penyakit menular 19


  rabies merupakan penyait enzootik di daerah dimana banyak binatang 

liar dan anjing liar. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  

1) Di negara-negara bebas rabies, peraturan yang ketat diterapkan kepada angkutan 

umum dan terhadap wisatawan dengan hukum yang berlaku di negara ini . 

Peraturan ini  mewajibkan antara lain dilakukan karantina selama 4-6 bulan, 

pemberian imunisasi terhadap hewan, sertifikasi kesehatan dan sertifikasi asal dari 

hewan, identifikasi mikrochip dari hewan yang diangkut. 

2) Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 436

PETUNJUK PROFILAKSIS PASCA PAJANAN TERHADAP RABIES1)

 

Rekomendasi yang diuraikan di bawah ini hanyalah merupakan pegangan umum saja. Dalam 

menerapkan petunjuk ini, pertimbangkan spesies binatang yang terlibat, keadaan luka gigitan 

dan kondisi pajanan jenis lain, status imunisasi dari binatang dan adanya rabies di wilayah 

ini . Apabila ada pertanyaan tentang perlu tidaknya dilakukan tindakan profilaksis, 

lakukan konsultasi dengan petugas kesehatan setempat, propinsi atau petugas kesehatan Pusat. 

 

Jenis Binatang Penilaian terhadap  

Sifat/Keadaan Binatang 

Rekomendasi Profilaksis Pasca 

Pajanan 

Anjing, kucing dan 

berang-berang 

Sehat dan memungkinkan 

untuk dilakukan observasi 

selama 10 hari 

 

 

 

Menderita rabies atau diduga 

rabies 

 

Tidak diketahui 

Pemberian profilaksis kepada 

manusia jangan dimulai 

sebelum binatang 

menunjukkan gejala klinis 

rabies. *) 

 

Imunisasi segera 

 

 

Konsul petugas kesehatan 

Skunks, racoon, rubah 

dan karniora 

pemakan daging 

lainnya; kelelawar 

Dianggap menderita rabies 

kecuali dengan 

pemeriksaan labratorium 

terbukti negatif **) 

Pertimbangkan pemberian 

imunisasi segera 

Ternak, tikus kecil, 

lagomorphs 

(kelinci), rodentia 

besar (woodchucks 

dan beaver) dan 

binatang menyusui 

lainnya. 

Pertimbangkan secara 

individual. 

Konsultasi dengan petugas 

kesehatan. Gigitan oleh 

bajing, hamster, marmut, 

gerbils, chipmunk, tikus, 

mencit, binatang pengerat 

kecil lainnya, kelinci, hamir 

tidak pernah membutuhkan 

profilaksis pasca pajanan 

dengan anti rabies. 

 

*)  Selama 10 hari masa observasi, segera berikan profilaksis pasca pajanan pada saat terlihat 

tanda-tanda awal rabies pada anjing, kucing dan berang-berang yang telah menggigit  

seseorang. Apabla binatang ini  menunjukkan tandatanda klinis rabies, binatang 

ini  harus segera dibunuh dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. 

 

**) Binatang harus secepat mungkin dibunuh dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. 

Memperpanjang masa observasi tidak dibenarkan. Hentikan pemberian imunisasi apabila 

tes immunofluorescence memberikan hasil negatif. 

 

1)  Diadaptasi dari Rekomendasi pada Immunization Practice Advisory Committee (ACIP), 

MMWR Recommendations and Reports, Vol. 48/No. RR-1; 1999. 

 

 

 437

RAT BITE FEVER      ICD-9 026; ICD-10 A25 

 

Ada 2 jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini, jarang ditemukan di Amerika Serikat, 

masuk dalam terminologi umum dengan sebutan demam gigitan tikus (rat bite fever); yaitu 

streptobacillosis  yang disebabkan oleh Streptobacillus moniliformis (Haverbillia 

multiformis) dan demam spirillary atau demam sodoku disebabkan oleh Spirillum minus 

(minor). Oleh sebab  mereka memiliki  gambaran klinis dan epidemiologis yang serupa, 

maka hanya streptobacillosis yang akan disajikan dengan rinci; secara khusus manifestasi 

klinis dari infeksi Spirillum minus (yang bahkan lebih jarang terjadi di Amerika Serikat) 

disajikan dalam bentuk ringkasan. 

 

 

I. STREPTOBACILLOSIS   ICD-9 026.1; ICD-10 A25.1 

(Streptobacillary fever; Haverhill fever, Epidemic arthritic erythema, Rat bite fever 

disebabkan oleh Streptobacilus moniliformis) 

 

1. Identifikasi 

 Gejala klinis penyakit ini berupa suatu serangan yang mendadak berupa demam dan 

menggigigil, sakit kepala dan nyeri otot dalam kurun waktu 1-3 hari diikuti dengan ruam 

makulopapuler yang umumnya tampak jelas pada anggota badan. Ruam ini dapat pula 

berbentuk petechial, purpuric atau pustular. Satu atau lebih persendian besar kemudian 

menjadi bengkak, merah dan sakit. Biasanya ada riwayat gigitan tikus, dalam 10 hari 

sembuh secara normal.  Penyakit ini sering kambuh. Dapat terjadi Bacterial endocarditis, 

pericarditis, parotitis, tenosynovitis dan focal abscess jaringan lunak atau otak pada kasus 

yang tidak diobati, dengan CFR antara 7-10%. Konfirmasi labratorium ditegakkan dengan 

isolasi dari organisme Pemicu  , dengan inokulasi spesimen yang berasal dari lesi primer, 

kelenjar limfe, darah, cairan sendi, atau nanah kedalam media bakteriologik yang tepat 

atau diinokulasi pada hewan laboratorium (marmut atau mencit yang secara alamiah tdak 

terinfeksi). Serum antibodi dapat dideteksi dengan tes aglutinasi. 

 

2. Pemicu  penyakit: streptobacillus moniliformis. 

 

3. Distribusi penyakit: Tersebar di seluruh dunia, namun jarang ditemukan di Amerika 

Utara dan Selatan dan di sebagian besar negara-negara Eropa. Kasus yang belakangan ini 

terjadi di Amerika Serikat yaitu   akibat gigitan tikus laboratorium dan jarang sekali 

sebab  tikus peliharaan. 

 

4. Reservoir: Biasanya yang berperan sebagai reservoir yaitu   tikus yang terinfeksi, jarang 

sekali binatang lain (bajing, cerpelai, gerbil [sejenis tikus]).  

 

5. Cara penularan: Infeksi ditularkan melalui kencing atau sekret mulut, hidung atau sacus 

conjunctivitis  dari binatang yang terinfeksi, lebih sering ditularkan melalui gigitan. Secara 

sporadis ditemukan kasus tanpa riwayat gigitan. Darah dari hewan percobaan 

laboratorium dapat menginfeksi manusia. Tidak harus terjadi kontak langsung dengan 

tikus; infeksi terjadi pada orang-orang yang bekerja atau tinggal pada bangunan yang 

penuh tikus. Pada KLB, susu atau air yang terkontaminasi dicurigai sebagai perantara 

infeksi. 

 

 438

6. Masa inkubasi: Dari 3 sampai 10 hari dan jarang lebh lama dari itu. 

 

7. Masa penularan: Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Tidak ada informasi. 

 

9. Cara-cara penanggulangan 

A. Cara-cara pencegahan: Tempat tinggal yang bebas tikus atau pengurangan populasi 

tikus. Penicillin atau doxycycine dapat digunakan untuk pengobatan profilaksis setelah 

gigitan tikus. 

 

B. Pengawasan pnderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada otoritas kesehatan setempat: Kewajiban untuk melaporkan adanya 

KLB, tidak diperlukan laporan kasus, Kelas 4 (lihat laporan tentang penyakit 

menular). 

2) Isolasi: Tidakdiperlukan kewaspadaan khusus. 

3) Disinfeksi serentak: Tidak perlu. 

4) Karantina: Tidak perlu. 

5) Imunisasi kontak: Tidak perlu. 

6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: Hanya untuk menentukan apakah ada 

kasus tambahan yang tidak diketahui. 

7) Pengobatan spesifik: Berikan Penicillin atau tetracycline selama 7-10 hari. 

 

C. Penanggulangan Wabah: Kalau ditemukan kasus yang mengelompok perlu 

dilakukan pencarian adanya sumber penularan common source, kemungkinan 

disebabkan oleh makanan dan air yang terkontaminasi. 

 

D. Implikasi Bencana: Tidak ada. 

 

E. Tinakan lebih lanjut : Tidak ada. 

 

 

 

II. SPIRILLOSIS     ICD-9 026.0; ICD-10 A25.0 

 (Spirillary fever, Sodoku, Rat bite fever disebabkan oleh Spirillum minus) 

 

Rat bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus merupakan bentukumum dari rat bite 

fever sporadis di Asia, khususnya di Jepang. Pada kasus yang tidak diobati, CFR sekitar 

10%. Secara klinis, penyakit Spirillum minus berbeda dengan Streptobacillary fever pada 

gejala arthritis yang jarang dan bentuk ruam yang berbeda, kemerahan atau keunguan. 

Masa inkubasi berlangsung selama 1-3 minggu dan luka gigitan yang tadinya sudah 

sembuh akan mengalami reaktivasi pada saat gejala klinis muncul. Cara-cara pemeriksaan 

laboratorium yang tepat sangat penting untuk diferensiasi; inokulasi binatang digunakan 

untuk isolasi spirillum. 

 

 

 

 439

RELAPSING FEVER     ICD-9 087; ICD-10 A68 

DEMAM BOLAK-BALIK 

 

1. Identifikasi 

 Penyakit spirochetal sistemik dengan periode demam berlangsung selama 2-9 hari diikuti 

dengan periode tanpa demam selama 2-4 hari; jumah kekambuhan bervariasi dari 1 

sampai 10 kali bahkan lebih. Setiap periode demam berakhir dengan krisis. Durasi total 

penyakit yang ditularkan oleh tungau (louseborne disease) rata-rata 13-16 hari, sedang  

untuk penyakit yang dituarkan oleh kutu (tickborne disease) biasanya lebih lama. Ruam 

petechiae yang bersifat  sementara biasanya muncul pada periode awal demam. CFR total 

pada kasus tidak diobati antara 2%-10%. 

 Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya agen infeksius pada preparat lapangan 

pandang gelap dari darah segar atau dengan pewarnaan darah tebal atau tipis, dengan 

inokulasi  intraperitonal dari tikus laboratorium atau mencit dengan darah yang diambil 

pada saat periode demam atau dengan kultur darah pada media khusus. 

 

2. Pemicu  penyakit 

 Untuk penyait relapsing fever yang ditularkan oleh tungau (louseborne) disebabkan oleh 

Borrelia recurrentis, sejenis spirochaeta gram negatif. sedang  relapsing fever yang 

ditularkan oleh kutu (tickborne) disebabkan oleh berbagai strain yang berbeda. Perbedaan 

strain ini lebih pada saat dilakukan isolasi atau jenis vektor daripada perbedaan biologis 

yang inheren pada organisme Pemicu . Misalnya strain yang diisolasi selama relaps 

memperlihatkan perbedaan sifat antigenik dibandingkan dengan strain yang diisolasi 

beberapa saat sebelum serangan.  

 

3.  Distribusi penyakit 

 Karakteristik penyakit ini muncul sebagai epidemi apabila ditularkan oleh tungau; 

sedang  ebrsifat endemis apabila ditularkan melalui kutu. Louseborne relapsing fever 

terjadi di daerah yang terbatas di Asia, Afrika Timur (Ethiopia dan Sudan), daerah dataran 

tinggi d Afrika Tengah dan Amerika Selatan. Tickborne disease merupakan penyakit 

endemis di seluruh Afrika tropis; beberapa fokus ditemukan di Spanyol, Afrika Utara, 

Saudi Arabia, Iran, India dan sebagian Asia tengah, begitu pula di Amerika Utara dan 

Selatan. Kasus terjadi sporadis pada manusia dan sesekali muncul KLB di sebagian barat 

Amerika Serikat dan Kanada bagian Barat. 

 

4. Reservoir: Untuk B. Recurrentis reservoirnya yaitu   manusia, sedang  untuk tickborne 

relapsing fever borreliae, yang berperan sebagai reservoir yaitu   binatang pengerat liar 

dan kutu argasid (lunak) melalui penularan transovarian. 

 

5. Cara penularan 

 Ditularkan melalui vektor (vectorborne); tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. 

Louseborne relapsing fever didapat oleh sebab  orang ini  menghancurkan tungau 

yang terinfeksi, Pediculus humanus, pada saat tungau itu menggigit sehingga mencemari 

luka atau cairan sendi dari kutu argasid. Jenis argasid ini  terutama yaitu   

Ornithodoros bermsi dan O. Turicata di Amerika Serikat, O. Rudis dan O. Talafe di 

Amerika Tengah dan Selatan, O. Moubata dan O. Hispanica di Afrika dan o. Tholozani 

 

 440

Timur Tengah dan Timur Dekat. Kutu-kutu ini biasanya makan pada waktu malam hari, 

mereka makan secara cepat dan kemudian meninggalkan host-nya; mereka memiliki  

masa hidup yang panjang yaitu selama 2-5 tahun dan tetap infektif selama masa hidupnya. 

 

6. Masa inkubasi: Dari 5 sampai 15 hari, biasanya 8 hari. 

 

7. Masa penularan 

 Tungau (louse) menjadi infektif 4-5 hari setelah menghisap darah dari orang yang 

terinfeksi dan tetap infektif selama hidupnya (20-40 hari). Kutu (tick) yang terinfeksi 

dapat hidup beberapa tahun tanpa makan; mereka tetap infektif selama hidupnya dan 

terjadi penularan secara transovarian kepada keturunannya. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap penyakt ini. Lama dan tingkat 

imunitas setelah muncul gejala klinis tidak diketahui; infeksi ulangan dapat terjadi. 

 

9. Cara-cara penanggulangan 

A. Cara-cara pencegahan 

1) Berantas tungau dengan cara-cara yang sama untuk louseborne typhus fever (lhat 

typhus fever, Epidemic louseborne, 9 A). 

2) Berantas kutu dengan upaya yang sama yang dilakukan untuk Rocky mountain 

spotted fever, 9 A. Habitat manusia dengan lingkungan banyak kutu dapat menjadi 

masalah dan upaya pembasmian penyakit menjadi suit. Struktur bangunan yang 

tidak dapat dimasuki tikus sangat penting untuk mencegah kolonisasi tikus beserta 

kutu lunaknya. Sebagai upaya dalam pencegahan dan pemberantasan penyait ini, 

penyemprotan dengan acaricidies  yang telah diijinkan beredar seperti diazinon, 

chlorpyrifos, propoxur atau permethrin dapat dicoba. 

3) Gunakan paya perlindungan diri sebagai pengganti repellent dan permethrin pada 

baju dan tempat tidur untuk orang yang terpajan dengan daerah endemis. 

4) Antibiotika untuk chemoprophylaxis dengan tetracycline dapat digunakan setelah 

terpajan (gigitan serangga) apabla diperkirakan risiko untuk mendapatkan infeksi 

tinggi.  

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporkan kepada instansi kesehatan setempat: Luoseborne relapsing fever wajib 

dilaporkan sebab  termasuk disease under surveillance oleh WHO, Kelas 1 A; 

sedang  untuk tickborne disease hanya di daerah tertentu saja wajib dilaporkan, 

Kelas 3B (lihat pelaporan tetang penyakit menular). 

2) Isolasi: Lakukan kewaspadaan universal terhadap darah/cairan tubuh. Penderita, 

beserta pakaiannya dan semua kontak serumah dan lngkungan sekitarnya harus 

dibebaskan dari tungau dan kutu. 

3) Disinfeksi serentak: Tidak perlu dilakukan disinfeksi apabila upaya disinfeksi telah 

dilakukan dengan tepat. 

4) Karantina: Tidak perlu. 

5) Imunisasi kontak: Tidak perlu. 

6) Investigasi konak dan sumber infeksi: Untuk setiap tickborne, cari dan temukan 

kasus-kasus tambahan dan sumber infeksi; sedang  untuk setiap kasus 

 

 441

louseborne, taburkan preparat lousicidal yang tepat dengan cara yang tepat kepada 

kontak yang terkena infestasi kutu (lihat Pediculosis, 9B6 dan 9B7). 

7) Pengobatan spesifik: Dengan tetracycline. 

 

C. Cara-cara Penanggulangan Wabah 

Untuk louseborne relapsing fever, apabila sistem pencatatan dan pelaporannya baik 

dan jumlah kasus terlokalisir maka taburkan bubuk yang mengandung permethrin 1% 

atau lakukan penyemprotan dengan mengunakan insektisida yang memunyai efek 

residual terhadap kontak dan pakaian yang mereka pakai. Dan lakukan juga 

penyemprotan dengan permethrin sebanyak 0,003 – 0,3 kg/hektar (2,47 acre) terhadap 

lingkungan di sekitar penderita. Bagi warga  yang tinggal di daerah endemis 

sediakan fasiltas untuk mandi dan mencuci pakaian secukupnya dan lakukan kegiatan 

active survellance. Apabila infeksi menyebar, lakukan penaburan permethrin secara 

sistematis kepada semua anggota warga  sedang  untuk tickborne relapsing 

fever, permethrin atau arcaricide lainya ditaburkan di wilayah dimana kutu sebagai 

vektor penyakit ini diperkirakan ada di wilayah ini . Agar sustainabilitas upaya 

pemberantasan tercapai maka lakukan upaya-upaya di atas selama masa penularan 

dengan siklus setiap bulan sekali. 

 

D. Implikasi Bencana 

Di wilayah dimana infestasi tungau (louse) sangat padat maka potensi terjadi 

penularan sangat besar. KLB sering terjadi di wilayah yang mengalami peperangan, 

kelaparan dan di wilayah dengan situasi dimana terjadi peningkatan pediculosis.  

Misalnya di wilayah dengan hunian yang padat, wilayah dengan warga  yang 

mengalami malnutrisi disertai dengan sanitasi lingkungan yang jelek. 

 

E. Tindakan lebih lanjut  

1) Apabila di suatu wilayah terjadi KLB louseborne relapsing fever, dimana 

sebelumnya di wilayah ini  belum pernah dilaporkan ada kasus maka harus 

segera dilaporkan kepada WHO dan disampaikan kepada negara tetangga bahwa 

telah terjadi KLB penyakit ini. 

2) Walaupun louseborne relapsing fever tidak masuk dalam kategori penyakit yang 

tercantum didalam IHR yang belum direvisi, namun seluruh tindakan yang 

diuraikan pada seksi 9E1 di atas harus dilakukan oleh sebab  penyakit ini masuk 

dalam daftar disease under surveillance yang tetapkan oleh WHO. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 442

PENYAKIT PERNAFASAN, VIRUS AKUT (TIDAK TERMASUK INFLUENZA) 

(Rhinitis virus akut, Faringitis, Laringitis) 

 

 

Beberapa jenis penyakit saluran pernafasan akut yang diketahui dan diasumsikan disebabkan 

oleh virus, dikelompokkan dalam kelompok ini. Berdasarkan gejala klinis dan klasifikasi 

taksonomi menurut CIOMS, maka infeksi pada saluran pernafasan bagian atas (di atas 

epiglottis), dapat dikategorikan sebagai rinitis virus akut atau faringitis virus akut (commond 

cold, infeksi saluran pernafasan atas) sedang  infeksi yang mengenai saluran pernafasan 

bagian bawah (dibawah epiglottis) disebut sebagai croup (laringotrakeitis), trakeobronkitis 

virus akut, bronchitis, bronkiolitis atau pneumonia virus akut. Sindroma saluran pernafasan 

dapat disebabkan oleh berbagai macam jenis virus yang masing-masing dapat memicu  

penyakit saluran pernafasan akut dengan spektrum luas dimana etiologi penyakit pada anak-

anak dan orang dewasa berbeda. 

Penyakit yang etiologinya diketahui, memiliki  karakteristik epidemiologis yang sama, 

seperti reservoir dan cara penularan. Sebagian besar virus-virus ini menginvasi seluruh bagian 

saluran pernafasan, sedang  yang lainnya memiliki  predileksi menyerang bagian tubuh 

tertentu.  Beberapa jenis infeksi virus dapat menjadi faktor predisposisi bagi terjadinya 

komplikasi infeksi bakteri. Morbiditas dan mortalitas penyakit saluran pernafasan akut sangat 

tinggi pada kelompok anak-anak. sedang  pada orang dewasa, insidensi penyakit ini relatif 

tinggi dan memicu  absenteisme dengan konsekuensi kerugian di bidang ekonomi, 

sehingga penyakit saluran pernafasan akut merupakan masalah  kesehatan warga  yang 

penting di seluruh dunia. Sebagai salah satu kelompok penyakit, penyakit saluran pernafasan 

akut merupakan salah satu Pemicu  kematian utama dari penyakit-penyakit infeksi.  

Beberapa jenis infeksi lain saluran pernafasan dimasukkan kedalam satu entitas penyakit yang 

jelas dan akan diuraikan dalam bab terpisah. Oleh sebab  manifestasi klinis dan epidemiologi 

penyakit ini  sangat berbeda dan selalu ada  hubungan dengan infeksi tunggal, misalnya 

influenza, psittacosis, sindroma hantavirus paru, pneumonia klamidia, faringitis vesikuler 

(herpangina) dan mialgia epidemika (pleurodinia). Khusus pada anak-anak, influenza 

dimasukkan kedalam golongan penyakit saluran pernafasan akut. 

Gejala-gejala yang muncul pada infeksi saluran pernafasan atas, terutama faringotonsilitis, 

dapat juga disebabkan oleh bakteri, dimana streptokokus grup A yaitu   Pemicu  yang paling 

umum. Infeksi harus dibedakan dengan infeksi bakteri atau mikroba lain. Oleh sebab  itu 

untuk infeksi bukan oleh virus telah tersedia obat antimikroba spesifik. Contohnya, walaupun 

faringotonsilitis oleh virus sangat sering terjadi namun infeksi streptokokus grup A sebaiknya 

dikesampingkan terlebih dahulu dengan melakukan tes antigen streptokokus cepat dan kultur, 

terutama pada anak-anak di atas usia 2 tahun. Disamping itu, pada saat terjadi KLB non 

streptokokus perlu dilakukan upaya untuk mengidentifikasi Pemicu  penyakit secara klinis 

dan dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat dengan sample representatif untuk 

menyisihkan kemungkinan penyakit lain (misalnya mikoplasma pneumonia, pneumonia yang 

disebabkan oleh klamidia, legionellosis dan demam Q yang apabila diberi pengobatan 

spesifik, cukup efektif). 

 

 

 

 

 

 443

I. RHINITIS VIRUS AKUT – THE COMMOND COLD ICD-9 460; ICD-10 J00 

 (Rhinitis, Coryza [acute]) 

 

1. Identifikasi 

 yaitu   penyakit infeksi catarrhal dari saluran pernafasan bagian atas yang memiliki  

ciri-ciri coryza, bersin,  lakrimasi, iritasi nasofaring, menggigil dan malaise yang 

berlangsung selama 2-7 hari. Demam jarang terjadi pada anak-anak usia lebih dari 3 tahun 

dan juga jarang pada orang dewasa. Tidak ada kematian yang dilaporkan, namun  tingkat 

absenteisme yang tinggi di tempat kerja atau sekolah menjadi sangat penting sebab  

mempengaruhi hasil dan produktivitas kerja serta absensi di sekolah; penyakit ini bisa 

disertai dengan laringitis, trakeitis atau bronkitis dan bisa terjadi komplikasi yang serius 

serta sinusitis dan otitis media. Jumlah sel darah putih biasanya normal dan flora bakteri 

pada saluran pernafasan biasanya dalam batas normal jika tidak terjadi komplikasi. 

 Dalam suatu penelitian dan dari hasil pemeriksaan laboratorium dengan kultur sel atau 

kultur organ dari sekret hidung ditemukan virus pada 20-35% kasus. Dengan melihat 

gambaran epidemiologis dan gambaran klinis serta manifestasi lain yang khas dari 

commond cold akan mempermudah untuk membedakan penyakit ini dengan penyakit 

yang mirip yang disebabkan oleh racun, alergi, rangsangan fisik atau psikologis.  

 

2. Pemicu  Infeksi 

 Rhinovirus, dikenal ada lebih dari 100 serotipe, yaitu   Pemicu  commond cold pada 

orang dewasa; sekitar 20-40% kasus commond cold disebabkan virus ini, terutama pada 

musim gugur. sedang  Coronavirus, seperti 229E, OC43 dan B814 merupakan 

Pemicu  sekitar 10-15% dari commond cold dan influenza sebagai Pemicu  sekitar 10-

15% dari commond cold pada orang dewasa; virus ini menonjol pada musim dingin dan 

awal musim semi, pada saat prevalensi rhinovirus rendah. Virus saluran pernafasan lain 

juga diketahui dapat memicu  commond cold pada orang dewasa. Pada bayi dan 

anak-anak, virus parainfluenza, Respiratory syncytial viruses (RSV), influenza, 

adenovirus, enterovirus tertentu dan coronavirus memicu  penyakit seperti commond 

cold. Hampir setengah dari commond cold belum diketahui etiologinya. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Tersebar di seluruh dunia, baik bersifat endemis maupun muncul sebagai KLB. Di daerah 

beriklim sedang, insidensi penyakit ini meningkat di musim gugur, musim dingin dan 

musim semi; di daerah tropis, insidensi penyakit tinggi pada musim hujan. Sebagian besar 

orang, kecuali mereka yang tinggal di daerah dengan jumlah warga  sedikit dan 

terisolasi, bisa terserang satu hingga 6 kali setiap tahunnya. Insidensi penyakit tinggi pada 

anak-anak di bawah 5 tahun dan akan menurun secara bertahap sesuai dengan 

bertambahnya umur. 

 

4. Reservoir: - Manusia. 

 

5. Cara Penularan 

 Diduga melalui kontak langsung atau melalui droplet; yang lebih penting lagi; penularan 

tidak langsung dapat terjadi melalui tangan dan barang-barang yang baru saja 

terkontaminasi oleh kotoran hidung dan mulut dari orang yang terinfeksi.  

 

 444

 Rhinovirus, RSV dan kemungkinan virus-virus lainnya ditularkan melalui tangan yang 

terkontaminasi dan membawa virus ini ke membran mukosa mata dan hidung.  

 

6. Masa Inkubasi: Antara 12 jam sampai dengan 5 hari, biasanya rata-rata 48 jam bervariasi 

sesuai dengan Pemicu  penyakit. 

 

7. Masa Penularan: Sukarelawan yang dipajan dengan sekret hidung penderita, 24 jam 

sebelum onset dan 5 hari sesudah onset akan menderita sakit. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Setiap orang rentan terhadap penyakit ini. Infeksi tanpa gejala dan infeksi yang abortive 

sering terjadi, frekuensi orang sehat yang menjadi carrier tidak diketahui dengan jelas 

namun  jarang ada carrier untuk jenis virus tertentu, misalnya seperti rhinovirus. 

Berulangnya serangan penyakit kemungkinan besar sebab  berkembang biak dan 

meningkatnya jumlah virus, namun  bisa juga sebab  imunitas homolog yang terbentuk 

terhadap serotipe yang berbeda dari virus yang sama bertahan dalam waktu yang pendek 

atau sebab  sebab lain. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan 

1) Lakukan penyuluhan/beri informasi kepada warga  mengenai upaya 

kebersihan perorangan seperti sering mencuci tangan, menutup mulut ketika batuk 

dan bersin, dan pembuangan discharge dari mulut dan hidung dengan cara yang 

saniter. 

2) Bila memungkinkan, Hindari jangan sampai berjejal di ruang keluarga, tempat 

tidur, di tempat-tempat seperti barak dan kabin kapal. Sediakan ventilasi yang 

cukup. 

3) Vaksin adenovirus oral terbukti efektif terhadap infeksi adenovirus 4, 7 dan 21 

yang menyerang personil militer, namun  tidak dianjurkan pemberiannya untuk 

warga  sipil sebab  rendahnya insidensi dari infeksi virus yang spesifik. 

4) Hindari merokok di rumah, dimana ada banyak anak-anak. sebab  risiko terkena 

pneumonia akan meningkat bila mereka menjadi perokok pasif. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat, laporan resmi tidak diperlukan, Kelas 

5 (lihat tentang laporan penyakit menular). 

2) , 3), 4), 5), 6), dan 7), Isolasi, Disinfeksi serentak, Karantina, Imunisasi kontak, 

Investigasi kontak dan sumber infeksi, Pengobatan khusus: Lihat bagian II, 9B2 

sampai 9B7 di bawah. 

 

C, D dan E:  Upaya penanggulangan wabah, Implikasi bencana dan Tindakan 

lebih lanjut : Lihat bagian II, 9C, 9D dan 9E di bawah. 

 

 

 

 445

II.  PENYAKIT SALURAN PERNAFASAN AKUT DENGAN DEMAM (ACUTE 

FEBRILE RESPIRATORY DISEASE)         ICD-9 461-466; 480; ICD-10 J01-J06; J12 

 (Tidak termasuk Faringitis Streptokokus, q.v. J02.0) 

 

 

1. Identifikasi 

 Penyakit yang disebabkan oleh virus pada saluran pernafasan ditandai dengan demam dan 

disertai satu atau lebih reaksi sistemik, seperti menggigil/kedinginan, sakit kepala, 

malaise, dan anoreksi; kadang-kadang pada anak-anak ada gangguan gastrointestinal. 

Tanda-tanda lokal juga terjadi di berbagai lokasi pada saluran pernafasan; bisa hanya satu 

gejala atau kombinasi, seperti rhinitis, faringitis atau tonsillitis, laringitis, laringotrakeitis, 

bronkitis, bronkiolitis, pneumonitis atau pneumonia. Mungkin juga terjadi konjungtivitis. 

Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis biasanya berkurang sesudah 2-5 hari tanpa 

komplikasi; namun Bagaimanapun, bisa terjadi komplikasi sinusitis bakteriil, otitis media 

atau yang jarang sekali terjadi yaitu pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. 

 Jumlah sel darah putih dan flora bakteri pada saluran pernafasan dalam batas normal, 

kecuali jika terjadi komplikasi. Pada bayi, akan sulit membedakannya dengan pneumonia, 

sepsis dan meningitis. Diagnosa spesifik ditegakkan dengan isolasi etiologi penyakit dari 

sekret saluran pernafasan yang ditanam pada kultur sel yang tepat atau pada kultur organ.  

Diagnosa juga ditegakkan dengan melakukan identifikasi dari antigen virus pada sel 

nasofaring dengan tes FA, ELISA dan RIA, dan atau adanya kenaikan titer antibodi dari 

pasangan sera. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Virus parainfluenza tipe 1, 2, 3 dan jarang tipe 4; virus saluran pernafasan sinsitial 

(respiratory Syncytial Virus, RSV); adenovirus, terutama tipe 1-5, 7, 14 dan 21; 

rhinovirus, coronavirus tertentu; coxsackievirus grup A dan B tipe tertentu dan echovirus 

diperkirakan sebagai Pemicu  dari penyakit-penyakit demam saluran pernafasan akut. 

 Virus influenza (lihat Influenza) dapat memberikan gambaran klinis yang sama, terutama 

pada anak-anak. Beberapa jenis virus ini memiliki  tendensi lebih besar memicu  

penyakit yang lebih parah; yang lainnya memiliki  predileksi menyerang kelompok 

umur tertentu.  

 RSV, sebagai virus Pemicu  penyakit saluran pernafasan utama pada bayi, insidensi 

penyakit ini paling tinggi pada bayi sampai usia 2 tahun; ia juga merupakan etiologi utama 

dari bronkiolitis dan memicu  pneumonia, croup, bronkitis, otitis media dan 

penyakit-penyakit demam saluran pernafasan atas. Virus pada influenza diketahui sebagai 

Pemicu  utama dari croup dan dapat juga memicu  bronkitis, pneumonia, 

bronkiolitis dan penyakit-penyakit demam saluran pernafasan pada anak-anak. RSV dan 

virus parainfluenza bisa memicu  penyakit yang memberikan gejala pada orang 

dewasa, terutama orang tua dan orang-orang dengan debilitas. Adenovirus sebagai 

Pemicu  berbagai bentuk penyakit saluran pernafasan; tipe 4, 7 dan 21 yaitu   Pemicu  

umum dari penyakit saluran pernafasan akut pada calon prajurit yang tidak diimunisasi; 

pada bayi, adenovirus yaitu   Pemicu  penyakit paling agresif yang dapat memicu  

kematian yang signifikan. 

 

 

 

 446

3.  Distribusi Penyakit 

 Tersebar di seluruh dunia. Penyakit ini muncul dengan pola musiman di daerah beriklim 

sedang, dengan insidensi tertinggi pada musim gugur dan musim salju, terkadang juga 

pada musim semi. Di daerah tropis, infeksi saluran pernafasan lebih sering terjadi pada 

musim dingin dan basah. Pada warga  dengan jumlah warga  besar, beberapa jenis 

virus muncul memicu  penyakit secara konstan, biasanya dengan sedikit pola 

musiman (misalnya: adenovirus tipe 1); yang lainnya cenderung muncul sebagai KLB 

yang jelas (misalnya RSV).  

 Insidensi tahunan biasanya tinggi, terutama pada bayi dan anak-anak, dengan 2-6 episode 

tiap anak per tahun dan tergantung dari jumlah mereka yang rentan dan virulensi dari 

Pemicu  penyakit. Selama musim gugur, musim salju dan musim semi, angka serangan 

(attack rate) untuk anak-anak prasekolah kira-kira 2% per minggu, bandingkan dengan 

1% per minggu untuk anak-anak usia sekolah dan 0,5% pada orang dewasa. Dalam 

keadaan lingkungan dan kondisi hospes tertentu, infeksi oleh virus bisa menyerang 

setengah dari jumlah warga  dalam waktu beberapa minggu (misalnya KLB adenovirus 

tipe 4 atau 7 yang terjadi pada calon prajurit). Di AS, 2/3 dari semua bayi akan terinfeksi 

RSV dalam waktu 12 bulan, 1/3 dari mereka akan berkembang menjadi penyakit saluran 

pernafasan bagian bawah. Dari keseluruhan bayi yang terinfeksi RSV ini, 2,5% akan 

dirawat di rumah sakit dan 1/1.000 bayi akan meninggal. 

 

4.  Reservoir 

 Manusia. Banyak jenis virus yang sudah dikenal memicu  infeksi tanpa gejala; 

adenovirus menjadi laten di tonsil dan adenoid. Beberapa jenis virus dari kelompok yang 

sama memicu  infeksi yang sama pada banyak spesies binatang namun  bukan 

merupakan ancaman bagi manusia. 

 

5. Cara-cara Penularan  

 Kontak langsung melalui mulut dan droplet; atau penularan terjadi sebab  kontak 

langsung melalui tangan, saputangan, peralatan makan atau benda-benda lain yang baru 

saja terkontaminasi oleh discharge saluran pernafasan dari orang yang terinfeksi. Virus 

yang dikeluarkan melalui tinja, termasuk enterovirus dan adenovirus, bisa ditularkan 

melalui jalur fekal-oral. KLB yang disebabkan oleh adenovirus tipe 3, 4 dan 7 pernah 

terjadi sebab  penularan yang terjadi di kolam renang. 

 

6. Masa inkubasi: - Dari 1 – 10 hari. 

 

7. Masa Penularan 

 Masa penularan berlangsung beberapa saat sebelum dan pada masa aktif dari penyakit ini; 

hanya sedikit yang diketahui mengenai masa penularan pada infeksi subklinis atau laten. 

Infeksi RSV pada bayi, virus sangat jarang bertahan selama beberapa minggu atau lebih 

sesudah hilangnya gejala klinis. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Penyakit ini lebih sering menyerang bayi, 

anak-anak dan orang tua dan penyakit pada usia ini biasanya lebih parah.  Infeksi akan 

merangsang Terbentuknya antibodi spesifik dan biasanya cepat hilang. Reinfeksi oleh 

 

 447

RSV dan virus parainfluenza sering terjadi, namun biasanya ringan. Orang-orang yang 

menderita penyakit jantung, paru-paru atau sistem imunitas memiliki  risiko terkena 

penyakit dengan gejala yang lebih parah. 

 

9. Kerentanan dan Kekebalan 

A. Upaya pencegahan 

Lihat bagian I, 9A, pada Rhinitis akut di atas. Bayi dan anak-anak memiliki  risiko 

lebih tinggi terkena komplikasi penyakit yang disebabkan oleh RSV, yaitu bayi dan 

anak dibawah usia 2 tahun dengan penyakit paru kronis yang sedang mendapatkan 

pengobatan untuk penyakit parunya dalam waktu 6 bulan pada musim penularan RSV 

serta bayi prematur yang lahir pada usia kehamilan 32-35 minggu. Bayi-bayi yang 

memiliki  risiko tinggi ini akan terlindungi dari infeksi RSV bila diberi 

immunoglobulin RSV intravena (RSV-IGIV). Pemberian palivizumab, preparat 

antibodi monoclonal RSV yang diberikan kepada bayi secara intra muskuler, 

mengurangi jumlah bayi yang dirawat sebab  infeksi RSV di rumah sakit hingga 

separohnya. Penting untuk diketahui, bahwa pemberian RSV-IGIV merupakan 

kontraindikasi dan palivizumab tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada 

orang-orang dengan kelainan jantung kongenital sianotik. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Laporan wajib diberikan bila terjadi 

epidemi, tidak ada kasus individu yang perlu dilaporkan, kelas 4 (lihat tentang 

laporan penyakit menular). 

2) Isolasi: Isolasi kontak bisa dilakukan pada bagian Anak di rumah sakit. Di luar 

rumah sakit, penderita sebaiknya menghindari kontak langsung dan atau tidak 

langsung dengan anak-anak, orang dewasa dengan debilitas, orang tua atau orang 

yang menderita penyakit lain. 

3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap peralatan makan dan minum; 

pembuangan discharge hidung dan mulut dengan cara saniter. 

4) Karantina: Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak selalu dilakukan.  

7) Pengobatan spesifik: Tidak ada. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional tidak 

disarankan; antibiotika hanya diberikan kepada penderita faringitis yang 

disebabkan oleh streptokokus grup A dan kepada pasien dengan komplikasi 

bakteriil yang jelas seperti otitis media, pneumonia atau sinusitis. Tidak ada 

consensus yang sama tentang manajemen yang tepat bagi bayi dengan infeksi 

RSV, terutama dalam hal pemberian ribavirin aerosol. 

Dari sejumlah penelitian yang dilakukan di AS dan Kanada, tidak ada hasil yang jelas 

berupa perbaikan klinis pada pemberian ribavirin aerosol kepada bayi dengan infeksi 

RSV baik yang dirawat dengan bantuan ventilasi maupun tidak. Obat batuk, 

dekongestan dan antihistamin dipertanyakan efektivitasnya dan bisa berbahaya 

terutama pada anak-anak. 

 

 

 

 

 448

C. Penanggulangan wabah: Tidak ada tindakan yang cukup efektif. Beberapa kejadian 

infeksi nosokomial dapat dicegah dengan hanya melakukan prosedur umum 

pencegahan infeksi, seperti cuci-tangan yang benar; prosedur lain seperti iradiasi 

dengan ultraviolet, pengendalian aerosol dan pengendalian debu tidak terbukti 

bermanfaat. Hindari kerumuman orang (lihat seksi I, 9A2, di atas). 

 

D. Implikasi bencana:  Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO. 

 

 

 

RIKETSIOSES, DITULARKAN KUTU   ICD-9 082; ICD-10 A77 

(Spotted fever group, grup Demam Bercak) 

 

Rikettsioses yaitu   kelompok penyakit yang secara klinis sama dan disebabkan oleh rikettsia. 

Penyakit-penyakit ini ditularkan oleh kutu iksodid  (keras), yang tersebar di seluruh dunia; 

spesies kutu sangat berbeda tergantung pada daerah geografisnya. Untuk semua jenis penyakit 

demam riketsia ini, upaya pemberantasannya sama, tetrasiklin dan kloramfenikol efektif 

untuk mengobati penyakit ini. 

Tes enzyme immunoassay dan tes IFA pada umumnya memberi hasil positif pada minggu 

kedua; tes CF yang memakai   antigen grup spesifik demam bercak memberikan hasil 

positif beberapa hari kemudian. Tes Weil-Felix memakai   Proteus OX-19 dan antigen 

Proteus OX-2 kurang spesifik dan sebaiknya dikonfirmasikan dengan tes serologis yang lebih 

spesifik. 

 

I. DEMAM BERCAK ROCKY MOUNTAIN  ICD-9 082; ICD-10 A77.0 

(Tifus kutu Amerika Utara, Demam Bercak Dunia Baru, Demam Tifus yang ditularkan 

oleh kutu, Demam Sao Paulo) 

 

1. Identifikasi 

 Ciri penyakit demam bercak kelompok Riketsia ini ditandai dengan onset yang tiba-tiba 

dari demam ringan hingga demam tinggi, biasanya berlangsung selama 2-3 minggu pada 

kasus yang tidak diobati, malaise yang jelas, sakit otot dalam, sakit kepala parah, 

menggigigl dan injeksi konjungtiva. Ruam makulopapuler biasanya muncul di akhir hari 

ketiga hingga kelima pada ekstremitas; yang segera akan menyebar ke telapak tangan dan 

kaki, kemudian akan menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh. Eksantem berbentuk 

petechiae terjadi pada 40% hingga 60% penderita, biasanya pada atau sesudah hari ke-6. 

Case Fatality Rate-nya berkisar antara 13% hingga 25% bila tidak diberikan pengobatan 

spesifik; dengan diagnosa dini dan pengobatan dini, kematian biasanya tidak terjadi. 

Namun sekitar 3%-5%  dari kasus-kasus yang dilaporkan di AS, akan berakhir dengan 

kematian. Faktor risiko yang mendasari parahnya penyakit antara lain terlambatnya 

pemberian antibiotika dan usia pasien lebih dari 40 tahun. Ruam tidak muncul atau ruam 

terlambat atau kegagalan mengenal ruam yang khas pada penderita  berkulit hitam 

sehingga diagnosa dan pengobatan yang cepat dan tepat terlambat dilakukan, hal ini 

meningkatkan angka kematian. 

 

 449

 Demam bercak pegunungan Rocky (Rocky Mountain Spotted Fever, RMSF) pada awalnya 

bisa dikelirukan dengan ehrliciosis, meningokoksemia (lihat Meningitis) dan infeksi 

enterovirus. 

 Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan serologis dengan ditemukannya antibodi 

spesifik terhadap antigent tertentu. Pada awal sakit, riketsia bisa dideteksi pada darah 

dengan pemeriksaan PCR atau pada biopsi kulit pemeriksaan memakai   immunostains 

atau PCR. 

 

2. Pemicu  Penyakit: - Rickettsia rickettsii. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Tersebar di seluruh AS terutama dari bulan April hingga September. Hampir 50% dari 

kasus yang dilaporkan pada tahun 1993 yaitu   dari wilayah Atlantik selatan dan lebih dari 

20% berasal dari wilayah Tengah-Selatan bagian Barat; angka insidensi tertinggi 

ditemukan di daerah Karolina Utara dan Oklahoma. Beberapa kasus telah dilaporkan dari 

wilayah Rocky Mountain. Di bagian barat AS, orang dewasa pria lebih sering terinfeksi, 

sementara di bagian timur, insidensinya lebih tinggi pada anak-anak; perbedaan ini 

berkaitan dengan kondisi dan tingkat pajanan dengan kutu yang terinfeksi. Infeksi juga 

telah dilaporkan terjadi di Kanada, Meksiko bagian barat dan tengah, Panama, Kosta Rika, 

Kolombia, Argentina dan Brasil. 

 

4. Reservoir 

 Ada secara alami pada pinjal melalui pasasi transovarian dan transstadial. Riketsia dapat 

ditularkan pada anjing, berbagai tikus dan binatang lain; binatang yang terinfeksi biasanya 

subklinis tanpa gejala, namun  telah diketahui penyakit terjadi pada tikus dan anjing. 

 

5. Cara Penularan 

 Biasanya melalui gigitan pinjal yang terinfeksi. Setidaknya dibutuhkan waktu 4 sampai 6 

jam sesudah kutu menempel dan menghisap darah, sebelum Riketsia direaktifkan dan 

dapat menginfeksi manusia. Kontaminasi pada luka di kulit atau selaput lendir dengan 

jaringan atau kotoran dari pinjal juga bisa menimbulkan infeksi. Di bagian timur dan 

selatan AS, vektor yang umum yaitu   pinjal anjing Amerika, Dermacentor variabilis, dan 

di barat laut AS, pinjal kutu Rocky Mountain, D. andersoni. Vektor utama di Amerika 

Latin yaitu   A. cajennense. 

 

6. Masa Inkubasi: - Dari 3 hingga 14 hari.  

 

7. Masa Penularan: Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Pinjal tetap infektif 

sepanjang hidupnya, biasanya sekitar 18 bulan. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan: Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Satu kali 

serangan bisa menimbulkan imunitas yang lama. 

 

 

 

 

 

 450

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan 

1) Juga lihat penyakit Lyme, 9A. Buang pinjal yang baru menggigit atau pinjal yang 

sedang merayap sesudah terpajan. 

2) Cari dan bersihkan anjing dari pinjal dan gunakan kalung anjing yang sudah diberi 

repelan untuk mengurangi populasi pinjal di sekitar tempat tinggal. 

3) Tidak ada vaksin yang mendapat ijin beredar di AS. Percobaan vaksin 

konvensional yaitu vaksin dengan organisme mati gagal melindungi infeksi 75% 

resipien yang diberi imunisasi. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Kasus wajib dilaporkan di sebagian 

besar negara bagian di AS dan kebanyakan di negara-negara lain, Kelas 2B (lihat 

tentang pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi: Tidak dilakukan. 

3) Disinfeksi serentak: Buang semua pinjal dengan hati-hati dari semua penderita. 

4) Karantina: Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak: Tidak penting. 

6) Investigasi  kontak dan sumber infeksi: Tidak bermanfaat kecuali dilakukan 

dengan gerakan warga  serentak (Lihat penyakit Lyme, 9C). 

7) Pengobatan spesifik: Tetrasiklin (biasanya doksisiklin) diberikan setiap hari per 

oral atau intravena selama 5-7 hari dan paling sedikit selama 48 jam setelah 

penderita tidak panas. Kloramfenikol juga bisa digunakan, namun diberikan jika 

ada kontraindikasi pemberian tetrasiklin. Pengobatan segera dilakukan cukup 

dengan pertimbangan epidemiologis dan klinis tanpa menunggu konfirmasi 

laboratorium untuk menunjang diagnosa. 

 

C. Penanggulangan wabah: Lihat penyakit Lyme, 9C. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO. 

 

  

 

II. DEMAM BOUTONNEUSE    ICD-9 082; ICD-10 A77.1  

(Demam kutu Mediterania, Demam bercak Mediterania, Demam Marseilles, Tifus pinjal 

Kenya, Tifus pinjal India, Tifus pinjal Israel) 

 

1. Identifikasi 

 Penyakit dengan gejala demam ringan hingga berat yang berlangsung selama beberapa 

hari hingga 2 minggu; mungkin ada lesi primer atau jaringan parut pada tempat gigitan 

pinjal. Jaringan parut ini (tache noire), akan nampak semakin jelas pada saat demam, ia 

berupa ulkus kecil berukuran 2-5 mm dengan warna hitam di tengah dengan warna merah 

di sekitarnya; kelenjar limfe setempat kadang-kadang membesar. Di beberapa tempat, 

seperti di Negev, Israel, lesi primer jarang ditemukan.  

 

 451

 Ruam eritema makulopapuler biasanya muncul di telapak tangan dan telapak kaki pada 

hari ke-4 hingga 5 dan bertahan selama 6-7 hari; dengan pengobatan antibiotika, demam 

akan berlangsung selama tidak lebih dari 2 hari. Case Fataliry Rate-nya sangat rendah 

(kurang dari 3%) walaupun tanpa terapi spesifik. 

 

 Diagnosa dikonfirmasikan dengan melakukan tes serologi atau PCR atau immunostains 

dari biopsi jaringan. Dari kultur darah pada fibroblast manusia satu lapis bisa 

memperlihatkan adanya organisme ini dengan tes DFA. 

 

2. Pemicu  Penyakit: Rickettsia conorii dan organisme lain yang sejenis. 

 

3. Distribusi Penyakit 

 Tersebar luas di seluruh benua Afrika, India dan bagian lain dari Eropa dan daerah Timur 

Tengah yang berdekatan dengan Mediterania, Laut Kaspia dan Laut Hitam. Meluasnya 

daerah endemis dari Eropa ke bagian utara terjadi sebab  para pelancong kadang-kadang 

membawa anjing-anjing mereka; anjing terinfeksi oleh pinjal dan membawanya pulang. 

 

4. Reservoir: sama dengan RMSF (lihat bagian 1,4 di atas). 

 

5. Cara Penularan: Di daerah Mediterania, melalui gigitan Rhipicephalus sanguineus, kutu 

anjing coklat yang terinfeksi. 

 

6. Masa Inkubasi: Biasanya 5-7 hari. 

 

7, 8 dan 9. Masa Penularan, Kerentanan dan Kekebalan, Cara-cara Pemberantasan: - 

Sama dengan RMSF (lihat bagian I, 7,8 dan 9 di atas). 

 

 

 

III. DEMAM GIGITAN PINJAL AFRIKA  ICD-9 082; ICD-10 A77.8 

 

1. Identifikasi 

 Secara klinis dengan demam Boutonneuse (lihat bagian II, di atas), namun penyebaran 

ruam biasanya tidak jelas atau tidak ada pada demam gigitan kutu Afrika. Jaringan parut 

multiple, limfangitis, limfadenopati dan pembengkakan yang terjadi di sekitar jaringan 

parut lebih sering terjadi pada demam gigitan pinjal Afrika dibandingkan demam 

Boutonneuse. KLB penyakit ini bisa terjadi pada saat kelompok pelancong (seperti orang 

yang melakukan safari di Afrika) digigit oleh pinjal. Penyakit ini sering dibawa ke AS dan 

Eropa. 

 

2. Pemicu  Penyakit: - Rickettsia africae. 

 

3. Distribusi Penyakit: Sub-Sahara Afrika, termasuk Boswana, Zimbabwe, Swazilan dan 

Afrika Selatan. 

 

4. Reservoir: Seperti pada RMSF (lihat seksi 1 dan 4 di atas). 

 

 452

 

5. Cara Penularan: Seperti RMSF (lihat seksi 1 dan 5 di atas), Amblyoma hebreum 

berperan sebagai vektor utama. 

 

6. Masa Inkubasi: - 1 – 15 hari (media inkubasi rata-rata 4 hari sesudah gigitan kutu). 

 

7, 8 dan 9. Masa Penularan, Kerentanan dan Kekebalan, Cara-cara Pemberantasan: 

Seperti RMSF (lihat seksi 1, 7, 8 dan 9 di atas). 

 

 

 

IV. TIFUS PINJAL QUEENSLAND   ICD-9 082.3; ICD-10 A77.3 

 

1. Identifikasi 

 Gambaran klinis sama dengan seperti demam Boutonneuse (lihat seksi II, di atas). 

 

2. Pemicu  penyakit: Rickettsia australis. 

 

3. Distribusi penyakit: Quuensland, New South Wales, Tasmania dan daerah pantai di 

Viktoria Timur, Australia. 

 

4. Reservoir: seperti RMSF (lihat seksi I, 4 di atas). 

 

5. Cara Penularan: Seperti pada RMSF (lihat seksi I, 5, di atas). Ixodes holocylus,  

yangmenginfeksi binatang berkantong dan tikus liar, mungkin vektor utama. 

 

6. Masa inkubasi: 7-10 hari. 

 

7, 8 dan 9. Masa penularan, Kerentanan dan kekebalan, Cara-cara pemberantasan: 

Sama seperti RMSF (lihat bagian I, 7, 8 dan 9 di atas). 

 

 

V. DEMAM PINJAL ASIA UTARA    ICD-9 082.2; ICD-10 A77.2 

 

1. Identifikasi 

 Gambaran klinis sama dengan demam Boutonneuse (lihat seksi II di atas). 

 

2.  Pemicu  penyakit: - Rickettsia sibirica. 

 

3. Distribusi Penyakit: Daerah Asia, di bekas Uni Soviet, Cina Utara dan Republik Rakyat 

Mongolia. 

 

4. Reservoir: Seperti RMSF (lihat bagian I, 4 di atas). 

 

5. Cara penularan: melalui gigitan kutu genus Dermacentor dan Haemaphysalis, yang 

menginfeksi tikus liar. 

 

 453

6. Masa inkubasi: - 2 sampai 7 hari. 

 

7, 8 dan 9. Masa penularan, Kerentanan dan Kekebalan, Cara-cara pemberantasan:  

Sama seperti RMSF (lihat bagian I, 7, 8 dan 9 di atas). 

 

 

 

VI. RICKETTSIALPOX    ICD-9 083.2; ICD-10 A79.1 

 (Rickettsiosis vesikuler) 

 

Penyakit yang menimbulkan demam akut dan ditularkan oleh kutu. Lesi kulit awal 

ditemukan pada tempat gigitan, kadang menimbulkan limfadenopati, diikuti dengan 

demam; muncul ruam kulit vesikuler dan menyebar, yang biasanya tidak ada pada telapak 

tangan dan kaki dan akan menetap  selama beberapa hari. Penyakit ini mungkin 

dikelirukan dengan cacar air. Kematian jarang terjadi dan infeksi ini bereaksi baik dengan 

tetrasiklin. Diagnosa dibuat dengan melakukan pemeriksaan serologis atau PCR atau 

dengan immunostains dari biopsi jaringan. Penyakit ini disebabkan oleh Rickettsia akari, 

salah satu anggota dari kelompok demam bercak Rickettsiae, ditularkan kepada manusia 

melalui tikus (Mus musculus) melalui gigitan (Liponyssoides sanguineus). Ini terjadi 

terutama di daerah perkotaan di bagian timur AS; kebanyakan kasus ditemukan di New 

York City dan bekas Uni Soviet. Insidensi penyakit menurun secara bermakna dengan 

dilakukannya perbaikan cara pengolahan sampah perumahan, sehingga hanya ditemukan 

beberapa kasus saja akhir-akhir ini. Di bekas Uni Soviet, tikus commensal dilaporkan 

sebagai reservoir. R. akari  ditemukan dan diisolasi di Afrika dan Korea. Upaya 

pencegahan dilakukan dengan eliminasi tikus dan pemberantasan pinjal.  

 

 

 

RUBELLA       ICD-9 056; ICD-10 B06 

(Campak Jerman) 

 

RUBELLA KONGENITAL    ICD-9 771.0; ICD-10 P35.0 

(Sindroma Rubella Kongenital) 

 

1. Identifikasi 

 Rubella yaitu   penyakit yang disebabkan oleh virus dan menimbulkan demam ringan 

dengan ruam pungtata dan ruam makulopapuler yang menyebar dan kadang-kadang mirip 

dengan campak atau demam scarlet. Anak-anak biasanya memberikan gejala 

konstitusional yang minimal, namun  orang dewasa akan mengalami gejala prodromal 

selama 1-5 hari berupa demam ringan, sakit kepala, malaise, coryza ringan dan 

konjungtivitis. Limfadenopati post aurikuler, oksipital dan servikal posterior muncul dan 

merupakan ciri khas dari infeksi virus ini yang biasanya muncul 5-10 hari sebelum 

timbulnya ruam. Hampir separuh dari infeksi ini tanpa ruam. Lekopeni umum terjadi dan 

trombositopeni juga bisa terjadi, namun  manifestasi perdarahan jarang. Arthalgia dan, yang 

lebih jarang terjadi, arthritis  sebagai komplikasi infeksi ini terutama pada wanita dewasa. 

Ensefalitis dan trombositopeni jarang terjadi pada anak-anak; ensefalitis terjadi lebih 

sering pada orang dewasa. 

 

 454

 Rubella menjadi penting sebab  penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan pada janin. 

Sindroma rubella congenital (Congenital Rubella Syndrome, CRS) terjadi pada 90% bayi 

yang dilahirkan oleh wanita yang terinfeksi rubella selama trimester pertama kehamilan; 

risiko kecacatan congenital ini menurun hingga kira-kira 10-20% pada minggu ke-16 dan 

lebih jarang terjadi bila ibu terkena infeksi pada usia kehamilan 20 minggu. 

 Infeksi janin pada usia lebih muda memiliki  risiko kematian di dalam rahim, abortus 

spontan dan kecacatan congenital dari sistem organ tubuh utama. Cacat yang terjadi bisa 

satu atau kombinasi dari jenis kecacatan berikut seperti tuli, katarak, mikroftalmia, 

glaucoma congenital, mikrosefali, meningoensefalitis, keterbelakangan mental, patent 

ductus arteriosus, defek septum atrium atau ventrikel jantung, purpura, 

hepatosplenomegali, icterus dan penyakit tulang radiolusen. Penyakit CRS yang sedang 

dan berat biasanya sudah dapat diketahui ketika bayi baru lahir; sedang  kasus ringan 

yang mengganggu organ jantung atau tuli sebagian, bisa saja tidak terdeteksi beberapa 

bulan bahkan hingga beberapa tahun setelah bayi baru lahir. Diabetes mellitus dengan 

ketergantungan insulin diketahui sebagai manifestasi lambat dari CRS. Malformasi 

congenital dan bahkan kematian janin bisa terjadi pada ibu yang menderita rubella tanpa 

gejala. 

 Membedakan rubella dengan campak (q.v.), demam scarlet (lihat infeksi Streptokokus) 

dan penyakit ruam lainnya (misalnya infeksi eritema dan eksantema subitum) perlu 

dilakukan sebab  gejalanya sangat mirip. Ruam makuler dan makulopapuler juga terjadi 

pada sekitar 1-5% penderita dengan infeksi mononucleosis (terutama jika diberikan 

ampisilin), juga pada infeksi dengan enterovirus tertentu dan sesudah mendapat obat 

tertentu. 

 Diangosa klinis rubella kadang tidak akurat. Konfirmasi laboratorium hanya bisa 

dipercaya untuk infeksi akut. Infeksi rubella dapat dipastikan dengan adanya peningkatan 

signifikan titer antibodi fase akut dan konvalesens dengan tes ELISA, HAI, pasif HA atau 

tes LA, atau dengan adanya IgM spesifik rubella yang mengindikasikan infeksi rubella 

sedang terjadi. 

 Sera sebaiknya dikumpulkan secepat mungkin (dalam kurun waktu 7-10 hari) sesudah 

onset penyakit dan pengambilan berikutnya setidaknya 7-14 hari (lebih baik 2-3 minggu) 

kemudian. Virus bisa diisolasi dari faring 1 minggu sebelum dan hingga 2 minggu 

sesudah timbul ruam.  Virus bisa ditemukan dari contoh darah, urin dan tinja. Namun 

isolasi virus yaitu   prosedur panjang yang membutuhkan waktu sekitar 10-14 hari. 

Diagnosa dari CRS pada bayi baru lahir dipastikan dengan ditemukan adanya antibodi 

IgM spesifik pada spesimen tunggal, dengan titer antibodi spesifik terhadap rubella diluar 

waktu yang diperkirakan titer antibodi maternal IgG masih ada, atau melalui isolasi virus 

yang mungkin berkembang biak pada tenggorokan dan urin paling tidak selama 1 tahun. 

Virus juga bisa dideteksi dari katarak kongenital hingga bayi berumur 3 tahun. 

 

2. Pemicu  penyakit: Virus rubella (famili Togaviridae; genus Rubivirus). 

 

3. Distribusi penyakit 

 Tersebar di seluruh dunia, umumnya endemis, kecuali pada warga  yang terisolasi, 

terutama warga  kepulauan tertentu yang mengalami KLB setiap 10-15 tahun. 

Penyakit ini banyak muncul pada musim dingin dan musim semi. Wabah yang sangat luas 

terjadi di AS pada tahun 1935, 1943 dan 1964 dan di Australia pada tahun 1940. Sebelum 

 

 455

vaksin rubella diijinkan beredar pada tahun 1969, puncak insidensi rubella terjadi di AS 

setiap 6-9 tahun sekali.  Selama tahun 1990-an insidensi rubella di AS menurun dengan 

drastic. Namun persentasi kasus diantara orang asing yang lahir disana meningkat tajam 

pada saat yang sama. Selama tahun 1990-an, KLB rubella di AS terjadi di tempat kerja, 

pada institusi, di warga  umum dan lingkungan lain dimana anak-anak muda dan 

mereka yang berangkat dewasa berkumpul. Virus rubella bertahan pada orang yang tidak 

diimunisasi. 

 

4. Reservoir: - Manusia.  

 

5. Cara Penularan  

 Kontak dengan sekret nasofaring dari orang terinfeksi. Infeksi terjadi melalui droplet atau 

kontak langsung dengan penderita. Pada lingkungan tertutup seperti di asrama calon 

prajurit, semua orang yang rentan dan terpajan bisa terinfeksi. Bayi dengan CRS 

mengandung virus pada sekret nasofaring dan urin mereka dalam jumlah besar, sehingga 

menjadi sumber infeksi. 

 

6. Masa inkubasi: dari 14-17 hari kisaran antara 14-21 hari. 

 

7. Masa penularan 

 Sekitar 1 minggu sebelum dan paling sedikit 4 hari sesudah onset ruam; penyakit ini 

sangat menular. Bayi dengan CRS kemungkinan tetap mengandung virus selama 

berbulan-bulan sesudah lahir. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan 

 Semua orang rentan terhadap infeksi virus rubella setelah kekebalan pasif yang didapat 

melalui plasenta dari ibu hilang. Imunitas aktif didapat melalui infeksi alami atau setelah 

mendapat imunisasi; kekebalan yang didapat biasanya permanent sesudah infeksi alami 

dan sesudah imunisasi diperkirakan kekebalan juga akan berlangsung lama, bisa seumur 

hidup, namun hal ini tergantung juga pada tingkat endemisitas. Di AS, sekitar 10% dari 

warga  tetap rentan. Bayi yang lahir dari ibu yang imun biasanya terlindungi selama 6-

9 bulan,tergantung dari kadar antibodi ibu yang didapat secara pasif melalui plasenta. 

  

9. Cara-cara Pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan 

1) Lakukan penyuluhan kepada warga  umum mengenai cara penularan dan 

pentingnya imunisasi rubella. Penyuluhan oleh petugas kesehatan sebaiknya 

menganjurkan pemberian imunisasi rubella untuk semua orang yang rentan. Upaya 

diarahkan untuk  meningkatkan cakupan imunisasi rubella pada orang dewasa dan 

dewasa muda yang rentan; perlu dikaji tingkat kekebalan orang-orang yang lahir di 

luar AS, hal ini perlu diberikan Perhatian khusus. 

2) Berikan dosis tunggal vaksin hidup, yaitu vaksin virus rubella yang dilemahkan 

(Rubella virus vaccine, Live), dosis tunggal ini memberikan respons antibodi yang 

signifikan, yaitu kira-kira 98-99% dari orang yang rentan.   

 

 

 

 456

3) Vaksin ini dikemas dalam bentuk kering dan sesudah dilarutkan harus disimpan  

dalam suhu 2-80C (35,60- 46,40F) atau pada suhu yang lebih dingin dan dilindungi 

dari sinar matahari agar tetap poten. Vaksin virus bisa ditemukan pada nasofaring 

dari orang-orang yang telah diimunisasi pada minggu ke-2 hingga ke-4 sesudah 

imunisasi, umumnya hanya bertahan selama beberapa hari, namun virus ini tidak 

menular. Di AS, imunisasi kepada semua anak-anak direkomendasikan diberikan 

pada usia 12-15 bulan sebagai bagian dari vaksin kombinasi campak dan vaksin 

gondongan (Measles Mumps and Rubella=MMR) dan dosis kedua MMR diberikan 

pada usia anak masuk sekolah atau dewasa muda. Ditemukannya penyakit rubella 

terus-menerus diantara orang-orang yang lahir di luar AS, mengindikasikan bahwa 

pemberian imunisasi rubella harus dilakukan pada komunitas ini. Vaksin rubella 

dapat diberikan kepada semua wanita yang tidak hamil tanpa kontraindikasi. 

Dewasa muda yang rentan dan memiliki  riwayat kontak  dengan anak-anak atau 

berkumpul bersama di kampus atau institusi lain seperti tinggal di asrama 

sebaiknya diimunisasi. Semua petugas kesehatan sebaiknya sudah kebal terhadap 

rubella terutama orang-orang yang kontak dan merawat penderita di bagian 

prenatal. Bukti adanya kekebalan diindikasikan dengan adanya antibodi spesifik 

terhadap rubella dan pemeriksaan laboratorium atau bukti tertulis bahwa seseorang 

telah diimunisasi rubella pada saat atau sesudah ulang tahunnya yang pertama. 

Vaksin rubella sebaiknya tidak diberikan kepada orang yang tidak memiliki  

sistem kekebalan atau mendapat terapi imunosupresif; namun MMR 

direkomendasikan untuk diberikan kepada orang-orang dengan infeksi HIV yang 

asimtomatik. Pemberian vaksin MMR sebaiknya dipertimbangkan bagi penderita 

HIV dengan gejala. Secara teoritis, wanita yang diketahui hamil atau 

merencanakan hamil, 3 bulan mendatang sebaiknya tidak diimunisasi.  Namun dari 

hasil catatan di CDC Atlanta menunjukkan bahwa dari 321 wanita yang 

diimunisasi rubella pada waktu hamil, semuanya melahirkan aterm dengan bayi 

yang sehat.  

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada program imunisasi rubella yaitu   selalu 

menanyakan kepada wanita pasca pubertas apakah mereka hamil, dan mereka yang 

menyatakan ya tidak diberikan imunisasi dan kepada yang lain yang tidak hamil 

diberi penjelasan pentingnya mencegah kehamilan selama 3 bulan mendatang serta 

diberi penjelasan risiko teoritis yang akan terjadi jika hal ini dilanggar.  Status 

imunisasi seseorang hanya dapat dapat dipercaya bila dilakukan tes serologis, 

namun hal ini tidak terlalu penting untuk diketahui sebelum pemberian imunisasi 

sebab  vaksin ini sangat aman diberikan kepada orang yang sudah kebal. Di 

beberapa negara, imunisasi rutin diberikan kepada gadis remaja usia 11 hingga 13 

tahun dengan atau tanpa tes antibodi sebelumnya. Di banyak negara yaitu AS, 

Australia dan Skandinavia, dosis kedua vaksin MMR direkomendasikan untuk 

diberikan kepada remaja pria maupun wanita. Untuk lebih jelasnya, lihat 

penjelasan mengenai Campak, 9A1. 

4) Jika diketahui adanya infeksi alamiah pada awal kehamilan, tindakan aborsi 

sebaiknya dipertimbangkan sebab  risiko terjadinya cacat pada janin sangat tinggi. 

Pada beberapa penelitian yang dilakukan pada wanita hamil yang tidak sengaja 

diimunisasi, kecacatan kongenital pada bayi yang lahir hidup tidak ditemukan; 

dengan demikian imunisasi yang terlanjur diberikan pada wanita yang kemudian 

 

 457

ternyata hamil tidak perlu dilakukan aborsi, namun  risiko mungkin terjadi sebaiknya 

dijelaskan. Keputusan akhir apabila akan dilakukan aborsi diserahkan kepada 

wanita ini  dan dokter yang merawatnya. 

5) IG yang diberikan sesudah pajanan pada awal masa kehamilan mungkin tidak 

melindungi terhadap terjadinya infeksi atau viremia, namun  mungkin bisa 

mengurangi gejala klinis yang timbul. IG kadang-kadang diberikan dalam dosis 

yang besar (20 ml) kepada wanita hamil yang rentan yang terpajan penyakit ini 

yang tidak menginginkan dilakukan aborsi sebab  alasan tertentu, namun  

manfaatnya belum terbukti. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Semua kasus rubella dan CRS harus 

dilaporkan. Di AS, laporan wajib dilakukan, Kelas 3 B (lihat tentang pelaporan 

penyakit menular).  

2) Isolasi: Di rumah sakit dan institusi lain, terhadap penderita yang dicurigai 

menderita rubella sebaiknya dirawat dengan tindakan  pencegahan isolasi kontak 

dan ditempatkan di ruang terpisah; upaya harus dilakukan untuk mencegah 

pajanan kepada wanita hamil yang tidak diimunisasi . Anak-anak yang sakit 

dilarang ke sekolah dan begitu juga orang dewasa yang sakit dilarang bekerja 

selama 7 hari sesudah munculnya ruam. Bayi dengan CRS mungkin mengandung 

virus dalam tubuhnya untuk jangka waktu yang lama. Semua orang yang kontak 

dengan bayi dengan CRS harus sudah kebal terhadap rubella dan bayi-bayi ini 

sebaiknya dipisahkan di ruang isolasi. Terhadap bayi yang menderita CRS ini 

tindakan tindakan kewaspadaan isolasi sebaiknya diberlakukan setiap saat bayi ini 

dirawat di rumah sakit sebelum bayi berusia 1 tahun, kecuali hasil kultur faring 

dan urin negatif tidak ditemukan virus sesudah bayi berumur lebih dari 3 bulan. 

3) Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan. 

4) Karantina: Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak: Pemberian imunisasi selama tidak ada kontraindikasi (kecuali 

selama kehamilan) tidak mencegah infeksi atau kesakitan. Imunisasi pasif dengan 

IG tidak dianjurkan (kecuali seperti yang dijelaskan pada 9A4 di atas). 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan investigasi dan identifikasi wanita 

hamil yang kontak dengan penderita, terutama wanita hamil pada trimester 

pertama. Mereka yang pernah kontak dengan penderita ini sebaiknya dilakukan 

pemeriksaan serologis untuk melihat tingkat kerentanannya atau untuk melihat 

apakah ada infeksi awal (antibodi IgM) dan terhadap mereka diberi nasihat 

seperlunya. 

7) Pengobatan spesifik: Tidak ada. 

 

C. Penanggulangan wabah 

1) Untuk menanggulangi KLB rubella, laporkan segera seluruh penderita dan 

tersangka rubella dan seluruh kontak dan mereka yang masih rentan diberi 

imunisasi. 

2) Petugas dan praktisi kesehatan serta warga  umum sebaiknya diberi informasi 

tentang adanya KLB rubella agar dapat mengidentifikasi dan melindungi wanita 

hamil yang rentan. 

 

 

 458

D. Implikasi bencana: Tidak ada. 

 

E.  Tindakan lebih lanjut : Tidak ada. 

SALMONELLOSIS      ICD-9 003; ICD-10 A02.0 

 

 

1.  Identifikasi 

 Penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang umumnya ditandai dengan gejala 

enterokolitis akut, dengan sakit kepala yang tiba-tiba, sakit perut, diare, mual dan kadang-

kadang muntah. Dehidrasi, terutama yang terjadi pada anak-anak atau pada orang tua, bisa 

berat. Demam biasanya selalu ada. Anoreksi dan diare kadang muncul selama beberapa 

hari. Infeksi bisa bisa dimulai dengan enterokolitis akut dan berkembang menjadi 

septicemia atau hanya infeksi lokal. Kadang-kadang, Pemicu  infeksi terlokalisir di 

jaringan tubuh tertentu, memicu  abses dan septic arthritis, kolesistitis, endokarditis, 

meningitis, perikarditis, pneumonia, pyoderma atau pyelonefritis. Kematian jarang terjadi, 

kecuali pada mereka yang berusia sangat muda atau sangat tua, orang-orang yang lemah 

atau orang dengan imunosupresif. Namun morbiditas dan hal yang berhubungan dengan 

biaya yang hilang sebab  salmonellosis cukup tinggi. 

 Pada kasus septicemia, Salmonella mungkin bisa diisolasi pada media enterik dari contoh 

tinja dan darah selama fase akut dari penyakit.  Pada kasus enterokolitis, ekskresi 

salmonella melalui tinja biasanya berlangsung selama beberapa  hari atau beberapa 

minggu sesudah fase akut dari penyakit; pemberian antibiotika mungkin tidak mengurangi 

waktu lamanya organisme diekskresikan. Untuk mendeteksi infeksi  asimtomatik, 3-10 

gram tinja sebagai sample lebih baik daripada rectal swabs dan sample tinja ini 

diinokulasikan ke dalam media yang dipercaya; spesimen dikumpulkan selama beberapa 

hari sebab  ekskresi organisme ini melalui tinja tidak berlangsung tiap hari. Tes serologis 

tidak begitu bermanfaat dalam menegakkan diagnosa. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

 Nomenklatur baru untuk Salmonella telah diusulkan berdasarkan pada keterkaitan DNA. 

Menurut nomenklatur tadi, hanya ada 2 spesies yaitu Salmonella bongori  dan Salmonella 

enterica (kedua genus dan spesies ditulis dengan huruf miring). Seluruh salmonella yang 

patogen terhadap manusia dianggap sebagai serovarian dalam subspecies I dan S. enterica. 

Nomenklatur baru tadi akan mengubah S. typhi  menjadi S. enterica serovar Typhi dan 

dipendekkan menjadi S. typhi  (perhatikan bahwa Typhi tidak ditulis miring dan dengan 

huruf besar). Beberapa lembaga resmi telah memakai   nomenklatur baru walaupun 

secara resmi belum disetujui hingga pertengahan tahun 1999. Nomenklatur baru 

digunakan didalam bab ini. 

 Banyak serotipe Salmonella patogen terhadap binatang maupun manusia (strain manusia 

yang memicu  demam Tifoid dan paratifoid akan dijelaskan pada bab yang berbeda). 

Prevalensi berbagai serotipe yang berbeda bervariasi di berbagai negara; do beberapa 

negara yang melakukan surveilans salmonella dengan baik, Salmonella enterica serovar 

Typhimurium (S. typhimurium) dan Salmonella enterica serovar Entiritidis (S. enteritidis) 

yaitu   yang paling banyak dilaporkan. Dari 2.000 jenis lebih serotipe, hanya 200 yang 

dideteksi di AS. Di banyak daerah, hanya sejumlah kecil serotipe saja yang dilaporkan 

sebagai Pemicu  kebanyakan kasus. 

 

 459

 

 

 

3. Distribusi penyakit 

 Tersebar di seluruh dunia; lebih banyak dilaporkan di Amerika Utara dan Eropa sebab  

sistem pelaporannya baik. Salmonellosis dikategorikan sebagai penyakit yang ditularkan 

melalui makanan (foodborne disease) oleh sebab  makanan yang terkontaminasi, terutama 

kontaminasi oleh binatang, merupakan cara penularan yang utama. Hanya sebagian kecil 

saja dari kasus-kasus ini yang diketahui secara klinis dan di negara-negara industri hanya 

sekitar 1% kasus yang dilaporkan. Incidence rate tertinggi pada bayi dan anak kecil. 

Secara epidemiologis, gastroenteritis Salmonella bisa terjadi berupa KLB kecil di 

lingkungan warga  umum. Sekitar 60-80% dari semua kasus muncul secara sporadis; 

namun KLB besar di rumah sakit, institusi anak-anak, restoran dan tempat penitipan anak-

anak atau orang tua jarang terjadi dan biasanya muncul sebab  makanan yang 

terkontaminasi, atau yang lebih jarang terjadi, yaitu   pencemaran yang terjadi sebab  

makanan diolah orang yang menjadi carrier, penularan dari orang ke orang dapat terjadi. 

Diperkirakan bahwa sekitar 5 juta kasus salmonellosis terjadi setiap tahun di AS. KLB 

yang pernah terjadi di AS memicu  25.000 orang jatuh sakit disebabkan oleh suplai 

air minum perkotaan yang tidak diklorinasi; wabah tunggal etrbesar yang pernah terjadi 

disebabkan oleh susu yang tidak dipasteurisasi memicu  285.000 orang jatuh sakit. 

 

4. Reservoir  

 Sejumlah besar binatang peliharaan dan binatang liar bertindak sebagai reservoir, 

termasuk unggas, babi, hewan ternak, tikus dan binatang peliharaan seperti iguana, 

tortoise, kura-kura, terapin, ayam, anjing, kucing dan juga manusia misalnya penderita, 

carrier yang sedang dalam masa penyembuhan dan terutama kasus-kasus ringan dan kasus 

tanpa gejala. Carrier kronis jarang terjadi pada manusia namun  cukup tinggi pada binatang 

dan burung. 

 

5. Cara-cara penularan 

 Penularan terjadi sebab  menelan organisme yang ada di dalam makanan yang berasal dari 

binatang yang terinfeksi atau makanan yang terkontaminasi oleh kotoran binatang atau 

kotoran orang yang terinfeksi. Sebagai contoh yaitu   telur dan produk telur yang tidak 

dimasak dengan baik (misalnya suhu yang kurang tinggi), susu mentah dan produk susu, 

air yang terkontaminasi, daging dan produk daging, unggas dan produk unggas. 

Disamping itu binatang peliharaan seperti kura-kura, iguana dan anak ayam atau obat-

obatan berbahan dasar hewan yang tidak disterilkan merupakan sumber yang potensial 

bagi penularan bakteri ini. Beberapa KLB salmonellosis yang terjadi baru-baru ini telah 

diketahui bersumber dari buah dan sayuran yang terkontaminasi pada saat disiapkan. 

Infeksi yang ditularkan kepada binatang ternak melalui makanan dan pupuk yang berasal 

dari potongan daging afkir yang terkontaminasi, makanan ikan dan tulang; infeksi terjadi 

pada waktu proses pemeliharaan ternak dan pada saat hewan dipotong. Penularan rute 

fekal-oral dari orang ke orang menjadi sangat penting, terutama pada saat orang ini  

terkena diare; tinja dari anak dan orang dewasa yang menderita diare memiliki  risiko 

penularan yang lebih besar daripada penularan oleh carrier yang asimtomatik. Dari 

beberapa serotipe, hanya beberapa jenis organisme yang tertelan yang dapat memicu  

 

 460

infeksi sebab  adanya penahan dari asam lambung, biasanya untuk terjadi infeksi 

dibutuhkan jumlah organisme > 102-3. 

 KLB biasanya terjadi akibat makanan seperti produk daging, produk unggas; makanan 

mengandung telur yang tidak dimasak atau yang hanya dimasak sebentar, produk telur, 

susu mentah dan produk susu, termasuk susu bubuk dan makanan yang terkontaminasi 

tinja dari penjamah makanan. KLB juga bisa dilacak dari makanan dan produk unggas 

yang diproses atau diolah memakai   alat-alat yang terkontaminasi atau diolah pada 

permukaan atau meja yang terkontaminasi pada waktu penggunaan sebelumnya. Infeksi S. 

enteritidis pada ayam dan telur telah memicu  KLB dan kasus tunggal, terutama di 

bagian timur laut AS dan Eropa, dan serotipe ini menjadi Pemicu  utama kasus 

salmonellosis di AS. Organisme ini dapat berkembang biak pada berbagai jenis makanan, 

terutama susu, sampai mencapai jumlah yang infektif; suhu yang tidak tepat selama 

pengolahan dan kontaminasi silang yang terjadi selama makanan ini  sampai kepada 

konsumen yaitu   faktor risiko yang paling penting. KLB di rumah sakit cenderung 

berlangsung lebih lama, sebab  organisme bertahan di lingkungan rumah sakit; KLB ini 

biasanya dimulai dari makanan yang terkontaminasi dan menular dari orang ke orang 

melalui tangan yang tercemar dari orang yang mengolah makan atau melalui melalui alat 

yang digunakan. Bagian kebidanan dengan bayi yang terinfeksi (pada saat itu 

asimtomatik) bisa menjadi sumber penularan selanjutnya. Kontaminasi suplai air minum 

public yang tidak diklorinasi dan yang tercemar oleh tinja dapat memicu  KLB 

ekstensif. Beberapa tahun terakhir KLB yang terjadi yang meluas ke wilayah geografis 

tertentu diketahui sebab  mengkonsumsi tomat atau melon dari supplier tunggal. 

 

6. Masa inkubasi: dari 6 hingga 72 jam, biasanya sekitar 12-36 jam. 

 

7. Masa penularan 

 Penularan terjadi selama sakit; lamanya sangat bervariasi, biasanya berlangsung beberapa 

hari hingga beberapa minggu. Carrier yang temporer biasanya terus menjadi acrrier 

selama beberapa bulan, terutama pada anak-anak. Tergantung pada serotipenya, kira-kira 

1% dari orang dewasa yang terinfeksi dan 5% anak-anak < 5 tahun yang terinfeksi akan 

mengeluarkan organisme ini selama lebih dari 1 tahun. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

 Semua orang rentan terhadap penyakit ini dan biasanya bertambah rentan dengan adanya 

achlorhydria (tidak adanya asam hidroklorid di lambung), pada terapi antasida, bedah 

gastrointestinal, pernah mendapat atau sedang menjalani terapi antibiotika, penyakit 

neoplastik, terapi yang memicu  daya tahan tubuh menjadi lemah dan keadaan lain 

yang melemahkan kondisi tubuh seperti malnutrisi. Berat ringannya penyakit ini 

tergantung kepada serotipe, jumlah organisme yang tertelan dan faktor hospes. Orang 

yang terinfeksi HIV memiliki  risiko untuk terkena septicemia Salmonella non Tifoid 

berulang. Septikemia pada orang dengan penyakit sickle-cell menambah risiko infeksi 

sistemik fokal misalnya dapat terjadi osteomielitis. 

 

 

 

 

 

 461

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Upaya pencegahan 

1)  Lakukan penyuluhan kepada pengolah makanan tentang pentingnya: 

a) mencuci tangan sebelum, selama dan sesudah mengolah makanan. 

b) mendinginkan makanan yang sudah diolah didalam wadah kecil. 

c) Memasak dengan sempurna semua bahan makanan yang berasal dari binatang, 

terutama unggas, babi, produk telur dan produk daging. 

d) Hindari rekontaminasi didalam dapur sesudah memasak. 

e) Menjaga kebersihan di dapur dan melindungi makanan dari kontaminasi tikus 

dan insektisida. 

2) Lakukan penyuluhan kepada warga  untuk menghindari mengkonsumsi telur 

mentah atau setengah matang, seperti telur ya