rio akan keluar dari telur, kemudian
menembus dinding usus menuju ke saluran limfe dan pembuluh darah selanjutnya dibawa
keberbagai jaringan dan kemudian berkembang menjadi cysticercosis.
510
6. Masa inkubasi
Gejala dari penyakit cysticercosis biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10
tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi. Telur cacing akan tampak pada kotoran
orang yang terinfeksi oleh Taenia solium dewasa antara 8 – 12 minggu setelah orang yang
bersangkutan terinfeksi, dan untuk Taenia saginata telur akan terlihat pada tinja antara 10-
14 minggu setelah seseorang terinfeksi oleh Taenia saginata dewasa.
7. Masa penularan
Taenia saginata tidak secara langsung ditularkan dari orang ke orang, akan namun untuk
Taenia solium dimungkinkan ditularkan secara langsung. Telur dari kedua spesies cacing
ini dapat menyebar ke lingkungan selama cacing ini masih ada di dalam saluran
pencernaan, kadang-kadang dapat berlangsung lebih dari 30 tahun; telur cacing ini
dapat hidup dan bertahan di lingkungan selama beberapa bulan.
8. Kerentanan dan kekebalan
Umumnya setiap orang rentan atau berisiko terhadap infeksi penyakit ini. Setelah infeksi
tidak terbentuk kekebalan terhadap cacing ini, akan namun jarang di laporkan ada orang
yang mengandung lebih dari satu jenis cacing pita dalam tubuhnya.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara pencegahan
Meningkatkan pengetahuan warga melalui penyuluhan kesehatan untuk
mencegah terjadinya pencemaran/kontaminasi tinja terhadap tanah, air, makanan dan
pakan ternak dengan cara mencegah penggunaan air limbah untuk irigasi; anjurkan
untuk memasak daging sapi atau daging babi secara sempurna.
Lakukan diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita. Lakukan kewaspadaan
enterik pada institusi dimana penghuninya diketahui ada menderita infeksi T. solium
untuk mencegah terjadinya cysticercosis. Telur Taenia solium sudah infektif segera
setelah keluar melalui tinja penderita dan dapat memicu penyakit yang berat
pada manusia. Perlu dilakukan tindakan tepat untuk mencegah reinfeksi dan untuk
mencegah penularan kepada kontak.
Daging sapi atau daging babi yang dibekukan pada suhu di bawah minus 5oC (23oF)
selama lebih dari 4 hari dapat membunuh cysticerci. Radiasi dengan kekuatan 1 kGy
sangat efektif.
Pengawasan terhadap bangkai sapi atau bangkai babi hanya dapat mendeteksi
sebagian dari bangkai yang terinfeksi; untuk dapat mencegah penularan harus
dilakukan tindakan secara tegas untuk Membuang bangkai ini dengan cara yang
aman, melakukan iradiasi atau memproses daging ini untuk dijadikan produk
yang masak.
Jauhkan ternak babi kontak dengan jamban dan kotoran manusia.
B. Pengawasan terhadap penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya.
1) Laporan ke dinas Kesehatan setempat: Dilaporkan secara selektif, kelas 3C (lihat
tentang laporan penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak dianjurkan. Kotoran orang yang terinfeksi Taenia solium yang tidak
diobati dengan baik dapat menular.
511
3) Disinfeksi serentak: Buanglah kotoran manusia pada jamban saniter; budayakan
perilaku hidup bersih dan sehat secara ketat seperti membiasakan cuci tangan
sebelum makan dan sesudah buang air besar khsususnya untuk mencegah infeksi
cacing Taenia solium.
4) Karantina: Tidak di lakukan
5) Immunisasi terhadap kontak: Tidak ada.
6) Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Lakukan evaluasi
terhadap kontak yang menunjukkan gejala.
7) Pengobatan spesifik: Praziquantel (Biltricide®) efektif untuk pengobatan T.
saginata dan Taenia solium. Niclosamide (Niclocide®, Yomesan®) saat ini sebagai
obat pilihan kedua kurang cukup tersedia secara luas dipasaran. Untuk
cysticercosis tindakan operasi (bedah) dapat menghilangkan sebagian dari gejala
penyakit ini . Pasien dengan cysticercosis SSP harus diobati dengan
praziquantel atau dengan albendazole di rumah sakit dengan pengawasan ketat;
biasanya diberikan kortikosteroid untuk mencegah oedem otak pada penderita
cysticerci.
C. Penanggulangan wabah: Tidak ada
D. Implikasi untuk menjadi bencana: Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada
PENYAKIT TAENIASIS ASIA
Taeniasis Asia ini disebabkan oleh cacing pita yangserupa dengan T. saginata. Infeksi cacing
ini dilaporkan terjadi di Filipina, Korea, Taiwan, Indonesia dan Thailand. Infeksi terjadi
sebab kebiasaan mengkonsumsi hati dan jeroan babi yang tidak dimasak dengan sempurna.
Pada percobaan di laboratorium cacing ini hanya menimbulkan cysticerci pada hati dari babi,
sapi, kambing an monyet.
Jenis cacing ini berbeda secara genetis satu sama lain dan digolong-golongkan kedalam
spesies dan subspesies yang berbeda.
TETANUS ICD–9 037; ICD-10 A35
(Lockjaw)
(Tetanus obstetrik : ICD – 10 A34)
1. Identifikasi
Tetanus yaitu penyakit akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang dikeluarkan oleh
basil tetanus yang hidup secara anaerobic pada luka. Ciri khas dari tetanus yaitu adanya
kontraksi otot disertai rasa sakit, terutama otot leher kemudian diikuti dengan otot-otot
seluruh badan. Gejala pertama yang muncul yang mengarahkan kita untuk memikirkan
tetanus pada anak usia lebih tua dan orang dewasa yaitu jika ditemukan adanya kaku otot
pada abdomen.
512
Walaupun kaku otot abdomen bisa disebabkan oleh trauma pada daerah ini . Kejang
seluruh tubuh dapat terjadi akibat rangsangan. Posisi yang khas pada penderita tetanus
yang mengalami kejang yaitu terjadinya opisthotonus dan ekspresi wajah yang disebut
dengan “risus sardonicus”.
Kadang-kadang riwayat adanya trauma atau riwayat port d’entre tidak diketahui dengan
jelas pada penderita tetanus. CFR berkisar 10%-90%, paling tinggi pada bayi
dibandingkan dengan pada penderita yang lebih dewasa. CFR juga bervariasi dan
berbanding terbalik dengan masa inkubasi, tersedianya fasilitas perawatan intensif dan
tenaga medis yang berpengalaman dalam perawatan intensif.
Upaya untuk menemukan hasil tetanus melalui pemeriksaan laboratorium biasanya kurang
berhasil. Basil jarang dapat ditemukan dari luka dan antibodi jarang terdeteksi.
2. Pemicu Infeksi: Clostridium tetani, basil tetanus.
3. Distribusi penyakit
Tersebar diseluruh dunia, sporadis dan relatif jarang terjadi di AS dan negara-negara
industri. Selama periode 1995-1997, terdapat 124 kasus yang dilaporkan dari 33 negara
bagian di AS, 60 % diantaranya terjadi pada usia 20-59 tahun; 35 % pada usia di atas 60
tahun, dan 5 % pada usia 20 tahun. Angka CFR meningkat sebesar 2,3 % pada mereka
yang berumur 20-39 tahun dan 18 % pada mereka yang berumur di atas 60 tahun.
Tetanus yang terjadi dikalangan pecandu Napza suntik berkisar antara 11 % dari 124
kasus tetanus dibandingkan dengan 3,6 % yang terjadi selama tahun 1991 -1994.
Rata-rata setiap tahun penderita yang di laporkan ke CDC Atlanta sebanyak 50 kasus.
Tetanus pada umumnya terjadi didaerah pertanian dan daerah yang masih terbelakang,
dimana orang lebih sering kontak dengan kotoran hewan dan program imunisasi tidak
adekuat. Pemicu utama kematian bayi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, terutama di
daerah pedesaan dan daerah tropis disebabkan oleh tetanus neonatorum (lihat dibawah).
Pemakaian obat-obatan terlarang oleh para pecandu, terutama yang di gunakan melalui
suntikan baik intramuskuler atau subkutan, dapat menimbulkan kasus individual dan
KLB terbatas.
4. Reservoir
Reservoir dari basil tetanus yaitu usus kuda dan hewan lainnya termasuk manusia
dimana kuman ini berbahaya bagi hospes dan merupakan flora normal dalam usus;
tanah atau benda-benda yang dapat terkontaminasi dengan tinja hewan atau manusia dapat
juga berperan sebagai reservoir. Spora tetanus dapat ditemukan dimana-mana dan tersebar
di lingkungan sekitar kita dan dapat mengkontaminasi berbagai jenis luka.
5. Cara Penularan
Spora tetanus masuk kedalam tubuh biasanya melalui luka tusuk yang tercemar dengan
tanah, debu jalanan atau tinja hewan dan manusia, spora dapat juga masuk melalui luka
bakar atau luka lain yang sepele atau tidak di hiraukan, atau juga dapat melalui injeksi dari
jarum suntik yang tercemar yang dilakukan oleh penyuntik liar. Tetanus kadang kala
sebagai kejadian ikutan pasca pembedahan termasuk setelah sirkumsisi.
Adanya jaringan nekrotik atau benda asing dalam tubuh manusia mempermudah
pertumbuhan bakteri anaerobik.
513
Tetanus yang terjadi setelah terjadi luka, biasanya penderita pada waktu mengalami luka
menganggap lukanya tidak perlu dibawa ke dokter.
6. Masa Inkubasi
Biasanya 3-21 hari, walaupun rentang waktu bisa 1 hari sampai beberapa bulan, hal ini
tergantung pada ciri, kedalaman dan letak luka, rata-rata masa inkubasi yaitu 10 hari.
Kebanyakan kasus terjadi dalam waktu 14 hari. Pada umumnya makin pendek masa
inkubasi biasanya sebab luka terkontaminsi berat, akibatnya makin berat penyakitnya dan
makin jelek prognosisnya.
7. Masa Penularan: Tidak ada penularan langsung dari manusia kepada manusia.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap tetanus. Pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid
(TT) dapat menimbulkan kekebalan yang dapat bertahan paling sedikit selama 10 tahun
setelah pemberian imunisasi lengkap. Kekebalan pasif sementara didapat setelah
pemberian Tetanus Immunoglobin (TIG) atau setelah pemberian tetanus antitoxin (serum
kuda)
Bayi yang lahir dari ibu yang telah mendapatkan imunisasi TT lengkap terhindar dari
tetanus neonatorum. Setelah sembuh dari tetanus tidak timbul kekebalan, orang ini
dapat terserang untuk kedua kalinya, oleh sebab itu segera setalah sembuh dari tetanus
orang ini segera diberikan imunisasi TT dasar.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Beri penyuluhan kepada mesyarakat tentang manfaat pemberian imunisasi TT
lengkap. Berikan juga penjelasan tentang bahayanya luka tertutup terhadap
kemungkinan terkena tetanus dan perlunya pemberian profilaksi aktif maupun
pasif setelah mendapatkan luka.
2) Berikan imunisasi aktif dengan TT kepada anggota warga yang dapat
memberikan perlindungan paling sedikit 10 tahun. Setelah seri imunisasi dasar
diberikan selang beberapa lama dapat diberikan dosis booster sekali, dosis booster
ini dapat menaikkan titer antibodi cukup tinggi, Tetanus Toxoid biasanya diberikan
bersama-sama Diphtheria toxoid dan vaksin pertussis dalam kombinasi vaksin
(DPT atau DaPT) atau dalam bentuk DT untuk anak usia dibawah 7 tahun dimana
pemberian vaksin pertussis merupakan kontraindikasi atau dalam bentuk Td untuk
orang dewasa.
Untuk anak usia 7 tahun keatas di AS tersedia preparat vaksin yang didalamnya
berisi Haemophylus influenzae “type b conjugate” (DPT – Hib), begitu juga Hib
dikombinasi dengan preparat yang berisi pertussis aseluler (DaPT). Di beberapa
negara ada juga vaksin DPT, DT dan T yang dikombinasikan dengan vaksin polio
inaktif. Dinegara dimana program imunisasinya kurang baik semua wanita hamil
harus diberikan 2 dosis TT, vaksin TT non adsorbed (“plain”) imunogenisitasnya
kurang dibandingkan dengan yang adsorbed baik pada pemberian imunisasi dasar
maupun pada pemberian booster. Reaksi lokal setelah pemberian TT sering terjadi
namun ringan.
514
Reaksi lokal dan sistemik yang berat jarang terjadi, terutama setelah pemberian TT
yang berulang kali.
a) Jadwal imunisasi TT yang dianjurkan sama dengan jadwal pemberian vaksin
difteri (lihat Difteria, 9A).
b) Walaupun TT dianjurkan untuk diberikan kepada seluruh anggota warga
tanpa memandang usia; namun penting sekali untuk diberikan kepada para
pekerja atau orang dengan risiko tinggi seperti mereka yang kontak dengan
tanah, air limbah dan kotoran hewan; anggota militer; polisi dan mereka yang
rentan terhadap trauma; dan kelompok lain yang memiliki risiko tinggi kena
tetanus.
TT perlu diberikan kepada WUS dan ibu hamil untuk melindungi bayinya
terkena tetanus neonatorum.
c) Perlindungan aktif perlu dipertahankan dengan pemberian dosis booster Td
setiap 10 tahun sekali.
d) Anak-anak dan orang dewasa yang menderita HIV/AIDS atau yang
memiliki sistem kekebalan rendah, jadwal pemberian imunisasi TT sama
dengan jadwal pemberian untuk orang normal walaupun dengan risiko reaksi
immunitasnya suboptimal.
3). Tindakan pencegahan pada perawatan luka :
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tetanus pada pederita luka
sangat tergantung pada penilaian terhadap keadaan luka itu sendiri dan status
imunisasi penderita.
Penilaian harus dilakukan dengan hati-hati apakah luka itu bersih atau kotor,
apakah penderita pernah mendapatkan imunisasi TT ataukah pernah mendapatkan
TIG (Tetanus Immune Globulin) sebelumnya (lihat table dibawah). Bersihkan luka
sebagaimana mestinya, bila diperlukan lakukan debridement luka dan berikan
antibiotika yang tepat.
a). Bagi mereka yang sudah pernah mendapat imunisasi TT lengkap dan hanya
menderita luka ringan dan tidak terkontaminasi, dosis booster TT diberikan
jika imunisasi TT terakhir yang diberikan sudah lebih dari 10 tahun yang lalu.
Untuk luka yang luas dan kotor, berikan dosis tunggal booster tetanus toxoid
(sebaiknya Td) pada hari itu juga, dengan catatan penderita tidak pernah
mendapatkan suntikan TT selama lima tahun terakhir.
b). Bagi orang yang belum mendapatkan imunisasi dasar TT secara lengkap, pada
saat mengalami luka berikan dosis tunggal TT segera. TIG diberikan selain TT
jika luka yang dialami cukup luas dan terkontaminasi dengan tanah dan
kotoran hewan. Mengenai jenis tetanus toxoid yang dipakai seperti telah
dijelaskan sebelumnya tergantung pada usia dan status imunisasi penderita,
yang tujuannya yaitu sekaligus melengkapi dosis imunisasi dasar dari
penderita. Vaksin dapat berupa DaPT, DPT, DT atau Td.
Imunisasi pasif diberikan berupa TIG sebanyak 250 1U (Catatan: IU =
International Unit). Jika TIG tidak ada dapat diberikan antitoksin yang berasal dari
serum binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU. Indikasi pemberian imunisasi pasif
yaitu jika lukanya kotor dan luas/dalam dan riwayat imunisasinya tidak
jelas/tidak pernah diimunisasi atau imunisasi dasarnya tidak lengkap.
515
Jika TT dan TIG harus diberikan pada saat yang sama gunakanlah jarum suntik
dan semprit yang berbeda, suntikan ditempat yang berbeda.
Jika antitoksin yang berasal dari serum binatang (ATS) yang dipakai lakukan
terlebih dulu Skin test untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis.
Skin test dilakukan dengan menyuntikkan antitoksin yang telah diencerkan dengan
garam fisiologis dengan perbandingan 1 : 100, sebanyak 0,02 cc intrakutan. Pada
saat yang bersamaan siapkan alat suntik yang telah diisi dengan adrenaline.
Skin test dengan larutan yang lebih encer (1 : 1000) dilakukan terhadap penderita
yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan suntikan antitoksin dari serum
binatang. Sebagai kontrol ditempat lain disuntikkan garam fisiologis intrakutan.
Jika setelah 15 – 30 menit setelah suntikan timbul benjolan dikulit yang dikelilingi
oleh warna kemerahan berupa eritema dengan ukuran 3 mm atau lebih
dibandingkan dengan kontrol maka lakukan desensitisasi terhadap penderita.
Pemberian penisilin selama 7 hari dapat membentuk C. Tetani didalam luka
namun hal ini tidak mengurangi upaya pengobatan yang tepat dari luka, bersama-
sama dengan pemberian imunisasi yang tepat.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan terdekat.
1). Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: di AS, tetanus wajib dilaporkan diseluruh
negara bagian dan juga di banyak negara, kategori 2B (lihat pelaporan Penyakit
Menular).
2). Tindakan isolasi: Tidak ada
3). Tindakan disinfeksi segera: Tidak ada
4). Tindakan karantina: Tidak ada
5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada
6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Lakukan investigasi kasus untuk
mengetahui derajat dan asal luka.
7). Pengobatan spesifik : TIG IM dengan dosis 3.000 – 6.000 I.U. Jika TIG tidak
tersedia, berikan anti toxin tetanus (dari serum kuda) dengan dosis tunggal
intravena setelah dilakukan uji terhadap hipersensitivitas; metronidazole intravena
dalam dosis besar diberikan untuk jangka waktu 7 -14 hari. Luka dibersihkan dan
dilakukan debridement yang luas dan bila memungkinkan dilakukan eksisi luka.
Debridement pada potongan tali pusat neonatus tidak dilakukan.
Pertahankan aliran udara yang cukup pada jalan nafas dan bila diperlukan dapat
diberkan obat penenang. Berikan obat muscle relaxant, bersamaan dengan itu
lakukan tracheostomy atau lakukan intubasi nasotrakeal.
Pemberian nafas buatan secara mekanis membantu menyelamatkan nyawa
penderita. Imunisasi aktif dapat diberikan bersamaan dengan pengobatan dan
tindakan lain.
C. Penanggulangan Wabah
Walaupun sangat jarang, jika terjadi KLB, lakukan penyelidikan terhadap
kemungkinan terjadinya kontaminasi pada penggunaan obat-obat terlarang dengan
suntikan.
516
D. Dampak bencana
Kerusuhan sosial (konflik militer, huru hara) dan bencana alam (banjir, badai, gempa
bumi) yang mengakibatkan banyak orang yang luka pada populasi yang tidak pernah
mendapatkan imunisasi sehingga pada keadaan ini ada peningkatan kebutuhan TIG
atau anti toxin tetanus atau toxoid untuk mengobati penderita yang mengalami luka
luka.
E. Tindakan lebih lanjut
Imunisasi TT dianjurkan untuk diberikan kepada wisatawan manca negara.
TETANUS NEONATORUM ICD. 9.771.3; ICD-10 A 33
Tetanus neonatorum merupakan masalah kesehatan warga yang serius disebagian besar
negara bekembang dimana cakupan pelayanan kesehatan antenatal dan imunisasi TT kepada
ibu hamil masih rendah. Selama lima tahun terakhir insidens tetanus neonatorum di negara-
negara berkembang menurun dengan drastis sebab pemberian imunisasi TT kepada ibu hamil
walaupun telah terjadi penurunan drastis namun WHO masih mencatat sekitar 500.000
kematian tetanus neonatorum terjadi setiap tahun di negara-negara berkembang.
Sebagian besar bayi yang terkena tetanus biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah
mendapatkan imunisasi TT dan ditolong oleh dukun beranak diluar rumah sakit. Penyakit
tetanus muncul biasanya disebabkan oleh masuknya spora tetanus melalui puntung tali pusat
yang dipotong dengan alat yang tidak steril pada waktu bayi lahir atau spora masuk melalu
puntung tali pusat sebab dibalut dengan pembalut yang tidak steril atau sebab diberi ramu-
ramuan yang terkontaminasi oleh spora tetanus. Di negera berkembang tali pusat sering
dipotong dengan pisau dapur atau sembilu dan pemberian ramu-ramuan seperti kunyit dan
abu dapur sering merupakan bagian dari ritual pada warga tertentu ditujukan untuk bayi
yang baru lahir. Gejala utama pada tetanus neonatorum yaitu bayi tidak bisa minum susu.
Ciri khas tetanus neonatorum yaitu pada mulanya beberapa hari setelah lahir bayi menangis
keras dan mengisap susu dengan kuat, namun beberapa hari kemudian tidak bisa mengisap
susu lagi sebab trismus, kaku otot dan kejang seluruh tubuh, risus sardonicus (mulut mecucu
seperti mulut ikan), opisthotonus.
Masa inkubasi rata-rata 6 hari dengan rentang dari 3 – 28 hari. Secara keseluruhan CFR
tetanus neonatorum sangat tinggi, diatas 80% untuk masa inkubasi yang pendek.
Untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu
: meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan antenatal dengan pemberian imunisasi TT
kepada wanita usia subur (WUS) termasuk kepada ibu hamil dan meningkatkan cakupan
pertolongan persalinan yang dilakukan tenaga profesional.
Upaya pencegahan yang paling penting untuk dilakukan yaitu perizinan dan pengawasan
terhadap bidan praktek. Lakukan supervisi yang ketat terhadap peralatan yang dipakai untuk
pertolongan persalinan dan teknik asepsis dalam melakukan pertolongan persalinan. Lakukan
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan kepada para bidan tentang pertolongan persalinan
yang benar. Berikan juga penyuluhan kepada para ibu rumah tangga, anggota keluarga dan
mereka yang merawat tali pusat tentang teknik asepsis dalam merawat puntung tali pusat.
517
Penyuluhan ini sangat penting dilakukan dinegara berkembang sebab praktek penggunaan
sembilu untuk memotong tali pusat dilakukan sangat luas, begitu juga praktek pemberian abu
dapur, ramuan tumbuh-tumbuhan bahkan pemakaian tahi sapi untuk ditaruh pada puntung tali
pusat merupakan tradisi yang dilakukan oleh sebagian warga di negara berkembang.
Oleh sebab itu setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu
ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum
mendapatkan imunisasiTT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai
berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan
atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah
dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 – 12 bulan setelah dosis kedua ata setiap saat
pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun
dapat diberikan pada saat WUS ini kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau
diberikan pada saat kehamilan berikutnya.
Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS
yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 – 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak,
cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi perlindungan
terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.
Ringkasan Pedoman Profilaksi Terhadap Tetanus
Pada Perawatan Luka Rutin1)
Riwayat Imunisasi
Tetanus ( dosis )
Luka kecil dan bersih Luka jenis lain
Td2) TIG Td2) TIG
Tak jelas atau < 3 dosis Ya Tidak Ya Tidak
3 dosis atau lebih Tidak3 ) Tidak Tidak4) Tidak
1) Penjelasan rinci ada dalam teks.
2) Untuk anak kurang dari 7 tahun, berikan DaPT atau DPT (DT, jika vaksin pertusis
merupakan kontra indikasi. Untuk anak umur 7 tahun keatas, dianjurkan untuk
memberikan Td daripada tetanus toxoid saja.
3) Ya, jika dosis terakhir yang diberikan sudah 10 tahun lebih.
4) Ya, jika dosis terakhir sudah 5 tahun atau lebih (pemberian dosis booster tidak perlu
sebab dapat menimbulkan efek samping).
TOXOCARIASIS ICD-9 128.0; ICD-10 B83.0
(Visceral larva migrans, Larva migrans visceralis, Ocular larva migrans, Infeksi Toxocara
[Canis] [Cati])
1. Identifikasi
Infeksi kronis biasanya ringan terutama menyerang anak-anak, yang belakangan ini
cenderung juga menyerang orang dewasa, disebabkan oleh migrasi larva dari Toxocara
dalam organ atau jaringan tubuh.
518
Gejala klinis ditandai dengan eosinofilia yang lamanya bervariasi, hepatomegali,
hiperalbuminemia, gejala paru dan demam.
Serangan akut dan berat dapat terjadi, dalam keadaan ini lekosit dapat mencapai
100,000/mm3 atau lebih (dengan unit SI lebih dari 100 x109/l), dengan 50 – 90% terdiri
dari eosinofil. Gejala klinis bisa berlangsung sampai satu tahun atau lebih. Bisa timbul
gejala pneumonitis, sakit perut kronis, ruam seluruh tubuh dan bisa juga timbul gejala
neurologis sebab terjadi kelainan fokal. Bisa juga tejadi endoftalmitis oleh sebab larva
masuk ke dalam bola mata, hal ini biasanya terjadi pada anak yang agak besar, berakibat
turunnya visus pada mata yang terkena. Kelainan yang terjadi pada retina harus dibedakan
dengan retinoblastoma atau adanya massa lain pada retina. Penyakit ini biasanya tidak
fatal. Pemeriksaan Elisa dengan memakai antigen stadium larva sensitivitasnya 75 –
90% pada visceral larva migrans (VLM) dan pada infeksi bola mata. Prosedur western
blotting dapat dipakai untuk meningkatkan spesifisitas dari skrining memakai Elisa.
2. Pemicu penyakit
Toxocora canis dan T. cati, lebih banyak sebagai Pemicu yaitu T. canis
3. Distribusi penyakit
Tersebar diseluruh dunia. Penyakit dengan manifestasi yang berat terjadi secara sporadis
pada anak-anak usia 14 – 40 bulan dan dapat juga terjadi pada usia yang lebih tua.
Saudara dari penderita dapat juga dan sering ditemukan dengan eosinofilia dan gejala
lainnya yang menandakan adanya infeksi ringan atau gejala resedival.
Penelitian serologis yang dilakukan dikalangan anak-anak yang tidak menunjukkan gejala
di AS menunjukkan hasil yang sangat bervariasi, rata-rata 3% positif pada sub populasi
tertentu namun pada subpopulasi tertentu mencapai angka 23%. Seroprevalensi global
bervariasi mulai dari 0 – 4% di Madrid dan Jerman; 31% dikalangan anak-anak di
Irlandia; 66% didaerah pedesaan Spanyol; dan sekitar 83% di subpopulasi tertentu di
Karibia. Orang dewasa jarang yang terkena infeksi akut.
4. Reservoir
Anjing dan kucing merupakan reservoir untuk T.canis dan T. cati.
Untuk anjing dan kucing terinfeksi melalui migrasi transplacenta dan migrasi trans
mammaria. Telur cacing dapat ditemukan pada kotoran pada saat anak anjing dan anak
kucing sudah berusia 3 minggu. Infeksi pada anjing betina bisa berakhir dengan
sendirinya atau tetap (dormant) pada saat anjing menjadi dewasa. Pada saat anjing bunting
larva T. canis menjadi aktif dan menginfeksi fetus melalui placenta dan menginfeksi anak
mereka yang baru lahir melalui susu mereka.
Pada kucing, kucing jantan dan kucing betina sama-sama rentan terhadap infeksi, tidak
ada perbedaan nyata; namun kucing dewasa lebih rentan daripada kucing yang lebih
muda.
5. Cara-cara penularan
Kebanyakan infeksi yang terjadi pada anak-anak yaitu secara langsung atau tidak
langsung sebab menelan telur Toxocara yang infektif. Secara tidak langsung melalui
makanan seperti sayur sayuran yang tercemar atau secara langsung melalui tanah yang
tercemar dengan perantaraan tangan yang kotor masuk kedalam mulut.
519
Sebagian infeksi terjadi sebab menelan larva yang ada pada hati ayam mentah, atau hati
sapi dan biri biri mentah. Telur dikeluarkan melalui kotoran anjing dan kucing; sampel
yang diambil dari tanah pertamanan di AS dan Inggris 30% mengandung telur.
Ditaman-taman tertentu di Jepang 75% kantong pasir mengandung telur. Telur
memerlukan waktu selama 1 – 3 minggu untuk menjadi infektif dan tetap hidup serta
infektif selama beberapa bulan; dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang kering.
Telur setelah tertelan, embrio akan keluar dari telur didalam intestinum; larva kemudian
akan menembus dinding usus dan migrasi kedalam hati dan jaringn lain melalui saluran
limfe dan sistem sirkulasi lainnya. Dari hati larva akan menyebar ke jaringan lain terutama
ke paru-paru dan organ-organ didalam abdomen (visceral larva migrans), atau bola mata
(Ocular larva migrans), dan migrasi larva ini dapat merusak jaringan dan membentuk lesi
granulomatosa. Parasit tidak dapat melakukan replikasi pada manusia dan pada hospes
paratenic/endstage lain; namun larva dapat tetap hidup dan bertahan dalam jaringan
selama bertahun-tahun, terutama pada keadaan penyakit yang asymptomatic. Jika jaringan
hospes paratenic dimakan maka larva yang ada pada jaringan ini akan menjadi
infektif terhadap hospes yang baru.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi pada anak-anak berlangsung dalam beberapa minggu dan beberapa bulan
dan sangat tergantung pada intensitas infeksi, terjadinya reinfeksi dan sensitivitas
penderita. Gejala okuler muncul 4 – 10 tahun setelah terjadinya infeksi awal. Masa
inkubasi dari infeksi yang diperoleh sebab mengkonsumsi hati mentah sangat cepat
(beberapa jam sampai beberapa hari).
7. Masa Penularan: Tidak terjadi penularan langsung dari orang ke orang.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Insidensi penyakit yang rendah pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa
disebabkan oleh tingkat pemajanan yang rendah. Dapat terjadi reinfeksi
9. Cara – cara pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1). Berikan penyuluhan kepada warga , terutama kepada pemilik binatang
peliharaan tentang bahaya dari kebiasaan pica (menggigit, menjilat benda-benda)
yang terpajan daerah yang tercemar oleh kotoran hewan peliharaan. Juga
dijelaskan tentang bahaya mengkonsumsi hati mentah hewan yang terpajan dengan
anjing dan kucing. Orang tua dan anak-anak diberitahu tentang risiko kontak
dengan binatang peliharaan seperti anjing dan kucing dan bagaimana cara
mengurangi risiko ini .
2). Hindari terjadinya kontaminasi tanah dan pekarangan tempat anak-anak bermain
dari kotoran anjing dan kucing, terutama didaerah perkotaan dikompleks
perumahan. Ingatkan para pemilik anjing dan kucing agar bertanggung jawab
menjaga kesehatan binatang peliharaannya termasuk membersihkan kotorannya
dan membuang pada tempatnya dari tempat-tempat umum. Lakukan pengawasan
dan pemberantasan anjing dan kucing liar.
520
3). Bersihkan tempat-tempat bermain anak-anak dari kotoran anjing dan kucing.
Sandboxes (kotak berisi pasir) tempat bermain anak-anak merupakan tempat yang
baik bagi kucing untuk membuang kotoran; tutuplah jika tidak digunakan.
4). Berikan obat cacing kepada anjing dan kucing mulai dari usia tiga minggu,
diulangi sebanyak tiga kali berturut-turut dengan interval 2 minggu dan diulang
setiap 6 bulan sekali. Begitu juga binatang piaraan yang sedang menyusui anaknya
diberikan obat cacing. Kotoran hewan baik yang diobati maupun yang tidak
hendaknya dibuang dengan cara yang saniter.
5) Biasakan mencuci tangan dengan sabun setelah memegang tanah atau sebelum
makan.
6). Ajarkan kepada anak-anak untuk tidak memasukkn barang-barang kotor kedalam
mulut mereka.
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya
1). Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: Laporan resmi biasanya tidak
diperlukan, kelas 5 (lihat tetang pelaporan penyakit menular)
2). Isolasi: Tidak dilakukan
3). Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan
4). Karantina: Tidak dilakukan
5). Imunisasi terhadap kontak : Tidak dilakukan
6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Lakukan penyilidikan untuk
menemukan terjadinya penularan terhadap kasus indeks.
Selidiki juga mereka yang terpajan (lihat 9A di atas). Berikan pengobatan kepada
penderita tanpa gejala, mereka yang tes Elisanya positif bukan indikasi untuk
diberi pengobatan; namun jika ditemukan adanya hipereosinofilia lakukan
pengobatan.
7). Pengobatan spesifik: Obat pilihan yaitu Mebendazole atau Albendazole sebab
relatif aman. Diethylcarbamazine dan thiabendazole pernah digunakan namun
efektivitasnya masih dipertanyakan.
C. Upaya penanggulangan wabah: Tidak ada.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Tidak ada.
GNATHOSTOMIASIS ICD-9 128.1; ICD-10 B83.1
yaitu Visceral larva migrans jenis lain, umum ditemukan di Thailand dan juga di Asia
Tenggara, disebabkan oleh Gnathostoma spinigerum, suatu parasit nematoda pada anjing dan
kucing. Infeksi terjadi setelah makan ikan dan daging ayam yang tidak dimasak dengan
sempurna dan mengandung larva stadium 3.
521
Parasit ini melakukan migrasi melalui jaringan tubuh manusia dan binatang, yang
membentuk lesi yang tidak permanen atau abses di berbagai bagian tubuh manusia. Larva ini
bisa menjalar ke otak, menimbulkan lesi fokal pada otak yang dikaitkan dengan eosinophylic
pleocytosis. Efektivitas pemberian obat cacing seperti albendazole dan mebendazole
diragukan dan obat-obat ini masih dalam taraf penelitian.
CUTANEOUS LARVA MIGRANS ICD-9 126; ICD-10 B76.9
Disebabkan oleh ANCYLOSTOMA BRAZILIENSE ICD-9 126.2; ICD-10 B76.0
Disebabkan oleh ANCYLOSTOMA CANINUM ICD-9 126.8; ICD-10 B76.0
(creeping eruption)
Larva infektif cacing tambang dari anjing dan kucing, Ancylostoma braziliense dan A.
caninum memicu dermatitis pada manusia yang disebut “creeping eruption” ini yaitu
penyakit para pekerja kasar, tukang kebun, anak-anak, orang yang berenang di pantai atau
orang yang kontak dengan tanah-pasir basah yang tercemar oleh kotoran anjing dan kucing.
Di Amerika prevalensi cacing ini lebih tinggi dibagian Tenggara, larva memasuki kulit dan
bergerak intrakutan dalam waktu yang cukup lama, kadang-kadang mereka penetrasi kedalam
jaringan yang lebih dalam. Tiap larva membentuk lesi berkelok kelok seperti ular memanjang
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter dalam sehari dan rasanya gatal sekali
terutama malam hari. Larva dapat dibunuh dengan mendinginkan daerah lesi dengan Ethyl
chloride spray. Thiabendazole sangat efektif sebagai obat pilihan utama, albendazole dan
ivermectin juga efektif. Kadang-kadang larva A. caninum bergerak menuju usus halus yang
bisa memicu eosinophylic enteritiss, infeksi zoonotik ini memberikan respons yang baik
dengan pengobatan pyrantel pamoate, mebendazole atau albendazole.
Penyakit kulit yang disebabkan oleh larva cacing ini biasanya sembuh spontan dalam beberpa
minggu atau beberapa bulan.
TOXOPLASMOSIS ICD-9 130; ICD-10 B58
TOXOPLASMOSIS KONGENITAL ICD-9 771.2; ICD-10 P37.1
1. Identifikasi
Merupakan penyakit sistemik Coccidian protozoan, infeksi biasanya tanpa gejala atau
muncul dalam bentuk akut dengan gejala limfadenopati atau dengan gejala menyerupai
mononucleosis infectiosa disertai dengan demam, linfadenopati dan linfositosis yang
berlangsung sampai berhari-hari atau beberapa minggu.
Dengan terbentuknya antibodi, jumlah parasit dalam darah akan menurun namun kista
Toxoplasma yang ada dalam jaringan tetap masih hidup. Kista jaringan ini akan reaktif
kembali jika terjadi penurunan kekebalan. Infeksi yang terjadi pada orang dengan
kekebalan rendah baik infeksi primer maupun infeksi reaktivasi akan memicu
terjadinya Cerebritis, Chorioretinitis, pneumonia, terserangnya seluruh jaringan otot,
myocarditis, ruam makulopapuler dan atau dengan kematian. Toxoplasmosis yang
menyerang otak sering terjadi pada penderita AIDS.
522
Infeksi primer yang terjadi pada awal kehamilan dapat memicu terjadinya infeksi
pada bayi yang dapat memicu kematian bayi atau dapat memicu
Chorioretinitis, kerusakan otak disertai dengan kalsifikasi intraserebral, hidrosefalus,
mikrosefalus, demam, ikterus, ruam, hepatosplenomegali, Xanthochromic CSF, kejang
beberapa saat setelah lahir.
Jika infeksi terjadi pada usia kehamilan yang lebih tua dapat memicu penyakit
subklinis yang gejalanya akan timbul kemudian, misalnya berupa Chorioretinitis kronis
yang berulang.
Pada wanita hamil dengan kekebalan tubuh yang rendah dengan Toxoplasma seropostif,
dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten yang walaupun jarang dapat memicu
toxoplasmosis kongenital. Organisme yang “tidur” pada orang dengan infeksi laten dapat
terjadi reaktivasi dan memicu toxoplasmosis serebral terutama pada orang yang
menderita imunodefisiensi seperti pada penderita AIDS.
Diagnosa ditegakkan selain berdasarkan gejala klinis juga didukung dengan pemeriksaan
serologis atau ditemukannya organisme didalam jaringan atau cairan tubuh melalui biopsi
atau nekropsi atau isolasi pada binatang atau pada kultur sel. Kenaikan titer antibodi
menandakan adanya infeksi aktif. Ditemukannya IgM yang spesifik dan atau terjadinya
peningkatan titer IgG pada darah yang diambil secara serial pada bayi baru lahir
menunjukkan terjadinya infeksi kongenital. Titer IgG yang tinggi bisa bertahan selama
bertahun tahun dan tidak ada hubunganya dengan penyakit aktif.
2. Pemicu Penyakit
Toxoplasma gondii, merupakan suatu coccidian protozoa intraseluler pada kucing,
termasuk dalam famili Sarcocystidae yang dikelompokkan kedalam kelas Sporozoa
3. Distribusi Penyakit
Tersebar diseluruh dunia pada mamalia dan burung. Infeksi pada manusia umum terjadi.
4. Reservoir
Hospes definitif dari T. gondii yaitu kucing dan hewan sejenis kucing lainnya yang
mendapatkan infeksi sebab kucing memakan mamalia (terutama rodentia ) atau burung
yang terinfeksi dan jarang sekali infeksi terjadi dari kotoran kucing yang terinfeksi.
Hospes perantara dari T. gondii antara lain biri-biri, kambing, binatang pengerat, sapi,
babi, ayam, dan burung. Semua binatang ini dapat mengandung stadium infektif
(cystozoite atau bradizoite) dari T. gondii yang membentuk kista dalam jaringan terutama
jaringan otot dan otak. Kista jaringan dapat hidup dalam jangka waktu panjang
kemungkinan seumur hidup binatang ini .
5. Cara-cara Penularan
Infeksi transplasental pada manusia terjadi pada wanita hamil sebab didalam tubuh
mereka terdapat trachyzoites yang membelah dengan cepat beredar dalam darah mereka.
Biasanya pada infeksi primer. Anak-anak terinfeksi sebab menelan oocysts yang
mencemari “sandboxes” (kotak berisi pasir tempat bermain), halaman tempat anak-anak
bermain dimana ditempat-tempat itu kucing membuang kotoran. Infeksi bisa terjadi
sebab mengkonsumsi daging mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna (daging
babi, daging kambing dan jarang daging sapi) dimana didalam daging ini
mengandung kista.
523
Makanan dan air dapat juga tercemar kotoran kucing dan jika Oocysts yang infektif pada
makanan dan air yang tercemar tertelan akan terjdi infeksi. Pernah dilaporkan terjadi KLB
sebab inhalasi Oocysts yang berbentuk spora. Susu dari kambing dan sapi yang terinfeksi
mengandng tachyzoites. Pernah dilaporkan terjadi KLB sebab minum susu kambing
mentah. Infeksi jarang terjadi sebab transfusi atau sebab transplantasi organ dari donor
yang terinfeksi.
6. Masa Inkubasi
Dari 10 sampai 23 hari pada satu KLB “Commonsource” sebab makan daging yang tidak
dimasak; 5 sampai 10 hari dari satu KLB yang ditularkan oleh kucing.
7. Masa Penularan
Tidak langsung ditularkan dari seseorang kepada orang lain kecuali in utero. Oocysts pada
kucing akan membentuk spora dan menjadi infektif dalam 1 sampai 5 hari dan tetap
infektif pada air dan tanah basah lebih dari satu tahun. Kista pada daging hewan yang
terinfeksi bertahan dan tetap infektif selama daging itu belum dimasak.
8. Kerentanan Dan Kekebalan
Setiap orang rentan terhadap penyakit ini namun kekebalan akan terbentuk sesudah infeksi
dan hampir semua infeksi bersifat asymptomatic. Lama dan tingkat kekebalan tidak
diketahui dengan pasti diduga berlangsung lama dan seumur hidup; antibodi bertahan
selama bertahun tahun, mungkin seumur hidup. Pasien yang mendapatkan terapi cytotoxic
atau terapi immunosuppressive dan penderita AIDS berisiko tinggi menjadi sakit dan
mendapat infeksi ulang.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1). Berikan penyuluhan kepada para ibu tentang upaya pencegahan seperti berikut:
a). Daging yang akan dikonsumsi hendaknya daging yang sudah diradiasi atau
yang sudah dimasak pada suhu 1500F (660C), daging yang dibekukan
mengurangi infektivitas parasit namun tidak membunuh parasit.
b). Ibu hamil yang belum diketahui telah memiliki antibodi terhadap T. gondii,
dianjurkan untuk tidak kontak dengan kucing dan tidak membersihkan tempat
sampah. Pakailah sarung tangan karet pada waktu berkebun dan cucilah tangan
selalu setelah bekerja dan sebelum makan.
2). Kucing diberi makanan kering, makan yang diberikan sebaiknya makanan kaleng
atau makanan yang telah dimasak dengan baik. Kucing jangan dibiarkan memburu
sendiri makanannya (jaga agar kucing tetap didalam rumah sebagai binatang
peliharaan).
3). Buanglah kotoran kucing dan sampah tiap hari (sebelum sporocysts menjadi
infektif). Kotoran kucing dapat dibuang kedalam toilet yang saniter, dibakar atau
ditanam dalam- dalam. Tempat pembuangan sampah di disinfeksi setiap hari
dengan air mendidih. Pakailah sarung tangan atau cuci tangan dengan sabun dan
air mengalir setelah menangani barang-barang yang terkontaminasi. Sampah
kering dibuang sedemikian rupa tanpa menggoyang goyang agar oocysts tidak
tersebar keudara.
524
4). Cucilah tangan baik-baik sebelum makan dan sesudah menjamah daging mentah
atau setelah memegang tanah yang terkontaminasi kotoran kucing.
5). Awasi kucing liar, jangan biarkan kucing ini membuang kotoran ditempat
bermain anak-anak. Kotak pasir tempat bermain anak ditutup jika tidak dipakai.
6). Penderita AIDS dengan toxoplasmosis simptomatik agar diberikan pengobatan
profilaktik seumur hidup dengan pyremethamine, sulfadiazine dan asam folat.
B. Penanganan Penderita, Kontak, Lingkungan Sekitarnya
1). Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: Tidak diperlukan, namun di beberapa
negara bagian di Amerika dan di beberapa negara penyakit ini wajib dilaporkan
untuk pemahaman lebih lanjut terhadap epidemiologi dari penyakit ini.
2). Isolasi: Tidak ada
3). Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan
4). Karantina: Tidak dilakukan
5). Imunisasi kontak: Tidak dilakukan
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pada infeksi kongenital lakukan
pemeriksaan titer antibodi ibu; sedang pada infeksi yang didapat, periksalah
titer antibodi pada anggota keluarga dan selidiki kemungkinan terjadinya
pemajanan terhadap kotoran kucing, tanah, daging mentah tau terpajan dengan
binatang yang terinfeksi.
7). Pengobatan spesifik: Untuk orang yang sehat dengan status imunitas yang baik,
tidak ada indikasi untuk diberi pengobatan kecuali jika infeksi terjadi pada awal
kehamilan atau adanya Chorioretinitis aktif, myocarditis atau ada organ lain yang
terkena. Obat yang dipakai yaitu Pyrimethamine (Daraprim®) dikombinasi
dengan Sulfadiazine dan asam folat (untuk mencegah depresi sumsum tulang).
Pengobatan diberikan selama 4 minggu untuk mereka yang menunjukkan gejala
klinis berat. Selain obat diatas, untuk toxoplasmosis pada mata ditambahkan
Clindamycin. Pada toxoplasmosis okuler, terjadi penurunan visus yang
irreversible. Jika yang terserang mata maka yang dapat terkena yaitu macula,
syaraf mata atau papillomacular bundle, untuk mencegah hal ini diberikan
kortikosteroid sistemik.Pengobatan terhadap wanita hamil menjadi masalah.
Spiramycin sering digunakan untuk mencegah infeksi plasenta; jika pada
pemeriksaan USG ada indikasi telah terjadi infeksi pada bayi maka berikan
pengobatan pyrimethamine dan sulfadiazine.
Pyrimethamine tidak diberikan pada 16 minggu pertama kehamilan sebab
dikawatirkan akan terjadi teratogenik; dalam hal ini sulfadiazine dapat diberikan
tersendiri. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita infeksi primer atu dari ibu yang
HIV positif selama kehamilan diberikan pengobatan pyrimethamine-sulfadiazine-
asam folat selama tahun pertama sampai terbukti bahwa bayi ini tidak
menderita toxoplasmosis kongenital. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
Chorioretinitis atau gejala sisa. Belum ada pegangan dan petunjuk yang jelas
tentang pengobatan bayi yang lahir dari ibu yang HIV positif disertai toxoplasma
seropositif.
C. Penanggulangan wabah: Tidak ada
525
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
TRACHOMA ICD-9 076; ICD-10 A71
1. Identifikasi.
Conjunctivitis yang disebabkan oleh infeksi Chlamydia, dapat muncul tiba-tiba atau
perjalanan penyakitnya dapat pelan-pelan. Infeksi dapat berlangsung bertahun-tahun jika
tidak diobati. Namun ciri penyakit yang berlangsung lama didaerah hiperendemis
disebabkan oleh terjadinya reinfeksi yang berulang kali. Ciri khas dari penyakit ini yaitu
timbulnya folikel limfoid dan inflamasi diffuse pada konjungtiva.Terbentuk jaringan
parut. Pembentukan jaringan parut meningkat dengan makin beratnya derajat penyakit
atau lamanya inflmasi. Jaringan parut dapat memicu terjadinya deformitas dari
kelopak dan bulu mata (trichiasis dan enteropion). Deformitas kelopak dan bulu mata ini
selanjutnya dapat memicu abrasi kronis pada kornea dan terbentuk jaringan parut
yang mengganggu penglihatan dan dapat menimbulkan kebutaan pada usia dewasa. Dapat
terjadi infeksi sekunder didaerah endemis trachoma. Infeksi sekunder ini memperberat
penyakit dan meningkatkan penularan.
Trachoma pada anak-anak dinegara berkembang merupakan penyakit endemis. Namun
trachoma pada usia dini ini sering tidak dapat dibedakan dengan conjunctivitis yang
disebabkan oleh bakteri lain (termasuk oleh strain genital dari Chlamydia trachomatis) .
Diagnosa banding dari trachoma yaitu nodules pada kelopak mata yang dsebabkan oleh
molluscum contagiosum, reaksi toksik atau pengobatan jangka panjang dengan tetes mata,
infeksi stafilokokus kronis pada pinggir kelopak mata. Reaksi alergi sebab pemakaian
lensa kontak (giant papillary conjunctivitis) dapat menimbulkan gejala menyerupai
trachoma dengan terbentuknya nodulus tarsalis (giant papillae), Terbentuknya jaringan
parut pada konjungtiva dan pannus pada kornea.
Diagnosa laboratorium ditegakkan dengan ditemukannya bagian elementer dari chlamidia
didalam sel epitel dari sediaan yang diambil dari kerokan konjungtiva yang dicat dengan
Giemsa atau diagnosa juga dapat ditegakkan dengan IF setelah sediaan difiksasi dengan
metanol; atau dengan deteksi antigen dengan memakai prosedur EIA atau DNA
probe; atau isolasi dari organisme dengan kultur sel.
2. Pemicu penyakit : Clamydia trachomatis serovarians A, B, Ba dan C.
Ada beberapa strains yang tidak dapat dibedakan dengan konjungtivitis chlamydia (q.v)
dan varians B, Ba dan C pernah diisolasi dari infeksi chlamydia pada alat kelamin.
3. Distribusi penyakit.
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia. Di negara berkembang penyakit ini banyak
ditemukan dan endemis, terutama pada warga yang kurang mampu. Didaerah
endemis trachoma muncul pada masa anak-anak lalu bersembunyi di masa remaja dan
meninggalkan jaringan parut dengan tingkat disabilitas yang bervariasi dan kemungkinan
dapat menjadi buta.
526
Kebutaan sebab trachoma masih banyak ditemukan di Timur Tengah, dan daerah sub-
Sahara dibagian utara di Afrika, India, Asia Tenggara dan China. Kantong-kantong
trachoma ada di Amerika Latin, Australia (orang aborijin) dan di Pulau Pasifik.
Penyakit ini jarang ditemukan di AS; penyakit ini timbul di warga yang kurang
tingkat kebersihannya, kemiskinan dan ditempat tinggal yang kumuh, terutama di daerah
pemukiman yang kering dan berdebu seperti di tempat reservasi warga asli di Amerika
Barat Daya.
Komplikasi lanjut dari trachoma yang muncul belakangan pada orang usia lebih tua yang
terinfeksi trachoma di masa kanak-kanak yaitu enteropion dan terbentuknya jaringan
parut pada kornea; orang ini umumnya tidak menularkan penyakit lagi.
4. Reservoir: Reservoir penyakit ini yaitu manusia
5. Cara penularan
Melalui kontak langsung dengan discharge yang keluar dari mata yang terkena infeksi
atau dari discharges nasofaring melalui jari atau kontak tidak langsung dengan benda yang
terkontaminasi, seperti handuk, pakaian dan benda-benda lain yang dicemari discharge
nasofaring dari penderita. Lalat, terutama Musca sorbens di Afrika dan Timur Tengah dan
spesies jenis Hippelates di Amerika bagian selatan, ikut berperan pada penyebaran
penyakit. Pada anak-anak yang menderita trachoma aktif, chlamydia dapat ditemukan dari
nasofaring dan rektum. Namun didaerah endemis untuk serovarian dari trachoma tidak
ditemukan reservoir genital.
6. Masa inkubasi: Masa inkubasi 5 sampai dengan 12 hari
7. Masa penularan
Masa penularanan berlangsung selama masih ada lesi aktif di konjungtiva dan kelenjar-
kelenjar adneksa maka selama itu penularan dapat berlangsung bertahun tahun.
Konsentrasi organisme dalam jaringan berkurang banyak dengan terbentuknya jaringan
parut, namun jumlahnya akan meningkat kembali dengan reaktivasi dari penyakit dan
terbentuknya discharge kembali. Penderita tidak menular lagi 1 – 3 hari setelah diberi
pengobatan dengan antibiotika sebelum terjadinya perbaikan gejala klinis.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap penyakit ini; tidak ada bukti bahwa infeksi ini dapat
membentuk kekebalan dan belum ditemukan vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi
atau mencegah eratnya perjalanan penyakit. Di daerah endemis, anak-anak lebih sering
terserang penyakit ini dibandingkan dengan orang dewasa. Beratnya penyakit biasanya
selalu berhubungan dengan kondisi lingkungan tempat tinggal, terutama pemukiman yang
sanitasi lingkungannya jelek, angin yang kering , debu halus dan pasir bisa ikut
mempengaruhi beratnya penyakit.
527
9. Cara – cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1). Berikan penyuluhan kepada warga tentang perlunya menjaga kebersihan
perorangan terutama risiko memakai alat-alat dalam toilet umum bersama.
2). Perbaiki fasilitas sanitasi dasar. Sediakan air dan sabun, dalam jumlah yang cukup.
Anjurkan sering mencuci muka, hindari penggunaan handuk bersama-sama.
3). Sediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan pengobatan yang cukup serta fasilitas
untuk menemukan penderita, terutama untuk anak-anak pra sekolah.
4). Lakukan investigasi epidemiologis untuk mencari faktor-faktor yang berperan
dalam proses penularan penyakit pada situasi tertentu.
B. Penanganan penderita, kontak, lingkungan sekitarnya
1). Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat; laporan kasus, dibutuhkan di sejumlah
negara bagian di AS dan dibeberapa negara dengan endemisitas rendah, Kelas 2B
(lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi: Tindakan isolasi tidak praktis. Untuk penderita yang dirawat di rumah
sakit perlu dilakukan kewaspadaan universal terhadap sekrit dan discharge.
3). Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dan seluruh peralatan
yang tercemar.
4). Karantina: Tidak ada
5). Imunisasi: Tidak ada
6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi dilakukan terhadap seluruh
anggota keluarga dari penderita, teman bermain dan teman sekolah.
7). Pengobatan spesifik: Di daerah dimana penyakit ini berat dan hampir merata,
maka dilakukan pengobatan massal terutama ditujukan kepada anak-anak yaitu
dengan salep mata tetrasiklin atau eritromisin dengan jadwal yang bervariasi yaitu
sehari dua kali selama 5 hari atau sekali sebulan selama 6 bulan.
Pengobatan Oral dengan sulfonamid, tetrasiklin, eritromisin dan asitromisin juga
efektif pada stadium aktif.
C. Penanggulangan Wabah
Di daerah yang hiperendemis, pemberian pengobatan massal sangat berhasil dalam
menurunkan prevalensi dan beratnya penyakit. Hal ini akan berhasil jika dilakukan
bersama sama dengan penyuluhan tentang kebersihan perorangan, dan perbaikan
sanitasi lingkungan terutama penyediaan fasilitas air bersih dalam jumlah yang cukup.
D. Implikasi bencana: Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-pusat Kerjasama WHO.
528
DEMAN TRENCH ICD-9 083.1; ICD-10 A79.0
( Quintana fever)
1. Identifikasi
Penyakit yang ditandai dengan demam yang disebabkan oleh bakteri tidak fatal dengan
derajat panyakit dan manifestasi klinis yang bervariasi. Gejala klinis yang muncul yaitu
sakit kepala, lemah badan, sakit dibawah lutut. Gejala klinis bisa muncul mendadak atau
perlahan lahan, dengan demam yang hilang timbul seperti tifoid atau demam hanya
muncul sekali saja dan berlangsung beberapa hari.
Sering disertai dengan splenomegali dan ruam makuler yang kemudian menghilang.
Gejala klinis bisa muncul kembali beberapa tahun setelah infeksi primer. Bisa juga
muncul dalam bentuk subklinis dimana organisme tetap ada dalam darah selama berbulan
bulan dengan atau tanpa gejala klinis yang berulang. Pada penderita HIV/AIDS atau
mereka yang memiliki masalah dalam sistem kekebalan dapat terjadi bakteriemi,
osteomielitis dan angiomatosis basiler. Endokarditis juga pernah dilaporkan pada
penderita dikalangan pecandu alkohol. Diagnosa laboratoris dibuat dengan kultur dari
spesimen darah pada agar darah dengan CO2 5%. Mikrokoloni akan muncul dalam 8-21
hari setelah diinkubasi pada suhu 370C (98,60F). Infeksi merangsang terbentuknya
antibodi spesifik terhadap genus yang terdeteksi dengan pemeriksaan serologis.
Pemeriksaan IFA dapat dilakukan dan tersedia di CDC Atlanta.
2. Pemicu penyakit: Bartonella quintana (dulu disebut dengan nama Rochalimaea
quintana)
3. Distribusi penyakit
Wabah muncul di Eropa pada waktu perang dunia I dan II sebab para prajurit dan para
tahanan hidup dalam lingkungan kumuh berdesak desakan dan tidak bersih. Kasus
sporadis yang muncul didaerah endemis kemungkinan tidak terdeteksi. Organisme
mungkin dapat ditemukan pada kutu dalam tubuh manusia. Fokus endemis infeksi
ditemukan di Polandia, Soviet, Meksiko, Bolivia, Burundi, Ethiopia dan Afrika Utara. Di
AS ada dua bentuk infeksi ditemukan pada tahun 1990-an:
a. Infeksi Oportunistik pada pasien AIDS (terkadang muncul sebagai angiomatosis
basiler, lihat Cat Scratch Disease).
b. Demam yang ditularkan melalui kutu manusia dikalangan gelandangan pecandu
alkohol yang disebut “urban trench fever” dan terkadang disertai dengan endokarditis.
4. Reservoir
Manusia, bertindak sebagai reservoir. Hospes intermediernya yaitu Pediculus humanus
corporis. Organisme ini berkembang biak di luar sel di dalam lumen usus yang
berlangsung yaitu tepatnya 5 minggu setelah menetas.
5. Cara penularan
Tidak langsung ditularkan dari orang ke orang. Orang terinfeksi dengan cara inokulasi
organisme melalui kotoran kutu badan yang masuk melalui luka atau celah kulit, akibat
gigitan kutu atau sebab sebab lain. Kutu yang terinfeksi mulai mengeluarkan kotoran
yang infeksi 5-12 hari setelah kutu mengisap darah yang infektif dan kutu tetap infektif
seumur hidup mereka. Stadium nimfe dapat juga terinfeksi.
529
Penularan penyakit terjadi sebab kutu yang infektif pindah dari tubuh orang yang demam
atau dari tubuh orang yang meninggal ke tubuh orang normal. sebab kutu cenderung
mencari suhu normal, menghindari suhu diatas atau dibawah normal.
6. Masa inkubasi: Biasanya 7 – 30 hari
7. Masa penularan
Organisme dapat bertahan dalam sirkulasi darah dalam beberapa minggu, bberapa bulan
bahkan beberapa tahun dan dapat muncul kembali tanpa gejala. Kutu yang mengisap
darah ini akan terinfeksi dan dapat menularkan kepada orang lain. Orang dengan riwayat
menderita demam Trench tidak boleh menjadi donor.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Setiap orang rentan terhadap penyakit ini. Belum diketahui dengan jelas apakah setelah
infeksi muncul kekebalan baik terhadap organismenya sendiri ataupun terhadap timbulnya
gejala penyakit.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara pencegahan
Prosedur pembasmian kutu dapat membunuh kutu sebagai vektor dan mencegah
terjadinya penularan terhadap manusia. Menaburkan insektisida yang tepat pada
pakaian dan badan.
B. Penanganan penderita, kontak, lingkungan sekitarnya.
1). Laporan kepada Institusi Kesehatan setempat: Jika ditemukan penderita, segera
dilaporkan kepada Institusi Kesehatan setempat agar dapat dilakukan evaluasi
terhadap kepadatan kutu penyebar penyakit dikalangan warga . Dengan laporan
ini Dinas Kesehatan setempat dapat melakukan tindakan yang diperlukan
mengingat kutu ini dapat juga menularkan penyakit tifus epidemika, demam bolak
balik, Kelas 3B (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi: Tidak diperlukan apabila telah dilakukan pembasmian kutu.
3). Disinfeksi serentak: Pakaian yang kena kutu harus didisinfeksi untuk membunuh
kutu.
4). Karantina: Tidak ada
5). Imunisasi: Tidak ada
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Periksalah semua pakaian dan tubuh orang
yang memiliki risiko terkena kutu. Jika ditemukan kutu lakukan tindakan
disinfeksi.
7). Pengobatan spesifik: obat spesifik yaitu tetracycline biasanya doxycycline
diberikan selama 2 sampai dengan 4 minggu. Pasien pertama-tama harus
dievaluasi apakah mereka terkena endokarditis. Hal ini akan mempengaruhi lama
dan tindak lanjut pengobatan antibiotika. Dapat terjadi relaps walaupun sudah
diberikan terapi antibiotika baik pada orang dengan status kekebalan normal
ataupun pada orang dengan gangguan sistem kekebalan.
530
C. Penanggulangan Wabah
Pada waktu terjadi KLB, dilakukan pemberian insektisida residual pada pakaian
seluruh anggota warga didaerah terjangkit.
D. Implikasi Bencana.
Risiko penularan meningkat apabila orang yang tubuhnya mengandung kutu dipaksa
tinggal didaerah berpenghuni padat dengan sanitasi lingkungan yang jelek (Lihat 9B1
di atas).
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.
TRICHINELLOSIS ICD-9 124; ICD-10 B75
(TRICHINIASIS, TRICHINOSIS)
1. Identifikasi
Penyakit yang disebabkan oleh cacing perut berbentuk bulat dimana larva (trichinae)
migrasi menuju otot dan membentuk kapsul. Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi
mulai dari tanpa gejala sama sekali sampai kepada penyakit dengan gejala klinis yang
berat dan fatal tergantung kepada jumlah larva yang ditelan. Gejala awal yang muncul
biasanya berupa kaku dan sakit pada otot, demam disertai dengan oedem pada kelopak
mata atas.
Terkadang diikuti dengan perdarahan subkonjungtiva, subungual atau perdarahan pada
retina, sakit pad bola mata dan fotofobia. Setelah muncul gejala-gejala pada mata biasanya
diikuti dengan berkeringat, menggigil, badan lemah, eosinofilia yang cepat. Timbul juga
gejala-gejala gastronitestinal seperti diare oleh sebab aktivitas cacing dewasa. Gejala
gastrointestinal muncul sebelum gejala pada mata muncul.
Demam biasanya hilang timbul (remiten) bisa mencapai 400C (1040F); demam hilang
setelah 1 – 6 minggu, tergantung intensitas dari infeksi. Komplikasi pada jantung dan
syaraf muncul pada minggu ke 3 sampai dengan ke 6. Pada kasus fatal, kematian terjadi
sebab infark miokard pada minggu pertama sampai kedua atau antara minggu ke 4 dan ke
8. Pemeriksaan serologis dan adanya eosinofilia membantu penegakan diagnosa. Biopsi
otot biasanya dilakukan pada hari ke 10 setelah infeksi biasanya memberikan hasil positif
pada minggu ke 4 dan ke 5 setela infeksi. Hasil biopsi positif jika pada pemeriksaan
ditemukan kista cacing yang belum mengalami kolsifikasi.
2. Pemicu Penyakit: - Trichinella spiralis, termasuk nematoda usus. Klasifikasi
taksonomi berbeda diberikan kepada isolat yang dijumpai dberbagai belahan dunia
misalnya yang ditemukan di kutub utara (T. nativa), di daerah Palaearctic T. britovi), di
Afrika (T. nelsoni) dan di berbagai wilayah lain (T. pseudospirialis).
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dengan insidensi yang bervariasi. Insidensi penyakit
yang bervariasi dipengaruhi oleh antara lain kebiasaan warga menyiapkan dan
mengkonsumsi daging babi atau daging hewan liar lainnya dan tergantung kepada sistem
531
pencatatan dan pelaporan serta sistem pelayanan kesehatan setempat. Kasus biasanya
tersebar secara sporadis dan kalau terjadi KLB biasanya pada wilayah terbatas. KLB
biasanya terjadi sebagai akibat mengkonsumsi sosis atau produk lain yang mengandung
daging babi atau daging mamalia yang berasal dari kutub utara. Beberapa KLB yang
pernah dilaporkan terjadi di Itali dan Perancis disebabkan oleh daging kuda yang
terinfeksi.
4. Reservoir
Babi, kucing, kuda, tikus dan binatang liar lainnya seperti serigala, beruang kutub dan
mamalia laut di kutub utara serta singa dan macan kumbang di daerah tropis.
5. Cara Penularan
Penularan terjadi sebab makan daging mentah atau tidak dimasak dengan sempurna yang
mengandung larva, terutama daging babi, produk daging babi serta produk daging sapi
seperti hamburger yang sengaja atau tidak sengaja dicampur dengan daging babi mentah.
Didalam epitel usus halus, larva berkembang menjadi dewasa. Cacing betina yang gravid
kemudian mengeluarkan larva yang menembus saluran limfe atau venule dan
disebarluaskan melalui aliran darah keseluruh tubuh. Larva membentuk kapsul di dalam
sendi-sendi tulang.
6. Masa Inkubasi
Gejala sistemik biasanya muncul sekitar 8-15 hari setelah memakan daging yang infektif;
masa inkubasi biasanya bervariasi antara 5 dan 45 hari tergantung pada jumlah parasit
yang ada. Gejala pada saluran pencernaan dapat timbul dalam beberapa hari.
7. Masa Penularan
Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Hospes hewan tetap infektif selama
beberapa bulan, dan daging dari hewan-hewan ini tetap infektif selama daging
ini tidak dimasak, dibekukan atau diradiasi untuk membunuh larva.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Infeksi dapat menimbulkan imunitas parsial.
9. Cara – cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada warga tentang cara-cara penularan penyakit ini.
Dan beri penjelasan tentang perlunya memasak daging babi atau produk daging
babi dan daging hewan liar sebelum dikonsumsi, pada suhu yang tepat dan dengan
cara yang tepat. Pada waktu dimasak hendaknya seluruh bagian daging bisa
mencapai suhu 710C (1600F), daging akan terlihat dari berwarna merah jambu
menjadi abu-abu. Pada suhu ini larva cacing akan mati. Tindakan ini harus
dilakukan kecuali telah diketahui dengan pasti bahwa daging atau produk daging
yang akan dikonsumsi telah diolah dengan benar baik dengan pemanasan yang
tepat, dibekukan atau di iradiasi untuk membunuh trichinae.
532
2) Gilinglah daging babi dengan memakai penggilingan ter[pisah. Jika gilingan
yang dipakai untuk menggiling daging babai akan digunakan untuk menggiling
daging lain, bersihkan penggilingan ini dengan seksama.
3) Terapkan peraturan dengan ketat yang mewajibkan agar semua produk daging babi
agar diradiasi pada saat proses pengolahannya.
Lakukan uji dengan teknik digesti terhadap bangkai binatang untuk mengetahui
ada tidaknya infeksi. Lakukan tes imunodiagnosis terhadap ternak babi dengan tes
Elisa yang sudah diakui.
4) Terapkan peraturan dengan ketat terhadap produk yang memakai daging babi
mentah yang penampilannya seperti sudah dimasak; hanya daging yang bebas
trichinae yang boleh digunakan. Peraturan ini juga diterapkan dengan ketat
terhadap produk yang secara tradisional tidak dilakukan pemanasan yang cukup
pada tahap akhir proses untuk membunuh trichinae.
5) Buat peraturan yang mewajibkan agar sisa-sisa makanan atau sampah dan sisa-sisa
hewan potong dimasak terlebih dahulu sebelum diberikan untuk makanan babi.
6) Beri penyuluhan kepada para pemburu agar memasak daging buruan mereka
sebelum dikonsumsi (daging buruan seperti daging singa laut, anjing laut, babi
hutan, beruang dan binatang luas lainnya).
7) Pembekuan yang dilakukan terhadap tumpukan daging pada suhu tertentu cukup
efektif untuk membunuh trichinae. Misalnya daging dengan ketebalan 15 cm
disimpan pada suhu –150C (50F) sebelum 30 hari atau pada suhu –250C (-130F)
atau pada suhu lebih rendah lagi selama 10 hari akan membunuh seluruh bentuk
kista trichinae. Daging yang lebih tebal hendaknya disimpan pada suhu yang lebih
rendah paling sedikit selama 20 hari. Suhu serendah ini tidak mempan terhadap
strain kutub utara yang tahan terhadap suhu dingin yaitu T. nativa yang ditemukan
didalam daging singa laut dan beruang, jarang ditemukan pada daging babi.
8) Radiasi sinar gamma pada dosis rendah yang dilakukkan terhadap daging babi dan
bangkai binatang cukup efektif untuk mensterilkan dan dosis yang lebih tinggi
dapat membunuh kista larva trichinae.
B. Pengawasan Penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada Instansi Kesehatan setempat: Kasus wajib dilaporkan hampir di
seluruh negara bagian di AS dan di kebanyakan negara di dunia, kelas 2B (lihat
tentang Pelaporan Penyakit Menular).
2) Isolasi: Tidak dilakukan
3) Disinfektasi: Tidak dilakukan
4) Karantina: Tidak dilakukan
5) Imunisasi kontak: Tidak ada
6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi: Periksa seluruh anggota
keluarga lainnya dan orang-orang yang telah menyantap daging yang diduga
sebagai sumber infeksi. Sita semua sisa makanan yang dicurigai ini .
7) Pengobatan spesifik: Pengobatan dengan albendazole (Zentel® atau mebendazole
(Vermox®) efektif pada stadium intestinal dan pada stadium parasit ada diotot.
Pemberian kortikosteroid ditujukan hanya bagi penderita berat untuk mengurangi
gejala inflamasi apabila jantung dan SSP yang terserang; Namun pemberian
kortikosteroid ini akan menunda eliminasi cacing dewasa dari perut.
533
Pada situasi yang sangat jarang dimana orang tahu bahwa mereka telah
mengkonsumsi daging yang terinfeksi maka pemberian obat cacing segera akan
mencegah timbulnya gejala klinis.
C. Penanggulangan Wabah: Jika terjadi KLB, lakukan investigasi epidemiologis apabila
telah terjadi penularan dengan pola “Common source”. Musnahkan semua sisa
makanan yang tercemar dan lakukan koreksi terhadap praktek-praktek yng tidak benar.
Basmi seluruh kawanan ternak babi yang tercemar.
D. Implikasi bencana: Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-Pusat Kerja sama WHO.
TRICHOMONIASIS ICD-9 131; ICD-10 A59
1. Identifikasi
Penyakit protozoa persisten yang umum menyerang saluran urogenital pada wanita
ditandai dengan timbulnya vaginitis dengan bercak-bercak berwarna merah seperti
“strawberry”, disertai dengan discharge berwarna hijau dan berbau. Penyakit ini dapat
menimbulkan uretritis atau cystitis dan umumnya tanpa geja; dapat memicu terjadi
komplikasi obstetrik dan dapat memfasilitasi terjadinya infeksi HIV.
Infeksi pada pria biaanya menyerang kelenjar prostate, uretra, vesikula seminalis,
menimbulkan gejala ringan namun dapat memicu terjadinya uretritis non gonokokal
pada sekitar 5 –10% dari penderita.
Biasanya trichomoniasis berdampingan dengan gonorrhea; pada suatu studi ditemukan
sekitar 40%. Oleh sebab itu jika ditemukan trichomoniasis maka perlu dilakukan
penilaian menyeluruh terhadap semua patogen Pemicu “STD” (“STD Check”).
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya parasit yang bergerak pada pemeriksaan
mikroskopis atau dari kultur discharge. Parasit juga dapat dilihat dengan pengecatan pap.
2. Pemicu Infeksi: Trichomonas vaginalis, protozoa dengan flagella.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar luas; penyakit yang sering terjadi hampir di seluruh benua dan menyerang semua
ras bangsa, terutama menyerang orang dewasa dengan insidensi yang tinggi pada wanita
usia 16 – 35 tahun. Secara keseluruhan sekitar 20% wanita terkena infeksi pada masa usia
subur.
4. Reservoir: Manusia
5. Cara-cara Penularan:
Melalui kontak dengan vagina dan discharge uretra dari penderita pada waktu senggama.
534
6. Masa Inkubasi
Dari 4 sampai 20 hari, rata-rata 7 hari; kebanyakan yaitu berupa karier tanpa gejala
selama bertahun - tahun.
7. Masa Penularan: Penderita tetap menular selama adanya infeksi yang persisten, dapat
berlangsung bertahun - tahun.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi dan infeksi yang menimbulkan gejala klinis
umumnya terjadi pada wanita.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Upaya pencegahan
Beri penyuluhan kepada warga agar segera memeriksakan diri ke fasilitas
kesehatan apabila mengalami kelainan berupa keluarnya discharge yang berlebihan
dari alat kelamin mereka. Jangan melakukan hubungan seksual sebelum dilakukan
pemeriksaan yang tuntas. Ajarkan warga tentang perilaku seksual yang aman.
Anjurkan pengunaan kondom bagi mereka yang suka berganti ganti pasangan.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat: Laporan resmi tidak diperlukan,
Kelas 5.
2) Isolasi: Tidak ada. Hindari hubungan seks selama masa penularan dan selama
dilakukan pengobatan
3) Disinfeksi: Tidak ada. Organisme tidak dapat bertahan hidup dalam keadaan
kering
4) Karantina: Tidak dilakukan
5) Imunisasi kontak: Tidak ada
6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi: Pasangan seks harus diperiksa
untuk menemukan STD lainnya dan harus diobati.
7) Pengobatan spesifik: Metronidazole (Flagyl®), tinidazole (Fasigyn®) atau
ornidazole (Tiberal®) oral efektif digunakan baik pada pasien pria maupun wanita;
obat ini kontra indikasi jika diberikan selama trimester pertama kehamilan. Dapat
juga diberikan Clotrimazole, obat ini dapat menyembuhkan penderita sampai 50%,
dan mengurangi gejala klinis. Pada saat yang sama pasangan seksual penderita
hendaknya juga diberi pengobatan.
Telah dilaporkan adanya penderita yang resisten terhadap metronidazole. Untuk
penderita yang resisten terhadap metronidazole diobati dengan paromomycin,
intravaginal.
C. Penanggulangan Wabah/KLB: Tidak ada
D. Implikasi bencana: Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
535
TRICHURIASIS ICD-9 127.3; ICD-10 B79
(Trichocephaliasis, penyakit cacing cambuk)
1. Identifikasi
Infeksi nematoda pada usus besar dan biasanya asimptomatis. Infeksi berat dapat
memicu kotoran berisi darah dan lendir, serta disertai diare. Prolaps rektal
“Clubbing fingers”, hipoproteinemia, anemia dan gangguan pertumbuhan dapat terjadi
pada anak-anak dengan infeksi berat.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur cacing pada tinja atau dengan
sigmoidoskopi terlihat cacing menempel pada bagian bawah colon pada infeksi berat.
Telur cacing ini harus dibedakan dengan telur cacing Capillaria.
2. Pemicu Penyakit
Trichuris trichiura (Trichocephalus trichiurus), termasuk nematoda; cacing cambuk pada
manusia.
3. Distribusi penyakit: Tersebar diseluruh dunia, terutama didaerah panas dan lembab.
4. Reservoir: Manusia yaitu sebagai reservoir, sedang cacing cambuk hewan tidak
infektif terhadap manusia
5. Cara Penularan
Cara penularan yaitu tidak langsung, terutama sebab kebiasaan menggigit/menjilat
benda-benda yang terkontaminasi atau sebab mengkonsumsi sayuran yang
terkontaminasi : Trichiuriasis tidak langsung ditularkan dari orang ke orang. Telur yang
keluar melalui tinja untuk menjadi infektif membutuhkan waktu paling sedikit 10 – 14
hari di tanah yang hangat dan lembab. Setelah telur tertelan, telur menetas dan larva
menempel pada mukosa dari cecum dan colon proximal dan berkembang menjadi cacing
dewasa. Telur cacing ditemukan dalam tinja setelah 70 – 90 hari sejak menelan telur