rabies merupakan penyait enzootik di daerah dimana banyak binatang
liar dan anjing liar.
E. Tindakan lebih lanjut
1) Di negara-negara bebas rabies, peraturan yang ketat diterapkan kepada angkutan
umum dan terhadap wisatawan dengan hukum yang berlaku di negara ini .
Peraturan ini mewajibkan antara lain dilakukan karantina selama 4-6 bulan,
pemberian imunisasi terhadap hewan, sertifikasi kesehatan dan sertifikasi asal dari
hewan, identifikasi mikrochip dari hewan yang diangkut.
2) Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.
436
PETUNJUK PROFILAKSIS PASCA PAJANAN TERHADAP RABIES1)
Rekomendasi yang diuraikan di bawah ini hanyalah merupakan pegangan umum saja. Dalam
menerapkan petunjuk ini, pertimbangkan spesies binatang yang terlibat, keadaan luka gigitan
dan kondisi pajanan jenis lain, status imunisasi dari binatang dan adanya rabies di wilayah
ini . Apabila ada pertanyaan tentang perlu tidaknya dilakukan tindakan profilaksis,
lakukan konsultasi dengan petugas kesehatan setempat, propinsi atau petugas kesehatan Pusat.
Jenis Binatang Penilaian terhadap
Sifat/Keadaan Binatang
Rekomendasi Profilaksis Pasca
Pajanan
Anjing, kucing dan
berang-berang
Sehat dan memungkinkan
untuk dilakukan observasi
selama 10 hari
Menderita rabies atau diduga
rabies
Tidak diketahui
Pemberian profilaksis kepada
manusia jangan dimulai
sebelum binatang
menunjukkan gejala klinis
rabies. *)
Imunisasi segera
Konsul petugas kesehatan
Skunks, racoon, rubah
dan karniora
pemakan daging
lainnya; kelelawar
Dianggap menderita rabies
kecuali dengan
pemeriksaan labratorium
terbukti negatif **)
Pertimbangkan pemberian
imunisasi segera
Ternak, tikus kecil,
lagomorphs
(kelinci), rodentia
besar (woodchucks
dan beaver) dan
binatang menyusui
lainnya.
Pertimbangkan secara
individual.
Konsultasi dengan petugas
kesehatan. Gigitan oleh
bajing, hamster, marmut,
gerbils, chipmunk, tikus,
mencit, binatang pengerat
kecil lainnya, kelinci, hamir
tidak pernah membutuhkan
profilaksis pasca pajanan
dengan anti rabies.
*) Selama 10 hari masa observasi, segera berikan profilaksis pasca pajanan pada saat terlihat
tanda-tanda awal rabies pada anjing, kucing dan berang-berang yang telah menggigit
seseorang. Apabla binatang ini menunjukkan tandatanda klinis rabies, binatang
ini harus segera dibunuh dan dilakukan pemeriksaan laboratorium.
**) Binatang harus secepat mungkin dibunuh dan dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Memperpanjang masa observasi tidak dibenarkan. Hentikan pemberian imunisasi apabila
tes immunofluorescence memberikan hasil negatif.
1) Diadaptasi dari Rekomendasi pada Immunization Practice Advisory Committee (ACIP),
MMWR Recommendations and Reports, Vol. 48/No. RR-1; 1999.
437
RAT BITE FEVER ICD-9 026; ICD-10 A25
Ada 2 jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini, jarang ditemukan di Amerika Serikat,
masuk dalam terminologi umum dengan sebutan demam gigitan tikus (rat bite fever); yaitu
streptobacillosis yang disebabkan oleh Streptobacillus moniliformis (Haverbillia
multiformis) dan demam spirillary atau demam sodoku disebabkan oleh Spirillum minus
(minor). Oleh sebab mereka memiliki gambaran klinis dan epidemiologis yang serupa,
maka hanya streptobacillosis yang akan disajikan dengan rinci; secara khusus manifestasi
klinis dari infeksi Spirillum minus (yang bahkan lebih jarang terjadi di Amerika Serikat)
disajikan dalam bentuk ringkasan.
I. STREPTOBACILLOSIS ICD-9 026.1; ICD-10 A25.1
(Streptobacillary fever; Haverhill fever, Epidemic arthritic erythema, Rat bite fever
disebabkan oleh Streptobacilus moniliformis)
1. Identifikasi
Gejala klinis penyakit ini berupa suatu serangan yang mendadak berupa demam dan
menggigigil, sakit kepala dan nyeri otot dalam kurun waktu 1-3 hari diikuti dengan ruam
makulopapuler yang umumnya tampak jelas pada anggota badan. Ruam ini dapat pula
berbentuk petechial, purpuric atau pustular. Satu atau lebih persendian besar kemudian
menjadi bengkak, merah dan sakit. Biasanya ada riwayat gigitan tikus, dalam 10 hari
sembuh secara normal. Penyakit ini sering kambuh. Dapat terjadi Bacterial endocarditis,
pericarditis, parotitis, tenosynovitis dan focal abscess jaringan lunak atau otak pada kasus
yang tidak diobati, dengan CFR antara 7-10%. Konfirmasi labratorium ditegakkan dengan
isolasi dari organisme Pemicu , dengan inokulasi spesimen yang berasal dari lesi primer,
kelenjar limfe, darah, cairan sendi, atau nanah kedalam media bakteriologik yang tepat
atau diinokulasi pada hewan laboratorium (marmut atau mencit yang secara alamiah tdak
terinfeksi). Serum antibodi dapat dideteksi dengan tes aglutinasi.
2. Pemicu penyakit: streptobacillus moniliformis.
3. Distribusi penyakit: Tersebar di seluruh dunia, namun jarang ditemukan di Amerika
Utara dan Selatan dan di sebagian besar negara-negara Eropa. Kasus yang belakangan ini
terjadi di Amerika Serikat yaitu akibat gigitan tikus laboratorium dan jarang sekali
sebab tikus peliharaan.
4. Reservoir: Biasanya yang berperan sebagai reservoir yaitu tikus yang terinfeksi, jarang
sekali binatang lain (bajing, cerpelai, gerbil [sejenis tikus]).
5. Cara penularan: Infeksi ditularkan melalui kencing atau sekret mulut, hidung atau sacus
conjunctivitis dari binatang yang terinfeksi, lebih sering ditularkan melalui gigitan. Secara
sporadis ditemukan kasus tanpa riwayat gigitan. Darah dari hewan percobaan
laboratorium dapat menginfeksi manusia. Tidak harus terjadi kontak langsung dengan
tikus; infeksi terjadi pada orang-orang yang bekerja atau tinggal pada bangunan yang
penuh tikus. Pada KLB, susu atau air yang terkontaminasi dicurigai sebagai perantara
infeksi.
438
6. Masa inkubasi: Dari 3 sampai 10 hari dan jarang lebh lama dari itu.
7. Masa penularan: Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang.
8. Kerentanan dan kekebalan: Tidak ada informasi.
9. Cara-cara penanggulangan
A. Cara-cara pencegahan: Tempat tinggal yang bebas tikus atau pengurangan populasi
tikus. Penicillin atau doxycycine dapat digunakan untuk pengobatan profilaksis setelah
gigitan tikus.
B. Pengawasan pnderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada otoritas kesehatan setempat: Kewajiban untuk melaporkan adanya
KLB, tidak diperlukan laporan kasus, Kelas 4 (lihat laporan tentang penyakit
menular).
2) Isolasi: Tidakdiperlukan kewaspadaan khusus.
3) Disinfeksi serentak: Tidak perlu.
4) Karantina: Tidak perlu.
5) Imunisasi kontak: Tidak perlu.
6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: Hanya untuk menentukan apakah ada
kasus tambahan yang tidak diketahui.
7) Pengobatan spesifik: Berikan Penicillin atau tetracycline selama 7-10 hari.
C. Penanggulangan Wabah: Kalau ditemukan kasus yang mengelompok perlu
dilakukan pencarian adanya sumber penularan common source, kemungkinan
disebabkan oleh makanan dan air yang terkontaminasi.
D. Implikasi Bencana: Tidak ada.
E. Tinakan lebih lanjut : Tidak ada.
II. SPIRILLOSIS ICD-9 026.0; ICD-10 A25.0
(Spirillary fever, Sodoku, Rat bite fever disebabkan oleh Spirillum minus)
Rat bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus merupakan bentukumum dari rat bite
fever sporadis di Asia, khususnya di Jepang. Pada kasus yang tidak diobati, CFR sekitar
10%. Secara klinis, penyakit Spirillum minus berbeda dengan Streptobacillary fever pada
gejala arthritis yang jarang dan bentuk ruam yang berbeda, kemerahan atau keunguan.
Masa inkubasi berlangsung selama 1-3 minggu dan luka gigitan yang tadinya sudah
sembuh akan mengalami reaktivasi pada saat gejala klinis muncul. Cara-cara pemeriksaan
laboratorium yang tepat sangat penting untuk diferensiasi; inokulasi binatang digunakan
untuk isolasi spirillum.
439
RELAPSING FEVER ICD-9 087; ICD-10 A68
DEMAM BOLAK-BALIK
1. Identifikasi
Penyakit spirochetal sistemik dengan periode demam berlangsung selama 2-9 hari diikuti
dengan periode tanpa demam selama 2-4 hari; jumah kekambuhan bervariasi dari 1
sampai 10 kali bahkan lebih. Setiap periode demam berakhir dengan krisis. Durasi total
penyakit yang ditularkan oleh tungau (louseborne disease) rata-rata 13-16 hari, sedang
untuk penyakit yang dituarkan oleh kutu (tickborne disease) biasanya lebih lama. Ruam
petechiae yang bersifat sementara biasanya muncul pada periode awal demam. CFR total
pada kasus tidak diobati antara 2%-10%.
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya agen infeksius pada preparat lapangan
pandang gelap dari darah segar atau dengan pewarnaan darah tebal atau tipis, dengan
inokulasi intraperitonal dari tikus laboratorium atau mencit dengan darah yang diambil
pada saat periode demam atau dengan kultur darah pada media khusus.
2. Pemicu penyakit
Untuk penyait relapsing fever yang ditularkan oleh tungau (louseborne) disebabkan oleh
Borrelia recurrentis, sejenis spirochaeta gram negatif. sedang relapsing fever yang
ditularkan oleh kutu (tickborne) disebabkan oleh berbagai strain yang berbeda. Perbedaan
strain ini lebih pada saat dilakukan isolasi atau jenis vektor daripada perbedaan biologis
yang inheren pada organisme Pemicu . Misalnya strain yang diisolasi selama relaps
memperlihatkan perbedaan sifat antigenik dibandingkan dengan strain yang diisolasi
beberapa saat sebelum serangan.
3. Distribusi penyakit
Karakteristik penyakit ini muncul sebagai epidemi apabila ditularkan oleh tungau;
sedang ebrsifat endemis apabila ditularkan melalui kutu. Louseborne relapsing fever
terjadi di daerah yang terbatas di Asia, Afrika Timur (Ethiopia dan Sudan), daerah dataran
tinggi d Afrika Tengah dan Amerika Selatan. Tickborne disease merupakan penyakit
endemis di seluruh Afrika tropis; beberapa fokus ditemukan di Spanyol, Afrika Utara,
Saudi Arabia, Iran, India dan sebagian Asia tengah, begitu pula di Amerika Utara dan
Selatan. Kasus terjadi sporadis pada manusia dan sesekali muncul KLB di sebagian barat
Amerika Serikat dan Kanada bagian Barat.
4. Reservoir: Untuk B. Recurrentis reservoirnya yaitu manusia, sedang untuk tickborne
relapsing fever borreliae, yang berperan sebagai reservoir yaitu binatang pengerat liar
dan kutu argasid (lunak) melalui penularan transovarian.
5. Cara penularan
Ditularkan melalui vektor (vectorborne); tidak ditularkan langsung dari orang ke orang.
Louseborne relapsing fever didapat oleh sebab orang ini menghancurkan tungau
yang terinfeksi, Pediculus humanus, pada saat tungau itu menggigit sehingga mencemari
luka atau cairan sendi dari kutu argasid. Jenis argasid ini terutama yaitu
Ornithodoros bermsi dan O. Turicata di Amerika Serikat, O. Rudis dan O. Talafe di
Amerika Tengah dan Selatan, O. Moubata dan O. Hispanica di Afrika dan o. Tholozani
440
Timur Tengah dan Timur Dekat. Kutu-kutu ini biasanya makan pada waktu malam hari,
mereka makan secara cepat dan kemudian meninggalkan host-nya; mereka memiliki
masa hidup yang panjang yaitu selama 2-5 tahun dan tetap infektif selama masa hidupnya.
6. Masa inkubasi: Dari 5 sampai 15 hari, biasanya 8 hari.
7. Masa penularan
Tungau (louse) menjadi infektif 4-5 hari setelah menghisap darah dari orang yang
terinfeksi dan tetap infektif selama hidupnya (20-40 hari). Kutu (tick) yang terinfeksi
dapat hidup beberapa tahun tanpa makan; mereka tetap infektif selama hidupnya dan
terjadi penularan secara transovarian kepada keturunannya.
8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap penyakt ini. Lama dan tingkat
imunitas setelah muncul gejala klinis tidak diketahui; infeksi ulangan dapat terjadi.
9. Cara-cara penanggulangan
A. Cara-cara pencegahan
1) Berantas tungau dengan cara-cara yang sama untuk louseborne typhus fever (lhat
typhus fever, Epidemic louseborne, 9 A).
2) Berantas kutu dengan upaya yang sama yang dilakukan untuk Rocky mountain
spotted fever, 9 A. Habitat manusia dengan lingkungan banyak kutu dapat menjadi
masalah dan upaya pembasmian penyakit menjadi suit. Struktur bangunan yang
tidak dapat dimasuki tikus sangat penting untuk mencegah kolonisasi tikus beserta
kutu lunaknya. Sebagai upaya dalam pencegahan dan pemberantasan penyait ini,
penyemprotan dengan acaricidies yang telah diijinkan beredar seperti diazinon,
chlorpyrifos, propoxur atau permethrin dapat dicoba.
3) Gunakan paya perlindungan diri sebagai pengganti repellent dan permethrin pada
baju dan tempat tidur untuk orang yang terpajan dengan daerah endemis.
4) Antibiotika untuk chemoprophylaxis dengan tetracycline dapat digunakan setelah
terpajan (gigitan serangga) apabla diperkirakan risiko untuk mendapatkan infeksi
tinggi.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporkan kepada instansi kesehatan setempat: Luoseborne relapsing fever wajib
dilaporkan sebab termasuk disease under surveillance oleh WHO, Kelas 1 A;
sedang untuk tickborne disease hanya di daerah tertentu saja wajib dilaporkan,
Kelas 3B (lihat pelaporan tetang penyakit menular).
2) Isolasi: Lakukan kewaspadaan universal terhadap darah/cairan tubuh. Penderita,
beserta pakaiannya dan semua kontak serumah dan lngkungan sekitarnya harus
dibebaskan dari tungau dan kutu.
3) Disinfeksi serentak: Tidak perlu dilakukan disinfeksi apabila upaya disinfeksi telah
dilakukan dengan tepat.
4) Karantina: Tidak perlu.
5) Imunisasi kontak: Tidak perlu.
6) Investigasi konak dan sumber infeksi: Untuk setiap tickborne, cari dan temukan
kasus-kasus tambahan dan sumber infeksi; sedang untuk setiap kasus
441
louseborne, taburkan preparat lousicidal yang tepat dengan cara yang tepat kepada
kontak yang terkena infestasi kutu (lihat Pediculosis, 9B6 dan 9B7).
7) Pengobatan spesifik: Dengan tetracycline.
C. Cara-cara Penanggulangan Wabah
Untuk louseborne relapsing fever, apabila sistem pencatatan dan pelaporannya baik
dan jumlah kasus terlokalisir maka taburkan bubuk yang mengandung permethrin 1%
atau lakukan penyemprotan dengan mengunakan insektisida yang memunyai efek
residual terhadap kontak dan pakaian yang mereka pakai. Dan lakukan juga
penyemprotan dengan permethrin sebanyak 0,003 – 0,3 kg/hektar (2,47 acre) terhadap
lingkungan di sekitar penderita. Bagi warga yang tinggal di daerah endemis
sediakan fasiltas untuk mandi dan mencuci pakaian secukupnya dan lakukan kegiatan
active survellance. Apabila infeksi menyebar, lakukan penaburan permethrin secara
sistematis kepada semua anggota warga sedang untuk tickborne relapsing
fever, permethrin atau arcaricide lainya ditaburkan di wilayah dimana kutu sebagai
vektor penyakit ini diperkirakan ada di wilayah ini . Agar sustainabilitas upaya
pemberantasan tercapai maka lakukan upaya-upaya di atas selama masa penularan
dengan siklus setiap bulan sekali.
D. Implikasi Bencana
Di wilayah dimana infestasi tungau (louse) sangat padat maka potensi terjadi
penularan sangat besar. KLB sering terjadi di wilayah yang mengalami peperangan,
kelaparan dan di wilayah dengan situasi dimana terjadi peningkatan pediculosis.
Misalnya di wilayah dengan hunian yang padat, wilayah dengan warga yang
mengalami malnutrisi disertai dengan sanitasi lingkungan yang jelek.
E. Tindakan lebih lanjut
1) Apabila di suatu wilayah terjadi KLB louseborne relapsing fever, dimana
sebelumnya di wilayah ini belum pernah dilaporkan ada kasus maka harus
segera dilaporkan kepada WHO dan disampaikan kepada negara tetangga bahwa
telah terjadi KLB penyakit ini.
2) Walaupun louseborne relapsing fever tidak masuk dalam kategori penyakit yang
tercantum didalam IHR yang belum direvisi, namun seluruh tindakan yang
diuraikan pada seksi 9E1 di atas harus dilakukan oleh sebab penyakit ini masuk
dalam daftar disease under surveillance yang tetapkan oleh WHO.
442
PENYAKIT PERNAFASAN, VIRUS AKUT (TIDAK TERMASUK INFLUENZA)
(Rhinitis virus akut, Faringitis, Laringitis)
Beberapa jenis penyakit saluran pernafasan akut yang diketahui dan diasumsikan disebabkan
oleh virus, dikelompokkan dalam kelompok ini. Berdasarkan gejala klinis dan klasifikasi
taksonomi menurut CIOMS, maka infeksi pada saluran pernafasan bagian atas (di atas
epiglottis), dapat dikategorikan sebagai rinitis virus akut atau faringitis virus akut (commond
cold, infeksi saluran pernafasan atas) sedang infeksi yang mengenai saluran pernafasan
bagian bawah (dibawah epiglottis) disebut sebagai croup (laringotrakeitis), trakeobronkitis
virus akut, bronchitis, bronkiolitis atau pneumonia virus akut. Sindroma saluran pernafasan
dapat disebabkan oleh berbagai macam jenis virus yang masing-masing dapat memicu
penyakit saluran pernafasan akut dengan spektrum luas dimana etiologi penyakit pada anak-
anak dan orang dewasa berbeda.
Penyakit yang etiologinya diketahui, memiliki karakteristik epidemiologis yang sama,
seperti reservoir dan cara penularan. Sebagian besar virus-virus ini menginvasi seluruh bagian
saluran pernafasan, sedang yang lainnya memiliki predileksi menyerang bagian tubuh
tertentu. Beberapa jenis infeksi virus dapat menjadi faktor predisposisi bagi terjadinya
komplikasi infeksi bakteri. Morbiditas dan mortalitas penyakit saluran pernafasan akut sangat
tinggi pada kelompok anak-anak. sedang pada orang dewasa, insidensi penyakit ini relatif
tinggi dan memicu absenteisme dengan konsekuensi kerugian di bidang ekonomi,
sehingga penyakit saluran pernafasan akut merupakan masalah kesehatan warga yang
penting di seluruh dunia. Sebagai salah satu kelompok penyakit, penyakit saluran pernafasan
akut merupakan salah satu Pemicu kematian utama dari penyakit-penyakit infeksi.
Beberapa jenis infeksi lain saluran pernafasan dimasukkan kedalam satu entitas penyakit yang
jelas dan akan diuraikan dalam bab terpisah. Oleh sebab manifestasi klinis dan epidemiologi
penyakit ini sangat berbeda dan selalu ada hubungan dengan infeksi tunggal, misalnya
influenza, psittacosis, sindroma hantavirus paru, pneumonia klamidia, faringitis vesikuler
(herpangina) dan mialgia epidemika (pleurodinia). Khusus pada anak-anak, influenza
dimasukkan kedalam golongan penyakit saluran pernafasan akut.
Gejala-gejala yang muncul pada infeksi saluran pernafasan atas, terutama faringotonsilitis,
dapat juga disebabkan oleh bakteri, dimana streptokokus grup A yaitu Pemicu yang paling
umum. Infeksi harus dibedakan dengan infeksi bakteri atau mikroba lain. Oleh sebab itu
untuk infeksi bukan oleh virus telah tersedia obat antimikroba spesifik. Contohnya, walaupun
faringotonsilitis oleh virus sangat sering terjadi namun infeksi streptokokus grup A sebaiknya
dikesampingkan terlebih dahulu dengan melakukan tes antigen streptokokus cepat dan kultur,
terutama pada anak-anak di atas usia 2 tahun. Disamping itu, pada saat terjadi KLB non
streptokokus perlu dilakukan upaya untuk mengidentifikasi Pemicu penyakit secara klinis
dan dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat dengan sample representatif untuk
menyisihkan kemungkinan penyakit lain (misalnya mikoplasma pneumonia, pneumonia yang
disebabkan oleh klamidia, legionellosis dan demam Q yang apabila diberi pengobatan
spesifik, cukup efektif).
443
I. RHINITIS VIRUS AKUT – THE COMMOND COLD ICD-9 460; ICD-10 J00
(Rhinitis, Coryza [acute])
1. Identifikasi
yaitu penyakit infeksi catarrhal dari saluran pernafasan bagian atas yang memiliki
ciri-ciri coryza, bersin, lakrimasi, iritasi nasofaring, menggigil dan malaise yang
berlangsung selama 2-7 hari. Demam jarang terjadi pada anak-anak usia lebih dari 3 tahun
dan juga jarang pada orang dewasa. Tidak ada kematian yang dilaporkan, namun tingkat
absenteisme yang tinggi di tempat kerja atau sekolah menjadi sangat penting sebab
mempengaruhi hasil dan produktivitas kerja serta absensi di sekolah; penyakit ini bisa
disertai dengan laringitis, trakeitis atau bronkitis dan bisa terjadi komplikasi yang serius
serta sinusitis dan otitis media. Jumlah sel darah putih biasanya normal dan flora bakteri
pada saluran pernafasan biasanya dalam batas normal jika tidak terjadi komplikasi.
Dalam suatu penelitian dan dari hasil pemeriksaan laboratorium dengan kultur sel atau
kultur organ dari sekret hidung ditemukan virus pada 20-35% kasus. Dengan melihat
gambaran epidemiologis dan gambaran klinis serta manifestasi lain yang khas dari
commond cold akan mempermudah untuk membedakan penyakit ini dengan penyakit
yang mirip yang disebabkan oleh racun, alergi, rangsangan fisik atau psikologis.
2. Pemicu Infeksi
Rhinovirus, dikenal ada lebih dari 100 serotipe, yaitu Pemicu commond cold pada
orang dewasa; sekitar 20-40% kasus commond cold disebabkan virus ini, terutama pada
musim gugur. sedang Coronavirus, seperti 229E, OC43 dan B814 merupakan
Pemicu sekitar 10-15% dari commond cold dan influenza sebagai Pemicu sekitar 10-
15% dari commond cold pada orang dewasa; virus ini menonjol pada musim dingin dan
awal musim semi, pada saat prevalensi rhinovirus rendah. Virus saluran pernafasan lain
juga diketahui dapat memicu commond cold pada orang dewasa. Pada bayi dan
anak-anak, virus parainfluenza, Respiratory syncytial viruses (RSV), influenza,
adenovirus, enterovirus tertentu dan coronavirus memicu penyakit seperti commond
cold. Hampir setengah dari commond cold belum diketahui etiologinya.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar di seluruh dunia, baik bersifat endemis maupun muncul sebagai KLB. Di daerah
beriklim sedang, insidensi penyakit ini meningkat di musim gugur, musim dingin dan
musim semi; di daerah tropis, insidensi penyakit tinggi pada musim hujan. Sebagian besar
orang, kecuali mereka yang tinggal di daerah dengan jumlah warga sedikit dan
terisolasi, bisa terserang satu hingga 6 kali setiap tahunnya. Insidensi penyakit tinggi pada
anak-anak di bawah 5 tahun dan akan menurun secara bertahap sesuai dengan
bertambahnya umur.
4. Reservoir: - Manusia.
5. Cara Penularan
Diduga melalui kontak langsung atau melalui droplet; yang lebih penting lagi; penularan
tidak langsung dapat terjadi melalui tangan dan barang-barang yang baru saja
terkontaminasi oleh kotoran hidung dan mulut dari orang yang terinfeksi.
444
Rhinovirus, RSV dan kemungkinan virus-virus lainnya ditularkan melalui tangan yang
terkontaminasi dan membawa virus ini ke membran mukosa mata dan hidung.
6. Masa Inkubasi: Antara 12 jam sampai dengan 5 hari, biasanya rata-rata 48 jam bervariasi
sesuai dengan Pemicu penyakit.
7. Masa Penularan: Sukarelawan yang dipajan dengan sekret hidung penderita, 24 jam
sebelum onset dan 5 hari sesudah onset akan menderita sakit.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Setiap orang rentan terhadap penyakit ini. Infeksi tanpa gejala dan infeksi yang abortive
sering terjadi, frekuensi orang sehat yang menjadi carrier tidak diketahui dengan jelas
namun jarang ada carrier untuk jenis virus tertentu, misalnya seperti rhinovirus.
Berulangnya serangan penyakit kemungkinan besar sebab berkembang biak dan
meningkatnya jumlah virus, namun bisa juga sebab imunitas homolog yang terbentuk
terhadap serotipe yang berbeda dari virus yang sama bertahan dalam waktu yang pendek
atau sebab sebab lain.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Tindakan pencegahan
1) Lakukan penyuluhan/beri informasi kepada warga mengenai upaya
kebersihan perorangan seperti sering mencuci tangan, menutup mulut ketika batuk
dan bersin, dan pembuangan discharge dari mulut dan hidung dengan cara yang
saniter.
2) Bila memungkinkan, Hindari jangan sampai berjejal di ruang keluarga, tempat
tidur, di tempat-tempat seperti barak dan kabin kapal. Sediakan ventilasi yang
cukup.
3) Vaksin adenovirus oral terbukti efektif terhadap infeksi adenovirus 4, 7 dan 21
yang menyerang personil militer, namun tidak dianjurkan pemberiannya untuk
warga sipil sebab rendahnya insidensi dari infeksi virus yang spesifik.
4) Hindari merokok di rumah, dimana ada banyak anak-anak. sebab risiko terkena
pneumonia akan meningkat bila mereka menjadi perokok pasif.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat, laporan resmi tidak diperlukan, Kelas
5 (lihat tentang laporan penyakit menular).
2) , 3), 4), 5), 6), dan 7), Isolasi, Disinfeksi serentak, Karantina, Imunisasi kontak,
Investigasi kontak dan sumber infeksi, Pengobatan khusus: Lihat bagian II, 9B2
sampai 9B7 di bawah.
C, D dan E: Upaya penanggulangan wabah, Implikasi bencana dan Tindakan
lebih lanjut : Lihat bagian II, 9C, 9D dan 9E di bawah.
445
II. PENYAKIT SALURAN PERNAFASAN AKUT DENGAN DEMAM (ACUTE
FEBRILE RESPIRATORY DISEASE) ICD-9 461-466; 480; ICD-10 J01-J06; J12
(Tidak termasuk Faringitis Streptokokus, q.v. J02.0)
1. Identifikasi
Penyakit yang disebabkan oleh virus pada saluran pernafasan ditandai dengan demam dan
disertai satu atau lebih reaksi sistemik, seperti menggigil/kedinginan, sakit kepala,
malaise, dan anoreksi; kadang-kadang pada anak-anak ada gangguan gastrointestinal.
Tanda-tanda lokal juga terjadi di berbagai lokasi pada saluran pernafasan; bisa hanya satu
gejala atau kombinasi, seperti rhinitis, faringitis atau tonsillitis, laringitis, laringotrakeitis,
bronkitis, bronkiolitis, pneumonitis atau pneumonia. Mungkin juga terjadi konjungtivitis.
Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis biasanya berkurang sesudah 2-5 hari tanpa
komplikasi; namun Bagaimanapun, bisa terjadi komplikasi sinusitis bakteriil, otitis media
atau yang jarang sekali terjadi yaitu pneumonia yang disebabkan oleh bakteri.
Jumlah sel darah putih dan flora bakteri pada saluran pernafasan dalam batas normal,
kecuali jika terjadi komplikasi. Pada bayi, akan sulit membedakannya dengan pneumonia,
sepsis dan meningitis. Diagnosa spesifik ditegakkan dengan isolasi etiologi penyakit dari
sekret saluran pernafasan yang ditanam pada kultur sel yang tepat atau pada kultur organ.
Diagnosa juga ditegakkan dengan melakukan identifikasi dari antigen virus pada sel
nasofaring dengan tes FA, ELISA dan RIA, dan atau adanya kenaikan titer antibodi dari
pasangan sera.
2. Pemicu Penyakit
Virus parainfluenza tipe 1, 2, 3 dan jarang tipe 4; virus saluran pernafasan sinsitial
(respiratory Syncytial Virus, RSV); adenovirus, terutama tipe 1-5, 7, 14 dan 21;
rhinovirus, coronavirus tertentu; coxsackievirus grup A dan B tipe tertentu dan echovirus
diperkirakan sebagai Pemicu dari penyakit-penyakit demam saluran pernafasan akut.
Virus influenza (lihat Influenza) dapat memberikan gambaran klinis yang sama, terutama
pada anak-anak. Beberapa jenis virus ini memiliki tendensi lebih besar memicu
penyakit yang lebih parah; yang lainnya memiliki predileksi menyerang kelompok
umur tertentu.
RSV, sebagai virus Pemicu penyakit saluran pernafasan utama pada bayi, insidensi
penyakit ini paling tinggi pada bayi sampai usia 2 tahun; ia juga merupakan etiologi utama
dari bronkiolitis dan memicu pneumonia, croup, bronkitis, otitis media dan
penyakit-penyakit demam saluran pernafasan atas. Virus pada influenza diketahui sebagai
Pemicu utama dari croup dan dapat juga memicu bronkitis, pneumonia,
bronkiolitis dan penyakit-penyakit demam saluran pernafasan pada anak-anak. RSV dan
virus parainfluenza bisa memicu penyakit yang memberikan gejala pada orang
dewasa, terutama orang tua dan orang-orang dengan debilitas. Adenovirus sebagai
Pemicu berbagai bentuk penyakit saluran pernafasan; tipe 4, 7 dan 21 yaitu Pemicu
umum dari penyakit saluran pernafasan akut pada calon prajurit yang tidak diimunisasi;
pada bayi, adenovirus yaitu Pemicu penyakit paling agresif yang dapat memicu
kematian yang signifikan.
446
3. Distribusi Penyakit
Tersebar di seluruh dunia. Penyakit ini muncul dengan pola musiman di daerah beriklim
sedang, dengan insidensi tertinggi pada musim gugur dan musim salju, terkadang juga
pada musim semi. Di daerah tropis, infeksi saluran pernafasan lebih sering terjadi pada
musim dingin dan basah. Pada warga dengan jumlah warga besar, beberapa jenis
virus muncul memicu penyakit secara konstan, biasanya dengan sedikit pola
musiman (misalnya: adenovirus tipe 1); yang lainnya cenderung muncul sebagai KLB
yang jelas (misalnya RSV).
Insidensi tahunan biasanya tinggi, terutama pada bayi dan anak-anak, dengan 2-6 episode
tiap anak per tahun dan tergantung dari jumlah mereka yang rentan dan virulensi dari
Pemicu penyakit. Selama musim gugur, musim salju dan musim semi, angka serangan
(attack rate) untuk anak-anak prasekolah kira-kira 2% per minggu, bandingkan dengan
1% per minggu untuk anak-anak usia sekolah dan 0,5% pada orang dewasa. Dalam
keadaan lingkungan dan kondisi hospes tertentu, infeksi oleh virus bisa menyerang
setengah dari jumlah warga dalam waktu beberapa minggu (misalnya KLB adenovirus
tipe 4 atau 7 yang terjadi pada calon prajurit). Di AS, 2/3 dari semua bayi akan terinfeksi
RSV dalam waktu 12 bulan, 1/3 dari mereka akan berkembang menjadi penyakit saluran
pernafasan bagian bawah. Dari keseluruhan bayi yang terinfeksi RSV ini, 2,5% akan
dirawat di rumah sakit dan 1/1.000 bayi akan meninggal.
4. Reservoir
Manusia. Banyak jenis virus yang sudah dikenal memicu infeksi tanpa gejala;
adenovirus menjadi laten di tonsil dan adenoid. Beberapa jenis virus dari kelompok yang
sama memicu infeksi yang sama pada banyak spesies binatang namun bukan
merupakan ancaman bagi manusia.
5. Cara-cara Penularan
Kontak langsung melalui mulut dan droplet; atau penularan terjadi sebab kontak
langsung melalui tangan, saputangan, peralatan makan atau benda-benda lain yang baru
saja terkontaminasi oleh discharge saluran pernafasan dari orang yang terinfeksi. Virus
yang dikeluarkan melalui tinja, termasuk enterovirus dan adenovirus, bisa ditularkan
melalui jalur fekal-oral. KLB yang disebabkan oleh adenovirus tipe 3, 4 dan 7 pernah
terjadi sebab penularan yang terjadi di kolam renang.
6. Masa inkubasi: - Dari 1 – 10 hari.
7. Masa Penularan
Masa penularan berlangsung beberapa saat sebelum dan pada masa aktif dari penyakit ini;
hanya sedikit yang diketahui mengenai masa penularan pada infeksi subklinis atau laten.
Infeksi RSV pada bayi, virus sangat jarang bertahan selama beberapa minggu atau lebih
sesudah hilangnya gejala klinis.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Penyakit ini lebih sering menyerang bayi,
anak-anak dan orang tua dan penyakit pada usia ini biasanya lebih parah. Infeksi akan
merangsang Terbentuknya antibodi spesifik dan biasanya cepat hilang. Reinfeksi oleh
447
RSV dan virus parainfluenza sering terjadi, namun biasanya ringan. Orang-orang yang
menderita penyakit jantung, paru-paru atau sistem imunitas memiliki risiko terkena
penyakit dengan gejala yang lebih parah.
9. Kerentanan dan Kekebalan
A. Upaya pencegahan
Lihat bagian I, 9A, pada Rhinitis akut di atas. Bayi dan anak-anak memiliki risiko
lebih tinggi terkena komplikasi penyakit yang disebabkan oleh RSV, yaitu bayi dan
anak dibawah usia 2 tahun dengan penyakit paru kronis yang sedang mendapatkan
pengobatan untuk penyakit parunya dalam waktu 6 bulan pada musim penularan RSV
serta bayi prematur yang lahir pada usia kehamilan 32-35 minggu. Bayi-bayi yang
memiliki risiko tinggi ini akan terlindungi dari infeksi RSV bila diberi
immunoglobulin RSV intravena (RSV-IGIV). Pemberian palivizumab, preparat
antibodi monoclonal RSV yang diberikan kepada bayi secara intra muskuler,
mengurangi jumlah bayi yang dirawat sebab infeksi RSV di rumah sakit hingga
separohnya. Penting untuk diketahui, bahwa pemberian RSV-IGIV merupakan
kontraindikasi dan palivizumab tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada
orang-orang dengan kelainan jantung kongenital sianotik.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Laporan wajib diberikan bila terjadi
epidemi, tidak ada kasus individu yang perlu dilaporkan, kelas 4 (lihat tentang
laporan penyakit menular).
2) Isolasi: Isolasi kontak bisa dilakukan pada bagian Anak di rumah sakit. Di luar
rumah sakit, penderita sebaiknya menghindari kontak langsung dan atau tidak
langsung dengan anak-anak, orang dewasa dengan debilitas, orang tua atau orang
yang menderita penyakit lain.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap peralatan makan dan minum;
pembuangan discharge hidung dan mulut dengan cara saniter.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak selalu dilakukan.
7) Pengobatan spesifik: Tidak ada. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional tidak
disarankan; antibiotika hanya diberikan kepada penderita faringitis yang
disebabkan oleh streptokokus grup A dan kepada pasien dengan komplikasi
bakteriil yang jelas seperti otitis media, pneumonia atau sinusitis. Tidak ada
consensus yang sama tentang manajemen yang tepat bagi bayi dengan infeksi
RSV, terutama dalam hal pemberian ribavirin aerosol.
Dari sejumlah penelitian yang dilakukan di AS dan Kanada, tidak ada hasil yang jelas
berupa perbaikan klinis pada pemberian ribavirin aerosol kepada bayi dengan infeksi
RSV baik yang dirawat dengan bantuan ventilasi maupun tidak. Obat batuk,
dekongestan dan antihistamin dipertanyakan efektivitasnya dan bisa berbahaya
terutama pada anak-anak.
448
C. Penanggulangan wabah: Tidak ada tindakan yang cukup efektif. Beberapa kejadian
infeksi nosokomial dapat dicegah dengan hanya melakukan prosedur umum
pencegahan infeksi, seperti cuci-tangan yang benar; prosedur lain seperti iradiasi
dengan ultraviolet, pengendalian aerosol dan pengendalian debu tidak terbukti
bermanfaat. Hindari kerumuman orang (lihat seksi I, 9A2, di atas).
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.
RIKETSIOSES, DITULARKAN KUTU ICD-9 082; ICD-10 A77
(Spotted fever group, grup Demam Bercak)
Rikettsioses yaitu kelompok penyakit yang secara klinis sama dan disebabkan oleh rikettsia.
Penyakit-penyakit ini ditularkan oleh kutu iksodid (keras), yang tersebar di seluruh dunia;
spesies kutu sangat berbeda tergantung pada daerah geografisnya. Untuk semua jenis penyakit
demam riketsia ini, upaya pemberantasannya sama, tetrasiklin dan kloramfenikol efektif
untuk mengobati penyakit ini.
Tes enzyme immunoassay dan tes IFA pada umumnya memberi hasil positif pada minggu
kedua; tes CF yang memakai antigen grup spesifik demam bercak memberikan hasil
positif beberapa hari kemudian. Tes Weil-Felix memakai Proteus OX-19 dan antigen
Proteus OX-2 kurang spesifik dan sebaiknya dikonfirmasikan dengan tes serologis yang lebih
spesifik.
I. DEMAM BERCAK ROCKY MOUNTAIN ICD-9 082; ICD-10 A77.0
(Tifus kutu Amerika Utara, Demam Bercak Dunia Baru, Demam Tifus yang ditularkan
oleh kutu, Demam Sao Paulo)
1. Identifikasi
Ciri penyakit demam bercak kelompok Riketsia ini ditandai dengan onset yang tiba-tiba
dari demam ringan hingga demam tinggi, biasanya berlangsung selama 2-3 minggu pada
kasus yang tidak diobati, malaise yang jelas, sakit otot dalam, sakit kepala parah,
menggigigl dan injeksi konjungtiva. Ruam makulopapuler biasanya muncul di akhir hari
ketiga hingga kelima pada ekstremitas; yang segera akan menyebar ke telapak tangan dan
kaki, kemudian akan menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh. Eksantem berbentuk
petechiae terjadi pada 40% hingga 60% penderita, biasanya pada atau sesudah hari ke-6.
Case Fatality Rate-nya berkisar antara 13% hingga 25% bila tidak diberikan pengobatan
spesifik; dengan diagnosa dini dan pengobatan dini, kematian biasanya tidak terjadi.
Namun sekitar 3%-5% dari kasus-kasus yang dilaporkan di AS, akan berakhir dengan
kematian. Faktor risiko yang mendasari parahnya penyakit antara lain terlambatnya
pemberian antibiotika dan usia pasien lebih dari 40 tahun. Ruam tidak muncul atau ruam
terlambat atau kegagalan mengenal ruam yang khas pada penderita berkulit hitam
sehingga diagnosa dan pengobatan yang cepat dan tepat terlambat dilakukan, hal ini
meningkatkan angka kematian.
449
Demam bercak pegunungan Rocky (Rocky Mountain Spotted Fever, RMSF) pada awalnya
bisa dikelirukan dengan ehrliciosis, meningokoksemia (lihat Meningitis) dan infeksi
enterovirus.
Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan serologis dengan ditemukannya antibodi
spesifik terhadap antigent tertentu. Pada awal sakit, riketsia bisa dideteksi pada darah
dengan pemeriksaan PCR atau pada biopsi kulit pemeriksaan memakai immunostains
atau PCR.
2. Pemicu Penyakit: - Rickettsia rickettsii.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar di seluruh AS terutama dari bulan April hingga September. Hampir 50% dari
kasus yang dilaporkan pada tahun 1993 yaitu dari wilayah Atlantik selatan dan lebih dari
20% berasal dari wilayah Tengah-Selatan bagian Barat; angka insidensi tertinggi
ditemukan di daerah Karolina Utara dan Oklahoma. Beberapa kasus telah dilaporkan dari
wilayah Rocky Mountain. Di bagian barat AS, orang dewasa pria lebih sering terinfeksi,
sementara di bagian timur, insidensinya lebih tinggi pada anak-anak; perbedaan ini
berkaitan dengan kondisi dan tingkat pajanan dengan kutu yang terinfeksi. Infeksi juga
telah dilaporkan terjadi di Kanada, Meksiko bagian barat dan tengah, Panama, Kosta Rika,
Kolombia, Argentina dan Brasil.
4. Reservoir
Ada secara alami pada pinjal melalui pasasi transovarian dan transstadial. Riketsia dapat
ditularkan pada anjing, berbagai tikus dan binatang lain; binatang yang terinfeksi biasanya
subklinis tanpa gejala, namun telah diketahui penyakit terjadi pada tikus dan anjing.
5. Cara Penularan
Biasanya melalui gigitan pinjal yang terinfeksi. Setidaknya dibutuhkan waktu 4 sampai 6
jam sesudah kutu menempel dan menghisap darah, sebelum Riketsia direaktifkan dan
dapat menginfeksi manusia. Kontaminasi pada luka di kulit atau selaput lendir dengan
jaringan atau kotoran dari pinjal juga bisa menimbulkan infeksi. Di bagian timur dan
selatan AS, vektor yang umum yaitu pinjal anjing Amerika, Dermacentor variabilis, dan
di barat laut AS, pinjal kutu Rocky Mountain, D. andersoni. Vektor utama di Amerika
Latin yaitu A. cajennense.
6. Masa Inkubasi: - Dari 3 hingga 14 hari.
7. Masa Penularan: Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Pinjal tetap infektif
sepanjang hidupnya, biasanya sekitar 18 bulan.
8. Kerentanan dan Kekebalan: Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Satu kali
serangan bisa menimbulkan imunitas yang lama.
450
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Tindakan pencegahan
1) Juga lihat penyakit Lyme, 9A. Buang pinjal yang baru menggigit atau pinjal yang
sedang merayap sesudah terpajan.
2) Cari dan bersihkan anjing dari pinjal dan gunakan kalung anjing yang sudah diberi
repelan untuk mengurangi populasi pinjal di sekitar tempat tinggal.
3) Tidak ada vaksin yang mendapat ijin beredar di AS. Percobaan vaksin
konvensional yaitu vaksin dengan organisme mati gagal melindungi infeksi 75%
resipien yang diberi imunisasi.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Kasus wajib dilaporkan di sebagian
besar negara bagian di AS dan kebanyakan di negara-negara lain, Kelas 2B (lihat
tentang pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak dilakukan.
3) Disinfeksi serentak: Buang semua pinjal dengan hati-hati dari semua penderita.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Tidak penting.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak bermanfaat kecuali dilakukan
dengan gerakan warga serentak (Lihat penyakit Lyme, 9C).
7) Pengobatan spesifik: Tetrasiklin (biasanya doksisiklin) diberikan setiap hari per
oral atau intravena selama 5-7 hari dan paling sedikit selama 48 jam setelah
penderita tidak panas. Kloramfenikol juga bisa digunakan, namun diberikan jika
ada kontraindikasi pemberian tetrasiklin. Pengobatan segera dilakukan cukup
dengan pertimbangan epidemiologis dan klinis tanpa menunggu konfirmasi
laboratorium untuk menunjang diagnosa.
C. Penanggulangan wabah: Lihat penyakit Lyme, 9C.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.
II. DEMAM BOUTONNEUSE ICD-9 082; ICD-10 A77.1
(Demam kutu Mediterania, Demam bercak Mediterania, Demam Marseilles, Tifus pinjal
Kenya, Tifus pinjal India, Tifus pinjal Israel)
1. Identifikasi
Penyakit dengan gejala demam ringan hingga berat yang berlangsung selama beberapa
hari hingga 2 minggu; mungkin ada lesi primer atau jaringan parut pada tempat gigitan
pinjal. Jaringan parut ini (tache noire), akan nampak semakin jelas pada saat demam, ia
berupa ulkus kecil berukuran 2-5 mm dengan warna hitam di tengah dengan warna merah
di sekitarnya; kelenjar limfe setempat kadang-kadang membesar. Di beberapa tempat,
seperti di Negev, Israel, lesi primer jarang ditemukan.
451
Ruam eritema makulopapuler biasanya muncul di telapak tangan dan telapak kaki pada
hari ke-4 hingga 5 dan bertahan selama 6-7 hari; dengan pengobatan antibiotika, demam
akan berlangsung selama tidak lebih dari 2 hari. Case Fataliry Rate-nya sangat rendah
(kurang dari 3%) walaupun tanpa terapi spesifik.
Diagnosa dikonfirmasikan dengan melakukan tes serologi atau PCR atau immunostains
dari biopsi jaringan. Dari kultur darah pada fibroblast manusia satu lapis bisa
memperlihatkan adanya organisme ini dengan tes DFA.
2. Pemicu Penyakit: Rickettsia conorii dan organisme lain yang sejenis.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar luas di seluruh benua Afrika, India dan bagian lain dari Eropa dan daerah Timur
Tengah yang berdekatan dengan Mediterania, Laut Kaspia dan Laut Hitam. Meluasnya
daerah endemis dari Eropa ke bagian utara terjadi sebab para pelancong kadang-kadang
membawa anjing-anjing mereka; anjing terinfeksi oleh pinjal dan membawanya pulang.
4. Reservoir: sama dengan RMSF (lihat bagian 1,4 di atas).
5. Cara Penularan: Di daerah Mediterania, melalui gigitan Rhipicephalus sanguineus, kutu
anjing coklat yang terinfeksi.
6. Masa Inkubasi: Biasanya 5-7 hari.
7, 8 dan 9. Masa Penularan, Kerentanan dan Kekebalan, Cara-cara Pemberantasan: -
Sama dengan RMSF (lihat bagian I, 7,8 dan 9 di atas).
III. DEMAM GIGITAN PINJAL AFRIKA ICD-9 082; ICD-10 A77.8
1. Identifikasi
Secara klinis dengan demam Boutonneuse (lihat bagian II, di atas), namun penyebaran
ruam biasanya tidak jelas atau tidak ada pada demam gigitan kutu Afrika. Jaringan parut
multiple, limfangitis, limfadenopati dan pembengkakan yang terjadi di sekitar jaringan
parut lebih sering terjadi pada demam gigitan pinjal Afrika dibandingkan demam
Boutonneuse. KLB penyakit ini bisa terjadi pada saat kelompok pelancong (seperti orang
yang melakukan safari di Afrika) digigit oleh pinjal. Penyakit ini sering dibawa ke AS dan
Eropa.
2. Pemicu Penyakit: - Rickettsia africae.
3. Distribusi Penyakit: Sub-Sahara Afrika, termasuk Boswana, Zimbabwe, Swazilan dan
Afrika Selatan.
4. Reservoir: Seperti pada RMSF (lihat seksi 1 dan 4 di atas).
452
5. Cara Penularan: Seperti RMSF (lihat seksi 1 dan 5 di atas), Amblyoma hebreum
berperan sebagai vektor utama.
6. Masa Inkubasi: - 1 – 15 hari (media inkubasi rata-rata 4 hari sesudah gigitan kutu).
7, 8 dan 9. Masa Penularan, Kerentanan dan Kekebalan, Cara-cara Pemberantasan:
Seperti RMSF (lihat seksi 1, 7, 8 dan 9 di atas).
IV. TIFUS PINJAL QUEENSLAND ICD-9 082.3; ICD-10 A77.3
1. Identifikasi
Gambaran klinis sama dengan seperti demam Boutonneuse (lihat seksi II, di atas).
2. Pemicu penyakit: Rickettsia australis.
3. Distribusi penyakit: Quuensland, New South Wales, Tasmania dan daerah pantai di
Viktoria Timur, Australia.
4. Reservoir: seperti RMSF (lihat seksi I, 4 di atas).
5. Cara Penularan: Seperti pada RMSF (lihat seksi I, 5, di atas). Ixodes holocylus,
yangmenginfeksi binatang berkantong dan tikus liar, mungkin vektor utama.
6. Masa inkubasi: 7-10 hari.
7, 8 dan 9. Masa penularan, Kerentanan dan kekebalan, Cara-cara pemberantasan:
Sama seperti RMSF (lihat bagian I, 7, 8 dan 9 di atas).
V. DEMAM PINJAL ASIA UTARA ICD-9 082.2; ICD-10 A77.2
1. Identifikasi
Gambaran klinis sama dengan demam Boutonneuse (lihat seksi II di atas).
2. Pemicu penyakit: - Rickettsia sibirica.
3. Distribusi Penyakit: Daerah Asia, di bekas Uni Soviet, Cina Utara dan Republik Rakyat
Mongolia.
4. Reservoir: Seperti RMSF (lihat bagian I, 4 di atas).
5. Cara penularan: melalui gigitan kutu genus Dermacentor dan Haemaphysalis, yang
menginfeksi tikus liar.
453
6. Masa inkubasi: - 2 sampai 7 hari.
7, 8 dan 9. Masa penularan, Kerentanan dan Kekebalan, Cara-cara pemberantasan:
Sama seperti RMSF (lihat bagian I, 7, 8 dan 9 di atas).
VI. RICKETTSIALPOX ICD-9 083.2; ICD-10 A79.1
(Rickettsiosis vesikuler)
Penyakit yang menimbulkan demam akut dan ditularkan oleh kutu. Lesi kulit awal
ditemukan pada tempat gigitan, kadang menimbulkan limfadenopati, diikuti dengan
demam; muncul ruam kulit vesikuler dan menyebar, yang biasanya tidak ada pada telapak
tangan dan kaki dan akan menetap selama beberapa hari. Penyakit ini mungkin
dikelirukan dengan cacar air. Kematian jarang terjadi dan infeksi ini bereaksi baik dengan
tetrasiklin. Diagnosa dibuat dengan melakukan pemeriksaan serologis atau PCR atau
dengan immunostains dari biopsi jaringan. Penyakit ini disebabkan oleh Rickettsia akari,
salah satu anggota dari kelompok demam bercak Rickettsiae, ditularkan kepada manusia
melalui tikus (Mus musculus) melalui gigitan (Liponyssoides sanguineus). Ini terjadi
terutama di daerah perkotaan di bagian timur AS; kebanyakan kasus ditemukan di New
York City dan bekas Uni Soviet. Insidensi penyakit menurun secara bermakna dengan
dilakukannya perbaikan cara pengolahan sampah perumahan, sehingga hanya ditemukan
beberapa kasus saja akhir-akhir ini. Di bekas Uni Soviet, tikus commensal dilaporkan
sebagai reservoir. R. akari ditemukan dan diisolasi di Afrika dan Korea. Upaya
pencegahan dilakukan dengan eliminasi tikus dan pemberantasan pinjal.
RUBELLA ICD-9 056; ICD-10 B06
(Campak Jerman)
RUBELLA KONGENITAL ICD-9 771.0; ICD-10 P35.0
(Sindroma Rubella Kongenital)
1. Identifikasi
Rubella yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus dan menimbulkan demam ringan
dengan ruam pungtata dan ruam makulopapuler yang menyebar dan kadang-kadang mirip
dengan campak atau demam scarlet. Anak-anak biasanya memberikan gejala
konstitusional yang minimal, namun orang dewasa akan mengalami gejala prodromal
selama 1-5 hari berupa demam ringan, sakit kepala, malaise, coryza ringan dan
konjungtivitis. Limfadenopati post aurikuler, oksipital dan servikal posterior muncul dan
merupakan ciri khas dari infeksi virus ini yang biasanya muncul 5-10 hari sebelum
timbulnya ruam. Hampir separuh dari infeksi ini tanpa ruam. Lekopeni umum terjadi dan
trombositopeni juga bisa terjadi, namun manifestasi perdarahan jarang. Arthalgia dan, yang
lebih jarang terjadi, arthritis sebagai komplikasi infeksi ini terutama pada wanita dewasa.
Ensefalitis dan trombositopeni jarang terjadi pada anak-anak; ensefalitis terjadi lebih
sering pada orang dewasa.
454
Rubella menjadi penting sebab penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan pada janin.
Sindroma rubella congenital (Congenital Rubella Syndrome, CRS) terjadi pada 90% bayi
yang dilahirkan oleh wanita yang terinfeksi rubella selama trimester pertama kehamilan;
risiko kecacatan congenital ini menurun hingga kira-kira 10-20% pada minggu ke-16 dan
lebih jarang terjadi bila ibu terkena infeksi pada usia kehamilan 20 minggu.
Infeksi janin pada usia lebih muda memiliki risiko kematian di dalam rahim, abortus
spontan dan kecacatan congenital dari sistem organ tubuh utama. Cacat yang terjadi bisa
satu atau kombinasi dari jenis kecacatan berikut seperti tuli, katarak, mikroftalmia,
glaucoma congenital, mikrosefali, meningoensefalitis, keterbelakangan mental, patent
ductus arteriosus, defek septum atrium atau ventrikel jantung, purpura,
hepatosplenomegali, icterus dan penyakit tulang radiolusen. Penyakit CRS yang sedang
dan berat biasanya sudah dapat diketahui ketika bayi baru lahir; sedang kasus ringan
yang mengganggu organ jantung atau tuli sebagian, bisa saja tidak terdeteksi beberapa
bulan bahkan hingga beberapa tahun setelah bayi baru lahir. Diabetes mellitus dengan
ketergantungan insulin diketahui sebagai manifestasi lambat dari CRS. Malformasi
congenital dan bahkan kematian janin bisa terjadi pada ibu yang menderita rubella tanpa
gejala.
Membedakan rubella dengan campak (q.v.), demam scarlet (lihat infeksi Streptokokus)
dan penyakit ruam lainnya (misalnya infeksi eritema dan eksantema subitum) perlu
dilakukan sebab gejalanya sangat mirip. Ruam makuler dan makulopapuler juga terjadi
pada sekitar 1-5% penderita dengan infeksi mononucleosis (terutama jika diberikan
ampisilin), juga pada infeksi dengan enterovirus tertentu dan sesudah mendapat obat
tertentu.
Diangosa klinis rubella kadang tidak akurat. Konfirmasi laboratorium hanya bisa
dipercaya untuk infeksi akut. Infeksi rubella dapat dipastikan dengan adanya peningkatan
signifikan titer antibodi fase akut dan konvalesens dengan tes ELISA, HAI, pasif HA atau
tes LA, atau dengan adanya IgM spesifik rubella yang mengindikasikan infeksi rubella
sedang terjadi.
Sera sebaiknya dikumpulkan secepat mungkin (dalam kurun waktu 7-10 hari) sesudah
onset penyakit dan pengambilan berikutnya setidaknya 7-14 hari (lebih baik 2-3 minggu)
kemudian. Virus bisa diisolasi dari faring 1 minggu sebelum dan hingga 2 minggu
sesudah timbul ruam. Virus bisa ditemukan dari contoh darah, urin dan tinja. Namun
isolasi virus yaitu prosedur panjang yang membutuhkan waktu sekitar 10-14 hari.
Diagnosa dari CRS pada bayi baru lahir dipastikan dengan ditemukan adanya antibodi
IgM spesifik pada spesimen tunggal, dengan titer antibodi spesifik terhadap rubella diluar
waktu yang diperkirakan titer antibodi maternal IgG masih ada, atau melalui isolasi virus
yang mungkin berkembang biak pada tenggorokan dan urin paling tidak selama 1 tahun.
Virus juga bisa dideteksi dari katarak kongenital hingga bayi berumur 3 tahun.
2. Pemicu penyakit: Virus rubella (famili Togaviridae; genus Rubivirus).
3. Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia, umumnya endemis, kecuali pada warga yang terisolasi,
terutama warga kepulauan tertentu yang mengalami KLB setiap 10-15 tahun.
Penyakit ini banyak muncul pada musim dingin dan musim semi. Wabah yang sangat luas
terjadi di AS pada tahun 1935, 1943 dan 1964 dan di Australia pada tahun 1940. Sebelum
455
vaksin rubella diijinkan beredar pada tahun 1969, puncak insidensi rubella terjadi di AS
setiap 6-9 tahun sekali. Selama tahun 1990-an insidensi rubella di AS menurun dengan
drastic. Namun persentasi kasus diantara orang asing yang lahir disana meningkat tajam
pada saat yang sama. Selama tahun 1990-an, KLB rubella di AS terjadi di tempat kerja,
pada institusi, di warga umum dan lingkungan lain dimana anak-anak muda dan
mereka yang berangkat dewasa berkumpul. Virus rubella bertahan pada orang yang tidak
diimunisasi.
4. Reservoir: - Manusia.
5. Cara Penularan
Kontak dengan sekret nasofaring dari orang terinfeksi. Infeksi terjadi melalui droplet atau
kontak langsung dengan penderita. Pada lingkungan tertutup seperti di asrama calon
prajurit, semua orang yang rentan dan terpajan bisa terinfeksi. Bayi dengan CRS
mengandung virus pada sekret nasofaring dan urin mereka dalam jumlah besar, sehingga
menjadi sumber infeksi.
6. Masa inkubasi: dari 14-17 hari kisaran antara 14-21 hari.
7. Masa penularan
Sekitar 1 minggu sebelum dan paling sedikit 4 hari sesudah onset ruam; penyakit ini
sangat menular. Bayi dengan CRS kemungkinan tetap mengandung virus selama
berbulan-bulan sesudah lahir.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi virus rubella setelah kekebalan pasif yang didapat
melalui plasenta dari ibu hilang. Imunitas aktif didapat melalui infeksi alami atau setelah
mendapat imunisasi; kekebalan yang didapat biasanya permanent sesudah infeksi alami
dan sesudah imunisasi diperkirakan kekebalan juga akan berlangsung lama, bisa seumur
hidup, namun hal ini tergantung juga pada tingkat endemisitas. Di AS, sekitar 10% dari
warga tetap rentan. Bayi yang lahir dari ibu yang imun biasanya terlindungi selama 6-
9 bulan,tergantung dari kadar antibodi ibu yang didapat secara pasif melalui plasenta.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Tindakan pencegahan
1) Lakukan penyuluhan kepada warga umum mengenai cara penularan dan
pentingnya imunisasi rubella. Penyuluhan oleh petugas kesehatan sebaiknya
menganjurkan pemberian imunisasi rubella untuk semua orang yang rentan. Upaya
diarahkan untuk meningkatkan cakupan imunisasi rubella pada orang dewasa dan
dewasa muda yang rentan; perlu dikaji tingkat kekebalan orang-orang yang lahir di
luar AS, hal ini perlu diberikan Perhatian khusus.
2) Berikan dosis tunggal vaksin hidup, yaitu vaksin virus rubella yang dilemahkan
(Rubella virus vaccine, Live), dosis tunggal ini memberikan respons antibodi yang
signifikan, yaitu kira-kira 98-99% dari orang yang rentan.
456
3) Vaksin ini dikemas dalam bentuk kering dan sesudah dilarutkan harus disimpan
dalam suhu 2-80C (35,60- 46,40F) atau pada suhu yang lebih dingin dan dilindungi
dari sinar matahari agar tetap poten. Vaksin virus bisa ditemukan pada nasofaring
dari orang-orang yang telah diimunisasi pada minggu ke-2 hingga ke-4 sesudah
imunisasi, umumnya hanya bertahan selama beberapa hari, namun virus ini tidak
menular. Di AS, imunisasi kepada semua anak-anak direkomendasikan diberikan
pada usia 12-15 bulan sebagai bagian dari vaksin kombinasi campak dan vaksin
gondongan (Measles Mumps and Rubella=MMR) dan dosis kedua MMR diberikan
pada usia anak masuk sekolah atau dewasa muda. Ditemukannya penyakit rubella
terus-menerus diantara orang-orang yang lahir di luar AS, mengindikasikan bahwa
pemberian imunisasi rubella harus dilakukan pada komunitas ini. Vaksin rubella
dapat diberikan kepada semua wanita yang tidak hamil tanpa kontraindikasi.
Dewasa muda yang rentan dan memiliki riwayat kontak dengan anak-anak atau
berkumpul bersama di kampus atau institusi lain seperti tinggal di asrama
sebaiknya diimunisasi. Semua petugas kesehatan sebaiknya sudah kebal terhadap
rubella terutama orang-orang yang kontak dan merawat penderita di bagian
prenatal. Bukti adanya kekebalan diindikasikan dengan adanya antibodi spesifik
terhadap rubella dan pemeriksaan laboratorium atau bukti tertulis bahwa seseorang
telah diimunisasi rubella pada saat atau sesudah ulang tahunnya yang pertama.
Vaksin rubella sebaiknya tidak diberikan kepada orang yang tidak memiliki
sistem kekebalan atau mendapat terapi imunosupresif; namun MMR
direkomendasikan untuk diberikan kepada orang-orang dengan infeksi HIV yang
asimtomatik. Pemberian vaksin MMR sebaiknya dipertimbangkan bagi penderita
HIV dengan gejala. Secara teoritis, wanita yang diketahui hamil atau
merencanakan hamil, 3 bulan mendatang sebaiknya tidak diimunisasi. Namun dari
hasil catatan di CDC Atlanta menunjukkan bahwa dari 321 wanita yang
diimunisasi rubella pada waktu hamil, semuanya melahirkan aterm dengan bayi
yang sehat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada program imunisasi rubella yaitu selalu
menanyakan kepada wanita pasca pubertas apakah mereka hamil, dan mereka yang
menyatakan ya tidak diberikan imunisasi dan kepada yang lain yang tidak hamil
diberi penjelasan pentingnya mencegah kehamilan selama 3 bulan mendatang serta
diberi penjelasan risiko teoritis yang akan terjadi jika hal ini dilanggar. Status
imunisasi seseorang hanya dapat dapat dipercaya bila dilakukan tes serologis,
namun hal ini tidak terlalu penting untuk diketahui sebelum pemberian imunisasi
sebab vaksin ini sangat aman diberikan kepada orang yang sudah kebal. Di
beberapa negara, imunisasi rutin diberikan kepada gadis remaja usia 11 hingga 13
tahun dengan atau tanpa tes antibodi sebelumnya. Di banyak negara yaitu AS,
Australia dan Skandinavia, dosis kedua vaksin MMR direkomendasikan untuk
diberikan kepada remaja pria maupun wanita. Untuk lebih jelasnya, lihat
penjelasan mengenai Campak, 9A1.
4) Jika diketahui adanya infeksi alamiah pada awal kehamilan, tindakan aborsi
sebaiknya dipertimbangkan sebab risiko terjadinya cacat pada janin sangat tinggi.
Pada beberapa penelitian yang dilakukan pada wanita hamil yang tidak sengaja
diimunisasi, kecacatan kongenital pada bayi yang lahir hidup tidak ditemukan;
dengan demikian imunisasi yang terlanjur diberikan pada wanita yang kemudian
457
ternyata hamil tidak perlu dilakukan aborsi, namun risiko mungkin terjadi sebaiknya
dijelaskan. Keputusan akhir apabila akan dilakukan aborsi diserahkan kepada
wanita ini dan dokter yang merawatnya.
5) IG yang diberikan sesudah pajanan pada awal masa kehamilan mungkin tidak
melindungi terhadap terjadinya infeksi atau viremia, namun mungkin bisa
mengurangi gejala klinis yang timbul. IG kadang-kadang diberikan dalam dosis
yang besar (20 ml) kepada wanita hamil yang rentan yang terpajan penyakit ini
yang tidak menginginkan dilakukan aborsi sebab alasan tertentu, namun
manfaatnya belum terbukti.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Semua kasus rubella dan CRS harus
dilaporkan. Di AS, laporan wajib dilakukan, Kelas 3 B (lihat tentang pelaporan
penyakit menular).
2) Isolasi: Di rumah sakit dan institusi lain, terhadap penderita yang dicurigai
menderita rubella sebaiknya dirawat dengan tindakan pencegahan isolasi kontak
dan ditempatkan di ruang terpisah; upaya harus dilakukan untuk mencegah
pajanan kepada wanita hamil yang tidak diimunisasi . Anak-anak yang sakit
dilarang ke sekolah dan begitu juga orang dewasa yang sakit dilarang bekerja
selama 7 hari sesudah munculnya ruam. Bayi dengan CRS mungkin mengandung
virus dalam tubuhnya untuk jangka waktu yang lama. Semua orang yang kontak
dengan bayi dengan CRS harus sudah kebal terhadap rubella dan bayi-bayi ini
sebaiknya dipisahkan di ruang isolasi. Terhadap bayi yang menderita CRS ini
tindakan tindakan kewaspadaan isolasi sebaiknya diberlakukan setiap saat bayi ini
dirawat di rumah sakit sebelum bayi berusia 1 tahun, kecuali hasil kultur faring
dan urin negatif tidak ditemukan virus sesudah bayi berumur lebih dari 3 bulan.
3) Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi kontak: Pemberian imunisasi selama tidak ada kontraindikasi (kecuali
selama kehamilan) tidak mencegah infeksi atau kesakitan. Imunisasi pasif dengan
IG tidak dianjurkan (kecuali seperti yang dijelaskan pada 9A4 di atas).
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan investigasi dan identifikasi wanita
hamil yang kontak dengan penderita, terutama wanita hamil pada trimester
pertama. Mereka yang pernah kontak dengan penderita ini sebaiknya dilakukan
pemeriksaan serologis untuk melihat tingkat kerentanannya atau untuk melihat
apakah ada infeksi awal (antibodi IgM) dan terhadap mereka diberi nasihat
seperlunya.
7) Pengobatan spesifik: Tidak ada.
C. Penanggulangan wabah
1) Untuk menanggulangi KLB rubella, laporkan segera seluruh penderita dan
tersangka rubella dan seluruh kontak dan mereka yang masih rentan diberi
imunisasi.
2) Petugas dan praktisi kesehatan serta warga umum sebaiknya diberi informasi
tentang adanya KLB rubella agar dapat mengidentifikasi dan melindungi wanita
hamil yang rentan.
458
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
SALMONELLOSIS ICD-9 003; ICD-10 A02.0
1. Identifikasi
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang umumnya ditandai dengan gejala
enterokolitis akut, dengan sakit kepala yang tiba-tiba, sakit perut, diare, mual dan kadang-
kadang muntah. Dehidrasi, terutama yang terjadi pada anak-anak atau pada orang tua, bisa
berat. Demam biasanya selalu ada. Anoreksi dan diare kadang muncul selama beberapa
hari. Infeksi bisa bisa dimulai dengan enterokolitis akut dan berkembang menjadi
septicemia atau hanya infeksi lokal. Kadang-kadang, Pemicu infeksi terlokalisir di
jaringan tubuh tertentu, memicu abses dan septic arthritis, kolesistitis, endokarditis,
meningitis, perikarditis, pneumonia, pyoderma atau pyelonefritis. Kematian jarang terjadi,
kecuali pada mereka yang berusia sangat muda atau sangat tua, orang-orang yang lemah
atau orang dengan imunosupresif. Namun morbiditas dan hal yang berhubungan dengan
biaya yang hilang sebab salmonellosis cukup tinggi.
Pada kasus septicemia, Salmonella mungkin bisa diisolasi pada media enterik dari contoh
tinja dan darah selama fase akut dari penyakit. Pada kasus enterokolitis, ekskresi
salmonella melalui tinja biasanya berlangsung selama beberapa hari atau beberapa
minggu sesudah fase akut dari penyakit; pemberian antibiotika mungkin tidak mengurangi
waktu lamanya organisme diekskresikan. Untuk mendeteksi infeksi asimtomatik, 3-10
gram tinja sebagai sample lebih baik daripada rectal swabs dan sample tinja ini
diinokulasikan ke dalam media yang dipercaya; spesimen dikumpulkan selama beberapa
hari sebab ekskresi organisme ini melalui tinja tidak berlangsung tiap hari. Tes serologis
tidak begitu bermanfaat dalam menegakkan diagnosa.
2. Pemicu Penyakit
Nomenklatur baru untuk Salmonella telah diusulkan berdasarkan pada keterkaitan DNA.
Menurut nomenklatur tadi, hanya ada 2 spesies yaitu Salmonella bongori dan Salmonella
enterica (kedua genus dan spesies ditulis dengan huruf miring). Seluruh salmonella yang
patogen terhadap manusia dianggap sebagai serovarian dalam subspecies I dan S. enterica.
Nomenklatur baru tadi akan mengubah S. typhi menjadi S. enterica serovar Typhi dan
dipendekkan menjadi S. typhi (perhatikan bahwa Typhi tidak ditulis miring dan dengan
huruf besar). Beberapa lembaga resmi telah memakai nomenklatur baru walaupun
secara resmi belum disetujui hingga pertengahan tahun 1999. Nomenklatur baru
digunakan didalam bab ini.
Banyak serotipe Salmonella patogen terhadap binatang maupun manusia (strain manusia
yang memicu demam Tifoid dan paratifoid akan dijelaskan pada bab yang berbeda).
Prevalensi berbagai serotipe yang berbeda bervariasi di berbagai negara; do beberapa
negara yang melakukan surveilans salmonella dengan baik, Salmonella enterica serovar
Typhimurium (S. typhimurium) dan Salmonella enterica serovar Entiritidis (S. enteritidis)
yaitu yang paling banyak dilaporkan. Dari 2.000 jenis lebih serotipe, hanya 200 yang
dideteksi di AS. Di banyak daerah, hanya sejumlah kecil serotipe saja yang dilaporkan
sebagai Pemicu kebanyakan kasus.
459
3. Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia; lebih banyak dilaporkan di Amerika Utara dan Eropa sebab
sistem pelaporannya baik. Salmonellosis dikategorikan sebagai penyakit yang ditularkan
melalui makanan (foodborne disease) oleh sebab makanan yang terkontaminasi, terutama
kontaminasi oleh binatang, merupakan cara penularan yang utama. Hanya sebagian kecil
saja dari kasus-kasus ini yang diketahui secara klinis dan di negara-negara industri hanya
sekitar 1% kasus yang dilaporkan. Incidence rate tertinggi pada bayi dan anak kecil.
Secara epidemiologis, gastroenteritis Salmonella bisa terjadi berupa KLB kecil di
lingkungan warga umum. Sekitar 60-80% dari semua kasus muncul secara sporadis;
namun KLB besar di rumah sakit, institusi anak-anak, restoran dan tempat penitipan anak-
anak atau orang tua jarang terjadi dan biasanya muncul sebab makanan yang
terkontaminasi, atau yang lebih jarang terjadi, yaitu pencemaran yang terjadi sebab
makanan diolah orang yang menjadi carrier, penularan dari orang ke orang dapat terjadi.
Diperkirakan bahwa sekitar 5 juta kasus salmonellosis terjadi setiap tahun di AS. KLB
yang pernah terjadi di AS memicu 25.000 orang jatuh sakit disebabkan oleh suplai
air minum perkotaan yang tidak diklorinasi; wabah tunggal etrbesar yang pernah terjadi
disebabkan oleh susu yang tidak dipasteurisasi memicu 285.000 orang jatuh sakit.
4. Reservoir
Sejumlah besar binatang peliharaan dan binatang liar bertindak sebagai reservoir,
termasuk unggas, babi, hewan ternak, tikus dan binatang peliharaan seperti iguana,
tortoise, kura-kura, terapin, ayam, anjing, kucing dan juga manusia misalnya penderita,
carrier yang sedang dalam masa penyembuhan dan terutama kasus-kasus ringan dan kasus
tanpa gejala. Carrier kronis jarang terjadi pada manusia namun cukup tinggi pada binatang
dan burung.
5. Cara-cara penularan
Penularan terjadi sebab menelan organisme yang ada di dalam makanan yang berasal dari
binatang yang terinfeksi atau makanan yang terkontaminasi oleh kotoran binatang atau
kotoran orang yang terinfeksi. Sebagai contoh yaitu telur dan produk telur yang tidak
dimasak dengan baik (misalnya suhu yang kurang tinggi), susu mentah dan produk susu,
air yang terkontaminasi, daging dan produk daging, unggas dan produk unggas.
Disamping itu binatang peliharaan seperti kura-kura, iguana dan anak ayam atau obat-
obatan berbahan dasar hewan yang tidak disterilkan merupakan sumber yang potensial
bagi penularan bakteri ini. Beberapa KLB salmonellosis yang terjadi baru-baru ini telah
diketahui bersumber dari buah dan sayuran yang terkontaminasi pada saat disiapkan.
Infeksi yang ditularkan kepada binatang ternak melalui makanan dan pupuk yang berasal
dari potongan daging afkir yang terkontaminasi, makanan ikan dan tulang; infeksi terjadi
pada waktu proses pemeliharaan ternak dan pada saat hewan dipotong. Penularan rute
fekal-oral dari orang ke orang menjadi sangat penting, terutama pada saat orang ini
terkena diare; tinja dari anak dan orang dewasa yang menderita diare memiliki risiko
penularan yang lebih besar daripada penularan oleh carrier yang asimtomatik. Dari
beberapa serotipe, hanya beberapa jenis organisme yang tertelan yang dapat memicu
460
infeksi sebab adanya penahan dari asam lambung, biasanya untuk terjadi infeksi
dibutuhkan jumlah organisme > 102-3.
KLB biasanya terjadi akibat makanan seperti produk daging, produk unggas; makanan
mengandung telur yang tidak dimasak atau yang hanya dimasak sebentar, produk telur,
susu mentah dan produk susu, termasuk susu bubuk dan makanan yang terkontaminasi
tinja dari penjamah makanan. KLB juga bisa dilacak dari makanan dan produk unggas
yang diproses atau diolah memakai alat-alat yang terkontaminasi atau diolah pada
permukaan atau meja yang terkontaminasi pada waktu penggunaan sebelumnya. Infeksi S.
enteritidis pada ayam dan telur telah memicu KLB dan kasus tunggal, terutama di
bagian timur laut AS dan Eropa, dan serotipe ini menjadi Pemicu utama kasus
salmonellosis di AS. Organisme ini dapat berkembang biak pada berbagai jenis makanan,
terutama susu, sampai mencapai jumlah yang infektif; suhu yang tidak tepat selama
pengolahan dan kontaminasi silang yang terjadi selama makanan ini sampai kepada
konsumen yaitu faktor risiko yang paling penting. KLB di rumah sakit cenderung
berlangsung lebih lama, sebab organisme bertahan di lingkungan rumah sakit; KLB ini
biasanya dimulai dari makanan yang terkontaminasi dan menular dari orang ke orang
melalui tangan yang tercemar dari orang yang mengolah makan atau melalui melalui alat
yang digunakan. Bagian kebidanan dengan bayi yang terinfeksi (pada saat itu
asimtomatik) bisa menjadi sumber penularan selanjutnya. Kontaminasi suplai air minum
public yang tidak diklorinasi dan yang tercemar oleh tinja dapat memicu KLB
ekstensif. Beberapa tahun terakhir KLB yang terjadi yang meluas ke wilayah geografis
tertentu diketahui sebab mengkonsumsi tomat atau melon dari supplier tunggal.
6. Masa inkubasi: dari 6 hingga 72 jam, biasanya sekitar 12-36 jam.
7. Masa penularan
Penularan terjadi selama sakit; lamanya sangat bervariasi, biasanya berlangsung beberapa
hari hingga beberapa minggu. Carrier yang temporer biasanya terus menjadi acrrier
selama beberapa bulan, terutama pada anak-anak. Tergantung pada serotipenya, kira-kira
1% dari orang dewasa yang terinfeksi dan 5% anak-anak < 5 tahun yang terinfeksi akan
mengeluarkan organisme ini selama lebih dari 1 tahun.
8. Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap penyakit ini dan biasanya bertambah rentan dengan adanya
achlorhydria (tidak adanya asam hidroklorid di lambung), pada terapi antasida, bedah
gastrointestinal, pernah mendapat atau sedang menjalani terapi antibiotika, penyakit
neoplastik, terapi yang memicu daya tahan tubuh menjadi lemah dan keadaan lain
yang melemahkan kondisi tubuh seperti malnutrisi. Berat ringannya penyakit ini
tergantung kepada serotipe, jumlah organisme yang tertelan dan faktor hospes. Orang
yang terinfeksi HIV memiliki risiko untuk terkena septicemia Salmonella non Tifoid
berulang. Septikemia pada orang dengan penyakit sickle-cell menambah risiko infeksi
sistemik fokal misalnya dapat terjadi osteomielitis.
461
9. Cara-cara pemberantasan
A. Upaya pencegahan
1) Lakukan penyuluhan kepada pengolah makanan tentang pentingnya:
a) mencuci tangan sebelum, selama dan sesudah mengolah makanan.
b) mendinginkan makanan yang sudah diolah didalam wadah kecil.
c) Memasak dengan sempurna semua bahan makanan yang berasal dari binatang,
terutama unggas, babi, produk telur dan produk daging.
d) Hindari rekontaminasi didalam dapur sesudah memasak.
e) Menjaga kebersihan di dapur dan melindungi makanan dari kontaminasi tikus
dan insektisida.
2) Lakukan penyuluhan kepada warga untuk menghindari mengkonsumsi telur
mentah atau setengah matang, seperti telur ya