Manusia.
5. Cara-cara penularan – Ditularkan oleh lalat rusa dari genus Chrysops. Chrysops
dimidiata, C. silacea dan spesies lainnya yang mengisap darah yang mengandung
mikrofilariae; kemudian larva tumbuh didalam tubuh lalat menjadi stadium infeksi dalam
waktu 10 – 12 hari. Larva yang infektif bermigrasi kebelalai lalat dan dipindahkan ke
manusia melalui gigitan lalat ini .
315
6. Masa inkubasi – Gejala biasanya tidak terlihat sampai beberapa tahun setelah infeksi
terjadi, namun dapat juga terlihat paling dini dalam 4 bulan. Mikrofilariae dapat terlihat
didarah tepi paling dini 6 bulan setelah infeksi terjadi.
7. Masa penularan – Cacing dewasa dapat bertahan terus-menerus pada tubuh manusia,
mengeluarkan mikrofilariae yang masuk kedalam darah selama 17 tahun; dalam tubuh
lalat, penularan terjadi 10 - 12 hari setelah infeksi sampai semua larvae penular telah
dikeluarkan, atau sampai lalat ini mati.
8. Kerentanan dan kekebalan – Semua orang rentan terhadap penyakit ini, dapat terjadi
infeksi berulang-ulang dan kebal, jika ada, belum pernah dibuktikan.
9. Cara-cara pemberantasan:
A. Tidakan pencegahan:
1). Tindakan langsung terhadap pemberantasan larvae lalat dinilai efektif namun tidak
terbukti sebab daerah berkembang biak biasanya lembab, berlumpur dan sangat
sangat luas.
2). Diethyltoluamide (Deet®, Autan® ) atau dimethyl phthalate yang dioleskan pada
bagian kulit yang terbuka efektif mengusir lalat.
3). memakai pakaian pelindung (baju dan celana panjang), rumah berkasa.
4). Bagi warga yang tinggal untuk sementara waktu didaerah endemik yang
berisiko tinggi, pemberian dosis mingguan diethyl carbamazine (300 mg) dapat
mencegah infeksi (sebagai profilaksis).
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya:
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan tertulis tidak diperlukan,
Kalsifikasi 5 (lihat Laporan Penyakit Menular).
2). Isolasi: Jika memungkinkan penderitaa yang memiliki mikrofilarie harus
dilindungi dari gigitan Chrysops untuk mengurangi penularan.
3). Disinfeksi serentak: Tidak ada.
4). Karantina : Tidak ada.
5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada.
6). Investigasi terhadap orang-orang yang kontak dan sumber infeksi: Tidak ada,
merupakan masalah warga .
7). Pengobatan khusus: Diethylcarbamasin (DEC, Banocide®, Hetrazan®, Notezine)
membunuh mikrofilarie dan cacing dewasa dengan hasil sempurna. Selama masa
terapi, reaksi hipersensitif terhadap obat (terkadang berat) biasa terjadi namun bisa
diatasi dengan pemberian steroid dan atau anti histamine. Jika terdapat banyak
mikrofilariae dalam darah (lebih dari 2000 /ml darah), ada resiko terjadi
meningoencephelitis, dan manfaat pengobatan harus dipertimbangkan terhadap
risiko terkena encephalopathy yang mengerikan; oleh sebab itu pengobatan
dengan DEC harus bersifat individual dan dibawah pengawasan medis yang ketat.
Pengobatan dengan memakai Ivermectin (Mectizan®) juga dapat mengurangi
mikrofilariae, dan reaksi balik lebih ringan dibandingkan DEC. Albendazole juga
mengurangi mikrofilariae dalam darah secara perlahan-lahan dan mungkin dapat
membunuh cacing dewasa. Mengeluarkan cacing dewasa dari bawah conjunctiva
316
dengan cara operasi dapat dilakukan jika memungkinkan. Encephlopathy Loa-loa
pernah dilaporkan terjadi setelah dilakukan pengobatan ivermecitin untuk
onchocherciasis.
C. Penanggulangan wabah: Tidak dilakukan.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
PENYAKIT LYME ICD-9 104.8, 088.81; ICD-10 A69.2, L90.4
(Lyme borreliosis, Tickborne meningopolyneuritis)
1. Identifikasi
Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirochaeta sebab gigitan kutu ditandai dengan
lesi yang jelas dan khas pada kulit, dengan gejala sisthemik dan neurologis, rheumatik dan
kelainan jantung dengan kombinasi yang bervariasi selama beberapa bulan dan tahun.
Gejala awalnya bergantian dan berubah-ubah. Penyakit ini khas terjadi pada musim panas,
dan bentuk awalnya pada 90 % penderita terlihat berupa macula atau papula merah yang
membesar perlahan berbentuk cincin, kadang-kadang bagian tengahnya bersih. Luka khas
pada kulit ini disebut ‘’erythema migrans‘’ (EM; dulu disebut ‘’erythema chronicum
migrans”. EM jumlahnya bisa sebuah atau banyak. Pertimbangan penting untuk tujuan
surveilans kasus yaitu luka EM harus mencapai diameter 5 cm. Dengan atau tanpa EM,
gejala awal sistemik penyakit berupa rasa tidak enak badan, demam, kelelahan, sakit
kepala, kaku leher, myalgia, anthralgia yang berpindah dan atau lymphadenopathy, semua
itu bisa bertahan selama beberapa minggu atau lebih pada penderita yang tidak diobati.
Dalam beberapa minggu atau bulan setelah munculnya lesi EM, bisa terjadi kelainan
syaraf seperti aseptic meningitis ringan dan neoritis syaraf carnial termasuk kelumpuhan
syaraf wajah, chorea, ataxia cerebellar, radiculoneuritis syaraf sensorik atau motorik,
myelitis maupun ensefalitis; gejala penyakit ini berubah-rubah dapat berakhir beberapa
bulan dan dapat menjadi kronis. Kelainan jantung (termasuk atrioventicular block dan
myopericarditis akut atau cardiomegaly) dapat terjadi dalam beberapa minggu setelah
munculnya EM. Berminggu-minggu hingga bertahun-tahun setelah onset (rata-rata 6
bulan), pembengkakan dan rasa sakit pada sendi besar secara berulang-ulang terutama
lutut, dapat terjadi dalam beberapa tahun; mengakibatkan radang sendi kronis. Sama
seperti diatas, terkadang pada infeksi yang laten dan panjang, kelainan neurologist kronis
dapat terjadi termasuk encephalopathy, polyneuropathy atau leukoencephalitis; LCS
sering menunjukkan adanya lymphocytic pleocytosis dan meningkatnya jumlah protein,
sedang elektromiogram biasanya tidak normal.
Diagnosa saat ini didasarkan pada gejala-gejala klinis didukung oleh tes serologis yang
dilakukan dalam dua tahap, dengan IFA, ELISA, dilanjutkan dengan Western
immunoblot. Tes serologis, yang tidak standar harus dibaca dengan hati-hati. Tes ini
tidak sensitif pada infeksi yang baru berjalan beberapa minggu dan mungkin tetap
317
menunjukan hasil negatif pada penderita yang diobati dengan antibiotik. Tes ELISA untuk
antibodi IgM yang memakai rekombinan permukaan luar protein C (rOspC) terbukti
lebih sensitif untuk diagnosis dini dari pada ELISA yang memakai seluruh sel ELISA
atau assay immunoblot. Kepekaan tes akan meningkat seiring dengan tahap akhir
perjalanan penyakit, namun ada kemungkinan dalam porsi kecil penderita penyakit Lyme
tetap sero negatif. Reaksi silang antara antibodi IFA dan ELISA dapat memicu
reaksi ‘false positive‘, pada penderita sipilis, demam berulang, leptospirosis, infeksi HIV,
demam bercak Rocky Mountain, mononucleusis infectiosa, lupus atau rheumatoid
arthritis. Spesifitas tes serologis meningkat dengan memakai tes immunoblot pada
semua spesimen yang menunjukan hasil posistif atau samar-samar dengan IFA dan
ELISA. Ethiologi agen Pemicu penyakit yaitu Borrellia burgdorferi, tumbuh pada
suhu 33º C (91,4º F) media Barbour, Stoenner, Kelly (BSK); spesies lain yang
memicu penyakit serupa Lime tidak dapat tumbuh dengan baik pada media ini.
Isolasi dari darah dan biopsi jaringan tubuh sulit dilakukan, namun biopsi luka EM bisa
menemukan organisme ini 80% dari kasus atau lebih. Dengan PCR, materi genetik
B. burgdorferi dapat diketahui dari cairan sinovial, CSF, kulit dan jaringan tubuh lain,
darah dan urine; namun manfaat penggunaan pemeriksaan PCR pada penatalaksanaan
penderita penyakit Lime secara rutin masih harus dibuktikan.
2. Pemicu penyakit – Spirocheta Pemicu penyakit Lyme Amerika Utara, B.
burgdorferi, ditemukan pada tahu 1982. Tiga kelompok genom B. burgdorferi sensu lato
baru-baru ini ditemukan di Eropa. Mereka dinamakan B. burgdorferi sensu stricto, B.
garinii dan B. afzelii.
3. Distribusi Penyakit
Di AS, fokus-fokus endemis terdapat di sepanjang laut Atlantik dan kebanyakan di
Massachussets dan Maryland; di sebelah atas bagian barat tengah, di Wisconsin dan
Minesota; dan di bagian barat, beberapa daerah di California dan Oregon. Saat ini, dengan
meningkatnya pengetahuan terhadap penyakit ini kasus dilaporkan dari 47 negara bagian
dan dari Ontario dan British Columbia, Canada. Di tempat lain penyakit ini ditemukan di
Eropa, Uni Soviet, Cina, dan Jepang. Infeksi awal biasanya terjadi selama musim panen,
dengan puncaknya pada bulan Juni dan Juli, namun terjadi sepanjang tahun, tergantung
pada musim banyaknya kutu yang berbeda menurut wilayah geografis. Penyebaran
mayoritas kasus bertepatan dengan penyebaran kutu Ixodes scapularis (dulu disebut I.
dammini) di bagian timur dan barat tengah AS. I. pacificus di bagian barat AS dan I.
persulcatus di Asia. Anjing, lembu dan kuda juga bisa menderita penyakit sistemik seperti
kelainan sendi dan jantung sebagimana dialami manusia. Ledakan populasi rusa berekor
putih di AS bagian timur, telah dikaitkan dengan penyebaran penyakit Lyme di daerah ini.
4. Reservoir – Kutu ixodid tertentu melalui penularan transstadial. Hewan pengerat liar,
terutama Peromyscus spp. Di AS bagian timur laut dan bagian barat tengah, dan Neotoma
spp. dii AS bagian barat melanggengkan terjadinya siklus penyebaran enzootic. Rusa
merupakan mamalia yang berperan penting sebagai hospes dari vektor jenis kutu. Larva
kutu dan nimfe hidup pada mamalia kecil, sedang kutu dewasa terutama hidup pada
rusa. Kasus penyakit Lyme terutama berasal dari gigitan nimfe yang terinfeksi.
318
5. Cara penularan – Ditularkan oleh kutu; pada hewan percobaan, penularan oleh I.
scapularis dan I. pasificus biasanya tidak terjadi sampai kutu menempel selama 24 jam
atau lebih; hal ini mungkin juga terjadi pada manusia.
6. Masa inkubasi - Untuk EM, mulai dari 3 – 32 hari (rata-rata 7 – 10 hari ) setelah digigit
kutu meskipun pada tahap awal penyakit ini gejalanya mungkin tidak terlihat jelas, dan
penderita tampak setelah gejala lanjut.
7. Masa penularan – Tidak ada bukti nyata tentang adanya penularan dari orang ke orang
secara alamiah. Jarang dilaporkan kasus penularan bawaan (dari ibu ke anak), tapi
berbagai studi epidemiologi belum membuktikan adanya hubungan antara penyakit Lyme
pada maternal dan kehamilan yang merugikan.
8. Kerentanan dan kekebalan – Semua orang mungkin rentan. Re infeksi terjadi pada
penderita yang pada awal penyakit mendapat pengobatan dengan antibiotik.
9. Cara-cara pemberantasan :
A. Tindakan pencegahan :
1) Memberi penyuluhan pada warga tentang cara-cara penularan melalui kutu
dan pentingnya arti cara-cara perlindungan diri terhadap penularan.
2) Hindari tempat-tempat yang banyak kutu jika memungkin. Untuk meminimalisir
gigitan kutu, pakai baju berwarna terang yang menutupi kaki dan lengan sehingga
kutu bisa lebih mudah terlihat; masukan celana panjang kedalam kaus kaki dan
oleskan penolak kutu seperti diethyltoluamide (deet®, autan®) pada kulit dan
permethrin (repelan dan acaricida kontak) pada celana panjang dan lengan baju.
3) Apabila bekerja atau bermain didaerah yang dihuni kutu, periksalah seluruh bagian
tubuh setiap hari, jangan diabaikan banyak bulu/rambut, segera bersihkan kutu;
kutu ini mungkin sangat kecil. Ambil kutu yang menempel dengan memakai
alat penjepit atau pinset dengan hati-hati dilakukan sedekat mungkin dengan kulit
untuk mencegah adanya bagian mulut tertinggal didalam kulit; lindungi tangan
dengan sarung tangan, kain atau tissue ketika mengambil kutu dari tubuh manusia
atau hewan. Setelah pengambilan, bersihkan bagian yang ditempeli kutu dengan
air dan sabun.
4) Pedoman pemberantasan untuk mengurangi populasi kutu di daerah pemukiman
telah tersedia (manajemen hospes, modifikasi habitat, pemberantasan dengan
memakai bahan kimia), namun umumnya tidak bisa diterapkan pada lokasi
dengan skala yang besar.
5) Selama akhir tahun 1990-an, dua vaksin untuk penyakit Lyme dikembangkan
dengan memakai Rekombinan B. burgdorferi yang dipermukaan luar dilapisi
protein A (rOspA) sebagai immunogen. Pada tahun 1999, salah satu dari vaksin
ini diizinkan penggunaannya oleh FDA untuk orang yang berusia 15 – 70
tahun di AS. Vaksin ini digunakan dengan 3 kali dosis dengan jadwal 0,1 dan 12
bulan serta dinilai aman (tidak memicu arthritis kronis) dan 76% efektif
untuk mencegah timbulnya penyakit Lyme bawaan lahir setelah pemakaian 3 kali
dosis belum ada. Informasi mengenai keamanan dan kemajuan vaksin ini
setelah melewati musim penularan segera setelah pemakaian dosis ketiga.
319
Oleh sebab itu sampai akhir tahun 1999, jangka waktu imunitasprotektif dan
kebutuhan akan dosis booster setelah pemakaian dosis ke tiga tidak diketahui.
a) Vaksin yang disuntikan untuk merangsang terbentuknya antibodi anti-rOspA
secara rutin memberikan hasil positif palsu terhadap tes ELISA untuk penyakit
lyme. Namun demikian, petugas laboratorium yang berpengalaman, setelah
membaca hasil uji Western blot dengan cermat, biasanya dapat membedakan
antara infeksi oleh B. burgdorferi dengan imunisasi rOspA yang baru saja
diberikan sebab antibodi anti-rOspA tidak akan terbentuk setelah terjadi
infeksi alamiah terjadi.
b) Vaksin penyakit Lyme tidak dapat melindungi semua orang dari terinfeksi B.
burgdorferi dan bahkan tidak dapat melindungi dari penyakit lain yang
ditularkan melalui gigitan kutu. Keputusan penggunaan vaksin harus
berdasarkan pada penilaian terhadap setiap individu mengenai risiko digigit
kutu yang terinfeksi dan pertimbangan risiko relatif lain serta keuntungan
penggunaan vaksin jika dibandingkan dengan tindakan protektif lainnya seperti
diagnosis dini dan pengobatan penyakit Lyme.
c) Penilaian risiko (risk assessment) harus mencakup perkiraan penyebaran
penyakit Lyme secara geografis. Daerah dengan risiko tertinggi di AS
terkonsentrasi di bagian timur laut dan utara bagian tengah. Meski demikian,
risiko penyakit Lyme berbeda-beda tidak hanya antar wilayah, antar propinsi
dan antara kabupaten dalam satu propinsi, namun bahkan antara kecamatan di
dalam kabupaten dan kota. Informasi lebih lengkap tentang penyebaran risiko
penyakit Lyme disuatu tempat tertentu dapat diperoleh dari instansi kesehatan
warga di daerah setempat.
d) Di daerah yang risiko sedang sampai tinggi, perlu dipertimbangkan pemberian
imunisasi pada warga dengan usia 15 – 70 tahun yang melakukan berbagai
kegiatan berikut : rekreasi, sebagai tukang bangunan atau mereka yang
memiliki pekerjaan risiko tinggi tertular) dimana jenis kegiatan ini
memicu yang bersangkutan terpajan dengan daerah yang merupakan
habitat kutu dalam waktu yang lama. Vaksin untuk penyakit Lyme perlu juga
dipertimbangkan untuk diberikan kepada orang yang berusia 15 – 70 tahun
yang terpajan dengan lingkungan yang merupakan habitat kutu kalau yang
bersangkutan sering berkunjung ke tempat ini meskipun sebentar. Bahwa
pemberian vaksin lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan upaya
perlindungan diri, diagnosa dan pengobatan dini belumlah diketahui dengan
pasti. Vaksin tidak dianjurkan untuk diberikan kepada orang yang tidak
terpajan ataupun terpajan secara minimal terhadap daerah yang merupakan
habitat kutu.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya :
1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Pelaporan kasus diwajibkan di semua
negara bagian AS dan beberapa negara lain, Klasifikasi 3B (lihat Laporan Penyakit
Menular).
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Disinfeksi serentak: Bersihkan semua kutu dari penderita dengan hati-hati.
4) Karantina: Tidak ada.
320
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi orang-rang yang kontak dan sumber infeksi: penelitian untuk
mengetahui sumber penyakit diperlukan jika ada kasus yang terjadi diluar daerah
endemis.
7) Pengobatan khusus: Untuk orang dewasa, pada tahap EM biasanya dapat diobati
secara efektif dengan doxycycline ( 100 mg dua kali sehari) atau amoxicillin (500
mg sebanyak 3 – 4 kali sehari). Untuk EM yang belum menyebar, pengobatan
selama 2 minggu penuh biasanya sudah cukup. Untuk infeksi awal yang sudah
menyebar, harus dilakukan pengobatan selama 3 –4 minggu. Anak-anak dibawah 9
tahun dapat diobati dengan amoxicillin, 50 mg/kg/hari dengan dosis yang dibagi-
bagi, dengan jangka waktu yang sama seperti orang dewasa. Cefuroxime atau
erythromycin dapat digunakan bagi mereka yang alergi terhadap penicillin atau
yang tidak boleh mengkonsumsi tetracycline. Lyme arthritis biasanya dapat diobati
secara sempurna selama 4 minggu dengan berbagai obat yang diberikan secara
oral. Namun adanya kelainan syaraf, dengan pengecualian kelumpuhan syaraf
wajah, sebaiknya diobati dengan ceftriaxone IV, 2 g satu kali sehari, atau penicillin
IV, 20 m.u. dibagi dalam 6 dosis, selama 3 – 4 minggu. Kegagalan pengobatan
mungkin saja terjadi dengan penggunaan salah satu regimens dan mungkin
diperlukan pengobatan ulang.
C. Penanggulangan wabah: Di daerah hiperendemik, perlu diperhatikan secara khusus
terhadap spesies kutu yang menyebarkan penyakit ini dan daerah yang terjangkit dan
mengikuti rekomendasi yang diberikan pada butir 9 A1 sampai 9A3 di atas.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Memanfaatkan Pusat-pusat kerjasama WHO.
LYMPHOCYTIC CHORIOMENINGITIS ICD-9 049.0; ICD-10 A87.2
(LCM, memingitis lymphocytic bernigna atau serosa)
1. Identifikasi
Infeksi pada hewan yang disebabkan oleh virus, terutama tikus, yang dapat ditularkan ke
manusia, dengan gejala klinis yang berbeda-beda. Saat ini gejala-gejalanya menyerupai
influenza , disertai dengan myalgia, sakit kepala retroorbital, leukopenia dan
trombositopenia, diakhiri dengan penyembuhan sempurna; pada beberapa kasus, penyakit
ini diawali dengan gejala-gejala meningeal atau gejala meningoencephalomyelitis, atau
gejala-gejala ini muncul beberapa saat setelah remisi. Orchitis, parotitis, arthritis,
myocarditis dan ruam pada wajah kadang-kadang terjadi. Masa akut biasanya sebentar,
jarang yang fatal, bahkan pada kondisi sakit yang cukup berat (seperti: koma akibat
meningoencephalitis), prognasis sembuh sempurna tanpa ada gejala sisa meskipun ada
kelelahan ketidak seimbangan/vasomotor dan yang berlangsung lama pada masa
321
pemulihan. Pemeriksaan LCS pada kasus dengan kelainan syaraf biasanya menunjukan
lymphocytic pleocytosis, pada saat yang sama terjadi kadar gula yang rendah. Temuan PA
pada kasus yang fatal pada manusia walaupun jarang yaitu difuse meningoencephalitis.
Beberapa kasus fatal yang jarang terjadi yaitu sejenis demam berdarah pernah
dilaporkan. Infeksi pada janin melalui plasenta yang dapat memicu hydrocephalus
dan chorioretinitis bisa terjadi dalam hal ini perlu dilakukan pengujian.
Metode diagnosa laboratorium mencakup isolasi virus dari darah atau LCS pada masa
awal sakit dengan cara inokulasi intracerebral dengan bahan yang bebas LCM pada tikus
yang berusia 3 sampai 5 minggu. Kehadiran IgM khusus didalam LCS atau serum dengan
cara ELISA atau meningkatnya titer antibodi dengan cara IFA memakai ‘paired sera‘
dinilai sebagai cara diagnosa yang cukup memadai. LCM memerlukan pembedaan dari
jenis meningitis aseptik dan meningitis lain yang disebabkan oleh virus.
2. Pemicu penyakit – Virus Lymphocytic choriomeningitis, merupakan arenavirus, yang
secara serologi memiliki kedekatan dengan virus Lassa, Machupo, Junin, Guaranito dan
Sabia.
3. Distribusi Penyakit
Sering terjadi di Eropa dan Amerika; biasanya tidakterdiagnosa. Penyebaran infeksi pada
tikus berlangsung dalam waktu yang lama dan menimbulkan penyakit dengan manifestasi
klinis yang sporadis. Penularan terjadi dengan adanya riwayat kontak dengan hamster
peliharaan dan hewan laboratorium. Tikus gundul, saat ini banyak digunakan untuk
penelitian di laboratorium, rentan terhadap infeksi ini dan bisa menjadi penyebar virus
secara kronis.
4. Reservoir – Tikus rumah yang terinfeksi, yaitu Mus musculus, yaitu reservoir alami;
betina yang terinfeksi menularkan infeksi ke pada keturunannya, yang kemudian menjadi
tempat berkembang biaknya virus. Infeksi juga terjadi pada koloni tikus dan hamster dan
pada transtable tumor (potongan transpalantasi tumor).
5. Cara penularan – Virus dikeluarkan oleh hewan yang terinveksi, biasanya tikus, melaui
urin, ludah dan feses, Penularan ke manusia mungkin terjadi melalui kontak mulut atau
pernafasan yang berkontak, kotoran, makanan dan debu yang terkontaminasi atau melalui
terkontaminasinya kulit yang luka atau terpotong. Menyentuh benda yang terkontaminasi
oleh tikus yang terinfeksi dapat memicu orang memiliki risiko tinggi terkena
penyakit.
6. Masa inkubasi – Kemungkinan 8 – 13 hari; pada hari ke 15 – 21, sampai nampak gejala
gejala meningeal.
7. Masa penularan – Penularan dari orang ke orang belum pernah terbukti dan sepertinya
tidak mungkin terjadi.
8. Kerentanan dan kekebalan – Kesembuhan dari penyakit memberikan kekebalan untuk
waktu yang lama. Mekanisme “cell mediated” berperan sangat penting, dan pembentukan
antibodi menjadi peranan kedua.
322
9. Cara-cara pemberantasan.
A. Tindakan pencegahan :
Bersihkan tempat tinggal dan tempat kerja; berantas tikus dan bunuh hewan terjangkit.
Simpanlah makanan dalam wadah yang tertutup. Lakukan surveilans virologi terhadap
peternakan hewan pengerat, terutama yang menghasilakan hamster dan tikus. Hal ini
akan sangat membantu. Pastikan bahwa tikus percobaan tidak terinfeksi dan orang
yang merawatnya mengikuti prosedur-prosedur untuk mencegah terjadinya penularan
dari hewan yang terinfeksi.
B. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya:
1) Laporkan kepada instansi kesehatan setempat: Wajib dilaporkan pada daerah
endemik, Klasifikasi 3 C (lihat Laporan Penyakit Menular).
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Disinfeksi serentak: Kotoran dari hidung, tenggorokan, urin, tinja dan barang-
barang yang terkena kotoran selama terjadi demam akut. Lakukan pembersihan
menyluruh.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada.
6) Investigasi orang-orang yang kontak dan sumber infeksi: teliti keberadaan tikus
rumah atau hewan pengerat peliharaan dilingkungan perumahan dan lokasi
pekerjaan.
7) Pengobatan khusus: Tidak ada.
C. Penanggulangan wabah: Tidak dilakukan.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
LYMPHOGRANULOMA VERENEUM ICD-9 099.1; ICD-10 A55
(Lymphogranuloma inguinale, bubo tropis atau bubo klimatik, LGV)
1. Identifikasi
Infeksi chlamydial yang ditularkan secara seksual diawali dengan luka yang kecil, tidak
sakit, berbentuk papula, nodula atau luka menerupai herpes pada penis atau vulva,
biasanya luput dari perhatian. Lymphonodi disekitarnya bernanah berlanjut dengan proses
peradangan pada jaringan disekitar kelenjar lymphe tsb. Pada laki-laki, bubo inguinal
menempel pada kulit, berubah-ubah menebabkan pembentukan sinus. Pada perempuan
lymphonodi, ingiunal tidak terkena dan yang terkena yaitu lymphonodi pelvis yang
meluas sampai rectum (dubur) dan septum rectovaginalis, mengakibatkan proctitis,
strictiva rectum dan terbentuk fistulae. Procititis dapat terjadi disebab kan hubungan sex
melalui dubur, LVG yaitu Pemicu utama procititis yang berat pada pria homoseksual.
323
Elephantiasis pada alat kelamin dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Demam
meriang, sakit kepala, sakit pada persendian dan anorexia biasanya muncul. Masa sakitnya
lama dan terjadi disabilitas, namun umumnya tidak fatal. Sepsis dilsertai dengan arthritis
dan meningitis jarang terjadi. Diagnosis dilakukan dengan menemukan organisme
chlamydia dengan memakai IF, EIA, penelitian DNA, PCR, kultur bubo atau dengan
test serelogi micro IF yang khusus. Pengujian CF dapat dianggap benar jika ada
peningkatan 4 kali lipat atau satu liter dengan perbandingan 1 : 64 atau lebih. Hasil test
CF yang negatif menggugurkan diagnosis.
2. Pemicu penyakit – Chlamydia trachomatis, tipe L-1, L-2 dan L-3; berhubungan
dengan organisme Pemicu trachoma dan infeksi chlamydia.
3. Kejadian
Di seluruh dunia, khususnya di daerah tropis dan sub tropis; lebih banyak dari yang
diduga. Daerah endemis terdapat dibeberapa bagian Asia dan Afrika, terutama pada
daerah dengan tingkat sosioekonomi rendah. Timbulnya penyakit pada kelompok umur
tertentu ini berkaitan dengan tingkat aktivitas seksual. Penyakit ini jarang terdiaknosa
pada perempuan, mungkin disebab kan infeksinya sering asymptomatic namun perbedaan
gender dinyatakan tidak berpengaruh pada negara-negara dengan tingkat endemisitas yang
tinggi. Semua ras dapat tertular. Di daerah beriklim sedang, biasanya terjadi pada pria
homoseksual.
4. Reservoir – Manusia; sering tidak memperlihatkan gejala-gejala (terutama pada wanita).
5. Cara penularan – Kontak langsung dengan luka yang terbuka pada orang yang terinfeksi,
biasanya selama hubungan seksual.
6. Masa inkubasi – Bervariasi, dengan rentang waktu 3 – 30 hari untuk lesi primer; jika
bubo sebagai manifestasi pertamanya, maka rentang waktunya menjadi 10 –30 hari hingga
beberapa bulan.
7. Masa penularan – Bervariasi, mulai dari berminggu – minggu sampai bertahun-tahun
selama ada luka yang aktif.
8. Kerentanan dan kekebalan – Semua orang rentan, status kekebalan seseorang terhadap
penyakit ini belum diketahui dengan pasti.
9. Cara-cara pemberantasan :
A. Tindakan pencegahan :
Selain tindakan pencegahan yang spesifik untuk penyakit syphilis, maka tindakan
pencegahan yang diterapkan untuk jenis penyakit kelamin lainnya dapat diterapkan.
Lihat syphilis, 9 A dan granuloma inguinale, 9A.
324
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya :
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Penyakit yang wajib dilaporkan pada
daerah endemis tertentu; bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan
dibanyak negara, Kelas 3 B (lihat Laporan Penyakit Menular).
2) Isolasi: Tidak ada. Mencegah hubungan sex sampai semua luka sembuh.
3) Disinfeksi serentak: Tidak ada; hati-hati dalam membuang bekas luka dan benda
benda yang tercemar.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan; pengobatan dini pada saat penyakit
diketahui atau diduga.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian terhadap penderita dan kontak
yang terinfeksi. Kontak yang berhubungan dengan penderita yang tidak
dikonfirmasi harus diberi pengobatan khusus.
7) Pengobatan khusus: Tetracycline dan doxycycline efektif untuk semua tahap
perkembangan penyakit ini, termasuk bubo dan luka yang memborok; diminum
minimal selama 2 minggu. Erythromycin atau sulfonamid dapat digunakan jika
pemakaian tetracycline mengalami kontraindikasi. Jangan melakukan incisi bubo;
keringkan dengan aspirasi memakai tissue bersih.
C. Penanggulangan wabah: Tidak dilakukan.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Lihat Syphilis, 9E.
MALARIA ICD-9 084; ICD-10 B50-B54
1. Identifikasi
Ada empat jenis parasit malaria yang dapat menginfeksi manusia. Untuk membedakan
keempat jenis parasit malaria ini diperlukan pemeriksaan laboratorium, oleh sebab
gejala klinis yang ditimbulkan oleh keempat jenis parasit malaria ini sama. Apalagi
pola demam pada awal infeksi menyerupai pola demam penyakit yang disebabkan
organisme lain (bakteri, virus, parasit lain). Bagi penderita yang tinggal di daerah endemis
malaria, walaupun di dalam darahnya ditemukan parasit malaria, tidak berarti orang
ini hanya menderita malaria. Dapat juga pada waktu yang bersamaan orang tresebut
menderita penyakit lain (seperti demam kuning fase awal, demam Lassa, demam tifoid).
Infeksi oleh plasmodium malaria yang paling serius yaitu malaria falciparum (disebut
juga tertiana maligna ICD-9 084.0; ICD-10 B50).
Gejala dari malaria falciparum memberikan gambaran klinis yang sangat bervariasi
seperti demam, menggigil, berkeringat, batuk, diare, gangguan pernafasan, sakit kepala
dan dapat berlanjut menjadi ikterik, gangguan koagulasi, syok, gagal ginjal dan hati,
ensefalopati akut, edema paru dan otak, koma, dan berakhir dengan kematian.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas dapat terjadi pada orang yang belum memiliki
kekebalan terhadap malaria yang baru kembali dari daerah endemis malaria.
325
Pada orang yang mengalami koma dan gangguan serebral dapat menunjukkan gejala
disorientasi dan delirium. Diagnose dini dan pengobatan dini sangatlah penting dilakukan
walaupun terhadap penderita yang hanya menunjukkan gejala ringan oleh sebab
komplikasi yang terjadi bisa terjadi mendadak dan irreversibel. CFR pada anak dan orang
dewasa yang tidak kebal terhadap malaria falciparum dapat mencapai 10 – 40% bahkan
lebih.
Jenis malaria lain yang menyerang manusia yaitu vivax (tertiana benigna, ICD-9 084.1;
ICD-10 B51, malariae (quartana, ICD-9 084.2; ICD-10 B52) dan ovale ICD-9 084.3;
ICD-10 B53), pada umumnya infeksi oleh parasit ini tidak mengancam jiwa manusia.
Gejala infeksi parasit ini umumnya ringan dimulai dengan rasa lemah, ada kenaikan suhu
badan secara perlahan-lahan dalam beberapa hari, kemudian diikuti dengan menggigil dan
disertai dengan kenaikan suhu badan yang cepat. Biasanya diikuti dengan sakit kepala,
mual dan diakhiri dengan keluar keringan yang banyak. Setelah diikuti dengan interval
bebas demam, gejala menggigil, demam dan berkeringat berulang kembali, dapat terjadi
tiap hari, dua hari sekali atau tiap 3 hari sekali. Lamanya serangan pada orang yang
pertama kali diserang malaria yang tidak diobati berlangsung selama satu minggu sampai
satu bulan atau lebih. Relaps yang sebenarnya ditandai dengan tidak adanya parasitemia
dapat berulang sampai jangka waktu 5 tahun. Infeksi malariae dapat bertahan seumur
hidup dengan atau tanpa adanya episode serangan demam. Orang yang memiliki
kekebalan parsial atau yang telah memakai obat profilaksis tidak menunjukkan gejala khas
malaria dan memiliki masa inkubasi yang lebih panjang.
Diagnosa dengan konfirmasi laboratorium dipastikan dengan ditemukannya parasit
malaria pada sediaan darah. Pemeriksaan mikroskopis yang diulang setiap 12-24 jam
memiliki arti penting sebab kepadatan Plasmodium falciparum pada darah tepi yang
tidak tentu dan sering parasit tidak ditemukan dengan pemeriksaan sediaan darah tepi
pada pasien yang baru terinfeksi malaria atau penderita yang dalam pengobatan malaria.
Beberapa cara tes malaria sedang dalam uji coba. Tes dengan memakai dipstick
memiliki harapan yang paling baik, tes ini mendeteksi antigen yang beredar didalam
darah. Walaupun sudah mendapat lisensi di beberapa negara di dunia akan namun di
Amerika lisensi baru diberikan pada tahun 1999. Diagnosis dengan memakai metode
PCR yaitu yang paling sensitif, akan namun metode ini tidak selalu tersedia di
laboratorium diagnosa malaria. Antibodi di dalam darah yang diperiksa dengan tes IFA
atau tes lainnya, dapat muncul pada minggu pertama setelah terjadinya infeksi akan namun
dapat bertahan lama sampai bertahun-tahun tetap beredar didalam darah. Pemeriksaan ini
berguna untuk membuktikan riwayat infeksi malaria yang dialami sebelumnya dan tidak
untuk mendiagnosa penyakit malaria yang sedang berlangsung.
2. Pemicu infeksi
Parasit Plasmodium vivax, P. malariae, P. falciparum dan P. ovale; parasit golongan
sporozoa. Infeksi campuran jarang terjadi di daerah endemis.
3. Distribusi penyakit
Tidak dijumpai lagi daerah endemis malaria di negara-negara yang memiliki iklim
dingin dan subtropis, akan namun malaria masih menjadi Pemicu utama masalah
kesehatan warga di beberapa negara tropis dan subtropis; transmisi malaria yang
tinggi dijumpai di daerah pinggiran hutan di Amerika selatan (Brasil), Asia Tenggara
(Thailand dan Indonesia) dan di seluruh Sub-Sahara Afrika.
326
Malaria ovale terdapat terutama di Sub Sahara Afrika dimana frekuensi malaria vivax
lebih sedikit. Plasmodium falciparum yang resisten, sukar disembuhkan dengan 4-
aminoquinolines (seperti chloroquine) dan obat anti malaria lainnya (seperti sulfa-
pyrimethamine kombinasi dan mefloquine) ditemukan di negara-negara tropis, dikedua
belahan bumi, khususnya di wilayah Amazon dan sebagian Thailand dan Kamboja. P.
vivax yang resisten dan sukar disembuhkan dengan pengobatan chloroquine terjadi di
Papua New Guinea dan prevalensi di Irian Jaya (Indonesia) dan telah dilaporkan terjadi di
Sumatera (Indonesia), di Kepulauan Solomon dan Guyana. Stadium hepatik beberapa
jenis P. vivax juga mungkin relatif sudah resisten terhadap pengobatan primaquine. Di
AS, ditemukan beberapa orang penderita malaria lokal yang terjadi sejak pertengahan
tahun 80-an. Informasi terkini tentang daerah fokus yang sudah resisten terhadap
pengobatan malaria diterbitkan tiap tahun oleh WHO dan juga dapat diperoleh dari atau
merujuk ke situs web/jaringan CDC: http://www.cdcgov/travel.
4. Reservoir
Hanya manusia menjadi reservoir terpenting untuk malaria. Primata secara alamiah
terinfeksi berbagai jenis malaria termasuk P. knowlesi, P. brazilianum, P. inui, P. schwetzi
dan P. simium yang dapat menginfeksi manusia di laboratorium percobaan, akan namun
jarang terjadi penularan/transmisi secara alamiah.
5. Cara penularan
Melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang infektif. Sebagian besar spesies menggigit
pada senja hari dan menjelang malam. Beberapa vektor utama memiliki waktu puncak
menggigit pada tengah malam dan menjelang fajar. Setelah nyamuk Anopheles betina
menghisap darah yang mengandung parasit pada stadium seksual (gametosit), gamet
jantan dan betina bersatu membentuk ookinet di perut nyamuk yang kemudian menembus
dinding perut nyamuk dan membentuk kista pada lapisan luar dimana ribuan sporosoit
dibentuk. Ini membutuhkan waktu 8-35 hari tergantung pada jenis parasit dan suhu
lingkungan tempat dimana vektor berada. Sporosoit-sporosoit ini berpindah ke
seluruh organ tubuh nyamuk yang terinfeksi dan beberapa mencapai kelenjar ludah
nyamuk dan disana menjadi matang dan apabila nyamuk menggigit orang maka sporosoit
siap ditularkan.
Didalam tubuh orang yang terkena infeksi, sporosoit memasuki sel-sel hati dan
membentuk stadium yang disebut skison eksoeritrositer. Sel-sel hati ini pecah dan
parasit aseksual (merosoit jaringan) memasuki aliran darah, berkembang (membentuk
siklus eritrositer). Umumnya perubahan dari troposoit menjadi skison yang matang dalam
darah memerlukan waktu 48-72 jam, sebelum melepaskan 8-30 merosoit eritrositik
(tergantung spesies) untuk menyerang eritrosit-eritrosit lain. Gejala klinis terjadi pada tiap
siklus sebab pecahnya sebagian besar skison-skison eritrositik. Didalam eritrosit-eritrosit
yang terinfeksi, beberapa merosoit berkembang menjadi bentuk seksual yaitu gamet jantan
(mikrogamet) dan gamet betina (makrogamet).
Periode antara gigitan nyamuk yang terinfeksi dengan ditemukannya parasit dalam
sediaan darah tebal disebut “periode prepaten” yang biasanya berlangsung antara 6-12
hari pada P. falciparum, 8-12 hari pada P. vivax dan P. ovale, 12-16 hari pada P. malariae
(mungkin lebih singkat atau lebih lama). Penundaan serangan pertama pada beberapa
strain P. vivax berlangsung 6-12 bulan setelah gigitan nyamuk.
327
Gametosit biasanya muncul dalam aliran darah dalam waktu 3 hari setelah parasitemia
pada P. vivax dan P. ovale, dan setelah 10-14 hari pada P. falciparum. Beberapa bentuk
eksoeritrositik pada P. vivax dan P. ovale mengalami bentuk tidak aktif (hipnosoit) yang
tinggal dalam sel-sel hati dan menjadi matang dalam waktu beberapa bulan atau beberapa
tahun yang menimbulkan relaps. Fenomena ini tidak terjadi pada malaria falciparum dan
malaria malariae, dan gejala-gejala penyakit ini dapat muncul kembali sebagai akibat dari
pengobatan yang tidak adekuat atau adanya infeksi dari strain yang resisten. Pada P.
malariae sebagian kecil parasit eritrositik dapat menetap bertahan selama beberapa tahun
untuk kemudian berkembang biak kembali sampai ke tingkat yang dapat menimbulkan
gejala klinis. Malaria juga dapat ditularkan melalui injeksi atau transfusi darah dari orang-
orang yang terinfeksi atau bila memakai jarum suntik yang terkontaminasi seperti
pada pengguna narkoba. Penularan kongenital jarang sekali terjadi namun bayi lahir mati
dari ibu-ibu yang terinfeksi seringkali terjadi.
6. Masa inkubasi
Waktu antara gigitan nyamuk dan munculnya gejala klinis sekitar 7-14 hari untuk P.
falciparum, 8-14 hari untukP. Vivax dan P. ovale, dan 7-30 hari untuk P. malariae. Masa
inkubasi ini dapat memanjang antara 8-10 bulan terutama pada beberapa strain P. vivax di
daerah tropis. Pada infeksi melalui transfusi darah, masa inkubasi tergantung pada jumlah
parasit yang masuk dan biasanya singkat namun mungkin sampai 2 bulan. Dosis
pengobatan yang tidak adekuat seperti pemberian profilaksis yang tidak tepat dapat
memicu memanjangnya masa inkubasi.
7. Masa penularan
Nyamuk dapat terinfeksi apabila dalam darah penderita yang diisap oleh nyamuk masih
ada gametosit. Keadaan ini bervariasi tergantung pada spesies dan strain dari parasit serta
respons seseorang terhadap pengobatan. Pada penderita malaria dengan Plasmodium
malariae yang tidak diobati atau tidak diobati dengan benar dapat menjadi sumber
penularan selama 3 tahun. sedang untuk vivax berlangsung selama 1-2 tahun dan
untuk malaria falciparum umumnya tidak lebih dari satu tahun. Nyamuk tetap infektif
seumur hidup mereka. Penularan melalui transfuse darah tetap dapat terjadi semasih
ditemukan ada bentuk aseksual dalam darah. Untuk P. malariae dapat berlangsung sampai
40 tahun lebih. Darah yang disimpan didalam lemari pendingin tetap infektif paling
sedikit selama sebulan.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Setiap orang rentan terhadap penularan kecuali pada mereka yang memiliki galur
genetika spesifik. Toleransi atau daya tahan terhadap munculnya gejala klinis ditemukan
pada warga dewasa yang tinggal di daerah endemis dimana gigitan nyamuk anopheles
berlangsung bertahun-tahun. Kebanyakan orang Afrika yang berkulit hitam memiliki
kekebalan alamiah terhadap infeksi P. vivax disebab kan mereka tidak memiliki faktor
Duffy didalam eritrosit mereka. Mereka yang secara genetik memiliki sicke cell trait
relatif terlindungi terhadap kemungkinan menderita penyakit malaria berat apabila
terinfeksi oleh P. falciparum. Pada orang ini biasanya parasit dalam darah mereka rendah.
328
9. Cara-cara emberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
I. Pencegahan berbasis warga
1) warga kan perilaku hidup bersih dan sehat antara lain dengan memperhatikan
kebersihan lingkungan untuk menghilangkan tempat-tempat perindukan nyamuk.
Gerakan kebersihan lingkungan ini dapat menghilangkan tempat-tempat
perindukan nyamuk secara permanen dari lingkungan pemukiman. Air tergenang
dialirkan, dikeringkan atau ditimbun. Saluran-saluran dkolam-kolam air
dibersihkan. Aliran air pada selokan dan pairt-parit dipercepat. Untuk keadaan
tertentu dapat digunakan bahan kimia atau cara-cara biologis untuk menghilangkan
larva.
2) Sebelum dilakukan penyemprotan dengan memakai pestisida dengan efek
residual terhadap nyamuk dewasa, lakukan telaah yang teliti terhadap bionomik
dari nyamuk di daerah ini . Telaah bionomik ini perlu juga dilakukan di
daerah dimana sifat-sifat nyamuk anopheles istirahat dan menghisap darah di
dalam rumah (vektor yang endophilic dan endophagic). Penyemprotan saja dengan
insektisida dengan efek residual pada tembok di pemukiman warga tidak akan
menghilangkan vektor nyamuk secara permanen. Apalagi kalau vektor sudah
resisten terhadap pestisida, maka penyemprotan didalam rumah menjadi sia-sia,
atau kalau nyamuknya tidak pernah masuk ke dalam rumah.
3) Dibawah ini tercantum hal-hal penting yang harus dipertimbangkan dalam
melakukan pemberantasan vector secara terpadu:
a) Harus ada akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan
diagnosa dan pengobatan dini;
b) Lakukan kerja sama lintas sektoral untuk mengawasi pola pergerakan dan
migrasi warga . Pola ini membantu untuk mengetahui kemungkinan
penyebaran plasmodium ke daerah baru yang memiliki ekologi yang
memungkinkan terjadinya penularan.
c) Lakukan penyuluhan kesehatan warga secara masif dengan sasaran
warga yang memiliki risiko tinggi tertulari tentang cara-cara melindungi
diri terhadap penularan.
d) Lakukan diagnosa dan pengobatan dini terhadap penderita malaria akut
maupun kronis oleh sebab kematian penderita malaria yang terinfeksi oleh P.
falciparum sebab lambatnya diagnosa dan pengobatan.
e) Setiap donor darah harus ditanyai tentang riwayat apakah yang bersangkutan
pernah menderita malaria atau pernah bepergian ke daerah yang endemis
malaria. Donor yang tinggal di daerah nonendemis yang berkunjung ke daerah
endemis dan tidak menunjukkan gejala klinis malaria diperbolehkan
menyumbangkan darah mereka 6 bulan setelah kunjungan ke daerah endemis
ini (di Amerika Serikat yaitu satu tahun). Orang ini pada waktu
berkunjung ke daerah endemis tidak mendapatkan pengobatan profilaktik.
Bagi mereka yang berkunjung ke daerah endemis dalam jangka waktu cukup
lama yaitu 6 bulan lebih namun telah mendapatkan profilaktik terhadap
malaria dan tidak menunjukkan gejala klinis malaria, dan bagi mereka yang
berimigrasi atau mengunjungi daerah endemis diijinkan untuk menjadi donor
329
3 tahun setelah pemberian pengobatan profilaktik malaria, dengan catatan
mereka tetap tidak menunjukkan gejala klinis malaria. Mereka yang tinggal
atau berkunjung ke daerah endemis malaria, selama lebih dari 6 bulan,
dianggap sebagai warga daerah ini sehingga apabila mereka akan
menjadi donor harus dilakukan evaluasi dengan cermat dan dianggap sebagai
sama dengan imigran dari daerah itu. sebab data menunjukkan bahwa sejak
lama para donor yang berasal dari daerah endemis malaria selalu merupakan
sumber infeksi penularan melalui transfusi. Daerah yang dianggap endemis
malaria tidak saja daerah-daerah endemis di benua Amerika, Afrika tropis,
Papua New Guinea, Asia Selatan dan Asia Tengara namun juga daerah
Mediterania di Eropa dimana saat ini daerah ini sudah tidak ada lagi
penularan malaria.
II. Tindakan pencegahan perorangan
Oleh sebab belakangan ini malaria merebak kembali dalam beberapa dekade terakhir
maka cara-cara pencegahan dan pengobatan diuraikan secara detail. Bagi mereka yang
melakukan perjalanan ke daerah endemis malaria harus memperhatikan hal-hal
berikut:
- Menghindari diri dari gigitan nyamuk yaitu hal yang paling utama.
- Tidak ada obat anti malaria profilaktik yang dapat memberikan perlindungan
sepenuhnya.
- Obat anti malaria untuk tujuan profilaktik tidak harus secara otomatis diberikan
kepada para pelancong yang berkunjung ke daerah malaria.
- Para pelancong dianjurkan untuk membawa obat anti malaria “stand by” untuk
keadaan darurat pada saat mengalami demam jika berkunjung ke daerah endemis
malaria falciparum dimana di daerah ini tidak ada fasilitas pengobatan yang
memadai.
1) Hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk sebagai berikut:
a. Jangan bepergian antara senja dan malam hari sebab pada saat itu umumnya
nyamuk menggigit. Kenakan celana panjang dan baju lengan panjang dengan
warna terang sebab warna gelap menarik perhatian nyamuk.
b. Gunakan repelan pada kulit yang terbuka; repelan yang dipakai dipilih yang
mengandung N,N-diethyl-m-toluamide (Deet®) atau dimethyl phthalate.
c. Tinggallah dalam rumah yang memiliki konstruksi yang baik dan gedung
yang terpelihara dengan baik yang terletak di daerah bagian perkotaan yang
paling maju.
d. Gunakan kawat kasa anti nyamuk pada pintu dan jendela, jika tidak ada
tutuplah jendela dan pintu pada malam hari.
e. Jika tempat tinggal dapat dimasuki nyamuk gunakanlah kelambu pada tempat
tidur, dengan sudutnya dimasukkan di bawah sudut kasur dan pastikan kelambu
ini tidak robek dan tidak ada nyamuk didalamnya.
f. Gunakan alat penyemprot atau dispenser insektisida yang berisi tablet yang
mengandung pyrethroid atau obat nyamuk bakar pyrethroid di kamar tidur
pada malam hari.
330
2) Untuk orang yang terpajan atau yang akan terpajan nyamuk di daerah malaria
harus diberi penjelasan sebagai berikut:
a. Bahwa risiko malaria bervariasi antar negara dan antar daerah dalam suatu
negara, daftar negara-negara endemis malaria dapat dilihat di publikasi
tahunan WHO yaitu pada International Travel and Health ISBN-9241580208.
b. Ibu hamil dan anak-anak sangat rentan untuk mendapatkan malaria berat atau
malaria dengan komplikasinya.
c. Malaria dapat memicu kematian jika pengobatannya terlambat.
Pencarian pertolongan medis harus segera dilakukan jika yang bersangkutan
dicurigai menderita malaria. Pemeriksaan parasit malaria pada darah harus
dilakukan lebih dari satu kali dengan selang waktu beberapa jam.
d. Gejala malaria dapat ringan; seseorang harus kita curigai menderita malaria
kalau 1 minggu setelah berkunjung ke daerah endemis yang bersangkutan
menunjukkan gejala panas, lemah, sakit kepala, sakit otot dan tulang, segera
lakukan pengobatan.
3) Ibu hamil dan orang tua harus diberikan penyuluhan tentang:
a. bahwa malaria pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko kematian janin,
keguguran, stillbirth dan kematian bayi yang baru lahir.
b. Jangan berkunjung ke daerah malaria kecuali terpaksa.
c. Untuk melakukan proteksi terhadap gigitan nyamuk harus dilakukan upaya
ekstra hati-hati dan cermat.
d. Klorokuin (5,0 mg/kgBB/minggu setara dengan 8,0 mg garam
diphosphate/kgBB/minggu; 6.8 mg dalam bentuk garam sulfat/kgBB/minggu
dan 6.1 mg dalam bentuk garam hidroksiklorida/kgBB/minggu) dan proguanil
(3.0 mg/kgBB/hari yang setara dengan 3.4 mg bentuk garam
hidroklorida/kgBB/hari) diminum untuk pengobatan pencegahan (proguanil
tidak tersedia di pasaran di Amerika Serikat). Di daerah dimana P. falciparum
sudah resisten terhadap klorokuin dan proguanil harus diberikan pada triwulan
pertama kehamilan, pengobatan pencegahan dengan meflokuin (5.0
mg/kgBB/minggu yang setara dapat dipertimbangkan, pemberian dapat
diberikan pada bulan keempat kehamilan.
e. Pengobatan pencegahan dengan doksisiklin tidak boleh diberikan.
f. Jika dicurigai seseorang menderita malaria maka pertolongan untuk
mendapatkan pengobatan harus segera dilakukan. Pengobatan darurat dapat
diberikan apabila di tempat ini tidak tersedia fasilitas pengobatan, maka
pencarian pengobatan selanjutnya dilakukan setelah pemberian pengobatan
darurat ini (lihat 9A114 dan 9A115c di bawah ini).
g. Pemberian obat untuk profilaksis malaria sangat penting untuk melindungi
anak-anak. Klorokuin (5 mg/kgBB/minggu) ditambah dengan proguanil (3
mg/kgBB/hari) aman diberikan kepada bayi (proguanil tidak tersedia di
Amerika Serikat).
h. Penggunaan meflokuin untuk profilaksis dapat diberikan kepada wanita usia
subur dengan dosis 5 mg/kgBB/minggu namun kehamilan harus dihindari
sampai 3 bulan setelah berhenti minum meflokuin. Dari bukti-bukti yang
dikumpulkan menunjukkan bahwa pemberian pengobatan pencegahan dengan
331
meflokuin yang dilakukan sembarangan pada wanita hamil dan dari data uji
klinik tidak menunjukkkan adanya efek embriotoksik atau teratogenik.
Meflokuin dapat diberikan pada trimester kedua dan ketiga. Data tentang
pemberian meflokuin pada trimester pertama sangat terbatas. Pada kehamilan
yang tidak dikehendaki pemberian meflokuin profilaksis tidak dimaksudkan
untuk menggugurkan kandungan.
i. Pengobatan profilaksis dengan doksisiklin (1,5 mg dalam bentuk garam
dihidroklorida/kgBB/hari) dapat diberikan kepada wanita usia subur akan
namun kehamilan harus dihindari dalam waktu 1 minggu setelah minum obat
ini.
j. Jika terjadi kehamilan selama pemakaian obat anti malaria profilaksis (kecuali
klorokuin dan proguanil) dokter harus memberi penjelasan kepada ibu ini
kemungkinan terjadinya kelainan congenital pada bayi yang dilahirkan sesuai
dengan penjelasan yang tertera dalam brosur dari pabrik.
4) Pengobatan siaga malaria: Faktor yang paling penting yang menentukan hidup
matinya penderita malaria falciparum yaitu kemampuan untuk menegakkan
diagnosis dini dan memberikan pengobatan dini. Semua orang yang belum kebal
terhadap malaria jika mereka terpajan atau terinfeksi malaria maka mereka harus
segera mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan yang tepat jika diduga
menderita malaria. Namun sebagian kecil orang yang terpajan sulit mendapatkan
fasilitas diagnosa dan pengobatan dini, mereka biasanya berada 12-24 jam dari
fasilitas kesehatan yang terdekat. Pada situasi seperti ini WHO menganjurkan agar
orang-orang ini dibekali obat anti malaria agar dapat melakukan pengobatan
sendiri. Kepada mereka diberi penjelasan tentang gejala-gejala malaria, dosis dan
cara pemakaian obat, gejala-gejala efek samping obat dan apa yang harus
dilakukan jika pengobatan gagal. Mereka juga diberi penjelasan bahwa pengobatan
sendiri yang mereka lakukan bersifat sementara, selanjutnya mereka harus pergi ke
dokter.
5) Upaya pencegahan: Orang-orang yang tidak memiliki imunitas terhadap malaria
yang akan terpajan dengan nyamuk di daerah endemis harus melakukan upaya
perlindungan terhadap gigitan nyamuk dan lebih baik sebelumnya minum obat
profilaksis untuk mencegah malaria. Kemungkinan timbulnya efek samping akibat
pemakaian satu jenis obat atau obat kombinasi dalam jangka panjang (sampai 3-5
bulan) yang dianjurkan pemakaiannya untuk suatu daerah perlu dipertimbangkan
masak-masak. Para pelancong maupun warga setempat yang tinggal di daerah
endemis malaria seperti daerah perkotaan di Asia Tenggara dan Amerika selatan,
kemungkinan mereka tidak terpajan dengan malaria sehingga tidak perlu diberikan
pengobatan profilaksis. Namun beberapa negara seperti anak benua India, mereka
yang tinggal dan berkunjung di daerah perkotaan juga memiliki risiko terpajan
dengan malaria. Dalam hal ini perlu diberikan pengobatan profilaksis. Mengingat
bahwa cepat sekali terjadi resistensi maka informasi tentang resistensi obat di
suatu wilayah harus dilihat sebelum memberikan pengobatan.
a. Sebelum tahun 1999 untuk daerah endemis malaria seperti di Amerika Tengah,
bagian barat terusan Panama, Pulau Hispaniola, Haiti dan Republik Dominika,
332
daerah endemis malaria di Timur Tengah dan daratan Cina, plasmodium masih
sensitif terhadap klorokuin. Untuk daerah yang masih sensitif terhadap
klorokuin maka untuk menekan agar tidak timbul malaria pada orang-orang
yang non imun yang tinggal atau berkunjung ke daerah endemis malaria
diberikan pengobatan sebagai berikut: Klorokuin (Aralen, 5 mg basa/kgBB,
300 mg basa atau 500 mg klorokuin fosfat untuk orang dewasa) diberikan
seminggu sekali atau hidroksiklorokuin (praquenil 5 mg basa/kgBB – dosis
dewasa 310 mg basa atau 400 mg dalam bentuk garam). Tidak ada
kontraindikasi pemberian klorokuin untuk wanita hamil. Obat ini harus
diteruskan dengan dosis dan jadwal yang sama sampai dengan 4 minggu
setelah meninggalkan tempat endemis. Timbul efek samping yang ringan
apabila obat diminum saat makan atau obat yang diminum yaitu
hidroklorokuin. Penderita psoriasis yang minum obat klorokuin gejalanya akan
bertambah berat (terutama dikalangan orang kulit hitam di Afrika dan
Amerika). Terjadi interferensi dengan respons imunitas pemberian vaksin
rabies yang diberikan intradermal pada saat diberikan pengobatan klorokuin.
b. Untuk mencegah terjadinya infeksi malaria terhadap pendatang yang
berkunjung ke daerah dimana P. falciparum sudah resisten terhadap klorokuin
(Asia Tenggara, Afrika bagian Sub Sahara, di daerah hutan hujan di Amerika
bagian selatan dan Pulau Pasifik Barat) direkomendasikan untuk memberikan
meflokuin saja (5 mg/kgBB/minggu). Untuk mencegah malaria pemberian
obat dilakukan setiap minggu; mulai minum obat 1-2 minggu sebelum
mengadakan perjalanan ke tempat ini dan dilanjutkan setiap minggu
selama dalam perjalanan atau tinggal di daerah endemis malaria dan selama 4
minggu setelah kembali dari daerah ini . Meflokuin hanya kontraindikasi
untuk diberikan kepada orang yang sensitif. Tidak direkomendasikan untuk
diberikan kepada orang yang sedang hamil pada trimester pertama kehamilan
kecuali mereka terpajan dengan malaria P. falciparum yang sudah resisten
terhadap klorokuin (lihat 9A II 3 h ini di atas). Pengobatan pencegahan
tidak diberikan dalam waktu lebih dari 12-20 minggu dengan obat yang sama.
Bagi warga yang tinggal di daerah risiko tinggi malaria dimana terjadi
penularan malaria yang bersifat musiman maka upaya pencegahan terhadap
gigitan nyamuk perlu ditingkatkan sebagai pertimbangan alternatif terhadap
pemberian pengobatan profilaksis jangka panjang dimana kemungkinan terjadi
efek samping sangat besar. Sampai akhir tahun 1999 meflokuin tidak
direkomendasikan untuk diberikan kepada individu dengan aritmia jantung,
atau kepada orang dengan riwayat epilepsy atau dengan gangguan jiwa berat;
pada keadaan ini tidak diperkenankan diberikan meflokuin dan apabila
mereka berkunjung ke daerah endemis malaria di Thailand (daerah hutan di
desa yang berbatasan dengan Kamboja dan Myanmar) mereka diberikan
doxycycline saja 100 mg/hari sebagai obat alternative. Doxycycline mungkin
dapat memicu diare, Candida vaginitis dan peka terhadap cahaya.
Doxycycline tidak boleh diberikan kepada orang yang sedang hamil dan anak-
anak umur kurang dari 8 tahun. Untuk pencegahan, Doxycycline diminum 1-2
hari sebelum berkunjung ke daerah endemis malaria. Perjalanan yang
membutuhkan waktu lama dan memiliki risiko terhadap infeksi malaria P.
333
falciparum dimana pemberian meflokuin dan doxycycline merupakan
kontraindikasi maka terhadap orang ini diberikan klorokuin seminggu
sekali. Di Afrika dengan data yang sangat terbatas diketahui bahwa pemberian
proguanil (Paludrine, 200 mg) yang diberikan setiap hari selain klorokuin
memberikan hasil lebih efektif, namun kombinasi ini tidak memberikan hasil
yang sama untuk semua orang; di Asia dan Oseania proguanil yang
ditambahkan pada klorokuin tidak bermanfaat (di Amerika Serikat proguanil
tidak tersedia). Pengunjung dengan kategori ini di atas dianjurkan
membawa obat anti malaria yang dipakai di daerah ini atau membawa
Fansidar® (Sulfadoxine 500/pyrimethamine 25 mg) kecuali orang ini
memiliki riwayat sensitif terhadap sulfonamide. Bagi penderita yang
mengalami demam dimana tenaga medis profesional tidak ada maka terhadap
orang ini harus diberikan dosis anti malaria yang lengkap (Fansidar®
dosis untuk orang dewasa 3 tablet sekaligus) dan selanjutnya sesegera mungkin
dikonsultasikan ke dokter. Ditekankan bahwa melakukan pengobatan
presumptive seperti itu yaitu tindakan darurat dan selanjutnya harus
dilakukan evaluasi medis.
Pada tahun 1990 dilaporkan haisl penelitian klinis di daerah dimana telah
terjadi resistensi terhadap klorokuin baik terhadap P. vivax maupun P.
falciparum, obat alternative untuk orang dewasa yang tidak memiliki
defisiensi glukosa 6-phosphat dehydrogenase (G6-PD) dan untuk wanita yang
tidak hamil dan tidak menyusui obat profilaksis alternatif yaitu Primaquine
0,5 mg/kg berat badan, dimulai pada hari pertama terpajan dan dilanjutkan
selama 1 minggu sesudah meninggalkan daerah endemis malaria. Jika
dilakukan dengan benar pengobatan ini efektif mencegah 95% infeksi P.
falciparum dan 85%-90% untuk P. vivax di daerah Pasifik Selatan dan
Amerika Selatan. Efek samping pengobatan yang biasanya timbul yaitu nyeri
lambung atau sakit perut dan muntah pada <10% orang yang menerima
pengobatan ini . Untuk orang yang terpajan dalam waktu lama dimana
primaquine diberikan lebih dari 50 minggu memicu terjadi peningkatan
kadar methahemoglobin sampai 5,8%; dan akan turun turun setengahnya dalam
1 minggu sesudah pemberian primaquine dihentikan.
c. Obat-obatan profilaktik supresif terhadap P. vivax dan P. ovale tidak
membunuh parasit dalam hati, oleh sebab itu setiap saat dapat kambuh lagi
penyakitnya setelah obat anti malaria ini dihentikan. Primaquine 0,3
mg/kg berat badan/hari yang diberikan selama 14 hari (15 mg basa atau 26.3
mg Primaquine phosphate untuk orang dewasa) sering bermanfaat diberikan
kepada orang yang tinggal di daerah endemis malaria dan diberikan bersama-
sama atau sebagai lanjutan pemberian obat-obatan supresif. Namun
pengobatan ini di atas dapat menimbulkan hemolisis pada orang dengan
defisiensi G6-PD. Pertimbangan pemberian primaquine harus dilihat kasus
demi kasus setelah melihat kemungkinan risiko terhadap timbulnya reaksi
obat dan hanya diberikan kepada orang-orang yang akan tinggal dan terpajan
dalam waktu yang lama sebagai contoh para biarawan dan biarawati,
sukarelawan untuk perdamaian dan personil militer. Dosis lebih tinggi
diberikan setiap hari (30 mg sebagai basa) untuk negara-negara Asia Tenggara
334
dan negara-negara Pasifik Selatan dan beberapa negara Amerika Selatan.
Sebagai alternatif primaquine 0,75 mg basa/kg berat badan dapat diberikan
setiap minggu 8 dosis (45 mg basa atau 79 mg primaquine phosphate untuk
orang dewasa) setelah meninggalkan daerah endemis. Sebelum diberikan
primaquine sebaiknya dilakukan pemeriksaan G6-PD. Primaquine tidak
dianjurkan untuk diberikan kepada orang yang sedang hamil; Chloroquine
dilanjutkan pemberiannya setiap minggu selama masa kehamilan.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada institusi kesehatan; wajib dilaporkan kalau ditemukan kasus,
sebab termasuk dalam program pengamatan oleh WHO, termasuk penyakit Kelas
1A (Lihat laporan penyakit menular) pada daerah tidak endemis, dilakukan
pemeriksaan preparat apus untuk konfirmasi terhadap malaria (di Amerika
Serikat); kelas 3C dilakukan pada daerah endemis malaria.
2) Isolasi: Untuk pasien yang baru saja sembuh, lakukan kewaspadaan terhadap darah
pasien ini . Pasien pada senja dan dini hari agar dijaga tidak digigit nyamuk.
3) Disinfeksi: Tidak ada.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi kontak: Tidak dianjurkan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Menentukan adanya riwayat kasus
sebelum terjadinya infeksi atau kemungkinan terpajan. Jika ada pasien yang
memiliki riwayat memakai jarum suntik bergantian, laukan Investigasi dan
semua orang ini diberikan pengobatanPenderita yang mendapat malaria
sebab transfusi, terhadap semua donor dilakukan pemeriksaan darahnya apakah
mengandung positif parasit malaria atau adanya antibodi positif terhadap malaria,
apabila positif malaria maka harus diberikan pengobatan.
7) Pengobatan spesifik untuk semua tipe malaria:
a) Pengobatan untuk mereka yang terinfeksi malaria yaitu dengan memakai
chloroquine terhadap P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale yang
masih sensitif terhadap obat ini dapat diberikan peroral (diminum) dengan
jumlah dosis 25 mg chloroquine/kg berat badan diberikan lebih dari 3 hari,
dosis 15 mg dapat diberikan pada hari pertama (10 mg/kg berat badan dosis
awal dan 5 mg/kg berat badan 6 jam berikutnya; 600 mg dan 300 mg dosis
untuk orang dewasa); hari kedua diberikan 5 mg/kg berat badan dan hari ketiga
diberikan 5 mg/kg berat badan. Untuk daerah Oseania dimana malaria vivax
mungkin sudah resisten terhadap klorokuin, penderita yang sudah diberi
pengobatan, diberi pengobatan ulang atau diberikan dosis tunggal mefloquine
25 mg/kg berat badan.
b) Untuk pengobatan darurat bagi orang dewasa yang terinfeksi malaria dengan
komplikasi berat atau untuk orang yang tidak memungkinkan diberikan obat
peroral dapat diberikan obat Quinine dihydrochloride, diberikan 20 mg/kg
berat badan dilarutkan dalam 500 ml NaCl, glukosa atau plasma dan diberikan
secara intravena pelan dalam waktu (lebih 2-4 jam) bila perlu diulang setiap 8
jam (10 mg/kg berat badan) kemudian diteruskan dengan dosis yang
diturunkan setiap 8 jam sampai dengan saat penderita dapat diberikan Quinine
peroral. Dosis pengobatan pada anak per kg BB yaitu sama.
335
Apabila setelah 48 jam pengobatan penderita cenderung membaik dan kadar obat
tidak bisa dimonitor maka dosis pengobatan diturunkan 30%; efek samping yang
timbul umumnya hipoglikemia. Di Amerika, obat suntikan Quinine tidak tersedia,
namun diganti dengan Quinidine injeksi yang sama efektifnya untuk pengobatan
malaria berat. Dosis yang diberikan yaitu 10 mg Quinidine gluconate sebagai
basa/kg berat badan diberikan intravena dalam waktu 1-2 jam diikuti dengan infus
yang konstan dengan jumlah tetesan sebesar 0,02 mg/kg berat badan/menit. Selama
pengobatan perlu dilakukan pengawasan terhadap lancarnya tetesan cairan,
tekanan darah, pengamatan terhadap fungsi jantung, keseimbangan cairan dan
elektroklit melalui CVP (central venous pressure). Infus quinidine tetesannya
dipelankan atau dihentikan apabila interval QT lebih 0,6 detik dan kompleks QRS
meningkat lebih dari 50% atau penurunan tekanan darah tidak responsif terhadap
pemberian cairan. Pemberian cairan maksimal boleh diberikan sampai dengan 72
jam. Semua obat yang diberikan secara parenteral dihentikan secepat mungkin
segera setelah obat peroral dapat diberikan. Pada infeksi malaria falciparum berat
terutama yang disertai dengan gangguan kejiwaan dan dengan parasitemia yang
mencapai 10% maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan exchange
transfusion apabila terjadi infeksi malaria khususnya malaria berat yang didapat
dari daerah resisten quinine (seperti yang terjadi pada akhir tahun 1999 di daerah
perbatasan Thailand). Dalam keadaan seperti ini berikan artemether intramuskuler
(3,2 mg/kg berat badan pada hari pertama, dilanjutkan dengan 1,6 mg/kg BB/hari),
atau artesunate intravena atau intramuskuler (2 mg/kg berat badan pada hari
pertama, dilanjutkan dengan 1 mg/kg berat badan tiap hari). Pada kasus dengan
hiperparasitemia artesunate diberikan dengan dosis 1 mg/kg berat badan 4-6 jam
sesudah dosis pertama. Untuk mencegah terjadinya neurotoksisitas maka
pemberian obat ini tidak boleh lebih dari 5-7 hari atau sampai pasien bisa
menelan obat malaria oral yang efektif seperti mefloquinine dengan dosis 25 mg/kg
BB. Obat ini tidak tersedia di pasaran Amerika Serikat, pemberiannya hanya boleh
jika dikombinasikan dengan obat anti malaria lain.
c) Untuk infeksi malaria P. falciparum yang didapat di daerah dimana ditemukan
strain yang resisten terhadap chloroquine, pengobatan dilakukan dengan
memberikan quinine 50 mg/kg berat badan/hari dibagi dalam 3 dosis selama 3-
7 hari (untuk infeksi malaria berat, berikan quinine intravena seperti yang telah
dijelaskan di atas). Bersamaan dengan pemberian quinine, diberikan juga
doxycycline (2 mg/kg berat badan/2 kali perhari, dosis pemakaian maksimum
yaitu 100 mg/dosis) atau berikan tetrasiklin (20 mg/kg berat badan dengan
dosis maksimum 250 mg perhari) diberikan dalam 4 dosis perhari selama 7
hari. Quinine dihentikan setelah 3 hari kecuali untuk infeksi malaria yang
diperoleh di Thailand dan Amazone, pemberian quinine harus dilanjutkan
pengobatannya sampai 7 hari. Mefloquine (15-25 mg/kg berat badan) sangat
efektif untuk pengobatan P. falciparum yang resisten terhadap chloroquine
namun mefloquine tidak efektif untuk mengobati malaria P. falciparum yang
terdapat di Thailand, negara tetangganya dan Brazilia. Mengingat banyak
sekali ditemukan daerah-daerah dengan kecenderungan terjadi resistensi
terhadap obat antimalaria, maka agar upaya pengobatan terhadap penderita
336
malaria dapat berhasil baik perlu dilakukan pemetaan yang baik tentang pola
resistensi obat di daerah-daerah dimana terjadi penularan malaria.
d) Untuk pengobatan infeksi malaria P. vivax yang terjadi di Papua New Guinea
atau Irian Jaya (Indonesia) digunakan mefloquine (15 mg/kg berat badan dosis
tunggal). Halofantrine mungkin dapat digunakan sebagai obat alternatif. Baca
petunjuk yang tertulis dalam kemasan obat.
e) Untuk mencegah adanya infeksi ulang sebab digigit nyamuk yang
mengandung malaria P. vivax dan P. ovale berikan pengobatan dengan
primaquine seperti yang telah dijelaskan pada nomor 9A5C ini di atas;
sebagai pelengkap pengobatan kasus yang akut terhadap semua penderita maka
dilakukan tes (khususnya orang kulit hitam Afrika, orang kulit hitam Afrika
yang tinggal di Amerika, orang Asia dan orang Mediteranian) untuk
mengetahui adanya defisiensi G6-PD agar tidak terjadi hemolisis sebab obat.
Banyak orang Afrika dan orang Afrika yang tinggal di Amerika yang toleran
terhadap hemolisis walaupun demikian perlu dipertimbangkan untuk
menghentikan segera pemberian primaquine. Bagaimanapun manfaat dan
kerugian kemungkinan terjadinya hemolisis harus dikaji secara seimbang
terhadap kemungkinan kambuhnya infeksi malaria. Primaquine tidak
dianjurkan pemberiannya bagi orang yang terkena infeksi malaria bukan oleh
gigitan nyamuk (sebagai contoh sebab transfusi darah) oleh sebab dengan
cara penularan infeksi malaria seperti ini tidak ada fase hati.
C. Penanggulangan Wabah
Buat pemetaan tentang sebab dan luasnya situasi KLB malaria. Lakukan deteksi kasus
secara intensif dan intensifkan upaya pemberantasan vektor baik terhadap nyamuk
dewasa maupun terhadap stadium larva. Lakukan gerakan untuk menghilangkan
tempat-tempat perindukan nyamuk. Obati semua penderita malaria; kenakan pakaian
pelindung diri untuk menghindari gigitan nyamuk; berikan pengobatan supresif.
Pengobatan massal masih dapat dipertimbangkan.
D. Implikasi Bencana
Sepanjang catatan sejarah, malaria sering merebak bersamaan dengan terjadinya
peperangan dan kerusuhan sosial. Perubahan cuaca dan perubahan lingkungan yang
memicu terjadinya peningkatan jumlah dan luas wilayah tempat perindukan
nyamuk di daerah endemis akan memicu peningkatan jumlah penderita malaria.
E. Tindakan lebih lanjut
1. Tindakan lebih lanjut yang penting sebagai berikut:
a. Melakukan pembebasan terhadap serangga didalam pesawat udara sebelum naik
pesawat (boarding) atau pada waktu singgah, dilakukan penyemprotan dengan
insektisida dimana vektor nyamuk masih rentan terhadap insektisida ini .
b. Lakukan penyemprotan terhadap pesawat udara, kapal laut dan alat transportasi
yang lain pada saat kedatangan sesuai dengan kewenangan dan peraturan
kesehatan setempat, hal ini dilakukan sebab kemungkinan adanya vektor
malaria yang masuk ke dalam alat-alat transportasi ini .
337
2. Tindakan khusus dilakukan dengan pemberian obat anti malaria kepada pendatang
(pengungsi, pekerja musiman dan orang-orang yang pindah secara serentak dari
daerah bebas malaria) yang berpotensi terkena malaria, kepada mereka diberikan
primaquine 30-45 mg sebagai obat dasar (0,5-0,75 mg/kg BB) dengan dosis tunggal,
menjadikan gamotosit malaria P. falciparum tidak lagi menular.
3. Malaria merupakan penyakit dibawah pengawasan WHO. Pemberantasan malaria
masuk kedalam strategi utama program WHO dalam pengembangan Primary Health
Care. Negara-negara anggota WHO secara berkala setahun sekali diharapkan
melaporkan ha-hal yang tercantum di bawah ini:
a. Daerah malaria yang saat ini tidak lagi ada risiko terinfeksi malaria.
b. Kasus impor (kasus yang datang dari daerah lain) masuk ke daerah bebas malaria
yang berpotensi menularkan malaria.
c. Daerah dengan strain yang resisten chloroquine.
d. Pelabuhan udara/laut lebih lanjut yang bebas malaria.
4. Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.
NEOPLASMA MALIGNA
YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFEKSI
Infeksi juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya suatu malignansi. Pemicu infeksi seperti
parasit, bakteri jenis Helicobacter pylori dan beberapa jenis virus dapat berperan dalam
patofisiologi terjadinya berbagai jenis malignansi pada manusia baik secara langsung maupun
tidak langsung. Malignansi biasanya terjadi belakangan setelah terjadi infeksi dalam jangka
waktu yang lama. Kofaktor Pemicu bisa berasal dari luar (lingkungan) atau dari dalam
(genetik, fisiologis, imunologis dan pada tingkat molekuler), kofaktor ini memiliki
peranan penting untuk terjadinya tiap jenis malignansi.
Pemicu infeksi apakah parasit, virus ataukah bakteri dalam memicu terjadinya
keganasan tidak berperan sendiri sebagai unsur yang necessary atau sufficient. Banyak faktor
lain ikut terlibat didalam patofisiologi terjadinya keganasan ini . Namun salah satu
kofaktor pasti selalu ada didalamnya. Kebanyakan mikroorganisme Pemicu terjadinya
proses keganasan yaitu virus. Gambaran umum yang selalu ada pada proses keganasan yang
disebabkan oleh virus yaitu bahwa infeksi virus terjadi pada usia dini dan kemudian virus
ini tetap bertahan pada tubuh orang ini seperti halnya pada carrier yang kronis.
Atau pada orang ini terjadi imunosupresi. Hal ini mengarah kepada integrasi dan
pembentukan kanker biasanya dalam bentuk clone sel tunggal (tumor monoklonal). Proses
keganasan seperti ini terjadi pada virus DNA maupun virus RNA. Ada 4 jenis virus DNA
yang dianggap langsung maupun tidak langsung dapat memacu proses patogenesis terjadinya
proses keganasan pada manusia yaitu: (1) Virus Hepatitis B (HBV); (2) Virus Epstein-Barr
(EBV); (3) Virus papilloma pada manusia (HPV, terutama tipe 16 dan 18); (4) human herpes
virus-8 (HHV-8), virus ini disebut juga sebagai virus Pemicu Kaposi sarcoma (KSHV).
Tiga jenis virus pertama ditemukan hampir di seluruh dunia memicu infeksi dengan
gejala klinis yang jelas ataupun yang tidak tampak, kebanyakan berakhir sebagai status
carrier yang laten, dan dapat terjadi reaktivasi. Kecenderungan monoklonalitas dari sel tumor
338
dan adanya integrasi virus kedalam sel tumor menandakan adanya hubungan kausalitas.
Terjadinya keganasan sebab asosiasi kausalitas seperti ini relatif ja