Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 22. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 22. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 22


 rio akan keluar dari telur, kemudian 

menembus dinding usus menuju ke saluran limfe dan pembuluh darah selanjutnya dibawa 

keberbagai jaringan dan kemudian berkembang menjadi cysticercosis.  

 

 510

6. Masa inkubasi 

Gejala dari penyakit cysticercosis biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 

tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi. Telur cacing akan tampak pada kotoran 

orang yang terinfeksi oleh Taenia solium dewasa antara 8 – 12 minggu setelah orang yang 

bersangkutan terinfeksi, dan untuk Taenia saginata telur akan terlihat pada tinja antara 10-

14 minggu setelah seseorang terinfeksi oleh Taenia saginata dewasa. 

 

7. Masa penularan 

Taenia saginata tidak secara langsung ditularkan dari orang ke orang, akan namun  untuk 

Taenia solium dimungkinkan ditularkan secara langsung. Telur dari kedua spesies cacing 

ini dapat menyebar ke lingkungan selama cacing ini  masih ada di dalam saluran 

pencernaan, kadang-kadang dapat berlangsung lebih dari 30 tahun; telur cacing ini  

dapat hidup dan bertahan di lingkungan selama beberapa bulan. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

Umumnya setiap orang rentan atau berisiko terhadap infeksi penyakit ini. Setelah infeksi 

tidak terbentuk kekebalan terhadap cacing ini, akan namun  jarang di laporkan ada orang 

yang mengandung lebih dari satu jenis cacing pita dalam tubuhnya. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara pencegahan 

Meningkatkan pengetahuan warga  melalui penyuluhan kesehatan untuk  

mencegah terjadinya pencemaran/kontaminasi tinja terhadap tanah, air, makanan dan 

pakan ternak dengan cara mencegah penggunaan air limbah untuk irigasi; anjurkan 

untuk memasak daging sapi atau daging babi secara sempurna. 

Lakukan diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita. Lakukan kewaspadaan 

enterik pada institusi dimana penghuninya diketahui ada menderita infeksi T. solium 

untuk mencegah terjadinya cysticercosis. Telur Taenia solium sudah infektif segera 

setelah keluar melalui tinja penderita dan dapat memicu  penyakit yang berat 

pada manusia. Perlu dilakukan tindakan tepat untuk mencegah reinfeksi dan untuk 

mencegah penularan kepada kontak. 

Daging sapi atau daging babi yang dibekukan pada suhu di bawah minus 5oC (23oF) 

selama lebih dari 4 hari dapat membunuh cysticerci. Radiasi dengan kekuatan 1 kGy 

sangat efektif. 

Pengawasan terhadap bangkai sapi atau bangkai babi hanya dapat mendeteksi 

sebagian dari bangkai yang terinfeksi; untuk dapat mencegah penularan harus 

dilakukan tindakan secara tegas untuk Membuang bangkai ini  dengan cara yang 

aman, melakukan iradiasi atau memproses daging ini  untuk dijadikan produk 

yang masak. 

Jauhkan ternak babi kontak dengan jamban dan kotoran manusia. 

 

B. Pengawasan terhadap penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya. 

1) Laporan ke dinas Kesehatan setempat: Dilaporkan secara selektif, kelas 3C (lihat 

tentang laporan penyakit menular). 

2) Isolasi: Tidak dianjurkan. Kotoran orang yang terinfeksi Taenia solium yang tidak 

diobati dengan baik dapat menular. 

 

 511

3) Disinfeksi serentak: Buanglah kotoran manusia pada jamban saniter; budayakan 

perilaku hidup bersih dan sehat secara ketat seperti membiasakan cuci tangan 

sebelum makan dan sesudah buang air besar khsususnya untuk mencegah infeksi 

cacing Taenia solium. 

4) Karantina: Tidak di lakukan 

5) Immunisasi terhadap kontak: Tidak ada. 

6) Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Lakukan evaluasi 

terhadap kontak yang menunjukkan gejala. 

7) Pengobatan spesifik: Praziquantel (Biltricide®) efektif untuk pengobatan T. 

saginata dan Taenia solium. Niclosamide (Niclocide®, Yomesan®) saat ini sebagai 

obat pilihan kedua kurang cukup tersedia secara luas dipasaran. Untuk 

cysticercosis tindakan operasi (bedah) dapat menghilangkan sebagian dari gejala 

penyakit ini . Pasien dengan cysticercosis SSP harus diobati dengan 

praziquantel atau dengan albendazole di rumah sakit dengan pengawasan ketat; 

biasanya diberikan kortikosteroid untuk mencegah oedem otak pada penderita 

cysticerci. 

 

C. Penanggulangan wabah: Tidak ada 

D. Implikasi untuk menjadi bencana: Tidak ada 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada 

 

 

 

PENYAKIT TAENIASIS ASIA 

 

Taeniasis Asia ini disebabkan oleh cacing pita yangserupa dengan T. saginata. Infeksi cacing 

ini dilaporkan terjadi di Filipina, Korea, Taiwan, Indonesia dan Thailand. Infeksi terjadi 

sebab  kebiasaan mengkonsumsi hati dan jeroan babi yang tidak dimasak dengan sempurna. 

Pada percobaan di laboratorium cacing ini hanya menimbulkan cysticerci pada hati dari babi, 

sapi, kambing an monyet. 

Jenis cacing ini berbeda secara genetis satu sama lain dan digolong-golongkan kedalam 

spesies dan subspesies yang berbeda. 

 

 

TETANUS       ICD–9 037; ICD-10 A35 

(Lockjaw) 

(Tetanus obstetrik : ICD – 10 A34) 

 

1. Identifikasi 

Tetanus yaitu   penyakit akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang dikeluarkan oleh 

basil tetanus yang hidup secara anaerobic pada luka. Ciri khas dari tetanus yaitu   adanya 

kontraksi otot disertai rasa sakit, terutama otot leher kemudian diikuti dengan otot-otot 

seluruh badan. Gejala pertama yang muncul yang mengarahkan kita untuk memikirkan 

tetanus pada anak usia lebih tua dan orang dewasa yaitu   jika ditemukan adanya kaku otot 

pada abdomen. 

 

 512

Walaupun kaku otot abdomen bisa disebabkan oleh trauma pada daerah ini . Kejang 

seluruh tubuh dapat terjadi akibat rangsangan. Posisi yang khas pada penderita tetanus 

yang mengalami kejang yaitu   terjadinya opisthotonus dan ekspresi wajah yang disebut 

dengan “risus sardonicus”. 

Kadang-kadang riwayat adanya trauma atau riwayat port d’entre tidak diketahui dengan 

jelas pada penderita tetanus. CFR berkisar 10%-90%, paling tinggi pada bayi 

dibandingkan dengan pada penderita yang lebih dewasa. CFR juga bervariasi dan 

berbanding terbalik dengan masa inkubasi, tersedianya fasilitas perawatan intensif dan 

tenaga medis yang berpengalaman dalam perawatan intensif. 

Upaya untuk menemukan hasil tetanus melalui pemeriksaan laboratorium biasanya kurang 

berhasil. Basil jarang dapat ditemukan dari luka dan antibodi jarang terdeteksi. 

 

2. Pemicu  Infeksi: Clostridium tetani, basil tetanus. 

 

3. Distribusi penyakit 

Tersebar diseluruh dunia, sporadis dan relatif jarang terjadi di AS dan negara-negara 

industri. Selama periode 1995-1997, terdapat 124 kasus yang dilaporkan dari 33 negara 

bagian di AS, 60 % diantaranya terjadi pada usia 20-59 tahun; 35 % pada usia di atas 60 

tahun, dan 5 % pada usia 20 tahun. Angka CFR meningkat sebesar 2,3 % pada mereka 

yang berumur 20-39 tahun dan 18 % pada mereka yang berumur di atas 60 tahun. 

Tetanus yang terjadi dikalangan pecandu Napza suntik berkisar antara 11 % dari 124 

kasus tetanus dibandingkan dengan 3,6 % yang terjadi selama tahun 1991 -1994. 

Rata-rata setiap tahun penderita yang di laporkan ke CDC Atlanta sebanyak 50 kasus. 

Tetanus pada umumnya terjadi didaerah pertanian dan daerah yang masih terbelakang, 

dimana orang lebih sering kontak dengan kotoran hewan dan program imunisasi tidak 

adekuat. Pemicu  utama kematian bayi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, terutama di 

daerah pedesaan dan daerah tropis disebabkan oleh tetanus neonatorum (lihat dibawah). 

Pemakaian obat-obatan terlarang oleh para pecandu, terutama yang di gunakan melalui 

suntikan baik intramuskuler atau subkutan, dapat menimbulkan kasus individual dan 

KLB terbatas. 

 

4. Reservoir 

Reservoir dari basil tetanus yaitu   usus kuda dan hewan lainnya termasuk manusia 

dimana kuman ini  berbahaya bagi hospes dan merupakan flora normal dalam usus; 

tanah atau benda-benda yang dapat terkontaminasi dengan tinja hewan atau manusia dapat 

juga berperan sebagai reservoir. Spora tetanus dapat ditemukan dimana-mana dan tersebar 

di lingkungan sekitar kita dan dapat mengkontaminasi berbagai jenis luka. 

 

5. Cara Penularan 

Spora tetanus masuk kedalam tubuh biasanya melalui luka tusuk yang tercemar dengan 

tanah, debu jalanan atau tinja hewan dan manusia, spora dapat juga masuk melalui luka 

bakar atau luka lain yang sepele atau tidak di hiraukan, atau juga dapat melalui injeksi dari 

jarum suntik yang tercemar yang dilakukan oleh penyuntik liar. Tetanus kadang kala 

sebagai kejadian ikutan pasca pembedahan termasuk setelah sirkumsisi. 

Adanya jaringan nekrotik atau benda asing dalam tubuh manusia mempermudah 

pertumbuhan bakteri anaerobik.  

 

 513

Tetanus yang terjadi setelah terjadi luka, biasanya penderita pada waktu mengalami luka 

menganggap lukanya tidak perlu dibawa ke dokter. 

 

6. Masa Inkubasi 

Biasanya 3-21 hari, walaupun rentang waktu bisa 1 hari sampai beberapa bulan, hal ini 

tergantung pada ciri, kedalaman dan letak luka, rata-rata masa inkubasi yaitu   10 hari. 

Kebanyakan kasus terjadi dalam waktu 14 hari. Pada umumnya makin pendek masa 

inkubasi biasanya sebab  luka terkontaminsi berat, akibatnya makin berat penyakitnya dan 

makin jelek prognosisnya. 

 

7. Masa Penularan: Tidak ada penularan langsung dari manusia kepada manusia. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

Semua orang rentan terhadap tetanus. Pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid 

(TT) dapat menimbulkan kekebalan yang dapat bertahan paling sedikit selama 10 tahun 

setelah pemberian imunisasi lengkap. Kekebalan pasif sementara didapat setelah 

pemberian Tetanus Immunoglobin (TIG) atau setelah pemberian tetanus antitoxin (serum 

kuda) 

Bayi yang lahir dari ibu yang telah mendapatkan imunisasi TT lengkap terhindar dari 

tetanus neonatorum. Setelah sembuh dari tetanus tidak timbul kekebalan, orang ini  

dapat terserang untuk kedua kalinya, oleh sebab  itu segera setalah sembuh dari tetanus 

orang ini  segera diberikan imunisasi TT dasar.  

 

9. Cara-cara pemberantasan  

A. Cara-cara pencegahan 

1) Beri penyuluhan kepada mesyarakat tentang manfaat pemberian imunisasi TT 

lengkap. Berikan juga penjelasan tentang bahayanya luka tertutup terhadap 

kemungkinan terkena tetanus dan perlunya pemberian profilaksi aktif maupun 

pasif setelah mendapatkan luka. 

2) Berikan imunisasi aktif dengan TT kepada anggota warga  yang dapat 

memberikan perlindungan paling sedikit 10 tahun. Setelah seri imunisasi dasar 

diberikan selang beberapa lama dapat diberikan dosis booster sekali, dosis booster 

ini dapat menaikkan titer antibodi cukup tinggi, Tetanus Toxoid biasanya diberikan 

bersama-sama Diphtheria toxoid dan vaksin pertussis dalam kombinasi vaksin 

(DPT atau DaPT) atau dalam bentuk DT untuk anak usia dibawah 7 tahun dimana 

pemberian vaksin pertussis merupakan kontraindikasi atau dalam bentuk Td untuk 

orang dewasa. 

Untuk anak usia 7 tahun keatas di AS tersedia preparat vaksin yang didalamnya 

berisi Haemophylus influenzae “type b conjugate” (DPT – Hib), begitu juga Hib 

dikombinasi dengan preparat yang berisi pertussis aseluler (DaPT). Di beberapa 

negara ada juga vaksin DPT, DT dan T yang dikombinasikan dengan vaksin polio 

inaktif. Dinegara dimana program imunisasinya kurang baik semua wanita hamil 

harus diberikan 2 dosis TT, vaksin TT non adsorbed (“plain”) imunogenisitasnya 

kurang dibandingkan dengan yang adsorbed baik pada pemberian imunisasi dasar 

maupun pada pemberian booster. Reaksi lokal setelah pemberian TT sering terjadi 

namun ringan.  

 

 514

Reaksi lokal dan sistemik yang berat jarang terjadi, terutama setelah pemberian TT 

yang berulang kali.  

a) Jadwal imunisasi TT yang dianjurkan sama dengan jadwal pemberian vaksin 

difteri (lihat Difteria, 9A). 

b) Walaupun TT dianjurkan untuk diberikan kepada seluruh anggota warga  

tanpa memandang usia; namun penting sekali untuk diberikan kepada para 

pekerja atau orang dengan risiko tinggi seperti mereka yang kontak dengan 

tanah, air limbah dan kotoran hewan; anggota militer; polisi dan mereka yang 

rentan terhadap trauma; dan kelompok lain yang memiliki  risiko tinggi kena 

tetanus. 

TT perlu diberikan kepada WUS dan ibu hamil untuk melindungi bayinya 

terkena tetanus neonatorum. 

c) Perlindungan aktif perlu dipertahankan dengan pemberian dosis booster Td 

setiap 10 tahun sekali. 

d) Anak-anak dan orang dewasa yang menderita HIV/AIDS atau yang 

memiliki  sistem kekebalan rendah, jadwal pemberian imunisasi TT sama 

dengan jadwal pemberian untuk orang normal walaupun dengan risiko reaksi 

immunitasnya suboptimal. 

3). Tindakan pencegahan pada perawatan luka : 

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tetanus pada pederita luka 

sangat tergantung pada penilaian terhadap keadaan luka itu sendiri dan status 

imunisasi penderita. 

Penilaian harus dilakukan dengan hati-hati apakah luka itu bersih atau kotor, 

apakah penderita pernah mendapatkan imunisasi TT ataukah pernah mendapatkan 

TIG (Tetanus Immune Globulin) sebelumnya (lihat table dibawah). Bersihkan luka 

sebagaimana mestinya, bila diperlukan lakukan debridement luka dan berikan 

antibiotika yang tepat. 

a). Bagi mereka yang sudah pernah mendapat imunisasi TT lengkap dan hanya 

menderita luka ringan dan tidak terkontaminasi, dosis booster TT diberikan 

jika imunisasi TT terakhir yang diberikan sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. 

Untuk luka yang luas dan kotor, berikan dosis tunggal booster tetanus toxoid 

(sebaiknya Td) pada hari itu juga, dengan catatan penderita tidak pernah 

mendapatkan suntikan TT selama lima tahun terakhir. 

b). Bagi orang yang belum mendapatkan imunisasi dasar TT secara lengkap, pada 

saat mengalami luka berikan dosis tunggal TT segera. TIG diberikan selain TT 

jika luka yang dialami cukup luas dan terkontaminasi dengan tanah dan 

kotoran hewan. Mengenai jenis tetanus toxoid yang dipakai seperti telah 

dijelaskan sebelumnya tergantung pada usia dan status imunisasi penderita, 

yang tujuannya yaitu   sekaligus melengkapi dosis imunisasi dasar dari 

penderita. Vaksin dapat berupa DaPT, DPT, DT atau Td. 

 

Imunisasi pasif diberikan berupa TIG sebanyak 250 1U (Catatan: IU = 

International Unit). Jika TIG tidak ada dapat diberikan antitoksin yang berasal dari 

serum binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU. Indikasi pemberian imunisasi pasif 

yaitu   jika lukanya kotor dan luas/dalam dan riwayat imunisasinya tidak 

jelas/tidak pernah diimunisasi atau imunisasi dasarnya tidak lengkap. 

 

 515

Jika TT dan TIG harus diberikan pada saat yang sama gunakanlah jarum suntik 

dan semprit yang berbeda, suntikan ditempat yang berbeda. 

Jika antitoksin yang berasal dari serum binatang (ATS) yang dipakai lakukan 

terlebih dulu Skin test untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis. 

Skin test dilakukan dengan menyuntikkan antitoksin yang telah diencerkan dengan 

garam fisiologis dengan perbandingan 1 : 100, sebanyak 0,02 cc intrakutan. Pada 

saat yang bersamaan siapkan alat suntik yang telah diisi dengan adrenaline. 

Skin test dengan larutan yang lebih encer (1 : 1000) dilakukan terhadap penderita 

yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan suntikan antitoksin dari serum 

binatang. Sebagai kontrol ditempat lain disuntikkan garam fisiologis intrakutan. 

Jika setelah 15 – 30 menit setelah suntikan timbul benjolan dikulit yang dikelilingi 

oleh warna kemerahan berupa eritema dengan ukuran 3 mm atau lebih 

dibandingkan dengan kontrol maka lakukan desensitisasi terhadap penderita. 

Pemberian penisilin selama 7 hari dapat membentuk C. Tetani didalam luka 

namun hal ini tidak mengurangi upaya pengobatan yang tepat dari luka, bersama-

sama dengan pemberian imunisasi yang tepat. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan terdekat. 

1). Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: di AS, tetanus wajib dilaporkan diseluruh 

negara bagian dan juga di banyak negara, kategori 2B (lihat pelaporan Penyakit 

Menular). 

2). Tindakan isolasi: Tidak ada 

3). Tindakan disinfeksi segera: Tidak ada 

4). Tindakan karantina: Tidak ada 

5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada 

6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Lakukan investigasi kasus untuk 

mengetahui derajat dan asal luka. 

7). Pengobatan spesifik : TIG IM dengan dosis 3.000 – 6.000 I.U. Jika TIG tidak 

tersedia, berikan anti toxin tetanus (dari serum kuda) dengan dosis tunggal 

intravena setelah dilakukan uji terhadap hipersensitivitas; metronidazole intravena 

dalam dosis besar diberikan untuk jangka waktu 7 -14 hari. Luka dibersihkan dan 

dilakukan debridement yang luas dan bila memungkinkan dilakukan eksisi luka. 

Debridement pada potongan tali pusat neonatus tidak dilakukan. 

Pertahankan aliran udara yang cukup pada jalan nafas dan bila diperlukan dapat 

diberkan obat penenang. Berikan obat muscle relaxant,  bersamaan dengan itu 

lakukan tracheostomy atau lakukan intubasi nasotrakeal. 

Pemberian nafas buatan secara mekanis membantu menyelamatkan nyawa 

penderita. Imunisasi aktif dapat diberikan bersamaan dengan pengobatan dan 

tindakan lain.   

 

C. Penanggulangan Wabah 

Walaupun sangat jarang, jika terjadi KLB, lakukan penyelidikan terhadap 

kemungkinan terjadinya kontaminasi pada penggunaan obat-obat terlarang dengan 

suntikan. 

 

 

 516

D. Dampak bencana 

Kerusuhan sosial (konflik militer, huru hara) dan bencana alam (banjir, badai, gempa 

bumi) yang mengakibatkan banyak orang yang luka pada populasi yang tidak pernah 

mendapatkan imunisasi sehingga pada keadaan ini ada peningkatan kebutuhan TIG 

atau anti toxin tetanus atau toxoid untuk mengobati penderita yang mengalami luka 

luka.  

 

E. Tindakan lebih lanjut  

Imunisasi TT dianjurkan untuk diberikan kepada wisatawan manca negara. 

 

 

TETANUS NEONATORUM    ICD. 9.771.3; ICD-10 A 33 

 

 

Tetanus neonatorum merupakan masalah kesehatan warga  yang serius disebagian besar 

negara bekembang dimana cakupan pelayanan kesehatan antenatal dan imunisasi TT kepada 

ibu hamil masih rendah. Selama lima tahun terakhir insidens tetanus neonatorum di negara-

negara berkembang menurun dengan drastis sebab  pemberian imunisasi TT kepada ibu hamil 

walaupun telah terjadi penurunan drastis namun WHO masih mencatat sekitar 500.000 

kematian tetanus neonatorum terjadi setiap tahun di negara-negara berkembang. 

Sebagian besar bayi yang terkena tetanus biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah 

mendapatkan imunisasi TT dan ditolong oleh dukun beranak diluar rumah sakit. Penyakit 

tetanus muncul biasanya disebabkan oleh masuknya spora tetanus melalui puntung tali pusat 

yang dipotong dengan alat yang tidak steril pada waktu bayi lahir atau spora masuk melalu 

puntung tali pusat sebab  dibalut dengan pembalut yang tidak steril atau sebab  diberi ramu-

ramuan yang terkontaminasi oleh spora tetanus. Di negera berkembang tali pusat sering 

dipotong dengan pisau dapur atau sembilu dan pemberian ramu-ramuan seperti kunyit dan 

abu dapur sering merupakan bagian dari ritual pada warga  tertentu ditujukan untuk bayi 

yang baru lahir. Gejala utama pada tetanus neonatorum yaitu   bayi tidak bisa minum susu. 

Ciri khas tetanus neonatorum yaitu   pada mulanya beberapa hari setelah lahir bayi menangis 

keras dan mengisap susu dengan kuat, namun beberapa hari kemudian tidak bisa mengisap 

susu lagi sebab  trismus, kaku otot dan kejang seluruh tubuh, risus sardonicus (mulut mecucu 

seperti mulut ikan), opisthotonus. 

Masa inkubasi rata-rata 6 hari dengan rentang dari 3 – 28 hari. Secara keseluruhan CFR 

tetanus neonatorum sangat tinggi, diatas 80% untuk masa inkubasi yang pendek. 

Untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu 

: meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan antenatal dengan pemberian imunisasi TT 

kepada wanita usia subur (WUS) termasuk kepada ibu hamil dan meningkatkan cakupan 

pertolongan persalinan yang dilakukan tenaga profesional. 

Upaya pencegahan yang paling penting untuk dilakukan yaitu   perizinan dan pengawasan 

terhadap bidan praktek. Lakukan supervisi yang ketat terhadap peralatan yang dipakai untuk 

pertolongan persalinan dan teknik asepsis dalam melakukan pertolongan persalinan. Lakukan 

pendidikan dan pelatihan berkelanjutan kepada para bidan tentang pertolongan persalinan 

yang benar. Berikan juga penyuluhan kepada para ibu rumah tangga, anggota keluarga dan 

mereka yang merawat tali pusat tentang teknik asepsis dalam merawat puntung tali pusat. 

 

 

 517

Penyuluhan ini sangat penting dilakukan dinegara berkembang sebab  praktek penggunaan 

sembilu untuk memotong tali pusat dilakukan sangat luas, begitu juga praktek pemberian abu 

dapur, ramuan tumbuh-tumbuhan bahkan pemakaian tahi sapi untuk ditaruh pada puntung tali 

pusat merupakan tradisi yang dilakukan oleh sebagian warga  di negara berkembang. 

Oleh sebab  itu setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu 

ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum 

mendapatkan imunisasiTT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai 

berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan 

atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah 

dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 – 12 bulan setelah dosis kedua ata setiap saat 

pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun 

dapat diberikan pada saat WUS ini  kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau 

diberikan pada saat kehamilan berikutnya. 

Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS 

yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 – 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak, 

cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi perlindungan 

terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan. 

Ringkasan Pedoman Profilaksi Terhadap Tetanus 

Pada Perawatan Luka Rutin1)

Riwayat Imunisasi  

Tetanus ( dosis ) 

Luka kecil dan bersih Luka jenis lain 

 

  

   Td2)                    TIG    Td2)                         TIG 

Tak jelas atau < 3 dosis    Ya                    Tidak     Ya               Tidak 

3 dosis atau lebih    Tidak3 )             Tidak     Tidak4)        Tidak 

 

1) Penjelasan rinci ada dalam teks. 

2) Untuk anak kurang dari 7 tahun, berikan DaPT atau DPT (DT, jika vaksin pertusis 

merupakan kontra indikasi. Untuk anak umur 7 tahun keatas, dianjurkan untuk 

memberikan Td daripada tetanus toxoid saja. 

3) Ya, jika dosis terakhir yang diberikan sudah 10 tahun lebih. 

4) Ya, jika dosis terakhir sudah 5 tahun atau lebih (pemberian dosis booster tidak perlu 

sebab  dapat menimbulkan efek samping). 

 

 

 

 

TOXOCARIASIS      ICD-9 128.0; ICD-10 B83.0 

(Visceral larva migrans, Larva migrans visceralis, Ocular larva migrans, Infeksi Toxocara 

[Canis] [Cati]) 

 

 

1. Identifikasi 

Infeksi kronis biasanya ringan terutama menyerang anak-anak, yang belakangan ini 

cenderung juga menyerang orang dewasa, disebabkan oleh migrasi larva dari Toxocara 

dalam organ atau jaringan tubuh.  

 

 518

Gejala klinis ditandai dengan eosinofilia yang lamanya bervariasi, hepatomegali, 

hiperalbuminemia, gejala paru dan demam. 

Serangan akut dan berat dapat terjadi, dalam keadaan ini lekosit dapat mencapai 

100,000/mm3  atau lebih (dengan unit SI lebih dari 100 x109/l), dengan 50 – 90% terdiri 

dari eosinofil. Gejala klinis bisa berlangsung sampai satu tahun atau lebih. Bisa timbul 

gejala pneumonitis, sakit perut kronis, ruam seluruh tubuh dan bisa juga timbul gejala 

neurologis sebab  terjadi kelainan fokal. Bisa juga tejadi endoftalmitis oleh sebab  larva 

masuk ke dalam bola mata, hal ini biasanya terjadi pada anak yang agak besar, berakibat 

turunnya visus pada mata yang terkena. Kelainan yang terjadi pada retina harus dibedakan 

dengan retinoblastoma atau adanya massa lain pada retina. Penyakit ini biasanya tidak 

fatal. Pemeriksaan Elisa dengan memakai   antigen stadium larva sensitivitasnya 75 – 

90% pada visceral larva migrans (VLM) dan pada infeksi bola mata. Prosedur western 

blotting dapat dipakai untuk meningkatkan spesifisitas dari skrining memakai   Elisa. 

 

2. Pemicu  penyakit 

Toxocora canis dan T. cati,  lebih banyak sebagai Pemicu  yaitu   T. canis 

 

3. Distribusi penyakit 

Tersebar diseluruh dunia. Penyakit dengan manifestasi yang berat terjadi secara sporadis 

pada anak-anak usia 14 – 40 bulan dan dapat juga terjadi pada usia yang lebih tua. 

Saudara dari penderita dapat juga dan sering ditemukan dengan eosinofilia dan gejala 

lainnya yang menandakan adanya infeksi ringan atau gejala resedival. 

Penelitian serologis yang dilakukan dikalangan anak-anak yang tidak menunjukkan gejala 

di AS menunjukkan hasil yang sangat bervariasi, rata-rata 3% positif pada sub populasi 

tertentu namun pada subpopulasi tertentu mencapai angka 23%. Seroprevalensi global 

bervariasi mulai dari 0 – 4% di Madrid dan Jerman; 31% dikalangan anak-anak di 

Irlandia; 66% didaerah pedesaan Spanyol; dan sekitar 83% di subpopulasi tertentu di 

Karibia. Orang dewasa jarang yang terkena infeksi akut.  

 

4. Reservoir 

Anjing dan kucing merupakan reservoir untuk T.canis dan T. cati. 

Untuk anjing dan kucing terinfeksi melalui migrasi transplacenta dan migrasi trans 

mammaria. Telur cacing dapat ditemukan pada kotoran pada saat anak anjing dan anak 

kucing sudah berusia 3 minggu. Infeksi pada anjing betina bisa berakhir dengan 

sendirinya atau tetap (dormant) pada saat anjing menjadi dewasa. Pada saat anjing bunting 

larva T. canis menjadi aktif dan menginfeksi fetus melalui placenta dan menginfeksi anak 

mereka yang baru lahir melalui susu mereka. 

Pada kucing, kucing jantan dan kucing betina sama-sama rentan terhadap infeksi, tidak 

ada perbedaan nyata; namun kucing dewasa lebih rentan daripada kucing yang lebih 

muda. 

 

5. Cara-cara penularan 

Kebanyakan infeksi yang terjadi pada anak-anak yaitu   secara langsung atau tidak 

langsung sebab  menelan telur Toxocara yang infektif. Secara tidak langsung melalui 

makanan seperti sayur sayuran yang tercemar atau secara langsung melalui tanah yang 

tercemar dengan perantaraan tangan yang kotor masuk kedalam mulut.  

 

 519

Sebagian infeksi terjadi sebab  menelan larva yang ada pada hati ayam mentah, atau hati 

sapi dan biri biri mentah. Telur dikeluarkan melalui kotoran anjing dan kucing; sampel 

yang diambil dari tanah pertamanan di AS dan Inggris 30% mengandung telur. 

Ditaman-taman tertentu di Jepang 75% kantong pasir mengandung telur. Telur 

memerlukan waktu selama 1 – 3 minggu untuk menjadi infektif dan tetap hidup serta 

infektif selama beberapa bulan; dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang kering. 

Telur setelah tertelan, embrio akan keluar dari telur didalam intestinum; larva kemudian 

akan menembus dinding usus dan migrasi kedalam hati dan jaringn lain melalui saluran 

limfe dan sistem sirkulasi lainnya. Dari hati larva akan menyebar ke jaringan lain terutama 

ke paru-paru dan organ-organ didalam abdomen (visceral larva migrans),  atau bola mata 

(Ocular larva migrans), dan migrasi larva ini dapat merusak jaringan dan membentuk lesi 

granulomatosa. Parasit tidak dapat melakukan replikasi pada manusia dan pada hospes 

paratenic/endstage lain; namun larva dapat tetap hidup dan bertahan dalam jaringan 

selama bertahun-tahun, terutama pada keadaan penyakit yang asymptomatic. Jika jaringan 

hospes paratenic dimakan maka larva yang ada pada jaringan ini  akan menjadi 

infektif terhadap hospes yang baru. 

 

6. Masa Inkubasi 

Masa inkubasi pada anak-anak berlangsung dalam beberapa minggu dan beberapa bulan 

dan sangat tergantung pada intensitas infeksi, terjadinya reinfeksi dan sensitivitas 

penderita. Gejala okuler muncul 4 – 10 tahun setelah terjadinya infeksi awal. Masa 

inkubasi dari infeksi yang diperoleh sebab  mengkonsumsi hati mentah sangat cepat 

(beberapa jam sampai beberapa hari).  

 

7. Masa Penularan: Tidak terjadi penularan langsung dari orang ke orang. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Insidensi penyakit yang rendah pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa 

disebabkan oleh tingkat pemajanan yang rendah. Dapat terjadi reinfeksi 

 

9. Cara – cara pemberantasan 

A. Cara-cara Pencegahan 

1). Berikan penyuluhan kepada warga , terutama kepada pemilik binatang 

peliharaan tentang bahaya dari kebiasaan pica (menggigit, menjilat benda-benda) 

yang terpajan daerah yang tercemar oleh kotoran hewan peliharaan. Juga 

dijelaskan tentang bahaya mengkonsumsi hati mentah hewan yang terpajan dengan 

anjing dan kucing. Orang tua dan anak-anak diberitahu tentang risiko kontak 

dengan binatang peliharaan seperti anjing dan kucing dan bagaimana cara 

mengurangi risiko ini . 

2). Hindari terjadinya kontaminasi tanah dan pekarangan tempat anak-anak bermain 

dari kotoran anjing dan kucing, terutama didaerah perkotaan dikompleks 

perumahan. Ingatkan para pemilik anjing dan kucing agar bertanggung jawab 

menjaga kesehatan binatang peliharaannya termasuk membersihkan kotorannya 

dan membuang pada tempatnya dari tempat-tempat umum. Lakukan pengawasan 

dan pemberantasan anjing dan kucing liar. 

 

 

 520

3). Bersihkan tempat-tempat bermain anak-anak dari kotoran anjing dan kucing. 

Sandboxes (kotak berisi pasir) tempat bermain anak-anak merupakan tempat yang 

baik bagi kucing untuk membuang kotoran; tutuplah jika tidak digunakan. 

4). Berikan obat cacing kepada anjing dan kucing mulai dari usia tiga minggu, 

diulangi sebanyak tiga kali berturut-turut dengan interval 2 minggu dan diulang 

setiap 6 bulan sekali. Begitu juga binatang piaraan yang sedang menyusui anaknya 

diberikan obat cacing. Kotoran hewan baik yang diobati maupun yang tidak 

hendaknya dibuang dengan cara yang saniter. 

5)  Biasakan mencuci tangan dengan sabun setelah memegang tanah atau sebelum 

makan. 

6). Ajarkan kepada anak-anak untuk tidak memasukkn barang-barang kotor kedalam 

mulut mereka. 

 

B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya 

1). Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: Laporan resmi biasanya tidak 

diperlukan, kelas 5 (lihat tetang pelaporan penyakit menular) 

2). Isolasi: Tidak dilakukan 

3). Disinfeksi serentak:  Tidak dilakukan 

4). Karantina: Tidak dilakukan 

5). Imunisasi  terhadap kontak :  Tidak dilakukan  

6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Lakukan penyilidikan untuk 

menemukan terjadinya penularan terhadap kasus indeks. 

 Selidiki juga mereka yang terpajan (lihat 9A di atas). Berikan pengobatan kepada 

penderita tanpa gejala, mereka yang tes Elisanya positif bukan indikasi untuk 

diberi pengobatan; namun jika ditemukan adanya hipereosinofilia lakukan 

pengobatan. 

7). Pengobatan spesifik: Obat pilihan yaitu   Mebendazole atau Albendazole sebab  

relatif aman. Diethylcarbamazine dan thiabendazole pernah digunakan namun 

efektivitasnya masih dipertanyakan. 

 

C. Upaya penanggulangan wabah: Tidak ada. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E. Penanganan lebih lanjut  : Tidak ada. 

 

 

 

 

GNATHOSTOMIASIS     ICD-9 128.1; ICD-10 B83.1 

 

yaitu   Visceral larva migrans jenis lain, umum ditemukan di Thailand dan juga di Asia 

Tenggara, disebabkan oleh Gnathostoma spinigerum, suatu parasit nematoda pada anjing dan 

kucing.  Infeksi terjadi setelah makan ikan dan daging ayam yang tidak dimasak dengan 

sempurna dan mengandung larva stadium 3.  

 

 521

Parasit ini  melakukan migrasi melalui  jaringan tubuh manusia dan binatang,  yang 

membentuk lesi yang tidak permanen atau abses di berbagai bagian tubuh manusia. Larva ini 

bisa menjalar ke otak, menimbulkan lesi fokal pada otak yang dikaitkan dengan eosinophylic 

pleocytosis. Efektivitas pemberian obat cacing seperti albendazole dan mebendazole 

diragukan dan obat-obat ini masih dalam taraf penelitian. 

 

 

CUTANEOUS LARVA MIGRANS   ICD-9 126; ICD-10 B76.9 

Disebabkan oleh ANCYLOSTOMA BRAZILIENSE ICD-9 126.2; ICD-10 B76.0 

Disebabkan oleh ANCYLOSTOMA CANINUM  ICD-9 126.8; ICD-10 B76.0 

(creeping eruption) 

 

Larva infektif cacing tambang dari anjing dan kucing, Ancylostoma braziliense dan A. 

caninum memicu  dermatitis pada manusia yang disebut “creeping eruption” ini yaitu   

penyakit para pekerja kasar, tukang kebun, anak-anak,  orang yang berenang di pantai atau 

orang yang kontak dengan tanah-pasir  basah yang tercemar oleh kotoran anjing dan kucing. 

Di Amerika prevalensi cacing ini lebih tinggi dibagian Tenggara, larva memasuki kulit dan 

bergerak intrakutan dalam waktu yang cukup lama, kadang-kadang mereka penetrasi kedalam 

jaringan yang lebih dalam. Tiap larva membentuk lesi berkelok kelok seperti ular memanjang  

beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter dalam sehari dan rasanya gatal sekali 

terutama malam hari. Larva dapat dibunuh dengan mendinginkan daerah lesi dengan Ethyl 

chloride spray. Thiabendazole sangat efektif sebagai obat pilihan utama, albendazole dan 

ivermectin juga efektif. Kadang-kadang larva A. caninum bergerak menuju usus halus yang 

bisa memicu  eosinophylic enteritiss, infeksi zoonotik ini memberikan respons yang baik 

dengan pengobatan pyrantel pamoate, mebendazole atau albendazole. 

Penyakit kulit yang disebabkan oleh larva cacing ini biasanya sembuh spontan dalam beberpa 

minggu atau beberapa bulan. 

 

 

 

TOXOPLASMOSIS      ICD-9 130; ICD-10 B58 

TOXOPLASMOSIS KONGENITAL    ICD-9 771.2; ICD-10 P37.1 

 

 

1. Identifikasi 

Merupakan penyakit sistemik Coccidian protozoan, infeksi biasanya tanpa gejala atau 

muncul dalam bentuk akut dengan gejala limfadenopati atau dengan gejala menyerupai 

mononucleosis infectiosa disertai dengan demam, linfadenopati dan linfositosis yang 

berlangsung sampai berhari-hari atau beberapa minggu. 

Dengan terbentuknya antibodi, jumlah parasit dalam darah akan menurun namun kista 

Toxoplasma yang ada dalam jaringan tetap masih hidup. Kista jaringan ini akan reaktif 

kembali jika terjadi penurunan kekebalan. Infeksi yang terjadi pada orang dengan 

kekebalan rendah baik infeksi primer maupun infeksi reaktivasi akan memicu  

terjadinya Cerebritis, Chorioretinitis, pneumonia, terserangnya seluruh jaringan otot, 

myocarditis, ruam makulopapuler dan atau dengan kematian. Toxoplasmosis yang 

menyerang otak sering terjadi pada penderita AIDS.  

 

 522

Infeksi primer yang terjadi pada awal kehamilan dapat memicu  terjadinya infeksi 

pada bayi yang dapat memicu  kematian bayi atau dapat memicu  

Chorioretinitis, kerusakan otak disertai dengan kalsifikasi intraserebral, hidrosefalus, 

mikrosefalus, demam, ikterus, ruam, hepatosplenomegali, Xanthochromic CSF, kejang 

beberapa saat setelah lahir. 

Jika infeksi terjadi pada usia kehamilan yang lebih tua dapat memicu  penyakit 

subklinis yang gejalanya akan timbul kemudian, misalnya berupa Chorioretinitis kronis 

yang berulang. 

Pada wanita hamil dengan kekebalan tubuh yang rendah dengan Toxoplasma seropostif, 

dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten yang walaupun jarang dapat memicu  

toxoplasmosis kongenital. Organisme yang “tidur” pada orang dengan infeksi laten dapat 

terjadi reaktivasi dan memicu  toxoplasmosis serebral terutama pada orang yang 

menderita imunodefisiensi seperti pada penderita AIDS. 

Diagnosa ditegakkan selain berdasarkan gejala klinis juga didukung dengan pemeriksaan 

serologis atau ditemukannya organisme didalam jaringan atau cairan tubuh melalui biopsi 

atau nekropsi atau isolasi pada binatang atau pada kultur sel. Kenaikan titer antibodi 

menandakan adanya infeksi aktif. Ditemukannya IgM yang spesifik dan atau terjadinya 

peningkatan titer IgG pada darah yang diambil secara serial pada bayi baru lahir 

menunjukkan terjadinya infeksi kongenital. Titer IgG yang tinggi bisa bertahan selama 

bertahun tahun dan tidak ada hubunganya dengan penyakit aktif.  

 

2. Pemicu  Penyakit 

Toxoplasma gondii, merupakan suatu coccidian protozoa intraseluler pada kucing, 

termasuk dalam famili Sarcocystidae yang dikelompokkan kedalam kelas Sporozoa  

 

3. Distribusi Penyakit 

Tersebar diseluruh dunia pada mamalia dan burung. Infeksi pada manusia umum terjadi. 

 

4. Reservoir 

Hospes definitif dari T. gondii yaitu   kucing dan hewan sejenis kucing lainnya yang 

mendapatkan infeksi sebab  kucing memakan mamalia (terutama rodentia ) atau  burung 

yang terinfeksi dan jarang sekali infeksi terjadi dari kotoran kucing yang terinfeksi. 

Hospes perantara  dari T. gondii antara lain biri-biri, kambing, binatang pengerat, sapi, 

babi, ayam, dan burung. Semua binatang ini  dapat mengandung stadium infektif 

(cystozoite atau bradizoite) dari T. gondii yang membentuk kista dalam jaringan terutama 

jaringan otot dan otak. Kista jaringan dapat hidup dalam jangka waktu panjang 

kemungkinan seumur hidup binatang ini .  

 

5. Cara-cara Penularan 

Infeksi transplasental pada manusia terjadi pada wanita hamil sebab  didalam tubuh 

mereka terdapat trachyzoites yang membelah dengan cepat beredar dalam darah mereka. 

Biasanya pada infeksi primer. Anak-anak terinfeksi sebab  menelan oocysts yang 

mencemari “sandboxes” (kotak berisi pasir tempat bermain), halaman tempat anak-anak 

bermain dimana ditempat-tempat itu kucing membuang kotoran. Infeksi bisa terjadi 

sebab  mengkonsumsi daging mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna (daging 

babi, daging kambing dan jarang daging sapi) dimana didalam daging ini  

mengandung kista.  

 

 523

Makanan dan air dapat juga tercemar kotoran kucing dan jika Oocysts yang infektif pada 

makanan dan air yang tercemar tertelan akan terjdi infeksi. Pernah dilaporkan terjadi KLB 

sebab  inhalasi Oocysts yang berbentuk spora. Susu dari kambing dan sapi yang terinfeksi 

mengandng tachyzoites.  Pernah dilaporkan terjadi KLB sebab  minum susu kambing 

mentah. Infeksi jarang terjadi sebab  transfusi atau sebab  transplantasi organ dari donor 

yang terinfeksi. 

 

6. Masa Inkubasi 

Dari 10 sampai 23 hari pada satu KLB “Commonsource” sebab  makan daging yang tidak 

dimasak; 5 sampai 10 hari dari satu KLB yang ditularkan  oleh kucing. 

 

7. Masa Penularan 

Tidak langsung ditularkan dari seseorang kepada orang lain kecuali in utero. Oocysts pada 

kucing akan membentuk spora dan menjadi infektif dalam 1 sampai 5 hari dan tetap 

infektif pada air dan tanah basah lebih dari satu tahun. Kista pada daging hewan yang 

terinfeksi bertahan dan tetap infektif selama daging itu belum  dimasak.    

 

8. Kerentanan Dan Kekebalan 

Setiap orang rentan terhadap penyakit ini namun  kekebalan  akan terbentuk sesudah infeksi 

dan hampir semua infeksi bersifat asymptomatic. Lama dan tingkat kekebalan  tidak 

diketahui dengan pasti diduga  berlangsung lama dan seumur hidup; antibodi bertahan 

selama bertahun tahun, mungkin seumur hidup. Pasien  yang mendapatkan terapi cytotoxic 

atau terapi immunosuppressive dan penderita AIDS berisiko tinggi menjadi sakit dan 

mendapat infeksi ulang.  

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan 

1).  Berikan penyuluhan kepada para ibu tentang upaya pencegahan seperti berikut: 

a). Daging yang akan dikonsumsi hendaknya daging yang sudah diradiasi atau 

yang sudah dimasak pada suhu 1500F (660C), daging yang dibekukan 

mengurangi infektivitas parasit namun  tidak membunuh parasit. 

b). Ibu hamil yang belum diketahui telah memiliki  antibodi terhadap T. gondii, 

dianjurkan untuk tidak kontak dengan kucing dan tidak membersihkan tempat 

sampah. Pakailah sarung tangan karet pada waktu berkebun dan cucilah tangan 

selalu setelah bekerja dan sebelum makan. 

2). Kucing diberi makanan kering, makan yang diberikan sebaiknya makanan kaleng 

atau makanan yang telah dimasak dengan baik. Kucing jangan dibiarkan memburu 

sendiri makanannya (jaga agar kucing tetap didalam rumah sebagai binatang 

peliharaan). 

3). Buanglah kotoran kucing dan sampah tiap hari (sebelum sporocysts menjadi 

infektif). Kotoran  kucing dapat dibuang kedalam toilet yang saniter, dibakar atau 

ditanam dalam- dalam. Tempat pembuangan sampah di disinfeksi setiap hari 

dengan air mendidih. Pakailah sarung tangan atau cuci tangan dengan sabun dan 

air mengalir setelah menangani barang-barang yang terkontaminasi. Sampah 

kering dibuang sedemikian rupa tanpa menggoyang goyang agar oocysts tidak 

tersebar keudara. 

 

 524

4). Cucilah tangan baik-baik sebelum makan dan sesudah menjamah daging mentah 

atau setelah memegang tanah yang terkontaminasi kotoran kucing. 

5). Awasi kucing liar, jangan biarkan kucing ini  membuang kotoran ditempat 

bermain anak-anak. Kotak pasir tempat bermain anak ditutup jika tidak dipakai. 

6). Penderita AIDS dengan toxoplasmosis simptomatik agar diberikan pengobatan 

profilaktik seumur hidup dengan pyremethamine, sulfadiazine dan asam folat. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak, Lingkungan Sekitarnya 

1). Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: Tidak diperlukan, namun  di beberapa 

negara bagian di Amerika dan di beberapa negara penyakit ini wajib dilaporkan 

untuk pemahaman lebih lanjut terhadap epidemiologi dari penyakit ini. 

2). Isolasi: Tidak ada 

3). Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan 

4). Karantina: Tidak dilakukan 

5). Imunisasi kontak: Tidak dilakukan 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pada infeksi kongenital lakukan 

pemeriksaan titer antibodi ibu; sedang  pada infeksi yang didapat, periksalah 

titer antibodi pada anggota keluarga dan selidiki kemungkinan terjadinya 

pemajanan terhadap kotoran kucing, tanah, daging mentah tau terpajan dengan 

binatang yang terinfeksi. 

7). Pengobatan spesifik: Untuk orang yang sehat dengan status imunitas yang baik, 

tidak ada indikasi untuk diberi pengobatan kecuali jika infeksi terjadi pada awal 

kehamilan atau adanya Chorioretinitis aktif, myocarditis atau ada organ lain yang 

terkena. Obat yang dipakai yaitu   Pyrimethamine (Daraprim®) dikombinasi 

dengan Sulfadiazine dan asam folat (untuk mencegah depresi sumsum tulang). 

Pengobatan diberikan selama 4 minggu untuk mereka yang menunjukkan gejala 

klinis berat. Selain obat diatas, untuk toxoplasmosis pada mata ditambahkan 

Clindamycin. Pada toxoplasmosis okuler, terjadi penurunan visus yang 

irreversible. Jika yang terserang mata maka yang dapat terkena yaitu   macula, 

syaraf mata atau papillomacular bundle, untuk mencegah hal ini diberikan 

kortikosteroid sistemik.Pengobatan terhadap wanita hamil menjadi masalah. 

Spiramycin sering digunakan untuk mencegah infeksi plasenta; jika pada 

pemeriksaan USG ada indikasi telah terjadi infeksi pada bayi maka berikan 

pengobatan pyrimethamine dan sulfadiazine. 

 Pyrimethamine tidak diberikan pada 16 minggu pertama kehamilan sebab  

dikawatirkan akan terjadi teratogenik; dalam hal ini sulfadiazine dapat diberikan 

tersendiri. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita infeksi primer atu dari ibu yang 

HIV positif selama kehamilan diberikan pengobatan pyrimethamine-sulfadiazine-

asam folat selama tahun pertama sampai terbukti bahwa bayi ini  tidak 

menderita toxoplasmosis kongenital. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya 

Chorioretinitis atau gejala sisa. Belum ada pegangan dan petunjuk yang jelas 

tentang pengobatan bayi yang lahir dari ibu yang HIV positif disertai toxoplasma 

seropositif. 

      

C. Penanggulangan wabah: Tidak ada 

 

 

 525

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : Tidak ada. 

    

 

   

TRACHOMA       ICD-9 076; ICD-10 A71 

 

1. Identifikasi. 

Conjunctivitis yang disebabkan oleh infeksi Chlamydia, dapat muncul tiba-tiba atau 

perjalanan penyakitnya dapat pelan-pelan. Infeksi dapat berlangsung bertahun-tahun jika 

tidak diobati. Namun ciri penyakit yang berlangsung lama didaerah hiperendemis 

disebabkan oleh terjadinya reinfeksi yang berulang kali. Ciri khas dari penyakit ini yaitu   

timbulnya folikel limfoid dan inflamasi diffuse pada konjungtiva.Terbentuk jaringan 

parut. Pembentukan jaringan parut meningkat dengan makin beratnya derajat penyakit 

atau lamanya inflmasi. Jaringan parut dapat memicu  terjadinya deformitas dari 

kelopak dan bulu mata (trichiasis dan enteropion). Deformitas kelopak dan bulu mata ini 

selanjutnya dapat memicu  abrasi kronis pada kornea dan terbentuk jaringan parut 

yang mengganggu penglihatan dan dapat menimbulkan kebutaan pada usia dewasa. Dapat 

terjadi infeksi sekunder didaerah endemis trachoma. Infeksi sekunder ini memperberat 

penyakit dan meningkatkan penularan. 

Trachoma pada anak-anak dinegara berkembang merupakan penyakit endemis. Namun 

trachoma pada usia dini ini sering tidak dapat dibedakan dengan conjunctivitis yang 

disebabkan oleh bakteri lain (termasuk oleh strain genital dari Chlamydia trachomatis) . 

Diagnosa banding dari trachoma yaitu   nodules pada kelopak mata yang dsebabkan oleh 

molluscum contagiosum, reaksi toksik atau pengobatan jangka panjang dengan tetes mata, 

infeksi stafilokokus kronis pada pinggir kelopak mata. Reaksi alergi sebab  pemakaian 

lensa kontak (giant papillary conjunctivitis) dapat menimbulkan gejala menyerupai 

trachoma dengan terbentuknya nodulus tarsalis (giant papillae), Terbentuknya jaringan 

parut pada konjungtiva dan pannus pada kornea. 

Diagnosa laboratorium ditegakkan dengan ditemukannya bagian elementer dari chlamidia 

didalam sel epitel dari sediaan yang diambil dari kerokan konjungtiva yang dicat dengan 

Giemsa atau diagnosa juga dapat ditegakkan dengan IF setelah sediaan difiksasi dengan 

metanol; atau dengan deteksi antigen dengan memakai   prosedur EIA atau DNA 

probe; atau isolasi dari organisme dengan kultur sel.  

 

2. Pemicu  penyakit : Clamydia trachomatis serovarians A, B, Ba dan C. 

Ada beberapa strains yang tidak dapat dibedakan dengan konjungtivitis chlamydia (q.v) 

dan varians B, Ba dan C pernah diisolasi dari infeksi chlamydia pada alat kelamin. 

 

3. Distribusi penyakit. 

Penyakit ini  tersebar diseluruh dunia. Di negara berkembang penyakit ini banyak 

ditemukan dan endemis, terutama pada  warga  yang kurang mampu. Didaerah 

endemis trachoma muncul pada masa anak-anak lalu bersembunyi  di masa remaja dan 

meninggalkan jaringan parut dengan tingkat disabilitas yang bervariasi dan kemungkinan 

dapat menjadi buta.  

 

 526

Kebutaan sebab  trachoma masih banyak ditemukan di Timur Tengah, dan daerah sub-

Sahara dibagian utara di Afrika, India, Asia Tenggara dan China. Kantong-kantong 

trachoma ada di Amerika Latin, Australia (orang aborijin) dan di Pulau Pasifik. 

Penyakit ini jarang ditemukan di AS; penyakit ini timbul di warga  yang kurang 

tingkat kebersihannya, kemiskinan dan ditempat tinggal yang kumuh, terutama di daerah 

pemukiman yang kering dan berdebu seperti di tempat reservasi warga  asli di Amerika 

Barat Daya.  

Komplikasi lanjut dari trachoma yang muncul belakangan pada orang usia lebih tua yang 

terinfeksi trachoma di masa kanak-kanak yaitu   enteropion dan terbentuknya jaringan 

parut pada kornea; orang ini umumnya tidak menularkan penyakit lagi. 

 

4.  Reservoir:  Reservoir penyakit ini yaitu   manusia 

 

 

5.  Cara penularan  

Melalui kontak langsung dengan discharge yang keluar dari mata yang terkena infeksi 

atau dari discharges nasofaring melalui jari atau kontak tidak langsung dengan benda yang 

terkontaminasi, seperti handuk, pakaian dan benda-benda lain yang dicemari discharge 

nasofaring dari penderita. Lalat, terutama Musca sorbens di Afrika dan Timur Tengah dan 

spesies jenis Hippelates di Amerika bagian selatan, ikut berperan pada penyebaran 

penyakit. Pada anak-anak yang menderita trachoma aktif, chlamydia dapat ditemukan dari 

nasofaring dan rektum. Namun didaerah endemis untuk serovarian dari trachoma tidak 

ditemukan reservoir genital. 

 

6.  Masa inkubasi: Masa inkubasi 5 sampai dengan 12 hari 

  

7.  Masa penularan

Masa penularanan berlangsung selama masih ada lesi aktif di konjungtiva dan kelenjar-

kelenjar adneksa maka selama itu penularan dapat berlangsung bertahun tahun. 

Konsentrasi organisme dalam jaringan berkurang banyak  dengan terbentuknya jaringan 

parut, namun  jumlahnya akan meningkat kembali dengan reaktivasi dari penyakit dan 

terbentuknya discharge kembali. Penderita tidak menular lagi 1 – 3 hari setelah diberi 

pengobatan dengan antibiotika sebelum terjadinya perbaikan gejala klinis. 

 

8.  Kerentanan dan kekebalan 

Semua orang rentan terhadap penyakit ini; tidak ada bukti bahwa infeksi ini dapat 

membentuk kekebalan dan belum ditemukan  vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi 

atau mencegah eratnya perjalanan penyakit. Di daerah endemis, anak-anak lebih sering 

terserang penyakit ini dibandingkan dengan orang dewasa. Beratnya penyakit biasanya 

selalu berhubungan dengan kondisi lingkungan tempat tinggal, terutama pemukiman yang 

sanitasi lingkungannya jelek, angin yang kering , debu halus dan pasir bisa ikut 

mempengaruhi beratnya penyakit. 

 

 

 

 

 

 

 527

9.  Cara – cara pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan 

1). Berikan penyuluhan kepada warga  tentang perlunya menjaga kebersihan 

perorangan terutama risiko memakai   alat-alat dalam toilet umum bersama. 

2). Perbaiki fasilitas sanitasi dasar. Sediakan air dan sabun, dalam jumlah yang cukup. 

Anjurkan sering mencuci muka, hindari penggunaan handuk bersama-sama. 

3). Sediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan pengobatan yang cukup serta fasilitas 

untuk menemukan penderita, terutama untuk anak-anak pra sekolah. 

4). Lakukan investigasi epidemiologis untuk mencari faktor-faktor yang berperan 

dalam proses penularan penyakit pada situasi tertentu. 

            

B. Penanganan  penderita, kontak, lingkungan sekitarnya 

1). Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat; laporan kasus, dibutuhkan di sejumlah 

negara bagian di AS dan dibeberapa negara dengan endemisitas rendah, Kelas 2B 

(lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi: Tindakan isolasi tidak praktis. Untuk penderita yang dirawat di rumah 

sakit perlu dilakukan kewaspadaan universal terhadap sekrit dan discharge.  

3). Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dan seluruh peralatan 

yang tercemar. 

4). Karantina: Tidak ada 

5). Imunisasi: Tidak ada 

6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi dilakukan terhadap seluruh 

anggota keluarga dari penderita, teman bermain dan teman sekolah. 

7). Pengobatan spesifik: Di daerah dimana penyakit ini berat dan hampir merata, 

maka dilakukan pengobatan massal terutama ditujukan kepada anak-anak yaitu 

dengan salep mata tetrasiklin atau eritromisin dengan jadwal yang bervariasi yaitu 

sehari dua kali selama 5 hari atau sekali sebulan selama 6 bulan. 

Pengobatan Oral dengan sulfonamid, tetrasiklin, eritromisin dan asitromisin  juga 

efektif pada stadium aktif.  

 

C.  Penanggulangan Wabah  

Di daerah yang  hiperendemis, pemberian pengobatan massal sangat berhasil dalam 

menurunkan prevalensi dan beratnya penyakit. Hal ini akan berhasil jika dilakukan 

bersama sama dengan penyuluhan tentang kebersihan perorangan, dan perbaikan 

sanitasi lingkungan terutama penyediaan fasilitas air bersih dalam jumlah yang cukup.    

 

D.  Implikasi bencana: Tidak ada 

E. Tindakan lebih lanjut :  Manfaatkan Pusat-pusat Kerjasama WHO. 

  

 

 

 

 

 

 

 

 528

DEMAN TRENCH      ICD-9 083.1; ICD-10 A79.0 

( Quintana fever) 

 

1. Identifikasi 

Penyakit yang ditandai dengan demam yang disebabkan oleh bakteri tidak fatal dengan 

derajat panyakit dan manifestasi klinis yang bervariasi. Gejala klinis yang muncul yaitu   

sakit kepala, lemah badan, sakit dibawah lutut. Gejala klinis bisa muncul mendadak atau 

perlahan lahan, dengan demam yang hilang timbul seperti tifoid atau demam hanya 

muncul sekali saja dan berlangsung beberapa hari. 

Sering disertai dengan splenomegali dan ruam makuler yang kemudian menghilang. 

Gejala klinis bisa muncul kembali beberapa tahun setelah infeksi primer. Bisa juga 

muncul dalam bentuk subklinis dimana organisme tetap ada dalam darah selama berbulan 

bulan dengan atau tanpa gejala klinis yang berulang. Pada penderita HIV/AIDS atau 

mereka yang memiliki  masalah dalam sistem kekebalan dapat terjadi bakteriemi, 

osteomielitis dan angiomatosis basiler. Endokarditis juga pernah dilaporkan pada 

penderita dikalangan pecandu alkohol. Diagnosa laboratoris dibuat dengan kultur dari 

spesimen darah pada agar darah dengan CO2 5%. Mikrokoloni akan muncul dalam 8-21 

hari setelah diinkubasi pada suhu 370C (98,60F). Infeksi merangsang terbentuknya 

antibodi spesifik terhadap genus yang terdeteksi dengan pemeriksaan serologis. 

Pemeriksaan IFA dapat dilakukan dan tersedia di CDC Atlanta. 

  

2. Pemicu   penyakit: Bartonella quintana (dulu disebut dengan nama Rochalimaea 

quintana) 

 

3. Distribusi penyakit 

Wabah muncul di Eropa pada waktu perang dunia I dan II  sebab  para prajurit dan para 

tahanan hidup dalam lingkungan kumuh berdesak desakan dan tidak bersih. Kasus 

sporadis yang muncul didaerah endemis kemungkinan tidak terdeteksi. Organisme 

mungkin dapat ditemukan pada kutu dalam tubuh manusia. Fokus endemis infeksi 

ditemukan di Polandia, Soviet, Meksiko, Bolivia, Burundi, Ethiopia dan Afrika Utara. Di 

AS ada dua bentuk infeksi ditemukan pada tahun 1990-an: 

a. Infeksi Oportunistik pada pasien AIDS (terkadang muncul sebagai angiomatosis 

basiler, lihat Cat Scratch Disease).  

b. Demam yang ditularkan melalui kutu manusia dikalangan gelandangan pecandu 

alkohol yang disebut “urban trench fever” dan terkadang disertai dengan endokarditis. 

 

4. Reservoir  

Manusia, bertindak sebagai reservoir. Hospes intermediernya yaitu   Pediculus humanus 

corporis. Organisme ini berkembang biak di luar sel di dalam lumen usus yang 

berlangsung yaitu tepatnya 5 minggu setelah menetas. 

   

5. Cara penularan 

Tidak langsung ditularkan dari orang ke orang. Orang terinfeksi dengan cara inokulasi 

organisme melalui kotoran kutu badan yang masuk melalui luka atau celah kulit, akibat 

gigitan kutu atau sebab  sebab lain. Kutu yang terinfeksi mulai mengeluarkan kotoran 

yang infeksi 5-12 hari setelah kutu mengisap darah yang infektif dan kutu tetap infektif 

seumur hidup mereka. Stadium nimfe dapat juga terinfeksi.  

 

 529

Penularan penyakit terjadi sebab  kutu yang infektif pindah dari tubuh orang yang demam 

atau dari tubuh orang yang meninggal ke tubuh orang normal. sebab  kutu cenderung 

mencari suhu normal, menghindari suhu diatas atau dibawah normal. 

 

6.  Masa inkubasi: Biasanya 7 – 30 hari 

 

7.  Masa penularan 

Organisme dapat bertahan dalam sirkulasi darah dalam beberapa minggu, bberapa bulan 

bahkan beberapa tahun dan dapat muncul kembali tanpa gejala. Kutu yang mengisap 

darah ini akan terinfeksi dan dapat menularkan kepada orang lain. Orang dengan riwayat 

menderita demam Trench tidak boleh menjadi donor. 

 

8.  Kerentanan dan Kekebalan 

Setiap orang rentan terhadap penyakit ini. Belum diketahui dengan jelas apakah setelah 

infeksi muncul kekebalan baik terhadap organismenya sendiri ataupun terhadap timbulnya 

gejala penyakit. 

 

9.  Cara-cara pemberantasan 

A.  Cara pencegahan 

Prosedur pembasmian kutu dapat membunuh kutu sebagai vektor dan mencegah 

terjadinya penularan terhadap manusia. Menaburkan insektisida yang tepat pada 

pakaian dan badan.  

 

B.  Penanganan penderita, kontak, lingkungan sekitarnya. 

1). Laporan kepada Institusi Kesehatan setempat: Jika ditemukan penderita, segera 

dilaporkan kepada Institusi Kesehatan setempat agar dapat dilakukan evaluasi 

terhadap kepadatan kutu penyebar penyakit dikalangan warga . Dengan laporan 

ini Dinas Kesehatan setempat dapat melakukan tindakan yang diperlukan 

mengingat kutu ini dapat juga menularkan penyakit tifus epidemika, demam bolak 

balik, Kelas 3B (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi: Tidak diperlukan apabila telah dilakukan pembasmian kutu. 

3). Disinfeksi serentak: Pakaian yang kena kutu harus didisinfeksi untuk membunuh 

kutu. 

4). Karantina: Tidak ada 

5). Imunisasi:  Tidak ada 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Periksalah semua pakaian dan tubuh orang 

yang memiliki  risiko terkena kutu. Jika ditemukan kutu lakukan tindakan 

disinfeksi. 

7). Pengobatan spesifik: obat spesifik yaitu   tetracycline biasanya doxycycline 

diberikan selama 2 sampai dengan 4 minggu. Pasien pertama-tama harus 

dievaluasi apakah mereka terkena endokarditis. Hal ini akan mempengaruhi lama 

dan tindak lanjut pengobatan antibiotika. Dapat terjadi relaps walaupun sudah 

diberikan terapi antibiotika baik pada orang dengan status kekebalan normal 

ataupun pada orang dengan gangguan sistem kekebalan. 

 

 

 530

C.  Penanggulangan Wabah 

Pada waktu terjadi KLB, dilakukan pemberian insektisida residual pada pakaian 

seluruh anggota warga  didaerah terjangkit. 

 

D. Implikasi Bencana. 

Risiko penularan meningkat apabila orang yang tubuhnya mengandung kutu dipaksa 

tinggal didaerah berpenghuni padat dengan sanitasi lingkungan yang jelek (Lihat 9B1 

di atas). 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.         

 

 

 

TRICHINELLOSIS       ICD-9 124; ICD-10 B75 

(TRICHINIASIS, TRICHINOSIS) 

 

1. Identifikasi 

Penyakit yang disebabkan oleh cacing perut berbentuk bulat dimana larva (trichinae) 

migrasi menuju otot dan membentuk kapsul. Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi 

mulai dari tanpa gejala sama sekali sampai kepada penyakit dengan gejala klinis yang 

berat dan fatal tergantung kepada jumlah larva yang ditelan. Gejala awal yang muncul 

biasanya berupa kaku dan sakit pada otot, demam disertai dengan oedem pada kelopak 

mata atas. 

Terkadang diikuti dengan perdarahan subkonjungtiva, subungual atau perdarahan pada 

retina, sakit pad bola mata dan fotofobia. Setelah muncul gejala-gejala pada mata biasanya 

diikuti dengan berkeringat, menggigil, badan lemah, eosinofilia yang cepat. Timbul juga 

gejala-gejala gastronitestinal seperti diare oleh sebab  aktivitas cacing dewasa. Gejala 

gastrointestinal muncul sebelum gejala pada mata muncul. 

Demam biasanya hilang timbul (remiten) bisa mencapai 400C (1040F); demam hilang 

setelah 1 – 6 minggu, tergantung intensitas dari infeksi. Komplikasi pada jantung dan 

syaraf muncul pada minggu ke 3 sampai dengan ke 6. Pada kasus fatal, kematian terjadi 

sebab  infark miokard pada minggu pertama sampai kedua atau antara minggu ke 4 dan ke 

8. Pemeriksaan serologis dan adanya eosinofilia membantu penegakan diagnosa. Biopsi 

otot biasanya dilakukan pada hari ke 10 setelah infeksi biasanya memberikan hasil positif 

pada minggu ke 4 dan ke 5 setela infeksi. Hasil biopsi positif jika pada pemeriksaan 

ditemukan kista cacing yang belum mengalami kolsifikasi.    

 

2. Pemicu  Penyakit: - Trichinella spiralis, termasuk nematoda usus. Klasifikasi 

taksonomi berbeda diberikan kepada isolat yang dijumpai dberbagai belahan dunia 

misalnya yang ditemukan di kutub utara (T. nativa), di daerah Palaearctic T. britovi), di 

Afrika (T. nelsoni) dan di berbagai wilayah lain (T. pseudospirialis). 

 

3. Distribusi Penyakit 

Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dengan insidensi yang bervariasi. Insidensi penyakit 

yang bervariasi dipengaruhi oleh antara lain kebiasaan warga  menyiapkan dan 

mengkonsumsi daging babi atau daging hewan liar lainnya dan tergantung kepada sistem 

 

 531

pencatatan dan pelaporan serta sistem pelayanan kesehatan setempat. Kasus biasanya 

tersebar secara sporadis dan kalau terjadi KLB biasanya pada wilayah terbatas. KLB 

biasanya terjadi sebagai akibat mengkonsumsi sosis atau produk lain yang mengandung 

daging babi atau daging mamalia yang berasal dari kutub utara. Beberapa KLB yang 

pernah dilaporkan terjadi di Itali dan Perancis disebabkan oleh daging kuda yang 

terinfeksi. 

 

4. Reservoir 

Babi, kucing, kuda, tikus dan binatang liar lainnya seperti serigala, beruang kutub dan 

mamalia laut di kutub utara serta singa dan macan kumbang di daerah tropis. 

 

5. Cara Penularan 

Penularan terjadi sebab  makan daging mentah atau tidak dimasak dengan sempurna yang 

mengandung larva, terutama daging babi, produk daging babi serta produk daging sapi 

seperti hamburger yang sengaja atau tidak sengaja dicampur dengan daging babi mentah. 

Didalam epitel usus halus, larva berkembang menjadi dewasa. Cacing betina yang gravid 

kemudian mengeluarkan larva yang menembus saluran limfe atau venule dan 

disebarluaskan melalui aliran darah keseluruh tubuh. Larva membentuk kapsul di dalam 

sendi-sendi tulang. 

 

6. Masa Inkubasi 

Gejala sistemik biasanya muncul sekitar 8-15 hari setelah memakan daging yang infektif; 

masa inkubasi biasanya bervariasi antara 5 dan 45 hari tergantung pada jumlah parasit 

yang ada. Gejala pada saluran pencernaan dapat timbul dalam beberapa hari. 

 

7. Masa Penularan 

Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Hospes hewan tetap infektif selama 

beberapa bulan, dan daging dari hewan-hewan ini  tetap infektif selama daging 

ini  tidak dimasak, dibekukan atau diradiasi untuk membunuh larva. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Infeksi dapat menimbulkan imunitas parsial. 

 

9. Cara – cara Pemberantasan  

A. Cara-cara Pencegahan 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  tentang cara-cara penularan penyakit ini. 

Dan beri penjelasan tentang perlunya memasak daging babi atau produk daging 

babi dan daging hewan liar sebelum dikonsumsi, pada suhu yang tepat dan dengan 

cara yang tepat. Pada waktu dimasak hendaknya seluruh bagian daging bisa 

mencapai suhu 710C (1600F), daging akan terlihat dari berwarna merah jambu 

menjadi abu-abu. Pada suhu ini larva cacing akan mati. Tindakan ini harus 

dilakukan kecuali telah diketahui dengan pasti bahwa daging atau produk daging 

yang akan dikonsumsi telah diolah dengan benar baik dengan pemanasan yang 

tepat, dibekukan atau di iradiasi untuk membunuh trichinae. 

 

 532

2) Gilinglah daging babi dengan memakai   penggilingan ter[pisah. Jika gilingan 

yang dipakai untuk menggiling daging babai akan digunakan untuk menggiling 

daging lain, bersihkan penggilingan ini  dengan seksama. 

3) Terapkan peraturan dengan ketat yang mewajibkan agar semua produk daging babi 

agar diradiasi pada saat proses pengolahannya. 

Lakukan uji dengan teknik digesti terhadap bangkai binatang untuk mengetahui 

ada tidaknya infeksi. Lakukan tes imunodiagnosis terhadap ternak babi dengan tes 

Elisa yang sudah diakui. 

4) Terapkan peraturan dengan ketat terhadap produk yang memakai   daging babi 

mentah yang penampilannya seperti sudah dimasak; hanya daging yang bebas 

trichinae yang boleh digunakan. Peraturan ini juga diterapkan dengan ketat 

terhadap produk yang secara tradisional tidak dilakukan pemanasan yang cukup 

pada tahap akhir proses untuk membunuh trichinae. 

5) Buat peraturan yang mewajibkan agar sisa-sisa makanan atau sampah dan sisa-sisa 

hewan potong dimasak terlebih dahulu sebelum diberikan untuk makanan babi. 

6) Beri penyuluhan kepada para pemburu agar memasak daging buruan mereka 

sebelum dikonsumsi (daging buruan seperti daging singa laut, anjing laut, babi 

hutan, beruang dan binatang luas lainnya). 

7) Pembekuan yang dilakukan terhadap tumpukan daging pada suhu tertentu cukup 

efektif untuk membunuh trichinae. Misalnya daging dengan ketebalan 15 cm 

disimpan pada suhu –150C (50F) sebelum 30 hari atau pada suhu –250C     (-130F) 

atau pada suhu lebih rendah lagi selama 10 hari akan membunuh seluruh bentuk 

kista trichinae. Daging yang lebih tebal hendaknya disimpan pada suhu yang lebih 

rendah paling sedikit selama 20 hari. Suhu serendah ini tidak mempan terhadap 

strain kutub utara yang tahan terhadap suhu dingin yaitu T. nativa yang ditemukan 

didalam daging singa laut dan beruang, jarang ditemukan pada daging babi. 

8) Radiasi sinar gamma pada dosis rendah yang dilakukkan terhadap daging babi dan 

bangkai binatang cukup efektif untuk mensterilkan dan dosis yang lebih tinggi 

dapat membunuh kista larva trichinae. 

 

B. Pengawasan Penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada Instansi Kesehatan setempat: Kasus wajib dilaporkan hampir di 

seluruh negara bagian di AS dan di kebanyakan negara di dunia, kelas 2B (lihat 

tentang Pelaporan Penyakit Menular). 

2) Isolasi: Tidak dilakukan 

3) Disinfektasi: Tidak dilakukan 

4) Karantina: Tidak dilakukan 

5) Imunisasi kontak: Tidak ada 

6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi: Periksa seluruh anggota 

keluarga lainnya dan orang-orang yang telah menyantap daging yang diduga 

sebagai sumber infeksi. Sita semua sisa makanan yang dicurigai ini . 

7) Pengobatan spesifik: Pengobatan dengan albendazole (Zentel® atau mebendazole 

(Vermox®) efektif pada stadium intestinal dan pada stadium parasit ada diotot. 

Pemberian kortikosteroid ditujukan hanya bagi penderita berat untuk mengurangi 

gejala inflamasi apabila jantung dan SSP yang terserang; Namun pemberian 

kortikosteroid ini akan menunda eliminasi cacing dewasa dari perut.  

 

 533

Pada situasi yang sangat jarang dimana orang tahu bahwa mereka telah 

mengkonsumsi daging yang terinfeksi maka pemberian obat cacing segera akan 

mencegah timbulnya gejala klinis. 

 

C. Penanggulangan Wabah: Jika terjadi KLB, lakukan investigasi epidemiologis apabila 

telah terjadi penularan dengan pola “Common source”. Musnahkan semua sisa 

makanan yang tercemar dan lakukan koreksi terhadap praktek-praktek yng tidak benar. 

Basmi seluruh kawanan ternak babi yang tercemar. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-Pusat Kerja sama WHO. 

 

 

 

TRICHOMONIASIS      ICD-9 131; ICD-10 A59 

 

 

1. Identifikasi 

Penyakit protozoa persisten yang umum menyerang saluran urogenital pada wanita 

ditandai dengan timbulnya vaginitis dengan bercak-bercak berwarna merah seperti 

“strawberry”, disertai dengan discharge berwarna hijau dan berbau. Penyakit ini dapat 

menimbulkan uretritis atau cystitis dan umumnya tanpa geja; dapat memicu  terjadi 

komplikasi obstetrik dan dapat memfasilitasi terjadinya infeksi HIV. 

Infeksi pada pria biaanya menyerang kelenjar prostate, uretra, vesikula seminalis, 

menimbulkan gejala ringan namun dapat memicu  terjadinya uretritis non gonokokal 

pada sekitar 5 –10% dari penderita. 

Biasanya trichomoniasis berdampingan dengan gonorrhea; pada suatu studi ditemukan 

sekitar 40%. Oleh sebab  itu jika ditemukan trichomoniasis maka perlu dilakukan 

penilaian menyeluruh terhadap semua patogen Pemicu  “STD” (“STD Check”). 

Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya parasit yang bergerak pada pemeriksaan 

mikroskopis atau dari kultur discharge. Parasit juga dapat dilihat dengan pengecatan pap. 

 

2. Pemicu  Infeksi: Trichomonas vaginalis, protozoa dengan flagella. 

 

3. Distribusi Penyakit 

Tersebar luas; penyakit yang sering terjadi hampir di seluruh benua dan menyerang semua 

ras bangsa, terutama menyerang orang dewasa dengan insidensi yang tinggi pada wanita 

usia 16 – 35 tahun. Secara keseluruhan sekitar 20% wanita terkena infeksi pada masa usia 

subur. 

 

4. Reservoir: Manusia 

 

5. Cara-cara Penularan: 

 Melalui kontak dengan vagina dan discharge uretra dari penderita pada waktu senggama. 

 

 

 534

6. Masa Inkubasi 

Dari 4 sampai 20 hari, rata-rata 7 hari; kebanyakan yaitu   berupa karier tanpa gejala 

selama bertahun - tahun. 

 

7. Masa Penularan: Penderita tetap menular selama adanya infeksi yang persisten, dapat 

berlangsung bertahun - tahun. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Semua orang rentan terhadap infeksi dan infeksi yang menimbulkan gejala klinis 

umumnya terjadi pada wanita. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Upaya pencegahan 

Beri penyuluhan kepada warga  agar segera memeriksakan diri ke fasilitas 

kesehatan apabila mengalami kelainan berupa keluarnya discharge yang berlebihan 

dari alat kelamin mereka. Jangan melakukan hubungan seksual sebelum dilakukan 

pemeriksaan yang tuntas. Ajarkan warga  tentang perilaku seksual yang aman. 

Anjurkan pengunaan kondom bagi mereka yang suka berganti ganti pasangan. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat: Laporan resmi tidak diperlukan, 

Kelas 5. 

2) Isolasi: Tidak ada. Hindari hubungan seks selama masa penularan dan selama 

dilakukan pengobatan 

3) Disinfeksi: Tidak ada. Organisme tidak dapat bertahan hidup dalam keadaan 

kering 

4) Karantina: Tidak dilakukan 

5) Imunisasi kontak: Tidak ada 

6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi: Pasangan seks harus diperiksa 

untuk menemukan STD lainnya dan harus diobati.  

7) Pengobatan spesifik: Metronidazole (Flagyl®), tinidazole (Fasigyn®) atau 

ornidazole (Tiberal®) oral efektif digunakan baik pada pasien pria maupun wanita; 

obat ini kontra indikasi jika diberikan selama trimester pertama kehamilan. Dapat 

juga diberikan Clotrimazole, obat ini dapat menyembuhkan penderita sampai 50%, 

dan mengurangi gejala klinis. Pada saat yang sama pasangan seksual penderita 

hendaknya juga diberi pengobatan. 

 Telah dilaporkan adanya penderita yang resisten terhadap metronidazole. Untuk 

penderita yang resisten terhadap metronidazole diobati dengan paromomycin, 

intravaginal. 

 

C. Penanggulangan Wabah/KLB: Tidak ada 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada. 

 

 

 535

TRICHURIASIS      ICD-9 127.3; ICD-10 B79 

(Trichocephaliasis, penyakit cacing cambuk) 

 

1. Identifikasi  

Infeksi nematoda pada usus besar dan biasanya asimptomatis. Infeksi berat dapat 

memicu  kotoran berisi darah dan lendir, serta disertai diare. Prolaps rektal 

“Clubbing fingers”, hipoproteinemia, anemia dan gangguan pertumbuhan dapat terjadi 

pada anak-anak dengan infeksi berat. 

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur cacing pada tinja atau dengan 

sigmoidoskopi terlihat cacing menempel pada bagian bawah colon pada infeksi berat. 

Telur cacing ini harus dibedakan dengan telur cacing Capillaria. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

Trichuris trichiura (Trichocephalus trichiurus), termasuk nematoda; cacing cambuk pada 

manusia. 

 

3. Distribusi penyakit: Tersebar diseluruh dunia, terutama didaerah panas dan lembab. 

 

4. Reservoir: Manusia yaitu   sebagai reservoir, sedang  cacing cambuk hewan tidak 

infektif terhadap manusia 

 

5. Cara Penularan  

Cara penularan yaitu   tidak langsung, terutama sebab  kebiasaan menggigit/menjilat 

benda-benda yang terkontaminasi atau sebab  mengkonsumsi sayuran yang 

terkontaminasi : Trichiuriasis tidak langsung ditularkan dari orang ke orang. Telur yang 

keluar melalui tinja untuk menjadi infektif membutuhkan waktu paling sedikit 10 – 14 

hari di tanah yang hangat dan lembab. Setelah telur tertelan, telur menetas dan larva 

menempel pada mukosa dari cecum dan colon proximal dan berkembang menjadi cacing 

dewasa. Telur cacing ditemukan dalam tinja setelah 70 – 90 hari sejak menelan telur