penyakit menular 24


 bklinis. sedang  carrier kronis 

sering terjadi pada mereka yang kena infeksi pada usia pertengahan terutama pada wanita; 

carrier biasanya memiliki  kelainan pada saluran empedu termasuk adanya batu 

empedu. Status carrier kronis pada saluran kemih terjadi pada penderita schitosomiasis. 

Pernah terjadi KLB demam paratifoid di Inggris, sapi perah yang mengeluarkan 

mikroorganisme Paratyphi B didalam susu dan kotoran mereka diketahui sebagai 

Pemicu  terjadinya KLB. 

5. Cara-cara Penularan 

  Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja dan urin 

dari penderita atau carrier. Dibeberapa negara penularan terjadi sebab  mengkonsumsi 

kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah 

yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh 

carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga berperan sebagai 

perantara penularan memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di dalam 

makanan mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif, 

dimana dosisnya lebih rendah pada tifoid dibandingkan dengan paratifoid. 

 

6. Masa Inkubasi 

  Masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bekteri yang menginfeksi; masa inkubasi 

berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata antara 8 – 14 hri. Untuk 

gastroenteris yang disebabkan oleh paratifoid masa inkubasi berkisar antara 1 – 10 hari. 

 

7. Masa Penularan 

  Selama basil ditemukan didalam tinja selama itu dapat terjadi penularan, biasanya terjadi 

penularan pada minggu pertama sakit dan selama periode konvalesens; waktu ini dapat 

bervariasi (untuk paratifoid biasanya masa penularan berlangsung antara 1 – 2 minggu) 

sekitar 10% dari penderita demam tifoid yang tidak diobati selama tiga bulan akan terus 

menerus mengeluarkan basil setelah munculnya gejala awal dan 2 – 5% penderita akan 

menjadi carrier kronis; sebagian kecil penderita yang terinfeksi oleh paratifoid dapat 

menjadi carrier permanen pada kandung empedu. 

 

 

 559

8. Kerentanan dan kekebalan 

  Setiap orang rentan terhadap infeksi, kerentanan ini meningkat pada orang yang menderita 

akhlorhidria atau pada orang yang menderita infeksi HIV. Imunitas spesifik relatif dapat 

timbul setelah seseorang mengalami infeksi baik yang menunjukkan gejala klinis maupun 

pada mereka yang tapa gejala. Imunitas dapat juga muncul setelah pemberian imunisasi. 

Didaerah endemis demam tifoid sering ditemukan pada anak prasekolah dan anak-anak 

berusia 5 – 19 tahun. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara Pencegahan 

1). Berikan penyuluhan kepada warga  tentang pentingnya mencuci tangan 

setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan 

fasilitas untuk mencuci tangan secukupnya. Hal ini terutama penting bagi mereka 

yang pekerjaannya sebagai penjamah makanan dan bagi mereka yang 

pekerjaannya merawat penderita dan mengasuh anak-anak. 

2). Buanglah kotoran pada jamban yang saniter dan yang tidak terjangkau oleh lalat. 

Pemakaian kertas toilet yang cukup untuk mencegah kontaminasi jari. Ditempat 

yang tidak ada jamban, tinja ditanam jauh dari sumber air dihilir. 

3). Lindungi sumber air warga  dari kemungkinan terkontaminasi. Lakukan 

pemurnian dan pemberian klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada 

warga . Sediakan air yang aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari 

kemungkinan terjadinya pencemaran (backflow) antara sistem pembuangan 

kotoran (sewer system) dengan sistem distribusi air. Jika bepergian untuk tujuan 

pikinik atau berkemah air yang akan diminum sebaiknya direbus atau diberi bahan 

kimia. 

4). Berantas lalat dengan menghilangkan tempat berkembang biak mereka dengan 

sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik. Lalat dapat juga 

diberantas dengan menggunakn insektisida, perangkap lalat dengan memakai   

umpan, pemasangan kasa. Jamban konstruksinya dibuat sedemikian rupa agar 

tidak dapat dimasuki lalat. 

5). Terapkan standar kebersihan pada waktu menyiapkan dan menangani makanan; 

simpan makanan dalam lemari es pada suhu yang tepat. Perhatian khusus harus 

diberikan pada salad dan makanan lain yang dihidangkan dalam keadaan dingin. 

Standar kebersihan ini berlaku untuk makanan yang disiapkan dirumah tangga 

maupun yang akan disajikan untuk umum. Jika kita kurang yakin akan standar 

kebersihan ditempat kita makan, pilihlah makanan yang panas dan buah-buahan 

sebaiknya dikupas sendiri. 

6). Lakukan pasteurisasi terhadap susu dan produk susu. Lakukan pengawasan yang 

ketat terhadap sanitasi dan aspek kesehatan lainnya terhadap produksi, 

penyimpanan dan distribusi produk susu. 

7). Terapkan peraturan yang ketat tentang prosedur jaga mutu terhadap industri yang 

memproduksi makanan dan minuman. Gunakan air yang sudah diklorinasi untuk 

proses pendinginan pada waktu dilakukan pengalengan makanan. 

8). Batasi pengumpulan dan penjualan kerang-kerangan dari sumber yang jelas yang 

tidak tercemar. Rebuslah kerang sebelum dihidangkan. 

 

 560

9). Beri penjelasan yang cukup kepada penderita, penderita yang sudah sembuh dan 

kepada carrier tentang cara-cara menjaga kebersihan perorangan. Budayakan 

kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum 

menyiapkan makanan. 

10). Promosikan pemberian air susu ibu kepada bayi yang sedang menyusui. Rebuslah 

susu dan air yang akan dipakai untuk makanan bayi. 

11). Carrier dilarang untuk menangani/menjamah makanan dan dilarang merawat 

penderita. Lakukan identifikasi terhadap carrier dan lakukan pengawasan terhadap 

mereka. Pembuatan kultur dari sampel limbah dapat membantu untuk menentukan 

lokasi carrier. Carrier kronis harus diawasi dengan ketat dan dilarang melakukan 

pekerjaan yang dapat menularkan penyakit kepada orang lain. Yang bersangkutan 

dapat dibebaskan dari larangan ini apabila sudah memenuhi persyaratan sesuai 

dengan peraturan yang berlaku yaitu tiga kali berturut-turut sampel tinja yang 

diperiksa menunjukkan hasil negatif, khusus untuk daerah endemis 

schistosomiasis sampel yang diambil yaitu   sampel urin. Sampel diambil dengan 

interval satu bulan dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir. Sampel yang 

baik yaitu   tinja segar. Dan dari tiga sampel yang berturut-turut diambil dengan 

hasil negatif minimal satu sampel harus diambil dengan cara melakukan 

lavemen/klisma. 

 Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menemukan bahwa penggunaan derivat 

quinolone yang baru yang diberikan secara oral memberikan hasil yang baik untuk 

mengobati carrier walaupun ada kelainan empedu; untuk mengetahui apakah telah 

terjadi penyembuhan perlu dilakukan pemeriksaan kultur. 

12). Untuk demam tifoid pemberian imunisasi tidak dianjurkan di AS. Saat ini 

imunisasi hanya diberikan kepada mereka dengan risiko tinggi seperti petugas 

laboratorium mikrobiologis, mereka yang bepergian kedaerah endemis, mereka 

yang tinggal didaerah endemis, anggota keluarga dengan carrier. Vaksin yang 

tersedia yaitu   vaksin oral hidup yang mengandung S. Typhi strain Ty21a 

(diperlukan 3 – 4 dosis dengan interval 2 hari), dan vaksin parenteral yang beredar 

yaitu   vaksin dosis tunggal yang berisi Vi antigen polisakarida. Vaksin oral yang 

berisi Ty21a jangan diberikan kepada penderita yang sedang mendapatkan 

pengobatan antibiotika atau pengobatan anti malaria, mefloquine. Oleh sebab  

sering menimbulkan efek samping yang berat maka vaksin “whole cell” yang 

diinaktivasi dianjurkan untuk tidak digunakan. Vaksin dosis tunggal yang 

mengandung Vi antigen polisakarida yaitu   vaksin pilihan, sebab  kurang 

reaktogenik.  

Dosis booster perlu diberikan kepada mereka yang secara terus menerus 

memiliki  risiko tertular. Booster diberikan dengan interval antara 2 – 5 thun 

tergantung jenis vaksinnya. 

Demam paratifoid: ujicoba dilapangan dengan memakai   vaksin oral tifoid 

(Ty21a) memberikan perlindungan parsial terhadap paratifoid, namun 

perlindungan yang diberikan tidak sebaik terhadap tifoid. 

 

 

 561

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat; Tifoid wajib dilaporkan disebagian 

besar negara bagian dan negara didunia, kelas 2A (Lihat tentang pelaporan 

penyakit menular). 

2) Isolasi: Pada waktu sakit, lakukan kewaspadaan enterik; sebaiknya perawatan 

dilakukan dirumah sakit pada fase akut. Supervisi terhadap penderita dihentikan 

apabila sampel yang diambil 3 kali berturut-turut dengan interval 24 jam dan 48 

jam setelah pemberian antibiotika terakhir memberikan hasil negatif. Pengambilan 

sampel tidak boleh kurang dari satu bulan setelah onset. Sampel yang diambil 

yaitu   tinja dan urin untuk penderita di daerah endemis schistosomiasis. Jika salah 

satu sampel memberi hasil positif maka ulangi pembuatan kultur dengan interval 

satu bulan selama 12 bulan setelah onset, sampai 3 kali beturu-turut sampel yang 

diambil hasilnya negatif. 

3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap tinja, urin dan alat-alat yang 

tercemar. Di negara maju dengan fasilitas sistem pembuangan kotoran yang baik, 

tinja dapat dibuang langsung kedalam sistem tanpa perlu dilakukan disinfeksi 

terebih dulu. Dilakukan pembersihan menyeluruh. 

4) Karantina: Tidak dilakukan 

5) Imunisasi terhadap kontak: Pemberian imunisasi rutin terhadap anggota keluarga, 

petugas kesehatan dengan vaksin tifoid kurang begitu bermanfaat walaupun 

mereka terpajan dengan penderita tifoid. Namun vaksinasi masih bermanfaat 

diberikan kepada mereka yang terpajan dengan carrier. Tidak ada vaksin yang 

efektif untuk demam paratifoid A. 

6) Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Sumber infeksi yang 

sebenarnya dan sumber infeksi yang potensial harus diidentifikasi dengan cara 

melakukan pelacakan penderita yang tidak dilaporkan, carrier dan melacak 

makanan, susu, air, kerang-kerangan yang terkontaminsai. Seluruh anggota grup 

pelancong yang salah satu anggotanya yaitu   penderita tifoid harus diamati. Titer 

antibodi terhadap purified Vi polysaccharide mengidentifikasikan yang 

bersangkutan yaitu   carrier. Jika ditemukan tipe phage yang sama pada organisme 

yang diisolasi dari penderita dan carrier menunjukan telah terjadi penularan. 

7) Pengobatan spesifik: Meningkatnya resistensi terhadap berbagai macam strain 

menentukan jenis obat yang dipakai untuk terapi secara umum, untuk orang 

dewasa ciprofloxacin oral dianggap sebagai obat pilihan terutama untuk penderita 

tifoid di Asia. 

Belakangan ini dilaporkan bahwa telah terjadi penurunan sensitivitas pada 

penelitian in vivo terhadap berbagai strain Asia. Untuk strain lokal yang masih 

sensitf terhadap pengobatan maka obat-obatan oral seperti kloramfenikol, 

amoksisilin atau TMP-SMX (untuk anak-anak) masih cukup efektif untuk 

mengobati penderita akut. sedang  ceftriaxone obat parenteral yang diberikan 

sekali sehari sangat bermanfaat diberikan kepada penderita obtunded atau kepada 

penderita dengan komplikasi dimana tidak bisa diberikan pengobatan antibiotika 

oral. Pemberian kartikosteroid dosis tinggi dalam jagka pendek dikombinasikan 

dengan pemberian antibiotika serta terapi suportif membantu menurunkan angka 

kematian pada penderita berat. Untuk pengobatan kepada carrier lihat uraian pada 

bagian 9A11 diatas. Penderita schistosomiasis yang menderita tifoid selain 

 

 562

pemberian terapi untuk tifoidnya maka diberikan juga praziquantel untuk 

menghilangkan kemungkinan cacing schistosoma membawa basil S. Typhi 

  

C. Penanggulangan wabah 

1) Lakukan pelacakan secara intensif terhadap penderita dan carrier yang berperan 

sebagai smber peularan. Cari dan temukan media (air, makanan) yang tercemar 

yang menjadi sumber penularan. 

2) Lakukan pemusnahan terhadap makanan yang diduga sebagai sumber penularan. 

2). Lakukan pasteurisasi atau rebuslah susu yang akan dikonsumsi. Singkirkan 

seluruh suplai susu dan makanan yang diduga tercemar untuk tidak dikonsumsi 

pada saat sampai diketahui bahwa susu dan makanan ini  aman untuk 

dikonsumsi. 

3). Terhadap sumber air yang diduga tercemar dilakukan klorinasi sebelum digunakan 

dengan supervisi yang ketat. Apabila tindakan klorinasi tidak dapat dilakukan, air 

dari sumber yang diduga tercemar ini  jangan digunakan, semua air minum 

harus diklorinasi, diberi iodine atau direbus sebelum diminum. 

4). Pemberian imunisasi secara rutin tidak dianjurkan. 

 

D. Implikasi bencana 

Di daerah/tempat penampungan pengungsi dimana persediaan air sangat terbatas dan 

fasilitas pembuangan kotoran tidak memadai serta tidak ada pengawasan terhadap 

makanan dan air, kemungkinan terjadi penularan demam tifoid sangat besar, apabila 

diantara para pengungsi ini  terdapat penderita aktif atau carrier. Untuk mencegah 

terjadinya penularan dikalangan para pengungsi maka lakukan upaya untuk 

memperbaiki fasilitas penyediaan air minum dan fasilitas pembuangan kotoran. 

Pemberian imunisasi bagi kelompok-kelompok tertentu dapat dilakukan seperti 

terhadap anak sekolah, penghuni penjara, penghuni fasilitas tertentu, personil/staf 

rumah sakit atau terhadap pegawai kantor pemerintahan kabupaten/kota. Pemberian 

imunisasi terhadap kelompok ini cukup bermanfaat sebab  mereka hidup dalam 

komunitas yang terorganisir. 

 

E. Tindakan internsional 

1) Untuk demam tifoid: pemberian imunisasi dianjurkan untuk diberikan terhadap 

para wisatawan yang berkunjung kedaerah enemis, terutama apabila didaerah 

ini  para wisatawan diduga akan terpajang dengan air dan makanan yang 

tercemar atau wisatawan diduga akan kontak dengan warga  asli didaerah 

pedesaan. Imunisasi tidak diwajibkan bagi wisatawan yang akan berkunjung 

kesuatu negara. 

2) Untuk demam tifoid dan paratifoid manfaatkan pusat-pusat kerjasam WHO. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 563

DEMAM TIFUS        ICD-10 A75 

I. Demam Tifus Wabahi Yang ditularkan oleh kutu ICD-9 080; ICD-10 A75.0 

(Louseborne typhus,Typhus exanthematicus, Demam tifus klasik) 

 

1. Identifikasi  

  Penyakit yang disebabkan oleh rickettsia dengan gejala klinis yang sangat bervariasi. 

Penyakit kadangkala muncul mendadak ditandai dengan sakit kepala, menggigil, lelah, 

demam dan sakit disekujur tubuh. Timbul bercak dikulit berbentuk makuler pada hari 

kelima dan keenam, mulai muncul pada badan bagian atas kemudian menyerbu keseluruh 

tubuh, namun penyebaran bercak ini tidak mengenai muka, telapak tangan dan telapak 

kaki. Muncul gejala toksemia yang jelas dan penyakit berakhir dengan perbaikan yang 

cepat setelah 2 minggu demam. 

  CFR meningkat dengan meningkatnya umur berkisar antara 10 – 40% jika tidak diobati 

dengan pengobatan yang tepat. Gejala klinis ringan tanpa bercak dikullit dapat terjadi 

pada penderita anak-anak atau pada orang yang sebelumnya sudah mendapatkan 

imunisasi. Penyakit ini dapat menyerang kembali setelah sebelumnya pernah terserang 

untuk pertama kalinya (Dikenal dengan penyakit Brill Zinsser, ICD-9 081.1; ICD-10 

A75.1); gejala klinis penyakit ini lebih ringan, jarang terjadi komplikasi, CFRnya rendah. 

  Pemeriksaan laboratorium yang biasanya digunakan untuk konfirmasi diagnosis yaitu   tes 

IF, namun prosedur pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara tifus yang ditularkan 

oleh kutu dengan tifus murine (ICD-9 081.0; ICD-10 A75.2), kecuali sera yang akan 

dipakai untuk tes IF ini sebelumnya diserap dulu dengan antigen rickettsia terkait. Metode 

diagnostik lain yang dipakai yaitu   EIA, PCR, pengecatan jaringan dengan metode 

immunohistochemical, pemeriksaan CF dengan group specific, atau washed type specific 

rickettsial antigen, atau dengan tes netralisasi toksin. Pemeriksaan antibodi biasanya 

memberi hasil positif pada minggu kedua. Pada penyakit akut antibodi yang ditemukan 

yaitu   IgM dan pada penyakit Brill-Zinsser yaitu   IgG. 

 

2. Pemicu  penyakit:  – Rickettsia prowazekii. 

 

3. Penyebaran penyakit 

  Penyakit ini ditemukan terutama didaerah dingin dengan sanitasi yang jelek dan kepadatan 

kutu sebagai vektor sangat tinggi. Wabah yang besar dapat terjadi pada waktu terjadi 

peperangan dan pada saat terjadi kelaparan. Fokus-fokus endemis ditemukan tersebar 

didaerah pegunungan Mexico, Amerika tengah dan selatan, Afrika bagian tengah dan 

timur dan dibeberapa negara di Asia. 

  Di AS KLB tifus yang ditularkan oleh kutu terakhir dilaporkan terjadi pada tahun 1921. 

Rickettsia ini ditemukan sebagai penyakit zoonosis pada tupai terbang (Glaucomys 

volans). Secara serologis terbukti bahwa manusia tertulari dari sumber ini kemungkinan 

melalui gigitan kutu tupai terbang. Kelompok kasus di AS dilaporkan dari Indiana, 

California, Illinois, Ohio, Tennesse dan West Virginia.  

 

4. Reservoir:  Manusia berperan sebagai reservoir dan berperan dalam mempertahankan 

siklus penularan pada periode antar wabah. Walaupun tupai terbang bukan sebagai sumber 

utama penularan namun beberapa kejadian sporadis dikaitkan dengan binatang ini. 

 

 564

5. Cara-cara penularan 

 Kutu badan, Pediculus humanus corporis yang mengisap darah penderita akut akan 

terkena infeksi kemudian dapat menularkan kepada orang lain. Penderita penyakit Bill-

Zinsser dapat menginfeksi kutu dan dapat berperan sebagai fokus terjadinya KLB 

didaerah dimana densitas kutu tinggi. Kutu yang terinfeksi akan mengeluarkan rickettsia 

melalui kotorannya, biasanya kutu ini mengeluarkan kotoran pada saat mereka menghisap 

darah. Orang terkena infeksi oleh sebab  secara tidak sengaja menggosok kulitnya yang 

terkena kotoran kutu atau terinfeksi sebab  membunuh kutu yang sedang menghisap 

darah. Rickettsia masuk melalui luka gigitan kutu atau melalui abrasi kulit. Inhalasi udara 

yang mengandung pertikel kotoran kutu yang terinfeksi dapat juga memicu  infeksi. 

Penularan oleh tupai terbang diduga sebab  gigitan kutu binatang ini , namun hal ini 

belum dibuktikan kebenarannya. 

 

6. Masa inkubasi: - Antara 1 - 2 minggu rata-rata 12 hari. 

 

7. Masa penularan: Penyakit ini tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Penderita 

dapat menularkan penyakit kepada kutu yang menghisap darah mereka pada saat penderita 

mengalami demam dan sekitar 2 – 3 hari setelah suhu badan kembali normal. Kutu yang 

terinfeksi akan mengeluarkan rickettsia dalam kotorannya 2 – 6 hari setelah menghisap 

darah. Kutu dapat segera menjadi infektif jika pada saat sedang menggigit orang lain kutu 

ini  dibunuh. Kutu biasanya mati 2 minggu setelah terinfeksi dan rickettsia dapat 

bertahan dalam tubuh kutu yang mati sampai berminggu-minggu. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Satu serangan 

dapat menimbulkan kekebalan yang dapat bertahan lama. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Upaya pencegahan  

1). Di daerah yang warga nya hidup dalam lingkungan dimana densitas kutunya 

tinggi, taburkan bubuk insektisida yang punya efek residual pada pakaian dan pada 

tubuh orang yang diduga mengandung kutu. Lakukan dengan interval yang tepat. 

Insektisida yang dipakai hendaknya jenis yang efektif untuk membunuh kutu 

setempat.  

2). Perbaiki kondisi kesehatan lingkungan dengan fasilitas air yang mencukupi untuk 

mencuci pakaian dan mandi. 

3). Lakukan tindakan profilaktik terhadap mereka yang tinggal didaerah risiko tinggi 

dengan menaburkan insektisida yang memiliki  efek residual pada pakaian atau 

dengan cara impregnasi. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar  

1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat: Demam tifus yang ditularkan oleh 

kutu sesuai dengan anjuran WHO merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, 

Kelas 1A (lihat tentang laporan penyakit menular) 

2). Isolasi: Tindakan isolasi tidak perlu dilakukan kalau sudah dilakukan upaya 

pemberantasan kutu dengan benar yaitu terhadap pasien, pakaian, lingkungan 

tempat tinggal dan terhadap kontak. 

 

 565

3). Disinfeksi serentak: Taburkan bubuk insektisida pada pakaian dan tempat tidur 

penderita dan kontak. Cucilah pakaian dan sprei yang digunakan oleh penderita. 

Kutu cenderung menjauhi suhu tubuh yang tinggi dan suhu tubuh yang dingin, 

mereka cenderung mencari tubuh yang ditutupi pakaian dengan suhu normal (lihat 

bab 9A1, diatas). 

4). Karantina: Mereka yang tubuhnya mengandung kutu dan terpajan dengan 

penderita tifus harus dikarantina selama 15 hari setelah badannya ditaburi dengan 

insektisida dengan efek residual. 

5). Penanganan kontak: Semua kontak harus diamati terus menerus selama 2 minggu. 

6). Investivigasi kontak dan sumber infeksi: segala upaya harus dilakukan untuk 

melacak sumber penularan. 

7). Pengobatan spesifik: Pada saat KLB pemberian doksisiklin dosis tunggal 200mg 

biasanya sudah cukup untuk menyembuhkan penderita. Pemberian tetrasiklin atau 

kloramfenikol dengan dosis awal 2 – 3 gram diikuti dengan dosis 1 – 2 gram/hari 

dibagi dalam 4 dosis sampai penderita tidak demam lagi (biasanya 2 hari) 

ditambah 1 hari. Jika mendapatkan penderita yang diduga tifus dengan penyakit 

berat, segera lakukan pengobatan tanpa harus menunggu konfirmasi hasil 

laboratorium. 

 

C. Upaya penanggulangan wabah  

Upaya yang dilakukan secara cepat menanggulangi KLB tifus yaitu   dengan cara 

menaburkan insektisida dengan efek residual terhadap seluruh kontak. Jika disuatu 

daerah diketahui bahwa penyebaran kutu sangat luas maka lakukan tindakan 

penaburan insektisida dengan efek residual secara sistematik terhadap seluruh anggota 

warga . Pemberian pengobatan yang tepat terhadap penderita membantu 

mencegah penyebaran penyakit. 

 

D. Implikasi bencana  

Ditempat penampungan pengungsi, ditempat dimana orang banyak berkumpul dapat 

terjadi KLB tifus jika didaerah ini  yaitu   daerah endemis dengan densitas kutu 

yang tinggi. 

 

E. Pengukuran lebih lanjut  

1). Negara yang terjangkit demam tifus yang ditularkan kutu di daerah yang tadinya 

tidak ada kasus, wajib melaporkan kepada WHO secepat mungkin. 

2). Wisatawan mancanegara: Tidak satupun negara didunia yang mewajibkan para 

wisatawan untuk mendapatkan imunisasi sebelum memasuki negara ini . 

3). Tifus yang ditularkan oleh kutu termasuk didalam grafik penyakit dibawah 

Surveilans WHO. Manfaatkan pusat pusat kerjasama WHO. 

 

II.  Demam Tifus Endemik yang ditularkan kutu  ICD-9 081.0; ICD-10 A75.2 

  (Murine typhus, Shop typhus) 

 

1. Identifikasi 

 yaitu   penyakit yang disebabkan oleh rickettsia yang perjalanan penyakitnya mirip 

dengan demam tifus wabahi yang ditularkan oleh kutu (louse), namun lebih ringan. CFR 

untuk semua umur lebih rendah dari 1%.  

 

 566

 CFR meningkat dengan meningkatnay usia penderita. Tidak ditemukannya kutu (louse) 

disuatu wilayah, distribusi penyakit yang secara geografis dan menurut musim muncul 

secara sporadis membantu membedakannya dengan demam tifus wabahi yang ditularkan 

oleh kutu (louse borne). Untuk konfirmasi diagnosis secara laboratoris (lihat seksi I, 1 

diatas) 

 

2. Pemicu  Penyakit: – Rickettsia typhi (Rickettsia mooseri); Rickettsia felis. 

 

3. Distribusi penyakit  

  Penyakit ini tersebar diseluruh dunia. Ditemukan didaerah dimana orang tinggal bersama 

tikus. DI AS kurang dari 80 penderita dilaporkan setiap tahun. Puncak musiman jumlah 

penderita ditemukan pada musim panas dan musim gugur. Kasus tersebar secara sporadis, 

proporsi tertinggi ditemukan di Texas dan California bagian selatan. Kasus lebih dari satu 

orang dapat dijumpai dalam satu anggota keluarga. 

 

4. Reservoir  

 Tikus besar, tikus kecil dan mamalia lainnya berperan sebagai reservoir. Siklus penularan 

berlangsung melalui kutu pada tikus, biasanya jenis tikusnya yaitu   Rattus rattus, dan R. 

novergicus. Infeksi biasanya berlangsung tanpa gejala. Mikroorganisme lain, Rikettsia 

felis ditemukan dalam siklus penularan dari kucing ke kucing melalui kutu kucing, 

ditemukan di California bagian selatan dan mungkin juga ditemukan ditempat lain. 

Penularan dari kucing kepada opossums (binatang sejenis kucing). 

 

5. Cara penularan  

 Kutu tikus yang terinfeksi (biasanya jenis Xenopsylla cheopis) membuang kotoran pada 

waktu menghisap darah dan didalam kotorannya mengandung rickettsia. Kotoran yang 

mengandung rikcettsia ini mencemari luka gigita dan daerah kulit lainnya yang 

mengalami luka. Penularan kadang-kadang dapat terjadi melalui inhalasi kotoran kering 

yang infektif dari kutu tikus. Infeksi oleh rickettsia dapat terjadi pada opposums, kucing, 

anjing, binatang liar dan domestik lainnya. Penyakit pada binatang ini yaitu   sembuh 

dengan sendirinya, tapi dapat menular kepada manusia melaui kutu kucing 

Chenocephalides felis. 

 

6. Masa inkubasi:  1 – 2 minggu, biasanya rata-rata 12 hari.  

 

7. Masa penularan: Penularan tidak terjadi dari manusia ke manusia sekali kutu binatang 

terinfeksi, mereka dapat menularkan penyakit selama hidup kutu ini  yaitu sampai 

satu tahun. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap infeksi penyakit ini, infeksi 

menimbulkan kekebalan. 

 

 

 

 

 

 

 567

9. Cara–cara pemberantasan  

A. Cara-cara pencegahan : 

1). Tebarkan bubuk pestisida dengan efek residual pada tempat-tempat yang dilewati 

tikus, lobang-lobang tikus, tempat kapal berlabuh, tempat penampungan 

pengungsi. 

2). Untuk menghindari pemajanan terhadap manusia, lakukan tindakan untuk 

menurunkan populasi kutu terlebih dahulu dengan memakai   insektisida 

sebelum menerapkan upaya pemberantasan tikus (lihat tentang Pes pada 9A2 – 

9A3, 9B6) 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat: kasus wajib dilaporkan hampir 

diseluruh negara bagian di AS dan dihampir disemua negara didunia, kelas B (lihat 

tentang pelaporan penyakit menular) 

2). Isolasi: Tidak ada 

3). Disinfeksi serentak: tidak dilakukan 

4). Karantina: Tidak dilakukan 

5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: cari dan temukan tikus atau opossums 

(binatang sejenis kucing liar yang hidup dihutan) disekitar rumah penderita. 

7). Pengobatan spesifik: sama dengan pengobatan untuk Rocky Mountain Spotted 

Fever (q.v).  

 

C. Penanggulangan wabah: Didaerah endemis dimana ditemukan banyak kasus pamakaian 

insektisida dengan efek residual yang efektif terhadap kutu tikus dan kutu kucing akan 

sangat membantu menurunkan index kutu dan insidensi penyakit pada manusia. 

 

D. Implikasi Bencana: Kasus dapat timbul apabila tikus, manusia dan kutu sebab  suatu 

keadaan berada dalam koeksistensi bersama seperti pada trempat-tempat pengungsi. 

Namun tifus murine tidak muncul sebagai KLB pada situasi seperti itu. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan pusat-pusat kerjasama WHO yang ada. 

 

 

III.  TIFUS SCRUB     ICD-9 081.2; ICD-10 A75.3 

  (Penyakit tsutsugamushi, demam tifus yang ditularkan oleh ngengat) 

 

1. Identifikasi  

  Penyakit yang disebabkan oleh rickettsia yang ditandai dengan munculnya ulcus primer 

pada kulit dengan bentuk “punched out” pada bagian kulit yang digigit oleh larva ngengat 

yang terinfeksi. Beberapa hari kemudian muncul demam, sakit kepala, keringat 

berlebihan, injeksi konjungtiva, limfadenopati. Seminggu setelah demam berlangsung 

muncul erupsi pada kulit yang berbentuk makulopapuler berwarna merah gelap pada 

bagian tubuh, menyebar ke tungkai dan menghilang dalam beberapa hari. Sering disertai 

dengan batuk dan pada pemeriksaan radiologis pada paru ditemukan pneumonitis. Tanpa 

dilakukan pengobatan dengan antibiotika yang tepat demam hilang pada hari ke 14. 

 

 

 568

  CFR penderita yang tidak mendapat pengobatan berkisar antara 1 – 60%, tergantung 

dimana orang itu terkena, jenis rickettsia yang menginfeksi dan tergantung pula pada 

riwayat orang ini  terhadap infeksi sebelumnya. Namun CFR selalu lebih tinggi pada 

usia yang lebih tua. 

 

2. Pemicu  penyakit: Orientia tsutsugamushi yang secara serologis ditemukan ada banyak 

strain yang berbeda. 

 

3. Distribusi penyakit  

  Penyakit ini tersebar di Asia bagian Tengah, Timur dan Tenggara. Kemudian ditemukan 

tersebar mulai dari Siberia tenggara, Jepang bagian utara sampai pada kewilayah bagian 

utara Australia dan Vanuatu, palestina bagin barat, lereng Himalaya sampai ketinggian 

10.000 kaki dan banyak ditemukan terutama di Thailand bagian utara. Biasanya manusia 

mendapatkan infeksi dari tempat yang ukurannya relatif sangat kecil bahkan dalam ukuran 

meter persegi dimana ditempat ini  rickettsia, vektor dan rodentia hidup 

berkoeksistensi dengan baik. Tempat yang terbatas ini  dinamakan “typhus islands”. 

Distribusi penyakit menurut jender sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan. Orang dewasa 

yang bekerja pada daerah endemis tifus scrub dan didaerah yang densitas populasi 

ngengatnya tinggi kemungkinan tertular sangat besar. Misalnya mereka yang bekerja pada 

pembukaan lahn dihutan, daerah padang pasir yang diirigasi. KLB tifus dapat terjadi 

apabila mereka yang rentan masuk kedaerah endemis, terutama pada waktu dilakukan 

operasi militer, 20 – 50% dari mereka akan terinfeksi dalam beberpa minggu atau dalam 

beberapa bulan.  

 

4. Reservoir: Yang menjadi reservoir yaitu   stadium larva dari ngengat jenis 

Leptotrombidium abamushi, L. Deliensis dan species jenis lain tergantung wilayahnya. 

Species ini  yang paling umum diketahui sebagai vektor trhadap manusia. Siklus 

penularan pada ngengat berlangsung melalui rute transovarian. 

 

5. Cara penularan: Melalui gigitan larva dari ngengat yang terinfeksi stadium nimfe dan 

ngengat dewasa tidak hidup dari hospes vertebrata. 

 

6. Masa Inkubasi: Masa inkubasi bisanya berlangsung 10 – 12 hari; bervariasi antara 6 – 21 

hari. 

 

7. Masa penularan: Tifus scrub tidak ditularkan dari orang ke orang 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap penyakit ini, seseorang yang 

terserang penyakit ini akan kebal dalam waktu yang cukup panjang terhadap strain 

homolog dari O. tsutsugamushi dan hanya menimbulkan kekebalan sementara terhadap 

strain heterolog. Infeksi oleh strain heterolog dalam beberapa bulan akan menimbulkan 

penyakit yang ringan, namun setahun kemudian akan muncul penyakit yang khas. 

Serangan kedua dan ketiga terhadap mereka yang tingal di daerah endemis dapat terjadi 

secara alamiah pada orang-orang yang tinggal di daerah endemis, biasanya penyakit yang 

ditimbulkan sangat ringan bahkan tanpa gejala. Atau serangan kedua dan ketiga dapat 

terjadi pada mereka yang pernag terinfeksi namun tidak mendapatkan pengobatan dengan 

sempurna. Pada berbagai percobaan yang dilakukan belum ditemukan jenis vaksin yang 

efektif. 

 

 569

9. Cara-cara pemberantasan  

A. Upaya pencegahan 

1). Hindari kontak dengan ngengat yang terinfeksi dengan upaya profilaktis yaitu 

dengan mengenakan pakaian dan selimut yang telah diberi mitisida (permethrin 

dan benzyl benzoate), memakai repelan (diethyltoluamide, Deet®) pada kulit yang 

tidak tertutup pakaian. 

2). Basmilah ngengat dari tempat-tempat tertentu dengan cara menaburkan bahan 

kimia dengan komposisi hidrokarbon klorida seperti lindane, dieldrin atau 

chlordane ditanah serta vegetasi disekitar tenda perkemahan, bangunan 

dipertambangan dan disekitar dearah yang dihuni banyak orang didaerah endemis. 

3). Pemberian doxycycline selama 7 minggu dengan dosis tunggal sebanyak 200 

mg/minggu yang diberikan kepada sekelompok sukarelawan di Malaysia terbukti 

cukup efektif untuk mencegah terjadinya infeksi tifus scrub. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat; Didaerah endemis, tifus scrub dapat 

dibedakan dengan tifus murin dan tifus yang ditularkan oleh tuma (louseborne 

typhus). Dikebanyakan negara penyakit ini bukan sebagai penyakit yang wajib 

dilaporkan, kelas 3A (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi: Tidak dilakukan 

3). Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan 

4). Karantina: Tidak dilakukan 

5). Imunisasi tehadap kontak: Tidak dilakukan 

6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Tidak dilakukan (lihat pada 9C 

dibawah) 

7). Pengobatan spesifik: Tetrasiklin dosis tunggal (loading dose), diikuti dengan dosis 

terbagi setiap hari sampai dengan penderita tidak demam lagi (rata-rata selama 30 

jam). Kloramfenikol juga cukup efektif dan hanya diberikan jika ada indikasi 

kontra pemberian tetrasiklin (lihat seksi I, 9B7 diatas). Jika pengobatan baru 

dimulai 3 hari setelah sakit maka kemungkinan kambuh kembali besar sekali 

kecuali jika diberikan segera dosis kedua  dengan interval 6 hari. Di Malaysia 

pemberian doxycycline dosis tunggal (5 mg/kg/BB) cukup efektif jika diberikan 

pada hari ke tujuh, sedngkan di Pulau Pescadores (Taiwan) diberikan pada hari ke 

lima.  Jika dosis kedua ini diberikn lebih awal dari lima hari diperkirakan dapat 

terjadi relaps. Azithromycin berhasil baik digunakan pada penderita yang sedang 

hamil. 

  

C. Upaya penanggulangan wabah   

Dalam upaya mengatasi wabah, terapkan secara ketat apa yang diuraikan pada seksi 

9A1 – 9A2 diatas di daerah terjangkit. Lakukan pengamatan yang ketat terhadap setiap 

warga  dengan risiko tinggi, cari mereka yang demam dan yang dengan lesi primer; 

lakukan pengobatan segera begitu ditemukan ada yang sakit. 

 

D. Implikasi bencana: Penularan dapat terjadi apabila para pengungsi ditempatkan 

didaerah endemis pada situs “typhus islands” atau didekatnya. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO 

 

 570

CUPLAK YANG DISEBABKAN OLEH VIRUS  ICD-9 078.1; ICD-10 B07 

(Verruca vulgaris, Common wart, Condyloma acuminatum, Papilloma venereum) 

 

1. Identifikasi  

  Penyakit virus yang ditandai dengan lesi pada kulit dan selaput lendir dengan bentuk yang 

bervariasi. Penyakit ini antara lain : the common wart (cuplak biasa), lesi dengan batas 

jelas, hiperkeratosis, kasar, papulae tanpa rasa sakit dengan ukuran bervariasi mulai dari 

sebesar kepala jarun pentul sampai dengan ukuran massa yang lebih besar; filiform warts 

(cuplak filiformis) bentuknya panjang, menonjol, lesi panjang dapat mencapai ukuran 1 

cm; papilloma laring pada pita suara dan epiglottis pada anak-anak dan dewasa; flat warts 

(cuplak datar), bentuknya halus, agak menonjol, lesi biasanya multiple dengan ukuran 

bervariasi mulai dari 1 mm sampai dengan 1 cm; condyloma acuminatum (venereal 

warts),  berbentuk bunga kol, tumbuh seperti daging, muncul di tempat basah seperti di 

sekitar alat kelamin, sekitar anus dan rectum dan harus dibedakan dengan condyloma lata 

pada sifilis; papilloma datar pada cervix; cuplak pada telapak kaki (plantar warts), 

bentuknya datar, hiperkeratosis dan biasanya terasa sakit. Papilloma pada larynx dan 

condyloma acuminata pada alat kelamin kadang-kadang menjadi ganas. Cuplak pada 

epidermodysplasia verruciformis biasanya muncul pada torso dan ekstremitas bagian atas 

dan biasanya muncul pada dekade awal dari kehidupan; sering berubah menjadi ganas 

pada usia dewasa muda berupa Squamous cell carcinoma. Diagnosa ditegakkan dengan 

ditemukannnya lesi yang khas. Jika masih ragu, lakukan eksisi untuk dilakukan 

pemeriksaan histologis.  

 

2. Pemicu  infeksi  

  Infeksi disebabkan oleh Humam papillomavirus (HPV) virus DNA grup papopavirus 

(Virus cuplak pada manusia). Dikenal ada 70 jenis tipe HPV yang dapat menimbulkan 

gejala yang spesifik dan lebih dari 20 jenis diantaranya dapat menimbulkan infeksi pada 

alat kelamin. Kebanyakan infeksi HPV pada daerah genital tidak menimbulkan gejala 

klinis, subklinis atau tidak diketahui sama sekali. Cuplak pada alat kelamin yang nampak 

secara klinis biasanya disebabkan oleh HPV tipe 6 atau 11; Virus ini dapat memicu  

lesi pada cervix, vagina, urethra dan anus, kadang-kadang tanpa gejala sama sekali. Jenis 

HPV lain pada daerah anogenital yaitu   tipe 16, 18, 31, 33 dan 35, virus ini sebagai 

penyabab terjadinya displasia, Pemicu  terjadinya squamous intraepithelial neoplasia 

(seperti squamous cell carcinoma in situ, Gowenoid papulosis, Erythroplasia Queyrat, 

penyakit Bowen pada alat kelamin). 

  HPV tipe 7 dikaitkan dengan terjadinya cuplak pada orang yang bekerja manangani 

daging dan pada dokter hewan. Tipe 5 dan tipe 8 dikaitkan dengan terjadinya 

epidermodysplasia verruciformis. 

 

3. Distribusi penyakit: Tersebar di seluruh dunia. 

 

4. Reservoir: –  Manusia 

 

5. Cara-cara penularan: Penularan biasanya melalui kontak langsung. Penularan dapat juga 

sebab  otoinokulasi melalui pisau cukur; lantai yang tercemar dapat juga berperan sebagai 

sumber penularan.  

 

 571

Condyloma acuminatum biasanya ditularkan melalui hubungan kelamin, sedang  

papilloma pada larynx kemungkinan didapatkan melalui penularan jalan lahir pada bayi. 

Jenis virus yang menyerang genitalia dan saluran pernafasan yaitu   sama. 

 

6. Masa inkubasi:  Sekitar 2 - 3 bulan, bervariasi antara 1 - 20 bulan. 

 

7. Masa penularan: Lamanya tidak diketahui dengan pasti, penularan dapat terjadi selama 

masih ditemukan adanya lesi. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Cuplak biasa, cuplak dengan permukaan datar yaitu   yang 

paling sering ditemukan pada anak-anak. sedang  cuplak pada alat kelamin lebih sering 

ditemukan pada mereka yang aktif secara seksual dan cuplak pada telapak kaki ditemukan 

pada anak sekolah dan dewasa muda. Insidensi cuplak meingkat pada penderita dengan 

imunosupresi. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Upaya pencegahan: Hindari kontak dengan lesi dari orang lain. Penelitian yang 

dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa pemakaian kondom pada pria ternyata 

tidak mencegah terjadinya infeksi. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak, dan lingkungan sekitar   

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat tidak dilakukan, kelas 5 (lihat tentang 

pelaporan penyakit menular). 

2). Isolasi: Tidak dilakukan  

3). Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan 

4). Karantina: Tidak dilakukan 

5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan 

6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: terhadap mereka yang kontak dan 

melakukan hubungan seks dengan penderita cuplak pada alat kelamin, harus 

dilakukan pemeriksaan dan bila perlu diberikan pengobatan. 

7). Pengobatan spesifik: pengobatan terhadap penderita akan mengurangi jumlah 

virus yang dapat ditularkan oleh penderita. Cuplak akan mengalami regresi secara 

spontan dalam beberapa bulan atau beberapa tahun. Untuk lesi pada permukaan 

tubuh dibekukan dengan memakai   nitrogen cair. Untuk cuplak pada telapak 

kaki dilakukan kuretase atau ditempeli dengan plaster asam salisilat. sedang  

lesi pada alat kelamin digunakan podophyllin 10 – 25% dalam larutan tinctura 

benzoin, asam trichlor asetat atau nitrogen cair – kecuali pada wanita hamil ini 

tidak digunakan. 

Untuk lesi pada alat kelamin yang cukup luas digunakan 5-fluorouracil. 

Pengobatan yang efektif untuk Condyloma acumunata memakai   recombinant 

interferon alpha 2b (Intron A® Schering) disuntikkan kedalam lesi. Untuk 

papilloma pada larynx dilakukan tindakan operatif atau penggunaan sinar laser. 

Jika terjadi papillomatosis yang cukup luas pada wanita hamil, dilakukan operasi 

caesar untuk melahirkan bayi mereka. 

 

 

 

 572

8). Pemeriksaan mikroskopis dengan pengecatan Papanicolau sangat efektif untuk 

menemukan kelainan sel secara dini untuk mengetahui adanya kecenderungan 

keganasan pada wanita. Tindakan operatif yang segera dilakukan terhadap kanker 

mulut rahim sangat membantu penyembuhan. 

 

C. Tindakan penanggulangan wabah: Penyakit ini tidak menimbulkan wabah, hanya 

muncul secara sporadis. 

 

D. Dampak terhadap bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada 

 

 

PATEK        ICD-9 102; ICD-10 A66 

(Yaws, Frambusia tropika)  

 

1. Identifikasi 

  Penyakit frambusia atau patek yaitu   suatu penyakit kronis, relaps (berulang), 

nonvenereal treponematosis, lesinya berupa lesi kulit primer dan sekunder yang sangat 

menular dan lesi yang tidak menular yaitu   lesi tersier (lanjut) yang destruktif.  Lesi awal 

yang tipikal (patek induk) yaitu berupa papilloma yang timbul pada wajah dan ekstremitas 

(biasanya pada kaki) muncul dalam beberapa minggu atau bulan, biasanya tidak nyeri 

kecuali jika ada infeksi sekunder. Proliferasinya lambat dan dapat membentuk lesi 

frambusia (raspberry)  atau lesi dengan ulcus (ulceropapilloma). Diseminasi sekunder 

atau papilloma satelit timbul sebelum atau segera setelah lesi awal sembuh, lesi ini timbul 

dan tumbuh bergerombol serta sering disertai dengan periostitis pada tulang panjar (saber 

shin) dan jari (polidaktilitis) dan gejala konstitusional yang ringan. Papilloma dan 

hyperkeratosis pada telapak tangan dan kaki dapat timbul baik pada stadium awal atau 

lanjut : lesi ini  menimbulkan rasa nyeri yang hebat dan biasanya menimbulkan 

disabilitas. Lesi akan sembuh spontan namun  dapat timbul kembali pada tempat lain selama 

fase awal dan lanjut. 

  Stadium akhir memiliki ciri-ciri berupa lesi destruktif pada kulit dan tulang, terjadi pada 

10 – 20% dari penderita yang tidak mendapatkan pengobatan, biasanya muncul setelah 5 

tahun atau lebih setelah terinfeksi. Penularan secara kongenital tidak ada dan infeksi 

jarang sekali terjadi dan jika sampai terjadi maka infeksi biasanya berakibat fatal dan 

menimbulkan kecacatan. Tidak seperti pada infeksi oleh sifilis, frambusia tidak 

menyerang otak, mata, aorta atau alat-alat pada abdomen. 

 Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan dengan mikroskop lapangan gelap atau 

pemeriksaan mikroskopik langsung FA dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau 

sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (Venereal Disease 

Research Laboratory), RPR (Rapid Plasma Reagin) reaktif pada stadium awal penyakit 

menjadi non reaktif setelah beberapa tahun kemudian, walaupun tanpa terapi yang 

spesifik, dalam beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil yang terus reaktif pada titer 

rendah seumur hidup. Test serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (Fluorescent 

Trepanomal Antibody – Absorbed), MHA-TP (Microhemagglutination assay for antibody 

to T. pallidum) biasanya tetap reaktif seumur hidup. 

 

 573

2 Pemicu  penyakit: Treponema pallidum, subspesies pertenue dari spirochaeta 

 

3 Distribusi penyakit 

  Terutama menyerang anak-anak yang tinggal didaerah tropis di pedesaan yang panas, 

lembab, lebih sering ditemukan pada laki-laki. Prevalensi frambusia secara global 

menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal 

pada tahun 1950-an dan 1960-an, namun penyakit frambusia muncul lagi di sebagian 

besar daerah katulistiwa dan afrika barat dengan penyebaran fokus-fokus infeksi tetap di 

daerah Amerika latin, kepulauan Karibia, India, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik 

Selatan. 

 

4. Reservoir: Manusia dan mungkin primata kelas tinggi 

 

5. Cara penularan: Prinsipnya berdasarkan kontak langsung dengan eksudat pada lesi awal 

dari kulit orang yang terkena infeksi. Penularan tidak langsung melalui kontaminasi akibat 

menggaruk, barang-barang yang kontak dengan kulit dan mungkin juga melalui lalat yang 

hinggap pada luka terbuka, namun hal ini belum pasti. Suhu juga mempengaruhi 

morfologi, distribusi dan tingkat infeksi dari lesi awal. 

 

6. Masa inkubasi: Dari 2 hingga 3 minggu 

 

7. Masa penularan: Masa penularan bervariasi dan dapat memanjang yang muncul secara 

intermiten selama beberapa tahun barupa lesi basah. Bakteri Pemicu  infeksi biasanya 

sudah tidak ditemukan pada lesi destruktif stadium akhir. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Tidak ada bukti adanya kekebalan alamiah atau adanya 

kekebalan pada ras tertentu. Infeksi memicu  timbulnya kekebalan terhadap reinfeksi 

dan dapat melindungi orang ini  terhadap infeksi dari kuman golongan treponema lain 

yang patogen. 

 

9. Cara – cara pemberantasan 

A. Upaya pencegahan:  Walaupun Pemicu  infeksi sulit dibedakan dengan teknik yang 

ada pada saat ini. Begitu pula perbedaan gejala-gejala klinis dari penyakit ini  

sulit ditemukan. Dengan demikian membedakan penyakit treponematosisi satu sama 

lainnya hanya didasarkan pada gambaran epidemiologis dan faktor linkungan saja. 

Hal-hal yang diuraikan pada butir-butir berikut ini dapat dipergunakan untuk 

manangani penyakit frambusia dan penyakit golongan treponematosis non venereal  

lainnya. 

1) Lakukanlah upaya promosi kesehatan umum, berikan pendidikan kesehatan 

kepada warga  tentang treponematosis, jelaskan kepada warga  untuk 

memahami pentingnya menjaga kebersihan perorangan dan sanitasi-sanitasi yang 

baik, termasuk penggunaan air dan sabun yang cukup dan pentingnya untuk 

meningkatkan kondisi sosial ekonomi dalam jangka waktu panjang untuk 

mengurangi angka kejadian. 

2) Mengorganisir warga  dengan cara yang tepat untuk ikut serta dalam upaya 

pemberantasan dengan memperhatikan hal-hal yang spesifik diwilayah ini ; 

 

 574

periksalah seluruh anggota warga  dan obati penderita dengan gejala aktif atau 

laten. Pengobatan kontak yang asimtomatis perlu dilakukan dan pengobatan 

terhadap seluruh populasi perlu dilakukan jika prevalensi penderita dengan gejala 

aktif lebih dari 10%. Survei klinis secara rutin dan surveilans yang 

berkesinambungan merupakan kunci sukses upaya pemberantasan. 

3) Survey serologis untuk penderita laten perlu dilakukan terutama pada anak-anak 

untuk mencegah terjadinya relaps dan timbulnya lesi infektif yang memicu  

penularan penyakit pada komunitas tetap berlangsung. 

4) Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang mamadai untuk dapat melakukan 

diagnosa dini dan pengobatan dini sebagai bagian dari rencana kampanye 

pemberantasan di warga  (lihat butir 9A2 di atas). Hendaknya fasilitas 

diagnosa dan pengobatan dini terhadap frambusia ini merupakan bagian yang 

terintegrasi pada fasilitas pelayanan kesehatan setempat yang permanen. 

5) Lakukan penanganan terhadap penderita cacat dan penderita dengan gejala lanjut. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Di daerah endemis tertentu 

dibeberapa negara tidak sebagai penyakit yang harus dilaporkan, kelas 3B (lihat 

laporan tentang penularan penyakit) membedakan treponematosis venereal & non 

venereal dengan memberikan laporan yang tepat untuk setiap jenis, yaitu   hal 

yang penting untuk dilakukkan dalam upaya evaluasi terhadap kampanye 

pemberantasan di warga  dan penting untuk konsolidasi penanggulangan pada 

periode selanjutnya. 

2) Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari kontaminasi 

lingkungan sampai luka sembuh. 

3) Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan 

discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur. 

4) Karantina: Tidak perlu 

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu 

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang kontak dengan 

penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak memperlihatkan gejala aktif 

diperlakukan sebagai penderita laten. Pada daerah dengan prevalensi rendah, obati 

semua penderita dengan gejala aktif dan semua anak-anak serta setiap orang yang 

kontak dengan sumber infeksi. 

7) Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas dengan gejala aktif 

dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal benzathine penicillin G 

(Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk penderita usia dibawah 10 tahun. 

 

C. Upaya penanggulangan wabah: Lakukan program pengobatan aktif untuk warga  

di daerah dengan prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program ini yaitu  : 1) 

pemeriksaan terhadap sebagian besar warga  dengan survei lapangan; 2) 

pengobatan terhadap kasus aktif yang diperluas pada keluarga dan kelompok 

warga  sekitarnya berdasarkan bukti adanya prevalensi frambusia aktif; 3) lakukan 

survei berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun sebagai bagian integral dari 

pelayanan kesehatan warga  pedesaan disuatu negara.     

 

 

 575

D. Implikasi bencana: Tidak pernah terjadi penularan pada situasi bencana namun  potensi 

ini tetap ada pada kelompok pengungsi didaerah endemis tanpa fasilitas sanitasi yang 

memadai. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Untuk melindungi suatu negara dari risiko timbulnya 

reinfeksi yang sedang melakukan program pengobatan massal aktif untuk warga , 

maka negara tetangga di dekat daerah endemis harus melakukan penelitian untuk 

menemukan cara penanganan yang cocok untuk penyakit frambusia. Terhadap 

penderita yang pindah melewati perbatasan negara, perlu dilakukan pengawasan (lihat 

sifilis bagian I, 9E). Manfaatkan Pusat Kerjasama WHO. 

 

 

 

DEMAM KUNING (YELLOW FEVER)    ICD-9 060; ICD-10 A95 

 

 

1. Identifikasi 

  Penyakit infeksi virus akut dengan durasi pendek dan dengan tingkat mortalitas yang 

bervariasi. Kasus teringan mungkin tidak mudah dapat ditemukan secara klinis, serangan 

khas dengan ciri tiba-tiba demam, menggigil, sakit kepala, nyeri punggung, nyeri otot 

diseluruh badan, lelah, mual dan muntah.  Denyut nadi biasanya menjadi lemah dan pelan 

walaupun terjadi peningkatan suhu (tanda Faget). Icterus sedang kadang-kadang 

ditemukan pada awal  penyakit dan kemudian menjadi lebih jelas. Kadang-kadang juga 

ditemukan albuminuri yang jelas dan dapat terjadi anuria. Lekopenia dapat timbul lebih 

awal dan terlihat jelas sekitar hari ke lima. Kebanyakan infeksi membaik pada stadium ini. 

Setelah remisi singkat selama beberapa jam hingga satu hari, beberapa kasus berkembang 

menjadi stadium intoksikasi yang lebih berat ditandai dengan gejala hemoragik 

pendarahan seperti epistaksis (mimisan), perdarahan gingiva, hematemesis (seperti warna 

air kopi atau hitam), melena, gagal ginjal dan hati, 20% - 50% kasus, icterus berakibat 

fatal. Secara keseluruhan mortalitas kasus dikalangan warga  asli didaerah endemis 

sekitar 5% tapi dapat mencapai 20% - 40% pada wabah tertentu. 

 Diagnosa laboratorium antara lain dibuat dengan cara mengisolasi virus dari darah hasil 

inokulasi pada tikus, nyamuk atau kultur sel (terutama dengan sel-sel nyamuk); dengan 

ditemukannya antigen virus didalam darah dengan ELISA atau virus ditemukan dalam 

darah dan jaringan hati dengan antibodi spesifik yang sudah diberi label; dan dengan 

ditemukannya genome virus dalam darah jaringan hati dengan metode PCR atau 

“hybridization probes”. Pemeriksaan serologis dibuat dengan mendemonstrasikan adanya 

antibodi IgM spesifik pada awal sera atau peningkatan titer antibodi spesifik pada sera 

yang akut dan konvalesen. Reaksi silang serologis timbul dengan flavi virus lainnya. 

Infeksi baru oleh virus dapat dibedakan dengan kekebalan yang diakibatkan oleh vaksin 

melalui uji fiksasi komplementer. Penegakan diagnosa juga dapat ditunjang dengan 

adanya lesi khas pada hepar. 

 

2. Pemicu  Penyakit: Virus demam kuning dari genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. 

 

 

 

 576

3. Distribusi penyakit 

 Di alam demam kuning ditemukan dalam bentuk dua siklus penularan, siklus sylvatic atau 

siklus penularan di hutan yang melibatkan nyamuk dan primata dan siklus urban yang di 

dalamnya melibatkan nyamuk Aedes aegypti dan manusia. Penularan dengan siklus 

sylvatic hanya ditemukan didaerah Afrika dan Amerika Latin, dimana ada beberapa ratus 

kasus ditemukan setiap tahun, dan paling sering menyerang usia dewasa muda yaitu  

mereka yang bekerja di hutan atau daerah perbatasan di Bolivia, Brasil, Columbia, 

Ekuador dan Peru (70% - 90% kasus dilaporkan dari Peru dan Bolivia). Secara historis, 

demam kuning urban muncul dikota-kota dibenua Amerika dengan pengecualian hanya 

ditemukan beberapa kasus di Trinidad pada tahun 1954 dan tidak ada wabah demam 

kuning yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti di Amerika sejak tahun 1942. Namun 

reinfestasi di beberapa kota besar dengan Aedes aegypti menempatkan kota-kota ini  

pada risiko timbulnya penularan demam kuning. Di Afrika daerah endemis meliputi 

daerah yang terletak di antara 15o  lintang utara dan 10o lintang selatan, memanjang dari 

sebelah selatan gurun sahara hingga daerah utara Anggola, Zaire dan Tanzania. Pada 

beberapa dekade sebelumnya demam kuning yang disebabkan oleh Aedes aegypti hanya 

dilaporkan terjadi di Nigeria dengan ditemukan sekitar 20.000 penderita dan 4.000 

kematian pada tahun 1986 hingga 1991. Tidak ada bukti bahwa demam kuning pernah 

terjadi di Asia atau didaerah pantai timur Afrika, namun demam kuning sylvatic pernah 

dilaporkan terjadi di daerah Kenya bagian barat pada tahun 1992 – 1993   

4. Reservoir 

  Di daerah perkotaan, manusia & Aedes aegypti berperan sebagai reservoir : di hutan, 

reservoir yaitu   vertebrata selain manusia terutama monyet dan mungkin juga marsupialia 

serta nyamuk hutan. Penularan transovarian pada nyamuk memicu  berlanjutnya 

infeksi demam kuning. Manusia tidak memiliki  peran yang berarti dalam siklus 

penularan demam kuning Sylvatic tapi merupakan hospes utama pada siklus penularan 

didaerah perkotaan. 

 

5. Cara penularan  

 Di daerah perkotaan & di beberapa daerah pedesaan penularan terjadi sebab  gigitan 

nyamuk Aedes aegypti. Di hutan-hutan di Amerika Selatan penularan terjadi akibat gigitan 

beberapa spesies nyamuk hutan dari genus Haemagogus. Di Afrika Timur Aedes 

africanus merupakan vector pada populasi kera dimana Ae. Bromeliae dan Ae. Simpsoni 

(semidomestik) dan mungkin spesies aedes lainnya berperan menularkan virus dari kera 

ke manusia. Di daerah yang pernah mengalami wabah yang luas seperti di Ethiopia, studi 

epidemiologis membuktikan Ae. Simpsoni berperan sebagai vector yang menularkan virus 

dari orang ke orang. Di Afrika Barat Ae. furcifer taylori, Ae. luteocephalus dan spesies 

lain berperan sebagai vector penularan viru dari monyet ke manusia. Ae. Albopictus 

dibawa ke Brazil dan Amerika Serikat dari Asia dan diduga sangat potensial berperan 

sebagai jembatan perantara antara siklus demam kuning tipe sylvatic dengan siklus tipe 

perkotaan di belahan bumi bagian barat. Walaupun demikian hingga saat ini keterlibatan 

spesies ini dalam penularan demam kuning belum pernah dilaporkan. 

 

6. Masa inkubasi:  3 hingga 6 hari 

 

 

 577

7. Masa penularan: Darah penderita sudah infektif terhadap nyamuk sebelum timbul 

demam dan sampai pada hari ke 3 –5 sakit, penyakit ini sangat menular jika anggota 

warga  yang rentan dalam jumlah banyak hidup bersama-sama dengan vektor nyamuk 

dengan densitas yang tinggi; tidak menular melalui kontak atau benda yang tersentuh 

penderita. Masa (periode) inkubasi ekstrintik pada Ae. aegypti umumnya berkisar antara 9 

– 12 hari pada temperatur daerah tropis, dan pada umumnya jika sudah terinfeksi maka 

seumur hidup virus akan terus berada di tubuh nyamuk. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Penyembuhan dari demam kuning diikuti dengan terjadinya 

kekebalan seumur hidup, adanya serangan kedua dan selanjutnya tidak diketahui. Infeksi 

ringan sangat umum terjadi di daerah endemis. Kekebalan pasif pada bayi yang baru lahir 

yang didapat dari ibunya dapat bertahan hingga 6 bulan.  Jika terjadi infeksi alamiah 

antibodi terbentuk di dalam darah pada permulaan minggu pertama. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan 

1) Buat program imunisasi aktif bagi semua bayi berusia 9 bulan ke atas yang oleh 

sebab  tempat tinggal, pekerjaanya, atau sebab  melakukan perjalanan yang 

memicu  mereka memiliki  risiko terpajan dengan infeksi. Satu dosis 

injeksi subkutan vaksin yang mengandung biakan virus strain 17D dari demam 

kuning pada embrio ayam, efektif memberi perlindungan hingga 99%. Antibodi 

terbentuk 7 – 10 hari setelah imunisasi dan bertahan sedikitnya hingga 30 – 35 

tahun, mungkjin lebih lama. Walaupun demikian imunisasi ulang diharuskan bagi 

orang yang bepergian ke daerah endemis dalam jangka waktu 10 tahun sesuai 

dengan International Health Regulation. 

 Sejak tahun 1989 WHO menyarankan bagi negara-negara Afrika yang termasuk 

didalam apa yang disebut dengan endemic – epidemic belt agar memasukkan 

vaksin demam kuning kedalam imunisasi rutin mereka yang diberikan pada usia 

bayi. Sejak bulan Maret 1998 ada 17 negara Afrika yang telah melaksanakan 

anjuran ini , namun hanya dua negara saja yang mencapai cakupan 50%. 

Vaksin demam kuning tidak boleh diberikan kepada bayi kurang dari usia 4 bulan. 

Vaksinasi terhadap bayi usia 4 – 9 bulan hanya diberikan dengan pertimbangan 

yang sangat kuat bahwa bayi ini  benar-benar berisiko tertular oleh demam 

kuning oleh sebab  kemungkinan mereka terpajan sangat besar. Pemberian 

vaksinasi pada usia ini dengan memperhitungkan kemungkinan terjadinya 

ensefalitis pasca vaksinasi. Oleh sebab  vaksin demam kuning mengandung virus 

hidup, maka tidak boleh diberikan kepada orang dimana pemberian vaksin yang 

mengandung virus hidup merupakan kontra indikasi. Begitu pula tidak boleh 

diberikan kepada ibu hamil pada trimester pertama kecuali bahwa risiko tertulari 

demam kuning lebih besar daripada risiko vaksinasi terhadap kehamilan. 

Walaupun belum pernah dilaporkan adanya kematian janin pada wanita hamil 

yang diberikan vaksinasi demam kuning, serokonversi maternal sangat rendah oleh 

sebab  itu perlu diberikan vaksinasi ulang setelah melahirkan. Pemberian vaksinasi 

dianjurkan bagi penderita HIV yang asimptomatis. Tidak ada bukti yang cukup 

bahwa pemberian vaksinasi pada penderita HIV yan simptomatik membahayakan 

penderita ini  untuk terkena demam kuning. 

 

 578

2) Untuk memberantas demam kuning diperkotaan yang paling penting dilakukan 

yaitu   membasmi nyamuk Ae. Aegypti. Jika diperlukan lakukan imunisasi. 

3) Demam kuning sylvanic atau demam kuning tipe hutan ditularkan oleh 

Haemogogus dan species Aedes. Untuk demam kuning tipe ini tindakan yang 

paling baik untuk memberantasnya yaitu   dengan cara melakukan imunisasi yang 

diberikan kepada semua warga  pedesaan yang oleh sebab  pekerjaannya 

mereka terpajan dengan hutan yang endemis demam kuning. Imunisasi juga 

diberikan kepada orang-orang yang berkunjung kedaerah hutan yang endemis 

demam kuning. Bagi mereka yang tidak diimunisasi, dianjurkan agar melindungi 

diri mereka dari gigitan nyamuk dengan memakai   baju lengan panjang dan 

celana panjang, memakai repelan (obat gosok anti nyamuk) serta memasang 

kelambu pada waktu tidur. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat : Laporan adanya penderita demam 

kuning diwajibkan oleh International Health Regulation (1969), IHR beranotasi 

edisi ke 3 (1983), yang diperbaharui dan dicetak kembali pada tahun 1992, WHO, 

Geneva, kelas C (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

Catatan: IHR saat ini sedang direvisi dan diharapkan selesai pada tahun 2005 untuk 

mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang menyangkut segala peristiwa 

Public Health of International Concern. 

2) Isolasi: Kewaspadaan universal terhadap darah dan cairan tubuh paling sedikit 

sampai dengan 5 hari setelah sakit, penderita yang sedang dirawat agar dihindari 

terhadap gigitan nyamuk. Ruang perawatan agar dipasangi kasa nyamuk, tempat 

tidur dipasangi kelambu, ruangan disemprot dengan insektisida dengan efek 

residual. 

3) Disinfeksi serentak: tidak dilakukan disinfeksi. Rumah penderita dan rumah di 

sekitar penderita disemprot dengan insektisida yang efektif. 

4) Karantina: tidak dilakukan 

5) Imunisasi terhadap kontak: keluarga dan mereka yang kontak dengan penderita 

yang sebelumnya belum pernah diimunisasi agar diberikan imunisasi. 

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Lakukan penyelidikan semua 

tempat, termasuk daerah berhutan yang dikunjungi oleh penderita 3 – 6 hari 

sebelum mereka sakit. Tempat-tempat ini  dianggap sebagai fokus penularan, 

awasi semua orang yang berkunjung ke daerah ini . Cari tempa-tempat yan 

pernah dikunjungi oleh penderita dan tempat mereka bekerja beberapa hari 

sebelum mereka sakit. Lakukan penyemprotan terhadap tempat-tempat ini  

dengan insektisida yang efektif untuk mencegah penularan. Lakukan investigasi 

terhadap mereka yang menderita demam walaupun ringan dan orang-orang yang 

meninggal dengan sebab yang tidak jelas terhadap kemungkinan bahwa orang 

ini  menderita demam kuning.  

7) Pengobatan spesifik: Tidak ada 

 

 

 

 

 

 579

C. Penanggulangan wabah  

1) Demam kuning perkotaan yang ditularkan oleh Aedes aegypti: 

a. Lakukan imunisasi massal, dimulai dengan terhadap orang yang terpajan 

dengan penderita kemudian terhadap orang-orang yang tinggal didaerah 

dimana densitas Ae. aegypti-nya tinggi. 

b. Penyemprotan seluruh rumah dengan insektisida yang efektif terbukti dapat 

mencegah terjadinya KLB didaerah perkotaan. 

c. Memusnahkan tempat-tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti (Dengan 

gerakan 3M+), bila diperlukan lakukan pemberian larvasida untuk membunuh 

jentik nyamuk. 

2) Demam kuning Sylvatic atau demam kuning tipe hutan 

a Lakukan pemberian imunisasi segera kepada orang-orang yang tinggal atau 

kepada orang-orang yang memasuki daerah berhutan. 

b Bagi mereka yang belum diimunisasi dilarang mengunjungi daerah berhutan. 

Dan bagi mereka yang baru saja diimunisasi dilarang mengunjungi daerah 

berhutan sampai degan seminggu setelah diimunisasi. 

3) Di daerah dimana demam kuning mungkin timbul, sediakan fasilitas diagnostik 

antara lain fasilitas untuk melakukan laparotomi post mortem untuk dapat 

mengambil spesimen jaringan hati dari penderita yang meninggal dengan gejala 

demam dengan durasi 10 hari. Mengingat bahwa pemeriksaan histopatologis 

terhadap jaringan hati tidak patognomonis untuk demam kuning maka fasilitas 

pemeriksaan serologis untuk konfirmasi diagnosis harus disediakan. 

4) Di Amerika Selatan dan Amerika baian tengah, adanya kematian monyet-monyet 

dihutan (howler and spider monkeys) harus dicurigai adanya demam kuning. 

Lakukan pemeriksaan histopatologis sel hati dan isolasi virus dari monyet-monyet 

yang mati untuk konfirmasi diagnosis. 

5) Survei imunitas terhadap populasi dihutan dengan teknik netralisasi sangat 

bermanfaat dalam upaya pemetaan daerah enzootic. 

Survei serologis pada manusia tidak bermanfaat oleh sebab  imunisasi demam 

kuning telah dilakukan secara luas diwarga . 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut   

1) Segera laporkan kepada WHO dan kepada negara tetangga jika ditemukan kasus 

pertama demam kuning baik itu kasus import, kasus yang ditransfer atau penderita 

indigenous, didaerah yang tadinya tidak pernah ada penderita demam kuning. Agar 

segera dilaporkan juga kepada WHO jika ditemukan focus baru atau reaktivasi 

fokus lama demam kuning pada vertebrata selain manusia. 

2) Lakukan tindakan-tindakan yang diatur dalam International Health Regulation 

(IHR), 1969, Edisi beranotasi ke 3 (1983) dan yang diperbaharui dan dicetak 

kembali pada tahun 1992 (Revisi sedang dilakukan dan akan selesai pada tahun 

2005). 

3) Karantina terhadap hewan: Lakukan karantina terhadap monyet dan primata yang 

datang dari daerah endemis demam kuning. Karantina dilakukan sampai dengan 

lewat 7 hari setelah meningggalkan daerah endemis ini . 

 

 580

4) Perjalanan lebih lanjut : Sebagian besar negara-negara didunia mewajibkan semua 

pengunjung yang datang dari daerah endemis demam kuning untuk menunjukkan 

sertifikat vaksinasi yang masih berlaku (ICV) sebagai bukti bahwa mereka telah 

memperoleh imunisasi demam kuning. Yang diwajibkan untuk memiliki sertifikat 

vaksinasi yang masih berlalu yaitu   mereka yang datang dari daerah endemis 

Afrika dan Amerika Selatan. 

Apabila mereka yang datang dari daerah endemis demam kuning belum 

diimunisasi, maka terhadap mereka harus dilakukan karantina selama 6 hari 

sebelum diijinkan melanjutkan perjalanan mereka. WHO menganjurkan 

pemberian imunisasi kepada mereka yang akan bearkunjung kedaerah endemis 

demam kuning terutama bagi mereka yang akan berkunjung ke daerah diluar kota-

kota besar didaerah endemis dimana demam kuning pada manusia masih 

ditemukan dan diduga bahwa penularan demam kuning juga terjadi pada primata. 

International Certificate of Vaccination (ICV) terhadap demam kuning berlaku 

mulai dari 10 hari sampai dengan 10 tahun setelah vaksinasi. Jika dilakukan 

revaksinasi terhadap orang ini  maka ICV ini  berlalu sampai dengan 10 

tahun setelah tanggal revaksinasi ini . 

 

 

 

 

YERSINIOSIS        ICD-9 D27.8 

YERSINIOSIS INTESTINAL      ICD-10 A04.6 

YERSINIOSIS EKSTRA INTESTINAL    ICD-10 A28.2 

 

 

1. Identifikasi 

 Merupakan penyakit enterik akut yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala yang khas 

berupa diare akut disertai dengan febris (terutama pada anak usia muda), enterokolitis, 

limfadenitis akut pada mesenterium yang gejalanya mirip dengan appendicitis (terutama 

pada anak usia lebih tua dan orang dewasa). Gejala lain berupa eritema nodosa yang 

merupakan komplikasi penyakit ini (10% dari penderit dewasa terutama wanita), arthritis 

pasca infeksi dan dapat juga terjadi infeksi sistemik. Bakteri Pemicu  yaitu   salah satu 

dari dua jenis yaitu Yersenia enterocolitica atau Y. pseudotuberculosis. Diare disertai 

dengan darah dilaporkan terjadi pada ¼ penderita dengan Yersenia enteritis. Infeksi oleh  

Y. enterocolitica dan Y. pseudotuberculosis menimbulkan penyakit dengan gejala klinis 

seperti yang diuraikan diatas dan sebagian besar penderita yang dilaporkan disebabkan 

oleh Y. enterocolitica. sedang  Y. pseudotuberculosis terutama sebagai Pemicu  

adenitis mesenterika, di Jepang bakteri ini dilaporkan memicu  sindroma enteritis 

pada anak (Izumi fever). 

 Diagnosa ditegakkan biasanya dengan pembuatan kultur dari spesimen tinja. Media 

selektif yang digunakan yaitu   Cefsulodin Irgasan Novobiocin (CIN), media ini sangat 

selektif untuk digunakan jika kita mencurigai terjadinya infeksi oleh Yersenia. Dengan 

media ini yersenia dapat diidentifikasi dalam waktu 24 jam pada suhu 320C (89.60F) tanpa 

dilakukan pengayaan dingin (cold enrichment). Untuk mencegah terjadinya pertumbuhan 

flora usus, organisme ini dapat ditangkap dengan memakai   media enterik biasa. 

 

 581

Pengayaan dingin dalam larutan garam penyangga pada suhu 40C (390F) selama 2 – 3 

minggu dapat dipakai untuk menseleksi bakteri ini. Namun sensitivitas dari teknik ini 

hanya dapat mengidentifikasi sebagian kecil saja mikroorganisme lain sebagai Pemicu  

penyakit dengan gejala klinis yang tidak jelas. Yersinia dapat diisolasi dari spesimen darah 

dengan memakai   kultur media darah standard yang tersedia dipasaran. Diagnosa 

serologis dilakukan dengan tes aglutinasi dan Elisa namun pemakaiannya terbatas hanya 

untuk tujuan riset. 

 

2. Pemicu  penyakit 

 Pemicu  penyakit yaitu   basil Gram–negative  Y. pseudotuberculosis yang terdiri dari 6 

serotipe dan 4 subtipe; lebih dari 90% dari infeksi yang terjadi pada manusia dan binatang 

disebabkan oleh grup O strain I. Y. enterocolitica memiliki  50 serotipe dan 5 biotipe 

dan sebagian besar yaitu   non patogenik. Strain patogenik pada manusia biasanya 

pyrazinamidase negative strain patogenik ini antara lain termasuk dalam serotipe O3, O8, 

O9 dan O5, 27 dengan biotipe 1, 2 3 dan 4. Serotipe yang menimbulkan penyakit sebaran 

geografisnya berbeda satu sama lain. Misalnya tipe O3, O9 dan O5, 27 ditemukan di 

Eropa. Strain tipe O8 memicu  KLB di Amerika Serikat, namun O3 muncul sebagai 

serotipe yang paling sering ditemukan I AS pada tahun 1990 an. 

 

3. Distribusi penyakit 

 Penyakit ini tersebar diseluruh dunia Y. pseudotuberculosis pada mulanya yaitu   penyakit 

zoonotik pada burung dan mamalia liar maupun yang domestik, manusia merupakan 

hospes insidental. Y. enterocolitica ditemukan hampir pada semua binatang tanpa 

menimbulkan gejala klinis. Sumber penularan utama yaitu   daging babi, oleh sebab  

faring babi sarat dengan koloni Y. enterocolitica. Sejak tahun 1960-an, Yerseniae 

diketahui sebagai Pemicu  gastroenteritis (sekitar 1 – 3% untuk daerah tertentu) dan 

sebagai Pemicu  limfadenitis mesenterika. Sekitar 2/3 infeksi Y. enterocolitica terjadi 

pada bayi dan anak-anak; sedang  ¾ dari Y. pseudotuberculosis menyerang mereka 

yang berusia 5 – 20 tahun. Kasus pada manusia timbul sebab  tertulari melalui binatang 

peliharaan terutama tertulari dari anak anjing dan anak kucing yang sakit. Angka isolasi 

yang tinggi dari bateri ini dilaporkan terutama pada musim dingin dinegara subtropis 

seperti Eropa (terutama Skandinavia), Amerika Utara dan negara subtropis Amerika 

Selatan. Media penularan KLB yang disebabkan oleh Y. enterocolitica antara lain yang 

pernah dilaporkan yaitu   tahu, jeroan babi. Di AS susu pernah dilaporkan sebagai media 

penularan terjadinya KLB. KLB yang terjadi setelah mengkonsumsi susu yang sudah 

dipasteurisasi, diduga kontaminasi terjadi pada pasteurisasi. Penelitian yang dilakukan di 

Eropa menunjukkan bahwa kasus-kasus yang muncul disebabkan sebab  mengkonsumsi 

daging babi mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna. 

 Oleh sebab  20% dari infeksi pada anak-anak usia lebih tua dan orang dewasa mirip 

dengan appendecitis maka seringkali KLB baru diketahui setelah terjadinya peningkatan 

tindakan appendectomy didaerah tertentu. 

 

4. Reservoir  

 Binatang merupakan reservoir utama dari Yersenia. Babi yaitu   reservoir utama dari Y. 

enterocolitica yang patogenik. Pada musim dingin babi sering berperan sebagai Carrier 

tanpa gejala, dimana pada faring penuh dengan koloni Yersenia. Y. pseudotuberculosis 

tersebar pada berbagai spesies burung dan mamalia terutama pada rodensia dan mamalia 

kecil lainnya.  

 

 582

5. Cara penularan  

 Cara penularan yaitu   melalui rute orofekol sebab  mengkonsumsi makanan dan 

minumam yang terkontaminasi oleh manusia atau binatang yang terinfeksi. Y. 

enterocolitica telah diisolasi dari berbagai jenis bahan makanan; namun jenis yang 

patogenik biasanya ditemukan pada daging babi mentah dan produk makanan yang dibuat 

dari daging babi. Di AS makanan yang berasal dari jeroan babi paling sering menjadi 

sumber infeksi. Kasus-kasus yang muncul di Eropa dihubungkan dengan pemberian 

daging babi mentah kepada bayi. Berbeda dengan penyakit-penyakit lain yang ditularkan 

melalui makanan maka Y. enterocolitica dapat berkembang biak dalam suhu rendah 

didalam lemari es dan dalam kondisi mikroaerofilik. Oleh sebab  itu risiko terinfeksi oleh 

Y. Enterocolitica meningkatt apabila daging yang setengah matang yang tidak dikelola 

dengan baik disimpan didalam kantong plastik. Y. enterocolitia, pernah ditemukan 

dibadan air yang tidak ada Eschrichia coli nya. Infeksi nosokomial terjadi sebab  

memakai darah yang disi


penyakit menular 23


  

dengan embrio. Gejala klinis bisa muncul lebih cepat. 

 

6. Masa Inkubasi: Tidak jelas 

 

7. Masa Penularan: Masa penularan dapat berlangung beberapa tahun pada carrier yang 

tidak diobati. 

8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap infeksi cacing ini. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan  

A. Cara-cara Pencegahan   

1). Beri Penyuluhan kesehatan kepada semua anggota keluarga, terutama anak-anak 

mengenai manfaat penggunaan jamban. 

2). Sediakan fasilitas jamban yang cukup untuk pembuangan kotoran. 

3). Mendorong kebiasaan yang higienis, perilaku hidup bersih dan sehat, terutama 

membiasakan cuci tangan sebelum makan, cucilah sayur sayuran, buah buahan dan 

bahan makanan lainnya sebaik baiknya sebelum di konsumsi, untuk menghindari 

tertelannya tanah dan debu yang mencemari. 

 

 536

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat:  Laporan wajib tidak dilakukan, kelas 5 

(Lihat tentang Pelaporan Penyakit Menular). Jika ditemukan sejumlah penderita 

trichuriasis di suatu sekolah beritahukan kepada kepala sekolah dan pejabat yang 

bertanggung jawab terhadap UKS. 

2) Isolasi :  tidak diperlukan 

3) Disinfeksi: tidak diperlukan; lakukan pembuangan kotoran yang saniter. 

4) Karantina: tidak perlu 

5) Imunisasi kontak: tidak dilakukan 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan pemeriksaan terhadap semua 

spesimen tinja dari seluruh anggota keluarga yang menunjukkan gejala, terutama 

anak-anak dan teman main mereka. 

7) Pengobatan spesifik : 

 Obat pilihan :  Mebendazole (Vermox ®)  

 Obat alternatif   :  Albendazole (Zentel®) dan Oxantel (Tidak beredar di AS) 

 Peraturan yang umum : Wanita hamil pada trimester pertama tidak diberikan 

pengobatan kecuali ada indikasi medis spesifik 

 

C. Penanggulangan wabah:  Tidak ada. 

 

D. Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut :  Tidak ada. 

 

 

 

 

TRYPANOSOMIASIS     ICD - 9 086, ICD-10 B56 – B57 

 

I. AFRICAN TRYPANOSOMIASIS   ICD - 9  086.3 – 086.5 ; ICD-10 B56 

 

1. Identifikasi   

Merupakan penyakit protozoa sistemik. Stadium awal penyakit ditandai dengan 

terbentuknya ulcus (Chancre) yang sakit sekali yang pada awalnya berkembang dari 

papula menjadi nodula. Gejala-gejala ini ditemukan pada tempat gigitan lalat tse tse. 

Gejala lain yang ditemukan yaitu   demam, sakit kepala yang amat sangat, insomnia, 

pembengkakan kelenjar limfe tanpa disertai rasa sakit, berat badan menurun, somnolen 

dan tanda-tanda lain SSP. Penyakit gambiense (ICD9 086.3; ICD-10 B56.0) bisa 

berlangsung bertahun tahun; sedang  penyakit rhodesiense (ICD-9 086.4; ICD-10 

B56.1) lethal dalam beberapa minggu atau dalam beberapa bulan jika tidak diobati. Kedua 

bentuk penyakit ini fatal jika tidak diobati.  

Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya trypanosoma didalam darah, cairan limfe atau 

LCS. Untuk penyakit jenis gambiense diperlukan teknik konsentrasi parasit seperti 

sentrifugasi dengan tabung kapiler, “Quantitative Buffy Coat” (QBC) atau dengan 

“minianion exchange centrifugation”. Teknik-teknik ini jarang digunakan pada penyakit 

jenis rhodesiense.  

 

 537

Untuk penyakit jenis rhodesiense terkadang digunakan teknik inokulasi pada tikus 

percobaan. Spesimen yang diambil dari aspirat kelenjar limfe membantu ditemukannya 

parasit. Antibodi spesifik dapat diketahui dengan memakai   teknik pemeriksaan 

ELISA, IFA dan tes aglutinasi. Titer imunoglobulin yang tinggi terutama IgM umum 

ditemukan pada penderita tripanosomiasis Afrika “Circulating antigen” dapat dideteksi 

dengan memakai   berbagai teknik pemeriksaan imunologis seperti dengan kartu Tryp 

Tech CIATT, tes aglutinasi tidak langsung. 

 

2. Pemicu  Penyakit  

Pemicu  penyakit yaitu   Trypanosoma brucei gambiense dan T.b. rhodesiense, flagelata 

darah. Kriteria untuk diferensiasi spesies tidaklah mutlak; isolat yang diambil dari kasus 

virulen dengan perjalanan penyakit yang sangat progresif dianggap sebagai  T. B 

rhodesiense, terutama apabila infeksi terjadi di Afrika bagian timur. sedang  jika 

infeksi didapatkan di Afrika bagian barat dan tengah, biasanya perjalanan penyakit lebih 

kronis biasanya disebabkan oleh T.b. gambiense. 

 

3. Distribusi Penyakit 

Penyakit ini menyebar didaerah tropis benua Afrika antara 150LU dan 200LS, sesuai 

dengan daerah penyebaran lalat tsetse. Di daerah endemis 0,1% - 2% warga  terineksi. 

Pada saat terjadi KB prevalensi penyakit ini bisa mencapai 70%. KLB dapat terjadi 

apabila sebab  sesuatu hal terjadi peningkatan intensitas kontak antara manusia dan lalat 

tsetse atau strain tripanosoma yang virulen masuk kedaerah dimana densitas lalat tsetse 

sangat padat. Masuknya strain virulen dimungkinkan oleh sebab  adanya pergerakan 

hospes manusia atau lalat tsetse yang terinfeksi ke suatu daerah. Lalat Glossina palpalis 

merupakan vector utama, dibagian barat dan bagian tengah Afrika. Infeksi biasanya terjadi 

disepanjang aliran sungai atau anak sungai yang berbatasan dengan daerah yang berhutan. 

Di Afrika bagian timur dan danau victoria vector utamanya yaitu   kelompok G. 

Morsitans, infeksi terjadi didaerah savana yang kering.  

G. fuscipes yang termasuk dalam kelompok palpalis merupakan vector penular penyakit 

pada saat KLB penyakit tidur jenis rhodiense yang terjadi di Kenya dan Zaire dan vector 

ini juga sejak tahun 1976 diketahui sebagai vector pada penularan peridomestik di 

Uganda. 

 

4.  Reservoir: Untuk T.b. gambiense, manusia merupakan reservoir utama, sedang  

peranan binatang peliharaan dan binatang buas sebagai reservoir tidak jelas. Binatang 

buas terutama babi hutan dan sapi peliharaan merupakan reservoir utama T.b. rhodiense. 

 

5. Cara Penularan: Penularan terjadi melalui gigitan lalat tsetse Glossina infektif. Di alam 

terdapat  6 spesies  yang  berperan sebagai  vektor  utama, G. Palpalis, G. Tachinoides, G. 

Morsitans, G. Pallidipes, G. Swynnertoni dan G.fuscipes. Lalat tsetse terinfeksi sebab  

menghisap darah manusia atau binatang yang mengandung trypanosoma. 

Parasit berkembang biak dalam tubuh lalat selama 12-30 hari, tergantung pada suhu dan 

faktor-faktor lain, sampai terjadi bentuk infektif didalam kelenjar-kelenjar ludahnya. 

Sekali terinfeksi lalat tsetse akan tetap infektif selama hidupnya (rata-rata 3 bulan, bisa 

sampai 10 bulan). Infeksi pada lalat tidak diturunkan ke generasi lalat berikutnya.  

 

 

 538

Penularan kongenital dapat terjadi pada manusia. Penularan langsung secara mekanis 

dapat terjadi melalui darah pada probosis Glossina dan serangga penggigit lainnya, seperti 

lalat kuda, atau sebab  kecelakaan di laboratorium. 

 

6.  Masa Inkubasi    

Masa inkubasi  infeksi  T.b. rhodiensiense  yang  lebih  virulen, biasanya 3 hari sampai 

dengan beberapa minggu. Masa inkubasi infeksi T.b gambiense yang lebih kronik, 

berlangsung lebih lama yaitu beberapa bulan sampai bahkan beberapa tahun. 

 

7. Masa Penularan   

 Penularan kepada lalat tsetse terjadi selama ada parasit didalam darah manusia dan hewan 

yang terinfeksi. Parasitemia muncul dengan intensitas bervariasi pada saat-saat tertentu 

pada kasus-kasus yang tidak di obati, parasitemia terjadi pada semua stadium tahapan 

penyakit. Pada suatu penelitian yang dilakukan terhadap penyakit rhodesiense, 

parasitemia ditemukan hanya pada 60 % kasus infeksi. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan  

 Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Kadang kala terjadi infeksi tanpa gejala baik 

pada infeksi T b. Gambiense maupun infeksi T.b. rhodesiense. Pernah ada yang 

melaporkan bahwa ada penderita dengan infeksi jenis gambience tanpa gejala SSP yang 

sembuh spontan namun laporan ini belum terbukti kebenarannya. 

 

9. Cara-cara pemberantasan  

A. Cara-cara Pencegahan  

Memilih cara pencegahan yang tepat harus di dasari pada pengetahuan dan pengenalan 

ekologi dari vektor dan Pemicu  penyakit disuatu wilayah. Dengan pengetahuan 

ini ,  maka suatu daerah  dengan keadaan geografis tertentu, dapat dilakukan satu 

atau beberapa langkah berikut sebagai langkah prioritas dalam upaya pencegahan : 

1). Berikan Penyuluhan kepada warga  tentang cara-cara perlindungan diri 

terhadap gigitan lalat tsetse. 

2). Menurunkan populasi parasit melalui survei warga  untuk menemukan mereka 

yang terinfeksi, obati mereka yang terinfeksi. 

3). Bila perlu hancurkan habitat lalat tsetse, namun tidak dianjurkan  untuk 

menghancurkan vegetasi secara tidak merata. Membersihkan semak-semak dan 

memotong rumput disekitar desa sangat bermanfaat pada saat terjadi penularan 

peridomestik. Apabila pada wilayah yang telah dibersihkan dari vegetasi liar 

dilakukan reklamasi dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian maka masalah vektor 

teratasi untuk selamanya. 

4)  Mengurangi kepadatan lalat dengan memakai   perangkap dan kelambu yang 

sudah dicelup dengan deltametrin serta dengan penyemprotan insektisida residual 

(perythroid sintetik 5%, DDT, dan dieldrin 3% merupakan insektidida yang 

efektif). Dalam situasi darurat gunakan insektisida aerosol yang disemprotkan dari 

udara. 

5) Melarang orang-orang yang pernah tinggal atau pernah mengunjungi daerah 

endemis di Afrika untuk menjadi donor darah. 

 

 

 539

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada Instansi Kesehatan setempat : Di daerah endemis tertentu, 

kembangkan sistem pencatatan dan pelaporan. Dan galakkan upaya pencegahan 

dan pemberantasan. Disebagian besar negara penyakit ini bukan penyakit yang 

wajib di laporkan kelas 3 B (lihat tentang pelaporan Penyakit Menular). 

2) Isolasi: Tidak dilakukan. Cegahlah agar lalat tsetse tidak menggigit penderita 

trypanosomiasis. Di beberapa negara, diberlakukan peraturan pembatasan gerak 

dari pasien-pasien yang tidak diobati. 

3) Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan 

4) Karantina:  Tidak dilakukan 

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : Bila penderita merupakan anggota dari 

rombongan wisatawan merupakan anggota dari rombongan wisatawan, maka 

anggota lain dari rombongan ini  harus diberi tahu agar berhati-hati dan 

terhadap mereka dilakukan investigasi. 

7)  Pengobatan spesifik: Bila tidak terjadi perubahan gambaran sel dan kadar protein 

pada LCS, suramin merupakan obat pilihan untuk infeksi T.b. rhodiense  dan 

pentamidine untuk infeksi T.b. gambiense. Namun obat-obat ini tidak dapat 

menembus barier darah otak. 

 T.b. rhodesiense, mungkin sudah resistens terhadap pentamidine, Melarsoprol 

(Mel-B®) telah digunakan dengan hasil yang sangat efektif untuk mengobati 

pasien dengan gambaran LCS abnormal untuk semua jenis parasit, namun efek 

samping yang berat mungkin dapat terjadi pada 5 % - 10 % dari penderita. 

 Suramin dan melarsoprol bisa didapatkan dan tersedia di Depot Farmasi CDC 

Atlanta untuk tujuan penelitian. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa Eflornithin 

(difluoromethylornithine (DFMO), Ornidyl®) lebih baik digunakan untuk 

pengobatan penyakit gambiense SSP, obat ini sejak tahun 1999 tidak ada dalam 

persediaan lagi di CDC Atlanta dan penyediaan obat ini oleh WHO dimasa yang 

akan datang tidak dapat dipastikan. Terhadap semua penderita yang sudah diobati 

harus dilakukan pemeriksaan ulang 3, 6 dan 24 bulan setelah pengobatan untuk 

mencegah kemungkinan relaps. 

 

C. Penanggulangan Wabah 

Dalam keadaan KLB lakukkan survei massal yang terorganisasikan dengan baik dan 

berikan pengobatan bagi penderita yang ditemukan serta lakukan pengendalian lalat 

tsetse. 

Bila terjadi lagi KLB di daerah yang sama walaupun sudah melaksanakan upaya-

upaya pemberantasan, maka upaya-upaya yang tercantum pada butir 9A harus 

dilakukan dengan lebih giat. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada.  

 

E. Penanganan lebih lanjut  : 

Meningkatkan upaya kerjasama lintas sektor di daerah endemis. Penyebar luasan 

informasi dan meningkatkan tersedianya bahan dan alat diagnosa sederhana untuk 

skrining dan upaya sederhana pengendalian vektor.  

 

 540

Kembangkan sistem yang efektif pendistribusian reagen dan obat-obatan. 

Kembangkan sistem pelatihan pada tingkat nasional dan lebih lanjut . Manfaatkan 

pusat-pusat kerjasama WHO. 

 

 

TRYPANOSOMIASIS AMERIKA   ICD-9 086.2 ; ICD-10.B.57 

(Penyakit Chagas)                                  

 

1. Identifikasi  

Merupakan penyakit akut yang umumnya menyerang anak-anak sedang  manifestasi 

kronis yang bersifat irriversible terjadi belakangan. Kebanyakan penderita yang terinfeksi 

tidak menunjukkan gejala klinis. Penyakit akut ditandai dengan demam dengan derajat 

yang bervariasi, malaise limfadenopati dan splenomegali. Reaksi inflamasi timbul pada 

tempat terjadinya infeksi yang disebut Chagoma yang biasanya menghilang pada minggu 

ke 8. 

Dikedua kelopak mata terjadi pembengkakan unilateral pada sebagian kecil kasus yang 

disebut dengan Romana sign. Gejala fatal berupa miokarditis dan  meningoensefalitis 

dapat juga terjadi. Bisa juga terjadi gejala sisa kronis yang irreversible berupa kerusakan 

jantung seperti pembengkakan jantung, aritemia, kelainan konduksi yang berat serta 

kelainan pada saluran pencernaan berupa megaesofagus dan megakolon. Mega viscera 

pertama ditemukan di Brasilia bagian tengah. 

Kelainan jantung lebih sering ditemukan dibagian selatan Equador daripada dibagian 

utara. Pada penderita dengan AIDS terjadi meningoensefalitis yang luas disertai dengan 

nekrosis dan perdarahan sedang  miokarditis akut terjadi sebagai akibat infeksi kronis 

yang mengalami relaps. Gejala ini dapat juga terjadi pada penderita penyakit Chagas 

kronis yang disertai dengan kelainan imunitas non AIDS. 

Infeksi oleh Trypanosoma rangeli ditemukan pada daerah fokus endemis penyakit 

Chagas, yang membentang dari Amerika Tengah sampai ke Colombia dan Venezuela; 

terjadi parasitemia berkepanjangan dan terkadang disertai dengan infeksi T.cruzi (oleh 

sebab  T.rangei vectornya sama dengan T.cruzi), namun tidak timbul gejala klinis. 

Diagnosa penyakit chagas pada fase akut ditegakkan dengan ditemukannya parasit dalam 

darah dengan pemeriksaan langsung pada sediaan darah yang telah dilakukan hemo 

konsentrasi (jarang sekali parasit dapat ditemukan pada kelenjar limfe atau otot skeletal). 

Diagnosa juga dapat ditegakkan melalui kultur atau dengan xenodiagnosis (yaitu dengan 

cara menggigitkan kutu triatomid pada orang yang terinfeksi dan kemudian parasit 

ditemukan pada kotoran kutu ini  beberapa minggu kemudian). 

Parasitemia muncul lebih intens selama episode demam pada fase awal infeksi. Pada fase 

kronis, pemeriksaan dengan kultur dengan media difasik atau dengan Xenodiagnosis 

mungkin dapat memberikan hasil yang positif sedang  pemeriksaan dengan cara lain 

jarang sekali bisa menemukan parasit. T. Cruzi dibedakan dengan T. rangeli oleh sebab  

ukurannya lebih pendek (20 mm berbanding 36 mm) dan memiliki  kinetoplast yang 

lebih besar. Pemeriksaan serologis sangat bermanfaat baik untuk penderita individu 

maupun untuk tujuan akrining masal. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

Trypanosoma cruzi (Schizotripanum cruzi), protozoa yang menginfeksi manusia sebagai 

hemoflagelata atau sebagai parasit intraseluler tanpa flagelum eksternal. 

 

 541

3. Distribusi Penyakit 

Penyakit ini tersebar dibelahan bumi bagian Barat dengan distribusi yang luas 

dipedalaman Mexico, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Dibeberapa wilayah tertentu 

endemis tinggi. Ada 5 penderita infeksi akut yang ditularkan oleh vektor dilaporkan 

terjadi di Amerika Serikat; 3 kasus tambahan akibat transfusi darah. Reaktivasi infeksi 

pada penderita AIDS dapat memicu  terjadinya meningoensefalitis. 

Studi serologis yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa dapat terjadi penderita tanpa 

gejala. T. cruzi ditemukan pada mamalia di Alabama, Arizona Arkansas, California, 

Florida, Georgia, Laesiana, Maryland, New Mexico, Texas dan Utah. Penelitian yang 

dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dari hasil pemeriksaan serologis, 4.9% 

migran yang berasal dari Amerika Tengah yang tinggal di Washington DC telah 

terinfeksi. 

 

4. Reservoir   

Manusia bertindak sebagai reservoir bersama dengan lebih dari 150 species binatang baik 

domestik maupun binatang liar seprti: anjing, kucing, tikus dan binatang domestik lainnya 

ditambah dengan marsupialia, jenis binatang tanpa gigi, rodentia, chiropters, karnivora, 

primata. 

 

5. Cara Penularan: 

Vektor penghisap darah yang terinfeksi misalnya species Reduviidae (kutu berhidung 

mancung, kissing bugs),  terutama berbagai species dari genera Triatoma, Rhodnius, 

Panstrongylus pada kotorannya ditemukan trypanosoma. Kutu ini membuang kotorannya 

pada saat mereka menghisap darah; manusia atau mamalia lain terinfeksi sebab  kotoran 

segar dari kutu yang terinfeksi ini  mencemari konjungtiva, membrana mukosa, kulit 

yang mengalami abrasi atau kutu terinfeksi kalau mereka mengisap orang atau mamalia 

yang sedang mengalami parasitemia. Parasit berkembang biak didalam saluran 

pencernaan kutu. 

Penularan dapat juga terjadi melalui transfusi darah sebab  meningkatnya donor yang 

terinfeksi diperkotaan akibat peningkatan migrasi dari daerah pedesaan. Parasit dapat 

menembus barier placenta dan dapat memicu  terjadinya infeksi kongenital. 

Penularan melalui air susu kemungkinannya sangat kecil, sehingga tidak ada alasan untuk 

melarang ibu penderita chagas menyusui anaknya. Infeksi sebab  kecelakaan 

laboratorium dapat terjadi walaupun sangat jarang. Transplantasi organ yang diambil adri 

penderita chagas meningkatkan risiko transmisi T. cruzi. 

  

6. Masa Inkubasi 

Masa inkubasi berkisar antara 5 – 14 hari setelah digigit oleh vektor yang terinfeksi. 

sedang  masa inkubasi sebab  menerima darah dari donor yang terinfeksi berlangsung 

selama 30 – 40 hari. 

 

7. Masa Penularan  

Parasit ada dalam darah selama fase akut dan dapat bertahan seumur hidup pada sebagian 

kecil penderita simptomatik dan penderita asimptomatik. 

Vektor menjadi terinfeksi dan parasit bertahan didalam usus kutu seumur hidupnya, 

sekitar 2 tahun. 

 

 542

8. Kerentanan dan kekebalan 

Semua umur rentan terhadap infeksi dan biasanya perjalanan penyakit lebih berat pada 

pederita usia muda. Orang dengan mimosupresi terutama penderita AIDS memiliki  

risiko mengalami infeksi dan komplikasi serius. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan. 

A. Cara-cara Pencegahan : 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  tentang cara-cara penularan dan cara-cara 

pencegahannya. 

2) Lakukan penyemprotan berkala dengan insektisida dengan efek residual terhadap 

rumah yang konstruksinya tidak sehat dan rumah yang beratap rumbia untuk 

membunuh vektor. Vektor juga dapat dibunuh dengan fumigan yang ditaruh dalam 

kontainer. 

3) Membangun dan memperbaiki lingkungan permukiman untuk menghilangkan 

tempat perindukan vektor dan tempat berkembang biaknya binatang reservoir. 

4) Gunakan kelambu, pada rumah yang ada vektornya. 

5) Lakukan skrining terhadap darah dan organ tubuh dari donor yang pernah tinggal 

atau datang/berasal dari daerah-daerah endemis dengan memakai   tes serologis 

yang tepat untuk mencegah penularan melalui tranfusi dan transplantasi, sesuai 

dengan peraturan perundangan yang berlaku di negara-negara Amerika Selatan. 

Menambahkan gentian violet (25 ml gentian violet 5.0% per 500 ml darah 24 jam 

sebelum digunakan) dapat mencegah penularan. 

 

B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya. 

1) Laporan  ke Dinas Kesehatan setempat: Laporan diperlukan di daerah-daerah 

endemis tertentu. Disebagian besar negara, bukan penyakit yang harus dilaporkan, 

Kelas 3B (lihat laporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi: tidak praktis; Lakukan kewaspadaan universal terhadap darah dan cairan 

tubuh bagi pasien yang dirawat. 

3) Disinfeksi: Tidak dilakukan 

4) Karantina: Tidak dilakukan 

5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Cari rumah-rumah dengan atap rumbia, 

yang merupakan tempat perkembang biakan vektor. Terhadap semua angota 

keluarga penderita harus dilakukan pemeriksaan. Lakukan pemeriksaan serologis 

terhadap seluruh darah dan organ donor untuk mencegah terjadinya infeksi melalui 

transfusi atau melalui transplantasi. 

7) Pengobatan spesifik: Derivat Nitrofurfurylidene, yaitu Nifurtimox yaitu   obat 

yang sangat bermanfaat untuk pengobatan penderita akut. Obat ini tersedia didepot 

farmasi CDC-Atlanta, sebagai obat yang disediakan untuk penelitian. Obat ini juga 

tersedia di sebagian besar rumah sakit didaerah endemis. Benznidazole, derivat 2-

nitroimidazole terbukti juga cukup efektif untuk pengobatan penderita akut. 

C. Penanggulangan Wabah 

Didaerah dengan insidens penyakit yang tinggi lakukan survei lapangan untuk 

mengetahui distribusi dan densitas vektor dan binatang pejamu. 

D. Implikasi Bencana: Tidak ada 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada  

 

 543

TUBERKULOSIS      ICD-9 010-018; ICD-10 A15-A19 

(TB, Penyakit TB) 

 

1. Identifikasi 

Penyakit yang disebabkan oleh mikrobakterium ini merupakan Pemicu  utama kecacatan 

dan kematian hampir di sebagian besar negara diseluruh dunia. Infeksi awal biasanya 

berlangsung tanpa gejala; tes tuberkulin akan memberikan hasil yang positif 2 – 10 

minggu kemudian. Lesi awal pada paru umumya akan sembuh dengan sendirinya tanpa 

meninggalkan gejala sisa walaupun sangat jarang terjadi kalsifikasi pada kelenjar limfe 

paru dan kelenjar limfe trakeobronkial. Hampir 90 – 95% mereka yang mengalami infeksi 

awal akan memasuki fase laten dengan risiko terjadi reaktivasi seumur hidup mereka. 

Pemberian kemoterapi preventif yang sempurna dapat mengurangi risiko terjadinya TB 

klinis seumur hidup sebesar 95% dan kemoterapi preventif ini sangat efektif pada 

penderita HIV/AIDS. Hanya 5% dari orang normal dam 50% penderita HIV/AIDS yang 

terinfeksi TB akan berkembang menjadi TB paru klinis atau menjadi TB ekstrapulmoner. 

Akibat serius infeksi TB awal lebih sering terjadi pada bayi, dewasa muda dan pada orang 

dengan kelainan imunitas. 

TB ekstrapulmoner lebih jarang terjadi dibandingkan dengan TB paru. Anak-anak dan 

orang-orang dengan imunodefisiensi seperti halnya pada penderita HIV/AIDS lebih 

mudah mendapatkan TB ekstrapulmoner, namun TB paru tetap merupakan bentuk klinis 

yang menonjol dari infeksi TB di seluruh dunia. Infeksi TB dapat juga menyerang organ-

organ lain dalam tubuh manusia seperti kelenjar limfe, pleura, perikardium, ginjal, tulang 

dan sendi, laring, telinga bagian tengah, kulit, usus, peritonium dan mata. TB Paru 

progresif muncul dari reinfeksi eksogen atau muncul dari reaktivasi endogen dari fokus 

laten infeksi primer. Penderita TB progresif jika tidak diobati dengan benar akan 

meninggal dalam waktu lima tahun, rata-rata dalam waktu 18 bulan. Status klinis 

ditentukan dengan ditemukannya basil TB dalam sputum atau dari gambaran foto thorax. 

Gambaran densitas abnormal pada foto thorax sebagai tanda adanya infiltrat pada paru,  

kavitasi dan fibrosis. Gambaran ini bisa muncul sebelum timbul gejala klinis: lesu, 

demam, berkeringat dimalam hari, berat badan turun, dapat muncul lebih awal. sedang  

gejala lokal seperti batuk, sakit dada, suara serak dan batuk darah menonjol pada stadium 

lanjut dari penyakit. 

Orang dengan imunokompeten jika terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, M. 

africanum atau M. bovis akan memberikan hasil tes tuberkulosis dengan reaksi 

intermedier. Tes tuberkulosis memakai   5 IU International Standard of Purified 

Protein Deriva Standard (PPD-S). Reaksi dikatakan positif jika muncul indurasi dengan 

ukuran 5, 10 atau 15 mm tergantung pada tingkat pemajanan penyakit. Sekitar 10 – 20% 

penderita TB aktif tidak memberikan reaksi positif terhadap PPD. Dengan demikian, tes 

tuberkulin yang hasilnya negatif tidak berarti bahwa seseorang tidak menderita TB aktif. 

Hasil tes tuberulin dengan indurasi lebih dari 5 mm dianggap positif untuk anggota rumah 

tangga atau mereka yang kontak dengan penderita TB aktif. sedang  orang dengan 

gambaran foto thorax yang abnormal menandakan penderita TB lama yang sudah sembuh 

atau mereka yang terinfeksi oleh HIV/AIDS, sedang  tes tuberkulin dengan diameter 

10mm dianggap positif untuk orang-orang dengan faktor risiko (diabetes mellitus, 

pecandu obat dan alkohol), orang-orang yang tinggal didaerah prevalensi TB tinggi,  

 

 

 544

orang-orang yang tinggal di daerah dengan status sosial ekonomi rendah, penghuni dan 

staf suatu institusi seperti penjara dan rumah tahanan serta untuk anak-anak usia dibawah 

4 tahun. sedang  hasil tes tuberkulin dengan diameter 15 mm atau lebih dianggap 

positif pada oang dewasa dan anak-anak usia diatas 4 tahun yang tinggal didaerah dengan 

prevalensi TB rendah. 

Tes tuberkulin terhadap penderita energi tidak dianjurkan walaupun untuk penderita 

dengan risiko tinggi seperti penderita dengan infeksi HIV. Tes tuberkulin untuk semua 

akan tidak lagi dilakukan di AS. Tes tuberkulin dilakukan segera terhadap anak-anak yang 

diduga menderita TB aktif, terhadap mereka yang berkunjung kedaerah endemis dan 

kontak penderita, terhadap migran dari daerah endemis. Terhadap penderita penyakit 

kronis yang tidak bisa sembuh dan terhadap penderita HIV/AIDS dilakukan tes tekulin 

setiap tahun. Terhadap anak-anak yang terpajan dengan orang dengan risiko tinggi, tes 

tuberkulin dilakukan setiap 2 – 3 tahun. Tes tuberkulin untuk anak usia 4 – 6 tahun dan 

usia 11 – 12 tahun dilakukan bila orang tua mereka yaitu   imigran dari daerah endemis 

atau jika anak-anak ini  tinggal didaerah risiko tinggi. 

Kadang kala pada penderita TB terjadi hipersensitivitas tertunda terhadap tes tuberkulin 

yang akan menghilang dengan berjalannya waktu. Pada orang ini jika dilakukan tes 

tuberkulin, akan memberikan hasil yang negatif. Namun dapat juga terjadi tes tuberkulin 

pertama yang dilakukan akan merangsang tubuh untuk memberikan reaksi positif pada tes 

tuberkulin berikutnya. Reaksi “boosted” ini sering disalah artikan sebagai infeksi baru. 

“Boosting” juga terjadi pada orang yang mendapatkan vaksinasi BCG. Untuk 

membedakan reaksi “boosted” ini dengan infeksi baru dilakukan tes tuberkulin dua tahap. 

Apabila tes pertama dinyatakan negatif maka dilakukan tes tuberkulin yang kedua 1 – 3 

minggu kemudian. Hasil positif pada tes kedua kemungkinan sebab  reaksi “boosted”. 

Berdasarkan hasil tes kedua, orang ini dianggap sebelumnya telah terinfeksi dan harus 

ditangani sebagaimana mestinya dan tidak dianggap sebagai konversi hasil tes tuberkulin. 

Jika tes kedua hasilnya juga negatif maka orang ini dianggap belum pernah terinfeksi. 

Tes dua tahap dilakukan terhadap orang dewasa yang akan mendapat tes tuberkulin 

berkala, seperti halnya pada petugas kesehatan. Tes dua tahap ini dilakukan pada saat tes 

tuberkulin awal. Diagnosa presumptive penderita TB aktif dibuat jika ditemukan BTA 

positif dari sediaan sputum atau sediaan yang diambil dari cairan tubuh lainnya. 

Ditemukannya BTA positif indikasi untuk segera melakukan pengobatan dengan OAT. 

Diagnosa pasti ditegakkan jika ditemukan Mycobacterium tuberculosis, melalui kultur. 

Cara ini juga dapat dilakukan untuk uji sensitivitas organisme terhadap obat. Jika fasilitas 

laboratorium mikrobiologi tidak memadai maka diagnosa dapat dibuat berdasarkan gejala 

klinis yang ada dengan pemeriksaan histologis atau radiologis terhadap mereka yang 

memberikan hasil tes tuberkulin positif.   

 

2. Pemicu  Penyakit 

Pemicu  infeksi yaitu   kompleks M. tuberculosis.  Kompleks ini termasuk M. 

tuberculosis dan M. africanum terutama berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal 

dari sapi.  Mycobacteria lain biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit dibedakan 

dengan tuberkulosis.  Etiologi penyakit dapat di identifikasi dengan kultur.  Analisis 

genetic sequence dengan memakai   teknik PCR sangat membantu identifikasi non 

kultur. 

 

 

 545

3. Distribusi Penyakit 

Tersebar diseluruh dunia. Pada awalnya di Negara industri penyakit tuberkulosis 

menunjukkan kecenderungan yang menurun baik mortalitas maupun morbiditasnya 

selama beberapa tahun, namun diakhir tahun 1980 an jumlah kasus yang dilaporkan 

mencapai grafik mendatar (plateau) dan kemudian meningkat di daerah dengan populasi 

yang prevalensi HIV–nya tinggi dan di daerah yang dihuni oleh warga  yang datang 

dari daerah dengan prevalensi TB tinggi.  Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai 

dengan umur,  pada orang dewasa lebih tinggi pada laki-laki.  Morbiditas TBC lebih 

tinggi diantara warga  miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan 

pedesaan. 

Di AS insidensi TBC menurun sejak tahun 1994, penderita yang dilaporkan yaitu   

9,4/100.000 (lebih dari 24.000 kasus). Daerah dengan insidens rendah  termasuk di 

berbagai wilayah di AS,  kebanyakan kasus TBC berasal dari reaktivasi dari fokus laten 

yang berasal dari infeksi primer. Di sebagian daerah urban yang luas 1/3 kasus berasal 

dari infeksi baru. Walaupun TBC menempati rangking terendah diantara penyakit menular 

berdasarkan lama waktu pajanan. Namun pajanan dalam jangka waktu lama dalam 

lingkungan keluarga memicu  risiko terinfeksi sebesar 30%. Jika infeksi terjadi pada 

anak maka risiko menjadi sakit selama hidupnya sekitar 10%.  Bila terjadi koinfeksi 

dengan HIV risiko pertahun menjadi 2-7% dan risiko kumulatif sebesar 60-80%. KLB 

dilaporkan terjadi pada kelompok orang yang tinggal pada ruangan yang tertutup seperti 

dipanti asuhan, penampungan tunawisma, rumah sakit, sekolah, penjara dan gedung 

perkantoran.  Sejak tahun 1989 sampai dengan awal  tahun 1990 telah dilaporkan terjadi 

KLB – MDR yang cukup ekstensif terutama terhadap rifampisin dan INH ditempat 

dimana banyak penderita HIV yang dirawat.  KLB ini menimbulkan angka mortalitas 

tinggi dan terjadi penularan kepada petugas kesehatan. Dengan penerapan dan 

pelaksanaan yang ketat pedoman pemberantasan telah berhasil menanggulangi KLB ini. 

Prevalensi infeksi TB yang ditemukan dengan tes tuberkulin meningkat sesuai dengan 

umur.  Insidensi infeksi di negara berkembang menurun secara bermakna dalam beberapa 

dekade ini.  Angka infeksi pertahun di AS rata-rata kurang dari  10/100.000 warga  

walaupun di beberapa daerah di AS angka kejadian infeksi baru pertahun lebih tinggi.  Di 

daerah dimana terjadi infeksi dengan mycobacterium lain selain tuberkulosis 

memicu  reaksi silang yang menyulitkan interpretasi hasil tes tuberkulin. 

Infeksi M. bovis pada manusia jarang terjadi di AS namun  masih menjadi masalah 

dibeberapa daerah seperti didaerah perbatasan Meksiko dimana penyakit ini pada ternak 

tidak ditangani dengan baik dan warga  masih mengkonsumsi susu mentah. 

 

4. Reservoir 

Umumnya manusia berperan sebagai reservoir, jarang sekali primata, dibeberapa daerah 

terjadi infeksi yang menyerang ternak seperti sapi, babi dan mamalia lain. 

 

5. Cara Penyebaran 

Penularan terjadi melalui udara yang mengandung basil TB dalam percikan ludah yang 

dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring pada waktu mereka batuk, bersin atau 

pada waktu bernyanyi. Petugas kesehatan dapat tertulari pada waktu mereka melakukan 

otopsi, bronkoskopi atau pada waktu mereka melakukan intubasi. 

TB laring sangat menular.  

 

 546

Kontak jangka panjang dengan penderita TB memicu  risiko tertulari, infeksi melalui 

selaput lendir atau kulit yang lecet bisa terjadi namun sangat jarang. TB bovinum 

penularannya dapat tejadi jika orang terpajan dengan sapi yang menderita TB, bisanya 

sebab  minum susu yang tidak dipasteurisasi atau sebab  mengkonsumsi produk susu 

yang tidak diolah dengan sempurna. Penularan lewat udara juga terjadi kepada petani dan 

perternak TB ekstra pulmoner (selain TB laring) biasanya tidak menular, kecuali dari 

sinus keluar discharge. 

 

6. Masa inkubasi 

Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi 

tes tubrkulosis positif kira-kira memakan waktu 2 – 10 minggu. Risiko menjadi TB paru 

dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun 

pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV 

meningkatkan risiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi. 

 

7. Masa Penularan 

Secara teoritis seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB didalam 

sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna dahaknya 

akan tetap mengandung basil TB selama bertahun tahun. Tingkat penularan sangat 

tergantung pada hal-hal sebagai berikut : 

- Jumlah basil TB yang dikeluarkan 

- Virulensi dari basil TB 

- Terpajannya basil TB dengan sinar ultra violet 

- Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat bernyanyi. 

- Tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi atau pada 

waktu melakukan bronkoskopi. 

Pemberian OAT yang efektif mencegah terjadinya penularan dalam beberapa minggu 

paling tidak dalam lingkungan rumah tangga. Anak-anak dengan TB primer biasanya tidak 

menular. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan  

Risiko terinfeksi dengan basil TB berhubungan langsung dengan tingkat pajanan dan tidak 

ada hubungan dengan faktor keturunan atau faktor lainnya pada pejamu. Periode yang 

paling kritis timbulnya gejala klinis yaitu   6–12 bulan setelah infeksi. Risiko untuk 

menjadi sakit paling tinggi pada usia dibawah 3 tahun dan paling rendah pada usia akhir 

masa kanak-kanak dan risiko meningkat lagi pada usia adolesen dan dewasa muda, usia 

tua dan pada penderita dengan kelainan sistem imunitas. Reaktivasi dari infeksi laten yang 

berlangsung lama sebagian besar terjadi pada penderita TB usia lebih tua. Untuk mereka 

yang terinfeksi oleh basil TB kemungkinan berkembang menjadi TB klinis meningkat 

pada penderita HIV/AIDS, mereka dengan kelainan sistem imunitas, mereka dengan berat 

badan rendah dan kekurangan gizi, penderita dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal 

kronis, penderita kanker, silikosis, diabetes, postgastrektomi, pemakai NAPZA. Orang 

dewasa dengan TB laten yang juga disertai dengan infeksi HIV kemungkinan untuk 

menderita TB klinis selama hidupnya berkisar antara 10% sampai dengan 60–80%. 

Interaksi kedua penyakit ini mengakibatkan terjadinya pandemi paralel dari penyakit TB: 

misalnya dinegara negara Sub Sahara di Afrika 10–15% orang dewasa menderita infeksi 

HIV dan TB. Angka kesakitan TB meningkat 5–10 kali lipat pada akhir pertengahan tahun 

1990-an. 

 

 547

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan 

1). Temukan semua penderita TB dan berikan segera pengobatan yang tepat. 

Sediakan fasilitas untuk penemuan dan pengobatan penderita. 

2). Sediakan fasilitas medis yang memadai seperti laboratorium dan alat rontgen agar 

dapat melakukan diagnosa dini terhadap penderita, kontak dan tersangka. Sediakan 

juga fasilitas pengobatan terhadap penderita dan mereka dengan risiko tinggi 

terinfeksi; sediakan fasilitas tempat tidur untuk mereka yang perlu mendapatkan 

perawatan. Di daerah dengan indensi penyakit yang tinggi pemeriksaan spuntum 

baik langsung  secara mikroskopis maupun dengan kultur jika memungkinkan 

segera dilakukan terhadap penderita yang datang memeriksakan diri di fasilitas 

kesehatan sebab  adanya keluhan sakit didada. Biasanya hasil pemeriksaannya 

memiliki  nilai diagnosis yang tinggi. 

3). Beri penyuluhan kepada warga  tentang car-cara penularan dan cara-cara 

pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini. 

4). Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi risiko 

terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian. 

5). Program pemberantasa TB harus ada di seluruh fasilitas kesehatan dan difasilitas 

dimana penderita HIV/penderita imunosupresi lainnya ditangani (seperti di Rumah 

Sakit, tempat rehabilitasi, pemakai Napza, panti asuhan anak terlantar). 

6). Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup 

efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis. Berbagai 

penelitian yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita infeksi 

HIV terbukti bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian rifampin dan 

pyrazinamide jangka pendek ternyata cukup efektif. 

 Pemberian terapi preventif merupakan prosedur rutin yang harus dilakukan 

terhadap penderita HIV/AIDS usia dibawah 35 tahun. Apabila mau melakukan 

terapi preventif, pertama kali harus diketahui terlebih dahulu bahwa yang 

bersangkutan tidak menderita TB aktif, terutama pada orang-orang dengan 

imunokompromais seperti pada penderita HIV/AIDS. Oleh sebab  ada risiko 

terjadinya hepatitis dengan bertambahnya usia pada pemberian isoniasid, maka 

isoniasid tidak diberikan secara rutin pada penderita TB usia diatas 35 tahun 

kecuali ada hal-hal sebagai berikut: infeksi baru terjadi (dibuktikan dengan baru 

terjadinya konversi tes tuberkulin); adanya penularan dalam lingkungan rumah 

tangga atau dalam satu institusi; abnormalitas foto thorax konsisten dengan proses 

penyembuhan Tb lama, diabetes, silikosis, pengobatan jangka panjang dengan 

kortikosteroid atau pengobatan lain yang menekan kekebalan tubuh, menderita 

penyakit yang menekan sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS. 

 Mereka yang akan diberi pengobatan preventif harus diberitahu kemungkinan 

terjadi reaksi samping yang berat seperti terjadinya hepatitis, demam dan ruam 

yang luas, jika hal ini terjadi dianjurkan untuk menghentikan pengobatan dan 

hubungi dokter yang merawat. Sebagian besar fasilitas kesehatan yang akan 

memberikan pengobatan TB akan melakukan tes fungsi hati terlebih dahulu 

terhadap semua penderita; terutama terhadap yang berusia 35 tahun atau lebih dan 

terhadap pecandu alkohol sebelum memulai pengobatan.  

 

 

 548

Prosedur DOPT (Directly Observed, Supervised Preventive Therapy), hendaknya 

diterapkan bila memungkinkan, misalnya ditempat tempat fasilitas 

perawatan/rehabilitasi pemakai Napza, sekolah dsb. Obat yang disediakan tidak 

boleh lebih dari untuk pemakaian satu bulan. Setiap bulan penderita diingatkan 

akan kemungkinan terjadiya efek samping. Pemerikasaan laboratorium untuk 

memantau apakah terjadi hepatitis tidak dilakukan secara rutin terkecuali timbul 

gejala-gejala hepatitis. 

 Pengobatan preventif dengan isoniasid tidak boleh diberikan pada penderita yang 

alergi terhadap obat ini atau pada penderita dengan riwayat hepatitis atau penyakit 

hati akut lainnya. Pada saat hamil pengobatan preventif ditunda pemberiannya 

sampai saat melahirkan, terkecuali pada penderita dengan risiko tinggi. Jika sebab  

pertimbangan tertentu pengobatan preventif harus diberikan kepada ibu hamil 

maka harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Isoniasid harus diberikan dengan 

hati-hati kepada pecandu alkohol dan kepada penderita penyakit hati kronis. 

Penderita hepatitis C memiliki  risiko tinggi keracunan isoniasid. Kebijakan 

untuk pemberian pengobatan preventif secara massal sangatlah tidak realistis, 

kecuali ada sistem supervisi yang terorganisir secara rapi untuk mengawasi bahwa 

pengobatan dilakukan dengan benar. Dan didaerah ini  dijamin juga bahwa 

program pengobatan terhadap penderita TB aktif menjamin angka kesembuhan 

yang tinggi. Semua penderita infeksi HIV dan mereka yang tes tuberkulinnya 

positif dan tidak menderita TB aktif harus diberikan pengobatan preventif. 

7). Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi 

untuk penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan 

sediakan juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak. 

8). Terhadap mereka yang diketahui terkena infeksi HIV segara dilakukan tes 

Mantoux memakai   PPD kekuatan sedang. Jika tes Mantouxnya positif 

(indurasi ± 5mm) maka segera diberikan pengobatan profilaktik, dengan catatan 

bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB aktif. Sebaliknya terhadap semua 

penderita TB aktif harus dilakukan pemeriksaan dan dilakukan konseling jika 

fasilitas untuk itu tersedia. 

9). Di AS dimana imunisasi BCG tidak dilakukan secara rutin terhadap mereka yang 

memiliki  risiko tinggi tertulari TB dan HIV dilakukan tes tuberkulin secara 

selektif dengan tujuan untuk menemukan penderita. Mereka yang diangap 

memiliki  risiko tinggi ini seperti petugas kesehatan, bayi yang lahir dari daerah 

risiko tinggi, kelompok risiko tinggi terinfeksi HIV sepeti pada pemakai Napza 

Suntik. Pada kelompok warga  dimana TB masih ada, perlu dilakukan tes 

tuberkulin secara sistematis untuk mengetahui kecenderungan insidensi penyakit. 

Pemeriksaan radiologis diperlukan apabila ditemukan gejala klinis TB namun hasil 

pemeriksaan bakteriologisnya negatif. Imunisasi BCG dapat mengacaukan 

interpretasi tes tuberkulin yang dilakukan kemudian pada anak-anak dan oran 

dewasa. Namun reaksi akibat imunisasi BCG terhadap tes tuberkulin bekurang 

dengan perjalanan waktu, sehingga jika hasil tes tuberkulin positif kuat maka dapat 

diambil kesimpulan bahwa yang bersangkutan menderita infeksi TB. 

10). Pemberian imunisasi BCG terhadap mereka yang tidak terinfeksi TB (tes 

tuberkulin negatif), lebih dari 90% akan memberikan hasil tes tuberkulin positif.  

 

 

 549

Proteksi yang diberikan sebab  pemberian imunisasi BGC berbeda satu sama lain 

dari berbagai penelitian, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik 

warga  , kualitas vaksin, strain dari vaksin BCG yang membrikan perlindungan 

dampai 20 tahun di wilayah dengan insidens TB tinggi, sedang  hasil penelitian 

lain menunjukkan BCG sama sekali tidak memberikan perlindungan (Desain 

penelitian yang dipakai yaitu   “Controlled trials”). 

sedang  pada penelitian dengan memakai   desain “Case-Control” 

imunisasi BCG secara konsisten memberikan perlindungan terhadap terjadinya 

meningitis TB dan TB miliair pada anak usia dibawah 5 tahun. Oleh sebab  risiko 

penularan di AS sangat rendah maka imunisasi BCG secara rutin tidak dilakukan. 

Imunisasi BCG harus dipertimbangkan untuk diberikan kepada anak-anak dengan 

tes tuberkulin segatif yang sebab  sesuatu hal tidak boleh diberikan terapi preventif 

namun mereka secara terus menerus terpajan dengan sumber infeksi. Sumber 

infeksi ini bisa berupa penderita TB yang tidak mendapat pengobatan atau yang 

mendapat pengobatan tidak adekuat, penderita yang terinfeksi oleh organisme 

yang resisten terhadap isoniasid dan rifampin. Imunisasi BCG tidak boleh 

diberikan kepada mereka yang menderita penyakit-penyakit imunodefisiensi 

seperti penderita HIV/AIDS. 

11). Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan cara 

menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif. Susu dipasteurisasi sebelum 

dikonsumsi. 

12). Lakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan tambang. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1). Laporkan segera kepada instansi kesehatan setempat jika ditemukan penderita TB 

atau yang diduga menderita TB. Penyakit TB wajib dilaporkan di AS dan hampir 

di semua negara di dunia kelas 2A (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

Penderita TB perlu dilaporkan jika hasil pemeriksaan bakteriologis hasilnya positif 

atau tes tuberkulinnya positif atau didasarkan pada gambaran klinis dan foto 

rontgen. Departemen Kesehatan mempertahankan sistem pencatatan dan pelaporan 

yang ada bagi penderita yang membutuhkan pengobatan dan aktif dalam kegiatan 

perencanaan dan monitoring pengobatan.  

2). Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan 

dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum 

biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit 

hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis 

dan secara sosial tidak bisa dirawat di rumah. 

 Penderita TB paru dewasa dengan BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan 

dalam ruangan khusus dengan ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu 

agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk dan bersin. Orang yang 

memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan pelindung 

pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak 

perlu dilakukan bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi 

penderita yang tidak batuk dan bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang 

adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan sensitivitas/resistensi obat dan adanya 

respons yang baik terhadap pengobatan).  

 

 550

 Penderita remaja harus diperlakukan seperti penderita dewasa. Penilaian terus 

menerus harus dilakukan terhadap rejimen pengobatan yang diberikan kepada 

penderita. Terapkan sistem DOPT apabila secara finansial dan logistik 

memungkinkan dan diterapkan pada penderita yang kemungkinan mengalami 

resistensi terhadap pengobatan, adanya riwayat compliance yang jelek, 

diberlakukan juga terhadap mereka yang hidup dalam lingkungan dimana kalau 

terjadi relaps dapat menularkan kepada banyak orang. 

3). Pencegahan infeksi: Cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus 

dipertahankan sebagai kegiatan rutin.  Tidak ada tindakan pencegahan khusus 

untuk barang-barang (piring, sprei, pakaian dan lainnya).  Dekontaminasi udara 

dengan cara ventilasi yang baik dan bisa ditambahkan dengan sinar UV. 

4). Karantina: Tidak diperlukan. 

5). Penanganan kontak.  Di AS terapi preventif selama 3 bulan bila skin tes negatif 

harus diulang lagi, imunisasi BCG diperlukan bila ada kontak dengan penderita. 

6). Investigasi kontak, sumber penularan dan sumber infeksi: Tes PPD 

direkomendasikan untuk seluruh anggota keluarga bila ada kontak.  Bila hasil 

negatif harus diulang 2-3 bulan kemudian. Lakukan X-ray bila ada gejala yang 

positif.  Terapi preventif bila ada reaksi positif dan memiliki risiko tinggi terjadi 

TBC aktif (terutama untuk anak usia 5 tahun atau lebih) dan mereka yang kontak 

dengan penderita HIV (+),  diberikan minimal sampai skin tes negatif.  Sayang 

sekali di negara berkembang penelusuran kontak didasarkan hanya pada 

pemeriksaan sputum pada orang yang memiliki gejala-gejala TBC. 

7). Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif 

dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di 

AS. Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedang  

Indonesia sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi  dan mengadaptasi 

sistem yang sama yang disebut DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). 

Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang tepat dengan 

pemeriksaan sputum yang teratur.  Untuk penderita yang belum resisten terhadap 

OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), 

Rifampin (RIF) dan pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan kemudia diikuti dengan 

INH dan PZA selama 4 bulan.  Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk 

etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan jika infeksi TB terjadi didaerah 

dengan peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun bila telah 

dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai. 

Jika tidak ada konversi sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif 

setelah beberapa kali negatif atau respons klinis terhadap pengobatan tidak baik, 

maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan minum obat dan tes 

resistensi.  Kegagalan pengobatan umumnya sebab  tidak teraturnya minum obat 

dan tidak perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila 

tidak ada perubahan respons klinis penderita.  Minimal 2 macam obat dimana 

bekteri tidak resisten harus ada dalam regiemen pengobatan. Jangan sampai 

menambahkan satu jenis obat baru pada kasus yang gagal. Jika INH atau 

rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen maka lamanya pengobatan 

minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif. 

  

 

 551

 Untuk penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang, WHO 

merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang 

teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali 

seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus diawasi secara langsung, jika 

pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan langsung maka 

diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan.  Walaupun 

pengobatan jangka pendek dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan 

dengan jumlah obat yang lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18 

bulan namun pengobatan jangka pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih 

baik. 

 Penderita TBC pada anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan dewasa 

dengan sedikit modifikasi. Kasus resistensi pada anak umumnya sebab  tertular 

dari penderita dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan 

limfadenopati hilus hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan.  

Pengobatan anak-anak dengan TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal 

selama 9-12 bulan, beberapa ahli menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan.  

Etambutol tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak sampai anak cukup 

besar sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya usia > 5 tahun).  

Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus diberikan 

pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat.  Streptomisin tidak 

boleh diberikan selama hamil. 

 Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi efek samping yang berat.  

Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus MDR. 

 

C. Tindakan penanggulangan wabah 

Tingkatkan kewasapadaan dini untuk menemukan dan mengobati penderita TBC baru 

yang tertulari oleh penderita yang tidak jelas. Lakukan penyelidikan intensif untuk 

menemukan dan mengobatai sumber penularan. 

 

D. Implikasi Bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut  

Tindakan yang dianjurkan bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan 

prevalensi TBC tinggi yaitu   melakukan skrining dengan foto thorax, tes PPD, 

pemeriksaan BTA dan kultur terhadap orang dengan tes PPD positif yang disertai 

gejala klinis. Manfaatkan pusat-pusat kerjasama WHO.  

 

 

Penyakit Yang disebabkan oleh Mikobakteria lain (Mikobakteriosis, Penyakit 

mikobakteria non tuberkulosis)       ICD-9 031; ICD-10 A31 

  

Mikobakteria selain Mycobacterium tuberculosis, M. africanum, M. bovis dan M. lepral, 

jenisnya banyak sekali yang ditemukan di alam sekitar kita dan dapat memicu  penyakit 

pada manusia. Jenis bakteri tahan asam (BTA) ini dulu diklasifikasikan sebagai mikobakteria 

atipik, disebut juga dengan “únclassified mycobacteria” atau disebut dengan nama MOTT 

(Mycobacteria Other than Tuberculosis). 

 

 552

Dari banyak jenis, hanya ada 15 jenis yang diketahui dapat menimbulkan penyakit pada 

manusia. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh spesies mikobakteria yang patogen dapat 

dikelompokkan secara umum sebagai berikut :  

1. Timbulnya penyakit dengan gejala umum dan terjadinya diseminasi penyakit (biasanya 

pada penderita dengan sistem kekebalan yang menurun seperti pada penderita AIDS) 

2. Kelainan pada paru-paru seperti tuberkulosis - ini terjadi pada infeksi M. kansasii, M. 

avium complex, M. absessus, M. xenopi, M. simiae  

3. Timbulnya limfadenitis (terutama didaerah leher) – pada infeksi oleh M. avium complex, 

M. scrofulaceum, M. kansasii; 

4. Timbulnya ulcus pada kulit – pada infeksi oleh M. ulcerans (Ulcus Buruli), M. marinum; 

5. Infeksi pasca trauma – seperti pada infeksi oleh M. fortuitum, M. chelonae, M. absessus, 

M. marinum, M. avium complex. 

6. Berupa infeksi nosokomial: Infeksi luka bedah (misalnya infeksi sternum pasca bedah 

jantung, infeksi pada mamoplasti), infeksi pada waktu dilakukan kateterisasi (bakteriemi, 

peritonitis, absces pasca injeksi) 

7. Penyakit Crohn – diduga Pemicu nya yaitu   M. paratuberculosis, yang memicu  

terjadinya enteritis regional. 

 

Epidemilogi penyakit yang diduga disebabkan oleh kelompok mikobakteria ini tidak dapat 

diterangkan dengan jelas namun  kuman ini dapat ditemukan ditanah, susu dan air; sedang  

faktor lain seperti kerusakan jaringan, keadaan imunosupresi mungkin dapat menjadi faktor 

predisposisi timbulnya penyakit ini. Pengecualian pada kuman yang memicu  lesi pada 

kulit tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang. Bakteri ini terkadang dapat 

ditemukan dalam sputum atau bilas lambung walaupun tidak ada gejala klinis.  Biakan yang 

positif dari spesimen yang diambil dari luka atau jaringan dapat dianggap sebagai konfirmasi 

diagnosis. 

Secara umum sebagai pegangan, diagnosa penyakit yang memerlukan pengobatan didasarkan 

pada isolasi koloni kuman yang ditemukan secara berulang kali dari penderita yang 

penyakitnya berkembang progresif. Dapat terjadi reaksi silang hasil pembacaan Skintest 

antara penyakit paru yang disebabkan kuman TBC dengan penyakit yang disebabkan oleh 

kuman non TBC. Kemoterapi cukup efektif untuk M. kansasii dan M. marinum namun  OAT 

tradisional terutama prirazinamid tidak efektif untuk mikobakteria lainnya.  Tes sensitivitas 

mutlak perlu dilakukan  untuk mengetahui kemoterapi yang tepat untuk dapat digunakan. 

Tindakan operatif dapat dipertimbangkan terutama bila penyakit terlokalisir seperti pada 

limfadenitis servikal atau abses subkutaneus ataupun lesi pada paru yang terlokalisir. 

Infeksi oleh M. Avium Complex (MAC) diseminata merupakan masalah utama pada penderita 

HIV  dan upaya pengobatan yang dilakukan masih belum maksimal sampai saat ini.  Untuk 

Kasus infeksi MAC maka regimen pengobatan yang berisi rifabutin dan Clarithromycin 

dianggap sebagai regimen terapi yang potensial.  Rifabutin telah disetujui untuk dipakai 

sebagai pengobatan profilaksis terhadap infeksi MAC pada penderita HIV dengan CD4 < 100. 

 

 

TULAREMIA       ICD-9 O21; ICD-10 A21  

(Demam kelinci, Demam lalat-kijang, penyakit Ohara, penyakit Francis) 

 

1. Identifikasi  

 

 553

 Merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri dengan manifestasi klinis 

yang sangat bervariasi tergantung kepada tempat masuknya bakteri dan virulensi dari 

bakteri yang menginfeksi. Gejala klinis lebih sering muncul sebagai ulcus yang indolen 

ditempat masuknya bakteri disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe disekitarnya 

(tipe ulseroglanduler). Manifestasi lain dapat berupa infeksi tanpa disertai timbulnya 

ulcus, hanya terjadi pembengkakan satu atau beberapa kelenjar limfe disertai dengan rasa 

sakit. 

 Pembengkakan kelenjar limfe ini mengalami supurasi (tipe glanduler). Tertelannya 

mikroorganisme sebab  mengkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar dapat 

menimbulkan faringitis dengan rasa sakit (dengan atau tanpa terjadi ulserasi), sakit perut, 

diare dan muntah (tipe orofaringeal). Jika mikroorganisme masuk kedalam tubuh melalui 

inhalasi dapat terjadi pneumonia atau sindroma septikemi primer, jika tidak segera diberi 

pengobatan yang tepat, dapat menimbulkan kematian dengan CFR sekitar 30 – 60% (tipe 

tifoidal). Mikroorganisme yang masuk melalui darah biasanya menimbulkan penyakit 

yang terlokalisir pada paru dan ruangan pleura (tipe pleuropulmoner). Walaupun sangat 

jarang sekali, mikroorganisme dapat masuk melalui Sacus conjunctivus dan menimbulkan 

konjungtivitis purulenta disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe disekitarnya (tipe 

okuloglanduler). Dari semua tipe infeksi diatas dapat terjadi komplikasi pneumonia yang 

memerlukan pengenalan dan pengobatan secara dini untuk mencegah kematian. 

 Ada dua biovarians dengan patogenisitas yang berbeda yang dapat memicu  penyakit 

pada manusia. Organisme yang disebut dengan nama Jellison type A yaitu   jenis yang 

lebih virulen, jika tidak diobati dengan benar dapat menimbulkan kematian dengan CFR 

berkisar antara 5 – 15% terutama disebabkan oleh penyakit dengan tipe tifoidal atau 

dengan tipe pleuropulmoner. Dengan pengobatan memakai   antibiotika yang tepat 

CFR dapat diturunkan secara bermakna. Biovarian dengan nama Jellison type B, 

virulensinya lebih rendah walaupun tidak diobati, CFR-nya rendah. Secara klinis 

tularemia sulit dibedakan dengan pes dan dengan penyakit lain seperti infeksi oleh 

Stafilokokus dan Streptokokus, Cat Scratch fever, Sporotrichosis oleh sebab  semua 

penyakit yang disebutkan diatas dapat menimbulkan pembengkakan kelenjar limfe yang 

bubonik dan pneumonia berat. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis 

dan diagnosa pasti dibuat sebab  adanya kenaikan titer antibodi spesifik yang muncul 

pada minggu kedua sakit. Terjadi reaksi silang dengan infeksi spesies Brucella. Diagnosa 

cepat dibuat melalui pemeriksaan spesimen yang diambil dari eksudat ulcus dan aspirat 

dari kelenjar limfe dengan tes FA. 

 Biopsi yang dilakukan untuk tujuan diagnostik harus dilindungi dengan pemberian 

antibiotik yang tepat sebab  tindakan biopsi dapat menimbulkan septikemi. Bakteri 

Pemicu  infeksi dapat diisolasi melalui kultur pada media khusus seperti dengan media 

cysteine glucose blood agar atau dengan melakukan inokulasi binatang percobaan dengan 

bahan yang diambil dari lesi, darah dan sputum. Untuk menentukan biovarians dilakukan 

dengan pemeriksaan reaksi kimiawi. Tipe A memfermentasikan gliserol dan merubah 

citrulline menjadi ornithine. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dengan sangat 

hati-hati oleh sebab  dapat terjadi penularan bahan infeksius melalui udara. Oleh sebab  

itu identifikasi dengan memakai   media kultur hanya dilakukan dilaboratorium 

rujukan yang sudah sangat berpengalaman dengan fasilitas keamanan yang memadai. 

Umumnya diagnosis ditegakkan hanya dengan pemeriksaan serologis.  

 

 

 554

2. Pemicu  penyakit  

 Mikroorganisme Pemicu  penyakit yaitu   Francisella tularensis (dulu disebut 

Pasteurella tularensis), sejenis kokobasilus yang non motil, berbentuk kecil, gram negatif. 

Semua isolat secara serologis homogen dibedakan satu sama lain secara epidemiologis 

dan biokemis yaitu menjadi Jellison Type A (F. tularensis biovarian tularensis) dengan 

LD50 pada kelinci lebih kecil dari 10 bakteria atau Jellison type B (F. tularensis biovarian 

palaearctica) dengan LD50 pada kelinci lebih besar dari 107 bakteria. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Tularemia tersebar hampir di semua bagian Amerika Utara dan di sebagian besar benua 

Eropa, di bekas Uni Soviet, Cina dan Jepang. Di AS penyakit ini ditemukan sepanjang 

tahun; insidensi penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada orang dewasa dimusim dingin 

pada saat musim perburuan kelinci dan pada anak-anak dimusim panas pada saat densitas 

vektor berupa kutu dan lalat pada menjangan/kijang meningkat. F. tularensis biovarian 

tularensis terbatas ditemukan hanya dibagian utara benua Amerika dan sering ditemukan 

pada kelinci (jenis Cottontail, Jack dan Snowshoe), dan biasanya penularan terjadi sebab  

gigitan kutu binatang ini . sedang  F. tularensis biovarian palaearctica sering 

ditemukan pada mamalia selain kelinci di bagian utara benua Amerika; berbagai strain 

ditemukan di Elerasia pada binatang jenis voles, muskrat dan tikus air. sedang  di 

Jepang ditemukan pada kelinci.  

 

4. Reservoir  

 Berbagai jenis binatang liar seperti kelinci, hares, voles, muskrats, beavers dan beberapa 

jenis binatang domestik dapat berperan sebagai reservoir; begitu juga berbagai jenis kutu 

dapat berperan sebagai reservoir, sebagai tambahan telah ditemukan siklus penularan dari 

rodentia – nyamuk untuk F. tularensis biovarian palaearctica didaerah Skandinavia, 

Baltic dan Rusia. 

 

5. Cara penularan 

 Berbagai cara penularan telah diketahui antara lain melalui gigitan binatang berkaki 

beruas (artropoda) seperti kutu Dermacentor andersoni, kutu anjing D. variabilis, 

Anblyomma americanum (the lonestar stick); dan walaupun jarang terjadi, lalat Chrysops 

discalis pada kijang/menjangan dapat juga menularkan penyakit ini. Di Swedia nyamuk 

Aedes cinerius diketahui dapat menularkan penyakit ini melalui inokulasi kulit, melalui 

mukosa konjungtiva dan mukosa orofaring yang terpajan dengan air yang terkontaminasi. 

Penularan dapat juga terjadi sebab  terpajan dengan darah atau jaringan binatang yang 

terinfeksi (pada waktu menguliti binatang, memotong daging atau pada waktu melakukan 

nekropsi); mengkonsumsi daging atau jaringan binatang yang terinfeksi yang tidak 

dimasak dengan sempurna; minum air yang terkontaminasi; inhalasi debu yang 

terkontaminasi atau inhalasi partikel dari tumpukan rumput/jerami kering dan padi-padian 

yang terkontaminasi. Jarang sekali penularan terjadi melalui gigitan coyote (sejenis 

rubah), tupai, musang, babi hutan, kucing atau anjing yang mulutnya tercemar sebab  

diduga memakan binatang yang terinfeksi. Penularan juga jarang terjadi sebab  bulu dan 

cacar binatang. Jika penularan terjadi sebab  kecelakaan dilaboratorium biasanya berupa 

pneumonia primer dn tularemia tifoidal. 

 

 

 555

6. Masa Inkubasi: Masa inkubasi sangat bergantung pada virulensi daripada 

mikroorganisme dan tergantung pada ukuran inokulum. Biasanya berkisar antara 1 – 14 

hari, rata-rata 3 – 5 hari. 

 

7. Masa Penularan: Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Pada penderita yang 

tidak diobati mirkoorganisme Pemicu  penyakit ditemukan didalam darah selama 2 

minggu pertama infeksi, dan ditemukan didalam lesi selama satu bulan bahkan terkadang 

lebih lama. Lalat mengandung bakteri selama 14 hari dan kutu selama hidup mereka 

(sekitar 2 tahun). Daging kelinci yang dibekukan pada suhu –150C (50F) tetap infektif 

selama 3 tahun. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Semua usia rentan terhadap infeksi, setelah sembuh dari 

penyakit timbul kekebalan jangka panjang. Namun pernah dilaporkan adanya reinfeksi 

pada petugas laboratorium. 

 

9. Cara – cara pemberantasan 

A. Cara-cara Pencegahan 

1). Berikan penyuluhan kepada warga  untuk menghindari diri terhadap gigitan 

kutu, lalat dan nyamuk. Hindari minum air, mandi atau bekerja diperaiaran yang 

tidak ditangani dengan baik dimana didaerah ini  angka infeksi pada binatang 

liar sangat tinggi. 

2). Pakailah sarung tangan pada saat menguliti binatang terutama kelinci. Masaklah 

daging kelinci liar atau binatang rodensia sebelum dikonsumsi. 

3). Berlakukan larangan pengapalan antar pulau terhadap hewan atau daging hewan 

yang terinfeksi. 

4). Vaksinasi intradermal dengan skarifikasi memakai   vaksin jenis “Live 

attenuated” digunakan secara luas dibekas Uni Soviet dan secara terbatas 

digunakan dikalangan pekerja dengan risiko penularan di AS. 

 Vaksin “Live anttenuated” yang dulu pernah digunakan untuk tujuan penelitian 

pada petugas laboratorium di AS saat ini tidak lagi tersedia. 

5). Pakailah masker, pelindung mata, sarung tangan dan jas laboratorium (Personal 

Protection Equipment) dan pergunakan kabinet dengan tekanan negatif pada saat 

bekerja dengan kultur F. tularensis. 

 

B. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Didaerah endemis tertentu di AS dan 

di sebagian besar negara di dunia penyakit ini tidak wajib dilaporkan, kelas 3B 

(lihat tentang pelaporan penyakit menular) 

2). Isolasi: Hati-hati dengan sekret dan discharge dari lesi terbuka, lakukan 

kewaspadaan universal 

3). Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap discharge yang keluar dari ulkus, 

kelenjar limfe atau konjungtiva.  

4). Karantina: Tidak dilakukan 

5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Investigasi perlu dilakukan terhadap setiap 

kasus untuk menemukan sumber infeksi. 

 

 556

7). Pengobatan spesifik: Obat pilihan yaitu   streptomisin atau gentamisin, diberikan 

selama 7 – 14 hari; sedang  tetrasiklin dan kloramfenikol bersifat bakteriostatik 

jika diberikan kurang dari 14 hari, relaps lebih sering terjadi dibandingkan 

pengobatan dengan memakai   streptomisin. Namun telah ditemukan 

mikroorganisme virulen yang resisten terhadap streptomisin. Tindakan insisi, 

biopsi, aspirasi yang dilakukan untuk mengambil sampel pada kelenjar limfe yang 

terinfeksi dapat menyebarkan infeksi. Tindakan ini harus dilindungi dengan 

antibiotika yang tepat. 

 

C.  Cara-cara Penanggulangan Wabah 

 Lakukan pelacakan untuk menemukan sumber infeksi yang ada kaitannya dengan 

artropoda, binatang lain yang berperan sebagai hospes, air, tanah dan tanaman yang 

tercemar. Cara-cara pemberantasan seperti yang disebutkan pada 9A diatas. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada 

 

F. Upaya untuk mengatasi Bioterorisme 

 Tularemia dianggap potensial digunakan untuk melakukan tindaan bioterorisme 

terutama jika dilakukan melalui udara (aerosol) seperti halnya pada pes, maka orang 

yang menghirup udara yang mengandung tularemia akan mengalami pneumonia 

primer. Kasus ini memerlukan diagnosis dini dan pengobatan dini untuk mencegah 

kematian. Setiap saat jika ditemukan adanya F. tularensis harus segera dilaporkan 

kepada petugas dan petugas keamanan (di AS dilaporkan ke FBI) lebih-lebih kalau 

kasus ini  menggerombol. Laporan ini diperlukan agar bisa segera dilakukan 

investigasi. 

 

 

 

 

DEMAM TYPHOID      ICD-9 002.0; ICD-10 A01.0 

(Demam enterik, Tifus Abdominalis) 

 

DEMAM PARATIFOID     ICD-9 002.1-002.9; ICD-10 A01.1 – A01.4 

 

1. Identifikasi 

 yaitu   penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan demam insidius 

yang berlangsung lama, sakit kepala yang berat, badan lemah, anoreksia, bradikardi 

relatif, splenomegali, pada penderita kulit putih 25% diantaranya menunjukkan adanya 

“rose spot” pada tubuhnya, batuk tidak produktif pada awal penyakit, pada penderita 

dewasa lebih banyak terjadi konstipasi dibandingkan dengan diare. Gejala lebih sering 

berupa gejala yang ringan dan tidak khas. 

 Pada demam tifoid dapat terjadi ulserasi pada plaques peyeri pada ileum yang dapat 

memicu  terjadinya perdarahan atau perforasi (sekitar 1% dari kasus), hal ini sering 

terjadi pada penderita yang terlambat diobati.  

 

 557

  Dapat juga timbul demam tanpa disertai keringat, gangguan berfikir, pendengaran 

berkurang dan parotitis. CFR pada waktu belum ditemukannya antibiotika bisa mencapai 

10 – 20%, saat ini CFR kurang dari 1% jika segera diberikan pengobatan dengan 

antibiotika yang tepat. Tergantung pada jenis antibiotika yang dipakai, penderita yang 

telah sembuh dapat mengalami relaps (kira-kira 15 – 20%), biasanya penyakit lebih ringan 

dibandingkan dengan penyakit yang dialami pertama kali. 

  Nomenklatur baru berdasarkan hubungan DNA diusulkan untuk pemberian nama pada 

salmonella sesuai dengan nomenklatur baru ini  hanya ada dua species salmonella 

yaitu – Salmonella bongori dan Salmonella enterica. Semua bakteri yang patogen 

terhadap manusia dikelompokkan kedalam serovarian dibawah sub species I dan S. 

enterica. Dengan nomenklatur baru yang diusulkan ini  maka S. typhi akan berubah 

menjadi S. enterica serovarian Typhi dan disingkat dengan S. Typhi (penulisannya tidak 

dengan huruf italik dan ditulis dengan huruf besar). Beberapa badan resmi telah 

memakai   nomenklatur yang diusulkan ini  walapun sampai dengan pertengahan 

tahun 1999 nomenklatur baru ini  belum disahkan pemakaiannya. Pada bab ini telah 

digunakan nomenklatur baru ini . 

  Demam paratifoid memberikan gambaran klinis yang sama dengan demam tifoid, namun 

cenderung lebih ringan dengan CFR yang jauh lebih rendah. Ratio Distribusi Penyakit 

yang disebabkan oleh Salomnella enterica serovarian Typhi (S. Typhi) dibandingkan 

dengan S. enterica serovarian Paratyphi A dan B (S. Paratyphi A, S. Paratyphi B) kira-kira 

10 : 1. Relaps dapat terjadi pada 3 – 4% dari kasus. Jika infeksi Salmonella tidak terjadi 

secara sistemik maka manifestasinya hanya berupa gastro enteritis. Organisme Pemicu  

penyakit dapat diisolasi dari darah pada permulaan penyakit, sedang  pada urine dan 

tinja organisme baru dapat ditemukan seminggu setelah sakit. Konfirmasi bakteriologis 

melalui pemeriksaan kultur sampel sumsum tulang yaitu   yang terbaik walaupun pada 

penderita yang telah mendapatkan pengobatan antibiotika (kultur sampel sumsum tulang 

ini dengan “recovery” mencapai 90 – 95%). Tes serologis seperti tes widal nilai 

diagnostiknya rendah sebab  sensitivitas dan spesifisitasnya rendah. 

 

2. Pemicu  penyakit 

 Demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi, basil Tifoid. Untuk tujuan studi epidemiologis 

maka prosedur pemeriksaan laboratorium “phage typing” dan “pulsed field gel 

electrophoresis” dari S. Typhi memiliki  nilai yang tinggi untuk melakukan identifikasi 

terhadap isolat. Untuk demam paratifoid dikenal ada 3 serovarians S. enterica yaitu : S. 

Paratyphi A, S. Paratyphi B, S. Paratyphi C. Dikenal beberapa macam “phage types”. 

 

3. Distribusi penyakit 

  Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia. Insidensi penyakit demam tifoid diseluruh 

dunia mencapai 17 juta setahun dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang. Di 

Amerika Serikat demam tifoid muncul sporadis dan relatif konstan berkisar antara 500 

kasus setahun selama bertahun-tahun (bandingkan dengan demam tifoid yang dilaporkan 

sebanyak 2484 pada tahun 1950).Dengan mewarga nya perilaku hidup bersih dan 

sehat, mewarga nya pemakaian jamban yang saniter maka telah terjadi penurunan 

kasus demam Tifoid, dan yang terjadi di Amerika Serikat yaitu   kasus import dari daerah 

endemis. Sekarang sering ditemukan strain yang resisten terhadap kloramfenikol dan 

terhadap antibiotika lain yang umum digunakan untuk demam tifoid.  

 

 558

  Kebanyakan isolat yang dikumpulkan pada tahun 90an dari Asia Tenggara, Asia Selatan, 

Timur Tengah dan Afrika Timur Laut yaitu   strain yang membawa plasmid dengan faktor 

R yang membawa kode resistens terhadap berbagai jenis antibiotika yang dulu umum 

dipakai untuk mengobati demam tifoid seperti kloramfenikol, amoksisilin, 

trimetroprim/sulfametoksasol. 

  Demam paratifoid muncul secara sporadis atau muncul sebagai KLB terbatas, mungkin 

juga kejadiannya lebih banyak daripada yang dilaporkan. DI AS dan Kanada demam 

paratifoid jarang teridentifikasi. Dari ketiga jenis demam paratifoid, paratifoid B yaitu   

yang paling sering ditemukan, paratifoid A lebih jarang dan yang paling jarang yaitu   

paratifoid C. 

 

4. Reservoir 

 Manusia merupakan reservoir bagi tifoid maupun paratifoid; walapun jarang binatang 

peliharaan dapat berperan sebagai reservoir bagi paratifoid. Kontak dalam lingkungan 

keluarga dapat berupa carrier yang permanen atau carrier sementara. Status carrier dapat 

terjadi setelah serangan akut atau pada penderita su