penyakit menular 23


  

dengan embrio. Gejala klinis bisa muncul lebih cepat. 

 

6. Masa Inkubasi: Tidak jelas 

 

7. Masa Penularan: Masa penularan dapat berlangung beberapa tahun pada carrier yang 

tidak diobati. 

8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap infeksi cacing ini. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan  

A. Cara-cara Pencegahan   

1). Beri Penyuluhan kesehatan kepada semua anggota keluarga, terutama anak-anak 

mengenai manfaat penggunaan jamban. 

2). Sediakan fasilitas jamban yang cukup untuk pembuangan kotoran. 

3). Mendorong kebiasaan yang higienis, perilaku hidup bersih dan sehat, terutama 

membiasakan cuci tangan sebelum makan, cucilah sayur sayuran, buah buahan dan 

bahan makanan lainnya sebaik baiknya sebelum di konsumsi, untuk menghindari 

tertelannya tanah dan debu yang mencemari. 

 

 536

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat:  Laporan wajib tidak dilakukan, kelas 5 

(Lihat tentang Pelaporan Penyakit Menular). Jika ditemukan sejumlah penderita 

trichuriasis di suatu sekolah beritahukan kepada kepala sekolah dan pejabat yang 

bertanggung jawab terhadap UKS. 

2) Isolasi :  tidak diperlukan 

3) Disinfeksi: tidak diperlukan; lakukan pembuangan kotoran yang saniter. 

4) Karantina: tidak perlu 

5) Imunisasi kontak: tidak dilakukan 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan pemeriksaan terhadap semua 

spesimen tinja dari seluruh anggota keluarga yang menunjukkan gejala, terutama 

anak-anak dan teman main mereka. 

7) Pengobatan spesifik : 

 Obat pilihan :  Mebendazole (Vermox ®)  

 Obat alternatif   :  Albendazole (Zentel®) dan Oxantel (Tidak beredar di AS) 

 Peraturan yang umum : Wanita hamil pada trimester pertama tidak diberikan 

pengobatan kecuali ada indikasi medis spesifik 

 

C. Penanggulangan wabah:  Tidak ada. 

 

D. Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut :  Tidak ada. 

 

 

 

 

TRYPANOSOMIASIS     ICD - 9 086, ICD-10 B56 – B57 

 

I. AFRICAN TRYPANOSOMIASIS   ICD - 9  086.3 – 086.5 ; ICD-10 B56 

 

1. Identifikasi   

Merupakan penyakit protozoa sistemik. Stadium awal penyakit ditandai dengan 

terbentuknya ulcus (Chancre) yang sakit sekali yang pada awalnya berkembang dari 

papula menjadi nodula. Gejala-gejala ini ditemukan pada tempat gigitan lalat tse tse. 

Gejala lain yang ditemukan yaitu   demam, sakit kepala yang amat sangat, insomnia, 

pembengkakan kelenjar limfe tanpa disertai rasa sakit, berat badan menurun, somnolen 

dan tanda-tanda lain SSP. Penyakit gambiense (ICD9 086.3; ICD-10 B56.0) bisa 

berlangsung bertahun tahun; sedang  penyakit rhodesiense (ICD-9 086.4; ICD-10 

B56.1) lethal dalam beberapa minggu atau dalam beberapa bulan jika tidak diobati. Kedua 

bentuk penyakit ini fatal jika tidak diobati.  

Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya trypanosoma didalam darah, cairan limfe atau 

LCS. Untuk penyakit jenis gambiense diperlukan teknik konsentrasi parasit seperti 

sentrifugasi dengan tabung kapiler, “Quantitative Buffy Coat” (QBC) atau dengan 

“minianion exchange centrifugation”. Teknik-teknik ini jarang digunakan pada penyakit 

jenis rhodesiense.  

 

 537

Untuk penyakit jenis rhodesiense terkadang digunakan teknik inokulasi pada tikus 

percobaan. Spesimen yang diambil dari aspirat kelenjar limfe membantu ditemukannya 

parasit. Antibodi spesifik dapat diketahui dengan memakai   teknik pemeriksaan 

ELISA, IFA dan tes aglutinasi. Titer imunoglobulin yang tinggi terutama IgM umum 

ditemukan pada penderita tripanosomiasis Afrika “Circulating antigen” dapat dideteksi 

dengan memakai   berbagai teknik pemeriksaan imunologis seperti dengan kartu Tryp 

Tech CIATT, tes aglutinasi tidak langsung. 

 

2. Pemicu  Penyakit  

Pemicu  penyakit yaitu   Trypanosoma brucei gambiense dan T.b. rhodesiense, flagelata 

darah. Kriteria untuk diferensiasi spesies tidaklah mutlak; isolat yang diambil dari kasus 

virulen dengan perjalanan penyakit yang sangat progresif dianggap sebagai  T. B 

rhodesiense, terutama apabila infeksi terjadi di Afrika bagian timur. sedang  jika 

infeksi didapatkan di Afrika bagian barat dan tengah, biasanya perjalanan penyakit lebih 

kronis biasanya disebabkan oleh T.b. gambiense. 

 

3. Distribusi Penyakit 

Penyakit ini menyebar didaerah tropis benua Afrika antara 150LU dan 200LS, sesuai 

dengan daerah penyebaran lalat tsetse. Di daerah endemis 0,1% - 2% warga  terineksi. 

Pada saat terjadi KB prevalensi penyakit ini bisa mencapai 70%. KLB dapat terjadi 

apabila sebab  sesuatu hal terjadi peningkatan intensitas kontak antara manusia dan lalat 

tsetse atau strain tripanosoma yang virulen masuk kedaerah dimana densitas lalat tsetse 

sangat padat. Masuknya strain virulen dimungkinkan oleh sebab  adanya pergerakan 

hospes manusia atau lalat tsetse yang terinfeksi ke suatu daerah. Lalat Glossina palpalis 

merupakan vector utama, dibagian barat dan bagian tengah Afrika. Infeksi biasanya terjadi 

disepanjang aliran sungai atau anak sungai yang berbatasan dengan daerah yang berhutan. 

Di Afrika bagian timur dan danau victoria vector utamanya yaitu   kelompok G. 

Morsitans, infeksi terjadi didaerah savana yang kering.  

G. fuscipes yang termasuk dalam kelompok palpalis merupakan vector penular penyakit 

pada saat KLB penyakit tidur jenis rhodiense yang terjadi di Kenya dan Zaire dan vector 

ini juga sejak tahun 1976 diketahui sebagai vector pada penularan peridomestik di 

Uganda. 

 

4.  Reservoir: Untuk T.b. gambiense, manusia merupakan reservoir utama, sedang  

peranan binatang peliharaan dan binatang buas sebagai reservoir tidak jelas. Binatang 

buas terutama babi hutan dan sapi peliharaan merupakan reservoir utama T.b. rhodiense. 

 

5. Cara Penularan: Penularan terjadi melalui gigitan lalat tsetse Glossina infektif. Di alam 

terdapat  6 spesies  yang  berperan sebagai  vektor  utama, G. Palpalis, G. Tachinoides, G. 

Morsitans, G. Pallidipes, G. Swynnertoni dan G.fuscipes. Lalat tsetse terinfeksi sebab  

menghisap darah manusia atau binatang yang mengandung trypanosoma. 

Parasit berkembang biak dalam tubuh lalat selama 12-30 hari, tergantung pada suhu dan 

faktor-faktor lain, sampai terjadi bentuk infektif didalam kelenjar-kelenjar ludahnya. 

Sekali terinfeksi lalat tsetse akan tetap infektif selama hidupnya (rata-rata 3 bulan, bisa 

sampai 10 bulan). Infeksi pada lalat tidak diturunkan ke generasi lalat berikutnya.  

 

 

 538

Penularan kongenital dapat terjadi pada manusia. Penularan langsung secara mekanis 

dapat terjadi melalui darah pada probosis Glossina dan serangga penggigit lainnya, seperti 

lalat kuda, atau sebab  kecelakaan di laboratorium. 

 

6.  Masa Inkubasi    

Masa inkubasi  infeksi  T.b. rhodiensiense  yang  lebih  virulen, biasanya 3 hari sampai 

dengan beberapa minggu. Masa inkubasi infeksi T.b gambiense yang lebih kronik, 

berlangsung lebih lama yaitu beberapa bulan sampai bahkan beberapa tahun. 

 

7. Masa Penularan   

 Penularan kepada lalat tsetse terjadi selama ada parasit didalam darah manusia dan hewan 

yang terinfeksi. Parasitemia muncul dengan intensitas bervariasi pada saat-saat tertentu 

pada kasus-kasus yang tidak di obati, parasitemia terjadi pada semua stadium tahapan 

penyakit. Pada suatu penelitian yang dilakukan terhadap penyakit rhodesiense, 

parasitemia ditemukan hanya pada 60 % kasus infeksi. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan  

 Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Kadang kala terjadi infeksi tanpa gejala baik 

pada infeksi T b. Gambiense maupun infeksi T.b. rhodesiense. Pernah ada yang 

melaporkan bahwa ada penderita dengan infeksi jenis gambience tanpa gejala SSP yang 

sembuh spontan namun laporan ini belum terbukti kebenarannya. 

 

9. Cara-cara pemberantasan  

A. Cara-cara Pencegahan  

Memilih cara pencegahan yang tepat harus di dasari pada pengetahuan dan pengenalan 

ekologi dari vektor dan Pemicu  penyakit disuatu wilayah. Dengan pengetahuan 

ini ,  maka suatu daerah  dengan keadaan geografis tertentu, dapat dilakukan satu 

atau beberapa langkah berikut sebagai langkah prioritas dalam upaya pencegahan : 

1). Berikan Penyuluhan kepada warga  tentang cara-cara perlindungan diri 

terhadap gigitan lalat tsetse. 

2). Menurunkan populasi parasit melalui survei warga  untuk menemukan mereka 

yang terinfeksi, obati mereka yang terinfeksi. 

3). Bila perlu hancurkan habitat lalat tsetse, namun tidak dianjurkan  untuk 

menghancurkan vegetasi secara tidak merata. Membersihkan semak-semak dan 

memotong rumput disekitar desa sangat bermanfaat pada saat terjadi penularan 

peridomestik. Apabila pada wilayah yang telah dibersihkan dari vegetasi liar 

dilakukan reklamasi dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian maka masalah vektor 

teratasi untuk selamanya. 

4)  Mengurangi kepadatan lalat dengan memakai   perangkap dan kelambu yang 

sudah dicelup dengan deltametrin serta dengan penyemprotan insektisida residual 

(perythroid sintetik 5%, DDT, dan dieldrin 3% merupakan insektidida yang 

efektif). Dalam situasi darurat gunakan insektisida aerosol yang disemprotkan dari 

udara. 

5) Melarang orang-orang yang pernah tinggal atau pernah mengunjungi daerah 

endemis di Afrika untuk menjadi donor darah. 

 

 

 539

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada Instansi Kesehatan setempat : Di daerah endemis tertentu, 

kembangkan sistem pencatatan dan pelaporan. Dan galakkan upaya pencegahan 

dan pemberantasan. Disebagian besar negara penyakit ini bukan penyakit yang 

wajib di laporkan kelas 3 B (lihat tentang pelaporan Penyakit Menular). 

2) Isolasi: Tidak dilakukan. Cegahlah agar lalat tsetse tidak menggigit penderita 

trypanosomiasis. Di beberapa negara, diberlakukan peraturan pembatasan gerak 

dari pasien-pasien yang tidak diobati. 

3) Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan 

4) Karantina:  Tidak dilakukan 

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : Bila penderita merupakan anggota dari 

rombongan wisatawan merupakan anggota dari rombongan wisatawan, maka 

anggota lain dari rombongan ini  harus diberi tahu agar berhati-hati dan 

terhadap mereka dilakukan investigasi. 

7)  Pengobatan spesifik: Bila tidak terjadi perubahan gambaran sel dan kadar protein 

pada LCS, suramin merupakan obat pilihan untuk infeksi T.b. rhodiense  dan 

pentamidine untuk infeksi T.b. gambiense. Namun obat-obat ini tidak dapat 

menembus barier darah otak. 

 T.b. rhodesiense, mungkin sudah resistens terhadap pentamidine, Melarsoprol 

(Mel-B®) telah digunakan dengan hasil yang sangat efektif untuk mengobati 

pasien dengan gambaran LCS abnormal untuk semua jenis parasit, namun efek 

samping yang berat mungkin dapat terjadi pada 5 % - 10 % dari penderita. 

 Suramin dan melarsoprol bisa didapatkan dan tersedia di Depot Farmasi CDC 

Atlanta untuk tujuan penelitian. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa Eflornithin 

(difluoromethylornithine (DFMO), Ornidyl®) lebih baik digunakan untuk 

pengobatan penyakit gambiense SSP, obat ini sejak tahun 1999 tidak ada dalam 

persediaan lagi di CDC Atlanta dan penyediaan obat ini oleh WHO dimasa yang 

akan datang tidak dapat dipastikan. Terhadap semua penderita yang sudah diobati 

harus dilakukan pemeriksaan ulang 3, 6 dan 24 bulan setelah pengobatan untuk 

mencegah kemungkinan relaps. 

 

C. Penanggulangan Wabah 

Dalam keadaan KLB lakukkan survei massal yang terorganisasikan dengan baik dan 

berikan pengobatan bagi penderita yang ditemukan serta lakukan pengendalian lalat 

tsetse. 

Bila terjadi lagi KLB di daerah yang sama walaupun sudah melaksanakan upaya-

upaya pemberantasan, maka upaya-upaya yang tercantum pada butir 9A harus 

dilakukan dengan lebih giat. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada.  

 

E. Penanganan lebih lanjut  : 

Meningkatkan upaya kerjasama lintas sektor di daerah endemis. Penyebar luasan 

informasi dan meningkatkan tersedianya bahan dan alat diagnosa sederhana untuk 

skrining dan upaya sederhana pengendalian vektor.  

 

 540

Kembangkan sistem yang efektif pendistribusian reagen dan obat-obatan. 

Kembangkan sistem pelatihan pada tingkat nasional dan lebih lanjut . Manfaatkan 

pusat-pusat kerjasama WHO. 

 

 

TRYPANOSOMIASIS AMERIKA   ICD-9 086.2 ; ICD-10.B.57 

(Penyakit Chagas)                                  

 

1. Identifikasi  

Merupakan penyakit akut yang umumnya menyerang anak-anak sedang  manifestasi 

kronis yang bersifat irriversible terjadi belakangan. Kebanyakan penderita yang terinfeksi 

tidak menunjukkan gejala klinis. Penyakit akut ditandai dengan demam dengan derajat 

yang bervariasi, malaise limfadenopati dan splenomegali. Reaksi inflamasi timbul pada 

tempat terjadinya infeksi yang disebut Chagoma yang biasanya menghilang pada minggu 

ke 8. 

Dikedua kelopak mata terjadi pembengkakan unilateral pada sebagian kecil kasus yang 

disebut dengan Romana sign. Gejala fatal berupa miokarditis dan  meningoensefalitis 

dapat juga terjadi. Bisa juga terjadi gejala sisa kronis yang irreversible berupa kerusakan 

jantung seperti pembengkakan jantung, aritemia, kelainan konduksi yang berat serta 

kelainan pada saluran pencernaan berupa megaesofagus dan megakolon. Mega viscera 

pertama ditemukan di Brasilia bagian tengah. 

Kelainan jantung lebih sering ditemukan dibagian selatan Equador daripada dibagian 

utara. Pada penderita dengan AIDS terjadi meningoensefalitis yang luas disertai dengan 

nekrosis dan perdarahan sedang  miokarditis akut terjadi sebagai akibat infeksi kronis 

yang mengalami relaps. Gejala ini dapat juga terjadi pada penderita penyakit Chagas 

kronis yang disertai dengan kelainan imunitas non AIDS. 

Infeksi oleh Trypanosoma rangeli ditemukan pada daerah fokus endemis penyakit 

Chagas, yang membentang dari Amerika Tengah sampai ke Colombia dan Venezuela; 

terjadi parasitemia berkepanjangan dan terkadang disertai dengan infeksi T.cruzi (oleh 

sebab  T.rangei vectornya sama dengan T.cruzi), namun tidak timbul gejala klinis. 

Diagnosa penyakit chagas pada fase akut ditegakkan dengan ditemukannya parasit dalam 

darah dengan pemeriksaan langsung pada sediaan darah yang telah dilakukan hemo 

konsentrasi (jarang sekali parasit dapat ditemukan pada kelenjar limfe atau otot skeletal). 

Diagnosa juga dapat ditegakkan melalui kultur atau dengan xenodiagnosis (yaitu dengan 

cara menggigitkan kutu triatomid pada orang yang terinfeksi dan kemudian parasit 

ditemukan pada kotoran kutu ini  beberapa minggu kemudian). 

Parasitemia muncul lebih intens selama episode demam pada fase awal infeksi. Pada fase 

kronis, pemeriksaan dengan kultur dengan media difasik atau dengan Xenodiagnosis 

mungkin dapat memberikan hasil yang positif sedang  pemeriksaan dengan cara lain 

jarang sekali bisa menemukan parasit. T. Cruzi dibedakan dengan T. rangeli oleh sebab  

ukurannya lebih pendek (20 mm berbanding 36 mm) dan memiliki  kinetoplast yang 

lebih besar. Pemeriksaan serologis sangat bermanfaat baik untuk penderita individu 

maupun untuk tujuan akrining masal. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

Trypanosoma cruzi (Schizotripanum cruzi), protozoa yang menginfeksi manusia sebagai 

hemoflagelata atau sebagai parasit intraseluler tanpa flagelum eksternal. 

 

 541

3. Distribusi Penyakit 

Penyakit ini tersebar dibelahan bumi bagian Barat dengan distribusi yang luas 

dipedalaman Mexico, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Dibeberapa wilayah tertentu 

endemis tinggi. Ada 5 penderita infeksi akut yang ditularkan oleh vektor dilaporkan 

terjadi di Amerika Serikat; 3 kasus tambahan akibat transfusi darah. Reaktivasi infeksi 

pada penderita AIDS dapat memicu  terjadinya meningoensefalitis. 

Studi serologis yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa dapat terjadi penderita tanpa 

gejala. T. cruzi ditemukan pada mamalia di Alabama, Arizona Arkansas, California, 

Florida, Georgia, Laesiana, Maryland, New Mexico, Texas dan Utah. Penelitian yang 

dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dari hasil pemeriksaan serologis, 4.9% 

migran yang berasal dari Amerika Tengah yang tinggal di Washington DC telah 

terinfeksi. 

 

4. Reservoir   

Manusia bertindak sebagai reservoir bersama dengan lebih dari 150 species binatang baik 

domestik maupun binatang liar seprti: anjing, kucing, tikus dan binatang domestik lainnya 

ditambah dengan marsupialia, jenis binatang tanpa gigi, rodentia, chiropters, karnivora, 

primata. 

 

5. Cara Penularan: 

Vektor penghisap darah yang terinfeksi misalnya species Reduviidae (kutu berhidung 

mancung, kissing bugs),  terutama berbagai species dari genera Triatoma, Rhodnius, 

Panstrongylus pada kotorannya ditemukan trypanosoma. Kutu ini membuang kotorannya 

pada saat mereka menghisap darah; manusia atau mamalia lain terinfeksi sebab  kotoran 

segar dari kutu yang terinfeksi ini  mencemari konjungtiva, membrana mukosa, kulit 

yang mengalami abrasi atau kutu terinfeksi kalau mereka mengisap orang atau mamalia 

yang sedang mengalami parasitemia. Parasit berkembang biak didalam saluran 

pencernaan kutu. 

Penularan dapat juga terjadi melalui transfusi darah sebab  meningkatnya donor yang 

terinfeksi diperkotaan akibat peningkatan migrasi dari daerah pedesaan. Parasit dapat 

menembus barier placenta dan dapat memicu  terjadinya infeksi kongenital. 

Penularan melalui air susu kemungkinannya sangat kecil, sehingga tidak ada alasan untuk 

melarang ibu penderita chagas menyusui anaknya. Infeksi sebab  kecelakaan 

laboratorium dapat terjadi walaupun sangat jarang. Transplantasi organ yang diambil adri 

penderita chagas meningkatkan risiko transmisi T. cruzi. 

  

6. Masa Inkubasi 

Masa inkubasi berkisar antara 5 – 14 hari setelah digigit oleh vektor yang terinfeksi. 

sedang  masa inkubasi sebab  menerima darah dari donor yang terinfeksi berlangsung 

selama 30 – 40 hari. 

 

7. Masa Penularan  

Parasit ada dalam darah selama fase akut dan dapat bertahan seumur hidup pada sebagian 

kecil penderita simptomatik dan penderita asimptomatik. 

Vektor menjadi terinfeksi dan parasit bertahan didalam usus kutu seumur hidupnya, 

sekitar 2 tahun. 

 

 542

8. Kerentanan dan kekebalan 

Semua umur rentan terhadap infeksi dan biasanya perjalanan penyakit lebih berat pada 

pederita usia muda. Orang dengan mimosupresi terutama penderita AIDS memiliki  

risiko mengalami infeksi dan komplikasi serius. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan. 

A. Cara-cara Pencegahan : 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  tentang cara-cara penularan dan cara-cara 

pencegahannya. 

2) Lakukan penyemprotan berkala dengan insektisida dengan efek residual terhadap 

rumah yang konstruksinya tidak sehat dan rumah yang beratap rumbia untuk 

membunuh vektor. Vektor juga dapat dibunuh dengan fumigan yang ditaruh dalam 

kontainer. 

3) Membangun dan memperbaiki lingkungan permukiman untuk menghilangkan 

tempat perindukan vektor dan tempat berkembang biaknya binatang reservoir. 

4) Gunakan kelambu, pada rumah yang ada vektornya. 

5) Lakukan skrining terhadap darah dan organ tubuh dari donor yang pernah tinggal 

atau datang/berasal dari daerah-daerah endemis dengan memakai   tes serologis 

yang tepat untuk mencegah penularan melalui tranfusi dan transplantasi, sesuai 

dengan peraturan perundangan yang berlaku di negara-negara Amerika Selatan. 

Menambahkan gentian violet (25 ml gentian violet 5.0% per 500 ml darah 24 jam 

sebelum digunakan) dapat mencegah penularan. 

 

B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya. 

1) Laporan  ke Dinas Kesehatan setempat: Laporan diperlukan di daerah-daerah 

endemis tertentu. Disebagian besar negara, bukan penyakit yang harus dilaporkan, 

Kelas 3B (lihat laporan tentang penyakit menular). 

2) Isolasi: tidak praktis; Lakukan kewaspadaan universal terhadap darah dan cairan 

tubuh bagi pasien yang dirawat. 

3) Disinfeksi: Tidak dilakukan 

4) Karantina: Tidak dilakukan 

5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Cari rumah-rumah dengan atap rumbia, 

yang merupakan tempat perkembang biakan vektor. Terhadap semua angota 

keluarga penderita harus dilakukan pemeriksaan. Lakukan pemeriksaan serologis 

terhadap seluruh darah dan organ donor untuk mencegah terjadinya infeksi melalui 

transfusi atau melalui transplantasi. 

7) Pengobatan spesifik: Derivat Nitrofurfurylidene, yaitu Nifurtimox yaitu   obat 

yang sangat bermanfaat untuk pengobatan penderita akut. Obat ini tersedia didepot 

farmasi CDC-Atlanta, sebagai obat yang disediakan untuk penelitian. Obat ini juga 

tersedia di sebagian besar rumah sakit didaerah endemis. Benznidazole, derivat 2-

nitroimidazole terbukti juga cukup efektif untuk pengobatan penderita akut. 

C. Penanggulangan Wabah 

Didaerah dengan insidens penyakit yang tinggi lakukan survei lapangan untuk 

mengetahui distribusi dan densitas vektor dan binatang pejamu. 

D. Implikasi Bencana: Tidak ada 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada  

 

 543

TUBERKULOSIS      ICD-9 010-018; ICD-10 A15-A19 

(TB, Penyakit TB) 

 

1. Identifikasi 

Penyakit yang disebabkan oleh mikrobakterium ini merupakan Pemicu  utama kecacatan 

dan kematian hampir di sebagian besar negara diseluruh dunia. Infeksi awal biasanya 

berlangsung tanpa gejala; tes tuberkulin akan memberikan hasil yang positif 2 – 10 

minggu kemudian. Lesi awal pada paru umumya akan sembuh dengan sendirinya tanpa 

meninggalkan gejala sisa walaupun sangat jarang terjadi kalsifikasi pada kelenjar limfe 

paru dan kelenjar limfe trakeobronkial. Hampir 90 – 95% mereka yang mengalami infeksi 

awal akan memasuki fase laten dengan risiko terjadi reaktivasi seumur hidup mereka. 

Pemberian kemoterapi preventif yang sempurna dapat mengurangi risiko terjadinya TB 

klinis seumur hidup sebesar 95% dan kemoterapi preventif ini sangat efektif pada 

penderita HIV/AIDS. Hanya 5% dari orang normal dam 50% penderita HIV/AIDS yang 

terinfeksi TB akan berkembang menjadi TB paru klinis atau menjadi TB ekstrapulmoner. 

Akibat serius infeksi TB awal lebih sering terjadi pada bayi, dewasa muda dan pada orang 

dengan kelainan imunitas. 

TB ekstrapulmoner lebih jarang terjadi dibandingkan dengan TB paru. Anak-anak dan 

orang-orang dengan imunodefisiensi seperti halnya pada penderita HIV/AIDS lebih 

mudah mendapatkan TB ekstrapulmoner, namun TB paru tetap merupakan bentuk klinis 

yang menonjol dari infeksi TB di seluruh dunia. Infeksi TB dapat juga menyerang organ-

organ lain dalam tubuh manusia seperti kelenjar limfe, pleura, perikardium, ginjal, tulang 

dan sendi, laring, telinga bagian tengah, kulit, usus, peritonium dan mata. TB Paru 

progresif muncul dari reinfeksi eksogen atau muncul dari reaktivasi endogen dari fokus 

laten infeksi primer. Penderita TB progresif jika tidak diobati dengan benar akan 

meninggal dalam waktu lima tahun, rata-rata dalam waktu 18 bulan. Status klinis 

ditentukan dengan ditemukannya basil TB dalam sputum atau dari gambaran foto thorax. 

Gambaran densitas abnormal pada foto thorax sebagai tanda adanya infiltrat pada paru,  

kavitasi dan fibrosis. Gambaran ini bisa muncul sebelum timbul gejala klinis: lesu, 

demam, berkeringat dimalam hari, berat badan turun, dapat muncul lebih awal. sedang  

gejala lokal seperti batuk, sakit dada, suara serak dan batuk darah menonjol pada stadium 

lanjut dari penyakit. 

Orang dengan imunokompeten jika terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, M. 

africanum atau M. bovis akan memberikan hasil tes tuberkulosis dengan reaksi 

intermedier. Tes tuberkulosis memakai   5 IU International Standard of Purified 

Protein Deriva Standard (PPD-S). Reaksi dikatakan positif jika muncul indurasi dengan 

ukuran 5, 10 atau 15 mm tergantung pada tingkat pemajanan penyakit. Sekitar 10 – 20% 

penderita TB aktif tidak memberikan reaksi positif terhadap PPD. Dengan demikian, tes 

tuberkulin yang hasilnya negatif tidak berarti bahwa seseorang tidak menderita TB aktif. 

Hasil tes tuberulin dengan indurasi lebih dari 5 mm dianggap positif untuk anggota rumah 

tangga atau mereka yang kontak dengan penderita TB aktif. sedang  orang dengan 

gambaran foto thorax yang abnormal menandakan penderita TB lama yang sudah sembuh 

atau mereka yang terinfeksi oleh HIV/AIDS, sedang  tes tuberkulin dengan diameter 

10mm dianggap positif untuk orang-orang dengan faktor risiko (diabetes mellitus, 

pecandu obat dan alkohol), orang-orang yang tinggal didaerah prevalensi TB tinggi,  

 

 

 544

orang-orang yang tinggal di daerah dengan status sosial ekonomi rendah, penghuni dan 

staf suatu institusi seperti penjara dan rumah tahanan serta untuk anak-anak usia dibawah 

4 tahun. sedang  hasil tes tuberkulin dengan diameter 15 mm atau lebih dianggap 

positif pada oang dewasa dan anak-anak usia diatas 4 tahun yang tinggal didaerah dengan 

prevalensi TB rendah. 

Tes tuberkulin terhadap penderita energi tidak dianjurkan walaupun untuk penderita 

dengan risiko tinggi seperti penderita dengan infeksi HIV. Tes tuberkulin untuk semua 

akan tidak lagi dilakukan di AS. Tes tuberkulin dilakukan segera terhadap anak-anak yang 

diduga menderita TB aktif, terhadap mereka yang berkunjung kedaerah endemis dan 

kontak penderita, terhadap migran dari daerah endemis. Terhadap penderita penyakit 

kronis yang tidak bisa sembuh dan terhadap penderita HIV/AIDS dilakukan tes tekulin 

setiap tahun. Terhadap anak-anak yang terpajan dengan orang dengan risiko tinggi, tes 

tuberkulin dilakukan setiap 2 – 3 tahun. Tes tuberkulin untuk anak usia 4 – 6 tahun dan 

usia 11 – 12 tahun dilakukan bila orang tua mereka yaitu   imigran dari daerah endemis 

atau jika anak-anak ini  tinggal didaerah risiko tinggi. 

Kadang kala pada penderita TB terjadi hipersensitivitas tertunda terhadap tes tuberkulin 

yang akan menghilang dengan berjalannya waktu. Pada orang ini jika dilakukan tes 

tuberkulin, akan memberikan hasil yang negatif. Namun dapat juga terjadi tes tuberkulin 

pertama yang dilakukan akan merangsang tubuh untuk memberikan reaksi positif pada tes 

tuberkulin berikutnya. Reaksi “boosted” ini sering disalah artikan sebagai infeksi baru. 

“Boosting” juga terjadi pada orang yang mendapatkan vaksinasi BCG. Untuk 

membedakan reaksi “boosted” ini dengan infeksi baru dilakukan tes tuberkulin dua tahap. 

Apabila tes pertama dinyatakan negatif maka dilakukan tes tuberkulin yang kedua 1 – 3 

minggu kemudian. Hasil positif pada tes kedua kemungkinan sebab  reaksi “boosted”. 

Berdasarkan hasil tes kedua, orang ini dianggap sebelumnya telah terinfeksi dan harus 

ditangani sebagaimana mestinya dan tidak dianggap sebagai konversi hasil tes tuberkulin. 

Jika tes kedua hasilnya juga negatif maka orang ini dianggap belum pernah terinfeksi. 

Tes dua tahap dilakukan terhadap orang dewasa yang akan mendapat tes tuberkulin 

berkala, seperti halnya pada petugas kesehatan. Tes dua tahap ini dilakukan pada saat tes 

tuberkulin awal. Diagnosa presumptive penderita TB aktif dibuat jika ditemukan BTA 

positif dari sediaan sputum atau sediaan yang diambil dari cairan tubuh lainnya. 

Ditemukannya BTA positif indikasi untuk segera melakukan pengobatan dengan OAT. 

Diagnosa pasti ditegakkan jika ditemukan Mycobacterium tuberculosis, melalui kultur. 

Cara ini juga dapat dilakukan untuk uji sensitivitas organisme terhadap obat. Jika fasilitas 

laboratorium mikrobiologi tidak memadai maka diagnosa dapat dibuat berdasarkan gejala 

klinis yang ada dengan pemeriksaan histologis atau radiologis terhadap mereka yang 

memberikan hasil tes tuberkulin positif.   

 

2. Pemicu  Penyakit 

Pemicu  infeksi yaitu   kompleks M. tuberculosis.  Kompleks ini termasuk M. 

tuberculosis dan M. africanum terutama berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal 

dari sapi.  Mycobacteria lain biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit dibedakan 

dengan tuberkulosis.  Etiologi penyakit dapat di identifikasi dengan kultur.  Analisis 

genetic sequence dengan memakai   teknik PCR sangat membantu identifikasi non 

kultur. 

 

 

 545

3. Distribusi Penyakit 

Tersebar diseluruh dunia. Pada awalnya di Negara industri penyakit tuberkulosis 

menunjukkan kecenderungan yang menurun baik mortalitas maupun morbiditasnya 

selama beberapa tahun, namun diakhir tahun 1980 an jumlah kasus yang dilaporkan 

mencapai grafik mendatar (plateau) dan kemudian meningkat di daerah dengan populasi 

yang prevalensi HIV–nya tinggi dan di daerah yang dihuni oleh warga  yang datang 

dari daerah dengan prevalensi TB tinggi.  Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai 

dengan umur,  pada orang dewasa lebih tinggi pada laki-laki.  Morbiditas TBC lebih 

tinggi diantara warga  miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan 

pedesaan. 

Di AS insidensi TBC menurun sejak tahun 1994, penderita yang dilaporkan yaitu   

9,4/100.000 (lebih dari 24.000 kasus). Daerah dengan insidens rendah  termasuk di 

berbagai wilayah di AS,  kebanyakan kasus TBC berasal dari reaktivasi dari fokus laten 

yang berasal dari infeksi primer. Di sebagian daerah urban yang luas 1/3 kasus berasal 

dari infeksi baru. Walaupun TBC menempati rangking terendah diantara penyakit menular 

berdasarkan lama waktu pajanan. Namun pajanan dalam jangka waktu lama dalam 

lingkungan keluarga memicu  risiko terinfeksi sebesar 30%. Jika infeksi terjadi pada 

anak maka risiko menjadi sakit selama hidupnya sekitar 10%.  Bila terjadi koinfeksi 

dengan HIV risiko pertahun menjadi 2-7% dan risiko kumulatif sebesar 60-80%. KLB 

dilaporkan terjadi pada kelompok orang yang tinggal pada ruangan yang tertutup seperti 

dipanti asuhan, penampungan tunawisma, rumah sakit, sekolah, penjara dan gedung 

perkantoran.  Sejak tahun 1989 sampai dengan awal  tahun 1990 telah dilaporkan terjadi 

KLB – MDR yang cukup ekstensif terutama terhadap rifampisin dan INH ditempat 

dimana banyak penderita HIV yang dirawat.  KLB ini menimbulkan angka mortalitas 

tinggi dan terjadi penularan kepada petugas kesehatan. Dengan penerapan dan 

pelaksanaan yang ketat pedoman pemberantasan telah berhasil menanggulangi KLB ini. 

Prevalensi infeksi TB yang ditemukan dengan tes tuberkulin meningkat sesuai dengan 

umur.  Insidensi infeksi di negara berkembang menurun secara bermakna dalam beberapa 

dekade ini.  Angka infeksi pertahun di AS rata-rata kurang dari  10/100.000 warga  

walaupun di beberapa daerah di AS angka kejadian infeksi baru pertahun lebih tinggi.  Di 

daerah dimana terjadi infeksi dengan mycobacterium lain selain tuberkulosis 

memicu  reaksi silang yang menyulitkan interpretasi hasil tes tuberkulin. 

Infeksi M. bovis pada manusia jarang terjadi di AS namun  masih menjadi masalah 

dibeberapa daerah seperti didaerah perbatasan Meksiko dimana penyakit ini pada ternak 

tidak ditangani dengan baik dan warga  masih mengkonsumsi susu mentah. 

 

4. Reservoir 

Umumnya manusia berperan sebagai reservoir, jarang sekali primata, dibeberapa daerah 

terjadi infeksi yang menyerang ternak seperti sapi, babi dan mamalia lain. 

 

5. Cara Penyebaran 

Penularan terjadi melalui udara yang mengandung basil TB dalam percikan ludah yang 

dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring pada waktu mereka batuk, bersin atau 

pada waktu bernyanyi. Petugas kesehatan dapat tertulari pada waktu mereka melakukan 

otopsi, bronkoskopi atau pada waktu mereka melakukan intubasi. 

TB laring sangat menular.  

 

 546

Kontak jangka panjang dengan penderita TB memicu  risiko tertulari, infeksi melalui 

selaput lendir atau kulit yang lecet bisa terjadi namun sangat jarang. TB bovinum 

penularannya dapat tejadi jika orang terpajan dengan sapi yang menderita TB, bisanya 

sebab  minum susu yang tidak dipasteurisasi atau sebab  mengkonsumsi produk susu 

yang tidak diolah dengan sempurna. Penularan lewat udara juga terjadi kepada petani dan 

perternak TB ekstra pulmoner (selain TB laring) biasanya tidak menular, kecuali dari 

sinus keluar discharge. 

 

6. Masa inkubasi 

Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi 

tes tubrkulosis positif kira-kira memakan waktu 2 – 10 minggu. Risiko menjadi TB paru 

dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun 

pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV 

meningkatkan risiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi. 

 

7. Masa Penularan 

Secara teoritis seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB didalam 

sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna dahaknya 

akan tetap mengandung basil TB selama bertahun tahun. Tingkat penularan sangat 

tergantung pada hal-hal sebagai berikut : 

- Jumlah basil TB yang dikeluarkan 

- Virulensi dari basil TB 

- Terpajannya basil TB dengan sinar ultra violet 

- Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat bernyanyi. 

- Tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi atau pada 

waktu melakukan bronkoskopi. 

Pemberian OAT yang efektif mencegah terjadinya penularan dalam beberapa minggu 

paling tidak dalam lingkungan rumah tangga. Anak-anak dengan TB primer biasanya tidak 

menular. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan  

Risiko terinfeksi dengan basil TB berhubungan langsung dengan tingkat pajanan dan tidak 

ada hubungan dengan faktor keturunan atau faktor lainnya pada pejamu. Periode yang 

paling kritis timbulnya gejala klinis yaitu   6–12 bulan setelah infeksi. Risiko untuk 

menjadi sakit paling tinggi pada usia dibawah 3 tahun dan paling rendah pada usia akhir 

masa kanak-kanak dan risiko meningkat lagi pada usia adolesen dan dewasa muda, usia 

tua dan pada penderita dengan kelainan sistem imunitas. Reaktivasi dari infeksi laten yang 

berlangsung lama sebagian besar terjadi pada penderita TB usia lebih tua. Untuk mereka 

yang terinfeksi oleh basil TB kemungkinan berkembang menjadi TB klinis meningkat 

pada penderita HIV/AIDS, mereka dengan kelainan sistem imunitas, mereka dengan berat 

badan rendah dan kekurangan gizi, penderita dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal 

kronis, penderita kanker, silikosis, diabetes, postgastrektomi, pemakai NAPZA. Orang 

dewasa dengan TB laten yang juga disertai dengan infeksi HIV kemungkinan untuk 

menderita TB klinis selama hidupnya berkisar antara 10% sampai dengan 60–80%. 

Interaksi kedua penyakit ini mengakibatkan terjadinya pandemi paralel dari penyakit TB: 

misalnya dinegara negara Sub Sahara di Afrika 10–15% orang dewasa menderita infeksi 

HIV dan TB. Angka kesakitan TB meningkat 5–10 kali lipat pada akhir pertengahan tahun 

1990-an. 

 

 547

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan 

1). Temukan semua penderita TB dan berikan segera pengobatan yang tepat. 

Sediakan fasilitas untuk penemuan dan pengobatan penderita. 

2). Sediakan fasilitas medis yang memadai seperti laboratorium dan alat rontgen agar 

dapat melakukan diagnosa dini terhadap penderita, kontak dan tersangka. Sediakan 

juga fasilitas pengobatan terhadap penderita dan mereka dengan risiko tinggi 

terinfeksi; sediakan fasilitas tempat tidur untuk mereka yang perlu mendapatkan 

perawatan. Di daerah dengan indensi penyakit yang tinggi pemeriksaan spuntum 

baik langsung  secara mikroskopis maupun dengan kultur jika memungkinkan 

segera dilakukan terhadap penderita yang datang memeriksakan diri di fasilitas 

kesehatan sebab  adanya keluhan sakit didada. Biasanya hasil pemeriksaannya 

memiliki  nilai diagnosis yang tinggi. 

3). Beri penyuluhan kepada warga  tentang car-cara penularan dan cara-cara 

pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini. 

4). Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi risiko 

terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian. 

5). Program pemberantasa TB harus ada di seluruh fasilitas kesehatan dan difasilitas 

dimana penderita HIV/penderita imunosupresi lainnya ditangani (seperti di Rumah 

Sakit, tempat rehabilitasi, pemakai Napza, panti asuhan anak terlantar). 

6). Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup 

efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis. Berbagai 

penelitian yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita infeksi 

HIV terbukti bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian rifampin dan 

pyrazinamide jangka pendek ternyata cukup efektif. 

 Pemberian terapi preventif merupakan prosedur rutin yang harus dilakukan 

terhadap penderita HIV/AIDS usia dibawah 35 tahun. Apabila mau melakukan 

terapi preventif, pertama kali harus diketahui terlebih dahulu bahwa yang 

bersangkutan tidak menderita TB aktif, terutama pada orang-orang dengan 

imunokompromais seperti pada penderita HIV/AIDS. Oleh sebab  ada risiko 

terjadinya hepatitis dengan bertambahnya usia pada pemberian isoniasid, maka 

isoniasid tidak diberikan secara rutin pada penderita TB usia diatas 35 tahun 

kecuali ada hal-hal sebagai berikut: infeksi baru terjadi (dibuktikan dengan baru 

terjadinya konversi tes tuberkulin); adanya penularan dalam lingkungan rumah 

tangga atau dalam satu institusi; abnormalitas foto thorax konsisten dengan proses 

penyembuhan Tb lama, diabetes, silikosis, pengobatan jangka panjang dengan 

kortikosteroid atau pengobatan lain yang menekan kekebalan tubuh, menderita 

penyakit yang menekan sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS. 

 Mereka yang akan diberi pengobatan preventif harus diberitahu kemungkinan 

terjadi reaksi samping yang berat seperti terjadinya hepatitis, demam dan ruam 

yang luas, jika hal ini terjadi dianjurkan untuk menghentikan pengobatan dan 

hubungi dokter yang merawat. Sebagian besar fasilitas kesehatan yang akan 

memberikan pengobatan TB akan melakukan tes fungsi hati terlebih dahulu 

terhadap semua penderita; terutama terhadap yang berusia 35 tahun atau lebih dan 

terhadap pecandu alkohol sebelum memulai pengobatan.  

 

 

 548

Prosedur DOPT (Directly Observed, Supervised Preventive Therapy), hendaknya 

diterapkan bila memungkinkan, misalnya ditempat tempat fasilitas 

perawatan/rehabilitasi pemakai Napza, sekolah dsb. Obat yang disediakan tidak 

boleh lebih dari untuk pemakaian satu bulan. Setiap bulan penderita diingatkan 

akan kemungkinan terjadiya efek samping. Pemerikasaan laboratorium untuk 

memantau apakah terjadi hepatitis tidak dilakukan secara rutin terkecuali timbul 

gejala-gejala hepatitis. 

 Pengobatan preventif dengan isoniasid tidak boleh diberikan pada penderita yang 

alergi terhadap obat ini atau pada penderita dengan riwayat hepatitis atau penyakit 

hati akut lainnya. Pada saat hamil pengobatan preventif ditunda pemberiannya 

sampai saat melahirkan, terkecuali pada penderita dengan risiko tinggi. Jika sebab  

pertimbangan tertentu pengobatan preventif harus diberikan kepada ibu hamil 

maka harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Isoniasid harus diberikan dengan 

hati-hati kepada pecandu alkohol dan kepada penderita penyakit hati kronis. 

Penderita hepatitis C memiliki  risiko tinggi keracunan isoniasid. Kebijakan 

untuk pemberian pengobatan preventif secara massal sangatlah tidak realistis, 

kecuali ada sistem supervisi yang terorganisir secara rapi untuk mengawasi bahwa 

pengobatan dilakukan dengan benar. Dan didaerah ini  dijamin juga bahwa 

program pengobatan terhadap penderita TB aktif menjamin angka kesembuhan 

yang tinggi. Semua penderita infeksi HIV dan mereka yang tes tuberkulinnya 

positif dan tidak menderita TB aktif harus diberikan pengobatan preventif. 

7). Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi 

untuk penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan 

sediakan juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak. 

8). Terhadap mereka yang diketahui terkena infeksi HIV segara dilakukan tes 

Mantoux memakai   PPD kekuatan sedang. Jika tes Mantouxnya positif 

(indurasi ± 5mm) maka segera diberikan pengobatan profilaktik, dengan catatan 

bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB aktif. Sebaliknya terhadap semua 

penderita TB aktif harus dilakukan pemeriksaan dan dilakukan konseling jika 

fasilitas untuk itu tersedia. 

9). Di AS dimana imunisasi BCG tidak dilakukan secara rutin terhadap mereka yang 

memiliki  risiko tinggi tertulari TB dan HIV dilakukan tes tuberkulin secara 

selektif dengan tujuan untuk menemukan penderita. Mereka yang diangap 

memiliki  risiko tinggi ini seperti petugas kesehatan, bayi yang lahir dari daerah 

risiko tinggi, kelompok risiko tinggi terinfeksi HIV sepeti pada pemakai Napza 

Suntik. Pada kelompok warga  dimana TB masih ada, perlu dilakukan tes 

tuberkulin secara sistematis untuk mengetahui kecenderungan insidensi penyakit. 

Pemeriksaan radiologis diperlukan apabila ditemukan gejala klinis TB namun hasil 

pemeriksaan bakteriologisnya negatif. Imunisasi BCG dapat mengacaukan 

interpretasi tes tuberkulin yang dilakukan kemudian pada anak-anak dan oran 

dewasa. Namun reaksi akibat imunisasi BCG terhadap tes tuberkulin bekurang 

dengan perjalanan waktu, sehingga jika hasil tes tuberkulin positif kuat maka dapat 

diambil kesimpulan bahwa yang bersangkutan menderita infeksi TB. 

10). Pemberian imunisasi BCG terhadap mereka yang tidak terinfeksi TB (tes 

tuberkulin negatif), lebih dari 90% akan memberikan hasil tes tuberkulin positif.  

 

 

 549

Proteksi yang diberikan sebab  pemberian imunisasi BGC berbeda satu sama lain 

dari berbagai penelitian, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik 

warga  , kualitas vaksin, strain dari vaksin BCG yang membrikan perlindungan 

dampai 20 tahun di wilayah dengan insidens TB tinggi, sedang  hasil penelitian 

lain menunjukkan BCG sama sekali tidak memberikan perlindungan (Desain 

penelitian yang dipakai yaitu   “Controlled trials”). 

sedang  pada penelitian dengan memakai   desain “Case-Control” 

imunisasi BCG secara konsisten memberikan perlindungan terhadap terjadinya 

meningitis TB dan TB miliair pada anak usia dibawah 5 tahun. Oleh sebab  risiko 

penularan di AS sangat rendah maka imunisasi BCG secara rutin tidak dilakukan. 

Imunisasi BCG harus dipertimbangkan untuk diberikan kepada anak-anak dengan 

tes tuberkulin segatif yang sebab  sesuatu hal tidak boleh diberikan terapi preventif 

namun mereka secara terus menerus terpajan dengan sumber infeksi. Sumber 

infeksi ini bisa berupa penderita TB yang tidak mendapat pengobatan atau yang 

mendapat pengobatan tidak adekuat, penderita yang terinfeksi oleh organisme 

yang resisten terhadap isoniasid dan rifampin. Imunisasi BCG tidak boleh 

diberikan kepada mereka yang menderita penyakit-penyakit imunodefisiensi 

seperti penderita HIV/AIDS. 

11). Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan cara 

menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif. Susu dipasteurisasi sebelum 

dikonsumsi. 

12). Lakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan tambang. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1). Laporkan segera kepada instansi kesehatan setempat jika ditemukan penderita TB 

atau yang diduga menderita TB. Penyakit TB wajib dilaporkan di AS dan hampir 

di semua negara di dunia kelas 2A (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

Penderita TB perlu dilaporkan jika hasil pemeriksaan bakteriologis hasilnya positif 

atau tes tuberkulinnya positif atau didasarkan pada gambaran klinis dan foto 

rontgen. Departemen Kesehatan mempertahankan sistem pencatatan dan pelaporan 

yang ada bagi penderita yang membutuhkan pengobatan dan aktif dalam kegiatan 

perencanaan dan monitoring pengobatan.  

2). Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan 

dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum 

biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit 

hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis 

dan secara sosial tidak bisa dirawat di rumah. 

 Penderita TB paru dewasa dengan BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan 

dalam ruangan khusus dengan ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu 

agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk dan bersin. Orang yang 

memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan pelindung 

pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak 

perlu dilakukan bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi 

penderita yang tidak batuk dan bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang 

adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan sensitivitas/resistensi obat dan adanya 

respons yang baik terhadap pengobatan).  

 

 550

 Penderita remaja harus diperlakukan seperti penderita dewasa. Penilaian terus 

menerus harus dilakukan terhadap rejimen pengobatan yang diberikan kepada 

penderita. Terapkan sistem DOPT apabila secara finansial dan logistik 

memungkinkan dan diterapkan pada penderita yang kemungkinan mengalami 

resistensi terhadap pengobatan, adanya riwayat compliance yang jelek, 

diberlakukan juga terhadap mereka yang hidup dalam lingkungan dimana kalau 

terjadi relaps dapat menularkan kepada banyak orang. 

3). Pencegahan infeksi: Cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus 

dipertahankan sebagai kegiatan rutin.  Tidak ada tindakan pencegahan khusus 

untuk barang-barang (piring, sprei, pakaian dan lainnya).  Dekontaminasi udara 

dengan cara ventilasi yang baik dan bisa ditambahkan dengan sinar UV. 

4). Karantina: Tidak diperlukan. 

5). Penanganan kontak.  Di AS terapi preventif selama 3 bulan bila skin tes negatif 

harus diulang lagi, imunisasi BCG diperlukan bila ada kontak dengan penderita. 

6). Investigasi kontak, sumber penularan dan sumber infeksi: Tes PPD 

direkomendasikan untuk seluruh anggota keluarga bila ada kontak.  Bila hasil 

negatif harus diulang 2-3 bulan kemudian. Lakukan X-ray bila ada gejala yang 

positif.  Terapi preventif bila ada reaksi positif dan memiliki risiko tinggi terjadi 

TBC aktif (terutama untuk anak usia 5 tahun atau lebih) dan mereka yang kontak 

dengan penderita HIV (+),  diberikan minimal sampai skin tes negatif.  Sayang 

sekali di negara berkembang penelusuran kontak didasarkan hanya pada 

pemeriksaan sputum pada orang yang memiliki gejala-gejala TBC. 

7). Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif 

dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di 

AS. Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedang  

Indonesia sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi  dan mengadaptasi 

sistem yang sama yang disebut DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). 

Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang tepat dengan 

pemeriksaan sputum yang teratur.  Untuk penderita yang belum resisten terhadap 

OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), 

Rifampin (RIF) dan pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan kemudia diikuti dengan 

INH dan PZA selama 4 bulan.  Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk 

etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan jika infeksi TB terjadi didaerah 

dengan peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun bila telah 

dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai. 

Jika tidak ada konversi sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif 

setelah beberapa kali negatif atau respons klinis terhadap pengobatan tidak baik, 

maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan minum obat dan tes 

resistensi.  Kegagalan pengobatan umumnya sebab  tidak teraturnya minum obat 

dan tidak perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila 

tidak ada perubahan respons klinis penderita.  Minimal 2 macam obat dimana 

bekteri tidak resisten harus ada dalam regiemen pengobatan. Jangan sampai 

menambahkan satu jenis obat baru pada kasus yang gagal. Jika INH atau 

rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen maka lamanya pengobatan 

minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif. 

  

 

 551

 Untuk penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang, WHO 

merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang 

teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali 

seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus diawasi secara langsung, jika 

pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan langsung maka 

diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan.  Walaupun 

pengobatan jangka pendek dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan 

dengan jumlah obat yang lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18 

bulan namun pengobatan jangka pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih 

baik. 

 Penderita TBC pada anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan dewasa 

dengan sedikit modifikasi. Kasus resistensi pada anak umumnya sebab  tertular 

dari penderita dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan 

limfadenopati hilus hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan.  

Pengobatan anak-anak dengan TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal 

selama 9-12 bulan, beberapa ahli menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan.  

Etambutol tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak sampai anak cukup 

besar sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya usia > 5 tahun).  

Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus diberikan 

pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat.  Streptomisin tidak 

boleh diberikan selama hamil. 

 Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi efek samping yang berat.  

Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus MDR. 

 

C. Tindakan penanggulangan wabah 

Tingkatkan kewasapadaan dini untuk menemukan dan mengobati penderita TBC baru 

yang tertulari oleh penderita yang tidak jelas. Lakukan penyelidikan intensif untuk 

menemukan dan mengobatai sumber penularan. 

 

D. Implikasi Bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut  

Tindakan yang dianjurkan bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan 

prevalensi TBC tinggi yaitu   melakukan skrining dengan foto thorax, tes PPD, 

pemeriksaan BTA dan kultur terhadap orang dengan tes PPD positif yang disertai 

gejala klinis. Manfaatkan pusat-pusat kerjasama WHO.  

 

 

Penyakit Yang disebabkan oleh Mikobakteria lain (Mikobakteriosis, Penyakit 

mikobakteria non tuberkulosis)       ICD-9 031; ICD-10 A31 

  

Mikobakteria selain Mycobacterium tuberculosis, M. africanum, M. bovis dan M. lepral, 

jenisnya banyak sekali yang ditemukan di alam sekitar kita dan dapat memicu  penyakit 

pada manusia. Jenis bakteri tahan asam (BTA) ini dulu diklasifikasikan sebagai mikobakteria 

atipik, disebut juga dengan “únclassified mycobacteria” atau disebut dengan nama MOTT 

(Mycobacteria Other than Tuberculosis). 

 

 552

Dari banyak jenis, hanya ada 15 jenis yang diketahui dapat menimbulkan penyakit pada 

manusia. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh spesies mikobakteria yang patogen dapat 

dikelompokkan secara umum sebagai berikut :  

1. Timbulnya penyakit dengan gejala umum dan terjadinya diseminasi penyakit (biasanya 

pada penderita dengan sistem kekebalan yang menurun seperti pada penderita AIDS) 

2. Kelainan pada paru-paru seperti tuberkulosis - ini terjadi pada infeksi M. kansasii, M. 

avium complex, M. absessus, M. xenopi, M. simiae  

3. Timbulnya limfadenitis (terutama didaerah leher) – pada infeksi oleh M. avium complex, 

M. scrofulaceum, M. kansasii; 

4. Timbulnya ulcus pada kulit – pada infeksi oleh M. ulcerans (Ulcus Buruli), M. marinum; 

5. Infeksi pasca trauma – seperti pada infeksi oleh M. fortuitum, M. chelonae, M. absessus, 

M. marinum, M. avium complex. 

6. Berupa infeksi nosokomial: Infeksi luka bedah (misalnya infeksi sternum pasca bedah 

jantung, infeksi pada mamoplasti), infeksi pada waktu dilakukan kateterisasi (bakteriemi, 

peritonitis, absces pasca injeksi) 

7. Penyakit Crohn – diduga Pemicu nya yaitu   M. paratuberculosis, yang memicu  

terjadinya enteritis regional. 

 

Epidemilogi penyakit yang diduga disebabkan oleh kelompok mikobakteria ini tidak dapat 

diterangkan dengan jelas namun  kuman ini dapat ditemukan ditanah, susu dan air; sedang  

faktor lain seperti kerusakan jaringan, keadaan imunosupresi mungkin dapat menjadi faktor 

predisposisi timbulnya penyakit ini. Pengecualian pada kuman yang memicu  lesi pada 

kulit tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang. Bakteri ini terkadang dapat 

ditemukan dalam sputum atau bilas lambung walaupun tidak ada gejala klinis.  Biakan yang 

positif dari spesimen yang diambil dari luka atau jaringan dapat dianggap sebagai konfirmasi 

diagnosis. 

Secara umum sebagai pegangan, diagnosa penyakit yang memerlukan pengobatan didasarkan 

pada isolasi koloni kuman yang ditemukan secara berulang kali dari penderita yang 

penyakitnya berkembang progresif. Dapat terjadi reaksi silang hasil pembacaan Skintest 

antara penyakit paru yang disebabkan kuman TBC dengan penyakit yang disebabkan oleh 

kuman non TBC. Kemoterapi cukup efektif untuk M. kansasii dan M. marinum namun  OAT 

tradisional terutama prirazinamid tidak efektif untuk mikobakteria lainnya.  Tes sensitivitas 

mutlak perlu dilakukan  untuk mengetahui kemoterapi yang tepat untuk dapat digunakan. 

Tindakan operatif dapat dipertimbangkan terutama bila penyakit terlokalisir seperti pada 

limfadenitis servikal atau abses subkutaneus ataupun lesi pada paru yang terlokalisir. 

Infeksi oleh M. Avium Complex (MAC) diseminata merupakan masalah utama pada penderita 

HIV  dan upaya pengobatan yang dilakukan masih belum maksimal sampai saat ini.  Untuk 

Kasus infeksi MAC maka regimen pengobatan yang berisi rifabutin dan Clarithromycin 

dianggap sebagai regimen terapi yang potensial.  Rifabutin telah disetujui untuk dipakai 

sebagai pengobatan profilaksis terhadap infeksi MAC pada penderita HIV dengan CD4 < 100. 

 

 

TULAREMIA       ICD-9 O21; ICD-10 A21  

(Demam kelinci, Demam lalat-kijang, penyakit Ohara, penyakit Francis) 

 

1. Identifikasi  

 

 553

 Merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri dengan manifestasi klinis 

yang sangat bervariasi tergantung kepada tempat masuknya bakteri dan virulensi dari 

bakteri yang menginfeksi. Gejala klinis lebih sering muncul sebagai ulcus yang indolen 

ditempat masuknya bakteri disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe disekitarnya 

(tipe ulseroglanduler). Manifestasi lain dapat berupa infeksi tanpa disertai timbulnya 

ulcus, hanya terjadi pembengkakan satu atau beberapa kelenjar limfe disertai dengan rasa 

sakit. 

 Pembengkakan kelenjar limfe ini mengalami supurasi (tipe glanduler). Tertelannya 

mikroorganisme sebab  mengkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar dapat 

menimbulkan faringitis dengan rasa sakit (dengan atau tanpa terjadi ulserasi), sakit perut, 

diare dan muntah (tipe orofaringeal). Jika mikroorganisme masuk kedalam tubuh melalui 

inhalasi dapat terjadi pneumonia atau sindroma septikemi primer, jika tidak segera diberi 

pengobatan yang tepat, dapat menimbulkan kematian dengan CFR sekitar 30 – 60% (tipe 

tifoidal). Mikroorganisme yang masuk melalui darah biasanya menimbulkan penyakit 

yang terlokalisir pada paru dan ruangan pleura (tipe pleuropulmoner). Walaupun sangat 

jarang sekali, mikroorganisme dapat masuk melalui Sacus conjunctivus dan menimbulkan 

konjungtivitis purulenta disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe disekitarnya (tipe 

okuloglanduler). Dari semua tipe infeksi diatas dapat terjadi komplikasi pneumonia yang 

memerlukan pengenalan dan pengobatan secara dini untuk mencegah kematian. 

 Ada dua biovarians dengan patogenisitas yang berbeda yang dapat memicu  penyakit 

pada manusia. Organisme yang disebut dengan nama Jellison type A yaitu   jenis yang 

lebih virulen, jika tidak diobati dengan benar dapat menimbulkan kematian dengan CFR 

berkisar antara 5 – 15% terutama disebabkan oleh penyakit dengan tipe tifoidal atau 

dengan tipe pleuropulmoner. Dengan pengobatan memakai   antibiotika yang tepat 

CFR dapat diturunkan secara bermakna. Biovarian dengan nama Jellison type B, 

virulensinya lebih rendah walaupun tidak diobati, CFR-nya rendah. Secara klinis 

tularemia sulit dibedakan dengan pes dan dengan penyakit lain seperti infeksi oleh 

Stafilokokus dan Streptokokus, Cat Scratch fever, Sporotrichosis oleh sebab  semua 

penyakit yang disebutkan diatas dapat menimbulkan pembengkakan kelenjar limfe yang 

bubonik dan pneumonia berat. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis 

dan diagnosa pasti dibuat sebab  adanya kenaikan titer antibodi spesifik yang muncul 

pada minggu kedua sakit. Terjadi reaksi silang dengan infeksi spesies Brucella. Diagnosa 

cepat dibuat melalui pemeriksaan spesimen yang diambil dari eksudat ulcus dan aspirat 

dari kelenjar limfe dengan tes FA. 

 Biopsi yang dilakukan untuk tujuan diagnostik harus dilindungi dengan pemberian 

antibiotik yang tepat sebab  tindakan biopsi dapat menimbulkan septikemi. Bakteri 

Pemicu  infeksi dapat diisolasi melalui kultur pada media khusus seperti dengan media 

cysteine glucose blood agar atau dengan melakukan inokulasi binatang percobaan dengan 

bahan yang diambil dari lesi, darah dan sputum. Untuk menentukan biovarians dilakukan 

dengan pemeriksaan reaksi kimiawi. Tipe A memfermentasikan gliserol dan merubah 

citrulline menjadi ornithine. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dengan sangat 

hati-hati oleh sebab  dapat terjadi penularan bahan infeksius melalui udara. Oleh sebab  

itu identifikasi dengan memakai   media kultur hanya dilakukan dilaboratorium 

rujukan yang sudah sangat berpengalaman dengan fasilitas keamanan yang memadai. 

Umumnya diagnosis ditegakkan hanya dengan pemeriksaan serologis.  

 

 

 554

2. Pemicu  penyakit  

 Mikroorganisme Pemicu  penyakit yaitu   Francisella tularensis (dulu disebut 

Pasteurella tularensis), sejenis kokobasilus yang non motil, berbentuk kecil, gram negatif. 

Semua isolat secara serologis homogen dibedakan satu sama lain secara epidemiologis 

dan biokemis yaitu menjadi Jellison Type A (F. tularensis biovarian tularensis) dengan 

LD50 pada kelinci lebih kecil dari 10 bakteria atau Jellison type B (F. tularensis biovarian 

palaearctica) dengan LD50 pada kelinci lebih besar dari 107 bakteria. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Tularemia tersebar hampir di semua bagian Amerika Utara dan di sebagian besar benua 

Eropa, di bekas Uni Soviet, Cina dan Jepang. Di AS penyakit ini ditemukan sepanjang 

tahun; insidensi penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada orang dewasa dimusim dingin 

pada saat musim perburuan kelinci dan pada anak-anak dimusim panas pada saat densitas 

vektor berupa kutu dan lalat pada menjangan/kijang meningkat. F. tularensis biovarian 

tularensis terbatas ditemukan hanya dibagian utara benua Amerika dan sering ditemukan 

pada kelinci (jenis Cottontail, Jack dan Snowshoe), dan biasanya penularan terjadi sebab  

gigitan kutu binatang ini . sedang  F. tularensis biovarian palaearctica sering 

ditemukan pada mamalia selain kelinci di bagian utara benua Amerika; berbagai strain 

ditemukan di Elerasia pada binatang jenis voles, muskrat dan tikus air. sedang  di 

Jepang ditemukan pada kelinci.  

 

4. Reservoir  

 Berbagai jenis binatang liar seperti kelinci, hares, voles, muskrats, beavers dan beberapa 

jenis binatang domestik dapat berperan sebagai reservoir; begitu juga berbagai jenis kutu 

dapat berperan sebagai reservoir, sebagai tambahan telah ditemukan siklus penularan dari 

rodentia – nyamuk untuk F. tularensis biovarian palaearctica didaerah Skandinavia, 

Baltic dan Rusia. 

 

5. Cara penularan 

 Berbagai cara penularan telah diketahui antara lain melalui gigitan binatang berkaki 

beruas (artropoda) seperti kutu Dermacentor andersoni, kutu anjing D. variabilis, 

Anblyomma americanum (the lonestar stick); dan walaupun jarang terjadi, lalat Chrysops 

discalis pada kijang/menjangan dapat juga menularkan penyakit ini. Di Swedia nyamuk 

Aedes cinerius diketahui dapat menularkan penyakit ini melalui inokulasi kulit, melalui 

mukosa konjungtiva dan mukosa orofaring yang terpajan dengan air yang terkontaminasi. 

Penularan dapat juga terjadi sebab  terpajan dengan darah atau jaringan binatang yang 

terinfeksi (pada waktu menguliti binatang, memotong daging atau pada waktu melakukan 

nekropsi); mengkonsumsi daging atau jaringan binatang yang terinfeksi yang tidak 

dimasak dengan sempurna; minum air yang terkontaminasi; inhalasi debu yang 

terkontaminasi atau inhalasi partikel dari tumpukan rumput/jerami kering dan padi-padian 

yang terkontaminasi. Jarang sekali penularan terjadi melalui gigitan coyote (sejenis 

rubah), tupai, musang, babi hutan, kucing atau anjing yang mulutnya tercemar sebab  

diduga memakan binatang yang terinfeksi. Penularan juga jarang terjadi sebab  bulu dan 

cacar binatang. Jika penularan terjadi sebab  kecelakaan dilaboratorium biasanya berupa 

pneumonia primer dn tularemia tifoidal. 

 

 

 555

6. Masa Inkubasi: Masa inkubasi sangat bergantung pada virulensi daripada 

mikroorganisme dan tergantung pada ukuran inokulum. Biasanya berkisar antara 1 – 14 

hari, rata-rata 3 – 5 hari. 

 

7. Masa Penularan: Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Pada penderita yang 

tidak diobati mirkoorganisme Pemicu  penyakit ditemukan didalam darah selama 2 

minggu pertama infeksi, dan ditemukan didalam lesi selama satu bulan bahkan terkadang 

lebih lama. Lalat mengandung bakteri selama 14 hari dan kutu selama hidup mereka 

(sekitar 2 tahun). Daging kelinci yang dibekukan pada suhu –150C (50F) tetap infektif 

selama 3 tahun. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Semua usia rentan terhadap infeksi, setelah sembuh dari 

penyakit timbul kekebalan jangka panjang. Namun pernah dilaporkan adanya reinfeksi 

pada petugas laboratorium. 

 

9. Cara – cara pemberantasan 

A. Cara-cara Pencegahan 

1). Berikan penyuluhan kepada warga  untuk menghindari diri terhadap gigitan 

kutu, lalat dan nyamuk. Hindari minum air, mandi atau bekerja diperaiaran yang 

tidak ditangani dengan baik dimana didaerah ini  angka infeksi pada binatang 

liar sangat tinggi. 

2). Pakailah sarung tangan pada saat menguliti binatang terutama kelinci. Masaklah 

daging kelinci liar atau binatang rodensia sebelum dikonsumsi. 

3). Berlakukan larangan pengapalan antar pulau terhadap hewan atau daging hewan 

yang terinfeksi. 

4). Vaksinasi intradermal dengan skarifikasi memakai   vaksin jenis “Live 

attenuated” digunakan secara luas dibekas Uni Soviet dan secara terbatas 

digunakan dikalangan pekerja dengan risiko penularan di AS. 

 Vaksin “Live anttenuated” yang dulu pernah digunakan untuk tujuan penelitian 

pada petugas laboratorium di AS saat ini tidak lagi tersedia. 

5). Pakailah masker, pelindung mata, sarung tangan dan jas laboratorium (Personal 

Protection Equipment) dan pergunakan kabinet dengan tekanan negatif pada saat 

bekerja dengan kultur F. tularensis. 

 

B. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Didaerah endemis tertentu di AS dan 

di sebagian besar negara di dunia penyakit ini tidak wajib dilaporkan, kelas 3B 

(lihat tentang pelaporan penyakit menular) 

2). Isolasi: Hati-hati dengan sekret dan discharge dari lesi terbuka, lakukan 

kewaspadaan universal 

3). Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap discharge yang keluar dari ulkus, 

kelenjar limfe atau konjungtiva.  

4). Karantina: Tidak dilakukan 

5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan 

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Investigasi perlu dilakukan terhadap setiap 

kasus untuk menemukan sumber infeksi. 

 

 556

7). Pengobatan spesifik: Obat pilihan yaitu   streptomisin atau gentamisin, diberikan 

selama 7 – 14 hari; sedang  tetrasiklin dan kloramfenikol bersifat bakteriostatik 

jika diberikan kurang dari 14 hari, relaps lebih sering terjadi dibandingkan 

pengobatan dengan memakai   streptomisin. Namun telah ditemukan 

mikroorganisme virulen yang resisten terhadap streptomisin. Tindakan insisi, 

biopsi, aspirasi yang dilakukan untuk mengambil sampel pada kelenjar limfe yang 

terinfeksi dapat menyebarkan infeksi. Tindakan ini harus dilindungi dengan 

antibiotika yang tepat. 

 

C.  Cara-cara Penanggulangan Wabah 

 Lakukan pelacakan untuk menemukan sumber infeksi yang ada kaitannya dengan 

artropoda, binatang lain yang berperan sebagai hospes, air, tanah dan tanaman yang 

tercemar. Cara-cara pemberantasan seperti yang disebutkan pada 9A diatas. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada 

 

F. Upaya untuk mengatasi Bioterorisme 

 Tularemia dianggap potensial digunakan untuk melakukan tindaan bioterorisme 

terutama jika dilakukan melalui udara (aerosol) seperti halnya pada pes, maka orang 

yang menghirup udara yang mengandung tularemia akan mengalami pneumonia 

primer. Kasus ini memerlukan diagnosis dini dan pengobatan dini untuk mencegah 

kematian. Setiap saat jika ditemukan adanya F. tularensis harus segera dilaporkan 

kepada petugas dan petugas keamanan (di AS dilaporkan ke FBI) lebih-lebih kalau 

kasus ini  menggerombol. Laporan ini diperlukan agar bisa segera dilakukan 

investigasi. 

 

 

 

 

DEMAM TYPHOID      ICD-9 002.0; ICD-10 A01.0 

(Demam enterik, Tifus Abdominalis) 

 

DEMAM PARATIFOID     ICD-9 002.1-002.9; ICD-10 A01.1 – A01.4 

 

1. Identifikasi 

 yaitu   penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan demam insidius 

yang berlangsung lama, sakit kepala yang berat, badan lemah, anoreksia, bradikardi 

relatif, splenomegali, pada penderita kulit putih 25% diantaranya menunjukkan adanya 

“rose spot” pada tubuhnya, batuk tidak produktif pada awal penyakit, pada penderita 

dewasa lebih banyak terjadi konstipasi dibandingkan dengan diare. Gejala lebih sering 

berupa gejala yang ringan dan tidak khas. 

 Pada demam tifoid dapat terjadi ulserasi pada plaques peyeri pada ileum yang dapat 

memicu  terjadinya perdarahan atau perforasi (sekitar 1% dari kasus), hal ini sering 

terjadi pada penderita yang terlambat diobati.  

 

 557

  Dapat juga timbul demam tanpa disertai keringat, gangguan berfikir, pendengaran 

berkurang dan parotitis. CFR pada waktu belum ditemukannya antibiotika bisa mencapai 

10 – 20%, saat ini CFR kurang dari 1% jika segera diberikan pengobatan dengan 

antibiotika yang tepat. Tergantung pada jenis antibiotika yang dipakai, penderita yang 

telah sembuh dapat mengalami relaps (kira-kira 15 – 20%), biasanya penyakit lebih ringan 

dibandingkan dengan penyakit yang dialami pertama kali. 

  Nomenklatur baru berdasarkan hubungan DNA diusulkan untuk pemberian nama pada 

salmonella sesuai dengan nomenklatur baru ini  hanya ada dua species salmonella 

yaitu – Salmonella bongori dan Salmonella enterica. Semua bakteri yang patogen 

terhadap manusia dikelompokkan kedalam serovarian dibawah sub species I dan S. 

enterica. Dengan nomenklatur baru yang diusulkan ini  maka S. typhi akan berubah 

menjadi S. enterica serovarian Typhi dan disingkat dengan S. Typhi (penulisannya tidak 

dengan huruf italik dan ditulis dengan huruf besar). Beberapa badan resmi telah 

memakai   nomenklatur yang diusulkan ini  walapun sampai dengan pertengahan 

tahun 1999 nomenklatur baru ini  belum disahkan pemakaiannya. Pada bab ini telah 

digunakan nomenklatur baru ini . 

  Demam paratifoid memberikan gambaran klinis yang sama dengan demam tifoid, namun 

cenderung lebih ringan dengan CFR yang jauh lebih rendah. Ratio Distribusi Penyakit 

yang disebabkan oleh Salomnella enterica serovarian Typhi (S. Typhi) dibandingkan 

dengan S. enterica serovarian Paratyphi A dan B (S. Paratyphi A, S. Paratyphi B) kira-kira 

10 : 1. Relaps dapat terjadi pada 3 – 4% dari kasus. Jika infeksi Salmonella tidak terjadi 

secara sistemik maka manifestasinya hanya berupa gastro enteritis. Organisme Pemicu  

penyakit dapat diisolasi dari darah pada permulaan penyakit, sedang  pada urine dan 

tinja organisme baru dapat ditemukan seminggu setelah sakit. Konfirmasi bakteriologis 

melalui pemeriksaan kultur sampel sumsum tulang yaitu   yang terbaik walaupun pada 

penderita yang telah mendapatkan pengobatan antibiotika (kultur sampel sumsum tulang 

ini dengan “recovery” mencapai 90 – 95%). Tes serologis seperti tes widal nilai 

diagnostiknya rendah sebab  sensitivitas dan spesifisitasnya rendah. 

 

2. Pemicu  penyakit 

 Demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi, basil Tifoid. Untuk tujuan studi epidemiologis 

maka prosedur pemeriksaan laboratorium “phage typing” dan “pulsed field gel 

electrophoresis” dari S. Typhi memiliki  nilai yang tinggi untuk melakukan identifikasi 

terhadap isolat. Untuk demam paratifoid dikenal ada 3 serovarians S. enterica yaitu : S. 

Paratyphi A, S. Paratyphi B, S. Paratyphi C. Dikenal beberapa macam “phage types”. 

 

3. Distribusi penyakit 

  Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia. Insidensi penyakit demam tifoid diseluruh 

dunia mencapai 17 juta setahun dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang. Di 

Amerika Serikat demam tifoid muncul sporadis dan relatif konstan berkisar antara 500 

kasus setahun selama bertahun-tahun (bandingkan dengan demam tifoid yang dilaporkan 

sebanyak 2484 pada tahun 1950).Dengan mewarga nya perilaku hidup bersih dan 

sehat, mewarga nya pemakaian jamban yang saniter maka telah terjadi penurunan 

kasus demam Tifoid, dan yang terjadi di Amerika Serikat yaitu   kasus import dari daerah 

endemis. Sekarang sering ditemukan strain yang resisten terhadap kloramfenikol dan 

terhadap antibiotika lain yang umum digunakan untuk demam tifoid.  

 

 558

  Kebanyakan isolat yang dikumpulkan pada tahun 90an dari Asia Tenggara, Asia Selatan, 

Timur Tengah dan Afrika Timur Laut yaitu   strain yang membawa plasmid dengan faktor 

R yang membawa kode resistens terhadap berbagai jenis antibiotika yang dulu umum 

dipakai untuk mengobati demam tifoid seperti kloramfenikol, amoksisilin, 

trimetroprim/sulfametoksasol. 

  Demam paratifoid muncul secara sporadis atau muncul sebagai KLB terbatas, mungkin 

juga kejadiannya lebih banyak daripada yang dilaporkan. DI AS dan Kanada demam 

paratifoid jarang teridentifikasi. Dari ketiga jenis demam paratifoid, paratifoid B yaitu   

yang paling sering ditemukan, paratifoid A lebih jarang dan yang paling jarang yaitu   

paratifoid C. 

 

4. Reservoir 

 Manusia merupakan reservoir bagi tifoid maupun paratifoid; walapun jarang binatang 

peliharaan dapat berperan sebagai reservoir bagi paratifoid. Kontak dalam lingkungan 

keluarga dapat berupa carrier yang permanen atau carrier sementara. Status carrier dapat 

terjadi setelah serangan akut atau pada penderita su