rang, hanya terjadi pada
orang tertentu dan di daerah tertentu.
Diantara jenis virus RNA golongan retrovirus termasuk human T-cell lymphotropic virus
(HTLV-1) dan Human Virus Deficiency (HIV) ada yang menjadi Pemicu human T-cell
leukemia/lymphoma. Berbeda dengan virus DNA yang onkogenik, virus RNA kurang luas
penyebarannya, hanya tersebar di tempat-tempat pada wilayah geografis tertentu. Virus DNA
ini terbukti sangat kuat sekali sebagai Pemicu terjadinya keganasan dan dapat dibuktikan
secara serologis, virologis dan epidemiologis.
I. KARSINOMA HEPATOSELULER ICD-9 155.0; ICD-10 C22.0
(HCC, Kanker hati primer (primary liver cancer), Primary hepatocellular carcinoma)
Pemicu utama terjadinya kanker hati primer yaitu infeksi menahun (kronis) hepatitis B
atau hepatitis C. Studi prospektif yang dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa risiko
terjadinya karsinoma hepatoseluler pada carrier virus hepatitis B yaitu 100 kali lipat
dibandingkan noncarrier. Kebanyakan penderita kanker hati ini mengalami hepatitis hati.
Dengan melakukan skrining terhadap virus hepatitis B (HBV) secara rutin untuk mengetahui
ada tidaknya carrier melalui pemeriksaan alfa fetoprotein sebagai pertanda (marker) terhadap
karsinoma hepatoseluler (HCC) dan dengan pemeriksaan USG untuk kasus-kasus tertentu
dapat mendeteksi secara dini adanya tumor pada stadium dini sehingga dapat dilakukan
reseksi tumor lebih dini. Karsinoma hepatoseluler yaitu jenis tumor ganas yang paling sering
ditemukan di Asia dan Afrika; frekuensi tertinggi ditemukan pada wilayah dengan prevalensi
carrier hepatitis B yang tinggi. Daerah dengan prevalensi carrier hepatitis B tinggi yaitu
sebagian besar Asia, Afrika dan wilayah Asia Pasifik. Prevalensi sedang ditemukan di anak
Benua India dan Timur Tengah. Prevalensi relatif rendah di wilayah Amerika Utara dan
Eropa bagian barat. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan rancang bangun kasus-
kontrol ditemukan adanya hubungan yang sangat kuat antara infeksi virus hepatitis C dengan
karsinoma hepatoseluler. Asosiasi kuat ini terjadi pada infeksi virus hepatitis C yang disertai
dengan infeksi HIV maupun tanpa infeksi HIV. Terbukti juga dari hasil pemeriksaan
laboratorium bahwa ada kemampuan transformasi dari virus hepatitis C.
Di Jepang infeksi hepatitis C terbukti sebagai faktor dominan Pemicu karsinoma
hepatoseluler. Lihat bab cara-cara pemberantasan virus hepatitis B. Terjadinya tumor hati
dapat dicegah dengan pemberian imunisasi hepatitis B saja atau disertai dengan pemberian
hepatitis B immune globulin (HBIG) kepada semua bayi yang baru lahir. Pemberian imunisasi
segera setelah lahir akan memutus rantai penularan dari ibu ke bayi. WHO menganjurkan agar
semua negara mengintegrasikan imunisasi hepatitis B kedalam program imunisasi rutin
mereka. Saat ini banyak negara termasuk Indonesia sudah mengintegrasikan imunisasi
hepatitis B kedalam program imunisasi dasar mereka. Program imunisasi hepatitis B ini dalam
jangka panjang bertujuan untuk mengeliminasi infeksi virus hepatitis B dan sekaligus
mencegah terjadinya karsinoma hepatoseluler primer yang disebabkan oleh infeksi virus
hepatitis B. Saat ini vaksin untuk virus hepatitis C belum ada, untuk mencegah terjadinya
infeksi melalui transfusi darah, maka skrining darah donor harus dilakukan.
339
II. LIMFOMA BURKITT ICD-9 200.2; ICD-10 C83.7
(BL, African Burkitt lymphoma, Endemic Burkitt lymphoma, Tumor Burkitt)
Limfoma Burkitt (BL) yaitu tumor monoklonal dari sel B. Penyakit ini tersebar di seluruh
dunia terutama di daerah endemis malaria seperti di daerah tropis Afrika dan dataran rendah
Papua Nugini, dimana curah hujan sangat tinggi (40 inchi/tahun) pada ketinggian kurang dari
3.000 kaki. Di Afrika, pada anak-anak, penyakit ini sering menyerang daerah rahang. Tumor
juga dapat terjadi pada penderita dengan kondisi imunosupresi, walaupun sangat jarang
misalnya pada penderita yang menerima transplantasi organ, mereka dengan imunodefisiensi
sebab garis keturunan dan mereka dengan x-linked immunodeficiency dan paling sering
terjadi pada penderita AIDS, hampir sekitar 25%- 30% terkait dengan EBV (Eepstein-Barr
virus). Tumor yang terjadi bisa dalam bentuk monoklonal, poliklonal atau campuran
keduanya; namun tidak semua dengan tipe Burkitt; namun semuanya dalam bentuk sarkoma
limfoblastik akut.
EBV, virus herpes berperan terhadap terjadinya mononukleosis infeksiosa yang berperan
penting dalam patofisiologi terjadinya sekitar 97% dari kasus-kasus BL di Afrika dan Papua
Nugini dimana infeksi EBV terjadi pada bayi. Dimana yang berperan sebagai kofaktor yaitu
penyakit malaria yang holoendemik di daerah ini . EBV juga dikaitkan sebagai Pemicu
sekitar 30% dari kasus-kasus BL di daerah endemis rendah BL dan di daerah nonendemis
malaria (disebut dengan American BL). Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya tumor
setelah infeksi EBV diperkirakan antara 2 – 12 tahun, dan waktu ini lebih pendek pada
penderita AIDS dimana pada orang ini telah terbentuk limfoma pada SSP yang dikaitkan
dengan infeksi EBV. Infeksi EBV sangat erat kaitannya sebagai Pemicu BL di Afrika, hal
ini telah dibuktikan baik secara serologis, virologis maupun secara epidemiologis. Mencegah
infeksi secara dini dan upaya pemberantasan malaria dapat menurunkan insidensi tumor ini di
Afrika dan Papua Nugini (lihat bab malaria, seksi 9). Vaksin subunit untuk EBV saat ini
masih dalam taraf pengembangan. Pengobatan dengan kemoterapi cukup efektif jika
diberikan setelah tumor sudah berkembang. Kasus BL harus dilaporkan kepada sistem
registrasi tumor.
III. KARSINOMA NASOFARINGEAL ICD-9 147.9; ICD-10 C11
Nasopharingeal Carcinoma (NPC) yaitu tumor ganas pada sel epitel dari faring yang
biasanya terjadi pada umur dewasa antara 20-40 tahun. Insidensi lebih tinggi ditemukan
pada orang-orang Cina di daratan Cina bagian selatan dan Taiwan; insidensi masih tetap
tinggi walaupun orang-orang dari kedua negara ini sudah berpindah ke negara lain
(termasuk di Amerika Serikat) jika dibandingkan dengan warga setempat secara
umum. Insidensi karsinoma nasofaring dikalangan imigran ini menurun pada generasi
berikutnya.
Adanya antibodi IgA terhadap kapsid antigen virus EBV pada serum maupun sekret
nasofaring merupakan ciri khas dari penyakit ini dan di Cina penemuan antibodi ini
dipakai untuk tes penyaringan (screening test) terhadap tumor ini. Antibodi ini
muncul beberapa tahun sebelum munculnya gejala klinis NPC dan muncul kembali
setelah dilakukan pengobatan ulang.
340
Secara serologis dan virologis hubungan antara infeksi EBV dan timbulnya NPC sama
dengan hubungan dengan kejadian BL di Afrika yaitu titer antibodi EBV yang tinggi dan
ditemukannya genom virus pada sel tumor, dan hubungan antara infeksi EBV dan NPC
tidak ada kaitannya dengan wilayah geografis asal penderita. Tumor ini tersebar di seluruh
dunia dan insidensi tertinggi ditemukan di Cina bagian selatan, Asia Tenggara, Afrika
bagian utara dan bagian timur, Kutub Utara. Perbandingan antara penderita laki-laki dan
perempuan yaitu 2:1. Orang-orang Cina dengan antigen HLA-2 dan SIN-2 didalam
tubuhnya memiliki risiko terkena karsinoma nasofaring lima kali lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki antigen ini dalam tubuhnya.
Di wilayah dimana prevalensi karsinoma nasofaring tinggi biasanya infeksi virus EBV
sudah terjadi pada usia dini namun tumor biasanya muncul pada usia 20-40 tahun. Hal ini
sebagai bukti bahwa diduga ada faktor yang berperan sebagai faktor reaktivasi yang
memicu terjadinya invasi virus pada sel epitel pada usia lebih tua. Faktor penting
yang diduga berperan sebagai faktor reaktivasi yaitu infeksi pada saluran pernapasan
yang terjadi berulang-ulang atau sebab terjadinya iritasi oleh bahan kimia misalnya
kandungan nitrosamine dalam makanan kering. Tingginya frekuensi kejadian karsinoma
nasofaring diantara orang-orang yang berasal dari Cina bagian selatan, walaupun
kemudian mereka beremigrasi ke negara lain, dan adanya kaitan antara timbulnya
karsinoma nasofaring dengan HLA haplotypes tertentu, memperkuat dugaan adanya faktor
genetik timbulnya karsinoma nasofaring. Menurunnya frekuensi karsinoma nasofaring
pada orang-orang ini yang telah menjadi imigran di negara lain seperti AS,
memperkuat dugaan bahwa ada faktor lingkungan sebagai kofaktor yang berperan, seperti
kandungan nitrosamine dalam ikan asap atau makanan lainnya.
Deteksi dini dari tumor ini di daerah endemis yaitu dengan cara melakukan skrining
terhadap antibodi IgA terhadap antigen kapsid virus EBV dapat membantu dilakukannya
pengobatan dini. Vaksin subunit untuk infeksi EBV saat ini sedang dikembangkan. Satu-
satunya pengobatan spesifik untuk tumor ini yaitu pemberian kemoterapi setelah tumor
ini terdiagnosa. Kasus karsinoma nasofaring harus dilaporkan kedalam sisten register
tumor.
IV. KEGANASAN YANG KEMUNGKINAN DISEBABKAN INFEKSI EBV
A. PENYAKIT HODGKIN’S ICD-9 201; ICD-10 C81
Penyakit Hodgkin’s (HD) yaitu suatu tumor sistem limfatik yang memberikan gambaran 4
subtipe histologis yaitu: sklerosis noduler, predominan limfosit, bentuk campuran dan bentuk
deplesi limfosit. Gambaran histologis yang sangat khas dari penyakit hodgkin’s yaitu
ditemukannya sel yang spesifik yang disebut dengan Reed-Sternberg Cell (RSC). Sel ini tidak
patognomonis untuk HD, sebab sel ini juga ditemukan pada penderita dengan infeksi
mononukleosis infeksiosa (IM).
Pemicu HD belum diketahui dengan pasti, namun dari hasil pemeriksaan laboratorium dan
gambaran epidemiologis menunjukkan 50% lebih penderita HD mengalami infeksi EBV. HD
lebih sering ditemukan di negara-negara maju dengan insidensi yang relatif rendah pada age
adjusted. HD lebih sering ditemukan pada warga dengan status sosial ekonomi yang
341
tinggi, pada anggota keluarga kecil dan lebih sering dijumpai pada ras kaukasus dibandingkan
dengan orang Amerika kulit hitam.
HD yang timbul setelah infeksi oleh mononukleosis infeksiosa di AS insidensi tertinggi
dijumpai pada kelompok usia 17-19 tahun, biasanya muncul sekitar 10 tahun setelah infeksi.
HD pada usia yang lebih tua biasanya ada hubungannya dengan infeksi EBV, sebagai akibat
reaktivasi virus sebab menurunnya sistem kekebalan tubuh. Tingginya frekuensi infeksi EBV
yang ditemukan pada penderita HD penyandang AIDS, dimana masa inkubasi munculnya HD
relatif pendek, diduga sebagai akibat terjadinya immunodefisiensi yang berat akibat infeksi
HIV. Belum diketahui apakah keberadaan virus EBV didalam sel tumor sebagai Pemicu
ataukah sebagai akibat.
HD yang ditemukan pada penderita AIDS, terutama pada penderita AIDS yang diakibatkan
pemakaian NAPZA suntikan sebagian besar ada hubungannya dengan infeksi EBV. Penderita
HD harus dilaporkan kedalam sistem registrasi tumor.
B. LIMFOMA NON-HODGKIN’S ICD-10 B21.2, C83.0, C83.8, C83.9, C85
Insidensi limfoma pada penderita AIDS berkisar antara 50-100 kali jika dibandingkan
warga umum. Sebagian besar limfoma disebabkan oleh infeksi EBV sedang virus
yang diduga kuat sebagai Pemicu tumor limfoma non-Hodgkin’s (NHL), seperti tumor
limfoma SSP dan limfoma tingkat tinggi yaitu HIV. Sejak tahun 1980-an terjadi peningkatan
insidensi NHL di kalangan anak usia muda kulit putih, bujangan, yang menderita AIDS.
Sekitar 4% penderita AIDS ditemukan menderita limfoma, dan diperkirakan 30% penderita
AIDS akan menderita limfoma apabila mereka masih hidup agak lama. Sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti apakah adanya virus EBV didalam sel sebagai faktor Pemicu
ataukah hanya secara kebetulan saja virus EBV masuk kedalam sel tumor setelah tumor
terbentuk. Namun dari berbagai bukti-bukti yang telah dikumpulkan kuat dugaan bahwa EBV
yaitu sebagai faktor Pemicu .
Meningkatnya frekuensi kejadian NHL tidak dapat dijelaskan dengan meningkatnya penderita
AIDS. sebab NHL juga sering ditemukan pada penderita imunodefisiensi bentuk lain seperti
pada penderita pasca transplantasi, pada mereka yang menerima pengobatan imunosupresif
dan pada penderita imunodefisiensi herediter. Sedikit sekali pengetahuan epidemiologis yang
kita miliki tentang faktor risiko yang melatarbelakangi timbulnya NHL. Perubahan pola
antibodi terhadap karakteristik infeksi EBV dapat dilihat pada penderita dengan status
imunodefisiensi, ditemukan pada sebagian besar penderita NHL. Perubahan-perubahan pola
antibodi ini terlihat sebelum munculnya NHL. Dengan teknik molekuler, genom EBV
ditemukan pada 10-15% sel tumor penderita NHL bentuk spontan. Kasus NHL harus
dilaporkan kedalam sistem register tumor.
342
V. SARKOMA KAPOSI ICD-9 173.0-173.9; ICD-10 C46.0-46.9
(Idiophatic multiple pigmented hemorrhagic sarcoma)
Sarkoma Kaposi (KS) yaitu neoplasma vaskuler sebagai akibat terjadinya proliferasi dari sel
jaringan ikat. KS ditandai dengan timbulnya makula yang berwarna merah ungu atau biru-
coklat, plak (plaque) dan nodula pada kulit dan organ tubuh yang lain. Lesi pada kulit jelas,
keras atau lembek, soliter atau bergerombol. KS pertama kali ditemukan pada tahun 1872
yang pada waktu itu disebut sebagai tumor yang etiologinya tidak diketahui, sebelum penyakit
ini ditemukan pada pasien AIDS.
Ada empat bentuk yang berbeda secara epidemiologis dari KS. Bentuk KS klasik terjadi pada
laki-laki dewasa terutama pada orang Mediterania atau orang Eropa Timur keturunan Yahudi.
Bentuk kedua, bentuk endemis ditemukan di daerah katulistiwa Afrika dan ditemukan pada
semua golongan umur. Kedua bentuk KS ini tidak diketahui faktor pencetusnya apakah
sebab faktor lingkungan ataukah defisiensi imunitas. Dan kedua tipe KS terakhir sebaliknya
berhubungan dengan penerima transplantasi organ yang memperoleh terapi imunosuprseif dan
orang yang terkena infeksi HIV-1, keduanya diikuti dengan menurunnya kekebalan. Dari
semua bentuk KS, laki-laki paling banyak terkena. Bentuk epidemik dari KS menunjukkan
gejala klinis yang paling agresif dan sering ditemukan pada penderita infeksi HIV. Meskipun
berbeda manifestasi klinis dan status serologis dari HIV-1 sebaiknya keempat jenis tumor KS
digolongkan menjadi satu entitas oleh sebab adanya persamaan gambaran
Immunohistochemical dari sel jaringan ikat dari tumor.
Sekarang diketahui bahwa virus herpes sarkoma kaposi (KSHV) yang juga disebut dengan
virus herpes-8 pada manusia (HHV-8) sebagai Pemicu KS. Virus herpes ini ditemukan pada
tahun 1994 sebagai virus baru (novel virus) yaitu Gammaherpesvirus pada manusia yang
memiliki hubungan dengan virus herpes onkogenik pada kera yaitu Herpesvirussaimiri.
Bukti-bukti adanya infeksi virus sangat jelas, selalu ditemukan pada semua kasus KS dan
bukti-bukti lain yang ditemukan juga mengarah pada peran kunci dari infeksi virus sebagai
faktor etiologis terjadinya KS. Adanya infeksi KSHV sebelum munculnya gejala klinis KS,
pada berbagai penelitian epidemiologis membuktikan kuatnya asosiasi antara infeksi KSHV
dengan tingginya angka kejadian KS di warga . Infeksi virus ini dengan target sel-sel
jaringan ikat (endothelium) dianggap sebagai determinan utama terjadinya proses
pembentukan tumor KS. KSHV juga diketahui merangsang terjadinya transformasi sel-sel
endothelial primer.
Dari hasil penelitian seroepidemiologis menunjukkan bahwa distribusi geografis dari KSHV
lebih terbatas dibandingkan dengan distribusi geografis dari 7 jenis virus herpes yang lain
pada manusia. Sebagai contoh di Amerika Utara, seroprevalensi virus ini bervariasi antara 0-
1% pada donor darah dan pada penderita infeksi HIV sekitar 35%, sedang pada penderita
KS pengidap AIDS, 100%. Sebaliknya di Milan, Italia, dimana KS endemis, seroprevalensi
KSHV pada darah donor sebesar 4%. Prevalensi tinggi ditemukan di Afrika Tengah yaitu
58% orang berusia 14-84 tahun positif terinfeksi KSHV. Seroprevalensi meningkat secara
linear menurut umur dan tidak ada perbedaan pada laki-laki dan perempuan.
Analisis serologis menunjukkan bahwa infeksi virus ini terjadi terutama pada orang-orang
yang aktif secara seksual terutama pada homoseksual. Kesimplan ini didukung oleh fakta
bahwa adanya perbedaan yang sangat mencolok antara risiko terjadinya KS pada penderita
AIDS yang HIV-nya diperoleh melalui transfusi darah dan produk darah lainnya.
343
Proporsi penderita hemofilia dan penderita AIDS yang memperoleh infeksi HIV melalui
transfusi darah dan kemudian menderita KS yaitu berkisar antara 1-3%. Bukti lain
menunjukkan bahwa bagi yang lahir dari ibu yang positif HIV-1 ternyata menderita KS pada
usia yang sangat muda. Di Afrika, dari data yang dikumpulkan menunjukkan tingginya
seroprevalensi KSHV pada dewasa muda dan terjadinya hubungan linear peningkatan
seroprevalensi dengan bertambahnya usia, membuktikan bahwa modus transmisi KSHV yang
paling penting yaitu melalui rute nonseksual. KS tidak bisa disembuhkan, belum ada
pengobatan untuk KS walaupun diketahui terjadi remisi parsial ataupun lengkap. KS harus
dilaporkan melalui register tumor.
VI. KEGANASAN PADA JARINGAN LIMFE
ICD-9 202; ICD-10 C84.1, C84.5, C91.4, C91.5
(Adult T-cell leukemia [ATL], T-cell lymphosarcoma [TLCL], peripheral T-cell lymphoma
[Sèzary disease], Hairy cell leukemia)
T-cell leukemia dewasa (ATL) yaitu leukemia/limfoma yang berasal dari T-cell yang
sering ditemukan di Jepang, identik dengan T-cell lymphoma sarcoma-cell leukemia
(TLCL), yang jarang ditemukan di Kepulauan Karibia, pantai Pasifik Afrika Selatan,
daerah katulistiwa Afrika dan AS bagian selatan. Proses keganasan yang terjadi pada
orang dewasa ini dikaitkan dengan infeksi Human T-cell lymphotropic virus (HTLV-1),
anggota familia retrovirus. Infeksi pada bayi melalui ASI dapat memicu
terbentuknya tumor yang biasanya muncul pada usia 50 tahun. Ini membuktikan bahwa
risiko untuk mendapatkan ATL lebih renah apabila infeksi virus terjadi pada usia yang
lebih dewasa, misalnya infeksi yang terjadi melalui transfusi darah, hubungan seksual
ataupun sebab pemakaian jarum suntik bersama para pecandu NAPZA. Virus yang sama
dapat memicu apa yang disebut dengan tropical spastic paraparesis (TSP; di Jepang
disebut dengan HTLV-1 associated myelopathy (HAM)). Dewasa muda Jepang dan kulit
hitam Karibia, memiliki risiko paling tinggi terkena ATL.
Bukti-bukti serologis, virologis dan epidemiologis menunjukkan bahwa HTLV-1 berperan
sangat kuat sebagai Pemicu leukemia/limfoma. Secara umum upaya pencegahan
terhadap AIDS (lihat tentang AIDS, seksi 9). Efektivitas skrining pada darah donor untuk
menemukan antibodi terhadap HTLV-1 dan 2 belum terbukti. Di AS penularan virus
melalui darah donor sangat jarang terjadi oleh sebab rendahnya prevalensi infeksi virus
ini pada warga umum. Walaupun demikian skrining darah donor untuk mendeteksi
virus ini menjadi prosedur standar di AS. Tumor ganas jaringan limfe ini hendaknya
dilaporkan melalui sistem register tumor.
VII. KANKER SERVIKS (CERVICAL CANCER) ICD-9 180; ICD-10 C53
(Karsinoma leher rahim)
Kanker serviks menempati urutan keenam sebagai Pemicu kanker di dunia dan tertinggi
prevalensinya diantara wanita di negara berkembang. Kanker ini banyak juga terjadi
344
di negara Barat. Menurut penelitian, insidensi yang paling tinggi ditemukan pada wanita
yang memiliki riwayat melakukan hubungan seksual terlalu muda, dan sering
melakukan hubungan seksual dengan banyak pasangan, biasanya pada warga dengan
status sosial ekonomi rendah. Tiga perempat penderita karsinoma serviks ada di negara
berkembang.
Human papillomavirus (HPV) pada manusia terbukti sebagai Pemicu terjadinya kanker
serviks. Sementara itu HPV biasanya selama ini sebagai Pemicu cuplak jinak (benign
wart) dan verrucae (lihat Warts dan virus). Terbukti bahwa HPV tipe 16 dan 18
ditemukan pada jaringan tumor dari neoplasma serviks. Genom virus ini ditemukan di
dalam sel pada 80-90% dari penderita neoplasma. Hendaknya kasus karsinoma serviks
dilaporkan kedalam sistem register tumor.
CAMPAK ICD-9 055; ICD-10 B05
(Rubeola, hard measles, Red measles, Morbilli)
1. Identifikasi
Suatu penyakit virus akut yang sangat menular dengan gejala awal berupa demam,
konjungtivitis, pilek, batuk dan binti-bintik kecil dengan bagian tengah berwarna putih
atau putih kebiru-biruan dengan dasar kemerahan di daerah mukosa pipi (bercak Koplik).
Tanda khas bercak kemerahan dikulit timbul pada hari ketiga sampai ketujuh; dimulai di
daerah muka, kemudian menyeluruh, berlangsung selama 4-7 hari, dan kadang-kadang
berakhir dengan pengelupasan kulit berwarna kecoklatan. Sering timbul lekopenia.
Penyakit lebih berat pada bayi dan orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak.
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat replikasi virus atau sebab superinfeksi bakteri
antara lain berupa otitis media, pneumonia, laryngotracheobronchitis (croup), diare, dan
ensefalitis.
Di Amerika Serikat sekitar tahun 1990-an, kematian sebab campak sebesar 2-3 per 1.000
kasus; kematian terutama pada anak-anak dibawah 5 tahun, terutama sebab pneumonia
dan kadang-kadang oleh sebab ensefalitis. Campak lebih berat diderita oleh anak-anak
usia dini dan yang kekurangan gizi, pada penderita golongan ini biasanya ditemukan ruam
dengan perdarahan, kehilangan protein sebab enteropathy, otitis media, sariawan,
dehidrasi, diare, kebutaan dan infeksi kulit yang berat. Anak-anak dengan defisiensi
vitamin A subklinis atau klinis berisiko tinggi menderita kelainan di atas. CFR di negara
berkembang diperkirakan sebesar 3-5% namun seringkali di beberapa lokasi berkisar antara
10%-30%. Dilaporkan adanya kematian akut dan tertunda pada bayi dan anak-anak. Pada
anak-anak dalam kondisi garis batas kekurangan gizi, campak seringkali sebagai pencetus
terjadinya kwasiorkor akut dan eksaserbasi defisiensi vitamin A yang dapat memicu
kebutaan. Sangat jarang sekali timbul Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), hanya
sekitar 1 per 100.000 dan terjadi beberapa tahun setelah infeksi; lebih dari 50% kasus-
kasus SSPE pernah menderita campak pada 2 tahun pertama umur kehidupan.
Diagnosa biasanya dibuat berdasarkan gejala klinis dan epidemiologis walaupun
konfirmasi laboratorium dianjurkan untuk dilakukan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan
untuk mendeteksi antibodi IgM spesifik campak yang timbul pada hari ke 3-4 setelah
345
timbulnya ruam atau untuk mendeteksi peningkatan yang signifikan titer antibodi antara
serum akut dan konvalesens untuk memastikan diagnosis campak. Teknik yang jarang
digunakan antara lain identifikasi antigen virus dengan usap mukosa nasofaring
memakai teknik FA atau dengan isolasi virus dengan kultur sel dari sample darah
atau usap nasofaring yang diambil sebelum hari keempat timbulnya ruam atau dari
spesimen air seni yang diambil sebelum hari kedelapan timbulnya ruam.
2. Pemicu infeksi - virus campak, anggota genus Morbillivirus dari famili
Paramyxoviridae.
3. Distribusi penyakit
Sebelum kegiatan imunisasi dilakukan secara luas, campak sering terjadi pada masa
kanak-kanak, lebih dari 90% warga telah terinfeksi pada saat mereka mencapai usia 20
tahun; sedikit sekali orang yang terbebas dari serangan campak selama hidupnya. Campak
endemis di warga metropolitan dan mencapai proporsi untuk terjadi KLB setiap 2-3
tahun. Pada kelompok warga dan daerah yang lebih kecil, KLB cenderung terjadi
lebih luas dan lebih berat. Dengan interval antar KLB (honeymoon period) yang lebih
panjang seperti yang terjadi di daerah Kutub Utara dan di beberapa pulau tertentu, KLB
campak sering menyerang sebagian warga dengan angka kematian yang tinggi.
Dengan program imunisasi yang efektif untuk bayi dan anak, kasus-kasus campak di
Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara lainnya (seperti Finlandia, Republik Czech)
turun sebesar 99% dan pada umumnya campak hanya menyerang anak-anak yang tidak
diimunisasi atau anak-anak yang lebih besar, remaja atau dewasa muda yang hanya
menerima vaksin satu dosis.
Di Amerika Serikat pernah ada peningkatan insidensi campak pada tahun 1989-1991.
kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi, termasuk
anak-anak di bawah umur 15 bulan. KLB yang berkepanjangan timbul pada populasi anak
sekolah diantara 2-5% dari mereka yang gagal membentuk antibodi; tidak terjadi
serokonversi setelah mendapat vaksinasi 1 dosis. Sejak jadwal imunisasi 2 dosis
diterapkan , insidensi campak telah menurun, pada level yang sangat rendah dan data
terakhir menunjukkan adanya pemutusan rantai penularan endogenous di Amerika
Serikat. Di sebagian besar negara-negara Amerika Latin, pemberian vaksin campak
sebagai tambahan pada saat kampanye Pekan Imunisasi Nasional (PIN) memberikan hasil
hampir terjadi eliminasi campak dinegara ini . Pada tahun 1994, negara-negara Barat
menetapkan target eliminasi campak untuk dicapai pada akhir tahun 1005. Di daerah iklim
sedang campak timbul terutama pada akhir musim dingin dan pada awal musim semi. Di
daerah tropis campak timbul biasanya pada musim panas.
4. Reservoir - manusia.
5. Cara penularan
Melalui udara dengan penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret hidung atau
tenggorokan dari orang-orang yang terinfeksi dan agak jarang melalui benda-benda yang
terkena sekret hidung atau sekret tenggorokan. Campak merupakan salah satu penyakit
infeksi yang sangat menular.
346
6. Masa inkubasi
Masa inkubasi berlangsung sekitar 10 hari, tapi bisa berkisar antara 7-18 hari dari saat
terpajan sampai timbul gejala demam, biasanya 14 hari sampai timbul ruam. Jarang sekali
lebih lama dari 19-21 hari. IG untuk perlindungan pasif yang diberikan setelah hari ketiga
masa inkubasi dapat memperpanjang masa inkubasi.
7. Masa penularan
Masa penularan berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala
prodromal (biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam) sampai 4 hari setelah timbul
ruam; minimal setelah hari kedua timbulnya ruam. Virus vaksin yang dilemahkan sampai
saat ini tidak pernah dilaporkan menular.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang yang belum pernah terserang penyakit ini dan mereka yang belum pernah
diimunisasi serta nonresponders rentan terhadap penyakit ini. Imunitas yang didapat
setelah sakit bertahan seumur hidup. Bayi yang baru lahir dari ibu yang pernah menderita
campak akan terlindungi kira-kira selama 6-9 bulan pertama atau lebih lama tergantung
dari titer antibodi maternal yang tersisa pada saat kehamilan dan tergantung dari titer
maternal yang tersisa pada saat kehamilan dan tergantung pada kecepatan degradasi
antibodi ini . Antibodi maternal mengganggu respons terhadap vaksin. Imunisasi
yang diberikan pada usia 12-15 bulan memberikan imunitas kepada 94-98% penerima,
imunisasi dapat menaikkan tingkat imunitas sampai sekitar 99%. Bayi yang baru lahir dari
ibu yang memperoleh kekebalan sebab vaksinasi campak, menerima antibodi pasif dari
ibunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang mendapatkan
kekebalan alamiah. Dan bayi ini lebih mudah terkena campak sehingga membutuhkan
imunisasi campak pada usia yang lebih dini dari jadwal yang biasanya dilakukan.
9. Cara-cara pemberanasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Di Amerika Serikat diberikan penyuluhan kepada warga oleh Departemen
Kesehatan dan dokter praktek swasta yang menganjurkan imunisasi campak untk
semua bayi, anak remaja dan dewasa muda yang masih rentan yang lahir pada dan
setelah tahun 1957. Apabila pemberian vaksinasi campak merupakan
kontraindikasi dan bagi orang-orang yang tidak diimunisasi dan orang ini
diketahui dalam waktu lebih dari 72 jam terpajan campak di lingkungan keluarga
atau di lingkungan institusi, dapat dilindungi sebagian atau sepenuhnya dengan
pemberian IG yang diberikan dalam waktu 6 hari setelah terpajan.
2) Imunisasi: Vaksin campak yang mengandung virus yang dilemahkan yaitu
vaksin pilihan digunakan bagi semua orang yang tidak kebal terhadap campak,
kecuali ada kontraindikasi (lihat 9A 2c, di bawah). Pemberian dosis tunggal vaksin
campak hidup (live attenuated) biasanya dikombinasikan dengan vaksin hidup
lainnya (mumps, rubella), dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin yang
diinaktivasi lainnya atau bersama-sama toksoid; dapat memberikan imunitas aktif
pada 94-98% individu-individu yang rentan, kemungkinan kekebalan yang timbul
dapat bertahan seumur hidup, kalaupun terjadi infeksi maka bentuk infeksinya
347
sangat ringan atau infeksi tidak nampak dan tidak menular. Dosis kedua vaksin
campak dapat meningkatkan tingkat kekebalan sampai 99%.
Sekitar 5-15% dari orang setelah divaksinasi menunjukkan gejala kelesuan dan
demam mencapai 39.4°C (103°F). gejala ini muncul antara 5-12 hari setelah
diimunisasi, biasanya akan berakhir setelah 1-2 hari, namun tidak begitu
mengganggu. Ruam, pilek, batuk ringan dan bercak Koplik kadang-kadang juga
dapat timbul. Kejang demam dapat pula timbul, namun sangat jarang dan tanpa
menimbulkan gejala sisa. Insidensi tertinggi terjadinya kejang demam yaitu pada
anak-anak dengan riwayat atau keluarga dekat (orang tua atau saudaranya)
memiliki riwayat kejang demam. Ensefalitis dan ensefalopati pernah dilaporkan
terjadi setelah diimunisasi campak (kejadiannya kurang dari 1 kasus per 1 juta
dosis yang diberikan). Di Indonesia kejadian-kejadian seperti ini dipantau oleh
Pokja KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi).
Untuk mengurangi jumlah kegagalan pemberian vaksin, di Amerika Serikat jadwal
rutin pemberian vaksin campak 2 dosis, dengan dosis awal diberikan pada umur
12-15 bulan atau sesegera mungkin setelah usia itu. Dosis kedua diberikan pada
saat masuk sekolah (umur 4-6 tahun) namun dapat juga dosis kedua ini diberikan
sedini mungkin, 4 minggu setelah dosis pertama dalam situasi dimana risiko untuk
terpajan campak sangat tinggi. Kedua dosis diberikan sebagai vaksin kombinasi
MMR (measles, mumps dan rubella). Imunisasi rutin dengan MMR pada umur 12
bulan penting dilakukan di wilayah dimana timbul kasus campak. Selama terjadi
KLB di warga , usia yang direkomendasikan untuk imunisasi memakai
vaksin campak monovalent dapat diturunkan menjadi 6-11 bulan. Dosis kedua
vaksin campak kemudian diberikan pada umur 12-15 bulan dan dosis ketiga pada
waktu masuk sekolah.
Dari hasil penelitian di Afrika dan Amerika Latin menunjukkan bahwa umur
optimal untuk diimunisasi di negara berkembang sangat tergantung pada antibodi
maternal yang masih bertahan pada bayi dan tingkat risiko terpajan campak pada
umur yang lebih muda. Secara umum WHO Menganjurkan pemberian imunisasi
campak pada umur 9 bulan. Di Amerika Latin, PAHO (Pan American Health
Organization) sekarang merekomendasikan pemberian imunisasi rutin pada umur
12 bulan dan pemberian imunisasi tambahan secara berkala pada kampanye Pekan
Imunisasi Nasional untuk mencegah terjadinya KLB.
a) Penyimpanan dan pengiriman vaksin: Imunisasi bisa tidak memberikan
perlindungan apabila vaksin tidak ditangani atau disimpan dengan benar.
Sebelum dilarutkan, vaksin campak disimpan dalam keadaan kering dan beku,
relatif stabil dan dapat disimpan di freezer atau pada suhu lemari es (2-8°C;
35,6-46,4°F) secara aman selama setahun atau lebih. Vaksin yang telah dipakai
harus dibuang dan jangan dipakai ulang. Baik vaksin beku-kering atau yang
sedang dipakai dilapangan harus dilindungi dari sinar ultraviolet yang lama
sebab dapat memicu virus menjadi tidak aktif.
b) Imunisasi ulang: Di Amerika Serikat sebagai tambahan terhadap imunisasi
rutin imunisasi ulang diberikan pada anak-anak yang baru masuk sekolah,
imunisasi ulang diperlukan lagi bagi anak-anak yang memasuki SMA, bagi
mereka yang akan masuk perguruan tinggi atau kepada mereka yang akan
masuk ke fasilitas perawatn penderita, kecuali bagi mereka yang memiliki
348
riwayat pernah terkena campak atau ada bukti serologis telah memiliki
imunitas terhadap campak atau telah menerima 2 dosis vaksin campak. Bagi
mereka yang hanya menerima vaksin campak yang telah diinaktivasi,
imunisasi ulang dapat menimbulkan reaksi lebih berat seperti bengkak lokal
dan indurasi, limfadenopati dan demam, namun mereka akan terlindungi
terhadap sindroma campak atipik.
c) Kontra indikasi penggunaan vaksin virus hidup:
d) Vaksin yang mengandung virus hidup tidak boleh diberikan kepada pasien
dengan penyakit defisiensi imunitas primer yang mengenai fungsi sel T atau
defisiensi imunitas yang didapat sebab leukemia, limfoma, penyakit
keganasan lain atau terhadap mereka yang mendapatkan pengobatan dengan
kortikosteroid, radiasi, obat-obat alkilating atau anti metabolit, infeksi oleh
HIV bukan merupakan kontra indikasi yang mutlak. Di Amerika Serikat
imunisasi MMR dapat dipertimbangkan untuk diberikan kepada orang dengan
infeksi HIV asimptomatis tanpa bukti adanya supresi imunologis yang berat.
WHO merekomendasikan pemberian imunisasi campak kepada semua bayi
dan anak-anak dengan mengabaikan status HIV-nya, sebab risiko untuk
terkena campak yang berat pada ana-anak itu lebih besar.
e) Penderita dengan penyakit akut yang berat dengan atau tanpa demam,
pemberian imunisasi ditunda sampai mereka sembuh dari fase akut penyakit
yang diderita; penyakit ringan seperti diare atau ISPA bukan merupakan kontra
indikasi.
f) Orang dengan riwayat hipersensivitas anafilaktik terhadap pemberian vaksin
campak sebelumnya, mereka yang sensitif terhadap gelatin atau neomisin,
tidak boleh menerima vaksin campak. Alergi terhadap telur, meskipun bila
terjadi anafilaktik tidak dianggap sebagai kontra indikasi.
g) Kehamilan. Secara teoritis vaksinasi tidak diberikan pada wanita hamil;
mereka diberi penjelasan tentang risiko teoritis kemungkinan terjadi kematian
janin apabila mereka menjadi hamil dalam waktu 1 bulan setelah mendapat
vaksin campak monovalen atau 3 bulan setelah mendapat vaksin MMR.
h) Vaksinasi harus diberikan paling lambat 14 hari sebelum pemberian IG atau
sebelum transfusi darah. IG atau produk darah dapat mengganggu respons
terhadap vaksin campak dengan lama waktu yang bervariasi tergantung
daripada dosis IG. Dosis yang biasa diberikan untuk Hepatitis A dapat
mengganggu respons terhadap vaksin selama 3 bulan; dosis IG yang sangat
besar yang diberikan melalui intravena dapat mengganggu respons terhadap
vaksin sampai selama 11 bulan.
3) Imunisasi campak sebagai persyaratan bagi anak-anak yang akan masuk sekolah
dan bagi anak-anak pada pusat penitipan anak sampai dengan mahasiswa
perguruan tinggi, telah terbukti efektif dalam penanggulangan campak di Amerika
Serikat dan di beberapa propinsi di Kanada. Sejak KLB yang berkepanjangan
terjadi di sekolah-sekolah walaupun cakupan imunisasi pada anak-anak ini
mencapai lebih dari 95%, tingkat kekebalan yang lebih tinggi dibutuhkan untuk
mencegah timbulnya KLB. Hal ini dapat dicapai melalui imunisasi ulang yang
diberikan secara rutin sebagai persyaratan untuk memasuki sekolah.
349
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan perantara
1) Laporan ke kantor Dinas Kesehatan setempat: Campak wajib dilaporkan di semua
negara bagian di Amerika Serikat dan di banyak negara, Kelas 2A (lihat pelaporan
penyakit menular). Laporan disampaikan secepatnya (dalam waktu 24 jam) untuk
memberi kesempatan penanggulangan KLB yang lebih baik.
2) Isolasi: tidak praktis dilakukan untuk warga yang besar; Anak yang
menderita campak jangan masuk sekolah selama 4 hari setelah timbulnya ruam. Di
rumah sakit isolasi yang dilakukan mulai stadium kataral pada periode prodromal
sampai dengan hari ke-4 timbulnya ruam dapat mengurangi keterpajanan pasien-
pasien dengan risiko tinggi lainnya.
3) Disinfeksi serentak: Tidak ada.
4) Karantina: Biasanya tidak praktis. Karantina yang dilakukan pada institusi,
bangsal atau penginapan kadang-kadang bermanfaat; lakukan pemisahan yang
tegas terhadap bayi-bayi yang sehat apabila ditemukan penderita campak di sebuah
institusi.
5) Imunisasi kontak: Vaksin virus hidup, bila diberikan dalam waktu 72 jam setelah
terpajan dapat memberikan perlindungan. IG dapat diberikan dalam waktu 6 hari
setelah terpajan bagi anggota keluarga yang rentan dan bagi kontak lainnya dimana
orang-orang ini memiliki risiko komplikasi sangat tinggi (terutama kontak
yang berumur di bawah 1 tahun, wanita hamil atau orang-orang dengan kelainan
imunologis) atau diberikan kepada orang yang memiliki kontra indikasi
terhadap vaksinasi campak. Dosis IG yaitu 0,25 ml/kg BB (0,11 ml.lb) sampai
dengan dosis maksimum sebesar 15 ml. Vaksin campak virus hidup dapat
diberikan kepada orang ini 5-6 bulan kemudian apabila tidak ada kontra indikasi.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan investigasi terhadap orang-orang
yang rentan yang terpajan dan kepada orang ini diberi imunisasi untuk mencegah
penularan penyakit. Status carrier tidak diketahui.
7) Pengobatan spesifik: Tidak ada.
C. Penanggulangan KLB
1) Laporkan segera (dalam waktu 24 jam) kasus-kasus tersangka campak yang
ditemukan dan lakukan kegiatan imunisasi yang komprehensif bagi semua orang
yang rentan untuk mencegah penularan. Jika terjadi KLB campak di tempat
penitipan anak, sekolah dan perguruan tinggi di Amerika Serikat, maka terhadap
semua orang yang tidak memiliki Catatan vaksinasi pada waktu bayi dengan 2
dosis dengan interval minimal 1 bulan harus diimunisasi, kecuali jika mereka
memiliki Catatan dari dokter bahwa mereka pernah menderita campak atau
memiliki bukti laboratorium tentang status imunisasinya.
2) Apabila KLB terjadi di suatu institusi, penghuni baru harus diberi vaksinasi atau
IG.
3) Di banyak negara berkembang, CFR campak masih tinggi. Apabila vaksin
tersedia, pemberian vaksinasi pada awal suatu KLB membantu mencegah
penyebaran lebih lanjut. Apabila persediaan vaksin terbatas, prioritas harus
diberikan kepada anak-anak dengan risiko yang paling tinggi.
350
D. Implikasi bencana
Masuknya virus campak pada pengungsi dengan proporsi mereka yang rentan masih
cukup tinggi dapat memicu terjadinya KLB yang berat dengan angka kematian
yang tinggi.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
MELIOIDOSIS ICD-9 025; ICD-10 A2A
(Penyakit Whitmore)
1. Identifikasi
Suatu penyakit infeksi oleh bakteri yang sangat jarang terjadi dengan spektrum gejala
klinis mulai dari tanpa gejala atau konsolidasi paru-paru yang asimptomatik sampai
kepada pneumonia nekrotis dan atau septicemia yang fatal. Dapat menyerupai demam
tifoid, atau lebih sering menyerupai TBC; gambaran klinis dapat berupa terbentuknya
cavernae pada paru-paru, empiema, abses kronis dan osteomielitis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi kuman Pemicu ; peningkatan titer antibodi pada
pemeriksaan serologis merupakan diagnosa pasti. Kemungkinan diagnosa melioidosis
harus dipikirkan pada setiap penderita dengan gejala supurasi yang tidak dapat dijelaskan,
terutama pada penderita penyakit paru-paru dengan kavitasi dan orang ini tinggal
atau baru kembali dari Asia Tenggara dan wilayah endemis lainnya; dapat juga penyakit
ini baru tampak gejalanya 25 tahun setelah terpajan.
2. Pemicu Infeksi: Pseudomonas pseudomallei, basilus Whitmore.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini dengan gejala klinis yang jelas jarang terjadi, umumnya penyakit ini
menyerang orang-orang dengan kulit terkelupas, sobek, terbakar yang kontak erat dengan
tanah atau air yang terkontaminasi. Dapat timbul sebagai komplikasi dari luka yang jelas
atau setelah teraspirasi air. Penderita penyakit ini pernah dilaporkan tidak hanya terbatas
di Asia Tenggara (Myanmar, Thailand, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina), Iran,
Turki, Australia, Papua Nugini, Guam, Burkina Faso (Volta Hulu), Ivory Coast, Sri
Lanka, Madagaskar, Brazil, Ekuador, Panama, Meksiko, Haiti, El Savador, Puerto Rico
dan Aruba, di tempat lain kemungkinan penyakit ini juga ada. Di beberapa tempat di
wilayah ini 5-20% dari pekerja di bidang pertanian ditemukan antibodi di dalam
tubuhnya tapi tidak ada riwayat dari penyakit ini secara jelas; di Thailand dianggap
sebagai penyakit petani beras.
4. Reservoir
Organisme ini saprofit di tanah dan di air. Beberapa jenis binatang seperti kambing,
domba, kuda, babi, monyet dan roden (dan beberapa binatang lainnya dan burung di
kebun binatang) bisa terinfeksi. Tidak ada bukti bahwa mereka merupakan reservoir yang
penting kecuali bahwa mereka berperan memindahkan agen ke fokus baru.
351
5. Cara penularan
Biasanya melalui kontak dengan tanah atau air yang terkontaminasi melalui luka kulit
yang nampak jelas atau yang tidak nampak, melalui aspirasi atau tertelannya cairan yang
terkontaminasi atau melalui inhalasi debu tanah.
6. Masa inkubasi
Dapat singkat hanya 2 hari. Tapi bisa juga berlangsung beberapa tahun sejak terpajan
hingga timbulnya gejala penyakit.
7. Periode penularan
Tidak terbukti adanya penularan dari orang ke orang. Pernah dilaporkan terjadi penularan
setelah kontak seksual dengan orang yang menderita infeksi prostat. Infeksi yang didapat
sebab bekerja di laboratorium jarang terjadi, namun bisa terjadi terutama apabila cara kerja
pemeriksaan laboratorium ini menghasilkan uap (aerosol).
8. Kerentanan dan kekebalan
Penyakit ini jarang terjadi pada manusia, bahkan pada orang yang tinggal di daerah
endemis yang memiliki kontak dekat dengan tanah atau air yang mengandung agen ini.
Banyak penderita kronis tanpa gejala, timbul gejala klinis setelah suatu luka berat, luka
baker atau penyakit timbul oleh sebab adanya kondisi predisposisi yang mendasarinya
seperti diabetes atau gagal ginjal. Kondisi-kondisi ini dapat memicu penyakit atau
recrudescense penyakit pada individu yang terinfeksi namun tanpa memperlihatkan
gejala.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Orang dengan debilitas dan penyakit-penyakit lain yang menurunkan imunitas dan
mereka dengan luka akibat trauma harus menghindarkan diri dari terpajan dengan
tanah atau air seperti misalnya di sawah di daerah endemis.
2) Di daerah endemis lecet di kulit, abrasi atau luka bakar yang terkontaminasi
dengan tanah atau air permukaan harus segera dibersihkan dengan benar.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: tidak ada pelaporan resmi, Kelas 5 (lihat
pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi: Hati-hati terhadap discharge sinus dan saluran nafas.
3) Disinfeksi serentak: Buanglah discharge dengan cara yang aman.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Carrier pada manusia tidak ada.
7) Pengobatan spesifik: yang paling efektif yaitu TMP-SMX. Pengobatan ini
memberikan hasil yang baik jika diberikan kepada kasus-kasus subakut dan kronis.
Untuk penderita dengan sepsis akut, direkomendasikan pemberian ceftazidime
dikombinasikandengan TMP-SMX dan gentamicin. Dari hasil penelitian di
Thailand, relaps berkurang setelah pemberian terapi dengan obat kombinasi per
oral kloramfenikol, doksisiklin dan TMP-SMX. Obat terbaik untuk kasus-kasus
352
septikemi berat yaitu ceftazidime intravena dengan amoksisiklin/clavulanate
sebagai obat alternatif.
C. Penanggulangan wabah
Prosedur dan cara-cara penanggulangan wabah/KLB tidak diterapkan pada penyakit
ini sebab ia merupakan penyakit yang sporadis.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
Prosedur lebih lanjut baku perlu dipertimbangkan apabila mengangkut/membawa
binatang dari suatu daerah ke daerah yang selama ini belum pernah dilaporkan terjadi
penyakit ini.
GLANDERS ICD-9 024; ICD-10 A24.0
Glanders yaitu penyakit yang sangat menular pada kuda, bagal, keledai; telah lama hilang di
banyak wilayah di dunia, walaupun fokus-fokus enzootic diduga masih ada di Asia dan di
daerah bagian selatan negara-negara Mediteran. Secara klinis penyakit glanders tidak
ditemukan lagi di negara-negara Barat. Infeksi pada manusia sangat jarang terjadi biasanya
muncul secara sporadis dan hanya pada mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan
binatang atau pada mereka yang bekerja di laboratorium (seperti dokter hewan, jagal dan ahli
patologi). Pemicu infeksi yaitu organisme Pseudomonas mallei (Actinobacillus mallei),
basilus Pemicu glanders tidak bisa dibedakan secara serologis dari P. pseudomallei;
diagnosis spesifik dapat dibuat hanya dengan menemukan/mengisolasi organisme ini .
Upaya pencegahan sangat tergantung pada upaya pemberantasan glanders pada binatang dan
tindakan kewaspadaan pada waktu menangani organisme Pemicu . Pengobatannya sama
dengan pengobatan melioidosis.
MENINGITIS
I. MENINGITIS VIRAL ICD-9 047; ICD-10 A87
(Meningitis Aseptik, Meningitis serosa, Meningitis non bakteriai atau Meningitis Abakterial)
(Meningitis Nonpiogenik) ICD-9 322.0; ICD-10 G03.0
1. Identifikasi
Relatif sering ditemukan namun penyakit ini jarang sekali ditemukan dengan sindroma
klinis serius atau dengan Pemicu virus yang multiple, ditandai dengan munculnya
demam tiba-tiba dengan gejala dan tanda-tanda meningeal. Pemeriksaan likuor
serebrospinal ditemukan pleositosis (biasanya mononukleosis tapi bisa juga polimorfo
353
nuklier pada tahap-tahap awal), kadar protein meningkat, gula normal dan tidak
ditemukan bakteri. Ruam seperti rubella sebagai ciri infeksi yang disebabkan oleh virus
echo dan virus coxsackie; ruam vesikuler dan petekie bisa juga timbul. Penyakit dapat
berlangsung sampai 10 hari. Paresis sementara dan manifestasi ensefalitis dapat terjadi;
sedang kelumpuhan jarang terjadi. Gejala-gejala sisa dapat bertahan sampai 1 tahun
atau lebih, berupa kelemahan, spasme otot, insomnia dan perubahan kepribadian.
Penyembuhan biasanya sempurna. Gejala pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan
biasanya sebab infeksi enterovirus. Berbagai jenis penyakit lain disebabkan oleh bukan
virus gejalanya dapat menyerupai meningitis aseptik; misalnya seperti pada meningitis
purulenta yang tidak diobati dengan baik, meningitis sebab TBC dan meningitis
kriptokokus, meningitis yang disebabkan oleh jamur, sifilis serebrovaskuler dan LGV.
Reaksi pasca infeksi dan pasca vaksinasi perlu dibedakan dengan meningitis aseptik
antara lain gejala sisa akibat campak, mumps, varicella dan reaksi pasca imunisasi
terhadap rabies dan cacar; gejala yang muncul biasanya tipe ensefalitis. Leptospirosis,
listeriosis, sifilis, limfositik choriomeningitis, hepatitis, infeksi mononucleosis, influenza
dan penyakit-penyakit lain dapat memperlihatkan gejala klinis yang sama dan penyakit-
penyakit ini akan dibahas pada bab tersendiri. Pada kondisi optimal identifikasi spesifik
penyakit ini dapat dibuat terhadap hampir separuh dari kasus-kasus yang ditemukan
dengan memakai teknik serologis dan isolasi. Virus dapat diisolasi pada stadium awal
penyakit dari bilas tenggorok dan tinja, kadang-kadang virus ditemukan dari likuor
serebrospinal dan darah dengan teknik biakan jaringan dan inokulasi pada binatang.
2. Pemicu infeksi
Berbagai macam organisme dapat sebagai Pemicu infeksi, banyak diantaranya sebagai
Pemicu penyakit spesifik lainnya. Banyak sekali jenis virus yang dapat menimbulkan
gejala meningeal. Separuh lebih dari kasus tidak ditemukan Pemicu nya. Pada waktu
terjadi KLB mumps, virus ini diketahui sebagai Pemicu lebih dari 25% kasus meningitis
aseptik pada populasi yang tidak diimunisasi. Di Amerika Serikat enterovirus (virus
picorna) diketahui sebagi Pemicu dari kasus-kasus meningitis apetik yang diketahui
etiologinya. Virus coxsackie grup B tipe 1-6 sebagai Pemicu dari 1/3 kasus; dan
echovirus tipe 2,5,6,7,9 (kebanyakan), 10, 11, 14, 18 dan 30, kira-kira sebagai Pemicu
separuh kasus. Virus coxsackie grup A (tipe 2,3,4,7,9 dan 10), arbovirus, campak, herpes
simplex I dan virus varicella, virus Choriomeningitis limfositik, adenovirus dan virus jenis
lain bertanggungjawab terhadap terjadinya kasus-kasus sporadis. Insidensi dari tipe-tipe
spesifik bervariasi menurut wilayah geografis dan waktu. Leptospira bertanggungjawab
terhadap lebih dari 20% kasus-kasus meningitis aseptik di berbagai wilayah di dunia ini
(lihat Leptospirosis).
3. Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia, timbul sebagai kasus-kasus endemis dan sporadis. Angka
insidensi yang sebenarnya tidak diketahui. Meningkatnya jumlah kasus berhubungan
dengan musim, pada akhir musim panas dan awal musim semi jumlah penderita
meningkat terutama yang disebabkan oleh arbovirus dan enterovirus sementara KLB
meningitis aseptik yang terjadi di akhir musim dingin terutama disebabkan oleh mumps.
4., 5., 6., 7. dan 8. Reservoir, cara penularan, masa inkubasi, periode penularan,
354
kerentanan dan kekebalan – Bervariasi tergantung pada agen Pemicu spesifik dari
infeksi (lihat pada bab masing-masing penyakit).
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan tergantung pada Pemicu penyakit (lihat pada bab masing-masing
penyakit spesifik).
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan ke kantor Instansi Kesehatan setempat: di daerah endemis tertentu
penyakit ini wajib dilaporkan; di beberapa negara dan negara bagian di Amerika
Serikat bukan sebagai penyakit yang harus dilaporkan, Kelas 3 B (lihat tentang
pelaporan penyakit menular). Bila Pemicu infeksi dapat dipastikan melalui
pemeriksaan laboratorium maka didalam laporan sebutkan Pemicu infeksinya;
sebaliknya apabila Pemicu nya tidak diketahui laporkan sebagai kasus yang tidak
diketahui etiologinya.
2) Isolasi: Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
biasanya baru didapat setelah penderita sembuh. Oleh sebab itu kewaspadaan
enterik sudah harus dilakukan 7 hari setelah mulai sakit, kecuali kalau diagnosa
pasti sudah menyatakan bahwa Pemicu nya yaitu nonenterovirus.
3) Disinfeksi serentak: Tidak diperlukan kewaspadaan khusus selain menerapkan
sanitasi rutin.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi kontak: Lihat uraian masing-masing penyakit.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Biasanya tidak dilakukan.
7) Pengobatan spesifik: Seperti halnya pada penyakit yang disebabkan oleh virus,
tidak ada pengobatan spesifik.
C. Penanggulangan KLB: Lihat pada bab masing-masing penyakit.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Kerja sama WHO.
II. MENINGITIS BAKTERIAL ICD-9 320; ICD-10 G00
Angka insidensi meningitis bakterial yang dilaporkan di Amerika Serikat, 10 tahun setelah
pertama kali vaksin terhadap Haemophillus influenza serotipe b (Hib) diijinkan beredar
yaitu 2,2/100.000/tahun dan kira-kira sepertiga penderita anak berumur 5 tahun. Hampir
semua bakteri dapat memicu infeksi pada semua umur, namun seperti yang
dilaporkan pada akhir tahun 1990-an Pemicu yang paling sering yaitu Neisseria
meningitidis dan Streptococcus pneumoniae. sedang penyakit yang disebabkan oleh
infeksi meningokokus, timbul secara sporadis dan kadang-kadang muncul sebagai KLB;
di banyak negara meningokokus merupakan Pemicu utama dari meningitis bakterial.
Meningitis yang disebabkan oleh Hib, sebelumnya merupakan salah satu Pemicu yang
paling sering dari meningitis bakterial, namun saat ini di AS hampir telah tereliminasi.
355
Bakteri Pemicu meningitis yang paling jarang yaitu stafilokok, bakteri enterik, grup B
streptokokus dan Listeria yang menyerang orang dengan kerentanan yang spesifik (seperti
pada neonatus, penderita gangguan sistem imunitas) atau sebagai akibat trauma pada
kepala.
II. A. INFEKSI MENINGOKOKUS ICD-9 136; ICD-10 A39
(Demam Serebrospinal)
MENINGITIS MENINGOKOKUS ICD-9 036.0; ICD-10 A39.0
(Meningococcemia, bukan Meningitis: ICD-10 A39.2-A39.4)
1. Identifikasi
Penyakit bakterial akut dengan katarektistik muncul demam mendadak, nyeri kepala
hebat, mual dan sering disertai muntah, kaku kuduk dan seringkali timbul ruam petekie
dengan makula merah muda atau sangat jarang berupa vesikel. Sering terjadi delirium dan
koma; pada kasus fulminan berat timbul gejala prostrasi mendadak, ecchymoses dan syok.
Dulu angka kematian mencapai >50% namun dengan diagnosa dini, terapi modern dan
tindakan suportif, angka kematian 5-15%. Lebih dari 5-15% warga di negara endemis
merupakan carrier tanpa gejala, ditemukan koloni Neisseria meningitidis di daerah
nasofaring. Sebagian kecil dari orang ini akan berkembang menjadi penyakit yang invasif
dengan ditandai satu atau lebih gejala klinis seperti bakteremia, sepsis, meningitis atau
pneumonia. Banyak pada penderita sepsis timbul ruam petekie, kadang-kadang disertai
dengan nyeri dan radang sendi. Meningococcemia dapat timbul tanpa mengenai selaput
otak dan harus dicurigai pada kasus-kasus demam akut yang tidak diketahui Pemicu nya
dengan ruam petekie dan lekositosis. Pada meningococcemia fulminan angka kematian
tetap tinggi walaupun telah diobati dengan antibiotika yang tepat. Diagnosis pasti dibuat
dengan ditemukannya meningococci pada LCS atau darah. Pada kasus dengan kultur
negatif, diagnosis dibuat didukung dengan ditemukannya polisakarida terhadap grup
sepesifik meningococcal pada LCS dengan teknik IA, CIE dan teknik koaglutinasi; atau
ditemukannya DNA meningococcal pada LCS atau pada plasma dengan PCR.
Pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan gram, sediaan yang diambil dari petekie
organismenya dapat diketahui.
2. Pemicu Infeksi
N. meningitidis, suatu jenis meningokokus N. meningitidis grup A, Pemicu utama KLB
di AS (tidak ditemukan sejak tahun 1945) dan di tempat lian; sedang grup B, C dan Y
diakhir tahun 1990-an sebagai Pemicu kebanyakan kasus di AS. Genotipe tertentu
tercatat sebagai Pemicu terjadinya beberapa KLB. Serogrup lainnya diketahui juga
berperan sebagai patogen (misalnya grup W-135, X dan Z). Organisme dari kelompok ini
kurang begitu virulen, namun kasus-kasus fatal dan infeksi sekunder pernah dilaporkan
disebabkan oleh hampir semua serogroup. KLB N. meningitidis biasanya disebabkan oleh
strain yang berdekatan. Untuk mengetahui strain Pemicu KLB dan luasnya KLB, maka
subtyping dari isolat dengan memakai metoda seperti disebutkan di bawah ini sangat
bermanfaat:
356
- multilocus enzyme electrophoresis
- pulsed-field gel electrophoresis
- enzyme-restricted DNA fragments.
3. Distribusi penyakit
Infeksi oleh meningokokus terjadi dimana-mana, namun puncaknya terjadi pada akhir
musim dingin dan awal musim semi. Pada awalnya infeksi meningokokus terjadi pada
anak-anak dan dewasa muda, di banyak negara laki-laki lebih banyak terserang daripada
wanita, dan sering terjadi pada pendatang baru yang berkumpul/berjejalan pada suatu
tempat seperti di dalam barak dan asrama penampungan. Wilayah yang selama ini
diketahui sebagai daerah yang insidensinya tinggi yaitu AfrikaTengah dimana infeksi
disebabkan oleh grup A. Pada tahun 1996 wabah meningokokus dilaporkan terjadi di
Afrika Barat dengan total penderita yang dilaporkan yaitu 150.000 penderita, terjadi di
Burkina Faso, Chad, Mali, Niger dan Nigeria. Pada kurun waktu 10 tahun terakhir KLB
yang disebabkan oleh grup A dilaporkan terjadi di Nepal, India, Ethiopia, Sudan dan
beberapa negara Afrika lainnya. Selama tahun 1980 dan 1990-an, grup B diketahui
sebagai Pemicu infeksi di benua Eropa dan Amerika. Wabah yang terjadi biasanya
ditandai dengan peningkatan jumlah kasus 5-10 kali dari biasanya, dan akhir-akhir ini
dilaporkan terjadi di Selandia baru, daerah timur laut negara bagian Amerika Serikat yang
menghadap laut Pasifik. Sejak tahun 1990-an KLB yang disebabkan oleh grup C
dilaporkan terjadi di AS dan Kanada. KLB ini biasanya menyerang anak-anak usia
sekolah, mahasiswa dan penularan kadang-kadang terjadi di bar dan kelab malam dimana
banyak orang berkumpul di dalamnya. Pada tahun 1990-an, di AS ternyata grup Y makin
sering dijumpai sebagai Pemicu infeksi seperti halnya grup B dan grup C. Beredarnya
strain baru dari meningokokus biasanya ditandai dengan meningkatnya insidensi infeksi
meningokokus yang menyerang hampir semua kelompok umur.
4. Reservoir – Manusia.
5. Cara penularan
Penularan terjadi dengan kontak langsung seperti melalui droplet dari hidung dan
tenggorokan orang yang terinfeksi. Infeksi biasanya memicu infeksi subklinis pada
mukosa. Invasi dengan jumlah bakteri yang cukup untuk memicu terjadinya
penyakit sistemik sangat jarang. Prevalensi carrier yang mencapai 25% atau lebih dapat
terjadi tanpa ada kasus meningitis. Selama KLB lebih dari setengah laki-laki personil
militer mungkin sebagai carrier sehat kuman meningokokus. Penyebaran melalui barang
dan alat-alat tidak terbukti.
6. Masa inkubasi – Bervariasi dari 2-10 hari, biasanya 3-4 hari.
7. Masa penularan
Penularan dapat terus terjadi sampai kuman meningokokus tidak ditemukan lagi di hidung
dan mulut. Meningokokus biasanya hilang dari nasofaring dalam waktu 24 jam setelah
pengobatan dengan antibiotika trerhadap mikroba yang masih sensitif terhadap antibiotika
ini apabila kadar obat mencapai konsentrasi yang cukup di dalam sekret orofaring.
Penisilin dapat menekan jumlah organisme untuk sementara namun biasanya tidak dapat
menghilangkan organisme ini dari oronasofaring.
357
8. Kerentanan dan kekebalan
Kerentanan terhadap penyakit klinis rendah dan menurun sesuai dengan umur; rasio antara
carrier dengan kasus sangat tinggi. Dan mereka yang di dalam darahnya kekurangan
beberapa komponen komplemen sangat mudah kambuh dan terserang penyakit ini lagi.
Orang yang telah diambil limpanya sangat mudah mengalami bakteriemia walaupun
hanya mengalami infeksi subklinis. Dapat muncul kekebalan spesifik terhadap grup
bakteri yang menginfeksi. Lamanya antibodi spesifik ini bertahan belum diketahui.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada warga untuk mengurangi kontak langsung dan
menghindari terpajan dengan droplet penderita.
2) Mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti
dalam barak, sekolah, tenda dan kapal.
3) Vaksin yang mengandung polisakarida meningokokus grup A, C, Y dan W-135
telah terdaftar dan beredar di Amerika Serikat dan negara lainnya untuk digunakan
pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar, saat ini hanya vaksin
kuadrivalen yang tersedia di Amerika Serikat. Vaksin meningokokus efektif pada
orang dewasa diberikan pada saat melakukan rekruitmen militer di AS sejak tahun
1972. Vaksin ini juga digunakan untuk mengendalikan KLB grup C yang terjadi di
warga dan di sekolah pada tahun 1990-an. Vaksin ini harus diberikan kepada
kelompok risiko tinggi tertentu yaitu anak-anak pada usia di atas 2 tahun yang
rentan terhadap infeksi berat meningokokus termasuk harus diberikan kepada
penderita yang limpanya sudah diambil, orang dengan defisiensi komplemen
terminal, staf laboratorium yang terpajan secara rutin dengan N. meningitidis.
Sayang sekali komponen C memiliki imunogenisitas rendah dan tidak efektif
bila diberikan bagi anak di bawah usia 2 tahun. Vaksin serogroup A mungkin
efektif bila diberikan kepada anak usia lebih muda, 3 bulan sampai 2 tahun, pada
usia ini diberikan 2 dosis vaksin dengan interval 3 bulan. sedang untuk anak
usia di atas 2 tahun hanya diberi dosis tunggal. Waktu perlindungan sangat
terbatas, terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun. Imunisasi rutin bagi
warga umum di Amerika Serikat tidak dianjurkan. Pemberian imunisasi
kepada para pelancong akan mengurangi risiko tertulari apabila mereka
berkunjung ke negara yang pernah mengalami wabah meningokokus grup A atau
C. Imunisasi ulang dapat dipertimbangkan untuk diberikan dalam jangka waktu 3-
5 tahun apabila tidak ada indikasi untuk mendapatkan vaksinasi. Tidak ada vaksin
yang terdaftar saat ini di AS efektif terhadap infeksi grup B, walaupun beberapa
jenis vaksin telah dikembangkan dan telah diujicoba menunjukkan efikasi yang
lumayan bila diberikan kepada anak-anak yang lebih besar dan kepada orang
dewasa. Vaksin konyugat terhadap serogroup A dan C masih dalam proses uji
coba klinis, namun efikasinya sampai tahun 1999 belum dievaluasi. Untuk bayi
dan anak-anak, vaksin meningokokus konyugat serogroup A, C, Y dan W-135
telah dikembangkan dengan metoda yang sama dengan metoda pembuatan vaksin
konyugat untuk Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin-vaksin ini diharapkan
sudah dapat digunakan rutin di Inggris mulai tahun 2000 dan di Amerika Serikat
dalam waktu 2-4 tahun kemudian.
358
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Wajib dilaporkan di banyak negara
bagian (di Amerika) dan di beberapa negara di dunia, Kelas 2 A (lihat pelaporan
penyakit menular).
2) Isolasi: Lakukan isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulai pemberian
chemotherapy.
3) Disinfeksi serentak: lakukan desinfeksi terhadap discharge yang berasal dari sekret
hidung dan tenggorokan, dan barang-barang yang terkontaminasi. Pembersihan
menyeluruh.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Perlindungan kontak: Lakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga
penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan
penderita secara dini, khususnya terhadap mereka yang demam agar segera
dilakukan pengobatan yang tepat secara dini; pemberian profilaktik, kemoterapi
yang efektif untuk melindungi kontak (kontak diantara anggota keluarga satu
rumah, personil militer yang berbagi tempat tidur dan orang-orang yang secara
sosial sangat dekat untuk saling bertukar peralatan makan seperti teman dekat di
sekolah, tapi bukan seluruh kelas. Anak-anak di tempat penitipan merupakan
pengecualian dan walaupun bukan teman dekat maka semua harus diberikan
pengobatan profilaksis setelah ditemukan satu kasus indeks. Pilihan antibiotika
profilaksis yaitu rifampisin, diberikan 2 kali sehari selama 2 hari: orang dewasa
600 mg per dosis; bayi di atas 1 tahun 10 mg/kg BB; anak umur kurang dari 1
bulan 5 mg/kg BB. Rifampisin harus dihindari untuk diberikan bagi wanita hamil.
Rifampisin dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi oral. Untuk orang dewasa,
ceftriaxone 250 mg IM dapat diberikan sebagai dosis tunggal dan terbukti cukup
efektif; 125 mg IM untuk anak di bawah umur 15 tahun. Ciprofloxacin 500 mg per
oral dosis tunggal dapat juga diberikan untuk orang dewasa. Bila kuman sensitif
terhadap sulfadiazine, dapat diberikan pada orang dewasa dan anak-anak yang
lebih besar dengan dosis 1 gram setiap 12 jam, dalam 4 dosis; untuk bayi dan
anak-anak dosisnya yaitu 125-150 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, setiap 2
hari sekali. Pada tahun 1993 sulfadiazine tidak lagi diproduksi di Amerika Serikat
dan diperlukan bantuan dari CDC Atlanta untuk mendapatkan obat ini. Petugas
kesehatan jarang sekali berada dalam risiko tertulari sekalipun dia merawat
penderita, hanya mereka yang kontak erat dengan sekret nasofaring (seperti pada
waktu resusitasi mulut ke mulut) yang memerlukan pengobatan profilaksis.
Pemberian imunisasi kepada kontak dalam lingkungan keluarga kurang
bermanfaat sebab tidak cukup waktu.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Kultur dari tenggorokan dan nasofaring
tidak bermanfaat untuk menentukan siapa saja yang harus menerima pengobatan
profilaksis sebab pembawa kuman sangat bervariasi dan tidak ada hubungan yang
konsisten antara koloni yang ditemukan secara normal pada populasi umum
dengan koloni yang ditemukan pada saat terjadi KLB.
7) Pengobatan spesifik: Penisilin yang diberikan parenteral dalam dosis yang adekuat
merupakan obat pilihan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi
meningokokus; ampisilin dan kloramfenikol juga efektif. Telah dilaporkan ada
strain yang resisten terhadap penisilin di banyak negara di Spanyol, Inggris dan
359
Amerika; strain yang resisten terhadap kloramfenikol dilaporkan di Vietnam dan
Perancis. Pengobatan harus segera dimulai bila diagnosa terhadap tersangka telah
ditegakkan, bahkan sebelum kuman meningokokus dapat diidentifikasi. Pada
penderita anak-anak sambil menunggu agen Pemicu spesifik dapat diidentifikasi,
pengobatan harus segera diberikan dengan obat yang efektif terhadap Haemophilus
influenzae tipe B (Hib) dan terhadap Streptococcus pneumonia. Ampisilin
merupakan obat pilihan untuk kedua bakteri ini selama mereka masih sensitif
terhadap ampisilin. Ampisilin harus dikombinasikan dengan generasi ketiga
cephaloposporin, atau dengan kloramfenikol, atau dengan vancomycin sebagai
subsitusi di wilayah dimana ditemukan H. influenzae dan S. pneumoniae yang
resisten terhadap ampisilin. Pasien dengan infeksi meningokokus atau Hib harus
diberi rifampisin sebelum dipulangkan dari rumah sakit apabila sebelumnya tidak
diberikan obat generasi ketiga cephalosporin atau ciprofloxacin. Hal ini dilakukan
agar ada kepastian bahwa organisme telah terbasmi.
C. Penanggulangan KLB
1) Bila terjadi KLB, upaya paling penting yang harus dilakukan yaitu meningkatkan
kegiatan surveilans, diagnosa dan pengobatan dini dari kasus-kasus yang dicurigai.
Kepanikan dan kecurigaan yang terlalu tinggi tidak bermanfaat.
2) Pisahkan orang-orang yang pernah terpajan dengan penderita dan berikan ventilasi
yang cukup terhadap tempat tinggal dan ruang tidur bagi orang-orang yang
terpajan dengan kuman yang disebabkan sebab kepadatan (misalnya: barak dan
asrama tentara, pekerja tambang dan tahanan).
3) Pengobatan pencegahan masal biasanya tidak efektif untuk mengatasi KLB. Pada
KLB yang terjadi pada sekelompok kecil warga (misalnya di suatu sekolah),
pemberian pengobatan pencegahan pada semua orang dikelompok itu dapat
dipertimbangkan terutama apabila KLB ini disebabkan oleh serogrup yang
tidak termasuk dalam vaksin yang ada. Bila dilakukan pengobatan masal harus
diberikan pada seluruh anggota warga pada saat yang sama. Semua kontak
dekat harus dipertimbangkan untuk mendapat pengobatan profilaksis, tanpa
melihat apakah seluruh anggota warga sudah diobati (lihat 9B5 di atas).
4) Pemberian vaksin pada semua kelompok umur yang terkena seharusnya
dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh apabila terjadi KLB di suatu institusi
yang besar atau di warga dimana kasus disebabkan oleh infeksi grup A, C,
W-135 dan Y (lihat 9A3 di atas). Vaksin meningokokus sangat efektif untuk
menghentikan wabah yang disebabkan oleh serogrup A dan C. Hal-hal yang
diuraikan berikut ini dapat membantu apakah kita perlu memberikan imunisasi
kepada orang-orang yang berisiko pada saat terjadi KLB yang diduga disebabkan
oleh grup C: a) Pastikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi KLB dan deskripsikan
secara epidemiologis untuk menemukan kelompok umur yang terkena dan
denominator sosial lainnya (misalnya: sekolah, tempat penitipan anak, organisasi
kewarga an, kelab malam, kota) dari orang-orang yang terkena; b) hitung
attack rate strain bakteri yang memicu KLB pada populasi yang berisiko; c)
bila mungkin, lakukan isolasi subtipe N. meningotidis Pemicu KLB
memakai metoda molekuler. Bila paling tidak ditemukan tiga kasus yang
disebabkan oleh grup C dengan subtipe yang sama selama 3 bulan dan kasus baru
360
tetap muncul dan attack rate meningkat menjadi 10 kasus grup C per 100.000
warga , maka pemberian imunisasi kepada kelompok warga yang berisiko
ini harus dipertimbangkan.
D. Implikasi bencana: KLB dapat timbul dalam situasi dimana orang harus tinggal
dalam kondisi berdesak-desakan.
E. Penanganan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat Kerja sama WHO. Walaupun tidak
diwajibkan dalam International Health Regulation, sertifikat imunisasi yang masih
berlaku untuk meningitis meningokokus diwajibkan oleh beberapa negara seperti Arab
Saudi bagi jemaah yang datang untuk ibadah haji.
II.B. HAEMOPHILUS MENINGITIS ICD-9 320.0; ICD-10 G00.0
(Meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae)
1. Identifikasi
Di masa vaksin konyugat Haemophilus b belum dipakai secara luas, H. influenzae
merupakan Pemicu meningitis bakterial yang paling utama pada anak-anak umur 2
bulan sampai dengan 5 tahun di Amerika. Biasanya disebabkan oleh sebab terjadi
bakteriemia. Timbulnya gejala dapat subakut namun biasanya muncul mendadak; gejalanya
berupa demam, muntah, letargi dan iritasi meningeal, dengan ubun-ubun menonjol pada
bayi atau kaku kuduk dan kaku punggung pada anak yang lebih besar. Sering cepat terjadi
stupor atau koma. Biasanya didahului dengan demam ringan selama beberapa hari dengan
gejala SSP yang samar.
Diagnosis dibuat dengan melakukan isolasi organisme Pemicu dari darah atau cairan
serebro spinal. Polisakarida kapsular spesifik dapat diidentifikasi dengan memakai
teknik CIE atau LA.
2. Pemicu infeksi
Pemicu paling sering yaitu H. influenzae serotipe b (Hib). Organisme ini dapat juga
memicu epiglottitis, pneumonia, septic arthritis, cellulites, pericarditis, empyema
dan osteomyelitis. Serotipe lainnya jarang sekali memicu meningitis.
3. Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia; paling prevalens diantara amak umur 2 bulan sampai 3 tahun;
jarang terjadi pada usia 5 tahun. Di negara berkembang, puncak insidensi yaitu pada
anak usia kurang dari 6 bulan; di Amerika Serikat pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum
adanya vaksin untuk Hib di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus meningitis Hib
dilaporkan terjadi pada anak umur kurang dari 5 tahun dibandingkan dengan hanya 25
kasus pada tahun 1998. Sejak tahun 1990-an, dengan penggunaan vaksin secara luas pada
anak-anak, meningitis yang disebabkan Hib boleh dikatakan telah menghilang; sekarang
banyak kasus terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak. Kasus sekunder
dapat terjadi di lingk