Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 9. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 9


 plikasi melalui mekanisme yang belum diketahui. Jika dugaan itu benar 

aka sebutan “prion” untuk protein ini  sangatlah tepat. m

 

Ada 4 penyakit yang disebabkan oleh prion yaitu: 

1. Creutzfeldt – Jacob Disease (CJD) 

2. Gertsmann – Straussler Scheinker Syndrome 

3. Kuru, dan  

4

 

. Fatal familial insomnia. 

Empat penyakit pada hewan: 

1) Scrapie pada domba dan kambing 

2) Transmissible mink encephalopathy 

3) Chronic wasting disease pada rusa dan kijang bagal di Amerika. 

4

 

) Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE). 

Di akhir tahun 1990-an ditemukan varian baru dari Creutzfeldt-Jacob Disease (vCJD) yang 

dihubungkan dengan BSE atau sering dalam bahasa awam disebut penyakit sapi gila (Mad 

Cow Disease). 

I. CREUTZFELDT JACOB DISEASE  ICD-9 046.1;  ICD-10 A81.0 

 (Jacob-Creutzfeldt Syndrome, Subacute Spongiform Encephalopathy) 

 

1.  Identifikasi 

 Merupakan penyakit dengan perjalanan yang sangat lambat dengan gejala klinis: bingung, 

dementia dan ataxia yang bervariasi, menyerang mereka yang berusia antara 16 tahun 

sampai 80 tahun namun hampir semua penderita berusia di atas 35 tahun. Selanjutnya 

akan muncul kejang mioklonik bersamaan dengan gejala syaraf  lain dengan spektrum 

yang lebih luas. Namun penyakit ini sangat khas dimana hasil pemeriksaan laboratorium 

terhadap LCS menunjukkan normal dan tidak ada gejala demam. 

 Gambaran Electro Encephalogram (EEG) sering menunjukkan adanya gambaran yang 

khas berupa “high voltage complexes” yang periodik. Penyakit ini sangat progressif, 

 

 191

kematian sering terjadi dalam waktu 3 sampai dengan 12 bulan (rata-rata 7 bulan). Sekitar 

5-10% dari kasus memiliki riwayat keluarga adanya dementia presenelis yang dikaitkan 

dengan satu dari berbagai mutasi gen yang terjadi pada kromosom nomor 20 yang 

memberi kode amyloidogenic precursor protein (PrP). Perubahan patologis terbatas 

terjadi hanya pada otak. Satu keluarga dengan penyakit ini  yaitu   Gertsmann-Straussler 

Scheinker Syndrome (GSS) yang ditandai secara neuropatologis berupa adanya 

“multicentric plaques”. GSS dibedakan dari Creuztfeldt-Jacob Disease (CJD) berdasarkan 

lamanya sakit dan beberapa gejala klinis. 

 CJD harus dapat dibedakan dari berbagai bentuk dementia terutama penyakit Alzheimer, infeksi otak yang 

berjalan lambat lainnya dari ensepalopati toksik dan metabolic serta kadang-kadang tumor dan lesi-lesi lain 

pada otak. 

 Laporan dari Inggris pada dekade yang lalu dilaporkan bahwa telah terjadi ribuan kasus 

BSE pada binatang ternak. Perhatian terhadap ternak sapi mendorong dilakukannya 

penelitian besar-besaran baik penelitian epidemiologi maupun penelitian laboratorium 

terhadap BSE dan hubungannya dengan CJD. Hasil penelitian terakhir menunjukkan 

adanya CJD bentuk baru. Penyakit ini di Inggris atau di negara lain di Eropa disebutkan 

sebagai varian baru dari Creutzfeldt Jacob Disease (CJD) atau vCJD. Kedua penyakit ini 

dapat dibedakan melalui 3 hal yang sangat berbeda. Pertama vCJD terjadi pada usia 20-30 

tahun. Kedua, terjadi perubahan EEG yang khas pada CJD yang tidak ditemukan pada 

vCJD. Ketiga, lamanya gejala klinis, vCJD berlangsung lama yaitu 12-15 bulan 

sedang  CJD hanya 3-6 bulan.  

 Percobaan yang dilakukan pada tikus (inbred strain) yang disuntikkan dengan 

homogenate otak ternak yang terkena BSE dapat memicu  penyakit yang sama. Hal 

ini tidak berarti bahwa BSE dan CJD disebabkan oleh agen yang sama. Walaupun ada 

kemiripan pada kedua penyakit ini  namun perbedaan yang prinsip dapat ditemukan 

dari berbagai pengamatan dan penelitian epidemiologis yang dilakukan pada manusia 

pada saat terjadinya KLB BSE di Inggris, bahwa vCJD merupakan varian dari CJD. 

Akhirnya diketahui juga bahwa faktor genetik memiliki  peran penting terhadap 

terjadinya penyakit, sebab  mereka dengan “individual homozygous for methionine” pada 

posisi 129 dari protein prion (PrP) diketahui memiliki  risiko terserang lebih tinggi. 

 Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan adanya perubahan periodik yang khas 

dari EEG. Dan diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan hispatologik dan melalui 

penelitian dengan menularkan binatang percobaan dengan spesimen penderita. Amyloid 

protein abnormal yang ditemukan dalam jaringan otaknya dan adanya pasangan protein 

abnormal dalam LCS merupakan verifikasi diagnosa antemortum; namun kit untuk 

pemeriksaan LCS tidak selalu ada. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Telah diketahui bahwa CJD disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat kecil dan dapat 

replikasi sendiri yang disebut sebagai prion. Penyakit ini dapat ditularkan kepada 

simpanse, monyet, marmot, tikus, hamster dan kambing. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 CJD dilaporkan terjadi hampir di seluruh dunia. Angka kematian rata-rata setiap tahun 

yaitu   0,5 – 1/1.000.000 warga  dengan klaster dalam keluarga ditemukan di Slovakia, 

Israel dan Chili. Di Amerika Serikat kelompok umur spesifik tertinggi yang diserang 

yaitu   65-79 tahun dengan rata-rata per tahun lebih dari 5 kasus/1.000.000.  

 

 192

 Dan pada tahun 1999 ditemukan lebih dari 40 kasus vCJD hampir semuanya dari Inggris. 

 

4.  Reservoir 

 Manusia merupakan satu-satunya reservoir. Belum ada data yang mengatakan bahwa 

infeksi CJD pada manusia berasal dari hewan walaupun ini masih merupakan hipotesa. 

 

5. Cara Penularan 

 Cara penularan sebagian besar kasus belum diketahui, namun sekali lagi diduga bahwa 

telah terjadi dengan cara generasi spontan dari replikasi diri protein, dilaporkan ada kasus 

secara “iatrogenic” (timbulnya penyakit sebab  tindakan medis operatif). Satu kasus 

terjadi setelah pencangkokan kornea, 2 kasus setelah pemasangan elektroda korteks yang 

pernah digunakan oleh penderita CJD, dan sedikitnya sekitar 14 kasus muncul setelah 

pencangkokan graft durameter manusia dan lebih dari 50 kasus setelah injeksi hormon 

gonadotropin atau hormon pertumbuhan yang berasal dari glandula pituitaria (hipofise) 

manusia. sedang  pasien CJD lainnya dilaporkan memiliki  riwayat telah dilakukan 

bedah otak terhadap mereka dalam waktu 2 tahun sebelum sakit. Kemungkinan lain 

dimungkinkan penularan vCJD yaitu   sebab  mengkonsumsi daging sapi penderita BSE. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Masa inkubasi pada kasus sporadis tidak diketahui, namun  pada penyakit sebab  Kuru 

kemungkinan yaitu   4-20 tahun. Pada kasus “iatrogenic” dapat berlangsung antara 15 

bulan sampai 30 tahun. Kasus yang terjadi sebab  terpajan langsung dengan jaringan otak, 

masa inkubasi dapat berlangsung dengan cepat yaitu kurang dari 10 tahun. 

 

7. Masa Penularan 

 Jaringan susunan saraf pusat (SSP) tetap infeksius selama ada gejala klinis. Namun 

jaringan lainnya dan LCS kadang-kadang juga infeksius. Tingkat infektivitas selama masa 

inkubasi tidak diketahui tapi percobaan pada hewan menunjukkan bahwa kelenjar limfa 

dan organ lainnya kemungkinan sudah terinfeksi sebelum gejala sakit terlihat. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan  

 Faktor keturunan (genetic) sangat menentukan perbedaan kerentanan individu dimana 

adanya gen “antosomal dominant units”, dapat menjelaskan Distribusi Penyakit ini dalam 

lingkungan keluarga. Pada hewan faktor keturunan telah diketahui memicu  

perbedaan kerentanan terhadap penyakit scrapie. Adanya mutasi gen pada “prion 

protein” terbukti erat hubungannya dengan Distribusi Penyakit ini dalam lingkungan 

keluarga. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan  

 A. Cara-cara Pencegahan  

  Hal yang harus dilakukan dalam upaya pencegahan terjadinya penularan: 

• Dihindari penggunaan jaringan penderita untuk ditransplantasi 

• Elektroda EEG dan instrument bedah harus dicegah dari pencemaran jaringan 

infeksius. 

• Alat-alat harus disterilisasi dengan benar sebelum digunakan lagi. 

Penularan melalui konsumsi produk daging atau susu belum terbukti.  

 

 193

Namun kekhawatiran akan terjadinya penularan melalui produk daging dari hewan 

yang terinfeksi BSE memicu  diberlakukannya larangan total mengkonsumsi 

daging sapi dari daerah terjangkit. 

Transfusi darah tidak terbukti dapat menularkan penyakit. Namun donor darah 

sebaiknya jangan diambil dari individu yang memiliki  risiko tinggi tertular penyakit 

“Transmissible Spongiform Encephalopathies” (mereka yang keluarganya menderita 

TSE atau mereka yang pernah mengalami pembedahan saraf). 

Untuk mencegah risiko terjadi penularan vCJD kepada penerima produk darah, pihak 

berwenang di Amerika Serikat dan Kanada pada bulan Agustus 1999 meminta seluruh 

pusat transfusi darah tidak memakai   donor darah dari mereka yang secara 

kumulatif lebih dari 6 bulan pada periode 1 Januari 1980 sampai dengan 31 Desember 

1996 berada atau berkunjung ke Ingris, Skotlandia, Wales, Irlandia Utara, Isle of Man 

dan pulau Channel. Selain itu pemerintah AS juga melarang donor yang sebelumnya 

telah memperoleh injeksi insulin sapi yang belum mendapat lisensi di AS dan produk 

injeksi yang dibuat dari sapi dari daerah endemis BSE. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Penyakit ini tidak wajib untuk 

dilaporkan, Kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi:  Lakukan tindakan kewaspadaan universal. 

3) Desinfeksi serentak: jaringan, alat-alat bedah dan drainage luka yang dianggap 

telah tercemar dan harus disterilisasi. Sterilisasi dengan uap memakai   

autoclave sangat efektif untuk disinfeksi (selama 1 jam pada suhu 132°C atau 

lebih). Penggunaan zat kimia seperti natrium hipoklorida 5% dan 1N-2N natrium 

hidroksida kurang efektif, setelah 1 jam harus diikuti dengan sterilisasi 

memakai   autoclave. Penggunaan Aldehid tidak efektif.  

4) Karantina:  Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi terhadap kontak:  Tidak dilakukan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi:  dapatkan riwayat lengkap penyakit 

termasuk riwayat bedah saraf, pengobatan gigi, riwayat pernah menerima 

pengobatan hormone manusia dan menerima jaringan transplantasi serta riwayat 

bahwa didalam keluarga ada yang menderita demensia. 

7) Pengobatan spesifik:  Tidak ada. 

       

  C, D, E:  Penanggulangan wabah, Implikasi menjadi bencana dan Tindakan 

lebih lanjut :   Tidak ada. 

 

 

 

II.  K U R U                              ICD-9 46.0;  ICD-10 A81.8 

 

Penyakit susunan saraf pusat dengan gejala ataxia cerebellar, gerak tidak beraturan, tremor 

(gemetaran), kaku pada penderita usia 4 tahun dan dewasa, terjadi penurunan berat badan dan 

kelemahan progresif. Penyakit ini menyerang wanita dan anak-anak dari kelompok suku yang 

memakai   bahasa utama yang tinggal didataran tinggi di Papua Nugini. Penyakit ini 

disebabkan oleh agen berukuran kecil yang dapat mereplikasi sendiri dan ditularkan kepada 

hewan primata dan hewan lain.  

 

 194

Kuru ditularkan melalui praktek dan cara pemakaman tradisional yang berlaku di Papua 

Nugini dimana pada upacara pemakaman ini  terjadi pemajanan terhadap jaringan tubuh 

jenazah penderita termasuk adanya praktek kanibalisme. 

 

Dahulu penyakit Kuru sempat sangat banyak dan sering ditemukan di Papua Nugini, sekarang 

setiap tahun dilaporkan hanya sekitar 10 orang penderita. 

 

 

 

ENTEROBIASIS      ICD-9 127.4; ICD-10 B80 

(Oxyuriasis, Infeksi cacing Kremi (Pinworm))   

 

 

1.  Identifikasi 

 Infeksi cacing perut yang paling umum terjadi, tanpa gejala, biasanya dubur terasa gatal, 

tidur terganggu (tidak bisa tidur), lecet sekitar dubur dan kadang-kadang terjadi infeksi 

sekunder pada kulit dubur sebab  digaruk menjadi lecet. Manifestasi klinis lainnya 

termasuk vuvovaginitis, salpingitis, granulomata pada pinggul. Radang usus buntu 

(apendiksitis) dan enuresis pernah dilaporkan sebagai akibat infeksi cacing kremi namun  

sangat jarang. 

 Diagnosa dibuat dengan pemeriksaan sediaan yang dibuat dari usap dubur (anal swab) 

yang diambil dengan cara melekatkan “Scotch adhesive tape” pada dubur. Dilakukan 

pemeriksaan mikroskopis untuk melihat adanya telur cacing. Pengambilan usap dubur 

sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum mandi dan buang air besar. Pemeriksaan 

diulang sebanyak tiga kali atau lebih sebelum menyatakan hasilnya negatif. Kadang telur 

cacing ditemukan pada pemeriksaan tinja atau urin. Cacing betina ditemukan dalam tinja 

dan disekitar dubur pada saat dilakukan pemeriksaan rectum dan vagina. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Pemicu  penyakit yaitu   nematoda usus Enterobius vermicularis. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Tersebar luas di seluruh dunia terjadi pada semua golongan sosial ekonomi dan di 

beberapa wilayah tingkat infeksinya sangat tinggi. Enterobiasis sangat umum ditemukan 

di AS, prevalensi infeksi cacing paling tinggi pada anak-anak usia sekolah, pada 

kelompok tertentu bisa mencapai 50%. Kemudian diikuti anak prasekolah, dan prevalensi 

infeksi rendah pada orang dewasa kecuali pada ibu yang mendapatkan infeksi dari 

anaknya. Infeksi sering terjadi pada lebih dari satu anggota keluarga. Prevalensi tertinggi 

paling sering terjadi di asrama. 

 

4. Reservoir 

 Manusia, cacing kremi pada hewan lain tidak menular pada manusia. 

 

5. Cara Penularan 

 Kontak langsung dengan telur cacing kremi infektif melalui tangan, dari dubur, 

selanjutnya ke mulut sendiri atau ke orang lain atau secara tidak langsung melalui 

 

 195

pakaian, tempat tidur, makanan atau bahan-bahan lain yang terkontaminasi oleh telur 

cacing kremi ini . Penularan melalui debu biasa terjadi pada rumah tangga dan asrama 

yang terkontaminasi berat. 

 Telur cacing menjadi infektif beberapa jam setelah diletakkan dipermukaan dubur oleh 

cacing betina, telur dapat hidup kurang dari 2 minggu  diluar pejamu. Larva dari telur 

cacing kremi menetas di usus kecil. Cacing muda menjadi dewasa di cecum dan bagian 

atas dari usus (cacing betina yang pada masa gravid bermigrasi ke anus dan vagina 

memicu  pruritus setempat). Cacing kremi yang gravid biasanya migrasi secara aktif 

dari rectum dan dapat masuk ke lubang-lubang yang berdekatan. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Siklus hidup cacing kremi dari telur sampai dewasa kurang lebih 2-6 minggu. Gejala 

cacing kremi muncul sebab  adanya cacing yang banyak dalam usus dan sebab  infeksi 

ulang. 

 

7. Masa Penularan 

 Selama cacing betina yang sedang gravid mengeluarkan telur di sekitar anus. Telur yang 

berada di dalam rumah dapat bertahan selama 2 minggu. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Semua orang rentan terhadap enterobiasis. Perbedaan intensitas  dan frekuensi infeksi 

tergantung pada perbedaan cara pemajanan. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

 A. Cara Pencegahan 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  tentang kebersihan perorangan: cuci 

tangan sebelum makan atau sebelum menyiapkan makanan, jaga kebersihan kuku, 

kuku sebaiknya dipotong pendek, jangan mengaruk-garuk daerah sekitar anus, dan 

tinggalkan kebiasaan mengigit-gigit kuku. 

2) Menghilangkan sumber infeksi dengan cara memberi pengobatan terhadap 

penderita secara tuntas. 

3) Mandi setiap pagi dengan air mengalir “shower” atau mandi dengan berendam 

dalam bak mandi. 

4) Gantilah pakaian dalam, baju tidur dan sprei setiap hari, sebaiknya dilakukan 

setelah mandi. 

5) Bersihkan rumah dan sedot dengan penyedot vakum setiap hari selama beberapa 

hari setelah pengobatan kasus. 

6) Kurangi jumlah penghuni rumah yang ada penderita cacing kremi untuk 

menghindari penularan. 

7) Anjurkan warga  memakai   jamban keluarga yang sesuai standar dan 

selalu merawat kebersihan jamban ini . 

 

B.  Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat:  Tidak diperlukan laporan formal 

untuk tindak lanjut kasus ini  (lihat pelaporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi: Tidak perlu. 

 

 196

3) Desinfeksi serentak:  Ganti sprei dan pakaian dalam pasien yang terinfeksi setiap 

hari, dilakukan beberapa hari setelah pengobatan, dilakukan dengan hati-hati agar 

telur cacing tidak beterbangan di udara, gunakan baju tidur yang tertutup. Telur 

cacing akan mati jika dipanaskan dengan suhu 55ºC (131°)  dalam beberapa detik; 

rebus sprei atau gunakan mesin cuci yang baik untuk mencuci kain ini  pada 

suhu panas. Bersihkan dan gunakan penyedot debu untuk membersihkan tempat 

tidur dan ruang keluarga setiap hari, dilakukan selama beberapa hari setelah 

pengobatan. 

4) Karantina:  Tidak perlu. 

5) Imunisasi kontak:  Tidak perlu. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: periksa semua anggota keluarga yang 

terinfeksi di rumah, atau semua penghuni asrama yang terinfeksi 

7) Pengobatan spesifik: Pyrantel pamoate (Antiminth®, Combantrin®,  mebendazole 

(Vermox®) atau albendazole (Zantel®). Pengobatan diulang setelah 2 minggu. 

Pengobatan dilakukan terhadap seluruh anggota keluarga jika ada beberapa orang 

yang terinfeksi cacing kremi ini . 

 

C. Penanggulangan wabah 

 Jika ditemukan banyak kasus di sekolah atau institusi lain maka upaya pemberantasan 

paling baik yaitu   dengan cara memberikan pengobatan yang sistematik kepada 

mereka yang terinfeksi dan kepada anggota keluarga yang kontak dengan mereka yang 

terinfeksi. 

 

D. Implikasi menjadi bencana:   Tidak ada. 

 

E. Penanganan lebih lanjut :  Tidak perlu. 

 

 

 

 

ERITEMA INFEKSIOSUM     ICD-9 057.0; ICD-10 B08.3 

Infeksi Parvovirus pada manusia; Fifth Disease    

 

1. Identifikasi  

 Eritema infeksiosum yaitu   penyakit virus ringan, umumnya tidak disertai demam, 

ditandai dengan adanya erupsi eritematus yang muncul secara sporadis atau dalam bentuk 

KLB. Umumnya menyerang anak-anak. Ciri-ciri penyakit ini : pipi kemerahan yang 

muncul tiba-tiba seperti habis ditampar dan sering disertai ruam seperti renda pada tubuh 

dan ekstremitas. Tanda seperti itu berulang sampai 1-3 minggu atau lebih, jika terkena 

sinar matahari atau panas. Gejala umum ringan muncul mendahului timbulnya ruam pada 

orang dewasa, bentuk ruam tidak khas atau belum tentu ada, namun gejala arthralgia atau 

arthritis yang dapat berlangsung selama beberapa bulan atau beberapa tahun; 25% kasus 

tanpa gejala. Penyakit ini perlu dibedakan dengan rubella, eritema multiforme dan scarlet 

fever. Komplikasi yang berat pada penyakit ini jarang namun dapat terjadi pada penderita 

yang menderita anemia yang memerlukan peningkatan produksi sel darah merah 

(misalnya pada penderita sickle cell), dapat berkembang menjadi TAC (Transient Aplastic 

 

 197

Crisis). Hal ini dapat terjadi tanpa didahului munculnya ruam. Infeksi intra uterin terjadi 

pada trimester kedua kehamilan dan dapat memicu  anemia pada janinnya dengan 

hidreopfetalis dan dapat berakibat kematian pada janin; kurang dari 10% dari kasus yang 

ada.  Pada orang dengan kelainan sistem kekebalan akan menderita anemia kronis yang 

berat. Dan penyakit lain yang muncul bersamaan dengan infeksi parvovirus dilaporkan 

pernah terjadi yang tidak memiliki  hubungan kausatif seperti: remathoid arthritis, 

vasculitis, fulminant hepatitis dan myocarditis. Diagnosa biasanya dibuat berdasarkan 

gejala klinis dan data epidemiologi. Konfirmasi diagnosa dibuat melalui tes laboratorium 

dengan ditemukan adanya IgM antibody terhadap parvovirus B19 atau adanya kenaikan 

titer antibody IgG terhadap B19. IgM akan turun dalam waktu 30-60 hari setelah timbul 

gejala. Diagnosis infeksi B19 juga dapat dibuat dengan pemeriksaan untuk melihat 

antigen virus dari PCR DNA untuk B19 merupakan tes yang sangat sensitif dan hasilnya 

sudah positif pada bulan pertama setelah infeksi akut dan pada beberapa orang lebih lama 

dari itu. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Pemicu  infeksi yaitu   parvovirus B19 pada manusia yaitu virus DNA yang berukuran 

20-25 nm termasuk famili parvoviridae, virus bereplikasi terutama dalam erythroid 

precursor cell. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Tersebar luas hampir di seluruh dunia. Pada umumnya menyerang anak-anak dalam 

bentuk sporadis atau KLB. Di Amerika Serikat prevalensi antibodi IgG terhadap virus 

B19 sekitar 5-15% pada anak-anak usia dibawah 5 tahun, sedang  orang dewasa 50%-

80%. Di daerah subtropis KLB cenderung pada musim dingin dan musim semi dengan 

siklus 3-7 tahun. 

 

4. Reservoir:  Manusia.  

 

5. Cara Penularan 

 Infeksi terutama terjadi sebab  kontak dengan sekret dari saluran napas penderita 

parvovirus. Penularan dapat dari ibu ke janinnya melalui transfusi darah atau produk 

darah. Virus B19 sangat resisten terhadap berbagai upaya inaktivasi termasuk dengan 

pemanasan pada suhu 80°C selama 72 jam. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Masa inkubasi bervariasi, 4-20 hari sampai munculnya ruam atau munculnya gejala krisis 

aplastik. 

 

7. Masa Penularan 

 Pada penderita yang hanya menunjukkan gejala klinis berupa ruam saja, penularan terjadi 

sebelum timbulnya ruam, setelah muncul ruam penderita tidak menular lagi. Namun pada 

penderita dengan krisis aplastik menular sampai 1 minggu setelah timbul gejala ini . 

Pada orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh dengan infeksi kronis dan pada 

orang yang menderita anemia berat, tetap menular dalam waktu berbulan-bulan bahkan 

bertahun-tahun. 

 

 198

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Mereka dengan golongan darah yang mengandung “antigen P” rentan terhadap penyakit 

ini; adanya kekebalan ditandai dengan munculnya antibody B19. Reseptor B19 pada sel 

erythroid yaitu   antigen golongan darah P. Attack rate pada mereka yang rentan sangat 

tinggi dapat mencapai 50% pada orang yang kontak dengan penderita serumah, 10-60% 

terjadi pada penitipan anak atau di sekolah dan lama KLB dapat berlangsung selama 2-6 

bulan. Di Amerika Serikat 50-80% orang dewasa memiliki  serologi positif sebagai 

bukti pernah mengalami infeksi, tergantung umur dan lokasi tempat tinggalnya. 

 

9. Cara Pemberantasan 

A.  Cara-cara Pencegahan 

1) Secara umum penyakit ini sangat ringan, pencegahan difokuskan kepada mereka 

yang cenderung terjadi komplikasi yaitu terhadap orang yang menderita anemia 

kronis dan terhadap mereka dengan gangguan sistem kekebalan serta terhadap ibu 

yang sedang hamil yang rentan terhadap virus B19. Kepada mereka ini harus 

dicegah terhadap infeksi parvovirus dengan menjauhi penderita yang sedang 

dirawat di rumah sakit atau pada saat terjadi wabah. Belum dilakukan uji coba 

efikasi penggunaan/pemberian IgG. 

2) Wanita rentan yang sedang hamil atau yang akan hamil dan secara terus-menerus 

berada dekat dengan penderita infeksi virus B19, misalnya di sekolah, di rumah, di 

fasilitas pelayanan kesehatan perlu diberi penjelasan bahwa mereka sangat 

potensial mendapat infeksi yang dapat memicu  terjadinya komplikasi 

terhadap janin yang dikandung. Wanita hamil yang memiliki  anak dengan 

infeksi B19 dianjurkan untuk sesering mungkin mencuci tangan dan menghindari 

makan bersama dalam satu piring. 

3) Perawatan kesehatan pada pekerja sangat penting dianjurkan agar terhindar dari 

infeksi, jarang terjadi infeksi nosokomial pada saat wabah. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat, jika terjadi wabah, Kelas 4 (lihat 

pelaporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi:  Tidak praktis dilakukan pada warga  luas. Terhadap penderita krisis 

transient aplastik di rumah sakit diberlakukan kewaspadaan umum terhadap 

penularan melalui percikan ludah (droplet). Walaupun anak-anak yang terinfeksi 

B19 sudah menular sebelum menunjukkan gejala sakit, haruslah hati-hati sekali 

mengijinkan mereka untuk tidak masuk sekolah pada saat demam. 

3) Desinfeksi serentak: sangat dianjurkan mencuci tangan setelah kontak dengan 

penderita. 

4) Karantina:  Tidak perlu. 

5) Imunisasi terhadap kontak:  Dapat diberikan vaksin recombinant dari kapsid B19. 

Diberikan pada stadium awal dari perjalanan penyakit. 

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Wanita hamil yang terpajan virus 

B19 segera dilakukan pemeriksaan antibodi IgG dan IgM untuk menentukan 

kerentanan mereka dan membantu memberikan konseling tentang risiko pada 

bayinya. 

 

 199

7) Pengobatan spesifik:  Diberikan serum Imunoglobulin intravena (IG IV).  Hal ini 

telah dilakukan dengan hasil baik pada kasus anemia kronis walaupun relaps bisa 

terjadi lagi sehingga perlu diberikan IGIV lagi. 

 

C.  Penanganan wabah 

 Selama terjadi wabah di sekolah atau pada penitipan anak, mereka yang menderita 

anemia, mereka dengan gangguan sistem kekebalan dan wanita hamil harus diberitahu 

bahwa mereka berisiko terinfeksi virus B19. 

 

D.  Implikasi menjadi bencana:   Tidak ada. 

 

E. Penanganan lebih lanjut :  Tidak perlu. 

 

 

 

EXANTHEMA SUBITUM     ICD-9 057.8;  ICD-10 B08.2 

(Sixth disease, Roseola infantum)     

 

 

1. Identifikasi 

 Exanthema subitum yaitu   penyakit akut, demam disertai ruam yang disebabkan oleh 

virus, biasanya menyerang anak-anak dibawah umur 4 tahun dan paling sering terjadi 

pada anak sebelum usia 2 tahun. Merupakan salah satu manifestasi dari penyakit-penyakit 

yang disebabkan oleh infeksi herpes virus 6B pada manusia (HHV-6B). 

 Demam hilang, kadang-kadang mencapai 41°C (106°F) muncul tiba-tiba dan hilang dalam 

waktu 3-5 hari. Ruam makulopapuler muncul pada badan dan bagian lain dari badan yang 

biasanya muncul setelah demam berkurang. Ruam biasanya hilang dengan cepat, biasanya 

ringan, namun  pernah dilaporkan adanya kejang demam. 

 Spektrum penyakit pada anak saat ini telah diketahui, termasuk demam tanpa ruam, 

radang pada gendang telinga dan jarang terjadi meningoensefalitis, dapat terjadi serangan 

kejang demam berulang atau hepatitis fulminan. Pada orang dewasa pernah ditemukan 

sindroma monokleusis dan pada orang dengan gangguan sistem imunitas, pneumonitis 

juga dilaporkan. Infeksi HHV-6 dapat juga menimbulkan gejala dan dapat terjadi infeksi 

menahun. 

 Membedakan exanthema subitum dengan penyakit serupa yang dapat dicegah dengan 

imunisasi (PD3I) seperti campak dan rubella perlu dilakukan. Diagnosa dapat ditegakkan 

dengan pemeriksaan “paired sera” untuk melihat antibodi dari HHV-6 dengan teknik IFA 

atau dengan isolasi virus HHV-6. Pemeriksaan terhadap Ig M saat ini tidak ada. Respons 

IgM biasanya tidak terdeteksi sampai dengan kurang dari 5 hari dari saat timbulnya gejala. 

Ditemukannya DNA dari HHV-6 dalam darah dengan teknik PCR dimana IgG tidak 

terdeteksi, teknik ini dimasa yang akan datang menjanjikan sebagai cara praktis untuk 

mendiagnosa penyakit ini secara cepat. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Herpes virus 6 pada manusia (subfamili beta herpes virus, genus Roseolovirus). Sebagai 

Pemicu  utama exanthema subitum. HHV-6 dapat dibagi dalam HHV-6A dan HHV-6B 

 

 200

dengan memakai   teknik monoclonal. Kebanyakan infeksi HHV-6 pada manusia 

disebabkan oleh HHV-6B. Exanthema subitum dapat juga disebabkan oleh herpes virus 7 

pada manusia. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Exanthema subitum tersebar luas hampir di seluruh dunia. Di Jepang, AS, Inggris dan 

Hongkong dimana gambaran seroepidemiologi dari infeksi HHV-6 telah diketahui dengan 

jelas, insidensi tertinggi pada usia 6-12 tahun, sedang  pada usia 2 tahun sero prevalensi 

HHV-6 sekitar 65-100%. Pada wanita usia subur seroprevalensi sekitar 80-100%. Angka 

ini hampir sama di seluruh dunia. Jarang sekali terjadi KLB yang nyata dari exanthema 

subitum maupun HHV-6. variasi musiman ditemukan di Jepang yaitu timbul terutama 

pada akhir musim dingin atau awal musim semi. 

 

4. Reservoir 

 Manusia merupakan reservoir utama dari infeksi HHV-6. 

 

5. Cara Penularan 

 Tidak diketahui dengan pasti. Pada anak-anak terjadinya infeksi setelah antibodi yang 

diperoleh dari ibu menurun. Prevalensi DNA dari HHV-6 yang tinggi ditemukan pada 

kelenjar ludah orang dewasa membuktikan bahwa orang dewasa berperan sebagai 

pembawa virus yang memicu  terjadinya infeksi pada anak-anak. Namun penelitian 

di AS menunjukkan bahwa angka infeksi spesifik menurut umur (age specific infection 

rate) meningkat jika ada lebih dari satu orang anak dalam keluarga. Hal ini membuktikan 

bahwa anak berperan juga sebagai reservoir. Transplantasi ginjal atau hati dari donor yang 

menderita infeksi HHV-6 dapat mengakibatkan terjadinya infeksi primer pada resipien 

yang seronegatif. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Masa inkubasi 10 hari dan biasanya sekitar 5-15 hari. Pada orang yang menerima cangkok 

ginjal atau hati, masa inkubasi 2-4 minggu setelah pencangkokan. 

 

7. Masa Penularan 

 Pada infeksi akut, masa penularan tidak diketahui secara pasti. Setelah infeksi akut virus 

menjadi laten di kelenjar limfe, ginjal, hati, kelenjar ludah dan dalam sel monosit. Lama 

masa penularan setelah fase laten ini belum diketahui, diperkirakan seumur hidup. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Semua orang rentan terhadap infeksi virus ini . Angka infeksi pada bayi yang 

berumur kurang dari 6 bulan rendah dan meningkat cepat dengan bertambahnya usia. Hal 

ini membuktikan bahwa perlindungan sementara pada bayi didapat dari antibodi maternal. 

Penderita infeksi sekunder exanthema subitum jarang ditemukan. Infeksi laten dapat 

terjadi hampir pada semua orang tanpa gejala klinis yang berarti, gejala klinis nampak 

jelas pada mereka yang memiliki  gangguan sistem kekebalan. Gejala klinis pada 

penderita dengan infeksi primer mungkin berat dan gejala klinis ini berlangsung lama jika 

infeksi terjadi pada orang yang memiliki  gangguan sistem kekebalan. 

 

 

 201

9. Cara-cara Pemberantasan 

 Tidak ada cara pemberantasan yang cukup efektif dan memadai. 

  

A.  Cara-cara Pencegahan.   

Dimasa yang akan datang dicari jalan agar transplantasi organ dari donor yang positif 

HHV-6 terhadap resipien yang seronegatif dapat dihindari. 

 

 B.  Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan resmi tidak perlu, kelas 5 

(lihat pelaporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi: Di RS dan pada institusi tertentu, tersangka penderita exathema subitum 

harus diisolasi dan diterapkan kewaspadaan universal kontak dan penderita 

ditempatkan di kamar isolasi. 

3) Desinfeksi serentak:  Tidak perlu. 

4) Karantina:  Tidak perlu. 

5) Imunisasi terhadap kontak:  Tidak perlu. Titer antibodi setelah infeksi primer 

cukup untuk mencegah reinfeksi. Dimasa yang akan datang mungkin vaksinasi 

diperlukan. 

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber penularan:  Tidak perlu, sebab  penderita 

tanpa gejala klinis di warga  prevalensinya sangat tinggi. 

7) Pengobatan spesifik:  Tidak ada. 

 

      C. Penanggulangan wabah:  Tidak perlu. 

 

      D. Implikasi menjadi bencana:  Tidak ada. 

 

      E. Penanganan lebih lanjut :   Tidak ada. 

 

 

 

FASCIOLIASIS      ICD-9 121.3;  ICD-10 B66.3 

 

 

1. Identifikasi  

 Penyakit hati yang disebabkan oleh cacing trematoda merupakan parasit yang secara 

alamiah hidup pada kambing, sapi dan hewan lain sejenis dan tersebar di seluruh dunia. 

Cacing dewasa berbentuk pipih berukuran sekitar 3 cm, hidup dalam saluran empedu. 

Cacing muda hidup dalam parenchim hati dan dapat memicu  kerusakan parenchim 

hati dan kerusakan jaringan serta hepatomegali. Pada saat awal invasi kedalam parenchim 

hati kuadran kanan atas terasa sakit, fungsi hati tidak normal dan terjadi eosinofilia. 

Setelah migrasi kedalam kelenjar empedu dapat menimbulkan kolik empedu dan icterus 

obstructive. Infeksi ektopik terutama disebabkan oleh Fasciola gigantica yang bisa 

memicu  peradangan di kulit, berpindah-pindah di badan dan bagian tubuh yang lain. 

 Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur cacing didalam tinja atau didalam aspirat 

empedu yang diambil melalui duodenum. Diagnosa serologis dapat dilakukan di beberapa 

laboratorium. Diagnosa palsu bisa saja terjadi pada seseorang yang dalam tinjanya 

 

 202

ditemukan telur cacing infertile beberapa saat setelah orang ini  mengkonsumsi hati 

dari hewan yang terinfeksi. 

 

2. Pemicu  Penyakit:   

 Fasciola hepatica dan jarang oleh F. gigantica. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Infeksi pada manusia dilaporkan terjadi di daerah peternakan kambing dan sapi di 

Amerika Selatan, Karibia, Eropa, Australia, Timur Tengah dan Asia. Kasus sporadis  

dilaporkan di Amerika Serikat. F. gigantica ditemukan terbatas hanya di Afrika, Pasifik 

sebelah barat dan Hawai. 

 

4. Reservoir 

 Manusia yaitu   induk semang kebetulan. Siklus infeksi alamiah terjadi dan bertahan 

diantara beberapa spesies hewan, terutama pada kambing, sapi dan keong famili 

Lymnaeidae.  Sapi, kerbau air dan mamalia besar lainnya menjadi reservoir F. gigantica. 

 

5. Cara Penularan 

 Telur yang dikeluarkan melalui tinja akan menjadi matang dalam air dan sekitar 2 minggu 

telur akan menetas mengeluarkan mirasidium. Dan mirasidium masuk ke dalam tubuh 

keong air, dalam keong air mirasidium akan membentuk serkaria dalam jumlah yang 

banyak dan keluar dari keong berenang mencari dan melekat pada tumbuh-tumbuhan air 

kemudian membentuk kista (metaserkaria) yang tahan kering. Infeksi terjadi apabila 

memakan tumbuhan air yang tidak dimasak yang mengandung metaserkaria (seperti 

salada air). Kemudian larva mencapai susu dan migrasi menembus dinding usus masuk 

kedalam cavum peritoneal, kemudian masuk ke dalam hati dan tumbuh berkembang lalu 

masuk ke dalam saluran empedu dan cacing dewasa mengeluarkan telur dalam waktu 3-4 

bulan setelah infeksi. 

 

6. Masa Inkubasi:  sangat bervariasi. 

 

7.  Masa Penularan 

 Penularan dari manusia ke manusia tidak terjadi secara langsung. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Semua orang dan semua umur rentan terhadap infeksi cacing Fasciola dan infeksi bisa 

bertahan seumur hidup. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

 A.  Cara-cara Pencegahan 

1) Penyuluhan kesehatan dilakukan di daerah endemis, warga  dianjurkan untuk 

tidak makan tumbuh-tumbuhan air dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang tidak 

diketahui asalnya, khususnya di daerah dimana kambing dan hewan lain 

merumput. 

2) Hindari penggunaan kotoran kambing untuk memupuk tanaman selada air. 

 

 203

3) Keringkan tanah, gunakan moluskisida untuk membunuh moluska apabila secara 

teknis dan ekonomis memungkinkan. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan ke intansi kesehatan setempat. Laporan resmi tidak perlu, Kelas 5 (lihat 

pelaporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi:  Tidak perlu. 

3) Desinfeksi serentak:  Tidak perlu. 

4) Karantina:  Tidak perlu. 

5) Imunisasi terhadap kontak:  Tidak perlu. 

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi:  menemukan sumber infeksi 

berguna untuk mencegah penularan pada penderita dan orang lain. 

7) Pengobatan spesifik:  Upaya pengobatan secara umum tidak memberikan hasil 

yang memuaskan. Pada akhir tahun 1999 obat yang dianjurkan untuk dipakai 

yaitu   Triclabendazole: semua permintaan untuk pengobatan Fasciola hepatica 

yang ditujukan ke CDC Atlanta dirujuk ke Novartis Pharmacemical AG, Basel, 

Swiss sebagai penyalur obat ini . Bithionol (Bitin®) yang sudah tidak 

diproduksi lagi namun masih tersedia di CDC Atlanta untuk keperluan domestik. 

Obat ini tadinya dianggap sebagai obat pilihan namun angka kesembuhannya 

sangat tidak konsisten, begitu juga dengan Prasiquantel. Pada waktu stadium 

migrasi, keluhan dan gejala klinis dapat dikurangi dengan diberikan 

dehydroemetine, chloroquine atau metronidazole. 

 

C. Penanggulangan wabah 

Cari dan temukan sumber infeksi, tumbuh-tumbuhan serta keong yang terlibat dalam 

rantai penularan. Hindari mengkonsumsi tumbuhan-tumbuhan air dari daerah yang 

terkontaminasi.     

 

D. Implikasi menjadi bencana:  Tidak ada. 

 

E. Penanganan lebih lanjut :  Tidak perlu. 

 

 

 

 

FASCIOLOPSIASIS     ICD-9 121.4; ICD-10 B66.5 

 

 

1. Identifikasi 

 Infeksi trematoda yang menyerang usus halus, biasanya duedenum. Gejala klinis muncul 

sebagai akibat inflamasi lokal, ulserasi dinding dan keracunan sistemik. Biasanya berupa 

diare dan diselingi dengan konstipasi (sembelit); sering juga disertai dengan muntah dan 

tidak nafsu makan. Dalam jumlah besar cacing dapat menimbulkan penyumbatan  usus 

akut. Muka penderita bisa terlihat bengkak, oedema pada kaki, dan ascites bisa terjadi 20 

hari setelah infeksi yang masif. Sering dijumpai Eosinofilia dan kadang-kadang anemia 

sekunder. Kematian jarang terjadi dan infeksi ringan jarang menimbulkan gejala. 

 

 204

Diagnosa dibuat dengan menemukan cacing dewasa berukuran besar atau menemukan 

telur cacing dalam tinja;  cacing kadang-kadang dimuntahkan. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

Pemicu  penyakit yaitu   Fasciolopsis buski, trematoda yang ukuran panjangnya dapat 

mencapai 7 cm.  

 

3. Penyebaran Penyakit 

Tersebar di daerah pedesaan di Asia Tenggara, khususnya di Thailand, China Selatan dan 

Tengah, dan sebagian India. Prevalensi tinggi ditemukan di daerah peternakan babi. 

 

4. Reservoir 

Babi dan manusia merupakan hospes definitif dari cacing dewasa., anjing dapat juga 

terinfeksi namun  jarang. 

 

5. Cara Penularan 

   Telur yang dikeluarkan melalui tinja, paling sering pada babi, akan menetas dan 

berkembang dalam air dan dalam waktu 3-7 minggu dalam kondisi yang baik menjadi 

miracidia yang akan masuk kedalam tubuh keong yang berperan sebagai hospes 

perantara. Miracidia kemudian berkembang menjadi serkaria dan membentuk kista yang 

melekat pada tumbuhan air menjadi metaserkaria infektif. Manusia terinfeksi sebab  

mengkonsumsi sayuran mentah tumbuhan air. Di China, sumber penularan utama yaitu   

biji bunga teratai merah yang tumbuh dalam empang, umbi dari tanaman chesnut yang 

tumbuh di air dan umbi dari bambu air. Infeksi sering juga terjadi sebab  kulit ari lecet 

oleh gigitan. 

 

6. Masa Inkubasi 

Telur ditemukan di dalam tinja sekitar 3 bulan setelah infeksi. 

 

7. Masa Penularan 

 Penularan tetap terjadi selama telur yang fertile masih ada dalam tinja; tanpa pengobatan, 

penularan mungkin dapat berlangsung sampai 1 tahun. Tidak menular secara langsung 

dari manusia ke manusia. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Semua orang rentan. Pada orang yang kurang gizi, dampak dari penyakit ini lebih terlihat; 

jumlah cacing mempengaruhi berat ringannya penyakit. 

 

9.   Cara Pemberantasan 

      A. Cara Pencegahan 

1. Beri penyuluhan kepada warga  yang berisiko di daerah endemis tentang cara 

penularan dan siklus hidup dari parasit ini . 

2. Untuk membasmi telur, buanglah tinja pada jamban saniter, lakukan manajemen 

yang baik terhadap sedotan tinja. 

 

 205

3. Jauhkan tempat peternakan babi didaerah yang tercemar dimana banyak tumbuhan 

air tumbuh di sana; babi jangan diberi makan tumbuhan air ini. 

4. Keringkan tumbuhan air yang diduga mengandung metaserkaria, atau jika 

tumbuhan air ini  mau dikonsumsi mentah hendaknya disiram dengan air 

panas selama beberapa detik, kedua cara ini  dapat membunuh metaserkaria. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Di daerah endemis tertentu, hampir 

di seluruh negara di dunia tidak merupakan penyakit yang wajib dilaporkan. Kelas 

3 C (lihat tentang laporan penyakit menular). 

2. Isolasi:  tidak perlu. 

3. Disinfeksi serentak: lakukan pembuangan tinja yang saniter. 

4. Karantina: tidak perlu. 

5. Imunisasi terhadap kontak: tidak perlu. 

6. Investigasi terhadap sumber penularan: investigasi terhadap penderita perorangan 

kurang bermanfaat; upaya penanganan lingkungan yaitu   masalah warga  

(lihat 9 C, di bawah ini). 

7. Pengobatan spesifik : Praziaquantel (Biltricide®) yaitu   obat terpilih. 

 

C. Penanggulangan Wabah: 

Kecuali tumbuh-tumbuhan air yang mengandung metaserkaria dan yang biasa 

dimakan segar oleh warga , identifikasi spesies keong yang hidup di perairan 

dimana tanaman ini  tumbuh dan cegah terjadinya kontaminasi badan air ini  

dengan kotoran manusia dan kotoran babi. 

  

D. Implikasi menjadi wabah:  tidak perlu. 

 

E. Penanganan lebih lanjut : tidak perlu. 

 

 

 

 

FILARIASIS             ICD-9 125; ICD-10 B74 

 

 

Istilah filariasis digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis nematoda dari 

keluarga Filarioidea. Namun istilah ini hanya digunakan untuk filaria yang hidup dalam 

kelenjar limfe seperti tercantum di bawah ini. sedang  untuk jenis yang lain merujuk 

kepada bab penyakit yang spesifik yang diuraikan tersendiri. 

 

Filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti –   ICD-9 125.0; ICD-10 B74.0 

(Filariasis bancrofti) 

Filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi –   ICD-9 125.1; ICD-10 B74.1 

(Filariasis malayi, Filariasis brugia) 

 

 206

Filariasis yang disebabkan oleh Brugia timori –   ICD-9 125.6; ICD-10 B74.2 

(Filariasis timorean) 

 

 

1.   Identifikasi 

 

Filariasis bancrofti 

 

yaitu   infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda Wuchereria bancrofti  yang biasanya 

tinggal di sistem limfatik (saluran dan kelenjar limfa) dari penderita. Cacing betina 

menghasilkan mikrofilaria yang dapat mencapai aliran darah dalam 6-12 bulan setelah infeksi. 

Ada jenis filarial yang menunjukkan perbedaan biologis yaitu : pertama dimana mikrofilaria 

ditemukan dalam darah tepi pada malam hari (periodisitas nokturnal)  dengan konsentrasi 

maksimal pada pukul 22.00 hingga 02.00,  kedua  dimana mikrofilaria ditemukan dalam 

darah tepi terus-menerus namun konsentrasi maksimalnya terjadi pada siang hari (diurnal). 

Bentuk yang kedua endemis di Pasifik Selatan dan di daerah pedesaan muncul sebagai fokus 

kecil di Asia Tenggara dimana vektornya yaitu   nyamuk Aedes yang menggigit siang hari. 

 

Spektrum manifestasi klinis pada daerah endemis filariasis yaitu  : 

- Mereka yang terpajan namun tetap asimtomatik dan parasitnya negatif 

- Mereka yang asimtomatik dengan mikrofilaremia 

- Mereka yang mengalami demam berulang, limfadenitis dan limfangitis retrograde dengan 

atau tanpa mikrofilaria. 

- Mereka dengan tanda-tanda klinis kronis seperti timbulnya hidrokel, kiluria dan 

elephantiasis pada anggota badan, payudara dan alat kelamin dengan mikrofilaremia 

konsentrasi rendah atau tidak terdeteksi sama sekali 

- Mereka dengan sindrom “tropical pulmonary esosinophilia”, dan mereka dengan 

serangan asma nokturnal paroksismal, mereka dengan penyakit paru-paru interstitial 

kronis, mereka dengan demam ringan yang berulang serta mereka yang menunjukkan 

peningkatan eosinofilia dan adanya mikrofilaria degeneratif dalam jaringan  dan bukan 

dalam aliran darah (occult filariasis). 

 

 

Filariasis Brugia 

 

Disebabkan oleh cacing nematoda Brugia malayi dan Brugia timori. Bentuk periodik 

nokturnal dari Brugia malayi  ditemukan pada warga  pedesaan yang tinggal di daerah 

persawahan terbuka yang sebagian besar ditemukan di Asia Tenggara. Bentuk subperiodik 

dapat menginfeksi manusia, kera serta hewan karnivora baik hewan peliharaan ataupun 

binatang liar di hutan-hutan Indonesia dan Malaysia. Manifestasi klinis sama dengan filariasis 

bancrofti, kecuali bedanya ada pada serangan akut berupa demam filarial, dengan adenitis dan 

limfangitis retrograde yang lebih parah, sementara kiluria biasanya jarang terjadi dan 

elephantiasis biasanya mengenai ekstremitas bagian bawah (lengan bawah, kaki bagian 

bawah) paling banyak ditemui di bagian kaki di bawah lutut. Limfedema pada payudara dan 

hidrokel jarang ditemukan. 

 

 

 207

Infeksi Brugia Timori 

 

Ditemukan di Pulau Timor dan di bagian tenggara kepulauan Indonesia. Manifestasi klinis 

sama dengan infeksi yang terjadi pada Brugia malayi.  

Manifestasi klinis filariasis timbul tanpa ditemukannya mikrofilaria dalam darah (occult 

filariasis). Dari ribuan penderita dikalangan tentara Amerika yang diperiksa selama perang 

Dunia II, mikrofilaria ditemukan hanya pada 10 –15 orang penderita dengan pemeriksaan 

darah berulang-ulang. Pada sebagian dari penderita ini , infeksi ditandai dengan 

eosinofilia yang sangat jelas terkadang disertai dengan gejala pada paru berupa sindroma 

“tropical pulmonary eosinophilia”. 

Mikrofilaria dengan mudah dapat dideteksi pada waktu mikrofilaremia maksimal. 

Mikrofilaria hidup dapat dilihat dengan mikroskop kekuatan rendah pada tetesan darah tepi 

(darah jari) pada slide atau pada darah yang sudah dihemolisa di dalam bilik hitung. 

Pengecatan dengan giemsa untuk sediaan darah tebal maupun darah tipis dapat dipakai untuk 

mengidentifikasi spesies dari mikrofilaria. Mikrofilaria dapat dikonsentrasikan dengan cara 

filtrasi melalui filter “Nucleopore (dengan ukuran lubang 2-5 µm) dengan adapter Swinney 

dan teknik Knott (sedimentasi dengan sentrifugasi 2 cc darah yang dicampur dengan 10 cc 

formalin 2%)  atau dengan “Quantitative Buffy Coat (QBC)” acridine orange dengan teknik 

tabung mikrohematokrit. 

 

2. Pemicu  Penyakit  

Cacing panjang halus seperti benang yaitu : 

- Wuchereria bancrofti 

- Brugia malayi 

- Brugia timori. 

 

3. Penyebaran Penyakit 

 Wuchereria bancrofti endemis di sebagian besar wilayah di dunia di daerah dengan 

kelembaban yang cukup tinggi termasuk Amerika Latin(fokus-fokus penyebaran yang 

tersebar di Suriname, Guyana, Haiti, Republik Dominika dan Costa Rica), Afrika, Asia 

dan Kepulauan Pasifik. Umum ditemukan di daerah perkotaan dengan kondisi ideal untuk 

perkembangbiakan nyamuk.  

 Secara umum periodisitas nokturnal dari daerah endemis Wuchereria di wilayah Pasifik 

yang ditemukan di sebelah barat 140º bujur timur sedang  dengan subperiodisitas 

diurnal ditemukan di wilayah yang terletak di sebelah timur daerah 180º bujur timur. 

 Brugia malayi  endemis di daerah pedesaan di India, Asia Tenggara, daerah pantai utara 

China dan Korea Selatan. 

 Brugia timori keberadaannya di daerah pedesaan di Kepulauan Timor, Flores, Alor dan 

Roti di Tenggara Indonesia. 

 

4. Reservoir 

 Reservoir yaitu   manusia yang darahnya mengandung mikrofilaria W. bancrofti, Brugia 

malayi  (periodik) dan Brugia timori. 

 

 208

 Di Malaysia, Tenggara Thailand, Philipina dan Indonesia, hewan seperti kucing, musang 

(Viverra tangalunga)  dan kera dapat menjadi reservoir untuk Brugia malayi subperiodik.  

 

5. Cara Penularan 

 Melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif. 

 W. bancrofti  ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk, yang paling dominan yaitu   

Culex quinquefasciatus, Anopheles gambiae, An. funestus, Aedes polynesiensis, An. 

scapularis dan Ae. pseudoscutellaris. 

 Brugia malayi  ditularkan oleh spesies yang bervariasi dari Mansonia, Anopheles dan 

Aedes.  

 Brugia timori ditularkan oleh An. barbirostris.  Didalam tubuh nyamuk betina, 

mikrofilaria yang terisap waktu menghisap darah akan melakukan penetrasi pada dinding 

lambung dan berkembang dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform infektif, 

kemudian berpindah ke proboscis. Saat nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif 

akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva 

infektif ini  akan bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian akan mengalami 

perubahan bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa. 

 

6.   Masa Inkubasi 

 Manifestasi inflamasi alergik mungkin timbul lebih cepat yaitu sebulan setelah terjadi 

infeksi, mikrofilaria mungkin belum pada darah hingga 3-6 bulan pada B. malayi dan 6-12 

bulan pada W. bancrofti. 

 

7. Masa Penularan 

 Tidak langsung menular dari orang ke orang. Manusia dapat menularkan melalui nyamuk 

pada saat mikrofilaria berada pada darah tepi, mikrofilaria akan terus ada selama 5-10 

tahun atau lebih sejak infeksi awal. Nyamuk akan menjadi infektif sekitar 12-14 hari 

setelah menghisap darah yang terinfeksi. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Semua orang mungkin rentan terhadap infeksi namun ada perbedaan yang bermakna 

secara geografis terhadap jenis dan beratnya infeksi. Infeksi ulang yang terjadi di daerah 

endemis dapat mengakibatkan manifestasi lebih berat seperti elephantiasis.  

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Cara Pencegahan 

1. Memberikan penyuluhan kepada warga  di daerah endemis mengenai cara 

penularan dan cara pengendalian vektor (nyamuk). 

2. Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk 

dengan memakai   umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan tempat 

menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh 

nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah maka tindakan 

pencegahan yang dapat dilakukan yaitu   dengan penyemprotan, memakai   

pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan memakai   kelambu 

(lebih baik yang sudah dicelup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok 

 

 209

anti nyamuk (repellents) dan membersihkan tempat perindukan nyamuk seperti 

kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan membunuh larva dengan 

larvasida. Jika ditemukan Mansonia sebagai vektor pada suatu daerah, tindakan 

yang dilakukan yaitu   dengan membersihkan kolam-kolam dari tumbuhan air 

(Pistia) yang menjadi sumber oksigen bagi larva ini . 

3. Pengendalian vektor jangka panjang mungkin memerlukan perubahan konstruksi 

rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk 

memusnahkan tempat perindukan nyamuk. 

4. Lakukan pengobatan misalnya dengan memakai   diethylcarbamazine (DEC, 

Banocide®, Hetrazan®, Notezine®); Pengobatan ini terbukti lebih efektif bila 

diikuti dengan pengobatan setiap bulan memakai   DEC dosis rendah (25-50 

mg/kg BB) selama 1-2 tahun atau konsumsi garam yang diberi DEC (0,2-0,4 mg/g 

garam) selama 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Namun pada beberapa kasus 

timbulnya reaksi samping dapat mengurangi partisipasi warga , khususnya di 

daerah endemis onchocerciasis (lihat Onchorcerciasis, reaksi Marzotti). 

Ivermectin dan Albendazole juga telah digunakan; saat ini, pengobatan dosis 

tunggal setahun sekali dengan kombinasi obat ini akan lebih efektif. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya 

1. Laporkan kepada instansi kesehatan yang berwenang: di daerah endemis tertentu 

di kebanyakan negara, bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, Kelas 3 

C (lihat pelaporan tentang penyakit menular). Laporan penderita disertai dengan 

informasi tentang ditemukannya mikrofilaria memberikan gambaran luasnya 

wilayah transmisi di suatu daerah. 

2. Isolasi:  tidak dilakukan. Kalau memungkinkan penderita dengan mikrofilaria 

harus dilindungi dari gigitan nyamuk untuk mengurangi penularan. 

3. Desinfeksi serentak: tidak ada. 

4. Karantina: tidak ada. 

5. Pemberian imunisasi: tidak ada. 

6. Penyelidikan kontak dengan sumber infeksi: dilakukan sebagai bagian dari 

gerakan yang melibatkan warga  (lihat 9 A dan 9 C). 

7. Pengobatan spesifik: Pemberian diethylcarbamazine (DEC, Banocide®, Hetrazan®, 

Notezine®) dan Ivermectin hasilnya membuat sebagian atau seluruh mikrofilaria 

hilang dari darah, namun tidak membunuh seluruh cacing dewasa. Mikrofilaria 

dalam jumlah sedikit mungkin saja muncul kembali setelah pengobatan. Dengan 

demikian pengobatan biasanya harus diulangi lagi dalam interval setahun. 

Mikrofilaria dalam jumlah sedikit hanya dapat dideteksi dengan teknik 

konsentrasi. DEC, umumnya menimbulkan reaksi umum akut dalam 24 jam 

pertama dari pengobatan sebagai akibat dari degenerasi dan matinya mikrofilaria; 

reaksi ini biasanya di atasi dengan Parasetamol, anti histamine atau kortikosteroid. 

Limfadenitis dan limfangitis lokal mungkin juga terjadi sebab  matinya cacing 

dewasa. Antibiotik pada stadium awal infeksi dapat mencegah terjadinya gejala 

sisa pada sistem limfa yang disebabkan oleh infeksi bakteri. 

  

 

 

 

 210

C. Penanggulangan Wabah 

Pengendalian vektor yaitu   upaya yang paling utama. Di daerah dengan tingkat 

endemisitas tinggi, penting sekali mengetahui dengan tepat bionomik dari vektor 

nyamuk, prevalensi dan insidensi penyakit, dan faktor lingkungan yang berperan 

dalam penularan di setiap daerah. Bahkan dengan upaya pengendalian vektor yang 

tidak lengkappun dengan memakai   obat anti nyamuk masih dapat mengurangi 

insiden dan penyebaran penyakit. Hasil yang diperoleh sangat lambat sebab  masa 

inkubasi yang panjang.  

 

D. Implikasi menjadi bencana:  tidak ada. 

 

E Tindakan lebih lanjut :  tidak ada. 

 

 

 

DIROFILARIASIS      ICD-9 125.6; ICD-10 B74.8 

(Zoonotic filariasis)   

  

Beberapa spesies filaria biasanya ditemukan pada binatang liar dan hewan peliharaan namun 

kadangkala menginfeksi manusia meskipun mikrofilaremia jarang terjadi. Genus Dirofilaria 

mengakibatkan penyakit paru-paru dan penyakit kulit pada manusia. 

D. immitis (cacing jantung pada anjing) dapat memicu  penyakit paru di Amerika Serikat 

(dilaporkan sekitar 50 kasus) dengan beberapa kasus terjadi di Jepang, Asia dan Australia. 

Cara penularan pada manusia melalui gigitan nyamuk. 

Cacing masuk melalui arteri paru-paru yang membentuk nidus pada thrombus yang 

mengakibatkan oklusi vaskuler, koagulasi, nekrosis dan fibrosis. Gejala yang timbul meliputi 

nyeri dada, batuk dan hemoptisis, jarang terjadi esosinofili. Suatu nodul fibrotis dengan 

diameter 1-3 cm, biasanya tanpa menimbulkan gejala, dapat diketahui dengan sinar X sebagai 

lesi bentuk koin (coin lesion). 

Penyakit kulit yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa macam spesies seperti D. tenuis, 

suatu parasit pada hewan raccoon di Amerika; D. ursi pada beruang di Kanada, dan D. repens 

dewasa pada kucing dan anjing di Eropa, Afrika dan Asia. Cacing berkembang dan berpindah 

kedalam konjunctiva dan jaringan subkutan pada scrotum, payudara, lengan dan kaki namun 

mikrofilaremia jarang terjadi. Spesies lain (Brugia) terdapat pada noda limfa. Diagnosa 

biasanya ditegakkan dengan menemukan cacing di jaringan pada sayatan dalam pembedahan. 

 

 

 

 

 

 

 211

NEMATODA LAIN YANG MENGHASILKAN MIKROFILARIA PADA MANUSIA 

 

Beberapa cacing lain mungkin menimbulkan infeksi dan menghasilkan mikrofilaria pada 

manusia. Contohnya Onchocerca volvulus dan Loa-loa yang mengakibatkan onchocerciasis 

dan loiasis (lihat penjelasan pada daftar penyakit ini ). Infeksi lain berupa penyakit 

Mansonellosis (ICD-9 125.4 dan 125.5; ICD-10 B74.4) dimana Mansonella perstans tersebar 

luas di Afrika Barat dan Timur Laut Amerika Selatan. Cacing dewasa ditemukan pada rongga 

tubuh dan mikrofilaria telanjang bersikulasi dengan periodisitas yang tidak teratur. Infeksi 

biasanya terjadi asimtomatik. namun  infeksi pada mata oleh mikrofilaria tahap immature 

pernah dilaporkan. 

Di beberapa negara di Afrika barat dan tengah, infeksi M. streptocerca (ICD-9 125.6; ICD-10 

B74.4) sering terjadi dan diduga menimbulkan edema kulit dan bercak-bercak pada kulit, 

hipopigmentasi, macula, pruritis dan papula. Cacing dewasa dan mikrofilaria telanjang 

terdapat pada kulit sebagai onchocerciasis. M. ozzardi (ICD-9 125.5; ICD-10 B74.4) 

ditemukan di Peninsula Yucatan di Meksiko sampai di bagian utara Argentina dan di barat 

India. Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria telanjang nonperiodik dalam 

darah. Infeksi biasanya asimptomatis namun  bisa juga dengan gejala alergi seperti nyeri sendi, 

pruritis, sakit kepala dan limfadenopati. 

Culicoides yaitu   vektor utama dari M. streptocerca, M. ozzardi dan M. perstans di daerah 

Karibia. M. ozzardi juga ditularkan oleh lalat hitam. M. rodhaini yang merupakan parasit dari 

simpanse ditemukan sebesar 1,7% dari sampel sayatan kulit yang diambil di Gabon. 

DEC sangat efektif untuk mengatasi M. streptocerca dan tidak jarang pula efektif untuk 

mengatasi M. perstans dan M. ozzardi. sedang  Ivermectin efektif untuk M. ozzardi. 

 

 

 

INTOKSIKASI MAKANAN (FOODBORNE INTOXICATIONS) 

Keracunan Makanan (Food Poisoning) 

 

Penyakit akibat makanan, termasuk didalamnya intoksikasi makanan dan infeksi sebab  

makanan, yaitu   penyakit yang didapat sebab  mengkonsumsi makanan yang tercemar; 

kejadian ini  sering dan kurang tepat bila disebut sebagai keracunan makanan. Termasuk 

dalam istilah ini  yaitu   penyakit yang disebabkan oleh pencemaran dengan bahan kimia 

seperti logam berat, senyawa organik kedalam makanan, namun penyakit akibat makanan 

lebih sering disebabkan oleh: 

1) Terbentuknya toksin yang disebabkan oleh berkembangbiaknya bakteri didalam makanan 

sebelum dikonsumsi (Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus, 

keracunan ikan scombroid, tidak ada hubungannya dengan toksin spesifik namun   

disebabkan oleh sebab  meningkatnya kadar histamin) atau toksin terbentuk didalam usus 

seperti pada Clostridum perfringens. 

 

 212

2) Infeksi bakteri, virus atau parasit (brucellosis, Campylobacter enteritis, diare yang 

disebabkan oleh Escherichia coli, hepatitis A, listeriosis, salmonellosis, shigellosis, 

toksoplasmosis, gastroenteritis oleh virus, taenisasis, trichinosis dan vibrio). 

3) Toksin yang dihasilkan oleh spesies algae yang berbahaya (keracunan ikan ciguatera, 

keracunan kerang yang mengakibatkan paralitik, keracunan kerang yang memicu  

neurotoksik, keracunan kerang yang memicu  diare dan amnesia) atau racun yang 

ada pada spesies ikan tertentu seperti pada ikan buntal. 

 

Pada bab ini secara khusus membahas toksin yang berkaitan dengan penyakit sebab  makanan 

(dengan pengecualian pada botulism). Infeksi sebab  makanan dengan Pemicu  khusus akan 

dibahas dalam bagian tersendiri yang berhubungan dengan Pemicu nya. 

KLB penyakit akibat makanan ini dikenali dengan munculnya sejumlah penderita yang 

biasanya terjadi dalam waktu pendek dengan periode waktu yang sangat bervariasi (beberapa 

jam sampai beberapa minggu) setelah mengkonsumsi sesuatu makanan, pada umumnya 

terjadi diantara orang-orang yang mengkonsumsi makanan bersama-sama. Ketepatan dan 

kesepatan penanganan dan kecepatan melakukan pemeriksaan laboratorium dari peristiwa 

keracunan makanan ini yaitu   hal yang paling penting. Kasus tunggal penyakit akibat 

makanan sulit diidentifikasi, kecuali pada kasus botulisme, sebab  adanya sindrom gejala 

klinis yang sangat khas pada botulisme. Penyakit akibat makanan merupakan salah satu 

Pemicu  kesakitan akut yang paling sering ditemukan; banyak kasus dan KLB yang tidak 

diketahui dan tidak dilaporkan. 

Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat makanan tanpa melihat 

Pemicu  spesifik, pada prinsipnya yaitu   sama:  yaitu dengan menghindari mengkonsumsi 

makanan yang tercemar, memusnahkan atau melakukan denaturasi terhadap bahan pencemar, 

mencegah penyebaran lebih luas atau mencegah berkembang biaknya bahan pencemar. 

Masalah yang terjadi dan bentuk yang tepat dari penanganan penyakit ini berbeda antara satu 

negara dan negara lain tergantung dari faktor-faktor: lingkungan, ekonomi, politik, teknologi 

dan sosial budaya. Akhirnya, upaya pencegahan sangat tergantung kepada upaya penyuluhan 

kepada para penjamah makanan tentang cara-cara memasak dan menyimpan makanan dengan 

tepat, dan membudayakan higiene perorangan. Tentang hal yang terakhir ini , WHO telah 

mengembangkan “Sepuluh Pedoman untuk Penyiapan Makanan yang aman” sebagai berikut: 

1) Pilihlah makanan yang sudah diproses sesuai dengan standard keamanannya 

2) Masaklah makanan secara sempurna (matang). 

3) Makanlah makanan yang telah di masak sesegera mungkin. 

4) Simpanlah makanan yang telah dimasak secara hati-hati 

5) Panaskan kembali makanan yang telah di masak dengan sempurna apabila mau 

dihidangkan lagi 

6) Hindari pencampuran antara bahan makanan mentah dan makanan yang matang pada 

tempat yang sama 

7) Cucilah tangan berulang-kali setiap akan menjamah atau sehabis menjamah 

makanan/bahan makanan 

8) Jagalah kebersihan seluruh bagian dapur 

9) Lindungi makanan dari serangga, tikus dan binatang lainnya 

10) Gunakan air bersih yang aman untuk mengolah makanan. 

 

 

 213

INTOKSIKASI MAKANAN sebab  STAPHYLOCOCCUS   

         ICD-9 005.0; ICD-10 A05.0 

(Staphylococcal Food intoxication)     

       

1.  Identifikasi 

Intoksikasi (bukan infeksi) bisa terjadi secara tiba-tiba dan berat, dengan gejala nausea 

yang berat, kejang-kejang, muntah-muntah dan lemas tak berdaya, dan sering disertai 

dengan diare, kadang-kadang dengan suhu tubuh dibawah normal dan dengan tekanan 

darah yang rendah. Kematian jarang sekali terjadi, biasanya keadaan ini berlangsung 

antara 1 sampai dengan 2 hari. Dan dengan melihat gejala-gejalanya kadangkala 

diperlukan perawatan di rumah sakit. Dan pada kasus-kasus tertentu yang muncul sporadis 

kadang-kadang memerlukan tindakan eksplorasi lebih lanjut untuk kemungkinan 

dilakukan tindakan pembedahan. Diagnosa lebih mudah dilakukan bila ditemukan 

sekelompok penderita dengan gejala akut pada saluran pencernaan bagian atas, dimana 

interval waktu antara saat mengkonsumsi makanan tercemar dengan munculnya gejala 

klinis sangat pendek. 

Diferensial diagnosa dilakukan terhadap bentuk-bentuk keracunan makanan lain dan 

keracunan dengan bahan kimia. Diagnosa keracunan staphylococcus pada suatu KLB 

ditegakkan dengan ditemukannya kuman 105 atau lebih per gram makanan pada 

pembiakan rutin, atau ditemukannya enterotoksin dari makanan yang tercemar. Diagnosa 

tidak dapat dikesampingkan begitu saja dengan tidak ditemukannya staphylococcus dari 

pembiakan makanan yang sebelumnya sudah dipanaskan;  ditemukan bentuk Gram pada 

makanan membuktikan bahwa kuman mati  akibat pemanasan. Walaupun bakteri tidak 

ditemukan dalam makanan namun masih memungkinkan untuk menemukan enteroktoksin 

atau termonuklease dalam  makanan.  Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan 

ditemukannya kuman dengan tipe phage yang sama dari tinja atau muntahan dari 2 orang 

atau lebih penderita. Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan ditemukan staphylococcus 

penghail enterotoksin dalam jumlah banyak dari tinja atau muntahan walaupun hanya dari 

seorang penderita.  Pemeriksaan dengan phage typing jenis kuman dan tes enteroktoksin 

dapat membantu dalam penyelidikan epidemiologis namum fasilitas ini tidak selalu ada 

dan tidak selalu diperlukan. 

 

2. Pemicu   Penyakit (Toxic agent) 

Beberapa jenis enterotoksin dari Staphylococcus aureus stabil pada suhu mendidih. 

Staphylococcus berkembang biak di dalam makanan yang tercemar dan menghasilkan 

toksin. 

 

3. Distribusi Penyakit  

Keracunan makanan relatif lebih sering terjadi dan tersebar luas diseluruh dunia, dan 

merupakan salah satu jenis intoksikasi akut akibat makanan yang paling sering terjadi di 

Amerika Serikat. Sekitar 25% warga  yaitu   carrier Pemicu  penyakit ini . 

 

4. Reservoir  

Pada umumnya yang berperan sebagai  reservoir yaitu   manusia, kadang-kadang sapi 

dengan infeksi kelenjar susu berperan sebagai reservoir dan juga dapat anjing dan burung. 

 

 214

5. Cara-cara Penularan 

Penularan terjadi sebab  mengkonsumsi produk makanan yang mengandung enterotoksin 

staphylococcus. Makanan yang sering tercemar yaitu   terutama makanan yang diolah 

dengan tangan, baik yang tidak segera dimasak dengan baik ataupun sebab  proses 

pemanasan atau penyimpanan yang tidak tepat. Jenis makanan ini  seperti pastries, 

custard, saus salad, sandwhich, daging cincang dan produk daging.  Toksin dapat juga 

berkembang pada ham dan salami  yang tidak dimasak dengan benar, dan dapat juga pada 

keju yang tidak diproses atau diproses kurang sempurna.  Bila makanan ini  dibiarkan 

pada suhu kamar untuk beberapa jam sebelum dikonsumsi, maka staphylococcus yang 

memproduksi toksin akan berkembang biak dan akan memproduksi toksin tahan panas. 

Kuman mungkin dapat bersumber dari manusia seperti dari discharge purulen pada jari 

dan mata yang terinfeksi, abses, erupsi jerawat di muka, sekret nasofaring, atau dari kulit 

yang kelihatan normal; atau kuman dapat berasal dari sapi yaitu dari susu dan produk susu 

yang tercemar khususnya keju. 

 

6. Masa Inkubasi 

Masa inkubasi mulai dari saat mengkonsumsi makanan tercemar sampai dengan 

timbulnya gejala klinis yang berlangsung antara 30 menit sampai dengan 8 jam, biasanya 

berkisar antara 2-4 jam. 

 

7. Masa Penularan : Tidak terjadi penularan. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Sebagian besar orang rentan terhadap keracunan. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Cara-cara Pencegahan 

1) Beri penyuluhan kepada penjamah makanan tentang:  

a. Higiene makanan, sanitasi dan kebersihan dapur, pengendalian temperatur 

penyimpanan makanan secara tepat, mencuci tangan dengan benar dan 

memotong kuku 

b. Bahayanya kalau terpajan dengan kulit, hidung atau mata yang terinfeksi dan 

luka yang terbuka. 

2) Pentingnya pengurangan waktu penjamahan makanan (mulai dari penyiapan 

sampai dengan penyajian makanan) tidak lebih dari 4 jam pada suhu kamar. 

Simpanlah makanan yang mudah busuk (tidak tahan lama) pada suhu panas (lebih 

dari 60°C /140°F) atau pada suhu dingin (kurang dari 10°C/50°F); yang paling 

baik yaitu   pada suhu dibawah 4°C/39°F didalam tempat yang tertutup, jika bahan 

makanan ini  harus disimpan lebih dari 2 jam.  

3) Jauhkan untuk sementara waktu, orang  dengan bisul, abses dan lesi bernanah pada 

tangan, muka atau hidung dan mereka dilarang untuk menangani dan menjamah 

makanan. 

 

 

 

 

 215

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat, laporan wajib dilakukan apabila 

terjadi KLB dari kasus suspek atau apabila terjadi KLB dari penderita yang sudah 

pasti diagnosanya, Kelas 4 (lihat pelaporan tentang penyakit menular). 

2), 3), 4) 5) dan 6) Isolasi, Disinfeksi serentak, karantina, Imunisasi terhadap kontak 

dan Investigasi kontak dan sumbe infeksi : Tidak perlu. 

 Tindakan penanggulangan dilakukan apabila ada KLB. Kasus-kasus individual 

jarang sekali teridentifikasi. 

7)   Pengobatan spesifik:  Penggantian cairan bila ada indikasi. 

 

C. Upaya Penanggulangan Wabah 

1)   Lakukan review dengan cepat terhadap kasus yang dilaporkan: 

• Lakukan investigasi untuk mengetahui dengan pasti tentang waktu, tempat 

kejadian dan populasi yang berisiko. 

• Dapatkan daftar yang lengkap dari semua makanan yang disajikan, simpanlah 

makanan yang tersisa kedalam lemari es. 

• Dengan melihat gambaran klinis yang menonjol dan ditambah dengan 

perkiraan masa inkubasi akan sangat membantu mengarahkan kepada agen 

Pemicu  yang paling mungkin. 

• Kumpulkan sampel dari tinja dan muntahan buat pemeriksaan laboratorium. 

• Beri penjelasan dan peringatan kepada petugas laboratorium tentang dugaan 

agen Pemicu . 

• Wawancarai mereka yang terpajan secara acak 

• Bandingkan attack rate dari masing-masing makanan yang dimakan dengan 

attack rate jenis makanan yang tidak dikonsumsi; makanan yang tercemar 

biasanya memiliki  perbedaan attack rate yang bermakna. Biasanya sebagian 

besar penderita terbukti telah mengkonsumsi makanan yang tercemar. 

2) Selidiki asal dari makanan yang tercemar dan cara-cara pengelolaan makanan 

ini  mulai dari penyiapan, penyimpanan dan penyajian: 

• Cari sumber kontaminasi yang mungkin terjadi dan periode wakt pada saat 

dilakukan pemanasan dan pendinginan yang tidak sempurna yang dapat 

memicu  pertumbuhan kuman staphylococcus. 

• Segera ambil sisa makanan yang dicurigai sebagai Pemicu  kontaminasi  

untuk pemeriksaan laboratorium; kegagalan untuk menemukan staphylococcus  

dari sampel maknan ini  tidak mengenyampingkan kemungkinan adanya 

enterotoksin tahan panas jika makanan ini  telah dipanaskan. 

3) Cari penjamah makanan dengan infeksi kulit terutama di bagian tangan. Biakkan 

semua lesi purulen dari penjamah makanan dan ambil swab hidung dari semua 

penjamah makanan. Pemeriksaan antibiogram dan phage typing dari strain 

staphylococcus yang memproduksi enterotoksin yang sampelnya diambil dari 

makanan, penjamah makanan dan dari muntahan atau tinja penderita, dapat 

membantu penegakan diagnosa. 

 

D.  Implikasi Bencana 

Bahaya potensial dapat terjadi pada situasi dimana makanan harus disediakan secara 

massal dan tidak tersedia fasilitas pendingin (lemari es) hal ini khususnya menjadi 

 

 216

msalah dilingkungan transportasi udara. 

 

E. Tindakan  lebih lanjut  

Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO. 

 

 

 

II.  INTOKSIKASI MAKANAN AKIBAT CLOSTRIDIUM PERFRINGENS 

         ICD-9 005.2; ICD-10 A05.2 

 (Keracunan makanan akibat C. welchii, Enteritis necroticans, Pigbel) 

          

 

1. Identifikasi 

Gangguan pencernaan yang ditandai dengan gejala kolik tiba-tiba, diikuti dengan diare, 

biasanya timbul rasa mual, namun  jarang terjadi muntah dan demam. Pada umumnya 

penyakit ini ringan dan berlangsung dalam waktu yang singkat, 1 hari atau kurang, dan 

jarang berakibat fatal pada orang yang sehat. KLB penyakit ini dengan gejala yang berat 

dengan CFR yang tinggi disebabkan oleh necrotizing enteritis pernah dilaporkan terjadi 

pada akhir perang dunia II di Jerman dan di Papua Nugini.  

Pada saat terjadi KLB, diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya Clostridium 

perfringens pada biakan kuman anaerob semikuantitatif dari sampel makanan (sebanyak 

105 kuman/gram atau lebih) atau dari sampel tinja penderita (sebanyak 106 kuman/gram 

atau lebih) sebagai klinis dan epidemiologis. Diagnosa dapat juga ditegakkan dengan 

ditemukannya enterotoksin pada tinja penderita.  Bila dilakukan serotyping, maka serotipe 

yang sama dapat ditemukan pada spesimen yang berbeda; pemeriksaan serotyping ini 

hanya dilakukan secara berkala di Inggris dan di Jepang.   

 

2. Pemicu  Infeksi 

Clostridium perfringens (C. welchii) tipe A dapat memicu  KLB keracunan makanan 

yang khas (termasuk dapat menimbulkan gas gangrene); sedang  tipe C dapat 

memicu  enteritis necroticans.  Penyakit timbul diakibatkan oleh toksin yang 

dihasilkan oleh mikroorganisme ini . 

 

3. Distribusi Penyakit 

Penyebaran penyakit ini sangat luas dan lebih sering terjadi di negara-negara dimana 

warga nya memiliki  kebiasaan menyiapkan makanan dengan cara-cara yang dapat 

meningkatkan perkembangbiakan clostridia. 

 

4. Reservoir 

Tanah, berperan sebagai reservoir saluran pencernaan orang-orang sehat dan binatang 

(lembu, babi, ayam dan ikan), juga dapat berperan sebagai reservoir. 

 

5. Cara-cara Penularan 

Cara penularan yaitu   sebab  menelan makanan yang terkontaminasi oleh tanah dan tinja 

dimana makanan ini  sebelumnya disimpan dengan cara yang memungkinkan kuman 

berkembangbiak. Hampir semua KLB yang terjadi dikaitkan dengan proses pemasakan 

 

 217

makanan dari daging (pemanasan dan pemanasan kembali) yang kurang benar, misalnya 

kaldu daging, daging cincang, saus yang dibuat dari daging sapi, kalkun dan ayam. Spora 

dapat bertahan hidup pada suhu memasak normal. Spora dapat tumbuh dan berkembang 

biak pada saat proses pendinginan, atau pada saat penyimpanan makanan pada suhu kamar 

dan atau pada saat pemanasan yang tidak sempurna. KLB biasanya dapat dilacak 

berkaitan dengan usaha katering, restoran, kafetaria dan sekolah-sekolah yang tidak 

memiliki  fasilitas pendingin yang memadai untuk pelayanan berskala besar. Diperlukan 

adanya Kontaminasi bakteri yang cukup berat (