penyakit menular 14


  Manusia. 

 

5. Cara-cara penularan – Ditularkan oleh lalat rusa dari genus Chrysops. Chrysops 

dimidiata, C. silacea dan spesies lainnya yang mengisap darah yang mengandung 

mikrofilariae; kemudian larva tumbuh didalam tubuh lalat menjadi stadium infeksi dalam 

waktu 10 – 12 hari. Larva yang infektif bermigrasi kebelalai lalat dan dipindahkan ke 

manusia melalui gigitan lalat ini . 

 

 

 315

6. Masa inkubasi – Gejala biasanya tidak terlihat sampai beberapa tahun setelah infeksi 

terjadi, namun  dapat juga terlihat paling dini dalam 4 bulan. Mikrofilariae dapat terlihat 

didarah tepi paling dini 6 bulan setelah infeksi terjadi. 

 

7. Masa penularan – Cacing dewasa dapat bertahan terus-menerus pada tubuh manusia, 

mengeluarkan mikrofilariae yang masuk kedalam darah selama 17 tahun; dalam tubuh 

lalat, penularan terjadi 10 - 12 hari setelah infeksi sampai semua larvae penular telah 

dikeluarkan, atau sampai lalat ini  mati. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan – Semua orang rentan terhadap penyakit ini, dapat terjadi 

infeksi berulang-ulang dan kebal, jika ada, belum pernah dibuktikan. 

 

9. Cara-cara pemberantasan: 

A. Tidakan pencegahan: 

1). Tindakan langsung terhadap pemberantasan larvae lalat dinilai efektif namun  tidak 

terbukti sebab  daerah berkembang biak biasanya lembab, berlumpur dan sangat 

sangat luas. 

2). Diethyltoluamide (Deet®, Autan® ) atau dimethyl phthalate yang dioleskan pada 

bagian kulit yang terbuka efektif mengusir lalat. 

3). memakai   pakaian pelindung (baju dan celana panjang), rumah berkasa. 

4). Bagi warga  yang tinggal untuk sementara waktu didaerah endemik yang 

berisiko tinggi, pemberian dosis mingguan diethyl carbamazine (300 mg) dapat 

mencegah infeksi (sebagai profilaksis). 

 

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya: 

1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan tertulis tidak diperlukan, 

Kalsifikasi  5 (lihat Laporan Penyakit Menular). 

2). Isolasi: Jika memungkinkan penderitaa yang memiliki mikrofilarie harus 

dilindungi dari gigitan Chrysops untuk mengurangi penularan. 

3). Disinfeksi serentak: Tidak ada. 

4). Karantina : Tidak ada. 

5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada. 

6). Investigasi terhadap orang-orang yang kontak dan sumber infeksi: Tidak ada, 

merupakan masalah warga . 

7). Pengobatan khusus: Diethylcarbamasin (DEC, Banocide®, Hetrazan®, Notezine) 

membunuh mikrofilarie dan cacing dewasa dengan hasil sempurna. Selama masa 

terapi, reaksi hipersensitif terhadap obat (terkadang berat) biasa terjadi namun bisa 

diatasi dengan pemberian steroid dan atau anti histamine. Jika terdapat banyak 

mikrofilariae dalam darah (lebih dari 2000 /ml darah), ada resiko terjadi 

meningoencephelitis, dan manfaat pengobatan harus dipertimbangkan terhadap 

risiko terkena encephalopathy yang mengerikan; oleh sebab  itu pengobatan 

dengan DEC harus bersifat individual dan dibawah pengawasan medis yang ketat. 

Pengobatan dengan memakai   Ivermectin (Mectizan®) juga dapat mengurangi 

mikrofilariae, dan reaksi balik  lebih ringan dibandingkan DEC. Albendazole juga 

mengurangi mikrofilariae dalam darah secara perlahan-lahan dan mungkin dapat 

membunuh cacing dewasa. Mengeluarkan cacing dewasa dari bawah conjunctiva 

 

 316

dengan cara operasi dapat dilakukan jika memungkinkan. Encephlopathy Loa-loa 

pernah dilaporkan terjadi setelah dilakukan pengobatan ivermecitin untuk 

onchocherciasis. 

 

C. Penanggulangan wabah: Tidak dilakukan. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.  

 

 

 

PENYAKIT LYME    ICD-9 104.8, 088.81; ICD-10 A69.2, L90.4 

(Lyme borreliosis, Tickborne meningopolyneuritis) 

 

 

1. Identifikasi  

Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirochaeta sebab  gigitan kutu ditandai dengan 

lesi yang jelas dan khas pada kulit, dengan gejala sisthemik dan neurologis, rheumatik dan 

kelainan jantung dengan kombinasi yang bervariasi selama beberapa bulan dan tahun. 

Gejala awalnya bergantian dan berubah-ubah. Penyakit ini khas terjadi pada musim panas, 

dan bentuk awalnya pada 90 % penderita terlihat berupa macula atau papula merah yang 

membesar perlahan berbentuk cincin, kadang-kadang bagian tengahnya bersih. Luka khas 

pada kulit ini disebut ‘’erythema migrans‘’ (EM; dulu disebut ‘’erythema chronicum 

migrans”. EM jumlahnya bisa sebuah atau banyak. Pertimbangan penting untuk tujuan 

surveilans kasus yaitu   luka EM harus mencapai diameter 5 cm. Dengan atau tanpa EM, 

gejala awal sistemik penyakit berupa rasa tidak enak badan, demam, kelelahan, sakit 

kepala, kaku leher, myalgia, anthralgia yang berpindah dan atau lymphadenopathy, semua 

itu bisa bertahan selama beberapa minggu atau lebih pada penderita yang tidak diobati.  

Dalam beberapa minggu atau bulan setelah munculnya lesi EM, bisa terjadi kelainan 

syaraf seperti aseptic meningitis ringan dan neoritis syaraf carnial termasuk kelumpuhan 

syaraf wajah, chorea, ataxia cerebellar, radiculoneuritis syaraf sensorik atau motorik, 

myelitis maupun ensefalitis; gejala penyakit ini berubah-rubah dapat berakhir beberapa 

bulan dan dapat menjadi kronis. Kelainan jantung (termasuk atrioventicular block dan 

myopericarditis akut atau cardiomegaly) dapat terjadi dalam beberapa minggu setelah 

munculnya EM. Berminggu-minggu hingga bertahun-tahun setelah onset (rata-rata 6 

bulan), pembengkakan dan rasa sakit pada sendi besar secara berulang-ulang terutama 

lutut, dapat terjadi dalam beberapa tahun; mengakibatkan radang sendi kronis. Sama 

seperti diatas, terkadang pada infeksi yang laten dan panjang, kelainan neurologist kronis 

dapat terjadi termasuk encephalopathy, polyneuropathy atau leukoencephalitis; LCS 

sering menunjukkan adanya lymphocytic pleocytosis dan meningkatnya jumlah protein, 

sedang  elektromiogram biasanya tidak normal. 

Diagnosa saat ini didasarkan pada gejala-gejala klinis didukung oleh tes serologis yang 

dilakukan dalam dua tahap, dengan IFA, ELISA, dilanjutkan dengan Western 

immunoblot. Tes serologis, yang tidak standar harus dibaca dengan hati-hati. Tes ini  

tidak sensitif pada infeksi yang baru berjalan beberapa minggu dan mungkin tetap 

 

 317

menunjukan hasil negatif pada penderita yang diobati dengan antibiotik. Tes ELISA untuk 

antibodi IgM yang memakai   rekombinan permukaan luar protein C (rOspC) terbukti 

lebih sensitif untuk diagnosis dini dari pada ELISA yang memakai   seluruh sel ELISA 

atau assay immunoblot. Kepekaan tes akan meningkat seiring dengan tahap akhir 

perjalanan penyakit, namun  ada kemungkinan dalam porsi kecil penderita penyakit Lyme 

tetap sero negatif. Reaksi silang antara antibodi IFA dan ELISA dapat memicu  

reaksi ‘false positive‘, pada penderita sipilis, demam berulang, leptospirosis, infeksi HIV, 

demam bercak Rocky Mountain, mononucleusis infectiosa, lupus atau rheumatoid 

arthritis. Spesifitas tes serologis meningkat dengan memakai   tes immunoblot pada 

semua spesimen yang menunjukan  hasil posistif atau samar-samar dengan IFA dan 

ELISA. Ethiologi agen Pemicu  penyakit yaitu   Borrellia burgdorferi, tumbuh pada 

suhu 33º C (91,4º F) media Barbour, Stoenner, Kelly (BSK); spesies lain yang 

memicu  penyakit serupa Lime tidak dapat tumbuh dengan baik pada media ini. 

Isolasi dari darah dan biopsi jaringan tubuh sulit dilakukan, namun  biopsi luka EM bisa 

menemukan organisme ini  80% dari kasus atau lebih. Dengan PCR, materi genetik 

B. burgdorferi dapat diketahui dari cairan sinovial, CSF, kulit dan jaringan tubuh lain, 

darah dan urine; namun manfaat penggunaan pemeriksaan PCR pada penatalaksanaan 

penderita penyakit  Lime secara rutin masih harus dibuktikan. 

 

2. Pemicu  penyakit – Spirocheta Pemicu  penyakit Lyme Amerika Utara, B. 

burgdorferi, ditemukan pada tahu 1982. Tiga kelompok  genom B. burgdorferi sensu lato 

baru-baru ini ditemukan di Eropa. Mereka dinamakan B. burgdorferi sensu stricto, B. 

garinii dan B. afzelii. 

 

3. Distribusi Penyakit  

Di AS, fokus-fokus endemis terdapat di sepanjang laut Atlantik dan kebanyakan di 

Massachussets dan Maryland; di sebelah atas bagian barat tengah, di Wisconsin dan 

Minesota; dan di bagian barat, beberapa daerah di California dan Oregon. Saat ini, dengan 

meningkatnya pengetahuan terhadap penyakit ini kasus dilaporkan dari 47 negara bagian 

dan dari Ontario dan British Columbia, Canada. Di tempat lain penyakit ini ditemukan di 

Eropa, Uni Soviet, Cina, dan Jepang. Infeksi awal biasanya terjadi selama musim panen, 

dengan puncaknya pada bulan Juni dan Juli, namun  terjadi sepanjang tahun, tergantung 

pada musim banyaknya kutu yang berbeda menurut wilayah geografis. Penyebaran 

mayoritas kasus bertepatan dengan penyebaran kutu Ixodes scapularis (dulu disebut I. 

dammini) di bagian timur dan barat tengah AS. I. pacificus di bagian barat AS dan I. 

persulcatus di Asia. Anjing, lembu dan kuda juga bisa menderita penyakit sistemik seperti 

kelainan sendi dan jantung sebagimana dialami manusia. Ledakan populasi rusa berekor 

putih di AS bagian timur, telah dikaitkan dengan penyebaran penyakit Lyme di daerah ini. 

 

4. Reservoir – Kutu ixodid tertentu melalui penularan transstadial. Hewan pengerat liar,  

terutama Peromyscus spp. Di AS bagian timur laut dan bagian barat tengah, dan Neotoma 

spp. dii AS bagian barat melanggengkan terjadinya siklus penyebaran enzootic. Rusa 

merupakan mamalia yang berperan penting sebagai hospes dari vektor jenis kutu. Larva 

kutu dan nimfe hidup pada mamalia kecil, sedang  kutu dewasa terutama hidup pada 

rusa. Kasus penyakit Lyme terutama berasal dari gigitan nimfe yang terinfeksi. 

 

 

 318

5. Cara penularan – Ditularkan oleh kutu; pada hewan percobaan, penularan oleh I. 

scapularis dan I. pasificus biasanya tidak terjadi sampai kutu menempel selama 24 jam 

atau lebih; hal ini mungkin juga terjadi pada manusia.  

 

6. Masa inkubasi - Untuk EM, mulai dari 3 – 32 hari (rata-rata 7 – 10 hari ) setelah digigit 

kutu meskipun pada tahap awal penyakit ini gejalanya mungkin tidak terlihat jelas, dan 

penderita tampak setelah gejala lanjut.   

 

7. Masa penularan – Tidak ada bukti nyata tentang adanya penularan dari orang ke orang 

secara alamiah. Jarang dilaporkan kasus penularan bawaan (dari ibu ke anak), tapi 

berbagai studi epidemiologi belum membuktikan adanya hubungan antara penyakit  Lyme 

pada maternal dan kehamilan yang merugikan. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan – Semua orang mungkin rentan. Re infeksi terjadi pada 

penderita yang pada awal penyakit mendapat pengobatan dengan antibiotik. 

 

9. Cara-cara pemberantasan : 

A. Tindakan pencegahan : 

1) Memberi penyuluhan pada warga  tentang cara-cara penularan melalui kutu 

dan pentingnya arti cara-cara perlindungan diri terhadap penularan. 

2) Hindari tempat-tempat yang banyak kutu jika memungkin. Untuk meminimalisir 

gigitan kutu, pakai baju berwarna terang yang menutupi kaki dan lengan sehingga 

kutu bisa lebih mudah terlihat; masukan celana panjang kedalam kaus kaki dan 

oleskan penolak kutu seperti diethyltoluamide (deet®, autan®) pada kulit dan 

permethrin (repelan dan acaricida  kontak) pada celana panjang dan lengan baju.  

3) Apabila bekerja atau bermain didaerah yang dihuni kutu, periksalah seluruh bagian 

tubuh setiap hari, jangan diabaikan banyak bulu/rambut, segera bersihkan kutu; 

kutu ini mungkin sangat kecil. Ambil kutu yang menempel dengan memakai   

alat penjepit atau pinset dengan hati-hati dilakukan sedekat mungkin dengan kulit 

untuk mencegah adanya bagian mulut  tertinggal didalam kulit; lindungi tangan 

dengan sarung tangan, kain  atau tissue ketika mengambil kutu dari tubuh manusia 

atau hewan. Setelah pengambilan, bersihkan bagian yang ditempeli kutu dengan 

air dan sabun. 

4) Pedoman pemberantasan untuk mengurangi populasi kutu di daerah pemukiman 

telah tersedia (manajemen hospes, modifikasi habitat, pemberantasan dengan 

memakai   bahan kimia), namun  umumnya tidak bisa diterapkan pada lokasi 

dengan skala yang besar. 

5) Selama akhir tahun 1990-an, dua vaksin untuk penyakit Lyme dikembangkan 

dengan memakai   Rekombinan B. burgdorferi yang dipermukaan luar dilapisi 

protein A (rOspA) sebagai immunogen. Pada tahun 1999, salah satu dari  vaksin 

ini  diizinkan penggunaannya  oleh FDA untuk orang yang berusia 15 – 70 

tahun di AS. Vaksin ini digunakan dengan 3 kali dosis dengan jadwal 0,1 dan 12 

bulan serta dinilai aman (tidak memicu  arthritis kronis) dan 76% efektif 

untuk  mencegah timbulnya penyakit Lyme bawaan lahir setelah pemakaian 3 kali 

dosis belum ada. Informasi mengenai keamanan dan kemajuan vaksin ini  

setelah melewati musim penularan segera setelah pemakaian dosis ketiga.  

 

 319

 Oleh sebab  itu sampai akhir tahun 1999, jangka waktu imunitasprotektif dan 

kebutuhan akan dosis booster setelah pemakaian dosis ke tiga tidak diketahui. 

a) Vaksin yang disuntikan untuk merangsang terbentuknya  antibodi anti-rOspA 

secara rutin memberikan hasil positif palsu terhadap tes ELISA untuk penyakit 

lyme. Namun demikian, petugas laboratorium yang berpengalaman, setelah 

membaca hasil uji Western blot dengan cermat, biasanya dapat membedakan 

antara infeksi oleh B. burgdorferi dengan imunisasi rOspA yang baru saja 

diberikan sebab  antibodi anti-rOspA tidak akan terbentuk setelah terjadi 

infeksi alamiah terjadi. 

b) Vaksin penyakit Lyme tidak dapat melindungi semua orang dari terinfeksi B. 

burgdorferi dan bahkan tidak dapat melindungi dari penyakit lain yang 

ditularkan melalui gigitan kutu. Keputusan penggunaan vaksin harus 

berdasarkan pada penilaian terhadap setiap individu mengenai risiko digigit 

kutu yang terinfeksi dan pertimbangan risiko relatif lain serta keuntungan 

penggunaan vaksin jika dibandingkan dengan tindakan protektif lainnya seperti 

diagnosis dini dan pengobatan penyakit Lyme. 

c) Penilaian risiko (risk assessment) harus mencakup perkiraan penyebaran 

penyakit Lyme secara geografis. Daerah dengan risiko tertinggi di AS 

terkonsentrasi di bagian timur laut dan utara bagian tengah. Meski demikian, 

risiko penyakit Lyme berbeda-beda tidak hanya antar wilayah, antar propinsi 

dan antara kabupaten dalam satu propinsi, namun  bahkan antara kecamatan di 

dalam kabupaten dan kota. Informasi lebih lengkap tentang penyebaran risiko 

penyakit Lyme disuatu tempat tertentu dapat diperoleh dari instansi kesehatan 

warga  di daerah setempat. 

d) Di daerah yang risiko sedang sampai tinggi, perlu dipertimbangkan pemberian 

imunisasi  pada warga  dengan usia 15 – 70 tahun yang melakukan berbagai 

kegiatan berikut : rekreasi, sebagai tukang bangunan atau mereka yang 

memiliki  pekerjaan risiko tinggi tertular) dimana jenis kegiatan ini  

memicu  yang bersangkutan terpajan  dengan daerah yang merupakan 

habitat kutu dalam waktu yang lama. Vaksin untuk penyakit Lyme perlu juga 

dipertimbangkan untuk diberikan kepada orang yang berusia 15 – 70 tahun 

yang terpajan dengan lingkungan yang merupakan habitat kutu kalau yang 

bersangkutan sering berkunjung ke tempat ini  meskipun sebentar. Bahwa 

pemberian vaksin lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan upaya 

perlindungan diri, diagnosa dan pengobatan dini belumlah diketahui dengan 

pasti. Vaksin tidak dianjurkan untuk diberikan kepada orang yang tidak 

terpajan ataupun terpajan secara minimal terhadap daerah yang merupakan 

habitat kutu. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya : 

1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Pelaporan kasus diwajibkan di semua 

negara bagian AS dan beberapa negara lain, Klasifikasi 3B (lihat Laporan Penyakit 

Menular). 

2) Isolasi: Tidak ada. 

3) Disinfeksi serentak: Bersihkan semua kutu dari penderita dengan hati-hati. 

4) Karantina: Tidak ada. 

 

 320

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan. 

6) Investigasi orang-rang yang kontak dan sumber infeksi: penelitian untuk 

mengetahui sumber penyakit diperlukan jika ada kasus yang terjadi diluar daerah 

endemis. 

7) Pengobatan khusus: Untuk orang dewasa, pada tahap EM biasanya dapat diobati 

secara efektif dengan doxycycline ( 100 mg dua kali sehari) atau amoxicillin (500 

mg sebanyak 3 – 4 kali sehari). Untuk EM yang belum menyebar, pengobatan 

selama 2 minggu penuh biasanya sudah cukup. Untuk infeksi awal yang sudah 

menyebar, harus dilakukan pengobatan selama 3 –4 minggu. Anak-anak dibawah 9 

tahun dapat diobati dengan amoxicillin, 50 mg/kg/hari dengan dosis yang dibagi-

bagi, dengan jangka waktu yang sama seperti orang dewasa. Cefuroxime atau 

erythromycin dapat digunakan bagi mereka yang alergi terhadap penicillin atau 

yang tidak boleh mengkonsumsi tetracycline. Lyme arthritis biasanya dapat diobati 

secara sempurna selama 4 minggu dengan berbagai obat yang diberikan secara 

oral. Namun adanya kelainan syaraf, dengan pengecualian kelumpuhan syaraf 

wajah, sebaiknya diobati dengan ceftriaxone IV, 2 g satu kali sehari, atau penicillin 

IV, 20 m.u. dibagi dalam 6 dosis, selama 3 – 4 minggu. Kegagalan pengobatan 

mungkin saja terjadi dengan penggunaan salah satu regimens dan mungkin 

diperlukan pengobatan ulang. 

 

C. Penanggulangan wabah: Di daerah hiperendemik, perlu diperhatikan secara khusus 

terhadap spesies kutu yang menyebarkan penyakit ini dan daerah yang terjangkit dan 

mengikuti rekomendasi yang diberikan pada butir  9 A1 sampai 9A3 di atas. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Memanfaatkan Pusat-pusat kerjasama WHO. 

 

 

 

 

LYMPHOCYTIC CHORIOMENINGITIS  ICD-9 049.0; ICD-10 A87.2 

(LCM, memingitis lymphocytic bernigna atau serosa) 

 

 

1. Identifikasi  

Infeksi pada hewan yang disebabkan oleh virus, terutama tikus, yang dapat ditularkan ke 

manusia, dengan gejala klinis yang berbeda-beda. Saat ini gejala-gejalanya menyerupai 

influenza , disertai dengan myalgia, sakit kepala retroorbital,  leukopenia dan 

trombositopenia, diakhiri dengan penyembuhan sempurna; pada beberapa kasus, penyakit 

ini diawali dengan gejala-gejala meningeal atau gejala meningoencephalomyelitis, atau 

gejala-gejala ini  muncul beberapa saat setelah remisi. Orchitis, parotitis, arthritis, 

myocarditis dan ruam pada wajah kadang-kadang terjadi. Masa akut biasanya sebentar, 

jarang yang fatal, bahkan pada kondisi sakit yang cukup berat (seperti: koma akibat 

meningoencephalitis), prognasis sembuh sempurna tanpa ada gejala sisa meskipun ada 

kelelahan ketidak seimbangan/vasomotor dan yang berlangsung lama pada masa 

 

 321

pemulihan. Pemeriksaan LCS pada kasus dengan kelainan syaraf biasanya menunjukan 

lymphocytic pleocytosis, pada saat yang sama terjadi kadar gula yang rendah. Temuan PA 

pada kasus yang fatal pada manusia walaupun jarang yaitu   difuse meningoencephalitis. 

Beberapa kasus fatal yang jarang terjadi yaitu   sejenis demam berdarah pernah 

dilaporkan. Infeksi pada janin melalui plasenta yang dapat memicu  hydrocephalus 

dan chorioretinitis bisa terjadi dalam hal ini perlu dilakukan pengujian.  

Metode diagnosa laboratorium mencakup isolasi virus dari darah atau LCS pada masa 

awal sakit dengan cara inokulasi intracerebral dengan bahan yang bebas LCM pada tikus 

yang berusia 3 sampai 5 minggu. Kehadiran IgM khusus didalam LCS atau serum dengan 

cara ELISA atau meningkatnya titer antibodi dengan cara IFA memakai   ‘paired sera‘ 

dinilai sebagai cara diagnosa yang cukup memadai. LCM memerlukan pembedaan dari 

jenis meningitis aseptik dan meningitis lain yang disebabkan oleh virus. 

 

2. Pemicu  penyakit – Virus Lymphocytic choriomeningitis, merupakan arenavirus, yang 

secara serologi memiliki  kedekatan dengan virus Lassa, Machupo, Junin, Guaranito dan 

Sabia. 

 

3. Distribusi Penyakit  

Sering terjadi di Eropa dan Amerika; biasanya tidakterdiagnosa. Penyebaran infeksi pada 

tikus berlangsung dalam waktu yang lama dan menimbulkan penyakit dengan manifestasi 

klinis yang sporadis. Penularan terjadi dengan adanya riwayat kontak dengan hamster 

peliharaan dan hewan laboratorium. Tikus gundul, saat ini banyak digunakan untuk 

penelitian di laboratorium, rentan terhadap infeksi ini dan bisa menjadi penyebar virus 

secara kronis. 

 

4. Reservoir – Tikus rumah yang terinfeksi, yaitu Mus musculus, yaitu   reservoir alami; 

betina yang terinfeksi menularkan infeksi ke pada keturunannya, yang kemudian menjadi 

tempat berkembang biaknya virus. Infeksi juga terjadi pada koloni tikus dan hamster dan 

pada transtable tumor (potongan transpalantasi tumor). 

 

5. Cara penularan – Virus dikeluarkan oleh hewan yang terinveksi, biasanya tikus, melaui 

urin, ludah dan feses, Penularan ke manusia mungkin terjadi melalui kontak mulut atau 

pernafasan yang berkontak, kotoran, makanan dan debu yang terkontaminasi atau melalui  

terkontaminasinya kulit yang luka atau terpotong. Menyentuh benda yang terkontaminasi 

oleh tikus yang terinfeksi  dapat memicu  orang memiliki  risiko tinggi terkena 

penyakit. 

 

6. Masa inkubasi – Kemungkinan 8 – 13 hari; pada hari ke 15 – 21, sampai nampak gejala 

gejala meningeal. 

 

7. Masa penularan – Penularan dari orang ke orang belum pernah terbukti dan sepertinya 

tidak mungkin terjadi. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan – Kesembuhan dari penyakit memberikan kekebalan untuk 

waktu yang lama. Mekanisme “cell mediated” berperan sangat penting, dan pembentukan 

antibodi menjadi peranan kedua. 

 

 322

9. Cara-cara pemberantasan. 

A. Tindakan pencegahan : 

Bersihkan tempat tinggal dan tempat kerja; berantas tikus dan bunuh hewan terjangkit. 

Simpanlah makanan dalam wadah yang tertutup. Lakukan surveilans virologi terhadap 

peternakan hewan pengerat, terutama yang menghasilakan hamster dan tikus. Hal ini 

akan sangat membantu. Pastikan bahwa tikus percobaan tidak terinfeksi dan orang 

yang merawatnya mengikuti prosedur-prosedur untuk mencegah terjadinya penularan 

dari hewan yang terinfeksi. 

 

B. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya: 

1) Laporkan kepada instansi kesehatan setempat: Wajib dilaporkan pada daerah 

endemik, Klasifikasi 3 C (lihat Laporan Penyakit Menular). 

2) Isolasi: Tidak ada. 

3) Disinfeksi serentak: Kotoran dari hidung, tenggorokan, urin, tinja dan barang-

barang yang terkena kotoran selama terjadi demam akut. Lakukan pembersihan 

menyluruh. 

4) Karantina: Tidak ada. 

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada. 

6) Investigasi orang-orang yang kontak dan sumber infeksi: teliti keberadaan tikus 

rumah atau hewan pengerat peliharaan dilingkungan perumahan dan lokasi 

pekerjaan. 

7) Pengobatan khusus: Tidak ada. 

 

C. Penanggulangan wabah: Tidak dilakukan. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada. 

 

 

 

 

LYMPHOGRANULOMA VERENEUM   ICD-9 099.1; ICD-10 A55 

(Lymphogranuloma inguinale, bubo tropis atau bubo klimatik, LGV) 

 

 

1. Identifikasi  

Infeksi chlamydial yang ditularkan secara seksual diawali dengan luka yang kecil, tidak 

sakit, berbentuk papula, nodula atau luka menerupai herpes pada penis atau vulva, 

biasanya luput dari perhatian. Lymphonodi disekitarnya bernanah berlanjut dengan proses 

peradangan pada jaringan disekitar kelenjar lymphe tsb. Pada laki-laki, bubo inguinal 

menempel pada kulit, berubah-ubah menebabkan pembentukan sinus. Pada perempuan 

lymphonodi, ingiunal tidak terkena dan yang terkena yaitu   lymphonodi pelvis yang 

meluas sampai rectum (dubur) dan septum rectovaginalis, mengakibatkan proctitis, 

strictiva rectum dan terbentuk fistulae. Procititis dapat terjadi disebab kan hubungan sex 

melalui dubur, LVG yaitu   Pemicu  utama procititis yang berat pada pria homoseksual. 

 

 323

Elephantiasis pada alat kelamin dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Demam 

meriang, sakit kepala, sakit pada persendian dan anorexia biasanya muncul. Masa sakitnya 

lama dan terjadi disabilitas, namun  umumnya tidak fatal. Sepsis  dilsertai dengan arthritis 

dan meningitis jarang terjadi. Diagnosis dilakukan dengan menemukan organisme 

chlamydia dengan memakai   IF, EIA, penelitian DNA, PCR, kultur bubo atau dengan 

test serelogi micro IF yang khusus. Pengujian CF dapat dianggap benar jika ada 

peningkatan 4 kali lipat atau satu  liter dengan perbandingan 1 : 64 atau lebih. Hasil test 

CF yang negatif menggugurkan diagnosis. 

 

2. Pemicu  penyakit – Chlamydia trachomatis, tipe L-1, L-2 dan L-3; berhubungan 

dengan organisme Pemicu  trachoma dan infeksi chlamydia. 

 

3. Kejadian  

Di seluruh dunia, khususnya di daerah tropis dan sub tropis; lebih banyak dari yang 

diduga. Daerah endemis terdapat dibeberapa bagian Asia dan Afrika, terutama pada 

daerah dengan tingkat sosioekonomi rendah. Timbulnya penyakit pada kelompok umur 

tertentu ini berkaitan dengan tingkat aktivitas seksual. Penyakit ini jarang terdiaknosa 

pada perempuan, mungkin disebab kan infeksinya sering asymptomatic namun perbedaan 

gender dinyatakan tidak berpengaruh pada negara-negara dengan tingkat endemisitas yang 

tinggi. Semua ras dapat tertular. Di daerah beriklim sedang, biasanya terjadi pada pria 

homoseksual. 

 

4. Reservoir – Manusia; sering tidak memperlihatkan gejala-gejala (terutama pada wanita). 

 

5. Cara penularan – Kontak langsung dengan luka yang terbuka pada orang yang terinfeksi, 

biasanya selama hubungan seksual. 

 

6. Masa inkubasi – Bervariasi, dengan rentang waktu 3 – 30 hari untuk lesi primer; jika 

bubo sebagai manifestasi pertamanya, maka rentang waktunya menjadi 10 –30 hari hingga 

beberapa bulan. 

 

7. Masa penularan – Bervariasi, mulai dari berminggu – minggu sampai bertahun-tahun 

selama ada  luka yang aktif. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan – Semua orang rentan, status kekebalan seseorang terhadap 

penyakit ini belum diketahui dengan pasti. 

 

9. Cara-cara pemberantasan : 

A. Tindakan pencegahan : 

Selain tindakan pencegahan yang spesifik untuk penyakit syphilis, maka tindakan 

pencegahan yang diterapkan untuk jenis penyakit kelamin lainnya dapat diterapkan. 

Lihat syphilis, 9 A dan granuloma inguinale, 9A. 

 

 

 

 

 

 324

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya : 

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Penyakit yang wajib dilaporkan pada 

daerah endemis tertentu; bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan 

dibanyak negara, Kelas 3 B (lihat Laporan Penyakit Menular). 

2) Isolasi: Tidak ada. Mencegah hubungan sex sampai semua luka sembuh. 

3) Disinfeksi serentak: Tidak ada; hati-hati dalam membuang bekas luka dan benda 

benda yang tercemar. 

4) Karantina: Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan; pengobatan dini pada saat penyakit 

diketahui atau diduga. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian terhadap penderita dan kontak 

yang terinfeksi. Kontak yang berhubungan dengan penderita yang tidak 

dikonfirmasi harus diberi pengobatan khusus. 

7) Pengobatan khusus: Tetracycline dan doxycycline efektif untuk semua tahap 

perkembangan penyakit ini, termasuk bubo dan luka yang memborok; diminum 

minimal selama 2 minggu. Erythromycin atau sulfonamid dapat digunakan jika 

pemakaian tetracycline mengalami kontraindikasi. Jangan melakukan incisi bubo; 

keringkan dengan aspirasi memakai   tissue bersih. 

 

C. Penanggulangan wabah: Tidak dilakukan. 

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

E. Tindakan lebih lanjut : Lihat Syphilis, 9E. 

 

 

   

MALARIA       ICD-9 084; ICD-10 B50-B54 

 

 

1. Identifikasi 

Ada empat jenis parasit malaria yang dapat menginfeksi manusia. Untuk membedakan 

keempat jenis parasit malaria ini  diperlukan pemeriksaan laboratorium, oleh sebab  

gejala klinis yang ditimbulkan oleh keempat jenis parasit malaria ini  sama. Apalagi 

pola demam pada awal infeksi menyerupai pola demam penyakit yang disebabkan 

organisme lain (bakteri, virus, parasit lain). Bagi penderita yang tinggal di daerah endemis 

malaria, walaupun di dalam darahnya ditemukan parasit malaria, tidak berarti orang 

ini  hanya menderita malaria. Dapat juga pada waktu yang bersamaan orang tresebut 

menderita penyakit lain (seperti demam kuning fase awal, demam Lassa, demam tifoid).  

Infeksi oleh plasmodium malaria yang paling serius yaitu   malaria falciparum (disebut 

juga tertiana maligna ICD-9 084.0; ICD-10 B50). 

Gejala dari malaria falciparum memberikan gambaran klinis yang sangat bervariasi 

seperti demam, menggigil, berkeringat, batuk, diare, gangguan pernafasan, sakit kepala 

dan dapat berlanjut menjadi ikterik, gangguan koagulasi, syok, gagal ginjal dan hati, 

ensefalopati akut, edema paru dan otak, koma, dan berakhir dengan kematian.  

Hal-hal yang telah disebutkan di atas dapat terjadi pada orang yang belum memiliki  

kekebalan terhadap malaria yang baru kembali dari daerah endemis malaria.  

 

 325

Pada orang yang mengalami koma dan gangguan serebral dapat menunjukkan gejala 

disorientasi dan delirium.  Diagnose dini dan pengobatan dini sangatlah penting dilakukan 

walaupun terhadap penderita yang hanya menunjukkan gejala ringan oleh sebab  

komplikasi yang terjadi bisa terjadi mendadak dan irreversibel. CFR pada anak dan orang 

dewasa yang tidak kebal terhadap malaria falciparum dapat mencapai 10 – 40% bahkan 

lebih. 

Jenis malaria lain yang menyerang manusia yaitu   vivax (tertiana benigna, ICD-9 084.1; 

ICD-10 B51, malariae (quartana, ICD-9 084.2; ICD-10 B52) dan ovale ICD-9 084.3; 

ICD-10 B53), pada umumnya infeksi oleh parasit ini tidak mengancam jiwa manusia. 

Gejala infeksi parasit ini umumnya ringan dimulai dengan rasa lemah, ada kenaikan suhu 

badan secara perlahan-lahan dalam beberapa hari, kemudian diikuti dengan menggigil dan 

disertai dengan kenaikan suhu badan yang cepat. Biasanya diikuti dengan sakit kepala, 

mual dan diakhiri dengan keluar keringan yang banyak. Setelah diikuti dengan interval 

bebas demam, gejala menggigil, demam dan berkeringat berulang kembali, dapat terjadi 

tiap hari, dua hari sekali atau tiap 3 hari sekali. Lamanya serangan pada orang yang 

pertama kali diserang malaria yang tidak diobati berlangsung selama satu minggu sampai 

satu bulan atau lebih. Relaps yang sebenarnya ditandai dengan tidak adanya parasitemia 

dapat berulang sampai jangka waktu 5 tahun. Infeksi malariae dapat bertahan seumur 

hidup dengan atau tanpa adanya episode serangan demam.  Orang yang memiliki  

kekebalan parsial atau yang telah memakai obat profilaksis tidak menunjukkan gejala khas 

malaria dan memiliki  masa inkubasi yang lebih panjang. 

Diagnosa dengan konfirmasi laboratorium dipastikan dengan ditemukannya parasit 

malaria pada sediaan darah. Pemeriksaan mikroskopis yang diulang setiap 12-24 jam 

memiliki  arti penting sebab  kepadatan Plasmodium falciparum  pada darah tepi yang 

tidak tentu dan sering parasit tidak ditemukan dengan pemeriksaan  sediaan darah tepi 

pada pasien yang baru terinfeksi malaria atau penderita yang dalam pengobatan malaria. 

Beberapa cara tes malaria sedang dalam uji coba. Tes dengan memakai   dipstick 

memiliki  harapan yang paling baik, tes ini mendeteksi antigen yang beredar didalam 

darah. Walaupun sudah mendapat lisensi di beberapa negara di dunia akan namun  di 

Amerika lisensi baru diberikan pada tahun 1999. Diagnosis dengan memakai   metode 

PCR yaitu   yang paling sensitif, akan namun  metode ini tidak selalu tersedia di 

laboratorium diagnosa malaria. Antibodi di dalam darah yang diperiksa dengan tes IFA 

atau tes lainnya, dapat muncul pada minggu pertama setelah terjadinya infeksi akan namun  

dapat bertahan lama sampai bertahun-tahun tetap beredar didalam darah. Pemeriksaan ini 

berguna untuk membuktikan riwayat infeksi malaria yang dialami sebelumnya dan tidak 

untuk mendiagnosa penyakit malaria yang sedang berlangsung. 

 

2.   Pemicu  infeksi 

Parasit Plasmodium vivax, P. malariae, P. falciparum  dan P. ovale;  parasit golongan 

sporozoa. Infeksi campuran jarang terjadi di daerah endemis. 

 

3.   Distribusi penyakit 

Tidak dijumpai lagi daerah endemis malaria di negara-negara yang memiliki  iklim 

dingin dan subtropis, akan namun  malaria masih menjadi Pemicu  utama masalah 

kesehatan warga  di beberapa negara tropis dan subtropis; transmisi malaria yang 

tinggi dijumpai di daerah pinggiran hutan di Amerika selatan (Brasil), Asia Tenggara 

(Thailand dan Indonesia) dan di seluruh Sub-Sahara Afrika.  

 

 326

Malaria ovale terdapat terutama di Sub Sahara Afrika dimana frekuensi malaria vivax 

lebih sedikit. Plasmodium falciparum yang resisten, sukar disembuhkan dengan 4-

aminoquinolines (seperti chloroquine) dan obat anti malaria lainnya (seperti sulfa-

pyrimethamine kombinasi dan mefloquine) ditemukan di negara-negara tropis, dikedua 

belahan bumi, khususnya di wilayah Amazon dan sebagian Thailand dan Kamboja. P. 

vivax  yang resisten dan sukar disembuhkan dengan pengobatan chloroquine terjadi di 

Papua New Guinea dan prevalensi di Irian Jaya (Indonesia) dan telah dilaporkan terjadi di 

Sumatera (Indonesia), di Kepulauan Solomon dan Guyana. Stadium hepatik beberapa 

jenis P. vivax  juga mungkin relatif sudah resisten terhadap pengobatan primaquine. Di 

AS, ditemukan beberapa orang penderita malaria lokal yang terjadi sejak pertengahan 

tahun 80-an. Informasi terkini tentang daerah fokus yang sudah resisten terhadap 

pengobatan malaria diterbitkan tiap tahun oleh WHO dan juga dapat diperoleh dari atau 

merujuk ke situs web/jaringan CDC: http://www.cdcgov/travel. 

 

4.   Reservoir 

Hanya manusia menjadi reservoir terpenting untuk malaria. Primata secara alamiah 

terinfeksi berbagai jenis malaria termasuk P. knowlesi, P. brazilianum, P. inui, P. schwetzi 

dan P. simium yang dapat menginfeksi manusia di laboratorium percobaan, akan namun  

jarang terjadi penularan/transmisi secara alamiah. 

 

5.   Cara penularan 

Melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang infektif. Sebagian besar spesies menggigit 

pada senja hari dan menjelang malam. Beberapa vektor utama memiliki  waktu puncak 

menggigit pada tengah malam dan menjelang fajar. Setelah nyamuk Anopheles betina 

menghisap darah yang mengandung parasit pada stadium seksual (gametosit), gamet 

jantan dan betina bersatu membentuk ookinet di perut nyamuk yang kemudian menembus 

dinding perut nyamuk dan membentuk kista pada lapisan luar dimana ribuan sporosoit 

dibentuk. Ini membutuhkan waktu 8-35 hari tergantung pada jenis parasit dan suhu 

lingkungan tempat dimana vektor berada. Sporosoit-sporosoit ini  berpindah ke 

seluruh organ tubuh nyamuk yang terinfeksi dan beberapa mencapai kelenjar ludah 

nyamuk dan disana menjadi matang dan apabila nyamuk menggigit orang maka sporosoit 

siap ditularkan.  

Didalam tubuh orang yang terkena infeksi, sporosoit memasuki sel-sel hati dan 

membentuk stadium yang disebut skison eksoeritrositer. Sel-sel hati ini  pecah dan 

parasit aseksual (merosoit jaringan) memasuki aliran darah, berkembang (membentuk 

siklus eritrositer). Umumnya perubahan dari troposoit menjadi skison yang matang dalam 

darah memerlukan waktu 48-72 jam, sebelum melepaskan 8-30 merosoit eritrositik 

(tergantung spesies) untuk menyerang eritrosit-eritrosit lain. Gejala klinis terjadi pada tiap 

siklus sebab  pecahnya sebagian besar skison-skison eritrositik. Didalam eritrosit-eritrosit 

yang terinfeksi, beberapa merosoit berkembang menjadi bentuk seksual yaitu gamet jantan 

(mikrogamet) dan gamet betina (makrogamet). 

Periode antara gigitan nyamuk yang terinfeksi dengan ditemukannya parasit dalam 

sediaan darah tebal disebut “periode prepaten” yang biasanya berlangsung antara 6-12 

hari pada P. falciparum, 8-12 hari pada P. vivax dan P. ovale, 12-16 hari pada P. malariae 

(mungkin lebih singkat atau lebih lama). Penundaan serangan pertama pada beberapa 

strain P. vivax berlangsung 6-12 bulan setelah gigitan nyamuk.  

 

 327

Gametosit biasanya muncul dalam aliran darah dalam waktu 3 hari setelah parasitemia 

pada P. vivax dan P. ovale, dan setelah 10-14 hari pada P. falciparum.  Beberapa bentuk 

eksoeritrositik pada P. vivax dan P. ovale mengalami bentuk tidak aktif (hipnosoit) yang 

tinggal dalam sel-sel hati dan menjadi matang dalam waktu beberapa bulan atau beberapa 

tahun yang menimbulkan relaps. Fenomena ini tidak terjadi pada malaria falciparum dan 

malaria malariae, dan gejala-gejala penyakit ini dapat muncul kembali sebagai akibat dari 

pengobatan yang tidak adekuat atau adanya infeksi dari strain yang resisten. Pada P. 

malariae sebagian kecil parasit eritrositik dapat menetap bertahan selama beberapa tahun 

untuk kemudian berkembang biak kembali sampai ke tingkat yang dapat menimbulkan 

gejala klinis. Malaria juga dapat ditularkan melalui injeksi atau transfusi darah dari orang-

orang yang terinfeksi atau bila memakai   jarum suntik yang terkontaminasi seperti 

pada pengguna narkoba. Penularan kongenital jarang sekali terjadi namun  bayi lahir mati 

dari ibu-ibu yang terinfeksi seringkali terjadi. 

 

6.   Masa inkubasi 

Waktu antara gigitan nyamuk dan munculnya gejala klinis sekitar 7-14 hari untuk P. 

falciparum, 8-14 hari untukP. Vivax dan P. ovale,  dan 7-30 hari untuk P. malariae. Masa 

inkubasi ini dapat memanjang antara 8-10 bulan terutama pada beberapa strain P. vivax di 

daerah tropis. Pada infeksi melalui transfusi darah, masa inkubasi tergantung pada jumlah 

parasit yang masuk dan biasanya singkat namun  mungkin sampai 2 bulan. Dosis 

pengobatan yang tidak adekuat seperti pemberian profilaksis yang tidak tepat dapat 

memicu  memanjangnya masa inkubasi. 

 

7.   Masa penularan 

Nyamuk dapat terinfeksi apabila dalam darah penderita yang diisap oleh nyamuk masih 

ada gametosit. Keadaan ini bervariasi tergantung pada spesies dan strain dari parasit serta 

respons seseorang terhadap pengobatan. Pada penderita malaria dengan Plasmodium 

malariae yang tidak diobati atau tidak diobati dengan benar dapat menjadi sumber 

penularan selama 3 tahun. sedang  untuk vivax berlangsung selama 1-2 tahun dan 

untuk malaria falciparum umumnya tidak lebih dari satu tahun. Nyamuk tetap infektif 

seumur hidup mereka. Penularan melalui transfuse darah tetap dapat terjadi semasih 

ditemukan ada bentuk aseksual dalam darah. Untuk P. malariae dapat berlangsung sampai 

40 tahun lebih. Darah yang disimpan didalam lemari pendingin tetap infektif paling 

sedikit selama sebulan. 

 

8.   Kerentanan dan Kekebalan 

Setiap orang rentan terhadap penularan kecuali pada mereka yang memiliki  galur 

genetika spesifik. Toleransi atau daya tahan terhadap munculnya gejala klinis ditemukan 

pada warga  dewasa yang tinggal di daerah endemis dimana gigitan nyamuk anopheles 

berlangsung bertahun-tahun. Kebanyakan orang Afrika yang berkulit hitam memiliki  

kekebalan alamiah terhadap infeksi P. vivax disebab kan mereka tidak memiliki faktor 

Duffy didalam eritrosit mereka. Mereka yang secara genetik memiliki  sicke cell trait 

relatif terlindungi terhadap kemungkinan menderita penyakit malaria berat apabila 

terinfeksi oleh P. falciparum. Pada orang ini biasanya parasit dalam darah mereka rendah. 

 

 

 

 328

9.   Cara-cara emberantasan 

A. Cara-cara Pencegahan 

I.    Pencegahan berbasis warga  

1) warga kan perilaku hidup bersih dan sehat antara lain dengan memperhatikan 

kebersihan lingkungan untuk menghilangkan tempat-tempat perindukan nyamuk. 

Gerakan kebersihan lingkungan ini dapat menghilangkan tempat-tempat 

perindukan nyamuk secara permanen dari lingkungan pemukiman. Air tergenang 

dialirkan, dikeringkan atau ditimbun. Saluran-saluran dkolam-kolam air 

dibersihkan. Aliran air pada selokan dan pairt-parit dipercepat. Untuk keadaan 

tertentu dapat digunakan bahan kimia atau cara-cara biologis untuk menghilangkan 

larva. 

2) Sebelum dilakukan penyemprotan dengan memakai   pestisida dengan efek 

residual terhadap nyamuk dewasa, lakukan telaah yang teliti terhadap bionomik 

dari nyamuk  di daerah ini . Telaah bionomik ini perlu juga dilakukan di 

daerah dimana sifat-sifat nyamuk anopheles istirahat dan menghisap darah di 

dalam rumah (vektor yang endophilic dan endophagic). Penyemprotan saja dengan 

insektisida dengan efek residual pada tembok di pemukiman warga  tidak akan 

menghilangkan vektor nyamuk secara permanen. Apalagi kalau vektor sudah 

resisten terhadap pestisida, maka penyemprotan didalam rumah menjadi sia-sia, 

atau kalau nyamuknya tidak pernah masuk ke dalam rumah. 

3) Dibawah ini tercantum hal-hal penting yang harus dipertimbangkan dalam 

melakukan pemberantasan vector secara terpadu: 

a) Harus ada akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan 

diagnosa dan pengobatan dini; 

b) Lakukan kerja sama lintas sektoral untuk mengawasi pola pergerakan dan 

migrasi warga . Pola ini membantu untuk mengetahui kemungkinan 

penyebaran plasmodium ke daerah baru yang memiliki  ekologi yang 

memungkinkan terjadinya penularan. 

c) Lakukan penyuluhan kesehatan warga  secara masif dengan sasaran 

warga  yang memiliki  risiko tinggi tertulari tentang cara-cara melindungi 

diri terhadap penularan. 

d) Lakukan diagnosa dan pengobatan dini terhadap penderita malaria akut 

maupun kronis oleh sebab  kematian penderita malaria yang terinfeksi oleh P. 

falciparum sebab  lambatnya diagnosa dan pengobatan. 

e) Setiap donor darah harus ditanyai tentang riwayat apakah yang bersangkutan 

pernah menderita malaria atau pernah bepergian ke daerah yang endemis 

malaria. Donor yang tinggal di daerah nonendemis yang berkunjung ke daerah 

endemis dan tidak menunjukkan gejala klinis malaria diperbolehkan 

menyumbangkan darah mereka 6 bulan setelah kunjungan ke daerah endemis 

ini  (di Amerika Serikat yaitu   satu tahun).  Orang ini pada waktu 

berkunjung ke daerah endemis tidak mendapatkan pengobatan profilaktik.  

Bagi mereka yang berkunjung ke daerah endemis dalam jangka waktu cukup 

lama yaitu 6 bulan lebih namun telah mendapatkan profilaktik terhadap 

malaria dan tidak menunjukkan gejala klinis malaria, dan bagi mereka yang 

berimigrasi atau mengunjungi  daerah endemis diijinkan untuk menjadi donor 

 

 329

3 tahun setelah pemberian pengobatan profilaktik malaria, dengan catatan 

mereka tetap tidak menunjukkan gejala klinis malaria. Mereka yang tinggal 

atau berkunjung ke daerah endemis malaria, selama lebih dari 6 bulan, 

dianggap sebagai warga  daerah ini  sehingga apabila mereka akan 

menjadi donor harus dilakukan evaluasi dengan cermat dan dianggap sebagai 

sama dengan imigran dari daerah itu. sebab  data menunjukkan bahwa sejak 

lama para donor yang berasal dari daerah endemis malaria selalu merupakan 

sumber infeksi penularan melalui transfusi. Daerah yang dianggap endemis 

malaria tidak saja daerah-daerah endemis di benua Amerika, Afrika tropis, 

Papua New Guinea, Asia Selatan dan Asia Tengara namun  juga daerah 

Mediterania di Eropa dimana saat ini daerah ini  sudah tidak ada lagi 

penularan malaria. 

 

II.  Tindakan pencegahan perorangan 

Oleh sebab  belakangan ini malaria merebak kembali dalam beberapa dekade terakhir 

maka cara-cara pencegahan dan pengobatan diuraikan secara detail. Bagi mereka yang 

melakukan perjalanan ke daerah endemis malaria harus memperhatikan hal-hal 

berikut: 

- Menghindari diri dari gigitan nyamuk yaitu   hal yang paling utama. 

- Tidak ada obat anti malaria profilaktik yang dapat memberikan perlindungan 

sepenuhnya. 

- Obat anti malaria untuk tujuan profilaktik tidak harus secara otomatis diberikan 

kepada para pelancong yang berkunjung ke daerah malaria. 

- Para pelancong dianjurkan untuk membawa obat anti malaria “stand by” untuk 

keadaan darurat pada saat mengalami demam jika berkunjung ke daerah endemis 

malaria falciparum dimana di daerah ini  tidak ada fasilitas pengobatan yang 

memadai.  

 

1) Hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk sebagai berikut: 

a. Jangan bepergian antara senja dan malam hari sebab  pada saat itu umumnya 

nyamuk menggigit. Kenakan celana panjang dan baju lengan panjang dengan 

warna terang sebab  warna gelap menarik perhatian nyamuk.  

b. Gunakan repelan pada kulit yang terbuka; repelan yang dipakai dipilih yang 

mengandung N,N-diethyl-m-toluamide (Deet®) atau dimethyl phthalate.  

c. Tinggallah dalam rumah yang memiliki  konstruksi yang baik dan gedung 

yang terpelihara dengan baik yang terletak di daerah bagian perkotaan yang 

paling maju. 

d. Gunakan kawat kasa anti nyamuk pada pintu dan jendela, jika tidak ada 

tutuplah jendela dan pintu pada malam hari.  

e. Jika tempat tinggal dapat dimasuki nyamuk gunakanlah kelambu pada tempat 

tidur, dengan sudutnya dimasukkan di bawah sudut kasur dan pastikan kelambu  

ini  tidak robek dan tidak ada nyamuk didalamnya. 

f. Gunakan alat penyemprot atau dispenser insektisida yang berisi tablet yang 

mengandung pyrethroid atau obat nyamuk bakar pyrethroid di kamar tidur 

pada malam hari. 

 

 

 330

2) Untuk orang yang terpajan atau yang akan terpajan nyamuk di daerah malaria 

harus diberi penjelasan sebagai berikut: 

a. Bahwa risiko malaria bervariasi antar negara dan antar daerah dalam suatu 

negara, daftar negara-negara endemis malaria dapat dilihat di publikasi 

tahunan WHO yaitu pada International Travel and Health ISBN-9241580208. 

b. Ibu hamil dan anak-anak sangat rentan untuk mendapatkan malaria berat atau 

malaria dengan komplikasinya. 

c. Malaria dapat memicu  kematian jika pengobatannya terlambat. 

Pencarian pertolongan medis harus segera dilakukan jika yang bersangkutan 

dicurigai menderita malaria. Pemeriksaan parasit malaria pada darah harus 

dilakukan lebih dari satu kali dengan selang waktu beberapa jam. 

d. Gejala malaria dapat ringan; seseorang harus kita curigai menderita malaria 

kalau 1 minggu setelah berkunjung ke daerah endemis yang bersangkutan 

menunjukkan gejala panas, lemah, sakit kepala, sakit otot dan tulang, segera 

lakukan pengobatan. 

 

 3)   Ibu hamil dan orang tua harus diberikan penyuluhan tentang: 

a. bahwa malaria pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko kematian janin, 

keguguran, stillbirth dan kematian bayi yang baru lahir. 

b. Jangan berkunjung ke daerah malaria kecuali terpaksa. 

c. Untuk melakukan proteksi terhadap gigitan nyamuk harus dilakukan upaya 

ekstra hati-hati dan cermat. 

d. Klorokuin (5,0 mg/kgBB/minggu setara dengan 8,0 mg garam 

diphosphate/kgBB/minggu; 6.8 mg dalam bentuk garam sulfat/kgBB/minggu 

dan 6.1 mg dalam bentuk garam hidroksiklorida/kgBB/minggu) dan proguanil 

(3.0 mg/kgBB/hari yang setara dengan 3.4 mg bentuk garam 

hidroklorida/kgBB/hari) diminum untuk pengobatan pencegahan (proguanil 

tidak tersedia di pasaran di Amerika Serikat). Di daerah dimana P. falciparum  

sudah resisten terhadap klorokuin dan proguanil harus diberikan pada triwulan 

pertama kehamilan, pengobatan pencegahan dengan meflokuin (5.0 

mg/kgBB/minggu yang setara dapat dipertimbangkan, pemberian dapat 

diberikan pada bulan keempat kehamilan. 

e. Pengobatan pencegahan dengan doksisiklin tidak boleh diberikan. 

f. Jika dicurigai seseorang menderita malaria maka pertolongan untuk 

mendapatkan pengobatan harus segera dilakukan. Pengobatan darurat dapat 

diberikan apabila di tempat ini  tidak tersedia fasilitas pengobatan, maka 

pencarian pengobatan selanjutnya dilakukan setelah pemberian pengobatan 

darurat ini  (lihat 9A114 dan 9A115c di bawah ini). 

g. Pemberian obat untuk profilaksis malaria sangat penting untuk melindungi  

anak-anak. Klorokuin (5 mg/kgBB/minggu) ditambah dengan proguanil (3 

mg/kgBB/hari) aman diberikan kepada bayi (proguanil tidak tersedia di 

Amerika Serikat).  

h. Penggunaan meflokuin untuk profilaksis dapat diberikan kepada wanita usia 

subur dengan dosis 5 mg/kgBB/minggu namun  kehamilan harus dihindari 

sampai 3 bulan setelah berhenti minum meflokuin. Dari bukti-bukti yang 

dikumpulkan menunjukkan bahwa pemberian pengobatan pencegahan dengan 

 

 331

meflokuin yang dilakukan sembarangan pada wanita hamil dan dari data uji 

klinik tidak menunjukkkan adanya efek embriotoksik atau teratogenik. 

Meflokuin dapat diberikan pada trimester kedua dan ketiga. Data tentang 

pemberian meflokuin pada trimester pertama sangat terbatas. Pada kehamilan 

yang tidak dikehendaki pemberian meflokuin profilaksis tidak dimaksudkan 

untuk menggugurkan kandungan. 

i. Pengobatan profilaksis dengan doksisiklin (1,5 mg dalam bentuk garam 

dihidroklorida/kgBB/hari) dapat diberikan kepada wanita usia subur akan 

namun  kehamilan harus dihindari dalam waktu 1 minggu setelah minum obat 

ini. 

j. Jika terjadi kehamilan selama pemakaian obat anti malaria profilaksis (kecuali 

klorokuin dan proguanil) dokter harus memberi penjelasan kepada ibu ini  

kemungkinan terjadinya kelainan congenital pada bayi yang dilahirkan sesuai 

dengan penjelasan yang tertera dalam brosur dari pabrik. 

 

4) Pengobatan siaga malaria: Faktor yang paling penting yang menentukan hidup 

matinya penderita malaria falciparum yaitu   kemampuan untuk menegakkan 

diagnosis dini dan memberikan pengobatan dini. Semua orang yang belum kebal 

terhadap malaria jika mereka terpajan atau terinfeksi malaria maka mereka harus 

segera mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan yang tepat jika diduga 

menderita malaria. Namun sebagian kecil orang yang terpajan sulit mendapatkan 

fasilitas diagnosa dan pengobatan dini, mereka biasanya berada 12-24 jam dari 

fasilitas kesehatan yang terdekat. Pada situasi seperti ini WHO menganjurkan agar 

orang-orang ini dibekali obat anti malaria agar dapat melakukan pengobatan 

sendiri. Kepada mereka diberi penjelasan tentang gejala-gejala malaria, dosis dan 

cara pemakaian obat, gejala-gejala efek samping obat dan apa yang harus 

dilakukan jika pengobatan gagal. Mereka juga diberi penjelasan bahwa pengobatan 

sendiri yang mereka lakukan bersifat sementara, selanjutnya mereka harus pergi ke 

dokter. 

 

5) Upaya pencegahan: Orang-orang yang tidak memiliki  imunitas terhadap malaria 

yang akan terpajan dengan nyamuk di daerah endemis harus melakukan upaya 

perlindungan terhadap gigitan nyamuk dan lebih baik sebelumnya minum obat 

profilaksis untuk mencegah malaria. Kemungkinan timbulnya efek samping akibat 

pemakaian satu jenis obat atau obat kombinasi dalam jangka panjang (sampai 3-5 

bulan) yang dianjurkan pemakaiannya untuk suatu daerah perlu dipertimbangkan 

masak-masak. Para pelancong maupun warga  setempat yang tinggal di daerah 

endemis malaria seperti daerah perkotaan di Asia Tenggara dan Amerika selatan, 

kemungkinan mereka tidak terpajan dengan malaria sehingga tidak perlu diberikan 

pengobatan profilaksis. Namun beberapa negara seperti anak benua India, mereka 

yang tinggal dan berkunjung di daerah perkotaan juga memiliki  risiko terpajan 

dengan malaria. Dalam hal ini perlu diberikan pengobatan profilaksis. Mengingat 

bahwa cepat sekali terjadi resistensi maka informasi tentang resistensi obat di 

suatu wilayah harus dilihat sebelum memberikan pengobatan.  

a. Sebelum tahun 1999 untuk daerah endemis malaria seperti di Amerika Tengah, 

bagian barat terusan Panama, Pulau Hispaniola, Haiti dan Republik Dominika, 

 

 332

daerah endemis malaria di Timur Tengah dan daratan Cina, plasmodium masih 

sensitif terhadap klorokuin. Untuk daerah yang masih sensitif terhadap 

klorokuin maka untuk menekan agar tidak timbul malaria pada orang-orang 

yang non imun yang tinggal atau berkunjung ke daerah endemis malaria 

diberikan pengobatan sebagai berikut: Klorokuin (Aralen, 5 mg basa/kgBB, 

300 mg basa atau 500 mg klorokuin fosfat untuk orang dewasa) diberikan 

seminggu sekali atau hidroksiklorokuin (praquenil 5 mg basa/kgBB – dosis 

dewasa 310 mg basa atau 400 mg dalam bentuk garam). Tidak ada 

kontraindikasi pemberian klorokuin untuk wanita hamil. Obat ini harus 

diteruskan dengan dosis dan jadwal yang sama sampai dengan 4 minggu 

setelah meninggalkan tempat endemis. Timbul efek samping yang ringan 

apabila obat diminum saat makan atau obat yang diminum yaitu   

hidroklorokuin. Penderita psoriasis yang minum obat klorokuin gejalanya akan 

bertambah berat (terutama dikalangan orang kulit hitam di Afrika dan 

Amerika). Terjadi interferensi dengan respons imunitas pemberian vaksin 

rabies yang diberikan intradermal pada saat diberikan pengobatan klorokuin. 

b. Untuk mencegah terjadinya infeksi malaria terhadap pendatang yang 

berkunjung ke daerah dimana P. falciparum sudah resisten terhadap klorokuin 

(Asia Tenggara, Afrika bagian Sub Sahara, di daerah hutan hujan di Amerika 

bagian selatan dan Pulau Pasifik Barat) direkomendasikan untuk memberikan 

meflokuin saja (5 mg/kgBB/minggu). Untuk mencegah malaria  pemberian 

obat dilakukan setiap minggu; mulai minum obat 1-2 minggu sebelum 

mengadakan perjalanan ke tempat ini  dan dilanjutkan setiap minggu 

selama dalam perjalanan atau tinggal di daerah endemis malaria dan selama 4 

minggu setelah kembali dari daerah ini . Meflokuin hanya kontraindikasi 

untuk diberikan kepada orang yang sensitif. Tidak direkomendasikan untuk 

diberikan kepada orang yang sedang hamil pada trimester pertama kehamilan 

kecuali mereka terpajan dengan malaria P. falciparum yang sudah resisten 

terhadap klorokuin (lihat 9A II 3 h ini  di atas). Pengobatan pencegahan 

tidak diberikan dalam waktu lebih dari 12-20 minggu dengan obat yang sama.  

Bagi warga  yang tinggal di daerah risiko tinggi malaria dimana terjadi 

penularan malaria yang bersifat musiman maka upaya pencegahan terhadap 

gigitan nyamuk perlu ditingkatkan sebagai pertimbangan alternatif terhadap 

pemberian pengobatan profilaksis jangka panjang dimana kemungkinan terjadi 

efek samping sangat besar. Sampai akhir tahun 1999 meflokuin tidak 

direkomendasikan untuk diberikan kepada individu dengan aritmia jantung, 

atau kepada orang dengan riwayat epilepsy atau dengan gangguan jiwa berat; 

pada keadaan ini  tidak diperkenankan diberikan meflokuin dan apabila 

mereka berkunjung ke daerah endemis malaria di Thailand (daerah hutan di 

desa yang berbatasan dengan Kamboja dan Myanmar) mereka diberikan 

doxycycline saja 100 mg/hari sebagai obat alternative. Doxycycline mungkin 

dapat memicu  diare, Candida vaginitis dan peka terhadap cahaya. 

Doxycycline tidak boleh diberikan kepada orang yang sedang hamil dan anak-

anak umur kurang dari 8 tahun. Untuk pencegahan, Doxycycline diminum 1-2 

hari sebelum berkunjung ke daerah endemis malaria. Perjalanan yang 

membutuhkan waktu lama dan memiliki  risiko terhadap infeksi malaria P. 

 

 333

falciparum dimana pemberian meflokuin dan doxycycline merupakan 

kontraindikasi maka terhadap orang ini  diberikan klorokuin seminggu 

sekali. Di Afrika dengan data yang sangat terbatas diketahui bahwa pemberian 

proguanil (Paludrine, 200 mg) yang diberikan setiap hari selain klorokuin 

memberikan hasil lebih efektif, namun  kombinasi ini tidak memberikan hasil  

yang sama untuk semua orang; di Asia dan Oseania proguanil yang 

ditambahkan pada klorokuin tidak bermanfaat (di Amerika Serikat proguanil 

tidak tersedia). Pengunjung dengan kategori ini  di atas dianjurkan 

membawa obat anti malaria yang dipakai di daerah ini  atau membawa 

Fansidar® (Sulfadoxine 500/pyrimethamine 25 mg) kecuali orang ini  

memiliki  riwayat sensitif terhadap sulfonamide. Bagi penderita yang 

mengalami demam dimana tenaga medis profesional tidak ada maka terhadap 

orang ini  harus diberikan dosis anti malaria yang lengkap (Fansidar® 

dosis untuk orang dewasa 3 tablet sekaligus) dan selanjutnya sesegera mungkin 

dikonsultasikan ke dokter. Ditekankan bahwa melakukan pengobatan 

presumptive seperti itu yaitu   tindakan darurat dan selanjutnya harus 

dilakukan evaluasi medis. 

Pada tahun 1990 dilaporkan haisl penelitian klinis di daerah dimana telah 

terjadi resistensi terhadap klorokuin baik terhadap P. vivax maupun P. 

falciparum, obat alternative untuk orang dewasa yang tidak memiliki  

defisiensi glukosa 6-phosphat dehydrogenase (G6-PD)  dan untuk wanita yang 

tidak hamil dan tidak menyusui obat profilaksis alternatif yaitu   Primaquine 

0,5 mg/kg berat badan, dimulai pada hari pertama terpajan dan dilanjutkan 

selama 1 minggu sesudah meninggalkan daerah endemis malaria. Jika 

dilakukan dengan benar pengobatan ini  efektif mencegah 95% infeksi P. 

falciparum dan 85%-90% untuk  P. vivax di daerah Pasifik Selatan dan 

Amerika Selatan. Efek samping pengobatan yang biasanya timbul yaitu   nyeri 

lambung atau sakit perut dan muntah pada <10% orang yang menerima 

pengobatan ini . Untuk orang yang terpajan dalam waktu lama dimana 

primaquine diberikan lebih dari 50 minggu memicu  terjadi peningkatan 

kadar methahemoglobin sampai 5,8%; dan akan turun turun setengahnya dalam 

1 minggu sesudah pemberian primaquine dihentikan. 

c. Obat-obatan profilaktik supresif terhadap P. vivax dan P. ovale tidak 

membunuh parasit dalam hati, oleh sebab  itu setiap saat dapat kambuh lagi 

penyakitnya setelah obat anti malaria ini  dihentikan. Primaquine 0,3 

mg/kg berat badan/hari yang diberikan selama 14 hari (15 mg basa atau 26.3 

mg Primaquine phosphate untuk orang dewasa) sering bermanfaat diberikan 

kepada orang yang tinggal di daerah endemis malaria dan diberikan bersama-

sama atau sebagai lanjutan pemberian obat-obatan supresif. Namun 

pengobatan ini  di atas dapat menimbulkan hemolisis pada orang dengan 

defisiensi G6-PD. Pertimbangan pemberian primaquine harus dilihat kasus 

demi kasus setelah melihat kemungkinan risiko terhadap timbulnya reaksi 

obat dan hanya diberikan kepada orang-orang yang akan tinggal dan terpajan 

dalam waktu yang lama sebagai contoh para biarawan dan biarawati, 

sukarelawan untuk perdamaian dan personil militer. Dosis lebih tinggi 

diberikan setiap hari (30 mg sebagai basa) untuk negara-negara Asia Tenggara 

 

 334

dan negara-negara Pasifik Selatan dan beberapa negara Amerika Selatan. 

Sebagai alternatif primaquine 0,75 mg basa/kg berat badan dapat diberikan 

setiap minggu 8 dosis (45 mg basa atau 79 mg primaquine phosphate untuk 

orang dewasa) setelah meninggalkan daerah endemis. Sebelum diberikan 

primaquine sebaiknya dilakukan pemeriksaan G6-PD. Primaquine tidak 

dianjurkan untuk diberikan kepada orang yang sedang hamil; Chloroquine 

dilanjutkan pemberiannya setiap minggu selama masa kehamilan. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada institusi kesehatan; wajib dilaporkan kalau ditemukan kasus, 

sebab  termasuk dalam program pengamatan oleh WHO, termasuk penyakit Kelas 

1A (Lihat laporan penyakit menular)  pada daerah tidak endemis, dilakukan 

pemeriksaan preparat apus untuk konfirmasi terhadap malaria (di Amerika 

Serikat); kelas 3C dilakukan pada daerah endemis malaria. 

2) Isolasi: Untuk pasien yang baru saja sembuh, lakukan kewaspadaan terhadap darah 

pasien ini . Pasien pada senja dan dini hari agar dijaga tidak digigit nyamuk. 

3) Disinfeksi:  Tidak ada. 

4) Karantina:  Tidak ada. 

5) Imunisasi kontak:  Tidak dianjurkan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi:  Menentukan adanya riwayat  kasus 

sebelum terjadinya infeksi atau kemungkinan terpajan. Jika ada pasien yang 

memiliki  riwayat memakai   jarum suntik bergantian, laukan Investigasi dan 

semua orang ini  diberikan pengobatanPenderita yang mendapat malaria 

sebab  transfusi, terhadap semua donor dilakukan pemeriksaan darahnya apakah 

mengandung positif parasit malaria atau adanya antibodi positif terhadap malaria, 

apabila positif malaria maka harus diberikan pengobatan. 

7) Pengobatan spesifik untuk semua tipe malaria: 

a) Pengobatan untuk mereka yang terinfeksi malaria yaitu   dengan memakai   

chloroquine terhadap P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale yang 

masih sensitif terhadap obat ini  dapat diberikan peroral (diminum) dengan 

jumlah dosis 25 mg chloroquine/kg berat badan diberikan lebih dari 3 hari, 

dosis 15 mg dapat diberikan pada hari pertama (10 mg/kg berat badan dosis 

awal dan 5 mg/kg berat badan 6 jam berikutnya; 600 mg dan 300 mg dosis 

untuk orang dewasa); hari kedua diberikan 5 mg/kg berat badan dan hari ketiga 

diberikan 5 mg/kg berat badan. Untuk daerah Oseania dimana malaria vivax 

mungkin sudah resisten terhadap klorokuin, penderita yang sudah diberi 

pengobatan, diberi pengobatan ulang atau diberikan dosis tunggal mefloquine 

25 mg/kg berat badan. 

b) Untuk pengobatan darurat bagi orang dewasa yang terinfeksi malaria dengan 

komplikasi berat atau untuk orang yang tidak memungkinkan diberikan obat 

peroral dapat diberikan obat Quinine dihydrochloride, diberikan 20 mg/kg 

berat badan dilarutkan dalam 500 ml NaCl, glukosa atau plasma dan diberikan 

secara intravena pelan dalam waktu (lebih 2-4 jam) bila perlu diulang setiap 8 

jam (10 mg/kg berat badan) kemudian diteruskan dengan dosis yang 

diturunkan setiap 8 jam sampai dengan saat penderita dapat diberikan Quinine 

peroral. Dosis pengobatan pada anak per kg BB yaitu   sama.  

 

 335

Apabila setelah 48 jam pengobatan penderita cenderung membaik dan kadar obat 

tidak bisa dimonitor maka dosis pengobatan diturunkan 30%; efek samping yang 

timbul umumnya hipoglikemia. Di Amerika, obat suntikan Quinine tidak tersedia, 

namun  diganti dengan Quinidine injeksi yang sama efektifnya untuk pengobatan 

malaria berat. Dosis yang diberikan yaitu   10 mg Quinidine gluconate sebagai 

basa/kg berat badan diberikan intravena dalam waktu 1-2 jam diikuti dengan infus 

yang konstan dengan jumlah tetesan sebesar 0,02 mg/kg berat badan/menit. Selama 

pengobatan perlu dilakukan pengawasan terhadap lancarnya tetesan cairan, 

tekanan darah, pengamatan terhadap fungsi jantung, keseimbangan cairan dan 

elektroklit melalui CVP (central venous pressure). Infus quinidine tetesannya 

dipelankan atau dihentikan apabila interval QT lebih 0,6 detik dan kompleks QRS 

meningkat lebih dari 50% atau penurunan tekanan darah tidak responsif terhadap 

pemberian cairan.  Pemberian cairan maksimal boleh diberikan sampai dengan 72 

jam. Semua obat yang diberikan secara parenteral dihentikan secepat mungkin 

segera setelah obat peroral dapat diberikan. Pada infeksi malaria falciparum berat 

terutama yang disertai dengan gangguan kejiwaan dan dengan parasitemia yang 

mencapai 10%  maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan exchange 

transfusion apabila terjadi infeksi malaria khususnya malaria berat yang didapat 

dari daerah resisten quinine (seperti yang terjadi pada akhir tahun 1999 di daerah 

perbatasan Thailand).  Dalam keadaan seperti ini berikan artemether intramuskuler 

(3,2 mg/kg berat badan pada hari pertama, dilanjutkan dengan 1,6 mg/kg BB/hari), 

atau artesunate intravena atau intramuskuler (2 mg/kg berat badan pada hari 

pertama, dilanjutkan dengan 1 mg/kg  berat badan tiap hari). Pada kasus dengan 

hiperparasitemia artesunate diberikan  dengan dosis 1 mg/kg berat badan  4-6 jam 

sesudah dosis pertama. Untuk mencegah terjadinya neurotoksisitas maka 

pemberian obat ini  tidak boleh lebih dari 5-7 hari atau sampai pasien bisa 

menelan obat malaria oral yang efektif seperti mefloquinine dengan dosis 25 mg/kg 

BB. Obat ini tidak tersedia di pasaran Amerika Serikat, pemberiannya hanya boleh 

jika dikombinasikan dengan obat anti malaria lain. 

c) Untuk infeksi malaria P. falciparum yang didapat di daerah dimana ditemukan 

strain yang resisten terhadap chloroquine, pengobatan dilakukan dengan 

memberikan quinine 50 mg/kg berat badan/hari dibagi dalam 3 dosis selama 3-

7 hari (untuk infeksi malaria berat, berikan quinine intravena seperti yang telah 

dijelaskan di atas). Bersamaan dengan pemberian quinine, diberikan juga 

doxycycline (2 mg/kg berat badan/2 kali perhari, dosis pemakaian maksimum 

yaitu   100 mg/dosis) atau berikan tetrasiklin (20 mg/kg berat badan dengan 

dosis maksimum 250 mg perhari) diberikan dalam 4 dosis perhari selama 7 

hari. Quinine dihentikan setelah 3 hari kecuali untuk infeksi malaria yang 

diperoleh di Thailand dan Amazone, pemberian quinine harus dilanjutkan 

pengobatannya sampai 7 hari. Mefloquine (15-25 mg/kg berat badan) sangat 

efektif untuk pengobatan P. falciparum yang resisten terhadap chloroquine 

namun mefloquine tidak efektif untuk mengobati malaria P. falciparum yang 

terdapat di Thailand, negara tetangganya dan Brazilia. Mengingat banyak 

sekali ditemukan daerah-daerah dengan kecenderungan terjadi resistensi 

terhadap obat antimalaria, maka agar upaya pengobatan terhadap penderita 

 

 336

malaria dapat berhasil baik perlu dilakukan pemetaan yang baik tentang pola 

resistensi obat di daerah-daerah dimana terjadi penularan malaria.  

d) Untuk pengobatan infeksi malaria P. vivax yang terjadi di Papua New Guinea 

atau Irian Jaya (Indonesia) digunakan mefloquine (15 mg/kg berat badan dosis 

tunggal). Halofantrine mungkin dapat digunakan sebagai obat alternatif. Baca 

petunjuk yang tertulis dalam kemasan obat. 

e) Untuk mencegah adanya infeksi ulang sebab  digigit nyamuk yang 

mengandung malaria P. vivax dan P. ovale berikan pengobatan dengan 

primaquine seperti yang telah dijelaskan pada nomor 9A5C ini  di atas; 

sebagai pelengkap pengobatan kasus yang akut terhadap semua penderita maka 

dilakukan tes (khususnya orang kulit hitam Afrika, orang kulit hitam Afrika 

yang tinggal di Amerika, orang Asia dan orang Mediteranian) untuk 

mengetahui adanya defisiensi G6-PD agar tidak terjadi hemolisis sebab  obat. 

Banyak orang Afrika dan orang Afrika yang tinggal di Amerika yang toleran 

terhadap hemolisis walaupun demikian perlu dipertimbangkan untuk 

menghentikan segera pemberian primaquine. Bagaimanapun manfaat dan 

kerugian kemungkinan terjadinya hemolisis harus dikaji secara seimbang 

terhadap kemungkinan kambuhnya infeksi malaria.  Primaquine tidak 

dianjurkan pemberiannya bagi orang yang terkena infeksi malaria bukan oleh 

gigitan nyamuk (sebagai contoh sebab  transfusi darah) oleh sebab   dengan 

cara penularan infeksi malaria seperti ini tidak ada fase hati. 

         

C.  Penanggulangan Wabah 

Buat pemetaan tentang sebab dan luasnya situasi KLB malaria. Lakukan deteksi kasus 

secara intensif dan intensifkan upaya pemberantasan vektor baik terhadap nyamuk 

dewasa maupun terhadap stadium larva. Lakukan gerakan untuk menghilangkan 

tempat-tempat perindukan nyamuk. Obati semua penderita malaria; kenakan pakaian 

pelindung diri untuk menghindari gigitan nyamuk; berikan pengobatan supresif. 

Pengobatan massal masih dapat dipertimbangkan. 

 

D.  Implikasi Bencana  

Sepanjang catatan sejarah, malaria sering merebak bersamaan dengan terjadinya 

peperangan dan kerusuhan sosial. Perubahan cuaca dan perubahan lingkungan yang 

memicu  terjadinya peningkatan jumlah dan luas wilayah tempat perindukan 

nyamuk di daerah endemis akan memicu  peningkatan jumlah penderita malaria. 

 

E.   Tindakan lebih lanjut  

1. Tindakan lebih lanjut  yang penting sebagai berikut: 

a. Melakukan pembebasan terhadap serangga didalam pesawat udara sebelum naik 

pesawat  (boarding) atau pada waktu singgah, dilakukan penyemprotan dengan 

insektisida dimana vektor nyamuk masih rentan terhadap insektisida ini . 

b. Lakukan penyemprotan terhadap pesawat udara, kapal laut dan alat transportasi 

yang lain pada saat kedatangan sesuai dengan kewenangan dan peraturan 

kesehatan setempat, hal ini  dilakukan sebab  kemungkinan adanya vektor 

malaria yang masuk ke dalam alat-alat transportasi ini . 

 

 337

2. Tindakan khusus dilakukan dengan pemberian obat anti malaria kepada pendatang 

(pengungsi, pekerja musiman dan orang-orang yang pindah secara serentak dari 

daerah bebas malaria) yang berpotensi terkena malaria, kepada mereka diberikan 

primaquine 30-45 mg sebagai obat dasar (0,5-0,75 mg/kg BB) dengan dosis tunggal, 

menjadikan gamotosit malaria P. falciparum tidak lagi menular. 

3. Malaria merupakan penyakit dibawah pengawasan WHO. Pemberantasan malaria 

masuk kedalam strategi utama program WHO dalam pengembangan Primary Health 

Care. Negara-negara anggota WHO secara berkala setahun sekali diharapkan 

melaporkan ha-hal yang tercantum di bawah ini: 

a. Daerah malaria yang saat ini tidak lagi ada risiko terinfeksi malaria. 

b. Kasus impor (kasus yang datang dari daerah lain) masuk ke daerah bebas malaria 

yang berpotensi menularkan malaria. 

c. Daerah dengan strain yang resisten chloroquine. 

d. Pelabuhan udara/laut lebih lanjut  yang bebas malaria. 

4. Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO. 

 

 

 

 

NEOPLASMA MALIGNA 

YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFEKSI 

 

Infeksi juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya suatu malignansi. Pemicu  infeksi seperti 

parasit, bakteri jenis Helicobacter pylori dan beberapa jenis virus dapat berperan dalam 

patofisiologi terjadinya berbagai jenis malignansi pada manusia baik secara langsung maupun 

tidak langsung. Malignansi biasanya terjadi belakangan setelah terjadi infeksi dalam jangka 

waktu yang lama. Kofaktor Pemicu  bisa berasal dari luar (lingkungan) atau dari dalam 

(genetik, fisiologis, imunologis dan pada tingkat molekuler), kofaktor ini  memiliki  

peranan penting untuk terjadinya tiap jenis malignansi. 

Pemicu  infeksi apakah parasit, virus ataukah bakteri dalam memicu  terjadinya 

keganasan tidak berperan sendiri sebagai unsur yang necessary atau sufficient. Banyak faktor 

lain ikut terlibat didalam patofisiologi terjadinya keganasan ini . Namun salah satu 

kofaktor pasti selalu ada didalamnya. Kebanyakan mikroorganisme Pemicu  terjadinya 

proses keganasan yaitu   virus.  Gambaran umum yang selalu ada pada proses keganasan yang 

disebabkan oleh virus yaitu   bahwa infeksi virus terjadi pada usia dini dan kemudian virus 

ini  tetap bertahan pada tubuh orang ini  seperti halnya pada carrier yang kronis. 

Atau pada orang ini  terjadi imunosupresi. Hal ini mengarah kepada integrasi  dan 

pembentukan kanker biasanya dalam bentuk clone sel tunggal (tumor monoklonal). Proses 

keganasan seperti ini terjadi pada virus DNA maupun virus RNA. Ada 4 jenis virus DNA 

yang dianggap langsung maupun tidak langsung dapat memacu proses patogenesis terjadinya 

proses keganasan pada manusia yaitu:  (1) Virus Hepatitis B (HBV); (2) Virus Epstein-Barr 

(EBV); (3) Virus papilloma pada manusia (HPV, terutama tipe 16 dan 18); (4) human herpes 

virus-8 (HHV-8), virus ini disebut juga sebagai virus Pemicu  Kaposi sarcoma (KSHV). 

Tiga jenis virus pertama ditemukan hampir di seluruh dunia memicu  infeksi dengan 

gejala klinis yang jelas ataupun yang tidak tampak, kebanyakan berakhir sebagai status 

carrier yang laten, dan dapat terjadi reaktivasi. Kecenderungan monoklonalitas dari sel tumor 

 

 338

dan adanya integrasi virus kedalam sel tumor menandakan adanya hubungan kausalitas. 

Terjadinya keganasan sebab  asosiasi kausalitas seperti ini relatif ja