan
poliomielitis, karena virus yang dilemahkan akan
mengadakan replikasi di traktus gastrointestinalis
bagian bawah. Hal ini dapat menutup replikasi
virus sehingga virus lain tidak dapat menempel dan
menyebabkan kelumpuhan. Kemampuan ini dapat
menekan transmisi virus saat KLB. Namun, vaksin
OPV adalah virus yang dilemahkan, yang dapat
mengalami mutasi sebelum dapat bereplikasi dalam
usus dan diekskresi keluar. Hal ini menimbulkan
kerugian berupa munculnya circulating vaccine
derived polio viruses (cVDPVs) dan vaccineassociated paralytic poliomyelitis (VAPP).2,3,5 Saat ini,
mulai dipertimbangkan pemberian vaksin OPV
bivalent (bOPV) yang berisi virus tipe 1 dan 3
sesuai rekomendasi WHO.9
2. Inactivated poliovirus vaccine (IPV)
Vaksin polio inaktif (IPV) sebenarnya lebih dulu
ditemukan daripada OPV, disebut juga vaksin polio
Salk, sesuai dengan nama penemunya Jonas Salk di
tahun 1955. Vaksin IPV berisi virus inaktif, berisi
3 tipe virus polio liar. Vaksin yang disuntikkan
akan memunculkan imunitas yang dimediasi
IgG dan mencegah terjadinya viremia serta
melindungi motor neuron. Vaksin IPV mampu
mencegah kelumpuhan karena menghasilkan
antibodi netralisasi yang tinggi. Pada tahun
1980an, komposisi awal IPV yang ditemukan
Salk dikembangkan sehingga memiliki kandungan
antigen yang lebih tinggi, dikenal sebagai enhancedpotency IPV (eIPV) dan digunakan sampai
sekarang. Pemberian IPV pada berbagai studi
dilaporkan dapat menyebabkan serokonversi
terhadap ketiga tipe virus polio sebesar 94%
setelah pemberian dua dosis dan 99-100% setelah
pemberian injeksi 3 dosis. Keuntungan lain IPV
adalah dapat diberikan pada kasus dengan status
immunocompromised. Namun bila dibandingkan
dengan OPV, vaksin inaktif ini kurang kuat dalam
memberikan perlindungan mukosa dan kurang
efektif untuk menimbulkan herd immunity. Harga
vaksin IPV ini juga relatif mahal.2,5,9,10 Di negara
maju, pemberian IPV lebih direkomendasikan
karena dapat mengurangi angka kejadian VAPP
dan VDPV.4,5
Eradikasi polio, masalah, dan target
Gerakan inisiatif global untuk eradikasi polio yang
dicanangkan oleh WHO sudah menurunkan insidens
polio sampai lebih dari 80%.5
Selain pemberian vaksin,
strategi untuk eradikasi polio ini perlu didukung
dengan program pemerintah yang kuat dan sistem
surveilans yang baik.1,9 Masalah utama yang muncul
adalah bagaimana dapat melakukan eradikasi polio dengan vaksinasi, apabila vaksin yang dipergunakan
dapat menyebabkan kelumpuhan.
Pemberian vaksin polio secara besar-besaran sejak
tahun 1988 dengan tujuan eradikasi polio dapat
tercapai di sebagian besar negara-negara dunia adalah
karena efektifitas OPV. Namun harus diingat bahwa
vaksin OPV adalah virus yang dilemahkan, yang
dapat mengalami mutasi sebelum dapat bereplikasi
dalam usus dan diekskresi. Mutasi ini terjadi pada
sekuens nukleotida dari 5-prime-end dari regio nonkoding genom virus, melibatkan satu sampai beberapa
nukleotida. Definisi cVDPV jika mutasi lebih dari 1%
koding genom RNA untuk viral capsid, dan isolate ini
umumnya mengalami rekombinasi dengan enterovirus
lain sehingga meningkatkan daya virulensi. Eksistensi
cVDPV ditemukan di tahun 2000 selama penyelidikan
21 kasus paralitik poliomielitis di Hispaniola.
Sebetulnya mutasi virus vaksin dapat terjadi namun
tidak menjadi masalah (menyebabkan kasus) apabila
tidak terdapat kantong-kantong anak yang tidak
terimunisasi. Di negara yang masih memiliki angka
polio tinggi, VDPV dapat menyebabkan KLB polio
yang sulit diatasi.2,5,9-11 Sekurangnya ada enam KLB
cVDPV yang muncul di dunia sejak tahun 2000, yaitu
di Hispaniola (Haiti dan Republik Dominica, tahun
2000), Filipina (2001), Madagaskar (2003 dan 2005),
China (2004) dan Indonesia (2005).12
Masalah lainnya adalah VAPP, yaitu kasus polio
paralitik yang disebabkan oleh virus vaksin, dibagi
menjadi VAPP resipien dan VAPP kontak. Kejadian
VAPP resipien dijumpai pada kasus polio paralitik yang
terjadi dalam waktu antara 7-30 hari setelah pemberian
vaksin. Sementara VAPP kontak adalah kasus polio
yang terjadi antara 7-60 hari setelah penderita kontak
dengan penerima vaksin OPV, atau tinggal di daerah
yang mengadakan imunisasi masal OPV dalam waktu
7-60 hari sebelum sakit. Di Amerika, masalah VAPP
ini lebih menjadi perhatian. Sejak mendapat sertifikasi
bebas polio (1979) hampir semua kasus paralitik
poliomielitis adalah berhubungan VAPP. Antara tahun
1980 dan 1994, dilaporkan 125 kasus VAPP, dan
saat itu masih dipakai vaksin OPV untuk imunisasi.
Sejak itu dikembangkan pemberian IPV berdasarkan
rekomendasi American Academy of Pediatricsmengenai
pemberian IPV sebagai pengganti OPV.2,4,5
Di negara berkembang, tidak semudah itu
menerapkan pemberian IPV. Pertama, harganya jauh
lebih mahal dari OPV. Selain itu, di negara yang masih
banyak infeksi virus polio liar, dikatakan perlindungan
IPV tidak cukup kuat dan tidak dapat menimbulkan
herd immunity. Berdasarkan data infeksi virus polio
yang digolongkan sesuai tipenya, didapatkan bahwa
insidens infeksi virus polio tipe-2 (VP2) paling sedikit
dibanding VP1 dan VP3 (Tabel 2).13 Bahkan, kasus
VP2 tidak pernah lagi dilaporkan sejak tahun 1999.
Oleh karena itu, pada tanggal 20 September 2015,
WHO resmi menyatakan bahwa virus polio liar tipe
2 sudah musnah.15 Di lain pihak, angka kejadian
cVDPV akibat VP2 cukup tinggi, terutama di Nigeria,
Pakistan, dan Afghanistan. Bahkan lebih dari 90%
KLB poliomielitis disebabkan cDVPV2. Maka dibuat
rekomendasi baru untuk mengalihkan tOPV (trivalen)
ke OPV bivalen (bOPV) yang hanya mengandung
virus polio tipe 1 dan 3.1,7 Tentunya, kebijaksanaan
ini mengandung risiko beredarnya virus polio tipe
2, terutama cVDPV, sehingga jadwal imunisasi polio
minimal satu kali diberikan dan berisi 3 serotipe polio.9
Berdasarkan hal tersebut, dibuat strategi menuju
eradikasi polio di dunia yaitu,
1. Pemberian tOPV beralih ke bOPV yang dilakukan
serentak di seluruh dunia pada bulan April 2016.
2. Mengenalkan setidaknya 1 dosis IPV pada
imunisasi rutin sebagai “priming”. Maka jika terjadi
KLB polio karena cVDPV type2, akan langsung
terjadi booster (penguat). Untuk Indonesia,
IPV disarankan diberikan bersamaan dengan
pemberian OPV yang terakhir.
3. Memberhentikan penggunaan OPV dan melanjutkan dengan IPV saat infeksi virus polio liar
sudah tidak ada di dunia.
4. Melakukan penelitian untuk memproduksi IPV
dengan harga murah dan terjangkau.
Kesimpulan dan saran
Kelebihan OPV dibanding IPV adalah lebih murah, cara
pemberian lebih mudah, dan daya imunogenisitas lebih
tinggi, serta efektif menekan transmisi virus saat wabah.
Kerugian tOPV yang saat ini dipakai adalah VDPV
dan VAPP. Sedangkan IPV sebaliknya, menghasilkan
antibodi netralisasi yang tinggi, mengurangi risiko
VAPP, namun karena harganya cukup mahal maka
belum dapat digunakan untuk program imunisasi
masal di negara-negara berkembang. Vaksinasi IPV
juga tidak mempunyai efek untuk menekan transmisi
di daerah dengan endemis polio.2,9 Diperlukan usaha
dan komitmen bersama dari semua negara untuk
me