dengan embrio. Gejala klinis bisa muncul lebih cepat.
6. Masa Inkubasi: Tidak jelas
7. Masa Penularan: Masa penularan dapat berlangung beberapa tahun pada carrier yang
tidak diobati.
8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap infeksi cacing ini.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1). Beri Penyuluhan kesehatan kepada semua anggota keluarga, terutama anak-anak
mengenai manfaat penggunaan jamban.
2). Sediakan fasilitas jamban yang cukup untuk pembuangan kotoran.
3). Mendorong kebiasaan yang higienis, perilaku hidup bersih dan sehat, terutama
membiasakan cuci tangan sebelum makan, cucilah sayur sayuran, buah buahan dan
bahan makanan lainnya sebaik baiknya sebelum di konsumsi, untuk menghindari
tertelannya tanah dan debu yang mencemari.
536
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: Laporan wajib tidak dilakukan, kelas 5
(Lihat tentang Pelaporan Penyakit Menular). Jika ditemukan sejumlah penderita
trichuriasis di suatu sekolah beritahukan kepada kepala sekolah dan pejabat yang
bertanggung jawab terhadap UKS.
2) Isolasi : tidak diperlukan
3) Disinfeksi: tidak diperlukan; lakukan pembuangan kotoran yang saniter.
4) Karantina: tidak perlu
5) Imunisasi kontak: tidak dilakukan
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan pemeriksaan terhadap semua
spesimen tinja dari seluruh anggota keluarga yang menunjukkan gejala, terutama
anak-anak dan teman main mereka.
7) Pengobatan spesifik :
Obat pilihan : Mebendazole (Vermox ®)
Obat alternatif : Albendazole (Zentel®) dan Oxantel (Tidak beredar di AS)
Peraturan yang umum : Wanita hamil pada trimester pertama tidak diberikan
pengobatan kecuali ada indikasi medis spesifik
C. Penanggulangan wabah: Tidak ada.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
TRYPANOSOMIASIS ICD - 9 086, ICD-10 B56 – B57
I. AFRICAN TRYPANOSOMIASIS ICD - 9 086.3 – 086.5 ; ICD-10 B56
1. Identifikasi
Merupakan penyakit protozoa sistemik. Stadium awal penyakit ditandai dengan
terbentuknya ulcus (Chancre) yang sakit sekali yang pada awalnya berkembang dari
papula menjadi nodula. Gejala-gejala ini ditemukan pada tempat gigitan lalat tse tse.
Gejala lain yang ditemukan yaitu demam, sakit kepala yang amat sangat, insomnia,
pembengkakan kelenjar limfe tanpa disertai rasa sakit, berat badan menurun, somnolen
dan tanda-tanda lain SSP. Penyakit gambiense (ICD9 086.3; ICD-10 B56.0) bisa
berlangsung bertahun tahun; sedang penyakit rhodesiense (ICD-9 086.4; ICD-10
B56.1) lethal dalam beberapa minggu atau dalam beberapa bulan jika tidak diobati. Kedua
bentuk penyakit ini fatal jika tidak diobati.
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya trypanosoma didalam darah, cairan limfe atau
LCS. Untuk penyakit jenis gambiense diperlukan teknik konsentrasi parasit seperti
sentrifugasi dengan tabung kapiler, “Quantitative Buffy Coat” (QBC) atau dengan
“minianion exchange centrifugation”. Teknik-teknik ini jarang digunakan pada penyakit
jenis rhodesiense.
537
Untuk penyakit jenis rhodesiense terkadang digunakan teknik inokulasi pada tikus
percobaan. Spesimen yang diambil dari aspirat kelenjar limfe membantu ditemukannya
parasit. Antibodi spesifik dapat diketahui dengan memakai teknik pemeriksaan
ELISA, IFA dan tes aglutinasi. Titer imunoglobulin yang tinggi terutama IgM umum
ditemukan pada penderita tripanosomiasis Afrika “Circulating antigen” dapat dideteksi
dengan memakai berbagai teknik pemeriksaan imunologis seperti dengan kartu Tryp
Tech CIATT, tes aglutinasi tidak langsung.
2. Pemicu Penyakit
Pemicu penyakit yaitu Trypanosoma brucei gambiense dan T.b. rhodesiense, flagelata
darah. Kriteria untuk diferensiasi spesies tidaklah mutlak; isolat yang diambil dari kasus
virulen dengan perjalanan penyakit yang sangat progresif dianggap sebagai T. B
rhodesiense, terutama apabila infeksi terjadi di Afrika bagian timur. sedang jika
infeksi didapatkan di Afrika bagian barat dan tengah, biasanya perjalanan penyakit lebih
kronis biasanya disebabkan oleh T.b. gambiense.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini menyebar didaerah tropis benua Afrika antara 150LU dan 200LS, sesuai
dengan daerah penyebaran lalat tsetse. Di daerah endemis 0,1% - 2% warga terineksi.
Pada saat terjadi KB prevalensi penyakit ini bisa mencapai 70%. KLB dapat terjadi
apabila sebab sesuatu hal terjadi peningkatan intensitas kontak antara manusia dan lalat
tsetse atau strain tripanosoma yang virulen masuk kedaerah dimana densitas lalat tsetse
sangat padat. Masuknya strain virulen dimungkinkan oleh sebab adanya pergerakan
hospes manusia atau lalat tsetse yang terinfeksi ke suatu daerah. Lalat Glossina palpalis
merupakan vector utama, dibagian barat dan bagian tengah Afrika. Infeksi biasanya terjadi
disepanjang aliran sungai atau anak sungai yang berbatasan dengan daerah yang berhutan.
Di Afrika bagian timur dan danau victoria vector utamanya yaitu kelompok G.
Morsitans, infeksi terjadi didaerah savana yang kering.
G. fuscipes yang termasuk dalam kelompok palpalis merupakan vector penular penyakit
pada saat KLB penyakit tidur jenis rhodiense yang terjadi di Kenya dan Zaire dan vector
ini juga sejak tahun 1976 diketahui sebagai vector pada penularan peridomestik di
Uganda.
4. Reservoir: Untuk T.b. gambiense, manusia merupakan reservoir utama, sedang
peranan binatang peliharaan dan binatang buas sebagai reservoir tidak jelas. Binatang
buas terutama babi hutan dan sapi peliharaan merupakan reservoir utama T.b. rhodiense.
5. Cara Penularan: Penularan terjadi melalui gigitan lalat tsetse Glossina infektif. Di alam
terdapat 6 spesies yang berperan sebagai vektor utama, G. Palpalis, G. Tachinoides, G.
Morsitans, G. Pallidipes, G. Swynnertoni dan G.fuscipes. Lalat tsetse terinfeksi sebab
menghisap darah manusia atau binatang yang mengandung trypanosoma.
Parasit berkembang biak dalam tubuh lalat selama 12-30 hari, tergantung pada suhu dan
faktor-faktor lain, sampai terjadi bentuk infektif didalam kelenjar-kelenjar ludahnya.
Sekali terinfeksi lalat tsetse akan tetap infektif selama hidupnya (rata-rata 3 bulan, bisa
sampai 10 bulan). Infeksi pada lalat tidak diturunkan ke generasi lalat berikutnya.
538
Penularan kongenital dapat terjadi pada manusia. Penularan langsung secara mekanis
dapat terjadi melalui darah pada probosis Glossina dan serangga penggigit lainnya, seperti
lalat kuda, atau sebab kecelakaan di laboratorium.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi infeksi T.b. rhodiensiense yang lebih virulen, biasanya 3 hari sampai
dengan beberapa minggu. Masa inkubasi infeksi T.b gambiense yang lebih kronik,
berlangsung lebih lama yaitu beberapa bulan sampai bahkan beberapa tahun.
7. Masa Penularan
Penularan kepada lalat tsetse terjadi selama ada parasit didalam darah manusia dan hewan
yang terinfeksi. Parasitemia muncul dengan intensitas bervariasi pada saat-saat tertentu
pada kasus-kasus yang tidak di obati, parasitemia terjadi pada semua stadium tahapan
penyakit. Pada suatu penelitian yang dilakukan terhadap penyakit rhodesiense,
parasitemia ditemukan hanya pada 60 % kasus infeksi.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Kadang kala terjadi infeksi tanpa gejala baik
pada infeksi T b. Gambiense maupun infeksi T.b. rhodesiense. Pernah ada yang
melaporkan bahwa ada penderita dengan infeksi jenis gambience tanpa gejala SSP yang
sembuh spontan namun laporan ini belum terbukti kebenarannya.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
Memilih cara pencegahan yang tepat harus di dasari pada pengetahuan dan pengenalan
ekologi dari vektor dan Pemicu penyakit disuatu wilayah. Dengan pengetahuan
ini , maka suatu daerah dengan keadaan geografis tertentu, dapat dilakukan satu
atau beberapa langkah berikut sebagai langkah prioritas dalam upaya pencegahan :
1). Berikan Penyuluhan kepada warga tentang cara-cara perlindungan diri
terhadap gigitan lalat tsetse.
2). Menurunkan populasi parasit melalui survei warga untuk menemukan mereka
yang terinfeksi, obati mereka yang terinfeksi.
3). Bila perlu hancurkan habitat lalat tsetse, namun tidak dianjurkan untuk
menghancurkan vegetasi secara tidak merata. Membersihkan semak-semak dan
memotong rumput disekitar desa sangat bermanfaat pada saat terjadi penularan
peridomestik. Apabila pada wilayah yang telah dibersihkan dari vegetasi liar
dilakukan reklamasi dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian maka masalah vektor
teratasi untuk selamanya.
4) Mengurangi kepadatan lalat dengan memakai perangkap dan kelambu yang
sudah dicelup dengan deltametrin serta dengan penyemprotan insektisida residual
(perythroid sintetik 5%, DDT, dan dieldrin 3% merupakan insektidida yang
efektif). Dalam situasi darurat gunakan insektisida aerosol yang disemprotkan dari
udara.
5) Melarang orang-orang yang pernah tinggal atau pernah mengunjungi daerah
endemis di Afrika untuk menjadi donor darah.
539
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada Instansi Kesehatan setempat : Di daerah endemis tertentu,
kembangkan sistem pencatatan dan pelaporan. Dan galakkan upaya pencegahan
dan pemberantasan. Disebagian besar negara penyakit ini bukan penyakit yang
wajib di laporkan kelas 3 B (lihat tentang pelaporan Penyakit Menular).
2) Isolasi: Tidak dilakukan. Cegahlah agar lalat tsetse tidak menggigit penderita
trypanosomiasis. Di beberapa negara, diberlakukan peraturan pembatasan gerak
dari pasien-pasien yang tidak diobati.
3) Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan
4) Karantina: Tidak dilakukan
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : Bila penderita merupakan anggota dari
rombongan wisatawan merupakan anggota dari rombongan wisatawan, maka
anggota lain dari rombongan ini harus diberi tahu agar berhati-hati dan
terhadap mereka dilakukan investigasi.
7) Pengobatan spesifik: Bila tidak terjadi perubahan gambaran sel dan kadar protein
pada LCS, suramin merupakan obat pilihan untuk infeksi T.b. rhodiense dan
pentamidine untuk infeksi T.b. gambiense. Namun obat-obat ini tidak dapat
menembus barier darah otak.
T.b. rhodesiense, mungkin sudah resistens terhadap pentamidine, Melarsoprol
(Mel-B®) telah digunakan dengan hasil yang sangat efektif untuk mengobati
pasien dengan gambaran LCS abnormal untuk semua jenis parasit, namun efek
samping yang berat mungkin dapat terjadi pada 5 % - 10 % dari penderita.
Suramin dan melarsoprol bisa didapatkan dan tersedia di Depot Farmasi CDC
Atlanta untuk tujuan penelitian. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa Eflornithin
(difluoromethylornithine (DFMO), Ornidyl®) lebih baik digunakan untuk
pengobatan penyakit gambiense SSP, obat ini sejak tahun 1999 tidak ada dalam
persediaan lagi di CDC Atlanta dan penyediaan obat ini oleh WHO dimasa yang
akan datang tidak dapat dipastikan. Terhadap semua penderita yang sudah diobati
harus dilakukan pemeriksaan ulang 3, 6 dan 24 bulan setelah pengobatan untuk
mencegah kemungkinan relaps.
C. Penanggulangan Wabah
Dalam keadaan KLB lakukkan survei massal yang terorganisasikan dengan baik dan
berikan pengobatan bagi penderita yang ditemukan serta lakukan pengendalian lalat
tsetse.
Bila terjadi lagi KLB di daerah yang sama walaupun sudah melaksanakan upaya-
upaya pemberantasan, maka upaya-upaya yang tercantum pada butir 9A harus
dilakukan dengan lebih giat.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut :
Meningkatkan upaya kerjasama lintas sektor di daerah endemis. Penyebar luasan
informasi dan meningkatkan tersedianya bahan dan alat diagnosa sederhana untuk
skrining dan upaya sederhana pengendalian vektor.
540
Kembangkan sistem yang efektif pendistribusian reagen dan obat-obatan.
Kembangkan sistem pelatihan pada tingkat nasional dan lebih lanjut . Manfaatkan
pusat-pusat kerjasama WHO.
TRYPANOSOMIASIS AMERIKA ICD-9 086.2 ; ICD-10.B.57
(Penyakit Chagas)
1. Identifikasi
Merupakan penyakit akut yang umumnya menyerang anak-anak sedang manifestasi
kronis yang bersifat irriversible terjadi belakangan. Kebanyakan penderita yang terinfeksi
tidak menunjukkan gejala klinis. Penyakit akut ditandai dengan demam dengan derajat
yang bervariasi, malaise limfadenopati dan splenomegali. Reaksi inflamasi timbul pada
tempat terjadinya infeksi yang disebut Chagoma yang biasanya menghilang pada minggu
ke 8.
Dikedua kelopak mata terjadi pembengkakan unilateral pada sebagian kecil kasus yang
disebut dengan Romana sign. Gejala fatal berupa miokarditis dan meningoensefalitis
dapat juga terjadi. Bisa juga terjadi gejala sisa kronis yang irreversible berupa kerusakan
jantung seperti pembengkakan jantung, aritemia, kelainan konduksi yang berat serta
kelainan pada saluran pencernaan berupa megaesofagus dan megakolon. Mega viscera
pertama ditemukan di Brasilia bagian tengah.
Kelainan jantung lebih sering ditemukan dibagian selatan Equador daripada dibagian
utara. Pada penderita dengan AIDS terjadi meningoensefalitis yang luas disertai dengan
nekrosis dan perdarahan sedang miokarditis akut terjadi sebagai akibat infeksi kronis
yang mengalami relaps. Gejala ini dapat juga terjadi pada penderita penyakit Chagas
kronis yang disertai dengan kelainan imunitas non AIDS.
Infeksi oleh Trypanosoma rangeli ditemukan pada daerah fokus endemis penyakit
Chagas, yang membentang dari Amerika Tengah sampai ke Colombia dan Venezuela;
terjadi parasitemia berkepanjangan dan terkadang disertai dengan infeksi T.cruzi (oleh
sebab T.rangei vectornya sama dengan T.cruzi), namun tidak timbul gejala klinis.
Diagnosa penyakit chagas pada fase akut ditegakkan dengan ditemukannya parasit dalam
darah dengan pemeriksaan langsung pada sediaan darah yang telah dilakukan hemo
konsentrasi (jarang sekali parasit dapat ditemukan pada kelenjar limfe atau otot skeletal).
Diagnosa juga dapat ditegakkan melalui kultur atau dengan xenodiagnosis (yaitu dengan
cara menggigitkan kutu triatomid pada orang yang terinfeksi dan kemudian parasit
ditemukan pada kotoran kutu ini beberapa minggu kemudian).
Parasitemia muncul lebih intens selama episode demam pada fase awal infeksi. Pada fase
kronis, pemeriksaan dengan kultur dengan media difasik atau dengan Xenodiagnosis
mungkin dapat memberikan hasil yang positif sedang pemeriksaan dengan cara lain
jarang sekali bisa menemukan parasit. T. Cruzi dibedakan dengan T. rangeli oleh sebab
ukurannya lebih pendek (20 mm berbanding 36 mm) dan memiliki kinetoplast yang
lebih besar. Pemeriksaan serologis sangat bermanfaat baik untuk penderita individu
maupun untuk tujuan akrining masal.
2. Pemicu Penyakit
Trypanosoma cruzi (Schizotripanum cruzi), protozoa yang menginfeksi manusia sebagai
hemoflagelata atau sebagai parasit intraseluler tanpa flagelum eksternal.
541
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini tersebar dibelahan bumi bagian Barat dengan distribusi yang luas
dipedalaman Mexico, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Dibeberapa wilayah tertentu
endemis tinggi. Ada 5 penderita infeksi akut yang ditularkan oleh vektor dilaporkan
terjadi di Amerika Serikat; 3 kasus tambahan akibat transfusi darah. Reaktivasi infeksi
pada penderita AIDS dapat memicu terjadinya meningoensefalitis.
Studi serologis yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa dapat terjadi penderita tanpa
gejala. T. cruzi ditemukan pada mamalia di Alabama, Arizona Arkansas, California,
Florida, Georgia, Laesiana, Maryland, New Mexico, Texas dan Utah. Penelitian yang
dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dari hasil pemeriksaan serologis, 4.9%
migran yang berasal dari Amerika Tengah yang tinggal di Washington DC telah
terinfeksi.
4. Reservoir
Manusia bertindak sebagai reservoir bersama dengan lebih dari 150 species binatang baik
domestik maupun binatang liar seprti: anjing, kucing, tikus dan binatang domestik lainnya
ditambah dengan marsupialia, jenis binatang tanpa gigi, rodentia, chiropters, karnivora,
primata.
5. Cara Penularan:
Vektor penghisap darah yang terinfeksi misalnya species Reduviidae (kutu berhidung
mancung, kissing bugs), terutama berbagai species dari genera Triatoma, Rhodnius,
Panstrongylus pada kotorannya ditemukan trypanosoma. Kutu ini membuang kotorannya
pada saat mereka menghisap darah; manusia atau mamalia lain terinfeksi sebab kotoran
segar dari kutu yang terinfeksi ini mencemari konjungtiva, membrana mukosa, kulit
yang mengalami abrasi atau kutu terinfeksi kalau mereka mengisap orang atau mamalia
yang sedang mengalami parasitemia. Parasit berkembang biak didalam saluran
pencernaan kutu.
Penularan dapat juga terjadi melalui transfusi darah sebab meningkatnya donor yang
terinfeksi diperkotaan akibat peningkatan migrasi dari daerah pedesaan. Parasit dapat
menembus barier placenta dan dapat memicu terjadinya infeksi kongenital.
Penularan melalui air susu kemungkinannya sangat kecil, sehingga tidak ada alasan untuk
melarang ibu penderita chagas menyusui anaknya. Infeksi sebab kecelakaan
laboratorium dapat terjadi walaupun sangat jarang. Transplantasi organ yang diambil adri
penderita chagas meningkatkan risiko transmisi T. cruzi.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 5 – 14 hari setelah digigit oleh vektor yang terinfeksi.
sedang masa inkubasi sebab menerima darah dari donor yang terinfeksi berlangsung
selama 30 – 40 hari.
7. Masa Penularan
Parasit ada dalam darah selama fase akut dan dapat bertahan seumur hidup pada sebagian
kecil penderita simptomatik dan penderita asimptomatik.
Vektor menjadi terinfeksi dan parasit bertahan didalam usus kutu seumur hidupnya,
sekitar 2 tahun.
542
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua umur rentan terhadap infeksi dan biasanya perjalanan penyakit lebih berat pada
pederita usia muda. Orang dengan mimosupresi terutama penderita AIDS memiliki
risiko mengalami infeksi dan komplikasi serius.
9. Cara-cara Pemberantasan.
A. Cara-cara Pencegahan :
1) Berikan penyuluhan kepada warga tentang cara-cara penularan dan cara-cara
pencegahannya.
2) Lakukan penyemprotan berkala dengan insektisida dengan efek residual terhadap
rumah yang konstruksinya tidak sehat dan rumah yang beratap rumbia untuk
membunuh vektor. Vektor juga dapat dibunuh dengan fumigan yang ditaruh dalam
kontainer.
3) Membangun dan memperbaiki lingkungan permukiman untuk menghilangkan
tempat perindukan vektor dan tempat berkembang biaknya binatang reservoir.
4) Gunakan kelambu, pada rumah yang ada vektornya.
5) Lakukan skrining terhadap darah dan organ tubuh dari donor yang pernah tinggal
atau datang/berasal dari daerah-daerah endemis dengan memakai tes serologis
yang tepat untuk mencegah penularan melalui tranfusi dan transplantasi, sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku di negara-negara Amerika Selatan.
Menambahkan gentian violet (25 ml gentian violet 5.0% per 500 ml darah 24 jam
sebelum digunakan) dapat mencegah penularan.
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya.
1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: Laporan diperlukan di daerah-daerah
endemis tertentu. Disebagian besar negara, bukan penyakit yang harus dilaporkan,
Kelas 3B (lihat laporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: tidak praktis; Lakukan kewaspadaan universal terhadap darah dan cairan
tubuh bagi pasien yang dirawat.
3) Disinfeksi: Tidak dilakukan
4) Karantina: Tidak dilakukan
5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Cari rumah-rumah dengan atap rumbia,
yang merupakan tempat perkembang biakan vektor. Terhadap semua angota
keluarga penderita harus dilakukan pemeriksaan. Lakukan pemeriksaan serologis
terhadap seluruh darah dan organ donor untuk mencegah terjadinya infeksi melalui
transfusi atau melalui transplantasi.
7) Pengobatan spesifik: Derivat Nitrofurfurylidene, yaitu Nifurtimox yaitu obat
yang sangat bermanfaat untuk pengobatan penderita akut. Obat ini tersedia didepot
farmasi CDC-Atlanta, sebagai obat yang disediakan untuk penelitian. Obat ini juga
tersedia di sebagian besar rumah sakit didaerah endemis. Benznidazole, derivat 2-
nitroimidazole terbukti juga cukup efektif untuk pengobatan penderita akut.
C. Penanggulangan Wabah
Didaerah dengan insidens penyakit yang tinggi lakukan survei lapangan untuk
mengetahui distribusi dan densitas vektor dan binatang pejamu.
D. Implikasi Bencana: Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada
543
TUBERKULOSIS ICD-9 010-018; ICD-10 A15-A19
(TB, Penyakit TB)
1. Identifikasi
Penyakit yang disebabkan oleh mikrobakterium ini merupakan Pemicu utama kecacatan
dan kematian hampir di sebagian besar negara diseluruh dunia. Infeksi awal biasanya
berlangsung tanpa gejala; tes tuberkulin akan memberikan hasil yang positif 2 – 10
minggu kemudian. Lesi awal pada paru umumya akan sembuh dengan sendirinya tanpa
meninggalkan gejala sisa walaupun sangat jarang terjadi kalsifikasi pada kelenjar limfe
paru dan kelenjar limfe trakeobronkial. Hampir 90 – 95% mereka yang mengalami infeksi
awal akan memasuki fase laten dengan risiko terjadi reaktivasi seumur hidup mereka.
Pemberian kemoterapi preventif yang sempurna dapat mengurangi risiko terjadinya TB
klinis seumur hidup sebesar 95% dan kemoterapi preventif ini sangat efektif pada
penderita HIV/AIDS. Hanya 5% dari orang normal dam 50% penderita HIV/AIDS yang
terinfeksi TB akan berkembang menjadi TB paru klinis atau menjadi TB ekstrapulmoner.
Akibat serius infeksi TB awal lebih sering terjadi pada bayi, dewasa muda dan pada orang
dengan kelainan imunitas.
TB ekstrapulmoner lebih jarang terjadi dibandingkan dengan TB paru. Anak-anak dan
orang-orang dengan imunodefisiensi seperti halnya pada penderita HIV/AIDS lebih
mudah mendapatkan TB ekstrapulmoner, namun TB paru tetap merupakan bentuk klinis
yang menonjol dari infeksi TB di seluruh dunia. Infeksi TB dapat juga menyerang organ-
organ lain dalam tubuh manusia seperti kelenjar limfe, pleura, perikardium, ginjal, tulang
dan sendi, laring, telinga bagian tengah, kulit, usus, peritonium dan mata. TB Paru
progresif muncul dari reinfeksi eksogen atau muncul dari reaktivasi endogen dari fokus
laten infeksi primer. Penderita TB progresif jika tidak diobati dengan benar akan
meninggal dalam waktu lima tahun, rata-rata dalam waktu 18 bulan. Status klinis
ditentukan dengan ditemukannya basil TB dalam sputum atau dari gambaran foto thorax.
Gambaran densitas abnormal pada foto thorax sebagai tanda adanya infiltrat pada paru,
kavitasi dan fibrosis. Gambaran ini bisa muncul sebelum timbul gejala klinis: lesu,
demam, berkeringat dimalam hari, berat badan turun, dapat muncul lebih awal. sedang
gejala lokal seperti batuk, sakit dada, suara serak dan batuk darah menonjol pada stadium
lanjut dari penyakit.
Orang dengan imunokompeten jika terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, M.
africanum atau M. bovis akan memberikan hasil tes tuberkulosis dengan reaksi
intermedier. Tes tuberkulosis memakai 5 IU International Standard of Purified
Protein Deriva Standard (PPD-S). Reaksi dikatakan positif jika muncul indurasi dengan
ukuran 5, 10 atau 15 mm tergantung pada tingkat pemajanan penyakit. Sekitar 10 – 20%
penderita TB aktif tidak memberikan reaksi positif terhadap PPD. Dengan demikian, tes
tuberkulin yang hasilnya negatif tidak berarti bahwa seseorang tidak menderita TB aktif.
Hasil tes tuberulin dengan indurasi lebih dari 5 mm dianggap positif untuk anggota rumah
tangga atau mereka yang kontak dengan penderita TB aktif. sedang orang dengan
gambaran foto thorax yang abnormal menandakan penderita TB lama yang sudah sembuh
atau mereka yang terinfeksi oleh HIV/AIDS, sedang tes tuberkulin dengan diameter
10mm dianggap positif untuk orang-orang dengan faktor risiko (diabetes mellitus,
pecandu obat dan alkohol), orang-orang yang tinggal didaerah prevalensi TB tinggi,
544
orang-orang yang tinggal di daerah dengan status sosial ekonomi rendah, penghuni dan
staf suatu institusi seperti penjara dan rumah tahanan serta untuk anak-anak usia dibawah
4 tahun. sedang hasil tes tuberkulin dengan diameter 15 mm atau lebih dianggap
positif pada oang dewasa dan anak-anak usia diatas 4 tahun yang tinggal didaerah dengan
prevalensi TB rendah.
Tes tuberkulin terhadap penderita energi tidak dianjurkan walaupun untuk penderita
dengan risiko tinggi seperti penderita dengan infeksi HIV. Tes tuberkulin untuk semua
akan tidak lagi dilakukan di AS. Tes tuberkulin dilakukan segera terhadap anak-anak yang
diduga menderita TB aktif, terhadap mereka yang berkunjung kedaerah endemis dan
kontak penderita, terhadap migran dari daerah endemis. Terhadap penderita penyakit
kronis yang tidak bisa sembuh dan terhadap penderita HIV/AIDS dilakukan tes tekulin
setiap tahun. Terhadap anak-anak yang terpajan dengan orang dengan risiko tinggi, tes
tuberkulin dilakukan setiap 2 – 3 tahun. Tes tuberkulin untuk anak usia 4 – 6 tahun dan
usia 11 – 12 tahun dilakukan bila orang tua mereka yaitu imigran dari daerah endemis
atau jika anak-anak ini tinggal didaerah risiko tinggi.
Kadang kala pada penderita TB terjadi hipersensitivitas tertunda terhadap tes tuberkulin
yang akan menghilang dengan berjalannya waktu. Pada orang ini jika dilakukan tes
tuberkulin, akan memberikan hasil yang negatif. Namun dapat juga terjadi tes tuberkulin
pertama yang dilakukan akan merangsang tubuh untuk memberikan reaksi positif pada tes
tuberkulin berikutnya. Reaksi “boosted” ini sering disalah artikan sebagai infeksi baru.
“Boosting” juga terjadi pada orang yang mendapatkan vaksinasi BCG. Untuk
membedakan reaksi “boosted” ini dengan infeksi baru dilakukan tes tuberkulin dua tahap.
Apabila tes pertama dinyatakan negatif maka dilakukan tes tuberkulin yang kedua 1 – 3
minggu kemudian. Hasil positif pada tes kedua kemungkinan sebab reaksi “boosted”.
Berdasarkan hasil tes kedua, orang ini dianggap sebelumnya telah terinfeksi dan harus
ditangani sebagaimana mestinya dan tidak dianggap sebagai konversi hasil tes tuberkulin.
Jika tes kedua hasilnya juga negatif maka orang ini dianggap belum pernah terinfeksi.
Tes dua tahap dilakukan terhadap orang dewasa yang akan mendapat tes tuberkulin
berkala, seperti halnya pada petugas kesehatan. Tes dua tahap ini dilakukan pada saat tes
tuberkulin awal. Diagnosa presumptive penderita TB aktif dibuat jika ditemukan BTA
positif dari sediaan sputum atau sediaan yang diambil dari cairan tubuh lainnya.
Ditemukannya BTA positif indikasi untuk segera melakukan pengobatan dengan OAT.
Diagnosa pasti ditegakkan jika ditemukan Mycobacterium tuberculosis, melalui kultur.
Cara ini juga dapat dilakukan untuk uji sensitivitas organisme terhadap obat. Jika fasilitas
laboratorium mikrobiologi tidak memadai maka diagnosa dapat dibuat berdasarkan gejala
klinis yang ada dengan pemeriksaan histologis atau radiologis terhadap mereka yang
memberikan hasil tes tuberkulin positif.
2. Pemicu Penyakit
Pemicu infeksi yaitu kompleks M. tuberculosis. Kompleks ini termasuk M.
tuberculosis dan M. africanum terutama berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal
dari sapi. Mycobacteria lain biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit dibedakan
dengan tuberkulosis. Etiologi penyakit dapat di identifikasi dengan kultur. Analisis
genetic sequence dengan memakai teknik PCR sangat membantu identifikasi non
kultur.
545
3. Distribusi Penyakit
Tersebar diseluruh dunia. Pada awalnya di Negara industri penyakit tuberkulosis
menunjukkan kecenderungan yang menurun baik mortalitas maupun morbiditasnya
selama beberapa tahun, namun diakhir tahun 1980 an jumlah kasus yang dilaporkan
mencapai grafik mendatar (plateau) dan kemudian meningkat di daerah dengan populasi
yang prevalensi HIV–nya tinggi dan di daerah yang dihuni oleh warga yang datang
dari daerah dengan prevalensi TB tinggi. Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai
dengan umur, pada orang dewasa lebih tinggi pada laki-laki. Morbiditas TBC lebih
tinggi diantara warga miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan
pedesaan.
Di AS insidensi TBC menurun sejak tahun 1994, penderita yang dilaporkan yaitu
9,4/100.000 (lebih dari 24.000 kasus). Daerah dengan insidens rendah termasuk di
berbagai wilayah di AS, kebanyakan kasus TBC berasal dari reaktivasi dari fokus laten
yang berasal dari infeksi primer. Di sebagian daerah urban yang luas 1/3 kasus berasal
dari infeksi baru. Walaupun TBC menempati rangking terendah diantara penyakit menular
berdasarkan lama waktu pajanan. Namun pajanan dalam jangka waktu lama dalam
lingkungan keluarga memicu risiko terinfeksi sebesar 30%. Jika infeksi terjadi pada
anak maka risiko menjadi sakit selama hidupnya sekitar 10%. Bila terjadi koinfeksi
dengan HIV risiko pertahun menjadi 2-7% dan risiko kumulatif sebesar 60-80%. KLB
dilaporkan terjadi pada kelompok orang yang tinggal pada ruangan yang tertutup seperti
dipanti asuhan, penampungan tunawisma, rumah sakit, sekolah, penjara dan gedung
perkantoran. Sejak tahun 1989 sampai dengan awal tahun 1990 telah dilaporkan terjadi
KLB – MDR yang cukup ekstensif terutama terhadap rifampisin dan INH ditempat
dimana banyak penderita HIV yang dirawat. KLB ini menimbulkan angka mortalitas
tinggi dan terjadi penularan kepada petugas kesehatan. Dengan penerapan dan
pelaksanaan yang ketat pedoman pemberantasan telah berhasil menanggulangi KLB ini.
Prevalensi infeksi TB yang ditemukan dengan tes tuberkulin meningkat sesuai dengan
umur. Insidensi infeksi di negara berkembang menurun secara bermakna dalam beberapa
dekade ini. Angka infeksi pertahun di AS rata-rata kurang dari 10/100.000 warga
walaupun di beberapa daerah di AS angka kejadian infeksi baru pertahun lebih tinggi. Di
daerah dimana terjadi infeksi dengan mycobacterium lain selain tuberkulosis
memicu reaksi silang yang menyulitkan interpretasi hasil tes tuberkulin.
Infeksi M. bovis pada manusia jarang terjadi di AS namun masih menjadi masalah
dibeberapa daerah seperti didaerah perbatasan Meksiko dimana penyakit ini pada ternak
tidak ditangani dengan baik dan warga masih mengkonsumsi susu mentah.
4. Reservoir
Umumnya manusia berperan sebagai reservoir, jarang sekali primata, dibeberapa daerah
terjadi infeksi yang menyerang ternak seperti sapi, babi dan mamalia lain.
5. Cara Penyebaran
Penularan terjadi melalui udara yang mengandung basil TB dalam percikan ludah yang
dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring pada waktu mereka batuk, bersin atau
pada waktu bernyanyi. Petugas kesehatan dapat tertulari pada waktu mereka melakukan
otopsi, bronkoskopi atau pada waktu mereka melakukan intubasi.
TB laring sangat menular.
546
Kontak jangka panjang dengan penderita TB memicu risiko tertulari, infeksi melalui
selaput lendir atau kulit yang lecet bisa terjadi namun sangat jarang. TB bovinum
penularannya dapat tejadi jika orang terpajan dengan sapi yang menderita TB, bisanya
sebab minum susu yang tidak dipasteurisasi atau sebab mengkonsumsi produk susu
yang tidak diolah dengan sempurna. Penularan lewat udara juga terjadi kepada petani dan
perternak TB ekstra pulmoner (selain TB laring) biasanya tidak menular, kecuali dari
sinus keluar discharge.
6. Masa inkubasi
Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi
tes tubrkulosis positif kira-kira memakan waktu 2 – 10 minggu. Risiko menjadi TB paru
dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun
pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV
meningkatkan risiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi.
7. Masa Penularan
Secara teoritis seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB didalam
sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna dahaknya
akan tetap mengandung basil TB selama bertahun tahun. Tingkat penularan sangat
tergantung pada hal-hal sebagai berikut :
- Jumlah basil TB yang dikeluarkan
- Virulensi dari basil TB
- Terpajannya basil TB dengan sinar ultra violet
- Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat bernyanyi.
- Tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi atau pada
waktu melakukan bronkoskopi.
Pemberian OAT yang efektif mencegah terjadinya penularan dalam beberapa minggu
paling tidak dalam lingkungan rumah tangga. Anak-anak dengan TB primer biasanya tidak
menular.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Risiko terinfeksi dengan basil TB berhubungan langsung dengan tingkat pajanan dan tidak
ada hubungan dengan faktor keturunan atau faktor lainnya pada pejamu. Periode yang
paling kritis timbulnya gejala klinis yaitu 6–12 bulan setelah infeksi. Risiko untuk
menjadi sakit paling tinggi pada usia dibawah 3 tahun dan paling rendah pada usia akhir
masa kanak-kanak dan risiko meningkat lagi pada usia adolesen dan dewasa muda, usia
tua dan pada penderita dengan kelainan sistem imunitas. Reaktivasi dari infeksi laten yang
berlangsung lama sebagian besar terjadi pada penderita TB usia lebih tua. Untuk mereka
yang terinfeksi oleh basil TB kemungkinan berkembang menjadi TB klinis meningkat
pada penderita HIV/AIDS, mereka dengan kelainan sistem imunitas, mereka dengan berat
badan rendah dan kekurangan gizi, penderita dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal
kronis, penderita kanker, silikosis, diabetes, postgastrektomi, pemakai NAPZA. Orang
dewasa dengan TB laten yang juga disertai dengan infeksi HIV kemungkinan untuk
menderita TB klinis selama hidupnya berkisar antara 10% sampai dengan 60–80%.
Interaksi kedua penyakit ini mengakibatkan terjadinya pandemi paralel dari penyakit TB:
misalnya dinegara negara Sub Sahara di Afrika 10–15% orang dewasa menderita infeksi
HIV dan TB. Angka kesakitan TB meningkat 5–10 kali lipat pada akhir pertengahan tahun
1990-an.
547
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1). Temukan semua penderita TB dan berikan segera pengobatan yang tepat.
Sediakan fasilitas untuk penemuan dan pengobatan penderita.
2). Sediakan fasilitas medis yang memadai seperti laboratorium dan alat rontgen agar
dapat melakukan diagnosa dini terhadap penderita, kontak dan tersangka. Sediakan
juga fasilitas pengobatan terhadap penderita dan mereka dengan risiko tinggi
terinfeksi; sediakan fasilitas tempat tidur untuk mereka yang perlu mendapatkan
perawatan. Di daerah dengan indensi penyakit yang tinggi pemeriksaan spuntum
baik langsung secara mikroskopis maupun dengan kultur jika memungkinkan
segera dilakukan terhadap penderita yang datang memeriksakan diri di fasilitas
kesehatan sebab adanya keluhan sakit didada. Biasanya hasil pemeriksaannya
memiliki nilai diagnosis yang tinggi.
3). Beri penyuluhan kepada warga tentang car-cara penularan dan cara-cara
pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.
4). Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi risiko
terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian.
5). Program pemberantasa TB harus ada di seluruh fasilitas kesehatan dan difasilitas
dimana penderita HIV/penderita imunosupresi lainnya ditangani (seperti di Rumah
Sakit, tempat rehabilitasi, pemakai Napza, panti asuhan anak terlantar).
6). Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup
efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis. Berbagai
penelitian yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita infeksi
HIV terbukti bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian rifampin dan
pyrazinamide jangka pendek ternyata cukup efektif.
Pemberian terapi preventif merupakan prosedur rutin yang harus dilakukan
terhadap penderita HIV/AIDS usia dibawah 35 tahun. Apabila mau melakukan
terapi preventif, pertama kali harus diketahui terlebih dahulu bahwa yang
bersangkutan tidak menderita TB aktif, terutama pada orang-orang dengan
imunokompromais seperti pada penderita HIV/AIDS. Oleh sebab ada risiko
terjadinya hepatitis dengan bertambahnya usia pada pemberian isoniasid, maka
isoniasid tidak diberikan secara rutin pada penderita TB usia diatas 35 tahun
kecuali ada hal-hal sebagai berikut: infeksi baru terjadi (dibuktikan dengan baru
terjadinya konversi tes tuberkulin); adanya penularan dalam lingkungan rumah
tangga atau dalam satu institusi; abnormalitas foto thorax konsisten dengan proses
penyembuhan Tb lama, diabetes, silikosis, pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid atau pengobatan lain yang menekan kekebalan tubuh, menderita
penyakit yang menekan sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS.
Mereka yang akan diberi pengobatan preventif harus diberitahu kemungkinan
terjadi reaksi samping yang berat seperti terjadinya hepatitis, demam dan ruam
yang luas, jika hal ini terjadi dianjurkan untuk menghentikan pengobatan dan
hubungi dokter yang merawat. Sebagian besar fasilitas kesehatan yang akan
memberikan pengobatan TB akan melakukan tes fungsi hati terlebih dahulu
terhadap semua penderita; terutama terhadap yang berusia 35 tahun atau lebih dan
terhadap pecandu alkohol sebelum memulai pengobatan.
548
Prosedur DOPT (Directly Observed, Supervised Preventive Therapy), hendaknya
diterapkan bila memungkinkan, misalnya ditempat tempat fasilitas
perawatan/rehabilitasi pemakai Napza, sekolah dsb. Obat yang disediakan tidak
boleh lebih dari untuk pemakaian satu bulan. Setiap bulan penderita diingatkan
akan kemungkinan terjadiya efek samping. Pemerikasaan laboratorium untuk
memantau apakah terjadi hepatitis tidak dilakukan secara rutin terkecuali timbul
gejala-gejala hepatitis.
Pengobatan preventif dengan isoniasid tidak boleh diberikan pada penderita yang
alergi terhadap obat ini atau pada penderita dengan riwayat hepatitis atau penyakit
hati akut lainnya. Pada saat hamil pengobatan preventif ditunda pemberiannya
sampai saat melahirkan, terkecuali pada penderita dengan risiko tinggi. Jika sebab
pertimbangan tertentu pengobatan preventif harus diberikan kepada ibu hamil
maka harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Isoniasid harus diberikan dengan
hati-hati kepada pecandu alkohol dan kepada penderita penyakit hati kronis.
Penderita hepatitis C memiliki risiko tinggi keracunan isoniasid. Kebijakan
untuk pemberian pengobatan preventif secara massal sangatlah tidak realistis,
kecuali ada sistem supervisi yang terorganisir secara rapi untuk mengawasi bahwa
pengobatan dilakukan dengan benar. Dan didaerah ini dijamin juga bahwa
program pengobatan terhadap penderita TB aktif menjamin angka kesembuhan
yang tinggi. Semua penderita infeksi HIV dan mereka yang tes tuberkulinnya
positif dan tidak menderita TB aktif harus diberikan pengobatan preventif.
7). Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi
untuk penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan
sediakan juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak.
8). Terhadap mereka yang diketahui terkena infeksi HIV segara dilakukan tes
Mantoux memakai PPD kekuatan sedang. Jika tes Mantouxnya positif
(indurasi ± 5mm) maka segera diberikan pengobatan profilaktik, dengan catatan
bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB aktif. Sebaliknya terhadap semua
penderita TB aktif harus dilakukan pemeriksaan dan dilakukan konseling jika
fasilitas untuk itu tersedia.
9). Di AS dimana imunisasi BCG tidak dilakukan secara rutin terhadap mereka yang
memiliki risiko tinggi tertulari TB dan HIV dilakukan tes tuberkulin secara
selektif dengan tujuan untuk menemukan penderita. Mereka yang diangap
memiliki risiko tinggi ini seperti petugas kesehatan, bayi yang lahir dari daerah
risiko tinggi, kelompok risiko tinggi terinfeksi HIV sepeti pada pemakai Napza
Suntik. Pada kelompok warga dimana TB masih ada, perlu dilakukan tes
tuberkulin secara sistematis untuk mengetahui kecenderungan insidensi penyakit.
Pemeriksaan radiologis diperlukan apabila ditemukan gejala klinis TB namun hasil
pemeriksaan bakteriologisnya negatif. Imunisasi BCG dapat mengacaukan
interpretasi tes tuberkulin yang dilakukan kemudian pada anak-anak dan oran
dewasa. Namun reaksi akibat imunisasi BCG terhadap tes tuberkulin bekurang
dengan perjalanan waktu, sehingga jika hasil tes tuberkulin positif kuat maka dapat
diambil kesimpulan bahwa yang bersangkutan menderita infeksi TB.
10). Pemberian imunisasi BCG terhadap mereka yang tidak terinfeksi TB (tes
tuberkulin negatif), lebih dari 90% akan memberikan hasil tes tuberkulin positif.
549
Proteksi yang diberikan sebab pemberian imunisasi BGC berbeda satu sama lain
dari berbagai penelitian, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik
warga , kualitas vaksin, strain dari vaksin BCG yang membrikan perlindungan
dampai 20 tahun di wilayah dengan insidens TB tinggi, sedang hasil penelitian
lain menunjukkan BCG sama sekali tidak memberikan perlindungan (Desain
penelitian yang dipakai yaitu “Controlled trials”).
sedang pada penelitian dengan memakai desain “Case-Control”
imunisasi BCG secara konsisten memberikan perlindungan terhadap terjadinya
meningitis TB dan TB miliair pada anak usia dibawah 5 tahun. Oleh sebab risiko
penularan di AS sangat rendah maka imunisasi BCG secara rutin tidak dilakukan.
Imunisasi BCG harus dipertimbangkan untuk diberikan kepada anak-anak dengan
tes tuberkulin segatif yang sebab sesuatu hal tidak boleh diberikan terapi preventif
namun mereka secara terus menerus terpajan dengan sumber infeksi. Sumber
infeksi ini bisa berupa penderita TB yang tidak mendapat pengobatan atau yang
mendapat pengobatan tidak adekuat, penderita yang terinfeksi oleh organisme
yang resisten terhadap isoniasid dan rifampin. Imunisasi BCG tidak boleh
diberikan kepada mereka yang menderita penyakit-penyakit imunodefisiensi
seperti penderita HIV/AIDS.
11). Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan cara
menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif. Susu dipasteurisasi sebelum
dikonsumsi.
12). Lakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan tambang.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1). Laporkan segera kepada instansi kesehatan setempat jika ditemukan penderita TB
atau yang diduga menderita TB. Penyakit TB wajib dilaporkan di AS dan hampir
di semua negara di dunia kelas 2A (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
Penderita TB perlu dilaporkan jika hasil pemeriksaan bakteriologis hasilnya positif
atau tes tuberkulinnya positif atau didasarkan pada gambaran klinis dan foto
rontgen. Departemen Kesehatan mempertahankan sistem pencatatan dan pelaporan
yang ada bagi penderita yang membutuhkan pengobatan dan aktif dalam kegiatan
perencanaan dan monitoring pengobatan.
2). Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum
biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit
hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis
dan secara sosial tidak bisa dirawat di rumah.
Penderita TB paru dewasa dengan BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan
dalam ruangan khusus dengan ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu
agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk dan bersin. Orang yang
memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan pelindung
pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak
perlu dilakukan bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi
penderita yang tidak batuk dan bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang
adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan sensitivitas/resistensi obat dan adanya
respons yang baik terhadap pengobatan).
550
Penderita remaja harus diperlakukan seperti penderita dewasa. Penilaian terus
menerus harus dilakukan terhadap rejimen pengobatan yang diberikan kepada
penderita. Terapkan sistem DOPT apabila secara finansial dan logistik
memungkinkan dan diterapkan pada penderita yang kemungkinan mengalami
resistensi terhadap pengobatan, adanya riwayat compliance yang jelek,
diberlakukan juga terhadap mereka yang hidup dalam lingkungan dimana kalau
terjadi relaps dapat menularkan kepada banyak orang.
3). Pencegahan infeksi: Cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus
dipertahankan sebagai kegiatan rutin. Tidak ada tindakan pencegahan khusus
untuk barang-barang (piring, sprei, pakaian dan lainnya). Dekontaminasi udara
dengan cara ventilasi yang baik dan bisa ditambahkan dengan sinar UV.
4). Karantina: Tidak diperlukan.
5). Penanganan kontak. Di AS terapi preventif selama 3 bulan bila skin tes negatif
harus diulang lagi, imunisasi BCG diperlukan bila ada kontak dengan penderita.
6). Investigasi kontak, sumber penularan dan sumber infeksi: Tes PPD
direkomendasikan untuk seluruh anggota keluarga bila ada kontak. Bila hasil
negatif harus diulang 2-3 bulan kemudian. Lakukan X-ray bila ada gejala yang
positif. Terapi preventif bila ada reaksi positif dan memiliki risiko tinggi terjadi
TBC aktif (terutama untuk anak usia 5 tahun atau lebih) dan mereka yang kontak
dengan penderita HIV (+), diberikan minimal sampai skin tes negatif. Sayang
sekali di negara berkembang penelusuran kontak didasarkan hanya pada
pemeriksaan sputum pada orang yang memiliki gejala-gejala TBC.
7). Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif
dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di
AS. Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedang
Indonesia sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi dan mengadaptasi
sistem yang sama yang disebut DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse).
Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang tepat dengan
pemeriksaan sputum yang teratur. Untuk penderita yang belum resisten terhadap
OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH),
Rifampin (RIF) dan pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan kemudia diikuti dengan
INH dan PZA selama 4 bulan. Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk
etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan jika infeksi TB terjadi didaerah
dengan peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun bila telah
dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai.
Jika tidak ada konversi sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif
setelah beberapa kali negatif atau respons klinis terhadap pengobatan tidak baik,
maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan minum obat dan tes
resistensi. Kegagalan pengobatan umumnya sebab tidak teraturnya minum obat
dan tidak perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila
tidak ada perubahan respons klinis penderita. Minimal 2 macam obat dimana
bekteri tidak resisten harus ada dalam regiemen pengobatan. Jangan sampai
menambahkan satu jenis obat baru pada kasus yang gagal. Jika INH atau
rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen maka lamanya pengobatan
minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif.
551
Untuk penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang, WHO
merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang
teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali
seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus diawasi secara langsung, jika
pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan langsung maka
diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan. Walaupun
pengobatan jangka pendek dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan
dengan jumlah obat yang lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18
bulan namun pengobatan jangka pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih
baik.
Penderita TBC pada anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan dewasa
dengan sedikit modifikasi. Kasus resistensi pada anak umumnya sebab tertular
dari penderita dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan
limfadenopati hilus hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan.
Pengobatan anak-anak dengan TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal
selama 9-12 bulan, beberapa ahli menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan.
Etambutol tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak sampai anak cukup
besar sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya usia > 5 tahun).
Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus diberikan
pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin tidak
boleh diberikan selama hamil.
Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi efek samping yang berat.
Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus MDR.
C. Tindakan penanggulangan wabah
Tingkatkan kewasapadaan dini untuk menemukan dan mengobati penderita TBC baru
yang tertulari oleh penderita yang tidak jelas. Lakukan penyelidikan intensif untuk
menemukan dan mengobatai sumber penularan.
D. Implikasi Bencana: Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut
Tindakan yang dianjurkan bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan
prevalensi TBC tinggi yaitu melakukan skrining dengan foto thorax, tes PPD,
pemeriksaan BTA dan kultur terhadap orang dengan tes PPD positif yang disertai
gejala klinis. Manfaatkan pusat-pusat kerjasama WHO.
Penyakit Yang disebabkan oleh Mikobakteria lain (Mikobakteriosis, Penyakit
mikobakteria non tuberkulosis) ICD-9 031; ICD-10 A31
Mikobakteria selain Mycobacterium tuberculosis, M. africanum, M. bovis dan M. lepral,
jenisnya banyak sekali yang ditemukan di alam sekitar kita dan dapat memicu penyakit
pada manusia. Jenis bakteri tahan asam (BTA) ini dulu diklasifikasikan sebagai mikobakteria
atipik, disebut juga dengan “únclassified mycobacteria” atau disebut dengan nama MOTT
(Mycobacteria Other than Tuberculosis).
552
Dari banyak jenis, hanya ada 15 jenis yang diketahui dapat menimbulkan penyakit pada
manusia. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh spesies mikobakteria yang patogen dapat
dikelompokkan secara umum sebagai berikut :
1. Timbulnya penyakit dengan gejala umum dan terjadinya diseminasi penyakit (biasanya
pada penderita dengan sistem kekebalan yang menurun seperti pada penderita AIDS)
2. Kelainan pada paru-paru seperti tuberkulosis - ini terjadi pada infeksi M. kansasii, M.
avium complex, M. absessus, M. xenopi, M. simiae
3. Timbulnya limfadenitis (terutama didaerah leher) – pada infeksi oleh M. avium complex,
M. scrofulaceum, M. kansasii;
4. Timbulnya ulcus pada kulit – pada infeksi oleh M. ulcerans (Ulcus Buruli), M. marinum;
5. Infeksi pasca trauma – seperti pada infeksi oleh M. fortuitum, M. chelonae, M. absessus,
M. marinum, M. avium complex.
6. Berupa infeksi nosokomial: Infeksi luka bedah (misalnya infeksi sternum pasca bedah
jantung, infeksi pada mamoplasti), infeksi pada waktu dilakukan kateterisasi (bakteriemi,
peritonitis, absces pasca injeksi)
7. Penyakit Crohn – diduga Pemicu nya yaitu M. paratuberculosis, yang memicu
terjadinya enteritis regional.
Epidemilogi penyakit yang diduga disebabkan oleh kelompok mikobakteria ini tidak dapat
diterangkan dengan jelas namun kuman ini dapat ditemukan ditanah, susu dan air; sedang
faktor lain seperti kerusakan jaringan, keadaan imunosupresi mungkin dapat menjadi faktor
predisposisi timbulnya penyakit ini. Pengecualian pada kuman yang memicu lesi pada
kulit tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang. Bakteri ini terkadang dapat
ditemukan dalam sputum atau bilas lambung walaupun tidak ada gejala klinis. Biakan yang
positif dari spesimen yang diambil dari luka atau jaringan dapat dianggap sebagai konfirmasi
diagnosis.
Secara umum sebagai pegangan, diagnosa penyakit yang memerlukan pengobatan didasarkan
pada isolasi koloni kuman yang ditemukan secara berulang kali dari penderita yang
penyakitnya berkembang progresif. Dapat terjadi reaksi silang hasil pembacaan Skintest
antara penyakit paru yang disebabkan kuman TBC dengan penyakit yang disebabkan oleh
kuman non TBC. Kemoterapi cukup efektif untuk M. kansasii dan M. marinum namun OAT
tradisional terutama prirazinamid tidak efektif untuk mikobakteria lainnya. Tes sensitivitas
mutlak perlu dilakukan untuk mengetahui kemoterapi yang tepat untuk dapat digunakan.
Tindakan operatif dapat dipertimbangkan terutama bila penyakit terlokalisir seperti pada
limfadenitis servikal atau abses subkutaneus ataupun lesi pada paru yang terlokalisir.
Infeksi oleh M. Avium Complex (MAC) diseminata merupakan masalah utama pada penderita
HIV dan upaya pengobatan yang dilakukan masih belum maksimal sampai saat ini. Untuk
Kasus infeksi MAC maka regimen pengobatan yang berisi rifabutin dan Clarithromycin
dianggap sebagai regimen terapi yang potensial. Rifabutin telah disetujui untuk dipakai
sebagai pengobatan profilaksis terhadap infeksi MAC pada penderita HIV dengan CD4 < 100.
TULAREMIA ICD-9 O21; ICD-10 A21
(Demam kelinci, Demam lalat-kijang, penyakit Ohara, penyakit Francis)
1. Identifikasi
553
Merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri dengan manifestasi klinis
yang sangat bervariasi tergantung kepada tempat masuknya bakteri dan virulensi dari
bakteri yang menginfeksi. Gejala klinis lebih sering muncul sebagai ulcus yang indolen
ditempat masuknya bakteri disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe disekitarnya
(tipe ulseroglanduler). Manifestasi lain dapat berupa infeksi tanpa disertai timbulnya
ulcus, hanya terjadi pembengkakan satu atau beberapa kelenjar limfe disertai dengan rasa
sakit.
Pembengkakan kelenjar limfe ini mengalami supurasi (tipe glanduler). Tertelannya
mikroorganisme sebab mengkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar dapat
menimbulkan faringitis dengan rasa sakit (dengan atau tanpa terjadi ulserasi), sakit perut,
diare dan muntah (tipe orofaringeal). Jika mikroorganisme masuk kedalam tubuh melalui
inhalasi dapat terjadi pneumonia atau sindroma septikemi primer, jika tidak segera diberi
pengobatan yang tepat, dapat menimbulkan kematian dengan CFR sekitar 30 – 60% (tipe
tifoidal). Mikroorganisme yang masuk melalui darah biasanya menimbulkan penyakit
yang terlokalisir pada paru dan ruangan pleura (tipe pleuropulmoner). Walaupun sangat
jarang sekali, mikroorganisme dapat masuk melalui Sacus conjunctivus dan menimbulkan
konjungtivitis purulenta disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe disekitarnya (tipe
okuloglanduler). Dari semua tipe infeksi diatas dapat terjadi komplikasi pneumonia yang
memerlukan pengenalan dan pengobatan secara dini untuk mencegah kematian.
Ada dua biovarians dengan patogenisitas yang berbeda yang dapat memicu penyakit
pada manusia. Organisme yang disebut dengan nama Jellison type A yaitu jenis yang
lebih virulen, jika tidak diobati dengan benar dapat menimbulkan kematian dengan CFR
berkisar antara 5 – 15% terutama disebabkan oleh penyakit dengan tipe tifoidal atau
dengan tipe pleuropulmoner. Dengan pengobatan memakai antibiotika yang tepat
CFR dapat diturunkan secara bermakna. Biovarian dengan nama Jellison type B,
virulensinya lebih rendah walaupun tidak diobati, CFR-nya rendah. Secara klinis
tularemia sulit dibedakan dengan pes dan dengan penyakit lain seperti infeksi oleh
Stafilokokus dan Streptokokus, Cat Scratch fever, Sporotrichosis oleh sebab semua
penyakit yang disebutkan diatas dapat menimbulkan pembengkakan kelenjar limfe yang
bubonik dan pneumonia berat. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan diagnosa pasti dibuat sebab adanya kenaikan titer antibodi spesifik yang muncul
pada minggu kedua sakit. Terjadi reaksi silang dengan infeksi spesies Brucella. Diagnosa
cepat dibuat melalui pemeriksaan spesimen yang diambil dari eksudat ulcus dan aspirat
dari kelenjar limfe dengan tes FA.
Biopsi yang dilakukan untuk tujuan diagnostik harus dilindungi dengan pemberian
antibiotik yang tepat sebab tindakan biopsi dapat menimbulkan septikemi. Bakteri
Pemicu infeksi dapat diisolasi melalui kultur pada media khusus seperti dengan media
cysteine glucose blood agar atau dengan melakukan inokulasi binatang percobaan dengan
bahan yang diambil dari lesi, darah dan sputum. Untuk menentukan biovarians dilakukan
dengan pemeriksaan reaksi kimiawi. Tipe A memfermentasikan gliserol dan merubah
citrulline menjadi ornithine. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dengan sangat
hati-hati oleh sebab dapat terjadi penularan bahan infeksius melalui udara. Oleh sebab
itu identifikasi dengan memakai media kultur hanya dilakukan dilaboratorium
rujukan yang sudah sangat berpengalaman dengan fasilitas keamanan yang memadai.
Umumnya diagnosis ditegakkan hanya dengan pemeriksaan serologis.
554
2. Pemicu penyakit
Mikroorganisme Pemicu penyakit yaitu Francisella tularensis (dulu disebut
Pasteurella tularensis), sejenis kokobasilus yang non motil, berbentuk kecil, gram negatif.
Semua isolat secara serologis homogen dibedakan satu sama lain secara epidemiologis
dan biokemis yaitu menjadi Jellison Type A (F. tularensis biovarian tularensis) dengan
LD50 pada kelinci lebih kecil dari 10 bakteria atau Jellison type B (F. tularensis biovarian
palaearctica) dengan LD50 pada kelinci lebih besar dari 107 bakteria.
3. Distribusi Penyakit
Tularemia tersebar hampir di semua bagian Amerika Utara dan di sebagian besar benua
Eropa, di bekas Uni Soviet, Cina dan Jepang. Di AS penyakit ini ditemukan sepanjang
tahun; insidensi penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada orang dewasa dimusim dingin
pada saat musim perburuan kelinci dan pada anak-anak dimusim panas pada saat densitas
vektor berupa kutu dan lalat pada menjangan/kijang meningkat. F. tularensis biovarian
tularensis terbatas ditemukan hanya dibagian utara benua Amerika dan sering ditemukan
pada kelinci (jenis Cottontail, Jack dan Snowshoe), dan biasanya penularan terjadi sebab
gigitan kutu binatang ini . sedang F. tularensis biovarian palaearctica sering
ditemukan pada mamalia selain kelinci di bagian utara benua Amerika; berbagai strain
ditemukan di Elerasia pada binatang jenis voles, muskrat dan tikus air. sedang di
Jepang ditemukan pada kelinci.
4. Reservoir
Berbagai jenis binatang liar seperti kelinci, hares, voles, muskrats, beavers dan beberapa
jenis binatang domestik dapat berperan sebagai reservoir; begitu juga berbagai jenis kutu
dapat berperan sebagai reservoir, sebagai tambahan telah ditemukan siklus penularan dari
rodentia – nyamuk untuk F. tularensis biovarian palaearctica didaerah Skandinavia,
Baltic dan Rusia.
5. Cara penularan
Berbagai cara penularan telah diketahui antara lain melalui gigitan binatang berkaki
beruas (artropoda) seperti kutu Dermacentor andersoni, kutu anjing D. variabilis,
Anblyomma americanum (the lonestar stick); dan walaupun jarang terjadi, lalat Chrysops
discalis pada kijang/menjangan dapat juga menularkan penyakit ini. Di Swedia nyamuk
Aedes cinerius diketahui dapat menularkan penyakit ini melalui inokulasi kulit, melalui
mukosa konjungtiva dan mukosa orofaring yang terpajan dengan air yang terkontaminasi.
Penularan dapat juga terjadi sebab terpajan dengan darah atau jaringan binatang yang
terinfeksi (pada waktu menguliti binatang, memotong daging atau pada waktu melakukan
nekropsi); mengkonsumsi daging atau jaringan binatang yang terinfeksi yang tidak
dimasak dengan sempurna; minum air yang terkontaminasi; inhalasi debu yang
terkontaminasi atau inhalasi partikel dari tumpukan rumput/jerami kering dan padi-padian
yang terkontaminasi. Jarang sekali penularan terjadi melalui gigitan coyote (sejenis
rubah), tupai, musang, babi hutan, kucing atau anjing yang mulutnya tercemar sebab
diduga memakan binatang yang terinfeksi. Penularan juga jarang terjadi sebab bulu dan
cacar binatang. Jika penularan terjadi sebab kecelakaan dilaboratorium biasanya berupa
pneumonia primer dn tularemia tifoidal.
555
6. Masa Inkubasi: Masa inkubasi sangat bergantung pada virulensi daripada
mikroorganisme dan tergantung pada ukuran inokulum. Biasanya berkisar antara 1 – 14
hari, rata-rata 3 – 5 hari.
7. Masa Penularan: Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Pada penderita yang
tidak diobati mirkoorganisme Pemicu penyakit ditemukan didalam darah selama 2
minggu pertama infeksi, dan ditemukan didalam lesi selama satu bulan bahkan terkadang
lebih lama. Lalat mengandung bakteri selama 14 hari dan kutu selama hidup mereka
(sekitar 2 tahun). Daging kelinci yang dibekukan pada suhu –150C (50F) tetap infektif
selama 3 tahun.
8. Kerentanan dan kekebalan: Semua usia rentan terhadap infeksi, setelah sembuh dari
penyakit timbul kekebalan jangka panjang. Namun pernah dilaporkan adanya reinfeksi
pada petugas laboratorium.
9. Cara – cara pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1). Berikan penyuluhan kepada warga untuk menghindari diri terhadap gigitan
kutu, lalat dan nyamuk. Hindari minum air, mandi atau bekerja diperaiaran yang
tidak ditangani dengan baik dimana didaerah ini angka infeksi pada binatang
liar sangat tinggi.
2). Pakailah sarung tangan pada saat menguliti binatang terutama kelinci. Masaklah
daging kelinci liar atau binatang rodensia sebelum dikonsumsi.
3). Berlakukan larangan pengapalan antar pulau terhadap hewan atau daging hewan
yang terinfeksi.
4). Vaksinasi intradermal dengan skarifikasi memakai vaksin jenis “Live
attenuated” digunakan secara luas dibekas Uni Soviet dan secara terbatas
digunakan dikalangan pekerja dengan risiko penularan di AS.
Vaksin “Live anttenuated” yang dulu pernah digunakan untuk tujuan penelitian
pada petugas laboratorium di AS saat ini tidak lagi tersedia.
5). Pakailah masker, pelindung mata, sarung tangan dan jas laboratorium (Personal
Protection Equipment) dan pergunakan kabinet dengan tekanan negatif pada saat
bekerja dengan kultur F. tularensis.
B. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Didaerah endemis tertentu di AS dan
di sebagian besar negara di dunia penyakit ini tidak wajib dilaporkan, kelas 3B
(lihat tentang pelaporan penyakit menular)
2). Isolasi: Hati-hati dengan sekret dan discharge dari lesi terbuka, lakukan
kewaspadaan universal
3). Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap discharge yang keluar dari ulkus,
kelenjar limfe atau konjungtiva.
4). Karantina: Tidak dilakukan
5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Investigasi perlu dilakukan terhadap setiap
kasus untuk menemukan sumber infeksi.
556
7). Pengobatan spesifik: Obat pilihan yaitu streptomisin atau gentamisin, diberikan
selama 7 – 14 hari; sedang tetrasiklin dan kloramfenikol bersifat bakteriostatik
jika diberikan kurang dari 14 hari, relaps lebih sering terjadi dibandingkan
pengobatan dengan memakai streptomisin. Namun telah ditemukan
mikroorganisme virulen yang resisten terhadap streptomisin. Tindakan insisi,
biopsi, aspirasi yang dilakukan untuk mengambil sampel pada kelenjar limfe yang
terinfeksi dapat menyebarkan infeksi. Tindakan ini harus dilindungi dengan
antibiotika yang tepat.
C. Cara-cara Penanggulangan Wabah
Lakukan pelacakan untuk menemukan sumber infeksi yang ada kaitannya dengan
artropoda, binatang lain yang berperan sebagai hospes, air, tanah dan tanaman yang
tercemar. Cara-cara pemberantasan seperti yang disebutkan pada 9A diatas.
D. Implikasi bencana: Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada
F. Upaya untuk mengatasi Bioterorisme
Tularemia dianggap potensial digunakan untuk melakukan tindaan bioterorisme
terutama jika dilakukan melalui udara (aerosol) seperti halnya pada pes, maka orang
yang menghirup udara yang mengandung tularemia akan mengalami pneumonia
primer. Kasus ini memerlukan diagnosis dini dan pengobatan dini untuk mencegah
kematian. Setiap saat jika ditemukan adanya F. tularensis harus segera dilaporkan
kepada petugas dan petugas keamanan (di AS dilaporkan ke FBI) lebih-lebih kalau
kasus ini menggerombol. Laporan ini diperlukan agar bisa segera dilakukan
investigasi.
DEMAM TYPHOID ICD-9 002.0; ICD-10 A01.0
(Demam enterik, Tifus Abdominalis)
DEMAM PARATIFOID ICD-9 002.1-002.9; ICD-10 A01.1 – A01.4
1. Identifikasi
yaitu penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan demam insidius
yang berlangsung lama, sakit kepala yang berat, badan lemah, anoreksia, bradikardi
relatif, splenomegali, pada penderita kulit putih 25% diantaranya menunjukkan adanya
“rose spot” pada tubuhnya, batuk tidak produktif pada awal penyakit, pada penderita
dewasa lebih banyak terjadi konstipasi dibandingkan dengan diare. Gejala lebih sering
berupa gejala yang ringan dan tidak khas.
Pada demam tifoid dapat terjadi ulserasi pada plaques peyeri pada ileum yang dapat
memicu terjadinya perdarahan atau perforasi (sekitar 1% dari kasus), hal ini sering
terjadi pada penderita yang terlambat diobati.
557
Dapat juga timbul demam tanpa disertai keringat, gangguan berfikir, pendengaran
berkurang dan parotitis. CFR pada waktu belum ditemukannya antibiotika bisa mencapai
10 – 20%, saat ini CFR kurang dari 1% jika segera diberikan pengobatan dengan
antibiotika yang tepat. Tergantung pada jenis antibiotika yang dipakai, penderita yang
telah sembuh dapat mengalami relaps (kira-kira 15 – 20%), biasanya penyakit lebih ringan
dibandingkan dengan penyakit yang dialami pertama kali.
Nomenklatur baru berdasarkan hubungan DNA diusulkan untuk pemberian nama pada
salmonella sesuai dengan nomenklatur baru ini hanya ada dua species salmonella
yaitu – Salmonella bongori dan Salmonella enterica. Semua bakteri yang patogen
terhadap manusia dikelompokkan kedalam serovarian dibawah sub species I dan S.
enterica. Dengan nomenklatur baru yang diusulkan ini maka S. typhi akan berubah
menjadi S. enterica serovarian Typhi dan disingkat dengan S. Typhi (penulisannya tidak
dengan huruf italik dan ditulis dengan huruf besar). Beberapa badan resmi telah
memakai nomenklatur yang diusulkan ini walapun sampai dengan pertengahan
tahun 1999 nomenklatur baru ini belum disahkan pemakaiannya. Pada bab ini telah
digunakan nomenklatur baru ini .
Demam paratifoid memberikan gambaran klinis yang sama dengan demam tifoid, namun
cenderung lebih ringan dengan CFR yang jauh lebih rendah. Ratio Distribusi Penyakit
yang disebabkan oleh Salomnella enterica serovarian Typhi (S. Typhi) dibandingkan
dengan S. enterica serovarian Paratyphi A dan B (S. Paratyphi A, S. Paratyphi B) kira-kira
10 : 1. Relaps dapat terjadi pada 3 – 4% dari kasus. Jika infeksi Salmonella tidak terjadi
secara sistemik maka manifestasinya hanya berupa gastro enteritis. Organisme Pemicu
penyakit dapat diisolasi dari darah pada permulaan penyakit, sedang pada urine dan
tinja organisme baru dapat ditemukan seminggu setelah sakit. Konfirmasi bakteriologis
melalui pemeriksaan kultur sampel sumsum tulang yaitu yang terbaik walaupun pada
penderita yang telah mendapatkan pengobatan antibiotika (kultur sampel sumsum tulang
ini dengan “recovery” mencapai 90 – 95%). Tes serologis seperti tes widal nilai
diagnostiknya rendah sebab sensitivitas dan spesifisitasnya rendah.
2. Pemicu penyakit
Demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi, basil Tifoid. Untuk tujuan studi epidemiologis
maka prosedur pemeriksaan laboratorium “phage typing” dan “pulsed field gel
electrophoresis” dari S. Typhi memiliki nilai yang tinggi untuk melakukan identifikasi
terhadap isolat. Untuk demam paratifoid dikenal ada 3 serovarians S. enterica yaitu : S.
Paratyphi A, S. Paratyphi B, S. Paratyphi C. Dikenal beberapa macam “phage types”.
3. Distribusi penyakit
Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia. Insidensi penyakit demam tifoid diseluruh
dunia mencapai 17 juta setahun dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang. Di
Amerika Serikat demam tifoid muncul sporadis dan relatif konstan berkisar antara 500
kasus setahun selama bertahun-tahun (bandingkan dengan demam tifoid yang dilaporkan
sebanyak 2484 pada tahun 1950).Dengan mewarga nya perilaku hidup bersih dan
sehat, mewarga nya pemakaian jamban yang saniter maka telah terjadi penurunan
kasus demam Tifoid, dan yang terjadi di Amerika Serikat yaitu kasus import dari daerah
endemis. Sekarang sering ditemukan strain yang resisten terhadap kloramfenikol dan
terhadap antibiotika lain yang umum digunakan untuk demam tifoid.
558
Kebanyakan isolat yang dikumpulkan pada tahun 90an dari Asia Tenggara, Asia Selatan,
Timur Tengah dan Afrika Timur Laut yaitu strain yang membawa plasmid dengan faktor
R yang membawa kode resistens terhadap berbagai jenis antibiotika yang dulu umum
dipakai untuk mengobati demam tifoid seperti kloramfenikol, amoksisilin,
trimetroprim/sulfametoksasol.
Demam paratifoid muncul secara sporadis atau muncul sebagai KLB terbatas, mungkin
juga kejadiannya lebih banyak daripada yang dilaporkan. DI AS dan Kanada demam
paratifoid jarang teridentifikasi. Dari ketiga jenis demam paratifoid, paratifoid B yaitu
yang paling sering ditemukan, paratifoid A lebih jarang dan yang paling jarang yaitu
paratifoid C.
4. Reservoir
Manusia merupakan reservoir bagi tifoid maupun paratifoid; walapun jarang binatang
peliharaan dapat berperan sebagai reservoir bagi paratifoid. Kontak dalam lingkungan
keluarga dapat berupa carrier yang permanen atau carrier sementara. Status carrier dapat
terjadi setelah serangan akut atau pada penderita su