penyakit menular 18


 lamydia dengan gejala 

batuk, sering disertai dengan sakit tenggorokan dan suara serak, serta demam pada saat 

awal serangan. Dahak sedikit, beberapa penderita mengeluh sakit dada. Ronchi paru 

biasanya ditemukan. Gambaran klinis serupa dengan infeksi yang disebabkan oleh 

mycoplasma. Berbagai derajat kelainan pada foto toraks ditemukan seperti misalnya 

infiltrat bilateral, pleural effusion dapat muncul, penyakit biasanya bersifat moderat, 

namun penyembuhannya relatif lama, dengan batuk yang menetap sampai 2-6 minggu; 

pada orang dewasa, bronchitis dan sinusitis dapat menjadi kronik. Kematian jarang terjadi 

pada kasus tanpa komplikasi. 

 Diagnosa ditegakkan terutama dengan pemeriksaan serologis, seperti dengan Complement 

fixation (CF) untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen kelompok chlamydia, dengan 

immunofluorescence (IF) test yang spesifik untuk IgM dan IgG (pada sera yang didapat 3 

minggu setelah infeksi awal). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi antibodi terhadap 

antigen Pemicu . Pada kasus infeksi ulang, antibodi IgG muncul dini dan kemudian 

meningkat pada titer yang tinggi. Mereka yang diobati secara dini dengan tetracycline 

memberikan respons antibodi yang lemah. Organisme ini  dapat diisolasi dari 

spesimen usap tenggorok dalam kuning telur yang telah berembrio dan dapat ditanam 

pada kultur sel khusus. 

 

 413

2. Pemicu  penyakit: Chlamydia pneumoniae strain TWAR, nama spesies yang diberikan 

untuk organisme ini yang berbeda secara morfologis dan serologis dengan C. psittaci dan 

C. trachomatis. 

 

3. Distribusi penyakit 

 Diperkirakan tersebar di seluruh dunia. Penyakit ini ditemukan di Finlandia, Denmark, 

Nrwegia, Jerman, Spanyol, Kanada, Australia, Jepang, Filipina dan Amerika Serikat. 

Isolasi mula-mula dilakukan di Taiwan. Antibodi jarang muncul pada anak-anak dibawah 

usia 5 tahun; angka prevalensi meningkat pada remaja dan dewasa muda, kemudian 

mendatar sekitar 50% pada umur 20-30 tahun. Prevalensi tetap tinggi pada orang tua. 

Walaupun secara klinis penyakit ini lebih sering terjadi pada dewasa muda, penyakit ini 

menyerang semua umur; 8 dari 18 kasus dilaporkan dari kanada pada orang yang berusia 

di atas 70 tahun dan paling tua usia 90 tahun. Tidak ada variasi musiman. 

 

4. Reservoir: Diperkirakan manusia. Tidak ada hubungannya dengan burung, tidak pernah 

dapat diisolasi atau tidak pernah ditemukan antibodi pada merpati dan burung lain yang 

ditangkap pada lokasi KLB, demikian pula tidak pernah ditemukan pada anjing atau 

kucing. 

 

5. Cara-cara penularan: Tidak diketahui, kemungkinan dapat menular melalui kontak 

langsung dengan sekret, menyebar melalui barang-barang dan pakaian dan udara. 

 

6. Masa inkubasi:  Tidak diketahui, mungkin paling pendek 10 hari. 

 

7. Masa penularan: Tidak jelas, namun diduga dapat memanjang berdasarkan pengamatan 

yang dilakukan pada KLB yang terjadi pada kelompok militer, KLB berakhir setelah 8 

bulan. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

 Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Kemungkinan timbulnya gejala klinis 

meningkat sejalan dengan adanya penyakit kronis yang diderita sebelumnya. Adanya 

antibodi spesifik dalam darah membuktikan bahwa kekebalan dapat terjadi setelah 

mengalami infeksi. Namun serangan kedua pneumonia ditemukan pada anggota militer 

dengan respons serologis tipe sekunder pada serangan kedua.  

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan 

1) Hindari tempat tinggal atau tempat tidur yang berdesakan. 

2) Terapkan tindakan kebersihan perorangan; tutup mulut bila batuk dan bersn, 

buanglah ingus dan dahak secara saniter dan cucilah tangan dengan seksama 

sesering mungkin. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada otoritas kesehatan setempat: Wajib dilaporkan kalah ada Wabah, 

tidak diperlukan laporan individual, Kelas 4 (lihat tentang pelaporan penyakit 

menular). 

 

 414

2) Isolasi: Tidak perlu. Melaksanakan kewaspadaan umum. 

3) disinfeksi serentak: terhadap discharge dari hidung dan tenggorokan. 

4) Karantina: Tidak perlu. 

5) Imunisasi kontak: tidak perlu. 

6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi: Periksa semua anggota keluarga 

dan diobati apabila ternyata positif. 

7) Pengobatan spesifik: Tetracycline atau erythromycin oral 2 g per hari untuk 10-14 

hari. Macrolide jenis baru seperti azithromycin dan clarithromycin dapat juga 

digunakan. Fluoroquinolone  yang baru juga terbukti efektif. 

 

C. Penanggulangan wabah: Penemuan kasus secara dini dan pengobatan yang tepat. 

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada. 

 

 

 

 

PNEUMONIA LAIN       ICD-9 480, 482; ICD-10 J12, J13, J15, J16.8, J18 

 

 

Diantara berbagai macam virus yang diketahui seperti adenovirus, virus syncytial pernafasan, 

virus parainfluenza dan mungkin juga virus yang lainnya yang belum teridentifikasi dapat 

memicu  pneumonitis. sebab  agen infeksi ini memicu  penyakit pernafasan bagian 

atas lebih sering dibandingkan dengan pneumonia, maka mereka disajikan dibawah judul 

penyakit pernafasan, virus akut.  Viral pneumonia yang terjadi pada campak, influenza dan 

cacar air. Infeksi chlamydia oleh C. psittaci  disajikan sebagai psittacosis (q.v.). Pneumonia 

juga disebabkan oleh infeksi rickettsiae (lihat Q fever) dan Legionella. Pneumonia dapat pula 

terjadi pada fase invasif infeksi nematoda, seperti ascaris dan pada infeksi mycosis seperti 

aspergillosis, histoplasmosis dan coccidioidomycosis. 

Berbagai bakteri patogen biasanya ditemukan di mulut, hidung dan tenggorok, seperti 

Haemophillus influenzae, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus 

pyogenes (streptococcus hemolypticus grup A). Neisseria meningitides (tercatat grup Y), 

Bacteroides species, Mosarella catarrhalis dan anaerobic cocci, dapat memicu  

pneumonia, terutama dalam hubungannya dengan influenza, sebagai super infeksi setelah 

terapi antibiotika spektrum luas, sebagai komplikasi penyakit paru kronis dan setelah terjadi 

aspirasi isi lambung atau pada tracheostomy. H. Influenzae pneumonia merupakan pneumonia 

kedua yang paling sering terjadi di negara berkembang dan merupakan Pemicu  kematian 

yang plaing utama pada balita. Dengan peningkatan pemakaian antibiotika dan terapi 

immunosupresive, maka pneumonia yang disebabkan oleh basil enterik gram negatif menjadi 

lebih sering terjadi terutama oleh Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa dan spesies 

Proteus. Tatalaksana kasus tergantung jenis organisme Pemicu  infeksi. 

 

 

 

 

 

 415

POLIOMYELITIS AKUT             ICD-9 045; ICD-10 A80 

(Polioviral fever, Infantile paralysis) 

 

 

1. Identifikasi 

 Infeksi viral yang sering dikenal dengan nama flaccid paralysis akut. Infeksi virus polio 

terjadi didalam saluran pencernaan yang menyebar  ke kelenjar limfe regional sebagian 

kecil menyebar ke sistem saraf. Flaccid paralysis terjadi pada kurang dari 1% dari infeksi 

poliovirus. Lebih dari 90% infeksi tanpa gejala atau dengan demam tidak spesifik. 

Meningitis aseptik muncul pada sekitar 1% dari infeksi. Gejala klinis minor berupa 

demam, sakit kepala, mual dan dan muntah. Apabila penyakit berlanjut ke gejala mayor, 

timbul nyeri otot berat dan kaku kuduk dan punggung dan dapat terjadi flaccid paralysis.  

Karakteristik paralisis pada poliomyelitis  yaitu   asimetris dengan demam terjadi pada 

awal serangan.  Tingkat kelumpuhan yang maksimum dicapai dalam waktu relatif pendek, 

biasanya dalam waktu 3-4 hari. Lokasi kelumpuhan tergantung lokasi kerusakan sel saraf 

pada sumsum tulang belakang atau batang otak. Kaki  lebih sering terkena dibanding 

lengan. Paralisis dari otot pernafasan dan atau otot menelan akan membahayakan jiwa.  

Perbaikan paralisis dapat ditemui pada periode penyembuhan, namun apabila paralisis 

tetap ada setelah 60 hari kemungkinan paralisis akan menetap. Kadang-kadang walaupun 

jarang kelemahan otot dapat muncul kembali setelah sembuh dari sakit, beberapa tahun 

setelah infeksi (sindroma post polio); hal ini bukan sebab  virus polio masih ada didalam 

tubuh penderita.  

 Di negara endemis tinggi, kasus polio yang sangat khas dapat dikenal secara klinis. Di 

negara dimana polio tidak ada atau terjadi  pada tingkat prevalensi yang rendah, 

poliomyelitis harus dibedakan dengan paralisis lain dengan melakukan isolasi virus dari 

tinja. Enterovirus lain (tipe 70 dan 71), echovirus dan coxackievirus  dapat memicu  

kesakitan menyerupai paralytic poliomyelitis. 

 Pemicu  paling sering dari AFP yang harus dibedakan dengan poliomyelitis yaitu   

Guillain Barre Syndrome (GBS). Paralisis dari GBS secara khas yaitu   simetris dan dapat 

berlanjut selama 10 hari. Demam, sakit kepala, mual, muntah dan pleocytosis. 

Karakteristik dari polimyelitis biasanya tidak ditemukan pada GBS, protein tinggi dan 

jumlah hitung sel yang rendah pada cairan LCS serta perubahan sensorik pada sebagian 

besar kasus ditemukan pula pada GBS. Acute motor neuropathy (China paralytic 

syndrome) merupakan Pemicu  AFP di Cina bagian Utara dan kemungkinan juga 

ditemukan di tempat lain; muncul sebagai KLB musiman dan sangat mirip dengan 

poliomyelitis. Demam dan pleocytosis LCS biasanya tidak ada, namun  paralisis dapat 

menetap untk beberapa bulan. Pemicu  penting lain dari AFP antara lain transverse 

myelitis, traumatic neuritis, neuropathy toksik atau neuropati infeksius, tick paralysis, 

myasthenia gravis, pophyria, botulisme, keracunan insektisida, polymyositis, trichinosis 

dan periodic paralysis. 

 Diagnosa banding dari acute nonparalytic poliomyelitis antara lain berbagai bentuk 

meningitis non bakterial akut, meningitis purulenta, abses otak, meningitis tuberkulosa, 

leptospirosis, lymphocytic choriomeningitis, infectious mononucleosis, encephalitides, 

neurosyphilis dan toxic encephalopathy.  

 Kepastian diagnosa laboratorium ditegakkan dengan isolasi virus dari sampel tinja, sekresi 

oropharyng dan LCS pada sistem kultur sel dari manusia atau monyet (primate cells). 

 

 416

Diferensiaasi dari virus liar dengan strain virus vaksin dapat dilakukan di laboratorium 

khusus. Diagnosa presumtif dibuat dengan adanya peningkatan titer antibodi empat kali 

lipat atau lebih, namun neutralizing antibodies spesifik mungkin sudah muncul begitu 

kelumpuhan terjadi, sehingga kenaikan titer antibodi yang bermakna  pada pasangan sera 

mungkin belum muncul.  Respons antibodi setelah pemberian imunisasi sama dengan 

respons antibodi sebagai akibat infeksi virus polio liar. Oleh sebab  pemakaian vaksin 

polio yang berisi virus hidup sangat luas, maka interpretasi terhadap respons antibodi 

menjadi sulit apakah sebab  disebabkan virus vaksin ataukah virus liar. Kecuali untuk 

mengesampingkan diagnosa polio pada anak-anak dengan immunocompetent  namun tidak 

terbentuk antibodi. 

 

2. Pemicu  penyakit 

 Poliovirus (genus enterovirus) tipe 1, 2 dan 3; semua tipe dapat memicu  

kelumpuhan. Tipe 1 dapat diisolasi dari hampir semua kasus kelumpuhan, tipe 3 lebih 

jarang demikian pula tipe 2 paling jarang. Tipe 1 palng sering memicu  wabah. 

Sebagian besar kasus vaccine associated disebabkan oleh tipe 2 dan 3. 

 

3. Distribusi penyakit 

 Sebelum program imunisasi polio dilakukan secara luas, polio ditemukan tersebar di 

seluruh dunia. Sebagai hasil dari Program Pengembangan Imunisasi (Expanded 

Programme on Immunization) yang dilaksanakan di seluruh dunia ditambah dengan 

inisiatif WHO untuk melakukan eradikasi polio di seluruh dunia, jumlah kasus polio yang 

dilaporkan menurun secara drastis. Penderita polio terakhir yang dilaporkan disebabkan 

oleh virus liar indigeneous di belahan bumi bagian barat yaitu   di Peru pada bulan 

Agustus tahun 1991. Polio sudah sangat dekat memasuki tahap eradikasi. Risiko 

penularan polio sangat ini masih ditemukan di anak benua India, Afrika Tengah dan 

Afrika bagian Barat. Negara-negara Afrika yang tercabik-cabik oleh perang dimana 

infrastruktur pelayanan kesehatan hancur memiliki  risiko terjadinya wabah polio. WHO 

menetapkan tahun 2000 sebagai tahun tercapainya eradikasi polio global. Namun para ahli 

berpendapat bahwa diperlukan beberapa tahun lagi setelah tahun 2000 untuk mencapai 

eradikasi polio secara global.  

Walaupun transmisi virus polio liar di negara-negara maju sudah menurun secara drastis 

namun ancaman terjadinya KLB polio masih tetap ada. Sebagai contoh pada tahun 1992-

1993  terjadi KLB polio di Belanda yang menimpa kelompok-kelompok keagamaan yang 

menolak diberikan imunisasi. Virus polio juga ditemukan pada kelompok keagamaan 

yang sama di Kanada, namun tidak ditemukan adanya kasus polio klinis. Kasus polio 

ditemukan di negara maju yang menyerang orang-orang yang belum pernah diimunisasi 

yang mengadakan perjalanan ke negara endemis. Kasus polio di negara maju ditemukan di 

kalangan imigran yang tidak pernah mendapatkan imunisasi setelah pulang dari 

mengunjungi tanah leluhur mereka. Kasus polio lain yang ditemukan di negara maju 

umumnya vaccine related, yaitu yang disebabkan oleh virus vaksin. Di AS setiap tahun 

dilaporkan 5-10 penderita polio yang disebabkan oleh virus vaksin. Hal ini dimungkinkan 

oleh sebab  vaksin polio yang dipakai sebagian besar yaitu   vaksin polio yang berisi virus 

hidup (OPV). Separuh dari kasus polio yang disebabkan oleh virus vaksin ini terjadi pada 

orang dewasa oleh sebab  kontak dengan orang yang telah mendapatkan vaksinasi. 

Di daerah endemis, kasus polio muncul secara sporadis ataupun dalam bentuk KLB. 

 

 417

Jumlah penderita meningkat pada akhir musim panas dan pada saat musim gugur di 

daerah beriklim dingin. Di negara-negara tropis, puncak musiman terjadi pada saat musim 

panas dan musim hujan, namun jumlah kasus tidak begitu banyak.  

Polio masih merupakan penyakit yang menyerang bayi dan anak-anak. Disebagian besar 

negara endemis 70-80% penderita polio berusia dibawah 3 tahun, dan 80-90% berusia 

dibawah 5 tahun. Mereka yang memiliki  risiko tinggi tertulari yaitu   kelompok rentan 

seperti kelompok-kelompok yang menolak imunisasi, kelompok minoritas, para migran 

musiman, anak-anak yang tida terdaftar, kaum nomaden, pengungsi dan warga  

miskin perkotaan. 

 

4. Reservoir 

 Manusia satu-satunya reservoir dan sumber penularan biasanya penderita tanpa gejala 

(inapparent infection) terutama anak-anak. Belum pernah ditemukan adanya carrier virus 

liar yang berlangsung lama Ilihat uraian di bawah). 

 

5. Cara-cara penularan 

 Penularan terutama terjadi dari orang ke orang melalui rute oro-fekal; virus lebih mudah 

dideteksi dari tinja, dalam jangka waktu panjang dibandingkan dari sekret tengorokan. Di 

daerah dengan sanitasi lingkungan yang baik, penularan terjadi melalui sekret faring 

daripada melalui rute orofekal. Walaupun jarang, susu, makanan dan barang-barang yang 

tercemar dapat berperan sebagai media penularan. Belum ada bukti serangga dapat 

menularkan virus polio. Air dan limbah jarang sekali dilaporkan sebagai sumber 

penularan. 

 

6. Masa inkubasi: Umumnya 7-14 hari untuk kasus paralitik, dengan rentang waktu antara 

3-35 hari. 

 

7. Masa penularan 

 Tidak diketahui dengan tenpat, namun penularan dimungkinkan tetap terjadi sepanjang 

virus masih dikeluarkan melalui tinja. Virus polio dapat ditemukan didalam sekret 

tenggorokan dalam waktu 36 jam dan pada tinja 72 jam setelah terpajan dengan infeksi 

baik dengan penderita klinis maupun dengan kasus inapparent. Virus tetap dapat 

ditemukan pada tenggorokan selama 1 minggu dan didalam tinja 3-6 minggu atau lebih. 

Penderita polio sangat menular selama beberapa hari sebelum dan beberapa hari sesudah 

gejala awal. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

 Semua orang rentan terhadap infeksi virus polio, namun kelumpuhan terjadi hanya sekitar 

1% dari infeksi. Sebagian dari penderita ini akan sembuh dan yang masih tetap lumpuh 

berkisar antara 0,1% sampai 1%. Angka kelumpuhan pada orang-orang dewasa non imun 

yang terinfeksi lebih tinggi dibandingkan dengan anak dan bayi yang non imun. 

Kekebalan spesifik yang terbentuk bertahan seumur hidup, baik sebagai akibat infeksi 

virus polio maupun inapparent. Serangan kedua jarang terjadi dan sebagai akibat infeksi 

virus polio dengan tipe yang berbeda. Bayi yang lahir dari ibu yang sudah diimunisasi 

mendapat kekebalan pasif yang pendek. Injeksi intramuskuler, trauma atau tindakan 

pembedahan selama masa inkubasi atau pada saat muncul gejala prodromal dapat 

 

 418

memprovokasi terjadinya kelumpuhan pada ekstremitas yang terkena. Tonsilektomi 

meningkatkan risiko terkenanya saraf bulber. Aktivitas otot berlebihan pada periode 

prodromal dapat menjadi pencetus untuk terjadinya kelumpuhan. 

 

9. Cara-cara penanggulangan  

A.  Cara-cara pencegahan 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  tentang manfaat pemberian imunisasi 

sedini mungkin semasa anak-anak. 

2) Sejak akhir tahun 1999, kedua jenis vaksin baik vaksin trivalen hidup orang yang 

berisikan virus hidup yang dilemahkan (attenuated) (OPV) maupun vaksin 

suntikan yang berisikan virus polio mati (IPV) bisa didapat secara komersial. 

Pemakaian kedua jenis vaksin ini di berbagai negara berbeda-beda.  

 Vakson oral polio (OPV) menirukan infeksi alamiah yang terjadi di alam. OPV 

merangsang pembentukan antibodi baik antibodi di dalam darah maupun antibodi 

lokal pada jonjot (vili) usus. Disamping itu virus yang ada pada OPV dapat 

mengimunisasi orang-orang di sekitarnya dengan cara penyebaran sekunder. Di 

negara-negara berkembang dilaporkan bahwa angka serokonversi rendah dan 

vaccine efficacy menurun. Namun hal ini dapat diatasi dengan pemberian dosis 

tambahan melalui kampanye. 

Pada pemberian air susu ibu tidak memicu  pengurangan yang bermakna 

terhadap daya lindung yang diberikan oleh OPV. WHO merekomendasikan untuk 

memakai OPV saja dalam program imunisasi di ngara berkembang oleh sebab  

murah, mudah pemberiannya dan memiliki  kemampuan yang tinggi dalam 

memberikan imunitas pada warga .  

IPV seperti halnya OPV dapat memberikan perlindungan kepada individu bagus 

sekali dengan merangsang  pembentukan antibodi  dalam darah yang memblokir 

penyebaran virus ke sistem saraf pusat. Baik OPV maupun IPV kedua-duanya 

merangsang pembentukan kekebalan intestinal. Banyak negara maju berpindah ke 

pemakaian IPV saja untuk imunisasi rutin, setelah terbukti jelas selama beberapa 

tahun virus polio liar telah tereliminasi. Lima orang dengan gangguan 

imunodefisiensi primer diketahui secara terus-menerus  mengeluarkan virus yang 

berasal dari OPV pada kotorannya selama 4 sampai 7 tahun lebih. Makna dari 

temuan ini yaitu   dalam rangka pertimbangan akan kemungkinan pada suatu saat 

untuk menghentikan imunisasi polio. Beberapa penelitian sedang dilakukan untuk 

melihat kemungkinan adanya kejadian serupa di negara-negara berkembang. 

3) Rekomendasi untuk imunisasi rutin: 

Dari tahun 1962 sampai dengan tahun 1997, OPV merupakan vaksin pilihan utama 

untuk imunisasi rutin di Amerika Serikat. Pada bulan Januari tahun 1997, CDC 

Atlanta merekomendasikan pemberian IPV pada umur 2 dan 4 bulan dan OPV 

pada umur 12-18 bulan dan umur 4-6 tahun. Berlaku efektif sejak bulan Januari 

tahun 2000, semua anak di Amerika Serikat harus menerima 4 dosis IPV berturut-

turut pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6-18 bulan dan umur 4-6 tahun. OPV hanya 

dipakai pada keadaan khusus seperti berikut ini: (1) Imunisasi massal untuk 

menanggulangi KLB polio paralitik; (2) Untuk anak yang belum diimunisasi yang 

akan melakukan perjalanan kurang dari 4 minggu ke suatu wilayah dimana polio 

merupakan penyakit endemis; dan (3) Anak dari orang tua yang tidak berkenan 

 

 419

anaknya diberi suntikan vaksin sejumlah yang seharusnya. Anak-anak ini dapat 

diberikan OPV saja untuk dosis ketiga dan keempat atau kedua-duanya; pada 

situasi seperti ini petugas kesehatan sebaiknya memberikan penjelasan sebelum 

meneteskan OPV akan risiko kemungkinan terjadinya paralisis yang berkaitan 

dengan vaksin vaccine associated paralytic polio (VAAP) kepada orang tuanya 

atau kepada yang mengasuh. Harus diantisipasi bahwa ketersediaan OPV dimasa 

yang akan datang di Amerika Serikat akan sangat terbatas. Di negara berkembang 

WHO merekomendasikan pemberian OPV pada usia 6, 10 dan 14 minggu. Di 

negara endemis polio, dosis tambahan OPV direkomendasikan untuk diberikan 

pada waktu lahir (OPVo).  

Di negara endemis polio, WHO menganjurkan dilakukan Kampanye Imunisasi 

Nasional (National Immunization Campaign) dengan memberikan 2 dosis OPV 

dengan interval 1 bulan kepada semua anak umur kurang dari 5 tahun tanpa 

melihat status vaksinasi sebelumnya. Kampanye ini sebaiknya diselenggarakan 

pada musim dingin dan musim kering untuk mendapatkan dampak yang 

maksimum. Apabila tingkat penanggulangan yang telah tercapai di suatu negara 

sudah baik, maka kampanye imunisasi dengan target hanya daerah risiko tinggi 

saja dapat dilakukan.  

Catatan: Indonesia telah melaksakan kampanye Pekan Imunisasi Nasional  (PIN) 

untuk polio berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997 dan diulang lagi pada 

tahun 2000.  

Kontraindikasi pemberian OPV antara lain imunodefisiensi kongenital (B-

lymphocyte deficiency, thymic dysplasia), terapi imunosupresif (HIV/AIDS, 

lymphoma, leukemia, penyakit keganasan lain) dan orang dengan imunodefisiensi 

dalam keluarga (IPV sebaiknya diberikan kepada orang ini). Namun demikian di 

daerah dimana polio masih merupakan masalah, WHO merekomendasikan 

pemakaian OPV bagi bayi yang kemungkinan terinfeksi dengan HIV. Diare tidak 

dianggap sebagai kontraindikasi untuk pemberian OPV. 

Pada saat OPV merupakan vaksin yang direkomendasikan untuk dipakai, maka 

polio paralitik yang terjadipada penerima vaksin atau kontak yang sehat mencapai 

angka 1 per 2,5 juta dosis di Amerika Serikat. Di Rumania pemberian suntikan 

antibiotika  yang berulangkali  dikaitkan dengan peningkatan  risiko terjadinya 

vaccine associated poliomyelitis. Imunisasi pada orang dewasa, imunisasi rutin 

untuk orang dewasa yang tinggal di daratan Amerika Serikat dan Kanada tidak 

diangap perlu. Namun imunisasi dasar perlu diberikan kepadaorang dewasa yang 

sebelumnya belum pernah mendapatkan imunisasi yang merencanakan untuk 

bepergian ke negara endemis polio. Imunisasi juga perlu diberikan kepada anggota 

warga  atau kelompok warga  dimana virus polio masih ditemukan, untuk 

petugas laboratorium yang menangani spesimen yang mengandung virus polio dan 

kepada petugas kesehatan yang kemungkinan terpajan dengan kotoran penderita 

yang mengandung virus polio liar. IPV direkomendasikan untuk imunisasi dasar 

pada orang dewasa yaitu 2 dosis dengan  interval 1-2 bulan dan dosis ketiga 

diberikan 6 -12 bulan kemudian. Untuk orang yang sebelumnya telah mendapat 

imunisasi lengkap dan sekarang memiliki  risiko yang tinggi untuk terpajan 

dapat diberikan dosis tambahan IPV. 

 

 

 420

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada otoritas kesehatan setempat: Wajib dilaporkan setiap ditemukan 

adanya kasus kelumpuhan. WHO menyebutnya sebagai Disease Under 

Surveillance, Kelas 1A. Di negara yang sedang melaksanakan program eradikasi 

polo, setiap kasus paralisis akut yang bersifat layuh (Accute Flaccid Paralysis 

(AFP)), termasuk Guillain-Barre Syndrome, pada anak-anak berusia kurang dari 

15 tahun harus segera dilaporkan. Hasil kultur virus dari tinja, informasi 

demografis, riwayat imunisasi, hasil pemeriksaan klinis serta pemeriksaan gejala 

sisa kelumpuhan setelah 60 hari harus disertakan dalam laporan tambahan. 

Riwayat imunisasi dan nomor lot vaksin harus dicatat. Kasus non paralitik harus 

dilaorkan juga kepada instansi kesehatan setempat, Kelas 2 A (lihat tentang 

pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi: Lakuan tindakan kewaspadaan enterik di rumah sakit untuk penderita yang 

disebabkan virus liar. Isolasi di lingkungan rumah tangga kurang bermanfaat oleh 

sebab  banyak angota keluarga sudah terinfeksi sebelum poliomyelitis dapat 

didiagnosa. 

3) Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap discharge tenggorokan. Pada 

warga  dengan sistem pembuangan kotoran yang modern dan memadai, tinja 

dan urin dapat dibuang langsung ke dalam sistem pembuangan tinja tanpa 

dilakukan disinfeksi terlebih dahulu. Pembersihan menyeluruh. 

4) Karantina: Tidak begitu bermanfaat. 

5) Perlindungan terhadap kontak: Pemberian imunisasi kepada keluarga dan kontak 

dekat lainnya dianjurkan namun upaya ini tidak memberikan kontribusi langsung 

dalam pemberantasan KLB yang terjadi; sering virus telah menginfeksi kontak 

dekat yang rentan pada saat kasus pertama kali ditemukan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Walaupun hanya ditemukan satu kasus 

paralitik pada suatu komunitas harus segera dilakukan investigasi. Pencarian 

secara cermat kasus-kasus tambahan AFP pada daerah sekitar penderita sebagai 

bukti kemampuan melakukan deteksi dini. Penemuan kasus-kasus tambahan secara 

dini akan mempermudah upaya pemberantasan dan pengobatan terhadap kasus-

kasus yang tidak dilaporkan. 

7) Pengobatan spesifik: Tidak ada. Untuk perawatan bagi penderita polio akut 

dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang baik serta peralatan yang memadai 

terutama bagi penderita yang membutuhkan bantuan alat bantu pernafasan. 

Fisioterapi sangat bermanfaat untuk memulihkan fungsi tubuh setelah mengalami 

kelumpuhan akibat poliomyelitis dan dapat mencegah terjadinya deformitas yang 

biasanya muncul belakangan.  

 

C.  Cara-cara Penanggulangan Wabah: Di negara-negara yang sedang melaksanakan 

eradikasi polio, ditemukan satu kasus poliomyelitis saja sudah dianggap sebagai KLB. 

Dari hasil investigasi KLB, otoritas kesehatan dapat menentukan apakah perlu 

dilakukan program pemberian imunisasi tambahan. 

 

D. Implikasi bencana: Kepadatan hunian, berkumpulnya mereka yang rentan di suatu 

tempat seperti pada tempat-tempat penampungan pengungsi dan rusaknya 

infrastruktur sanitasi mempermudah terjadinya KLB. 

 

 421

E. Tindakan lebih lanjut  

1) WHO memasukkan poliomyelitis sebagai Disease under surveillance yaitu 

penyakit yang diamati terus dan ditargetkan untuk dieradikasi pada akhir tahun 

2000. WHO meminta setiap Negara melaporkan segera apabila terjadi KLB di 

Negara mereka. Laporan lengkap tentang KLB ini dapat disusulkan kemudian. 

Isolasi virus dapat dilakukan di laboratorium yang ditunjuk. Dan laboratorium ini 

sudah diakreditasi sebagai bagian dari Global Polio Eradication Laboratory 

Network (Jaringan Laboratorium Global untuk eradikasi polio). Begitu virus dapat 

diisolasi maka dengan memakai   pendekatan epidemiologi molekuler maka 

dapat dilacak sumber terjadinya KLB. Tiap negara diwajibkan mengirimkan 

laporan setiap bulan ke kantor WHO Regional, dimana negara ini  menjadi 

anggota.  

PAHO (Pan American Health Organization) mentargetkan tercapainya eradikasi 

polio di benua Amerika pada akhir tahun 1990. Komisi Independen lebih lanjut  

telah dibentuk untuk menilai apakah target ini suah tercapai apa belum. Komisi 

menyimpulkan dan memberikan sertifikasi bebas polio untuk benua Amerika, 

sebab  tidak ditemukan lagi penderita polio indegenous sejak bulan Agustus 1991. 

2) Para pelancong yang mengunjungi negara endemis polo hendaknya diberi 

imunisasi. 

3) Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO. 

 

 

 

PSITTACOSIS      ICD-9 073; ICD-10 A70 

(Infeksi Chlamydial psittaci; Parrot fever, Avian chlamydiosis) 

 

1. Identifikasi 

 Penyakit Chlamydial akut dengan gejala klinis yang bervariasi berupa: demam, sakit 

kepala, ruam, nyeri otot, menggigigl. Sering menyerang saluran pernafasan bagian atas 

atau saluran pernafasan bagian bawah. Gejala-gejala pernafasan sering tidak  sesuai 

dibandingkan dengan gambaran pneumonia ekstensif yang terbaca pada foto toraks. Batuk 

pada awalnya tidak ada atau kalaupun ada non produktif, sputum kalau ada biasanya 

mukopurulen dan kental. Kadang-kadang nyeri pleuritik di dada dan kadang-kadang ada 

splenomegali, nadi biasanya lenih lambat dibanding dengan tingginya suhu badan. 

Encephalitis, myocarditis dan trombophlebitis kadang-kadang ditemukan sebagai 

komplikasi; penyakit bisa kambuh. Walaupun penyakit umumnya sedang atau ringan, 

namun dapat menjadi berat khususnya pada orang tua yang tidak mendapatkan 

pengobatan yang memadai. 

 Diagnosa psittacosis dapat diduga pada penderita dengan gejala-gejala yang sesuai dan 

ada riwayat terpajan dengan burung dan meningkatnya titer antibodi terhadap antigen 

chlamidial yang diambil dengan interval 2-3 minggu. Diagnosa pasti dapat ditegakkan 

hanya pada kondisi laboratorium yang tepat dan aman, dengan isolasi Pemicu  infeksi 

dari sputum, darah atau jaringan post martem pada mencit, telur atau kultur sel. Penemuan 

agen Pemicu  infeksi sangat sulit terutama pada penderita yang telah mendapatkan 

pengobatan antibiotika spektrum luas. 

 

 

 422

2. Pemicu  penyakit: Chlamydia psittaci. 

 

3. Distribusi penyakit 

 Tersebar di seluruh dunia. Penularan yang terjadi melalui burung peliharaan yang sakit 

atau burung yang sehat; KLB kadang-kadang terjadi pada anggota rumah tangga, penjaga 

took binatang peliharaan, pada peternakan burung, pada burung di kebun binatang dan 

kandang burung merpati. Hamper sebagian besar kasus pada manusia bersifat sporadic. 

Banyak infeksi yang tidak bias terdiagnosa. 

 

4. Reservoir 

 Umumnya yang berperan sebagai reservoir yaitu   berbagai jenis burung seperti: ayam, 

merpati, kenari atau burung laut. Burung yang tampaknya sehat dapat berperan sebagai 

pembawa penyakit (carrier) dan mengeluarkan tinja yang mengandung Pemicu  penyakit 

terutama pada saat hewan ini  mengalami stress oleh sebab kepadatan dan pada waktu 

dalam pengangkutan. 

 

5. Cara-cara penularan 

 Dengan inhalasi Pemicu  penyakit melalui kotoran kering, sekret dan debu yang berasal 

dari bulu burung yang terinfeksi. Burung impor yang mengandung psittaci  yaitu   yang 

paling sering berperan sebagai sumber penularan. Diikuti oleh kalkun, itik di peternakan 

dan anak itik, pabrik pemrosesan dan pendistribusian produk unggas dapat menjadi 

sumber penularan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan. Angsa dan merpati 

kadang-kadang berperan terhadap terjadinya kasus pada manusia. Infeksi melalui 

laboratorium dilaorkan pernah terjadi walaupun sangat jarang, pernah dilaporkan terjadi 

penularan dari orang ke orang selama fase akut pada penderita dengan batuk paroxysmal; 

namun kasus yang muncul dengan cara ini lebih dimungkinkan disebabkan oleh C. 

pneumoniae  daripada disebabkan oleh C. psittaci. 

 

6. Masa inkubasi: Masa inkubasi 1-4 minggu. 

 

7. Masa penularan: Burung yang sakit atau yang tampaknya sehat dapat mengeluarkan 

agen Pemicu  penyait melalui tinja baik secara berkala maupun terus-menerus selama 

berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Setiap orang rentan terhadap penyakit ini. Imunitas yang 

terbentuk setelah infeksi tidak lengkap dan bersifat sementara. Dewasa yang lebih tua 

kalau terkena lebih berat. Tidak ada bukti bahwa orang dengan antibodi pada titer 

berapapun akan terlindungi dari infeksi. 

 

9. Cara-cara penanggulangan 

A. Cara-cara pencegahan 

1)  Berikan penyuluhan kepada warga  tentang bahaya pajanan dalam lingkungan 

rumah tangga maupun di dalam lingkungan pekerjaan dengan burung yang 

terinfeksi. Petugas kesehatan yang bertanggung jawab terhadap keselamatan kerja 

pada pabrik pengolahan unggas seharusya waspada apabila menemukan seseorang 

dengan demam dan dengan gejala pernafasan yang disertai sakit kepala atau nyeri 

otot diantara para pekerja, fikirkan kemungkinan psittacosis. 

 

 423

2) Buatlah peraturan yang mengatur cara-cara importasi, peraturan tentang cara-cara 

beternak dan mengangkut burung antar daerah yang aman. Terutama burung-

burung ini jenis kakak tua/betet. Untuk mencegah terjadinya penularan, lakukan 

karantina terhadap burung-burung yang diduga terkena infeksi dan berikan 

pengobatan dengan antibiotika yang tepat. 

3) Burung-burung yang berpotensi sebagai reservoir yang diperdagangkan kepada 

khalayak ramai hendaknya dipelihara dan diternakkan pada kondisi dan 

lingkungan bebas psittacosis. Dan ditangani sedemikian rupa untuk mencegah 

terjadinya penularan. Tetrasiklin cukup efektif untuk memberantas psittacosis pada 

burung-burung ini apabila diberikan dengan tepat dan benar paling tidak selama 30 

hari sampai 45 hari. Kegagalan dapat saja terjadi.  

4) Lakukan kegiatan pengamatan (surveillance) terhadap toko binatang peliharaan 

dan toko burung dimana psittacosis muncul atau dimana burung secara 

epidemiologis terkait dengan kasus yang ditemukan dan lakukan juga pengamatan 

terhadap peternakan atau pabrik penglahan dimana ditemukan psittacosis pada 

manusia dan yang telah dilakukan investigasi secara epidemiologis. Burung yang 

terinfeksi harus diobati atau dimusnahkan dan area dimana mereka dipelihara 

harus dibersihkan dengan seksama dan didisinfeksi dengan phenolic compound 

seperti lysol, kreolin dan sebagainya. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada otoritas kesehatan setempat: Kewajiban melaporkan kasus 

diberlakukan di sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat dan negara-

negara lain, Kelas 2A (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi: Tidak diperlukan. 

3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap semua discharge. Pembersihan 

menyeluruh. 

4) Karantina: Lakukan karantina terhadap peternakan dan daerah sekitarnya  yang 

terjangkit sampai dengan  burung yang sakit telah dimusnahkan atau telah diobati 

secara adekuat dengan tetrasiklin dan bangunan telah didisnfeksi. 

5) Imunisasi kontak: Tidak perlu. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan pelacakan asal burung yang 

dicurigai terjangkit. Burung-burung yang dicurigai terjangkit dan celupkan badan 

burung ini  kedalam phenolic 2% atau dengan disinfektan yang serupa. 

Tempatkan bangka burung ini  kedalam plastik, tutup dengan rapat dan 

dikirim dalam keadaan beku (atau dengan dry ice) ke laboratorium terdekat yang 

mampu melakukan isolasi Chlamydia. Apabila burung yang dicurigai tidak dapat 

dibunuh, kultur usap koaka atau kultur yang dibuat dari spesimen kotoran segera 

dikirim ke laboratorium dengan transport media yang tepat dan dengan cara-cara 

pengiriman yang memenuhi peraturan. Setelah dilakukan kultur, burung yang sakit 

segera diobati dengan tetrasiklin. 

7) Pengobatan spesifik: Antibiotika dari kelompok tetrasiklin diberikan selama 10-14 

hari sampai suhu kembali ke normal. Erythromycin merupakan obat alternatif 

apabla tetrasiklin merupakan kontraindikasi (kehamilan, anak umur kurang dari 9 

tahun). 

 

 424

C. Penanggulangan Wabah: Kasus umumnya muncul secara sporadis atau terbatas 

terjadi dalam lingkungan keluarga, sehingga akalu terjadi KLB pada peternakan 

burung atau pada perusahaan pemasok burung dapat sedemikian ekstensif. Laporkan 

KLB psittacosis yang terjadi pada ternak kalkun dan kawasan itik kepada otoritas 

peternakan dan otoritas kesehatan setemat. Pemberian dosis dalam jumlah besar 

tetrasiklin dapat mengurangi namun tidak dapat menghilankan infeksi pada kawanan 

unggas dan dapat menyulitkan investigasi. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Tindakan lebih lanjut  harus sejalan dengan peraturan-

peraturan yang berlaku di suatu negara yang mengatur importasi burung-burung yang 

berpotensi terjangkit psittacosis. 

 

 

 

Q-FEVER       ICD-9 083; ICD-10 A78 

(Query fever) 

 

1. Identifikasi 

 Penyakit demam rickettsia akut, serangan mendadak diikuti dengan menggigil, nyeri 

belakang mata, lemah, malaise dan keluar keringat berlebihan. Berat dan lamanya 

penyakit berlangsung sangat bervariasi. Infeksi dapat tanpa gejala atau berupa demam non 

spesifik ”fever unknown origin”. Pada beberapa kasus terlhat gambaran pneumonitis pada 

foto toraks, namun  batuk, riak dan dahak serta nyeri dada dan gejal afisik lainnya tidak 

menonjol. Kelainan tes fungsi hati sering dijumpai.  Pernah dilaporkan terjadi hepatitis 

granulomatosa kronis atau akut yang sering dikacaukan dengan hepatitis tuberkulosa. Q-

fever kronis gejala klinis utama berupa endokarditis endokarditis ini dapat terjadi pada 

orang yang dengan kelainan bawaan (seperti bicuspid aortic) atau pada orang dengan klep 

jantung buatan.  Perjalanan penyakit ini indolen dan berlangsung bertahun-tahun. Gejala 

klinis yang jarang ditemukan seperti kelainan neurologik, pernah dilaporkan. Angka 

kematian kasus yang tidak diobati biasanya kurang dari 1% namun pernah dilaporkan 

mencapai 2,4%.  Pada kasus-kasus yang diobati dengan tepat, angka kematian sangat kecil 

sekali dan dapat diabaikan kecualipada kasus dengan endokarditis, dimana pada kasus ini 

perlu perpanjangan pemberian antibiotika bahkan perlu dilakukan operasi pengantian 

katup. 

 Diagnosa laboratorium ditegakkan dengan adanya peningkatan titer antibodi spesifik pada 

fase akut dan penyembuhan dengan tes IF, microaglutination, CF atau ELISA; Titer 

antibodi yang tinggi pada fase 1 menunjukkan adanya infeksi kronis seperti adanya 

endokarditis. Penemuan Pemicu  infeksi dari dalam darah merupakan cara diagnosa 

pasti, namun hal ini sangat membahayakan petugas laboratorium. Q fever Coxiellae dapat 

didentifikasi dari biopsi jaringan (biopsi hati atau dari katup jantung) dengan 

immunostains dan EM. 

 

2. Pemicu  penyakit 

 Coxiella burnetti, organisme ini memiliki  dua fase antigen; fase 1 ditemukan di alam 

 

 425

dan fase 2 setelah melalui beberapa tingkat pasase laboratorium pada telur atau kultur sel. 

Organisme ini memiliki stabilitas yang tidak biasa, dapat mencapai konsentrasi tinggi 

pada jaringan binatang, khususnya pada plasenta dan sangat tahan terhadap berbagai 

dinsinfektan. 

 

3. Distribusi penyakit 

 Tersebar di seluruh dunia. Insidensi penyakit ini mengikuti pola gunung es, penderita 

yang dilaporkan jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah penderita yang sebenarnya. 

Lebih-lebih sebab  penyakit ini gejala klinisnya sangat  ringan sehingga tidak terdeteksi 

disamping tidak tersedianya fasilitas laboratorium. Penyakit ini endemis di daerah dimana 

banyak binatang reservoir dan biasanya menyerang dokter hewan, penjual daging, 

peternak domba, petani dan kadang-kadang pekerja pengolahan susu. KLB pernah 

dilaporkan terjadi pada pekerja tempat penyimpanan ternak, di tempat pengepakan daging, 

di tempat penggemukan ternak, di laboratorium dan di pusat-pusat veteriner dimana di 

pusat ini  dilakukan penelitian dengan memakai   domba sebagai binatang 

percobaan (khususnya biri-biri betina yang sedang bunting). Pada waktu Perang Dunia II 

ribuan tentara Amerika yang ditempatkan di Eropa terjangkit penyakit ini. Kadang-kadang 

ditemukan satu-dua orang  penderita tanpa ada riwayat kontak dengan binatang. Bukti 

tentang infeksi lama yang dialami sering ditemukan pada peneliti yang bekerja di 

laboratorium menangani C. burnetii. Dan penderita juga pernah ditemukan terjadi pada 

para pengunjung fasilitas laboratorium ini . 

 

4. Reservoir 

 Domba, sapi, kabing, kucing, anjing dan beberapa binatang liar (bandicoot, sejenis tikus) 

dan ebrbagai spesies tikus liar, burung dan tungau merupakan reservoir alami. Penularan 

transovarial dan transtadial sering terjadi pada tungau yang merupakan bagian dari siklus 

kehidupan liar rodentia, binatang yang lebih besar dan burung. Tungau dianggap bukan 

sebagai sumber infeksi yang utama terhadap manusia di Amerika Serikat. Binatang yang 

terinfeksi termasuk domba dan kucing biasanya tanpa gejala, namun binatang ini 

mengeluarkan organisme dalam jumlah besar pada jaringan plasenta ketika melahirkan. 

 

5. Cara penularan 

 Biasanya melalui udara, penyebaran Coxiellae melalui debu dari alat-aat yang 

terkontaminasi dengan jaringan plasenta, air ketuban dan kotoran binatang yang terinfeksi, 

penularan juga terjadi di fasilitas pemrosesan hewan yang terinfeksi atau produk 

sampingannya dan pada ruang nekropsi. Partikel udara yang mengandung organisme 

dapat tertiup angin sampai jarak ang cukup jauh (satu setengah mil atau lebih); penularan 

dapat terjadi melalui kontak langsung dengan binatang yang terinfeksi dan bahan lain 

yang terkontaminasi seperti wool, jerami, pupuk serta pakaian kotor di binatu. Susu segar 

dari sapi yang terinfeksi mengandung organisme ini dan kemungkinan sebagai Pemicu  

timbulnya beberapa kasus Q fever, namun hal ini belum dapat dibuktikan. Penularan 

langsung melalui transfusi darah atau melalui transfusi sumsum tulang pernah dilaporkan.  

 

6. Masa inkubasi: Tergantung pada jumlah dosis ineksi, basanya 2-3 minggu. 

 

7. Masa penularan: Penularan langsung dari oang ke orang jarang terjadi. Namun pakaian 

yang terkontaminasi dapat menjadi sumber infeksi. 

 

 426

8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap infeksi. Imunitas yang timbul 

setelah sembuh dari sakit diperkirakan berlangsung seumur hidup. Dimana imunitas cell 

mediated berlangsung lebih lama dibandingkan dengan yang humoral. Antibodi yang 

terdeteksi dengan CF bertahan sampai 3-5 tahun. Antibodi yang terdeteksi dengan IF tetap 

bertahan selama 10-15 tahun. 

 

9. Cara-cara penanggulangan 

A. Cara-cara pencegahan 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  yang bekerja pada  pekerjaan dengan 

risiko tinggi (seperti peternak domba, pemerah susu, peneliti hewan, pekerja di 

pemotongan hewan), pengetahuan tentang sumber infeksi dan pentingnya 

disinfeksi adekuat dan cara-cara pembuangan sampah produk binatang. Kurangi 

akses terhadap kotoran domba dan sapi, kandang dan laboratorium dengan 

binatang yang potensial tertular. Dan tekankan kepada mereka pentingna 

melakukan pasteurisasi terhadap susu. 

2) Lakukan pasteurisasi terhadap susu sapi, susu kambing dan domba pada suhu 

62,7°C (145°F) selama 30 menit atau pada suhu 71,6°C (161°F) selama 15 menit, 

atau dengan dididihkan akan menonaktifkan Q fever Coxilliae. 

3) Belum ada vaksin secara komersial saat ini beredar di Amerika Serikat. Vaksin 

yang masih dalam tahap penyelidikan dibuat dari kuning telur yang diinfeksi 

dengan C. burnetii fase 1 bermanfaat dalam melindungi petugas laboratorium dan 

dianjurkan sekali diberikan kepada mereka yang diketahui bekerja dengan C. 

burnetii hidup.  Juga harus dipertimbangkan untuk diberikan kepada pekerja 

pemotongan hewan dan pekerjaan berbahaya lainnya termasuk kepada mereka 

yang melakukan riset medis dengan domba yang sedang bunting. Untuk 

menghindari reaksi lokal yang hebat, pemberian vaksinasi harus didahului dengan 

tes sensitivitas kulit dengan dosis kecil vaksin yang diencerkan; vaksin sebaiknya 

tidak diberikan kepada individu dengan hasil tes kulit dan tes antibodi positif atau 

ada riwayat Q fever yang jelas. Vaksin bisa didapat dibawah IND dengan 

menghubungi Komandan US Army Medical Research dan Material Command, 

Attn: MCMR-UMP. Fort Detrick, Frederick, MD 21702-5009, telpon 301 -

6192051. 

4) Petugas riset yang memakai   domba bunting harus dicatat dan didaftar di 

bawah surveilans medis dan program penyuluhan kesehatan. Program ini harus 

dimulai dengan evaluasi dasar status serologis, diikuti dengan evaluasi secara 

periodik. Orang dengan risiko tinggi (seperti mereka dengan kelainan katup 

jantung, wanita usia subur, orang dengan pengobatan imunosupresan) harus diberi 

penjelasan tenang risiko mendapatkan penyakit yang serius sebagai akibat Q-fever. 

Pemakaian binatang untuk penelitian harus dinilai terhadap infeksi Q fever dengan 

pemeriksaan serologis. Pakaian bekas pakai petugas laboratorium harus dikemas 

dan dicuci secara benar untuk mencegah infeksi pada petugas binatu. Fasilitas 

penyimpanan domba harus jauh dari daerah pemukiman warga  dan upaya 

pencegahan harus dilaksanakan untuk mencegah aliran udara ke daerah 

pemukiman lainnya; tidak sembarang pengunjung boleh datang. 

 

 

 

 427

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada otoritas kesehatan setempat: Di Amerika Serikat di daerah dimana 

penyakit ini endemis kasus harus dilaporkan; di banyak negara penyakit ini bukan 

merupakan penyakit yang harus dilaporkan, Kelas 3B (lihat laporan tentang 

penyakit menular). 

2) Isolasi: Tidak ada. 

3) Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi untuk sputum, darah serta barang-barang 

yang terkontaminasi dengan memakai   bahan-bahan berikut: 0,05% 

hypochloride, 5% peroxide  atau larutan 1:100 Lysol.  Lakukan tindakan 

kewaspadaan universal pada pemeriksaan postmortem dari kasus yang dicurigai 

baik pada binatang maupun manusia. 

4) Karantina: Tidak ada. 

5) Imunisasi kontak: Tidak perlu. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Dicari riwayat kontak dengan domba, sapi 

dan kambing di peternakan atau di fasilitas penelitian, dengan kucing beranak atau 

ada riwayat mengkonsumsi susu segar atau apakah ada riwayat kontak langsung 

atau tidak langsung dengan laboratorium yang menangani C. burnetii. 

7) Pengobatan spesifik: Untuk penyakit akut, tetrasiklin (khususnya doxycycline) oral 

selama 15-21 hari; diualng lagi bila kambuh. Untuk penyakit kronis (endokarditis) 

diberikan doxycycline dan oflaxacine selama beberapa tahun, atau doxycycline  

dikombinasi dengan  dikombinasi dengan hydroxychloroquine selama beberapa 

tahun. Pengantian secara peratif etrhadap katup janung yang terinfeksi mungkin 

diperlukan bagi penderita tertentu untuk tujuan pengobatan. 

 

C. Penanggulangan Wabah: KLB biasanya berlangsung sebentar. Upaya 

penanggulangan terbatas dilakukan untuk menghilangkan sumber infeksi.  Laukan 

observasi terhadap orang yang terpajan dan berikan terapi antibiotika untuk mereka 

yang sakit. 

 

D. Implikasi menjadi bencana: Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Pengawasan importasi kambing, domba dan ternak dan 

produk (misalnya wool). Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO. 

 

 

 

RABIES        ICD-9 071; ICD-10 A82 

(Hydrophobia, Lyssa) 

 

1.  Identifikasi 

 Suatu penyakit  encephalomyelitis viral akut dan fatal; serangan biasanya dimulai dengan 

perasaan ketakutan, sakit kepala, demam, malaise, perubahan perasaan sensoris, pada 

bekas gigitan binatang. Gejala yang sering muncul yaitu   eksitabilitas dan aerophobia. 

Penyakit ini berlanjut kearah terjadinya  paresis atau paralisis, kejang otot-otot menelan 

menjurus kepada perasaan takut terhadap air (hydrophobia), diikuti dengan delirium dan 

kejang. Tanpa intervensi medis, basanya berlangsung 2-6 hari dan kadang-kadang lebih, 

 

 428

kematian biasanya sebab  paralisis pernafasan. 

 Diagnosa ditegakkan dengan teknik pewarnaan FA yang spesifik terhadap jaringan otak 

atau dengan isolasi virus pada tikus atau sistem pembiakan sel. Diagnosa presumptive 

dapat ditegakkan dengan teknik pewarnaan FA spesifik dari potongan kulit yang 

dibekukan diambil dari kuduk kepaa bagian yang berambut. Diagnosa serologis 

didasarkan pada tes neutralisasi pada mencit atau kultur sel. 

 

2. Pemicu  penyakit  

 Virus rabies, rhabdovirus dari genus Lyssavirus. Semua anggota genus ini memiliki  

persamaan antigen, namun dengan teknik antibodi monoklonal dan nucleotide sequencing 

dari virus menunjukkan adanya perbedaan tergantung spesies binatang atau lokasi 

geografis darimana mereka berasal. Virus yang mirip dengan rabies yang ditemukan di 

Afrika (Mokola dan Duvenhage)  jarang memicu  kesakitan pada manusia mirip 

seperti rabies dan jarang yang fatal. Lyssavirus  baru telah ditemukan pertama kali pada 

tahun 1996, pada beberapa spesies dari Flying fox dan kelelawar di Australia dan telah 

memicu  dua kematian pada manusia dengan gejala penyakit seperti rabies. Virus ini 

untuk sementara diberi nama ”Lyssavirus kelelawar Australia”. Virus ini mirip dengan 

virus rabies namun tidak identik dengan virus rabies klasik. Sebagian penderita penyakit 

yang disebabkan oleh virus yang mirip rabies inim dengan teknik pemeriksaan standard 

FA test kemungkinan didiagnosa sebagai rabies.  

 

3. Distribusi penyakit 

 Tersebar di seluruh dunia, dengan perkiraan 35.000 – 40.000 kematian per tahun, hampir 

semuanya terjadi di negara berkembang. Dari tahun 1980 sampai dengan 1997, di 

Amerika Serikat, 36 kematian pada manusia oleh sebab  rabies telah dilaporkan; 12 

diantaranya kemungkinan didapat di luar Amerika Serikat. Dari mereka yang diduga 

terinfeksi di Amerika Serikat, lebih dari separuh meninggal sebab  rabies yang dikaitkan 

dengan kelelawar. Sejak tahun 1950 kematian manusia sebab  rabies secara bertahap 

menurun, sebagai hasil dari pemberian imunisasi rabies secara rutin kepada anjing dan 

kucing dan meningkatnya efektivitas pengobatan prophylaxis pasca paparan. 

 Rabies yaitu   penyakit yang terutama menyerang binatang. Daerah dengan populasi 

binatang yang sat ini bebas dari rabies hanyalah Australia, New Zaeland, Papua Nugini, 

Jepang, Hawaii, Taiwan, Oceania, United Kingdom, Irlandia, Iceland, Norwegia, Swedia, 

Finlandia, Portugal, Yunani, India bagian Barat dan Kepulauan Atlantik. Urban (atau 

Canine) rabies ditularkan oleh anjing, sedang  sylvatic rabies yaitu   penyakit 

carnivora liar dan kelelawar, yang menular secara sporadis kepada anjing, kucing dan 

ternak. Di Eropa, rabies rubah menyebar luas, namun telah menurun sejak tahun 1978 

pada saat imunisasi dengan vaksin rabies oral dimulai; Di Eropa Barat, jumlah kasus 

rabies menurun drastis sejak tahun 1992, kecuali rabies pada kelelawar. Sejak tahun 1986 

kasus rabies kelelawar telah dilaorkan dari Denmark, Belanda dan Jerman Barat.  Di 

Amerika Serikat dan Kanada rabies liar sering melibatkan racoon, musang (skunk), rubah, 

coyotes dan kelelawar. Telah terjadi epizootik progresif diantara racoon di Amerika 

Serikat bagian Tenggara sejak lebih dari satu dekade dan sekarang telah mencapai New 

Enland, dan saat ini diantara coyotes dan anjing di Texas Selatan telah terjadi penyebaran 

virus ke binatang domestik dan umumnya yaitu   kepada kucing. 

 

 

 429

4. Reservoir 

 Berbagai Canidae domestik dan liar, seperti anjing, serigala, coyotes, rubah, serigala serta 

jackal; juga skunks, arcoon, mongoose dan mamalia menggigit lainnya. Populasi vampire 

yang terinfeksi, kelelawar frugivorous (pemakan buah) dan insectivorous (pemakan 

serangga) ditemukan di Amerika Serikat, Kanada dan sekarang bahkan di Eropa. Di 

negara berkembang, anjing tetap merupakan reservoir utama, kelinci, opposums, bajing, 

chipmunk, tikus dan mencit jarang terinfeksi, dan kasus gigitan pada manusia juga jarang 

terjadi. Bila terjadi gigitan maka hubungi fasilitas kesehatan untuk profilaksis rabies.  

 

5. Cara-cara penularan 

 Ar liur binatang sakit yang mengandung virus menularkan virus melalui gigitan atau 

cakaran (dan sangat jarang sekali melalui luka baru di kulit atau melalui selaput lendir 

yang utuh). Penularan dari orang ke orang secara teoritis dimungkinkan oleh sebab  liur 

dari orang yang terinfeksi dapat mengandung virus, namun hal ini belum pernah 

didokumentasikan. Transplantasi organ (cornea) dari orang yang meninggal sebab  

penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa dapat menularkan rabies kepada 

penerima organ tadi. Penyebaran melalui udara telah dibuktikan terjadi di suatu gua 

dimana terdapat banyak kelelawar yang hinggap dan pernah juga terjadi di laboratorium, 

namun kejadiannya sangat jarang. Di Amerika Latin, penularan melalui kelelawar 

vampire yang terinfeksi kepada binatang domestik sering terjadi. Di Amerika Serikat 

kelelawar pemakan serangga jarang menularkan rabies kepada binatang di darat baik 

kepada binatang domestik maupun binatang liar. 

 

6. Masa inkubasi 

 Biasanya berlangsung 3-8 mingu, jarang sekali sependek 9 hari atau sepanjang 7 tahun; 

masa inkubasi sangat tergantung pada tingkat keparahan luka, lokasi luka yang erat 

kaitannya  dengan keadatan jaringan saraf di lokasi luka dan jarak luka dari otak, dan 

tergantung pula dengan jumah dan strain virus yang masuk, serta tergantung dari 

perlindungan oleh pakaian dan faktor-faktor lain. Masa inkubasi yang panjang terjadi pada 

individu prepubertal. 

 

7. Masa penularan 

 Pada anjing dan kucing, biasanya 3-7 hari sebelum munclnya gejala klinis (jarang lebih 

dari 4 hari) dan selama periode sakit. Masa penularan yang lebih panjang sebelum 

munculnya gejala klinis (yaitu 14 hari) telah diamati di Ethiopia pada strain virus rabies 

pada anjing. Pada satu studi diketahui kelelawar mengeluarkan virus melali tinjanya 12 

hari sebelum sakit, pada studi yang lain skunk mengeluarkan virus melalui tinjanya untuk 

palng sedikit 8 hari sebelum munculnya gejala klinis. Skunk mungkin mengeluarkan virus 

sampai 18 hari sebelum mati. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

 Semua mamalia rentan terhadap rabies dengan berbagai tingkatan yang sangat 

dipengaruhi oleh strain virus. Manusia paling resisten terhadap infeksi dibandingkan 

dengan banyak spesies binatang, hanya sekitar 40% dari orang Iran yang dipastikan digigit 

binatang yang menderita rabies berkembang menjadi sakit. 

 

 

 430

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan 

1) Lakukan pendaftaran, berikan lisensi dan imunisasi kepada semua anjing di 

negara-negara enzootik; tangkap dan bunuh binatang yang tidak ada pemiliknya 

dan berkeliaran di jalanan. Imunisasi semua kucing. Berikan penyuluhan kepada 

pemilik binatang peliharaan dan kepada warga  tentang pentingnya 

pemberantasan terhadap kucing dan anjing (bahwa hewan peliharaan harus diikat 

bila berada di tempat ramai kalau tidak bisa dikandangkan, bahwa kalau ada 

hewan yang berkelakuan aneh atau yang sakit baik hewan domestik maupun 

hewan liar, hewan ini mungkin berbahaya dan sebaiknya tidak diambil atau 

disentuh. Kalau ditemukan anjing atau binatang berperilaku aneh dan binatang 

yang menggigit manusia atau menggigit binatang lainnya  segera laporkan kepada 

polisi dan atau kepada petugas kesehatan setempat.  Binatang ini  harus 

ditangkap, dikandangkan untuk diobservasi sebagai upaya pencegahan terhadap 

rabies; dan binatang liar tadi jangan dipelihara sebagai binatang peliharaan. Oleh 

sebab  upaya memberantas dan mengurangi populasi anjing secara terus-menerus 

merupakan upaya yang efektif. 

2) Pertahankan kegiatan surveilans aktif terhadap rabies pada binatang. Kapasitas 

laboratorium harus dikembangkan untuk dapat melakukan pemeriksaan FA pada 

semua jenis binatang liar yang terpajan dengan manusia atau terpajan dengan 

binatang peliharaan dan pemeriksaan terhadap semua binatang peliharaan yang 

secara klinis diduga mengidap rabies. Berikan penyuluhan kepada dokter, dokter 

hewan dan petugas pengawasan binatang agar menangkap atau membunuh atau 

melakukan pemeriksaan laboratorium pada binatang yang terpajan dengan 

manusia atau terpajan dengan binatang peliharaan. 

3) Penahanan dan observasi klinis selama 10 hari dlakukan terhadap anjing atau 

kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang 

(sedang  anjing atau kucing yang tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh 

dan diperiksa untuk rabies dengan mikroskop fluorescence); anjing dan kucing 

yang menunjukkan gejala mencurigakan teradap kemungkinan rabies harus 

dibunuh dan diperiksa untuk rabies. Bila binatang yang menggigit terinfeksi pada 

waktu menggigit, gejala rabies akan muncul dalam waktu 4-7 hari, dengan 

timbulnya perubahan perlaku dan eksitabilitas atau terjadi kelumpuhan dan diikuti 

dengan kematian. Semua binatang liar yang telah menggigit manusia harus 

dibunuh segera dan otaknya diambil dan diperiksa untuk pembuktian rabies. Pada 

kasus gigitan oleh binatang peliharaan yang berperilaku normal atau oleh binatang 

yang sangat mahal atau oleh binatang di kebun binatang maka lebih tepat untuk 

dipertimbangkan pemberian profilaksis pasca pajanan keada korban gigitan dan 

sebagai ganti pemusnahan binatang dilakukan karantina selama 3-12 minggu. 

4) Segera kirim ke laboratorium, kepala utuh dari binatang yang mati dan kepada 

yang dicurigai rabies, dikemas dalam es (tidak beku), untuk dilakukan 

pemeriksaan antigen viral dengan pewarnaan FA, atau bila pemeriksaan ini tidak  

tersedia, dengan pemeriksaan mikroskopis untuk badan Negri, diikuti dengan 

inokulasi pada tikus. 

5) Segera bunuh anjing atau kucing yang tidak diimunisasi dan yang telah digigit 

oleh binatang liar, apabila pilihannya yaitu   mengurung maka kurunglah binatang 

 

 431

ini  pada kandang atau kurungan yang terbukti aman untuk paling sedikit 6 

bulan dibawah supervisi dokter hewan dan diimunisasi dengan vaksin rabies 30 

hari sebelum dilepas. Bila binatang ini  sudah pernah diimunisasi, lakukan 

imunisasi ulang dan tahan (diikat atau dikurung) binatang ini  paling sedikit 

selama 45 hari. 

6) Imunisasi dengan vaksin oral untuk reservoir binatang liar yaitu vaksin yang berisi 

virus yang telah dilemahkan atau vaksin vektor recombinant telah terbukti efektif 

dapat mengeliminasi rabies pada rubah di sebagian Eropa dan Kanada. Teknik ini 

sedang dievaluasi di Amerika Serikat dengan memakai   droping dari udara 

dengan umpan yang berisi vaksin recombinant. 

7) Koordinasikan program pemberantasan rabies dengan bekerja sama dengan 

otoritas suaka binatang liar untuk mengurangi populasi rubah, skunk, racoon, dan 

binatang darat liar lainnya yang merupakan host dari sylvatic rabies di daerah 

enzootik yang mengitari daerah perkemahan atau daerah hunian manusia. Apabila 

kegiatan depopulasi terhadap binatang ini  secara lokal telah dilakukan, harus 

dipertahankan untuk menahan terjadinya peningkatan kembali populasi binatang 

tadi dari daerah sekitarnya. 

8) Oran yang berisiko tinggi (dokter hewan, petugas suaka alam dan petugas 

keamanan taman di daerah enzootik atau epizootik, petugas pada karantina, 

laboratorium dan petugas lapangan yang bekerja dengan rabies dan wisatawan 

yang berkunjung dalam waktu yang lama ke daerah endemis rabies) harus diberi 

imunisasi prapajanan. Ada 3 jenis vaksin rabies yang beredar di pasaran di 

Amerika Serikat yaitu Human Diploid Cell Rabies Vaccine (HDCV), satu jenis 

vaksin inaktivasi yang dibuat dari virus yang ditumbuhkan pada kultur sel diploid 

manusia; kemudian Rabies Vaccine Adsorbed (RVA), yaitu jenis vaksin inaktivasi 

yang ditumbuhkan pada sel diploid rhesus; dan jenis vaksin yang ketiga yaitu   

Purified Chick Embryo Cell Vaccine (PCBC), vaksin inaktivasi yang ditumbuhkan 

pada kultur primer dari firboblast ayam. (Vaksin kultur sel yang poten dari jenis 

lain tersedia di negara lain). Setiap jenis vaksin dapat diberikan dalam tiga dosis 

masing-masing 1,0 cc (IM) pada hari 0, 7 dan hari ke-21 atau ke-28. Regimen ini 

cukup memuaskan sehingga pemeriksaan serologis pasca imunisasi tidak 

dilakukan secara rutin kecuali pada kelompok tertentu yang berisiko tinggi atau 

orang yang mengalami immunodeficiency.  

 Bila risiko pajanan berlanjut, maka pemberian booster dosis tunggal atau 

pemeriksaan  serum untuk melihat antibodi neutralizing dilakukan setiap 2 tahun, 

dengan dosis booster kalau ada indikasi. HCDV juga telah disetujui untuk dipakai 

untuk imunisasi prapajanan dengan pemberian intradermal (ID) sebesar 0,1 cc 

diberikan pada hari ke-0, 7 dan 21 atau 28. Bila imunisasi diberikan untuk 

persiapan perjalanan ke daerah endemis rabies, 30 hari atau lebih harus dilewati 

terlebih dahulu setelah dosis ketiga diberikan sebelum berangkat, kalau tidak maka 

pemberian imunisasi harus IM. Imunisasi ID, secara umum memberikan hasil yang 

sangat bagus di Amerika Serikat, namun respons antibodi rata-rata agak rendah 

dan durasinya mungkn lebih pendek dibandingkan dengan dosis 1 cc IM. Namun 

respons antibodi untuk imunisasi ID berubah-ubah pada beberapa kelompok yang 

sedang mendapatkan pengobatan chloroquine sebagai chemoprophylaxis 

antimalaria, sehingga pemakaian ID tidak dianjurkan pada situasi ini kecuali di 

 

 432

tempat ini  tersedia fasilitas untuk pemeriksaan sera untuk melihat titer 

antibodi neutralizing. Walaupun respons kekebalan tidak pernah dievaluasi secara 

struktural untuk antimalaria sejenis chloroquine (mefloquine, 

hydroxychloroquine), maka kewaspadaan serupa bagi individu yang menrima obat 

ini harus dilakukan. RVA dan PCBC jangan diberikan intradermal. 

9) Pencegahan rabies setelah gigitan binatang (profilaksis pasca pajanan) seperti 

berikut: 

a. Pengobatan luka gigitan 

Cara yang paling efektif untuk mencegah rabies yaitu   dengan segera dan 

dengan secara seksama membersihkan luka gigitan atau cakaran binatang 

dengan sabun atau detergen lalu dibasuh dengan air. Luka sebaiknya tidak 

dijahit kecuali dengan alasan kosmetik yang tidak dapat dihindarkan atau 

untuk alasan dukungan jaringan. Bila diperlukan jahitan, dilakukan setelah 

pemberian infiltrasi lokal antiserum (lihat 9b di bawah); jahitan tidak boleh 

terlalu erat dan tidak menghalangi pendarahan dan drainase. 

 

b. Proteksi imunologi spesifik 

Pencegahan imunologis terhadap rabies pada manusia yaitu   dengan 

memberikan Human Rabies Immunoglobulin (HRIG) secepat mungkin setelah 

terpajan untuk menetralisir virus pada luka gigitan, kemudian berikan vaksin 

pada tempat yang berbeda untuk mendapatkan imunitas aktif. Hanya HRIG 

yang diijinkan di Amerika Serikat, sedang  Immunoglobulin (IG) equine 

murni (ERIG) tersedia di negara-negara lain. Dari hasil studi pada binatang 

didapatkan bahwa penyakit pada manusia yang disebabkan Lyssavirus 

kelelawar Australia dapat dicegah dengan pemberian vaksin rabies dan 

imunoglobulin rabies, dan profilaksis pasca paparan direkomendasikan untuk 

orang yang digigit atau dicakar oleh semua jenis kelelawar di Australia, 

sebaliknya vaksin rabies tidak efektif untuk pengobatan lyssavirus kelelawar 

Afrika. 

Imunisasi pasif:  HRIG digunakan dengan dosis tunggal 200 IU/kg BB; 

setengahnya disuntikkan kedalam dan sekitar luka jika memungkinkan, dan 

sisanya diberikan IM. Bila serum binatang yang digunakan, maka intradermal 

atau subkutan harus dilakukan terlebih dahulu untuk mendeteksi sensitivitas 

alergi dan dosisnya harus dinaikkan sampai dengan sebesar 40 IU/kg. 

Vaksin:  Sebaiknya yang dipakai yaitu   HDCV (atau RVA) dalam 5 dosis 1,0 

cc IM pada daerah deltoid. Dosis pertama diberikan segera setelah gigitan 

(pada saat yang sama diberikan dosis tunggal HRIG, dan dosis lainnya pada 

hari ke-3, 7, 14 dan 28-35 hari setelah dosis pertama. (Rute intradermal pada 

banyak tempat selama ini telah banyak digunakan di banyak negara untuk 

tujuan profilaksis pasca paparan, namun cara ini tidak diijinkan di Amerika 

Serikat). Pada individu dengan kemungkinan imunodefisiensi, spesimen serum 

darah harus  diambil setelah pemberian dosis terakhir vaksin dan diperiksa 

untuk melihat titer antibodi rabies. Apabila muncl reaksi sensitisasi setelah 

imunisasi, konsulkan ke Departemen Kesehatan atau Konsultan Penyakit 

Infeksi untuk petunjuk selanjutnya. Bila orang ini  sebelumnya telah 

mendapatkan dosis lengkap imunisasi rabies dengan vaksin yang telah 

 

 433

mendapat lisensi, atau timbul antibodi neutralisasi setelah imunisasi prapajanan 

(liat 9 AB di atas), atau setelah pemberian regimen pasca pajanan, maka hanya 

2 dosis vaksin yang diperlukan, satu dosis diberikan segera dan satu dosis lagi 

diberikan 3 hari kemudian. Dengan pajanan yang hebat (misalnya gigitan di 

kepala) dosis ketiga diberikan pada hari ke-7. HRIG tidak digunakan dalam 

regimen ini.  

c. Hal-hal yang diuraikan berikut  ini yaitu   sebagai petunjuk umum yang harus 

dilakukan dalam upaya profilaksis terhadap rabies dalam berbagai situasi yang 

berbeda: 

- Apabila seseorang  digigit binatang/anjing dan bukan sebab  provokasi, 

dan binatang ini  tidak tertangkap dan di daerah ini  rabies 

menyerang spesies binatang ini , maka kepada korban gigitan 

diberikan HRIG dan vaksin. Gigitan oleh karnivora liar dan kelelawar 

orang ini  dianggap potensial terpajan dengan rabies, kecuali 

dibuktikan negatif dengan pemeriksaan laboratorium. 

- Apabila fasilitas pemeriksaan laboratorium tersedia, maka anjing yang 

menggigigt ini  harus dibunuh segera (dihadiri oleh pemilik dan 

petugas kesehatan) dan diambil otaknya untuk diperiksa dengan teknik FA. 

Hasil pemeriksaan laboratorium ini akan menentukan apakah seseorang 

memerlukan pengobatan anti rabies ataukah tidak. 

- Keputusan untuk memberikan HRIG atau vaksin segera setelah terpajan 

dengan anjing atau kucing, atau selama dilakukan pengawasan terhadap 

binatang ini  (lihat uraian pada seksi 9A3 di atas) didasarkan kepada: 

perilaku binatang ini  selama  dilakukan observasi; apakah di daerah 

ini  ada rabies dan kondisi gigitan (lihat penjelasan di bawah). 

d. Pemberian imunisasi dengan vaksin rabies yang beredar saat ini risiko terkena 

ensefalitis pasca imunisasi sangat kecil sekali; selama ini hanya ada 2 kasus 

transient neuroparalytic yang dlaporkan terjadi di Amerika Serikat. Timbulnya 

reaksi lokal seperti rasa sakit, eritema dan pembengkakan atau gatal di daerah 

swuntikan dilaporkan terjadi pada 25% dari mereka yang menerima 5 dosis 

vaksin1,0 cc. Dan reaksi sistemik sedang seperti sakit kepala, mual, sakit pada 

otot, pusing dan sakit perut dilaporkan terjadi pada 20% penerima vaksin. 

Reaksi ”serum sickness” seperti urtikaria primer gatal di seluruh tubuh dan 

dengan ronchi pada paru-paru jarang dilaporkan terjadi. Namun dilaporkan 6% 

dari orang yang menerima dosis booster profilaksis prapajanan timbul reaksi 

hipersensitivitas 2-21 hari setelah pemberian HDCV. Gejala hipersensitivitas 

ini  berupa timbul ruam seluruh tubuh disertai gatal, urtikaria, arthralgia, 

arthritis, angiodema, nausea, muntah, demam dan malaise. Gejala-gejala ini 

dapat diatasi dengan pemberian antihistamin, responsnya cukup baik; namun 

beberapa kasus memerlukan corticosteroid atau epinephrine. Mereka yang 

terpajan dengan rabies dan menunjukkan reaksi hipersensitivitas seperti 

ini  di atas, pemberian imunisasi harus diteruskan sampai dosis lengkap 

dengan catatan reaksi hipersensitivitas ini  dapat diobati. Hanya 1% dari 

mereka yang menerima dosis booster RVA yang menunjukkan reaksi alergi 

sistemik. Belum pernah dilaporkan adanya reaksi hipersensitivitas yang 

bermakna setelah pemberian HRIG (berasal dari manusia), namun 5-40% dari 

 

 434

mereka yang diberikan antisera yang berasal dari serum binatang menunjukkan 

reaksi hipersensitivitas berupa ”serum sickness”. Globulin imun yang telah 

dimurnikan dan yang beredar saat ini terutama yang dibuat dari serum kuda, 

hanya 1% dari orang yang menerima globulin imun yang menunjukkan reaksi 

hipersensitivitas. Seluruh risiko terhadap kemungkinan timbulnya reaksi 

hipersensitivitas seperti yang diuraikan di atas harus dipertimbangkan dengan 

risiko kemungkinan terkena rabies. 

e. Tatalaksana terhadap luka gigitan binatang diambil dari ”the Eight Report of 

the WHO Expert Committee on Rabies” , tahun 1992 dan dari USPHS Advisory 

Committee on Immunization Practice (MMWR, Rabies Prevention-United 

States, 1999;48 No. RR-1; Januari 1999. Tatalaksana terhadap luka gigitan 

binatang seperti yang diuraikan berikut ini: 

 

Check list untuk Pengobatan terhadap Gigitan Binatang: 

1) Bersihkan dan basuh luka dengan segera (pertolongan pertama). 

2) Bersihkan luka dengan seksama dibawah supervisi medis. 

3) Berikan rabies immunoglobulin dan atau vaksin anti rabies sesuai dengan indikasi. 

4) Berikan profilaksis terhadap tetanus dan berikan pengobatan antibakterial bila 

diperlukan. 

5) Luka jangan dijahit atau ditutup kecuali kalau tidak dapat dihindari. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekiarnya 

1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Kasus wajib dilaporkan di hampir seluruh 

negara bagian dan negara-negara di dunia Kelas 2 A (lihat laporan tentang 

penyakit menular). 

2) Isolasi: Lakukan isolasi kontak terhadap sekret saluran pernafasan selama sakit. 

3) Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap saliva dan barang-barang yang 

tercemar saliva. Walaupun penularan dari penderita kepada petugas yang merawat 

belum pernah dilaporkan terjadi, namun petugas ini  perlu diberikan 

peringatan tentang bahaya penularan dari liur dan pada saat bertugas harus 

memakai sarung tangan karet, pakaian pelindung dan proteksi muka untuk 

menghindari pajanan dari penderita yang batuk ke muka petugas. 

4) Karantina: Tidak perlu. 

5) Imunisasi kontak: Kontak dengan luka terbuka atau mereka yang terpajan dengan 

liur penderita terutama kalau yang terpajan yaitu   selaput lendir, harus menerima 

pengobatan khusus anti rabies (lihat 9A, 9B, di atas). 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Cari dan temukan binatang yang menderita 

rabies serta orang atau binatang lain yang digigit oleh binatang ini . 

7) Pengobatan spesifik: Untuk penderita rabies klinis, dilakukan perawatan suportif 

yang intensif. 

 

C. Upaya Penanggulangan Wabah (Epizootic): Prosedur penanggulangan wabah hanya 

diterapkan pada binatang dan pada kasus sporadic pada manusia: 

1) Membentuk wilayah penanggulangan dibawah otoritas hukum setempat, peraturan 

kesehatan warga  serta peraturan daerah, bekerja sama secara lintas sektoral 

dengan otoritas suaka binatang liar dan otoritas yang mengurusi kesehatan hewan. 

 

 435

2) Lakukan imunisasi terhadap anjing dan kucing dengan biaya dan digerakkan oleh 

pemerintah, intensifikasikan program  imunisasi massal pada pos-pos imunisasi 

sementara atau darurat. Untuk memberi perlindungan terhadap binatang domestik 

lainnya, harus digunakan vaksin yang tepat untuk setiap jenis binatang. 

3) Di daerah perkotaan di Amerika Serikat dan di negara-negara maju lainnya, 

penerapan peraturan yang ketat diberlakukan untuk melakukan penangkapan, 

penahanan serta pembunuhan terhadap anjing-anjing tana pemilik yang berkeliaran 

di jalanan dan terhadap anjing yang tidak diimunisasi dan ditemukan keluar dari 

halaman pemiliknya. Pembatasan populasi anjing dengan pengibiran, sterilisasi 

atau dengan racun terbukti sangat efektif dalam memutus rantai penularan. 

4) Imunisasi terhadap binatang liar dengan memakai   umpan berisi vaksin telah 

berhasil menanggulangi rabies pada populasi rubah di Eropa Barat dan Kanada dan 

saat ini masih dalam tahap uji klinis di Amerika Serikat; uji coba ini diharapkan 

dapat membuktikan efektivitas cara ini dalam menanggulangi penyebaran penyakit 

rabies di area epizootik. 

 

D. Implikasi bencana:  Akan menjadi masalah besar apabila rabies pertama kali muncul 

di suatu wilayah yang belum pernah melaporkan kasus rabies. Dan juga menjadi 

masalah apabila