Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 7. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 7


 melalui air dan penularan melalui makanan. Parasit 

menginfeksi sel epitel saluran pencernaan dan parasit memperbanyak diri mula-mula 

dengan cara schizogony, diikuti dengan siklus a seksual dengan membentuk oocyst dan 

dapat ditemukan pada tinja. Oocyst dapat hidup di lingkungan yang jelek dalam waktu 

yang lama. Oocyst sangat resisten terhadap desinfektan kimia yang digunakan untuk 

menjernihkan dan disinfeksi air minum. Sekali waktu siklus autoinfeksi bisa terjadi pada 

manusia.  

 

 138

6.  Masa inkubasi – Tidak diketahui dengan pasti; kira-kira antara 1 – 12 hari, dengan rata-

rata sekitar 7 hari. 

 

7.  Masa penularan – Oocyst pada stadium infeksius yang keluar melalui tinja langsung 

dapat menular kepada orang lain. Oocyst terus-menerus masih dikeluarkan melalui tinja 

selama beberapa minggu sesudah tidak ada gejala klinis; diluar tubuh manusia, oocyst 

dapat tetap infektif selama 2 – 6 bulan pada lingkungan yang lembab. 

 

8. Kekebalan dan kerentanan  

Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang baik mungkin tidak menunjukkan gejala, atau 

infeksi ini akan sembuh dengan sendirinya; tidak diketahui dengan jelas apakah dapat 

terjadi reinfeksi atau infeksi laten dengan reaktivasi. Orang-orang dengan gangguan 

imunitas kekebalannya segera dapat pulih kembali pada saat Pemicu  imunosupresi 

(seperti malnutrisi atau infeksi oleh virus yang berulang terjadi seperti campak) telah 

disembuhkan. Pada penderita AIDS (q.v) dengan gambaran klinis yang bervariasi dan 

dapat terjadi masa tanpa gejala; infeksi cryptosporidium parvum biasanya bertahan 

seumur hidup; kira-kira 2 % dari penderita AIDS yang dilaporkan CDC – Atlanta 

mengalami infeksi dengan Kriptosporidiosis pada saat didiagnosa AIDS; pengalaman dari 

rumah sakit yang merawat penderita AIDS menunjukkan bahwa 10 - 20 % dari penderita 

AIDS mendapatkan infeksi kriptosporidiosis beberapa saat setelah menderita AIDS. 

 

9.  Cara -cara pemberantasan. 

A.  Cara pencegahan: 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  tentang cara-cara menjaga kebersihan 

perorangan. 

2) Buanglah tinja pada jamban yang saniter, hati-hati dalam menangani kotoran 

manusia atau binatang. 

3) Mereka yang kontak dengan anak sapi atau binatang lain yang terkena diare 

sebaiknya segera mencuci tangan dengan seksama. 

4) Rebus sampai mendidih air minum selama 1 menit; disinfeksi dengan bahan kimia 

tidak efektif melawan oocyst. Hanya filter yang dapat menyaring partikel dengan 

diameter 0,1 – 1 µm yang bisa di gunakan untuk menyaring oocyst. 

5) Pindahkan orang yang terinfeksi dari pekerjaan menangani jenis bahan makanan 

yang tidak segera akan dimasak. 

6) Pisahkan anak yang menderita diare dari tempat penitipan anak hingga diare 

sembuh. 

 

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; kasus dilaporkan ke instansi 

kesehatan setempat dengan cara yang paling praktis, kelas 3B (lihat tentang 

pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi : bagi penderita yang dirawat di Rumah Sakit, lakukan tindakan 

kewaspadaan enterik dalam menangani tinja, begitu juga terhadap muntahan dan 

sprei serta sarung bantal dan baju yang terkontaminasi; orang yang terinfeksi tidak 

diijinkan menangani makanan dan merawat pasien yang dirawat di Rumah Sakit 

dan tidak diperkenankan merawat pasien yang dirawat di tempat spesifik; 

penderita asimptomatik yang bekerja pada bidang pekerjaan yang sensitif tidak 

 

 139

diijinkan lagi bekerja sampai mereka sembuh. Tekankan tentang pentingnya 

kebiasaan mencuci tangan dengan benar.  

3). Disinfeksi serentak: dilakukan terhadap tinja dan barang-barang yang 

terkontaminasi dengan tinja. Pada warga  modern dengan sistem jamban 

saniter, tinja dapat dibuang langsung ke saluran pembuangan tanpa perlu di 

disinfeksi. Lakukan pembersihan terminal. Disinfeksi dapat dilakukan dengan 

pemanasan hingga 450 C (1130F) selama 5 – 20 menit, 600 C (1400 F) selama 2 

menit atau disinfeksi kimia dengan 10 % cairan formalin atau 5 % ammonia, cara-

cara ini  cukup efektif. 

4) Karantina: tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan. 

6) Investigasi kontak atau sumber infeksi: Lakukan pemeriksaan mikroskopis 

terhadap tinja anggota rumah tangga dan kontak lain yang dicurigai, terutama 

orang-orang tanpa gejala. Terhadap mereka yang kontak dengan hewan ternak dan 

binatang peliharaan diharuskan juga untuk dilakukan pemeriksaan. Jika dicurigai 

penularan terjadi melalui air, penyaringan air dalam jumlah sampel yang besar 

dapat dilakukan untuk melihat adanya oocyst pada air. 

7) Pengobatan spesifik : Tidak ada pengobatan spesifik untk kriptosoridiosis selain 

rehidrasi, jika diperlukan, rehidrasi telah terbukti efektif; pemberian antibodi pasif 

dan antibiotik saat ini sedang dalam penelitian. Mereka yang dalam pengobatan 

dengan obat imunosupresif, sebaiknya menghentikan pengobatan itu untuk 

sementara atau mengurangi dosisnya jika memungkinkan. 

 

C. Penanggulangan wabah : Lakukan Investigasi epidemiologis terhadap kasus yang 

berkelompok yang terjadi pada suatu daerah atau institusi tertentu untuk mengetahui 

sumber infeksi dan cara-cara penularannya; selidiki kemungkinan sumber penularan 

“Common source”, seperti sarana rekreasi air, air minum, susu mentah atau makanan 

atau minuman yang potensial tercemar dan lakukan upaya pencegahan dan 

pemberantasan yang mudah di terapkan. Upaya untuk mencegah penularan dari orang 

ke orang atau dari binatang ke manusia menekankan pada upaya kebersihan 

perorangan dan pembuangan tinja yang saniter. 

 

D. Implikasi bencana: tidak ada. 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada. 

 

 

DIARE YANG DISEBABKAN OLEH CYCLOSPORA   ICD-10 A07.8 

 

 

Diare ini disebabkan oleh protozoa koksidia yang baru ditemukan (Cyclospora cayetanensis). 

Gejala klinis yang timbul berupa diare cair (buang air lebih dari 6 kali perhari), mual, tidak 

nafsu makan, kejang abdomen, lelah dan penurunan berat badan, demam jarang terjadi. 

Median masa inkubasi sekitar 1 minggu. Cyclospora dapat masuk ke epitel usus halus dan 

memicu  enteritis. Diare pada orang yang imunokompeten bisa berlangsung lama namun  

dapat sembuh dengan sendirinya, menurut beberapa laporan berlangsung selama 9 – 43 hari;  

rata-rata lamanya organisme berkemnbang biak yaitu   23 hari pada anak-anak Peru. Pada 

 

 140

orang-orang dengan defisiensi sistem kekebalan, diare dapat berlangsung selama berbulan-

bulan. Diare yang disebabkan oleh cyclospora ini juga dilaporkan terjadi pada orang-orang 

yang melancong ke Asia, Karibia, Meksiko dan Peru. Diare dapat berlangsung cukup lama. 

 

Diagnosa dibuat dengan menemukan oocyst yang berukuran 8-9 mm, sekitar 2 kali ukuran 

Cryptosporidium parvum pada keadaan basah pada pemeriksaan mikroskopis fase kontras. 

Pewarnaan tahan asam yang telah dimodifikasi dapat dilakukan. Organisme akan berpendar 

dibawah iluminasi sinar ultra violet. 

Penularan terutama melalui air, dan dapat terjadi baik melalui air minum maupun sebab  

berenang di air yang terkontaminasi; namun KLB lintas negara pernah dilaporkan terjadi yang 

menimpa ribuan orang disebabkan oleh buah frambus yang diimport dari Guatemala. KLB ini 

terjadi selama 3 tahun berturut-turut pada akhir tahun 1990 an. Sumber penularan lain yang 

pernah dilaporkan yaitu   selada dan daun kemangi yang tercemar. KLB mempunya pola 

musiman, dan kasus terbanyak ditemukan pada bulan-bulan dengan suhu yang lebih hangat.  

 

Cara bagaimana produk-produk makanan ini terkontaminasi pada waktu KLB ini  terjadi 

tidak diketahui, antara lain sebab  cara yang dipakai untuk mendeteksi Cyclospora pada 

produk ini dan dari sample lingkungan lainnya tidak cukup sensitif untuk jumlah parasit yang 

sedikit. Produk-produk makanan ini sebaiknya dicuci dengan seksama sebelum di makan; 

namun cara ini tidak menghilangkan sama sekali risiko terkena Cyclospora. Jika ditemukan 

penderita diare kronis petugas kesehatan sebaiknya curiga akan kemungkinan infeksi 

Cyclospora, penderita hendaknya diminta untuk mengirimkan tinjanya sehingga dapat 

dilakukan pemeriksaan spesifik untuk menemukan parasit.  

 

Cyclosporiasis dapat di obati dengan memberikan obat trimetroprim (TMP)-sulfametoksazol 

(SMX) per oral selama 7 hari (untuk orang dewasa, 160 mg TMP plus 800 gram SMX dua 

kali sehari; untuk anak-anak, 5 mg/kg TMP ditambah 25mg/kg SMX dua kali sehari). Pada 

penderita yang tidak diobati, penyakit ini dapat berlangsung dalam waktu yang lama, dengan 

gejala yang hilang timbul. Belum ditemukan regimen pengobatan untuk penderita yang tidak 

tahan terhadap sulfa. 

 

Pada pertengahan tahun 1998, 5 negara bagian dan satu kotamadya di AS mewajibkan untuk 

melaporkan bila ditemukan penderita penyakit ini. Pada pertengahan tahun 1998, anggota 

dewan negara bagian dan pejabat epidemiologi setempat mengeluarkan resolusi yang 

merekomendasikan bahwa cyclosporiasis yaitu   penyakit yang harus di laporkan di seluruh 

negara bagian di AS. Dinegara bagian dimana mekanisme laporan resmi belum ada, dokter 

dan petugas laboratorium yang menemukan penderita cyclosporiasis yang tidak ada riwayat 

bepergian keluar Amerika Utara disarankan untuk melaporkan kepada instansi kesehatan 

setempat, baik tingkat propinsi, teritori atau kepada departemen kesehatan negara bagian. Di 

Kanada, yang dapat dihubungi yaitu   Bagian Surveilans Penyakit, Biro Penyakit Menular, 

Pusat Laboratorium untuk Pengendalian Penyakit, telpon (613) 941-1288; dan di AS, yang 

dapat dihubungi yaitu   CDC – Atlanta Divisi Penyakit Parasit, atau Pusat Penyakit Infeksi 

Nasional, telpon (770) 488-7760. 

 

 

 

 141

INFEKSI SITOMEGALOVIRUS 

 

Infeksi sitomegalovirus (Cytomegalovirus, CMV) sangat sering terjadi namun jarang 

menimbulkan gejala; bila timbul gejala, manifestasinya sangat bervariasi tergantung pada 

umur dan tingkat kekebalan dari orang ini  ada waktu terkena infeksi. 

 

 

 

 

PENYAKIT SITOMEGALOVIRUS    ICD-9 078.5; ICD-10 B25 

INFEKSI SITOMEGALOVIRUS KONGENITAL ICD-9 771.1; ICD-10 P35.1 

 

 

1. Identifikasi  

Manifestasi klinis berat oleh infeksi virus ini terjadi sekitar 5 – 10 % pada bayi yang 

terinfeksi in utero. Bayi ini menunjukkan gejala dan tanda-tanda klinis dari infeksi umum 

yang berat, terutama menyerang sistem saraf pusat (CNS) dan hati. Letargi, kejang, 

ikterus, petechiae, purpura, hepatosplenomegali, chorioretinitis, kalsifikasi intraserebral 

dan infiltrat paru terjadi dengan derajat yang berbeda. Anak yang bertahan hidup dapat 

menjadi anak dengan retardasi mental, mikrosepali, gangguan sistem motorik, kehilangan 

pendengaran dan muncul penyakit hati kronis. Kematian bisa terjadi in utero; CFR-nya 

tinggi pada bayi dengan infeksi berat. Walaupun infeksi CMV pada neonatus terjadi hanya 

pada 0,3 – 1 % kelahiran, 90 – 95 % dari infeksi intrauterine ini tidak menunjukan gejala, 

namun sekitar 15 – 25 % dari bayi ini akhirnya menunjukkan gejala terjadinya kerusakan 

neurosensor. Infeksi pada janin bisa merupakan infeksi primer atau infeksi maternal yang 

mengalami reaktivasi. Namun infeksi primer memiliki  risiko lebih tinggi untuk 

timbulnya gejala klinis dan gejala sisa. Bayi baru lahir seronegatif yang menerima 

transfusi darah dari donor seropositif bisa  terkena infeksi menjadi penyakit yang berat. 

 

Infeksi yang terjadi pada usia-usia selanjutnya biasanya tanpa gejala dan ada juga yang 

menunjukkan gejala klinis dan hematologis yang mirip dengan infeksi virus 

mononukleosis Epstein-Barr. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan dengan tes 

serologis dan virologis serta dan ditemukannya antibodi heterofil. CMV merupakan 

Pemicu  sekitar 10 % kasus mononukleosis yang ditemukan pada mahasiswa dan orang 

dewasa yang dirawat di rumah sakit yang berusia antara 25 – 34 tahun. CMV yaitu   

Pemicu  mononukleosis pasca transfusi yang paling umum diketahui menimpa orang-

orang yang tidak kebal terhadap virus ini; banyak infeksi pasca transfusi tidak 

menimbulkan gejala klinis. Infeksi yang menyebar, dengan gejala pneumonitis, retinitis, 

gangguan saluran pencernaan (gastritis, enteritis, colitis) dan hepatitis, terjadi pada orang-

orang dengan imunodefisiensi dan imunosupresi; biasanya ini merupakan manifestasi 

serius dari penderita AIDS. 

 

CMV juga sebagai Pemicu  paling umum infeksi pasca transplantasi, baik melalui 

transplantasi organ maupun sumsum tulang belakang; pada transplantasi organ, infeksi 

terjadi spesifiknya pada resipien seronegatif dan donor seropositif (carrier), sedang  

infeksi pasca transplantasi sumsum tulang terjadi sebagai reaksi reaktivasi. Pada kedua 

 

 142

kejadian ini, baik transplantasi organ maupun sumsum tulang rata-rata angka kesakitan 

timbulnya penyakit serius sekitar 25 %. 

 

Diagnosa pada bayi baru lahir dibuat dengan isolasi virus atau dengan PCR, biasanya dari 

sampel urin. Diagnosa infeksi CMV pada orang dewasa menjadi sulit sebab  tingginya 

frekuensi penyakit tanpa gejala dan relaps.  Untuk menegakkan diagnosa sebaiknya 

dilakukan berbagai cara pemeriksaan bila memungkinkan. Isolasi virus, deteksi antigen 

CMV (bisa dilakukan dalam waktu 24 jam), deteksi DNA CMV dengan PCR atau 

hibridisasi in situ dapat dilakukan untuk melihat adanya virus pada organ, darah, sekret 

saluran pernafasan dan urin. Studi serologis sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya 

antibodi spesifik IgM dari CMV atau adanya kenaikan 4 kali lipat titer antibodi. 

Interpretasi hasil pemeriksaan ini membutuhkan pengetahuan tentang latar belakang 

epidemiologis dan klinis dari penderita. 

 

2. Pemicu  penyakit – Human (beta) herpesvirus 5 (CMV manusia), salah satu anggota 

dari subfamili Betaherpesvirus dari famili Herpesviridae; termasuk beberapa strain yang 

sama secara antigenik. 

 

3. Distribusi penyakit  

Tersebar diseluruh dunia. Di AS, infeksi intrauterin terjadi pada 0,5 % hingga 1 % 

kehamilan. Di negara-negara berkembang, infeksi ini didapat pada awal kehidupan. 

Prevalensi antibodi serum pada orang dewasa bervariasi mulai dari 40 % di negara maju 

sampai dengan 100 % di negara berkembang; di AS hal ini berhubungan dengan status 

sosial ekonomi dari warga , sedang  Distribusi Penyakit ini lebih tinggi pada wanita 

daripada pria. Di Inggris, prevalensi antibodi berkaitan dengan ras daripada status social. 

Diberbagai populasi berbeda ditemukan 8 – 60 % bayi sudah mengeluarkan virus pada 

urin pada tahun pertama usia mereka, sebagai akibat terkena infeksi dari serviks ibu atau 

mendapatkan infeksi melalui ASI.  

 

4. Reservoir - Manusia diketahui sebagai satu-satunya reservoir bagi CMV manusia; strain 

yang ditemui pada binatang tertentu tidak menular kepada manusia. 

 

5. Cara penularan  

Penularan terjadi melalui kontak langsung selaput lendir dengan jaringan, sekret ataupun 

ekskreta yang infeksius. CMV di ekskresikan melalui urin, ludah, ASI, sekret serviks dan 

semen pada infeksi primer maupun pada infeksi reaktivasi. Janin bisa tertular in utero dari 

ibu baik berupa infeksi primer maupun berupa infeksi reaktivasi; infeksi janin dengan 

manifestasi klinis yang berat pada waktu lahir sering terjadi sebagai akibat infeksi primer 

dari ibu, namun infeksi (biasanya tanpa gejala) bisa juga terjadi walaupun antibodi 

maternal telah ada sebelum konsepsi. Infeksi post natal sering terjadi pada bayi yang 

dilahirkan oleh ibu yang mengandung CMV pada sekret serviks mereka; dengan demikian 

penularan dari serviks yang terinfeksi yaitu   cara penularan yang paling umum terjadi 

sebagai Pemicu  infeksi neonatus. Virus dapat ditularkan kepada bayi melalui ASI, cara 

ini merupakan sumber infeksi yang penting namun  bukan sebagai Pemicu  penyakit. 

Viremia mungkin juga terjadi pada penderita asimptomatik sehingga bila ia jadi donor 

virus bisa ditularkan melalui transfusi darah, penularan mungkin terjadi melalui lekosit. 

 

 143

Ditemukan bahwa CMV di ekskresikan oleh sebagian besar anak-anak di tempat 

penitipan, hal ini bisa menjadi sumber infeksi bagi warga . Penularan melalui 

hubungan seks umum terjadi dan ini dapat dilihat dari penderita dikalangan homoseksual 

yang berhubungan seks dengan banyak pasangan. 

 

6. Masa inkubasi – Gejala sakit pasca transplantasi ataupun pasca transfusi yang 

mengandung virus akan muncul dalam waktu 3 – 8 minggu. sedang  Infeksi yang 

didapat pada waktu proses kelahiran gejala klinis akan tampak 3 – 12 minggu sesudah 

kelahiran.  

 

7. Masa penularan  

Virus di ekskresikan melalui urin dan air ludah selama beberapa bulan dan tetap bertahan 

atau akan muncul secara periodik selama beberapa tahun sesudah infeksi primer. Sesudah 

infeksi neonatal, virus mungkin di ekskresikan selama 5 – 6 tahun. Orang dewasa 

mengekskresikan virus dalam jangka waktu yang lebih pendek, namun virus akan tetap 

ada sebagai infeksi laten. Kurang dari 3 % orang dewasa sehat mengekskresikan virus 

melalui faring. Ekskresi akan timbul kembali dengan adanya imunodefisiensi dan 

imunosupresi.  

 

8. Kekebalan dan kerentanan  

Infeksi tersebar di mana - mana. Janin, penderita penyakit yang melemahkan kondisi 

tubuh, mereka yang mendapatkan pengobatan yang memicu  imunosupresi dan 

terutama resipien organ (ginjal, jantung, sum-sum tulang) serta penderita AIDS lebih 

rentan terkena infeksi dan rentan untuk menderita penyakit yang berat. 

 

9. Cara -cara pemberantasan. 

A.  Cara-cara pencegahan: 

1) Waspada dan hati-hati pada waktu mengganti popok bayi, cuci tangan dengan baik 

sesudah mengganti popok bayi dan buanglah kotoran bayi di jamban yang saniter. 

2) Wanita usia subur yang bekerja di rumah sakit (terutama yang bekerja dikamar 

bersalin dan bangsal anak) sebaiknya memperhatikan prinsip tindakan 

kewaspadaan universal; sedang  pada tempat penitipan anak dan anak 

prasekolah lakukan prosedur standar yang ketat tentang kebersihan perorangan 

seperti kebiasaan mencuci tangan. Terhadap anak-anak dengan retardasi mental 

diberikan perhatian lebih spesifik. 

3) Hindari melakukan transfusi kepada bayi baru lahir dari ibu yang seronegatif 

dengan darah donor dengan seropositif CMV. 

4) Hindari transplantasi jaringan organ dari donor seropositif CMV kepada resipien 

yang seronegatif. Jika hal ini tidak dapat dihindari, maka pemberian IG hiperimun 

atau pemberian antivirus profilaktik mungkin menolong.  

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: laporan resmi tidak diperlukan, Kelas 

5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi: tidak dilakukan. Lakukan tindakan kewaspadaan terhadap sekret yang 

dikeluarkan oleh penderita yang diduga mengekskresikan virus. 

 

 144

3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari penderita yang 

dirawat di Rumah Sakit dan terhadap benda-benda yang tercemar. 

4) Karantina: tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak: Vaksin secara komersial tidak tersedia. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak dilakukan, sebab  tingginya angka 

prevalensi orang yang tidak menunjukkan gejala klinis di warga . 

7) Pengobatan spesifik: Ganciclovir, intra vena dan per oral, foscarnet IV dipakai 

untuk pengobatan retinitis CMV pada orang-orang dengan tingkat kekebalan 

rendah. Obat-obatan ini mungkin lebih bermanfaat, jika dikombinasikan dengan 

imuno globulin anti-CMV, untuk penderita pneumonitis dan penyakit gastro 

intestinal pada orang-orang yang immunocomporomised. 

 

C. Penanggulangan Wabah : Tidak ada. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada. 

 

 

 

 

DEMAM DENGUE      ICD-9 061; ICD-10 A90 

“Break Bone Fever” 

(Demam Sendi) 

 

 

1. Identifikasi  

Penyakit virus dengan demam akut dengan ciri khas muncul tiba-tiba, demam biasanya 

berlangsung selama 3 – 5 hari (jarang lebih dari 7 hari dan kadang-kadang bifasik), 

disertai dengan sakit kepala berat, mialgia, artralgia, sakit retro orbital, tidak nafsu makan, 

gangguan gastro intestinal dan timbul ruam. Eritema awal diseluruh badan tejadi pada 

beberapa kasus. Ruam makulopapuler biasanya muncul pada masa deverfescence. 

Fenomena perdarahan minor, seperti petechiae, epistaksis atau perdarahan gusi bisa terjadi 

selama demam. Pada kulit yang berwarna gelap, ruam biasanya tidak kelihatan. Dengan 

adanya penyakit lain yang mendasari penyakit demam berdarah pada orang dewasa bisa 

terjadi perdarahan, seperti perdarahan gastro intestinal misalnya pada penderita tukak 

lambung atau pada penderita menorrhagia. Infeksi dengue disertai peningkatan 

permeabilitas vaskuler, dengan manifestasi perdarahan disertai dengan kerusakan organ-

organ tertentu disajikan dalam bab demam berdarah dengue. Penyembuhan, dapat disertai 

dengan rasa lelah dan depresi yang berkepanjangan. Limfadenopati dan lekopeni pada 

penderita Demam Dengue dengan limfositosis relatif sering terjadi; trombositopeni (< 100 

x 103/cu mm; unit Standard lebih lanjut  < 100 x 109/L) dan meningkatnya transaminase 

lebih jarang terjadi. Penyakit ini biasa muncul sebagai KLB yang eksplosif namun jarang 

terjadi kematian kecuali terjadi perdarahan pada DBD. 

Diferensial diagnosa dari Demam Dengue yaitu   semua penyakit yang secara 

epidemiologis termasuk di dalam kelompok demam virus yang ditularkan oleh artropoda, 

 

 145

demam kuning, campak, rubella, malaria, leptospira dan penyakit demam sistemik lainnya 

terutama yang disertai dengan ruam. 

Pemeriksaan laboratorium seperti HI, CF, ELISA IgG dan IgM, dan tes netralisasi yaitu   

alat bantu diagnostik. Antibodi IgM, mengindikasikan infeksi yang sedang atau baru saja 

terjadi, biasanya dapat dideteksi 6 – 7 hari sesudah onset penyakit. Virus diisolasi dari 

darah dengan cara inokulasi pada nyamuk, atau inokulasi pada kultur jaringan nyamuk, 

atau pada kultur jaringan vertebrata, lalu diidentifikasi dengan antibodi monoklonal 

serotipe spesifik. 

 

2. Pemicu  penyakit – Virus Pemicu  Demam Dengue yaitu   flavivirus dan terdiri dari 4 

serotipe yaitu serotipe 1,2,3 dan 4 (dengue –1,-2,-3 dan –4). Virus yang sama 

memicu  Demam Berdarah Dengue (DBD) (lihat di bawah). 

 

3. Distibusi penyakit  

Virus dengue berbagai serotipe sekarang menjadi endemis dibanyak negara tropis. Di 

Asia, virus dengue sangat endemis di Cina Selatan dan Hainan, Vietnam, Laos, 

Kampuchea, Thailand, Myanmar, India, Pakistan, Sri Lanka, Indonesia, Filipina, Malaysia 

dan Singapura; negara dengan endemisitas rendah yaitu   Papua New Guinea, Bangladesh, 

Nepal, Taiwan dan sebagian besar negara Pasifik. Virus dengue dari berbagai serotipe 

ditemukan di Queensland, Australia Utara, sejak tahun 1981. 

Dengue -1,-2,-3 dan -4 sekarang endemis di Afrika. Di wilayah yang luas di Afrika Barat, 

virus dengue mungkin di tularkan sebagai penyakit epizootic pada monyet; dengue 

perkotaan yang menyerang manusia juga sering terjadi di wilayah ini. Pada tahun-tahun 

belakangan ini, KLB demam dengue terjadi di pantai timur Afrika dari Mozambik ke 

Etiopia dan di kepulauan lepas pantai seperti Seychelles dan Komoro, sedang  

penderita demam dengue dan penderita mirip DHF dilaporan dari Saudi Arabia, namun 

jumlahnya sedikit. 

Di Amerika, masuk dan beredarnya ke 4 serotipe virus dengue ini berturut-turut terjadi di 

Karibia dan Amerika Tengah dan Selatan sejak tahun 1977 dan meluas hingga Texas pada 

tahun 1980, 1986, 1995 dan 1997. Pada akhir tahun 1990 an, dua atau lebih serotipe virus 

dengue endemis atau kadang-kadang muncul sebagai KLB di Meksiko, begitu pula di 

Karibia dan Amerika Tengah, Kolombia, Bolivia, Ekuador, Peru, Venezuela, Guyana, 

Suriname, Brazil, Paraguay dan Argentina. KLB bisa terjadi jika vector dan virus penyakit 

ini ada didaerah ini  baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. 

 

4. Reservoir – Virus dengue bertahan melalui siklus nyamuk Aedes aegypti-manusia di 

daerah perkotaan negara tropis; sedang  siklus monyet-nyamuk menjadi reservoir di 

Asia Tenggara dan Afrika Barat. 

 

5. Cara penularan  

Ditularkan melalui gigitan nyamuk yang infektif, terutama Aedes aegypti. Ini yaitu   

spesies nyamuk yang menggigit pada siang hari, dengan peningkatan aktivitas menggigit 

sekitar 2 jam sesudah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari tenggelam. 

Aedes aegypti maupun Aedes albopictus ditemukan didaerah perkotaan; kedua species 

nyamuk ini ditemukan juga di AS. Ae. Albopictus, sangat banyak ditemukan di Asia, tidak 

begitu antropofilik dibandingkan dengan Ae. Aegypti sehingga merupakan vector yang 

 

 146

kurang efisien. Di Polinesia, salah satu jenis dari Ae. Scutellaris spp, bertindak sebagai 

vector. Di Malaysia, vectornya sdslsh kompleks Ae. Niveus dan di Afrika Barat yaitu   

kompleks nyamuk Ae. furcifer-taylori berperan sebagai vector penularan nyamuk-monyet. 

 

6. Masa inkubasi – Dari 3 – 14 hari, biasanya 4 – 7 hari. 

 

7. Masa penularan  

Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Penderita menjadi infektif bagi nyamuk 

pada saat viremia yaitu : sejak beberapa saat sebelum panas sampai saat masa demam 

berakhir, biasanya berlangsung selama 3 – 5 hari. Nyamuk menjadi infektif 8 – 12 hari 

sesudah mengisap darah penderita viremia dan tetap infektif selama hidupnya. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan  

Semua orang rentan terhadap penyakit ini, anak-anak biasanya menunjukkan gejala lebih 

ringan dibandingkan orang dewasa. Sembuh dari infeksi dengan satu jenis serotipe akan 

memberikan imunitas homolog seumur hidup namun  tidak memberikan perlindungan 

terhadap infeksi serotipe lain dan bisa terjadi eksaserbasi infeksi berikutnya (lihat Demam 

Berdarah Dengue, dibawah). 

 

9. Cara- cara pemberantasan 

A.  Cara-cara pencegahan 

1) Beri penyuluhan, informasikan kepada warga  untuk membersihkan tempat 

perindukan nyamuk dan melindungi diri dari gigitan nyamuk dengan memasang 

kawat kasa, perlindungan dengan pakaian dan memakai   obat gosok anti 

nyamuk (lihat Malaria, 9A3, 9A4). 

2) Lakukan survei di warga  untuk mengetahui tingkat kepadatan vector nyamuk, 

untuk mengetahui tempat perindukan dan habitat larva, biasanya untuk Ae. Aegypti 

yaitu   tempat penampungan air buatan atau alam yang dekat dengan pemukiman 

manusia (misalnya ban bekas, vas bunga, tandon penyimpanan air) dan membuat 

rencana pemberantasan sarang nyamuk serta pelaksanaannya. 

 

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar. 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; laporan resmi wajib dilakukan bila 

terjadi KLB, laporan kasus, kelas 4 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi : Kewaspadaan universal terhadap darah. Sampai dengan demam hilang, 

hindari penderita demam dari gigitan nyamuk pada siang hari dengan memasang 

kasa pada ruang perawatan penderita dengan memakai   kelambu, lebih baik 

lagi dengan kelambu yang telah di rendam di dalam insektisida, atau lakukan 

penyemprotan tempat pemukinan dengan insektisida yang punya efek knock down 

terhadap nyamuk dewasa ataupun dengan insektisida yang meninggalkan residu. 

3) Disinfeksi serentak: tidak dilakukan. 

4) Karantina: Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak: tidak dilakukan. Jika Demam Dengue terjadi disekitar daerah 

fokus demam kuning, lakukan imunisasi terhadap warga  dengan vaksin demam 

kuning sebab vektor untuk daerah perktoaan kedua penyakit ini sama.    

 

 147

6) Lakukan Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Selidiki tempat tinggal 

penderita 2 minggu sebelum sakit dan cari penderita tambahan yang tidak 

dilaporkan atau tidak terdiagnosa. 

7) Pengobatan spesifik : Pengobatan spesifik tidak ada, yang diberikan yaitu   

pengobatan suportif atau penunjang. Aspirin merupakan kontraindikasi. 

 

C. Penanggulangan wabah:  

1) Temukan dan musnahkan spesies Aedes di lingkungan pemukiman, bersihkan 

tempat perindukan atau taburkan larvasida di semua tempat yang potensial sebagai 

tempat perindukan larva Ae. Aegypti. 

2) Gunakan obat gosok anti nyamuk bagi orang-orang yang terpajan dengan nyamuk. 

 

D. Implikasi bencana : Wabah atau KLB dapat menjadi intensif dan dapat menyerang 

sebagian besar warga . 

 

E. Tindakan lebih lanjut  :  

Terapkan kesepakatan lebih lanjut  yang di buat untuk mencegah penyebaran Ae. 

Aegypti melalui kapal, pesawat udara dan alat transportasi darat dari daerah endemis 

atau daerah KLB. Tingkatkan surveilans lebih lanjut  dan lakukan pertukaran 

informasi antar negara. Manfaatkan Pusat Kerjasama WHO.  

 

 

 

 

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER/ DENGUE SHOCK SYNDROME (DHF/DSS)

        ICD-9 065.4; ICD-10 A91 

 

DEMAM BERDARAH DENGUE/SINDROMA RENJATAN DENGUE 

 

 

1. Identifikasi  

Penyakit virus berat yang ditularkan oleh nyamuk endemik di banyak negara di Asia 

Tenggara dan Selatan, Pasifik dan Amerika Latin; ditandai dengan meningkatnya 

permeabilitas pembuluh darah, hipovolemia dan gangguan mekanisme penggumpalan 

darah. Terutama menyerang anak-anak, namun  juga menyerang orang dewasa. Definisi 

kasus menurut WHO yaitu  : (1) demam atau adanya riwayat demam pada saat sekarang; 

(2) trombositopeni; hitung platelet sama atau kurang dari 100 x 103/cu mm (Standar 

lebih lanjut  sama atau kurang dari 100 x 109/L); (3) manifestasi perdarahan seperti tes 

torniquet positif, petechiae atau fenomena perdarahan yang jelas; dan (4) berkurangnya 

plasma sebab  meingkatnya permeabilitas vaskuler. Adanya kenaikan hematokrit sebesar 

20 % dibandingkan dengan nilai normal atau ditemukannya efusi pleural atau efusi 

abdomen dengan pemeriksaan ultrasonografi, tomografi ataupun sinar-X. Sedagkan 

Sindroma Renjatan Dengue (Dengue Shock Sindrome, DSS) yaitu   penderita DHF yang 

lebih berat ditambah dengan adanya tanda-tanda renjatan: (1) denyut nadi lemah dan 

cepat; (2) tekanan nadi lemah (< 20 mm Hg); (3) hipotensi dibandingkan nilai normal 

pada usia ini ; (4) gelisah, kulit berkeringat dan dingin.  

 

 148

Terapi cairan intravena atau oral yang tepat bisa mengurangi meningkatnya hematokrit 

dan perlu dilakukan observasi yang ketat untuk melihat terjadinya kebocoran plasma.   

Penyakit ini bersifat biphasic; tiba-tiba dimulai dengan demam, dan pada anak-anak, 

disertai dengan keluhan pada saluran pernapasan bagian atas, kadang-kadang tidak ada 

nafsu makan, rasa panas di daerah muka dan gangguan gastro intestinal ringan. 

Bersamaan dengan defervescence dan menurunnya hitung trombosit, keadaan umum 

penderita tiba-tiba memburuk, ditandai dengan rasa lemas, sangat gelisah, muka pucat dan 

nafas cepat, rasa sakit yang sangat di daerah abdomen dan sianosis sekitar mulut. Hati 

mungkin membengkak, biasanya 2 hari atau lebih sesudah turunnya suhu badan.  

Perdarahan sering terjadi termasuk petechiae yang menyebar, uji torniquet positif, mudah 

memar dan yang jarang yaitu   timbulnya mimisan, perdarahan pada saat pengambilan 

darah vesed serta perdarahan gusi. Terjadinya perdarahan gastro intestinal adalan tanda 

prognosa yang jelek bisanya sesudah mengalami masa renjatan yang lama. Pada kasus 

berat, gejala kllinis ditambah dengan terjadinya akumulasi cairan pada rongga tubuh, 

menurunnya kadar serum albumin, meningkatnya kadar transaminase, memanjangnya 

waktu protrombin dan rendahnya kadar protein komplemen C3. DHF dengan kerusakan 

hati berat, dengan atau tanpa ensefalopati telah di temukan pada waktu KLB dengue-3 di 

Indonesia dan Thailand. Angka kematian dari penderita DHF dengan renjatan yang tidak 

diobati atau dengan manajemen yang salah yaitu   sebesar 40 – 50 %; dengan terapi cairan 

fisiologis yang cepat, angka ini menurun menjadi 1 – 2 %. 

Tes serologis menunjukan peningkatan titer antibodi terhadap virus dengue. Adanya 

antibodi lgM, menunjukan bahwa infeksi flavirus sedang terjadi atau baru saja terjadi, 

biasanya bisa dideteksi 6 – 7 hari sesudah onset penyakit. Virus dapat diisolasi dari darah 

selama stadium demam akut dengan menyuntikkannya pada nyamuk atau kultur sel. 

Isolasi dari organ pada saat otopsi sulit dilakukan namun  kemungkinannya  bertambah 

melalui inokulasi nyamuk. Sekuen asam nukleik yang spesifik dari virus dapat dideteksi 

dengan PCR. (Infeksi virus dengue dengan atau tanpa perdarahan telah dijelaskan diatas. 

Demam kuning dan penyakit perdarahan lain akan dijelaskan secara terpisah). 

 

2. Pemicu  penyakit – lihat Demam Dengue diatas. Semua serotipe dengue dapat 

memicu  DHF/DSS pada urutan menurun menurut frekwensi penyakit yang 

ditimbulkan tipe 2, 3, 4 dan 1 

 

3. Distribusi Penyakit 

Wabah DHF baru-baru ini telah terjadi di Filipina, Kaledonia baru, Tahiti, Cina, Vietnam, 

Laos, Kamboja, Maldives, Kuba, Venezuela, French Guiana, Suriname, Brasil, Kolombia, 

Niakaragua dan Puerto Rico. KLB terbesar dilaporan di Vietnam pada tahun 1987, pada 

saat itu kira-kira 370.000 kasus dilaporan. Di negara tropis Asia, DHF/DSS terutama 

menyerang anak-anak warga  setempat yang berusia dibawah 15 tahun. Kasus DF/DHF 

sering terjadi selama musim hujan dan di daerah dengan kapasitas Ae. Aegypti yang tinggi. 

 

4, 5, 6 dan 7 : Reservoir, cara penularan penyakit, masa inkubasi, masa penularan – 

lihat Demam Dengue diatas. 

 

 

 

 

 149

8. Kekebalan dan kerentanan 

Penjelasan tentang faktor risiko terbaik yaitu   dengan teori sirkulasi heterolog dari 

antibodi dengue, yang didapat secara pasif pada bayi atau secara aktif melalui infeksi yang 

terjadi sebelumnya. Antibodi ini meningkatkan infeksi dari fagosit mononuklair dengan 

terbentuknya kompleks-imun-virus. Asal geografis dari strain dengue, umur , jenis 

kelamin dan faktor genetis manusia juga penting sebagai faktor risiko. 

Pada tahun 1981 terjadi KLB di Kuba yang disebabkan oleh virus dengue 2 Asia 

Tenggara, pada saat itu DHF/DSS, 5 kali lebih sering terjadi pada orang kulit putih 

daripada orang kulti hitam. Di Myanmar, India Timur orang-orang disana juga rentan 

terhadap DHF. 

 

9. Cara - cara pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan : lihat Demam Dengue diatas 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1), 2), 3), 4), 5) dan 6), laporan kepada petugas kesehatan setempat, isolasi, disinfeksi 

serentak, karantina, imunisasi kontak dan investigasi kontak dan sumber infeksi : 

lihat Demam Dengue diatas 

7) Pengobatan spesifik : Renjatan hipovolemik disebabkan oleh bocornya plasma 

sebab  peningkatan permeabilitas pembuluh darah bereaksi dengan terapi oksigen 

dan pemberian cepat dengan cairan dan elektrolit (larutan Ringer laktat 10 – 20 

ml/kg/jam). Pada kasus renjatan yang lebih berat, sebaiknya digunakan plasma dan 

atau cairan pengganti plasma. Kecepatan pemberian plasma dan cairan harus 

dihitung sesuai dengan jumlah yang hilang, biasanya diukur dengan 

mikrohematrokrit. Peningkatan nilai hematokrit yang terus menerus walupun 

sudah diguyur dengan cairan memberi indikasi bahwa perlu diberikan plasma atau 

koloid lain. Pengamatan yang ketat perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya 

overhidrasi. Transfusi darah dilakukan bila terjadi perdarahan berat yang 

memicu  turunnya hematokrit. Penggunaan heparin untuk mengobati 

perdarahan massive oleh sebab  adanya “Disseminated Intra Vasculer 

Congulation” berbahaya, tidak ada manfaatnya. Plasma segar , fibrinogen dan 

konsentrat trombosit digunakan untuk mengobati perdarahan berat. Aspirin 

merupakan kontradiksi sebab  dapat menimbulkan perdarahan. 

 

C, D dan E : Penanggulangan wabah, implikasi bencana dan tindakan international : lihat 

Demam Dengue diatas. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 150

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER/DENGUE SHOCK SYNDROME (DHF/DSS) 

         ICD-9 065.4; ICD-10 A91 

 

DEMAM BERDARAH DENGUE/SINDROMA RENJATAN DENGUE 

 

 

1. Identifikasi 

Penyakit virus berat yang ditularkan oleh nyamuk endemik di banyak negara di Asia 

Tenggara dan Selatan, Pasifik dan Amerika Lain; ditandai dengan meningkatnya 

permeabilitas pembuluh darah, hipovolemia dan gangguan mekanisme penggumpalan 

darah. Terutama menyerang anak-anak, namun  juga menyerang orang dewasa. Definisi 

kasus menurut WHO yaitu  : (1) demam atau adanya riwayat demam pada saat sekarang; 

(2) trombositopeni; hitung platelet sama atau kurang dari 100 x 10³/cu mm (Standar 

lebih lanjut  sama atau kurang dari 100 x 10 9 /L); (3) manifestasi perdarahan seperti tes 

tourniquet positif, petechiae atau fenomena perdarahan yang jelas; dan (4) berkurangnya 

plasma sebab  meningkatnya permeabilitas vaskuler. Adanya kenaikan hematokrit sebesar 

20% dibandingkan dengan nilai normal atau ditemukannya efusi pleural atau efusi 

abdomen dengan pemeriksaan ultrasonografi, tomografi ataupun sinar-X. sedang  

sindroma renjatan dengue (Dengue Shock Syndrome, DSS) yaitu   penderita DHF yang 

lebih berat ditambah dengan adanya tanda-tanda renjatan: (1) denyut nadi lemah dan 

cepat; (2) tekanan nadi lemah (< 20 mmHg); (3) hipotensi bila dibandingkan nilai normal 

pada usia ini ; (4) gelisah, kulit berkeringat dan dingin. Terapi cairan intravena atau 

oral yang tepat bisa mengurangi meningkatnya hematokrit dan perlu dilakukan observasi 

yang ketat untuk melihat terjadinya kebocoran plasma. 

Penyakit ini bersifat biphasic; tiba-tiba dimulai dengan demam, dan pada anak-anak 

disertai dengan keluhan pada saluran pernapasan bagian atas, kadang-kadang tidak ada 

nafsu makan, rasa panas di daerah muka dan gangguan gastro intestinal ringan. 

Bersamaan dengan defervescence dan menurunnya hitung trombosit, keadaan umum 

penderita tiba-tiba memburuk, ditandai dengan rasa lemas, sangat gelisah, muka pucat dan 

nafas cepat, rasa sakit yang sangat di daerah abdomen dan sianosis di sekitar mulut. Hati 

mungkin membengkak, biasanya 2 hari atau lebih sesudah defervescence. 

Perdarahan sering terjadi termasuk petechiae yang menyebar, uji tourniquet positif, 

mudah memar dan yang jarang yaitu   timbulnya mimisan, perdarahan pada saat 

pengambilan darah vena serta perdarahan gusi. Terjadinya perdarahan gastrointestinal 

yaitu   tanda prognosa yang jelek biasanya sesudah mengalami masa renjatan yang lama. 

Pada kasus berat, gejala klinis ditambah dengan terjadinya akumulasi cairan pada rongga 

tubuh, menurunnya kadar serum albumin, meningkatnya kadar transaminsse, 

memanjangnya waktu protrombin dan rendahnya kadar protein komplemen C-3. DHF 

dengan kerusakan hati berat, dengan atau tanpa ensefalopati telah ditemukan pada waktu 

Kejadian Luar Biasa (KLB) Dengue-3 di Indonesia dan Thailand. Angka kematian dari 

penderita DHF dengan renjatan yang tidak diobati atau dengan manajemen yang salah 

yaitu   sebesar 40 – 50%; dengan terapi cairan fisiologis yang tepat, angka ini menurun 

menjadi 1 – 2 %. 

Tes serologis menunjukkan peningkatan titer antibodi terhadap virus Dengue. Adanya 

antibodi IgM menunjukkan bahwa infeksi flavirus sedang terjadi atau baru saja terjadi, 

biasanya bisa dideteksi 6-7 hari sesudah onset penyakit. Virus dapat diisolasi dari darah 

 

 151

selama stadium demam akut dengan menyuntikannya pada nyamuk atau kultur sel. Isolasi 

dari organ pada saat otopsi sulit dilakukan namun  kemungkinannnya bertambah melalui 

inokulasi nyamuk. Sekuen asam nukleik yang spesifik dari virus dapat dideteksi dengan 

PCR. Infeksi virus Dengue dengan atau tanpa perdarahan telah dijelaskan di atas. Demam 

kuning dan penyakit perdarahan lain akan dijelaskan secara terpisah. 

 

2. Pemicu  Penyakit - Lihat Demam Dengue di atas. Semua serotipe dengue dapat 

memicu  DHF/DSS pada urutan menurun menurut frekuensi penyakit yang 

ditimbulkan tipe 2,3,4 dan 1. 

 

3. Distribusi Penyakit 

Epidemi DHF baru-baru ini telah terjadi di Filipina, Kaledonia Baru, Tahiti, China, 

Vietnam, Laos, Kamboja, Maldius, Kuba, Venezuela, Frenc Guiana, Suriname, Brasil, 

Kolombia, Nikaragua dan Puerto Rico. KLB terbesar dilaporkan di Vietnam pada tahun 

1987, pada saat itu kira-kira 370.000 kasus dilaporkan. Di Negara tropis Asia, DHF/DSS 

terutama menyerang anak-anak warga  setempat yang berusia di bawah 15 tahun. 

Kasus DHF/DSS sering terjadi selama musim hujan dan di daerah dengan kepadatan 

Aedes aegypti  yang tinggi.  

 

4; 5; 6 dan 7: Reservoir, cara penularan penyakit, masa inkubasi, masa penularan, - 

lihat Demam Dengue di atas. 

 

8.   Kekebalan dan Kerentanan 

Penjelasan tentang faktor risiko terbaik yaitu   dengan teori sirkulasi heterologi dari 

antibodi dengue yang didapat secara pasif pada bayi atau secara aktif melalui infeksi yang 

terjadi sebelumnya. Antibodi ini meningkatkan infeksi dari fagosit mononuklair dengan 

terbentuknya kompleks-immun-virus. Asal geografis dari strain dengue, umur, jenis 

kelamin dan faktor genetik manusia juga penting sebagai faktor risiko. Pada tahun 1981 

terjadi KLB di Kuba yang disebabkan oleh virus dengue 2. Di Asia Tenggara pada saat itu 

DHF/DSS, 5 kali lebih sering terjadi pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam. Di 

Myanmar dan  India Timur, orang-orang di sana juga rentan terhadap DHF. 

 

9.   Cara  Pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan:  lihat Demam Dengue di atas. 

 

B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar: 

1), 2), 3), 4), 5) dan 6), laporan kepada petugas kesehatan setempat, isolasi, desinfeksi 

serentak, karantina, imunisasi kontak dan investigasi kontak dan sumber infeksi: 

lihat demam Dengue di atas. 

7)  Pengobatan khusus : Renjatan hypovolemik disebabkan oleh bocornya plasma 

sebab  peningkatan permeabilitas pembuluh darah bereaksi dengan terapi oksigen 

dan pemberian cepat dengan cairan dan elektrolit (larutan ringer laktat 10 – 20 

ml/kg/jam). Pada kasus renjatan yang lebih berat, sebaiknya digunakan plasma dan 

atau cairan pengganti plasma. Kecepatan pemberian plasma dan cairan harus 

dihitung sesuai dengan jumlah yang hilang, biasanya diukur dengan 

mikrohematokrit. Peningkatan nilai hematokrit yang terus-menerus walaupun 

 

 152

sudah diguyur dengan cairan memberi indikasi bahwa perlu diberikan plasma atau 

koloid lain. Pengamatan yang ketat perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya 

overhidrasi. Transfusi darah dilakukan bila terjadi perdarahan berat yang 

memicu  turunnya hematokrit. Penggunaan heparin untuk mengobati 

perdarahan massive oleh sebab  adanya “Dessiminated Intra Vascular 

Coagulation” berbahaya, tidak ada manfaatnya. Plasma segar, fibrinogen dan 

konsentrat trombosit digunakan untuk mengobati perdarahan berat. Aspirin 

merupakan kontraindikasi sebab  dapat menimbulkan perdarahan. 

 

D dan E:  Penanggulangan Wabah, Implikasi Bencana dan Tindakan  lebih lanjut  : lihat 

Demam Dengue di atas. 

 

 

 

DERMATOFITOSIS      ICD-9 110;  ICD-10 B35 

(Tinea, Cacing gelang (Ring-worm), Dermatomikosis, Epidermofitosis, Trikofitosis, 

Mikrosporiosis) 

 

 

Dermatofitosis dan tinea yaitu   terminologi umum, merupakan sinonim untuk penyakit jamur 

yang menyerang bagian tubuh yang memiliki  lapisan tanduk (rambut, kuku dan kulit).  

Berbagai genus dan spesies jamur yang secara kolektif disebut sebagai dermatofit yaitu   

Pemicu  dermatofitosis.  Dermatofitosis ini dibagi menurut tempat infeksi. 

 

 

I. TINEA BARBAE DAN TINEAS CAPITIS      ICD-9 110.0;  ICD-10 B35.0 

(Cacing gelang dari jenggot dan kulit kepala, Kerion, Favus) 

 

 

1. Identifikasi 

Penyakit jamur yang muncul sebagai papula kecil dan menyebar periferal, meninggalkan 

bercak bersisik yang memicu  botak sementara. Rambut yang terinfeksi menjadi 

rapuh dan mudah patah. Kadang-kadang muncul luka basah bernanah yang disebut kerion. 

Favus dari kulit kepala (ICD-9 110.9) merupakan varietas dari Tinea capitis  yang 

disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii. Ciri-cirinya berbau seperti tikus, membentuk 

crusta cekung (scutulae), yang menempel pada kulit kepala. Rambut yang terkena tidak 

patah namun berubah menjadi abu-abu dan suram, terkadang rontok dan memicu  

kebotakan yang permanen.  

 

Tinea capitis dapat dengan mudah dibedakan dengan piedra, infeksi jamur dari rambut 

yang ditemukan di Amerika Selatan dan beberapa negara di Asia Tenggara dan Afrika. 

Piedra memiliki  ciri-ciri hitam, dengan benjolan kecil seperti pasir pada akar rambut 

disebabkan oleh Piedraia hortai atau dengan benjolan-bejolan lunak pucat putih 

disebabkan oleh Trichosporon beigelii, yang sekarang disebut sebagai T. ovoides atau T. 

inkin. 

 

 

 153

Pemeriksaan kulit kepala dengan sinar ultra violet (lampu Wood) untuk menemukan 

pantulan sinar fluoresen hijau-kuning berguna untuk mendiagnosa Tinea capitis yang 

disebabkan oleh Microsporum canis dan M. audouinii; spesies Trichopyton tidak 

memantulkan sinar fluoresen. Infeksi yang disebabkan oleh spesies Microsporum, 

pemeriksaan mikroskopis dilakukan terhadap sediaan yang diambil dari sisik kulit dan 

rambut yang dilarutkan dengan kalium hidroksida 10% atau dengan memakai   

mikroskop ultra violet untuk memeriksa sediaan putih alkofluor akan tampak gambaran 

yang khas berupa adanya invasi “hyaline ectothrix arthrospores”. Jamur ini sebaiknya 

dikultur untuk konfirmasi diagnosa. sedang  infeksi jamur oleh Trichophyton spp 

menunjukkan pola invasi endothrix (didalam rambut). 

 

2. Pemicu  Penyakit 

Bermacam-macam spesies dari Microsporum dan Trichophyton.  Identifikasi genus dan 

spesies jamur penting untuk prognosa penyelidikan epidemiologis. 

 

3.   Distribusi Penyakit 

Infeksi Tinea capitis yang disebabkan oleh Trichophyton tonsurans sekarang mewabah di 

daerah perkotaan di Amerika Serikat bagian timur, Puerto Rico, Meksiko dan Australia. 

Infeksi M. canis pada manusia ditemukan di daerah perkotaan dan pedesaan dimana 

kucing dan anjing di daerah ini  terinfeksi. Pada masa lampau, M. audouinii 

menyebar di Amerika Serikat terutama di daerah perkotaan; infeksi T. verrucosum dan T. 

mentagrophytes var mentagrophytes ditemukan terutama di daerah perkotaan dimana 

penyakit ini ada pada hewan ternak, kuda, tikus dan binatang liar. 

 

4.   Reservoir 

Manusia untuk T. tonsurans, T. schoenileinii dan T. audouinii; sedang  binatang 

terutama anjing, kucing dan hewan ternak merupakan reservoir organisme selain yang 

disebutkan di atas. 

 

5.   Cara Penularan  

Langsung dari kulit ke kulit atau kontak tidak langsung, terutama dari kursi di bioskop, 

melalui penjepit rambut di salon atau tukang cukur, melalui barang-barang yang biasa ada 

di toilet seperti sisir atau sikat rambut, atau baju dan topi yang terkontaminasi dengan 

rambut dari orang yang terinfeksi maupun dari binatang. 

 

6.   Masa Inkubasi  - Biasanya 10 – 14 hari. 

 

7.   Masa Penularan - Jamur bisa ditemukan pada benda-benda yang terkontaminasi dalam 

jangka waktu yang lama. 

 

8.   Kekebalan dan Kerentanan 

Anak-anak di bawah usia pubertas memiliki  risiko tinggi terhadap infeksi M. canis; 

semua golongan umur bisa terinfeksi Trichophyton. Infeksi ulang jarang terjadi. 

 

 

 

 

 154

9.   Cara Pemberantasan 

A. Tindakan Pencegahan: 

1) Beri penyuluhan kepada warga , terutama orang tua tentang bahaya dan cara 

penularan penyakit ini dari orang yang terinfeksi atau dari binatang yang terinfeksi 

seperti anjing, kucing dan binatang lain. 

2) Dalam keadaan wabah atau di daerah hiperendemis dimana spesies non-

Trichophyton tersebar luas, lakukan survey kepala terhadap anak-anak dengan 

memakai   sinar ultra violet (lampu Wood) sebelum mereka masuk ke sekolah. 

 

B.   Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: laporan wajib diberikan bila terjadi 

wabah; kasus perorangan tidak dilaporkan, Kelas 4 (lihat tentang pelaporan 

penyakit menular). 

2) Isolasi: tidak dilakukan. 

3) Desinfeksi serentak: Pada kasus ringan lakukan pencucian kulit kepala setiap kali 

untuk menghilangkan rambut yang rontok. Penggunaan sampo selenium sulfide 

untuk menghilangkan lapisan kulit yang mengelupas cukup bermanfaat. Pada 

kasus yang berat cuci kulit kepala setiap hari dan tutupi rambut dengan topi. Topi 

yang terkontaminasi sebaiknya direbus sesudah digunakan. 

4) Karantina: tidak praktis. 

5) Imunisasi kontak: tidak dilakukan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan penelitian kontak yang ada di 

rumah tangga, binatang rumah dan binatang ternak untuk melihat kemungkinan 

adanya infeksi; obati bila ada yang terinfeksi. Beberapa jenis binatang terutama 

kucing, bisa bertindak sebagai carrier yang tidak menunjukkan gejala. 

7) Pengobatan khusus: Griseofulvin (Gris-PEG®) diberikan secara oral paling sedikit 

selama 4 minggu sebagai obat pilihan. Antibiotika sistemik berguna untuk 

mencegah infeksi sekunder oleh bakteri pada ringworm; pada kasus kerion, 

gunakan juga salep keratolitik dan kapas penutup kulit kepala. Lakukan 

pemeriksaan setiap minggu dan lakukan kultur; pada saat kultur menjadi negatif 

dapat dikatakan sudah sembuh total. 

   

C. Penanggulangan Wabah:  Jika KLB terjadi di sekolah atau tempat lain, beri 

penyuluhan kepada anak-anak dan orang tua bagaimana cara penyebaran dan 

pencegahan penyakit ini serta melakukan kebersihan perorangan. Hubungi perawat 

dan dokter untuk mendiagnosa penyakit, dan lakukan survey tindaklanjut. 

 

D. Implikasi bencana:  tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut :  tidak ada. 

 

 

 

 

 

 

 

 155

II.  TINEA CRURIS      ICD-9 110.3;  ICD-10 B35.6 

 (Ringworm pada daerah inguinal dan daerah perianal) 

 

 TINEA CORPORIS    ICD-9 110.5;  ICD-10 B35.4 

 (Cacing cincin di tubuh) 

 

1.   Identifikasi 

Penyakit jamur kulit yang menyerang selain kulit kepala, jenggot dan kaki dengan lesi 

rata, menyebar dan berbentuk cincin. Tepi luka biasanya berwarna merah, vesiculair atau 

pustulair mungkin kering dan bersisik atau lembab berkerak. Ketika lesi menyebar ke arah 

periferal, bagian tengah terkadang bersih, meninggalkan kulit yang nampak normal. 

Membedakannya dengan kandidiasis inguinal penting oleh sebab  pengobatannya 

berbeda. 

Diagnosa presumptif dibuat dengan mengambil sampel dari tepi luka yang sudah lanjut, 

direndam dalam potassium hidroksida 10% dan diperiksa di bawah mikroskop atau 

diperiksa dengan mikroskop ultra violet terhadap sediaan calcofluor putih untuk melihat 

segmentasi, cabang filamen hyaline dari jamur. Identifikasi pasti dilakukan dengan kultur. 

 

2.   Pemicu  Penyakit - Sebagian besar spesies dari Mircosporum dan Trichophyton; juga 

Epidermophyton floccosum, Stytalidium dimidiatum dan S. hyalinum memicu  “tipe 

kering” tinea korporis pada daerah tropis. 

 

3.   Distribusi Penyakit 

Tersebar di seluruh dunia dan relatif sering ditemukan. Infeksi pada pria lebih sering 

terjadi daripada wanita. 

 

4.   Reservoir - Manusia, binatang dan tanah; tinea cruris hampir selalu pada pria. 

 

5.   Cara Penularan  

Kontak langsung atau tidak langsung dengan kulit dan kulit kepala dari orang yang 

terinfeksi, lesi dari binatang; lantai yang terkontaminasi; tiang pancuran kamar mandi, 

bangku dan benda-benda sejenis. 

 

6. Masa Inkubasi - Biasanya 4 – 10 hari. 

 

7. Masa Penularan  

Selama kulit masih ada dan jamur masih bertahan pada barang-barang yang 

terkontaminasi. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan  

Seluruh bagian tubuh bisa terinfeksi, dapat diperburuk oleh gesekan dan keringat yang 

banyak pada bagian ketiak dan inguinal, dan pada saat suhu lingkungan dan kelembaban 

tinggi. Semua umur rentan terhadap penyakit ini. 

 

 

 

 

 156

9. Cara Pemberantasan 

A. Tindakan Pencegahan 

Cuci handuk dan baju dengan air panas dan atau dengan obat anti jamur, menjaga 

kebersihan di pancuran kamar mandi dan tempat ganti ruang olah raga, membersihkan 

bangku secara berkala, menyemprot dan pengeringan cepat kamar mandi. Obat anti 

jamur seperti kresol baik digunakan untuk membersihkan bangku dan lantai. 

 

B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat, wabah wajib dilaporkan, tidak ada 

laporan khusus untuk kasus perorangan, Kelas 4 (lihat tentang pelaporan penyakit 

menular). Laporkan infeksi pada anak-anak sekolah kepada pihak yang 

berwenang. 

2) Isolasi: Ketika masih dalam masa pengobatan, anak-anak yang terinfeksi 

sebaiknya tidak memakai   ruang olah raga, kolam renang dan dilarang 

melakukan kegiatan yang bisa menularkan penyakit kepada orang lain. 

3) Desinfeksi serentak:  Pencucian baju berulang kali dengan benar. 

4) Karantina: Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Periksalah sekolah dan kontak di rumah, 

binatang peliharaan dan binatang ternak, obati penderita bila perlu. 

7) Pengobatan khusus: mandikan dengan sabun dan air secara seksama, bersihkan 

keropeng dari lesi dan berikan obat anti jamur tropical seperti miconazole, 

ketoconazole, clotrimazole, econazole, naftifine, terbinafine, tolnaftate atau 

ciclopirox. Pemberian Griseofulvin (Gris-PEG®) oral cukup efektif, itraconazole 

(Sporanox®) atau terbinafine (Lamisil®) juga efektif. 

 

C. Penanggulangan Wabah:  Beri penyuluhan kepada anak-anak  dan orang tua tentang 

cara-cara penularan penyakit ini serta menjaga kebersihan perorangan. 

 

D. Implikasi bencana:  Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut :  Tidak ada. 

 

 

 

III.  TINEA PEDIS      ICD-9 110.4;  ICD-10 B35.3 

 (Ringworm kaki, Kaki atlit) 

 

 

1. Identifikasi  

 Penyakit jamur ini dikenal dengan adanya kaki yang pecah-pecah dan mengelupas, 

terutama diantara jari kaki, atau luka lepuh yang mengandung cairan; biasa disebut kaki 

atlet. Pada kasus yang berat, lesi vesikuler muncul di beberapa bagian tubuh, terutama 

tangan; dermatofitid ini tidak mengandung jamur namun  merupakan reaksi alergi terhadap 

produk jamur. 

 Diagnosa presumtif dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dari preparat yang 

 

 157

direndam dengan kalkofluor putih yang diambil dari luka antara jari kaki, terlihat cabang 

filament berbuku-buku. Gambaran klinis dari lesi bukanlah untuk diagnostic; diagnosa 

pasti dengan kultur. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Trichophyton rubrum, T. mentagrophytes varian interdigitale dan Epidermophyton 

floccosum. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Tersebar di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang umum. Orang dewasa lebih 

sering terkena daripada anak-anak, dan laki-laki lebih sering daripada perempuan. Infeksi 

lebih sering dan lebih parah pada musim panas. 

 

4.   Reservoir :  - Manusia. 

 

5. Cara Penularan 

 Kontak langsung atau tidak langsung dengan lesi kulit orang yang terinfeksi atau lantai 

yang terkontaminasi, tiang pancuran kamar mandi atau barang-barang lain yang 

digunakan orang yang terinfeksi. 

 

6.  Masa Inkubasi: - Tidak diketahui. 

 

7. Masa Penularan:  Sepanjang lesi dan spora masih ada pada barang-barang yang 

terkontaminasi. 

 

8.  Kekebalan dan Kerentanan:  Kerentanan bervariasi dan infeksi bisa tidak 

menampakkan gejala. Serangan ulang sering terjadi. 

 

9.   Cara Pemberantasan 

 A. Tindakan Pencegahan 

Untuk tinea corporis, beri penyuluhan kepada warga  untuk menjaga kebersihan 

perorangan dengan ketat; keringkan sela jari kaki sesudah mandi; gunakan bedak tabur 

yang dapat membasmi jamur pada kaki terutama di sela jari kaki. Sepatu yang ketat 

memberikan kemungkinan kaki terkena infeksi. 

  

 B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: memberi laporan wajib dilakukan 

jika terjadi KLB. Kasus individual tidak dilaporkan, Kelas 4 (lihat tentang 

pelaporan penyakit menular). Laporkan kepada pihak yang berwenang jika 

ditemukan peningkatan jumlah penderita di sekolah. 

2) Isolasi: Tidak dilakukan. 

3) Desinfeksi serentak: rebus kaos kaki dari mereka yang menderita infeksi agar tidak 

terjadi infeksi ulangan. 

4) Karantina: Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi Kontak: Tidak dilakukan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak dilakukan. 

 

 158

7) Pengobatan Khusus: Fungisida tropical seperti miconazole, clotrimazole, 

ketoconazole, ciclopirox atau tolnaftat.  Gunakan sandal agar kaki kering terkena 

udara, gunakan bedak tabur. Griseofulvin (Gris-PEG®) oral diberikan jika terjadi 

infeksi berat atau terjadi infeksi yang lama, namun kurang efektif dibandingkan 

dengan pemberian anti jamur tropikal yang dilakukan secara teratur. 

 

C. Penanggulangan Wabah:  Bersihkan dan cuci lantai ruang olah raga dengan seksama 

begitu juga terhadap pancuran kamar mandi dan sumber-sumber infeksi yang lain; 

lakukan desinfeksi dengan obat anti jamur seperti kresol. Berikan penyuluhan kepada 

warga  tentang cara-cara penularan penyakit ini. 

 

D. Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut :  Tidak ada. 

 

 

 

IV. TINEA UNGUIUM    ICD-9 110.1;  ICD-10 B35.1 

 (Ringworm kuku, Onychomycosis) 

 

 

1.  Identifikasi 

 Penyakit jamur kronis yang terjadi pada satu atau lebih kuku jari tangan atau kaki. Kuku 

secara perlahan menjadi tebal, berubah warna dan rapuh, nampak akumulasi dari material 

yang seperti keju dari bawah kuku atau kuku mengapur dan rapuh. 

 Diagnosa dibuat dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis dari sediaan yang direndam 

dengan kalium hidroksida yang diambil dari kuku dan kotoran di bawah kuku untuk 

melihat adanya hyaline jamur. Etiologi pasti ditegakkan dengan melakukan kultur. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Beberapa spesies dari Trichophyton. Jarang disebabkan oleh spesies Epidermophyton 

floccosum, Microsporum atau Scytalidium. 

 

3. Distribusi Penyakit - Ditemukan dimana-mana dan umum terjadi. 

 

4. Reservoir - Manusia; jarang pada binatang atau tanah. 

 

5. Cara Penularan  

 Diperkirakan sebagai penjalaran dari infeksi kulit yang diperoleh sebab  penularan 

langsung dari orang yang terinfeksi atau secara tidak langsung sebab  kontak dengn lantai 

yang terkontaminasi atau tiang pancuran kamar mandi dengan tingkat penularan yang 

rendah, bahkan pada anggota keluarga yang terdekat. 

 

6. Masa Inkubasi - Tidak diketahui. 

 

7. Masa Penularan - Sepanjang lesi yang infektif masih ada. 

 

 159

8. Kerentanan dan Kekebalan - Kerentanan bervariasi, infeksi ulang sering terjadi. 

 

9. Cara Pemberantasan 

 A. Tindakan Pencegahan 

Kebersihan dan penggunaan obat anti jamur untuk mendisinfeksi lantai umum 

digunakan seperti kresol; semprot kamar mandi sesering mungkin dan keringkan 

secepatnya. 

 

 B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat; Laporan resmi tidak dilakukan, Kelas 

5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2), 3), 4) 5) dan 6) Isolasi, Desinfeksi serentak, Karantina, Imunisasi Kontak dan 

Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak praktis. 

7) Pengobatan khusus: Itraconazole dan terminafine oral yaitu   obat pilihan. 

Griseofulvin (Gris-PEG®) oral kurang efektif. Pengobatan sebaiknya diberikan 

hingga kuku tumbuh (sekitar 3-6 bulan untuk kuku tangan dan 12-18 bulan untuk 

kuku kaki). 

       

C, D dan E: Penanggulangan wabah, Implikasi bencana dan Tindakan lebih lanjut : 

Tidak dilakukan. 

 

 

 

DIARE AKUT     ICD-9 001-009;  ICD-10 A00-A09 

 

 

Diare akut sering disertai dengan tanda dan gejala klinik lainnya seperti muntah, demam, 

dehidrasi dan gangguan elektrolit. Keadaan ini merupakan gejala infeksi yang disebabkan 

oleh bakteri, virus dan parasit perut. Penyakit diare yang spesifik seperti kolera, shigellosis, 

salmonellosis, infeki Escherichia coli, yersiniosis, giardiasis, enteritis Campylobacter, 

cryptosporidiosis dan gastroenteropati virus masing-masing akan dibicarakan secara rinci 

dalam bab tersendiri. Diare juga dapat terjadi bersamaan dengan penyakit infeksi lainnya 

seperti malaria dan campak, begitu juga dengan keracunan kimia. Perubahan flora usus yang 

dipicu antibiotik dapat memicu  diare akut sebab  pertumbuhan berlebihan dan toksin 

dari Clostridium difficile. 

Sebetulnya 70%-80% dari kejadian diare yang muncul sporadis diantara orang-orang yang 

datang ke fasilitas kesehatan di negara yang sedang berkembang dapat didiagnosa secara tepat 

jika tersedia fasilitas laboratorium yang mutakhir dan dimanfaatkan dengan baik. Di Amerika 

Serikat, diperkirakan ada 5 juta kasus diare per tahun dan kira-kira hanya 4 juta yang 

mendatangi fasilitas kesehatan, gambaran yang dapat dipercaya kira-kira ini merupakan 45% 

dari kejadian diare yang sebenarnya . Di Amerika Serikat sebagian besar diare disebabkan 

oleh virus, dan yang paling utama yaitu   rotavirus. Proporsi yang lebih kecil diare di Amerika 

Serikat disebabkan oleh pathogen seperti E. coli, spesies Salmonella dan Shigella, spesies 

Vibrio dan Cl. difficile. 

 

 

 

 160

Dari sudut pandang klinis praktis, penyakit diare dapat dibagi menjadi 6 gejala klinik: 

1) Diare ringan, diatasi dengan pemberian larutan rehidrasi oral yang terdiri dari air, glukosa 

dan elektrolit, sedang  etiologi spesifik tidaklah penting dalam penatalaksanaan; 

2) Diare berdarah (disenteri) disebabkan oleh organisme seperti Shigella, E. coli 0157: H7 

dan beberapa organisme tertentu; 

3) Diare persisten yang berlangsung paling sedikit selama 14 hari; 

4) Diare berat seperti pada Cholera 

5) Diare ringan tanpa dehidrasi sebab  muntah, disebabkan oleh virus gastroenterides; diare 

sebab  toksin, seperti yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Bacillus creus, atau 

Cl. perfringens; dan 

6) Colitis hemoragika, dengan diare cair mengandung darah banyak namun  tanpa demam atau 

fekal lekositosis. 

Penyakit-penyakit ini tersendiri dibahas pada bab lain. 

 

 

 

DIARE YANG DISEBABKAN OLEH ESCHERICHIA COLI 

        ICD-9 008.0;  ICD-10 A04.0-A04.4 

 

 

Strain Escherichia coli Pemicu  diare terdiri dari enam kategori utama:  1) entero-

hemorrhagic; 2) enterotoxigenic; 3) enteroinvasive; 4) enteropathogenic; 5) 

enteroaggregative; dan 6) diffuse adherent. Setiap kategori memiliki  patogenesis yang 

berbeda, perbedaan virulensi, dan terdiri dari serotype O:H yang terpisah. Juga terlihat adanya 

perbedaan gejala klinis dan gambaran epidemiologis. 

 

 

I. DIARE YANG DISEBABKAN OLEH STRAIN ENTEROHEMORAGIKA 

         ICD-9 008.0;  ICD-10 A04.3 

  

 (EHEC, E. coli penghasil toksin Shiga [STEC] 

 E. coli O 157:H7, E. coli penghasil verotoksin) [VTEC] 

 

1.  Identifikasi  

 Kategori E. coli Pemicu  diare ini dikenal pada tahun 1982 ketika terjadi suatu KLB 

colitis hemoragika di Amerika Serikat yang disebabkan oleh serotipe yang tidak lazim, E. 

coli O157:H7 yang sebelumnya tidak terbukti sebagai patogen enterik. Diare dapat 

bervariasi mulai dari yang ringan tanpa darah sampai dengan terlihat darah dengan jelas 

dalam tinja namun  tidak mengandung lekosit. Yang paling ditakuti dari infeksi EHEC 

yaitu   sindroma uremia hemolitik (HUS) dan purpura trombotik trombositopenik (TTP). 

Kira-kira 2-7% dari diare sebab  EHEC berkembang lanjut menjadi HUS. EHEC 

mengeluarkan sitotoksin kuat yang disebut toksin Shiga 1 dan 2. Toksin Shiga 1 identik 

dengan toksin Shiga yang dikeluarkan oleh Shigella dysentriae 1; khususnya, HUS juga 

dikenal suatu komplikasi berat dari penyakit S. dysentriae 1. Sebelumnya toksin-toksin ini 

disebut verotoksin 1 dan 2 atau toksin I dan II mirip-Shiga. Keluarnya toksin-toksin ini 

tergantung pada adanya “phages” tertentu yang dibawa oleh bakteri.   

 

 161

 Disamping itu strain EHEC mengandung plasmid yang ganas yang membantu 

menempelnya bakteri pada mukosa usus. Kebanyakan strain EHEC memiliki  pulau 

pathogen di dalam kromosomnya yang mengandung bermacam gen virulen dengan kode-

kode protein tertentu Pemicu  terjadinya penempelan dan penyembuhan luka pada 

mukosa usus. 

 Di Amerika Utara strain dari  serotipe EHEC yang paling umum yaitu   0157:H7, dapat 

diidentifikasi dari kultur tinja, terlihat dari ketidakmampuannya meragikan sarbitol dari 

media seperti MacConkey-sorbitol (media ini digunakan untuk skrining E. coli 0157:H7). 

Sejak diketahui bahwa pada strain EHEC yang bisa meragikan sarbitol, maka teknik lain 

untuk mendeteksi EHEC perlu dikembangkan. Teknik yang perlu dikembangkan ini 

termasuk kemampuan mendeteksi adanya toksin Shiga. Kemampuan melakukan 

identifikasi karakteristik serotipe atau penggunaan probes DNA untuk identifikasi gen 

toksin punya kemampuan mendeteksi adanya plasmid virulens EHEC atau sekuensi 

spesifik dalam pulau patogenik. Tidak adanya demam pada kebanyakan pasien dapat 

membantu membedakan penyakit ini dari shigellosis dan disentri yang disebabkan oleh 

strain enteroinvasive E. coli atau oleh Campylobacter. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Serotipe EHEC utama yang ditemukan di Amerika Utara yaitu   E. coli 0157:H7; serotipe 

lainnya seperti 026:H11; 0111:H8;  0103:H2;  0113:H21; dan 0104:H21 juga ditemukan. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Penyakit ini sekarang ini dianggap masalah kesehatan warga  di Amerika Utara, 

Eropa, Afrika Selatan, Jepang, ujung selatan Amerika Selatan dan Australia. sedang  di 

bagian lain belahan bumi, penyakit ini belum menjadi masalah. KLB hebat, KLB dengan 

colitis hemoragika, HUS disertai dengan kematian terjadi di Amerika sebab  hamburger 

yang tidak dimasak dengan baik, susu yang tidak dipasteurisasi, cuka apel (dibuat dari 

apel yang kemungkinan tercemar kotoran sapi) dan sebab  mengkonsumsi tauge alfafa. 

 

4. Reservoir 

 Ternak merupakan reservoir EHEC terpenting; manusia dapat juga menjadi sumber 

penularan dari orang ke orang. Terjadi peningkatan kejadian di Amerika Utara dimana 

rusa dapat juga menjadi reservoir. 

 

5. Cara Penularan 

 Penularan terjadi terutama sebab  mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi seperti: 

tercemar dengan Salmonella, hal ini paling sering terjadi sebab  daging sapi yang tidak 

dimasak dengan baik (terutama daging sapi giling) dan juga susu mentah dan buah atau 

sayuran yang terkontaminasi dengan kotoran binatang pemamah biak. Seperti halnya 

Shigella, penularan juga terjadi secara langsung dari orang ke orang, dalam keluarga, 

pusat penitipan anak dan asrama yatim piatu. Penularan juga dapat melalui air, misalnya 

pernah dilaporkan adanya KLB sehabis berenang di sebuah danau yang ramai dikunjungi 

orang dan KLB lainnya disebabkan oleh sebab  minum air PAM yang terkontaminasi dan 

tidak dilakukan klorinasi dengan semestinya. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Relatif panjang berkisar antara 2 sampai 8 hari, dengan median antara 3-4 hari.  

 

 162

7. Masa Penularan 

 Lamanya ekskresi patogen kira-kira selama seminggu atau kurang pada orang dewasa dan 

3 minggu pada kira-kira sepertiga dari anak-anak. Jarang ditemukan “carrier” yang 

berlarut-larut. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Dosis infeksius sangat rendah. Hanya sedikit yang diketahui tentang spektrum dari 

kerentanan dan kekebalan. Umur tua memiliki  risiko lebih tinggi, hipoklorhidria 

diduga menjadi faktor yang terkontribusi pada tingkat kerentanan. Anak usia di bawah 5 

tahun berisiko paling tinggi untuk mendapat HUS. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

A.  Cara Pencegahan 

 Mengingat bahwa penyakit ini sangat potensial menimbulkan KLB dengan kasus-

kasus berat maka kewaspadaan ini dari petugas kesehatan setempat untuk mengenal 

sumber penularan dan melakukan pencegahan spesifik yang memadai sangat 

diperlukan. Begitu ada penderita yang dicurigai segera lakukan tindakan untuk 

mencegah penularan dari orang ke orang dengan cara meminta semua anggota 

keluarga dari penderita untuk sering mencuci tangan dengan sabun dan air terutama  

buang air besar, sehabis menangani popok kotor dan sampah, dan melakukan 

pencegahan kontaminasi makanan dan minuman. Langkah-langkah yang perlu 

dilakukan untuk mengurangi Distribusi Penyakit sebagai berikut: 

1) Mengelola kegiatan rumah pemotongan hewan dengan benar untuk mengurangi 

kontaminasi daging oleh kotoran binatang. 

2) Pasteurisasi susu dan produk susu. 

3) Radiasi daging sapi terutama daging sapi giling. 

4) Masaklah daging sapi sampai matang dengan suhu yang cukup terutama daging 

sapi giling. The USA Food Safety Inspection Service dan the 1997 FDA Food Code 

merekomendasikan memasak daging sapi giling pada suhu internal 155ºF (68ºC) 

paling sedikit selama 15-16 detik. Hanya dengan melihat warna merah muda 

daging yang menghilang, tidak dapat dibandingkan dengan kecepatan pengukuran 

suhu memakai   termometer daging. 

5) Lindungi dan lakukan pemurnian dan klorinasi air PAM; lakukan klorinasi kolam 

renang. 

6) Pastikan bahwa kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan pada pusat 

penampungan anak, terutama sering mencuci tangan dengan sabun dan air sudah 

menjadi budaya sehari-hari. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar 

1) Laporan kepada pejabat kesehatan setempat: Laporan kasus infeksi E. coli 

0157:H7 merupakan keharusan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan 

di banyak negara, Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular). Mengenal 

KLB secara dini dan segera melaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat 

sangatlah penting. 

2) Isolasi:  Selama penyakit dalam keadaan akut, tindakan pencegahan dengan 

kewaspadaan enterik.  

 

 163

Walaupun  dengan dosis infektif yang amat kecil, pasien yang terinfeksi dilarang 

menjamah makanan atau menjaga anak atau merawat pasien sampai hasil sampel tinja 

atau suap dubur negatif selama 2 kali berturut-turut (diambil 24 jam secara terpisah 

dan tidak lebih cepat dari 48 jam setelah pemberian dosis antibiotik yang terakhir). 

3) Disinfeksi serentak: dilakukan terhadap tinja dan barang-barang yang 

terkontaminasi. warga  yang memiliki  sistem pembuangan kotoran modern 

dan memadai, tinja dapat dibuang langsung kedalam saluran pembuangan tanpa 

dilakukan desinfeksi. Pembersihan terminal. 

4) Karantina: tidak ada. 

5) Penatalaksanaan kontak: Jika memungkinkan mereka yang kontak dengan diare 

dilarang menjamah makanan dan merawat anak atau pasien sampai diare berhenti 

dan hasil kultur tinja 2 kali berturut-turut negatif. Mereka diberitahu agar mencuci 

tangan dengan sabun dan air sehabis buang air besar dan sebelum menjamah 

makanan atau memegang anak dan merawat pasien. 

6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: kultur kontak hanya terbatas dilakukan 

pada penjamah makana, pengunjung dan anak-anak pada pusat perawatan anak 

dan situasi lain dimana penyebaran infeksi mungkin terjadi. Pada kasus sporadic, 

melakukan kultur makanan yang dicurigai tidak dianjurkan sebab  kurang 

bermanfaat. 

7) Pengobatan spesifik:  Penggantian cairan dan elektrolit penting jika diare cair atau 

adanya tanda dehidrasi (lihat Kolera, 9B7). Peranan pengobatan antibiotika 

terhadap infeksi E. coli 0157:H7 dan EHEC lainnya tidak jelas. Bahkan beberapa 

kejadian menunjukkan bahwa pengobatan dengan TMP-SMX fluorquinolones dan 

antimikrobial tertentu lainnya dapat sebagai pencetus komplikasi seperti HUS. 

 

C. Penanggulangan Wabah 

1) Laporkan segera kepada pejabat kesehatan setempat jika ditemukan adanya 

kelompok kasus diare berdarah akut, walaupun agen Pemicu  belum diketahui. 

2) Cari secara intensif media (makanan ata