Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 5. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 5


 . Ketika hospes yang tepat memakan telur yang telah menjadi embrio, telur 

kemudian menetas didalam saluran pencernaan, larva bergerak menuju dinding usus dan 

melalui sistem vena portae menuju ke hati. Disana larva menjadi dewasa dan 

menghasilkan telur. Infeksi semu terjadi pada manusia ketika ditemukan telur cacing 

dalam tinja sesudah mengkonsumsi hati yang terinfeksi, baik mentah maupun matang. 

sebab  telur-telur tidak menjadi embrio, maka penularan tidak terjadi. 

 

6. Masa inkubasi : 3 – 4 minggu. 

 

7. Masa penularan : Tidak langsung ditularkan dari orang ke orang. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan : semua orang rentan terhadap infeksi, anak-anak kurang 

gizi berisiko lebih tinggi. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan : 

1). Hindari tertelannya debu tanah, yang mencemari makanan atau yang mengotori 

tangan. Kebiasaan menutup makanan dan mencuci tangan sebelum menjamah 

makanan yaitu   kebiasaan yang baik yang membantu mencegah penularan. 

2). Lindungi persediaan air minum dan makanan dari kontaminasi tanah. 

 

B. Pengendalian penderita, kontak dan lingkungan sekitar : 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Laporan resmi biasanya tidak 

dilakukan, kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi : tidak dilakukan 

3). Disinfeksi serentak : tidak dilakukan 

4). Karantina : tidak dilakukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan. 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak diterapkan. 

7). Pengobatan spesifik : Thiabendazole (Metezol®) dan albendazole (Zentel®) efektif 

untuk cacing yang hidup di hati. 

 

C. Tindakan penanggulangan wabah : tidak dilakukan. 

 

 88

D. Implikasi bencana :  tidak ada 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 

III. CAPILLARIASIS PARU    ICD-9 128.8; ICD-10 B83.8 

(Pulmonary Capillariasis) 

 

 

Penyakit paru dengan gejala demam, batuk dengan nafas asmatik disebabkan oleh 

Capillariasis aerophilia (Thominx aerophilia), nematoda pada kucing, anjing dan 

mamalia karnivora lainnya. Pneumonitis mungkin bisa berat, dan fatal. Cacing hidup di 

saluran trakhea, bronki dan bronkiolae. Telur yang sudah dibuahi terbawa kesaluran udara 

pernafasan lalu dibatukkan, tertelan dan dikeluarkan dari tubuh bersama tinja. Ditanah, 

larva berkembang dan tetap infektif hingga 1 tahun atau lebih. Infeksi pada manusia, 

terutama anak-anak terjadi sebab  menelan telur infektif dari tanah atau makanan dan air 

yang terkontaminasi tanah. Telur bisa ditemukan di dalam dahak sekitar 4 minggu, gejala 

klinis bisa muncul lebih awal atau lebih lambat. Kasus pada manusia di laporkan dari 

bekas negara Uni Sovyet (8 kasus), Maroko dan Iran (masing-masing 1 kasus); infeksi 

pada binatang dilaporkan di Amerika Selatan dan Utara, Eropa, Asia dan Australia. 

 

 

 

DEMAM CAKARAN KUCING     ICD-9 078.3; ICD-10 A28.1 

( Catch scratch fever, Benign lymphoreticulosis )  

  

 

1. Identifikasi.  

Cat-scratch Disease (CSD) yaitu   penyakit sub-akut, yang disebabkan oleh bakteri dan 

biasanya sembuh dengan sendirinya. Penyakit in ditandai dengan malaise, limfadenitis 

granulomatosa disertai dengan berbagai variasi demam. Kerapkali didahului dengan 

riwayat cakaran, jilatan atau gigitan kucing yang kemudian menimbulkan luka papuler. 

Kelenjar limfe setempat biasanya membengkak 2 minggu setelah gigitan/cakaran dan bisa 

berlanjut menjadi luka yang mengeluarkan pus. 

Terbentuknya papula pada daerah tempat masuknya bakteri ditemukan pada sekitar 50 – 

90 % kasus. Sindroma Parinaud oculoglandular dan komplikasi neurologis, seperti 

ensefalopati dan neuritis pada mata dapat terjadi sesudah inokulasi pada mata. Demam 

yang berlangsung dalam waktu lama bisa dikuti dengan lesi osteolitik dan atau 

terbentuknya granulomata pada hati dan limpa. Bakteriemia, peliosis hepatis dan 

angiomatosis basilair merupakan manifestasi infeksi oleh kelompok oganisme ini pada 

orang yang immunocompromised, terutama pada infeksi HIV. 

CSD dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang memicu  limfadenopati setempat 

seperti tularemia, brusellosis, tuberkulosa, pes dan pasteurellosis (lihat uraian dibawah). 

Diagnosa didasarkan pada gambaran klinis yang konsisten ditambah dengan hasil 

pemeriksaan serologis terbentuknya antibodi terhadap Bartonella. Titer sebesar 1:64 atau 

lebih dengan pemeriksaan IFA, dianggap positif terkena CSD. 

 

 89

Pemeriksaan histopatologi dari kelenjar limfe yang terkena bisa memberikan gambaran 

khas yang konsisten, namun  bukan diagnostik. Pus yang diambil dari kelenjar limfe 

biasanya tidak mengandung bakteri dengan pemeriksaan konvensional, namun sesudah 

ditanam agak lama pada agar darah kelinci dengan 5% CO2 pada suhu 36oC (96.8oF), 

Bartonella dapat tumbuh dari spesimen yang diambil dari kelenjar limfe. 

 

2. Pemicu  penyakit. 

Bartonella (sebelumnya disebut Rochalimaea) henselae secara epidemiologis, 

bakteriologis dan serologis telah diketahui sebagai etiologi dari CSD, begitu pula sebagai 

Pemicu  bacillary angiomatosis, peliosis hepatis dan bakteriemia. Keluarga lain dari 

Bartonellae, seperti B. Quintana, juga memicu  kesakitan pada hospes 

“immunocompromised”, namun  tidak memicu  CSD. Afipia pelis, yang sebelumnya 

diduga sebagai organisme Pemicu , ternyata organisme ini hanya memainkan peranan 

sangat kecil, sebagai Pemicu  CSD. 

 

3. Distribusi penyakit. 

Tersebar diseluruh dunia, namun  jarang terjadi. Surveilans prospektif yang dilakukan di 

satu negara bagian (AS) menemukan insiden setahun sebesar 4.0 kasus/100.000 

warga . Semua jenis kelamin memiliki  risiko yang sama untuk terkena, dan CSD 

lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Pengelompokan penderita dalam 

suatu keluarga jarang terjadi. Kebanyakan kasus muncul pada bulan-bulan diakhir musim 

panas, musim gugur dan musim dingin. 

 

4. Reservoir. 

Kucing rumah yaitu   vektor dan reservoir untuk B. henselae; Kucing yang terinfeksi tidak 

menunjukkan gejala klinis walaupun menderita bakteriemia kronis. 

 

5. Cara penularan. 

Kebanyakan pasien (lebih dari 90%) ada riwayat dicakar, tergigit, dijilat kucing atau 

terpajan dengan kucing yang sehat, biasanya kucing muda (kadang anak kucing). Riwayat 

cakaran atau gigitan anjing, gigitan monyet, kontak dengan kelinci, ayam atau kuda 

diketahui terjadi sebelum munculnya gejala, namun hampir semua kasus CSD memiliki  

riwayat pernah kontak dengan kucing. Kutu kucing menularkan B. henselae kepada 

sesama kucing, dan baru pada akhir tahun 1999 kucing diketahui memiliki  peranan 

penting pada penularan langsung dari B. henselae kepada manusia. 

 

6. Masa inkubasi. 

Bervariasi, biasanya 3 - 14 hari dari saat masuknya bakteri kedalam tubuh hingga 

munculnya lesi primer dan sekitar 5 – 50 hari dari saat masuknya baketri hingga 

munculnya limfadenopati. 

 

7. Masa penularan : Tidak langsung ditularkan dari orang ke orang. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan : Tidak diketahui. 

 

 

 

 90

9. Cara-cara pemberantasan  

A. Cara-cara pencegahan : 

Bersihkan luka akibat dicakar atau digigit kucing dengan baik. Hal ini akan sangat 

menolong. Upaya membasmi kutu kucing sangat penting. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar : 

1). Laporan kepada petugas kesehatan. Laporan resmi tidak dilakukan, kelas 5 (lihat 

tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi : tidak dilakukan. 

3). Disinfeksi serentak : terhadap discharge luka yang bernanah. 

4). Karantina, imunisasi kontak dan investigasi kontak dan sumber penyakit : tidak 

dilakukan. 

5). Pengobatan spesifik : 

Efektivitas dari terapi antibiotik sangat tidak jelas terhadap CSD. Antibiotik yang 

umum dipakai seperti rifampisin, eritromisin dan doksisiklin, efektif untuk infeksi 

yang menyebar pada penderita AIDS. Pengobatan terhadap pendertita CSD tanpa 

kompliksi dengan sistem kekebalan yang baik tidak dilakukan. Namun, semua 

penderita immunocompromised sebaiknya diobati selama 1 – 3 bulan. Aspirasi 

dari limfadenitis bernanah mungkin diperlukan untuk mengurangi rasa sakit, namun  

biopsi insisi dari kelenjar limfe sebaiknya dihindari. 

 

C. Tindakan penanggulangan wabah : Tidak dilakukan 

D. Implikasi bencana : tidak ada. 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 

INFEKSI LAIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN GIGITAN BINATANG 

 

Penyakit lain yang diakibatkan oleh gigitan binatang, antara lain : pasteurellosis dari kucing, 

walaupun jarang pasturellosis bisa disebabkan oleh anjing dan binatang lain; B-virus 

(cercopithecin herpesvirus-1) sebab  gigitan monyet (lihat uraian pada bab Herpes Simplex); 

tularemia; Streptobacillus moniliformis (demam gigitan tikus); pes; tetanus; dan rabies. 

Gigitan binatang juga bisa memicu  penularan streptokokus dan stafilokokus, yang 

memicu  infeksi pyogenik selain infeksi oleh spesies bakteri anaerob dan Acitenobacter. 

Pasteurellosis (ICD-9 027.2; ICD-10 A28.0) disebabkan oleh Pasteurella multocida dan P. 

haemolityca. Ditemukan pada saluran pernapasan dari sebagian besar kucing sehat, anjing dan 

binatang lain. Infeksi pada manusia biasanya sekunder, sesudah gigitan kucing atau anjing 

dalam wujud selulitis dengan rasa sakit dan bengkak, limfadenopati dan sepsis bisa terjadi. 

Gejala biasanya muncul kurang dari 24 jam sesudah digigit kucing atau anjing. Penyakit 

saluran pernafasan kronis dapat terjadi pada orang tua yang sebelumnya menderita penyakit 

lain. Organisme ini sensitif terhadap penisilin, obat alternatif yang cukup efektif yaitu   

tetrasiklin. Generasi pertama dari sefalosporin biasanya kurang efektif terhadap Pasteurella. 

Augmentin yaitu   obat pilihan yang tepat untuk kasus gigitan binatang pada umumnya, 

sebab  sekaligus bisa mencakup Pasteurella, streptokokus, stafilokokus dan bakteri anaerob.  

 

 91

Capnocytophaga canimorsus, menurut klasifikasi CDC dulu dikenal sebagai kelompok DF2 

(ICD-9 027.8) dapat menimbulkan demam pada pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang 

kurang, yang sebelumnya dijilat, digigit atau dicakar kucing atau anjing. Selulitis, demam, 

septikemia, meningitis purulenta, endokarditis atau arthritis septik dapat muncul sesudah 1 – 5 

hari; CFR pada kelompok risiko tinggi dilaporkan bervariasi antara 4 – 27 %. Splenektomi, 

penyakit paru kronis dan alkoholisme yaitu   faktor predisposisi terjadinya penyakit ini. 

Insiden penyakit ini lebih tinggi pada pria dan orang-orang diatas usia 40 tahun. Diagnosa 

ditegakkan dengan menemukan basil gram negatif didalam netrofil dan dengan mengisolasi 

organisme Pemicu . Organisme lain namun  tidak begitu virulen, C. cynodegmi dapat di isolasi 

dari luka infeksi akibat di gigit anjing atau dicakar kucing. Organisme ini biasanya ditemukan 

pada mulut kucing dan anjing sehat. Penisilin G, yaitu   antibiotik pilihan untuk infeksi ini. 

Sebaiknya diberikan secara profilaktik kepada orang-orang dengan risiko tinggi setelah 

gigitan anjing atau kucing. 

 

 

 

 

CHANCROID       ICD-9.099.0; ICD-10 A 57 

(Ulcus molle, Soft chancre) 

 

 

1. Identifikasi. 

Infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri, terlokalisir pada daerah genital dan secara 

klinis memiliki  ciri-ciri rasa sakit disatu atau beberapa tempat; luka nekrotis pada 

tempat yang terinfeksi, biasanya disertai dengan pembengkakan dan rasa sakit pada 

kelenjar limfe setempat serta mengeluarkan nanah. Lesi ringan bisa terjadi pada dinding 

vagina atau cervix. Infeksi asimptomatis bisa juga terjadi pada wanita. Pernah ditemukan 

lesi ekstra genital. Lesi chancroid, seperti lesi pada alat kelamin lain dikaitkan dengan 

meningkatnya risiko terkena infeksi HIV. 

Diagnosa ditegakkan dengan mengisolasi organisme dari eksudat lesi yang ditanam pada 

media selektif dengan menambahkan vancomisin ke dalam media agar coklat, darah 

kelinci atau media agar darah kuda yang di perkaya dengan serum janin anak sapi. 

Spesimen yang diambil dari eksudat yang dicat dengan pengecatan gram bisa memperkuat 

diagnosa jika ditemukan kokobasil gram negatif yang terlihat menggerombol diantara sel 

darah putih. Pemeriksaan dengan PCR dan imunofluoresen untuk deteksi langsung 

organisme dari lesi serta pemeriksaan serologi, tersedia hanya untuk tujuan riset. 

 

2. Pemicu  penyakit : Haemophilus ducreyi, Basil ducrey. 

 

3. Distribusi penyakit. 

Lebih sering ditemukan pada pria, terutama mereka yang sering berhubungan dengan 

pekerja seksual komersial. Sangat prevalen di daerah tropis dan subtropis diseluruh dunia, 

insidennya mungkin lebih tinggi dari sifilis dan hampir sama seperti insiden gonorrhea 

pada pria. Penyakit ini jarang terjadi di daerah iklim sedang, namun bisa juga muncul 

sebagai KLB kecil. Di AS, KLB dan penularan setempat terjadi, terutama dikalangan 

pekerja migran di daerah pertanian dan warga  miskin perkotaan. 

 

 92

4. Reservoir : manusia. 

 

5. Cara penularan : 

Melalui kontak seksual langsung, dengan discharge dari luka yang terbuka dan pus dari 

bubo. Auto inokulasi pada tempat-tempat selain alat kelamin bisa terjadi pada penderita. 

Pelecehan seksual bisa di curigai telah terjadi bila chancroid ditemukan pada anak-anak 

usia perinatal. 

 

6. Masa inkubasi : Dari 3- 5 hari sampai dengan 14 hari. 

 

7.  Masa penularan : 

Seseorang bisa menularkan chanchroid hingga sampai ia sembuh, penyakit ini menular 

selama bakteri masih ada dari luka atau discharge dari kelenjar limfe yang bisa 

berlangsung selama beberapa minggu atau beberapa bulan bila tidak diobati dengan 

antibiotik yang tepat. Pengobatan dengan antibiotik membunuh H. ducreyi dan luka akan 

sembuh dalam 1-2 minggu. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan. 

Semua orang rentan terhadap penyakit ini; pria yang tidak disunat memiliki  risiko lebih 

tinggi daripada pria yang disunat. Tidak ada bukti terbentuknya kekebalan tubuh alamiah 

terhadap penyakit ini. 

 

9. Cara-cara  pemberantasan : 

A. Cara pencegahan. 

1). Tindakan pencegahannya sama dengan cara pencegahan untuk sifilis (lihat sifilis. 

(9A). 

2). Lakukan pemeriksaan serologis untuk sifilis dan HIV terhadap semua penderita 

non herpes dengan luka pada alat kelamin.  

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar : 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; kasus wajib dilaporkan di beberapa 

negara bagian dan di banyak negara, kelas 2B (laporan) 

2). Isolasi : tidak dilakukan; hindari kontak seksual hingga luka sembuh. 

3). Disinfeksi serentak : tidak dilakukan. 

4). Karantina : tidak dilakukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan. 

6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : periksa dan obati semua kontak 

seksual dengan penderita dalam 10 hari sebelum munculnya gejala. Wanita tanpa 

gejala, jarang menjadi carrier. Kontak seksual dengan orang tanpa gejala 

sebaiknya diberi pengobatan profilaktik. 

7). Pengobatan spesifik : Septriakson, eritromisin, azitromisin dan khusus untuk orang 

dewasa: siprofloksasin yaitu   obat pilihan. Pengobatan alternatif memakai   

amoksisilin dan asam clavulanat. Kelenjar limfe didaerah inguinal yang terlihat 

membangkak sebaiknya dilakukan aspirasi agar tidak pecah secara spontan. 

 

 

 

 93

C. Penanggulangan wabah : 

Ditemukannya penderita terus menerus atau meningkatnya insiden penyakit disuatu 

wilayah yaitu   indikasi untuk menerapkan prosedur tindakan seperti yang dijelaskan 

pada 9A dan 9B diatas. Apabila compliance pengobatan dengan memakai   jadwal 

seperti yang tertera pada (9B7) rendah maka sebagai pertimbangan sebaiknya 

diberikan dosis tunggal ceftriaxone atau azithromycin. Terapi empiris perlu diberikan 

kepada kelompok risiko tinggi dengan atau tanpa ulkus; yaitu kepada pekerja seksual 

komersial, kepada pasien yang datang ke klinik dengan ulkus pada alat kelamin dan 

pada pemeriksaan dengan mikroskop lapangan gelap hasilnya negatif. Terapi empiris 

ini tujuannya untuk mencegah terjadinya KLB. 

 

D. Implikasi bencana : Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : Lihat sifilis (9E). 

 

 

 

 

CHICKEN POX/HERPES ZOSTER  ICD-9 052-053; ICD-10 B01- B02 

(Varicella/shingles) 

 

 

1. Identifikasi. 

Chicken pox (varicella/cacar air) yaitu   penyakit virus akut, pada umumnya terjadi 

serangan mendadak dengan demam ringan, gejala umum ringan dikuti dengan munculnya 

erupsi kulit yang makulopapuler dalam beberapa jam, menjadi vesikuler dalam 3-4 hari 

dan meninggalkan keropeng bundar. Gelembungnya berbentuk monolokuler dan pecah 

bila ditusuk, berbeda dengan gelembung pada cacar yang berbentuk multilokuler, tidak 

kolaps. Lesi biasanya muncul berkelompok memanjang, dengan stadium yang berbeda 

pada waktu yang sama. Lesi lebih banyak muncul pada anggota tubuh yang tertutup 

daripada di tempat-tempat yang terbuka. Lesi juga bisa muncul pada kulit kepala, axilla 

bagian atas, dan membran mukosa mulut serta saluran pernapasan bagian atas dan juga 

pada mata. Lesi juga bisa muncul pada daerah iritasi, seperti pada daerah yang terbakar 

matahari dan ruam akibat popok bayi. Lesi yang muncul kemungkinan jumlahnya sangat 

sedikit sehingga luput dari observasi. Bisa terjadi infeksi ringan yang tidak jelas dan tidak 

khas. Kadang-kadang, walaupun jarang pada orang dewasa, demam dan gejala klinis 

lainnya bisa muncul lebih berat. CFR di AS lebih rendah pada anak-anak daripada orang 

dewasa, 1 dari 100.000 anak dengan cacar air, dibandingkan dengan 1 dari 5000 orang 

dewasa. Komplikasi yang serius dari cacar air yaitu   pneumonia (sebab  virus dan 

bakteri), Infeksi bakteri sekunder, komplikasi perdarahan dan ensefalitis. Anak dengan 

lekemia akut, termasuk yang mengalami remisi sesudah kemoterapi yaitu   kelompok 

yang memiliki  risiko lebih tinggi terkena cacar air, yang angka kematiannya 5  - 10 % 

dari semua kasus. Bayi baru lahir yang menderita cacar air pada umur 6 – 10 hari 

memiliki  risiko untuk menderita cacar air berat, begitu juga bayi yang lahir dari ibu 

yang terkena penyakit ini 5 hari sebelum atau 2 hari sesudah melahirkan. Sebelum 

ditemukan pengobatan virus yang efektif, fatality rate nya sampai 30 %.  

 

 94

namun  sekarang CFR-nya lebih rendah. Infeksi pada kehamilan muda bisa memicu  

sindroma cacar air kongenital pada 0.7 % dari kasus, dan infeksi yang terjadi pada usia 

kehamilan 13-20 minggu risikonya sekitar 2%. Cacar air seringkali ditemukan muncul 

mendahului sindroma Reye sebelum diketahui bahwa terjadinya sindroma Reye, dikaitkan 

dengan penggunaan aspirin untuk infeksi virus.  

Herpes zoster (shingles) yaitu   manifestasi lokal dari reaktivasi infeksi varicella laten 

pada radix ganglia dorsalis. Muncul sebagai lesi vesikuler dengan dasar eritema terbatas 

di daerah kulit, yang mengikuti jalannya saraf sensoris dari satu atau sekelompok radix 

ganglia dorsalis. Lesi bisa muncul dalam bentuk gerombolan gelembung yang ireguler 

sepanjang jalannya saraf, biasanya unilateral. Terletak lebih dalam dan vesikel 

menggerombol lebih dekat dibandingkan cacar air; herpes zoster dan varicella secara 

histologis mirip satu sama lain. Hampir selalu disertai dengan rasa sakit sekali dan 

parestesia, dan sekitar 30 % orang dewasa yang terserang herpes menderita postherpetic 

neuralgia. Insiden dari zoster dan postherpetic neuralgia bertambah seiring dengan 

bertambahnya umur. Dari pengamatan didapatkan bahwa hampir 10 % anak-anak yang 

mendapat pengobatan kanker cenderung mendapatkan zoster; orang dengan infeksi HIV 

juga memiliki  risiko untuk terkena zoster. Orang dengan imunosupresi dan orang yang 

didiagnosa menderita tumor ganas, lesi ekstensif seperti cacar air bisa muncul diluar 

dermatome; lesi seperti cacar air ini bisa juga terjadi pada orang-orang normal namun 

dengan jumlah lesi yang lebih sedikit. Infeksi intra uterin dan cacar air yang diderita 

sebelum usia 2 tahun dikaitkan dengan munculnya zoster pada usia muda. Kadang-kadang 

erupsi seperti cacar air muncul beberapa hari sesudah herpes zoster, dan sangat jarang 

terjadi erupsi sekunder dari zoster sesudah cacar air. Pemeriksaan laboratorium, seperti 

menemukan virus dengan memakai   mikroskop elektron; isolasi virus pada kultur sel; 

membuktikan adanya antigen virus pada preparat apus dengan memakai   metode FA, 

DNA virus, atau dengan PCR atau pembuktian adanya kenaikan titer antibodi serum, tidak 

dilakukan secara rutin namun  bermanfaat pada kasus-kasus sulit dan untuk studi 

epidemiologis. Pada era vaksin, tes identifikasi virus untuk membedakan virus vaksin dari 

virus liar mungkin diperlukan pada situasi tertentu (misalnya untuk mengetahui apakah 

munculnya herpes zoster, pada penerima vaksin disebabkan oleh virus vaksin atau virus 

liar). Berbagai macam pemeriksaan antibodi sekarang telah tersedia secara komersial, 

namun pemeriksaan ini kurang sensitif untuk mellihat imunitas pasca imunisasi; sel 

raksasa dengan inti banyak bisa dilihat dari sediaan yang diambil dari dasar lesi dengan 

pengecatan Giemsa; sel raksasa ini tidak ditemukan pada vaccinia namun dapat ditemukan 

pada lesi herpes simplex.  

Dengan demikian ditemukannya sel raksasa ini tidak spesifik untuk infeksi varicella, 

pemeriksaan dengan Rapid direct antibody testing memiliki  nilai diagnostik yang lebih 

tepat. 

 

2. Pemicu  penyakit. 

Herpesvirus 3 (alpha) manusia (Varicella zoster, VZV) termasuk kelompok Herpesvirus. 

 

3. Distribusi penyakit. 

Tersebar di seluruh dunia. Infeksi dengan herpesvirus 3 (alpha) manusia sangat umum 

terjadi. Di daerah dengan iklim sedang, paling tidak 90 % dari warga nya pernah 

terkena cacar air pada usia 15 tahun dan setidaknya 95% pada kelompok dewasa muda. 

 

 95

Pada daerah beriklim sedang, cacar air terjadi paling sering pada musim dingin dan awal 

musim semi. Gambaran epidemiologis dari cacar air di negara tropis berbeda dengan 

negara-negara beriklim sedang, dengan proporsi lebih tinggi kasus-kasus terjadi pada 

orang dewasa. Zoster terjadi lebih umum pada orang-orang yang lebih tua. 

 

4. Reservoir : manusia. 

 

5. Cara penularan : 

Dari orang ke orang melalui kontak langsung, droplet atau penularan melalui udara dari 

cairan vesikel atau sekret dari saluran pernapasan orang yang terkena cacar air atau cairan 

vesikel dari penderita herpes zoster; tidak langsung melalui benda yang baru saja 

terkontaminasi oleh discharge dari vesikel ataupun dari selaput lendir orang yang 

terinfeksi. Berbeda dengan vaksinia dan variola, koreng dari lesi varicella tidak menular. 

Cacar air yaitu   salah penyakit yang sangat menular, terutama pada tahap awal erupsi; 

zoster memiliki  tingkat penularan yang rendah (kontak dengan varicella seronegatif 

akan berkembang menjadi cacar air). Risiko terkena varicella yaitu   sekitar 80 – 90 % 

sesudah terpajan dengan penderita varicella.  

 

6. Masa inkubasi. 

Masa inkubasi berkisar antara 2 – 3 minggu; biasanya 14 – 16 hari. Masa inkubasi bisa 

lebih panjang sesudah pemberian imunisasi pasif terhadap varicella (lihat 9A2; dibawah) 

dan pada orang dengan tingkat kekebalan rendah. 

 

7. Masa penularan  

Paling lama 5 hari, namun  biasanya 1 – 2 hari sebelum timbulnya ruam dan berlanjut 

sampai semua lesi berkeropeng (biasanya sekitar 5 hari). Masa penularan bisa lebih lama 

pada pasien yang tingkat kekebalannya rendah. Munculnya kasus sekunder pada anak-

anak dalam satu keluarga yaitu   sekitar 70 – 90 %. Penderita zoster bisa menjadi sumber 

infeksi sekitar 1 minggu sesudah munculnya lesi vesikulopustuler. Individu yang rentan 

dianggap bisa menularkan penyakit 10 – 21 hari sesudah terpajan. 

  

8. Kerentanan dan kekebalan. 

Semua orang rentan terhadap varicella terutama mereka yang belum pernah terinfeksi; 

biasanya penyakit ini lebih berat jika menyerang orang dewasa daripada anak-anak. 

Infeksi biasanya menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama; serangan kedua jarang 

terjadi, infeksi virus biasanya menjadi laten, dan penyakit ini bisa  berulang sebagai 

herpes zoster pada sekitar 15 % orang dewasa dan kadang-kadang pada anak-anak. 

Bagi yang ibunya tidak kebal, dan penderita leukemia biasanya menderita lebih berat, 

lebih lama atau bahkan fatal. Orang dewasa yang menderita kanker, terutama kanker 

kelenjar limfe dengan atau tanpa terapi steroid, pasien dengan kekebalan rendah dan orang 

dengan pengobatan yang memicu  kekebalan menurun memiliki  risiko terkena 

zoster yang berat, baik lokal maupun menyebar.  

 

 

 

 

 

 96

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan : 

1).  Vaksin virus varicella yang dilemahkan (Varivax®) mendapat lisensi untuk 

digunakan di AS pada tahun 1995. Dosis tunggal 0.5 ml di rekomendasikan untuk 

imunisasi rutin bagi anak usia 12 –18 bulan dan untuk imunisasi anak hingga umur 

12 tahun yang belum pernah menderita varicella. Vaksin ini memiliki  efikasi 

kumulatif sekitar 70 – 90 % dalam mencegah varicella pada anak hingga umur 6 

tahun. Efektivitas vaksin pasca lisensi diperkirakan sekitar 85 – 90 % untuk 

mencegah semua spektrum penyakit dan hampir 100 % untuk mencegah timbulnya 

penyakit dengan derajat sedang hingga berat. Orang yang telah mendapat 

imunisasi namun  masih terkena varicella biasanya ringan dengan lesi yang lebih 

sedikit (biasanya kurang dari 50 dan lesi pada kulit tidak vesikuler), demam ringan 

atau tanpa demam sama sekali dan lama sakit lebih singkat. Jika diberikan dalam 3 

hari sesudah terpajan, vaksin varicella bisa mencegah atau secara bermakna 

merubah perjalanan penyakit. Vaksin bisa digunakan untuk melindungi anak-anak 

dan remaja yang menderita leukemia limfoblastik yang mengalami remisi, dan 

dibutuhkan 2 dosis selama 4 – 8 minggu. Vaksin ini dapat diperoleh gratis untuk 

penderita diatas berdasarkan protokol penelitian pada Pusat Koordinasi 

VARIVAX (VARIVAX Coordinating Center) hubungi pesawat telpon 215-283-

0897. 

Vaksin varicella direkomendasikan diberikan kepada orang yang rentan dan 

berusia lebih dari 13 tahun. Orang dewasa yang diprioritaskan untuk diimunisasi 

yaitu   mereka yang kontak dengan orang yang berisiko tinggi yaitu penderita 

dengan komplikasi yang serius, orang yang tinggal atau bekerja di lingkungan 

dimana bisa terjadi penularan VZV (misalkan guru TK atau guru SD, pekerja 

tempat penitipan anak, penghuni dan pekerja pada suatu asrama), orang yang 

tinggal dan bekerja pada lingkungan dimana penularan bisa terjadi (misalkan 

mahasiswa, orang pada satu ruang tahanan yang sama dan anggota militer), wanita 

usia subur, remaja dan orang dewasa yang tinggal serumah dengan anak-anak dan 

orang yang sering bepergian keluar negeri. Orang berusia diatas 13 tahun 

membutuhkan 2 dosis vaksin diberikan dengan selang waktu 4 – 8 minggu.  Ruam 

ringan seperti varisela pada tempat vaksin disuntikkan ditemukan sekitar 2 – 4 % 

pada anak-anak dan sekitar 5 % pada orang dewasa. Vaksin bisa memicu  

terjadinya herpes zoster di kemudian hari, walaupun angkanya lebih rendah dari 

yang didapat secara alamiah. Lamanya kekebalan tidak diketahui, namun  antibodi 

bertahan paling sedikit selama 10 tahun di AS. Namun, antibodi seumur hidup 

terjadi sebab  adanya sirkulasi virus liar. 

2).  Lindungi orang yang berisiko tinggi yang oleh sebab  sesuatu hal tidak dapat di 

imunisasi, seperti bayi dan orang yang kekebalannya rendah, dari pajanan dengan 

cara semua anggota rumah tangga dan mereka yang kontak dengan penderita 

seluruhnya diberi imunisasi. 

3).  Imunoglobulin varisela-zoster (Varicella-zoster immune globulin, VZIG), yang 

dibuat dari plasma darah donor dengan titer antibodi VZV yang tinggi, sangat 

efektif dalam memodifikasi atau mencegah penyakit jika diberikan dalam waktu 

96 jam sesudah terpajan (lihar 9B5,  dibawah). 

 

 

 

 97

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; di banyak negara bagian di AS dan 

negara-negara lain, varisela bukan penyakit yang wajib dilaporkan. Kematian yang 

disebabkan oleh varisela dinyatakan wajib dilaporkan diseluruh AS sejak 1 Januari 

1999, Kelas 3C (lihat tentang Pelaporan Penyakit Menular). 

2). Isolasi : anak-anak yang menderita varisela dilarang masuk sekolah, ruang medis, 

ruang gawat darurat atau dilarang berkunjung ketempat-tempat umum hingga 

vesikel menjadi kering, biasanya sesudah 5 hari bagi penderita anak-anak yang 

tidak mendapat imunisasi dan 1 – 4 hari bagi anak-anak yang menderita varisela 

pasca imunisasi. Pisahkan penderita dewasa dari tempat kerja dan hindari kontak 

dengan orang yang rentan. Di rumah sakit, isolasi yang ketat diterapkan terhadap 

penderita varisela sebab  risiko mendapat varisela yang berat bagi pasien dengan 

immunocompromised jika tertular. 

3). Disinfeksi serentak :  terhadap barang-barang yang terkontaminasi discharge dari 

hidung dan tenggorokan penderita. 

4). Karantina : biasanya tidak dilakukan. Anak-anak yang diketahui telah terpajan 

varisela sebaiknya dikarantina dirumah sakit sebab  alasan medis. Oleh sebab  ada 

risiko penyebaran penyakit kepada orang yang mendapat pengobatan steroid atau 

pasien dengan kekebalan rendah. Karantina setidaknya dilakukan selama 10 – 21 

hari sesudah tepajan (hingga 28 hari jika VZIG telah diberikan). 

5). Perlindungan kontak : vaksin direkomendasikan untuk diberikan kepada orang 

yang rentan sesudah terpajan varisela. Data dari rumah tangga, rumah sakit dan 

warga  membuktikan bahwa vaksin varisela efektif dalam mencegah kesakitan 

atau mengurangi beratnya penyakit bila diberikan dalam 3 hari sampai dengan 5 

hari sesudah terpajan. 

VZIG yang diberikan dalam waktu 96 jam sesudah terpajan, bisa melindungi atau 

mengurangi beratnya penyakit pada orang-orang rentan yang memiliki  riwayat 

kontak dengan orang sakit. VZIG tersedia di Dinas Transfusi Darah setempat 

(Blood Service Regional Office). Dinas ini  merupakan bagian dari Palang Merah 

Amerika, atau dapat dipesan langsung melalui nomer telpon 617-461-0891). 

Pemberian VZIG juga di indikasikan bagi bayi dari ibu yang terkena cacar air 5 

hari sebelum atau 48 jam sesudah melahirkan. Tidak ada jaminan bahwa 

pemberian VZIG pada wanita hamil akan mencegah terjadinya malformasi otak 

janin, namun  pemberian VZIG bisa mengurangi beratnya varisela pada wanita 

hamil. 

Obat anti virus seperti acyclovir nampaknya bermanfaat untuk mencegah atau 

merubah perjalanan penyakit varisela jika diberikan dalam kurun waktu 1 minggu 

sesudah terpajan. Dosis sebesar 80 mg/kg tiap hari dibagi dalam 4 dosis telah lama 

digunakan namun  sampai sekarang belum ada regimen yang direkomendasikan 

secara umum untuk tujuan ini. 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : sumber infeksi bisa berasal dari penderita 

varisela atau herpes zoster. Semua orang yang kontak dengan sumber infeksi 

terutama mereka yang tidak memenuhi syarat untuk diberikan imunisasi, seperti 

wanita hamil, orang dengan immunocompromised dan bayi yang ibunya menderita 

varisela dalam 5 hari sebelum atau 2 hari sesudah melahirkan), sebaiknya 

dipertimbangkan untuk pemberian VZIG. Penderita  sebaiknya diisolasi sehingga 

 

 98

semua lesi menjadi keropeng; orang-orang rentan dan terpajan yang memenuhi 

syarat untuk di imunisasi sebaiknya diberi vaksin segera untuk penanggulangan 

dan pencegahan KLB. 

7). Pengobatan spesifik : 

Baik vidarabine (adenine arabinoside, Ara-A®) maupun acyclovir (Zovirax®) 

efektif untuk mengobati cacar air dan zoster, namun acyclovir merupakan obat 

pilihan untuk cacar air. Untuk pengobatan herpes zoster, analog dari acyclovir 

dengan kemampuan absorpsi yang sudah diperbaiki saat ini telah tersedia 

dipasaran (valacyclovir dan famcyclovir). Obat ini bisa memperpendek gejala dan 

rasa sakit dari penderita zoster dewasa, terutama bila diberikan dalam waktu 24 

jam sesudah munculnya ruam. 

 

C. Tindakan penanggulangan wabah. 

KLB cacar air sering terjadi disekolah, tempat penitipan anak dan institusi lain dan 

KLB biasanya berlangsung lama dengan banyak korban disertai dengan komplikasi. 

Penderita menular sebaiknya di isolasi dan kontak yang rentan diimunisasi dengan 

segera atau dirujuk ke dokter langganan atau dokter keluarga mereka untuk mendapat 

imunisasi, dengan maksud menanggulangi KLB yang terjadi. Orang yang oleh sebab  

sesuatu hal tidak boleh diberi imunisasi seperti wanita hamil yang rentan dan orang-

orang yang immunocompromised sebaiknya dievaluasi dan dipertimbangkan untuk 

diberi VZIG. 

 

D. Implikasi bencana 

KLB cacar air bisa terjadi pada anak-anak yang ditampung ditempat-tempat 

engungsian. p

 

E. Tindakan lebih lanjut  : Sama seperti diatas. 

 

 

 

 

INFEKSI KLAMIDIA. 

 

Pada saat teknik pemeriksaan laboratorium semakin canggih, Klamidia semakin diketahui 

sebagai Pemicu  penyakit pada manusia. Klamidia yaitu   bakteri intraseluler yang obligatif, 

berbeda dengan virus dan riketsia namun  seperti halnya riketsia, klamidia sensitif terhadap 

antimikroba berspektrum luas. Klamidia yang memicu  penyakit pada manusia 

diklasifikasikan menjadi 3 spesies : 

1. Chlamydia psittaci, Pemicu  psittacosis (q.v) 

2. C. trachomatis, termasuk serotipe yang memicu  trachoma (q.v) infeksi alat kelamin 

(lihat bawah), Chlamydia conjunctivitis (q.v) dan pneumonia anak (q.v) dan serotipe lain 

yang memicu  Lymphogranuloma venereum (q.v) 

3. C. pneumoniae, Pemicu  penyakit saluran pernapasan termasuk pneumonia (q.v) dan  

merupakan Pemicu  penyakit arteri koroner. 

 

Klamidia sekarang semakin dikenal sebagai patogen penting yang memicu  berbagai 

penyakit menular seksual, infeksi pada mata dan infeksi paru pada bayi sebagai akibat adanya 

infeksi pada alat kelamin ibu hamil.  

 

 99

INFEKSI PADA ALAT KELAMIN DISEBABKAN KLAMIDIA  

         ICD-9 099.9; ICD-10 A56 

  

        

1. Identifikasi 

Infeksi melalui hubungan seksual, pada pria muncul sebagai uretritis; dan pada wanita 

sebagai servisitis mukopurulen. Manifestasi klinis dari uretritis kadang sulit dibedakan 

dengan gonorrhea dan termasuk adanya discharge mukopurulen dalam jumlah sedikit 

atau sedang, gatal pada uretra dan rasa panas ketika buang air kecil. Infeksi tanpa gejala 

bisa ditemukan pada 1 – 25 % pria dengan aktivitas seksual aktif. Komplikasi dan gejala 

sisa mungkin terjadi dari infeksi uretra pada pria berupa epididimitis, infertilitas dan 

sindroma Reiter. Pada pria homoseksual, hubungan seks anorektal bisa memicu  

proktitis klamidia.  

Pada wanita, manifestasi klinis mungkin sama dengan gonorrhea, dan seringkali muncul 

sebagai discharge endoservik mukopurulen, disertai dengan pembengkakan, eritema dan 

mudah mengakibatkan perdarahan endoservik disebabkan oleh peradangan dari epitel 

kolumnair endoservik. Namun, 70 % dari wanita dengan aktivitas seksual aktif yang 

menderita klamidia, biasanya tidak menunjukkan gejala. Komplikasi dan gejala sisa 

berupa salpingitis dengan risiko infertilitas, kehamilan diluar kandungan atau nyeri pelvis 

kronis. Infeksi kronis tanpa gejala dari endometrium dan saluran tuba bisa memberikan 

hasil yang sama. Manifestasi klinis lain namun jarang terjadi seperti bartolinitis, sindroma 

uretral dengan disuria dan pyuria, perihepatitis (sindroma Fitz-Hugh-Curtis) dan proktitis. 

Infeksi yang terjadi selama kehamilan bisa mengakibatkan ketuban pecah dini dan 

memicu  terjadinya kelahiran prematur, serta dapat memicu  konjungtivitis dan 

radang paru pada bayi baru lahir. Infeksi klamidia endoserviks meningkatkan risiko 

terkena infeksi HIV. 

Infeksi klamidia bisa terjadi bersamaan dengan gonorrhea, dan tetap bertahan walaupun 

gonorrhea telah sembuh. Oleh sebab  servisitis yang disebabkan oleh gonokokus dan 

klamidia sulit dibedakan secara klinis maka pengobatan untuk kedua mikroorganisme ini 

dilakukan pada saat diagnosa pasti telah dilakukan. Namun pengobatan terhadap 

gonorrhea tidak selalu dilakukan jika diagnosa penyakit disebabkan C. trachomatis.  

Diagnosa uretritis non gonokokus (UNG) atau diagnosa servisitis non gonokokus 

ditegakkan biasanya didasarkan pada kegagalan menemukan Neisseria gonorrhoeae 

melalui sediaan apus dan kultur. Klamidia sebagai Pemicu  dipastikan dengan 

pemeriksaan preparat apus yang diambil dari uretra atau endoserviks atau dengan tes IF 

langsung dengan antibodi monoklonal, EIA, Probe DNA, tes amplifikasi asam nukleus 

(Nucleic Acid Amplification Test, NAAT), atau dengan kultur sel. NAAT bisa dilakukan 

dengan memakai   spesimen urin. Organisme intraseluler sulit sekali dihilangkan dari 

discharge. Untuk penyakit lain, lihat uretritis non gonokokus dibawah. 

 

2.  Pemicu  penyakit.  

Chlamydia trachomatis, imunotipe D sampai dengan K, ditemukan pada 35 – 50 % dari 

kasus uretritis non gonokokus di AS. 

 

 

 

 

 100

3.  Distribusi penyakit. 

Tersebar diseluruh dunia, di AS, Kanada, Australia dan Eropa, penyakit ini meningkat 

terus selama 2 dekade terakhir. 

 

4.  Reservoir : manusia 

 

5.  Cara penularan : hubungan seks. 

 

6. Masa inkubasi : Tidak jelas, mungkin 7 – 14 hari atau lebih panjang. 

 

7.  Masa penularan : Tidak diketahui. Relaps bisa terjadi. 

 

8.  Kerentanan dan kekebalan. 

Semua usia rentan terhadap penyakit ini. Tidak ditemukan kekebalan setelah infeksi, 

imunitas seluler bersifat imunotipe spesifik. 

 

9.  Cara-cara pemberantasan. 

A. Cara pencegahan. 

1). Penyuluhan kesehatan dan pendidikan seks : sama seperti sifilis (lihat Sifilis, 9A) 

dengan penekanan pada penggunaan kondom ketika melakukan hubungan seksual 

dengan wanita bukan pasangannya. 

2). Pemeriksaan pada remaja putri yang aktif secara seksual harus dilakukan secara 

rutin. Pemeriksaan perlu juga dilakukan terhadap wanita dewasa usia dibawah 25 

tahun, terhadap mereka yang memiliki  pasangan baru atau terhadap mereka 

yang memiliki  beberapa pasangan seksual dan atau yang tidak konsisten 

memakai   alat kontrasepsi. Tes terbaru untuk infeksi trachomatis dapat 

digunakan untuk memeriksa remaja dan pria dewasa muda dengan spesimen urin. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1). Laporan pada instansi kesehatan setempat; laporan kasus wajib dilakukan 

dibanyak negara bagian di AS, Kelas 2B (lihat Tentang pelaporan penyakit 

menular). 

2) Isolasi : tindakan kewaspadaan universal, bisa diterapkan untuk pasien rumah 

sakit. Pemberian terapi antibiotika yang tepat menjamin discharge tidak infektif; 

penderita sebaiknya menghindari hubungan seksual hingga kasus indeks, penderita 

atau pasangannya telah selesai diberi pengobatan yang lengkap. 

3). Disinfeksi serentak : 

Pembuangan benda-benda yang terkontaminasi dengan discharge uretra dan 

vagina, harus ditangani dengan seksama. 

4). Karantina : tidak dilakukan. 

5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan. 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi. 

Pengobatan profilaktik diberikan terhadap pasangan seks lain dari penderita, dan 

pengobatan yang sama diberikan kepada pasangan tetap. Bayi yang dilahirkan dari 

ibu yang terinfeksi dan belum mendapat pengobatan sistemik, foto thorax perlu 

 

 101

diambil pada usia 3 minggu dan diulang lagi sesudah 12 – 18 minggu untuk 

mengetahui adanya pneumonia klamidia sub klinis. 

7). Pengobatan spesifik : 

Doksisiklin (PO), 100 mg 2 kali sehari selama 7 hari atau tetrasiklin (PO), 500 mg, 

4 x/hari selama 7 hari. Eritromisin yaitu   obat alternatif dan obat pilihan bagi bayi 

baru lahir dan untuk wanita hamil atau yang diduga hamil. Azitromisin (PO) 1 g 

dosis tunggal sehari juga efektif. 

 

C. Penanggulangan Wabah : tidak ada. 

D. Implikasi bencana : tidak ada. 

E. Tindakan lebih lanjut  : tidak ada. 

 

 

 

 

URETRITIS NON GONOKOKUS dan Non Spesifik. ICD-9 099.4; ICD-10 N34.1 

(UNG, UNS) 

 

Sementara Klamidia paling sering ditemukan sebagai Pemicu  kasus uretritis non 

gonokokus, namun organisme lain juga banyak ditemukan sebagai Pemicu . Ureaplasma 

urealyticum diperkirakan sebagai Pemicu  10 – 20 % dari kasus UNG. Virus herpes simplex 

tipe 2 dan Trichomonas vaginalis jarang sebagai Pemicu . Jika fasilitas laboratorium untuk 

pemeriksaan klamidia tidak tersedia, semua penderita UNG (bersama dengan pasangan seks 

mereka) sebaiknya diperlakukan sebagai pengidap klamidia. sebab  penderita yang hasil 

pemeriksaan laboratoriumnya negatif terhadap klamidia ternyata memberi respons yang baik 

terhadap terapi antibiotika. 

 

 

 

KOLERA dan VIBRIOSES lain     ICD-9.001; ICD-10.A00 

 

I. Vibrio kolera serogrup O1 dan O139. 

 

1. Identifikasi. 

Penyakit saluran pencernaan akut yang disebabkan oleh bakteri dan ditandai gejala dalam 

bentuknya yang berat dengan onset yang tiba-tiba, diare terus menerus, cair seperti air 

cucian beras, tanpa sakit perut, disertai muntah dan mual di awal timbulnya penyakit. 

Pada kasus-kasus yang tidak diobati dengan cepat dan tepat dapat terjadi dehidrasi, 

asidosis, kolaps, hipoglikemi pada anak serta gagal ginjal. Infeksi tanpa gejala biasanya 

lebih sering terjadi daripada infeksi dengan gejala, terutama infeksi oleh biotipe El Tor; 

gejala ringan dengan hanya diare, umum terjadi, terutama dikalangan anak-anak. Pada 

kasus berat yang tidak diobati (kolera gravis), kematian bisa terjadi dalam beberapa jam, 

dan CFR-nya bisa mencapai 50 %. Dengan pengobatan tepat, angka ini kurang dari 1 %. 

Diagnosa ditegakkan dengan mengisolasi Vibrio cholera dari serogrup O1 atau O139 dari 

tinja. Jika fasilitas laboratorium tidak tersedia, Cary Blair media transport dapat 

digunakan untuk membawa atau menyimpan spesimen apus dubur (Rectal Swab).  

 

 102

Untuk diagnosa klinis presumtif cepat dapat dilakukan dengan mikroskop medan gelap 

atau dengan visualisasi mikroskopik dari gerakan vibrio yang tampak seperti shooting 

stars atau bintang jatuh, dihambat dengan antisera serotipe spesifik yang bebas bahan 

pengawet. Untuk tujuan epidemiologis, diagnosa presumtif dibuat berdasarkan adanya 

kenaikan titer antitoksin dan antibodi spesifik yang bermakna. Di daerah non-endemis, 

organisme yang diisolasi dari kasus indeks yang dicurigai sebaiknya dikonfirmasikan 

dengan pemeriksaan biokimiawi dan pemeriksaan serologis yang tepat serta dilakukan uji 

kemampuan organisme untuk memproduksi toksin kolera atau untuk mengetahui adanya 

gen toksin. Pada saat terjadi wabah, sekali telah dilakukan konfirmasi laboratorium dan uji 

sensitivitas antibiotik, maka terhadap semua kasus yang lain tidak perlu lagi dilakukan uji 

laboratorium 

 

2. Pemicu  Penyakit. 

Vibrio cholera serogrup O1 terdiri dari dua biotipe yaitu Vibrio klasik dan Vibiro El Tor 

dan yang terdiri dari serotipe Inaba, Ogawa dan Hikojima (jarang ditemui). Vibrio cholera 

O139 juga memicu  kolera tipikal. Gambaran klinis dari penyakit yang disebabkan 

oleh Vibrio cholera O1 dari kedua biotipe dan yang disebabkan oleh Vibrio cholera O139 

yaitu   sama sebab  enterotoksin yang dihasilkan oleh organisme ini hampir sama. Pada 

setiap kejadian wabah atau KLB, tipe organisme tertentu cenderung dominan, saat ini 

biotipe El Tor yaitu   yang paling sering ditemukan. Di kebanyakan daerah di India dan 

Bangladesh, sebagian besar dari kejadian kolera disebabkan oleh Vibrio cholera O139 dan 

Vibrio cholera O1 dari biotipe klasik ditemukan di Bangladesh selama dekade lalu. 

Beberapa jenis Vibrio yang secara biokimiawi tidak dapat dibedakan satu sama lain, namun  

tidak menggumpal dengan antisera Vibrio cholera serogrup O1 (strain non-O1, dahulu di 

kenal sebagai Vibrio yang tidak menggumpal (NAGs) atau juga dikenal sebagai “Non 

Cholera Vibrio” (NCVsJ) sekarang dimasukkan ke dalam spesies Vibrio cholera. 

Beberapa strain kolera memproduksi enterotoksin namun  kebanyakan tidak. Sebelum tahun 

1992, strain non-O1 diketahui sebagai Pemicu  diare sporadis dan jarang memicu  

KLB dan tidak pernah sebagai Pemicu  wabah yang menelan korban banyak. Namun 

pada akhir tahun 1992 wabah kolera dengan dehidrasi berat terjadi di India dan 

Bangladesh dengan jumlah korban yang sangat banyak. Organisme Pemicu nya yaitu   

serogrup baru dari Vibrio cholera O139, yang menghasilkan toksin kolera yang sama 

dengan O1 namun  berbeda, pada struktur lipo polisakaridanya (LPS) dan berbeda dalam 

kemampuan memproduksi antigen kapsuler. Gambaran klinis dan epidemiologis dari 

penyakit yang disebabkan oleh organisme ini dengan ciri khas kolera, dan harus 

dilaporkan sebagai kolera. Wabah oleh strain O-139 yang memiliki  faktor virulensi 

yang sama seperti Vibrio cholera O1 El Tor, faktor ini nampaknya diperoleh dari 

hilangnya bagian  gen yang menyandikan (Encode) antigen lipo polisakarida dari O1 

strain El Tor di ikuti dengan bersatunya sebagian besar fragmen dari DNA baru yang 

menyandikan (encoding) enzim yang memungkinkan terjadinya sintesa dari liposakarida 

dan kapsul dari O 139. Melaporkan Infeksi Vibrio cholera O1 non-toksikogenik atau 

infeksi Vibrio cholera non O1, selain O139 sebagai, kolera, yaitu   laporan yang tidak 

akurat dan membingungkan. 

 

 

 

 

 103

3.  Distribusi penyakit. 

Selama abad 19, pandemi kolera menyebar berulang kali dari delta Sungai Gangga di 

India ke seluruh dunia. Sampai dengan pertengahan abad ke 20, penyakit ini terbatas 

hanya terjadi di Asia, kecuali kejadian wabah kolera yang menelan banyak korban di 

Mesir pada tahun 1947. Selama setengah abad terakhir abad ke 20 gambaran 

epidemiologis kolera ditandai dengan 3 ciri utama. 

1). Terjadinya pandemi ke 7 kolera yang disebabkan oleh Vibrio cholera O1 El Tor, 

dengan korban yang sangat banyak. 

2). Diketahui adanya reservoir lingkungan dari kolera, salah satunya yaitu   di sepanjang 

pantai teluk Meksiko di AS. 

3). Munculnya untuk pertama kali ledakan wabah besar dari Cholera gravis yang 

disebabkan oleh organisme Vibrio cholera dari serogrup selain O1, (Vibrio cholera 

O139).  

Sejak tahun 1961, Vibrio cholera dari biotipe El Tor telah menyebar dari Indonesia 

melalui sebagian besar Asia ke Eropa Timur. Pada tahun 1970, biotipe ini masuk ke 

Afrika bagian barat dan menyebar dengan cepat di benua itu dan menjadi endemis di 

sebagian besar negara Afrika. Beberapa kali KLB kolera telah terjadi di semenanjung 

Iberia dan Itali pada tahun 1970 an. 

Kolera El Tor kembali ke Benua Amerika di tahun 1991, sesudah menghilang selama satu 

abad dan memicu  ledakan-ledakan wabah sepanjang pantai Pasifik di Peru. Dari 

Peru, kolera dengan cepat menyebar ke negara-negara tetangga, dan pada tahun 1994, 

kira-kira 1 juta kasus kolera tercatat terjadi di Amerika Latin. Perlu di catat, walaupun 

manifestasi klinis penyakit ini sama beratnya dengan yang terjadi di bagian lain di dunia, 

namun keseluruhan CFR kolera di Amerika Latin bisa ditekan tetap rendah (sekitar 1%) 

kecuali di pedesaan di pegunungan Andes dan wilayah Amazona dimana fasilitas 

pelayanan kesehatan sangat jauh. 

Perlu dicatat secara spesifik bahwa telah terjadi KLB kolera El Tor diantara pengungsi 

Rwanda di Goma, Zaire, pada bulan Juli tahun 1994 dengan 70.000 penderita dan 12.000 

orang diantaranya tewas dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Secara keseluruhan, 

384.403 penderita dan 10.692 kematian akibat kolera dilaporan ke WHO pada tahun 1994 

oleh 94 negara. CFR global pada tahun 1994 yaitu   2,8 % yang bervariasi dari 1% di AS, 

1,3 % di Asia dan 5 % di Afrika. 

Variasi angka ini mencerminkan perbedaan dalam sistim pelaporan dan akses terhadap 

pengobatan yang tepat, tidak menggambarkan virulensi dari organisme Pemicu . 

Kecuali untuk dua kasus kolera yang didapatkan sebab  infeksi dilaboratorium, dibelahan 

bumi bagian Barat tidak ditemukan penderita kolera indigenous sejak tahun 1911 sampai 

dengan 1973, pada saat itu di Texas ditemukan penderita dengan V. cholerae El Tor Inaba 

sebagai Pemicu , dimana sumbernya tidak diketahui. 

Pada tahun 1978 dan awal 1990 an ditemukan secara sporadis penderita dengan infeksi V. 

cholerae El Tor Inaba di Louisiana dan Texas. 

Timbulnya kasus-kasus kolera diatas disepanjang Gulf Coast Amerika selama bertahun-

tahun disebabkan oleh satu strain indigenous yang berasal dari reservoir lingkungan dari 

V. cholerae O1 El Tor Inaba disepanjang pantai teluk Mexico. 

Pada bulan Oktober 1992, KLB kolera terjadi secara serentak di beberapa daerah di 

Negara Bagian Tamilnadu, India. Strain yang diisolasi dari KLB ini tidak menggumpal 

dengan antisera O1, begitu pula strain ini pada pemeriksaan laboratorium tidak dapat 

 

 104

diidentifikasi dengan panel standar antisera dari Vibrio cholera 138 non O1. Serogrup 

baru, yang disebut O 139 Bengal menyebar dengan cepat ke seluruh negara bagian dan 

kawasan sekitarnya, dalam beberapa bulan memicu  ratusan ribu orang terserang. 

Selama periode wabah, V. cholerae O139 menggantikan strain V. cholerae O1 pada 

hampir semua pasien yang dirawat di rumah sakit dan dari sampel yang diambil dari air 

permukaan. Wabah terus menyebar sepanjang tahun 1994 dengan penderita kolera O139 

yang dilaporkan dari 11 negara di Asia. Strain baru ini diperkirakan menyebar ke benua 

lain melalui para pelancong yang terinfeksi didaerah tujuan wisata, namun  tidak dilaporkan 

adanya penyebaran sekunder diluar Asia. Bahwa wabah O139 yang terjadi di Asia pada 

awal tahun 1990-an dipercaya sebagai awal terjadinya pandemi ke 8 dari kolera. Namun 

O139 bukan hanya tidak menyebar dan memicu  wabah di Afrika dan Amerika 

Selatan namun  ia juga menghilang dengan cepat baik di India maupun Bangladesh. Dan 

bahkan menghilang dari daerah dimana strain ini berasal dan pernah menyebar. Kalaupun 

ditemukan dibagian lain didunia, O139 sebagai Pemicu  tidak lebih dari 5 – 10 % dari 

seluruh kasus kolera. Kolera O 139 di masa yang akan datang diduga dapat memicu  

wabah yang sangat besar di bagian lain di dunia dan sebab nya membutuhkan surveilans 

lebih lanjut  yang terus menerus. 

Semenjak kolera kembali menyerang Amerika Latin pada tahun 1990 an, para pelancong 

yang terserang kolera meningkat dengan tajam. Dengan memakai   metode 

bakteriologis yang canggih (media TCBS) berbagai studi prospektif telah dilakukan dan 

membuktikan bahwa insiden  kolera yang menyerang para pelancong di AS dan yang 

menyerang turis Jepang cukup tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya. 

 

4. Reservoir   

Reservoirnya yaitu   : Manusia; pengamatan yang dilakukan di AS, Bangladesh dan 

Australia selama lebih dari 2 dekade menunjukkan adanya reservoir lingkungan, dimana 

vibrio diduga hidup pada copepoda dan zooplankton yang hidup diperairan payau dan 

muara sungai. 

 

5. Cara penularan  

Masuk melalui makanan atau air minum yang terkontaminasi secara langsung atau tidak 

langsung oleh tinja atau muntahan dari orang yang terinfeksi. El Tor dan O139 dapat 

bertahan di air dalam jangka waktu yang lama. Pada saat wabah El Tor sekala besar 

terjadi di Amerika Latin pada tahun 1991, penularan yang cepat dari kolera terjadi melalui 

air yang tercemar sebab  sistem PAM perkotaan yang tidak baik, air permukaan yang 

tercemar, sistem penyimpanan air dirumah tangga yang kurang baik. Makanan dan 

minuman pada saat itu diolah dengan air yang tercemar dan di jual oleh pedagang kaki 

lima, bahkan es dan air minum yang dikemaspun juga tercemar oleh vibrio cholerae. Biji-

bijian yang dimasak dengan saus pada saat wabah itu terbukti berperan sebagai media 

penularan kolera. Vibrio cholerae yang dibawa oleh penjamah makanan dapat mencemari 

salah satu dari jenis makanan yang disebutkan diatas yang apabila tidak disimpan dalam 

lemari es dalam suhu yang tepat, dapat meningkatkan jumlah kuman berlipat ganda dalam 

waktu 8 – 12 jam. Sayuran dan buah-buahan yang dicuci dan dibasahi dengan air limbah 

yang tidak diolah, juga menjadi media penularan. Terjadinya wabah maupun munculnya 

kasus sporadis sering disebabkan oleh sebab  mengkonsumsi seafood mentah atau 

setengah matang. Air yang tercemar sering berperan sebagai media penularan seperti yang 

 

 105

terjadi pada KLB di Guam, Kiribati, Portugal, Itali dan Ekuador. Pada kejadian lain, 

seperti di AS, kasus sporadis kolera justru timbul sebab  mengkonsumsi seafood mentah 

atau setengah matang yang ditangkap dari perairan yang tidak tercemar. 

Sebagai contoh Kasus kolera yang muncul di Louisiana dan Texas menyerang orang-

orang yang mengkonsumsi kerang yang diambil dari pantai dan muara sungai yang 

diketahui sebagai reservoir alami dari Vibrio cholera O1 serotipe Inaba, muara sungai 

yang tidak terkontaminasi oleh air limbah. Kolera klinis didaerah endemis biasanya 

ditemukan pada kelompok warga  ekonomi lemah.  

 

6. Masa inkubasi : Dari beberapa jam sampai 5 hari, biasanya 2 – 3 hari. 

 

7. Masa penularan  

Diperkirakan selama hasil pemeriksaan tinja masih positif, orang ini  masih menular, 

berlangsung sampai beberapa hari sesudah sembuh. Terkadang status sebagai carrier 

berlangsung hingga beberapa bulan. Berbagai jenis antibiotika diketahui efektif terhadap 

strain infektif (misalnya tetrasiklin untuk strain O139 dan kebanyakan strain O1). 

Pemberian antibiotika memperpendek masa penularan walaupun sangat jarang sekali, 

ditemukan infeksi kandung empedu kronis berlangsung hingga bertahun-tahun pada orang 

dewasa yang secara terus menerus mengeluarkan vibrio cholerae melalui tinja. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan. 

Resistensi dan kerentanan seseorang sangat bervariasi achlorhydria, lambung 

meningkatkan risiko terkena penyakit, sedang  bayi yang disusui terlindungi dari 

infeksi. Kolera gravis biotipe El Tor dan Vibrio cholera O139 secara bermakna lebih 

sering menimpa orang-orang dengan golongan darah O. Infeksi oleh V. cholerae O1 atau 

O139 meningkatkan titer antibodi penggumpalan maupun antibodi terhadap toksin dan 

meningkatkan daya tahan terhadap infeksi. Serum antibodi terhadap Vibrio Cholera bisa 

dideteksi sesudah terjadi infeksi oleh O1 (namun uji spesifik, sensitif dan prosedur 

pemeriksaan yang dapat dipercaya seperti untuk O1 saat ini tidak ada untuk infeksi O139). 

Adanya serum antibodi terhadap vibrio cholerae ini sebagai bukti adanya perlindungan 

terhadap kolera O1. Studi lapangan menunjukkan bahwa infeksi klinis awal oleh Vibrio 

cholera O1 dari biotipe klasik memberikan perlindungan terhadap infeksi biotipe klasik 

maupun El Tor; sebaliknya infeksi klinis awal oleh biotipe El Tor memberikan 

perlindungan jangka panjang namun sangat rendah dan terbatas terhadap infeksi El Tor 

saja. Di daerah endemis, kebanyakan orang memperoleh antibodi pada awal masa 

beranjak dewasa. Infeksi oleh strain O1 tidak memberi perlindungan terhadap infeksi O 

139 dan sebaliknya. Studi eksperimental yang dilakukan pada sukarelawan, menunjukkan 

bahwa infeksi klinis awal oleh Vibrio cholera O139 memberikan proteksi yang cukup 

bermakna terhadap diare sebab  infeksi Vibrio cholera O139. 

 

9. Cara – cara pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan. 

1). Lihat demam Tifoid, 9A 1-7. 

2). Pemberian Imunisasi aktif dengan vaksin mati whole cell, yang diberikan secara 

parenteral kurang bermanfaat untuk penanggulangan wabah maupun untuk 

penanggulangan kontak. Vaksin ini hanya memberikan perlindungan parsial (50%) 

 

 106

dalam jangka waktu yang pendek (3 – 6 bulan) di daerah endemis tinggi namun  

tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi asimptomatik; oleh sebab  itu 

pemberian imunisasi tidak direkomendasikan. Dua jenis Vaksin oral yang 

memberikan perlindungan cukup bermakna untuk beberapa bulan terhadap kolera 

yang disebabkan oleh strain O1, kini tersedia di banyak negara. Pertama yaitu   

vaksin hidup (strain CVD 103 – HgR, dosis tunggal tersedia dengan nama dagang 

Orachol® di Eropa dan Mutacol di Kanada, SSV1); yang lainnya yaitu   vaksin 

mati yang mengandung vibrio yang diinaktivasi ditambah dengan subunit B dari 

toksin kolera, diberikan dalam 2 dosis (Dukoral, SBL). Sampai dengan akhir tahun 

1999, vaksin-vaksin ini belum mendapat lisensi di AS. 

3). Tindakan pencegahan yang melarang atau menghambat perjalanan orang, 

pengangkutan bahan makanan atau barang tidak dibenarkan. 

 

B.  Pengawasan penderita, kontak atau lingkungan sekitarnya 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan kasus kolera umumnya 

diwajibkan sesuai dengan Peraturan Kesehatan lebih lanjut  (International Health 

Regulation,1969). Edisi beranotasi Ketiga (Third Annotated Edition, 1983), dan 

IHR yang di perbarui dan di cetak ulang pada tahun 1992, WHO, Geneva; kelas 1 

(lihat tentang pelaporan penyakit menular). Saat ini sedang dilakukan revisi 

terhadap IHR. 

2).  Isolasi : perawatan di rumah sakit dengan memperlakukan kewaspadan enterik di 

perlukan untuk pasien berat; isolasi ketat tidak diperlukan. Untuk penderita yang 

tidak begitu berat, dapat di perlakukan sebagai penderita rawat jalan,  diberi 

rehidrasi oral dan antibiotika yang tepat. Ruang perawatan kolera yang penuh 

sesak dengan penderita dapat di operasikan tanpa perlu khawatir dapat 

menimbulkan ancaman penularan kepada petugas kesehatan dan pengunjung 

asalkan prosedur cuci tangan secara efektif serta prosedur kebersihan perorangan 

di laksanakan dengan baik. Pemberantasan terhadap lalat juga perlu dilakukan. 

3).  Disinfeksi serentak : Dilakukan terhadap tinja dan muntahan serta bahan-bahan 

dari kain (linen, seperti sprei, sarung bantal dan lain-lain) serta barang-barang lain 

yang digunakan oleh penderita, dengan cara di panaskan, diberi asam karbol atau 

disinfektan lain. warga  yang memiliki sistem pembuangan kotoran dan 

limbah yang modern dan tepat, tinja dapat langsung dibuang ke dalam saluran 

pembuangan tanpa perlu dilakukan disinfeksi sebelumnya. Pembersihan 

menyeluruh. 

4).  Karantina :Tidak diperlukan. 

5).  Manajemen kontak : Lakukan surveilans terhadap orang yang minum dan 

mengkonsumsi makanan yang sama dengan penderita kolera, selama 5 hari setelah 

kontak terakhir. Jika terbukti kemungkinan adanya penularan sekunder didalam 

rumah tangga, anggota rumah tangga sebaiknya di beri pengobatan 

kemoprofilaksis; untuk orang dewasa yaitu   tetrasiklin (500 mg 4 kali sehari) atau 

doksisiklin (dosis tunggal 300 mg) selama 3 hari, kecuali untuk strain lokal yang 

diketahui atau diduga resisten terhadap tetrasiklin. Anak-anak juga bisa diberikan 

tetrasiklin (50mg/kg/hari dibagi ke dalam 4 dosis) atau doksisiklin (dosis tunggal 6 

mg/kg) selama 3 hari, dengan pemberian tetrasiklin dalam waktu yang singkat, 

tidak akan terjadi noda pada gigi. Pengobatan profilaktik alternatif yang bisa 

 

 107

digunakan untuk strain V. cholerae O1 yang resisten terhadap tetrasiklin yaitu  :  

Furazolidon (Furoxone®) (100 mg 4 kali sehari untuk orang dewasa dan untuk 

anak-anak 1.25 mg/kg 4 kali sehari), eritromisin (dosis anak-anak 40 mg/kg sehari 

dibagi ke dalam 4 dosis dan untuk orang dewasa 250 mg, 4 kali sehari); TMP-

SMX (320 mg TMP dan 1600 mg SMX dua kali sehari untuk orang dewasa dan 8 

mg/kg TMP dan 40 mg/kg SMX sehari dibagi ke dalam 2 dosis untuk anak-anak); 

atau siprofloksasin (500 mg dua kali sehari untuk orang dewasa). TMP-SMX tidak 

bermanfaat untuk infeksi V. cholerae O139 sebab  strain ini resisten pada obat-

obat antimikroba jenis ini. Kemoprofilaksis masal untuk semua anggota 

warga  tidak pernah di lakukan sebab  dapat memicu  resistensi terhadap 

antibiotika. Imunisasi terhadap kontak tidak dianjurkan.  

6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Lakukan investigasi terhadap 

kemungkinan sumber infeksi berasal dari air minum dan makanan yang 

terkontaminasi. Makanan yang dikonsumsi 5 hari sebelum sakit harus di tanyakan. 

Pencarian dengan cara mengkultur tinja untuk kasus-kasus yang tidak dilaporan 

hanya disarankan dilakukan terhadap anggota rumah tangga atau terhadap orang-

orang yang kemungkinan terpajan dengan satu sumber (Common source) didaerah 

yang sebelumnya tidak terinfeksi.  

7).  Pengobatan spesifik :  Ada tiga cara pengobatan bagi penderita Kolera : 1). Terapi 

rehidrasi agresif. 2). Pemberian antibiotika yang efektif. 3). Pengobatan untuk 

komplikasi. Dasar dari terapi kolera yaitu   rehidrasi agresif melalui oral dan 

intravena yang dilakukan untuk memperbaiki kekurangan cairan dan elektrolit, 

juga untuk mengganti cairan akibat diare berat yang sedang berlangsung. 

Antibiotika yang tepat yaitu   terapi tambahan yang sangat penting terhadap 

pemberian cairan, sebab  pemberian antibiotika dapat mengurangi volume dan 

lamanya diare dan dengan cepat mengurangi ekskresi dari vibrio sehingga 

mengurangi kemungkinan terjadinya penularan sekunder. Akhirnya pada saat 

terapi rehidrasi cukup efektif, dan penderita tertolong dari renjatan hipovolemik 

dan tertolong dari dehidrasi berat, penderita dapat mengalami komplikasi seperti 

hipoglikemi yang harus di ketahui dan di obati dengan segera. Jika hal diatas 

dilakukan dengan baik maka angka kematian (CFR) bahkan pada ledakan KLB di 

negara berkembang dapat ditekan dibawah 1 %. 

Untuk memperbaiki dehidrasi, asidosis dan hipokalemia pada penderita dengan 

dehidrasi ringan hingga sedang cukup dengan hanya memberikan larutan rehidrasi 

oral (Oralit) yang mengandung glukosa 20g/l (atau sukrosa 40 gr/l atau dengan air 

tajin 50g/L), NaCl (3.5 g/L), KCl (1.5 g/L); dan trisodium sitrat dihidrat (2.9 g/L) 

atau NaHCO3 (2.5 g/L). Kehilangan cairan pada penderita dengan dehidrasi ringan 

hingga sedang di perbaiki dengan rehidrasi oral sebagai pengganti cairan, 

diberikan lebih dari 4 – 6 jam, agar jumlah yang diberikan dapat mengganti cairan 

yang diperkirakan hilang  (kira-kira 5 % dari berat badan untuk dehidrasi ringan 

dan 7 % pada dehidrasi sedang). Kehilangan cairan yang berlangsung terus dapat 

digantikan dengan memberikan, selama lebih dari 4 jam, cairan per oral sebanyak 

1.5 kali dari volume tinja yang hilang selama 4 jam sebelumnya.  

Penderita yang menderita renjatan sebaiknya diberi rehidrasi intra vena cepat 

dengan larutan multielektrolit seimbang yang mengandung kira-kira 130 mEq/L 

Na+, 25 - 48 mEq/L bikarbonat, asetat atau ion laktat, dan 10-15 mEq/L K+. 

 

 108

Larutan yang sangat bermanfaat antara lain Ringer’s laktat atau Larutan 

Pengobatan Diare dari WHO (4 gr NaCl, 1 g KCl, 6.5 gr natrium asetat dan 8 gr 

glukosa/L) dan “Larutan Dacca” (5 g NaCL, 4 gr NaHCO3, dan 1 g KCL/L), yang 

dapat dibuat ditempat pada keadaan darurat. Penggantian cairan awal sebaiknya 

diberikan 30ml/kg BB pada jam pertama untuk bayi dan pada 30 menit pertama 

untuk penderita berusia diatas 1 tahun, dan sesudahnya pasien harus di nilai 

kembali. Sesudah dilakukan koreksi terhadap sistem cairan tubuh yang kolaps, 

kebanyakan penderita cukup diberikan rehidrasi oral untuk melengkapi 

penggantian 10 % defisit awal cairan dan untuk mengganti cairan hilang yang 

sedang berlangsung.  

Antibiotika yang tepat dapat memperpendek lamanya diare, mengurangi volume 

larutan rehidrasi yang dibutuhkan dan memperpendek ekskresi vibrio melalui tinja. 

Orang dewasa diberi tetrasiklin 500 mg 4 kali sehari dan anak anak 12.5 mg/kg 4 

kali sehari selama 3 hari. Pada saat Strain V. cholerae yang resisten terhadap 

tetrasiklin sering ditemukan, maka pengobatan dilakukan dengan pemberian 

antimikroba alternatif yaitu TMP-SMX (320 mg trimethoprim dan 1600 mg 

sulfamethoxazol dua kali sehari untuk orang dewasa dan 8 mg/kg trimethoprim dan 

40 mg/kg sulfamethoxazol sehari dibagi dalam 2 dosis untuk anak-anak, selama 3 

hari); furazolidon (100 mg 4 kali sehari untuk orang dewasa dan 1.25 mg/kg 4 kali 

sehari untuk anak-anak, selama 3 hari); atau eritromisin (250 mg 4 kali sehari 

untuk orang dewasa dan 10 mg/kg 3 kali sehari untuk anak-anak selama 3 hari). 

Siprofloksasin, 250 mg sekali sehari selama 3 hari, juga merupakan regimen yang 

baik untuk orang dewasa. V. cholerae strain O139 resisten terhadap TMP-SMX. 

Oleh sebab  ditemukan strain O139 atau O1 yang mungkin resisten terhadap salah 

satu dari antimikroba ini, maka informasi tentang sensitivitas dari strain lokal 

terhadap obat-obatan ini perlu diketahui, jika fasilitas untuk itu tersedia, informasi 

ini digunakan sebagai pedoman pemilihan terapi antibiotika yang tepat. 

 

C. Penanggulangan wabah. 

1). Berikan penyuluhan kesehatan kepada warga  di daerah risiko tinggi untuk 

segera mencari pengobatan bila sakit. 

2). Sediakan fasilitas pengobatan yang efektif 

3). Lakukan tindakan darurat untuk menjamin tersediaanya fasilitas air minum yang 

aman. Lakukan klorinasi pada sistem penyediaan air bagi warga , walaupun 

diketahui bahwa sumber air ini tidak terkontaminasi. Lakukan klorinasi atau 

masaklah air yang akan di minum, dan air yang akan dipakai untuk mencuci alat-

alat masak dan alat-alat untuk menyimpan makanan kecuali jika tersedia air yang 

telah di klorinasi dengan baik dan terlindungi dari kontaminasi. 

4). Lakukan pengawasan terhadap cara-cara pengolahan makanan dan minuman yang 

sehat. Setelah diolah dan dimasak dengan benar, lindungi makanan ini  dari 

kontaminasi oleh lalat dan penanganan yang tidak saniter; makanan sisa sebaiknya 

di panaskan sebelum dikonsumsi. Orang yang menderita diare sebaiknya tidak 

menjamah atau menyediakan makanan dan minuman untuk orang lain. Makanan 

yang disediakan pada upacara pemakaman korban kolera mungkin tercemar dan 

selama wabah berlangsung makanan di tempat seperti ini sebaiknya dihindari. 

 

 109

5). Lakukan investigasi dengan sungguh-sungguh dengan desain sedemikian rupa 

untuk menemukan media dan lingkungan yang memungkinkan terjadinya 

penularan menurut variable orang, tempat dan waktu serta buatlah rencana 

penanggulangan yang memadai. 

6). Sediakan fasilitas pembuangan sampah dan limbah domestik sesuai dengan syarat 

kesehatan. 

7). Pemberian imunisasi dengan suntikan vaksin kolera Whole cell tidak dianjurkan. 

8). Pada saat situasi wabah relatif mulai tenang, vaksin kolera oral dapat diberikan 

sebagai tambahan terhadap upaya penanggulangan wabah kolera. Namun, vaksin 

ini sebaiknya tidak digunakan pada saat suasana masih panik atau pada saat terjadi 

kekurangan persediaan air yang parah yang dapat mempengaruhi penyediaan 

terapi rehidrasi oral. 

 

D. Implikasi bencana : risiko terjadinya KLB sangat tinggi di daerah di suatu daerah 

endemis kolera, apabila didaerah ini  orang berkumpul bersama dalam jumlah 

besar tanpa penanganan makanan yang baik serta tanpa tersedianya fasilitas sanitasi 

yang memadai.  

 

E. Tindakan lebih lanjut  :  

1). Pemerintah suatu negara harus segera melaporkan kepada WHO dan negara 

tetangga melalui media elektronika apabila pertama kali ditemukan penderita 

kolera yang disebabkan oleh V. cholerae O1 atau O139 dari suatu daerah/wilayah 

yang sebelumnya bebas dari kolera. Tidak perduli apakah kasus itu yaitu   kasus 

import ataukah bukan. Di AS, para klinisi dan ahli mikrobiologi melaporkan setiap 

kasus yang di curigai sebagai kolera kepada ahli epidemiologis negara bagian; dan 

departemen kesehatan negara bagian ini  akan melaporkan kasus ini ke CDC, 

Atlanta. CDC kemudian akan mengkonfirmasikan kasus ini dan selanjutnya 

melaporkan ke WHO.  

2). Tindakan dan prosedur untuk mencegah penularan yang di terapkan pada kapal 

laut, pesawat udara dan angkutan darat yang datang dari daerah terjangkit kolera 

tercantum dalam Peraturan Kesehatan lebih lanjut  (International Health 

Regulation) 1996, Edisi beranotasi ke tiga (Third Annotated Edition, 1983), di 

perbaharui dan di cetak ulang pada tahun 1992 oleh WHO di Genewa. IHR saat ini 

sedang direvisi, diharapkan edisi revisi ini bias selesai pada tahun 2005. 

3). Pelancong lebih lanjut : Imunisasi dengan suntikan vaksin kolera whole cell tidak 

direkomendasikan oleh WHO bagi mereka yang mengadakan perjalanan dari suatu 

negara ke negara di manapun di dunia dan secara resmi tidak ada satu negarapun 

yang mensyaratkan pemberian imunisasi ini. Imunisasi dengan vaksin oral 

dianjurkan bagi mereka yang akan mengadakan perjalanan dari negara maju ke 

negara endemis ataupun kenegara yang sedang mengalami wabah kolera. Di 

negara-negara ini dimana vaksin oral telah memperoleh ijin beredar, imunisasi 

dianjurkan untuk diberikan kepada pelancong yang diketahui memiliki  faktor 

risiko, seperti mereka dengan hipoklorhidria (sebagai akibat dari gastrektomi 

ataupun pengobatan) atau kepada mereka yang menderita penyakit jantung 

(misalnya aritmia), orang tua ataupun mereka dengan golongan darah O. Sejak 

akhir tahun 1999, vaksin ini tidak lagi di ijinkan beredar di AS.  

 

 110

Peraturan Kesehatan lebih lanjut  (International Health Regulation) menyatakan 

bahwa : “orang yang melakukan perjalanan lebih lanjut , dan datang dari daerah 

terjangkit kolera yang masih dalam masa inkubasi serta orang yang menunjukkan 

gejala kolera, harus menyerahkan tinjanya untuk dilakukan pemeriksaan”. 

4). Manfaatkan Pusat – pusat kerjasama WHO. 

 

 

II.  VIBRIO CHOLERAE SEROGRUP SELAIN  O1 DAN O139 

         ICD-9 005.8; ICD-10 AO5.8 

 

 

1. Identifikasi  

Dikenal lebih dari 100 serogrup V. cholerae, hanya O1 dan O139 yang menunjukan cirri-

ciri epidemiologis dan gejala klinis kolera. Namun, serogroup V. cholerae selain O1 dan 

O139 dapat menimbulkan gastroenteritis sporadis dan serta KLB kecil gastroenteritis. 

Walaupun jarang, serogroup ini pernah diisolasi dari penderita septikemi (biasanya pada 

mereka dengan immuno compromised) 

  

2. Pemicu  penyakit  

V. cholerae patogen dari serogrup selain O1 dan O139. Seperti halnya semua V. cholerae, 

vibrio ini pertumbuhannya bertambah cepat pada lingkungan dengan NaCl 1%. V. 

cholerae strain non - O1 atau non-0139 jarang sekali memproduksi toksin kolera atau 

membawa faktor-faktor kolonilisasi dari strain O1 dan O139 yang dapat menimbulkan 

wabah. Beberapa strain non-O1 dan non-O139 membuat enterotoksin tahan panas (disebut 

NAG-ST). Penelitian epidemiologis dan penelitian yang melibatkan sukarelawan 

memberikan gambaran patogenisitas dari strain yang memproduksi NAG-ST. Strain non-

O1 dan non-O139 yang diisolasi dari darah penderita septikemi membentuk kapsul yang 

sangat tebal. 

 

3. Distribusi penyakit   

Strain V. cholerae Non-O1 dan non-O139 dikaitkan dengan 2 – 3 % dari kejadian diare 

(termasuk yang menimpa para pelancong) di negara berkembang di daerah tropis. Angka 

kejadian diare oleh strain ini lebih tinggi ditemukan di daerah pantai. 

 

4. Reservoir  

V. cholerae non-O1 dan non-O139 ditemukan di lingkungan perairan hampir di seluruh 

dunia, terutama daerah perairan payau dengan flora autochthonous. Walaupun organisme 

ini halofilik, mereka dapat juga berkembang di air tawar (misalnya danau). Jumlah Vibrio 

bervariasi tergantung musim dan mencapai puncaknya di musim panas. Di air payau, 

mereka ditemukan pada zooplankton berkulit keras dan kerang-kerangan. 

 

5. Cara penularan  

Timbulnya Kasus gastroenteritis non-O1 dan non-O139 biasanya dikaitkan dengan 

riwayat mengkonsumsi seafood mentah atau setengah matang, terutama k