penyakit menular 20


 ng dimasak “over easy”  atau “sunny 

side”, minuman eggnog atau es krim buatan sendiri dan memakai   telur yang 

kotor atau retak. 

3) Orang yang menderita diare sebaiknya tidak mengolah atau menjamah makanan 

dan tidak boleh merawat penderita di rumah sakit atau rumah penitipan baik untuk 

penitipan anak maupun orang tua. 

4) Sampaikan kepada mereka yang menjadi carrier, akan pentingnya mencuci tangan 

yang benar sesudah buang air besar (dan sebelum menjamah makanan) dan 

sebaiknya mereka yang tidak mengolah dan menjamah makanan selama mereka 

menjadi carrier. 

5) Perlu diketahui oleh semua anggota keluarga tentang risiko infeksi Salmonella pada 

binatang peliharaan. Ayam, bebek dan kura-kura yaitu   binatang peliharaan yang 

berbahaya untuk anak kecil. 

6) Sediakan fasilitas radiasi dan Anjurkan warga  untuk memakai   daging dan 

telur yang sudah diradiasi. 

7) Lakukan inspeksi dan supervisi  yang ketat terhadap tempat-tempat pemotongan 

hewan, pabrik pengolahan makanan, tempat pengolahan susu, tempat pensortiran 

telur dan toko daging. 

8) Buat rencana program pemberantasan Salmonella (pengawasan makanan, 

kebersihan dan disinfeksi, pemberantasan vektor dan upaya sanitasi lain). 

9)  Pakan ternak yang berasal dari binatang (daging,, tulang ikan, makanan binatang 

peliharaan) sebaiknya dimasak atau dipanaskan dengan benar (termasuk 

pasterurisasi dan iradiasi). Untuk Menghilangkan patogen; Hindari rekontaminasi. 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Kasus wajib dilaporkan, Kelas 2B 

(lihat tentang pelaporan penyakit menular). 

2) Isolasi: Untuk penderita yang dirawat di rumah sakit, lakukan tindakan 

kewaspadaan enterik dalam penanganan tinja dan baju serta alas tempat tidur yang 

terkontaminasi. Orang yang terinfeksi dan menunjukkan gejala dilarang untuk 

mengolah dan menjamah makanan dan dilarang merawat langsung orang tua, 

anak-anak, orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah atau penderita yang 

dirawat di rumah sakit. Larangan ini berlaku juga bagi orang yang terinfeksi tanpa 

gejala dimana kebiasaan kebersihan perorangannya diragukan, hal ini mungkin 

juga perlu diatur dalam peraturan daerah setempat.  

 

 462

Jika peraturan larangan ini ada, maka syarat orang ini  untuk boleh kembali 

bekerja yaitu   kultur tinja untuk Salmonella setidaknya 2 kali berturut-turut 

hasilnya negatif dimana tinja ini masing-masing dikumpulkan dalam waktu tidak 

kurang dari 24 jam; apabila telah diberikan antibiotika maka kultur pertama 

sebaiknya dilakukan paling cepat 48 jam sesudah pemberian obat terakhir. 

Kebiasaan mencuci tangan dengan baik harus ditekankan. 

3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap tinja dan barang-barang lain 

yang terkontaminasi. Pada kelompok masyakat dengan sistem pembuangan 

kotoran yang modern dan baik, tinja dapat dibuang langsung ke saluran 

pembuangan tanpa disinfeksi awal. Pembersihan menyeluruh. 

4) Karantina: Tidak dilakukan. 

5) Imunisasi kontak: Tidak ada imunisasi yang tersedia. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Lakukan kultur tinja bagi semua kontak 

yang ada di rumah yang pekerjaannya mengolah makanan, merawat orang sakit, 

merawat anak-anak dan merawat orang tua di panti-panti asuhan. 

7) Pengobatan spesifik: Untuk penderita enterokolitis tanpa komplikasi tidak ada 

pengobatan spesifik kecuali tindakan rehidrasi dan Penggantian elektrolit dengan 

larutan rehidrasi oral (lihat Kolera, 9B7). Pemberian antibiotika mungkin tidak 

Menghilangkan status carrier dan malah bisa memicu  terjadinya strain yang 

resisten atau infeksi akan menjadi lebih parah. Namun terhadap bayi dibawah usia 

2 bulan, orang tua, orang debil, orang dengan penyakit sickle-sel, orang yang 

terinfeksi HIV, atau penderita dengan demam tinggi yang terus-menerus atau 

orang yang dengan manifestasi  infeksi ekstra intestinal sebaiknya diberi terapi 

antibiotika. Tingkat resistensi antimikroba dari salmonella non Tifoid biasanya 

bervariasi, pada orang dewasa, siprofloksasin sangat efektif namun  obat ini tidak 

digunakan pada anak-anak; ampisilin atau amoksisilin juga bisa digunakan. TMP-

SMX dan kloramfenikol merupakan alternative antimikroba bagi strain yang 

resisten. Penderita yang terinfeksi HIV bisa membutuhkan pengobatan jangka 

panjang untuk mencegah septicemia sebab  Salmonella. 

 

C. Upaya penanggulangan wabah: Lihat penyakit yang ditularkan melalui makanan, 

intoksikasi makanan sebab  Stafilokokus, 9 C1 dan 9C2. Cari tempat dimana 

terjadinya kesalahan dalam pengolahan makanan, seperti penggunaan bahan makanan 

mentah yang terkontaminasi, makanan dimasak kurang sempurna, suhu yang kurang 

tinggi dan terjadinya kontaminasi silang. Di AS, KLB  S. enteritidis yang disebabkan 

oleh konsumsi makanan yang mengandung telur, dilakukan pelacakan ulang asal telur 

dan disarankan untuk melaporkannya ke Departemen Pertanian. 

 

D.  Implikasi bencana: KLB bisa terjadi di tempat penampungan pengungsi atau  pada 

institusi dengan higiene dan sanitasi yang buruk dimana pemberian makanan 

dilakukan secara massal. 

 

E. Tindakan lebih lanjut :  Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.  

 

 

 

 

 463

SCABIES       CD-9 133.0; ICD-10 B86 

(Sarcoptic Itch, Acariasis) 

 

 

1.  Identifikasi 

Infeksi parasit pada kulit yang disebabkan oleh kutu, penetrasi pada kulit terlihat jelas 

berbentuk papula, vesikula atau berupa saluran kecil berjejer, berisi kutu dan telurnya. 

Lesi kebanyakan terjadi disekitar jari, sekitar pergelangan tangan dan siku ketiak, 

pinggang, paha dan bagian luar genital pada pria; puting susu, daerah perut, dan bagian 

bawah pantat yaitu   daerah yang paling sering terkena pada wanita. Pada bayi mungkin 

menyerang daerah leher, telapak tangan, telapak kaki, daerah-daerah ini  biasanya 

tidak terkena pada orang yang lebih tua. Gatal hebat terjadi terutama pada malam hari, 

namun  komplikasi terbatas hanya terjadi pada luka akibat garukan. 

Pada orang yang mengalami penurunan kekebalan dan pada pasien lanjutsia gejala sering 

muncul sebagai dermatitis yang lebih luas dan saluran/terowongan yang terbentuk, 

bersisik dan kadang-kadang terjadi vesikulasi dan pembentukan krusta (Norwegian 

scabies); rasa gatal mungkin berkurang atau hilang. 

Jika dapat terjadi komplikasi dengan kuman β hemolytic streptococcus, bisa terjadi 

glomerulonefritis akut. 

Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya kutu melalui pemeriksaan dengan 

mikroskop yang diambil dari saluran atau terowongan pada lesi kulit. Hati-hati sewaktu 

memilih lesi kulit untuk diambil spesimennya, pilihlah lesi yang belum pernah digaruk. 

Pemberian minyak mineral akan memudahkan pengambilan spesimen untuk pemerikasaan 

mikroskopis. Spesimen diperiksa dibawah mikroskop setelah ditutup denngan dek glass. 

Lesi pada kulit yang diberi tinta kemudian dicuci akan menyingkap saluran-saluran yang 

ada. 

 

2. Pemicu  Penyakit : Sarcoptes scabiei, sejenis kutu 

 

3.  Distribusi Penyakit :  

 Tersebar di seluruh dunia. Kejadian wabah disebabkan oleh buruknya sanitasi lingkungan 

sebab  peperangan, pengungsian dan krisis ekonomi. Penyebaran scabies di AS dan Eropa 

yang terjadi belakangan ini ternyata terjadi pada situasi normal, tidak ada peperangan, 

tidak ada krisis, menyerang warga  disemua tingkat sosial tanpa melihat faktor usia, 

ras, jenis kelamin atau status kesehatan seseorang. Scabies endemis disebagian besar 

negara berkembang. 

 

4. Reservoir 

Reservoir yaitu   manusia; species sarcoptes dan kutu lainnya dari hewan dapat hidup 

pada manusia namun  tidak dapat berkembang biak pada manusia. 

 

5.  Cara-cara penularan 

Perpindahan parasit dapat terjadi secara kontak langsung melalui gesekan kulit dan dapat 

juga terjadi pada waktu melakukan hubungan seksual. Perpindahan dari pakaian dalam 

dan sprei terjadi jika barang-barang tadi terkontaminasi oleh penderita yang belum 

diobati. Kutu dapat membuat saluran dibawah permukaan kulit dalam 2,5 menit.  

 

 464

Orang dengan “Norwegian scabies” sangat mudah menular sebab  kulit yang terkelupas 

mengandung banyak kutu. 

 

6. Masa inkubasi 

Masa inkubasi berlangsung 2 sampai 6 minggu sebelum serangan gatal muncul pada 

orang yang sebelumnya belum pernah terpajan. Orang yang sebelumnya pernah menderita 

scabies maka gejala akan muncul 1 – 4 hari setelah infeksi ulang. 

 

7. Masa penularan 

Akan tetap menular kecuali kutu dan telur sudah dihancurkan dengan pengobatan, 

biasanya setelah dilakukan 1 atau 2 kali pengobatan dalam seminggu. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

Diperkirakan terjadi sedikit kekebalan setelah infeksi. Orang yang memiliki  masalah 

dengan sistem kekebalan tubuh akan menderita scabies lebih berat. Orang yang pernah 

terkena infeksi lebih tahan terhadap infeksi ulang walaupun tetap masih bisa terkena 

infeksi dibandingkan dengan mereka yang sebelumnya belum pernah terinfeksi. 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan 

Lakukan penyuluhan kepada warga  dan komunitas kesehatan tentang cara 

penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita scabies dan orang-orang yang 

kontak 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: Laporan resmi tidak dilakukan, kelas 5 (lihat tentang 

laporan penyakit menular). 

2) Isolasi: Siswa sekolah atau pekerja yang terinfeksi dilarang masuk ke sekolah dan 

pekerja sampai dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah Sakit 

diisolasi sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif. 

3) Disinfeksi serentak: Pakaian dalam dan sprei yang digunakan oleh penderita dalam 

48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci dengan memakai   sistem 

pemanasan pada proses pencucian dan pengeringan, hal ini membunuh kutu dan 

telur. Tindakan ini tidak dibutuhkan pada infestasi yang berat. Mencuci sprei, 

sarung bantal dan pakaian pada penderita Norwegian scabies sangat penting 

sebab  potensi untuk menularkan sangat tinggi 

4) Karantina: Tidak diperlukan 

5) Immunisasi kontak: tidak ada 

6) Penyelidikan terhadap penderita kontak dan sumber penularan: Temukan penderita 

yang tidak dilaporkan dan tidak terdeteksi diantara teman dan anggota keluarga; 

penderita tunggal dalam satu keluarga jarang ditemukan. Berikan pengobatan 

profilaktik kepada mereka yang kontak kulit ke kulit dengan penderita (anggota 

keluarga dan kontak seksual) 

7) Pengobatan spesifik: Pengobatan pada anak-anak yaitu   dengan permetrin 5%. 

Alternatif pengobatan memakai   gamma benzena hexachloride 1% (lindane 

dan Kwell® obat ini kontra indikasi untuk bayi yang lahir premature dan 

pemberiannya harus hati-hati kepada bayi yang berumur < 1 tahun serta ibu yang 

 

 465

sedang hamil); Crotamiton (Eurax ®); Tetraethylthiuram monosulfide (Tetmosol®, 

tidak tersedia di AS) dalam 5% larutan diberikan 2 kali sehari; atau memakai   

emulsi benzyl benzoate untuk seluruh badan kecuali kepala dan leher. (Rincian 

pengobatan bervariasi tergantung dari jenis obat yang digunakan). Pada hari 

berikutnya setelah pengobatan mandi berendam untuk membersihkan badan, baju 

dan sprei diganti dengan yang bersih. Rasa gatal mungkin akan tetap ada selama 1 

sampai 2 minggu; hal ini jangan dianggap bahwa pengobatan ini  gagal atau 

telah terjadi reinfeksi. Pengobatan berlebihan sering terjadi, untuk itu harus 

dihindari sebab  dapat memicu  keracunan terhadap obat ini  terutama 

gamma benzena hexachloride. Sekitar 5% kasus, perlu pengobatan ulang dengan 

interval 7 – 10 hari jika telur bertahan dengan pengobatan pertama. Lakukkan 

supervisi ketat terhadap pengobatan, begitu juga mandi yang bersih yaitu   

penting.     

C. Penanggulangan wabah 

1) Berikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita dan orang yang berisiko. 

Kadangkala diperlukan kerjasama warga  dengan otoritas militer. 

2) Pengobatan dilakukan secara massal. 

3) Penemuan kasus dilakukan secara serentak baik didalam keluarga, didalam unit 

atau institusi militer, jika memungkinkan penderita dipindahkan. 

4) Sediakan sabun, sarana pemandian, dan pencucian umum. Sabun Tetmosol jika 

ada sangat membantu dalam pencegahan infeksi. 

D.  Implikasi bencana : Kemungkinan besar menimbulkan KLB pada situasi menusia 

penuh sesak 

 

E. Tindakan lebih lanjut  : Tidak ada 

 

 

 

SCHISTOSOMIASIS      ICD-9 120; ICD-10 B65 

(Bilharziasis, Demam Keong) 

 

1. Identifikasi 

yaitu   infeksi oleh sejenis cacing trematoda baik oleh cacing jantan maupun cacing 

betina yang hidup dalam pembuluh darah vena mesenterica atau pembuluh darah vena 

kandung kemih dari inang selama siklus hidup bertahun-tahun. Telur membentuk 

granulomata dan jaringan parut pada organ dimana telur diletakkan. Gejala klinis yang 

timbul tergantung pada jumlah dan letak telur pada tubuh manusia sebagai inang. 

Schistosoma mansoni dan S. japonicum gejala utamanya yaitu   pada hati dan saluran 

pencernaan dengan gejala-gejala seperti diare, sakit perut da pembesaran hati dan limpa 

(hepatosplenomegaly); pada S. haemotobium gejala klinis pada saluran kencing, seperti 

dysuria, sering kencing dan kencing darah pada akhir kencing. 

 

 

Akibat patologis terpenting yaitu   komplikasi yang timbul dari infeksi kronis berupa 

 

 466

pembentukan jaringan fibrosis di hati, hipertensi portal dengan segala akibatnya dan 

mungkin saja diikuti dengan timbulnya keganasan pada colon dan rectum; obstruksi 

uropati, yang mendorong terjadinya infeksi oleh bakteri, kemandulan dan juga 

kemungkinan timbul kanker kandung kemih pada schistosomiasis saluran kencing. Telur 

dari ketiga jenis Schistosoma dapat diletakkan pada daerah diluar usus, seperti otak, 

sumsum tulang belakang, kulit, pelvis dan di daerah vulvovaginal. 

Larva schistosoma tertentu pada burung dan hewan menyusui dapat menembus kulit 

manusia dan mangakibatkan penyakit kulit (dermatitis), yang dikenal sebagai “Swimmer’s 

itch”; jenis ini tidak bisa berkembang pada manusia. Infeksi jenis ini bisa ditemukan 

diantara para perenang di danau dibanyak tempat di dunia, termasuk Great lakes di 

Amerika Utara dan di pesisir pantai tertentu di California. Namun apa yang disebut 

dengan “sea bather’s eruption” merupakan pruritic dermatitis yang sering muncul sehabis 

memakai baju renang (sering terjadi diantara perenang di pantai Florida Selatan, Karibia 

dan Long Island dan New York) ternyata hal itu disebabkan oleh larva dari beberapa 

spesies ubur-ubur. 

Diagnosa pasti schistosomiasis tergantung dari ditemukannya telur dibawah mikroskop 

pada preparat hapus langsung atau preparat hapus tebal Kato dari spesimen urin dengan 

filtrasi nuclearpore atau dari spesimen biopsi. Filtrasi nuclearpore pada urin biasanya 

digunakan pada infeksi S. haematobium. Test immunology yang bermanfaat untuk 

menegakkan diagnosa antara lain analisis immunoblot, test precipitin, IFA dan ELISA 

dengan antigen telur dan cacing dewasa dan RIA dengan antigen telur yang sudah 

dimurnikan atau dengan antigen cacing dewasa; hasil positif pada test serologis sebagai 

bukti adanya infeksi sebelumnya dan tidak membuktikan infeksi yang sedang 

berlangsung. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

Schistisoma mansoni, S. haematobium dan S. japonicum merupakan spesies utama yang 

memicu  penyakit pada manusia. S. mekongi, S. malayensis, S. mattheei dan S. 

intercalatum, hanya sebagai Pemicu  penyakit di daerah tertentu. 

 

3. Distribusi penyakit 

S. mansoni ditemukan di Afrika (termasuk Madagaskar); Semenanjung Arab; Brazil; 

Suriname dan Venezuela di Amerika Selatan dan di beberapa kepulauan Karibia. 

S. haematobium ditemukan di Afrika termasuk Madagaskar dan Mauritius dan Timur 

Tengah. 

S. japonicum ditemukan di Cina, Taiwan, Philipna dan Sulawesi (Indonesia); Jepang 

(tidak ada kasus baru yang ditemukan sejak tahun 1978 setelah program pemberantasan 

secara intensif). 

S. Mekongi ditemukan pada daerah aliran Sungai Mekong di Laos, kamboja dan Thailand. 

S. intercalatum ditemukan di beberapa bagian Afrika Barat, termasuk Kamerun, Republik 

Afrika Tengah, Chad, gabon, Sao Tome dan Kongo. 

S. mattheei ditemukan di Afrika Selatan. 

S. malayensis hanya dikenal dari Semenanjung Malayia. Tidak ada satupun dari jenis 

spesies ini yang ditemukan di Amerika Utara. 

 

4. Reservoir 

 

 467

Manusia merupakan reservoir utama untuk S. haematobium, S. intercalatum dan       S. 

mansoni. 

Manusia, anjing, kucing, babi, ternak sapi, kerbau air, kuda dan binatang pengerat liar 

merupakan hospes potensial dari S. Japonicum; gambaran epidemiologis relatif berbeda 

pada daerah yang berbeda. 

S. malayensis merupakan parasit rodentia yang terkadang menginfeksi manusia. 

Secara epidemiologis bertahannya siklus parasit tergantung adanya keong yang tepat 

berperan sebagai inang antara, contohnya spesies dari genus : 

Biomphalaria untuk S. mansoni 

 Bulinus untuk S. haematobium, S. intercalatum dan S, matteei 

 Oncomelania untuk S. japonicum 

 Neotricula untuk S. mekongi dan 

 Robertsiella untuk S. malayensis 

 

5. Cara-cara penularan 

Infeksi didapat melalui air yang mengandung bentuk larva yang berenang bebas (serkaria) 

yang sebelumnya berkembang di tubuh keong. Telur S. haematobium dikeluarkan dari 

tubuh mamalia, umumnya melalui urin, sedang  spesies lain melalui feces. Telur 

menetas di air dan melepaskan larva (mirasidium) memasuki tubuh keong air tawar yang 

cocok sebagai inang. Setelah beberapa minggu, serkaria muncul dari keong dan 

menembus kulit manusia, biasanya ketika orang sedang bekerja,berenang atau melintasi 

air, serkaria kemudian memasuki aliran darah, dibawa ke pembuluh darah paru berpindah 

ke hati, berkembang menjadi matang dan migrasi ke pembuluh darah vena di rongga 

perut. 

Bentuk dewasa cacing S. mansoni, S. japonicum, S. mekongi, S. mattheei dan S. 

intercalatum biasanya tinggal di vena mesenterika; S. haematobium biasanya berpindah 

melalui anastomosis dari vena dan sampai pada plexus dari kandung kemih. Telur cacing 

diletakkan pada venulae dan kemudian lepas masuk ke rongga usus besar, kandung kemih 

atau organ lain termasuk hati dan paru-paru. 

 

6. Masa inkubasi 

Gejala sistemik akut (Demam Katayama) dapat terjadi pada infeksi primer 2 – 6 minggu 

setelah terpajan, yaitu sebelum atau pada saat telur diletakkan. Gejala umum akut jarang 

terjadi namun  dapat saja timbul pada infeksi S. haematobium. 

 

7. Masa penularan 

Tidak terjadi penularan dari orang ke orang, namun orang yang menderita schistosomiasis 

kronis menyebarkan infeksi dengan dikeluarkannya telur bersama urin atau feces kedalam 

badan air, orang ini tetap menular selama mereka terus mengeluarkan telur; orang yang 

terinfeksi oleh S. mansoni dan S. haematobium masa penularan bertahan sampai lebih dari 

10 tahun. Keong yang terinfeksi akan melepaskan serkaria selama keong itu hidup, yaitu 

dari beberapa minggu sampai dengan tiga bulan. 

 

 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

 

 468

Semua orang rentan terhadap infeksi, terbentuknya kekebalan sebagai akibat dari infeksi 

tidak diketahui dengan jelas 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

A. Cara-cara pencegahan 

1) Memberi penyuluhan kepada warga  di daerah endemis tentang cara-cara 

penularan dan cara pemberantasan penyakit ini. 

2) Buang air besar dam buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing tidak 

mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang antara. 

Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum  perlu dilakukan namun  

biasanya tidak praktis. 

3) Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian; mengurangi habitat keong dengan 

membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau dengan mengeringkan dan 

mengalirkan air 

4) Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang tersedia 

mungkin terbatas untuk penggunaan moluskisida ini) 

5) Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi (contoh : gunakan 

sepatu bot karet). Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air 

yang terkontaminsai dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja yaitu kulit 

yang basah dengan air yang diduga terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk. 

Bisa juga dengan mengoleskan alkohol 70% segera pada kulit untuk membunuh 

serkaria. 

6) Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya diambil 

dari sumber yang bebas serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk membunuh 

serkariannya. Cara yang efektif untuk membunuh serkaria yaitu air diberi iodine 

atau chlorine atau dengan memakai   kertas saring. Membiarkan air selama 48 

– 72 jam sebelum digunakan juga dianggap efektif. 

7) Obati penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk mencegah penyakit 

berlanjut dan mengurangi penularan dengan mengurangi pelepasan telur oleh 

cacing. 

8) Para wisatawan yang mengunjungi daerah endemis harus diberitahu akan risiko 

penularan dan cara pencegahan 

 

B. Penanganan penderita, kontak dan lingkungn sekitarnya 

1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Di daerah endemis tertentu di kebanyakan 

negara, bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan, kelas 3C (lihat 

pelaporan penyakit menular) 

2) Isolasi: Tidak dilakukan 

3) Disinfeksi serentak: Buang air besar dan buang air kecil dijamban yang saniter. 

4) Karantina: Tidak ada. 

5) Pemberian imunisasi: Tidak ada. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : cari kontak untuk kemungkinan infeksi 

“common source”. Penemuan sumber penularan merupakan upaya yang harus 

dilakukan bersama warga  (lihat 9C, di bawah) 

 

7) Pengobatan spesifik : Praziquantel (Biltricide®) yaitu   pilihan untuk semua 

 

 469

spesies. Obat alternatif yaitu   oxamniquine untuk S. mansoni dan metrifonate 

untuk S. haematobium. 

 

C. Upaya penanggulangan wabah 

Cari dan temukan semua penderita schistosomiasis dan obati seluruh warga  yang 

terinfeksi terutama mereka yang mengeluarkan telur dalam jumlah sedang dan banyak; 

berikan perhatian khusus kepada anak-anak. Sediakan air bersih, beri peringatan 

kepada warga  untuk tidak kontak dengan air yang kemungkinan besar 

terkontaminasi serkaria dan cegah pencemaran air. Di daerah dengan tingkat 

kepadatan populasi keong yang tinggi, lakukan upaya pemberantasan dengan 

memakai   moluskisida. 

 

D. Implikasi bencana: Tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut  :  Manfaatkan Pusat-pusat Kerjasama WHO 

 

 

 

SHIGELLOSIS       ICD-9 004; ICD-10 A03 

(Disenteri Basiler) 

 

 

1. Identifikasi 

Penyakit bakteri akut yang menyerang usus besar dan bagian distal usus halus ditandai 

dengan diare disertai demam, nausea dan kadang-kadang toksemia, muntah, kram dan 

tenesmus. Pada kasus-kasus yang khas kotoran mengandung darah dan lendir (disenteri) 

sebagai akibat adanya ulcerasi pada mukosa usus, terbentuknya koloni kripte mikroabses 

yang konfluen disebabkan oleh invasi organisme, namun  kebanyakan kasus datang dengan 

diare cair. Konvulsi mungkin merupakan kompliksi yang sering terjadi pada anak-anak. 

Bakteriemia jarang terjadi. Ada juga kasus ringan dan tanpa gejala. Penyakit akan sembuh 

dengan sendirinya rata-rata setelah 4 – 7 hari. Berat ringannya penyakit dan “case fatality 

rate” merupakan fungsi dari inang (umur dan status gizi dari inang) serta sero tipe dari 

Shigella. Shigella dysenteriae 1 (Shiga bacillus) sering memicu  penyakit serius dan 

komplikasi berat seperti toksix megakolon dan sindroma uremia hemolitik; angka 

kematian rata-rata dari kasus berat mencapai 20% dari kasus yang dirawat dirumah sakit 

tahun belakangan ini. Sebaliknya banyak infeksi oleh S. Sonnei menimbulkan penyakit 

dengan gejala klinik yang pendek dan hampair tidak dan kematian kecuali pada orang 

dengan masalah kekebalan tubuh. Strain tertentu dari S. flexnery dapat memicu  

Reactive arthropathy (sindroma Reiter) khususnya pada orang yang secara genetis 

memiliki   antigen HLA-B27. 

Diagnosa bakteriologis dibuat dengan cara isolasi dari Shigella yang berasal dari tinja atau 

apus dubur. Pemeriksaan laboratorium yang cepat dan tepat dengan memakai   media 

yang tepat (ada dua jenis media yaitu low selectivity – Mac Conkey agar dan satu lagi 

yaitu   high selectivity-XLD atau S/S agar) meningkatkan kecermatan isolasi Shigella.  

 

Upaya khusus diperlukan untuk mengisolasi S. dysenteriae tipe 1, sebab  organisme ini 

 

 470

dihalangi pertumbuhannya oleh beberapa media terpilih termasuk S/S agar. Infeksi 

biasanya tergabung dengan ditemukannya leukosit dalam jumlah yang sangat banyak 

dalam tinja dengan pemeriksaan mikroskopis dari spesimen yang dicat dengan metilin 

blue atau gram stain. 

 

2. Pemicu  penyakit 

Pemicu  penyakit yaitu   genus Shigella yang terdiri dari 4 spesies atau sero grup: grup 

A, S. Dysenteriae; group B, S. flexneri; group C, S. boydii; group D, S.sonnei. 

Grup A, B, C dan D selanjutnya dibagi dalam 12, 14 dan 18 serotipe dan sub tipe, masing-

masing ditulis dengan bilangan arab dan huruf kecil (contoh S. flexneri 2a). Sebaliknya S. 

sonei terdiri dari hanya satu sero tipe. Tingkat virulensi spesifik dari plasmid sangat 

menentukan tingkat kemampuan invasif dari Shigella. Dosis yang diperlukan untuk 

menimbulkan kesakitan pada manusia cukup rendah yaitu 10 – 100 bakteri, dibuktikan 

melalui percobaan pada sukarelawan. 

 

3. Distribusi penyakit 

Tersebar diseluruh dunia bahwa shigellosis dipekirakan memicu  sekitar 600.000 

kematian per tahun diseluruh dunia. Dua per tiga kasus dan yang kebanyakan meninggal 

yaitu   anak-anak umur < 10 tahun. Penyakit ini jarang terjadi pada bayi berusia dibawah 

6 bulan. Rata-rata serangan kedua pada anggota keluarga mencapai diatas 40%. Wabah 

umumnya terjadi pada kelompok homoseksual; pada kondisi “crowding”; ditempat-tempat 

dimana sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan rendah seperti di penjara, tempat 

penitipan anak, panti asuhan, rumah sakit jiwa dan pada tempat pengungsi yang padat. 

Shigellosis endemis pada daerah iklim tropis maupun iklim sedang;, kasus-kasus yang 

dilaporkan hanyalah sebagian kecil saja dari kasus, yang sebenarnya terjadi. 

Lebih dari satu sero tipe ditemukan diwarga ; infeksi campuran dengan patogen lain 

sering terjadi. Pada umumnya S. flexneri, S.Boydii dan S. dysenteriae paling banyak 

ditemukan dinegara berkembang sebaliknya S. sonnei paling sering ditemukan dan S. 

dysenteriae paling sedikit ditemukan di negara maju. 

Shigella yang resisten terhadap multiantibiotik (seperti S. dysenteriae 1) ditemukan di 

seluruh dunia dan sebagai akibat pemakaian antibiotika yang tidak rasional. 

 

4. Reservoir 

Reservoir utama yaitu   manusia, wabah yang lama pernah terjadi pada koloni primata. 

 

5. Cara penularan 

Cara penularan utama yaitu   secara langsung atau tidak langsung melalui rute oro fekal 

dari penderita dengan gejala atau dari asymptomatic carrier jangka pendek. Penularan 

terjadi setelah menelan organisme dalam jumlah yang sangat kecil (10-100). Mereka yang 

bertanggung jawab terjadinya penularan penyakit yaitu   mereka yang tidak memotong 

kuku dan tidak mencuci tangan setelah buang air besar. Mereka dapat menularkan 

penyakit kepada orang lain secara langsung dengan kontak fisik atau tidak langsung 

melalui kontaminasi makanan dengan tinja; air dan susu dapat menjadi sumber penularan 

sebab  terkontaminasi langsung dengan tinja; serangga dapat menularkan organisme dari 

tinja ke makanan yang tidak tertutup. 

6. Masa inkubasi 

 

 471

Biasanya 1 – 3 hari namun  dapat bervariasi dari 12 – 96 jam sampai dengan satu mingu 

untuk S. Dysenteriae 1 

 

7. Masa penularan 

Masa penularan berlangsung selama masa akut sampai dengan organisme tidak ditemukan 

lagi dalam tinja feces, biasanya sampai dengan 4 minggu setelah sakit. Asymptomatic 

carrier dapat menularkan penyakit; status carrier dapat bertahan sampai sebulan atau lebih 

lama. Pengobatan dengan antibiotika dapat mengurangi lamanya seseorang sebagai carrier 

sampai dengan beberapa hari. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan 

Setiap orang rentan terhadap infeksi, dengan menelan organisme dalam jumlah kecil 

orang sudah bisa sakit; pada daerah endemis lebih sering anak-anak yang diserang 

dibandingkan dengan orang dewasa, diantara mereka yang terinfeksi banyak yang tanpa 

gejala. Orang tua dan mereka dengan debilitas, dan mereka dengan gizi kurang cenderung 

untuk menderita panyakit berat dan kematian. Pemberian makanan tambahan memberikan 

proteksi kepada bayi dan anak-anak. Dari hasil penelitian eksperimental pemberian vaksin 

hidup sero tipe spesifik melalui oral dan pemberian vaksin parenteral polisaccharide 

conjugate terbukti hanya memberi perlindungan jangka pendek (satu tahun) terhadap 

infeksi dengan sero tipe homologus. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

9. Cara-cara pemberantasan 

 

 472

Mengingat masalah Shigellosis sangat berbeda satu sama lain maka Dinas Kesehatan 

setempat harus melakukan evaluasi terhadap situasi lokal dan melakukan langkah yang 

tepat, guna mencegah penyebaran penyakit ini. Tidaklah mungkin satu tindakan spesifik 

tertentu dapat diterapkan pada semua situasi. Secara umum upaya pencegahan yang perlu 

dilakukan yaitu   meningkatkan higiene dan sanitasi, namun hal ini  sulit diterapkan 

sebab  masalah biaya. Dinas Kesehatan dapat melakukan suatu upaya terorganisir dengan 

memberikan penyuluhan kepada warga  dengan mempromosikan perilaku hidup 

bersih dan sehat seperti mencuci tangan dengan sabun dan air, sebagai cara yang 

memegang peranan sangat penting terhadap penurunan tingkat penularan. Yang 

memiliki  potensi CFR tinggi yaitu   infeksi oleh S. dysenteriae 1 yang resisten terhadap 

antibiotik. Tindakan untuk mengatasi infeksi oleh S. dysenteriae 1 sama dengan tindakan 

yang dilakukan terhadap demam tifoid yaitu menemukan sumber infeksi. Namun 

pendekatan ini tidak tepat jika diterapkan pada infeksi S. sonnei yang terjadi didalam 

rumah. Penularan common source melalui makanan dan air membutuhkan tindakan 

investigasi yang cepat dan tepat dan intervensi segera dilakukan tanpa harus menunggu 

hasil spesies apa Pemicu nya. Wabah yang terjadi di insitusi memerlukan cara tertentu 

untuk mengatasinya termasuk memisahkan penderita dengan orang sehat dan melakukan 

pengawasan yang ketat terhadap kebiasaan cuci tangan serta melakukan kultur secara 

berulang terhadap spesimen yang diambil dari pasien dan pengunjung. Wabah yang paling 

sulit diberantas yaitu  : kalau terjadi pada kelompok anak-anak; atau kalau terjadi pada 

kelompok retardasi mental; dan di daerah sulit air.  

 

Menutup tempat penitipan anak atau panti asuhan yang tertimpa KLB dan memindahan 

anak-anak ini  ketempat lain akan menimbulkan maslaah baru yaitu akan terjadi 

penularan ditempat baru ini . Oleh sebab  itu cara ini bukan cara yang tepat untuk 

mengatasi KLB/wabah, maka sangat dirasakan perlu adanya vaksin yang efektif yang 

dapat memberi perlindungan dalam jangka panjang. 

 

A. Cara-cara pencegahan: Cara pencegahan sama dengan upaya pencegahan terhadap 

demam tifoid 9A1-9A10, sebab  vaksin tidak tersedia dipasaran. 

 

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 

1) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: Laporan kasus wajib dilakukan hampir 

disemua negara. Kelas 2B (lihat tentang laporan penyakit menular). Mengetahui 

dan mengenal terjadinya wabah ditempat perawatan anak secara dini sangatlah 

penting. 

2) Isolasi: Selama stadium akut, lakukan kewaspadaan enterik sebab  dalam dosis 

kecil sudah dapat menimbulkan infeksi, maka mereka yang telah diketahui 

terinfeksi shigellae tidak boleh menjamah makanan atau menangani pasien atau 

merawat anak-anak sampai sample tinja atau apus dubur sebanyak 2 kali berturut-

turut menunjukkan hasil negatif. Spesimen yang diambil untuk pemeriksaan 

berjarak 24 jam satu sama lainnya dan tidak lebih pendek dari 48 jam setelah dosis 

antibiotika terakhir. Pasien diberitahukan pentingnya mencuci tangan dengan air 

dan sabun setelah buang air besar, cara yang dapat mencegah transmisi Shigella. 

 

3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap tinja dan peralatan yang 

 

 473

tercemar. Dalam lingkungan warga  yang telah memakai   sistem 

pembuangan yang modern, tinja dapat dibuang langsung kedalam sistem 

pembuangan tanpa perlu dilakukan disinfeksi terlebih dahulu. Pembersihan 

menyeluruh. 

4) Karantina : Tidak ada 

5) Penatalaksanaan kontak: Apabila memungkinkan mereka yang kontak dengan 

pasien shigella dan jatuh sakit dilarang menjamah makanan dan dilarang merawat 

anak-anak atau pasien sampai yang bersangkutan tidak diare lagi dan dua spesimen 

tinja atau apus dubur menunjukkan hasil negatif (spesimen satu sama lainnya 

berjarak paling sedikit 24 jam dan spesimen pertama diambil 48 jam setelah 

pengobatan antibiotika dihentikan. Tekankan pentingnya perilaku hidup bersih dan 

sehat, mencuci tangan dengan air dan sabun setelah defekasi dan sebelum 

menjamah makanan dan sebelum merawat pasien dan anak-anak. 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian dan penemuan pada kasus ringan 

dan penderita yang sudah sembuh tidak bermanfaat pada kasus sporadis dan jarang 

memberikan kontribusi terhadap upaya penanggulangan wabah. Kultur dilakukan 

terhadap “food handler”, para pengunjung dan anak-anak di rumah sakit dan 

terhadap orang-orang pada kondisi/situasi lainnya dimana diperkirakan 

kemugkinan akan terjadi penularan. 

7) Pengobatan spesifik: Berikan cairan infus kepada pasien yang menderita diare dan 

dehidrasi (lihat bab kholera 9B7). Antibakteri (seperti TMP-SMX oral, 

siprofloksasin atau ofloxacin pada orang dewasa; TMP-SMX oral atau ampisilin 

atau asam nalidixic atau ceftriaxone parenteral pada anak-anak) dapat 

memperpendek masa sakit dan ekskresi patogen dan meringankan panyakit. Obat-

obat ini  harus digunakan pada situasi tertentu dengan indikasi yang jelas. 

Indikasi ini  antara lain untuk mengurangi beratnya penyakit, untuk 

melindungi kontak (misalnya pada panti penitipan anak) dan indikasi 

epidemiologis. 

 

Selama 5 dekade terakhir Shigella telah resisten terhadap berbagai antimikroba baru 

yang pada awalnya sangat efektif terhadap infeksi Shigella. Multi Drug Resistant 

sering terjadi sehingga untuk memilih antimikroba yang tepat perlu dilakukan 

pembuatan antibiogram terhadap strain yang diisolasi. 

Pemilihan antimikroba yang tepat juga tergantung kepada gambaran resistensi 

setempat. Misalnya dibanyak tempat prevalensi Shigella yang resisten terhadap TMP-

SMX, ampisilin dan tetrasiklin sangat tinggi sehingga orang beralih ke derivat 

fluoroquinolones seperti ciprofloxacin untuk pengobatan lini pertama. 

Penggunaan spasmolitika seperti loperamide merupakan kontra indikasi pada anak-

anak dan tidak dianjurkan untuk digunakan pada orang dewasa sebab  akan 

memperpanjang lamanya sakit. 

Jika pemberian spasmolitika dimaksudkan untuk mengurangi kram dan rasa sakit 

harus dibatasi pemberiannya hanya satu atau dua dosis saja dan tidak boleh diberikan 

jika tidak diikuti dengan pemberian antibiotika.    

 

C. Penanggulangan wabah 

 

 474

1) Segera laporkan kepada Dinkes setempat, bila ditemukan sekelompok penderita 

diare akut walaupun belum diketahui Pemicu nya. 

2) Lakukan investigasi terhadap makanan, air susu yang mungkin tercemar dan 

terapkan prinsip-prinsip umum dari sanitasi lingkungan dan kebersihan 

perorangan. 

3) Pencegahan memakai   antibiotika tidak dianjurkan 

4) Sebar luaskan kepada warga  tenang manfaat mencuci tangan dengan air dan 

sabun setelah defekasi. Sediakan sabun dan air yang cukup serta kertas tissue di 

WC/toilet 

 

D. Implikasi bencana 

Sanitasi lingkungan buruk merupakan potensi besar terjadinya KLB shigellosis (lihat 

demam typoid) 

 

E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat-pusat kerjsama WHO 

 

 

 

 

SMALLPOX        ICD-9 050; ICD-10 B03 

(Cacar, Variola) 

 

Penderita cacar terakhir ditemukan di dunia pada bulan Oktober 1977 di Somalia, Eradikasi 

global dinyatakan 2 tahun kemudian oleh WHO dan disahkan oleh World Health Assembly 

(WHA) pada bulan Mei 1980. Semenjak itu tidak pernah ditemukan lagi penderita cacar 

kecuali penderita cacar akibat kecelekaan laboratorium di Universitas Birmingham, Inggris 

yang terjadi pada tahun 1978. Semua stok virus variola disimpan dibawah pengawasan yang 

ketat di CDC Atlanta, Georgia dan di State Research Center of Virology and Biotechnology, 

Koltsovo, Novosibirsk Region, Republik Federasi Rusia. Penyimpanan stok virus variola 

dikedua tempat ini  diperlukan untuk tujuan penelitian counterterrorism terhadap 

kemungkinan adanya penyimpanan virus variola oleh negara lain secara gelap dan jatuh ke 

tangan teroris.  WHA pada bulan Mei 1999 mengizinkan penyimpanan virus ini  di 

laboratorium AS dan Rusia sampai dengan tahun 2002.  WHO menyatakan pembasmian 

semua stok virus yang masih ada merupakan tujuan utama WHO dan akan menunjuk 

kelompok ahli untuk mengetahui penelitian apa yang perlu dilakukan sebelum virus 

dimusnahkan.  WHO juga membuat jadwal pengawasan yang ketat terhadap kedua 

laboratorium ini  dimana stok resmi ini  disimpan untuk meyakinkan bahwa stok 

ini  aman dan penelitian dapat dilakukan dengan aman. sebab  virus cacar mungkin 

digunakan untuk perang biologis atau untuk bioterorisme, maka sangat penting sekali bahwa 

petugas kesehatan harus tahu tentang gejala klinis dan cara-cara penanggulangan wabah 

cacar. Perlu juga diketahui perbedaan antara cacar dan cacar air.  Meskipun strain virus yang 

digunakan untuk senjata biologi mungkin saja sudah direkayasa sehingga mengakibatkan 

terjadi perbedaan gejala klinis, namun dari pengalaman yang lalu dengan infeksi virus variola 

secara alamiah masih dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengenal dan manangani 

wabah variola. 

1. Identifikasi  

 

 475

Cacar yaitu   penyakit virus sistemik dengan gejala khas adanya erupsi kulit. Penyakit 

muncul mendadak dengan gejala  demam, tidak nafsu makan, sakit kepala, badan lemah, 

sakit pinggang berat, kadang-kadang sakit perut dan muntah;  gambaran klinis menyerupai 

influenza. Sesudah 2 – 4 hari, demam mulai turun dan timbul ruam yang berisi virus yang 

infectious kemudian berkembang menjadi makula, papula, vesikula, pustula dan menjadi 

krusta yang akan rontok lepas setelah 3 – 4 minggu.  Lesi pertama terlihat jelas di muka 

kemudian badan dinamakan ruam dengan distribusi sentrifugal dan seluruh lesi ada pada 

stadium yang sama. 

Ada dua tipe wabah cacar yang diketahui selama abad 20 : Variola minor (alastrim) 

dimana rata-rata angka kematian akibat virus variola dibawah 1% dan variola major 

(ordinary) dengan rata-rata angka kematian pada orang yang tidak mendapat vaksinasi 

cacar lebih dari 20 – 40%.  Kematian biasanya terjadi pada hari ke 5 – 7 dan paling lambat 

pada minggu ke 2.  Kurang dari 3% kasus variola major menjadi fulminan dengan gejala 

prodromal yang berat, badan lemah disertai dengan dan pendarahan di kulit, di bawah 

kulit, dan selaput lendir, biasanya sangat fatal.  Ruam yang biasanya timbul tidak terlihat 

dan kemudian dikelirukan dengan leukemia berat, meningococcemia atau idiopathic 

trombocytopenic purpura. 

Pada mereka yang sebelumnya telah diimunisasi ruam berubah menjadi lesi yang tidak 

spesifik dan hanya muncul di daerah yang terbatas. Secara umum gejala prodromal tidak 

berubah, hanya saja stadium-stadium lesi kulit dipercepat dan krusta terbentuk pada hari 

ke 10. 

Kebanyakan cacar dikelirukan dengan cacar air dimana lesi dikulit pada cacar air 

umumnya muncul dalam bentuk successive crops (berhubungan satu sama lain) dengan 

tingkat yang berbeda disaat yang sama.  Ruam cacar air lebih banyak ditemukan pada 

bagian tubuh yang tertutup daripada bagian tubuh yang terbuka.  Ruam lebih bersifat 

centripetal dari pada centrifugal.  Cacar dapat dikenal dengan jelas pada awal sakit; 

ditandai dengan munculnya lesi kulit kurang lebih secara simultan pada saat suhu tubuh 

meningkat; bentuk lesi yang mirip satu sama lain pada daerah yang sama, tidak seperti 

cacar air yang berbentuk successive crops; dan lesi mengenai jaringan kulit yang lebih 

dalam dan sering menyerang kelenjar sebacea dan menimbulkan jaringan parut.  

Sebaliknya lesi pada cacar air bersifat superficial.  Lesi cacar tidak pernah ditemukan 

pada apex axilla. 

Wabah variola minor (alastrim) muncul pada abad ke 19, meskipun bentuk ruam sama 

seperti cacar pada umumnya, biasanya gejala umum ringan, dan kasus dengan perdarahan 

belum pernah ditemukan.  Meskipun penderita cacar terakhir di Somalia pada tahun 1970 

diklasifikasikan sebagai variola minor, namun penelitian DNA menunjukkan bahwa virus 

ini  menyerupai variola major, dikatakan sebagai virus varila major yang dilemahkan 

(attenuated). Konfirmasi laboratorium dilakukan dengan isolasi virus dari spesimen yang 

ditanam pada Chloriollantoic membrane atau pada kultur jaringan. Spesimen biasanya 

diambil dari kerokan lesi kulit, dari cairan vesikel atau pustula dan kadangkala dari darah 

pada masa demam sebelum munculnya erupsi kulit. 

Diagnosa cepat dapat dilakukan dengan mikroskop elektron atau teknik immunodiffusions.  

Metode PCR saat ini lebih sering dipakai sebab  lebih cepat dan akurat. 

 

2. Pemicu  Penyakit 

Variola virus, spesies Orthopoxvirus.  Pemetaan endonuclease cleavage site terhadap 

 

 476

strains variola telah dilakukan dan DNA sequences yang lengkap dari kedua strain telah 

dipublikasikan. 

 

3. Distribusi Penyakit  

Awalnya penyakit ini tersebar diseluruh dunia; sejak tahun 1978 tidak pernah lagi 

ditemukan penderita cacar pada manusia. 

 

4. Reservoir: Saat ini virus variola hanya tersimpan didalam lemari pendingin CDC – 

Atlanta dan di State Research Center of Virology and Biology di Koltsovo, Novosibirsk, 

Rusia. 

 

5. Cara-cara Penularan 

Penularan umumnya terjadi pada saat muncul wabah dimana 50% dari mereka yang tidak 

divaksinasi akan tertulari. Jika digunakan sebagai senjata biologis, virus disebarkan 

melalui udara. 

 

6. Masa Inkubasi 

Dari 7 – 19 hari, rata-rata 10 – 14 hari sejak infeksi dan 2 – 4 hari lebih setelah timbul 

ruam. 

 

7.  Masa Penularan 

Mulai dari waktu berkembangnya lesi awal sampai  menghilangnya semua scab (koreng); 

sekitar 3 minggu. Penderita dapat paling menular selama periode preeruptive melalui 

droplet aerosol dari lesi orofaringeal. 

 

8. Kerentanan dan Kekebalan: Semua orang yang belum divaksinasi rentan terhadap 

infeksi virus cacar. 

 

9. Cara-cara Pemberantasan 

Pemberantasan cacar didasarkan pada pemberian vaksinasi dengan virus vaccinia. Jika 

menemukan penderita yang menyerupai cacar dan bukan cacar air: SEGERA 

LAPORKAN HAL INI KEPADA DINAS KESEHATAN SETEMPAT. Di Amerika 

Serikat vaksin cacar (vaccinia virus) dan Human Vaccinia Immune globulin  untuk 

mengobati efek samping vaksinasi cacar tersedia di CDC - Atlanta pada Bagian Layanan 

Farmasi nomer telpon (404) 639-3670; jaringan hotline koordinasi penanggulangan 

bisterorisme di CDC – Atlanta pada nomor (404) 639-0385.   

 

 

 

 

 

 

 

 

VACCINIA       ICD-9 051.0; ICD-10 B08.0 

 

 

 477

 

Virus vaccinia, yaitu   virus vaksin yang digunakan untuk memberantas variola (cacar), 

merupakan hasil rekayasa genetika menjadi vaksin rekombinan (beberapa masih dalam taraf 

uji klinik) dengan risiko terendah terjadi penularan terhadap kontak non imun. “Immunization 

Practices Advisory Committee” (ACIP) merekomendasikan vaksinasi cacar untuk semua 

petugas laboratorium yang memiliki  risiko tinggi terkena infeksi yaitu mereka yang secara 

langsung menangani bahan atau binatang yang di infeksi dengan virus vaccinia atau 

orthopoxvirus lainnya yang dapat menginfeksi manusia. 

Vaksinasi juga perlu dipertimbangkan terhadap petugas kesehatan lain walaupun berisiko 

rendah terinfeksi virus seperti dokter dan perawat. 

Vaksinasi merupakan kontraindikasi bagi seseorang yang menderita defisiensi sistem imun 

(contoh : penderita Aids, kanker) mereka yang menerima transplantasi, dermatitis tertentu, 

wanita hamil, penderita eczema. 

Di AS Vaccine immune globulin dapat diperoleh untuk petugas laboratorium dengan 

menghubungi CDC Drug Service, 1600 Clifton Road (Mailstop D09), Atlanta GA 30333, 

telpon (404) 6393670. 

Vaksin yang diberikan sudah dilengkapi dengan instruksi yang jelas (cara vaksinasi, 

kontraindikasi, reaksi, komplikasi) yang harus diikuti dengan tepat. 

Vaksin harus diulang kecuali muncul reaksi (salah satu reaksi yaitu   muncul indurasi 

eritematosa 7 hari setelah vaksinasi) 

Booster diberikan dalam waktu 10 tahun kepada mereka yang msauk kategori harus 

divaksinasi 

WHO selalu menyimpan dan menyediakan vaccine seedlot (virus vaccine strain Lister 

Elstree) dipakai untuk keadaan darurat. Vaksin ini  ada di Pusat kerjasama WHO (WHO 

Collaborating Center) untuk vaksin cacar di National Institute of Public and Environment 

Protection di Bilthoven, The Netherlands. 

 

 

 

MONKEYPOX      ICD-9 051.9; ICD-10 B04 

(Cacar Monyet) 

 

 

 

Monkeypox pada manusia yaitu   penyakit infeksi zoonosis sporadis yang dilaporkan terjadi di 

daerah terpencil di Afrika Barat dan Afrika Tengah. 

Gambaran klinis menyerupai cacar, namun  limfadenopati lebih menonjol pada awal penyakit.  

Pleomorphism dan “Cropping” menyerupai cacar air terjadi pada 20% pasien. 

Riwayat alamiah penyakit tentang asal-usul virus belum diketahui dengan jelas, namun  diduga 

manusia, primata dan tupai hidup dalam satu siklus enzootik.  Penyakit menyerang semua 

kelompok usia, namun  anak umur dibawah 16 tahun memiliki  resiko terbesar untuk terkena 

penyakit ini. 

Angka kematian pada anak-anak yang tidak divaksinasi dari berbagai studi didapatkan antara 

1 – 3% s/d 10 – 14%. 

Dari tahun 1970 sampai dengan tahun 1994 lebih dari 400 kasus dilaporkan dari bagian Barat 

dan Tengah Afrika; Dari Republik Demokrasi Kongo (DRC) dulu disebut Zaire tercatat 

 

 478

sekitar 95% kasus yang dilaporkan selama WHO mengadakan pengamatan selama 5 tahun 

(dari tahun 1981 – 1986) lebih dari 70 orang didiagnosa sebagai tersangka dan 6 orang 

meninggal pada tahun 1996, kejadian ini mendorong dilakukannya studi retrospektif yang 

disponsori oleh WHO sebanyak 3 buah yang dilakukan di DRC mencakup 0,5 juta orang dan 

800 tersangka.  Sekitar 20 virus monkeypox dapat diisolasi dari penderita aktif sedang  dari 

sera yang diambil dari tersangka ditemukan  baik monkeypox maupun chickenpox.  sebab  

lemahnya infrastruktur kesehatan warga  dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi 

akurasi pelaporan kasus, maka jumlah yang pasti dari kasus-kasus dan proporsi dari kasus 

primer dan sekunder tidak diketahui dengan jelas. 

Pada tahun 1980 sekitar 75% kasus yang dilaporkan disebabkan sebab  kontak dengan hewan; 

sedang  dari penelitian yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa 75% kasus 

disebabkan sebab  kontak dengan manusia, namun tidak terjadi KLB. 

Rantai panjang, penularan dari orang ke orang hanya menghasilkan 7 orang penderita yang 

dilaporkan.  Namun penularan serial tidak meluas melewati kasus sekunder.  Dari data 

epidemiologis yang sangat terbatas memperlihatkan secondary attack rate kira-kira hanya 

sekitar 8%.  Hampir sebagian besar kasus terjadi di desa terpencil yang terisolir dekat daerah 

hutan tropis, dimana biasanya warga  sering kontak dengan berbagai jenis hewan. 

Studi ekologi yang dilakukan tahun 1980 membuktikan bahwa tupai-tupai (Funisciurus dan 

Heliosciurus) yang banyak ditemukan disekitar hutan kelapa sawit disekitar desa, 

memperlihatkan bahwa tupai-tupai ini  berperan sebagai reservoir dan memiliki  

hubungan yang signifikan dengan terjadinya infeksi monkeypox virus pada manusia di DRC. 

Adanya reservoir binatang dan adanya kontak antara binatang dengan manusia memicu  

siklus penularan dapat berlangsung terus. Dengan demikian infeksi pada manusia dapat 

dicegah dengan melakukan penyuluhan kepada warga  untuk menghindari kontak dengan 

penderita dan dengan binatangyang sakit. 

Monkeypox virus yaitu   spesies lain dari genus Orhopoxvirus, dengan cirri-ciri biologis dan 

gen yang berbeda dari virus variola. Tidak ada bukti bahwa monkeypox akan menjadi 

masalah kesehatan warga  di luar daerah enzootik 

 

Pemberian vaksinasi smallpox cross protective dihentikan pada tahun 1982 di DRC;  

pemberian vaksinasi kembali tidak direkomendasikan oleh WHO. Technical Advisory 

Comminttee on Monkeypox di WHO saat ini hanya merekomendasikan untuk dilakukan 

penelitian terutama tentang intensifikasi prospective surveillance dan penelitian tentang 

ekologi. 

 

 

 

SPOROTRICHOSIS     ICD-9 117.1; ICD-10 B42 

 

1. Identifikasi 

Sporotrichosis yaitu   penyakit jamur, biasanya menyerang kulit. khususnya pada 

ekstremitas, yang dimulai dengan bentuk nodula. Kemudian nodula tumbuh, saluran limfe 

menjadi keras seperti kawat dan membentuk rangkaian nodulae, nodulae ini kemudian 

menjadi lunak dan membentuk ulcus.  

Sendi dan paru-paru jarang terkena begitu pula jarang sekali terjadi infeksi multifokal. 

Penyakit biasanya tidak fatal. 

 

 479

Konfirmasi laboratorium dilakukan dengan kultur dan biopsi nanah atau eksudat. 

Organisme jarang terlihat pada preparat ulas. Biopsi jaringan untuk pemeriksaan 

laboratorium, hendaknya diperiksa dengan pengecatan khusus jamur. 

 

2. Agen Pemicu : Sporothrix schenckii, termasuk jamur dimorfik. 

 

3. Distribusi penyakit 

Penyakit ini tersebar diseluruh dunia, merupakan penyakit akibat kerja yang menyerang 

petani, tukang kebun dan hortikulturis. Penyakit ini muncul sporadis dan sangat jarang. 

Pernah dilaporkan terjadi KLB di Afrika Selatan yang enimpa para pekerja tambang emas, 

pada waktu itu dilaporkan ada sekitar 3000 penderita; ternyata jamur tumbuh pada kayu 

yang dipakai untuk menyangga terowongan tambang. 

Pada tahun 1988, 84 orang penderita dilaporkan dari 14 negara bagian di AS, menyerang 

pekerja yang bertugas mengepak biji bibit tanaman sejenis conifer dan dipak dengan  

sphagnum moss (lumut yang dipakai oleh penjual kembang untuk vas). 

 

4. Reservoir: Tanah, tumbuh-tumbuhan dan kayu yang membusuk. 

 

5. Cara Penularan 

Jamur masuk kulit melalui tusukan duri atau tusukan barang tajam lainnya, atau pada 

waktu menangani tanaman sejenis lumut atau pada waktu menangani potongan kayu atau 

pohon. KLB pernah terjadi pada anak-anak yang bermain dirumput kering dan orang 

dewasa yang mengepak rumput kering, Sporotrichosis paru-paru diperkirakan sebab  

inhalasi dari conidia. 

 

6. Masa Inkubasi: Bentuk limfatik berkembang 1 minggu sampai 3 bulan setelah luka. 

 

7. Masa penularan: Tidak ditularkan dari orang ke orang. 

 

8. Kerentanan dan kekebalan : tidak diketahui dengan jelas. 

 

9. Cara – cara pemberantasan 

A. Tindakan pencegahan 

Pada industri pengolahan kayu, kayu hendaknya diberi fungisida didaerah dimana 

sporotrochosis sering terjadi. Pakailah sepatu bot, baju lengan panjang jika bekerja 

mengolah Sphagnum moss (sejenis lumut yang dipakai oleh tukang bungan untuk 

menancapkan kembang dalam vas bunga). 

 

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan. 

1). Laporan kepada dinas kesehatan setempat, laporan secara resmi tidak perlu, kelas 

5 (lihat tentang laporan penyakit menular). 

2). Isolasi penderita: Tidak perlu 

3). Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dan pembalut luka. 

Pembersih terminal. 

4). Karantina: tidak perlu 

5). Imunisasi terhadap kontak: tidak ada 

 

 480

6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: cari dan temukan penderita yang belum 

terdiagnosa dan yang belum diobati. 

7). Pengobatan spesifik: Iodida oral dan itraconazole efektif untuk mengatasi infeksi 

limfokutaneus, sedang  untuk infeksi ekstrakutaneus yaitu   amphotericin B 

(Fungizone ®), itraconazole juga efektif. 

 

C. Upaya penanggulangan wabah: Pada waktu terjadi wabah di Afrika Selatan pada 

pekerja tambang dilakukan penyemprotan terhadap kayu-kayu yang dipakai 

dipertambangan memakai   zinc sulfate dan triolith. Selain itu dilakukan juga 

upaya sanitasi 

 

D. Implikasi bencana: tidak ada 

 

E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada 

 

 

PENYAKIT-PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH STAFILOKOKUS 

 

Infeksi oleh stafilokokus memicu  penyakit dengan manifestasi klinis yang sangat 

bervariasi; mulai dari timbulnya pustula sampai kepada sepsis yang memicu  kematian. 

Mula-mula terbentuk lesi dengan pus yang kemudian berkembang menjadi abses. Virulensi 

berbagai strain stafilokokus sangat bervariasi. 

Staphylococcus aureus yaitu   yang paling penting untuk diketahui yang paling sering 

menginfeksi manusia. Kebanyakan strain stafilokokus memfermentasi mannitol dan 

coagulase positif. Namun belakangan ini strain coagulase negatif menjadi semakin penting 

sebab  sering menginfeksi terutama infeksi yang memicu  terjadinya bakteriemi pada 

penderita yang dilakukan kateterisasi, pada wanita yang mengalami infeksi saluran kemih 

serta pada infeksi nosokomial. 

Gambaran klinis dan epidemiologis dari infeksi stafilokokus sangat berbeda jika menyerang 

masayarakat umum, bayi baru lahir, wanita yang sedang menstruasi dan jika menyerang 

penderita yang sedang dirawat di Rumah Sakit. Oleh sebab  itu masing-masing akan 

diuraikan secara terpisah. 

Keracunan makanan yang disebabkan infeksi stafilokokus dibicarakan dalam bab tersendiri 

(lihat Intoksikasi makanan, seksi I, stafilokokus). 

 

I.  Penyakit Infeksi Stafilokokus di warga  

 Boils (bisul), Carbuncles ( Bisul), Furuncles , Abscesses ( abses) 

       ICD-9 680, 041.1; ICD -10 L02;B95.6-B95.8 

 Impetigo      ICD-9 684, 041.1;ICD-10 L01 

 Cellulitis     ICD-9 682.9;ICD-10 L03 

 Staphylococcal  Sepsis   ICD-9 038.1;ICD-10A41A41.2 

 Staphylococcal Pneuminia  ICD-9 482,4;ICD-10J15.2 

 Arthritis     ICD-9 711.0,041.1;ICD-10 M00.0 

 Osteomylietis    ICD-9 730,041;ICD-10 M86 

 Endocarditis    ICD-9 421.0,041.1;ICD-10 133.0 

1. Identifikasi 

 

 

 481

Infeksi bakteri pada kulit umumnya dalam bentuk impetigo, folliculitis, furuncle, 

carbuncle, abses dan luka lecet yang terinfeksi. Dasar dari lesi pada impegtigo dijelaskan 

pada seksi II, dibawah:  sebagai tambahan sindroma “scalded skin” (luka Bakar) yang 

lain daripada yang lain disebabkan oleh strain Staphylococcus aureus, sebagian besar 

tergolong phage  group II, yang memproduksi toksin epidermolitik. Lesi kulit bentuk lain 

yaitu   berupa lesi diskret dan terlokalisir. Gejala umum jarang ditemukan, jika lesi 

bertambah dan meluas, dapat timbul demam, mailase ( lesu), sakit kepala dan tidak nafsu 

makan. Biasanya tidak terjadi komplikasi, namun  bila bakteri masuk aliran darah dapat 

memicu terjadinya pneumonia, abses pada paru-paru, osteomiielitis, sepsis, endokarditis, 

Pyarthrosis, meningitis atau  abses otak. Sebagai tambahan pada infeksi primer kulit, 

staphylococcal conjunctivitis dapat terjadi pada bayi baru lahir dan pada orang tua. 

Staphylococcal pneumonia yaitu   komplikasi yang paling sering terjadi pada influensa. 

Staphylococcal endocarditis dan kompikasi yang lain sebagai akibat dari staphylococal 

bacteremia sebab  akibat dari pemakaian obat terlarang melalui intravena atau sebab  

infeksi nasokomial pada pasien yang dikateterisasi atau tindakan lain. Lesi emboli di kulit 

sering menimbulkan komplikasi  berupa endokarditis , dan bakteriemia. 

Stafilokokus coagulase negative dapat memicu  terjadinya sepsis, meningitis, 

endokarditis atau infeksi saluran kemih dan makin sering ditemukan, biasanya disebabkan 

pemakaian alat-alat portesa dan pemakaian kateter. 

Diagnosa ditegakkan dengan adanya konfirmasi laboratorium dengan cara isolasi dari 

bakteri ini . 

 

2.  Pemicu  Penyakit 

Pemicu  penyakit yaitu   bermacam-macam strain coagulase positive dari Stafilokokus 

auereus. Jika diperlukan, hampir semua strain dari Stafilokokus dapat diidentifikasi 

dengan metode molekuler seperti pulsed field gel electrophoresis, phage type, profil dari 

resistensi terhadap antibiotika atau dengan aglutinasi serologi. KLB disebabkan oleh 

beberapa strain spesifik yang jarang. Sebagian besar isolat S. aureus, yaitu yang diambil 

dari warga  dan dari pasien yang sedang dirawat di Rumah Sakit resisten terhadap 

penicillin G, dan juga multi resisten (termasuk resisten terhadap methicillin) dan mungkin 

strain ini sudah tersebar secara luas. Beberapa temuan menunjukkan bahwa strain 

stafilokokus coagulase negetive yang meproduksi lendir mungkin lebih patogen, namun 

belum pasti. S.saprophyticus paling sering sebagai Pemicu  infeksi saluran kemih pada 

wanita muda. 

 

3. Distribusi Penyakit 

Penyakit ini  tersebar di seluruh dunia. Insiden tertinggi ditemukan di daerah yang 

kebersihan perorangannya jelek (mandi tidak memakai   sabun dan air bersih) dan di 

daerah dengan warga  yang padat biasanya menyerang anak-anak, khususnya pada 

musim kemarau. Penyakit tersebar secara sporadis dan dapat memicu  wabah kecil di 

lingkungan keluarga dan orang yang kamping pada musim panas, anggota keluarga yang 

berbeda terkena penyakit berulang dengan strain stafilokokus  yang sama. 

 

4.  Reservoir: Reservoir yaitu   manusia dan jarang pada hewan. 

5.  Cara-cara Penularan 

Sebagian besar koloni hidup pada nares anteriores (lubang hidung): 20%-30% warga  

 

 482

pada pemeriksaan usap hidung yaitu   carrier dari stafilokokus coagulase positive. 

Autoinfeksi terjadi pada 1/3 dari kejadian infeksi. Orang yang memiliki  lesi berair atau 

yang mengeluarkan discharge purulen merupakan sumber penularan yang paling sering 

memicu  wabah. Penularan melalui kontak dengan orang yang memiliki  lesi 

purulen atau orang tanpa gejala (nasal carrier dari strain yang patogenik). Carrier tertentu 

lebih efektif menyebarkan infeksi dari pada yang lain.  Peran dari obyek yang 

terkontaminasi terlalu dilebih-lebihkan, tangan yaitu   instrumen yang paling penting 

dalam penyebaran infeksi. Penularan lewat udara sangat jarang terjadi namun  pernah 

ditemukan pada bayi dengan infeksi virus pada saluran pernafasan. 

 

6.  Masa Inkubasi 

 Masa inkubasi bervariasi dan tidak pasti biasanya antara 4-10 hari. 

 

7.  Masa Penularan 

Masa penularan berlangsung selama masih ada lesi yang purulen tetap mengeluarkan pus 

atau selama tetap sebagai carrier. Auto infeksi tetap berlangsung selama kolonisasi bakteri 

di hidung tetap berlangsung atau selama lesinya masih aktif. 

 

8.  Kerentanan Dan Ketahanan 

Mekanisme terjadinya imunitas tidak diketahui dengan jelas. Bayi baru lahir dan orang 

dengan penyakit kronis sangat rentan terhadap infeksi. Orang tua dan orang dengan 

debilitas, pecandu obat bius, orang dengan diabetes militus, cystic fibrosis, penderita gagal 

ginjal kronis, agammaglobulinemia, kelainan fungsi neutrofil (seperti agranulositosis, 

penyakit granulomatus kronis), neoplasma dan luka bakar biasanya juga sangat rentan 

terhadap penyakit ini.  Penggunaan streroid dan anti metabolit juga meningkatkan 

kerentanan. 

 

9.  Cara - cara Pemberantasan 

A. Cara Pencegahan 

1) Berikan penyuluhan kepada warga  tentang kebersihan perorangan, khususnya 

membudayakan kebiasaan cuci tangan dan menghindari pemakaian bersama alat-

alat ditoilet (handuk, sapu tangan, dll). 

2) Obati dengan segera penderita yang ditemukan, anak-anak maupun angota 

keluarga lainnya.  

 

B. Pengawasan penderita, Kontak Dan Lingkungan Sekitarnya. 

1) Laporan kepada dinas kesehatan setempat: laporkan segera jika terjadi KLB 

disekolah, ditempat Camping Musim Panas, dan kelompok warga  yang lain, 

begitu juga jika diketahui ada konsentrasi kasus pada warga . Tidak ada 

kewajiban untuk melaporkan kasus individu, termasuk Kelas 4 (lihat laporan 

penyakit menular). 

2) Isolasi: Tidak praktis dilakukan; penderita harus menghindari kontak dengan bayi 

dan orang-orang dengan debilitas mental. 

3) Disinfeksi: Tempatkan pembalut luka dan discharge dalam kantong khusus dan 

dibuang dengan cara yang aman sesuai dengan prosedur   

4) Karantina: Tidak perlu 

 

 483

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Cari dan temukan penderita dengan lesi 

yang mengeluarkan cairan, kadangkala perlu dilakukan penyelidikan adanya 

carrier terhadap strain yang patogenik diantara anggota keluarga. 

7) Pengobatan spesifik: Infeksi yang hanya terjadi pada kulit, pemberian antimikroba 

sistemik tidak diperlukan apabila tidak ada penyebaran penyakit yang signifikan 

atau tidak ada komplikasi; luka cukup dicuci saja kemudian dilanjutkan dengan 

pemberian antimikroba topikal (seperti mupirocin, 4 kali sehari). Hindari kompres 

basah yang mana dapat menyebarkan infeksi. Abses harus di insisi untuk 

mengeringkan pus. Untuk infeksi stafilokokus yang berat gunakan penicillinase-

resistant penicillin; untuk mereka yang hipersentif terhadap penisilin gunakan 

cephalosporin yang aktif untuk stafilokokus atau dapat diberikan clindamycin. 

Untuk infeksi  sistemik yang berat perlu dipilih antibiotika yang sesuai dengan 

hasil tes kerentanan dari isolat. Vancomycin yaitu   obat pilihan untuk infeksi berat 

yang disebabkan oleh stafilokokus Coagulase negative dan yang disebabkan oleh 

infeksi S. aureus yang resisten terhadap metisilin diberikan sesegera mungkin 

secara parentral. 

Strain Starphylococcus aureus yang menurun kerentanannya terhadap 

Vancomycin dan terhadap antibiotika jenis glikopeptida disebut sebagai strain 

GISA ditemukan dan dilaporkan dari Jepang dan AS pada tahun 1990an. 

Strain ini diisolasi dari penderita yang diberi pengobatan dengan vancomycin 

dalam waktu yang lama (berbulan-bulan). Isolat ini sebagai bukti terjadinya 

peningkatan munculnya S. aureus yang resisten terhadap antibiotika ini. 

 

C. Upaya penanggulangan wabah 

1) Cari dan temukan penderita terutama mereka dengan lesi yang mengeluarkan 

discharge, berikan pengobatan yang tepat. Terapkan prosedur kebersihan 

perorangan yang ketat pada institusi-institusi dan tekankan kebiasaan mencuci 

tangan. Kultur dilakukan pada pasien nasal carrier dari strain yang dapat 

menimbulkan KLB dan obati dengan mupirocin topikal dan jika gagal obati 

dengan antibiotika oral. 

2) Lakukan Investigasi kalau ada kejadian meningkatnya prevalensi infeksi 

stafilokokus secara tiba-tiba di warga  yang cara penularannya kemungkinan 

“Common source”, seperti halnya KLB di Rumah Sakit yang tidak diketahui. 

 

 

II.  INFEKSI STAFILOKOKUS, DI RUANG PERAWATAN  

 

IMPETIGO NEONATORUM    ICD-9 684,041.1; ICD-10 L00 

STAPHYLOCOCCAL SCALDED  

SKIN SYNDROME     ICD-9 695.81 

(SSSS, Ritter’s Disease) 

ABSES PADA MAMMAE    ICD-9 771.5,041.1;ICD-10 P39.0 

1.  Identifikasi 

 Impetigo atau pustulosis pada neonatus dan infeksi kulit purulen lainnya merupakan 

infeksi stafilokokus yang paling sering terjadi pada ruang perawatan anak. Lesi kulit yang 

 

 484

muncul berasal dari koloni, stafilokokus yang ada dihidung, umbilicus/pusar, sirkumsisi, 

rectum atau conjunctiva. (Adanya koloni strain stafilokokus di tempat-tempat ini  

dalam keadaan biasa yaitu   normal dan tidak memicu  penyakit). 

 Lesi biasanya ditemukan pada  daerah sekitar popok dan disela-sela jari namun  mungkin 

juga tersebar di seluruh tubuh. Lesi awal berbentuk vesikuler berkembang cepat menjadi 

seropurulen, dan disekitarnya muncul eritema sebagai dasar dan kemudian terbentuk 

bullae (Bullous impetigo). Pustula yang pecah mempercepat infeksi menyebar. 

Komplikasi jarang terjadi, walaupun limfadenitis, furunkulosis, abses mammae, 

pneumonia, sepsis, arthritis, osteomielitis dan penyakit serius lainnya pernah dilaporkan. 

 Bisa juga terjadi Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS, Ritter’s Disease, 

pemphigus neonatorum) dengan manifestasi klinis mulai dari diffuse scarlatiniform 

erythema sampai ke deskuamasi bullosa menyeluruh pada kulit. Gambaran klinis ini 

terlihat seperti bullous impetigo yang disebabkan oleh strain S. aureus, biasanya oleh 

phage tipe II yang menghasilkan epidermiolytic toxin. 

 

2. Pemicu  Infeksi 

Pemicu  infeksi: sama seperti  infeksi Stafilokokus yang terjadi di warga  ( dapat 

dilihat pada pembahasan 1, 2 di atas.) 

 

3.  Distribusi Penyakit 

Distribusi Penyakit ini  tersebar luas di seluruh dunia. Masalah ini  terutama 

muncul di Rumah Sakit sebab  teknik aseptik kurang  memadai, dan diperberat oleh 

adanya resistensi strain Pemicu  infeksi terhadap antibiotik (sebagai contoh yaitu   

berbagai strain Rumah Sakit). 

 

4.  Reservoir 

Reservoir penyakit ini sama dengan penyakit stafilokokus yang terjadi di warga     

(dapat dilihat pembahasan 1, 4 ini  di atas ) 

 

5.  Cara Penularan 

Cara penularan yang paling umum yaitu   melalui tangan petugas rumah sakit, jarang 

terjadi penularan lewat udara. 

 

6.  Masa Inkubasi 

Masa inkubasi biasanya 4-10 hari, namun  tidak menutup kemungkinan muncul beberapa 

bulan setelah kolonisasi. 

 

7.  Masa Penularan 

Masa penularan sama seperti pada infeksi stafilokokus di warga  (dapat dilihat pada 

pembahasan 1,7 ini  di atas). 

 

8.  Kerentanan dan kekebalan 

Bayi baru lahir umummya rentan terhadap infeksi stafilokokus, dan bayi tetap punya 

risiko terinfeksi selama masa kolonisasi dari strain yang patogenik.  

9.  Cara-cara Pemberantasan 

 

 485

A. Cara-cara Pencegahan 

1) Terapkan selalu teknik aseptik, lakukan kebiasaan mencuci tangan dengan benar 

sebelum kontak dengan bayi di ruang perawatan. 

2) Petugas Rumah Sakit dengan lesi kecil (pustula, luka lepuh, abses, paronychia, 

conjunctivitis, jerawat yang terinfeksi, otitis externa, atau luka lecet yang 

terinfeksi) dilarang bekerja di ruang perawatan bayi. 

3) Kegiatan Surveilans dan supervisi dilakukan secara aktif melalui Komite 

Penanggulangan Infeksi rumah sakit, yaitu dengan melakukan investigasi secara 

teratur, membuat laporan dan review seluruh  infeksi mosokonial di rumah sakit. 

Penyakit yang timbul setelah keluar dari rumah sakit harus dilakukan investigasi 

dan hasilnya dicatat. Sebaiknya dilakukan surveilans aktif terhadap semua bayi 

baru lahir yang telah pulang dari rumah sakit sampai dengan usia 1 bulan. 

4) Lakukan pemberian obat-obat antibakteri pada tali pusat sebagai prosedur rutin 

seperti gentian violet, acriflavine, chlorhexidine atau dengan bacitracin ointment 

(salep) semasih bayi berada di rumah sakit. 

 

B.  Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 

1) Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: jika terjadi KLB wajib dilaporkan, tidak 

ada laporan individu, termasuk Kelas 4 (lihat tentang laporan penyakit menular). 

2) Isolasi: Lakukan isolasi sesegera mungkin, tempatkan semua penderita dan 

tersangka yang diketahui di ruang perawatan tersendiri dengan tindakan 

kewaspadaan isolasi kontak. 

3) Disinfeksi serentak: Sama seperti pada infeksi stafilokokus diwarga  (dapat 

dilihat pada penjelasan pada Bab I, 9B3 ini  di atas). 

4) Karantina: Tidak perlu 

5) Imunisasi kontak: Tidak perlu 

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Dapat dilihat pada cara-cara 

penanggulangan wabah dalam Bab C di bawah. 

7) Pengobatan spesifik: Pengobatan yang spesifik untuk impetigo yang terlokalisir, 

cuci kulit dan berikan salep mupirocin pada lesi ini  sehari 4 kali, lesi yang 

luas diobati dengan obat oral antistaphylococcal antimicrobial seperti: Sefaleksin 

atau kloksasilin. Pengobatan parenteral dianjurkan pada infeksi yang serius. (dapat 

dilihat pada pembahasan Bab I, 9B7 ini  di atas). 

 

C. Cara-cara Pemberantasan  

1) Jika ditemukan 2 atau lebih kasus infeksi stafilokokus di ruang perawatan anak 

atau bangsal ibu yang baru melahirkan, yaitu   sebagai indikasi kemungkinan 

terjadi KLB sehingga perlu dilakukan investigasi. Lakukan kultur terhadap semua 

lesi untuk menentukan pola resistensi antibiotik dan tipe dari strain yang 

memicu  wabah. Isolat yang secara klinis penting, perlu dipelihara di 

laboratorium selama 6 bulan sebelum dibuang untuk mendukung hasil investigasi 

epidemiologis. Investigasi dapat dilakukan dengan pola sensitivitas antibiotika 

atau dengan pulsed field gel electrophoresis. 

2) Jika KLB terjadi di Ruang Perawatan Anak, lakukan tindakan isolasi terhadap 

semua kasus dan kontak sampai mereka dipulangkan dari Rumah Sakit.  

 

 486

Terapkan sistem rotasi (“cohorting”) yaitu unit (A) diisi bayi sampai penuh dan 

kemudian bayi-bayi berikutnya ditempatkan di ruang perawatan (B). Setelah 

seluruh bayi yang dirawat diruang A dipulangkan, bersihkan ruangan terseut 

sebelum menerima pasien baru. Jika tersedia fasilitas untuk perawatan bayi 

bersama ibunya, maka cara ini dapat menurunkan risiko infeksi. Koloni bayi yang 

terinfeksi harus dikelompokkan dalam kohort yang lain. Perawat dan petugas 

bangsal lainnya harus ditempatkan secara ketat pada ruangan kohort tertentu saja, 

tidak boleh pindah tempat. 

Sebelum menerima pasien baru, bersihkan dan cuci tempat tidur bayi, tempat 

tidur, isolat, dan perabotan lain dengan disinfentan yang sudah diizinkan oleh 

EPA. Alat-alat disterilkan memakai   otoklaf, kasur disikat dan tempat tidur 

dan popok dicuci dengan benar (atau gunakan popok yang sekali pakai). 

3) Lakukan pemeriksaan terhadap semua pasien dan setiap orang yang merawat 

penderita, termasuk dokter, perawat, pembantu perawat dan pengunjung, apakah 

ada lesi ada bagian tubuh yang mengeluarkan discharge. Lakukan investigasi 

epidemiologis, dan jika ditemukan satu orang atau lebih petugas Rumah Sakit 

terkena infeksi, lakukan kultur spesimen hidung terhadap mereka dan terhadap 

yang lain yang akan kontak dengan bayi.  Mereka dilarang bertugas merawat bayi 

sampai kultur negatif. Terhadap carrier yang tidak menunjukkan gejala ditujukan 

untuk menekan koloni bekteri dihidung yaitu dengan pemberian salep antibiotika 

pada lubang hidung dan kadang-kadang disertai dengan pemberian rifampin 

sistemik. 

4) Lakukan inspeksi terhadap standar prosedur perawatan, secara khusus dilihat 

apakah tersedia fasilitas cuci tangan yang memadai. Perlu ditekankan pentingnya 

mencuci tangan; jika fasilitas untuk cuci tangan tidak ada atau tidak memadai, 

gunakan antiseptik untuk membersihkan tangan, (sebagai contoh alkohol). Petugas 

yang ditugaskan diruangan bayi yang terinfeksi tidak diperkenankan bertugas 

diruangan lain. 

5) Walaupun tidak diijinkan digunakan secara rutin di AS, preparat hexachlorophene 

3 % dapat digunakan selama KLB. Bayi baru lahir a’term pada daerah sekitar 

popok dibasuh dengan hexachloropene, segera mungkin setelah lahir dan 

dilakukan setiap hari sampai dipulangkan. Setiap saat setelah selesai dibasuh 

dengan hexachlorophene harus segera dibilas sampai bersih sebab  dapat 

memicu  gangguan Susunan Saraf Pusat jika diabsorpsi secara sistemik. 

 

D. Implikasi menjadi Wabah: tidak ada