Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 8. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 8


 u air) yang menjadi sumber infeksi, 

selidiki kemungkinan terjadinya penyebaran dari orang ke orang dan gunakan hasil 

penyelidikan epidemiologis ini sebagai pedoman melakukan penanggulangan yang 

tepat. 

3) Singkirkan makanan yang dicurigai dan telusuri darimana asal makanan ini ; 

pada KLB keracunan makanan yang common-cource; ingatan terhadap makanan 

yang dikonsumsi dapat mencegah banyak kasus 

4) Jika dicurigai telah terjadi KLB dengan penularan melalui air (waterborne), 

keluarkan perintah untuk memasak air dan melakukan klorinasi sumber air yang 

dicurigai dibawah pengawasan yang berwenang dan jika ini tidak dilakukan maka 

sebaiknya air tidak digunakan. 

5) Jika kolam renang dicurigai sebagai sumber KLB, tutuplah kolam renang ini  

dan pantai sampai kolam renang diberi klorinasi atau sampai terbukti bebas 

kontaminasi tinja. Sediakan fasilitas toilet yang memadai untuk mencegah 

kontaminasi air lebih lanjut oleh orang-orang yang mandi. 

6) Jika suatu KLB dicurigai berhubungan dengan susu, pasteurisasi dan masak dahulu 

susu ini  sebelum diminum. 

7) Pemberian antibiotik untuk pencegahan tidak dianjurkan. 

 

 164

8) warga kan pentingnya mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar; 

sediakan sabun dan kertas tissue. 

 

D. Implikasi menjadi bencana: Potensial terjadi bencana jika kebesihan perorangan dan 

sanitasi lingkungan tidak memadai (lihat Demam Tifoid, 9D). 

 

E. Penanganan lebih lanjut :  Manfaatkan Pusat kerja sama WHO. 

 

 

 

II. DIARE YANG DISEBABKAN STRAIN ENTEROTOKSIGENIK (ETEC) 

         ICD-9 008.0;  ICD-10 A04.1 

 

 

1. Identifikasi 

 Pemicu  utama “travelers diarrhea” orang-orang dari negara maju yang berkunjung  ke 

negara berkembang. Penyakit ini juga sebagai Pemicu  utama dehidrasi pada bayi dan 

anak di negara berkembang. Strain enterotoksigenik dapat mirip dengan Vibrio cholerae 

dalam hal memicu  diare akut  yang berat (profuse watery diarrhea) tanpa darah atau 

lendir (mucus). Gejala lain berupa kejang perut, muntah, asidosis, lemah dan dehidrasi 

dapat terjadi, demam ringan dapat/tidak terjadi; gejala biasanya berakhir lebih dari 5 hari. 

 ETEC dapat diidentifikasi dengan membuktikan adanya produksi enterotoksin dengan teknik 

immunoassays, bioasay atau dengan teknik pemeriksaan probe DNA yang mengidentifikasikan gen LT dan 

ST (untuk toksin tidak tahan panas dan toksin tahan panas) dalam blot koloni. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 ETEC yang membuat enterotoksin tidak tahan panas (a heat labile enterotoxin = LT) atau 

toksin tahan panas ( a heat stable toxin = ST) atau memproduksi kedua toksin ini  

(LT/ST). Pemicu  lain yaitu   kelompok serogroup O yaitu: O6, O8, O15, O20, O25, 

O27, O63, O78, O80, O114, O115, O128ac, O148, O153, O159 dan O167. 

 

3.  Distribusi Penyakit 

 Penyakit yang muncul terutama di negara yang sedang berkembang. Dalam 3 tahun 

pertama dari kehidupan, hampir semua anak-anak di negara-negara berkembang 

mengalami berbagai macam infeksi ETEC yang menimbulkan kekebalan; oleh sebab  itu 

penyakit ini jarang menyerang anak yang lebih tua dan orang dewasa. Infeksi terjadi 

diantara para pelancong yang berasal dari negara-negara maju yang berkunjung ke negara-

negara berkembang. Beberapa KLB ETEC baru-baru ini terjadi di Amerika Serikat. 

 

4. Reservoir 

 Manusia. Infeksi ETEC terutama oleh spesies khusus; manusia merupakan reservoir strain 

Pemicu  diare pada manusia. 

 

5. Cara Penularan 

 Melalui makanan yang tercemar dan jarang, air minum yang tercemar. Khususnya 

penularan melalui makanan tambahan yang tercemar merupakan cara penularan yang 

 

 165

paling penting terjadinya infeksi pada bayi. Penularan melalui kontak langsung tangan 

yang tercemar tinja jarang terjadi. 

 

6.  Masa Inkubasi 

 Masa inkubasi terpendek yaitu   10 – 12 jam yang diamati dari berbagai KLB dan dari 

studi yang dilakukan dikalangan sukarelawan dengan strain LT dan ST tertentu. 

sedang  masa inkubasi dari ETEC yang memproduksi sekaligus toksin ST dan LT 

yaitu   24-72 jam. 

 

7. Masa Penularan 

 Selama ada ETEC patogen bisa berlangsung lama. 

 

8.  Kerentanan dan Kekebalan 

 Dari hasil berbagai studi epidemiologis dan berbagai studi yang dilakukan pada 

sukarelawan secara jelas menunjukkan imunitas serotipik spesifik terbentuk setelah 

infeksi ETEC. Infeksi ganda dengan serotipe yang berbeda dibutuhkan untuk 

menimbulkan imunitas yang broad-spectrum terhadap ETEC. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Cara Pencegahan: 

1) Untuk tindakan pencegahan penularan fecal oral; lihat bab Demam Tifoid 9A. 

2) Bagi pelancong dewasa yang bepergian  dalam waktu singkat ke daerah risiko 

tinggi dimana tidak mungkin mendapat makanan dan minuman yang bersih dan 

sehat, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotikka profilaksis; norfloxacin 400 

mg sehari memberikan hasil yang efektif. Bagaimanapun, pendekatan yang paling 

baik yaitu   dengan terapi dini, dimulai pada saat terjadi diare yaitu sesudah diare 

hari kedua dan ketiga (Lihat bagian 9B7, di bawah). 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporkan kejadian diare ke pejabat kesehatan setempat: Laporan jika terjadi 

wabah wajib dibuat; kasus individual tidak dilaporkan, Kelas 4 (lihat pelaporan 

tentang penyakit menular). 

2) Isolasi: kewaspadaan enterik dilakukan jika ada kasus-kasus yang jelas dan yang 

dicurigai. 

3) Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap tinja dan benda-benda yang tercemar. Di 

warga  dengan sistem pembuangan kotoran yang modern dan memadai, tinja 

dapat dibuang langsung kedalam saluran tanpa didesinfeksi awal. Lakukan 

pembersihan terminal yang seksama. 

4) Karantina: Tidak ada. 

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak perlu. 

7) Pengobatan khusus: Pemberian cairan elektrolit untuk mencegah atau mengatasi 

dehidrasi merupakan tindakan yang terpenting (lihat Kolera, bagian 9B7). 

Kebanyakan kasus tidak membutuhkan terapi apapun. Bagi traveler’s diarrhea 

dewasa yang berat, lakukan pengobatan dini dengan Ioperamide (Imodium®) 

(tidak untuk anak-anak) dan antibiotik seperti Fluoroquinolone (Ciprofloksasin PO 

 

 166

500 mg dua kali sehari) atau norfloksasin (PO 400 mg sehari) selama 5 hari. 

Fluoroquinolon digunakan sebagai terapi awal sebab  kebanyakan strain ETEC di 

dunia sudah resisten terhadap berbagai antimikroba lainnya. Namun demikian, jika 

strain lokal diketahui masih ada yang sensitif. Pemberian TMP-SMX (PO) (160 

mg – 180 mg) dua kali sehari atau doksisiklin (PO 100 mg) sekali sehari, selama 5 

hari ternyata masih bermanfaat. Pemberian makanan diteruskan sesuai dengan 

selera pasien. 

 

C. Penanggulangan Wabah:  Investigasi epidemiologis perlu dilakukan untuk 

mengetahui cara-cara terjadinya penularan. 

 

D. Implikasi terjadinya bencana:  Tidak ada. 

 

E. Penanganan lebih lanjut :  Manfaatkan Pusat Kerjasama WHO. 

 

 

 

III. DIARE YANG DISEBABKAN STRAIN ENTEROINVASIVE (EIEC) 

         ICD-9 008.0;  ICD-10 A04.2 

 

 

1. Identifikasi 

 Penyakit yang menimbulkan peradangan mukosa dan submukosa usus disebabkan oleh 

strain EIEC dari E. coli yang mirip sekali dengan Shigella. Organisme ini memiliki  

kemampuan plasmid dependent yang sama untuk menginvasi dan memperbanyak diri 

didalam sel epitel. Namun demikian secara klinis sindrom watery diarrhea yang 

disebabkan oleh EIEC lebih sering terjadi daripada disentri. Antara antigen O dari EIEC 

dapat terjadi reaksi silang dengan antigen O Shigella. Gejala penyakit dimulai dengan 

kejang perut yang berat, rasa tidak enak badan, tinja cair, tenesmus dan demam, kurang 

dari 10% dari penderita berkembang dengan gejala sering buang air besar dengan  tinja 

yang cair dalam jumlah sedikit dan mengandung darah dan lender. 

 EIEC dicurigai jika ditemukan lekosit pada sediaan usap lendir tinja yang dicat, gambaran 

ini juga ditemukan pada shigellosis. Pemeriksaan laboratorium rujukan antara lain 

immunoassay yang dapat mendeteksi plasmid encoded protein spesific membrane bagian 

luar yang dikaitkan dengan invasivitas sel epitel; suatu bioassay (tes keratoconjunctivitis 

pada marmot untuk mendeteksi invasivitas sel epitel; sedang  DNA probe untuk 

mendeteksi enteroinvasivitas plasmid). 

 

2.  Pemicu  Penyakit 

 Pemicu  penyakit yaitu   strain E. coli yang memiliki kemampuan enteroinvasif yang 

tergantung pada virulensi antigen plasmid  dari invasi encoding plasmid. Serogroup O 

utama dimana EIEC termasuk didalamnya antara lain: O28ac, O29, O112, O124, O136, 

O143, O144, O152, O164 dan O167. 

 

3. Distribusi Penyakit  

 Infeksi EIEC endemis di negara berkembang dan kira-kira 1%-5% penderita diare mencari 

 

 167

pengobatan dengan mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan. KLB diare yang disebabkan 

oleh EIEC dilaporkan juga terjadi di negara-negara maju. 

 

4. Reservoir: -  Manusia. 

 

5. Cara Penularan 

 Dari kejadian yang ada menunjukkan bahwa EIEC ditularkan melalui makanan yang 

tercemar. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Masa inkubasi berkisar antara 10 – 18 jam. Angka ini didapatkan dari penelitian yang 

dilakukan dikalangan sukarelawan dan dari pengamatan berbagai KLB yang pernah 

terjadi. 

 

7. Masa Penularan 

 Selama strain EIEC masih ditemukan dalam tinja. 

 

8.  Kerentanan dan Kekebalan 

 Sedikit sekali yang diketahui tentang kerentanan dan kekebalan terhadap EIEC. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

 Sama seperti ETEC yang diuraikan di atas. Untuk kasus-kasus diare berat yang jarang 

terjadi yang disebabkan oleh strain enteroinvasif seperti pada shigellosis, pengobatan 

dengan memakai   antimikroba cukup efektif terhadap isolasi Shigella lokal. 

 

 

 

IV. DIARE YANG DISEBABKAN STRAIN ENTEROPATOGENIK 

         ICD-9 008.0;  ICD-10 A04.0 

(EPEC, Enteritis yang disebabkan oleh Enteropatogenik E. coli) 

 

 

1. Identifikasi 

 Ini yaitu   kategori tertua dari E. coli Pemicu  diare yang ditemukan dalam studi yang 

dilakukan pada tahun 1940-an dan tahun 1950-an dimana serotipe O:H tertentu diketahui 

sebagai Pemicu  diare musim panas pada bayi, KLB diare pada tempat perawatan bayi 

dan KLB diare yang menimpa bayi di warga . Penyakit diare pada kategori ini 

terbatas pada bayi-bayi berumur kurang dari setahun yang menderita “watery diarrhea” 

dengan lendir, demam dan dehidrasi. EPEC memicu  disolusi mikrovili enterosit dan 

memacu melekatnya bakteri kepada enterosit. Diare pada bayi bisa berlangsung berat dan 

lama dan di negara-negara berkembang merupakan Pemicu  kematian yang tinggi. 

 EPEC sementara dapat dikenal dengan aglutinasi antisera untuk mendeteksi serogroup 

EPEC O namun untuk konfirmasi baik tipe O maupun H diperlukan reagensia yang 

bermutu tinggi. EPEC memperlihatkan kemampuan melekat pada sel HEP-2 dalam kultur 

sel, kemampuan yang membutuhkan adanya plasmid EPEC yang virulens. (EPEC 

adherence factor = EAF) DNA probe dapat mendeteksi plasmid EPEC yang virulens. 

 

 168

Diperkirakan ada sekitar 98% korelasi antara melekatnya EPEC dengan HEP-2 (localized 

adherence) dan positivitas EAF probe. 

 

2. Pemicu  Penyakit  

 Serogroup EPEC O utama yaitu O55, O86, O111, O119, O125, O126, O127, O128ab dan 

O142. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Sejak akhir tahun 1960-an, EPEC tidak lagi sebagai Pemicu  utama diare pada bayi di 

Amerika Utara dan Eropa. Namun EPEC masih sebagai Pemicu  utama diare pada bayi 

di beberapa Negara sedang berkembang seperti Amerika Selatan, Afrika bagian Selatan 

dan Asia. 

 

4. Reservoir :  - Manusia 

 

5. Cara Penularan 

 Dari makanan bayi  dan makanan tambahan yang terkontaminasi. Di tempat perawatan 

bayi, penularan dapat terjadi melalui ala-alat dan tangan yang terkontaminasi jika 

kebiasaan mencuci tangan yang benar diabaikan. 

 

6. Masa Inkubasi  

 Berlangsung antara 9 – 12 jam pada penelitian yang dilakukan di kalangan dewasa. Tidak 

diketahui apakah lamanya masa inkubasi juga sama pada bayi yang tertular secara 

alamiah. 

 

7. Masa Penularan - Tergantung lamanya ekskresi EPEC melalui tinja dan dapat 

berlangsung lama. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Walaupun fakta menunjukkan bahwa mereka yang rentan terhadap infeksi yaitu   bayi 

namun tidak diketahui apakah hal ini disebabkan oleh faktor kekebalan ataukah ada 

hubungannya dengan faktor umur atau faktor lain yang tidak spesifik. Oleh sebab  itu 

diare ini dapat ditimbulkan melalui percobaan pada sukarelawan dewasa maka kekebalan 

spesifik menjadi penting dalam menentukan tingkat kerentanan. Infeksi EPEC jarang 

terjadi pada bayi yang menyusui (mendapat ASI). 

 

9. Cara-cara Penanggulangan 

A. Cara Pencegahan 

1) Menganjurkan para ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif sampai dengan 

usia 4 – 6 bulan. Siapkan perangkat yang memadai untuk pemberian ASI. Bantu 

para ibu agar mau menyusui bayi-bayi mereka. Apabila produksi ASI tidak 

mencukupi, bayi dapat diberikan ASI dari donor yang sudah dipasteurisasi sampai 

 

 169

si bayi dipulangkan. Susu formula bayi sebaiknya disimpan dalam suhu kamar 

hanya untuk jangka pendek saja. Dianjurkan sedini mungkin memakai   

cangkir untuk minum daripada memakai   botol. 

2) Lakukan perawatan dalam satu kamar bagi ibu dan bayi di rumah bersalin, kecuali 

ada indikasi medis yang jelas untuk memisahkan mereka. Jika ibu atau bayi 

mengalami infeksi saluran pencernaan atau pernapasan, tempatkan mereka dalam 

satu kamar namun  dipisahkan mereka dari pasangan yang sehat. Di fasilitas yang 

memiliki  ruang perawatan khusus, pisahkan bayi yang terinfeksi dari bayi 

prematur maupun dari penderita penyakit lainnya. 

3) Sediakan peralatan tersendiri bagi setiap bayi, termasuk termometer, simpan di 

bassinet (ayunan/buaian bayi). Jangan memakai   tempat mandi atau meja 

perawatan bersama dan jangan memakai   bassinet untuk membawa atau 

memindahkan lebih dari satu bayi pada waktu yang sama. 

4) Pencegahan terjadinya KLB di rumah sakit sangat tergantung pada kebiasaan 

mencuci tangan sewaktu menangani bayi dan tetap menjaga kebersihan perorangan 

dan lingkungan sesuai dengan standar. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Kalau terjadi wabah wajib 

dilaporkan. Kasus perorangan tidak wajib dilaporkan; Kelas 4 (lihat pelaporan 

tentang penyakit menular). Jika ditemukan dua atau lebih kasus baru penderita 

diare di tempat perawatan bayi atau muncul setelah seorang penderita diare 

dipulangkan dari tempat perawatan maka perlu dilakukan investigasi lebih lanjut. 

2) Isolasi:  Perlu dilakukan kewaspadaan enterik terhadap penderita dan mereka yang 

diduga sebagai penderita. 

3) Desinfeksi serentak:  Lakukan desinfeksi terhadap semua barang yang tercemar 

dan terhadap tinja. 

4) Karantina:  Lakukan kewaspadaan enterik dan pengamatan dengan metode kofort 

(lihat 9 C di bawah). 

5) Imunisasi kontak:  Tidak dilakukan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi:  Keluarga dari bayi yang baru keluar dari 

perawatan di rumah sakit perlu dihubungi untuk melihat perkembangan penyakit 

dari si bayi (lihat 9 C di bawah). 

7) Pengobatan spesifik:  Yang paling utama yaitu   pemberian cairan elektrolit baik 

oral maupun parenteral (lihat Cholera, 9B7). Kebanyakan penderita tidak 

membutuhkan pengobatan. Untuk diare yang berat pada bayi yang disebabkan 

mikroorganisma enteropatogenik pemberian TMP-SMX (10 – 50 mg/kg BB/hari) 

membantu meringankan penyakit dan memperpendek masa sakit; diberikan selama 

5 hari dalam dosis yang dibagi menjadi 3-4 kali sehari. Mengingat bahwa banyak 

strain EPEC yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika, pemilihan jenis 

antibiotika harus didasarkan kepada hasil tes sensitivitas terhadap strain lokal. 

Pemberian makanan dan ASI tidak boleh dihentikan. 

 

C.   Penanggulangan Wabah 

1) Semua bayi dengan diare dirawat dalam satu ruangan dan jangan lagi menerima 

penitipan bayi jika pada tempat penitipan bayi ini  ditemukan penderita diare. 

 

 170

Untuk KLB yang terjadi di ruangan perawatan bayi (lihat juga 9B1):  Hentikan 

untuk sementara pelayanan KIA kecuali dapat dijamin disediakannya tempat 

pelayanan KIA yang benar-benar bersih dengan petugas dan peralatan yang 

terpisah; jika pertimbangan medis mendukung maka setiap bayi yang terinfeksi 

dipulangkan segera untuk dirawat di rumah. Bagi bayi-bayi yang terpajan dengan 

tempat perawatan bayi yang terinfeksi, sediakan tenaga perawatan khusus yang 

sudah terlatih untuk menangani penyakit menular pada bayi. Lakukan pengamatan 

paling sedikit selama 2 minggu setelah penderita diare terakhir meninggalkan 

tempat perawatan. Kasus baru yang ditemukan segera dimasukkan ke ruang 

perawatan khusus. Pelayanan KIA dimulai lagi setelah semua kontak baik bayi 

maupun ibu telah dipulangkan serta telah dilakukan pembersihan dan desinfeksi 

ruangan dengan baik. Terapkan rekomendasi 9A di ruangan gawat darurat. 

2) Lakukan investigasi KLB dengan benar untuk mengetahui distribusi penyakit 

berdasarkan waktu, tempat dan orang dan cari faktor risiko yang melatarbelakangi. 

 

D. Implikasi bencana:  - Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut :  Manfaatkan Pusat kerja sama WHO. 

 

 

V. DIARE YANG DISEBABKAN OLEH ENTEROAGGREGATIVE E. COLI 

(EaggEC)              ICD-9 008.0;  ICD-10 A04.4 

 

 

Kategori yang disebabkan oleh E. coli, sebagai Pemicu  utama diare pada bayi di negara 

berkembang dan biasa memicu  diare persisten pada bayi. Pada percobaan binatang 

(hewan), organisme E. coli  memperlihatkan karakter hispatologi dimana EaggEC melekat 

pada enterosit dalam biofilm tebal dari kumpulan bakteri dan lendir. Saat ini metode yang 

luas dipakai untuk mengidentifikasi EaggEC yaitu   dengan Hep-2 assay, dimana strain-

strain menghasilkan ciri khas berupa “Stacked brick” berpola mengumpul melekat satu 

dengan yang lainnya dan melekat dengan sel HEP2; ini yaitu   ciri dari plasmid dependent 

yang dimediasi oleh “Novel Fimbriae”.  Kebanyakan EaggEC memiliki satu atau lebih 

cytotoxin/enterotoxin yang diduga sebagai Pemicu  diare cair dengan lendir yang 

ditemukan pada bayi-bayi dan anak-anak yang terinfeksi oleh jenis pathogen ini. Pada 

pemeriksaan ditemukan DNA probe. Masa inkubasi diperkirakan kurang lebih 20 – 48 

jam. 

 

1.  Identifikasi 

E. coli yang memicu  diare pada bayi ditemukan pada studi yang dilakukan di 

Chili pada akhir tahun 1980-an. Kemudian ditemukan di India yang dihubungkan 

dengan terjadinya diare persisten (diare yang berlanjut dan tidak mereda hingga 14 

hari). Begitu pula telah ditemukan di Brasil, Meksiko dan Bangladesh. 

 

 

 171

2. Pemicu  Infeksi  

Pemicu  infeksi yaitu   EaggEC yang mengandung plasmid virulens yang dibutuhkan 

untuk pembentukan fimbriae yang membawa kode-kode yang mampu melakukan 

pelekatan yang bersifat agregatif dan banyak strain yang mampu membuat 

cytotoxin/enterotoxin. EaggEC serotipe O yang paling umum ditemukan yaitu  : 

O3:H2 dan O44:H18. Banyak strain EaggEC mula-mula muncul sebagai strain-strain 

kasar yang tidak mengandung antigen-antigen O. 

 

3. Distribusi Penyakit 

Laporan-laporan yang mengaitkan EaggEC sebagai Pemicu  diare pada bayi terutama 

diare persisten datang dari banyak negara di Amerika Latin, Asia dan Republik 

Demokrasi Kongo (dulu disebut Zaire) di Afrika. Laporan-laporan yang datang dari 

Jerman dan Inggris menunjukkan bahwa EaggEC mungkin juga sebagai Pemicu  

diare di negara-negara maju. 

 

 

VI. DIARE YANG DISEBABKAN OLEH DIFFUSE-ADHERENCE E. COLI 

 (Diffuse-Adherence E. Coli = DAEC)   ICD-9 008.0;  ICD-10 A04.4 

 

Kategori keenam E. coli yang memicu  diare dikenal sebagai E. coli (DAEC). Nama 

ini diberi berdasarkan ciri khas pola perekatan bakteri ini dengan sel-sel HEP-2 dalam 

kultur jaringan. DAEC yaitu   kategori E. coli Pemicu  diare yang paling sedikit 

diketahui sifat-sifatnya. Namun demikian data dari berbagai penelitian epidemiologi di 

lapangan terhadap diare pada anak-anak di negara-negara berkembang menemukan DAEC 

secara bermakna sebagai Pemicu  diare yang umum ditemukan dibandingkan dengan 

kelompok kontrol. 

sedang  studi lain gagal menemukan perbedaan ini. Namun bukti-bukti awal 

menunjukkan bahwa DAEC lebih patogenik pada anak prasekolah dibandingkan dengan 

pada bayi dan anak di bawah tiga tahun (Batita).  Pada penelitian lain ada strain DAEC 

yang dicobakan pada sukarelawan tidak berhasil menimbulkan diare dan belum pernah 

ditemukan adanya KLB diare yang disebabkan oleh DAEC. Sampai saat ini belum 

diketahui reservoir bagi DAEC, begitu pula belum diketahui cara-cara penularan dan 

faktor risiko serta masa penularan DAEC. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 172

DIFTERIA        ICD-9 032;  ICD-10 A36 

 

1. Identifikasi 

 Difteria yaitu   suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, 

hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva 

atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas 

oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi 

dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau 

pada difteria faringotonsiler, diikuti dengan kelenjar limfe  yang membesar dan melunak. 

Pada kasus-kasus yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan oedema di 

leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ekstensif dan dapat terjadi 

obstruksi jalan napas. 

 Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung tersumbat dan 

terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. 

Toksin dapat memicu  myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung 

kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang 

muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome. 

Tingkat kematian kasus mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak 

banyak berubah selama 50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan 

tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan 

bagian dari impetigo.  

 Pengaruh toksin difteria pada lesi perifer tidak jelas. Difteria sebaiknya selalu dipikirkan 

dalam membuat diferensial diagnosa pada infeksi bakteri (khususnya Streptococcus) dan 

viral pharingitis, Vincent’s angina, mononucleosis infeksiosa, syphilis pada mulut dan 

candidiasis. 

 Perkiraan diagnosa difteri didasarkan pada ditemukan adanya membran asimetris keabu-

abuan khususnya bila menyebar ke ovula dan palatum molle pada penderita tonsillitis, 

pharingitis atau limfadenopati leher atau adanya discharge serosanguinus dari hidung. 

Diagnosa difteri dikonfrimasi dengan pemeriksaan bakteriologis terhadap sediaan yang 

diambil dari lesi. 

Jika diduga kuat bahwa kasus ini yaitu   penderita difteria maka secepatnya diberikan 

pengobatan yang tepat dengan antibiotika dan pemberian antitoksin. Pengobatan ini 

dilakukan sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratoriumnya negative.  

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Pemicu  penyakit yaitu   Corynebacterium diphtheria dari biotipe gravis, mitis atau 

intermedius. Bakteri membuat toksin bila bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage 

yang mengandung diphtheria toxin gene tox. Strain nontoksikogenik jarang menimbulkan 

lesi lokal, namun strain  ini dikaitkan dengan kejadian endokarditis infektif. 

 

3. Distribusi Penyakit  

 Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara 

 

 173

subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum 

diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunisasi. Di 

negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi yaitu   infeksi subklinis dan 

difteri kulit. 

 Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 

kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun 

atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian 

menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia. 

Faktor risiko yang mendasari terjadinya infeksi difteri dikalangan orang dewasa yaitu   

menurunnya imunitas yang didapat sebab  imunisasi pada waktu bayi, tidak lengkapnya 

jadwal imunisasi oleh sebab  kontraindikasi yang tidak jelas, adanya gerakan yang 

menentang imunisasi serta menurunnya tingkat sosial ekonomi warga . 

 Wabah mulai menurun setelah penyakit ini  mencapai puncaknya pada tahun 1995 

meskipun pada kejadian ini  dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus dan 5.000 

diantaranya meninggal dunia antara tahun 1990-1997. Di Ekuador telah terjadi KLB pada 

tahun 1993/1994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus ini  berusia 15 tahun ke atas. 

Pada kedua KLB ini  dapat diatasi dengan cara melakukan imunisasi massal. 

 

4. Reservoir:   Manusia. 

 

5. Cara Penularan 

 Cara penularan yaitu   melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali 

penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu 

yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Biasanya 2-5 hari terkadang lebih lama. 

 

7. Masa Penularan 

 Masa penularan beragam, tetap menular sampai tidak ditemukan lagi bakteri dari 

discharge dan lesi; biasanya berlangsung 2 minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat 

lebih dari 4 minggu. Terapi antibiotik yang efektif dapat mengurangi penularan. Carrier 

kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki imunitas biasanya memiliki imunitas juga; 

perlindungan yang diberikan bersifat pasif dan biasanya hilang sebelum bulan keenam. 

Imunitas seumur hidup tidak selalu, yaitu   imunitas yang didapat setelah sembuh dari 

penyakit atau dari infeksi yang subklinis. Imunisasi dengan toxoid memberikan kekebalan 

cukup lama namun bukan kekebalan seumur hidup. Sero survey di Amerika Serikat 

menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja kadar antitoksin protektifnya rendah; tingkat 

imunitas di Kanada, Australia dan beberapa negara di Eropa lainnya juga mengalami 

penurunan. Walaupun demikian remaja yang lebih dewasa ini masih memiliki memori 

imunologis yang dapat melindungi mereka dari serangan penyakit. Di Amerika Serikat 

kebanyakan anak-anak telah diimunisasi pada kuartal ke-2 sejak tahun 1997, 95% dari 

 

 174

anak-anak berusia 2 tahun menerima 3 dosis vaksin difteri. Antitoksin yang terbentuk 

melindungi orang terhadap penyakit sistemik namun tidak melindungi dari kolonisasi 

pada nasofaring. 

 

9.  Cara-cara Pemberantasan 

 A.  Cara Pencegahan 

1) Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada warga  

terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi 

aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. 

2) Tindakan pemberantasan yang efektif yaitu   dengan melakukan imunisasi aktif 

secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada 

waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, 

antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau 

vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung 

kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b 

haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia. 

3) Jadwal imunisasi berikut ini yaitu   yang direkomendasikan di Amerika Serikat 

(Negara lain mungkin memakai   jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis 

sebagai imunisasi dasar). 

a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun. 

 Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan 

dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 

minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal 

ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam 

pelaksanaan jadwal ini . 

Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 

ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. 

Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti 

dapat diberikan vaksin DT. 

b) Untuk usia 7 tahun ke atas: 

 Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan 

bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin 

yang dipakai yaitu   vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid 

(dewasa) yang rendah. sedang  untuk mereka yang sebelumnya belum 

pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap 

tetanus dan diphtheria toxoid (Td). 

 Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 

diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari 

Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak 

memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, 

oleh sebab  itu perlu diberikan dosis tambahan. 

Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian 

dosis Td setiap 10 tahun kemudian. 

4) Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita 

seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar 

lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka. 

 

 175

5) Bagi anak-anak dan orang dewasa yang memiliki  masalah dengan sistem 

kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV 

diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang 

normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon 

kekebalan yang optimal. 

 

B.  Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Laporan wajib dilakukan di hampir 

semua negara bagian di Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia, Kelas 2 

A (lihat pelaporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk 

difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan 

dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak 

ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan 

tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur 

tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah 

pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah). 

3) Desinfeksi serentak:  Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk 

penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. 

Dilakukan pencucihamaan menyeluruh. 

4) Karantina:  Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan 

dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat 

dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara 

dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan 

di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier. 

5) Manajemen Kontak:  Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari 

sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine 

Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan 

Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua 

orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status 

imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak 

sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan ini  hingga hasil 

pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang 

sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis 

booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima 

tahun. sedang  bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, 

berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-

Hib tergantung dari usia mereka. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan memakai   

kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat jika 

tindakan yang diuraikan pada 9B5 diatas sudah dilakukan dengan benar. Pencarian 

carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang 

sangat dekat. 

7) Pengobatan spesifik:  Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria 

didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel 

untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan 

 

 176

bakteriologis ini . (Saat ini yang tersedia yaitu   antitoksin yang berasal dari 

kuda). 

Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”. 

Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam 

kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor 

telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi 

petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina 

yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan 

terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum 

kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 

100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat 

pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat 

menggantikan pemberian antitoksin. 

Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-

anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. 

Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g 

per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka 

erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V 

per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan 

adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik 

golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga 

efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin namun  tidak sebaik 

erythromycin. 

Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G 

sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 

tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan 

dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa. 

 

C. Penanggulangan Wabah 

1) Imunisasi sebaiknya dilakukan seluas mungkin terhadap kelompok yang 

memiliki  risiko terkena difteria akan memberikan perlindungan bagi bayi dan 

anak-anak prasekolah. Jika wabah terjadi pada orang dewasa, imunisasi dilakukan 

terhadap orang yang paling berisiko terkena difteria. Ulangi imunisasi sebulan 

kemudian untuk memperoleh sukurang-kurangnya 2 dosis. 

2) Lakukan identifikasi terhadap mereka yang kontak dengan penderita dan mencari 

orang-orang yang berisiko. Di lokasi yang terkena wabah dan fasilitasnya 

memadai, lakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dilaporkan 

untuk menetapkan diagnosis dari kasus-kasus ini  dan untuk mengetahui 

biotipe dan toksisitas dari C. diphtheriae. 

 

D. Implikasi Bencana 

Kejadian luar biasa dapat terjadi ditempat dimana kelompok rentan berkumpul, 

khususnya bayi dan anak-anak. Kejadian wabah difteria seringkali terjadi oleh sebab  

adanya perpindahan warga  yang rentan terhadap penyakit ini  dalam jumlah 

banyak. 

 

 177

 E. Penanganan lebih lanjut  

Orang yang mengadakan kunjungan atau singgah di negara-negara yang terjangkit 

difteria faucial atau difteria kulit dianjurkan mendapatkan imunisasi dasar. Dosis 

booster Td diberikan kepada orang yang sebelumnya telah mendapatkan imunisasi. 

 

 

DIPHYLLOBOTHRIASIS     ICD-9 123.4; ICD-10 B70.0 

(Dibothriocephaliasis, Broad atau Infeksi Cacing pita ikan)   

 

 

1. Identifikasi  

 Infeksi cacing pita usus yang menahun, gejala-gejala yang timbul ringan atau kadang-

kadang tidak ada gejala sama sekali. Sebagian penderita yang terinfeksi cacing ini 

menderita  anemia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B-12. Infeksi cacing yang 

masif dapat menimbulkan diare, sumbatan pada usus dan disertai tanda-tanda keracunan. 

Diagnosa penyakit ini  dikonfirmasi dengan ditemukannya telur cacing atau 

segmen/potongan tubuh cacing (ploglotid) dalam tinja. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Diphyllobothrium latum (Dibothriochepallus latus), D. pacificum, D. dendriticum, D. 

ursi, D. dalliae dan D. klebanovskii; cestodes. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Penyakit ini ditemukan di daerah danau di belahan bumi bagian utara, sebelah selatan 

kutub utara (subarctic), daerah iklim sedang dan daerah tropis dimana warga nya 

memiliki  kebiasaan mengkonsumsi ikan air tawar mentah atau yang dimasak tidak 

sempurna. 

 Prevalensi meningkat dengan bertambahnya umur seperti di Amerika Utara, fokus 

endemis penyakit ini , ditemukan juga pada orang Eskimo di Alaska dan Kanada. Di 

Amerika infeksi penyakit ini  tersebar secara sporadis dan biasanya menyerang orang 

yang makan ikan mentah dari Alaska atau dari bagian barat tengah atau dari danau-danau 

di Kanada. 

 

4. Reservoir 

 Manusia sebagai pejamu (hospes) utama, pejamu yang terinfeksi akan mengeluarkan telur 

lewat tinja. Hospes lain yaitu   anjing, beruang dan mamalia lain pemakan ikan. 

 

5. Cara Penularan 

 Manusia tertular sebab  mengkonsumsi ikan mentah atau dimasak tidak sempurna. Telur 

yang berasal dari segment cacing yang sudah matang (mature) dikeluarkan bersama tinja 

lalu mencemari badan-badan air. Telur yang sudah matang kemudian menetas dan 

terbentuklah embrio dengan cilia yang disebut coracidium, kemudian coracidium 

menginfeksi hospes perantara pertama (golongan copepoda seperti Cyclops atau 

Diaptomus) dan dalam hospes ini larva tumbuh menjadi larva proserkoid. Kemudian 

Cyclops yang terinfeksi dimakan oleh hospes perantara kedua yaitu ikan (ikan tombak, 

ikan duri, ikan turbot, ikan salmon) yang kemudian berubah menjadi larva stadium 

 

 178

pleroserkoid. Ikan ini  menjadi infektif bila dimakan oleh manusia dan mamalia lain 

seperti rubah, cerpelai (sejenis tupai), beruang, kucing, anjing, babi, singa laut dan anjing 

laut. Siklus hidup dari telur yang matang kemudian menjadi telur yang menular kembali 

diperlukan waktu 11 minggu. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Masa inkubasi yaitu   3-6 minggu mulai saat ikan yang infektif dimakan oleh manusia 

atau mamalia sampai keluarnya telur dalam tinja. 

 

7. Masa Penularan  

 Tidak terjadi penularan langsung dari manusia ke manusia. Manusia dan hospes definitif 

lainnya secara terus-menerus akan mengeluarkan telur cacing dan mencemari lingkungan 

selama didalam usus masih terdapat cacing. Ini dapat berlangsung bertahun-tahun. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Manusia umumnya rentan terhadap infeksi cacing ini  dan tidak terbentuk kekebalan 

setelah terinfeksi. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

 A. Cara Pencegahan 

Infeksi dapat dicegah dengan cara memasak ikan air tawar dalam suhu 56°C (133°F) 

selama 5 menit, didinginkan selama 24 jam pada suhu -18°C (0°F) atau dengan 

radiasi. 

 

      B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Laporan resmi tidak 

diperlukan, termasuk Kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular). 

Dilaporkan apabila infeksi berasal dari produk komersial. 

2) Isolasi:  Tidak ada. 

3) Desinfeksi serentak:  Tidak ada, perlu dilakukan pembuangan tinja yang saniter. 

4) Karantina:  Tidak ada. 

5) Pemberian imunisasi:  Tidak ada. 

6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: Tidak selalu harus dilakukan. 

7) Pengobatan khusus:  Praziquantel (Biltricide®) atau Niclosamide (Niclocide®) 

yaitu   obat pilihan. 

 

C. Penanggulangan KLB atau Wabah:  Tidak ada. 

 

D. Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 

E.  Tindakan lebih lanjut :  Tidak ada.   

 

 

 

 

 

 

 179

DRACUNCULIASIS     ICD-9 125.7;  ICD-10 B72 

(Guinea worm infection, Dracontiasis)   

 

1.  Identifikasi 

 Infeksi nematoda yang menyerang subkutis dan jaringan bagian dalam. Tampak seperti 

lecet/lapuh, biasanya pada tungkai bawah (khususnya kaki). Cacing betina pada masa 

gravida panjangnya 60-100 cm dan siap mengeluarkan larva. Di daerah sekitar kulit yang 

terinfeksi cacing ini  terasa seperti terbakar (panas), gatal dan disertai demam, mual, 

muntah, diare, sesak napas, gatal seluruh tubuh. 

 Eosinofilia bias terjadi sebelum atau sesudah munculnya vesicular. Setelah vesikula pecah 

maka cacing akan mengeluarkan dan melepas larva apabila terendam air. Prognosa baik 

apabila tidak ada infeksi oleh bakteri pada luka ini ; infeksi sekunder dapat 

memicu  radang sendi (arthritis), synovitis (radang sinovial), ankylosis, konstraktur 

anggota badan dan bahkan dapat mengancam jiwa. Diagnosa ditegakkan dengan melihat 

langsung cacing yang muncul dari luka atau dengan memakai   mikroskop untuk 

menemukan larva. 

 

2. Pemicu  Infeksi – Dracunculus medinensis yaitu   jenis nematoda. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Ditemukan di Afrika (16 negara di bagian Selatan Sahara) dan di Asia (India dan Yaman) 

khususnya di daerah yang memiliki  iklim kering. Prevalensi penyakit ini  di 

masing-masing negara sangat bervariasi. Di beberapa daerah tertentu hampir semua 

warga  terinfeksi, dan di beberapa daerah lain infeksi sangat jarang dan hanya 

menyerang warga  dewasa muda. 

 

4. Reservoir  - Manusia, reservoir pada hewan belum diketahui. 

 

5. Cara Penularan 

 Larva yang keluar dari cacing betina masuk ke dalam air dan ditelan oleh Crustacea 

copepod (Cyclops spp.). Dalam waktu 2 minggu larva berkembang menjadi stadium 

infektif, kemudian manusia menelan Copepod yang ada dalam air minum yang berasal 

dari sumur dan kolam yang tercemar. Kemudian larva ini  dilepas dalam lambung, 

masuk dinding usus 12 jari, migrasi kedalam viscera dan berkembang menjadi dewasa. 

Cacing betina setelah kawin tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa kemudian 

migrasi ke jaringan bawah kulit (paling banyak pada betis atas). 

 

6. Masa Inkubasi - Sekitar 2 bulan. 

 

7. Masa Penularan 

 Mulai saat gelembung vesikula pecah sampai larva keluar dari uterus cacing betina dalam 

masa gravid biasanya memerlukan waktu 2-3 minggu. Dalam air larva infektif terhadap 

copepods kira-kira selama 5 hari. Setelah larva dimakan oleh copepods, ia akan menjadi 

infektif terhadap manusia setelah 12-14 hari pada suhu lebih dari 25°C (lebih dari 77°F). 

Larva ini tetap infektif selama berada dalam tubuh copepods sekitar 3 minggu. Tidak ada 

penularan dari manusia ke manusia. 

 

 180

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Secara umum semua orang rentan, tidak ada kekebalan. Penyakit ini  dapat tersebar 

luas dan dapat terjadi infeksi berulang-ulang pada orang yang sama. 

 

9. Cara Pemberantasan 

 Menyediakan air yang aman untuk diminum dengan melakukan penyaringan terhadap air 

dan memberikan penyuluhan kesehatan terhadap warga  yang berisiko, sehingga dapat 

bebas dari penyakit ini . Fokus penyakit ini  yang sebelumnya berada di Timur 

Tengah dan anak benua India telah berhasil dieliminasi. 

 A. Cara Pencegahan 

1) Dengan memberikan penyuluhan kesehatan yang memadai di daerah endemis 

(tertular) dengan memberikasn 3 pesan sebagai berikut: 

a) Bahwa Guinea worm (infeksi cacing Guinea) ditularkan melalui air minum 

yang tidak dimasak atau dimasak tidak sempurna. 

b) warga  desa yang memiliki  luka di kulit tidak boleh masuk ke daerah 

yang ada sumber air minumnya. 

c) Air minum harus sudah dilakukan penyaringan dengan kain (kain kasa yang 

terbuat dari nilon dengan ukuran lubang 100 µm untuk menyaring copepods. 

2) Menyediakan air yang dapat diminum. Sumur hendaknya dibuat dinding pada 

bibirnya untuk menghindari pencemaran. Begitu pula buat konstruksi yang dapat 

melindungi tempat-tempat penampungan air hujan agar tidak tercemar. 

3) Pengawasan terhadap populasi copepods dalam sumber-sumber air, tangki-tangki 

penampungan air, reservoir dan sumber mata air lainnya dengan memakai   

insektisida temefos (abate®) dan hasilnya efektif serta aman terhadap lingkungan. 

4) Berikan imunisasi kepada warga  yang memiliki  risiko tinggi dengan tetanus 

toxoid. 

 

B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat yang berwenang. Laporkan 

dimanapun penyakit ini  ditemukan sebab  penyakit ini  masuk dalam 

program eradikasi WHO. Termasuk penyakit Kelas 2B (lihat pelaporan tentang 

penyakit menular). 

2) Isolasi: Tidak ada. Disarankan agar penderita tidak masuk ke daerah yang ada 

sumber air minum, sebab  dalam tubuh penderita ini  mengandung cacing 

yang infektif (pada saat cacing muncul). 

3) Desinfeksi serentak:  Tidak dilakukan. 

4) Karantina:  Tidak ada. 

5) Imunisasi terhadap kontak:  Tidak ada. 

6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi:  Melakukan Penyelidikan 

terhadap sumber air minum yang kemungkinan menjadi sumber penularan (kira-

kira 1 tahun yang lalu) dan cari kasus-kasus tambahan.  

7) Pengobatan khusus: Berikan Tetanus Toxoid dan obati lukanya dengan salep 

antibiotika, kemudian dibalut dengan kain kasa steril. Pembedahan dilakukan 

dengan prinsip aseptic untuk mengangkat cacing sebelum mereka muncul. 

Beberapa obat tertentu seperti Thiabendazole, Albendazole, ivermectin, 

metronidazole dan ditambah dengan kortikosteroid mngkin sangat bermanfaat. 

 

 181

 

C.   Penanggulangan Wabah 

 Di daerah yang sangat endemis, survei lapangan dilakukan untuk menentukan 

prevalensi. Cari sumber penularan dan lakukan upaya pemberantasan seperti yang 

sudah dijelaskan pada butir 9A di atas. 

 

D. Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut :   Resolusi World Health Assembly (WHA 44.5 bulan Mei 

1991) telah menetapkan eradikasi dracunculiasis dapat dicapai pada tahun 1995. 

Namun pada kenyataannya pada tahun 2000 di beberapa daerah penyakit ini  

masih endemis walaupun di daerah lain mereka telah berhasil membasmi penyakit 

ini . 

 

PENYAKIT VIRUS EBOLA MARBURG ICD-9 078.89;  ICD-10 A98.3; A98.4 

(Demam Berdarah Afrika, Penyakit Virus Marburg, Demam Berdarah Virus Ebola) 

 

1. Identifikasi 

 Yaitu penyakit yang ditandai dengan gejala akut yang parah dan diikuti demam 

mendadak, kelemahan, nyeri otot, sakit kepala serta faringitis, muntah, diare dan ruam 

makulopapuler. Sering diikuti dengan diatesa hemoragia disertai dengan kerusakan hati, 

gagal ginjal, kerusakan otak berat disertai dengan kegagalan fungsi multiorgan. Hasil 

pemeriksaan laboratorium menunjukkan limfopeni, trombositopenia dan peningkatan 

kadar transaminase (AST lebih banyak daripada ALT), kadang diikuti hiperamilasemia. 

Selanjutnya sekitar 25% kasus primer dari Marburg virus berakibat fatal;  CFR infeksi 

Ebola di Afrika berkisar antara 50-90%. 

 Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan Elisa terhadap antibodi Ig G (adanya antibodi 

lg M sebagai tanda infeksi baru);  dengan tes Elisa dapat dideteksi antigen dalam darah, 

serum atau organ homogenitas; dapat juga dengan PCR dengan tes IFA memakai   

antibodi monoklonal dapat ditemukan antigen virus didalam sel hati; dengan isolasi virus 

pada kultur sel pada marmut.  

 Virus kadang-kadang dapat dilihat dengan preparat irisan hati dengan memakai   

Electron Microscope (EM). Diagnosa postmortem melalui uji Immunohistochemical dari 

biopsi kulit yang difiksasi dengan formalin dapat juga dilakukan. Tes IFA terhadap 

antibodi sering salah terutama dalam survei serologis untuk membuktikan adanya infeksi 

masa lalu. Pengamanan terhadap warga , petugas dan staf laboratorium dari infeksi 

Ebola harus benar-benar dilakukan (BSL-4= Biosafety Level-4), oleh sebab  virus ini 

sangat menular dan berbahaya. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Virion Marburg berdiameter 80nm dengan panjang 790 nm sedang  virion Ebola 

berdiameter 80 nm dengan panjang 970 nm termasuk filoviridae. Dengan ukuran yang 

lebih panjang, struktur yang berhubungan dengan virion yang berbentuk aneh, bercabang, 

melingkar mencapai panjang sampai 10 nm.   

 

 182

 Virus Marburg memiliki antigen berbeda dengan Ebola. Strain Ebola dari Republik 

Demokratik Kongo (Zaire), Pantai Gading, Gabon dan Sudan memicu  penyakit pada 

manusia. Strain keempat dari Ebola yaitu Reston dapat memicu  penyakit perdarahan 

fatal pada primata, namun infeksi dapat terjadi juga pada manusia dengan gejala yang 

asimtomatik. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Tahun 1967 penyakit Marburg telah dilaporkan dalam 6 kali kejadian di Jerman dan 

Yugoslavia dengan total kasus sebanyak 31 orang (7 orang meninggal) sebab  terinfeksi 

melalui monyet hijau Afrika (Cercopithecus aethiops) dari Uganda; tahun 1975 3 kasus 

indeks yang fatal ditemukan di Afrika Selatan yang berasal dari Zimbabwe; tahun 1980 

ditemukan 2 orang penderita di Kenya, 1 orang meninggal; pada tahun 1982: 1 orang 

penderita lagi ditemukan di Zimbabwe dan pada tahun 1987 1 kasus fatal terjadi di Kenya. 

Tahun 1999 di Republik Demokratik Kongo sedikitnya 3 kasus fatal akibat Marburg telah 

dilaporkan berasal dari 70 kasus yang dicurigai sebagai demam berdarah yang disebabkan 

virus. Tahun 1976 penyakit Ebola dilaporkan pertama kali di bagian barat salah satu 

propinsi di Sudan dan di Zaire yang berjarak sekitar 500 mil dari propinsi ini . Saat 

itu dirawat di rumah sakit dengan CFR mencapai 70%. Kemudian pada daerah yang sama 

di Sudan pada tahun 1979 terjadi lagi KLB Ebola. Strain virus berbeda ditemukan dari 

seorang penderita dan dari simpanse pada tahun 1994 di Pantai Gading. Kemudian di 

sekitar Kitwit, Zaire terjadi KLB besar Ebola pada tahun 1995. Di Gabon pada tahun 

1996-1997 terjadi 2 kali KLB dengan jumlah kasus sebanyak 96 orang dengan kematian 

68 orang. 

 Antibodi FA telah ditemukan dikalangan warga  yang bermukim di daerah sekitar Sub 

Sahara Afrika namun hubungannya dengan virus Ebola yang virulen tidak diketahui. 

 Filovirus dikaitkan dengan Ebola diisolasi dari monyet cynomolgus (Macaca fascicularis) 

yang diekspor dari Filipina ke Amerika Serikat pada tahun 1989, 1990, 1996 dan yang 

diekspor ke Itali pada tahun 1992; pada waktu itu banyak monyet yang mati. Empat dari 

lima orang petugas yang sehari-harinya menangani monyet ini  dalam darahnya 

ditemukan entibodi spesifik tanpa ada gejala sakit atau demam sebelumnya. 

 

4. Reservoir  

 Belum diketahui dan masih dalam penelitian yang ekstensif. 

 

5. Cara Penularan 

 Penularan dari orang ke orang dapat terjadi sebab  kontak langsung melalui darah, sekret, 

organ dan semen yang terinfeksi. Risiko penularah tertinggi terjadi selama stadium lanjut 

dari penyakit pada saat penderita muntah, diare, atau mengalami perdarahan. sedang  

risiko selama masa inkubasi yaitu   rendah. Pada kondisi alami penularan melalui udara 

pada manusia belum pernah dilaporkan. Infeksi nosokomial sering terjadi; sebagai 

gambaran semua penderita Ebola (Zaire) terjadi sebab  terpajan alat suntik dan jarum 

yang tercemar dan semua penderita meninggal. 

 Penularan melalui semen pernah ditemukan setelah 7 minggu si penderita sembuh. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Masa inkubasi 3 – 9 hari untuk virus Marburg dan 2-21 hari untuk Ebola. 

 

 183

 

7. Masa Penularan 

 Masa penularan dapat terjadi selama darah dan cairan tubuh mengandung virus. Lebih dari 

30% sukarelawan/perawat yang merawat penderita di Sudan terinfeksi, sedang  

sebagian besar kontak di rumah tidak terinfeksi. Virus Ebola dapat diisolasi dari cairan 

pada hari ke-61 dan tidak ditemukan pada hari ke-76 dan hari pertama sakit pada 

penderita yang tertular di laboratorium. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Semua umur rentan terhadap Ebola. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

 Lihat pada cara-cara pemberantasan Demam Lassa pada butir 9 B, C. D dan E; ditambah 

larangan melakukan hubungan seks selama 3 bulan atau sampai hasil pemeriksaan semen 

menunjukkan bebas virus ini . 

 

 

 

 

ECHINOCOCCOSIS               ICD-9 122;  ICD-10 B67 

 

 

Stadium larva (hydatid atau kista) dari 3 spesies Echinococcus dapat memicu  penyakit  

pada manusia dan hewan lain, manifestasinya tergantung spesies. Kista biasanya berkembang 

di hati namun juga ditemukan di paru-paru, ginjal, limfa, jaringan saraf dan tulang. 

 

Ada 3 tipe manifestasi penyakit yaitu: 

1. Unilokulair atau Kista hidatidosa (cystic hydatid) 

2. Multilokulair atau penyakit Alveolair hidatidosa (Alveolar hydatid) 

3. Penyakit polikista hidatida. 

 

 

I. ECHINOCOCCOSIS Disebabkan Echinococcus granulosus  

        ICD-9 122.4; ICD-10 B67.0-B67A. 

(Cystic atau Unilocular Echinococcosis, Penyakit Cystic hydatid)  

   

 

1. Identifikasi 

 Cacing pita Echinococcus granulosus merupakan spesies Echinococcus yang paling sering 

ditemukan dan memicu  penyakit kista hidatidosa yang ditularkan pada stadium larva 

dari cacing pita ini. Kista hidatidosa membesar sangat lambat, membutuhkan beberapa 

tahun untuk berkembang. Umumnya kista berkembang sampai dengan diameter 1-7 cm 

tapi bisa mencapai 10 cm. Infeksi dapat terjadi tanpa menunjukkan gejala klinis sama 

sekali sampai kista ini  membesar mencapai ukuran tertentu dan memberikan efek 

langsung sebab  tekanan massa kista ini ; tanda-tanda dan gejala-gejala klinis 

bervariasi tergantung dari lokasi, besar dan jumlah kista ini . 

 

 184

 Pecahnya kista dapat memicu  reaksi seperti anafilaksis (alergi berat) dan 

mengeluarkan proglotid protoskoleks sebagai sumber infeksi echinococcis berikutnya. 

Bentuk spesifik kista yaitu   feris, berdinding tebal, unilokulair dan lebih sering ditemukan 

didalam hati dan paru-paru, walaupun dapat ditemukan juga pada organ lainnya. 

 Diagnosa klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan oleh massa tumor 

yang tumbuh dengan lambat, adanya riwayat pernah tinggal di daerah endemis, ada 

riwayat berhubungan dengan atau kontak dengan anjing. Diagnosa banding yaitu   tumor 

ganas, abses amuba, kista congenital dan TBC. Diagnosa terhadap kista hydatidosa dapat 

juga dilakukan dengan pemeriksaan rontgent, CT scan, Ultrasonografi bersama-sama 

dengan pemeriksaan laboratorium secara serologis. 

 Diagnosa definitif terhadap hasil serologis negatif yaitu   dengan melakukan pemeriksaan 

mikroskopis terhadap spesimen dari hasil biopsi tindakan operatif atau aspirasi kista, 

risiko yang mungkin timbul pada tindakan aspirasi yaitu   reaksi anafilaktik, hal ini dapat 

dihindari jika tindakan aspirasi dipandu dengan USG dan pemberian obat cacing 

sebelumnya. Identifikasi terhadap spesies didasarkan pada penemuan penebalan dinding 

kista dan proglotidnya berdasarkan struktur dan ukuran kait proglotid. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Disebabkan oleh Echinococcosis granulosus, cacing pita pada anjing yang bentuknya 

kecil. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Penyebaran penyakit ini tergantung dari dekatnya hubungan manusia dengan anjing yang 

terinfeksi. Penyakit ini tersebar di seluruh benua kecuali Antartika, sering terjadi terutama 

di negara-negara yang banyak pada rumput tempat menggembalakan ternak dimana anjing 

diberi makan jeroan yang mengandung kista. Di Amerika Serikat cacing pita ditemukan di 

negara bagian yang beternak domba seperti: Utah, Arizona, New Meksiko dan California 

dan hidup berkembang di dalam siklus kehidupan hutan dan melibatkan berbagai jenis 

binatang liar termasuk hewan pemamah biak liar lainnya seperti moose, kerbau di Alaska. 

Penyebaran penyakit ini dapat dieliminasi secara tuntas di Islandia (Iceland) dan 

prevalensinya dapat diturunkan secara bermakna di Australia, Selandia Baru dan Siprus. 

 

4. Reservoir 

 Anjing domestik dan anjing liar lainnya merupakan hospes terhadap E. ganulosus; 

ditemukan ribuan cacing pita pada usus mereka tanpa gejala infeksi. Keluarga kucing dan 

banyak hewan pemakan daging lainnya tidak dapat berperan sebagai hospes terhadap 

parasit ini. Berbagai jenis herbivora dapat berperan sebagai hospes perantara terutama 

domba, sapi, kambing, babi dan hewan lainnya. 

 

5. Cara Penularan  

 Infeksi pada manusia sering mulai terjadi  pada anak-anak melalui rute oro-fecal yaitu 

melalui tangan yang mengandung telur cacing sebab  kontak dengan anjing yang 

terinfeksi atau secara tidak langsung melalui makanan, air, tanah atau alat yang tercemar.  

Pada beberapa kejadian ditemukan lalat ikut mengeluarkan telur cacing dari kotoran 

hewan yang terinfeksi.  

  

 

 185

 Cacing dewasa berada dalam usus halus anjing yang memproduksi telur yang 

mengandung embrio infektif (ocosphere) yang dikeluarkan melalui kotoran yang dapat 

hidup selama beberapa bulan di padang rumput penggembalaan atau kebun. Bila telur 

tertelan oleh hospes perantara, termasuk manusia, telur akan menetas mengeluarkan 

embrio yang bermigrasi melalui mukosa usus dan dibawah oleh aliran darah ke berbagai 

macam organ yang nantinya akan membentuk kista. Berbagai strain E. garnulosus 

bervariasi dalam kemampuannya beradaptasi terhadap berbagai jenis hospes (domba, sapi, 

kuda, onta, babi, moose) begitu juga kemampuan mereka untuk menginfeksi manusia. 

 Anjing terinfeksi oleh sebab  memakan jeroan yang mengandung kista hydatidosa. 

Domba dan hospes perantara lainnya terinfeksi ketika memakan rumput yang 

terkontaminasi kotoran anjing yang mengandung telur E. granulosus. 

 

7. Masa Penularan 

 Penularan tidak terjadi secara langsung dari manusia ke manusia atau dari satu hospes 

perantara ke hospes lainnya. Anjing terinfeksi mulai mengeluarkan telur E. granulosus 

sekitar 7 minggu setelah infeksi. Kebanyakan anjing yang terinfeksi akan sembuh secara 

spontan setelah 6 bulan, walaupun kadang-kadang dapat hidup 2-3 tahun. Anjing dapat 

mengalami infeksi ulang. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Anak-anak lebih mudah terpajan sebab  mereka cenderung lebih dekat dengan anjing 

yang terinfeksi dan biasanya higene perorangannya juga kurang. Tidak ada bukti bahwa 

anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

 A. Cara-cara Pencegahan 

1) Berikan penyuluhan kesehatan kepada warga  risiko tinggi untuk menghindari 

kontaminasi dengan kotoran anjing. Anjurkan untuk cuci tangan sebelum makan. 

2) Pemutusan rantai penularan dari hospes perantara kepada hospes definitif dapat 

dilakukan dengan mencegah anjing memakan jeroan yang tidak dimasak dan 

melakukan pengawasan terhadap pemotongan ternak dan pengamanan 

pembuangan jeroan yang terinfeksi. 

3) Organ dari bangkai hospes perantara yang terinfeksi hendaknya dibakar atau 

dikubur dalam-dalam. 

4) Secara periodik lakukan pengobatan terhadap anjing-anjing yang berisiko; kurangi 

jumlah populasi anjing. 

5) Petugas lapangan dan petugas laboratorium hendaknya selalu memperhatikan 

prosedur kewaspadaan agar tidak tertelan telur E. granulosus. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Untuk daerah endemis tertentu, 

dikebanyakan negara dan negara bagian, penyakit ini tidak wajib dilaporkan, Kelas 

3 B (lihat pelaporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi:  Tidak perlu. 

3) Desinfeksi serentak:  Tidak dilakukan. 

4) Karantina:  Tidak perlu. 

5) Imunisasi:  Tidak ada. 

 

 186

6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi:  Periksalah anggota keluarga 

dan cari mereka yang dicurigai menderita tumor. Periksalah anjing peliharaan dan 

lingkungan dalam rumah. Cari kebiasaan sehari-hari yang bisa mengakibatkan 

infeksi. 

7) Pengobatan spesifik:  Membuang kista paling sering dilakukan, namun pengobatan 

dengan Mebendazole (Vermox®) dan Albendazole (Zentel®) telah digunakan 

dengan hasil yang baik. Pada kebanyakan kasus, cara pengobatan yang paling baik 

jika kista primer robek, praziquantel (Biltricide®), obati protoscolisida dapat 

mengurangi kemungkinan terjadinya kista sekunder. 

 

C. Penanganan Wabah  

 Didaerah hiperendemis lakukan pengawasan terhadap populasi anjing terlantar dan 

anjing liar. Obati sisa anjing lainnya dengan Praziquantel (Biltricide®). Lakukan 

pengawasan ketat terhadap ternak potong. 

 

D. Implikasi bencana:   Tidak ada 

 

E. Penangan lebih lanjut  

Lakukan pengawasan lalu-lintas anjing daerah enzootic.  

 

 

 

II. ECHINOCOCCOSIS  disebabkan oleh E. multicocularis 

      ICD-9 122.5, 122.7;ICD-10 B67.5 – B67.7 

 (Penyakit Alveolar, Penyakit Echinococcosis atau penyakit hydatid; Echinococcus 

multilocularis) 

 

 

1. Identifikasi 

 Ini merupakan penyakit yang sangat invasive dan destruktif disebabkan oleh stadium larva 

dari E. multicocularis. Kista sering ditemukan di organ hati dan walaupun dinding kista 

tebal tidak membatasi kista ini terus meluas kebagian tepi menghasilkan massa seperti 

tumor. Penyebaran terjadi dengan menghasilkan kista sekunder di organ lainnya. Gejala 

klinis tergantung pada ukuran dan lokasi kista, namun sering dikelirukan dengan cirrhosis 

hepatic atau kanker hati. Penyakit ini sering berakibat fatal. 

 Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi yaitu dengan ditemukannya 

peri kista pada hospes dan mikro vesikula multiple yang dibentuk oleh proses proliferasi 

eksternal. Manusia yaitu   hospes incidental (abnormal) dan kista jarang menghasilkan 

kapsul satu induk atau menghasilkan proglotid dan calcareous corpuscles. Diagnosa 

serologis dengan antigen E. multicocularis yang dimurnikan cukup sensitif dan spesifik. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Disebabkan oleh Echinococcus multicocularis. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Penyebaran terbatas di belahan bumi bagian utara yaitu di: Eropa Tengah, Uni Soviet, 

 

 187

Siberia, Jepang bagian utara, Alaska, Kanada dan jarang ditemukan di bagian tengah utara 

Amerika. Dan penyakit ini sering ditemukan pada orang dewasa. 

 

4. Reservoir 

 Cacing dewasa terbatas hanya ditemukan pada hewan liar seperti serigala. Namun anjing 

dan kucing peliharaan dapat juga sebagai sumber infeksi pada manusia. Hospes perantara 

yaitu   hewan rodentia seperti tikus. E. multilocularis sering secara alamiah terdapat 

dalam siklus kehidupan rodentia serigala. 

 

5. Cara Penularan 

 Cara penularannya yaitu   sebab  tertelan telur cacing yang dikeluarkan melalui kotoran 

anjing dan kucing yang memakan tikus yang terinfeksi. Bulu anjing, pakaian kuda, 

peralatan yang tercemar serta lingkungan yang tercemar dapat juga berperan sebagai 

sumber penularan. 

 

6, 7, 8 dan 9 tentang masa Inkubasi, Masa penularan, Kerentanan dan Kekebalan serta 

cara-cara pemberantasan sama dengan Echinococcosis yang disebabkan oleh E. 

granulosus.  

 Tidak seperti yang diuraikan pada bab I tentang Echinococcus granulosus di atas, operasi 

secara radikal pada E. multicocularis hanya sedikit memberi hasil. Terhadap kasus yang 

tidak dilakukan  operasi dapat dilakukan pemberian mebendazole dan albendazole yang 

dapat mencegah berkembangnya penyakit. 

 

 

 

III.  ECHINOCOCCOSIS yang disebabkan oleh E. Vogeli     ICD-9 122.9; ICD-10 B67.9 

 (Penyakit Polikistik Hidatidosa)     

 

Penyakit ini disebabkan oleh bentuk kista E. vogeli yang menyerang hati, paru-paru dan 

organ lainnya. Gejala sedikit bervariasi tergantung ukuran kista dan lokasinya. Spesies ini 

ditandai oleh adanya kait rostellum. Polikistik hidatidosa berbentuk unik dimana membran 

germinal yang berproliferasi dari luar membentuk kista sedang  dari dalam akan 

membentuk septa yang membagi ruangan-ruangan (caviate) menjadi beberapa kista kecil 

(mikrokista). Kapsul seperindukan berisi banyak proglotid yang berkembang di dalam 

mikrokista. 

Kasus-kasus penyakit ini ditemukan di Amerika Tengah, Amerika Selatan terutama di 

Brazilia, Kolumbia, Ekuador. Hospes definitif yaitu   anjing semak-semak, sedang  

hospes perantara yaitu   “pacas”, agoutis dan tikus duri. Anjing pemburu yang sering 

makan jeroan pacas yang terinfeksi dapat merupakan sumber infeksi. (Catatan: pacas, 

agoutis yaitu   sejenis rodensia). 

 

 

 

 

 

 

 

 

 188

EHRLICHIOSIS       ICD-9 083.8;  ICD-10 A79.8 

(Demam Sennetsu, Ehrlichiosis manusia di Amerika Serikat) 

 

1. Identifikasi 

 Ehrlichiosis yaitu   penyakit akut yang ditandai dengan demam, penyakit bakterial yang 

disebabkan oleh kelompok organisme kecil berbentuk pleomorphic yang hidup dan 

berkembang biak didalam phagosome dari lekosit mononuclear atau lekosit 

polimorphonuclear pada hospes terjangkit. Seringkali organisme ini  ditemukan 

dalam sel-sel ini . 

 Demam Sennetsu memiliki  karakteristik yang ditandai dengan demam, menggigil, 

malaise, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, radang tenggorokan dan sulit tidur. 

Adanya limfadenopati di seluruh tubuh disertai pembesaran dan melunaknya limfonodi. 

Limfositosis disertai dengan limfadenopati dibelakang telinga dan daerah leher bagian 

belakang, mononucleosis infeksiosa.  

 Umumnya perjalanan penyakit yaitu   ringan, kasus fatal tidak pernah dilaporkan. 

Erlichiosis pada manusia di Amerika Serikat merupakan penyakit yang baru dikenal yang 

disebabkan dua jenis organisme yang mirip namun  berbeda. Satu jenis terutama menyerang 

sel mononuclear dikenal dengan sebutan “human monocytic erlichiosis (HME)”. Satu 

jenis organisme lagi menyerang sel granulosit dan penyakit ini dikenal sebagai “human 

granulocytic erlichiosis (HGE)”. Spektrum penyakit ini bervariasi dari penyakit subklinis 

sampai dengan penyakit dengan gejala klinis yang berat dan fatal. Gejala-gejala klinis 

penyakit ini sering tidak spesifik namun yang sering ditemukan yaitu   demam, sakit 

kepala, tidak nafsu makan, mual, nyeri otot dan muntah. Penyakit ini secara klinis sering 

dikelirukan dengan penyakit Rocky Mountain Spotted Fever (RMSF) namun dapat 

dibedakan dengan jarangnya timbul ruam (rash). Pada pemeriksaan laboratorium 

ditemukan adanya lekopenia, trombositopenia serta terjadinya peningkatan satu atau lebih 

enzim hepatoseluler. Kasus yang dirawat di rumah sakit pada pemeriksaan awal 

laboratorium ditemukan hanya sedikit saja abnormalisitas. Abnormalisitas nilai-nilai hasil 

pemeriksaan laboratorium akan nampak semakin jelas selama perawatan. 

 Diagnosa banding dari penyakit ini yaitu   RMSF, penyakit Lyme, syok syndrome toksik 

dan multi sistem febril illnesses. Diagnosa klinis dari demam Sennetsu dapat dikonfirmasi 

dengan Immuno Fluorescence Test (IF test) dengan memakai   agen Pemicu  yang 

diisolasi dari kultur macrophage. Dengan demikian diagnosa ditegakkan berdasarkan 

gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium melalui deteksi antibodi memakai   

antigen spesifik ditandai dengan naik-turunnya titer antibodi sebanyak 4 kali pada 

pemeriksaan berikutnya (pair sera). 

 Preparat apus darah dan preparat usap dari endapan buffy coat darah dapat dilakukan 

untuk menemukan benda inklusi (morula). sedang  diagnosa lain yaitu   dengan teknik 

diagnosa immunohistochemistry, perbenihan dan metoda DNA amplication (contohnya 

PCR). 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Pemicu  demam sennetsu yaitu   Ehrlichia sennetsu. Organisme ini merupakan salah 

satu anggota dari genus Ehrlichia, kelompok Ehrlichieae dan familia Rickettsiaceae. 

Sampai tahun 1984 masih dianggap masuk kedalam genus Rickettsiae. Agen Pemicu  

dari HME yaitu   E. chaffeensis, nama ini diberikan sebab  untuk pertama kali dapat 

 

 189

diisolasi dari seorang penderita di Fort Chaffee, Arkansas. Organisme Pemicu  sangat 

identik atau erat hubungannya dengan E. phagocytophilia dan E. equi.  Echerlichia anjing 

(E. ewingi) sering ditemukan pada anjing di Missouri dan pada tahun 1999 dilaporkan 

telah memicu  timbulnya granulocytis erlichiosis. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Pada tahun 1999 di Amerika Serikat kasus ehrlichiosis pada manusia yang dilaporkan 

1.200 orang. Sebagian besar dari kasus HME ditemukan di negara bagian sebelah selatan 

Amerika, sedang  kasus HE sebagian besar dilaporkan di negara bagian tengah barat 

dan timur laut Amerika. sedang  demam sennetsu dilaporkan terjadi di bagian barat 

Jepang. 

 

4. Reservoir:  Tidak diketahui untuk demam sennetsu ataupun ehrlichiosis Amerika. 

 

5. Cara Penularan 

 Cara penularan untuk demam sennetsu tidak diketahui, namun dari anamnesa penderita 

demam ini diketahui sering mendatangi sungai dan rawa lebih kurang dalam 3-4 minggu 

sebelum sakit. Diduga kutu Amblyomma americanum berperan sebagai vektor HME;  

sebagian besar penderita menyatakan bahwa mereka pernah digigit pinjal atau  

menyatakan pernah berkunjung ke daerah yang penuh pinjal beberapa minggu sebelum 

sakit. Diperkirakan Ixodes scapularis merupakan vektor dari penyakit HE di negara 

bagian tengah barat laut dan timur laut Amerika. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Masa inkubasi demam sennetsu yaitu   14 hari. sedang  penyakit American 

Ehrlichiosis yaitu   7-21 hari. 

 

7

 

. Masa Penularan - Tidak ada penularan dari manusia kepada manusia.  

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Hampir semua orang rentan  terhadap penyakit ini namun usia lanjut dan mereka yang  

mengalami retardasi mental lebih rentan untuk menderita penyakit yang lebih parah. Dan 

selanjutnya tidak ada data yang menunjukkan adanya imunitas setelah menderita penyakit 

ini. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

 A. Cara-cara Pencegahan 

1) Tidak ada cara pencegahan standar untuk demam sennetsu. 

2) Upaya pemberantasan pinjal dapat diterapkan untuk mencegah penyakit American 

ehrlichiosis (dapat dilihat pada cara-cara pencegahan penyakit Lyme, 9A). 

 

      B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan kasus diwajibkan hampir 

disemua negara bagian di Amerika, Kelas 2 B (lihat pelaporan tentang penyakit 

menular). 

2) Isolasi:  Tidak ada. 

3) Penggunaan desinfektan: Tidak ada. 

4) Karantina: Tidak ada. 

5) Imunisasi terhadap Kontak:  Tidak ada. 

 

 190

6) Penyelidikan terhadap penderita dan sumber infeksi:  Tidak ada. 

7) Pengobatan spesifik:  Tetracycline;  untuk ibu hamil dan anak-anak berumur 

dibawah 8 tahun diberikan Chloramphenicol. 

 

 

 

 C.  Penanggulangan wabah:   Tidak ada. 

 

 

 D. Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 E.  Penanganan lebih lanjut :  Tidak ada. 

 

 

 

ENCEPHALOPATHY, SUB ACUTE SPONGIFORM  ICD-9 046;  ICD-10 A81 

(Infeksi virus yang lambat pada otak)              

 

Termasuk dalam kelompok penyakit degeneratif subakut pada otak yang disebabkan oleh 

filterable agent nonkonvensional, dengan masa inkubasi yang panjang dan tidak ditemukan 

adanya inflamasi atau respons imunitas. Organisme Pemicu  penyakit ini diduga berupa 

protein yang unik bere