Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 21. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit menular 21. Tampilkan semua postingan

penyakit menular 21


  

E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-Pusat Kerjasama WHO.  

 

 

 

 

 

 

   

 

 

 487

III. INFEKSI STAFILOKOKUS DI RUMAH SAKIT, ICD-9 998.5; ICD-10 T81.4 

     POLIKLINIK DAN RUANG PERAWATAN BEDAH 

 

 

1. Identifikasi 

Infeksi stafilokokus di rumah sakit, poliklinik dan ruang perawatan bedah bervariasi mulai 

dari lesi dalam bentuk furunkel-furunkel sederhana atau infeksi dekubitus, abses, atau luka 

bedah yang terinfeksi, septic phlebitis, osteomielitis kronis, pneumonia fulminan, 

meningitis, endokarditis atau sepsis.  Infeksi stafilokokus pasca bedah merupakan 

ancaman potensial bagi penderita pasca bedah. Prosedur pembedahan yang semakin 

kompleks dengan tindakan manipulasi organ yang lebih besar dan anestesi yang lebih 

lama akan menunjang masuknya kuman staphylococcus. Peningkatan penggunaan alat-

alat prostetik dan kateter memicu  peningkatan kejadian infeksi nosokomial 

stafilokokus. Penggunaan antimikroba yang tidak rasional dapat meningkatkan kejadian 

resistensi antibiotik terhadap stafilokokus.Verifikasi diagnosa didasarkan pada 

ditemukannya staphylococcus aureus dari isolat. Strain yang ditemukan harus kompatibel 

dengan gejala klinis yang ditimbulkan. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

Infeksi disebabkan oleh Staphylococcus aureus; lihat bagian I, 2 diatas.  Sembilan puluh 

lima persen dari strain ini resisten terhadap penicillin, dan proporsi yang resisten terhadap 

penisilin semisintetik (misalnya methicillin) dan terhadap aminoglycosides (misalnya 

gentamicin) meningkat. 

 

3. Distribusi Penyakit 

Tersebar diseluruh dunia.  Infeksi stafilokokus yaitu   Pemicu  sepsis terbanyak yang 

ditemukan dibanyak ruang perawatan rumah sakit.  Ada saat-saat dimana “attack rate” 

cukup tinggi berupa KLB.  Penyebaran infeksi di warga  dapat terjadi saat penderita 

dipulangkan dari rumah sakit. 

 

4, 5, 6 dan 7.  Reservoir, Cara Penularan, Masa Inkubasi dan Masa Penularan: 

Sama dengan infeksi stafilokokus yang terjadi di warga  (lihat bagian 1, 4, 5, 6 dan 7 

diatas). 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

Kerentanan dan kekebalan sama seperti yang telah diuraikan di bagian I. Meningkat dan 

meluasnya pemberian terapi intravena dengan pemasangan kateter permanen dan 

pemberian oengobatan parenteral lainnya meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi 

oleh stafilokokus. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara Pencegahan  

1) Mendidik staf rumah sakit agar membiasakan memakai  , antimikroba 

berspektrum sempit untuk mengobati infeksi stafilokokus yang sederhana dan 

pakailah antibiotika generasi berikutnya (misalnya seperti: cephalosporins hanya 

 

 488

untuk penderita infeksi stafilokokus yang resisten terhadap penisilin dan 

vancomycin digunakan hanya untuk yang resisten terhadap β-lactam). 

2) Komite infeksi nosokomial di rumah sakit menekankan teknik aseptik agar 

dilaksanakan secara ketat dan melaksanakan program monitoring infeksi  

nosokomial. 

3) Jarum infus harus diganti, paling sedikit setiap 72 jam; ganti lokasi vena yang 

ditusuk jarum infus intra vena setiap 48 jam. 

 

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya : 

1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: Wajib membuat laporan kepada Dinas 

Kesehatan setiap ada KLB; tidak ada laporan kasus individu; Kelas 4 (lihat tentang 

Pelaporan Penyakit Menular). 

2) Isolasi: Isolasi dilakukan bila kuman stafilokokus diduga jumlahnya sangat 

banyak pada pus atau sputum dari penderita pneumonia, dalam hal seperti ini maka 

penderita harus ditempatkan di ruangan tersendiri; isolasi tidak perlu dilakukan 

jika luka tidak banyak mengeluarkan cairan, dengan catatan luka dibalut dengan 

rapat dan hati-hati sewaktu mengganti pembalut agar tidak terjadi kontaminasi dari 

lingkungan. Petugas kesehatan harus selalu mempraktekkan standar prosedur 

mencuci tangan, memakai   sarung tangan karet dan mengenakan gaun 

pelindung. 

3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan sama seperti pada infeksi stafilokokus di 

warga  (lihat bagian I, 9B3, diatas). 

4) Karantina: Tidak ada. 

5) Imunisasi pada kontak penderita: Tidak ada. 

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber penularan: Tidak praktis dilakukan untuk 

kasus-kasus sporadis (lihat 9C, dibawah). 

7) Pengobatan spesifik: Pengobatan spesifik yaitu   dengan antimikroba yang sesuai 

dengan hasil uji sensitivitas terhadap antibiotika.  Bagi penderita infeksi berat yang 

mengancam jiwa diobati dengan vancomycin sambil menunggu hasil pemeriksaan 

sensitivitas. 

 

C. Upaya Penanggulangan Wabah : 

1) Ditemukannya dua atau lebih penderita yang secara epidemiologis ada 

hubungannya satu sama lain sudah cukup untuk dicurigai telah terjadi penyebaran 

penyakit dan perlu untuk dilakukan investigasi. 

2) Upaya lain sama dengan seperti yang dijelaskan pada bagian II, 9C3 diatas. 

3) Lakukan evaluasi terhadap pelaksanaan teknik-teknik aseptik dan terapkan dengan 

ketat teknik-teknik aseptik ini. 

 

 

 

IV.  TOXIC SHOCK SYNDROME   ICD-9 785.5; ICD-10 A84.3 

Toxic shock syndrome (TSS) yaitu   penyakit yang ditandai dengan onset yang mendadak 

dengan demam tinggi, muntah, diare cair yang hebat dan mialgia, diikuti dengan hipotensi 

dan pada kasus yang berat, terjadi shock.  Erythematous “sunburn-like” rash muncul 

selama fase akut; kira-kira 1 – 2 minggu setelah onset, terdapat deskuamasi kulit, terutama 

tangan dan kaki.  Demam biasanya lebih tinggi dari 38,8oC (102oF), tekanan darah sistole 

 

 489

kurang dari 90 mm hg dan tiga atau lebih sistem organ ikut terkena seperti: Sistem saluran 

pencernaan: GI; otot (mialgia berat dan atau kadar creatine phosphokinase lebih besar 

dua kali dari limit atas normal); membrana mukosa (hiperemi pada vagina, faring 

dan/atau konjungtiva); ginjal (urea nitrogen darah atau kreatinin lebih besar dua kali dari 

normal dan/atau timbul pyuria steril); hati (AST atau ALT lebih besar dua kali dari 

normal); hematologi (platelet kurang dari 100.000/cu mm; Unit SI kurang dari 100 x 

109/L); dan Susunan Saraf  Pusat (disorientasi atau terjadi perubahan dalam kesadaran 

tanpa gejala-gejala neurologis fokal). 

Sampel Darah, tenggorokan dan cairan Liquor Cerebrospinalis memberikan hasil kultur 

negatif untuk kuman, walaupun ditemukan S. aureus dari tempat ini , tidak 

membatalkan diagnosis.  Uji serologis terhadap demam bercak Rocky Mountain, 

leptospirosis dan Campak hasilnya negatif. 

Kebanyakan kasus TSS dihubungkan dengan strain S. aureus yang menghasilkan toxic 

shock syndrome toxin 1.  Strain-strain ini jarang ditemukan pada kultur vagina dari wanita 

sehat tapi sering ditemukan pada wanita penderita TSS yang dikaitkan dengan menstruasi 

atau TSS yang muncul pasca tindakan ginekologis.  

Walaupun pada awal ditemukannya hampir semua kasus TSS terjadi pada wanita yang 

sedang mengalami menstruasi dan kebanyakan dari mereka memakai   tampon 

vaginal, namun sekarang hanya 55% dari kasus-kasus yang dilaporkan berhubungan 

dengan menstruasi.  Faktor risiko lain yaitu   penggunaan alat kontrasepsi diagfragma dan 

alat kontrasepsi vagina spons, dan infeksi setelah melahirkan atau setelah aborsi.  

Penelitian terbaru menunjukkan adanya peningkatan risiko yang signifikan dari TSS 

diantara para pengguna alat kontrasepsi diafragma dan vaginal spons.  Petunjuk 

pemakaian spons, yang menyatakan agar tidak memakainya lebih dari 30 jam, harus 

diperhatikan benar agar tidak terjadi infeksi.  S. aureus yang diisolasi dari lesi pada kulit, 

tulang, saluran pernafasan dan luka pembedahan dari penderita baik pada penderita laki-

laki maupun wanita.  Sepertiga daripada penderita tidak diketahui sumber infeksinya. 

“Menstrual TSS” hampir semuanya dapat dicegah dengan menghindari penggunaan 

tampon vagina dengan daya serap tinggi; risiko TSS dapat diturunkan dengan 

memakai   tampon secara intermiten selama siklus menstruasi (yaitu, tidak digunakan 

sepanjang hari dan sepanjang malam) dan memakai   tampon yang daya serapnya 

kurang.  Wanita yang pada saat menstruasi mengalami demam tinggi dan muntah atau 

diare harus segera menghentikan penggunaan tampon dan konsul ke dokter.  Belum 

diketahui dengan jelas apabila mereka yang pernah mengalami “menstrual TSS” dapat 

terus memakai   tampon dengan aman. 

Pada hakekatnya gejala infeksi S. aureus sama dengan infeksi yang disebabkan oleh 

streptokokus grup A beta-hemolitik. 

Pengobatan TSS lebih banyak bersifat supportive.  Upaya yang harus dilakukan untuk 

mencegah terjadinya TSS yaitu   dengan menghilangkan potensi fokus dari infeksi S. 

aureus yang berasal dari cairan luka, benda asing pada vagina atau benda asing lainnya 

(misalnya: pembalut luka) dan berikan pengobatan dengan antibiotika yang tepat terhadap 

Streptokokus yang resisten terhadap β - lactam. 

       

 

 

 

 

 490

PENYAKIT – PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH INFEKSI STREPTOKOKUS  

DARI STREPTOKOKUS GRUP A (BETA HEMOLITIK) 

ICD-9 034, 035, 670; ICD-10 A49.1, J02.0, A38, L01.0, A46, 085 

(Radang tenggorokan disebabkan Streptokokus, Infeksi Streptokokus, demam Scarlet, 

Impetigo, Erisipelas, Infeksi Nifas, Demam Rematik) 

 

1. Identifikasi 

Streptokokus Grup A dapat memicu  berbagai macam penyakit. Paling banyak 

dijumpai yaitu   radang tenggorokan sebab  Streptokokus (ICD-10 J02.0) dan infeksi kulit 

oleh Streptokokus (impego atau pioderma). Penyakit lainnya termasuk demam Scarlet 

(ICD-10 A38), infeksi nifas (ICD-10 085), septikemia, erisipelas, selulitis, mastoiditis, 

otitis media, pneumonia, peritonsilitis, infeksi luka dan yang jarang terjadi yaitu 

necrotizing fasciitis, demam rematik dan toxic shock like syndrome. Jika terjadi suatu 

KLB maka salah satu bentuk klinis sering kali lebih dominan. 

Penderita dengan radang tenggorokan yang disebabkan streptokokus ditandai dengan 

munculnya demam secara tiba-tiba, sakit pada tenggorokan, tonsillitis exudativa atau 

faringitis dan terjadi pembesaran kelenjar limfe leher bagian depan. Faring, kripte tonsil 

dan palatum molle berwarna merah dan bengkak, mungkin timbul petekie berlatar 

belakang warna kemerahan dan menyebar. 

Gejala klinis yang timbul dapat minimal (sedikit) atau tidak ada sama sekali. Dapat terjadi 

otitis media atau abses peritonsiler, dan setelah 1 – 5 minggu kemudian dapat muncul 

glomerulonefiritis akut (rata-rata = 10 hari) atau demam rematik akut (rata-rata = 19 hari). 

Pada demam rematik dapat muncul Chorea Sydenham beberapa bulan setelah infeksi 

Streptokokus, penyakit jantung rematik terjadi beberapa hari atau minggu setelah infeksi 

streptokokus akut. 

Infeksi kulit oleh Streptokokus (pioderma, impetigo) biasanya menyerang dibagian 

superficial kulit dan dapat berkembang menjadi bentuk vesikuler, pustuler dan berkrusta. 

Ruam Scarlatiniform jarang terjadi dan tidak mengakibatkan demam rematik, namun 

glomerulonefiritis dapat terjadi 3 minggu setelah infeksi kulit. 

Demam scarlet yaitu   salah satu bentuk dari infeksi Streptococcal dengan ciri ruam pada 

kulit, ini terjadi apabila infeksi disebabkan oleh Streptokokus yang menghasilkan 

eksotoksin pirogenik (toksin eritrogenik) dan penderita disensitisasi namun tidak kebal 

terhadap toksin ini . Gejala klinis yang khas pada demam scarlet antara lain meliputi 

semua gejala yang ada pada radang tenggorokan yang disebabkan oleh Streptokokus (atau 

gejala infeksi pada luka, pada kulit atau pada infeksi nifas) enanthem, strawberry tongue 

dan exanthem. Ruam biasanya berupa eritema, punctata, memucat jika ditekan, sering 

teraba (seperti ampelas) dan muncul paling sering pada leher, dada, bahu, lipat ketiak, 

daerah inguinal, permukaan bagian dalam dari paha. 

Ciri khas dari demam scarlet yaitu   ruam tidak pada muka, namun pipi terlihat merah dan 

disekitar mulut terlihat pucat.  Demam tinggi, mual dan muntah sering meyertai infeksi 

yang berat. Selama masa konvalesen terjadi deskuamasi kulit pada ujung jari tangan dan 

kaki, jarang terjadi pada daerah yang luas pada tubuh dan bibir, termasuk telapak tangan 

dan telapak kaki, deskuamasi terlihat jelas pada eksantem yang berat. Case Fatality Rate 

(CFR) di beberapa tempat kadang-kadang mencapai lebih dari 3%. Demam scarlet 

mungkin diikuti dengan gejala sisa yang sama dengan radang tenggorokan yang 

disebabkan oleh Streptokokus. 

 

 491

Erisipelas yaitu   selulitis akut ditandai dengan demam, gejala umum, leukositosis dan 

lesi kulit berwarna merah, lunak, edematus, sering dengan peninggian kulit dengan batas 

jelas. Pada bagian tengah lesi cenderung lenyap pada saat bagian tepi meluas. Muka dan 

kaki yaitu   bagian tubuh yang paling sering terkena. Penyakit ini sering kambuh kembali 

dan lebih banyak menyerang wanita dan gejala menjadi lebih berat jika disertai dengan 

bakteriemia, dan pada orang engan debilitas. Case Fatality Rate (CFR) sangat bervariasi 

tergantung pada bagian tubuh yang terserang dan adanya komplikasi. Erisipelas sebab  

streptokokus grup A berbeda dengan erisipeloid yang disebabkan oleh Erysipelotrhix 

rhusiopathiae yaitu infeksi lokal pada kulit, merupakan penyakit yang berhubungan 

dengan pekerjaan yaitu menginfeksi orang-orang yang menangani ikan air tawar atau 

kerang, babi yang terinfeksi, kalkun dan jarang infeksi berasal dari kambing, sapi, ayam 

atau burung.  

 

Selulitis Perianal yang disebabkan Streptokokus grup A diketahui lebih sering terjadi 

pada akhir akhir ini. 

Infeksi Streptokokus masa nifas/demam nifas yaitu   penyakit akut, biasanya muncul 

panas disertai dengan gejala lokal dan umum serta tanda-tanda invasi bakteri pada saluran 

genitalia dan kadang-kadang bakteri masuk dalam aliran darah pada penderita post partum 

atau post abortus. Case Fatality Rate (CFR) pada demam nifas ini bisa ditekan serendah 

mungkin bila mendapat pengobatan yang kuat. Infeksi streptokokus masa nifas mungkin 

disebabkan oleh organisme selain streptokokus hemolitikus; gejala klinisnya akan nampak 

sama, yang berbeda yaitu   pada sifat bakteriologis dan epidemiologinya (lihat penyakit 

Stafilokokus). 

Toxic Shock Syndrome (TSS) yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A di AS 

meningkat sejak tahun 1987. Gejala klinis yang menonjol yaitu   hipotensi dan salah satu 

dari gejala berikut yaitu kerusakan ginjal; trombositopenia; Disseminated Intravascular 

Coagulation/DIC; peningkatan SGOT atau peningkatan kadar bilirubin; sindroma gagal 

pernafasan pada orang dewasa; ruam eritematus makuler menyebar atau nekrosis jaringan 

lunak (necrotizing fasciitis) oleh media dinamakan “flesh-eating bacteria”. TSS dapat 

muncul dalam bentuk sistemik ataupun lokal (tenggorokan, kulit, paru) 

Streptokokus grup lain dapat juga memicu  penyakit pada manusia. Streptokokus 

Beta-hemolitik grup B sering ditemukan pada vagina dan dapat memicu  sepsis 

neonatal dan meningitis supurativa pada neonatus (lihat tentang infeksi streptokokus grup 

B, pada neonatus dibawah) dan juga dapat memicu  infeksi pada saluran kencing, 

endometritis post partum dan penyakit sistemik lainnya pada orang dewasa, terutama pada 

penderita diabetes mellitus. sedang  organisme grup D (termasuk enterokokus), baik 

yang hemolitik maupun yang nonhemolitik, sebagai Pemicu  endokarditis bakteriil sub 

akut dan Pemicu  infeksi saluran kencing. Grup C dan G memicu  KLB tonsilitis 

biasanya ditularkan melalui makanan. Peran organisme ini terhadap timbulnya kasus 

sporadis belum diketahui dengan jelas. Glomerulonefritis muncul setelah infeksi grup C, 

namun sangat jarang terjadi pada infeksi grup G. Grup G dan Grup C ini  sama-sama 

tidak memicu  demam rematik. Infeksi grup C dan G lebih sering terjadi pada remaja 

dan dewasa muda. Streptokokus Alfa-hemolitik juga sering dapat memicu  terjadinya 

endokarditis bakteriil sub akut. 

 

 

 

 492

Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan untuk menemukan streptokokusl grup A 

yaitu   dengan isolasi organisme dari sampel jaringan yang ditanam dalam media agar 

darah atau media lain yang tepat atau identifikasi antigen streptokokus grup A dari sekret 

faring (test cepat strep). Pada media pembiakan streptokokus dapat diidentifikasi dari 

bentuk morfologi koloninya dan β-hemolisis yang dihasilkan pada media agar darah 

domba. Identifikasi tentatif dilakukan dengan tes inhibisi dengan memakai   cakram 

antibiotik yang mengadung 0,02 – 0,04 unit basitrasin. sedang  identifikasi pasti 

memakai   prosedur serogruping spesifik. Tes deteksi antigen juga dapat digunakan 

untuk identifikasi cepat. Kenaikan titer antibodi serum (antistreptolysin O, 

anthihyaluronidase, anti-DNA-ase B) mungkin dapat ditemukan di antara stadium akut 

dan konvalesen, titer yang tinggi dapat terus bertahan sampai beberapa bulan. 

Di AS hal praktis yang disarankan yaitu   pertama kali lakukan dulu rapid strep test (yang

memiliki  spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah) dan jika hasilnya positif 

diasumsikan penderita terinfeksi streptokokus grup A. Jika hasilnya negatif atau 

meragukan dianjurkan untuk melakukan kultur spesimen tenggorokan. 

 

2. Pemicu  penyakit 

Pemicu  penyakit yaitu   Streptococcus pyogenes, streptokokus grup A secara serologis 

dibedakan menjadi sekitar 80 tipe, yang bervariasi menurut letak geografis dan waktu 

penyebaran. Streptokokus grup A yang memicu  infeksi kulit berbeda tipe 

serologisnya dengan Pemicu  infeksi tenggorokan. Pada demam scarlet, ditemukan tiga 

tipe imunologis berbeda dari erythrogenic toxin (pyrogenic exotoxins A, B, dan C). 

sedang  pada TSS 80% isolat menghasilkan pyrogenic exotoxin A. sedang  β 

hemolisis yaitu   ciri khas dari streptokokus grup A, strain grup B, C dan strain grup G 

sering juga β hemolitik . Strain mucoid tipe M memicu  KLB demam rematik dan 

nekrosis fasciitis. 

 

3. Distribusi penyakit 

Radang tenggorokan yang disebabkan oleh infeksi streptokokus dan demam scarlet paling 

sering terjadi di negara subtropis, maupun dinegara berikilim dingin dan jarang ditemukan 

di negara-negara beriklim tropis. Infeksi tanpa gejala lebih sering ditemukan di negara 

tropis dibandingkan dengan di negara beriklim dingin. 

Di AS infeksi streptokokus dapat muncul dalam bentuk endemis, epidemis atau sporadis. 

Faringitis yang disebabkan oleh infeksi streptokokus paling sering ditemukan pada usia 2 

– 3 tahun dan puncaknya pada usia 6 – 12 tahun dan menurun pada usia yang lebih tua. 

Infeksi terjadi sepanjang tahun dengan puncaknya pada musim dingin dan awal musim 

semi. 

Infeksi oleh streptokokus Grup A disebabkan oleh tipe spesifik tertentu dari protein M (M 

types), terutama tipe 1, 3, 4,12 dan 25 sering memicu  glomerulonefritis akut. 

Demam rematik akut merupakan komplikasi non supuratif dari infeksi streptokokus 

Grup A yang menyerang saluran pernafasan bagian atas. Tadinya demam rematik akut 

sudah lama tidak ditemukan lagi dinegara-negara maju, namun pada tahun 1985 tiba-tiba 

terjadi KLB di AS. Pada tahun 1990-an terjadi peningkatan jumlah penderita demam 

reumatik yang dilaporkan dari berbagai negara bagian di AS. Kebanyakan ksus yang 

dilaporkan sebagai akibat dari infeksi streptokokus Grup A seperti tipe M 1, 3 dan 18 

yang bersifat rematogenik. 

 

 

 493

Demam rematik di negara-negara berkembang masih merupakan masalah kesehatan 

warga  yang serius. Insidensi tertinggi ditemukan muncul biasanya sesudah terjadi 

faringitis. Usia 3 – 15 tahun yaitu   yang paling sering terserang; komunitas yang paling 

sering terserang yaitu   anak-anak sekolah dan personil militer. 

Bersamaan dengan munculnya kembali demam rematik muncul infeksi streptokokus 

dengan gejala yang lebih berat seperti infeksi dengan gejala umum yang lebih berat dan 

Toxic Shock Syndrome (TSS). 

Di AS setiap tahun dilaporkan sekitar 10.000 – 15.000 penderita dengan infeksi 

streptokokus Grup A berat, 5% - 19% (500 – 1.500 kasus) berkembang menjadi 

necrotizing fasciitis. 

Insidens tertinggi dari impetigo streptokokus yang menyerang anak-anak yaitu   pada 

musim panas, musim gugur didaerah dengan iklim panas. Timbulnya nefritis setelah 

infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus tipe M (seperti tipe 2, 49, 55, 57, 58, 59, 

60 dan tipe lain yang lebih tinggi), berbeda dengan tipe streptokokus yang memicu  

nefritis setelah infeksi saluran pernafasan bagian atas. 

Distribusi geografis dan distribusi menurut variasi musim erysipelas sama dengan 

scarlet fever dan faringitis. Erisipelas lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan 

dengan mereka yang berusia diatas 20 tahun. Biasanya muncul secara sporadic walaupun 

pada saat terjadi KLB dari infeksi streptokokus. 

Untuk demam nifas, tidak tersedia cukup data yang dapat dipercaya. Dinegara maju 

morbiditas dan mertalitas demam nifas mengalami penurunan drastic semenjak 

ditemukannya berbagai jenis antibiotika. 

Saat ini demam nifas muncul secara sporadic walaupun kadang-kadang muncul sebagai 

KLB di institusi-institusi kesehatan yang kurang memperhatikan prosedur aseptik.   

 

4. Reservoir: - Manusia 

 

5. Cara penularan 

Melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita atau carrier, jarang melalui kontak 

tidak langsung. Penyebaran lewat carrier hidung merupakan cara utama dalam penularan 

penyakit ini. Kontak secara kebetulan jarang memicu  infeksi. Pada populasi dimana 

impetigo banyak dijumpai, streptokokus grup A ditemukan pada kulit normal 1 – 2 

minggu sebelum lesi kulit timbul. Strain yang sama ditemukan pada tenggorokan (tanpa 

menimbulkan gejala klinis pada tenggorokan) biasanya ditemukan belakangan saat terjadi 

infeksi kulit. 

Carrier anal, vagina, kulit dan faring diketahui sebagai Pemicu  KLB nosokomial infeksi 

streptokokus yang serius pasca bedah. Beberapa KLB yang dilaporkan terjadi di kamar 

operasi disebabkan oleh petugas sebagai carrier strain streptokokus. Untuk menemukan 

carrier memerlukan penyelidikan epidemiologis yang intensif ditunjang dengan dukungan 

laboratorium dan pemeriksaan mikrobiologis yang memadai. Menghilangkan status carrier 

pada seseorang memerlukan upaya khusus dengan memberikan berbagai jenis antibiotika 

yang berbeda dan biasanya sakit. 

Partikel yang mengandung streptokokus lepas keudara melalui barang-barang yang 

terkontaminasi (seperti debu lantai, sprei, saputangan, namun partikel ini tidak infeksius 

untuk kulit dan selaput lendir yang intak (utuh)) 

 

 

 494

KLB radang ternggorokan yang disebabkan oleh streptokokus disebabkan oleh makanan 

yang terkontaminasi, yang paling sering terkontaminasi oleh streptokokus yaitu   susu dan 

produk olahannya, salad telur dan telur rebus juga sering dilaporkan menjadi sumber 

penularan sterptokokus grup A dari manusia dapat menular kepada sapi dan menularkan 

kepada orang lain melalui susu sapi ini; sedang  streptokokus Grup B yang 

menimbulkan penyakit pada manusia dan yang memicu  penyakit pada sapi secara 

biokimiawi berbeda satu sama lain. Terjadinya kontaminasi pada susu dan makanan yang 

mengandung telur merupakan cara penularan yang paling sering. Pernah juga ditemukan 

KLB streptokokus Grup C yang ditularkan oleh sapi. 

 

6. Masa inkubasi: Pendek, biasanya 1 – 3 hari, jarang lebih lama. 

 

7. Masa Penularan 

Masa penularan dari penderita yang tidak diobati dan yang tidak mengalami komplikasi 

biasanya berlangsung selam 10 – 21 hari; sedang  pada penderita yang tidak diobati 

namun mengeluarkan discharge purulen masa penularan berlansung berminggu-minggu 

bahkan berbulan-bulan. 

Dengan pemberian penisilin yang tepat dalam waktu 24 jam penderita sudah tidak 

menular lagi. Penderita faringitis yang tidak diobati tetap mengandung organisme ini 

selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan namun secara bertahap jumlahnya 

berkurang; tingkat penularan menurun drastis 2-3 minggu setelah infeksi. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

Setiap orang rentan terhadap infeksi streptokokus maupun demam scarlet, walaupun 

sebagian orang dalam tubuhnya membentuk antitoksin maupun antibodi spesifik setalah 

infeksi tanpa gejala. Antibodi hanya terbentuk terhadap streptokokus grup A tipe M, dan 

biasanya bertahan selama bertahun-tahun. Pemberian antibiotika dapat mempengaruhi 

pembentukan antibodi spesifik. 

Semua ras dan suku bangsa rentan terhadap infeksi streptokokus dan jika ada perbedaan 

disebabkan sebab  perbedaan faktor lingkungan. Infeksi ulang oleh strain yang berbeda 

sering terjadi. Kekebalan terhadap toksin eritrogenik terbentuk seminggu setelah 

munculnya gejala demam scarlet dan biasanya permanen; serangan demam scarlet untuk 

kedua kalinya jarang terjadi, dan bila terjadi disebabkan adanya tiga jenis toksin yang 

berbeda. 

Kekebalan pasif terhadap streptokokukus grup A pada bayi baru lahir didapat dari ibunya 

melalui plasenta. Penderita yang pernah terserang demam rematik akan mendapat 

serangan ulang jika terjadi infeksi ulang streptokokus grup A dan diikuti dengan 

kerusakan jantung. 

Erisipelas dapat muncul berulang kali pada seseorang. sedang  glomerulonefritis 

biasanya tidak pernah berulang. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan 

1) Berikan Penyuluhan kepada warga  dan kepada petugas kesehatan tentang 

cara-cara penularan penyakit ini, tentang hubungan infeksi streptokokus dengan 

demam rematik akut, chorea sydenham, penyakit jantung rematik, 

 

 495

glomerulonefritis dan tentang pentingnya diagnosa pasti serta dijelaskan bahwa 

antibiotika yang diberikan untuk terapi infeksi streptokokus, agar diminum sesuai 

dengan jadwal yang disuruh dokter. 

2) Sediakan fasilitas laboratorium yang memadai untuk identifikasi streptokokus 

hemolitik grup A. 

3) Lakukan Pasteurisasi terhadap susu dan melarang orang yang terinfeksi menangani 

susu untuk mencegah kontaminasi. 

4) Siapkan makanan beberapa saat sebelum dikonsumsi; jika jarak waktu antara 

penyiapan manakan dan saat konsumsi agak lama simpanlah makanan ini  

pada suhu kurang dari 5o C (41o F) dan dalam jumlah yang sedkit.  

5) Orang yang memiliki  lesi pada kulit dilarang menangani makanan. 

6) Pencegahan komplikasi sekunder : untuk mencegah infeksi streptokokus kembali 

dan berulangnya demam rematik, erisipelas atau chorea yaitu   dengan injeksi 

benzathin penicillin G long acting tiap bulan (atau pemberian penisilin oral tiap 

hari, jika pasien patuh) diberikan kurang lebih selama 5 tahun. Jika pasien ini  

tidak tahan terhadap penisilin dapat diberikan sulfisoxasole per oral. 

 

B. Pengawasan Penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: setiap KLB wajib dilaporkan segera, 

kelas 4. Demam reumatik akut dan atau TSS untuk negara bagian tertentu wajib 

dilaporkan, kelas 3B (lihat tentang pelaporan penyakit menular) 

2) Isolasi: Secara umum lakukan kewaspadaan terhadap discharge dan sekret 

penderita. Kewaspadaan ini dapat dilongggarkan 24 jam setelah pemberian 

penisilin atau antibiotika lain. Pemberian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 10 

hari untuk menghindari timbulnya penyakit jantung reumatik. 

3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari penderita dan 

semua paralatan yang tercemar. Pembersihan terminal. 

4) Karantina: Tidak diperlukan 

5) Imunisasi kontak: Tidak ada 

6) Investigasi pada kontak dan sumber infeksi : Buat kultur dari spesimen penderita. 

Cari dan obati carrier pada situasi KLB dan pada keluarga dengan resiko tinggi 

(keluarga dengan riwayat dan penderita TSS, demam reumatik akut, nefritis akut, 

infeksi pasca bedah). 

7) Pengobatan spesifik: Berbagai jenis penisilin digunakan sepeti Benzathine 

penicillin G (obat pilihan) atau penisilin G (oral), atau penisilin V (oral). Sampai 

saat ini belum ditemukan strain streptokokus yang resisten terhadap penisilin. 

Pengobatan yang diberikan harus dapat menjamin kadar penisilin yang ada kuat 

dalam darah bertahan selama 10 hari. 

Pengobatan yang diberikan, dalam 24 – 48 jam pertama akan mengurangi gejala 

akut dari penyakit; namun bakteri akan tetap bertahan difaring pada 30% dari 

penderita. Pemberian pengobatan yang tepat akan mengurangi frekuensi terjadinya 

komplikasi supuratif dan dapat mencegah terjadinya demam rematik akut. 

Pengobatan yang tepat juga akan mengurangi risiko timbulnya glomerulenefritis 

akut dan dapat mencegah penyebaran bakteri diwarga . Untuk penderita yang 

sensitif terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin sebagai pengganti, namun 

pernah dilaporkan adanya strain yang resisten terhadap eritromisin. 

 

 496

Klindamisin atau sefalosporin diberikan jika pemberian penisilin atau eritromisin 

merupakan kontraindikasi. Preparat sulfonamida tidak begitu efektif dipakai untuk 

menghilangkan streptokokus dari tenggorokan atau mencegah komplikasi non 

supuratif. Banyak strain yang resisten terhadap tetrasiklin. 

 

C. Upaya Penanggulangan Wabah 

1) Temukan sumber dan cara penularan (dari orang ke orang, melzlui susu atau 

makanan). KLB biasanya dengan mudah dapat dilacak sumbernya berasal dari 

individu dengan infeksi streptokokus akut atau berasal dari penderita infeksi 

streptokokus yang persisten atau carrier (infeksi pada hidung, tenggorokan, kulit, 

vagina, daerah perianal), dengan melakukan pemeriksaan serologis untuk 

mengetahui tipe streptokokus. 

2) Lakukan investigasi jika ditemukan adanya pengelompokan penderita untuk 

mengetahui kemungkinan terjadinya penularan dengan cara “Common Source” 

seperti penularan melalui susu atau makanan yang terkontaminasi. 

 

3) Jika KLB terjadi pada kelompok individu dengan kontak yang sangat dekat seprti 

pada anggota pasukan militer, ruang perawatan bayi maka seluruh anggota atau 

penghuni diberikan penisilin agar penularan tidak berlanjut. 

 

D. Implikasi bencana: Orang dengan luka bakar atau luka biasa sangat mudah terinfeksi 

oleh streptokokus didaerah terjangkit. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat Kerja sama WHO.  

 

 

 

 

SEPSIS PADA NEONATUS YANG DISEBABKAN 

OLEH STREPTOKOKUS GRUP B    ICD-9 038; ICD-10 P36.0 

 

Streptokokus grup B (S. agalactiae) subtipe manusia dapat memicu  penyakit-penyakit 

penting pada bayi baru lahir.  Ada dua bentuk penyakit yang terjadi pada neonatus yaitu :  

- penyakit dengan onset awal (dari 1 – 7 hari) ditandai dengan sepsis, gangguan respirasi, 

apnea, syok, pneumonia dan meningitis; penyakit ini memiliki  case fatality rate + 50%, 

infeksi didapat didalam uterus atau selama persalinan, dan lebih sering terjadi pada 

kelahiran dengan berat badan lahir rendah. 

- penyakit dengan onset lambat (dari 7 hari – beberapa bulan) ditandai dengan sepsis dan 

meningitis;  memiliki  case fatality rate 25%, penyakit didapat dari kontak orang ke 

orang, dan terjadi pada bayi a’term.  Penderita meningitis yang sembuh dapat mengalami 

kelainan bicara, penglihatan, gangguan psikomotorik dan kejang. 

 

Mekanisme tidak jelas, namun kira-kira 10% – 30% wanita hamil ditemukan mengandung 

streptokokus grup B pada alat kelamin mereka. Kira-kira 1% dari anak mereka mengalami 

infeksi simptomatik; risiko serius dari infeksi paling tinggi pada bayi-bayi prematur.  

Streptokokus grup B yang ditemukan pada sapi yang menderita mastitis bukan Pemicu  dari 

penyakit ini. 

 

 

 497

Pemberian antibiotika per-oral sebagai upaya untuk meghilangkan streptokokus grup B pada 

alat kelamin wanita selama kehamilan hanya memberikan hasil sedikit.  Relaps dapat terjadi 

pada saat antibiotika dihentikan, kemungkinan reinfeksi terjadi dari rektum atau didapat dari 

pasangan seks. 

 

Pemberi penisilin atau ampisilin intravena pada saat dan selama persalinan berlangsung pada 

wanita yang mengidap infeksi streptokokus grup B dapat mencegah terjadinya infeksi pada 

bayi dengan risiko tinggi (yaitu bayi prematur dengan usia kehamilan dibawah 37 minggu, 

ketuban pecah lebih dari 18 jam, ada riwayat saudara dari bayi ini terinfeksi streptokokus grup 

B). Pemberian penisilin dan ampisilin ini menurunkan angka morbiditas dan mortalitas bayi 

baru lahir dengan risiko tinggi. Walaupun umumnya streptokokus grup B sensitif terhadap 

penisilin G dan ampisilin namun ada juga strains yang ditemukan resisten terhadap penisilin. 

Dalam keadaan ini maka infeksi berat harus diobati dengan kombinasi penisilin dengan 

preparat aminoglikosid seperti gentaminisin. Vaksin untuk wanita hamil untuk merangsang 

antibodi mencegah infeksi pada bayi baru lahir, saat ini sedang dikembangkan. 

 

 

 

CARIES GIGI PADA ANAK USIA DINI YANG DISEBABKAN STREPTOKOKUS 

          ICD-9 52.1; ICD-10 K02 

(Nursing bottle caries, Babby bottle tooth decay) 

 

 

Caries pada anak disebabkan oleh banyak faktor, caries ini dimasukkan dibawah judul 

streptokokus sebab  disebabkan oleh spesies streptokokus. Ciri khas caries pada anak-anak 

yaitu   pertama yang terkena biasanya gigi seri pada maxilla namun  jarang terjadi pada gigi seri 

mandibula, gigi susu lainnya yang terkena bervariasi. Oleh sebab  terjadinya caries ini  

berhubungan dengan pola kebiasaan yang khas dalam memberi makan pada anak, maka 

kerusakan gigi ini  dinamakan “NURSING BOTTLE CARIES” atau “Baby bottle tooth 

decay”,  walaupun caries seperti ini terjadi pula pada anak-anak yang memakai   cangkir.  

Streptococcus mutans ditemukan didalam gigi yang berlubang. Pada percobaan hewan yang 

diberikan makanan yang mengandung gula streptokokus terbukti mengakibatkan caries gigi. 

Streptokokus  gram positif yang anaerob fakultatif ini  termasuk grup streptokokus viridans 

dan biasanya kelompok alfa dan gamma yang menghemolisis agar darah. Untuk proses 

kolonisasi organisme ini membutuhkan permukaan gigi yang tidak lepas, biasanya pada 

plaque gigi. 

Caries pada anak-anak tersebar secara global dengan prevalensi tertinggi di negara 

berkembang. Anak-anak cacat, tidak tergantung pada etnis dan budaya tertentu dan mereka 

yang memiliki berat badan lahir rendah, paling sering terkena; yang sering terkena caries juga 

yaitu   anak dengan enamel hypoplasia, sering berhubungan dengan status gizi yang kurang 

selama dalam proses pembentukan gigi awal. Reservoir oenting dari mana bayi mendapatkan 

mutan streptokokus yaitu   ibunya; strain yang diisolasi  dari ibu dan bayi mereka memiliki  

ciri baik profil bacteriocin-nya, plasmid maupun pola chromosomal DNA-nya. 

Penularan dari ibu ke anak melalui air liur yang mengandung streptokokus ditularkan pada 

waktu mencium bayi dengan bibir, membasahi putting susu atau dot dengan air liur atau pada 

waktu mencicipi makanan melalui sendok makan sebelum diberikan pada bayi. Kolonisasi 

tergantung dari jumlah organisme yang ada dalam air liur ibu, ibu  yang giginya berlubang 

 

 498

biasanya memiliki  risiko tinggi mengandung mutan streptokokus dalam air liurnya. 

Untuk mencegah caries gigi pada anak usia dini, lakukan kegiatan promosi kesehatan tentang 

kebersihan gigi dan mulut kepada ibu-ibu. Para ibu dianjurkan untuk menyapih anaknya dari 

pemberian susu botol sedini mungkin. Berikan penjelasan kepada ibu-ibu tentang bahaya 

timbulnya caries gigi pada anak-anaknya yang diberi minum susu botol dan yang diberi 

makanan yang mengandung kadar gula tinggi. Ingatkan juga kepada ibu-ibu agar jangan 

melakukan hal-hal yang dapat memudahkan masuknya saliva kemulut bayi, terutama ibu atau 

pengasuh lainnya yang memiliki  caries gigi yang tidak dirawat. 

 

 

 

STRONGYLOIDIASIS     ICD-9 127.2; ICD-10 B78 

 

1. Identifikasi 

 yaitu   infeksi cacing, umumnya tanpa gejala yang menyerang duodenum dan bagian atas 

jejunum. Gejala klinis yang muncul antara lain timbulnya dermatitis ringan pada saat larva 

cacing masuk ke dalam kulit pada awal infeksi. Gejala lain yaitu batuk, ronki, kadang-

kadang pneumonitis jika larva masuk ke paru-paru; atau muncul gejala-gejala abdomen 

yang disebabkan oleh cacing betina dewasa yang menempel pada mukosa usus. Gejala 

infeksi kronis tergantung kepada intensitas dari infeksi, bisa ringan dan bisa juga berat.  

 Gejala yang paling khas yaitu   sakit perut, umumnya sakit pada ulu hati seperti gejala 

ulcus ventriculi, diare dan urticaria; kadang-kadang timbul nausea, berat badan turun, 

lemah dan konstipasi. Timbulnya dermatitis yang sangat gatal sebab  gerakan larva 

menyebar dari arah dubur; dapat juga timbul peninggian kulit yang stationer yang hilang 

dalam 1-2 hari atau ruam yang menjalar dengan kecepatan beberapa sentimeter per jam 

pada tubuh. Walaupun jarang terjadi, autoinfeksi dengan beban jumlah cacing yang 

meningkat terutama pada penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah dapat 

memicu  terjadinya strongyloidiasis diseminata, terjadi penurunan berat badan yang 

drastic, timbul kelainan pada paru-paru dan berakhir dengan kematian. Pada keadaan 

seperti ini sering terjadi sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram negatif.  Pada stadium 

kronis dan pada penderita infeksi berulang serta pada penderita infeksi human T-cell 

lymphotrophic virus (HTLV-1) ditemukan eosinofilin ringan (10%-25%). Eosinofilia 

ringan juga dijumpai pada penderita yang mendapatkan kemterapi kanker, sedang  pada 

strongyloidiasis disseminata jumlah sel eosinofil mungkin normal atau menurun. 

 Diagnosa dibuat dengan menemukan larva cacing pada spesimen tinja segar atau dengan 

metode pelat agar, pada aspirat duodenum atau kadang-kadang larva ditemukan pada 

sputum. Pemeriksaan ulang perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa lin. Tinja yang 

disimpan dalam suhu kamar 24 jam atau lebih, ditemukan parasit yang berkembang dalam 

berbagai stadium, larva stadium rhabditiform (non infeksius), larva filaform (infektif). 

Larva filaform ini harus dibedakan dengan larva cacing tambang dan dengan cacing 

dewasa. Diagnosa dapat juga ditegakkan  dengan pemeriksaan serologis seperti EIA, 

dengan memakai   antigen berbagai stadium, biasanya memberikan hasil positif sekitar 

80%-85%. 

 

2. Pemicu  Penyakit: - Strongyloides stercoralis dan S. fulleborni, nematoda. 

 

 

 499

3. Distribusi Penyakit 

 Tersebar di daerah beriklim tropis atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. 

Prevalensi penyakit  di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Prevalensi tinggi 

ditemukan pada warga  dengan kondisi kebersihan perorangan yang jelek. S. 

fulleborni dilaporkan hanya terdapat di Afrika dan Papua New Guinea. 

 

4. Reservoir 

 Manusia yaitu   reservoir utama cacing Strongyloides stercoralis dan hanya kadang-

kadang saja strain anjing dan kucing ditularkan kepada manusia. Penularan dari orang ke 

orang  juga bisa terjadi. 

 

5. Cara-cara Penularan 

 Larva infektif (filaform) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang 

terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah vena di bawah paru-

paru. Di paru-paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak naik 

menuju ke trachea kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam 

saluran pencernaan mencapai bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi 

dewasa.  

 Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak dengan cara partogenesis hidup 

menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama pada duodenum, di tempat 

ini cacing dewasa meletakkan telornya. Telor kemudian menetas melepaskan larva non 

infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk kedalam lumen usus, keluar 

dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat 

menginfeksi hospes yang sama atau orang lain. Atau larva rhabditiform  ini dapat 

berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah. Cacing 

dewasa betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan 

melepaskan larva non infektif rhabditiform  yang kemudian dalam 24-36 jam berubah 

menjadi larva infektif filariform.Kadangkala pada orang-orang tertentu, larva rhabditiform 

dapat langsung berubah menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu 

dan menembus dinding usus atau menembus kulit di daerah perianal yang memicu  

auotinfeksi dan dapat berlangsung bertahuntahun. 

 

6. Masa Inkubasi 

 Waktu yang diperlukan mulai saat larva infektif filariform menembus kulit sampai 

ditemukan larva non infektif rhabiditform dalam tinja penderita yaitu   2-4 minggu. 

sedang  waktu dari masuknya larva infeksi sampai timbul gejala tidak pasti, bervariasi 

dari orang ke orang. 

 

7. Masa penularan: Selama cacing dewasa ada dalam usus dan dapat berlangsung hingga 

35 tahun jika terjadi autoinfeksi. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

 Setiap orang rentan terhadap penularan cacing ini. Imunitas setelah infeksi cacing tidak 

terbentuk dalam tubuh manusia, imunitas hanya terbentuk pada percobaan laboratorium. 

Penderita AIDS dan penderita tumor ganas atau mereka yang mendapatkan pengobatan 

yang menekan sistem kekebalan tubuh dapat rentan terhadap infeksi cacing ini. 

 

 500

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan 

1) Buanglah tinja di jamban yang saniter. 

2) Lakukan penyuluhan kesehatan kepada warga  untuk benar-benar 

memperhatikan kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan. Gunakan alas 

kaki di daerah endemis. 

3) Sebelum memberikan terapi imunosupresif kepada seseorang, Pastikan bahwa 

orang ini  tidak menderita strongyloidiasis. 

4) Periksa semua najing, kucing, kera yang kontak dekat dengan manusia, obati 

binatang yang terinfeksi cacing ini. 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: Penyakit ini tidak wajib dilaporkan, Kelas 

5 (lihat tentang laporan penyakit menular). 

2) Isolasi: Tidak ada. 

3) Tindakan disinfeksi: Membuang feces secara saniter. 

4) Karantina: Tidak ada. 

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada. 

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Terhadap anggota keluarga 

penderita dan penghuni asrama dimana ada penderita dilakukan pemeriksaan 

Kalau-kalau ada yang terinfeksi. 

7) Pengobatan spesifik: sebab  adanya potensi untuk autoinfeksi dan penularan 

kepada orang lain, semua penderita tanpa melihat jumlah cacing yang 

dikandungnya harus dilakukan pengobatan dengan ivermectin (Mectizan®), 

Thiabendazole (Mintezol®) atau albendazole (Zentel®). Perlu diberikan 

pengobatan ulang. 

 

C. Penanggulangan wabah: Tidak diterapkan sebab  merupakan penyakit yang sporadis. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada. 

 

 

 

 

SIFILIS 

 

I.  SIFILIS (Lues)     ICDC-9 090-096; ICD-10 A50-A52 

 

 

1. Identifikasi 

Sifilis yaitu   penyakit yang disebabkan oleh infeksi treponema yang bersifat akut dan 

kronis ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder pada kulit dan selaput 

lendir kemudian masuk kedalam periode laten diikuti dengan lesi pada kulit, lesi pada 

tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler. 

 

 501

Lesi primer (Chancre = ulcus durum) biasanya muncul 3 minggu setelah terpajan. Lesi 

biasanya keras (indurasi), tidak sakit, berbentuk ulcus dengan mengeluarkan eksudat 

serosa ditempat masuknya mikroorganisme. Masuknyaa mikroorganisme kedalam darah 

terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya ditandai dengan terjadinya pembesaran 

kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit, keras nonfluktuan. Infeksi juga dapat terjadi 

tanpa ditemukannya chancer (ulcus durum) yang jelas, misalnya kalau infeksi terjadi di 

rectum atau cervix. Walaupun tidak diberi pengobatan, ulcus akan menghilang sendiri 

setelah 4 – 6 minggu. Sepertiga dari kasus yang tidak diobati mengalami stadium 

generalisata, stadium dua, dimana muncul erupsi dikulit yang kadangkala disertai dengan 

gejala konstitusional tubuh. Timbul ruam makulo papuler bisanya pada telapak tangan dan 

telapak kaki diikuti dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik 

dari sifilis yang akan menghilang secara spontan dalam beberapa minggu atau sampai dua 

belas bulan kemudian. Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang 

tidak diobati akan masuk kedalam fase laten selama berminggu minggu bahkan  selama 

bertahun tahun. Pada awal fase laten sering muncul lesi infeksius yang berulang pada kulit 

dan selaput lendir. Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala 

meningitis sifilitik akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan akhirnya timbul 

paresis dan tabes dorsalis. Periode laten ini kadang kala berlangsung seumur hidup. Pada 

kejadian lain yang tidak dapat diramalkan, 5 – 20 tahun setelah infeksi terjadi lesi pada 

aorta yang sangat berbahaya (sifilis kardiovaskuler) atau gumma dapat muncul dikulit, 

saluran pencernaan tulang atau pada permukaan selaput lendir. 

Stadium awal sifilis jarang sekali menimbulkan kematian atau disabilitas yang serius, 

sedang  stadium lanjut sifilis memperpendek umur, menurunkan kesehatan dan 

menurunkan produktivitas dan efisiensi kerja. Mereka yang terinfeksi sifilis dan pada saat 

yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP; oleh sebab  itu 

setiap saat ada penderita HIV dengan gejala SSP harus dipikirkan kemungkinan yang 

bersangkutan menderita neurosifilis (neurolues).  

Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal pada saat 

mengandung bayinya dan ini sering sekali terjadi sedang  frekuensinya makin jarang 

pada ibu yang menderita stadium lanjut sifilis pada saat mengandung bayinya. 

Infeksi pada janin dapat berakibat terjadi aborsi, stillbirth, atau kematian bayi sebab  lahir 

prematur atau lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau mati sebab  

menderita penyakit sistemik. 

Infeksi kongenital dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul kemudian 

berupa gejala neurologis terserangnya SSP. Dan kadangkala infeksi kongenital dapat 

mengakibatkan berbagai kelainan fisik yang dapat menimbulkan stigmatisasi di 

warga  seperti gigi Hutchinson, saddlenose (hidung berbentuk pelana kuda), saber 

shins (tulang kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis kongenital 

kadang kala asimtomatik, terutama pada minggu-minggu pertama setelah lahir. 

Diagnosa sifilis dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan serologis 

terhadap darah dan liquor cerebrospinalis. Reaksi yang positif terhadap antigen 

nontreponemal (misalnya terhadap RPR (rapid plasma reagine) atau terhadap tes VDRL 

(Venereal Disease Research Laboratory) perlu dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan 

memakai   antigen treponema (seperti FTA – Abs (Fluorescent treponemal antibody 

absorbed). Jika FTA Abs ini tersedia, bermanfaat untuk menyingkirkan hasil pemeriksaan 

yang “false-positive”. Untuk melakukan skrining pada bayi baru lahir penggunaan serum 

 

 502

lebih baik daripada darah tali pusat, sebab  darah tali pusat lebih sering memberi hasil 

“false-positive”. 

Diagnosa sifilis primer dan sekunder dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis 

dengan teknik lapangan gelap (dark field/dunkelfeld) atau dengan pemeriksaan fase 

kontras atau dengan teknik pengecatan antibodi FA dari eksudat yang diambil dari sampel 

atau aspirat kelenjar getah bening dengan catatan penderita belum diberi pengobatan 

antibiotika. Pemeriksaan serologis biasanya memberi hasil negatif pada awal stadium 

pertama walaupun pada saat itu Chancre (ulcus durum) masih ada. Pada saat masih 

ditemukan ada ulcus maka pemeriksaan mikroskopis memakai   teknik lapangan gelap 

yaitu   yang paling baik lebih-lebih pada stadium awal sifilis primer yang biasanya 

memberikan hasil negatif pada pemeriksaan serologis. 

Catatan : Pada kepustakaan lama perkembangan sifilis (lues)  

   dibagi kedalam 4 stadium : 

  - Stadium I : adanya ulcus durum 

  - Stadium II : disebut stadium generalisata 

  - Stadium III : stadium gumma 

  - Stadium IV : disebut juga stadium Neurolues 

 

2. Pemicu  penyakit : Treponema pallidum, subspesies pallidum, termasuk spirocheta. 

 

3. Distribusi penyakit 

Sifilis tersebar diseluruh dunia; di AS yang paling sering terkena infeksi yaitu   golongan 

usia muda berusia antara 20 – 29 tahun, yang aktif secara seksual. Adanya perbedaan 

prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih disebabkan oleh faktor sosial daripada 

faktor faktor biologis. Sifilis juga lebih tinggi prevalensinya didaerah perkotaan 

dibandingkan dengan didaerah pedesaan dan juga pada ras dan kultur tertentu. Laki-laki 

lebih sering terinfeksi daripada wanita. Pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, 

prevalensi tinggi dijumpai pada kelompok homoseksual laki-laki dan pada tahun 1983 

menurun secara drastis. 

Dibanyak wilayah di AS, terutama di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan bagian 

selatan kejadian sifilis dan sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 

dan berlanjut sampai dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan 

ini terjadi terutama dikalangan warga  dengan status sosial ekonomi rendah dan 

dikalangan anak-anak muda. Faktor risiko yang melatar belakangi peningkatan prevalensi 

sifilis pada kelompok ini antara lain pemakaian obat obat terlarang, prostitusi, AIDS dan 

hubungan seks pertama kali pada usia muda. Tahun 1991, sejak tahun 1985 merupakan 

tahun pertama kali kasus sifilis yang dilaporkan menurun drastis, Pemicu nya tidak 

diketahui dengan jelas. Penyakit kelamin pada usia muda dan sifilis kongenital meningkat 

secara bermakna hampir diseluruh dunia sejak tahun 1957. 

 

4. Reservoir: - Manusia 

 

5. Cara-cara Penularan 

Cara penularan sifilis yaitu   dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan eksudat 

infeksius dari lesi awal kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual 

dengan penderita sifilis.  

 

 503

Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya 

terjadi sebab  hubungan seksual. Penularan sebab  mencium atau pada saat menimang 

bayi dengan sifilis kongenital jarang sekali terjadi. Infeksi transplasental terjadi pada saat 

janin berada didalam kandungan ibu yang menderita sifilis.  

Transmisi melalui darah donor bisa terjadi jika donor menderita sifilis pada stadium awal. 

Penularan melalui barang-barang yang tercemar secara teoritis bisa terjadi namun 

kenyataannya boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Petugas kesehatan pernah dilaporkan 

mengalami lesi primer pada tangan mereka setelah melakukan pemeriksaan penderita 

sifilis dengan lesi infeksius. 

 

6. Periode inkubasi: Dari 10 hari sampai 3 minggu, biasanya 3 minggu. 

 

7. Masa Penularan 

Penularan dapat terjadi jika ada lesi mukokutaneus yang basah pada penderita sifilis 

primer dan sekunder. Namun jika dilihat dari kemampuannya menularkan kepada orang 

lain, maka perbedaan antara stadium pertama dan stadium kedua yang infeksius dengan 

stadium laten yang non infeksius yaitu   bersifat arbitrari, oleh sebab  lesi pada penderita 

sifilis stadium pertama dan kedua bisa saja tidak kelihatan. 

Lesi pada sifilis stadium dua bisa muncul berulang dengan frekuensi menurun 4 tahun 

setelah infeksi. Namun penularan jarang sekali terjadi satu tahun setelah infeksi. Dengan 

demikian di AS penderita sifilis dianggap tidak menular lagi setahun setelah infeksi. 

Transmisi sifilis dari ibu ke janin kemungkinan terjadi pada ibu yang menderita sifilis 

stadium awal namun infeksi dapat saja berlangsung selama stadium laten. 

Bayi yang menderita sifilis memiliki  lesi mukokutaneus basah yang muncul lebih 

menyebar dibagian tubuh lain dibandingkan dengan penderita sifilis dewasa. Lesi basah 

ini merupakan sumber infeksi yang sangat potensial. 

 

8. Kekebalan dan Kerentanan 

Semua orang rentan terhadap infeksi sifilis, walaupun hanya 30% saja dari mereka yang terpajan akan terkena infeksi. Setelah infeksi biasanya terbentuk antibodi terhadap T. pallidium dan kadang kala terbentuk antibodi heterologus terhadap treponema lain. Antibodi tidak terbentuk kalau dilakukan pengobatan awal pada stadium satu dan dua. Adanya infeksi HIV menurunkan kemampuan penderita melawan T. pallidum. 

 

9. Cara – cara Pemberantasan 

A. Upaya pencegahan 

Secara umum tindakan-tindakan pencegahan berikut ini dapat diterapkan pada semua 

jenis PMS (penyakit menular seksual); seperti sifilis, infeksi HIV, chancroid, 

lymphogranuloma venereum, granuloma inguinale, gonorrhea, infeksi virus herpes 

simplex, infeksi papillomavirus pada genitalia manusia (genital warts), 

trichomoniasis, bakteriae vaginosis, hepatitis B yang ditularkan lewat hubungan seksl, 

infeksi-infeksi chlamydial dan genital mycoplasma. 

Upaya deteksi dini dan pengobatan dini pada penderita sifilis menular dan kontak 

mereka sebaiknya tidak mengabaikan pencarian penderita sifilis laten tanpa gejala 

untuk mencegah kambuhnya penyakit dan mencegah kecacatan yang disebabkan 

manifestasi klinis yang muncul terlambat. 

 

 504

1) Didik warga  tentang cara-cara umum menjaga kesehatan, berikan petunjuk 

tentang kesehatan dan hubungan seks yang sehat. Jelaskan manfaat tentang 

menunda aktivitas seksual sampai pada usia matang secara seksual demikian juga 

jelaskan pentingnya perkawinan monogami dan mengurangi jumlah pasangan 

seksual. Pemeriksaan serologi sifilis sebaiknya dilakukan untuk semua kasus PMS 

dan sebagai prosedur rutin pada perawatan antenatal. Sifilis kongenital dicegah 

dengan melakukan pemeriksaan serologis pada kehamilan dini dan diulang lagi 

pada kehamilan tua dan pada saat partus pada populasi dengan prevalensi tinggi; 

berikan pengobatan kepada mereka yang hasil pemeriksaan serologisnya positif. 

2) Lindungi warga  dari infeksi sifilis dengan cara mencegah dan mengendalikan 

PMS pada para pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggan mereka melalui 

penyuluhan tentang bahayanya memiliki banyak pasangan seksual dan hindari 

hubungan seksual dengan orang yang tidak dikenal. Dari penyuluhan tentang 

tindakan profilaksis untuk mencegah infeksi sebelum, pada waktu dan sesudah 

pemajanan. Terutama sekali ajarkan tentang cara-cara memakai   kondom yang 

tepat dan konsisten. 

3) Sediakan fasilitas pelayanan kesehatan untuk diagnosa dini dan pengobatan dini 

PMS. Jelaskan tentang manfaat fasilitas ini melalui penyuluhan kesehatan 

warga  dan jelaskan juga tentang gejala-gejala PMS dan cara-cara 

penyebarannya; bentuk fasilitas pelayanan kesehatan ini hendaknya sesuai dengan 

budaya setempat dan mudah diakses dan dapat diterima oleh warga , tanpa 

mempertimbangkan status sosial ekonomi seseorang. Buatlah program penemuan 

kasus secara intensif termasuk kegiatan melakukan anamnesis penderita, 

motifikasi pasangan seksual mereka. Lakukan pemeriksaan serologis ulang untk 

sifilis diwilayah dimana prevalensi PMS nya tinggi. Lakukan pemeriksaan 

serologis lain untuk mengesampingkan kemungkinan infeksi PMS lainnya atau 

infeksi HIV. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: Kasus sifilis infeksius dini dan sifilis 

kongenital wajib dilaporkan hampir di semua wilayah negara bagian dan bervariasi 

di berbagai negera, Kelas 2A (lihat laporan penyakit menular), dihampir semua 

negara bagian laboratorium-laboratorium diwajibkan melapor jika menemukan 

spesimen yang memberikan hasil serologis reaktif dan pemeriksaan mikroskopis 

lapangan gelap positif. Kerahasiaan penderita harus dijaga. 

2) Isolasi: untuk pasien-pasien rawat inap, tindakan kewaspadaan universal untuk 

darah dan sekret harus dilakukan. Penderita harus menahan diri untuk tidak 

melakukan hubungan seksual sampai pengobatan lengkap dan semua lesi 

menghilang; untuk menghindari reinfeksi, mereka harus menahan diri untuk tidak 

melakukan hubungan seksual dengan pasangan-pasangan sebelumnya sampai 

pasangan ini  selesai di periksa dan diobati. 

3) Disinfeksi serentak: Tidak ada jika penderita mendapat pengobatan yang cukup 

mamadai; hati-hati dan hindari kontak dengan discharge yang keluar dari lesi 

terbuka dan dengan benda-benda yang terkontaminasi. 

4) Karantina: Tidak ada 

5) Imunisasi pada kontak: Tidak ada 

 

 505

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: ciri dasar dari program pemberantasan 

sifilis yaitu   anamnesis yang dilakukan terhadap penderita untuk mengetahui 

pasangan seks mereka darimana mereka tertulari dan untuk mencari orang yang 

tertulari oleh penderita itu sendiri. Pewawancara yang terlatih akan memberikan 

hasil yang lebih baik. Tingkat stadium penyakit yang diderita sangat menentukan 

kriteria notifikasi dari pasangan seks mereka misalnya : a) untuk sifilis primer, 

seluruh pasangan seks mereka selama 3 bulan sebelum timbul gejala harus dicari; 

b) untuk sifilis sekunder yang dicari yaitu   seluruh kontak selama 6 bulan sebelum 

timbul gejala klinis; c) sedang  untuk sifilis laten fase awal kontak yang 

ditelusuri yaitu   pasangan seks selama setahun dengan catatan jika saat stadium 

primer dan stadium sekunder tidak diketahui; d) untuk sifilis lanjut dan sifilis laten 

lanjut, seluruh pasangan sah dan anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi 

harus dicari; e) untuk sifilis kongenital, seluruh anggota terdekat penderita harus 

ditelusuri. Sebagai tindak lanjut dari investigasi, seluruh pasangan seksual dari 

penderita sifilis stadium awal selama 90 hari sebelum diagnosa ditegakkan harus 

diberikan pengobatan. Penderita sifilis dan pasangan seks mereka dianjurkan untuk 

mendapatkan konseling dan pemeriksaan HIV. Bayi yang lahir dari ibu sero positif 

harus diberi pengobatan dengan penisilin jika ibunya tidak mendapatkan 

pengobatan yang adekuat pada bulan terakhir kehamilan. 

7) Pengobatan spesifik: Obat spesifik yaitu   Long acting penisilin G (benzathin 

penicillin), sebesar 2,4 juta unit diberikan segera setelah penderita didiagnosa 

sebagai penderita sifilis primer, sekunder atau sifilis laten awal; hal ini dilakukan 

untuk meyakinkan bahwa telah dilakukan pengobatan yang efektif walaupun 

penderita tidak kembali lagi. Obat alternatif yang dapat diberikan untuk penderita 

yang alergi terhadap penisilin yaitu  : doksisiklin PO, 100 mg dua kali sehari 

selama 14 hari atau tetrasiklin PO (per oral) empat kali sehari selama 14 hari. 

 

Pengobatan alternatif untuk pasien-pasien alergi pinisilin tanpa kehamilan: 

doxycycline PO, 100 mg dua kali sehari untuk 14 hari atau tetrasiklin PO, 500 mg 

empat kali sehari untuk 14 hari 

Pemeriksaan serologis perlu dilakukan untuk menilai hasil pengobatan; pemeriksaan 

serologis dilakukan 3 bulan dan 6 bulan setelah pengobatan dan diulang lagi beberapa 

saat setelah itu jika diperlukan. Penderita sifilis yang juga menderita HIV, 

pemeriksaan serologis dilakukan berulang pada bulan 1, 2, 3 setelah pengobatan dan 

setelah itu dilakukan lagi dengan interval 3 bulan. Jika terjadi peningkatan titer sebesar 

4 kali atau lebih, berikan pengobatan ulang. 

Tiga bulan setelah pengobatan sifilis primer atau sifilis sekunder, tidak terjadi 

penurunan titer antibodi dibawah 4 kali kenaikan, menandakan bahwa pengobatan 

yang diberikan gagal. Dosis perlu ditingkatkan dan diberikan dalam jangka waktu 

yang lebih panjang pada sifilis stadium lanjut (yaitu benzathin penicilin G sebesar 7.2 

juta unit keseluruhan diberikan IM dengan interval satu minggu). Perlu 

dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan liquor cerebrospinalis (LCS) bagi 

penderita yang diduga memiliki  risiko terkena neurolues; dan bagi mereka yang 

gagal pengobatan, bagi mereka yang terinfeksi HIV dan bagi mereka yang 

menunjukkan gejala neurologis. 

 

 

 506

Untuk neurolues, diberikan penisilin G kristal dalam larutan aqua sebanyak 18 – 24 

juta unit sehari, diberikan 3 –4 juta unit setiap 4 jam intravena selama 10 – 14 hari. 

Sebagai terapi alternatif dapat diberikan procaine penicillin sebesar 2 – 4 juta unit 

setiap hari IM ditambah dengan probenecid PO, 500mg, 4 kali sehari, dua duanya 

diberikan selama 10 – 14 hari. Kebersihan pengobatan dievaluasi dengan pemeriksaan 

serologis dan pemeriksaan LCS setiap 6 bulan sampai hitung sel normal. 

Wanita hamil yang sensitif terhadap derivat penisilin baik yang major maupun minor 

perlu dilakukan tes kulit (skin test), jika antigennya ada. Untuk ibu hamil yang sensitif 

terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin dengan risiko tingkat kegagalannya 

tinggi. Penderita yang alergi terhadap penisilin dapat dilakukan desensitisasi, 

kemudian dapat diberikan penisilin dengan dosis sesuai dengan stadium penyakitnya. 

Untuk sifilis kongenital awal, penisilin G kristal yang dilarutkan dalam aqua diberikan 

sebanyak 50.000 unit/kgbb/dosis, diberikan IV atau IM setiap 12 jam sekali pada usia 

satu minggu dilanjutkan setiap 8 jam selama 10-14 hari kemudian. Untuk sifilis 

kongenital lanjut dimana hasil pemeriksaan LCS normal dan tidak ada gejala-gejala 

neurologis, bayi dapat diobati seperti pengobatan sifilis laten. Jika hasil pemeriksaan 

LCS tidak normal maka dilakukan pengobatan seperti pada neurolues yaitu : 200.000 

unit/kgbb/dosis penisilin G kristal yang dilarutkan dalam aqua setiap 6 jam diberikan 

selama 10 – 14 hari. 

 

C. Upaya penanggulangan wabah: Pada waktu KLB, lakukan tindakan intensifikasi 

seperti yang diuraikan pada bagian 9A dan 9B diatas. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : 

1) Lakukan pemeriksaan terhadap kelompok-kelompok remaja dan kelompok dewasa 

muda yang pindah dari wilayah dengan prevalensi infeksi treponema tinggi 

2) Mentaati perjanjian-perjanjian lebih lanjut  (misalnya perjanjian Brussels) yang 

menyatakan bahwa semua penderita harus dicatat, adakan fasilitas diagnosa dan 

pengobatan, lakukan wawancara kontak terhadap awak kapal dipelabuhan-

pelabuhan laut. 

3) Sediakan fasilitas pertukaran informsai cepat secara lebih lanjut  tentang kontak 

4) Manfaatkan Pusat Kerja sama WHO 

 

 

 

II. SIFILIS ENDEMIK NON VENEREAL  ICD-9 104.0; ICD-10 A65 

 (Bejel, Njovera) 

 

1. Identifikasi 

Merupakan penyakit akut dengan distribusi geografis terbatas ditandai dengan munculnya 

erupsi pada kulit dan selaput lendir biasanya tanpa adanya lesi primer. Lesi pertama yang 

biasanya muncul yaitu   berupa lesi pada mukosa mulut menyerupai selaput (mucous 

patches), kemudian muncul lesi berbentuk papula basah pada lipatan kulit dan lesi kering 

dibagian tubuh lain dan ekstremitas.  

 

 507

Lesi pada kulit bentuk lain yang muncul yaitu   berbentuk papuler dan makuler, 

hipertropik dan sering berbentuk sirsinata; lesi ini mirip dengan lesi pada sifilis veneri. 

Hiperkeratosis pada telapak tangan dan kaki sering dijumpai, biasanya dengan fissura 

yang sangat sakit. Sering juga terjadi depigmentasi dan hiperpigmentasi pada kulit serta 

alopecia. Inflamasi atau lesi destruktif pada kulit, tulang panjang, nasofaring, merupakan 

manifestasi penyakit yang muncul belakangan. Berbeda dengan sifilis veneri, maka sifilis 

non veneri ini tidak menyerang SSP maupun sistem kardiovaskuler, CFR penyakit ini 

rendah. 

Organisme Pemicu  penyakit dapat ditemukan dari lesi dengan pemeriksaan mikroskopis 

memakai   teknik lapangan gelap pada stadium awal penyakit. Tes serologis untuk 

sifilis memberi hasil positif pada stadium awal penyakit dan tetap positif selama bertahun 

tahun dan secara perlahan-lahan kearah perbaikan. Reaksinya terhadap pengobatan sama 

dengan seperti sifilis veneri. 

 

2. Pemicu  penyakit: Treponema pallidum, subspesies endemicum, spirochete yang tidak 

dapat dibedakan dengan sifilis 

 

3. Distribusi penyakit: Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak-anak di daerah tertentu 

dimana kondisi sosioekonomi warga nya rendah dan fasilitas sanitasi lingkungan 

pemukiman yang jelak. Ditemukan di wilayah Mediterania bagian timur dan negara-

negara Asia dan banyak foci muncul di Afrika terutama di wilayah-wilayah kering. 

 

4. Resevoir: - Manusia. 

 

5. Cara-cara penularan: Cara penularan yaitu   melalui kontak langsung atau tidak 

langsung dengan lesi awal pada kulit dan selaput lendir yang infeksius. Cara penularan 

melalui selaput lendir dipermudah melalui kebiasaan memakai peralatan makan dan 

minum bersama dan pada kondisi higiene-sanitasi yang buruk. Transmisi kongenital tidak 

terjadi. 

 

6. Masa inkubasi: Dari 2 minggu sampai 3 bulan 

 

7. Masa penularan: Semasih ditemukannya lesi basah pada kulit dan lesi pada selaput 

lendir selama itu penderita masih menular, biasanya masa penularan ini berlangsung 

mulai beberapa minggu sampai beberapa bulan. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: – Sama dengan sifilis veneri. 

 

9. Cara-cara pemberantasan: 

A. Cara-cara pencegahan: Upaya pencegahan sama dengan upaya terhadap 

treponematoses non veneri. Lihat pada Frambusia bagian 9A 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan ke dinas kesehatan setempat; didaerah endemis tertentu dibanya negara 

penyakit ini tidak wajib dilaporkan, klas 3B (lihat laporan penyakit menular) 

2) 3), 4), 5), 6) dan 7); Isolasi, Disinfeksi serentak, Karantina, Imunisasi kontak, 

Investigasi kontak dan sumber infeksi, dan Pengobatan spesifik.  

 

 508

Lihat Frambusia pada bagian 9B, semua yang diuraikan di sini dapat diterapkan 

untuk semua treponematosis non veneri. 

 

C. Penanggulangan wabah: Upaya penanggulangan wabah yaitu   dengan intensifikasi 

upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Lihat Frambusia pada bagian 9E, manfaatkan Pusat-pusat 

Kerja sama WHO. 

TAENIASIS       ICD-9 123; ICD-10 B68 

TAENIA SOLIUM TAENIASIS    

INTESTINAL FORM      ICD-9 123.0; ICD-10 B68.0 

(Cacing pita babi)    

TAENIA SAGINATA TAENIASIS   ICD-9 123.2; ICD-10 B68.1 

(Cacing pita sapi/kerbau) 

PENYAKIT SISTISERKOSIS    ICD-9 123.I; ICD-10 B69 

(Cysticerciasis, Taenia solium Cysticercosis) 

 

1. Identifikasi penyakit 

Taeniasis yaitu   suatu infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing taenia dewasa; 

sistiserkosis yaitu   penyakit/infeksi yang terjadi pada jaringan lunak yang disebabkan 

oleh larva dari salah satu spesies cacing taenia yaitu spesies Taenia solium. Gejala-gejala 

klinis dari penyakit ini jika muncul sangat bervariasi seperti, gangguan syaraf, insomnia, 

anorexia, berat badan yang menurun, sakit perut dan atau gangguan pada pencernaan. 

Terkecuali merasa terganggu dengan adanya segmen cacing yang muncul dari anus, 

kebanyakan penyakit ini tidak menunjukkan gejala. Taenasis biasanya tidak fatal, akan 

namun  pada stadium larva cacing Taenia solium  mungkin memicu  sistiserkosis yang 

fatal. 

Larva Pemicu  sistiserkosis pada manusia yaitu   larva dari cacing Taenia solium pada 

babi, sistiserkosis ini dapat menimbulkan penyakit  yang serius biasanya menyerang SSP. 

Jika  telur atau proglottids dari cacing yang berada dalam daging babi termakan atau 

tertelan oleh manusia, maka telur ini  akan menetas pada usus halus dan selanjutnya 

larva ini  akan migrasi ke jaringan tubuh yang lunak seperti jaringan bawah kulit, 

otot, jaringan tubuh lain dan organ-organ vital dari tubuh manusia yang kemudian 

membentuk sistisersi. Akibat buruk mungkin terjadi jika larva cacing ini  tersangkut 

pada jaringan mata, SSP atau jantung. Jika pada sistiserkosis somatik ini muncul gejala 

antara lain gejala seperti epilepsi, sakit kepala, tanda tanda kenaikan tekanan intracranial 

atau gangguan psikiatri yang berat maka besar kemungkinan sistiserkosis ada pada SSP. 

Neurocysticercosis dapat memicu  cacat yang serius akan namun  CFR nya rendah. 

Diagnosis penyakit dapat dibuat dengan menemukan dan mengidentifikasi proglottids 

(segmen), telur atau antigen dari cacing dalam tinja atau dengan cara apus dubur. Bentuk 

telur cacing Taenia solium dan cacing Taenia saginata sukar dibedakan. Diagnosa 

spesifik dilakukan dengan cara membedakan bentuk scolex (kepala) dan atau morfologi 

dari proglottid gravid. 

 

 

 509

Tes serologis spesifik akan sangat membantu dalam mendiagnosa sistiserkosis. Untuk 

mengetahui adanya sistisersi pada jaringan bawah kulit dengan visual atau preparat 

diagnosa pasti dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dari spesimen yang diambil 

dari jaringan sistiserasi. Sistisersi yang terdapat di jaringan otak dan jaringan lunak lain 

dapat didiagnosis dengan memakai   CAT scan atau MRI, atau dengan X-ray jika 

sistisersi ini  mengalami kalsifikasi.   

 

2. Pemicu  penyakit 

Pemicu  penyakit yaitu   Taenia solium biasanya terdapat pada daging babi, dimana 

cacing ini  dapat memicu  infeksi pada saluran pencernaan (oleh cacing dewasa), 

dan bentuk larvanya dapat memicu  infeksi somatik (sistisersi). Cacing Taenia 

saginata, pada daging sapi hanya memicu  infeksi pada pencernaan manusia oleh 

cacing dewasa. 

 

3. Distribusi penyakit 

Penyakit ini terserbar di seluruh dunia, sering dijumpai di daerah dimana orang-orang 

memiliki  kebiasaan mengkonsumsi daging sapi atau babi mentah atau yang dimasak 

tidak sempurna, dimana kondisi kebersihan lingkungannya jelek sehingga babi, dan sapi 

makanannya tercemar dengan tinja manusia. Angka kejadian paling tinggi dari penyakit 

ini yaitu   di negara-negara seperti Amerika Latin, Afrika, Asia Tenggara, dan negara-

negara di Eropa Timur, dan infeksi sering dialami oleh para imigran yang berasal dari 

daerah ini . Penularan T. solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali 

terjadi di Inggris, dan di negara-negara Skandinavia. Penularan oro fekal oleh  sebab  

kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh T. solium dilaporkan terjadi dengan frekuensi 

yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah 

untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya baik. 

 

4. Reservoir 

Manusia merupakan hospes definitif kedua spesies Taenia; sedang  sapi merupakan 

hospes perantara untuk spesies Taenia saginata dan babi merupakan hospes perantara 

untuk spesies Taenia solium. 

 

5. Cara-cara penularan 

Telur T. saginata yang dikeluarkan lewat tinja orang yan terinfeksi hanya bisa menular 

kepada sapi dan didalam otot sapi parasit akan berkembang menjadi Cysticercus bovis, 

stadium larva dari T. saginata. Infeksi pada manusia terjadi sebab  orang ini  

memakan daging sapi mentah atau yang dimasak tidak sempurna yang mengandung 

Cysticerci; di dalam usus halus cacing menjadi dewasa dan melekat dalam mukosa usus. 

Begitu juga infeksi T. solinum terjadi sebab  memakan daging babai mentah atau yang 

dimasak kurang sempurna (“measly pork”) yang mengandung cysticerci; cacing menjadi 

dewasa didalam intestinum. 

Namun, cysticercosis dapat terjadi secara tidak langsung sebab  orang ini  menelan 

minuman yang terkontaminasi atau secara langsung dari tinja orang yang terinfeksi 

langsung kemulut penderita sendiri (aoutoinfeksi) atau ke mulut orang lain. Apabila telur 

T. solinum tertelan oleh manusia atau babi, maka emb