melalui air dan penularan melalui makanan. Parasit
menginfeksi sel epitel saluran pencernaan dan parasit memperbanyak diri mula-mula
dengan cara schizogony, diikuti dengan siklus a seksual dengan membentuk oocyst dan
dapat ditemukan pada tinja. Oocyst dapat hidup di lingkungan yang jelek dalam waktu
yang lama. Oocyst sangat resisten terhadap desinfektan kimia yang digunakan untuk
menjernihkan dan disinfeksi air minum. Sekali waktu siklus autoinfeksi bisa terjadi pada
manusia.
138
6. Masa inkubasi – Tidak diketahui dengan pasti; kira-kira antara 1 – 12 hari, dengan rata-
rata sekitar 7 hari.
7. Masa penularan – Oocyst pada stadium infeksius yang keluar melalui tinja langsung
dapat menular kepada orang lain. Oocyst terus-menerus masih dikeluarkan melalui tinja
selama beberapa minggu sesudah tidak ada gejala klinis; diluar tubuh manusia, oocyst
dapat tetap infektif selama 2 – 6 bulan pada lingkungan yang lembab.
8. Kekebalan dan kerentanan
Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang baik mungkin tidak menunjukkan gejala, atau
infeksi ini akan sembuh dengan sendirinya; tidak diketahui dengan jelas apakah dapat
terjadi reinfeksi atau infeksi laten dengan reaktivasi. Orang-orang dengan gangguan
imunitas kekebalannya segera dapat pulih kembali pada saat Pemicu imunosupresi
(seperti malnutrisi atau infeksi oleh virus yang berulang terjadi seperti campak) telah
disembuhkan. Pada penderita AIDS (q.v) dengan gambaran klinis yang bervariasi dan
dapat terjadi masa tanpa gejala; infeksi cryptosporidium parvum biasanya bertahan
seumur hidup; kira-kira 2 % dari penderita AIDS yang dilaporkan CDC – Atlanta
mengalami infeksi dengan Kriptosporidiosis pada saat didiagnosa AIDS; pengalaman dari
rumah sakit yang merawat penderita AIDS menunjukkan bahwa 10 - 20 % dari penderita
AIDS mendapatkan infeksi kriptosporidiosis beberapa saat setelah menderita AIDS.
9. Cara -cara pemberantasan.
A. Cara pencegahan:
1) Berikan penyuluhan kepada warga tentang cara-cara menjaga kebersihan
perorangan.
2) Buanglah tinja pada jamban yang saniter, hati-hati dalam menangani kotoran
manusia atau binatang.
3) Mereka yang kontak dengan anak sapi atau binatang lain yang terkena diare
sebaiknya segera mencuci tangan dengan seksama.
4) Rebus sampai mendidih air minum selama 1 menit; disinfeksi dengan bahan kimia
tidak efektif melawan oocyst. Hanya filter yang dapat menyaring partikel dengan
diameter 0,1 – 1 µm yang bisa di gunakan untuk menyaring oocyst.
5) Pindahkan orang yang terinfeksi dari pekerjaan menangani jenis bahan makanan
yang tidak segera akan dimasak.
6) Pisahkan anak yang menderita diare dari tempat penitipan anak hingga diare
sembuh.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; kasus dilaporkan ke instansi
kesehatan setempat dengan cara yang paling praktis, kelas 3B (lihat tentang
pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi : bagi penderita yang dirawat di Rumah Sakit, lakukan tindakan
kewaspadaan enterik dalam menangani tinja, begitu juga terhadap muntahan dan
sprei serta sarung bantal dan baju yang terkontaminasi; orang yang terinfeksi tidak
diijinkan menangani makanan dan merawat pasien yang dirawat di Rumah Sakit
dan tidak diperkenankan merawat pasien yang dirawat di tempat spesifik;
penderita asimptomatik yang bekerja pada bidang pekerjaan yang sensitif tidak
139
diijinkan lagi bekerja sampai mereka sembuh. Tekankan tentang pentingnya
kebiasaan mencuci tangan dengan benar.
3). Disinfeksi serentak: dilakukan terhadap tinja dan barang-barang yang
terkontaminasi dengan tinja. Pada warga modern dengan sistem jamban
saniter, tinja dapat dibuang langsung ke saluran pembuangan tanpa perlu di
disinfeksi. Lakukan pembersihan terminal. Disinfeksi dapat dilakukan dengan
pemanasan hingga 450 C (1130F) selama 5 – 20 menit, 600 C (1400 F) selama 2
menit atau disinfeksi kimia dengan 10 % cairan formalin atau 5 % ammonia, cara-
cara ini cukup efektif.
4) Karantina: tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak atau sumber infeksi: Lakukan pemeriksaan mikroskopis
terhadap tinja anggota rumah tangga dan kontak lain yang dicurigai, terutama
orang-orang tanpa gejala. Terhadap mereka yang kontak dengan hewan ternak dan
binatang peliharaan diharuskan juga untuk dilakukan pemeriksaan. Jika dicurigai
penularan terjadi melalui air, penyaringan air dalam jumlah sampel yang besar
dapat dilakukan untuk melihat adanya oocyst pada air.
7) Pengobatan spesifik : Tidak ada pengobatan spesifik untk kriptosoridiosis selain
rehidrasi, jika diperlukan, rehidrasi telah terbukti efektif; pemberian antibodi pasif
dan antibiotik saat ini sedang dalam penelitian. Mereka yang dalam pengobatan
dengan obat imunosupresif, sebaiknya menghentikan pengobatan itu untuk
sementara atau mengurangi dosisnya jika memungkinkan.
C. Penanggulangan wabah : Lakukan Investigasi epidemiologis terhadap kasus yang
berkelompok yang terjadi pada suatu daerah atau institusi tertentu untuk mengetahui
sumber infeksi dan cara-cara penularannya; selidiki kemungkinan sumber penularan
“Common source”, seperti sarana rekreasi air, air minum, susu mentah atau makanan
atau minuman yang potensial tercemar dan lakukan upaya pencegahan dan
pemberantasan yang mudah di terapkan. Upaya untuk mencegah penularan dari orang
ke orang atau dari binatang ke manusia menekankan pada upaya kebersihan
perorangan dan pembuangan tinja yang saniter.
D. Implikasi bencana: tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
DIARE YANG DISEBABKAN OLEH CYCLOSPORA ICD-10 A07.8
Diare ini disebabkan oleh protozoa koksidia yang baru ditemukan (Cyclospora cayetanensis).
Gejala klinis yang timbul berupa diare cair (buang air lebih dari 6 kali perhari), mual, tidak
nafsu makan, kejang abdomen, lelah dan penurunan berat badan, demam jarang terjadi.
Median masa inkubasi sekitar 1 minggu. Cyclospora dapat masuk ke epitel usus halus dan
memicu enteritis. Diare pada orang yang imunokompeten bisa berlangsung lama namun
dapat sembuh dengan sendirinya, menurut beberapa laporan berlangsung selama 9 – 43 hari;
rata-rata lamanya organisme berkemnbang biak yaitu 23 hari pada anak-anak Peru. Pada
140
orang-orang dengan defisiensi sistem kekebalan, diare dapat berlangsung selama berbulan-
bulan. Diare yang disebabkan oleh cyclospora ini juga dilaporkan terjadi pada orang-orang
yang melancong ke Asia, Karibia, Meksiko dan Peru. Diare dapat berlangsung cukup lama.
Diagnosa dibuat dengan menemukan oocyst yang berukuran 8-9 mm, sekitar 2 kali ukuran
Cryptosporidium parvum pada keadaan basah pada pemeriksaan mikroskopis fase kontras.
Pewarnaan tahan asam yang telah dimodifikasi dapat dilakukan. Organisme akan berpendar
dibawah iluminasi sinar ultra violet.
Penularan terutama melalui air, dan dapat terjadi baik melalui air minum maupun sebab
berenang di air yang terkontaminasi; namun KLB lintas negara pernah dilaporkan terjadi yang
menimpa ribuan orang disebabkan oleh buah frambus yang diimport dari Guatemala. KLB ini
terjadi selama 3 tahun berturut-turut pada akhir tahun 1990 an. Sumber penularan lain yang
pernah dilaporkan yaitu selada dan daun kemangi yang tercemar. KLB mempunya pola
musiman, dan kasus terbanyak ditemukan pada bulan-bulan dengan suhu yang lebih hangat.
Cara bagaimana produk-produk makanan ini terkontaminasi pada waktu KLB ini terjadi
tidak diketahui, antara lain sebab cara yang dipakai untuk mendeteksi Cyclospora pada
produk ini dan dari sample lingkungan lainnya tidak cukup sensitif untuk jumlah parasit yang
sedikit. Produk-produk makanan ini sebaiknya dicuci dengan seksama sebelum di makan;
namun cara ini tidak menghilangkan sama sekali risiko terkena Cyclospora. Jika ditemukan
penderita diare kronis petugas kesehatan sebaiknya curiga akan kemungkinan infeksi
Cyclospora, penderita hendaknya diminta untuk mengirimkan tinjanya sehingga dapat
dilakukan pemeriksaan spesifik untuk menemukan parasit.
Cyclosporiasis dapat di obati dengan memberikan obat trimetroprim (TMP)-sulfametoksazol
(SMX) per oral selama 7 hari (untuk orang dewasa, 160 mg TMP plus 800 gram SMX dua
kali sehari; untuk anak-anak, 5 mg/kg TMP ditambah 25mg/kg SMX dua kali sehari). Pada
penderita yang tidak diobati, penyakit ini dapat berlangsung dalam waktu yang lama, dengan
gejala yang hilang timbul. Belum ditemukan regimen pengobatan untuk penderita yang tidak
tahan terhadap sulfa.
Pada pertengahan tahun 1998, 5 negara bagian dan satu kotamadya di AS mewajibkan untuk
melaporkan bila ditemukan penderita penyakit ini. Pada pertengahan tahun 1998, anggota
dewan negara bagian dan pejabat epidemiologi setempat mengeluarkan resolusi yang
merekomendasikan bahwa cyclosporiasis yaitu penyakit yang harus di laporkan di seluruh
negara bagian di AS. Dinegara bagian dimana mekanisme laporan resmi belum ada, dokter
dan petugas laboratorium yang menemukan penderita cyclosporiasis yang tidak ada riwayat
bepergian keluar Amerika Utara disarankan untuk melaporkan kepada instansi kesehatan
setempat, baik tingkat propinsi, teritori atau kepada departemen kesehatan negara bagian. Di
Kanada, yang dapat dihubungi yaitu Bagian Surveilans Penyakit, Biro Penyakit Menular,
Pusat Laboratorium untuk Pengendalian Penyakit, telpon (613) 941-1288; dan di AS, yang
dapat dihubungi yaitu CDC – Atlanta Divisi Penyakit Parasit, atau Pusat Penyakit Infeksi
Nasional, telpon (770) 488-7760.
141
INFEKSI SITOMEGALOVIRUS
Infeksi sitomegalovirus (Cytomegalovirus, CMV) sangat sering terjadi namun jarang
menimbulkan gejala; bila timbul gejala, manifestasinya sangat bervariasi tergantung pada
umur dan tingkat kekebalan dari orang ini ada waktu terkena infeksi.
PENYAKIT SITOMEGALOVIRUS ICD-9 078.5; ICD-10 B25
INFEKSI SITOMEGALOVIRUS KONGENITAL ICD-9 771.1; ICD-10 P35.1
1. Identifikasi
Manifestasi klinis berat oleh infeksi virus ini terjadi sekitar 5 – 10 % pada bayi yang
terinfeksi in utero. Bayi ini menunjukkan gejala dan tanda-tanda klinis dari infeksi umum
yang berat, terutama menyerang sistem saraf pusat (CNS) dan hati. Letargi, kejang,
ikterus, petechiae, purpura, hepatosplenomegali, chorioretinitis, kalsifikasi intraserebral
dan infiltrat paru terjadi dengan derajat yang berbeda. Anak yang bertahan hidup dapat
menjadi anak dengan retardasi mental, mikrosepali, gangguan sistem motorik, kehilangan
pendengaran dan muncul penyakit hati kronis. Kematian bisa terjadi in utero; CFR-nya
tinggi pada bayi dengan infeksi berat. Walaupun infeksi CMV pada neonatus terjadi hanya
pada 0,3 – 1 % kelahiran, 90 – 95 % dari infeksi intrauterine ini tidak menunjukan gejala,
namun sekitar 15 – 25 % dari bayi ini akhirnya menunjukkan gejala terjadinya kerusakan
neurosensor. Infeksi pada janin bisa merupakan infeksi primer atau infeksi maternal yang
mengalami reaktivasi. Namun infeksi primer memiliki risiko lebih tinggi untuk
timbulnya gejala klinis dan gejala sisa. Bayi baru lahir seronegatif yang menerima
transfusi darah dari donor seropositif bisa terkena infeksi menjadi penyakit yang berat.
Infeksi yang terjadi pada usia-usia selanjutnya biasanya tanpa gejala dan ada juga yang
menunjukkan gejala klinis dan hematologis yang mirip dengan infeksi virus
mononukleosis Epstein-Barr. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan dengan tes
serologis dan virologis serta dan ditemukannya antibodi heterofil. CMV merupakan
Pemicu sekitar 10 % kasus mononukleosis yang ditemukan pada mahasiswa dan orang
dewasa yang dirawat di rumah sakit yang berusia antara 25 – 34 tahun. CMV yaitu
Pemicu mononukleosis pasca transfusi yang paling umum diketahui menimpa orang-
orang yang tidak kebal terhadap virus ini; banyak infeksi pasca transfusi tidak
menimbulkan gejala klinis. Infeksi yang menyebar, dengan gejala pneumonitis, retinitis,
gangguan saluran pencernaan (gastritis, enteritis, colitis) dan hepatitis, terjadi pada orang-
orang dengan imunodefisiensi dan imunosupresi; biasanya ini merupakan manifestasi
serius dari penderita AIDS.
CMV juga sebagai Pemicu paling umum infeksi pasca transplantasi, baik melalui
transplantasi organ maupun sumsum tulang belakang; pada transplantasi organ, infeksi
terjadi spesifiknya pada resipien seronegatif dan donor seropositif (carrier), sedang
infeksi pasca transplantasi sumsum tulang terjadi sebagai reaksi reaktivasi. Pada kedua
142
kejadian ini, baik transplantasi organ maupun sumsum tulang rata-rata angka kesakitan
timbulnya penyakit serius sekitar 25 %.
Diagnosa pada bayi baru lahir dibuat dengan isolasi virus atau dengan PCR, biasanya dari
sampel urin. Diagnosa infeksi CMV pada orang dewasa menjadi sulit sebab tingginya
frekuensi penyakit tanpa gejala dan relaps. Untuk menegakkan diagnosa sebaiknya
dilakukan berbagai cara pemeriksaan bila memungkinkan. Isolasi virus, deteksi antigen
CMV (bisa dilakukan dalam waktu 24 jam), deteksi DNA CMV dengan PCR atau
hibridisasi in situ dapat dilakukan untuk melihat adanya virus pada organ, darah, sekret
saluran pernafasan dan urin. Studi serologis sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya
antibodi spesifik IgM dari CMV atau adanya kenaikan 4 kali lipat titer antibodi.
Interpretasi hasil pemeriksaan ini membutuhkan pengetahuan tentang latar belakang
epidemiologis dan klinis dari penderita.
2. Pemicu penyakit – Human (beta) herpesvirus 5 (CMV manusia), salah satu anggota
dari subfamili Betaherpesvirus dari famili Herpesviridae; termasuk beberapa strain yang
sama secara antigenik.
3. Distribusi penyakit
Tersebar diseluruh dunia. Di AS, infeksi intrauterin terjadi pada 0,5 % hingga 1 %
kehamilan. Di negara-negara berkembang, infeksi ini didapat pada awal kehidupan.
Prevalensi antibodi serum pada orang dewasa bervariasi mulai dari 40 % di negara maju
sampai dengan 100 % di negara berkembang; di AS hal ini berhubungan dengan status
sosial ekonomi dari warga , sedang Distribusi Penyakit ini lebih tinggi pada wanita
daripada pria. Di Inggris, prevalensi antibodi berkaitan dengan ras daripada status social.
Diberbagai populasi berbeda ditemukan 8 – 60 % bayi sudah mengeluarkan virus pada
urin pada tahun pertama usia mereka, sebagai akibat terkena infeksi dari serviks ibu atau
mendapatkan infeksi melalui ASI.
4. Reservoir - Manusia diketahui sebagai satu-satunya reservoir bagi CMV manusia; strain
yang ditemui pada binatang tertentu tidak menular kepada manusia.
5. Cara penularan
Penularan terjadi melalui kontak langsung selaput lendir dengan jaringan, sekret ataupun
ekskreta yang infeksius. CMV di ekskresikan melalui urin, ludah, ASI, sekret serviks dan
semen pada infeksi primer maupun pada infeksi reaktivasi. Janin bisa tertular in utero dari
ibu baik berupa infeksi primer maupun berupa infeksi reaktivasi; infeksi janin dengan
manifestasi klinis yang berat pada waktu lahir sering terjadi sebagai akibat infeksi primer
dari ibu, namun infeksi (biasanya tanpa gejala) bisa juga terjadi walaupun antibodi
maternal telah ada sebelum konsepsi. Infeksi post natal sering terjadi pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang mengandung CMV pada sekret serviks mereka; dengan demikian
penularan dari serviks yang terinfeksi yaitu cara penularan yang paling umum terjadi
sebagai Pemicu infeksi neonatus. Virus dapat ditularkan kepada bayi melalui ASI, cara
ini merupakan sumber infeksi yang penting namun bukan sebagai Pemicu penyakit.
Viremia mungkin juga terjadi pada penderita asimptomatik sehingga bila ia jadi donor
virus bisa ditularkan melalui transfusi darah, penularan mungkin terjadi melalui lekosit.
143
Ditemukan bahwa CMV di ekskresikan oleh sebagian besar anak-anak di tempat
penitipan, hal ini bisa menjadi sumber infeksi bagi warga . Penularan melalui
hubungan seks umum terjadi dan ini dapat dilihat dari penderita dikalangan homoseksual
yang berhubungan seks dengan banyak pasangan.
6. Masa inkubasi – Gejala sakit pasca transplantasi ataupun pasca transfusi yang
mengandung virus akan muncul dalam waktu 3 – 8 minggu. sedang Infeksi yang
didapat pada waktu proses kelahiran gejala klinis akan tampak 3 – 12 minggu sesudah
kelahiran.
7. Masa penularan
Virus di ekskresikan melalui urin dan air ludah selama beberapa bulan dan tetap bertahan
atau akan muncul secara periodik selama beberapa tahun sesudah infeksi primer. Sesudah
infeksi neonatal, virus mungkin di ekskresikan selama 5 – 6 tahun. Orang dewasa
mengekskresikan virus dalam jangka waktu yang lebih pendek, namun virus akan tetap
ada sebagai infeksi laten. Kurang dari 3 % orang dewasa sehat mengekskresikan virus
melalui faring. Ekskresi akan timbul kembali dengan adanya imunodefisiensi dan
imunosupresi.
8. Kekebalan dan kerentanan
Infeksi tersebar di mana - mana. Janin, penderita penyakit yang melemahkan kondisi
tubuh, mereka yang mendapatkan pengobatan yang memicu imunosupresi dan
terutama resipien organ (ginjal, jantung, sum-sum tulang) serta penderita AIDS lebih
rentan terkena infeksi dan rentan untuk menderita penyakit yang berat.
9. Cara -cara pemberantasan.
A. Cara-cara pencegahan:
1) Waspada dan hati-hati pada waktu mengganti popok bayi, cuci tangan dengan baik
sesudah mengganti popok bayi dan buanglah kotoran bayi di jamban yang saniter.
2) Wanita usia subur yang bekerja di rumah sakit (terutama yang bekerja dikamar
bersalin dan bangsal anak) sebaiknya memperhatikan prinsip tindakan
kewaspadaan universal; sedang pada tempat penitipan anak dan anak
prasekolah lakukan prosedur standar yang ketat tentang kebersihan perorangan
seperti kebiasaan mencuci tangan. Terhadap anak-anak dengan retardasi mental
diberikan perhatian lebih spesifik.
3) Hindari melakukan transfusi kepada bayi baru lahir dari ibu yang seronegatif
dengan darah donor dengan seropositif CMV.
4) Hindari transplantasi jaringan organ dari donor seropositif CMV kepada resipien
yang seronegatif. Jika hal ini tidak dapat dihindari, maka pemberian IG hiperimun
atau pemberian antivirus profilaktik mungkin menolong.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: laporan resmi tidak diperlukan, Kelas
5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi: tidak dilakukan. Lakukan tindakan kewaspadaan terhadap sekret yang
dikeluarkan oleh penderita yang diduga mengekskresikan virus.
144
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari penderita yang
dirawat di Rumah Sakit dan terhadap benda-benda yang tercemar.
4) Karantina: tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Vaksin secara komersial tidak tersedia.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak dilakukan, sebab tingginya angka
prevalensi orang yang tidak menunjukkan gejala klinis di warga .
7) Pengobatan spesifik: Ganciclovir, intra vena dan per oral, foscarnet IV dipakai
untuk pengobatan retinitis CMV pada orang-orang dengan tingkat kekebalan
rendah. Obat-obatan ini mungkin lebih bermanfaat, jika dikombinasikan dengan
imuno globulin anti-CMV, untuk penderita pneumonitis dan penyakit gastro
intestinal pada orang-orang yang immunocomporomised.
C. Penanggulangan Wabah : Tidak ada.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
DEMAM DENGUE ICD-9 061; ICD-10 A90
“Break Bone Fever”
(Demam Sendi)
1. Identifikasi
Penyakit virus dengan demam akut dengan ciri khas muncul tiba-tiba, demam biasanya
berlangsung selama 3 – 5 hari (jarang lebih dari 7 hari dan kadang-kadang bifasik),
disertai dengan sakit kepala berat, mialgia, artralgia, sakit retro orbital, tidak nafsu makan,
gangguan gastro intestinal dan timbul ruam. Eritema awal diseluruh badan tejadi pada
beberapa kasus. Ruam makulopapuler biasanya muncul pada masa deverfescence.
Fenomena perdarahan minor, seperti petechiae, epistaksis atau perdarahan gusi bisa terjadi
selama demam. Pada kulit yang berwarna gelap, ruam biasanya tidak kelihatan. Dengan
adanya penyakit lain yang mendasari penyakit demam berdarah pada orang dewasa bisa
terjadi perdarahan, seperti perdarahan gastro intestinal misalnya pada penderita tukak
lambung atau pada penderita menorrhagia. Infeksi dengue disertai peningkatan
permeabilitas vaskuler, dengan manifestasi perdarahan disertai dengan kerusakan organ-
organ tertentu disajikan dalam bab demam berdarah dengue. Penyembuhan, dapat disertai
dengan rasa lelah dan depresi yang berkepanjangan. Limfadenopati dan lekopeni pada
penderita Demam Dengue dengan limfositosis relatif sering terjadi; trombositopeni (< 100
x 103/cu mm; unit Standard lebih lanjut < 100 x 109/L) dan meningkatnya transaminase
lebih jarang terjadi. Penyakit ini biasa muncul sebagai KLB yang eksplosif namun jarang
terjadi kematian kecuali terjadi perdarahan pada DBD.
Diferensial diagnosa dari Demam Dengue yaitu semua penyakit yang secara
epidemiologis termasuk di dalam kelompok demam virus yang ditularkan oleh artropoda,
145
demam kuning, campak, rubella, malaria, leptospira dan penyakit demam sistemik lainnya
terutama yang disertai dengan ruam.
Pemeriksaan laboratorium seperti HI, CF, ELISA IgG dan IgM, dan tes netralisasi yaitu
alat bantu diagnostik. Antibodi IgM, mengindikasikan infeksi yang sedang atau baru saja
terjadi, biasanya dapat dideteksi 6 – 7 hari sesudah onset penyakit. Virus diisolasi dari
darah dengan cara inokulasi pada nyamuk, atau inokulasi pada kultur jaringan nyamuk,
atau pada kultur jaringan vertebrata, lalu diidentifikasi dengan antibodi monoklonal
serotipe spesifik.
2. Pemicu penyakit – Virus Pemicu Demam Dengue yaitu flavivirus dan terdiri dari 4
serotipe yaitu serotipe 1,2,3 dan 4 (dengue –1,-2,-3 dan –4). Virus yang sama
memicu Demam Berdarah Dengue (DBD) (lihat di bawah).
3. Distibusi penyakit
Virus dengue berbagai serotipe sekarang menjadi endemis dibanyak negara tropis. Di
Asia, virus dengue sangat endemis di Cina Selatan dan Hainan, Vietnam, Laos,
Kampuchea, Thailand, Myanmar, India, Pakistan, Sri Lanka, Indonesia, Filipina, Malaysia
dan Singapura; negara dengan endemisitas rendah yaitu Papua New Guinea, Bangladesh,
Nepal, Taiwan dan sebagian besar negara Pasifik. Virus dengue dari berbagai serotipe
ditemukan di Queensland, Australia Utara, sejak tahun 1981.
Dengue -1,-2,-3 dan -4 sekarang endemis di Afrika. Di wilayah yang luas di Afrika Barat,
virus dengue mungkin di tularkan sebagai penyakit epizootic pada monyet; dengue
perkotaan yang menyerang manusia juga sering terjadi di wilayah ini. Pada tahun-tahun
belakangan ini, KLB demam dengue terjadi di pantai timur Afrika dari Mozambik ke
Etiopia dan di kepulauan lepas pantai seperti Seychelles dan Komoro, sedang
penderita demam dengue dan penderita mirip DHF dilaporan dari Saudi Arabia, namun
jumlahnya sedikit.
Di Amerika, masuk dan beredarnya ke 4 serotipe virus dengue ini berturut-turut terjadi di
Karibia dan Amerika Tengah dan Selatan sejak tahun 1977 dan meluas hingga Texas pada
tahun 1980, 1986, 1995 dan 1997. Pada akhir tahun 1990 an, dua atau lebih serotipe virus
dengue endemis atau kadang-kadang muncul sebagai KLB di Meksiko, begitu pula di
Karibia dan Amerika Tengah, Kolombia, Bolivia, Ekuador, Peru, Venezuela, Guyana,
Suriname, Brazil, Paraguay dan Argentina. KLB bisa terjadi jika vector dan virus penyakit
ini ada didaerah ini baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan.
4. Reservoir – Virus dengue bertahan melalui siklus nyamuk Aedes aegypti-manusia di
daerah perkotaan negara tropis; sedang siklus monyet-nyamuk menjadi reservoir di
Asia Tenggara dan Afrika Barat.
5. Cara penularan
Ditularkan melalui gigitan nyamuk yang infektif, terutama Aedes aegypti. Ini yaitu
spesies nyamuk yang menggigit pada siang hari, dengan peningkatan aktivitas menggigit
sekitar 2 jam sesudah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari tenggelam.
Aedes aegypti maupun Aedes albopictus ditemukan didaerah perkotaan; kedua species
nyamuk ini ditemukan juga di AS. Ae. Albopictus, sangat banyak ditemukan di Asia, tidak
begitu antropofilik dibandingkan dengan Ae. Aegypti sehingga merupakan vector yang
146
kurang efisien. Di Polinesia, salah satu jenis dari Ae. Scutellaris spp, bertindak sebagai
vector. Di Malaysia, vectornya sdslsh kompleks Ae. Niveus dan di Afrika Barat yaitu
kompleks nyamuk Ae. furcifer-taylori berperan sebagai vector penularan nyamuk-monyet.
6. Masa inkubasi – Dari 3 – 14 hari, biasanya 4 – 7 hari.
7. Masa penularan
Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Penderita menjadi infektif bagi nyamuk
pada saat viremia yaitu : sejak beberapa saat sebelum panas sampai saat masa demam
berakhir, biasanya berlangsung selama 3 – 5 hari. Nyamuk menjadi infektif 8 – 12 hari
sesudah mengisap darah penderita viremia dan tetap infektif selama hidupnya.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap penyakit ini, anak-anak biasanya menunjukkan gejala lebih
ringan dibandingkan orang dewasa. Sembuh dari infeksi dengan satu jenis serotipe akan
memberikan imunitas homolog seumur hidup namun tidak memberikan perlindungan
terhadap infeksi serotipe lain dan bisa terjadi eksaserbasi infeksi berikutnya (lihat Demam
Berdarah Dengue, dibawah).
9. Cara- cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1) Beri penyuluhan, informasikan kepada warga untuk membersihkan tempat
perindukan nyamuk dan melindungi diri dari gigitan nyamuk dengan memasang
kawat kasa, perlindungan dengan pakaian dan memakai obat gosok anti
nyamuk (lihat Malaria, 9A3, 9A4).
2) Lakukan survei di warga untuk mengetahui tingkat kepadatan vector nyamuk,
untuk mengetahui tempat perindukan dan habitat larva, biasanya untuk Ae. Aegypti
yaitu tempat penampungan air buatan atau alam yang dekat dengan pemukiman
manusia (misalnya ban bekas, vas bunga, tandon penyimpanan air) dan membuat
rencana pemberantasan sarang nyamuk serta pelaksanaannya.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; laporan resmi wajib dilakukan bila
terjadi KLB, laporan kasus, kelas 4 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi : Kewaspadaan universal terhadap darah. Sampai dengan demam hilang,
hindari penderita demam dari gigitan nyamuk pada siang hari dengan memasang
kasa pada ruang perawatan penderita dengan memakai kelambu, lebih baik
lagi dengan kelambu yang telah di rendam di dalam insektisida, atau lakukan
penyemprotan tempat pemukinan dengan insektisida yang punya efek knock down
terhadap nyamuk dewasa ataupun dengan insektisida yang meninggalkan residu.
3) Disinfeksi serentak: tidak dilakukan.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: tidak dilakukan. Jika Demam Dengue terjadi disekitar daerah
fokus demam kuning, lakukan imunisasi terhadap warga dengan vaksin demam
kuning sebab vektor untuk daerah perktoaan kedua penyakit ini sama.
147
6) Lakukan Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Selidiki tempat tinggal
penderita 2 minggu sebelum sakit dan cari penderita tambahan yang tidak
dilaporkan atau tidak terdiagnosa.
7) Pengobatan spesifik : Pengobatan spesifik tidak ada, yang diberikan yaitu
pengobatan suportif atau penunjang. Aspirin merupakan kontraindikasi.
C. Penanggulangan wabah:
1) Temukan dan musnahkan spesies Aedes di lingkungan pemukiman, bersihkan
tempat perindukan atau taburkan larvasida di semua tempat yang potensial sebagai
tempat perindukan larva Ae. Aegypti.
2) Gunakan obat gosok anti nyamuk bagi orang-orang yang terpajan dengan nyamuk.
D. Implikasi bencana : Wabah atau KLB dapat menjadi intensif dan dapat menyerang
sebagian besar warga .
E. Tindakan lebih lanjut :
Terapkan kesepakatan lebih lanjut yang di buat untuk mencegah penyebaran Ae.
Aegypti melalui kapal, pesawat udara dan alat transportasi darat dari daerah endemis
atau daerah KLB. Tingkatkan surveilans lebih lanjut dan lakukan pertukaran
informasi antar negara. Manfaatkan Pusat Kerjasama WHO.
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER/ DENGUE SHOCK SYNDROME (DHF/DSS)
ICD-9 065.4; ICD-10 A91
DEMAM BERDARAH DENGUE/SINDROMA RENJATAN DENGUE
1. Identifikasi
Penyakit virus berat yang ditularkan oleh nyamuk endemik di banyak negara di Asia
Tenggara dan Selatan, Pasifik dan Amerika Latin; ditandai dengan meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah, hipovolemia dan gangguan mekanisme penggumpalan
darah. Terutama menyerang anak-anak, namun juga menyerang orang dewasa. Definisi
kasus menurut WHO yaitu : (1) demam atau adanya riwayat demam pada saat sekarang;
(2) trombositopeni; hitung platelet sama atau kurang dari 100 x 103/cu mm (Standar
lebih lanjut sama atau kurang dari 100 x 109/L); (3) manifestasi perdarahan seperti tes
torniquet positif, petechiae atau fenomena perdarahan yang jelas; dan (4) berkurangnya
plasma sebab meingkatnya permeabilitas vaskuler. Adanya kenaikan hematokrit sebesar
20 % dibandingkan dengan nilai normal atau ditemukannya efusi pleural atau efusi
abdomen dengan pemeriksaan ultrasonografi, tomografi ataupun sinar-X. Sedagkan
Sindroma Renjatan Dengue (Dengue Shock Sindrome, DSS) yaitu penderita DHF yang
lebih berat ditambah dengan adanya tanda-tanda renjatan: (1) denyut nadi lemah dan
cepat; (2) tekanan nadi lemah (< 20 mm Hg); (3) hipotensi dibandingkan nilai normal
pada usia ini ; (4) gelisah, kulit berkeringat dan dingin.
148
Terapi cairan intravena atau oral yang tepat bisa mengurangi meningkatnya hematokrit
dan perlu dilakukan observasi yang ketat untuk melihat terjadinya kebocoran plasma.
Penyakit ini bersifat biphasic; tiba-tiba dimulai dengan demam, dan pada anak-anak,
disertai dengan keluhan pada saluran pernapasan bagian atas, kadang-kadang tidak ada
nafsu makan, rasa panas di daerah muka dan gangguan gastro intestinal ringan.
Bersamaan dengan defervescence dan menurunnya hitung trombosit, keadaan umum
penderita tiba-tiba memburuk, ditandai dengan rasa lemas, sangat gelisah, muka pucat dan
nafas cepat, rasa sakit yang sangat di daerah abdomen dan sianosis sekitar mulut. Hati
mungkin membengkak, biasanya 2 hari atau lebih sesudah turunnya suhu badan.
Perdarahan sering terjadi termasuk petechiae yang menyebar, uji torniquet positif, mudah
memar dan yang jarang yaitu timbulnya mimisan, perdarahan pada saat pengambilan
darah vesed serta perdarahan gusi. Terjadinya perdarahan gastro intestinal adalan tanda
prognosa yang jelek bisanya sesudah mengalami masa renjatan yang lama. Pada kasus
berat, gejala kllinis ditambah dengan terjadinya akumulasi cairan pada rongga tubuh,
menurunnya kadar serum albumin, meningkatnya kadar transaminase, memanjangnya
waktu protrombin dan rendahnya kadar protein komplemen C3. DHF dengan kerusakan
hati berat, dengan atau tanpa ensefalopati telah di temukan pada waktu KLB dengue-3 di
Indonesia dan Thailand. Angka kematian dari penderita DHF dengan renjatan yang tidak
diobati atau dengan manajemen yang salah yaitu sebesar 40 – 50 %; dengan terapi cairan
fisiologis yang cepat, angka ini menurun menjadi 1 – 2 %.
Tes serologis menunjukan peningkatan titer antibodi terhadap virus dengue. Adanya
antibodi lgM, menunjukan bahwa infeksi flavirus sedang terjadi atau baru saja terjadi,
biasanya bisa dideteksi 6 – 7 hari sesudah onset penyakit. Virus dapat diisolasi dari darah
selama stadium demam akut dengan menyuntikkannya pada nyamuk atau kultur sel.
Isolasi dari organ pada saat otopsi sulit dilakukan namun kemungkinannya bertambah
melalui inokulasi nyamuk. Sekuen asam nukleik yang spesifik dari virus dapat dideteksi
dengan PCR. (Infeksi virus dengue dengan atau tanpa perdarahan telah dijelaskan diatas.
Demam kuning dan penyakit perdarahan lain akan dijelaskan secara terpisah).
2. Pemicu penyakit – lihat Demam Dengue diatas. Semua serotipe dengue dapat
memicu DHF/DSS pada urutan menurun menurut frekwensi penyakit yang
ditimbulkan tipe 2, 3, 4 dan 1
3. Distribusi Penyakit
Wabah DHF baru-baru ini telah terjadi di Filipina, Kaledonia baru, Tahiti, Cina, Vietnam,
Laos, Kamboja, Maldives, Kuba, Venezuela, French Guiana, Suriname, Brasil, Kolombia,
Niakaragua dan Puerto Rico. KLB terbesar dilaporan di Vietnam pada tahun 1987, pada
saat itu kira-kira 370.000 kasus dilaporan. Di negara tropis Asia, DHF/DSS terutama
menyerang anak-anak warga setempat yang berusia dibawah 15 tahun. Kasus DF/DHF
sering terjadi selama musim hujan dan di daerah dengan kapasitas Ae. Aegypti yang tinggi.
4, 5, 6 dan 7 : Reservoir, cara penularan penyakit, masa inkubasi, masa penularan –
lihat Demam Dengue diatas.
149
8. Kekebalan dan kerentanan
Penjelasan tentang faktor risiko terbaik yaitu dengan teori sirkulasi heterolog dari
antibodi dengue, yang didapat secara pasif pada bayi atau secara aktif melalui infeksi yang
terjadi sebelumnya. Antibodi ini meningkatkan infeksi dari fagosit mononuklair dengan
terbentuknya kompleks-imun-virus. Asal geografis dari strain dengue, umur , jenis
kelamin dan faktor genetis manusia juga penting sebagai faktor risiko.
Pada tahun 1981 terjadi KLB di Kuba yang disebabkan oleh virus dengue 2 Asia
Tenggara, pada saat itu DHF/DSS, 5 kali lebih sering terjadi pada orang kulit putih
daripada orang kulti hitam. Di Myanmar, India Timur orang-orang disana juga rentan
terhadap DHF.
9. Cara - cara pemberantasan
A. Tindakan pencegahan : lihat Demam Dengue diatas
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1), 2), 3), 4), 5) dan 6), laporan kepada petugas kesehatan setempat, isolasi, disinfeksi
serentak, karantina, imunisasi kontak dan investigasi kontak dan sumber infeksi :
lihat Demam Dengue diatas
7) Pengobatan spesifik : Renjatan hipovolemik disebabkan oleh bocornya plasma
sebab peningkatan permeabilitas pembuluh darah bereaksi dengan terapi oksigen
dan pemberian cepat dengan cairan dan elektrolit (larutan Ringer laktat 10 – 20
ml/kg/jam). Pada kasus renjatan yang lebih berat, sebaiknya digunakan plasma dan
atau cairan pengganti plasma. Kecepatan pemberian plasma dan cairan harus
dihitung sesuai dengan jumlah yang hilang, biasanya diukur dengan
mikrohematrokrit. Peningkatan nilai hematokrit yang terus menerus walupun
sudah diguyur dengan cairan memberi indikasi bahwa perlu diberikan plasma atau
koloid lain. Pengamatan yang ketat perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya
overhidrasi. Transfusi darah dilakukan bila terjadi perdarahan berat yang
memicu turunnya hematokrit. Penggunaan heparin untuk mengobati
perdarahan massive oleh sebab adanya “Disseminated Intra Vasculer
Congulation” berbahaya, tidak ada manfaatnya. Plasma segar , fibrinogen dan
konsentrat trombosit digunakan untuk mengobati perdarahan berat. Aspirin
merupakan kontradiksi sebab dapat menimbulkan perdarahan.
C, D dan E : Penanggulangan wabah, implikasi bencana dan tindakan international : lihat
Demam Dengue diatas.
150
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER/DENGUE SHOCK SYNDROME (DHF/DSS)
ICD-9 065.4; ICD-10 A91
DEMAM BERDARAH DENGUE/SINDROMA RENJATAN DENGUE
1. Identifikasi
Penyakit virus berat yang ditularkan oleh nyamuk endemik di banyak negara di Asia
Tenggara dan Selatan, Pasifik dan Amerika Lain; ditandai dengan meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah, hipovolemia dan gangguan mekanisme penggumpalan
darah. Terutama menyerang anak-anak, namun juga menyerang orang dewasa. Definisi
kasus menurut WHO yaitu : (1) demam atau adanya riwayat demam pada saat sekarang;
(2) trombositopeni; hitung platelet sama atau kurang dari 100 x 10³/cu mm (Standar
lebih lanjut sama atau kurang dari 100 x 10 9 /L); (3) manifestasi perdarahan seperti tes
tourniquet positif, petechiae atau fenomena perdarahan yang jelas; dan (4) berkurangnya
plasma sebab meningkatnya permeabilitas vaskuler. Adanya kenaikan hematokrit sebesar
20% dibandingkan dengan nilai normal atau ditemukannya efusi pleural atau efusi
abdomen dengan pemeriksaan ultrasonografi, tomografi ataupun sinar-X. sedang
sindroma renjatan dengue (Dengue Shock Syndrome, DSS) yaitu penderita DHF yang
lebih berat ditambah dengan adanya tanda-tanda renjatan: (1) denyut nadi lemah dan
cepat; (2) tekanan nadi lemah (< 20 mmHg); (3) hipotensi bila dibandingkan nilai normal
pada usia ini ; (4) gelisah, kulit berkeringat dan dingin. Terapi cairan intravena atau
oral yang tepat bisa mengurangi meningkatnya hematokrit dan perlu dilakukan observasi
yang ketat untuk melihat terjadinya kebocoran plasma.
Penyakit ini bersifat biphasic; tiba-tiba dimulai dengan demam, dan pada anak-anak
disertai dengan keluhan pada saluran pernapasan bagian atas, kadang-kadang tidak ada
nafsu makan, rasa panas di daerah muka dan gangguan gastro intestinal ringan.
Bersamaan dengan defervescence dan menurunnya hitung trombosit, keadaan umum
penderita tiba-tiba memburuk, ditandai dengan rasa lemas, sangat gelisah, muka pucat dan
nafas cepat, rasa sakit yang sangat di daerah abdomen dan sianosis di sekitar mulut. Hati
mungkin membengkak, biasanya 2 hari atau lebih sesudah defervescence.
Perdarahan sering terjadi termasuk petechiae yang menyebar, uji tourniquet positif,
mudah memar dan yang jarang yaitu timbulnya mimisan, perdarahan pada saat
pengambilan darah vena serta perdarahan gusi. Terjadinya perdarahan gastrointestinal
yaitu tanda prognosa yang jelek biasanya sesudah mengalami masa renjatan yang lama.
Pada kasus berat, gejala klinis ditambah dengan terjadinya akumulasi cairan pada rongga
tubuh, menurunnya kadar serum albumin, meningkatnya kadar transaminsse,
memanjangnya waktu protrombin dan rendahnya kadar protein komplemen C-3. DHF
dengan kerusakan hati berat, dengan atau tanpa ensefalopati telah ditemukan pada waktu
Kejadian Luar Biasa (KLB) Dengue-3 di Indonesia dan Thailand. Angka kematian dari
penderita DHF dengan renjatan yang tidak diobati atau dengan manajemen yang salah
yaitu sebesar 40 – 50%; dengan terapi cairan fisiologis yang tepat, angka ini menurun
menjadi 1 – 2 %.
Tes serologis menunjukkan peningkatan titer antibodi terhadap virus Dengue. Adanya
antibodi IgM menunjukkan bahwa infeksi flavirus sedang terjadi atau baru saja terjadi,
biasanya bisa dideteksi 6-7 hari sesudah onset penyakit. Virus dapat diisolasi dari darah
151
selama stadium demam akut dengan menyuntikannya pada nyamuk atau kultur sel. Isolasi
dari organ pada saat otopsi sulit dilakukan namun kemungkinannnya bertambah melalui
inokulasi nyamuk. Sekuen asam nukleik yang spesifik dari virus dapat dideteksi dengan
PCR. Infeksi virus Dengue dengan atau tanpa perdarahan telah dijelaskan di atas. Demam
kuning dan penyakit perdarahan lain akan dijelaskan secara terpisah.
2. Pemicu Penyakit - Lihat Demam Dengue di atas. Semua serotipe dengue dapat
memicu DHF/DSS pada urutan menurun menurut frekuensi penyakit yang
ditimbulkan tipe 2,3,4 dan 1.
3. Distribusi Penyakit
Epidemi DHF baru-baru ini telah terjadi di Filipina, Kaledonia Baru, Tahiti, China,
Vietnam, Laos, Kamboja, Maldius, Kuba, Venezuela, Frenc Guiana, Suriname, Brasil,
Kolombia, Nikaragua dan Puerto Rico. KLB terbesar dilaporkan di Vietnam pada tahun
1987, pada saat itu kira-kira 370.000 kasus dilaporkan. Di Negara tropis Asia, DHF/DSS
terutama menyerang anak-anak warga setempat yang berusia di bawah 15 tahun.
Kasus DHF/DSS sering terjadi selama musim hujan dan di daerah dengan kepadatan
Aedes aegypti yang tinggi.
4; 5; 6 dan 7: Reservoir, cara penularan penyakit, masa inkubasi, masa penularan, -
lihat Demam Dengue di atas.
8. Kekebalan dan Kerentanan
Penjelasan tentang faktor risiko terbaik yaitu dengan teori sirkulasi heterologi dari
antibodi dengue yang didapat secara pasif pada bayi atau secara aktif melalui infeksi yang
terjadi sebelumnya. Antibodi ini meningkatkan infeksi dari fagosit mononuklair dengan
terbentuknya kompleks-immun-virus. Asal geografis dari strain dengue, umur, jenis
kelamin dan faktor genetik manusia juga penting sebagai faktor risiko. Pada tahun 1981
terjadi KLB di Kuba yang disebabkan oleh virus dengue 2. Di Asia Tenggara pada saat itu
DHF/DSS, 5 kali lebih sering terjadi pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam. Di
Myanmar dan India Timur, orang-orang di sana juga rentan terhadap DHF.
9. Cara Pemberantasan
A. Tindakan pencegahan: lihat Demam Dengue di atas.
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar:
1), 2), 3), 4), 5) dan 6), laporan kepada petugas kesehatan setempat, isolasi, desinfeksi
serentak, karantina, imunisasi kontak dan investigasi kontak dan sumber infeksi:
lihat demam Dengue di atas.
7) Pengobatan khusus : Renjatan hypovolemik disebabkan oleh bocornya plasma
sebab peningkatan permeabilitas pembuluh darah bereaksi dengan terapi oksigen
dan pemberian cepat dengan cairan dan elektrolit (larutan ringer laktat 10 – 20
ml/kg/jam). Pada kasus renjatan yang lebih berat, sebaiknya digunakan plasma dan
atau cairan pengganti plasma. Kecepatan pemberian plasma dan cairan harus
dihitung sesuai dengan jumlah yang hilang, biasanya diukur dengan
mikrohematokrit. Peningkatan nilai hematokrit yang terus-menerus walaupun
152
sudah diguyur dengan cairan memberi indikasi bahwa perlu diberikan plasma atau
koloid lain. Pengamatan yang ketat perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya
overhidrasi. Transfusi darah dilakukan bila terjadi perdarahan berat yang
memicu turunnya hematokrit. Penggunaan heparin untuk mengobati
perdarahan massive oleh sebab adanya “Dessiminated Intra Vascular
Coagulation” berbahaya, tidak ada manfaatnya. Plasma segar, fibrinogen dan
konsentrat trombosit digunakan untuk mengobati perdarahan berat. Aspirin
merupakan kontraindikasi sebab dapat menimbulkan perdarahan.
D dan E: Penanggulangan Wabah, Implikasi Bencana dan Tindakan lebih lanjut : lihat
Demam Dengue di atas.
DERMATOFITOSIS ICD-9 110; ICD-10 B35
(Tinea, Cacing gelang (Ring-worm), Dermatomikosis, Epidermofitosis, Trikofitosis,
Mikrosporiosis)
Dermatofitosis dan tinea yaitu terminologi umum, merupakan sinonim untuk penyakit jamur
yang menyerang bagian tubuh yang memiliki lapisan tanduk (rambut, kuku dan kulit).
Berbagai genus dan spesies jamur yang secara kolektif disebut sebagai dermatofit yaitu
Pemicu dermatofitosis. Dermatofitosis ini dibagi menurut tempat infeksi.
I. TINEA BARBAE DAN TINEAS CAPITIS ICD-9 110.0; ICD-10 B35.0
(Cacing gelang dari jenggot dan kulit kepala, Kerion, Favus)
1. Identifikasi
Penyakit jamur yang muncul sebagai papula kecil dan menyebar periferal, meninggalkan
bercak bersisik yang memicu botak sementara. Rambut yang terinfeksi menjadi
rapuh dan mudah patah. Kadang-kadang muncul luka basah bernanah yang disebut kerion.
Favus dari kulit kepala (ICD-9 110.9) merupakan varietas dari Tinea capitis yang
disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii. Ciri-cirinya berbau seperti tikus, membentuk
crusta cekung (scutulae), yang menempel pada kulit kepala. Rambut yang terkena tidak
patah namun berubah menjadi abu-abu dan suram, terkadang rontok dan memicu
kebotakan yang permanen.
Tinea capitis dapat dengan mudah dibedakan dengan piedra, infeksi jamur dari rambut
yang ditemukan di Amerika Selatan dan beberapa negara di Asia Tenggara dan Afrika.
Piedra memiliki ciri-ciri hitam, dengan benjolan kecil seperti pasir pada akar rambut
disebabkan oleh Piedraia hortai atau dengan benjolan-bejolan lunak pucat putih
disebabkan oleh Trichosporon beigelii, yang sekarang disebut sebagai T. ovoides atau T.
inkin.
153
Pemeriksaan kulit kepala dengan sinar ultra violet (lampu Wood) untuk menemukan
pantulan sinar fluoresen hijau-kuning berguna untuk mendiagnosa Tinea capitis yang
disebabkan oleh Microsporum canis dan M. audouinii; spesies Trichopyton tidak
memantulkan sinar fluoresen. Infeksi yang disebabkan oleh spesies Microsporum,
pemeriksaan mikroskopis dilakukan terhadap sediaan yang diambil dari sisik kulit dan
rambut yang dilarutkan dengan kalium hidroksida 10% atau dengan memakai
mikroskop ultra violet untuk memeriksa sediaan putih alkofluor akan tampak gambaran
yang khas berupa adanya invasi “hyaline ectothrix arthrospores”. Jamur ini sebaiknya
dikultur untuk konfirmasi diagnosa. sedang infeksi jamur oleh Trichophyton spp
menunjukkan pola invasi endothrix (didalam rambut).
2. Pemicu Penyakit
Bermacam-macam spesies dari Microsporum dan Trichophyton. Identifikasi genus dan
spesies jamur penting untuk prognosa penyelidikan epidemiologis.
3. Distribusi Penyakit
Infeksi Tinea capitis yang disebabkan oleh Trichophyton tonsurans sekarang mewabah di
daerah perkotaan di Amerika Serikat bagian timur, Puerto Rico, Meksiko dan Australia.
Infeksi M. canis pada manusia ditemukan di daerah perkotaan dan pedesaan dimana
kucing dan anjing di daerah ini terinfeksi. Pada masa lampau, M. audouinii
menyebar di Amerika Serikat terutama di daerah perkotaan; infeksi T. verrucosum dan T.
mentagrophytes var mentagrophytes ditemukan terutama di daerah perkotaan dimana
penyakit ini ada pada hewan ternak, kuda, tikus dan binatang liar.
4. Reservoir
Manusia untuk T. tonsurans, T. schoenileinii dan T. audouinii; sedang binatang
terutama anjing, kucing dan hewan ternak merupakan reservoir organisme selain yang
disebutkan di atas.
5. Cara Penularan
Langsung dari kulit ke kulit atau kontak tidak langsung, terutama dari kursi di bioskop,
melalui penjepit rambut di salon atau tukang cukur, melalui barang-barang yang biasa ada
di toilet seperti sisir atau sikat rambut, atau baju dan topi yang terkontaminasi dengan
rambut dari orang yang terinfeksi maupun dari binatang.
6. Masa Inkubasi - Biasanya 10 – 14 hari.
7. Masa Penularan - Jamur bisa ditemukan pada benda-benda yang terkontaminasi dalam
jangka waktu yang lama.
8. Kekebalan dan Kerentanan
Anak-anak di bawah usia pubertas memiliki risiko tinggi terhadap infeksi M. canis;
semua golongan umur bisa terinfeksi Trichophyton. Infeksi ulang jarang terjadi.
154
9. Cara Pemberantasan
A. Tindakan Pencegahan:
1) Beri penyuluhan kepada warga , terutama orang tua tentang bahaya dan cara
penularan penyakit ini dari orang yang terinfeksi atau dari binatang yang terinfeksi
seperti anjing, kucing dan binatang lain.
2) Dalam keadaan wabah atau di daerah hiperendemis dimana spesies non-
Trichophyton tersebar luas, lakukan survey kepala terhadap anak-anak dengan
memakai sinar ultra violet (lampu Wood) sebelum mereka masuk ke sekolah.
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: laporan wajib diberikan bila terjadi
wabah; kasus perorangan tidak dilaporkan, Kelas 4 (lihat tentang pelaporan
penyakit menular).
2) Isolasi: tidak dilakukan.
3) Desinfeksi serentak: Pada kasus ringan lakukan pencucian kulit kepala setiap kali
untuk menghilangkan rambut yang rontok. Penggunaan sampo selenium sulfide
untuk menghilangkan lapisan kulit yang mengelupas cukup bermanfaat. Pada
kasus yang berat cuci kulit kepala setiap hari dan tutupi rambut dengan topi. Topi
yang terkontaminasi sebaiknya direbus sesudah digunakan.
4) Karantina: tidak praktis.
5) Imunisasi kontak: tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan penelitian kontak yang ada di
rumah tangga, binatang rumah dan binatang ternak untuk melihat kemungkinan
adanya infeksi; obati bila ada yang terinfeksi. Beberapa jenis binatang terutama
kucing, bisa bertindak sebagai carrier yang tidak menunjukkan gejala.
7) Pengobatan khusus: Griseofulvin (Gris-PEG®) diberikan secara oral paling sedikit
selama 4 minggu sebagai obat pilihan. Antibiotika sistemik berguna untuk
mencegah infeksi sekunder oleh bakteri pada ringworm; pada kasus kerion,
gunakan juga salep keratolitik dan kapas penutup kulit kepala. Lakukan
pemeriksaan setiap minggu dan lakukan kultur; pada saat kultur menjadi negatif
dapat dikatakan sudah sembuh total.
C. Penanggulangan Wabah: Jika KLB terjadi di sekolah atau tempat lain, beri
penyuluhan kepada anak-anak dan orang tua bagaimana cara penyebaran dan
pencegahan penyakit ini serta melakukan kebersihan perorangan. Hubungi perawat
dan dokter untuk mendiagnosa penyakit, dan lakukan survey tindaklanjut.
D. Implikasi bencana: tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada.
155
II. TINEA CRURIS ICD-9 110.3; ICD-10 B35.6
(Ringworm pada daerah inguinal dan daerah perianal)
TINEA CORPORIS ICD-9 110.5; ICD-10 B35.4
(Cacing cincin di tubuh)
1. Identifikasi
Penyakit jamur kulit yang menyerang selain kulit kepala, jenggot dan kaki dengan lesi
rata, menyebar dan berbentuk cincin. Tepi luka biasanya berwarna merah, vesiculair atau
pustulair mungkin kering dan bersisik atau lembab berkerak. Ketika lesi menyebar ke arah
periferal, bagian tengah terkadang bersih, meninggalkan kulit yang nampak normal.
Membedakannya dengan kandidiasis inguinal penting oleh sebab pengobatannya
berbeda.
Diagnosa presumptif dibuat dengan mengambil sampel dari tepi luka yang sudah lanjut,
direndam dalam potassium hidroksida 10% dan diperiksa di bawah mikroskop atau
diperiksa dengan mikroskop ultra violet terhadap sediaan calcofluor putih untuk melihat
segmentasi, cabang filamen hyaline dari jamur. Identifikasi pasti dilakukan dengan kultur.
2. Pemicu Penyakit - Sebagian besar spesies dari Mircosporum dan Trichophyton; juga
Epidermophyton floccosum, Stytalidium dimidiatum dan S. hyalinum memicu “tipe
kering” tinea korporis pada daerah tropis.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar di seluruh dunia dan relatif sering ditemukan. Infeksi pada pria lebih sering
terjadi daripada wanita.
4. Reservoir - Manusia, binatang dan tanah; tinea cruris hampir selalu pada pria.
5. Cara Penularan
Kontak langsung atau tidak langsung dengan kulit dan kulit kepala dari orang yang
terinfeksi, lesi dari binatang; lantai yang terkontaminasi; tiang pancuran kamar mandi,
bangku dan benda-benda sejenis.
6. Masa Inkubasi - Biasanya 4 – 10 hari.
7. Masa Penularan
Selama kulit masih ada dan jamur masih bertahan pada barang-barang yang
terkontaminasi.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Seluruh bagian tubuh bisa terinfeksi, dapat diperburuk oleh gesekan dan keringat yang
banyak pada bagian ketiak dan inguinal, dan pada saat suhu lingkungan dan kelembaban
tinggi. Semua umur rentan terhadap penyakit ini.
156
9. Cara Pemberantasan
A. Tindakan Pencegahan
Cuci handuk dan baju dengan air panas dan atau dengan obat anti jamur, menjaga
kebersihan di pancuran kamar mandi dan tempat ganti ruang olah raga, membersihkan
bangku secara berkala, menyemprot dan pengeringan cepat kamar mandi. Obat anti
jamur seperti kresol baik digunakan untuk membersihkan bangku dan lantai.
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat, wabah wajib dilaporkan, tidak ada
laporan khusus untuk kasus perorangan, Kelas 4 (lihat tentang pelaporan penyakit
menular). Laporkan infeksi pada anak-anak sekolah kepada pihak yang
berwenang.
2) Isolasi: Ketika masih dalam masa pengobatan, anak-anak yang terinfeksi
sebaiknya tidak memakai ruang olah raga, kolam renang dan dilarang
melakukan kegiatan yang bisa menularkan penyakit kepada orang lain.
3) Desinfeksi serentak: Pencucian baju berulang kali dengan benar.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Periksalah sekolah dan kontak di rumah,
binatang peliharaan dan binatang ternak, obati penderita bila perlu.
7) Pengobatan khusus: mandikan dengan sabun dan air secara seksama, bersihkan
keropeng dari lesi dan berikan obat anti jamur tropical seperti miconazole,
ketoconazole, clotrimazole, econazole, naftifine, terbinafine, tolnaftate atau
ciclopirox. Pemberian Griseofulvin (Gris-PEG®) oral cukup efektif, itraconazole
(Sporanox®) atau terbinafine (Lamisil®) juga efektif.
C. Penanggulangan Wabah: Beri penyuluhan kepada anak-anak dan orang tua tentang
cara-cara penularan penyakit ini serta menjaga kebersihan perorangan.
D. Implikasi bencana: Tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
III. TINEA PEDIS ICD-9 110.4; ICD-10 B35.3
(Ringworm kaki, Kaki atlit)
1. Identifikasi
Penyakit jamur ini dikenal dengan adanya kaki yang pecah-pecah dan mengelupas,
terutama diantara jari kaki, atau luka lepuh yang mengandung cairan; biasa disebut kaki
atlet. Pada kasus yang berat, lesi vesikuler muncul di beberapa bagian tubuh, terutama
tangan; dermatofitid ini tidak mengandung jamur namun merupakan reaksi alergi terhadap
produk jamur.
Diagnosa presumtif dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dari preparat yang
157
direndam dengan kalkofluor putih yang diambil dari luka antara jari kaki, terlihat cabang
filament berbuku-buku. Gambaran klinis dari lesi bukanlah untuk diagnostic; diagnosa
pasti dengan kultur.
2. Pemicu Penyakit
Trichophyton rubrum, T. mentagrophytes varian interdigitale dan Epidermophyton
floccosum.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang umum. Orang dewasa lebih
sering terkena daripada anak-anak, dan laki-laki lebih sering daripada perempuan. Infeksi
lebih sering dan lebih parah pada musim panas.
4. Reservoir : - Manusia.
5. Cara Penularan
Kontak langsung atau tidak langsung dengan lesi kulit orang yang terinfeksi atau lantai
yang terkontaminasi, tiang pancuran kamar mandi atau barang-barang lain yang
digunakan orang yang terinfeksi.
6. Masa Inkubasi: - Tidak diketahui.
7. Masa Penularan: Sepanjang lesi dan spora masih ada pada barang-barang yang
terkontaminasi.
8. Kekebalan dan Kerentanan: Kerentanan bervariasi dan infeksi bisa tidak
menampakkan gejala. Serangan ulang sering terjadi.
9. Cara Pemberantasan
A. Tindakan Pencegahan
Untuk tinea corporis, beri penyuluhan kepada warga untuk menjaga kebersihan
perorangan dengan ketat; keringkan sela jari kaki sesudah mandi; gunakan bedak tabur
yang dapat membasmi jamur pada kaki terutama di sela jari kaki. Sepatu yang ketat
memberikan kemungkinan kaki terkena infeksi.
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: memberi laporan wajib dilakukan
jika terjadi KLB. Kasus individual tidak dilaporkan, Kelas 4 (lihat tentang
pelaporan penyakit menular). Laporkan kepada pihak yang berwenang jika
ditemukan peningkatan jumlah penderita di sekolah.
2) Isolasi: Tidak dilakukan.
3) Desinfeksi serentak: rebus kaos kaki dari mereka yang menderita infeksi agar tidak
terjadi infeksi ulangan.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi Kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak dilakukan.
158
7) Pengobatan Khusus: Fungisida tropical seperti miconazole, clotrimazole,
ketoconazole, ciclopirox atau tolnaftat. Gunakan sandal agar kaki kering terkena
udara, gunakan bedak tabur. Griseofulvin (Gris-PEG®) oral diberikan jika terjadi
infeksi berat atau terjadi infeksi yang lama, namun kurang efektif dibandingkan
dengan pemberian anti jamur tropikal yang dilakukan secara teratur.
C. Penanggulangan Wabah: Bersihkan dan cuci lantai ruang olah raga dengan seksama
begitu juga terhadap pancuran kamar mandi dan sumber-sumber infeksi yang lain;
lakukan desinfeksi dengan obat anti jamur seperti kresol. Berikan penyuluhan kepada
warga tentang cara-cara penularan penyakit ini.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
IV. TINEA UNGUIUM ICD-9 110.1; ICD-10 B35.1
(Ringworm kuku, Onychomycosis)
1. Identifikasi
Penyakit jamur kronis yang terjadi pada satu atau lebih kuku jari tangan atau kaki. Kuku
secara perlahan menjadi tebal, berubah warna dan rapuh, nampak akumulasi dari material
yang seperti keju dari bawah kuku atau kuku mengapur dan rapuh.
Diagnosa dibuat dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis dari sediaan yang direndam
dengan kalium hidroksida yang diambil dari kuku dan kotoran di bawah kuku untuk
melihat adanya hyaline jamur. Etiologi pasti ditegakkan dengan melakukan kultur.
2. Pemicu Penyakit
Beberapa spesies dari Trichophyton. Jarang disebabkan oleh spesies Epidermophyton
floccosum, Microsporum atau Scytalidium.
3. Distribusi Penyakit - Ditemukan dimana-mana dan umum terjadi.
4. Reservoir - Manusia; jarang pada binatang atau tanah.
5. Cara Penularan
Diperkirakan sebagai penjalaran dari infeksi kulit yang diperoleh sebab penularan
langsung dari orang yang terinfeksi atau secara tidak langsung sebab kontak dengn lantai
yang terkontaminasi atau tiang pancuran kamar mandi dengan tingkat penularan yang
rendah, bahkan pada anggota keluarga yang terdekat.
6. Masa Inkubasi - Tidak diketahui.
7. Masa Penularan - Sepanjang lesi yang infektif masih ada.
159
8. Kerentanan dan Kekebalan - Kerentanan bervariasi, infeksi ulang sering terjadi.
9. Cara Pemberantasan
A. Tindakan Pencegahan
Kebersihan dan penggunaan obat anti jamur untuk mendisinfeksi lantai umum
digunakan seperti kresol; semprot kamar mandi sesering mungkin dan keringkan
secepatnya.
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat; Laporan resmi tidak dilakukan, Kelas
5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2), 3), 4) 5) dan 6) Isolasi, Desinfeksi serentak, Karantina, Imunisasi Kontak dan
Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak praktis.
7) Pengobatan khusus: Itraconazole dan terminafine oral yaitu obat pilihan.
Griseofulvin (Gris-PEG®) oral kurang efektif. Pengobatan sebaiknya diberikan
hingga kuku tumbuh (sekitar 3-6 bulan untuk kuku tangan dan 12-18 bulan untuk
kuku kaki).
C, D dan E: Penanggulangan wabah, Implikasi bencana dan Tindakan lebih lanjut :
Tidak dilakukan.
DIARE AKUT ICD-9 001-009; ICD-10 A00-A09
Diare akut sering disertai dengan tanda dan gejala klinik lainnya seperti muntah, demam,
dehidrasi dan gangguan elektrolit. Keadaan ini merupakan gejala infeksi yang disebabkan
oleh bakteri, virus dan parasit perut. Penyakit diare yang spesifik seperti kolera, shigellosis,
salmonellosis, infeki Escherichia coli, yersiniosis, giardiasis, enteritis Campylobacter,
cryptosporidiosis dan gastroenteropati virus masing-masing akan dibicarakan secara rinci
dalam bab tersendiri. Diare juga dapat terjadi bersamaan dengan penyakit infeksi lainnya
seperti malaria dan campak, begitu juga dengan keracunan kimia. Perubahan flora usus yang
dipicu antibiotik dapat memicu diare akut sebab pertumbuhan berlebihan dan toksin
dari Clostridium difficile.
Sebetulnya 70%-80% dari kejadian diare yang muncul sporadis diantara orang-orang yang
datang ke fasilitas kesehatan di negara yang sedang berkembang dapat didiagnosa secara tepat
jika tersedia fasilitas laboratorium yang mutakhir dan dimanfaatkan dengan baik. Di Amerika
Serikat, diperkirakan ada 5 juta kasus diare per tahun dan kira-kira hanya 4 juta yang
mendatangi fasilitas kesehatan, gambaran yang dapat dipercaya kira-kira ini merupakan 45%
dari kejadian diare yang sebenarnya . Di Amerika Serikat sebagian besar diare disebabkan
oleh virus, dan yang paling utama yaitu rotavirus. Proporsi yang lebih kecil diare di Amerika
Serikat disebabkan oleh pathogen seperti E. coli, spesies Salmonella dan Shigella, spesies
Vibrio dan Cl. difficile.
160
Dari sudut pandang klinis praktis, penyakit diare dapat dibagi menjadi 6 gejala klinik:
1) Diare ringan, diatasi dengan pemberian larutan rehidrasi oral yang terdiri dari air, glukosa
dan elektrolit, sedang etiologi spesifik tidaklah penting dalam penatalaksanaan;
2) Diare berdarah (disenteri) disebabkan oleh organisme seperti Shigella, E. coli 0157: H7
dan beberapa organisme tertentu;
3) Diare persisten yang berlangsung paling sedikit selama 14 hari;
4) Diare berat seperti pada Cholera
5) Diare ringan tanpa dehidrasi sebab muntah, disebabkan oleh virus gastroenterides; diare
sebab toksin, seperti yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Bacillus creus, atau
Cl. perfringens; dan
6) Colitis hemoragika, dengan diare cair mengandung darah banyak namun tanpa demam atau
fekal lekositosis.
Penyakit-penyakit ini tersendiri dibahas pada bab lain.
DIARE YANG DISEBABKAN OLEH ESCHERICHIA COLI
ICD-9 008.0; ICD-10 A04.0-A04.4
Strain Escherichia coli Pemicu diare terdiri dari enam kategori utama: 1) entero-
hemorrhagic; 2) enterotoxigenic; 3) enteroinvasive; 4) enteropathogenic; 5)
enteroaggregative; dan 6) diffuse adherent. Setiap kategori memiliki patogenesis yang
berbeda, perbedaan virulensi, dan terdiri dari serotype O:H yang terpisah. Juga terlihat adanya
perbedaan gejala klinis dan gambaran epidemiologis.
I. DIARE YANG DISEBABKAN OLEH STRAIN ENTEROHEMORAGIKA
ICD-9 008.0; ICD-10 A04.3
(EHEC, E. coli penghasil toksin Shiga [STEC]
E. coli O 157:H7, E. coli penghasil verotoksin) [VTEC]
1. Identifikasi
Kategori E. coli Pemicu diare ini dikenal pada tahun 1982 ketika terjadi suatu KLB
colitis hemoragika di Amerika Serikat yang disebabkan oleh serotipe yang tidak lazim, E.
coli O157:H7 yang sebelumnya tidak terbukti sebagai patogen enterik. Diare dapat
bervariasi mulai dari yang ringan tanpa darah sampai dengan terlihat darah dengan jelas
dalam tinja namun tidak mengandung lekosit. Yang paling ditakuti dari infeksi EHEC
yaitu sindroma uremia hemolitik (HUS) dan purpura trombotik trombositopenik (TTP).
Kira-kira 2-7% dari diare sebab EHEC berkembang lanjut menjadi HUS. EHEC
mengeluarkan sitotoksin kuat yang disebut toksin Shiga 1 dan 2. Toksin Shiga 1 identik
dengan toksin Shiga yang dikeluarkan oleh Shigella dysentriae 1; khususnya, HUS juga
dikenal suatu komplikasi berat dari penyakit S. dysentriae 1. Sebelumnya toksin-toksin ini
disebut verotoksin 1 dan 2 atau toksin I dan II mirip-Shiga. Keluarnya toksin-toksin ini
tergantung pada adanya “phages” tertentu yang dibawa oleh bakteri.
161
Disamping itu strain EHEC mengandung plasmid yang ganas yang membantu
menempelnya bakteri pada mukosa usus. Kebanyakan strain EHEC memiliki pulau
pathogen di dalam kromosomnya yang mengandung bermacam gen virulen dengan kode-
kode protein tertentu Pemicu terjadinya penempelan dan penyembuhan luka pada
mukosa usus.
Di Amerika Utara strain dari serotipe EHEC yang paling umum yaitu 0157:H7, dapat
diidentifikasi dari kultur tinja, terlihat dari ketidakmampuannya meragikan sarbitol dari
media seperti MacConkey-sorbitol (media ini digunakan untuk skrining E. coli 0157:H7).
Sejak diketahui bahwa pada strain EHEC yang bisa meragikan sarbitol, maka teknik lain
untuk mendeteksi EHEC perlu dikembangkan. Teknik yang perlu dikembangkan ini
termasuk kemampuan mendeteksi adanya toksin Shiga. Kemampuan melakukan
identifikasi karakteristik serotipe atau penggunaan probes DNA untuk identifikasi gen
toksin punya kemampuan mendeteksi adanya plasmid virulens EHEC atau sekuensi
spesifik dalam pulau patogenik. Tidak adanya demam pada kebanyakan pasien dapat
membantu membedakan penyakit ini dari shigellosis dan disentri yang disebabkan oleh
strain enteroinvasive E. coli atau oleh Campylobacter.
2. Pemicu Penyakit
Serotipe EHEC utama yang ditemukan di Amerika Utara yaitu E. coli 0157:H7; serotipe
lainnya seperti 026:H11; 0111:H8; 0103:H2; 0113:H21; dan 0104:H21 juga ditemukan.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini sekarang ini dianggap masalah kesehatan warga di Amerika Utara,
Eropa, Afrika Selatan, Jepang, ujung selatan Amerika Selatan dan Australia. sedang di
bagian lain belahan bumi, penyakit ini belum menjadi masalah. KLB hebat, KLB dengan
colitis hemoragika, HUS disertai dengan kematian terjadi di Amerika sebab hamburger
yang tidak dimasak dengan baik, susu yang tidak dipasteurisasi, cuka apel (dibuat dari
apel yang kemungkinan tercemar kotoran sapi) dan sebab mengkonsumsi tauge alfafa.
4. Reservoir
Ternak merupakan reservoir EHEC terpenting; manusia dapat juga menjadi sumber
penularan dari orang ke orang. Terjadi peningkatan kejadian di Amerika Utara dimana
rusa dapat juga menjadi reservoir.
5. Cara Penularan
Penularan terjadi terutama sebab mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi seperti:
tercemar dengan Salmonella, hal ini paling sering terjadi sebab daging sapi yang tidak
dimasak dengan baik (terutama daging sapi giling) dan juga susu mentah dan buah atau
sayuran yang terkontaminasi dengan kotoran binatang pemamah biak. Seperti halnya
Shigella, penularan juga terjadi secara langsung dari orang ke orang, dalam keluarga,
pusat penitipan anak dan asrama yatim piatu. Penularan juga dapat melalui air, misalnya
pernah dilaporkan adanya KLB sehabis berenang di sebuah danau yang ramai dikunjungi
orang dan KLB lainnya disebabkan oleh sebab minum air PAM yang terkontaminasi dan
tidak dilakukan klorinasi dengan semestinya.
6. Masa Inkubasi
Relatif panjang berkisar antara 2 sampai 8 hari, dengan median antara 3-4 hari.
162
7. Masa Penularan
Lamanya ekskresi patogen kira-kira selama seminggu atau kurang pada orang dewasa dan
3 minggu pada kira-kira sepertiga dari anak-anak. Jarang ditemukan “carrier” yang
berlarut-larut.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Dosis infeksius sangat rendah. Hanya sedikit yang diketahui tentang spektrum dari
kerentanan dan kekebalan. Umur tua memiliki risiko lebih tinggi, hipoklorhidria
diduga menjadi faktor yang terkontribusi pada tingkat kerentanan. Anak usia di bawah 5
tahun berisiko paling tinggi untuk mendapat HUS.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan
Mengingat bahwa penyakit ini sangat potensial menimbulkan KLB dengan kasus-
kasus berat maka kewaspadaan ini dari petugas kesehatan setempat untuk mengenal
sumber penularan dan melakukan pencegahan spesifik yang memadai sangat
diperlukan. Begitu ada penderita yang dicurigai segera lakukan tindakan untuk
mencegah penularan dari orang ke orang dengan cara meminta semua anggota
keluarga dari penderita untuk sering mencuci tangan dengan sabun dan air terutama
buang air besar, sehabis menangani popok kotor dan sampah, dan melakukan
pencegahan kontaminasi makanan dan minuman. Langkah-langkah yang perlu
dilakukan untuk mengurangi Distribusi Penyakit sebagai berikut:
1) Mengelola kegiatan rumah pemotongan hewan dengan benar untuk mengurangi
kontaminasi daging oleh kotoran binatang.
2) Pasteurisasi susu dan produk susu.
3) Radiasi daging sapi terutama daging sapi giling.
4) Masaklah daging sapi sampai matang dengan suhu yang cukup terutama daging
sapi giling. The USA Food Safety Inspection Service dan the 1997 FDA Food Code
merekomendasikan memasak daging sapi giling pada suhu internal 155ºF (68ºC)
paling sedikit selama 15-16 detik. Hanya dengan melihat warna merah muda
daging yang menghilang, tidak dapat dibandingkan dengan kecepatan pengukuran
suhu memakai termometer daging.
5) Lindungi dan lakukan pemurnian dan klorinasi air PAM; lakukan klorinasi kolam
renang.
6) Pastikan bahwa kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan pada pusat
penampungan anak, terutama sering mencuci tangan dengan sabun dan air sudah
menjadi budaya sehari-hari.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada pejabat kesehatan setempat: Laporan kasus infeksi E. coli
0157:H7 merupakan keharusan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan
di banyak negara, Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular). Mengenal
KLB secara dini dan segera melaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat
sangatlah penting.
2) Isolasi: Selama penyakit dalam keadaan akut, tindakan pencegahan dengan
kewaspadaan enterik.
163
Walaupun dengan dosis infektif yang amat kecil, pasien yang terinfeksi dilarang
menjamah makanan atau menjaga anak atau merawat pasien sampai hasil sampel tinja
atau suap dubur negatif selama 2 kali berturut-turut (diambil 24 jam secara terpisah
dan tidak lebih cepat dari 48 jam setelah pemberian dosis antibiotik yang terakhir).
3) Disinfeksi serentak: dilakukan terhadap tinja dan barang-barang yang
terkontaminasi. warga yang memiliki sistem pembuangan kotoran modern
dan memadai, tinja dapat dibuang langsung kedalam saluran pembuangan tanpa
dilakukan desinfeksi. Pembersihan terminal.
4) Karantina: tidak ada.
5) Penatalaksanaan kontak: Jika memungkinkan mereka yang kontak dengan diare
dilarang menjamah makanan dan merawat anak atau pasien sampai diare berhenti
dan hasil kultur tinja 2 kali berturut-turut negatif. Mereka diberitahu agar mencuci
tangan dengan sabun dan air sehabis buang air besar dan sebelum menjamah
makanan atau memegang anak dan merawat pasien.
6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: kultur kontak hanya terbatas dilakukan
pada penjamah makana, pengunjung dan anak-anak pada pusat perawatan anak
dan situasi lain dimana penyebaran infeksi mungkin terjadi. Pada kasus sporadic,
melakukan kultur makanan yang dicurigai tidak dianjurkan sebab kurang
bermanfaat.
7) Pengobatan spesifik: Penggantian cairan dan elektrolit penting jika diare cair atau
adanya tanda dehidrasi (lihat Kolera, 9B7). Peranan pengobatan antibiotika
terhadap infeksi E. coli 0157:H7 dan EHEC lainnya tidak jelas. Bahkan beberapa
kejadian menunjukkan bahwa pengobatan dengan TMP-SMX fluorquinolones dan
antimikrobial tertentu lainnya dapat sebagai pencetus komplikasi seperti HUS.
C. Penanggulangan Wabah
1) Laporkan segera kepada pejabat kesehatan setempat jika ditemukan adanya
kelompok kasus diare berdarah akut, walaupun agen Pemicu belum diketahui.
2) Cari secara intensif media (makanan ata