resmi biasanya tidak
dilakukan, Kelas 5 (lihat Petentang pelaporan penyakit menular).
2. Isolasi : tidak perlu.
3. Disinfeksi serentak : pembuangan kotoran pada jamban yang saniter.
4. Karantina : tidak diperlukan.
5. Imunisasi : tidak ada.
6. Investigasi kontak dan sumber infeksi : cari & temukan penderita lain yang perlu
diberpengobatan. Perhatikan lingkungan yang tercemar yang menjadi sumber
infeksi terutama disekitar rumah penderita.
7. Pengobatan spesifik : Mebendazole (Vermox®) dan albendazole (Zentel®) (juga
efektif terhadap Trichuris trichiura dan cacing tambang, lihat Trichuriasis &
cacing tambang). Kedua obat ini merupakan kontraindikasi untuk diberikan
selama kehamilan. Penyimpangan migrasi dari cacing ascaris telah dilaporkan
setelah pemberian terapi Mebendazole; namun hal ini dapat juga terjadi dengan
terapi obat yang lain atau penyimpangan migrasi dapat juga terjadi secara spontan
pada infeksi yang berat. Pyrantel pamoate (Antiminth®, Combantrin®) juga efektif
diberikan dalam dosis tunggal (obat ini dapat juga dipakai untuk cacing tambang,
tapi tidak untuk T. Trichiura).
C. Tindakan Penanggulangan Wabah : lakukan survei prevalensi di daerah endemis
tinggi, berikan penyuluhan pada warga tentang sanitasi lingkungan dan higiene
perorangan dan sediakan fasilitas pengobatan.
D. Implikasi Bencana : Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
ASPERGILLOSIS ICD-9117.3; ICD-10 B44
1. Identifikasi
Penyakit jamur yang muncul dengan berbagai sindroma klinis yang disebabkan oleh
spesies Aspergillus. Penderita dengan penyakit paru kronis (terutama asthma, juga
penyakit gangguan paru kronis atau “cystic fibrosis”) dan penderita yang alergi terhadap
jamur ini dapat memicu kerusakan bronchus dan penyumbatan bronchus intermiten.
Keadaan ini disebut sebagai allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA). Kolonisasi
saprophytic endobronchial pada penderita dengan pelebaran bronchus atau bronkiektasi
61
dapat menimbulkan gumpalan hyphae, dan massa hyphae yang besar mengisi rongga-
rongga yang sebelumnya sudah ada (berupa bola jamur atau aspergilloma). Suatu spesies
Aspergillus dapat muncul bercampur dengan organisme lain dalam abses bakteriil paru-
paru atau pada empiema.
Aspergillosis yang invasif dapat terjadi, terutama pada pasien yang menerima terapi
imunosupresif atau sitotoksik; ia dapat menyebar ke otak, ginjal dan organ lain dan
seringkali fatal. Invasi kedalam pembuluh darah berupa trombosis dan memicu
infark yaitu ciri dari infeksi jamur ini pada pasien dengan kekebalan rendah.
Organisme ini dapat menginfeksi tempat dipasangnya katup jantung prostetik. Spesies
Aspergillosis yaitu Pemicu paling umum dari otomikosis; jamur membuat koloni atau
memicu infeksi invasif pada sinus paranasal.
Jamur ini tumbuh pada jenis makanan tertentu, isolat dari A. flavus (kadang juga spesies
lain) bisa memproduksi aflatoksin atau mikotoksin lain; toksin ini dapat memicu
penyakit pada ikan dan hewan dan sangat karsinogenik pada hewan percobaan.
Hubungan antara kadar aflatoksin yang tinggi pada makanan dan timbulnya kanker
hepatoseluler ditemukan di Afrika dan Asia Tenggara.
Diagnosis ABPA ditegakkan antara lain adanya reaksi benjolan merah di kulit jika
dilakukan skarifikasi atau suntikan intradermal dengan antigen Aspergillus, adanya
sumbatan bronchus yang menahun, eosinofilia, terbentuknya antibodi presipitasi serum
terhadap Aspergillus, peningkatan kadar IgE dalam serum dan adanya infiltrat paru yang
bersifat transien (dengan atau tanpa bronkiektasis sentral). Kolonisasi endobronkial
saprofitik didiagnosa dengan kultur atau ditemukannya Aspergillus mycelia pada sputum
atau pada dahak ditemukan hyphae. Serum precipitin terhadap antigen spesies Aspergillus
biasanya juga muncul. Bola jamur dari paru biasanya dapat didiagnosa dengan foto toraks
dan dari catatan medis. Diagnosa aspergillosis invasif ditegakkan dengan ditemukannya
Mycelia Aspergillus dengan mikroskop dari jaringan yang terinfeksi; konfirmasi diagnosa
dilakukan dengan kultur untuk membedakan dengan penyakit jamur lain yang gambaran
histologinya mirip.
2. Pemicu penyakit
Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus yaitu Pemicu paling umum dari
aspergillosis pada manusia, walau spesies lain dapat juga sebagai Pemicu . Aspergillus
fumigatus memicu banyak kasus bola jamur; Aspergillus niger Pemicu umum
otomikosis.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar diseluruh dunia, jarang dan bersifat sporadis, tidak ada perbedaan insidens
berdasarkan ras atau jenis kelamin.
4. Reservoir.
Spesies Aspergillus secara alamiah ada dimana-mana, terutama pada makanan, sayuran
basi, pada sampah daun atau tumpukan kompos. Konidia biasanya terdapat di udara baik
di dalam maupun di luar ruangan dan sepanjang tahun.
62
5. Cara Penularan.
Melalui inhalasi konidia yang ada di udara.
6. Masa Inkubasi.
Hitungan hari hingga minggu.
7. Masa Penularan.
Tidak disebarkan dari satu orang ke orang lain.
8. Kerentanan dan Kekebalan.
Spesies Aspergillus ditemukan dimana-mana, dan Aspergillosis biasanya muncul sebagai
infeksi sekunder dan hal ini membuktikan bahwa orang yang sehat kebal terhadap
penyakit ini. Kerentanan akan meningkat dengan pemberian terapi imunosupresif dan
sitotoksik dan serangan invasif terlihat terutama pada pasien dengan netropenia yang
berkepanjangan. Penderita HIV/AIDS atau penderita penyakit granulomatous kronik pada
masa kanak-kanak juga peka terhadap infeksi jamur ini.
9. Cara Cara Pemberantasan
A. Cara Cara Pencegahan :
Udara ruangan yang disaring dengan High Efficiency Particulate Air (HEPA) dapat
menurunkan infeksi aspergillosis invasive pada penderita yang dirawat di RS terutama
penderita dengan netropenia.
B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya :
1) Laporan pada instansi kesehatan setempat : laporan resmi biasanya tidak
dilakukan, Kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi : tidak perlu.
3) Disinfeksi serentak : menjaga kebersihan, pembersihan terminal.
4) Karantina : tidak dilakukan.
5) Imunisasi : tidak ada.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak diindikasikan.
7) Pengobatan spesifik : ABPA diobati dengan corticosteroid suppression dan
biasanya membutuhkan terapi yang lama. Reseksi bedah, jika memungkinkan,
yaitu pengobatan paling tepat untuk aspergilloma. Amphotericin B (Fungizone®
atau formasi lipid) IV dapat digunakan untuk infeksi jaringan bentuk invasif.
Pemberian Itraconazole bermanfaat bagi penderita yang perkembangannya lebih
lambat dan untuk penderita yang memiliki masalah kekebalan. Terapi
imunosupresif harus dihentikan atau dikurangi sebisa mungkin. Kolonisasi
endobronkial harus diobati sedemikian rupa untuk memperbaiki drainase
bronkopulmoner.
C. Tindakan Penanggulangan Wabah : tidak dilakukan upaya penanggulangan wabah;
penyakit sifatnya sporadis.
D. Implikasi Bencana : tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada.
63
BABESIOSIS ICD-9 088.8; ICD-10 B60.0
1. Identifikasi
Penyakit yang potensial berat dan dapat menimbulkan kematian, penyakit ini disebabkan
oleh infeksi protozoa yang menyerang butir darah merah. Gejala klinis berupa demam,
menggigil, mialgia, lemah dan ikterus sebagi akibat dari anemia hemolitik yang
berlangsung dari beberapa hari hingga berbulan bulan. Studi seroprevalens menunjukkan
bahwa kebanyakan infeksi tanpa gejala. Dalam bebarapa kasus, parasitemia tanpa gejala
ini dapat bertahan sampai beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun. Infeksi ganda
dengan Borrelia burgdorferi, Pemicu Lyme disease dapat memperberat ke dua penyakit
ini .
Diagnosa dibuat dengan menemukan parasit dalam butir darah merah pada sediaan darah
baik sediaan darah tebal maupun tipis. Adanya antibodi spesifik dengan pemeriksaan
serologi (IFA babesial DNA (PCR)) atau dengan isolasi parasit dengan hewan percobaan
yang tepat lebih mendukung pencegahan diagnosa. Membedakan Babesiosis dengan
Plasmodium falciparum hanya dengan pemeriksaan sediaan darah mungkin sulit pada
penderita yang berasal dari daerah endemis malaria atau yang mendapat infeksi melalui
transfusi darah; jika diagnosa tidak jelas, perlakukan penderita seperti terhadap penderita
malaria dan kirim sediaan darah tebal dan tipis ke laboratorium yang memadai.
2. Pemicu penyakit.
Beberapa spesies diketahui sebagai Pemicu . Babesia microti yaitu yang paling umum
ditemukan di Amerika Serikat bagian timur, sedang isolat Babesia tipe WA1 umum
ditemukan di pantai barat. sedang Babesia divergens yang paling umum ditemukan di
Eropa.
3. Distribusi Penyakit.
Ditemukan diseluruh dunia, dengan penyebaran yang tidak merata. Di Amerika Serikat
distribusi geografis dari infeksi B. Microti meningkat dengan meluasnya penyebaran kutu
Ixodes scapularis (dulu disebut I. dammini). Babesiosis endemis di Nantucket dan pulau
lain di Massachussetts, Block Island, Shelter Island, Long Island bagian timur dan
Connecticut bagian selatan. Infeksi juga dilaporkan terjadi di Wisconsin dan Minnesota.
Kasus pada manusia yang disebabkan oleh isolat Babesia tipe WA1 dilaporkan dari
negara bagian California dan Washington, spesies lain memicu infeksi pada manusia
dilaporkan dari Missouri dan Mexico. Di Eropa infeksi pada manusia yang disebabkan
oleh B. divergens dilaporkan dari Perancis, Scotlandia, Spanyol, Swedia, Rusia dan
Yugoslavia. Infeksi pada manusia dari jenis Babesia yang kurang dikenal dilaporkan
terjadi di China, Taiwan, Mesir, Pulau Canary dan Afrika Selatan.
4. Reservoir.
Hewan pengerat berperan sebagai reservoir bagi B. microti dan sapi bagi B. divergens.
Inang untuk isolat Babesia jenis WA1 dan MO1 (Missouri) tidak diketahui.
5. Cara Penularan
B. microti tersebar selama musim panas oleh gigitan nymphe kutu Ixodes (I. scapularis)
yang telah menggigit tikus rusa yang terinfeksi (Peromyscus leucopus) dan mamalia kecil
64
lain (Microtus Pennsylvanicus). Kasus Babesiosis telah dilaporkan menular melalui
transfusi darah dari donor yang parasitemik tapi tanpa gejala. Pasien biasanya lupa atau
tidak mengetahui pernah digigit kutu. Ada dua kasus penularan dari ibu kepada bayinya
pernah dilaporkan.
6. Masa Inkubasi – 1 minggu hingga 8 minggu setelah terpajan.
7. Masa Penularan
Tidak menular dari satu orang ke orang lain, kecuali melalui transfusi darah. Donor darah
tanpa gejala tetap infeksius selama 12 bulan setelah infeksi awal.
8. Kerentanan dan Kekebalan.
Semua orang rentan terhadap B. microti. Mereka dengan daya tahan tubuh yang rendah,
mereka yang tanpa limpa dan orang tua rentan terhadap infeksi.
9. Cara Cara Pemberantasan
A. Cara - cara Pencegahan
Beri penyuluhan tentang cara penularan dan cara perlindungan perorangan. Basmi
hewan pengerat di sekitar rumah dan gunakan obat gosok anti kutu.
B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya :
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat : laporkan kasus baru yang dicurigai,
spesifiknya pada daerah yang tidak endemis, Kelas 3B (lihat tentang pelaporan
penyakit menular).
2) Isolasi : lakukan kewaspadaan universal terhadap cairan tubuh dan darah.
3) Disinfeksi serentak : tidak perlu.
4) Karantina : tidak diperlukan.
5) Perlindungan kontak dan sumber infeksi : tidak ada, namun anggota keluarga yang
mungkin terinfeksi harus terus dipantau.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : kasus yang muncul di wilayah baru
membutuhkan penyelidikan yang mendalam. Kasus yang terjadi melalui transfusi
harus diinvestigasi segera dan donor darah dilarang mendonorkan darahnya lagi.
7) Pengobatan spesifik : kombinasi clindamycin dan quinine terbukti efektif pada
binatang percobaan dan pada kebanyakan pasien dengan infeksi B. microti. Infeksi
tidak memberikan reaksi terhadap pengobatan dengan klorokuin. Pemberian
Azithromycin saja atau dikombinasi dengan quinine atau dengan clindamycin dan
doxycycline cukup efektif untuk kasus tertentu, sedang kombinasi antara
azithromycin dan atovaquone memberikan hasil yang menjanjikan pada binatang
percobaan. Pentamidine dikombinasi dengan TMP – SMX efektif pada satu kasus
yang dilaporkan terinfeksi B. divergens. Exchange transfusion mungkin
dibutuhkan bagi pasien dimana sebagian besar eritrosit terinfeksi parasit. Dialisis
mungkin dibutuhkan bagi penderita dengan gagal ginjal.
C. Penanggulangan Wabah : tidak ada.
D. Implikasi Bencana : Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
65
BALANTIDIASIS ICD-9007.0; ICD-10 A07.0
(Balantidiosis, Disentri Balantidia)
1. Identifikasi
Protozoa yang menginfeksi usus besar dan memicu diare atau disenteri diikuti
dengan kolik abdominal, tenesmus, nausea dan muntah-muntah. Biasanya disenteri
disebabkan oleh amebiasis, dengan kotoran yang berisi banyak darah dan lendir tapi
sedikit pus. Invasi ke peritoneum atau saluran urogenital jarang terjadi.
Diagnosa dibuat dengan menemukan trofozoit dari parasit atau kista dari Balantidium coli
pada kotoran segar, atau trofozoit ditemukan melalui sigmoidoskopi.
2. Pemicu penyakit.
Balantidium coli, protozoa besar dengan silia.
3. Distribusi penyakit.
Tersebar di seluruh dunia, infeksi pada manusia jarang terjadi namun wabah yang bersifat
“water borne” biasa terjadi pada daerah yang sanitasi lingkungannya sangat buruk.
Kontaminasi lingkungan dengan tinja dapat mengakibatkan peningkatan jumlah kasus.
Wabah besar pernah terjadi di Equador pada tahun 1978.
4. Reservoir.
Babi, kemungkinan juga hewan lain, seperti tikus dan primata selain manusia.
5. Cara Penularan.
Dengan menelan kista yang berasal dari kotoran inang yang terinfeksi; pada saat wabah,
penularan terutama melalui air yang terkontaminasi. Penularan sporadis terjadi sebab
masuknya kotoran ke mulut melalui tangan atau melalui air, dan makanan yang
terkontaminasi.
6. Masa Inkubasi.
Tidak diketahui, mungkin hanya beberapa hari.
7. Masa Penularan : Selama infeksi.
8. Kerentanan dan Kekebalan.
Sebagian besar orang sepertinya memiliki kekebalan alami. Orang dengan keadaan umum
yang jelek sebab suatu penyakit sebelumnya, bila terinfeksi oleh parasit ini akan menjadi
serius bahkan fatal.
9. Cara Cara Pemberantasan.
A. Cara Pencegahan :
1) Beri penyuluhan pada warga tentang higiene perorangan.
2) Beri penyuluhan dan bimbingan kepada penjamah makanan melalui instansi
kesehatan.
3) Pembuangan kotoran pada jamban yang memenuhi persyaratan sanitasi.
4) Kurangi kontak dengan kotoran babi.
66
5) Lindungi tempat penampungan/sumber air untuk warga dari kontaminasi
kotoran babi. Filter pasir/tanah dapat menyaring semua kista, klorinasi air dengan
cara yang biasanya dilakukan tidak menghancurkan kista. Air dalam jumlah sedikit
untuk diminum lebih baik dimasak.
B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya :
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat : laporan resmi tidak diperlukan,
Kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi : tidak dilakukan.
3). Disinfeksi serentak : pembuangan kotoran yang saniter.
4). Karantina : tidak dilakukan.
5). Imunisasi : tidak dilakukan
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : pemeriksaan mikroskopis tinja dari
anggota rumah tangga dan kontak yang dicurigai. Lakukan investigasi terhadap
mereka yang kontak dengan babi; bila perlu berikan tetrasiklin pada babi yang
terinfeksi.
7). Pengobatan spesifik: Tetrasiklin dapat menghilangkan infeksi; pengobatan dengan
metronidazole (Flagyl) juga efektif .
C. Penanggulangan Wabah : ditemukannya penderita atau sejumlah penderita di suatu
daerah membutuhkan penyelidikan epidemiologis segera, terutama penyelidikan yang
menyangkut sanitasi lingkungan.
D. Implikasi Bencana : Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada.
BARTONELLOSIS ICD-9 088; ICD-10 A44
(Demam Oroya, Verruga peruana, Penyakit Carrion)
1. Identifikasi.
Penyakit infeksi bakteri dengan dua gejala klinis yang sangat berbeda; anemia febrile
(Demam Oroya ICD-10 A44.0) dan erupsi kulit yang tidak berbahaya (Verruga peruana
ICD-10 A44.1). Infeksi tanpa gejala dan dalam bentuk carrier dapat terjadi. Demam
Oroya ditandai dengan demam yang tidak teratur, sakit kepala, nyeri otot, arthralgia,
muka pucat, anemia hemolitik yang berat (makrositik atau normositik dan biasanya
hipokromik) dan limfadenopati non tender menyeluruh. Verruga peruana memiliki masa
pra erupsi yang ditandai dengan nyeri otot, tulang dan sendi; rasa nyeri ini kadang
amat berat, berlangsung beberapa menit hingga beberapa hari pada satu tempat tertentu.
Erupsi kulit juga ditandai dengan munculnya benjolan kecil seperti hemangioma. Benjolan
yang muncul dekat sendi dapat berkembang seperti tumor dengan permukaan merah.
67
Verruga peruana bisa didahului dengan demam Oroya atau didahului dengan infeksi tanpa
gejala, interval antara kedua stadium berlangsung dalam hitungan minggu hingga bulan.
CFR dari demam Oroya yang tidak diobati antara 10% - 90%; kematian biasanya
disebabkan oleh kombinasi infeksi protozoa dengan superinfeksi bakteri, termasuk
Salmonella septicemia. Verruga peruana dapat berlangsung lama tapi jarang memicu
kematian.
Diagnosa dibuat dengan menemukan Pemicu infeksi dalam butir darah merah selama
fase akut dengan pengecatan Giemsa, spesimen diambil dari lesi kulit selama fase erupsi
atau diagnosa dapat juga dibuat dengan kultur darah pada media khusus, dimana spesimen
dapat diambuil kapan saja. PCR dan berbagai teknik serologi telah digunakan untuk
memastikan diagnosa.
2. Pemicu penyakit : Bartonella bacilliformis.
3. Distribusi penyakit.
Distribusi penyakit ini terbatas pada lembah pegunungan di Peru, Equador dan Colombia
dengan ketinggian antara 2000 hingga 9200 kaki (600 – 2800 m) dari permukaan laut
dimana terdapat vektor lalat pasir; tak ada batasan umur, ras dan jenis kelamin.
4. Reservoir.
Manusia berperan sebagai reservoir dengan agen Pemicu yang ditemukan dalam darah.
Di daerah endemis, carrier tanpa gejala dapat mencapai 5%. Tidak diketahui adanya
hewan sebagai inang.
5. Cara Penularan.
Penularan terjadi melalui gigitan “sand fly” dari genus Lutzomyia. Spesies ini tidak
ditemukan di semua wilayah; Lutzomyia verrucarum terdapat di Peru. Serangga ini hanya
menggigit dari petang hingga pagi. Transfusi darah, utamanya pada stadium demam
Oroya, dapat menularkan infeksi.
6. Masa Inkubasi.
Biasanya 16 – 22 hari, tapi kadang kala sampai 3 – 4 bulan.
7. Masa Penularan.
Penularan tidak langsung dari orang ke orang kecuali melalui transfusi darah. Manusia
menjadi sumber infeksi bagi “sand fly” untuk masa yang lama, agen Pemicu dapat
muncul dalam darah beberapa minggu hingga hitungan tahun setelah muncul gejala klinis.
Lama dari masa infeksi “sand fly” tidak diketahui.
8. Kerentanan dan Kekebalan.
Setiap orang rentan terhadap penyakit ini, namun penyakit ini gejalanya lebih ringan jika
menyerang anak-anak daripada orang dewasa. Kesembuhan dari demam Oroya
kebanyakan memberikan kekebalan permanen. sedang stadium Verruga dapat muncul
kembali.
68
9. Cara Cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan :
1) Basmi “sand fly” (lihat Leishmaniasis, cutaneous, 9A).
2) Hindari daerah endemis setelah matahari terbenam; jika tidak bisa menghindari
daerah endemis, pakailah obat gosok anti nyamuk pada bagian tubuh yang terbuka
atau pergunakan kelambu.
3) Darah dari orang di daerah endemis jangan digunakan untuk transfusi, hingga hasil
tes menyatakan negatif.
B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya :
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat : pada daerah endemis tertentu; di
kebanyakan negara bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, kelas 3B
(lihat tentang pelaporan penyakit menular)
2). Isolasi : hati-hati terhadap cairan tubuh dan darah Individu yang terinfeksi.
Penderita harus terlindungi dari gigitan “sand fly”
3). Disinfeksi serentak : tidak ada
4). Karantina : tidak diperlukan.
5). Imunisasi : tidak ada.
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : lakukan identifikasi adanya “sand fly”,
terutama pada lokasi dimana penderita pernah terpajan saat matahari terbenam
dalam periode 3 – 8 minggu yang lalu
7). Pengobatan spesifik: penisilin, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin efektif
dalam mengurangi demam dan bakteriemia. Ampisilin dan kloramfenikol juga
efektif terhadap infeksi sekunder, salmonellosis.
C. Tindakan Penanggulangan Wabah :
Intensifkan penemuan penderita & lakukan penyemprotan rumah secara sistematis
dengan insektisida yang meninggalkan residu.
D. Implikasi Bencana :
Perlu waspada kemungkinan timbul bencana KLB jika pusat pusat penampungan
pengungsi dibangun pada daerah endemis.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
BLASTOMIKOSIS ICD-9 116.0; ICD-10 B40
(Blastomikosis Amerika Utara, Penyakit Gilchrist)
1. Identifikasi.
Blastomikosis yaitu mikosis granulomatosa, terutama menyerang paru-paru dan kulit.
Blastomikosis paru dapat bersifat akut atau kronik. Infeksi akut jarang dikenal tapi muncul
dengan serangan demam yang tiba tiba, batuk dan infiltrasi paru pada foto thorax.
Penyakit akut sembuh dengan sendirinya setelah 1 – 3 minggu sakit. Selama atau sesudah
sembuh dari pneumonia, beberapa penderita mengalami infeksi ekstrapulmoner. Dan ada
juga kasus yang perjalanan penyakitnya secara perlahan menjadi kronis.
69
Batuk dan sakit di dada mungkin hanya ringan saja atau bahkan tidak ada sama sekali,
memicu seorang pasien pada saat didiagnosa penyakitnya telah menyebar ke bagian
lain dari tubuh terutama ke kulit kemudian tulang, prostat dan epididimis. Lesi pada kulit
dimulai dengan munculnya papula eritematosa dan selanjutnya menjadi verruca, ber
krusta atau muncul lesi yang menyebar. Umumnya lesi ini muncul pada muka dan
extremitas distal. Biasanya disertai dengan penurunan berat badan, lemah dan demam.
Lesi pada paru bisa menjadi cavitasi. Perjalanan penyakit yang tidak diobati dan atau pada
blastomikosis paru kronis menjadi semakin berat dan biasanya berakibat kematian.
Pemeriksaan mikroskopis secara langsung tanpa pewarnaan sputum dan specimen yang
diambil dari lesi memperlihatkan bentuk-bentuk karakteristik “broad based” dari jamur,
seringkali berbentuk sambel/halter, jamur dapat juga diisolasi dengan kultur. Pemeriksaan
serologis tidak banyak manfaatnya.
2. Pemicu penyakit.
Blastomycosis dermatitidis (Ajellomyces dermatitidis), sejenis jamur dimorfis yang
tumbuh sebagai ragi pada jaringan dan media kultur yang diperkaya pada suhu 37oC
(98,6oF) dan sebagai mold (jamur) pada suhu kamar (25oC / 77oF).
3. Distribusi penyakit.
Sangat jarang dan muncul secara sporadis di AS bagian tengah dan timur, Kanada, Afrika
(Zaire, Tanzania, Afsel), India, Israel dan Saudi Arabia. Jarang terjadi pada anak-anak;
lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit pada anjing sering terjadi;
dilaporkan juga menyerang kucing, kuda, singa afrika dan singa laut.
4. Reservoir.
Tanah lembab berperan sebagai reservoir, terutama pada daerah yang banyak terdapat
pepohonan sepanjang saluran air dan daerah yang tidak terusik misalnya pada tempat-
tempat yang terlindungi pepohonan.
5. Cara Penularan.
Penularan terjadi melalui Conidia, yang terhirup melalui udara.
6. Masa Inkubasi.
Tidak tentu, kemungkinan beberapa minggu atau kurang bahkan bisa hingga hitungan
bulan. Untuk infeksi yang menimbulkan gejala masa inkubasi rata-rata 45 hari.
7. Masa Penularan.
Tidak langsung menular dari manusia ke manusia atau dari binatang ke orang.
8. Kerentanan dan Kekebalan.
Tidak diketahui. Infeksi paru tanpa gejala mungkin banyak terjadi tapi frekuensinya tidak
diketahui. Terbukti bahwa kekebalan seluler memainkan peranan penting dalam
pencegahan infeksi paru. Jarangnya penyakit ini terjadi secara alami maupun jarangnya
terjadi infeksi melalui laboratorium menunjukkan bahwa manusia relatif kebal terhadap
penyakit ini.
70
9. Cara Cara Pemberantasan
A. Cara Cara Pencegahan : tidak diketahui.
B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya :
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat : bukan merupakan penyakit yang
wajib dilaporkan, Kelas 5 (lihat Petentang pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi : tidak ada
3) Disinfeksi serentak : lakukan terhadap sputum, luka berbau dan semua benda yang
terkontaminasi. Pembersihan terminal.
4) Karantina : tidak ada.
5) Imunisasi : tidak ada.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi :
Tidak bermanfaat kecuali bila ditemukan ada beberapa orang yang terserang
penyakit ini.
7) Pengobatan spesifik. Itraconazole yaitu obat pilihan, namun amfoterisin
(Fungizone) diindikasikan untuk diberikan bagi pasien berat atau mereka yang
memiliki lesi pada otak.
C. Penanggulangan Wabah : tidak diterapkan, merupakan penyakit yang sporadis.
D. Implikasi Bencana : Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada
BOTULISME ICD-9 005.1; ICD-10 A05.1
INTESTINAL BOTULISM, sebelumnya dikenal sebagai Botulisme anak.
1. Identifikasi.
Ada 3 bentuk botulisme, yaitu yang di tularkankan melalui makanan (bentuk klasik) dan
yang ditularkan melalui, luka dan saluran pencernaan (bayi dan dewasa). Tempat produksi
toksin berbeda untuk tiap bentuk, namun semua bentuk memberikan gejala lumpuh layuh
yang diakibatkan oleh racun saraf botulinum. Botulisme saluran pencernaan diusulkan
sebagai identitas penyakit baru dari apa yang sebelumnya disebut Botulisme bayi. Nama
baru secara resmi diterima pada pertengahan tahun 1999, dan akan digunakan secara
umum di bab ini sebagai pengganti istilah botulisme bayi.
Foodborne botulism yaitu keracunan berat yang diakibatkan sebab menelan racun yang
terbentuk di dalam makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini ditandai dengan gangguan
nervus cranialis bilateral akut dan melemahnya anggota tubuh disertai kelumpuhan.
Gangguan visual (kabur dan dobel), disfagia dan mulut kering sering merupakan keluhan
pertama. Gejala-gejala ini bisa meluas berupa layuh simetris pada orang yang waspada
akan gejala-gejala ini. Muntah dan konstipasi atau diare mungkin muncul pada awalnya.
Demam tidak terjadi bila tidak ada komplikasi Infeksi lain. CFR di AS 5 – 10 %.
Pemulihan bisa berlangsung beberapa bulan.
71
Untuk jenis Botulisme luka, gambaran klinis yang sama terlihat pada saat organisme
Pemicu mengkontaminasi luka dalam kondisi anaerob. sedang botulisme saluran
pencernaan (bayi) yaitu bentuk botulisme yang paling sering terjadi di AS; ini muncul
akibat menelan spora Clostridium botulinum kemudian tumbuh berkembang dan
memproduksi racun pada usus besar. Botulisme saluran pencernaan ini secara spesifik
menyerang bayi dibawah 1 tahun, namun dapat juga menyerang orang dewasa yang
memiliki kelainan anatomi saluran pencernaan serta terjadinya perubahan flora usus.
Gejala klinis khas dimulai dengan konstipasi, diikuti dengan letargi, tidak nafsu makan,
listlessness, ptosis, susah menelan, kehilangan kontrol gerakan kepala, hipotonia dan
menjurus kepada keadaan lemah secara menyeluruh (floppy baby) dan pada beberapa
kasus, terjadi kesulitan bernapas sampai gagal nafas. Botulisme pada bayi memiliki
spektrum klinis luas, mulai dari sakit ringan dengan onset bertahap hingga kematian
mendadak; beberapa penelitian menemukan bahwa penyakit ini merupakan Pemicu
terjadinya 5% sindroma kematian mendadak (Sudden Infant Death Syndrome/SIDS). CFR
dari penderita yang dirawat di rumah sakit di AS kurang dari 1 %; sudah barang tentu
penderita tanpa akses ke Rumah Sakit dengan Unit Perawatan Intensif Anak akan terjadi
lebih banyak kematian.
Diagnosa dari botulisme yang ditularkan melalui makanan ditegakkan dengan menemukan
racun botulinum dalam serum, tinja, cairan lambung atau makanan yang tercemar; atau
dari kultur C. botulinum cairan lambung atau tinja penderita. Menemukan organisme dari
makanan yang di curigai cukup membantu, namun biasanya tidak punya nilai diagnostik
sebab spora ada dimana-mana, menemukan racun botulinum pada makanan yang
terkontaminasi lebih bermanfaat. Diagnosa bisa dipastikan apabila orang dengan gejala
klinis disertai dengan riwayat mengkonsumsi makanan yang tercemar dan didukung
dengan bukti hasil pemeriksaan laboratorium. Botulisme luka didiagnosa dengan
ditemukannya racun pada serum atau hasil kultur luka yang positif. Elektromiografi
dengan rangsangan pengulangan cepat dapat digunakan untuk mendukung pencegahan
diagnosa klinis untuk semua bentuk botulisme.
Diagnosa dari botulisme saluran pencernaan dapat di tegakkan dengan menemukan
organisme C. botulism dan atau racun pada tinja penderita atau pada spesimenotopsi.
Racun jarang terdeteksi pada sera penderita.
2. Pemicu penyakit.
Botulisme yang ditularkan melalui makanan disebabkan oleh racun yang diproduksi oleh
Clostridium botulinum, spora membentuk basil anaerob. Beberapa nanogram dari racun
dapat memicu sakit. Kebanyakan KLB pada manusia terjadi sebab tipe A, B, E dan
jarang sebab tipe F. Tipe G pernah diisolasi dari tanah dan dari specimen otopsi, namun
perannya sebagai Pemicu botulisme belum jelas. KLB tipe E biasanya berhubungan
dengan konsumsi ikan, ikan laut dan daging mamalia laut.
Racun diproduksi sebab proses pengalengan yang tidak tepat, makanan basa, makanan
yang dipasturisasi dan makanan yang diolah sembarangan dan disimpan tanpa
memakai pendingin, terutama dengan pengepakan kedap udara. Racun dihancurkan
dengan cara direbus, untuk menonaktifkan spora dibutuhkan suhu yang lebih tinggi.
72
Racun tipe E dapat diproduksi pada suhu serendah 3oC (37,4oF), suhu yang lebih rendah
dari suhu lemari es.
Banyak kasus botulisme anak disebabkan sebab tipe A atau B. Beberapa kasus (racun
tipe E dan F) dilaporkan berasal dari spesies clostridium neurotoksigenik, seperti C.
butyricum dan C. baratii.
3. Distribusi penyakit :
Tersebar di seluruh dunia, secara sporadis. KLB yang terjadi didalam keluarga dan
warga terutama terjadi sebab produk makanan dibuat dengan cara-cara yang tidak
menghancurkan spora dan memberi peluang terbentuknya racun. Botulisme jarang
diakibatkan oleh produk komersial; KLB terjadi sebab kontaminasi melalui kaleng yang
rusak selama proses pengalengan. Kasus botulisme saluran pencernaan dilaporkan dari 5
benua; Asia, Australia, Eropa dan Amerika Selatan dan Utara. Insidens yang pasti dan
penyebaran dari botulisme saluran pencernaan tidak diketahui sebab kesadaran para
dokter yang masih rendah dan fasilitas laboratorium untuk diagnostik sangat terbatas,
seperti yang dilaporkan dalam review, kasus botulisme saluran pencernaan yang terjadi di
California antara tahun 1976, dan awal tahun 1999. Dari 1700 total kasus secara global,
1400 kasus terjadi di AS dengan hampir separuhnya terjadi di California. Di seluruh dunia
sekitar 150 kasus dilaporkan dari di Argentina; kurang dari 20 kasus di Australia dan
Jepang; kurang dari 15 kasus di Kanada; dan sekitar 30 kasus di Eropa (kebanyakan di
Italia dan Inggris) serta beberapa kasus tersebar di Chili, Cina, Israel dan Yaman.
4. Reservoir
Spora tersebar di atas tanah di seluruh dunia, kadang-kadang ditemukan pada produk
pertanian termasuk madu. Spora juga ditemukan pada lapisan sedimen di dasar laut dan di
saluran pencernaan binatang, termasuk ikan.
5. Cara penularan
Mengkonsumsi makanan yang mengandung toksin botulinum akan mengakibatkan
Botulisme terutama sebab makanan ini tidak dimasak dengan suhu yang cukup
tinggi selama pengawetan atau tidak dimasak sebelum dikonsumsi. Di AS keracunan
kebanyakan terjadi sebab mengkonsumsi sayur dan buah-buahan yang dikalengkan
dirumah; daging jarang sebagai perantara penyakit ini. Beberapa KLB yang baru-baru ini
terjadi setelah mengkonsumsi ikan yang tidak dibersihkan ususnya. Kasus botulisme juga
pernah dilaporkan terjadi sehabis makan kentang panggang dan potpies yang tidak
ditangani dengan baik. KLB yang terjadi baru-baru ini dilaporkan sehabis memakan
bawang merah, dua lainnya yaitu sehabis mengkonsumsi acar dan bawang putih dalam
minyak. Beberapa KLB bersumber dari restoran. Sayuran lain seperti tomat, yang
sebelumnya di anggap terlalu asam untuk berkembang biaknya C. botulinum, ternyata
dapat menjadi ancaman sebagai sumber keracunan makanan yang dikalengkan di rumah.
Di Kanada dan Alaska, KLB terjadi sebab mengkonsumsi daging anjing laut, salmon
asap dan telur salmon yang difermentasi. Di Eropa sebagian besar kasus terjadi sebab
makan sosis dan daging panggang atau daging olahan; di Jepang, sebab ikan laut.
Perbedaan ini disebabkan sebagian sebab perbedaan dalam penggunaan natrium nitrit
untuk mengawetkan daging di AS.
73
Kasus Botulisme luka kadang kala terjadi sebagai akibat dari kontaminasi luka dengan
tanah ketika merawat patah tulang terbuka. Botulisme luka dilaporkan terjadi diantara
para pecandu Napza (terutama abses kulit akibat injeksi subkutan dari pecandu heroin dan
juga dari sinusitis para penghisap kokain).
Botulisme saluran pencernaan terjadi sebab seseorang menelan spora botulinum yang
kemudian tumbuh berkembang di usus besar, bukan sebab menelan racun yang telah
terbentuk. Sumber spora bagi anak-anak berasal dari berbagai sumber termasuk makanan
dan debu. Madu, yang diberikan pada bayi, dapat mengandung spora C. botulinum.
6. Masa inkubasi.
Gejala neurologis dari botulisme yang ditularkan oleh makanan biasanya muncul dalam
12 – 36 jam, kadang-kadang beberapa hari, sesudah mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi. Pada umumnya, semakin pendek masa inkubasi, semakin berat
penyakitnya dan semakin tinggi CFR-nya. Masa inkubasi dari botulisme saluran
pencernaan pada bayi tidak diketahui, sebab kapan saat bayi menelan makanan yang
terkontaminasi tidak diketahui.
7. Masa penularan.
Walaupun Racun C. botulisnum dan bakterinya dikeluarkan bersama tinja pada kadar
yang tinggi (ca. 106 organisme/g) oleh pasien botulisme saluran pencernaan selama
beberapa minggu hingga berbulan-bulan sesudah onset penyakit, namun tidak ada bukti
terjadi penularan dari orang ke orang. Pasien Botulisme yang ditularkan melalui makanan
biasanya mengeluarkan racun dan bakteri dalam jangka waktu yang lebih pendek.
8. Kekebalan dan kerentanan.
Semua orang rentan. Hampir semua pasien dengan botulisme pencernaan yang di rawat
dirumah sakit berusia antara 2 minggu dan 1 tahun; 94 % berusia kurang dari 6 bulan, dan
median umur penderita yaitu 13 minggu. Kasus botulisme saluran pencernaan terjadi di
semua ras dan kelompok etnik. Orang dewasa yang memiliki gangguan buang air besar
yang mengarah pada gangguan flora usus (atau flora usus yang secara tidak sengaja
terganggu sebab pengobatan antibiotik untuk tujuan lain) bisa rentan mengidap botulisme
saluran pencernaan.
9. Cara pemberantasan.
A. Tindakan pencegahan
1). Lakukan pengawasan yang ketat terhadap proses pengolahan makanan dalam
kaleng serta makanan yang diawetkan lainnya.
2). Beri penyuluhan kepada mereka yang bekerja pada proses pengolahan makanan,
baik pengolahan makanan kaleng rumah tangga maupun kepada mereka yang
bekerja pada proses pengawetan makanan. Materi penyuluhan yaitu tentang
teknik pengolahan makanan yang benar terutama berkaitan dengan masalah waktu,
tekanan dan suhu yang tepat untuk menghancurkan spora.
Begitu pula materi penyuluhan berisi pengetahuan tentang teknik penyimpanan
makanan yang belum diolah secara sempurna didalam lemari es dan cara-cara
memasak dan mengaduk dengan benar sayur-sayuran yang akan dikalengkan
74
sebagai industri rumah tangga. Diperlukan waktu paling sedikit selama 10 menit
untuk menghancurkan toksin botulinum.
3). C. botulinum kadang-kadang bisa atau tidak bisa memicu tutup kaleng
menggembung dan menimbulkan bau. Bahan pencemar lain juga dapat
memicu tutup kaleng atau botol menggembung. Wadah yang menggembung
sebaiknya tidak dibuka, dan makanan yang berbau sebaiknya tidak dimakan atau
dicicipi. Makanan kaleng yang sudah menggembung sebaiknya dikembalikan ke
penjualnya tanpa dibuka.
4). Walaupun spora C. botulinum dapat dijumpai dimana saja, makanan yang
diketahui tercemar seperti madu, sebaiknya tidak diberikan kepada bayi.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Kasus pasti dan yang dicurigai wajib
dilaporkan di kebanyakan negara dan negara bagian, Kelas 2A (lihat tentang
pelaporan penyakit menular); diperlukan laporan segera melalui telepon.
2). Isolasi: tidak diperlukan, namun cucilah tangan sesudah menangani popok yang
tercemar.
3). Disinfeksi serentak: makanan yang tercemar sebaiknya di detoksifikasi dengan
cara merebusnya sebelum dibuang; atau wadahnya dihancurkan dan di kubur
dalam-dalam di dalam tanah untuk mencegah makanan ini dimakan oleh
binatang. Barang-barang yang terkontaminasi sebaiknya disterilisasi dengan cara
merebus atau dengan disinkfeksi klorin untuk menonaktifkan racun yang tersisa.
Lakukan pembuangan tinja yang saniter dari penderita bayi. Pembersihan terminal.
4). Karantina : tidak ada
5). Manajemen kontak : tidak dilakukan untuk kontak langsung biasa. Terhadap
mereka yang diketahui telah mengkonsumsi makanan yang tercemar harus diberi
pencahar, dilakukan lavage lambung dan enema tinggi dan di observasi dengan
ketat. Keputusan untuk memberikan pengobatan presumptive dengan antitoksin
polyvalent (equine AB atau ABE) bagi orang yang terpajan namun tidak
menunjukkan gejala harus dipertimbangkan benar : harus diperhitungkan manfaat
pemberian antitoksin di awal kejadian (dalam waktu 1 – 2 hari sesudah
mengkonsumsi makanan tercemar) terhadap risiko efek samping yang berat sebab
peka terhadap serum kuda.
6). Investigasi kontak dan sumber racun: selidiki makanan apa yang dikonsumsi oleh
penderita, kumpulkan semua makanan yang dicurigai untuk pemeriksaan
laboratorium yang semestinya dan kemudian dimusnahkan dengan cara yang
benar. Cari kasus-kasus tambahan untuk memastikan bahwa telah terjadi KLB
botulisme yang ditularkan oleh makanan.
7). Pengobatan spesifik: jika terjadi botulisme berikan sesegera mungkin 1 vial
antiracun botulinum polyvalent (AB atau ABE) intravena. Anti racun ini tersedia
di CDC, Atlanta, dan dapat diminta melalui departemen kesehatan negara bagian
sebagai bagian dari pengobatan rutin (nomor telpon darurat di CDC untuk
botulisme pada jam kerja yaitu : 404-639-2206 dan sesudah jam kerja atau hari
libur : 404-2888). Serum sebaiknya diambil untuk mengidentifikasi toksin spesifik
sebelum anti toksin di berikan, namun anti toksin sebaiknya jangan ditunda
pemberiannya sebab menunggu hasil tes. Yang terpenting dilakukan yaitu akses
75
secepatnya ke ICU untuk antisipasi kemungkinan terjadinya kegagalan
pernapasan, yang dapat memicu kematian, sehingga perlu ditangani dengan
cepat dan tepat. Untuk botulisme luka, selain anti toksin, luka sebaiknya di
bersihkan (debridemen) dan atau di lakukan drainase, diberikan antibiotik yang
tepat (misalnya penisilin).
Pada botulisme saluran pencernaan, perawatan supportive yang cermat sangat penting.
Anti toksin botulinum serum kuda tidak digunakan sebab dikhawatirkan terjadi
renjatan anafilaksis. Imunoglobulin untuk botulisme (Botulinal Immune, BIG) saat ini
tersedia hanya untuk botulismus pada bayi yang telah disetujui oleh FDA dengan label
Protokol penelitian penggunaan obat baru dari Depertemen Kesehatan California.
Informasi tentang BIG untuk pengobatan empiris terhadap mereka yang dicurigai
menderita botulisme saluran pencernaan bayi bisa diperoleh dari Departemen
Kesehatan melalui Saluran 24 jam pada nomor 510-540-2646. Pemberian Antibiotik
tidak berpengaruh pada perjalanan penyakit dan pemberian aminoglikosid justru bisa
membuat keadaan lebih buruk oleh sebab adanya blokade neuromuskuler. Dengan
demikian antibiotik sebaiknya digunakan hanya untuk infeksi sekunder. Bantuan
pernafasan mungkin diperlukan.
C. Penanggulangan wabah.
Bila terjadi kasus botulisme, sebaiknya segera diteliti apakah telah terjadi KLB yang
menimpa keluarga atau orang-orang lain yang mengkonsumsi makanan yang sama.
Makanan yang diawetkan dan dikalengkan dalam industri rumah tangga dan dicurigai
tercemar sebaiknya disingkirkan. Walaupun makanan dari restoran atau makanan
olahan komersial yang didistribusikan secara luas, kadang-kadang terbukti sebagai
sumber keracunan, dan ini jauh lebih mengancam kesehatan warga . Bahkan
beberapa KLB yang dilaporkan terjadi baru-baru ini melibatkan jenis makanan yang
tidak biasa, dan secara teoritis jenis makanan ini tidak mungkin sebagai sumber
KLB. Pada saat produk makanan tertentu terbukti tercemar melalui pemeriksaan
laboratorium atau melalui penyelidikan epidemiologis, maka produk makanan ini
harus ditarik segera dan lacak orang-orang yang mengkonsumsi makanan yang sama
dan makanan yang tersisa dari produk yang sama. Sisa makanan dari produk yang
sama mungkin tercemar, dan jika ditemukan harus dikirim untuk pemeriksaan
laboratorium. Kumpulan sera dan cairan lambung serta tinja dari pasien, atau bila
perlu dari orang yang terpajan namun tidak sakit dan dikirim segera ke laboratorium
yang telah di tunjuk sebelum orang-orang ini diberi antitoksin.
D. Implikasi bencana : tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut :
Produk komersial biasanya di pasarkan secara luas, oleh sebab itu perlu ada upaya
lebih lanjut untuk menemukan dan menguji makanan yang tercemar. KLB Common
Source lintas batas negara pernah terjadi oleh sebab distribusi produk makanan yang
tercemar sangat luas.
76
F. Tindakan bioterorisme :
Toksin botulinum dapat dengan mudah digunakan oleh teroris, walaupun ancaman
terbesar yaitu melalui udara, ancaman yang lebih mudah yaitu melalui makanan
dan minuman. Kejadian keracunan botulisme, walaupun hanya satu kasus, bila tidak
ditemukan sumber yang jelas, yaitu makanan yang tidak ditangani dengan baik,
sebaiknya dicurigai kemungkinan adanya penggunaan racun botulinum secara sengaja.
Semua kasus seperti ini harus segera dilaporkan kepada pihak yang berwajib sehingga
investigasi yang tepat dapat dilakukan secepatnya.
BRUCELLOSIS ICD-9 023; ICD-10 A23
(Demam Undulant, Demam Malta, Demam Mediteran)
1. Identifikasi.
Penyakit bakteri sistemik dengan gejala akut atau insidius, ditandai dengan demam terus
menerus, intermiten atau tidak tentu dengan jangka waktu yang bervariasi. Gejala yang
timbul berupa sakit kepala, lemah, berkeringat, menggigil, arthralgia, depresi, kehilangan
berat badan dan sakit seluruh tubuh. Infeksi supuratif terlokalisir dari organ-organ
termasuk hati dan ginjal bisa terjadi; gejala sub klinis dan infeksi kronis yang terlokalisir
juga bisa terjadi. Penyakit ini bisa berlangsung beberapa hari, beberapa bulan atau
kadang-kadang bertahun-tahun jika tidak diobati dengan tepat. Komplikasi osteoartikuler
bisa di temukan pada 20 – 60 % kasus. Manifestasi pada sendi yang paling sering yaitu
sakroiliitis. Infeksi saluran kemih dilaporkan terjadi pada 2 – 20 % kasus dan yang paling
umum yaitu orkitis dan epididimitis. Biasanya terjadi penyembuhan namun bisa juga
terjadi kecacatan. “Case Fatality Rate” dari bruselosis sekitar 2 % atau kurang dan
biasanya sebagai akibat dari endokarditis oleh infeksi Brucella melitensis. Kompleks
gejala neurosis kadang-kadang dikelirukan dengan bruselosis kronis.
Diagnosa laboratorium dibuat dengan mengisolasi bakteri Pemicu infeksi dari spesimen
darah, sumsum tulang atau jaringan lain, atau juga dari discharge penderita. Pemeriksaan
serologis perlu dilakukan di laboratorium yang berpengalaman, untuk menunjukkan
adanya kenaikan titer antibodi pair sera. Interpretasi hasil pemeriksaan serologis pada
pasien kambuh dan kronis sangat sulit sebab titer antibodi biasanya rendah. Pemeriksaan
untuk mengukur antibodi IgG mungkin membantu untuk penegakan diagnosa pada kasus
kronis, sebab pada infeksi aktif ada kenaikan titer IgG. Teknik pemeriksaan serologis
spesifik diperlukan untuk deteksi antibodi Brucellosis canis yang tidak bereaksi silang
dengan spesies lain.
2. Pemicu penyakit.
Bruselosis disebabkan oleh Brucellosis abortus, biovarians 1 – 6 dan 9, B. melitensis
biovarians 1 – 3, B. suis, biovarians 1 – 5 dan B. canis.
77
3. Distribusi penyakit.
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama di negara Mediteran, Eropa, Afrika Timur,
negara-negara timur Tengah, India, Asia Tengah, Meksiko dan Amerika Selatan. Sumber
infeksi dan organisme, Pemicu penyakit bervariasi tergantung letak geografis.
Bruselosis terutama muncul sebagai penyakit akibat kerja, yaitu menimpa mereka yang
bekerja menangani ternak yang terinfeksi dan jaringannya, seperti petani, dokter hewan
dan pekerja di tempat pemotongan hewan. Penyakit ini banyak menyerang laki-laki.
Kasus-kasus sporadis dan KLB terjadi pada orang yang mengkonsumsi susu mentah dan
produk susu (terutama keju lunak yang tidak dipasturisasi) dari sapi, domba dan kambing.
Kasus-kasus infeksi B. canis terbatas terjadi pada pekerja yang merawat anjing. Penderita
yang dilaporkan terjadi di AS, kurang dari 120 kasus tiap tahunnya; diseluruh dunia,
penyakit ini terkadang tidak diketahui dan tidak dilaporkan.
4. Reservoir.
Sapi, babi, kambing dan domba bertindak sebagai reservoir. Infeksi bisa terjadi pada
bison, rusa besar, karibu dan beberapa spesies dari rusa. B. canis kadang-kadang menjadi
masalah di tempat pemeliharaan anjing, sebagian kecil anjing peliharaan dan sebagian
besar anjing liar terbukti memiliki titer antibody terhadap B. canis. Anjing hutan juga
terbukti telah terinfeksi.
5. Cara penularan :
Penularan terjadi sebab kontak dengan jaringan, darah, urin, sekrit vagina, janin yang
digugurkan, dan terutama plasenta (melalui luka di kulit) dan sebab mengkonsumsi susu
mentah dan produk susu (keju yang tidak di pasturisasi) dari binatang yang terinfeksi.
Penularan melalui udara oleh binatang terjadi di kandang, dan pada manusia terjadi di
laboratorium dan tempat pemotongan hewan. Beberapa kasus penularan terjadi sebab
kecelakaan sebab tertusuk jarum suntik pada saat menangani vaksin brusella strain 19,
risiko yang sama dapat terjadi pada waktu menangani vaksin Rev-1.
6. Masa inkubasi.
Bervariasi dan sangat sulit dipastikan, biasanya sekitar 5 – 60 hari, umumnya 1 – 2 bulan,
kadang-kadang beberapa bulan.
7. Masa penularan.
Tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang.
8. Kekebalan dan kerentanan :
Berat dan lamanya sakit tergantung dari berbagai hal. Lamanya imunitas yang didapat
tidak diketahui dengan jelas.
9. Cara-cara pemberantasan.
Tindakan pokok dalam pengendalian bruselosis pada manusia yaitu dengan cara
memberantas penyakit pada binatang rumah.
78
A. Tindakan pencegahan
1). Beri penyuluhan kepada warga (terutama turis) untuk tidak minum susu yang
tidak dipasturisasi atau mengkonsumsi produk yang dibuat dari susu yang tidak
diolah atau dipasturisasi.
2). Beri penyuluhan kepada petani dan pekerja di tempat pemotongan hewan, pabrik
pengolahan daging dan toko daging tentang bagaimana penyakit ini terjadi serta
risiko jika menangani daging dan produk binatang yang potensial terinfeksi dan
cara pengoperasian yang tepat dari tempat pemotongan hewan untuk mengurangi
pajanan (terutama ventilasi yang memadai).
3). Beri penyuluhan kepada para pemburu untuk memakai pelindung (seperti
sarung tangan, baju pelindung) yang dipakai sewaktu manangani hasil buruan,
seperti babi hutan dan mengubur sisanya.
4). Selidiki cara penularan yang terjadi diantara binatang ternak dengan tes serologis
dan dengan tes ELISA atau uji cincin untuk susu sapi; musnahkan binatang yang
terinfeksi dengan cara dipisahkan atau di sembelih. Jika infeksi terjadi pada babi
maka seluruh kelompok babi ini harus dipotong. Didaerah dengan prevalensi
tinggi, berikan imunisasi kepada kambing muda dan domba dengan vaksin hidup
yang dilemahkan dari strain Rev-1 B. melitensis. Sejak tahun 1996, vaksin RB 51
rekombinan digunakan secara besar-besaran mengggantikan strain 19 untuk
imunisasi ternak terhadap B. abortus. Vaksin RB 51 kurang virulen untuk manusia
dibandingkan strain 19.
5). Walaupun hasilnya belum diketahui melalui uji klinis, orang yang tidak sengaja
tertusuk jarum suntik pada waktu menangani strain I9 atau Rev-1 dianjurkan
diberikan doksisiklin 100 mg dua kali sehari dikombinasikan dengan rifampin 600
– 900 mg sekali sehari selama 21 hari; untuk inokulasi konjungtiva, profilaksis
sebaiknya diberikan selama 4 – 5 minggu.
6). Lakukan pasturisasi terhadap susu dan produk susu dari sapi, kambing dan domba.
Merebus susu hasilnya cukup efektif jika pasturisasi tidak mungkin dilakukan.
7). Hati-hati pada saat menangani dan membuang plasenta, discharge dan janin dari
binatang yang keguguran. Lakukan disinfeksi tempat-tempat yang terkontaminasi.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar :
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat : penderita beruselosis wajib
dilaporkan di kebanyakan negara bagian dan negara di dunia, Kelas 2B (lihat
tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi: Lakukan tindakan kewaspadaan universal terhadap lesi yang berair dan
sekret, jika ada luka. Jika tidak ada lesi, tidak perlu tindakan kewaspadaan
universal.
3). Disinfeksi serentak: terhadap discharge purulen.
4). Karantina: tidak perlu dilakukan.
5). Imunisasi kontak: tidak perlu dilakukan.
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Cari sumber infeksi individual atau yang
bersifat “Common Source”, biasanya kambing peliharaan, sapi atau babi, susu
mentah atau produk susu dari sapi dan kambing. Lakukan pemeriksaan terhadap
binatang yang dicurigai terinfeksi dan musnahkan binatang yang positif .
79
7). Pengobatan spesifik: kombinasi rifampin (600-900 mg per hari) atau streptomisin
(1 g per hari) dengan doksisiklin (200 mg per hari) paling sedikit selama 6 minggu
yaitu “drug of choice”. Bagi penderita yang berat, penderita toksis, kortikoseroid
mungkin menolong. Tetrasiklin sebaiknya jangan diberikan pada anak-anak
dibawah 7 tahun untuk menghindari bercak di gigi. TMP-SMX efektif, namun
relaps sering terjadi (30%). Relaps terjadi sekitar 5% dari penderita yang diobati
dengan doksisiklin dan rifampisin, hal ini terjadi lebih disebabkan sebab putus
berobat daripada sebab resistensi; dalam hal ini penderita sebaiknya diobati
dengan regimen dasar. Arthritis mungkin terjadi pada kasus yang kambuh kembali.
C. Penanggulangan wabah:
Cari media pembawa kuman, biasanya susu mentah atau produk susu, terutama keju,
dari hewan yang terinfeksi. Tarik kembali produk yang diduga terinfeksi; hentikan
produksi dan distribusi produk ini kecuali tersedia fasilitas pasturisasi.
D. Implikasi bencana : Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut :
Lakukan pengawasan ketat terhadap binatang ternak dan produk binatang import
dalam perdagangan lebih lanjut . Manfaatkan pusat kerjasama WHO.
CAMPYLOBACTER ENTERITIS ICD-9 008.4;ICD-10 A04.5
(Vibrionic enteritis)
1. Identifikasi.
Merupakan penyakit enterik bakteri zoonotik akut yang spektrumnya bervariasi. Ditandai
dengan diare, sakit pada abdomen, malaise, demam, mual dan muntah. Lama sakit
biasanya 2 – 5 hari dan berlangsung tidak lebih dari 10 hari. Penyakit berlangsung lebih
lama terjadi pada orang dewasa, relaps dapat juga terjadi. Darah nampak maupun tersamar
ditemukan bersama-sama dengan lendir pada tinja cair. Bisa juga terjadi sindroma seperti
tifus atau arthtritis reaktif, namun kejang demam, sindroma Guillain-Barre, atau
meningitis jarang ditemukan. Beberapa kasus, menunjukkan gejala mirip dengan
apendisitis. Banyak kasus tidak menunjukkan gejala.
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya organisme dalam tinja dengan memakai
media selektif, yang dikurangi tekanan oksigennya pada temperatur inkubasi 43oC
(109oF). Ditemukannya mikroorganisme dalam tinja berbentuk kurva, spiral atau batang
berbentuk S bergerak, yang mirip dengan Vibrio cholerae diperiksa dengan memakai
metode fase kontras atau mikroskopis medan gelap, cara ini dalam waktu singkat dapat
membuktikan adanya Campylobacter enteritis.
80
2. Pemicu penyakit.
Umumnya sebagai Pemicu yaitu Campylobacter jejuni, dan yang jarang yaitu , C.
coli. Ada lebih dari 20 biotipe dan serotipe; identifikasi tipe campylobacter bermanfaat
untuk tujuan penyelidikan epidemiologis. Organisme Campylobacter lain, seperti
C.laridis dan C. fetus ssp, juga memiliki hubungan dengan kejadian diare pada hospes
normal.
3. Distribusi penyakit.
Organisme ini sebagai Pemicu utama diare di seluruh dunia dan menyerang semua
umur, memicu 5 – 14 % kejadian diare di seluruh dunia. Organisme ini sebagai
Pemicu utama diare yang menyerang para turis. Di negara maju, anak-anak (balita) dan
dewasa muda paling banyak diserang. Di negara berkembang, penyakit ini paling banyak
diderita anak di bawah 2 tahun, terutama bayi. Sumber utama Pemicu penyakit biasanya
ada hubungannya dengan makanan, terutama ayam yang tidak dimasak dengan baik, susu
yang tidak dipasturisasi dan air yang tidak diklorinasi, ini terjadi biasanya pada musim
gugur dan musim semi. Jumlah penderita terbanyak yang terjadi sporadis di daerah
beriklim sedang biasanya pada bulan-bulan saat suhu udara lebih hangat.
4. Reservoir.
Binatang, biasanya unggas dan hewan ternak. Anak anjing, anak kucing, hewan peliharaan
lain, babi, domba, tikus dan burung bisa menjadi sumber infeksi bagi manusia.
Kebanyakan daging unggas mentah terkontaminasi C. jejuni.
5. Cara penularan.
Penularan terjadi sebab menelan organisme yang terdapat dalam daging unggas dan babi
yang tidak dimasak dengan baik, air dan makanan yang terkontaminasi, atau susu mentah;
sebab kontak dengan binatang peliharaan yang terinfeksi (terutama anak anjing dan anak
kucing), binatang ternak atau bayi yang terinfeksi. Kontaminasi pada susu sering terjadi
sebab kontaminasi oleh tinja hewan ternak “carrier”; manusia dan makanan dapat
terkontaminasi dari unggas, terutama dari papan alas pemotong daging. Penularan dari
orang ke orang biasanya bukan disebabkan oleh C. jejuni.
6. Masa inkubasi.
Biasanya 2 – 5 hari, dengan kisaran 1 – 10 hari tergantung dari jumlah mikroorganisme
yang tertelan.
7. Masa penularan.
Orang yang terinfeksi akan tetap menular sepanjang masa infeksi; biasanya berlangsung
selama beberapa hari hingga beberapa minggu. Penderita yang tidak diobati dengan
antibiotika bisa menjadi sumber penularan selama kurang lebih 2 – 7 minggu. Masa
sebagai carrier sementara secara epidemiologis kurang begitu penting kecuali pada bayi
dan mereka yang buang air besar terus menerus. Infeksi kronis pada unggas dan binatang
lain merupakan sumber utama infeksi.
81
8. Kerentanan dan kekebalan.
Mekanisme timbulnya imunitas tidak diketahui dengan jelas, namun imunitas secara
serologis dapat dibuktikan timbul setelah terjadi infeksi. Di negara berkembang,
kebanyakan orang kebal pada usia 2 tahun pertama kehidupannya.
9. Cara–cara pemberantasan :
A. Cara-cara pencegahan
1) Gunakan bahan makanan yang telah diradiasi atau masaklah dengan seksama
semua bahan makanan yang bersumber dari binatang, terutama unggas. Hindari
kontaminasi ulang oleh bahan makanan mentah didapur seusai masak.
2) Lakukan pasturisasi terhadap semua persediaan susu, dan lakukan klorinasi
terhadap persediaan air atau rebuslah air minum.
3) Lakukan tindakan higiene – sanitasi yang baik pada kandang ternak (ganti sepatu
boot dan baju, bersihkan secara menyeluruh kandang dan lakukan disinfeksi)
untuk mencegah menyebarnya organisme pada unggas dan binatang ternak.
4) Temukan, cegah dan berantas infeksi Campylobacter pada binatang ternak dan
binatang peliharaan. Anak anjing dan anak kucing dengan diare bisa menjadi
sumber infeksi; eritromisin bisa digunakan untuk mengobati infeksi yang terjadi,
hal ini dapat mengurangi risiko penularan pada anak-anak. Beri penyuluhan
kepada warga tentang pentingnya mencuci tangan sesudah kontak dengan
binatang.
5) Kurangi kontak dengan unggas dan kotorannya; cuci tangan dengan sabun sehabis
kontak dengan unggas.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar:
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; merupakan keharusan untuk
melaporkan penderita campylobacter di beberapa negara bagian dan sebagaian
besar negara di dunia, kelas 2B ( lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi : terapkan tindakan kewaspadaan enterik untuk pasien yang dirawat di
rumah sakit. Orang yang menunjukkan gejala penyakit ini dilarang menangani
makanan atau merawat orang sakit di rumah sakit, lembaga pewarga an dan
tempat penitipan anak. Orang yang baru sembuh namun tinjanya masih positif
dianjurkan untuk dipisahkan dari orang lain jika kebiasaan cuci tangan dari yang
bersangkutan kita ragukan. Tekankan pentingnya untuk mencuci tangan dengan
sabun dan air mengalir sehabis buang air besar dan sebelum menjamah makanan.
3). Disinfeksi serentak: dilakukan terhadap tinja dan barang-barang lain yang
tercemar. Di warga , yang memiliki sistem pembuangan limbah yang baik dan
modern, tinja dapat dibuang langsung kedalam saluran pembuangan tanpa
disinfeksi awal. Lakukan disinfeksi menyeluruh.
4). Karantina : tidak diperlukan.
5). Imunisasi kontak : tidak vaksin
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : investigasi hanya bermanfaat untuk
mendeteksi KLB; investigasi KLB yang dilakukan dan diarahkan untuk
mengidentifikasi makanan yang tercemar; air atau susu yang mungkin menjadi
sumber penularan.
82
7). Pengobatan spesifik : tidak ada pengobatan spesifik kecuali pemberian cairan
rehidrasi dan mengganti elektrolit yang hilang (lihat Cholera, 9B7). C. jejuni atau
C. coli pada percobaan invitro sensitif terhadap sejumlah antibiotika seperti
eritromisin, tetrasiklin dan kuinolon. Namun obat-obatan ini hanya bermanfaat jika
diberikan pada awal sakit dan pada saat dimana agen Pemicu penyakit sudah
diketahui atau bermanfaat untuk mengeliminasi “carrier”.
C. Penanggulangan wabah :
Jika muncul sejumah kasus, seperti terjadi di dalam kelas, sebaiknya dilaporkan segera
ke instansi kesehatan setempat, kemudian lakukan investigasi untuk mencari dan
menemukan sumber penularan.
D. Implikasi bencana :
Risiko munculnya KLB bisa terjadi pada pemberian makanan secara massal seperti
pada tempat penampungan pengungsi dalam lingkungan sanitasi yang jelek.
E. Tindakan lebih lanjut :
Manfaatkan pusat kerjasama WHO.
CANDIDIASIS ICD-9 112;ICD-10 B37
(Moniliasis, Trush, Candidosis).
1. Identifikasi
Mikosis yang biasanya menyerang lapisan superfisial dari kulit atau selaput lendir yang
secara klinis nampak sebagai “trush”, intertrigo, vulvovaginitis, paronychia atau
onychomycosis. Ulkus atau pseudo-membran bisa terbentuk di esofagus, lambung atau
usus. Candidemia paling sering terjadi sebagai akibat dari kateterisasi intravaskular dan
bisa menimbulkan lesi diberbagai organ tubuh seperti pada ginjal, limpa, paru-paru, hati,
mata, selaput otak, otak dan kelep jantung atau sekitar katup jantung prostetik.
Diagnosa dibuat dengan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium maupun gejala klinis
dari candidiasis. Hasil pemeriksaan laboratorium yang paling penting yaitu jika
ditemukan dibawah mikroskop pseudohyphae dan atau sel ragi pada jaringan yang
terinfeksi atau pada cairan tubuh. Konfirmasi kultur penting, namun isolasi yang dilakukan
dari spesimen yang diambil dari dahak, pencucian bronkial, tinja, urin, selaput lendir, kulit
atau luka tidak membuktikan adanya hubungan sebab-akibat dari penyakit. Infeksi
orofaringeal yang berat atau berulang pada orang dewasa dengan sebab yang tidak jelas
bisa mengarah pada kemungkinan infeksi HIV.
2. Pemicu penyakit
Candida albicans, C. tropicalis, C. dubliniensis dan kadang-kadang spesies lain dari
Candida. Candida (Torulopsis) glabrata dibedakan dari candida lain Pemicu
83
candidiasis, yaitu infeksi dengan C. Torulopsis kurang membentuk pseudohyphae pada
jaringan.
3. Distribusi penyakit.
Tersebar di seluruh dunia. Jamur C. albicans kadang-kadang merupakan flora normal
pada tubuh manusia.
4. Reservoir : Manusia.
5. Cara penularan
sebab kontak sekret atau ekskret dari mulut, kulit, vagina dan tinja, dari penderita
ataupun “carrier”, atau tertulari melalui jalan lahir pada saat bayi dilahirkan; penularan
endogen.
6. Masa inkubasi: Bervariasi, 2 – 5 hari untuk lesi mulut pada anak.
7. Masa penularan : Diasumsikan menular ketika ditemukan lesi.
8. Kekebalan dan kerentanan
Hampir selalu ditemukan spesies Candida didalam dahak, tenggorokan, tinja dan urin
tanpa ada gejala klinis sebagai bukti rendahnya patogenisitas candida dan sebagai bukti
adanya imunitas yang luas di kalangan warga . Lesi mulut banyak ditemukan,
biasanya ringan dan muncul pada minggu-minggu pertama sesudah kelahiran. Gejala
klinis muncul pada saat daya tahan tubuh hospes rendah. Kondisi lokal tubuh bagian
tertentu turut mempengaruhi munculnya candidiasis superfisialis seperti interdigital
intertrigo dan paronikia pada tangan yang terkena banyak air (pekerja pengalengan
makanan dan binatu) dan munculnya intertrigo pada kulit yang lembab dari orang-orang
yang gemuk. Lesi berulang pada kulit dan erupsi mukosa sering terjadi.
Diantara faktor sistemis mencolok yang menjadi dasar munculnya kandidiasis superfisialis
yaitu kencing manis, pengobatan dengan antibiotik berspektrum luas dalam jangka
waktu panjang dan infeksi HIV. Wanita pada kehamilah trimester 3 lebih mudah terkena
vulvoganinal candidiasis. Faktor yang mempengaruhi terjadinya candidiasis sistemik
antara lain imunosupresi, pemasangan kateter intravena permanen, netropenia, kanker
darah, dan bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Candidiasis pada saluran kencing
biasanya timbul sebagai komplikasi dari penggunaan kateter jangka panjang pada
kandung kencing dan pelvis renalis. Kebanyakan orang dewasa dan anak-anak usia lebih
tua mengalami hipersensitivitas kulit yang tertunda terhadap jamur dan sebab yang
bersangkutan memiliki antibodi humoral.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan :
Lakukan deteksi dini dan pengobatan dini terhadap infeksi lokal pada mulut, esofagus
atau kandung kencing bagi mereka yang memiliki faktor predisposisi sistemik (lihat
butir 8 diatas) untuk mencegah terjadinya penyebaran sistemik. Kemoprofilaksis
dengan fluconazole mengurangi kejadian candidiasis pada bagian dalam tubuh, 2
bulan pertama setelah transplantasi alogenik sum-sum tulang.
84
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Laporan resmi biasanya tidak perlu
disampaikan, kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular)
2. Isolasi :Tidak diperlukan.
3. Disinfeksi serentak : lakukan disinfeksi terhadap sekret dan benda-benda yang
terkontaminasi.
4. Karantina : Tidak diperlukan.
5. Imunisasi kontak :Tidak diperlukan.
6. Investigasi kontak dan sumber infeksi : Tidak bermanfaat pada kejadian kasus
yang sporadis.
7. Pengobatan spesifik :
Memperbaiki faktor-faktor yang mendasari munculnya candidiasis sangat membantu
pengobatan. Misalnya melepas kateter intravena. Pemberian nistatin topikal atau
derivat azole (Miconazole, Clotrimazole, Ketoconazole, Fluconazole) sangat
bermanfaat untuk berbagai bentuk candidiasis superfisialis. Clotimazole oral
(Mycerex®) berupa tablet isap atau larutan Nystatin efektif untuk pengobatan lesi
mulut. Suspensi Itraconazole (Sporanox®) atau Fluconazole (Diflucan®) – efektif
untuk candidiasis oral dan esefagus. Infeksi vagina bisa diobati dengan Fluconazole
oral atau Clotimazole topikal, Miconazole, Butoconazole, terconazole, tioconazole
atau nystatin. Amphotericine B (Fungizone®) IV, dengan atau tanpa 5-fluorocytosine,
yaitu obat pilihan untuk visceral candidiasis atau candidiasis invasive. Preparat lipid
Amphotericin B mungkin juga efektif.
C. Tindakan penanggulangan wabah:
KLB sering terjadi sebab cairan infus yang terkontaminasi dan adanya bayi yang
menderita lesi mulut di ruang perawatan bayi baru lahir. Disinfeksi serentak dan
pembersihan secara menyeluruh seharusnya diterapkan sama seperti yang dilakukan
pada disinfeksi KLB diare di rumah sakit. (lihat diare, bagian IV, 9A).
D. Implikasi bencana : Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
CAPILLARIASIS
Tiga jenis cacing dari superfamili Trichuroidea, genus Capillaria, memicu penyakit
pada manusia.
85
I. CAPILLARIASIS sebab CAPILLARIA PHILIPPINENSIS
ICD-9 127.5; ICD-10 B81.1
(Intestinal capillariasis)
1. Identifikasi :
Pertama kali ditemukan di Pulau Luzon, Filipina pada tahun 1963. Penyakit ini secara
klinis berupa enteropati yaitu hilangnya protein dalam jumlah besar disertai dengan
sindroma malabsorpsi yang memicu hilangnya berat badan dengan cepat dan terjadi
emasiasi berat. Kasus fatal ditandai dengan ditemukannya parasit dalam jumlah besar
didalam usus halus, disertai dengan asites dan transudasi pleura. CFR sekitar 10 %. Kasus
subklinis juga terjadi, namun biasanya berkembang menjadi kasus klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan melihat gejala klinis dan ditemukannya telur atau larva atau
parasit dewasa di dalam tinja. Telur-telur ini mirip dengan telur Trichuris trichiura.
Dengan melakukan biopsi jejunum bisa ditemukan adanya cacing pada mukosa.
2. Pemicu penyakit
Capillaria philippinensis
3. Distribusi penyakit
Capillariasis intestinal endemis di Kepulauan Filipina dan Thailand; beberapa kasus
dilaporkan terjadi di Jepang, Korea, Taiwan dan Mesir. Satu kasus telah dilaporkan
muncul di Iran, India, Indonesia dan Kolumbia. Penyakit ini mencapai tingkat endemis di
Pulau Luzon, dimana sepertiga dari populasi telah terinfeksi. Pria berumur antara 20 dan
45 tahun yaitu kelompok umur dengan risiko tinggi.
4. Reservoir
Tidak diketahui. Kemungkinan burung air berperan sebagai reservoir. sedang ikan
berperan sebagai hospes intermediair.
5. Cara penularan
Kebiasaan mengkonsumsi ikan kecil yang tidak dimasak dengan baik atau mengkonsumsi
ikan mentah diketahui sebagai Pemicu timbulnya penyakit. Pada percobaan
laboratorium larva infektif berkembang dalam usus ikan air tawar setelah ikan ini
menelan telur cacing. Monyet dan sejenis tikus Mongolia dan beberapa jenis burung
pemakan ikan, terinfeksi parasit dan parasit ini menjadi dewasa didalam usus binatang
ini .
6. Masa inkubasi
Masa inkubasi pada manusia tidak diketahui. Penelitian yang dilakukan pada hewan, masa
inkubasi kira-kira1 bulan atau lebih.
7. Masa penularan : Tidak ditularkan dari orang ke orang.
86
8. Kekebalan dan kerentanan
Didaerah dimana prevalensi parasitnya tinggi semua orang rentan terhadap penyakit ini
Attack rate dikalangan warga didaerah ini biasanya tinggi.
9. Cara-cara pemberantasan.
A. Cara-cara pencegahan :
1. Jangan memakan ikan atau hewan air lainnya yang tidak dimasak yang hidup di
daerah endemis.
2. Sediakan fasilitas jamban saniter yang memadai bagi warga .
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat, kasus-kasus dilaporkan dengan cara
yang paling praktis, Kelas 3 B (Lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2. Isolasi; tidak diperlukan.
3. Disinfeksi serentak; tdk dilakukan. Lakukan pembuangan tinja yang saniter
4. Karantina; tidak diperlukan
5. Imunisasi kontak; tidak dilakukan.
6. Investigasi kontak dan sumber infeksi; lakukan pemeriksaan tinja terhadap semua
anggota keluarga dan orang-orang yang mengkonsumsi ikan mentah atau yang
tidak dimasak dengan baik. Obati orang yang terinfeksi.
7. Pengobatan spesifik; Mebendazole (Vermox®), atau albendazole (Zentel®), yaitu
obat pilihan.
C. Tindakan penanggulangan wabah
Pencarian kasus dan kontak serta pengobatan yang tepat dari penderita. Memberikan
informasi pada warga tentang pentingnya memasak semua jenis ikan.
D. Implikasi bencana : tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada
II. CAPILLARIASIS sebab CAPILLARIA HEPATICA
ICD-9 128.8;ICD-10 B83.8
(Hepatic Cappilariasis)
1. Identifikasi
Penyakit yang jarang terjadi namun kalau terjadi sering fatal, disebabkan oleh Capillaria
hepatica dewasa yang hidup di hati. Gambaran klinis berupa hepatitis akut atau sub-akut
yang ditandai dengan adanya eosinofil yang mirip dengan “Visceral Larva Migran”.
Organisme dapat menyebar ke paru-paru dan organ tubuh lain. Diagnosa dibuat dengan
menemukan telur atau parasit pada biopsi hati atau nekropsi.
2. Pemicu penyakit : Capillaria hepatica (Hepaticola hepatica).
87
3. Distribusi penyakit : Sejak dikenal sebagai penyakit pada manusia pada tahun 1924,
sekitar 30 kasus dilaporkan dari Amerika Utara dan Selatan, Turki, Swiss, Cekoslowakia,
Yugoslavia, Itali, Afrika, Hawai, India, Jepang dan Korea.
4. Reservoir : Terutama menyerang tikus (86% tikus terinfeksi seperti disebutkan di
beberapa laporan) Rodensia lain serta sebagian besar binatang rumah dan binatang liar
juga berperan sebagai reservoir. Cacing dewasa hidup dan menghasilkan telur dihati.
5. Cara penularan
Cacing dewasa memproduksi telur yang matang dan hidup di hati hingga binatang hospes
mati. Ketika hati yang terinfeksi ini dimakan, maka telur-telur dilepas melalui proses
pencernaan, mencapai tanah melalui tinja dan berkembang menjadi infektif dalam waktu 2
– 4 minggu