E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-Pusat Kerjasama WHO.
487
III. INFEKSI STAFILOKOKUS DI RUMAH SAKIT, ICD-9 998.5; ICD-10 T81.4
POLIKLINIK DAN RUANG PERAWATAN BEDAH
1. Identifikasi
Infeksi stafilokokus di rumah sakit, poliklinik dan ruang perawatan bedah bervariasi mulai
dari lesi dalam bentuk furunkel-furunkel sederhana atau infeksi dekubitus, abses, atau luka
bedah yang terinfeksi, septic phlebitis, osteomielitis kronis, pneumonia fulminan,
meningitis, endokarditis atau sepsis. Infeksi stafilokokus pasca bedah merupakan
ancaman potensial bagi penderita pasca bedah. Prosedur pembedahan yang semakin
kompleks dengan tindakan manipulasi organ yang lebih besar dan anestesi yang lebih
lama akan menunjang masuknya kuman staphylococcus. Peningkatan penggunaan alat-
alat prostetik dan kateter memicu peningkatan kejadian infeksi nosokomial
stafilokokus. Penggunaan antimikroba yang tidak rasional dapat meningkatkan kejadian
resistensi antibiotik terhadap stafilokokus.Verifikasi diagnosa didasarkan pada
ditemukannya staphylococcus aureus dari isolat. Strain yang ditemukan harus kompatibel
dengan gejala klinis yang ditimbulkan.
2. Pemicu Penyakit
Infeksi disebabkan oleh Staphylococcus aureus; lihat bagian I, 2 diatas. Sembilan puluh
lima persen dari strain ini resisten terhadap penicillin, dan proporsi yang resisten terhadap
penisilin semisintetik (misalnya methicillin) dan terhadap aminoglycosides (misalnya
gentamicin) meningkat.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar diseluruh dunia. Infeksi stafilokokus yaitu Pemicu sepsis terbanyak yang
ditemukan dibanyak ruang perawatan rumah sakit. Ada saat-saat dimana “attack rate”
cukup tinggi berupa KLB. Penyebaran infeksi di warga dapat terjadi saat penderita
dipulangkan dari rumah sakit.
4, 5, 6 dan 7. Reservoir, Cara Penularan, Masa Inkubasi dan Masa Penularan:
Sama dengan infeksi stafilokokus yang terjadi di warga (lihat bagian 1, 4, 5, 6 dan 7
diatas).
8. Kerentanan dan kekebalan
Kerentanan dan kekebalan sama seperti yang telah diuraikan di bagian I. Meningkat dan
meluasnya pemberian terapi intravena dengan pemasangan kateter permanen dan
pemberian oengobatan parenteral lainnya meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi
oleh stafilokokus.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Mendidik staf rumah sakit agar membiasakan memakai , antimikroba
berspektrum sempit untuk mengobati infeksi stafilokokus yang sederhana dan
pakailah antibiotika generasi berikutnya (misalnya seperti: cephalosporins hanya
488
untuk penderita infeksi stafilokokus yang resisten terhadap penisilin dan
vancomycin digunakan hanya untuk yang resisten terhadap β-lactam).
2) Komite infeksi nosokomial di rumah sakit menekankan teknik aseptik agar
dilaksanakan secara ketat dan melaksanakan program monitoring infeksi
nosokomial.
3) Jarum infus harus diganti, paling sedikit setiap 72 jam; ganti lokasi vena yang
ditusuk jarum infus intra vena setiap 48 jam.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya :
1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: Wajib membuat laporan kepada Dinas
Kesehatan setiap ada KLB; tidak ada laporan kasus individu; Kelas 4 (lihat tentang
Pelaporan Penyakit Menular).
2) Isolasi: Isolasi dilakukan bila kuman stafilokokus diduga jumlahnya sangat
banyak pada pus atau sputum dari penderita pneumonia, dalam hal seperti ini maka
penderita harus ditempatkan di ruangan tersendiri; isolasi tidak perlu dilakukan
jika luka tidak banyak mengeluarkan cairan, dengan catatan luka dibalut dengan
rapat dan hati-hati sewaktu mengganti pembalut agar tidak terjadi kontaminasi dari
lingkungan. Petugas kesehatan harus selalu mempraktekkan standar prosedur
mencuci tangan, memakai sarung tangan karet dan mengenakan gaun
pelindung.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan sama seperti pada infeksi stafilokokus di
warga (lihat bagian I, 9B3, diatas).
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi pada kontak penderita: Tidak ada.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber penularan: Tidak praktis dilakukan untuk
kasus-kasus sporadis (lihat 9C, dibawah).
7) Pengobatan spesifik: Pengobatan spesifik yaitu dengan antimikroba yang sesuai
dengan hasil uji sensitivitas terhadap antibiotika. Bagi penderita infeksi berat yang
mengancam jiwa diobati dengan vancomycin sambil menunggu hasil pemeriksaan
sensitivitas.
C. Upaya Penanggulangan Wabah :
1) Ditemukannya dua atau lebih penderita yang secara epidemiologis ada
hubungannya satu sama lain sudah cukup untuk dicurigai telah terjadi penyebaran
penyakit dan perlu untuk dilakukan investigasi.
2) Upaya lain sama dengan seperti yang dijelaskan pada bagian II, 9C3 diatas.
3) Lakukan evaluasi terhadap pelaksanaan teknik-teknik aseptik dan terapkan dengan
ketat teknik-teknik aseptik ini.
IV. TOXIC SHOCK SYNDROME ICD-9 785.5; ICD-10 A84.3
Toxic shock syndrome (TSS) yaitu penyakit yang ditandai dengan onset yang mendadak
dengan demam tinggi, muntah, diare cair yang hebat dan mialgia, diikuti dengan hipotensi
dan pada kasus yang berat, terjadi shock. Erythematous “sunburn-like” rash muncul
selama fase akut; kira-kira 1 – 2 minggu setelah onset, terdapat deskuamasi kulit, terutama
tangan dan kaki. Demam biasanya lebih tinggi dari 38,8oC (102oF), tekanan darah sistole
489
kurang dari 90 mm hg dan tiga atau lebih sistem organ ikut terkena seperti: Sistem saluran
pencernaan: GI; otot (mialgia berat dan atau kadar creatine phosphokinase lebih besar
dua kali dari limit atas normal); membrana mukosa (hiperemi pada vagina, faring
dan/atau konjungtiva); ginjal (urea nitrogen darah atau kreatinin lebih besar dua kali dari
normal dan/atau timbul pyuria steril); hati (AST atau ALT lebih besar dua kali dari
normal); hematologi (platelet kurang dari 100.000/cu mm; Unit SI kurang dari 100 x
109/L); dan Susunan Saraf Pusat (disorientasi atau terjadi perubahan dalam kesadaran
tanpa gejala-gejala neurologis fokal).
Sampel Darah, tenggorokan dan cairan Liquor Cerebrospinalis memberikan hasil kultur
negatif untuk kuman, walaupun ditemukan S. aureus dari tempat ini , tidak
membatalkan diagnosis. Uji serologis terhadap demam bercak Rocky Mountain,
leptospirosis dan Campak hasilnya negatif.
Kebanyakan kasus TSS dihubungkan dengan strain S. aureus yang menghasilkan toxic
shock syndrome toxin 1. Strain-strain ini jarang ditemukan pada kultur vagina dari wanita
sehat tapi sering ditemukan pada wanita penderita TSS yang dikaitkan dengan menstruasi
atau TSS yang muncul pasca tindakan ginekologis.
Walaupun pada awal ditemukannya hampir semua kasus TSS terjadi pada wanita yang
sedang mengalami menstruasi dan kebanyakan dari mereka memakai tampon
vaginal, namun sekarang hanya 55% dari kasus-kasus yang dilaporkan berhubungan
dengan menstruasi. Faktor risiko lain yaitu penggunaan alat kontrasepsi diagfragma dan
alat kontrasepsi vagina spons, dan infeksi setelah melahirkan atau setelah aborsi.
Penelitian terbaru menunjukkan adanya peningkatan risiko yang signifikan dari TSS
diantara para pengguna alat kontrasepsi diafragma dan vaginal spons. Petunjuk
pemakaian spons, yang menyatakan agar tidak memakainya lebih dari 30 jam, harus
diperhatikan benar agar tidak terjadi infeksi. S. aureus yang diisolasi dari lesi pada kulit,
tulang, saluran pernafasan dan luka pembedahan dari penderita baik pada penderita laki-
laki maupun wanita. Sepertiga daripada penderita tidak diketahui sumber infeksinya.
“Menstrual TSS” hampir semuanya dapat dicegah dengan menghindari penggunaan
tampon vagina dengan daya serap tinggi; risiko TSS dapat diturunkan dengan
memakai tampon secara intermiten selama siklus menstruasi (yaitu, tidak digunakan
sepanjang hari dan sepanjang malam) dan memakai tampon yang daya serapnya
kurang. Wanita yang pada saat menstruasi mengalami demam tinggi dan muntah atau
diare harus segera menghentikan penggunaan tampon dan konsul ke dokter. Belum
diketahui dengan jelas apabila mereka yang pernah mengalami “menstrual TSS” dapat
terus memakai tampon dengan aman.
Pada hakekatnya gejala infeksi S. aureus sama dengan infeksi yang disebabkan oleh
streptokokus grup A beta-hemolitik.
Pengobatan TSS lebih banyak bersifat supportive. Upaya yang harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya TSS yaitu dengan menghilangkan potensi fokus dari infeksi S.
aureus yang berasal dari cairan luka, benda asing pada vagina atau benda asing lainnya
(misalnya: pembalut luka) dan berikan pengobatan dengan antibiotika yang tepat terhadap
Streptokokus yang resisten terhadap β - lactam.
490
PENYAKIT – PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH INFEKSI STREPTOKOKUS
DARI STREPTOKOKUS GRUP A (BETA HEMOLITIK)
ICD-9 034, 035, 670; ICD-10 A49.1, J02.0, A38, L01.0, A46, 085
(Radang tenggorokan disebabkan Streptokokus, Infeksi Streptokokus, demam Scarlet,
Impetigo, Erisipelas, Infeksi Nifas, Demam Rematik)
1. Identifikasi
Streptokokus Grup A dapat memicu berbagai macam penyakit. Paling banyak
dijumpai yaitu radang tenggorokan sebab Streptokokus (ICD-10 J02.0) dan infeksi kulit
oleh Streptokokus (impego atau pioderma). Penyakit lainnya termasuk demam Scarlet
(ICD-10 A38), infeksi nifas (ICD-10 085), septikemia, erisipelas, selulitis, mastoiditis,
otitis media, pneumonia, peritonsilitis, infeksi luka dan yang jarang terjadi yaitu
necrotizing fasciitis, demam rematik dan toxic shock like syndrome. Jika terjadi suatu
KLB maka salah satu bentuk klinis sering kali lebih dominan.
Penderita dengan radang tenggorokan yang disebabkan streptokokus ditandai dengan
munculnya demam secara tiba-tiba, sakit pada tenggorokan, tonsillitis exudativa atau
faringitis dan terjadi pembesaran kelenjar limfe leher bagian depan. Faring, kripte tonsil
dan palatum molle berwarna merah dan bengkak, mungkin timbul petekie berlatar
belakang warna kemerahan dan menyebar.
Gejala klinis yang timbul dapat minimal (sedikit) atau tidak ada sama sekali. Dapat terjadi
otitis media atau abses peritonsiler, dan setelah 1 – 5 minggu kemudian dapat muncul
glomerulonefiritis akut (rata-rata = 10 hari) atau demam rematik akut (rata-rata = 19 hari).
Pada demam rematik dapat muncul Chorea Sydenham beberapa bulan setelah infeksi
Streptokokus, penyakit jantung rematik terjadi beberapa hari atau minggu setelah infeksi
streptokokus akut.
Infeksi kulit oleh Streptokokus (pioderma, impetigo) biasanya menyerang dibagian
superficial kulit dan dapat berkembang menjadi bentuk vesikuler, pustuler dan berkrusta.
Ruam Scarlatiniform jarang terjadi dan tidak mengakibatkan demam rematik, namun
glomerulonefiritis dapat terjadi 3 minggu setelah infeksi kulit.
Demam scarlet yaitu salah satu bentuk dari infeksi Streptococcal dengan ciri ruam pada
kulit, ini terjadi apabila infeksi disebabkan oleh Streptokokus yang menghasilkan
eksotoksin pirogenik (toksin eritrogenik) dan penderita disensitisasi namun tidak kebal
terhadap toksin ini . Gejala klinis yang khas pada demam scarlet antara lain meliputi
semua gejala yang ada pada radang tenggorokan yang disebabkan oleh Streptokokus (atau
gejala infeksi pada luka, pada kulit atau pada infeksi nifas) enanthem, strawberry tongue
dan exanthem. Ruam biasanya berupa eritema, punctata, memucat jika ditekan, sering
teraba (seperti ampelas) dan muncul paling sering pada leher, dada, bahu, lipat ketiak,
daerah inguinal, permukaan bagian dalam dari paha.
Ciri khas dari demam scarlet yaitu ruam tidak pada muka, namun pipi terlihat merah dan
disekitar mulut terlihat pucat. Demam tinggi, mual dan muntah sering meyertai infeksi
yang berat. Selama masa konvalesen terjadi deskuamasi kulit pada ujung jari tangan dan
kaki, jarang terjadi pada daerah yang luas pada tubuh dan bibir, termasuk telapak tangan
dan telapak kaki, deskuamasi terlihat jelas pada eksantem yang berat. Case Fatality Rate
(CFR) di beberapa tempat kadang-kadang mencapai lebih dari 3%. Demam scarlet
mungkin diikuti dengan gejala sisa yang sama dengan radang tenggorokan yang
disebabkan oleh Streptokokus.
491
Erisipelas yaitu selulitis akut ditandai dengan demam, gejala umum, leukositosis dan
lesi kulit berwarna merah, lunak, edematus, sering dengan peninggian kulit dengan batas
jelas. Pada bagian tengah lesi cenderung lenyap pada saat bagian tepi meluas. Muka dan
kaki yaitu bagian tubuh yang paling sering terkena. Penyakit ini sering kambuh kembali
dan lebih banyak menyerang wanita dan gejala menjadi lebih berat jika disertai dengan
bakteriemia, dan pada orang engan debilitas. Case Fatality Rate (CFR) sangat bervariasi
tergantung pada bagian tubuh yang terserang dan adanya komplikasi. Erisipelas sebab
streptokokus grup A berbeda dengan erisipeloid yang disebabkan oleh Erysipelotrhix
rhusiopathiae yaitu infeksi lokal pada kulit, merupakan penyakit yang berhubungan
dengan pekerjaan yaitu menginfeksi orang-orang yang menangani ikan air tawar atau
kerang, babi yang terinfeksi, kalkun dan jarang infeksi berasal dari kambing, sapi, ayam
atau burung.
Selulitis Perianal yang disebabkan Streptokokus grup A diketahui lebih sering terjadi
pada akhir akhir ini.
Infeksi Streptokokus masa nifas/demam nifas yaitu penyakit akut, biasanya muncul
panas disertai dengan gejala lokal dan umum serta tanda-tanda invasi bakteri pada saluran
genitalia dan kadang-kadang bakteri masuk dalam aliran darah pada penderita post partum
atau post abortus. Case Fatality Rate (CFR) pada demam nifas ini bisa ditekan serendah
mungkin bila mendapat pengobatan yang kuat. Infeksi streptokokus masa nifas mungkin
disebabkan oleh organisme selain streptokokus hemolitikus; gejala klinisnya akan nampak
sama, yang berbeda yaitu pada sifat bakteriologis dan epidemiologinya (lihat penyakit
Stafilokokus).
Toxic Shock Syndrome (TSS) yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A di AS
meningkat sejak tahun 1987. Gejala klinis yang menonjol yaitu hipotensi dan salah satu
dari gejala berikut yaitu kerusakan ginjal; trombositopenia; Disseminated Intravascular
Coagulation/DIC; peningkatan SGOT atau peningkatan kadar bilirubin; sindroma gagal
pernafasan pada orang dewasa; ruam eritematus makuler menyebar atau nekrosis jaringan
lunak (necrotizing fasciitis) oleh media dinamakan “flesh-eating bacteria”. TSS dapat
muncul dalam bentuk sistemik ataupun lokal (tenggorokan, kulit, paru)
Streptokokus grup lain dapat juga memicu penyakit pada manusia. Streptokokus
Beta-hemolitik grup B sering ditemukan pada vagina dan dapat memicu sepsis
neonatal dan meningitis supurativa pada neonatus (lihat tentang infeksi streptokokus grup
B, pada neonatus dibawah) dan juga dapat memicu infeksi pada saluran kencing,
endometritis post partum dan penyakit sistemik lainnya pada orang dewasa, terutama pada
penderita diabetes mellitus. sedang organisme grup D (termasuk enterokokus), baik
yang hemolitik maupun yang nonhemolitik, sebagai Pemicu endokarditis bakteriil sub
akut dan Pemicu infeksi saluran kencing. Grup C dan G memicu KLB tonsilitis
biasanya ditularkan melalui makanan. Peran organisme ini terhadap timbulnya kasus
sporadis belum diketahui dengan jelas. Glomerulonefritis muncul setelah infeksi grup C,
namun sangat jarang terjadi pada infeksi grup G. Grup G dan Grup C ini sama-sama
tidak memicu demam rematik. Infeksi grup C dan G lebih sering terjadi pada remaja
dan dewasa muda. Streptokokus Alfa-hemolitik juga sering dapat memicu terjadinya
endokarditis bakteriil sub akut.
492
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan untuk menemukan streptokokusl grup A
yaitu dengan isolasi organisme dari sampel jaringan yang ditanam dalam media agar
darah atau media lain yang tepat atau identifikasi antigen streptokokus grup A dari sekret
faring (test cepat strep). Pada media pembiakan streptokokus dapat diidentifikasi dari
bentuk morfologi koloninya dan β-hemolisis yang dihasilkan pada media agar darah
domba. Identifikasi tentatif dilakukan dengan tes inhibisi dengan memakai cakram
antibiotik yang mengadung 0,02 – 0,04 unit basitrasin. sedang identifikasi pasti
memakai prosedur serogruping spesifik. Tes deteksi antigen juga dapat digunakan
untuk identifikasi cepat. Kenaikan titer antibodi serum (antistreptolysin O,
anthihyaluronidase, anti-DNA-ase B) mungkin dapat ditemukan di antara stadium akut
dan konvalesen, titer yang tinggi dapat terus bertahan sampai beberapa bulan.
Di AS hal praktis yang disarankan yaitu pertama kali lakukan dulu rapid strep test (yang
memiliki spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah) dan jika hasilnya positif
diasumsikan penderita terinfeksi streptokokus grup A. Jika hasilnya negatif atau
meragukan dianjurkan untuk melakukan kultur spesimen tenggorokan.
2. Pemicu penyakit
Pemicu penyakit yaitu Streptococcus pyogenes, streptokokus grup A secara serologis
dibedakan menjadi sekitar 80 tipe, yang bervariasi menurut letak geografis dan waktu
penyebaran. Streptokokus grup A yang memicu infeksi kulit berbeda tipe
serologisnya dengan Pemicu infeksi tenggorokan. Pada demam scarlet, ditemukan tiga
tipe imunologis berbeda dari erythrogenic toxin (pyrogenic exotoxins A, B, dan C).
sedang pada TSS 80% isolat menghasilkan pyrogenic exotoxin A. sedang β
hemolisis yaitu ciri khas dari streptokokus grup A, strain grup B, C dan strain grup G
sering juga β hemolitik . Strain mucoid tipe M memicu KLB demam rematik dan
nekrosis fasciitis.
3. Distribusi penyakit
Radang tenggorokan yang disebabkan oleh infeksi streptokokus dan demam scarlet paling
sering terjadi di negara subtropis, maupun dinegara berikilim dingin dan jarang ditemukan
di negara-negara beriklim tropis. Infeksi tanpa gejala lebih sering ditemukan di negara
tropis dibandingkan dengan di negara beriklim dingin.
Di AS infeksi streptokokus dapat muncul dalam bentuk endemis, epidemis atau sporadis.
Faringitis yang disebabkan oleh infeksi streptokokus paling sering ditemukan pada usia 2
– 3 tahun dan puncaknya pada usia 6 – 12 tahun dan menurun pada usia yang lebih tua.
Infeksi terjadi sepanjang tahun dengan puncaknya pada musim dingin dan awal musim
semi.
Infeksi oleh streptokokus Grup A disebabkan oleh tipe spesifik tertentu dari protein M (M
types), terutama tipe 1, 3, 4,12 dan 25 sering memicu glomerulonefritis akut.
Demam rematik akut merupakan komplikasi non supuratif dari infeksi streptokokus
Grup A yang menyerang saluran pernafasan bagian atas. Tadinya demam rematik akut
sudah lama tidak ditemukan lagi dinegara-negara maju, namun pada tahun 1985 tiba-tiba
terjadi KLB di AS. Pada tahun 1990-an terjadi peningkatan jumlah penderita demam
reumatik yang dilaporkan dari berbagai negara bagian di AS. Kebanyakan ksus yang
dilaporkan sebagai akibat dari infeksi streptokokus Grup A seperti tipe M 1, 3 dan 18
yang bersifat rematogenik.
493
Demam rematik di negara-negara berkembang masih merupakan masalah kesehatan
warga yang serius. Insidensi tertinggi ditemukan muncul biasanya sesudah terjadi
faringitis. Usia 3 – 15 tahun yaitu yang paling sering terserang; komunitas yang paling
sering terserang yaitu anak-anak sekolah dan personil militer.
Bersamaan dengan munculnya kembali demam rematik muncul infeksi streptokokus
dengan gejala yang lebih berat seperti infeksi dengan gejala umum yang lebih berat dan
Toxic Shock Syndrome (TSS).
Di AS setiap tahun dilaporkan sekitar 10.000 – 15.000 penderita dengan infeksi
streptokokus Grup A berat, 5% - 19% (500 – 1.500 kasus) berkembang menjadi
necrotizing fasciitis.
Insidens tertinggi dari impetigo streptokokus yang menyerang anak-anak yaitu pada
musim panas, musim gugur didaerah dengan iklim panas. Timbulnya nefritis setelah
infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus tipe M (seperti tipe 2, 49, 55, 57, 58, 59,
60 dan tipe lain yang lebih tinggi), berbeda dengan tipe streptokokus yang memicu
nefritis setelah infeksi saluran pernafasan bagian atas.
Distribusi geografis dan distribusi menurut variasi musim erysipelas sama dengan
scarlet fever dan faringitis. Erisipelas lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan
dengan mereka yang berusia diatas 20 tahun. Biasanya muncul secara sporadic walaupun
pada saat terjadi KLB dari infeksi streptokokus.
Untuk demam nifas, tidak tersedia cukup data yang dapat dipercaya. Dinegara maju
morbiditas dan mertalitas demam nifas mengalami penurunan drastic semenjak
ditemukannya berbagai jenis antibiotika.
Saat ini demam nifas muncul secara sporadic walaupun kadang-kadang muncul sebagai
KLB di institusi-institusi kesehatan yang kurang memperhatikan prosedur aseptik.
4. Reservoir: - Manusia
5. Cara penularan
Melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita atau carrier, jarang melalui kontak
tidak langsung. Penyebaran lewat carrier hidung merupakan cara utama dalam penularan
penyakit ini. Kontak secara kebetulan jarang memicu infeksi. Pada populasi dimana
impetigo banyak dijumpai, streptokokus grup A ditemukan pada kulit normal 1 – 2
minggu sebelum lesi kulit timbul. Strain yang sama ditemukan pada tenggorokan (tanpa
menimbulkan gejala klinis pada tenggorokan) biasanya ditemukan belakangan saat terjadi
infeksi kulit.
Carrier anal, vagina, kulit dan faring diketahui sebagai Pemicu KLB nosokomial infeksi
streptokokus yang serius pasca bedah. Beberapa KLB yang dilaporkan terjadi di kamar
operasi disebabkan oleh petugas sebagai carrier strain streptokokus. Untuk menemukan
carrier memerlukan penyelidikan epidemiologis yang intensif ditunjang dengan dukungan
laboratorium dan pemeriksaan mikrobiologis yang memadai. Menghilangkan status carrier
pada seseorang memerlukan upaya khusus dengan memberikan berbagai jenis antibiotika
yang berbeda dan biasanya sakit.
Partikel yang mengandung streptokokus lepas keudara melalui barang-barang yang
terkontaminasi (seperti debu lantai, sprei, saputangan, namun partikel ini tidak infeksius
untuk kulit dan selaput lendir yang intak (utuh))
494
KLB radang ternggorokan yang disebabkan oleh streptokokus disebabkan oleh makanan
yang terkontaminasi, yang paling sering terkontaminasi oleh streptokokus yaitu susu dan
produk olahannya, salad telur dan telur rebus juga sering dilaporkan menjadi sumber
penularan sterptokokus grup A dari manusia dapat menular kepada sapi dan menularkan
kepada orang lain melalui susu sapi ini; sedang streptokokus Grup B yang
menimbulkan penyakit pada manusia dan yang memicu penyakit pada sapi secara
biokimiawi berbeda satu sama lain. Terjadinya kontaminasi pada susu dan makanan yang
mengandung telur merupakan cara penularan yang paling sering. Pernah juga ditemukan
KLB streptokokus Grup C yang ditularkan oleh sapi.
6. Masa inkubasi: Pendek, biasanya 1 – 3 hari, jarang lebih lama.
7. Masa Penularan
Masa penularan dari penderita yang tidak diobati dan yang tidak mengalami komplikasi
biasanya berlangsung selam 10 – 21 hari; sedang pada penderita yang tidak diobati
namun mengeluarkan discharge purulen masa penularan berlansung berminggu-minggu
bahkan berbulan-bulan.
Dengan pemberian penisilin yang tepat dalam waktu 24 jam penderita sudah tidak
menular lagi. Penderita faringitis yang tidak diobati tetap mengandung organisme ini
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan namun secara bertahap jumlahnya
berkurang; tingkat penularan menurun drastis 2-3 minggu setelah infeksi.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Setiap orang rentan terhadap infeksi streptokokus maupun demam scarlet, walaupun
sebagian orang dalam tubuhnya membentuk antitoksin maupun antibodi spesifik setalah
infeksi tanpa gejala. Antibodi hanya terbentuk terhadap streptokokus grup A tipe M, dan
biasanya bertahan selama bertahun-tahun. Pemberian antibiotika dapat mempengaruhi
pembentukan antibodi spesifik.
Semua ras dan suku bangsa rentan terhadap infeksi streptokokus dan jika ada perbedaan
disebabkan sebab perbedaan faktor lingkungan. Infeksi ulang oleh strain yang berbeda
sering terjadi. Kekebalan terhadap toksin eritrogenik terbentuk seminggu setelah
munculnya gejala demam scarlet dan biasanya permanen; serangan demam scarlet untuk
kedua kalinya jarang terjadi, dan bila terjadi disebabkan adanya tiga jenis toksin yang
berbeda.
Kekebalan pasif terhadap streptokokukus grup A pada bayi baru lahir didapat dari ibunya
melalui plasenta. Penderita yang pernah terserang demam rematik akan mendapat
serangan ulang jika terjadi infeksi ulang streptokokus grup A dan diikuti dengan
kerusakan jantung.
Erisipelas dapat muncul berulang kali pada seseorang. sedang glomerulonefritis
biasanya tidak pernah berulang.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Tindakan pencegahan
1) Berikan Penyuluhan kepada warga dan kepada petugas kesehatan tentang
cara-cara penularan penyakit ini, tentang hubungan infeksi streptokokus dengan
demam rematik akut, chorea sydenham, penyakit jantung rematik,
495
glomerulonefritis dan tentang pentingnya diagnosa pasti serta dijelaskan bahwa
antibiotika yang diberikan untuk terapi infeksi streptokokus, agar diminum sesuai
dengan jadwal yang disuruh dokter.
2) Sediakan fasilitas laboratorium yang memadai untuk identifikasi streptokokus
hemolitik grup A.
3) Lakukan Pasteurisasi terhadap susu dan melarang orang yang terinfeksi menangani
susu untuk mencegah kontaminasi.
4) Siapkan makanan beberapa saat sebelum dikonsumsi; jika jarak waktu antara
penyiapan manakan dan saat konsumsi agak lama simpanlah makanan ini
pada suhu kurang dari 5o C (41o F) dan dalam jumlah yang sedkit.
5) Orang yang memiliki lesi pada kulit dilarang menangani makanan.
6) Pencegahan komplikasi sekunder : untuk mencegah infeksi streptokokus kembali
dan berulangnya demam rematik, erisipelas atau chorea yaitu dengan injeksi
benzathin penicillin G long acting tiap bulan (atau pemberian penisilin oral tiap
hari, jika pasien patuh) diberikan kurang lebih selama 5 tahun. Jika pasien ini
tidak tahan terhadap penisilin dapat diberikan sulfisoxasole per oral.
B. Pengawasan Penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: setiap KLB wajib dilaporkan segera,
kelas 4. Demam reumatik akut dan atau TSS untuk negara bagian tertentu wajib
dilaporkan, kelas 3B (lihat tentang pelaporan penyakit menular)
2) Isolasi: Secara umum lakukan kewaspadaan terhadap discharge dan sekret
penderita. Kewaspadaan ini dapat dilongggarkan 24 jam setelah pemberian
penisilin atau antibiotika lain. Pemberian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 10
hari untuk menghindari timbulnya penyakit jantung reumatik.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari penderita dan
semua paralatan yang tercemar. Pembersihan terminal.
4) Karantina: Tidak diperlukan
5) Imunisasi kontak: Tidak ada
6) Investigasi pada kontak dan sumber infeksi : Buat kultur dari spesimen penderita.
Cari dan obati carrier pada situasi KLB dan pada keluarga dengan resiko tinggi
(keluarga dengan riwayat dan penderita TSS, demam reumatik akut, nefritis akut,
infeksi pasca bedah).
7) Pengobatan spesifik: Berbagai jenis penisilin digunakan sepeti Benzathine
penicillin G (obat pilihan) atau penisilin G (oral), atau penisilin V (oral). Sampai
saat ini belum ditemukan strain streptokokus yang resisten terhadap penisilin.
Pengobatan yang diberikan harus dapat menjamin kadar penisilin yang ada kuat
dalam darah bertahan selama 10 hari.
Pengobatan yang diberikan, dalam 24 – 48 jam pertama akan mengurangi gejala
akut dari penyakit; namun bakteri akan tetap bertahan difaring pada 30% dari
penderita. Pemberian pengobatan yang tepat akan mengurangi frekuensi terjadinya
komplikasi supuratif dan dapat mencegah terjadinya demam rematik akut.
Pengobatan yang tepat juga akan mengurangi risiko timbulnya glomerulenefritis
akut dan dapat mencegah penyebaran bakteri diwarga . Untuk penderita yang
sensitif terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin sebagai pengganti, namun
pernah dilaporkan adanya strain yang resisten terhadap eritromisin.
496
Klindamisin atau sefalosporin diberikan jika pemberian penisilin atau eritromisin
merupakan kontraindikasi. Preparat sulfonamida tidak begitu efektif dipakai untuk
menghilangkan streptokokus dari tenggorokan atau mencegah komplikasi non
supuratif. Banyak strain yang resisten terhadap tetrasiklin.
C. Upaya Penanggulangan Wabah
1) Temukan sumber dan cara penularan (dari orang ke orang, melzlui susu atau
makanan). KLB biasanya dengan mudah dapat dilacak sumbernya berasal dari
individu dengan infeksi streptokokus akut atau berasal dari penderita infeksi
streptokokus yang persisten atau carrier (infeksi pada hidung, tenggorokan, kulit,
vagina, daerah perianal), dengan melakukan pemeriksaan serologis untuk
mengetahui tipe streptokokus.
2) Lakukan investigasi jika ditemukan adanya pengelompokan penderita untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya penularan dengan cara “Common Source”
seperti penularan melalui susu atau makanan yang terkontaminasi.
3) Jika KLB terjadi pada kelompok individu dengan kontak yang sangat dekat seprti
pada anggota pasukan militer, ruang perawatan bayi maka seluruh anggota atau
penghuni diberikan penisilin agar penularan tidak berlanjut.
D. Implikasi bencana: Orang dengan luka bakar atau luka biasa sangat mudah terinfeksi
oleh streptokokus didaerah terjangkit.
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat Kerja sama WHO.
SEPSIS PADA NEONATUS YANG DISEBABKAN
OLEH STREPTOKOKUS GRUP B ICD-9 038; ICD-10 P36.0
Streptokokus grup B (S. agalactiae) subtipe manusia dapat memicu penyakit-penyakit
penting pada bayi baru lahir. Ada dua bentuk penyakit yang terjadi pada neonatus yaitu :
- penyakit dengan onset awal (dari 1 – 7 hari) ditandai dengan sepsis, gangguan respirasi,
apnea, syok, pneumonia dan meningitis; penyakit ini memiliki case fatality rate + 50%,
infeksi didapat didalam uterus atau selama persalinan, dan lebih sering terjadi pada
kelahiran dengan berat badan lahir rendah.
- penyakit dengan onset lambat (dari 7 hari – beberapa bulan) ditandai dengan sepsis dan
meningitis; memiliki case fatality rate 25%, penyakit didapat dari kontak orang ke
orang, dan terjadi pada bayi a’term. Penderita meningitis yang sembuh dapat mengalami
kelainan bicara, penglihatan, gangguan psikomotorik dan kejang.
Mekanisme tidak jelas, namun kira-kira 10% – 30% wanita hamil ditemukan mengandung
streptokokus grup B pada alat kelamin mereka. Kira-kira 1% dari anak mereka mengalami
infeksi simptomatik; risiko serius dari infeksi paling tinggi pada bayi-bayi prematur.
Streptokokus grup B yang ditemukan pada sapi yang menderita mastitis bukan Pemicu dari
penyakit ini.
497
Pemberian antibiotika per-oral sebagai upaya untuk meghilangkan streptokokus grup B pada
alat kelamin wanita selama kehamilan hanya memberikan hasil sedikit. Relaps dapat terjadi
pada saat antibiotika dihentikan, kemungkinan reinfeksi terjadi dari rektum atau didapat dari
pasangan seks.
Pemberi penisilin atau ampisilin intravena pada saat dan selama persalinan berlangsung pada
wanita yang mengidap infeksi streptokokus grup B dapat mencegah terjadinya infeksi pada
bayi dengan risiko tinggi (yaitu bayi prematur dengan usia kehamilan dibawah 37 minggu,
ketuban pecah lebih dari 18 jam, ada riwayat saudara dari bayi ini terinfeksi streptokokus grup
B). Pemberian penisilin dan ampisilin ini menurunkan angka morbiditas dan mortalitas bayi
baru lahir dengan risiko tinggi. Walaupun umumnya streptokokus grup B sensitif terhadap
penisilin G dan ampisilin namun ada juga strains yang ditemukan resisten terhadap penisilin.
Dalam keadaan ini maka infeksi berat harus diobati dengan kombinasi penisilin dengan
preparat aminoglikosid seperti gentaminisin. Vaksin untuk wanita hamil untuk merangsang
antibodi mencegah infeksi pada bayi baru lahir, saat ini sedang dikembangkan.
CARIES GIGI PADA ANAK USIA DINI YANG DISEBABKAN STREPTOKOKUS
ICD-9 52.1; ICD-10 K02
(Nursing bottle caries, Babby bottle tooth decay)
Caries pada anak disebabkan oleh banyak faktor, caries ini dimasukkan dibawah judul
streptokokus sebab disebabkan oleh spesies streptokokus. Ciri khas caries pada anak-anak
yaitu pertama yang terkena biasanya gigi seri pada maxilla namun jarang terjadi pada gigi seri
mandibula, gigi susu lainnya yang terkena bervariasi. Oleh sebab terjadinya caries ini
berhubungan dengan pola kebiasaan yang khas dalam memberi makan pada anak, maka
kerusakan gigi ini dinamakan “NURSING BOTTLE CARIES” atau “Baby bottle tooth
decay”, walaupun caries seperti ini terjadi pula pada anak-anak yang memakai cangkir.
Streptococcus mutans ditemukan didalam gigi yang berlubang. Pada percobaan hewan yang
diberikan makanan yang mengandung gula streptokokus terbukti mengakibatkan caries gigi.
Streptokokus gram positif yang anaerob fakultatif ini termasuk grup streptokokus viridans
dan biasanya kelompok alfa dan gamma yang menghemolisis agar darah. Untuk proses
kolonisasi organisme ini membutuhkan permukaan gigi yang tidak lepas, biasanya pada
plaque gigi.
Caries pada anak-anak tersebar secara global dengan prevalensi tertinggi di negara
berkembang. Anak-anak cacat, tidak tergantung pada etnis dan budaya tertentu dan mereka
yang memiliki berat badan lahir rendah, paling sering terkena; yang sering terkena caries juga
yaitu anak dengan enamel hypoplasia, sering berhubungan dengan status gizi yang kurang
selama dalam proses pembentukan gigi awal. Reservoir oenting dari mana bayi mendapatkan
mutan streptokokus yaitu ibunya; strain yang diisolasi dari ibu dan bayi mereka memiliki
ciri baik profil bacteriocin-nya, plasmid maupun pola chromosomal DNA-nya.
Penularan dari ibu ke anak melalui air liur yang mengandung streptokokus ditularkan pada
waktu mencium bayi dengan bibir, membasahi putting susu atau dot dengan air liur atau pada
waktu mencicipi makanan melalui sendok makan sebelum diberikan pada bayi. Kolonisasi
tergantung dari jumlah organisme yang ada dalam air liur ibu, ibu yang giginya berlubang
498
biasanya memiliki risiko tinggi mengandung mutan streptokokus dalam air liurnya.
Untuk mencegah caries gigi pada anak usia dini, lakukan kegiatan promosi kesehatan tentang
kebersihan gigi dan mulut kepada ibu-ibu. Para ibu dianjurkan untuk menyapih anaknya dari
pemberian susu botol sedini mungkin. Berikan penjelasan kepada ibu-ibu tentang bahaya
timbulnya caries gigi pada anak-anaknya yang diberi minum susu botol dan yang diberi
makanan yang mengandung kadar gula tinggi. Ingatkan juga kepada ibu-ibu agar jangan
melakukan hal-hal yang dapat memudahkan masuknya saliva kemulut bayi, terutama ibu atau
pengasuh lainnya yang memiliki caries gigi yang tidak dirawat.
STRONGYLOIDIASIS ICD-9 127.2; ICD-10 B78
1. Identifikasi
yaitu infeksi cacing, umumnya tanpa gejala yang menyerang duodenum dan bagian atas
jejunum. Gejala klinis yang muncul antara lain timbulnya dermatitis ringan pada saat larva
cacing masuk ke dalam kulit pada awal infeksi. Gejala lain yaitu batuk, ronki, kadang-
kadang pneumonitis jika larva masuk ke paru-paru; atau muncul gejala-gejala abdomen
yang disebabkan oleh cacing betina dewasa yang menempel pada mukosa usus. Gejala
infeksi kronis tergantung kepada intensitas dari infeksi, bisa ringan dan bisa juga berat.
Gejala yang paling khas yaitu sakit perut, umumnya sakit pada ulu hati seperti gejala
ulcus ventriculi, diare dan urticaria; kadang-kadang timbul nausea, berat badan turun,
lemah dan konstipasi. Timbulnya dermatitis yang sangat gatal sebab gerakan larva
menyebar dari arah dubur; dapat juga timbul peninggian kulit yang stationer yang hilang
dalam 1-2 hari atau ruam yang menjalar dengan kecepatan beberapa sentimeter per jam
pada tubuh. Walaupun jarang terjadi, autoinfeksi dengan beban jumlah cacing yang
meningkat terutama pada penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah dapat
memicu terjadinya strongyloidiasis diseminata, terjadi penurunan berat badan yang
drastic, timbul kelainan pada paru-paru dan berakhir dengan kematian. Pada keadaan
seperti ini sering terjadi sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Pada stadium
kronis dan pada penderita infeksi berulang serta pada penderita infeksi human T-cell
lymphotrophic virus (HTLV-1) ditemukan eosinofilin ringan (10%-25%). Eosinofilia
ringan juga dijumpai pada penderita yang mendapatkan kemterapi kanker, sedang pada
strongyloidiasis disseminata jumlah sel eosinofil mungkin normal atau menurun.
Diagnosa dibuat dengan menemukan larva cacing pada spesimen tinja segar atau dengan
metode pelat agar, pada aspirat duodenum atau kadang-kadang larva ditemukan pada
sputum. Pemeriksaan ulang perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa lin. Tinja yang
disimpan dalam suhu kamar 24 jam atau lebih, ditemukan parasit yang berkembang dalam
berbagai stadium, larva stadium rhabditiform (non infeksius), larva filaform (infektif).
Larva filaform ini harus dibedakan dengan larva cacing tambang dan dengan cacing
dewasa. Diagnosa dapat juga ditegakkan dengan pemeriksaan serologis seperti EIA,
dengan memakai antigen berbagai stadium, biasanya memberikan hasil positif sekitar
80%-85%.
2. Pemicu Penyakit: - Strongyloides stercoralis dan S. fulleborni, nematoda.
499
3. Distribusi Penyakit
Tersebar di daerah beriklim tropis atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab.
Prevalensi penyakit di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Prevalensi tinggi
ditemukan pada warga dengan kondisi kebersihan perorangan yang jelek. S.
fulleborni dilaporkan hanya terdapat di Afrika dan Papua New Guinea.
4. Reservoir
Manusia yaitu reservoir utama cacing Strongyloides stercoralis dan hanya kadang-
kadang saja strain anjing dan kucing ditularkan kepada manusia. Penularan dari orang ke
orang juga bisa terjadi.
5. Cara-cara Penularan
Larva infektif (filaform) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang
terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah vena di bawah paru-
paru. Di paru-paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak naik
menuju ke trachea kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam
saluran pencernaan mencapai bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi
dewasa.
Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak dengan cara partogenesis hidup
menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama pada duodenum, di tempat
ini cacing dewasa meletakkan telornya. Telor kemudian menetas melepaskan larva non
infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk kedalam lumen usus, keluar
dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat
menginfeksi hospes yang sama atau orang lain. Atau larva rhabditiform ini dapat
berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah. Cacing
dewasa betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan
melepaskan larva non infektif rhabditiform yang kemudian dalam 24-36 jam berubah
menjadi larva infektif filariform.Kadangkala pada orang-orang tertentu, larva rhabditiform
dapat langsung berubah menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu
dan menembus dinding usus atau menembus kulit di daerah perianal yang memicu
auotinfeksi dan dapat berlangsung bertahuntahun.
6. Masa Inkubasi
Waktu yang diperlukan mulai saat larva infektif filariform menembus kulit sampai
ditemukan larva non infektif rhabiditform dalam tinja penderita yaitu 2-4 minggu.
sedang waktu dari masuknya larva infeksi sampai timbul gejala tidak pasti, bervariasi
dari orang ke orang.
7. Masa penularan: Selama cacing dewasa ada dalam usus dan dapat berlangsung hingga
35 tahun jika terjadi autoinfeksi.
8. Kerentanan dan kekebalan
Setiap orang rentan terhadap penularan cacing ini. Imunitas setelah infeksi cacing tidak
terbentuk dalam tubuh manusia, imunitas hanya terbentuk pada percobaan laboratorium.
Penderita AIDS dan penderita tumor ganas atau mereka yang mendapatkan pengobatan
yang menekan sistem kekebalan tubuh dapat rentan terhadap infeksi cacing ini.
500
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Tindakan pencegahan
1) Buanglah tinja di jamban yang saniter.
2) Lakukan penyuluhan kesehatan kepada warga untuk benar-benar
memperhatikan kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan. Gunakan alas
kaki di daerah endemis.
3) Sebelum memberikan terapi imunosupresif kepada seseorang, Pastikan bahwa
orang ini tidak menderita strongyloidiasis.
4) Periksa semua najing, kucing, kera yang kontak dekat dengan manusia, obati
binatang yang terinfeksi cacing ini.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: Penyakit ini tidak wajib dilaporkan, Kelas
5 (lihat tentang laporan penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Tindakan disinfeksi: Membuang feces secara saniter.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Terhadap anggota keluarga
penderita dan penghuni asrama dimana ada penderita dilakukan pemeriksaan
Kalau-kalau ada yang terinfeksi.
7) Pengobatan spesifik: sebab adanya potensi untuk autoinfeksi dan penularan
kepada orang lain, semua penderita tanpa melihat jumlah cacing yang
dikandungnya harus dilakukan pengobatan dengan ivermectin (Mectizan®),
Thiabendazole (Mintezol®) atau albendazole (Zentel®). Perlu diberikan
pengobatan ulang.
C. Penanggulangan wabah: Tidak diterapkan sebab merupakan penyakit yang sporadis.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
SIFILIS
I. SIFILIS (Lues) ICDC-9 090-096; ICD-10 A50-A52
1. Identifikasi
Sifilis yaitu penyakit yang disebabkan oleh infeksi treponema yang bersifat akut dan
kronis ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder pada kulit dan selaput
lendir kemudian masuk kedalam periode laten diikuti dengan lesi pada kulit, lesi pada
tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler.
501
Lesi primer (Chancre = ulcus durum) biasanya muncul 3 minggu setelah terpajan. Lesi
biasanya keras (indurasi), tidak sakit, berbentuk ulcus dengan mengeluarkan eksudat
serosa ditempat masuknya mikroorganisme. Masuknyaa mikroorganisme kedalam darah
terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya ditandai dengan terjadinya pembesaran
kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit, keras nonfluktuan. Infeksi juga dapat terjadi
tanpa ditemukannya chancer (ulcus durum) yang jelas, misalnya kalau infeksi terjadi di
rectum atau cervix. Walaupun tidak diberi pengobatan, ulcus akan menghilang sendiri
setelah 4 – 6 minggu. Sepertiga dari kasus yang tidak diobati mengalami stadium
generalisata, stadium dua, dimana muncul erupsi dikulit yang kadangkala disertai dengan
gejala konstitusional tubuh. Timbul ruam makulo papuler bisanya pada telapak tangan dan
telapak kaki diikuti dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik
dari sifilis yang akan menghilang secara spontan dalam beberapa minggu atau sampai dua
belas bulan kemudian. Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang
tidak diobati akan masuk kedalam fase laten selama berminggu minggu bahkan selama
bertahun tahun. Pada awal fase laten sering muncul lesi infeksius yang berulang pada kulit
dan selaput lendir. Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala
meningitis sifilitik akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan akhirnya timbul
paresis dan tabes dorsalis. Periode laten ini kadang kala berlangsung seumur hidup. Pada
kejadian lain yang tidak dapat diramalkan, 5 – 20 tahun setelah infeksi terjadi lesi pada
aorta yang sangat berbahaya (sifilis kardiovaskuler) atau gumma dapat muncul dikulit,
saluran pencernaan tulang atau pada permukaan selaput lendir.
Stadium awal sifilis jarang sekali menimbulkan kematian atau disabilitas yang serius,
sedang stadium lanjut sifilis memperpendek umur, menurunkan kesehatan dan
menurunkan produktivitas dan efisiensi kerja. Mereka yang terinfeksi sifilis dan pada saat
yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP; oleh sebab itu
setiap saat ada penderita HIV dengan gejala SSP harus dipikirkan kemungkinan yang
bersangkutan menderita neurosifilis (neurolues).
Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal pada saat
mengandung bayinya dan ini sering sekali terjadi sedang frekuensinya makin jarang
pada ibu yang menderita stadium lanjut sifilis pada saat mengandung bayinya.
Infeksi pada janin dapat berakibat terjadi aborsi, stillbirth, atau kematian bayi sebab lahir
prematur atau lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau mati sebab
menderita penyakit sistemik.
Infeksi kongenital dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul kemudian
berupa gejala neurologis terserangnya SSP. Dan kadangkala infeksi kongenital dapat
mengakibatkan berbagai kelainan fisik yang dapat menimbulkan stigmatisasi di
warga seperti gigi Hutchinson, saddlenose (hidung berbentuk pelana kuda), saber
shins (tulang kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis kongenital
kadang kala asimtomatik, terutama pada minggu-minggu pertama setelah lahir.
Diagnosa sifilis dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan serologis
terhadap darah dan liquor cerebrospinalis. Reaksi yang positif terhadap antigen
nontreponemal (misalnya terhadap RPR (rapid plasma reagine) atau terhadap tes VDRL
(Venereal Disease Research Laboratory) perlu dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan
memakai antigen treponema (seperti FTA – Abs (Fluorescent treponemal antibody
absorbed). Jika FTA Abs ini tersedia, bermanfaat untuk menyingkirkan hasil pemeriksaan
yang “false-positive”. Untuk melakukan skrining pada bayi baru lahir penggunaan serum
502
lebih baik daripada darah tali pusat, sebab darah tali pusat lebih sering memberi hasil
“false-positive”.
Diagnosa sifilis primer dan sekunder dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis
dengan teknik lapangan gelap (dark field/dunkelfeld) atau dengan pemeriksaan fase
kontras atau dengan teknik pengecatan antibodi FA dari eksudat yang diambil dari sampel
atau aspirat kelenjar getah bening dengan catatan penderita belum diberi pengobatan
antibiotika. Pemeriksaan serologis biasanya memberi hasil negatif pada awal stadium
pertama walaupun pada saat itu Chancre (ulcus durum) masih ada. Pada saat masih
ditemukan ada ulcus maka pemeriksaan mikroskopis memakai teknik lapangan gelap
yaitu yang paling baik lebih-lebih pada stadium awal sifilis primer yang biasanya
memberikan hasil negatif pada pemeriksaan serologis.
Catatan : Pada kepustakaan lama perkembangan sifilis (lues)
dibagi kedalam 4 stadium :
- Stadium I : adanya ulcus durum
- Stadium II : disebut stadium generalisata
- Stadium III : stadium gumma
- Stadium IV : disebut juga stadium Neurolues
2. Pemicu penyakit : Treponema pallidum, subspesies pallidum, termasuk spirocheta.
3. Distribusi penyakit
Sifilis tersebar diseluruh dunia; di AS yang paling sering terkena infeksi yaitu golongan
usia muda berusia antara 20 – 29 tahun, yang aktif secara seksual. Adanya perbedaan
prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih disebabkan oleh faktor sosial daripada
faktor faktor biologis. Sifilis juga lebih tinggi prevalensinya didaerah perkotaan
dibandingkan dengan didaerah pedesaan dan juga pada ras dan kultur tertentu. Laki-laki
lebih sering terinfeksi daripada wanita. Pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an,
prevalensi tinggi dijumpai pada kelompok homoseksual laki-laki dan pada tahun 1983
menurun secara drastis.
Dibanyak wilayah di AS, terutama di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan bagian
selatan kejadian sifilis dan sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986
dan berlanjut sampai dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan
ini terjadi terutama dikalangan warga dengan status sosial ekonomi rendah dan
dikalangan anak-anak muda. Faktor risiko yang melatar belakangi peningkatan prevalensi
sifilis pada kelompok ini antara lain pemakaian obat obat terlarang, prostitusi, AIDS dan
hubungan seks pertama kali pada usia muda. Tahun 1991, sejak tahun 1985 merupakan
tahun pertama kali kasus sifilis yang dilaporkan menurun drastis, Pemicu nya tidak
diketahui dengan jelas. Penyakit kelamin pada usia muda dan sifilis kongenital meningkat
secara bermakna hampir diseluruh dunia sejak tahun 1957.
4. Reservoir: - Manusia
5. Cara-cara Penularan
Cara penularan sifilis yaitu dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan eksudat
infeksius dari lesi awal kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual
dengan penderita sifilis.
503
Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya
terjadi sebab hubungan seksual. Penularan sebab mencium atau pada saat menimang
bayi dengan sifilis kongenital jarang sekali terjadi. Infeksi transplasental terjadi pada saat
janin berada didalam kandungan ibu yang menderita sifilis.
Transmisi melalui darah donor bisa terjadi jika donor menderita sifilis pada stadium awal.
Penularan melalui barang-barang yang tercemar secara teoritis bisa terjadi namun
kenyataannya boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Petugas kesehatan pernah dilaporkan
mengalami lesi primer pada tangan mereka setelah melakukan pemeriksaan penderita
sifilis dengan lesi infeksius.
6. Periode inkubasi: Dari 10 hari sampai 3 minggu, biasanya 3 minggu.
7. Masa Penularan
Penularan dapat terjadi jika ada lesi mukokutaneus yang basah pada penderita sifilis
primer dan sekunder. Namun jika dilihat dari kemampuannya menularkan kepada orang
lain, maka perbedaan antara stadium pertama dan stadium kedua yang infeksius dengan
stadium laten yang non infeksius yaitu bersifat arbitrari, oleh sebab lesi pada penderita
sifilis stadium pertama dan kedua bisa saja tidak kelihatan.
Lesi pada sifilis stadium dua bisa muncul berulang dengan frekuensi menurun 4 tahun
setelah infeksi. Namun penularan jarang sekali terjadi satu tahun setelah infeksi. Dengan
demikian di AS penderita sifilis dianggap tidak menular lagi setahun setelah infeksi.
Transmisi sifilis dari ibu ke janin kemungkinan terjadi pada ibu yang menderita sifilis
stadium awal namun infeksi dapat saja berlangsung selama stadium laten.
Bayi yang menderita sifilis memiliki lesi mukokutaneus basah yang muncul lebih
menyebar dibagian tubuh lain dibandingkan dengan penderita sifilis dewasa. Lesi basah
ini merupakan sumber infeksi yang sangat potensial.
8. Kekebalan dan Kerentanan
Semua orang rentan terhadap infeksi sifilis, walaupun hanya 30% saja dari mereka yang terpajan akan terkena infeksi. Setelah infeksi biasanya terbentuk antibodi terhadap T. pallidium dan kadang kala terbentuk antibodi heterologus terhadap treponema lain. Antibodi tidak terbentuk kalau dilakukan pengobatan awal pada stadium satu dan dua. Adanya infeksi HIV menurunkan kemampuan penderita melawan T. pallidum.
9. Cara – cara Pemberantasan
A. Upaya pencegahan
Secara umum tindakan-tindakan pencegahan berikut ini dapat diterapkan pada semua
jenis PMS (penyakit menular seksual); seperti sifilis, infeksi HIV, chancroid,
lymphogranuloma venereum, granuloma inguinale, gonorrhea, infeksi virus herpes
simplex, infeksi papillomavirus pada genitalia manusia (genital warts),
trichomoniasis, bakteriae vaginosis, hepatitis B yang ditularkan lewat hubungan seksl,
infeksi-infeksi chlamydial dan genital mycoplasma.
Upaya deteksi dini dan pengobatan dini pada penderita sifilis menular dan kontak
mereka sebaiknya tidak mengabaikan pencarian penderita sifilis laten tanpa gejala
untuk mencegah kambuhnya penyakit dan mencegah kecacatan yang disebabkan
manifestasi klinis yang muncul terlambat.
504
1) Didik warga tentang cara-cara umum menjaga kesehatan, berikan petunjuk
tentang kesehatan dan hubungan seks yang sehat. Jelaskan manfaat tentang
menunda aktivitas seksual sampai pada usia matang secara seksual demikian juga
jelaskan pentingnya perkawinan monogami dan mengurangi jumlah pasangan
seksual. Pemeriksaan serologi sifilis sebaiknya dilakukan untuk semua kasus PMS
dan sebagai prosedur rutin pada perawatan antenatal. Sifilis kongenital dicegah
dengan melakukan pemeriksaan serologis pada kehamilan dini dan diulang lagi
pada kehamilan tua dan pada saat partus pada populasi dengan prevalensi tinggi;
berikan pengobatan kepada mereka yang hasil pemeriksaan serologisnya positif.
2) Lindungi warga dari infeksi sifilis dengan cara mencegah dan mengendalikan
PMS pada para pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggan mereka melalui
penyuluhan tentang bahayanya memiliki banyak pasangan seksual dan hindari
hubungan seksual dengan orang yang tidak dikenal. Dari penyuluhan tentang
tindakan profilaksis untuk mencegah infeksi sebelum, pada waktu dan sesudah
pemajanan. Terutama sekali ajarkan tentang cara-cara memakai kondom yang
tepat dan konsisten.
3) Sediakan fasilitas pelayanan kesehatan untuk diagnosa dini dan pengobatan dini
PMS. Jelaskan tentang manfaat fasilitas ini melalui penyuluhan kesehatan
warga dan jelaskan juga tentang gejala-gejala PMS dan cara-cara
penyebarannya; bentuk fasilitas pelayanan kesehatan ini hendaknya sesuai dengan
budaya setempat dan mudah diakses dan dapat diterima oleh warga , tanpa
mempertimbangkan status sosial ekonomi seseorang. Buatlah program penemuan
kasus secara intensif termasuk kegiatan melakukan anamnesis penderita,
motifikasi pasangan seksual mereka. Lakukan pemeriksaan serologis ulang untk
sifilis diwilayah dimana prevalensi PMS nya tinggi. Lakukan pemeriksaan
serologis lain untuk mengesampingkan kemungkinan infeksi PMS lainnya atau
infeksi HIV.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: Kasus sifilis infeksius dini dan sifilis
kongenital wajib dilaporkan hampir di semua wilayah negara bagian dan bervariasi
di berbagai negera, Kelas 2A (lihat laporan penyakit menular), dihampir semua
negara bagian laboratorium-laboratorium diwajibkan melapor jika menemukan
spesimen yang memberikan hasil serologis reaktif dan pemeriksaan mikroskopis
lapangan gelap positif. Kerahasiaan penderita harus dijaga.
2) Isolasi: untuk pasien-pasien rawat inap, tindakan kewaspadaan universal untuk
darah dan sekret harus dilakukan. Penderita harus menahan diri untuk tidak
melakukan hubungan seksual sampai pengobatan lengkap dan semua lesi
menghilang; untuk menghindari reinfeksi, mereka harus menahan diri untuk tidak
melakukan hubungan seksual dengan pasangan-pasangan sebelumnya sampai
pasangan ini selesai di periksa dan diobati.
3) Disinfeksi serentak: Tidak ada jika penderita mendapat pengobatan yang cukup
mamadai; hati-hati dan hindari kontak dengan discharge yang keluar dari lesi
terbuka dan dengan benda-benda yang terkontaminasi.
4) Karantina: Tidak ada
5) Imunisasi pada kontak: Tidak ada
505
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: ciri dasar dari program pemberantasan
sifilis yaitu anamnesis yang dilakukan terhadap penderita untuk mengetahui
pasangan seks mereka darimana mereka tertulari dan untuk mencari orang yang
tertulari oleh penderita itu sendiri. Pewawancara yang terlatih akan memberikan
hasil yang lebih baik. Tingkat stadium penyakit yang diderita sangat menentukan
kriteria notifikasi dari pasangan seks mereka misalnya : a) untuk sifilis primer,
seluruh pasangan seks mereka selama 3 bulan sebelum timbul gejala harus dicari;
b) untuk sifilis sekunder yang dicari yaitu seluruh kontak selama 6 bulan sebelum
timbul gejala klinis; c) sedang untuk sifilis laten fase awal kontak yang
ditelusuri yaitu pasangan seks selama setahun dengan catatan jika saat stadium
primer dan stadium sekunder tidak diketahui; d) untuk sifilis lanjut dan sifilis laten
lanjut, seluruh pasangan sah dan anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi
harus dicari; e) untuk sifilis kongenital, seluruh anggota terdekat penderita harus
ditelusuri. Sebagai tindak lanjut dari investigasi, seluruh pasangan seksual dari
penderita sifilis stadium awal selama 90 hari sebelum diagnosa ditegakkan harus
diberikan pengobatan. Penderita sifilis dan pasangan seks mereka dianjurkan untuk
mendapatkan konseling dan pemeriksaan HIV. Bayi yang lahir dari ibu sero positif
harus diberi pengobatan dengan penisilin jika ibunya tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat pada bulan terakhir kehamilan.
7) Pengobatan spesifik: Obat spesifik yaitu Long acting penisilin G (benzathin
penicillin), sebesar 2,4 juta unit diberikan segera setelah penderita didiagnosa
sebagai penderita sifilis primer, sekunder atau sifilis laten awal; hal ini dilakukan
untuk meyakinkan bahwa telah dilakukan pengobatan yang efektif walaupun
penderita tidak kembali lagi. Obat alternatif yang dapat diberikan untuk penderita
yang alergi terhadap penisilin yaitu : doksisiklin PO, 100 mg dua kali sehari
selama 14 hari atau tetrasiklin PO (per oral) empat kali sehari selama 14 hari.
Pengobatan alternatif untuk pasien-pasien alergi pinisilin tanpa kehamilan:
doxycycline PO, 100 mg dua kali sehari untuk 14 hari atau tetrasiklin PO, 500 mg
empat kali sehari untuk 14 hari
Pemeriksaan serologis perlu dilakukan untuk menilai hasil pengobatan; pemeriksaan
serologis dilakukan 3 bulan dan 6 bulan setelah pengobatan dan diulang lagi beberapa
saat setelah itu jika diperlukan. Penderita sifilis yang juga menderita HIV,
pemeriksaan serologis dilakukan berulang pada bulan 1, 2, 3 setelah pengobatan dan
setelah itu dilakukan lagi dengan interval 3 bulan. Jika terjadi peningkatan titer sebesar
4 kali atau lebih, berikan pengobatan ulang.
Tiga bulan setelah pengobatan sifilis primer atau sifilis sekunder, tidak terjadi
penurunan titer antibodi dibawah 4 kali kenaikan, menandakan bahwa pengobatan
yang diberikan gagal. Dosis perlu ditingkatkan dan diberikan dalam jangka waktu
yang lebih panjang pada sifilis stadium lanjut (yaitu benzathin penicilin G sebesar 7.2
juta unit keseluruhan diberikan IM dengan interval satu minggu). Perlu
dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan liquor cerebrospinalis (LCS) bagi
penderita yang diduga memiliki risiko terkena neurolues; dan bagi mereka yang
gagal pengobatan, bagi mereka yang terinfeksi HIV dan bagi mereka yang
menunjukkan gejala neurologis.
506
Untuk neurolues, diberikan penisilin G kristal dalam larutan aqua sebanyak 18 – 24
juta unit sehari, diberikan 3 –4 juta unit setiap 4 jam intravena selama 10 – 14 hari.
Sebagai terapi alternatif dapat diberikan procaine penicillin sebesar 2 – 4 juta unit
setiap hari IM ditambah dengan probenecid PO, 500mg, 4 kali sehari, dua duanya
diberikan selama 10 – 14 hari. Kebersihan pengobatan dievaluasi dengan pemeriksaan
serologis dan pemeriksaan LCS setiap 6 bulan sampai hitung sel normal.
Wanita hamil yang sensitif terhadap derivat penisilin baik yang major maupun minor
perlu dilakukan tes kulit (skin test), jika antigennya ada. Untuk ibu hamil yang sensitif
terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin dengan risiko tingkat kegagalannya
tinggi. Penderita yang alergi terhadap penisilin dapat dilakukan desensitisasi,
kemudian dapat diberikan penisilin dengan dosis sesuai dengan stadium penyakitnya.
Untuk sifilis kongenital awal, penisilin G kristal yang dilarutkan dalam aqua diberikan
sebanyak 50.000 unit/kgbb/dosis, diberikan IV atau IM setiap 12 jam sekali pada usia
satu minggu dilanjutkan setiap 8 jam selama 10-14 hari kemudian. Untuk sifilis
kongenital lanjut dimana hasil pemeriksaan LCS normal dan tidak ada gejala-gejala
neurologis, bayi dapat diobati seperti pengobatan sifilis laten. Jika hasil pemeriksaan
LCS tidak normal maka dilakukan pengobatan seperti pada neurolues yaitu : 200.000
unit/kgbb/dosis penisilin G kristal yang dilarutkan dalam aqua setiap 6 jam diberikan
selama 10 – 14 hari.
C. Upaya penanggulangan wabah: Pada waktu KLB, lakukan tindakan intensifikasi
seperti yang diuraikan pada bagian 9A dan 9B diatas.
D. Implikasi bencana: Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut :
1) Lakukan pemeriksaan terhadap kelompok-kelompok remaja dan kelompok dewasa
muda yang pindah dari wilayah dengan prevalensi infeksi treponema tinggi
2) Mentaati perjanjian-perjanjian lebih lanjut (misalnya perjanjian Brussels) yang
menyatakan bahwa semua penderita harus dicatat, adakan fasilitas diagnosa dan
pengobatan, lakukan wawancara kontak terhadap awak kapal dipelabuhan-
pelabuhan laut.
3) Sediakan fasilitas pertukaran informsai cepat secara lebih lanjut tentang kontak
4) Manfaatkan Pusat Kerja sama WHO
II. SIFILIS ENDEMIK NON VENEREAL ICD-9 104.0; ICD-10 A65
(Bejel, Njovera)
1. Identifikasi
Merupakan penyakit akut dengan distribusi geografis terbatas ditandai dengan munculnya
erupsi pada kulit dan selaput lendir biasanya tanpa adanya lesi primer. Lesi pertama yang
biasanya muncul yaitu berupa lesi pada mukosa mulut menyerupai selaput (mucous
patches), kemudian muncul lesi berbentuk papula basah pada lipatan kulit dan lesi kering
dibagian tubuh lain dan ekstremitas.
507
Lesi pada kulit bentuk lain yang muncul yaitu berbentuk papuler dan makuler,
hipertropik dan sering berbentuk sirsinata; lesi ini mirip dengan lesi pada sifilis veneri.
Hiperkeratosis pada telapak tangan dan kaki sering dijumpai, biasanya dengan fissura
yang sangat sakit. Sering juga terjadi depigmentasi dan hiperpigmentasi pada kulit serta
alopecia. Inflamasi atau lesi destruktif pada kulit, tulang panjang, nasofaring, merupakan
manifestasi penyakit yang muncul belakangan. Berbeda dengan sifilis veneri, maka sifilis
non veneri ini tidak menyerang SSP maupun sistem kardiovaskuler, CFR penyakit ini
rendah.
Organisme Pemicu penyakit dapat ditemukan dari lesi dengan pemeriksaan mikroskopis
memakai teknik lapangan gelap pada stadium awal penyakit. Tes serologis untuk
sifilis memberi hasil positif pada stadium awal penyakit dan tetap positif selama bertahun
tahun dan secara perlahan-lahan kearah perbaikan. Reaksinya terhadap pengobatan sama
dengan seperti sifilis veneri.
2. Pemicu penyakit: Treponema pallidum, subspesies endemicum, spirochete yang tidak
dapat dibedakan dengan sifilis
3. Distribusi penyakit: Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak-anak di daerah tertentu
dimana kondisi sosioekonomi warga nya rendah dan fasilitas sanitasi lingkungan
pemukiman yang jelak. Ditemukan di wilayah Mediterania bagian timur dan negara-
negara Asia dan banyak foci muncul di Afrika terutama di wilayah-wilayah kering.
4. Resevoir: - Manusia.
5. Cara-cara penularan: Cara penularan yaitu melalui kontak langsung atau tidak
langsung dengan lesi awal pada kulit dan selaput lendir yang infeksius. Cara penularan
melalui selaput lendir dipermudah melalui kebiasaan memakai peralatan makan dan
minum bersama dan pada kondisi higiene-sanitasi yang buruk. Transmisi kongenital tidak
terjadi.
6. Masa inkubasi: Dari 2 minggu sampai 3 bulan
7. Masa penularan: Semasih ditemukannya lesi basah pada kulit dan lesi pada selaput
lendir selama itu penderita masih menular, biasanya masa penularan ini berlangsung
mulai beberapa minggu sampai beberapa bulan.
8. Kerentanan dan kekebalan: – Sama dengan sifilis veneri.
9. Cara-cara pemberantasan:
A. Cara-cara pencegahan: Upaya pencegahan sama dengan upaya terhadap
treponematoses non veneri. Lihat pada Frambusia bagian 9A
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan ke dinas kesehatan setempat; didaerah endemis tertentu dibanya negara
penyakit ini tidak wajib dilaporkan, klas 3B (lihat laporan penyakit menular)
2) 3), 4), 5), 6) dan 7); Isolasi, Disinfeksi serentak, Karantina, Imunisasi kontak,
Investigasi kontak dan sumber infeksi, dan Pengobatan spesifik.
508
Lihat Frambusia pada bagian 9B, semua yang diuraikan di sini dapat diterapkan
untuk semua treponematosis non veneri.
C. Penanggulangan wabah: Upaya penanggulangan wabah yaitu dengan intensifikasi
upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan.
D. Implikasi bencana: Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Lihat Frambusia pada bagian 9E, manfaatkan Pusat-pusat
Kerja sama WHO.
TAENIASIS ICD-9 123; ICD-10 B68
TAENIA SOLIUM TAENIASIS
INTESTINAL FORM ICD-9 123.0; ICD-10 B68.0
(Cacing pita babi)
TAENIA SAGINATA TAENIASIS ICD-9 123.2; ICD-10 B68.1
(Cacing pita sapi/kerbau)
PENYAKIT SISTISERKOSIS ICD-9 123.I; ICD-10 B69
(Cysticerciasis, Taenia solium Cysticercosis)
1. Identifikasi penyakit
Taeniasis yaitu suatu infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing taenia dewasa;
sistiserkosis yaitu penyakit/infeksi yang terjadi pada jaringan lunak yang disebabkan
oleh larva dari salah satu spesies cacing taenia yaitu spesies Taenia solium. Gejala-gejala
klinis dari penyakit ini jika muncul sangat bervariasi seperti, gangguan syaraf, insomnia,
anorexia, berat badan yang menurun, sakit perut dan atau gangguan pada pencernaan.
Terkecuali merasa terganggu dengan adanya segmen cacing yang muncul dari anus,
kebanyakan penyakit ini tidak menunjukkan gejala. Taenasis biasanya tidak fatal, akan
namun pada stadium larva cacing Taenia solium mungkin memicu sistiserkosis yang
fatal.
Larva Pemicu sistiserkosis pada manusia yaitu larva dari cacing Taenia solium pada
babi, sistiserkosis ini dapat menimbulkan penyakit yang serius biasanya menyerang SSP.
Jika telur atau proglottids dari cacing yang berada dalam daging babi termakan atau
tertelan oleh manusia, maka telur ini akan menetas pada usus halus dan selanjutnya
larva ini akan migrasi ke jaringan tubuh yang lunak seperti jaringan bawah kulit,
otot, jaringan tubuh lain dan organ-organ vital dari tubuh manusia yang kemudian
membentuk sistisersi. Akibat buruk mungkin terjadi jika larva cacing ini tersangkut
pada jaringan mata, SSP atau jantung. Jika pada sistiserkosis somatik ini muncul gejala
antara lain gejala seperti epilepsi, sakit kepala, tanda tanda kenaikan tekanan intracranial
atau gangguan psikiatri yang berat maka besar kemungkinan sistiserkosis ada pada SSP.
Neurocysticercosis dapat memicu cacat yang serius akan namun CFR nya rendah.
Diagnosis penyakit dapat dibuat dengan menemukan dan mengidentifikasi proglottids
(segmen), telur atau antigen dari cacing dalam tinja atau dengan cara apus dubur. Bentuk
telur cacing Taenia solium dan cacing Taenia saginata sukar dibedakan. Diagnosa
spesifik dilakukan dengan cara membedakan bentuk scolex (kepala) dan atau morfologi
dari proglottid gravid.
509
Tes serologis spesifik akan sangat membantu dalam mendiagnosa sistiserkosis. Untuk
mengetahui adanya sistisersi pada jaringan bawah kulit dengan visual atau preparat
diagnosa pasti dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dari spesimen yang diambil
dari jaringan sistiserasi. Sistisersi yang terdapat di jaringan otak dan jaringan lunak lain
dapat didiagnosis dengan memakai CAT scan atau MRI, atau dengan X-ray jika
sistisersi ini mengalami kalsifikasi.
2. Pemicu penyakit
Pemicu penyakit yaitu Taenia solium biasanya terdapat pada daging babi, dimana
cacing ini dapat memicu infeksi pada saluran pencernaan (oleh cacing dewasa),
dan bentuk larvanya dapat memicu infeksi somatik (sistisersi). Cacing Taenia
saginata, pada daging sapi hanya memicu infeksi pada pencernaan manusia oleh
cacing dewasa.
3. Distribusi penyakit
Penyakit ini terserbar di seluruh dunia, sering dijumpai di daerah dimana orang-orang
memiliki kebiasaan mengkonsumsi daging sapi atau babi mentah atau yang dimasak
tidak sempurna, dimana kondisi kebersihan lingkungannya jelek sehingga babi, dan sapi
makanannya tercemar dengan tinja manusia. Angka kejadian paling tinggi dari penyakit
ini yaitu di negara-negara seperti Amerika Latin, Afrika, Asia Tenggara, dan negara-
negara di Eropa Timur, dan infeksi sering dialami oleh para imigran yang berasal dari
daerah ini . Penularan T. solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali
terjadi di Inggris, dan di negara-negara Skandinavia. Penularan oro fekal oleh sebab
kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh T. solium dilaporkan terjadi dengan frekuensi
yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah
untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya baik.
4. Reservoir
Manusia merupakan hospes definitif kedua spesies Taenia; sedang sapi merupakan
hospes perantara untuk spesies Taenia saginata dan babi merupakan hospes perantara
untuk spesies Taenia solium.
5. Cara-cara penularan
Telur T. saginata yang dikeluarkan lewat tinja orang yan terinfeksi hanya bisa menular
kepada sapi dan didalam otot sapi parasit akan berkembang menjadi Cysticercus bovis,
stadium larva dari T. saginata. Infeksi pada manusia terjadi sebab orang ini
memakan daging sapi mentah atau yang dimasak tidak sempurna yang mengandung
Cysticerci; di dalam usus halus cacing menjadi dewasa dan melekat dalam mukosa usus.
Begitu juga infeksi T. solinum terjadi sebab memakan daging babai mentah atau yang
dimasak kurang sempurna (“measly pork”) yang mengandung cysticerci; cacing menjadi
dewasa didalam intestinum.
Namun, cysticercosis dapat terjadi secara tidak langsung sebab orang ini menelan
minuman yang terkontaminasi atau secara langsung dari tinja orang yang terinfeksi
langsung kemulut penderita sendiri (aoutoinfeksi) atau ke mulut orang lain. Apabila telur
T. solinum tertelan oleh manusia atau babi, maka emb