. Ketika hospes yang tepat memakan telur yang telah menjadi embrio, telur
kemudian menetas didalam saluran pencernaan, larva bergerak menuju dinding usus dan
melalui sistem vena portae menuju ke hati. Disana larva menjadi dewasa dan
menghasilkan telur. Infeksi semu terjadi pada manusia ketika ditemukan telur cacing
dalam tinja sesudah mengkonsumsi hati yang terinfeksi, baik mentah maupun matang.
sebab telur-telur tidak menjadi embrio, maka penularan tidak terjadi.
6. Masa inkubasi : 3 – 4 minggu.
7. Masa penularan : Tidak langsung ditularkan dari orang ke orang.
8. Kekebalan dan kerentanan : semua orang rentan terhadap infeksi, anak-anak kurang
gizi berisiko lebih tinggi.
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan :
1). Hindari tertelannya debu tanah, yang mencemari makanan atau yang mengotori
tangan. Kebiasaan menutup makanan dan mencuci tangan sebelum menjamah
makanan yaitu kebiasaan yang baik yang membantu mencegah penularan.
2). Lindungi persediaan air minum dan makanan dari kontaminasi tanah.
B. Pengendalian penderita, kontak dan lingkungan sekitar :
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Laporan resmi biasanya tidak
dilakukan, kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi : tidak dilakukan
3). Disinfeksi serentak : tidak dilakukan
4). Karantina : tidak dilakukan.
5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan.
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak diterapkan.
7). Pengobatan spesifik : Thiabendazole (Metezol®) dan albendazole (Zentel®) efektif
untuk cacing yang hidup di hati.
C. Tindakan penanggulangan wabah : tidak dilakukan.
88
D. Implikasi bencana : tidak ada
E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada.
III. CAPILLARIASIS PARU ICD-9 128.8; ICD-10 B83.8
(Pulmonary Capillariasis)
Penyakit paru dengan gejala demam, batuk dengan nafas asmatik disebabkan oleh
Capillariasis aerophilia (Thominx aerophilia), nematoda pada kucing, anjing dan
mamalia karnivora lainnya. Pneumonitis mungkin bisa berat, dan fatal. Cacing hidup di
saluran trakhea, bronki dan bronkiolae. Telur yang sudah dibuahi terbawa kesaluran udara
pernafasan lalu dibatukkan, tertelan dan dikeluarkan dari tubuh bersama tinja. Ditanah,
larva berkembang dan tetap infektif hingga 1 tahun atau lebih. Infeksi pada manusia,
terutama anak-anak terjadi sebab menelan telur infektif dari tanah atau makanan dan air
yang terkontaminasi tanah. Telur bisa ditemukan di dalam dahak sekitar 4 minggu, gejala
klinis bisa muncul lebih awal atau lebih lambat. Kasus pada manusia di laporkan dari
bekas negara Uni Sovyet (8 kasus), Maroko dan Iran (masing-masing 1 kasus); infeksi
pada binatang dilaporkan di Amerika Selatan dan Utara, Eropa, Asia dan Australia.
DEMAM CAKARAN KUCING ICD-9 078.3; ICD-10 A28.1
( Catch scratch fever, Benign lymphoreticulosis )
1. Identifikasi.
Cat-scratch Disease (CSD) yaitu penyakit sub-akut, yang disebabkan oleh bakteri dan
biasanya sembuh dengan sendirinya. Penyakit in ditandai dengan malaise, limfadenitis
granulomatosa disertai dengan berbagai variasi demam. Kerapkali didahului dengan
riwayat cakaran, jilatan atau gigitan kucing yang kemudian menimbulkan luka papuler.
Kelenjar limfe setempat biasanya membengkak 2 minggu setelah gigitan/cakaran dan bisa
berlanjut menjadi luka yang mengeluarkan pus.
Terbentuknya papula pada daerah tempat masuknya bakteri ditemukan pada sekitar 50 –
90 % kasus. Sindroma Parinaud oculoglandular dan komplikasi neurologis, seperti
ensefalopati dan neuritis pada mata dapat terjadi sesudah inokulasi pada mata. Demam
yang berlangsung dalam waktu lama bisa dikuti dengan lesi osteolitik dan atau
terbentuknya granulomata pada hati dan limpa. Bakteriemia, peliosis hepatis dan
angiomatosis basilair merupakan manifestasi infeksi oleh kelompok oganisme ini pada
orang yang immunocompromised, terutama pada infeksi HIV.
CSD dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang memicu limfadenopati setempat
seperti tularemia, brusellosis, tuberkulosa, pes dan pasteurellosis (lihat uraian dibawah).
Diagnosa didasarkan pada gambaran klinis yang konsisten ditambah dengan hasil
pemeriksaan serologis terbentuknya antibodi terhadap Bartonella. Titer sebesar 1:64 atau
lebih dengan pemeriksaan IFA, dianggap positif terkena CSD.
89
Pemeriksaan histopatologi dari kelenjar limfe yang terkena bisa memberikan gambaran
khas yang konsisten, namun bukan diagnostik. Pus yang diambil dari kelenjar limfe
biasanya tidak mengandung bakteri dengan pemeriksaan konvensional, namun sesudah
ditanam agak lama pada agar darah kelinci dengan 5% CO2 pada suhu 36oC (96.8oF),
Bartonella dapat tumbuh dari spesimen yang diambil dari kelenjar limfe.
2. Pemicu penyakit.
Bartonella (sebelumnya disebut Rochalimaea) henselae secara epidemiologis,
bakteriologis dan serologis telah diketahui sebagai etiologi dari CSD, begitu pula sebagai
Pemicu bacillary angiomatosis, peliosis hepatis dan bakteriemia. Keluarga lain dari
Bartonellae, seperti B. Quintana, juga memicu kesakitan pada hospes
“immunocompromised”, namun tidak memicu CSD. Afipia pelis, yang sebelumnya
diduga sebagai organisme Pemicu , ternyata organisme ini hanya memainkan peranan
sangat kecil, sebagai Pemicu CSD.
3. Distribusi penyakit.
Tersebar diseluruh dunia, namun jarang terjadi. Surveilans prospektif yang dilakukan di
satu negara bagian (AS) menemukan insiden setahun sebesar 4.0 kasus/100.000
warga . Semua jenis kelamin memiliki risiko yang sama untuk terkena, dan CSD
lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Pengelompokan penderita dalam
suatu keluarga jarang terjadi. Kebanyakan kasus muncul pada bulan-bulan diakhir musim
panas, musim gugur dan musim dingin.
4. Reservoir.
Kucing rumah yaitu vektor dan reservoir untuk B. henselae; Kucing yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala klinis walaupun menderita bakteriemia kronis.
5. Cara penularan.
Kebanyakan pasien (lebih dari 90%) ada riwayat dicakar, tergigit, dijilat kucing atau
terpajan dengan kucing yang sehat, biasanya kucing muda (kadang anak kucing). Riwayat
cakaran atau gigitan anjing, gigitan monyet, kontak dengan kelinci, ayam atau kuda
diketahui terjadi sebelum munculnya gejala, namun hampir semua kasus CSD memiliki
riwayat pernah kontak dengan kucing. Kutu kucing menularkan B. henselae kepada
sesama kucing, dan baru pada akhir tahun 1999 kucing diketahui memiliki peranan
penting pada penularan langsung dari B. henselae kepada manusia.
6. Masa inkubasi.
Bervariasi, biasanya 3 - 14 hari dari saat masuknya bakteri kedalam tubuh hingga
munculnya lesi primer dan sekitar 5 – 50 hari dari saat masuknya baketri hingga
munculnya limfadenopati.
7. Masa penularan : Tidak langsung ditularkan dari orang ke orang.
8. Kekebalan dan kerentanan : Tidak diketahui.
90
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan :
Bersihkan luka akibat dicakar atau digigit kucing dengan baik. Hal ini akan sangat
menolong. Upaya membasmi kutu kucing sangat penting.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar :
1). Laporan kepada petugas kesehatan. Laporan resmi tidak dilakukan, kelas 5 (lihat
tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi : tidak dilakukan.
3). Disinfeksi serentak : terhadap discharge luka yang bernanah.
4). Karantina, imunisasi kontak dan investigasi kontak dan sumber penyakit : tidak
dilakukan.
5). Pengobatan spesifik :
Efektivitas dari terapi antibiotik sangat tidak jelas terhadap CSD. Antibiotik yang
umum dipakai seperti rifampisin, eritromisin dan doksisiklin, efektif untuk infeksi
yang menyebar pada penderita AIDS. Pengobatan terhadap pendertita CSD tanpa
kompliksi dengan sistem kekebalan yang baik tidak dilakukan. Namun, semua
penderita immunocompromised sebaiknya diobati selama 1 – 3 bulan. Aspirasi
dari limfadenitis bernanah mungkin diperlukan untuk mengurangi rasa sakit, namun
biopsi insisi dari kelenjar limfe sebaiknya dihindari.
C. Tindakan penanggulangan wabah : Tidak dilakukan
D. Implikasi bencana : tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada.
INFEKSI LAIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN GIGITAN BINATANG
Penyakit lain yang diakibatkan oleh gigitan binatang, antara lain : pasteurellosis dari kucing,
walaupun jarang pasturellosis bisa disebabkan oleh anjing dan binatang lain; B-virus
(cercopithecin herpesvirus-1) sebab gigitan monyet (lihat uraian pada bab Herpes Simplex);
tularemia; Streptobacillus moniliformis (demam gigitan tikus); pes; tetanus; dan rabies.
Gigitan binatang juga bisa memicu penularan streptokokus dan stafilokokus, yang
memicu infeksi pyogenik selain infeksi oleh spesies bakteri anaerob dan Acitenobacter.
Pasteurellosis (ICD-9 027.2; ICD-10 A28.0) disebabkan oleh Pasteurella multocida dan P.
haemolityca. Ditemukan pada saluran pernapasan dari sebagian besar kucing sehat, anjing dan
binatang lain. Infeksi pada manusia biasanya sekunder, sesudah gigitan kucing atau anjing
dalam wujud selulitis dengan rasa sakit dan bengkak, limfadenopati dan sepsis bisa terjadi.
Gejala biasanya muncul kurang dari 24 jam sesudah digigit kucing atau anjing. Penyakit
saluran pernafasan kronis dapat terjadi pada orang tua yang sebelumnya menderita penyakit
lain. Organisme ini sensitif terhadap penisilin, obat alternatif yang cukup efektif yaitu
tetrasiklin. Generasi pertama dari sefalosporin biasanya kurang efektif terhadap Pasteurella.
Augmentin yaitu obat pilihan yang tepat untuk kasus gigitan binatang pada umumnya,
sebab sekaligus bisa mencakup Pasteurella, streptokokus, stafilokokus dan bakteri anaerob.
91
Capnocytophaga canimorsus, menurut klasifikasi CDC dulu dikenal sebagai kelompok DF2
(ICD-9 027.8) dapat menimbulkan demam pada pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang
kurang, yang sebelumnya dijilat, digigit atau dicakar kucing atau anjing. Selulitis, demam,
septikemia, meningitis purulenta, endokarditis atau arthritis septik dapat muncul sesudah 1 – 5
hari; CFR pada kelompok risiko tinggi dilaporkan bervariasi antara 4 – 27 %. Splenektomi,
penyakit paru kronis dan alkoholisme yaitu faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
Insiden penyakit ini lebih tinggi pada pria dan orang-orang diatas usia 40 tahun. Diagnosa
ditegakkan dengan menemukan basil gram negatif didalam netrofil dan dengan mengisolasi
organisme Pemicu . Organisme lain namun tidak begitu virulen, C. cynodegmi dapat di isolasi
dari luka infeksi akibat di gigit anjing atau dicakar kucing. Organisme ini biasanya ditemukan
pada mulut kucing dan anjing sehat. Penisilin G, yaitu antibiotik pilihan untuk infeksi ini.
Sebaiknya diberikan secara profilaktik kepada orang-orang dengan risiko tinggi setelah
gigitan anjing atau kucing.
CHANCROID ICD-9.099.0; ICD-10 A 57
(Ulcus molle, Soft chancre)
1. Identifikasi.
Infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri, terlokalisir pada daerah genital dan secara
klinis memiliki ciri-ciri rasa sakit disatu atau beberapa tempat; luka nekrotis pada
tempat yang terinfeksi, biasanya disertai dengan pembengkakan dan rasa sakit pada
kelenjar limfe setempat serta mengeluarkan nanah. Lesi ringan bisa terjadi pada dinding
vagina atau cervix. Infeksi asimptomatis bisa juga terjadi pada wanita. Pernah ditemukan
lesi ekstra genital. Lesi chancroid, seperti lesi pada alat kelamin lain dikaitkan dengan
meningkatnya risiko terkena infeksi HIV.
Diagnosa ditegakkan dengan mengisolasi organisme dari eksudat lesi yang ditanam pada
media selektif dengan menambahkan vancomisin ke dalam media agar coklat, darah
kelinci atau media agar darah kuda yang di perkaya dengan serum janin anak sapi.
Spesimen yang diambil dari eksudat yang dicat dengan pengecatan gram bisa memperkuat
diagnosa jika ditemukan kokobasil gram negatif yang terlihat menggerombol diantara sel
darah putih. Pemeriksaan dengan PCR dan imunofluoresen untuk deteksi langsung
organisme dari lesi serta pemeriksaan serologi, tersedia hanya untuk tujuan riset.
2. Pemicu penyakit : Haemophilus ducreyi, Basil ducrey.
3. Distribusi penyakit.
Lebih sering ditemukan pada pria, terutama mereka yang sering berhubungan dengan
pekerja seksual komersial. Sangat prevalen di daerah tropis dan subtropis diseluruh dunia,
insidennya mungkin lebih tinggi dari sifilis dan hampir sama seperti insiden gonorrhea
pada pria. Penyakit ini jarang terjadi di daerah iklim sedang, namun bisa juga muncul
sebagai KLB kecil. Di AS, KLB dan penularan setempat terjadi, terutama dikalangan
pekerja migran di daerah pertanian dan warga miskin perkotaan.
92
4. Reservoir : manusia.
5. Cara penularan :
Melalui kontak seksual langsung, dengan discharge dari luka yang terbuka dan pus dari
bubo. Auto inokulasi pada tempat-tempat selain alat kelamin bisa terjadi pada penderita.
Pelecehan seksual bisa di curigai telah terjadi bila chancroid ditemukan pada anak-anak
usia perinatal.
6. Masa inkubasi : Dari 3- 5 hari sampai dengan 14 hari.
7. Masa penularan :
Seseorang bisa menularkan chanchroid hingga sampai ia sembuh, penyakit ini menular
selama bakteri masih ada dari luka atau discharge dari kelenjar limfe yang bisa
berlangsung selama beberapa minggu atau beberapa bulan bila tidak diobati dengan
antibiotik yang tepat. Pengobatan dengan antibiotik membunuh H. ducreyi dan luka akan
sembuh dalam 1-2 minggu.
8. Kekebalan dan kerentanan.
Semua orang rentan terhadap penyakit ini; pria yang tidak disunat memiliki risiko lebih
tinggi daripada pria yang disunat. Tidak ada bukti terbentuknya kekebalan tubuh alamiah
terhadap penyakit ini.
9. Cara-cara pemberantasan :
A. Cara pencegahan.
1). Tindakan pencegahannya sama dengan cara pencegahan untuk sifilis (lihat sifilis.
(9A).
2). Lakukan pemeriksaan serologis untuk sifilis dan HIV terhadap semua penderita
non herpes dengan luka pada alat kelamin.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar :
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; kasus wajib dilaporkan di beberapa
negara bagian dan di banyak negara, kelas 2B (laporan)
2). Isolasi : tidak dilakukan; hindari kontak seksual hingga luka sembuh.
3). Disinfeksi serentak : tidak dilakukan.
4). Karantina : tidak dilakukan.
5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan.
6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : periksa dan obati semua kontak
seksual dengan penderita dalam 10 hari sebelum munculnya gejala. Wanita tanpa
gejala, jarang menjadi carrier. Kontak seksual dengan orang tanpa gejala
sebaiknya diberi pengobatan profilaktik.
7). Pengobatan spesifik : Septriakson, eritromisin, azitromisin dan khusus untuk orang
dewasa: siprofloksasin yaitu obat pilihan. Pengobatan alternatif memakai
amoksisilin dan asam clavulanat. Kelenjar limfe didaerah inguinal yang terlihat
membangkak sebaiknya dilakukan aspirasi agar tidak pecah secara spontan.
93
C. Penanggulangan wabah :
Ditemukannya penderita terus menerus atau meningkatnya insiden penyakit disuatu
wilayah yaitu indikasi untuk menerapkan prosedur tindakan seperti yang dijelaskan
pada 9A dan 9B diatas. Apabila compliance pengobatan dengan memakai jadwal
seperti yang tertera pada (9B7) rendah maka sebagai pertimbangan sebaiknya
diberikan dosis tunggal ceftriaxone atau azithromycin. Terapi empiris perlu diberikan
kepada kelompok risiko tinggi dengan atau tanpa ulkus; yaitu kepada pekerja seksual
komersial, kepada pasien yang datang ke klinik dengan ulkus pada alat kelamin dan
pada pemeriksaan dengan mikroskop lapangan gelap hasilnya negatif. Terapi empiris
ini tujuannya untuk mencegah terjadinya KLB.
D. Implikasi bencana : Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Lihat sifilis (9E).
CHICKEN POX/HERPES ZOSTER ICD-9 052-053; ICD-10 B01- B02
(Varicella/shingles)
1. Identifikasi.
Chicken pox (varicella/cacar air) yaitu penyakit virus akut, pada umumnya terjadi
serangan mendadak dengan demam ringan, gejala umum ringan dikuti dengan munculnya
erupsi kulit yang makulopapuler dalam beberapa jam, menjadi vesikuler dalam 3-4 hari
dan meninggalkan keropeng bundar. Gelembungnya berbentuk monolokuler dan pecah
bila ditusuk, berbeda dengan gelembung pada cacar yang berbentuk multilokuler, tidak
kolaps. Lesi biasanya muncul berkelompok memanjang, dengan stadium yang berbeda
pada waktu yang sama. Lesi lebih banyak muncul pada anggota tubuh yang tertutup
daripada di tempat-tempat yang terbuka. Lesi juga bisa muncul pada kulit kepala, axilla
bagian atas, dan membran mukosa mulut serta saluran pernapasan bagian atas dan juga
pada mata. Lesi juga bisa muncul pada daerah iritasi, seperti pada daerah yang terbakar
matahari dan ruam akibat popok bayi. Lesi yang muncul kemungkinan jumlahnya sangat
sedikit sehingga luput dari observasi. Bisa terjadi infeksi ringan yang tidak jelas dan tidak
khas. Kadang-kadang, walaupun jarang pada orang dewasa, demam dan gejala klinis
lainnya bisa muncul lebih berat. CFR di AS lebih rendah pada anak-anak daripada orang
dewasa, 1 dari 100.000 anak dengan cacar air, dibandingkan dengan 1 dari 5000 orang
dewasa. Komplikasi yang serius dari cacar air yaitu pneumonia (sebab virus dan
bakteri), Infeksi bakteri sekunder, komplikasi perdarahan dan ensefalitis. Anak dengan
lekemia akut, termasuk yang mengalami remisi sesudah kemoterapi yaitu kelompok
yang memiliki risiko lebih tinggi terkena cacar air, yang angka kematiannya 5 - 10 %
dari semua kasus. Bayi baru lahir yang menderita cacar air pada umur 6 – 10 hari
memiliki risiko untuk menderita cacar air berat, begitu juga bayi yang lahir dari ibu
yang terkena penyakit ini 5 hari sebelum atau 2 hari sesudah melahirkan. Sebelum
ditemukan pengobatan virus yang efektif, fatality rate nya sampai 30 %.
94
namun sekarang CFR-nya lebih rendah. Infeksi pada kehamilan muda bisa memicu
sindroma cacar air kongenital pada 0.7 % dari kasus, dan infeksi yang terjadi pada usia
kehamilan 13-20 minggu risikonya sekitar 2%. Cacar air seringkali ditemukan muncul
mendahului sindroma Reye sebelum diketahui bahwa terjadinya sindroma Reye, dikaitkan
dengan penggunaan aspirin untuk infeksi virus.
Herpes zoster (shingles) yaitu manifestasi lokal dari reaktivasi infeksi varicella laten
pada radix ganglia dorsalis. Muncul sebagai lesi vesikuler dengan dasar eritema terbatas
di daerah kulit, yang mengikuti jalannya saraf sensoris dari satu atau sekelompok radix
ganglia dorsalis. Lesi bisa muncul dalam bentuk gerombolan gelembung yang ireguler
sepanjang jalannya saraf, biasanya unilateral. Terletak lebih dalam dan vesikel
menggerombol lebih dekat dibandingkan cacar air; herpes zoster dan varicella secara
histologis mirip satu sama lain. Hampir selalu disertai dengan rasa sakit sekali dan
parestesia, dan sekitar 30 % orang dewasa yang terserang herpes menderita postherpetic
neuralgia. Insiden dari zoster dan postherpetic neuralgia bertambah seiring dengan
bertambahnya umur. Dari pengamatan didapatkan bahwa hampir 10 % anak-anak yang
mendapat pengobatan kanker cenderung mendapatkan zoster; orang dengan infeksi HIV
juga memiliki risiko untuk terkena zoster. Orang dengan imunosupresi dan orang yang
didiagnosa menderita tumor ganas, lesi ekstensif seperti cacar air bisa muncul diluar
dermatome; lesi seperti cacar air ini bisa juga terjadi pada orang-orang normal namun
dengan jumlah lesi yang lebih sedikit. Infeksi intra uterin dan cacar air yang diderita
sebelum usia 2 tahun dikaitkan dengan munculnya zoster pada usia muda. Kadang-kadang
erupsi seperti cacar air muncul beberapa hari sesudah herpes zoster, dan sangat jarang
terjadi erupsi sekunder dari zoster sesudah cacar air. Pemeriksaan laboratorium, seperti
menemukan virus dengan memakai mikroskop elektron; isolasi virus pada kultur sel;
membuktikan adanya antigen virus pada preparat apus dengan memakai metode FA,
DNA virus, atau dengan PCR atau pembuktian adanya kenaikan titer antibodi serum, tidak
dilakukan secara rutin namun bermanfaat pada kasus-kasus sulit dan untuk studi
epidemiologis. Pada era vaksin, tes identifikasi virus untuk membedakan virus vaksin dari
virus liar mungkin diperlukan pada situasi tertentu (misalnya untuk mengetahui apakah
munculnya herpes zoster, pada penerima vaksin disebabkan oleh virus vaksin atau virus
liar). Berbagai macam pemeriksaan antibodi sekarang telah tersedia secara komersial,
namun pemeriksaan ini kurang sensitif untuk mellihat imunitas pasca imunisasi; sel
raksasa dengan inti banyak bisa dilihat dari sediaan yang diambil dari dasar lesi dengan
pengecatan Giemsa; sel raksasa ini tidak ditemukan pada vaccinia namun dapat ditemukan
pada lesi herpes simplex.
Dengan demikian ditemukannya sel raksasa ini tidak spesifik untuk infeksi varicella,
pemeriksaan dengan Rapid direct antibody testing memiliki nilai diagnostik yang lebih
tepat.
2. Pemicu penyakit.
Herpesvirus 3 (alpha) manusia (Varicella zoster, VZV) termasuk kelompok Herpesvirus.
3. Distribusi penyakit.
Tersebar di seluruh dunia. Infeksi dengan herpesvirus 3 (alpha) manusia sangat umum
terjadi. Di daerah dengan iklim sedang, paling tidak 90 % dari warga nya pernah
terkena cacar air pada usia 15 tahun dan setidaknya 95% pada kelompok dewasa muda.
95
Pada daerah beriklim sedang, cacar air terjadi paling sering pada musim dingin dan awal
musim semi. Gambaran epidemiologis dari cacar air di negara tropis berbeda dengan
negara-negara beriklim sedang, dengan proporsi lebih tinggi kasus-kasus terjadi pada
orang dewasa. Zoster terjadi lebih umum pada orang-orang yang lebih tua.
4. Reservoir : manusia.
5. Cara penularan :
Dari orang ke orang melalui kontak langsung, droplet atau penularan melalui udara dari
cairan vesikel atau sekret dari saluran pernapasan orang yang terkena cacar air atau cairan
vesikel dari penderita herpes zoster; tidak langsung melalui benda yang baru saja
terkontaminasi oleh discharge dari vesikel ataupun dari selaput lendir orang yang
terinfeksi. Berbeda dengan vaksinia dan variola, koreng dari lesi varicella tidak menular.
Cacar air yaitu salah penyakit yang sangat menular, terutama pada tahap awal erupsi;
zoster memiliki tingkat penularan yang rendah (kontak dengan varicella seronegatif
akan berkembang menjadi cacar air). Risiko terkena varicella yaitu sekitar 80 – 90 %
sesudah terpajan dengan penderita varicella.
6. Masa inkubasi.
Masa inkubasi berkisar antara 2 – 3 minggu; biasanya 14 – 16 hari. Masa inkubasi bisa
lebih panjang sesudah pemberian imunisasi pasif terhadap varicella (lihat 9A2; dibawah)
dan pada orang dengan tingkat kekebalan rendah.
7. Masa penularan
Paling lama 5 hari, namun biasanya 1 – 2 hari sebelum timbulnya ruam dan berlanjut
sampai semua lesi berkeropeng (biasanya sekitar 5 hari). Masa penularan bisa lebih lama
pada pasien yang tingkat kekebalannya rendah. Munculnya kasus sekunder pada anak-
anak dalam satu keluarga yaitu sekitar 70 – 90 %. Penderita zoster bisa menjadi sumber
infeksi sekitar 1 minggu sesudah munculnya lesi vesikulopustuler. Individu yang rentan
dianggap bisa menularkan penyakit 10 – 21 hari sesudah terpajan.
8. Kerentanan dan kekebalan.
Semua orang rentan terhadap varicella terutama mereka yang belum pernah terinfeksi;
biasanya penyakit ini lebih berat jika menyerang orang dewasa daripada anak-anak.
Infeksi biasanya menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama; serangan kedua jarang
terjadi, infeksi virus biasanya menjadi laten, dan penyakit ini bisa berulang sebagai
herpes zoster pada sekitar 15 % orang dewasa dan kadang-kadang pada anak-anak.
Bagi yang ibunya tidak kebal, dan penderita leukemia biasanya menderita lebih berat,
lebih lama atau bahkan fatal. Orang dewasa yang menderita kanker, terutama kanker
kelenjar limfe dengan atau tanpa terapi steroid, pasien dengan kekebalan rendah dan orang
dengan pengobatan yang memicu kekebalan menurun memiliki risiko terkena
zoster yang berat, baik lokal maupun menyebar.
96
9. Cara-cara pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan :
1). Vaksin virus varicella yang dilemahkan (Varivax®) mendapat lisensi untuk
digunakan di AS pada tahun 1995. Dosis tunggal 0.5 ml di rekomendasikan untuk
imunisasi rutin bagi anak usia 12 –18 bulan dan untuk imunisasi anak hingga umur
12 tahun yang belum pernah menderita varicella. Vaksin ini memiliki efikasi
kumulatif sekitar 70 – 90 % dalam mencegah varicella pada anak hingga umur 6
tahun. Efektivitas vaksin pasca lisensi diperkirakan sekitar 85 – 90 % untuk
mencegah semua spektrum penyakit dan hampir 100 % untuk mencegah timbulnya
penyakit dengan derajat sedang hingga berat. Orang yang telah mendapat
imunisasi namun masih terkena varicella biasanya ringan dengan lesi yang lebih
sedikit (biasanya kurang dari 50 dan lesi pada kulit tidak vesikuler), demam ringan
atau tanpa demam sama sekali dan lama sakit lebih singkat. Jika diberikan dalam 3
hari sesudah terpajan, vaksin varicella bisa mencegah atau secara bermakna
merubah perjalanan penyakit. Vaksin bisa digunakan untuk melindungi anak-anak
dan remaja yang menderita leukemia limfoblastik yang mengalami remisi, dan
dibutuhkan 2 dosis selama 4 – 8 minggu. Vaksin ini dapat diperoleh gratis untuk
penderita diatas berdasarkan protokol penelitian pada Pusat Koordinasi
VARIVAX (VARIVAX Coordinating Center) hubungi pesawat telpon 215-283-
0897.
Vaksin varicella direkomendasikan diberikan kepada orang yang rentan dan
berusia lebih dari 13 tahun. Orang dewasa yang diprioritaskan untuk diimunisasi
yaitu mereka yang kontak dengan orang yang berisiko tinggi yaitu penderita
dengan komplikasi yang serius, orang yang tinggal atau bekerja di lingkungan
dimana bisa terjadi penularan VZV (misalkan guru TK atau guru SD, pekerja
tempat penitipan anak, penghuni dan pekerja pada suatu asrama), orang yang
tinggal dan bekerja pada lingkungan dimana penularan bisa terjadi (misalkan
mahasiswa, orang pada satu ruang tahanan yang sama dan anggota militer), wanita
usia subur, remaja dan orang dewasa yang tinggal serumah dengan anak-anak dan
orang yang sering bepergian keluar negeri. Orang berusia diatas 13 tahun
membutuhkan 2 dosis vaksin diberikan dengan selang waktu 4 – 8 minggu. Ruam
ringan seperti varisela pada tempat vaksin disuntikkan ditemukan sekitar 2 – 4 %
pada anak-anak dan sekitar 5 % pada orang dewasa. Vaksin bisa memicu
terjadinya herpes zoster di kemudian hari, walaupun angkanya lebih rendah dari
yang didapat secara alamiah. Lamanya kekebalan tidak diketahui, namun antibodi
bertahan paling sedikit selama 10 tahun di AS. Namun, antibodi seumur hidup
terjadi sebab adanya sirkulasi virus liar.
2). Lindungi orang yang berisiko tinggi yang oleh sebab sesuatu hal tidak dapat di
imunisasi, seperti bayi dan orang yang kekebalannya rendah, dari pajanan dengan
cara semua anggota rumah tangga dan mereka yang kontak dengan penderita
seluruhnya diberi imunisasi.
3). Imunoglobulin varisela-zoster (Varicella-zoster immune globulin, VZIG), yang
dibuat dari plasma darah donor dengan titer antibodi VZV yang tinggi, sangat
efektif dalam memodifikasi atau mencegah penyakit jika diberikan dalam waktu
96 jam sesudah terpajan (lihar 9B5, dibawah).
97
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; di banyak negara bagian di AS dan
negara-negara lain, varisela bukan penyakit yang wajib dilaporkan. Kematian yang
disebabkan oleh varisela dinyatakan wajib dilaporkan diseluruh AS sejak 1 Januari
1999, Kelas 3C (lihat tentang Pelaporan Penyakit Menular).
2). Isolasi : anak-anak yang menderita varisela dilarang masuk sekolah, ruang medis,
ruang gawat darurat atau dilarang berkunjung ketempat-tempat umum hingga
vesikel menjadi kering, biasanya sesudah 5 hari bagi penderita anak-anak yang
tidak mendapat imunisasi dan 1 – 4 hari bagi anak-anak yang menderita varisela
pasca imunisasi. Pisahkan penderita dewasa dari tempat kerja dan hindari kontak
dengan orang yang rentan. Di rumah sakit, isolasi yang ketat diterapkan terhadap
penderita varisela sebab risiko mendapat varisela yang berat bagi pasien dengan
immunocompromised jika tertular.
3). Disinfeksi serentak : terhadap barang-barang yang terkontaminasi discharge dari
hidung dan tenggorokan penderita.
4). Karantina : biasanya tidak dilakukan. Anak-anak yang diketahui telah terpajan
varisela sebaiknya dikarantina dirumah sakit sebab alasan medis. Oleh sebab ada
risiko penyebaran penyakit kepada orang yang mendapat pengobatan steroid atau
pasien dengan kekebalan rendah. Karantina setidaknya dilakukan selama 10 – 21
hari sesudah tepajan (hingga 28 hari jika VZIG telah diberikan).
5). Perlindungan kontak : vaksin direkomendasikan untuk diberikan kepada orang
yang rentan sesudah terpajan varisela. Data dari rumah tangga, rumah sakit dan
warga membuktikan bahwa vaksin varisela efektif dalam mencegah kesakitan
atau mengurangi beratnya penyakit bila diberikan dalam 3 hari sampai dengan 5
hari sesudah terpajan.
VZIG yang diberikan dalam waktu 96 jam sesudah terpajan, bisa melindungi atau
mengurangi beratnya penyakit pada orang-orang rentan yang memiliki riwayat
kontak dengan orang sakit. VZIG tersedia di Dinas Transfusi Darah setempat
(Blood Service Regional Office). Dinas ini merupakan bagian dari Palang Merah
Amerika, atau dapat dipesan langsung melalui nomer telpon 617-461-0891).
Pemberian VZIG juga di indikasikan bagi bayi dari ibu yang terkena cacar air 5
hari sebelum atau 48 jam sesudah melahirkan. Tidak ada jaminan bahwa
pemberian VZIG pada wanita hamil akan mencegah terjadinya malformasi otak
janin, namun pemberian VZIG bisa mengurangi beratnya varisela pada wanita
hamil.
Obat anti virus seperti acyclovir nampaknya bermanfaat untuk mencegah atau
merubah perjalanan penyakit varisela jika diberikan dalam kurun waktu 1 minggu
sesudah terpajan. Dosis sebesar 80 mg/kg tiap hari dibagi dalam 4 dosis telah lama
digunakan namun sampai sekarang belum ada regimen yang direkomendasikan
secara umum untuk tujuan ini.
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : sumber infeksi bisa berasal dari penderita
varisela atau herpes zoster. Semua orang yang kontak dengan sumber infeksi
terutama mereka yang tidak memenuhi syarat untuk diberikan imunisasi, seperti
wanita hamil, orang dengan immunocompromised dan bayi yang ibunya menderita
varisela dalam 5 hari sebelum atau 2 hari sesudah melahirkan), sebaiknya
dipertimbangkan untuk pemberian VZIG. Penderita sebaiknya diisolasi sehingga
98
semua lesi menjadi keropeng; orang-orang rentan dan terpajan yang memenuhi
syarat untuk di imunisasi sebaiknya diberi vaksin segera untuk penanggulangan
dan pencegahan KLB.
7). Pengobatan spesifik :
Baik vidarabine (adenine arabinoside, Ara-A®) maupun acyclovir (Zovirax®)
efektif untuk mengobati cacar air dan zoster, namun acyclovir merupakan obat
pilihan untuk cacar air. Untuk pengobatan herpes zoster, analog dari acyclovir
dengan kemampuan absorpsi yang sudah diperbaiki saat ini telah tersedia
dipasaran (valacyclovir dan famcyclovir). Obat ini bisa memperpendek gejala dan
rasa sakit dari penderita zoster dewasa, terutama bila diberikan dalam waktu 24
jam sesudah munculnya ruam.
C. Tindakan penanggulangan wabah.
KLB cacar air sering terjadi disekolah, tempat penitipan anak dan institusi lain dan
KLB biasanya berlangsung lama dengan banyak korban disertai dengan komplikasi.
Penderita menular sebaiknya di isolasi dan kontak yang rentan diimunisasi dengan
segera atau dirujuk ke dokter langganan atau dokter keluarga mereka untuk mendapat
imunisasi, dengan maksud menanggulangi KLB yang terjadi. Orang yang oleh sebab
sesuatu hal tidak boleh diberi imunisasi seperti wanita hamil yang rentan dan orang-
orang yang immunocompromised sebaiknya dievaluasi dan dipertimbangkan untuk
diberi VZIG.
D. Implikasi bencana
KLB cacar air bisa terjadi pada anak-anak yang ditampung ditempat-tempat
engungsian. p
E. Tindakan lebih lanjut : Sama seperti diatas.
INFEKSI KLAMIDIA.
Pada saat teknik pemeriksaan laboratorium semakin canggih, Klamidia semakin diketahui
sebagai Pemicu penyakit pada manusia. Klamidia yaitu bakteri intraseluler yang obligatif,
berbeda dengan virus dan riketsia namun seperti halnya riketsia, klamidia sensitif terhadap
antimikroba berspektrum luas. Klamidia yang memicu penyakit pada manusia
diklasifikasikan menjadi 3 spesies :
1. Chlamydia psittaci, Pemicu psittacosis (q.v)
2. C. trachomatis, termasuk serotipe yang memicu trachoma (q.v) infeksi alat kelamin
(lihat bawah), Chlamydia conjunctivitis (q.v) dan pneumonia anak (q.v) dan serotipe lain
yang memicu Lymphogranuloma venereum (q.v)
3. C. pneumoniae, Pemicu penyakit saluran pernapasan termasuk pneumonia (q.v) dan
merupakan Pemicu penyakit arteri koroner.
Klamidia sekarang semakin dikenal sebagai patogen penting yang memicu berbagai
penyakit menular seksual, infeksi pada mata dan infeksi paru pada bayi sebagai akibat adanya
infeksi pada alat kelamin ibu hamil.
99
INFEKSI PADA ALAT KELAMIN DISEBABKAN KLAMIDIA
ICD-9 099.9; ICD-10 A56
1. Identifikasi
Infeksi melalui hubungan seksual, pada pria muncul sebagai uretritis; dan pada wanita
sebagai servisitis mukopurulen. Manifestasi klinis dari uretritis kadang sulit dibedakan
dengan gonorrhea dan termasuk adanya discharge mukopurulen dalam jumlah sedikit
atau sedang, gatal pada uretra dan rasa panas ketika buang air kecil. Infeksi tanpa gejala
bisa ditemukan pada 1 – 25 % pria dengan aktivitas seksual aktif. Komplikasi dan gejala
sisa mungkin terjadi dari infeksi uretra pada pria berupa epididimitis, infertilitas dan
sindroma Reiter. Pada pria homoseksual, hubungan seks anorektal bisa memicu
proktitis klamidia.
Pada wanita, manifestasi klinis mungkin sama dengan gonorrhea, dan seringkali muncul
sebagai discharge endoservik mukopurulen, disertai dengan pembengkakan, eritema dan
mudah mengakibatkan perdarahan endoservik disebabkan oleh peradangan dari epitel
kolumnair endoservik. Namun, 70 % dari wanita dengan aktivitas seksual aktif yang
menderita klamidia, biasanya tidak menunjukkan gejala. Komplikasi dan gejala sisa
berupa salpingitis dengan risiko infertilitas, kehamilan diluar kandungan atau nyeri pelvis
kronis. Infeksi kronis tanpa gejala dari endometrium dan saluran tuba bisa memberikan
hasil yang sama. Manifestasi klinis lain namun jarang terjadi seperti bartolinitis, sindroma
uretral dengan disuria dan pyuria, perihepatitis (sindroma Fitz-Hugh-Curtis) dan proktitis.
Infeksi yang terjadi selama kehamilan bisa mengakibatkan ketuban pecah dini dan
memicu terjadinya kelahiran prematur, serta dapat memicu konjungtivitis dan
radang paru pada bayi baru lahir. Infeksi klamidia endoserviks meningkatkan risiko
terkena infeksi HIV.
Infeksi klamidia bisa terjadi bersamaan dengan gonorrhea, dan tetap bertahan walaupun
gonorrhea telah sembuh. Oleh sebab servisitis yang disebabkan oleh gonokokus dan
klamidia sulit dibedakan secara klinis maka pengobatan untuk kedua mikroorganisme ini
dilakukan pada saat diagnosa pasti telah dilakukan. Namun pengobatan terhadap
gonorrhea tidak selalu dilakukan jika diagnosa penyakit disebabkan C. trachomatis.
Diagnosa uretritis non gonokokus (UNG) atau diagnosa servisitis non gonokokus
ditegakkan biasanya didasarkan pada kegagalan menemukan Neisseria gonorrhoeae
melalui sediaan apus dan kultur. Klamidia sebagai Pemicu dipastikan dengan
pemeriksaan preparat apus yang diambil dari uretra atau endoserviks atau dengan tes IF
langsung dengan antibodi monoklonal, EIA, Probe DNA, tes amplifikasi asam nukleus
(Nucleic Acid Amplification Test, NAAT), atau dengan kultur sel. NAAT bisa dilakukan
dengan memakai spesimen urin. Organisme intraseluler sulit sekali dihilangkan dari
discharge. Untuk penyakit lain, lihat uretritis non gonokokus dibawah.
2. Pemicu penyakit.
Chlamydia trachomatis, imunotipe D sampai dengan K, ditemukan pada 35 – 50 % dari
kasus uretritis non gonokokus di AS.
100
3. Distribusi penyakit.
Tersebar diseluruh dunia, di AS, Kanada, Australia dan Eropa, penyakit ini meningkat
terus selama 2 dekade terakhir.
4. Reservoir : manusia
5. Cara penularan : hubungan seks.
6. Masa inkubasi : Tidak jelas, mungkin 7 – 14 hari atau lebih panjang.
7. Masa penularan : Tidak diketahui. Relaps bisa terjadi.
8. Kerentanan dan kekebalan.
Semua usia rentan terhadap penyakit ini. Tidak ditemukan kekebalan setelah infeksi,
imunitas seluler bersifat imunotipe spesifik.
9. Cara-cara pemberantasan.
A. Cara pencegahan.
1). Penyuluhan kesehatan dan pendidikan seks : sama seperti sifilis (lihat Sifilis, 9A)
dengan penekanan pada penggunaan kondom ketika melakukan hubungan seksual
dengan wanita bukan pasangannya.
2). Pemeriksaan pada remaja putri yang aktif secara seksual harus dilakukan secara
rutin. Pemeriksaan perlu juga dilakukan terhadap wanita dewasa usia dibawah 25
tahun, terhadap mereka yang memiliki pasangan baru atau terhadap mereka
yang memiliki beberapa pasangan seksual dan atau yang tidak konsisten
memakai alat kontrasepsi. Tes terbaru untuk infeksi trachomatis dapat
digunakan untuk memeriksa remaja dan pria dewasa muda dengan spesimen urin.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1). Laporan pada instansi kesehatan setempat; laporan kasus wajib dilakukan
dibanyak negara bagian di AS, Kelas 2B (lihat Tentang pelaporan penyakit
menular).
2) Isolasi : tindakan kewaspadaan universal, bisa diterapkan untuk pasien rumah
sakit. Pemberian terapi antibiotika yang tepat menjamin discharge tidak infektif;
penderita sebaiknya menghindari hubungan seksual hingga kasus indeks, penderita
atau pasangannya telah selesai diberi pengobatan yang lengkap.
3). Disinfeksi serentak :
Pembuangan benda-benda yang terkontaminasi dengan discharge uretra dan
vagina, harus ditangani dengan seksama.
4). Karantina : tidak dilakukan.
5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan.
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi.
Pengobatan profilaktik diberikan terhadap pasangan seks lain dari penderita, dan
pengobatan yang sama diberikan kepada pasangan tetap. Bayi yang dilahirkan dari
ibu yang terinfeksi dan belum mendapat pengobatan sistemik, foto thorax perlu
101
diambil pada usia 3 minggu dan diulang lagi sesudah 12 – 18 minggu untuk
mengetahui adanya pneumonia klamidia sub klinis.
7). Pengobatan spesifik :
Doksisiklin (PO), 100 mg 2 kali sehari selama 7 hari atau tetrasiklin (PO), 500 mg,
4 x/hari selama 7 hari. Eritromisin yaitu obat alternatif dan obat pilihan bagi bayi
baru lahir dan untuk wanita hamil atau yang diduga hamil. Azitromisin (PO) 1 g
dosis tunggal sehari juga efektif.
C. Penanggulangan Wabah : tidak ada.
D. Implikasi bencana : tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : tidak ada.
URETRITIS NON GONOKOKUS dan Non Spesifik. ICD-9 099.4; ICD-10 N34.1
(UNG, UNS)
Sementara Klamidia paling sering ditemukan sebagai Pemicu kasus uretritis non
gonokokus, namun organisme lain juga banyak ditemukan sebagai Pemicu . Ureaplasma
urealyticum diperkirakan sebagai Pemicu 10 – 20 % dari kasus UNG. Virus herpes simplex
tipe 2 dan Trichomonas vaginalis jarang sebagai Pemicu . Jika fasilitas laboratorium untuk
pemeriksaan klamidia tidak tersedia, semua penderita UNG (bersama dengan pasangan seks
mereka) sebaiknya diperlakukan sebagai pengidap klamidia. sebab penderita yang hasil
pemeriksaan laboratoriumnya negatif terhadap klamidia ternyata memberi respons yang baik
terhadap terapi antibiotika.
KOLERA dan VIBRIOSES lain ICD-9.001; ICD-10.A00
I. Vibrio kolera serogrup O1 dan O139.
1. Identifikasi.
Penyakit saluran pencernaan akut yang disebabkan oleh bakteri dan ditandai gejala dalam
bentuknya yang berat dengan onset yang tiba-tiba, diare terus menerus, cair seperti air
cucian beras, tanpa sakit perut, disertai muntah dan mual di awal timbulnya penyakit.
Pada kasus-kasus yang tidak diobati dengan cepat dan tepat dapat terjadi dehidrasi,
asidosis, kolaps, hipoglikemi pada anak serta gagal ginjal. Infeksi tanpa gejala biasanya
lebih sering terjadi daripada infeksi dengan gejala, terutama infeksi oleh biotipe El Tor;
gejala ringan dengan hanya diare, umum terjadi, terutama dikalangan anak-anak. Pada
kasus berat yang tidak diobati (kolera gravis), kematian bisa terjadi dalam beberapa jam,
dan CFR-nya bisa mencapai 50 %. Dengan pengobatan tepat, angka ini kurang dari 1 %.
Diagnosa ditegakkan dengan mengisolasi Vibrio cholera dari serogrup O1 atau O139 dari
tinja. Jika fasilitas laboratorium tidak tersedia, Cary Blair media transport dapat
digunakan untuk membawa atau menyimpan spesimen apus dubur (Rectal Swab).
102
Untuk diagnosa klinis presumtif cepat dapat dilakukan dengan mikroskop medan gelap
atau dengan visualisasi mikroskopik dari gerakan vibrio yang tampak seperti shooting
stars atau bintang jatuh, dihambat dengan antisera serotipe spesifik yang bebas bahan
pengawet. Untuk tujuan epidemiologis, diagnosa presumtif dibuat berdasarkan adanya
kenaikan titer antitoksin dan antibodi spesifik yang bermakna. Di daerah non-endemis,
organisme yang diisolasi dari kasus indeks yang dicurigai sebaiknya dikonfirmasikan
dengan pemeriksaan biokimiawi dan pemeriksaan serologis yang tepat serta dilakukan uji
kemampuan organisme untuk memproduksi toksin kolera atau untuk mengetahui adanya
gen toksin. Pada saat terjadi wabah, sekali telah dilakukan konfirmasi laboratorium dan uji
sensitivitas antibiotik, maka terhadap semua kasus yang lain tidak perlu lagi dilakukan uji
laboratorium
2. Pemicu Penyakit.
Vibrio cholera serogrup O1 terdiri dari dua biotipe yaitu Vibrio klasik dan Vibiro El Tor
dan yang terdiri dari serotipe Inaba, Ogawa dan Hikojima (jarang ditemui). Vibrio cholera
O139 juga memicu kolera tipikal. Gambaran klinis dari penyakit yang disebabkan
oleh Vibrio cholera O1 dari kedua biotipe dan yang disebabkan oleh Vibrio cholera O139
yaitu sama sebab enterotoksin yang dihasilkan oleh organisme ini hampir sama. Pada
setiap kejadian wabah atau KLB, tipe organisme tertentu cenderung dominan, saat ini
biotipe El Tor yaitu yang paling sering ditemukan. Di kebanyakan daerah di India dan
Bangladesh, sebagian besar dari kejadian kolera disebabkan oleh Vibrio cholera O139 dan
Vibrio cholera O1 dari biotipe klasik ditemukan di Bangladesh selama dekade lalu.
Beberapa jenis Vibrio yang secara biokimiawi tidak dapat dibedakan satu sama lain, namun
tidak menggumpal dengan antisera Vibrio cholera serogrup O1 (strain non-O1, dahulu di
kenal sebagai Vibrio yang tidak menggumpal (NAGs) atau juga dikenal sebagai “Non
Cholera Vibrio” (NCVsJ) sekarang dimasukkan ke dalam spesies Vibrio cholera.
Beberapa strain kolera memproduksi enterotoksin namun kebanyakan tidak. Sebelum tahun
1992, strain non-O1 diketahui sebagai Pemicu diare sporadis dan jarang memicu
KLB dan tidak pernah sebagai Pemicu wabah yang menelan korban banyak. Namun
pada akhir tahun 1992 wabah kolera dengan dehidrasi berat terjadi di India dan
Bangladesh dengan jumlah korban yang sangat banyak. Organisme Pemicu nya yaitu
serogrup baru dari Vibrio cholera O139, yang menghasilkan toksin kolera yang sama
dengan O1 namun berbeda, pada struktur lipo polisakaridanya (LPS) dan berbeda dalam
kemampuan memproduksi antigen kapsuler. Gambaran klinis dan epidemiologis dari
penyakit yang disebabkan oleh organisme ini dengan ciri khas kolera, dan harus
dilaporkan sebagai kolera. Wabah oleh strain O-139 yang memiliki faktor virulensi
yang sama seperti Vibrio cholera O1 El Tor, faktor ini nampaknya diperoleh dari
hilangnya bagian gen yang menyandikan (Encode) antigen lipo polisakarida dari O1
strain El Tor di ikuti dengan bersatunya sebagian besar fragmen dari DNA baru yang
menyandikan (encoding) enzim yang memungkinkan terjadinya sintesa dari liposakarida
dan kapsul dari O 139. Melaporkan Infeksi Vibrio cholera O1 non-toksikogenik atau
infeksi Vibrio cholera non O1, selain O139 sebagai, kolera, yaitu laporan yang tidak
akurat dan membingungkan.
103
3. Distribusi penyakit.
Selama abad 19, pandemi kolera menyebar berulang kali dari delta Sungai Gangga di
India ke seluruh dunia. Sampai dengan pertengahan abad ke 20, penyakit ini terbatas
hanya terjadi di Asia, kecuali kejadian wabah kolera yang menelan banyak korban di
Mesir pada tahun 1947. Selama setengah abad terakhir abad ke 20 gambaran
epidemiologis kolera ditandai dengan 3 ciri utama.
1). Terjadinya pandemi ke 7 kolera yang disebabkan oleh Vibrio cholera O1 El Tor,
dengan korban yang sangat banyak.
2). Diketahui adanya reservoir lingkungan dari kolera, salah satunya yaitu di sepanjang
pantai teluk Meksiko di AS.
3). Munculnya untuk pertama kali ledakan wabah besar dari Cholera gravis yang
disebabkan oleh organisme Vibrio cholera dari serogrup selain O1, (Vibrio cholera
O139).
Sejak tahun 1961, Vibrio cholera dari biotipe El Tor telah menyebar dari Indonesia
melalui sebagian besar Asia ke Eropa Timur. Pada tahun 1970, biotipe ini masuk ke
Afrika bagian barat dan menyebar dengan cepat di benua itu dan menjadi endemis di
sebagian besar negara Afrika. Beberapa kali KLB kolera telah terjadi di semenanjung
Iberia dan Itali pada tahun 1970 an.
Kolera El Tor kembali ke Benua Amerika di tahun 1991, sesudah menghilang selama satu
abad dan memicu ledakan-ledakan wabah sepanjang pantai Pasifik di Peru. Dari
Peru, kolera dengan cepat menyebar ke negara-negara tetangga, dan pada tahun 1994,
kira-kira 1 juta kasus kolera tercatat terjadi di Amerika Latin. Perlu di catat, walaupun
manifestasi klinis penyakit ini sama beratnya dengan yang terjadi di bagian lain di dunia,
namun keseluruhan CFR kolera di Amerika Latin bisa ditekan tetap rendah (sekitar 1%)
kecuali di pedesaan di pegunungan Andes dan wilayah Amazona dimana fasilitas
pelayanan kesehatan sangat jauh.
Perlu dicatat secara spesifik bahwa telah terjadi KLB kolera El Tor diantara pengungsi
Rwanda di Goma, Zaire, pada bulan Juli tahun 1994 dengan 70.000 penderita dan 12.000
orang diantaranya tewas dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Secara keseluruhan,
384.403 penderita dan 10.692 kematian akibat kolera dilaporan ke WHO pada tahun 1994
oleh 94 negara. CFR global pada tahun 1994 yaitu 2,8 % yang bervariasi dari 1% di AS,
1,3 % di Asia dan 5 % di Afrika.
Variasi angka ini mencerminkan perbedaan dalam sistim pelaporan dan akses terhadap
pengobatan yang tepat, tidak menggambarkan virulensi dari organisme Pemicu .
Kecuali untuk dua kasus kolera yang didapatkan sebab infeksi dilaboratorium, dibelahan
bumi bagian Barat tidak ditemukan penderita kolera indigenous sejak tahun 1911 sampai
dengan 1973, pada saat itu di Texas ditemukan penderita dengan V. cholerae El Tor Inaba
sebagai Pemicu , dimana sumbernya tidak diketahui.
Pada tahun 1978 dan awal 1990 an ditemukan secara sporadis penderita dengan infeksi V.
cholerae El Tor Inaba di Louisiana dan Texas.
Timbulnya kasus-kasus kolera diatas disepanjang Gulf Coast Amerika selama bertahun-
tahun disebabkan oleh satu strain indigenous yang berasal dari reservoir lingkungan dari
V. cholerae O1 El Tor Inaba disepanjang pantai teluk Mexico.
Pada bulan Oktober 1992, KLB kolera terjadi secara serentak di beberapa daerah di
Negara Bagian Tamilnadu, India. Strain yang diisolasi dari KLB ini tidak menggumpal
dengan antisera O1, begitu pula strain ini pada pemeriksaan laboratorium tidak dapat
104
diidentifikasi dengan panel standar antisera dari Vibrio cholera 138 non O1. Serogrup
baru, yang disebut O 139 Bengal menyebar dengan cepat ke seluruh negara bagian dan
kawasan sekitarnya, dalam beberapa bulan memicu ratusan ribu orang terserang.
Selama periode wabah, V. cholerae O139 menggantikan strain V. cholerae O1 pada
hampir semua pasien yang dirawat di rumah sakit dan dari sampel yang diambil dari air
permukaan. Wabah terus menyebar sepanjang tahun 1994 dengan penderita kolera O139
yang dilaporkan dari 11 negara di Asia. Strain baru ini diperkirakan menyebar ke benua
lain melalui para pelancong yang terinfeksi didaerah tujuan wisata, namun tidak dilaporkan
adanya penyebaran sekunder diluar Asia. Bahwa wabah O139 yang terjadi di Asia pada
awal tahun 1990-an dipercaya sebagai awal terjadinya pandemi ke 8 dari kolera. Namun
O139 bukan hanya tidak menyebar dan memicu wabah di Afrika dan Amerika
Selatan namun ia juga menghilang dengan cepat baik di India maupun Bangladesh. Dan
bahkan menghilang dari daerah dimana strain ini berasal dan pernah menyebar. Kalaupun
ditemukan dibagian lain didunia, O139 sebagai Pemicu tidak lebih dari 5 – 10 % dari
seluruh kasus kolera. Kolera O 139 di masa yang akan datang diduga dapat memicu
wabah yang sangat besar di bagian lain di dunia dan sebab nya membutuhkan surveilans
lebih lanjut yang terus menerus.
Semenjak kolera kembali menyerang Amerika Latin pada tahun 1990 an, para pelancong
yang terserang kolera meningkat dengan tajam. Dengan memakai metode
bakteriologis yang canggih (media TCBS) berbagai studi prospektif telah dilakukan dan
membuktikan bahwa insiden kolera yang menyerang para pelancong di AS dan yang
menyerang turis Jepang cukup tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya.
4. Reservoir
Reservoirnya yaitu : Manusia; pengamatan yang dilakukan di AS, Bangladesh dan
Australia selama lebih dari 2 dekade menunjukkan adanya reservoir lingkungan, dimana
vibrio diduga hidup pada copepoda dan zooplankton yang hidup diperairan payau dan
muara sungai.
5. Cara penularan
Masuk melalui makanan atau air minum yang terkontaminasi secara langsung atau tidak
langsung oleh tinja atau muntahan dari orang yang terinfeksi. El Tor dan O139 dapat
bertahan di air dalam jangka waktu yang lama. Pada saat wabah El Tor sekala besar
terjadi di Amerika Latin pada tahun 1991, penularan yang cepat dari kolera terjadi melalui
air yang tercemar sebab sistem PAM perkotaan yang tidak baik, air permukaan yang
tercemar, sistem penyimpanan air dirumah tangga yang kurang baik. Makanan dan
minuman pada saat itu diolah dengan air yang tercemar dan di jual oleh pedagang kaki
lima, bahkan es dan air minum yang dikemaspun juga tercemar oleh vibrio cholerae. Biji-
bijian yang dimasak dengan saus pada saat wabah itu terbukti berperan sebagai media
penularan kolera. Vibrio cholerae yang dibawa oleh penjamah makanan dapat mencemari
salah satu dari jenis makanan yang disebutkan diatas yang apabila tidak disimpan dalam
lemari es dalam suhu yang tepat, dapat meningkatkan jumlah kuman berlipat ganda dalam
waktu 8 – 12 jam. Sayuran dan buah-buahan yang dicuci dan dibasahi dengan air limbah
yang tidak diolah, juga menjadi media penularan. Terjadinya wabah maupun munculnya
kasus sporadis sering disebabkan oleh sebab mengkonsumsi seafood mentah atau
setengah matang. Air yang tercemar sering berperan sebagai media penularan seperti yang
105
terjadi pada KLB di Guam, Kiribati, Portugal, Itali dan Ekuador. Pada kejadian lain,
seperti di AS, kasus sporadis kolera justru timbul sebab mengkonsumsi seafood mentah
atau setengah matang yang ditangkap dari perairan yang tidak tercemar.
Sebagai contoh Kasus kolera yang muncul di Louisiana dan Texas menyerang orang-
orang yang mengkonsumsi kerang yang diambil dari pantai dan muara sungai yang
diketahui sebagai reservoir alami dari Vibrio cholera O1 serotipe Inaba, muara sungai
yang tidak terkontaminasi oleh air limbah. Kolera klinis didaerah endemis biasanya
ditemukan pada kelompok warga ekonomi lemah.
6. Masa inkubasi : Dari beberapa jam sampai 5 hari, biasanya 2 – 3 hari.
7. Masa penularan
Diperkirakan selama hasil pemeriksaan tinja masih positif, orang ini masih menular,
berlangsung sampai beberapa hari sesudah sembuh. Terkadang status sebagai carrier
berlangsung hingga beberapa bulan. Berbagai jenis antibiotika diketahui efektif terhadap
strain infektif (misalnya tetrasiklin untuk strain O139 dan kebanyakan strain O1).
Pemberian antibiotika memperpendek masa penularan walaupun sangat jarang sekali,
ditemukan infeksi kandung empedu kronis berlangsung hingga bertahun-tahun pada orang
dewasa yang secara terus menerus mengeluarkan vibrio cholerae melalui tinja.
8. Kekebalan dan kerentanan.
Resistensi dan kerentanan seseorang sangat bervariasi achlorhydria, lambung
meningkatkan risiko terkena penyakit, sedang bayi yang disusui terlindungi dari
infeksi. Kolera gravis biotipe El Tor dan Vibrio cholera O139 secara bermakna lebih
sering menimpa orang-orang dengan golongan darah O. Infeksi oleh V. cholerae O1 atau
O139 meningkatkan titer antibodi penggumpalan maupun antibodi terhadap toksin dan
meningkatkan daya tahan terhadap infeksi. Serum antibodi terhadap Vibrio Cholera bisa
dideteksi sesudah terjadi infeksi oleh O1 (namun uji spesifik, sensitif dan prosedur
pemeriksaan yang dapat dipercaya seperti untuk O1 saat ini tidak ada untuk infeksi O139).
Adanya serum antibodi terhadap vibrio cholerae ini sebagai bukti adanya perlindungan
terhadap kolera O1. Studi lapangan menunjukkan bahwa infeksi klinis awal oleh Vibrio
cholera O1 dari biotipe klasik memberikan perlindungan terhadap infeksi biotipe klasik
maupun El Tor; sebaliknya infeksi klinis awal oleh biotipe El Tor memberikan
perlindungan jangka panjang namun sangat rendah dan terbatas terhadap infeksi El Tor
saja. Di daerah endemis, kebanyakan orang memperoleh antibodi pada awal masa
beranjak dewasa. Infeksi oleh strain O1 tidak memberi perlindungan terhadap infeksi O
139 dan sebaliknya. Studi eksperimental yang dilakukan pada sukarelawan, menunjukkan
bahwa infeksi klinis awal oleh Vibrio cholera O139 memberikan proteksi yang cukup
bermakna terhadap diare sebab infeksi Vibrio cholera O139.
9. Cara – cara pemberantasan
A. Tindakan pencegahan.
1). Lihat demam Tifoid, 9A 1-7.
2). Pemberian Imunisasi aktif dengan vaksin mati whole cell, yang diberikan secara
parenteral kurang bermanfaat untuk penanggulangan wabah maupun untuk
penanggulangan kontak. Vaksin ini hanya memberikan perlindungan parsial (50%)
106
dalam jangka waktu yang pendek (3 – 6 bulan) di daerah endemis tinggi namun
tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi asimptomatik; oleh sebab itu
pemberian imunisasi tidak direkomendasikan. Dua jenis Vaksin oral yang
memberikan perlindungan cukup bermakna untuk beberapa bulan terhadap kolera
yang disebabkan oleh strain O1, kini tersedia di banyak negara. Pertama yaitu
vaksin hidup (strain CVD 103 – HgR, dosis tunggal tersedia dengan nama dagang
Orachol® di Eropa dan Mutacol di Kanada, SSV1); yang lainnya yaitu vaksin
mati yang mengandung vibrio yang diinaktivasi ditambah dengan subunit B dari
toksin kolera, diberikan dalam 2 dosis (Dukoral, SBL). Sampai dengan akhir tahun
1999, vaksin-vaksin ini belum mendapat lisensi di AS.
3). Tindakan pencegahan yang melarang atau menghambat perjalanan orang,
pengangkutan bahan makanan atau barang tidak dibenarkan.
B. Pengawasan penderita, kontak atau lingkungan sekitarnya
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan kasus kolera umumnya
diwajibkan sesuai dengan Peraturan Kesehatan lebih lanjut (International Health
Regulation,1969). Edisi beranotasi Ketiga (Third Annotated Edition, 1983), dan
IHR yang di perbarui dan di cetak ulang pada tahun 1992, WHO, Geneva; kelas 1
(lihat tentang pelaporan penyakit menular). Saat ini sedang dilakukan revisi
terhadap IHR.
2). Isolasi : perawatan di rumah sakit dengan memperlakukan kewaspadan enterik di
perlukan untuk pasien berat; isolasi ketat tidak diperlukan. Untuk penderita yang
tidak begitu berat, dapat di perlakukan sebagai penderita rawat jalan, diberi
rehidrasi oral dan antibiotika yang tepat. Ruang perawatan kolera yang penuh
sesak dengan penderita dapat di operasikan tanpa perlu khawatir dapat
menimbulkan ancaman penularan kepada petugas kesehatan dan pengunjung
asalkan prosedur cuci tangan secara efektif serta prosedur kebersihan perorangan
di laksanakan dengan baik. Pemberantasan terhadap lalat juga perlu dilakukan.
3). Disinfeksi serentak : Dilakukan terhadap tinja dan muntahan serta bahan-bahan
dari kain (linen, seperti sprei, sarung bantal dan lain-lain) serta barang-barang lain
yang digunakan oleh penderita, dengan cara di panaskan, diberi asam karbol atau
disinfektan lain. warga yang memiliki sistem pembuangan kotoran dan
limbah yang modern dan tepat, tinja dapat langsung dibuang ke dalam saluran
pembuangan tanpa perlu dilakukan disinfeksi sebelumnya. Pembersihan
menyeluruh.
4). Karantina :Tidak diperlukan.
5). Manajemen kontak : Lakukan surveilans terhadap orang yang minum dan
mengkonsumsi makanan yang sama dengan penderita kolera, selama 5 hari setelah
kontak terakhir. Jika terbukti kemungkinan adanya penularan sekunder didalam
rumah tangga, anggota rumah tangga sebaiknya di beri pengobatan
kemoprofilaksis; untuk orang dewasa yaitu tetrasiklin (500 mg 4 kali sehari) atau
doksisiklin (dosis tunggal 300 mg) selama 3 hari, kecuali untuk strain lokal yang
diketahui atau diduga resisten terhadap tetrasiklin. Anak-anak juga bisa diberikan
tetrasiklin (50mg/kg/hari dibagi ke dalam 4 dosis) atau doksisiklin (dosis tunggal 6
mg/kg) selama 3 hari, dengan pemberian tetrasiklin dalam waktu yang singkat,
tidak akan terjadi noda pada gigi. Pengobatan profilaktik alternatif yang bisa
107
digunakan untuk strain V. cholerae O1 yang resisten terhadap tetrasiklin yaitu :
Furazolidon (Furoxone®) (100 mg 4 kali sehari untuk orang dewasa dan untuk
anak-anak 1.25 mg/kg 4 kali sehari), eritromisin (dosis anak-anak 40 mg/kg sehari
dibagi ke dalam 4 dosis dan untuk orang dewasa 250 mg, 4 kali sehari); TMP-
SMX (320 mg TMP dan 1600 mg SMX dua kali sehari untuk orang dewasa dan 8
mg/kg TMP dan 40 mg/kg SMX sehari dibagi ke dalam 2 dosis untuk anak-anak);
atau siprofloksasin (500 mg dua kali sehari untuk orang dewasa). TMP-SMX tidak
bermanfaat untuk infeksi V. cholerae O139 sebab strain ini resisten pada obat-
obat antimikroba jenis ini. Kemoprofilaksis masal untuk semua anggota
warga tidak pernah di lakukan sebab dapat memicu resistensi terhadap
antibiotika. Imunisasi terhadap kontak tidak dianjurkan.
6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Lakukan investigasi terhadap
kemungkinan sumber infeksi berasal dari air minum dan makanan yang
terkontaminasi. Makanan yang dikonsumsi 5 hari sebelum sakit harus di tanyakan.
Pencarian dengan cara mengkultur tinja untuk kasus-kasus yang tidak dilaporan
hanya disarankan dilakukan terhadap anggota rumah tangga atau terhadap orang-
orang yang kemungkinan terpajan dengan satu sumber (Common source) didaerah
yang sebelumnya tidak terinfeksi.
7). Pengobatan spesifik : Ada tiga cara pengobatan bagi penderita Kolera : 1). Terapi
rehidrasi agresif. 2). Pemberian antibiotika yang efektif. 3). Pengobatan untuk
komplikasi. Dasar dari terapi kolera yaitu rehidrasi agresif melalui oral dan
intravena yang dilakukan untuk memperbaiki kekurangan cairan dan elektrolit,
juga untuk mengganti cairan akibat diare berat yang sedang berlangsung.
Antibiotika yang tepat yaitu terapi tambahan yang sangat penting terhadap
pemberian cairan, sebab pemberian antibiotika dapat mengurangi volume dan
lamanya diare dan dengan cepat mengurangi ekskresi dari vibrio sehingga
mengurangi kemungkinan terjadinya penularan sekunder. Akhirnya pada saat
terapi rehidrasi cukup efektif, dan penderita tertolong dari renjatan hipovolemik
dan tertolong dari dehidrasi berat, penderita dapat mengalami komplikasi seperti
hipoglikemi yang harus di ketahui dan di obati dengan segera. Jika hal diatas
dilakukan dengan baik maka angka kematian (CFR) bahkan pada ledakan KLB di
negara berkembang dapat ditekan dibawah 1 %.
Untuk memperbaiki dehidrasi, asidosis dan hipokalemia pada penderita dengan
dehidrasi ringan hingga sedang cukup dengan hanya memberikan larutan rehidrasi
oral (Oralit) yang mengandung glukosa 20g/l (atau sukrosa 40 gr/l atau dengan air
tajin 50g/L), NaCl (3.5 g/L), KCl (1.5 g/L); dan trisodium sitrat dihidrat (2.9 g/L)
atau NaHCO3 (2.5 g/L). Kehilangan cairan pada penderita dengan dehidrasi ringan
hingga sedang di perbaiki dengan rehidrasi oral sebagai pengganti cairan,
diberikan lebih dari 4 – 6 jam, agar jumlah yang diberikan dapat mengganti cairan
yang diperkirakan hilang (kira-kira 5 % dari berat badan untuk dehidrasi ringan
dan 7 % pada dehidrasi sedang). Kehilangan cairan yang berlangsung terus dapat
digantikan dengan memberikan, selama lebih dari 4 jam, cairan per oral sebanyak
1.5 kali dari volume tinja yang hilang selama 4 jam sebelumnya.
Penderita yang menderita renjatan sebaiknya diberi rehidrasi intra vena cepat
dengan larutan multielektrolit seimbang yang mengandung kira-kira 130 mEq/L
Na+, 25 - 48 mEq/L bikarbonat, asetat atau ion laktat, dan 10-15 mEq/L K+.
108
Larutan yang sangat bermanfaat antara lain Ringer’s laktat atau Larutan
Pengobatan Diare dari WHO (4 gr NaCl, 1 g KCl, 6.5 gr natrium asetat dan 8 gr
glukosa/L) dan “Larutan Dacca” (5 g NaCL, 4 gr NaHCO3, dan 1 g KCL/L), yang
dapat dibuat ditempat pada keadaan darurat. Penggantian cairan awal sebaiknya
diberikan 30ml/kg BB pada jam pertama untuk bayi dan pada 30 menit pertama
untuk penderita berusia diatas 1 tahun, dan sesudahnya pasien harus di nilai
kembali. Sesudah dilakukan koreksi terhadap sistem cairan tubuh yang kolaps,
kebanyakan penderita cukup diberikan rehidrasi oral untuk melengkapi
penggantian 10 % defisit awal cairan dan untuk mengganti cairan hilang yang
sedang berlangsung.
Antibiotika yang tepat dapat memperpendek lamanya diare, mengurangi volume
larutan rehidrasi yang dibutuhkan dan memperpendek ekskresi vibrio melalui tinja.
Orang dewasa diberi tetrasiklin 500 mg 4 kali sehari dan anak anak 12.5 mg/kg 4
kali sehari selama 3 hari. Pada saat Strain V. cholerae yang resisten terhadap
tetrasiklin sering ditemukan, maka pengobatan dilakukan dengan pemberian
antimikroba alternatif yaitu TMP-SMX (320 mg trimethoprim dan 1600 mg
sulfamethoxazol dua kali sehari untuk orang dewasa dan 8 mg/kg trimethoprim dan
40 mg/kg sulfamethoxazol sehari dibagi dalam 2 dosis untuk anak-anak, selama 3
hari); furazolidon (100 mg 4 kali sehari untuk orang dewasa dan 1.25 mg/kg 4 kali
sehari untuk anak-anak, selama 3 hari); atau eritromisin (250 mg 4 kali sehari
untuk orang dewasa dan 10 mg/kg 3 kali sehari untuk anak-anak selama 3 hari).
Siprofloksasin, 250 mg sekali sehari selama 3 hari, juga merupakan regimen yang
baik untuk orang dewasa. V. cholerae strain O139 resisten terhadap TMP-SMX.
Oleh sebab ditemukan strain O139 atau O1 yang mungkin resisten terhadap salah
satu dari antimikroba ini, maka informasi tentang sensitivitas dari strain lokal
terhadap obat-obatan ini perlu diketahui, jika fasilitas untuk itu tersedia, informasi
ini digunakan sebagai pedoman pemilihan terapi antibiotika yang tepat.
C. Penanggulangan wabah.
1). Berikan penyuluhan kesehatan kepada warga di daerah risiko tinggi untuk
segera mencari pengobatan bila sakit.
2). Sediakan fasilitas pengobatan yang efektif
3). Lakukan tindakan darurat untuk menjamin tersediaanya fasilitas air minum yang
aman. Lakukan klorinasi pada sistem penyediaan air bagi warga , walaupun
diketahui bahwa sumber air ini tidak terkontaminasi. Lakukan klorinasi atau
masaklah air yang akan di minum, dan air yang akan dipakai untuk mencuci alat-
alat masak dan alat-alat untuk menyimpan makanan kecuali jika tersedia air yang
telah di klorinasi dengan baik dan terlindungi dari kontaminasi.
4). Lakukan pengawasan terhadap cara-cara pengolahan makanan dan minuman yang
sehat. Setelah diolah dan dimasak dengan benar, lindungi makanan ini dari
kontaminasi oleh lalat dan penanganan yang tidak saniter; makanan sisa sebaiknya
di panaskan sebelum dikonsumsi. Orang yang menderita diare sebaiknya tidak
menjamah atau menyediakan makanan dan minuman untuk orang lain. Makanan
yang disediakan pada upacara pemakaman korban kolera mungkin tercemar dan
selama wabah berlangsung makanan di tempat seperti ini sebaiknya dihindari.
109
5). Lakukan investigasi dengan sungguh-sungguh dengan desain sedemikian rupa
untuk menemukan media dan lingkungan yang memungkinkan terjadinya
penularan menurut variable orang, tempat dan waktu serta buatlah rencana
penanggulangan yang memadai.
6). Sediakan fasilitas pembuangan sampah dan limbah domestik sesuai dengan syarat
kesehatan.
7). Pemberian imunisasi dengan suntikan vaksin kolera Whole cell tidak dianjurkan.
8). Pada saat situasi wabah relatif mulai tenang, vaksin kolera oral dapat diberikan
sebagai tambahan terhadap upaya penanggulangan wabah kolera. Namun, vaksin
ini sebaiknya tidak digunakan pada saat suasana masih panik atau pada saat terjadi
kekurangan persediaan air yang parah yang dapat mempengaruhi penyediaan
terapi rehidrasi oral.
D. Implikasi bencana : risiko terjadinya KLB sangat tinggi di daerah di suatu daerah
endemis kolera, apabila didaerah ini orang berkumpul bersama dalam jumlah
besar tanpa penanganan makanan yang baik serta tanpa tersedianya fasilitas sanitasi
yang memadai.
E. Tindakan lebih lanjut :
1). Pemerintah suatu negara harus segera melaporkan kepada WHO dan negara
tetangga melalui media elektronika apabila pertama kali ditemukan penderita
kolera yang disebabkan oleh V. cholerae O1 atau O139 dari suatu daerah/wilayah
yang sebelumnya bebas dari kolera. Tidak perduli apakah kasus itu yaitu kasus
import ataukah bukan. Di AS, para klinisi dan ahli mikrobiologi melaporkan setiap
kasus yang di curigai sebagai kolera kepada ahli epidemiologis negara bagian; dan
departemen kesehatan negara bagian ini akan melaporkan kasus ini ke CDC,
Atlanta. CDC kemudian akan mengkonfirmasikan kasus ini dan selanjutnya
melaporkan ke WHO.
2). Tindakan dan prosedur untuk mencegah penularan yang di terapkan pada kapal
laut, pesawat udara dan angkutan darat yang datang dari daerah terjangkit kolera
tercantum dalam Peraturan Kesehatan lebih lanjut (International Health
Regulation) 1996, Edisi beranotasi ke tiga (Third Annotated Edition, 1983), di
perbaharui dan di cetak ulang pada tahun 1992 oleh WHO di Genewa. IHR saat ini
sedang direvisi, diharapkan edisi revisi ini bias selesai pada tahun 2005.
3). Pelancong lebih lanjut : Imunisasi dengan suntikan vaksin kolera whole cell tidak
direkomendasikan oleh WHO bagi mereka yang mengadakan perjalanan dari suatu
negara ke negara di manapun di dunia dan secara resmi tidak ada satu negarapun
yang mensyaratkan pemberian imunisasi ini. Imunisasi dengan vaksin oral
dianjurkan bagi mereka yang akan mengadakan perjalanan dari negara maju ke
negara endemis ataupun kenegara yang sedang mengalami wabah kolera. Di
negara-negara ini dimana vaksin oral telah memperoleh ijin beredar, imunisasi
dianjurkan untuk diberikan kepada pelancong yang diketahui memiliki faktor
risiko, seperti mereka dengan hipoklorhidria (sebagai akibat dari gastrektomi
ataupun pengobatan) atau kepada mereka yang menderita penyakit jantung
(misalnya aritmia), orang tua ataupun mereka dengan golongan darah O. Sejak
akhir tahun 1999, vaksin ini tidak lagi di ijinkan beredar di AS.
110
Peraturan Kesehatan lebih lanjut (International Health Regulation) menyatakan
bahwa : “orang yang melakukan perjalanan lebih lanjut , dan datang dari daerah
terjangkit kolera yang masih dalam masa inkubasi serta orang yang menunjukkan
gejala kolera, harus menyerahkan tinjanya untuk dilakukan pemeriksaan”.
4). Manfaatkan Pusat – pusat kerjasama WHO.
II. VIBRIO CHOLERAE SEROGRUP SELAIN O1 DAN O139
ICD-9 005.8; ICD-10 AO5.8
1. Identifikasi
Dikenal lebih dari 100 serogrup V. cholerae, hanya O1 dan O139 yang menunjukan cirri-
ciri epidemiologis dan gejala klinis kolera. Namun, serogroup V. cholerae selain O1 dan
O139 dapat menimbulkan gastroenteritis sporadis dan serta KLB kecil gastroenteritis.
Walaupun jarang, serogroup ini pernah diisolasi dari penderita septikemi (biasanya pada
mereka dengan immuno compromised)
2. Pemicu penyakit
V. cholerae patogen dari serogrup selain O1 dan O139. Seperti halnya semua V. cholerae,
vibrio ini pertumbuhannya bertambah cepat pada lingkungan dengan NaCl 1%. V.
cholerae strain non - O1 atau non-0139 jarang sekali memproduksi toksin kolera atau
membawa faktor-faktor kolonilisasi dari strain O1 dan O139 yang dapat menimbulkan
wabah. Beberapa strain non-O1 dan non-O139 membuat enterotoksin tahan panas (disebut
NAG-ST). Penelitian epidemiologis dan penelitian yang melibatkan sukarelawan
memberikan gambaran patogenisitas dari strain yang memproduksi NAG-ST. Strain non-
O1 dan non-O139 yang diisolasi dari darah penderita septikemi membentuk kapsul yang
sangat tebal.
3. Distribusi penyakit
Strain V. cholerae Non-O1 dan non-O139 dikaitkan dengan 2 – 3 % dari kejadian diare
(termasuk yang menimpa para pelancong) di negara berkembang di daerah tropis. Angka
kejadian diare oleh strain ini lebih tinggi ditemukan di daerah pantai.
4. Reservoir
V. cholerae non-O1 dan non-O139 ditemukan di lingkungan perairan hampir di seluruh
dunia, terutama daerah perairan payau dengan flora autochthonous. Walaupun organisme
ini halofilik, mereka dapat juga berkembang di air tawar (misalnya danau). Jumlah Vibrio
bervariasi tergantung musim dan mencapai puncaknya di musim panas. Di air payau,
mereka ditemukan pada zooplankton berkulit keras dan kerang-kerangan.
5. Cara penularan
Timbulnya Kasus gastroenteritis non-O1 dan non-O139 biasanya dikaitkan dengan
riwayat mengkonsumsi seafood mentah atau setengah matang, terutama k