u air) yang menjadi sumber infeksi,
selidiki kemungkinan terjadinya penyebaran dari orang ke orang dan gunakan hasil
penyelidikan epidemiologis ini sebagai pedoman melakukan penanggulangan yang
tepat.
3) Singkirkan makanan yang dicurigai dan telusuri darimana asal makanan ini ;
pada KLB keracunan makanan yang common-cource; ingatan terhadap makanan
yang dikonsumsi dapat mencegah banyak kasus
4) Jika dicurigai telah terjadi KLB dengan penularan melalui air (waterborne),
keluarkan perintah untuk memasak air dan melakukan klorinasi sumber air yang
dicurigai dibawah pengawasan yang berwenang dan jika ini tidak dilakukan maka
sebaiknya air tidak digunakan.
5) Jika kolam renang dicurigai sebagai sumber KLB, tutuplah kolam renang ini
dan pantai sampai kolam renang diberi klorinasi atau sampai terbukti bebas
kontaminasi tinja. Sediakan fasilitas toilet yang memadai untuk mencegah
kontaminasi air lebih lanjut oleh orang-orang yang mandi.
6) Jika suatu KLB dicurigai berhubungan dengan susu, pasteurisasi dan masak dahulu
susu ini sebelum diminum.
7) Pemberian antibiotik untuk pencegahan tidak dianjurkan.
164
8) warga kan pentingnya mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar;
sediakan sabun dan kertas tissue.
D. Implikasi menjadi bencana: Potensial terjadi bencana jika kebesihan perorangan dan
sanitasi lingkungan tidak memadai (lihat Demam Tifoid, 9D).
E. Penanganan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat kerja sama WHO.
II. DIARE YANG DISEBABKAN STRAIN ENTEROTOKSIGENIK (ETEC)
ICD-9 008.0; ICD-10 A04.1
1. Identifikasi
Pemicu utama “travelers diarrhea” orang-orang dari negara maju yang berkunjung ke
negara berkembang. Penyakit ini juga sebagai Pemicu utama dehidrasi pada bayi dan
anak di negara berkembang. Strain enterotoksigenik dapat mirip dengan Vibrio cholerae
dalam hal memicu diare akut yang berat (profuse watery diarrhea) tanpa darah atau
lendir (mucus). Gejala lain berupa kejang perut, muntah, asidosis, lemah dan dehidrasi
dapat terjadi, demam ringan dapat/tidak terjadi; gejala biasanya berakhir lebih dari 5 hari.
ETEC dapat diidentifikasi dengan membuktikan adanya produksi enterotoksin dengan teknik
immunoassays, bioasay atau dengan teknik pemeriksaan probe DNA yang mengidentifikasikan gen LT dan
ST (untuk toksin tidak tahan panas dan toksin tahan panas) dalam blot koloni.
2. Pemicu Penyakit
ETEC yang membuat enterotoksin tidak tahan panas (a heat labile enterotoxin = LT) atau
toksin tahan panas ( a heat stable toxin = ST) atau memproduksi kedua toksin ini
(LT/ST). Pemicu lain yaitu kelompok serogroup O yaitu: O6, O8, O15, O20, O25,
O27, O63, O78, O80, O114, O115, O128ac, O148, O153, O159 dan O167.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit yang muncul terutama di negara yang sedang berkembang. Dalam 3 tahun
pertama dari kehidupan, hampir semua anak-anak di negara-negara berkembang
mengalami berbagai macam infeksi ETEC yang menimbulkan kekebalan; oleh sebab itu
penyakit ini jarang menyerang anak yang lebih tua dan orang dewasa. Infeksi terjadi
diantara para pelancong yang berasal dari negara-negara maju yang berkunjung ke negara-
negara berkembang. Beberapa KLB ETEC baru-baru ini terjadi di Amerika Serikat.
4. Reservoir
Manusia. Infeksi ETEC terutama oleh spesies khusus; manusia merupakan reservoir strain
Pemicu diare pada manusia.
5. Cara Penularan
Melalui makanan yang tercemar dan jarang, air minum yang tercemar. Khususnya
penularan melalui makanan tambahan yang tercemar merupakan cara penularan yang
165
paling penting terjadinya infeksi pada bayi. Penularan melalui kontak langsung tangan
yang tercemar tinja jarang terjadi.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi terpendek yaitu 10 – 12 jam yang diamati dari berbagai KLB dan dari
studi yang dilakukan dikalangan sukarelawan dengan strain LT dan ST tertentu.
sedang masa inkubasi dari ETEC yang memproduksi sekaligus toksin ST dan LT
yaitu 24-72 jam.
7. Masa Penularan
Selama ada ETEC patogen bisa berlangsung lama.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Dari hasil berbagai studi epidemiologis dan berbagai studi yang dilakukan pada
sukarelawan secara jelas menunjukkan imunitas serotipik spesifik terbentuk setelah
infeksi ETEC. Infeksi ganda dengan serotipe yang berbeda dibutuhkan untuk
menimbulkan imunitas yang broad-spectrum terhadap ETEC.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan:
1) Untuk tindakan pencegahan penularan fecal oral; lihat bab Demam Tifoid 9A.
2) Bagi pelancong dewasa yang bepergian dalam waktu singkat ke daerah risiko
tinggi dimana tidak mungkin mendapat makanan dan minuman yang bersih dan
sehat, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotikka profilaksis; norfloxacin 400
mg sehari memberikan hasil yang efektif. Bagaimanapun, pendekatan yang paling
baik yaitu dengan terapi dini, dimulai pada saat terjadi diare yaitu sesudah diare
hari kedua dan ketiga (Lihat bagian 9B7, di bawah).
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporkan kejadian diare ke pejabat kesehatan setempat: Laporan jika terjadi
wabah wajib dibuat; kasus individual tidak dilaporkan, Kelas 4 (lihat pelaporan
tentang penyakit menular).
2) Isolasi: kewaspadaan enterik dilakukan jika ada kasus-kasus yang jelas dan yang
dicurigai.
3) Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap tinja dan benda-benda yang tercemar. Di
warga dengan sistem pembuangan kotoran yang modern dan memadai, tinja
dapat dibuang langsung kedalam saluran tanpa didesinfeksi awal. Lakukan
pembersihan terminal yang seksama.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak perlu.
7) Pengobatan khusus: Pemberian cairan elektrolit untuk mencegah atau mengatasi
dehidrasi merupakan tindakan yang terpenting (lihat Kolera, bagian 9B7).
Kebanyakan kasus tidak membutuhkan terapi apapun. Bagi traveler’s diarrhea
dewasa yang berat, lakukan pengobatan dini dengan Ioperamide (Imodium®)
(tidak untuk anak-anak) dan antibiotik seperti Fluoroquinolone (Ciprofloksasin PO
166
500 mg dua kali sehari) atau norfloksasin (PO 400 mg sehari) selama 5 hari.
Fluoroquinolon digunakan sebagai terapi awal sebab kebanyakan strain ETEC di
dunia sudah resisten terhadap berbagai antimikroba lainnya. Namun demikian, jika
strain lokal diketahui masih ada yang sensitif. Pemberian TMP-SMX (PO) (160
mg – 180 mg) dua kali sehari atau doksisiklin (PO 100 mg) sekali sehari, selama 5
hari ternyata masih bermanfaat. Pemberian makanan diteruskan sesuai dengan
selera pasien.
C. Penanggulangan Wabah: Investigasi epidemiologis perlu dilakukan untuk
mengetahui cara-cara terjadinya penularan.
D. Implikasi terjadinya bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat Kerjasama WHO.
III. DIARE YANG DISEBABKAN STRAIN ENTEROINVASIVE (EIEC)
ICD-9 008.0; ICD-10 A04.2
1. Identifikasi
Penyakit yang menimbulkan peradangan mukosa dan submukosa usus disebabkan oleh
strain EIEC dari E. coli yang mirip sekali dengan Shigella. Organisme ini memiliki
kemampuan plasmid dependent yang sama untuk menginvasi dan memperbanyak diri
didalam sel epitel. Namun demikian secara klinis sindrom watery diarrhea yang
disebabkan oleh EIEC lebih sering terjadi daripada disentri. Antara antigen O dari EIEC
dapat terjadi reaksi silang dengan antigen O Shigella. Gejala penyakit dimulai dengan
kejang perut yang berat, rasa tidak enak badan, tinja cair, tenesmus dan demam, kurang
dari 10% dari penderita berkembang dengan gejala sering buang air besar dengan tinja
yang cair dalam jumlah sedikit dan mengandung darah dan lender.
EIEC dicurigai jika ditemukan lekosit pada sediaan usap lendir tinja yang dicat, gambaran
ini juga ditemukan pada shigellosis. Pemeriksaan laboratorium rujukan antara lain
immunoassay yang dapat mendeteksi plasmid encoded protein spesific membrane bagian
luar yang dikaitkan dengan invasivitas sel epitel; suatu bioassay (tes keratoconjunctivitis
pada marmot untuk mendeteksi invasivitas sel epitel; sedang DNA probe untuk
mendeteksi enteroinvasivitas plasmid).
2. Pemicu Penyakit
Pemicu penyakit yaitu strain E. coli yang memiliki kemampuan enteroinvasif yang
tergantung pada virulensi antigen plasmid dari invasi encoding plasmid. Serogroup O
utama dimana EIEC termasuk didalamnya antara lain: O28ac, O29, O112, O124, O136,
O143, O144, O152, O164 dan O167.
3. Distribusi Penyakit
Infeksi EIEC endemis di negara berkembang dan kira-kira 1%-5% penderita diare mencari
167
pengobatan dengan mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan. KLB diare yang disebabkan
oleh EIEC dilaporkan juga terjadi di negara-negara maju.
4. Reservoir: - Manusia.
5. Cara Penularan
Dari kejadian yang ada menunjukkan bahwa EIEC ditularkan melalui makanan yang
tercemar.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 10 – 18 jam. Angka ini didapatkan dari penelitian yang
dilakukan dikalangan sukarelawan dan dari pengamatan berbagai KLB yang pernah
terjadi.
7. Masa Penularan
Selama strain EIEC masih ditemukan dalam tinja.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Sedikit sekali yang diketahui tentang kerentanan dan kekebalan terhadap EIEC.
9. Cara-cara Pemberantasan
Sama seperti ETEC yang diuraikan di atas. Untuk kasus-kasus diare berat yang jarang
terjadi yang disebabkan oleh strain enteroinvasif seperti pada shigellosis, pengobatan
dengan memakai antimikroba cukup efektif terhadap isolasi Shigella lokal.
IV. DIARE YANG DISEBABKAN STRAIN ENTEROPATOGENIK
ICD-9 008.0; ICD-10 A04.0
(EPEC, Enteritis yang disebabkan oleh Enteropatogenik E. coli)
1. Identifikasi
Ini yaitu kategori tertua dari E. coli Pemicu diare yang ditemukan dalam studi yang
dilakukan pada tahun 1940-an dan tahun 1950-an dimana serotipe O:H tertentu diketahui
sebagai Pemicu diare musim panas pada bayi, KLB diare pada tempat perawatan bayi
dan KLB diare yang menimpa bayi di warga . Penyakit diare pada kategori ini
terbatas pada bayi-bayi berumur kurang dari setahun yang menderita “watery diarrhea”
dengan lendir, demam dan dehidrasi. EPEC memicu disolusi mikrovili enterosit dan
memacu melekatnya bakteri kepada enterosit. Diare pada bayi bisa berlangsung berat dan
lama dan di negara-negara berkembang merupakan Pemicu kematian yang tinggi.
EPEC sementara dapat dikenal dengan aglutinasi antisera untuk mendeteksi serogroup
EPEC O namun untuk konfirmasi baik tipe O maupun H diperlukan reagensia yang
bermutu tinggi. EPEC memperlihatkan kemampuan melekat pada sel HEP-2 dalam kultur
sel, kemampuan yang membutuhkan adanya plasmid EPEC yang virulens. (EPEC
adherence factor = EAF) DNA probe dapat mendeteksi plasmid EPEC yang virulens.
168
Diperkirakan ada sekitar 98% korelasi antara melekatnya EPEC dengan HEP-2 (localized
adherence) dan positivitas EAF probe.
2. Pemicu Penyakit
Serogroup EPEC O utama yaitu O55, O86, O111, O119, O125, O126, O127, O128ab dan
O142.
3. Distribusi Penyakit
Sejak akhir tahun 1960-an, EPEC tidak lagi sebagai Pemicu utama diare pada bayi di
Amerika Utara dan Eropa. Namun EPEC masih sebagai Pemicu utama diare pada bayi
di beberapa Negara sedang berkembang seperti Amerika Selatan, Afrika bagian Selatan
dan Asia.
4. Reservoir : - Manusia
5. Cara Penularan
Dari makanan bayi dan makanan tambahan yang terkontaminasi. Di tempat perawatan
bayi, penularan dapat terjadi melalui ala-alat dan tangan yang terkontaminasi jika
kebiasaan mencuci tangan yang benar diabaikan.
6. Masa Inkubasi
Berlangsung antara 9 – 12 jam pada penelitian yang dilakukan di kalangan dewasa. Tidak
diketahui apakah lamanya masa inkubasi juga sama pada bayi yang tertular secara
alamiah.
7. Masa Penularan - Tergantung lamanya ekskresi EPEC melalui tinja dan dapat
berlangsung lama.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Walaupun fakta menunjukkan bahwa mereka yang rentan terhadap infeksi yaitu bayi
namun tidak diketahui apakah hal ini disebabkan oleh faktor kekebalan ataukah ada
hubungannya dengan faktor umur atau faktor lain yang tidak spesifik. Oleh sebab itu
diare ini dapat ditimbulkan melalui percobaan pada sukarelawan dewasa maka kekebalan
spesifik menjadi penting dalam menentukan tingkat kerentanan. Infeksi EPEC jarang
terjadi pada bayi yang menyusui (mendapat ASI).
9. Cara-cara Penanggulangan
A. Cara Pencegahan
1) Menganjurkan para ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif sampai dengan
usia 4 – 6 bulan. Siapkan perangkat yang memadai untuk pemberian ASI. Bantu
para ibu agar mau menyusui bayi-bayi mereka. Apabila produksi ASI tidak
mencukupi, bayi dapat diberikan ASI dari donor yang sudah dipasteurisasi sampai
169
si bayi dipulangkan. Susu formula bayi sebaiknya disimpan dalam suhu kamar
hanya untuk jangka pendek saja. Dianjurkan sedini mungkin memakai
cangkir untuk minum daripada memakai botol.
2) Lakukan perawatan dalam satu kamar bagi ibu dan bayi di rumah bersalin, kecuali
ada indikasi medis yang jelas untuk memisahkan mereka. Jika ibu atau bayi
mengalami infeksi saluran pencernaan atau pernapasan, tempatkan mereka dalam
satu kamar namun dipisahkan mereka dari pasangan yang sehat. Di fasilitas yang
memiliki ruang perawatan khusus, pisahkan bayi yang terinfeksi dari bayi
prematur maupun dari penderita penyakit lainnya.
3) Sediakan peralatan tersendiri bagi setiap bayi, termasuk termometer, simpan di
bassinet (ayunan/buaian bayi). Jangan memakai tempat mandi atau meja
perawatan bersama dan jangan memakai bassinet untuk membawa atau
memindahkan lebih dari satu bayi pada waktu yang sama.
4) Pencegahan terjadinya KLB di rumah sakit sangat tergantung pada kebiasaan
mencuci tangan sewaktu menangani bayi dan tetap menjaga kebersihan perorangan
dan lingkungan sesuai dengan standar.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Kalau terjadi wabah wajib
dilaporkan. Kasus perorangan tidak wajib dilaporkan; Kelas 4 (lihat pelaporan
tentang penyakit menular). Jika ditemukan dua atau lebih kasus baru penderita
diare di tempat perawatan bayi atau muncul setelah seorang penderita diare
dipulangkan dari tempat perawatan maka perlu dilakukan investigasi lebih lanjut.
2) Isolasi: Perlu dilakukan kewaspadaan enterik terhadap penderita dan mereka yang
diduga sebagai penderita.
3) Desinfeksi serentak: Lakukan desinfeksi terhadap semua barang yang tercemar
dan terhadap tinja.
4) Karantina: Lakukan kewaspadaan enterik dan pengamatan dengan metode kofort
(lihat 9 C di bawah).
5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Keluarga dari bayi yang baru keluar dari
perawatan di rumah sakit perlu dihubungi untuk melihat perkembangan penyakit
dari si bayi (lihat 9 C di bawah).
7) Pengobatan spesifik: Yang paling utama yaitu pemberian cairan elektrolit baik
oral maupun parenteral (lihat Cholera, 9B7). Kebanyakan penderita tidak
membutuhkan pengobatan. Untuk diare yang berat pada bayi yang disebabkan
mikroorganisma enteropatogenik pemberian TMP-SMX (10 – 50 mg/kg BB/hari)
membantu meringankan penyakit dan memperpendek masa sakit; diberikan selama
5 hari dalam dosis yang dibagi menjadi 3-4 kali sehari. Mengingat bahwa banyak
strain EPEC yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika, pemilihan jenis
antibiotika harus didasarkan kepada hasil tes sensitivitas terhadap strain lokal.
Pemberian makanan dan ASI tidak boleh dihentikan.
C. Penanggulangan Wabah
1) Semua bayi dengan diare dirawat dalam satu ruangan dan jangan lagi menerima
penitipan bayi jika pada tempat penitipan bayi ini ditemukan penderita diare.
170
Untuk KLB yang terjadi di ruangan perawatan bayi (lihat juga 9B1): Hentikan
untuk sementara pelayanan KIA kecuali dapat dijamin disediakannya tempat
pelayanan KIA yang benar-benar bersih dengan petugas dan peralatan yang
terpisah; jika pertimbangan medis mendukung maka setiap bayi yang terinfeksi
dipulangkan segera untuk dirawat di rumah. Bagi bayi-bayi yang terpajan dengan
tempat perawatan bayi yang terinfeksi, sediakan tenaga perawatan khusus yang
sudah terlatih untuk menangani penyakit menular pada bayi. Lakukan pengamatan
paling sedikit selama 2 minggu setelah penderita diare terakhir meninggalkan
tempat perawatan. Kasus baru yang ditemukan segera dimasukkan ke ruang
perawatan khusus. Pelayanan KIA dimulai lagi setelah semua kontak baik bayi
maupun ibu telah dipulangkan serta telah dilakukan pembersihan dan desinfeksi
ruangan dengan baik. Terapkan rekomendasi 9A di ruangan gawat darurat.
2) Lakukan investigasi KLB dengan benar untuk mengetahui distribusi penyakit
berdasarkan waktu, tempat dan orang dan cari faktor risiko yang melatarbelakangi.
D. Implikasi bencana: - Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Manfaatkan Pusat kerja sama WHO.
V. DIARE YANG DISEBABKAN OLEH ENTEROAGGREGATIVE E. COLI
(EaggEC) ICD-9 008.0; ICD-10 A04.4
Kategori yang disebabkan oleh E. coli, sebagai Pemicu utama diare pada bayi di negara
berkembang dan biasa memicu diare persisten pada bayi. Pada percobaan binatang
(hewan), organisme E. coli memperlihatkan karakter hispatologi dimana EaggEC melekat
pada enterosit dalam biofilm tebal dari kumpulan bakteri dan lendir. Saat ini metode yang
luas dipakai untuk mengidentifikasi EaggEC yaitu dengan Hep-2 assay, dimana strain-
strain menghasilkan ciri khas berupa “Stacked brick” berpola mengumpul melekat satu
dengan yang lainnya dan melekat dengan sel HEP2; ini yaitu ciri dari plasmid dependent
yang dimediasi oleh “Novel Fimbriae”. Kebanyakan EaggEC memiliki satu atau lebih
cytotoxin/enterotoxin yang diduga sebagai Pemicu diare cair dengan lendir yang
ditemukan pada bayi-bayi dan anak-anak yang terinfeksi oleh jenis pathogen ini. Pada
pemeriksaan ditemukan DNA probe. Masa inkubasi diperkirakan kurang lebih 20 – 48
jam.
1. Identifikasi
E. coli yang memicu diare pada bayi ditemukan pada studi yang dilakukan di
Chili pada akhir tahun 1980-an. Kemudian ditemukan di India yang dihubungkan
dengan terjadinya diare persisten (diare yang berlanjut dan tidak mereda hingga 14
hari). Begitu pula telah ditemukan di Brasil, Meksiko dan Bangladesh.
171
2. Pemicu Infeksi
Pemicu infeksi yaitu EaggEC yang mengandung plasmid virulens yang dibutuhkan
untuk pembentukan fimbriae yang membawa kode-kode yang mampu melakukan
pelekatan yang bersifat agregatif dan banyak strain yang mampu membuat
cytotoxin/enterotoxin. EaggEC serotipe O yang paling umum ditemukan yaitu :
O3:H2 dan O44:H18. Banyak strain EaggEC mula-mula muncul sebagai strain-strain
kasar yang tidak mengandung antigen-antigen O.
3. Distribusi Penyakit
Laporan-laporan yang mengaitkan EaggEC sebagai Pemicu diare pada bayi terutama
diare persisten datang dari banyak negara di Amerika Latin, Asia dan Republik
Demokrasi Kongo (dulu disebut Zaire) di Afrika. Laporan-laporan yang datang dari
Jerman dan Inggris menunjukkan bahwa EaggEC mungkin juga sebagai Pemicu
diare di negara-negara maju.
VI. DIARE YANG DISEBABKAN OLEH DIFFUSE-ADHERENCE E. COLI
(Diffuse-Adherence E. Coli = DAEC) ICD-9 008.0; ICD-10 A04.4
Kategori keenam E. coli yang memicu diare dikenal sebagai E. coli (DAEC). Nama
ini diberi berdasarkan ciri khas pola perekatan bakteri ini dengan sel-sel HEP-2 dalam
kultur jaringan. DAEC yaitu kategori E. coli Pemicu diare yang paling sedikit
diketahui sifat-sifatnya. Namun demikian data dari berbagai penelitian epidemiologi di
lapangan terhadap diare pada anak-anak di negara-negara berkembang menemukan DAEC
secara bermakna sebagai Pemicu diare yang umum ditemukan dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
sedang studi lain gagal menemukan perbedaan ini. Namun bukti-bukti awal
menunjukkan bahwa DAEC lebih patogenik pada anak prasekolah dibandingkan dengan
pada bayi dan anak di bawah tiga tahun (Batita). Pada penelitian lain ada strain DAEC
yang dicobakan pada sukarelawan tidak berhasil menimbulkan diare dan belum pernah
ditemukan adanya KLB diare yang disebabkan oleh DAEC. Sampai saat ini belum
diketahui reservoir bagi DAEC, begitu pula belum diketahui cara-cara penularan dan
faktor risiko serta masa penularan DAEC.
172
DIFTERIA ICD-9 032; ICD-10 A36
1. Identifikasi
Difteria yaitu suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva
atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas
oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi
dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau
pada difteria faringotonsiler, diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak.
Pada kasus-kasus yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan oedema di
leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ekstensif dan dapat terjadi
obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak.
Toksin dapat memicu myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung
kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang
muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome.
Tingkat kematian kasus mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak
banyak berubah selama 50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan
tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan
bagian dari impetigo.
Pengaruh toksin difteria pada lesi perifer tidak jelas. Difteria sebaiknya selalu dipikirkan
dalam membuat diferensial diagnosa pada infeksi bakteri (khususnya Streptococcus) dan
viral pharingitis, Vincent’s angina, mononucleosis infeksiosa, syphilis pada mulut dan
candidiasis.
Perkiraan diagnosa difteri didasarkan pada ditemukan adanya membran asimetris keabu-
abuan khususnya bila menyebar ke ovula dan palatum molle pada penderita tonsillitis,
pharingitis atau limfadenopati leher atau adanya discharge serosanguinus dari hidung.
Diagnosa difteri dikonfrimasi dengan pemeriksaan bakteriologis terhadap sediaan yang
diambil dari lesi.
Jika diduga kuat bahwa kasus ini yaitu penderita difteria maka secepatnya diberikan
pengobatan yang tepat dengan antibiotika dan pemberian antitoksin. Pengobatan ini
dilakukan sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratoriumnya negative.
2. Pemicu Penyakit
Pemicu penyakit yaitu Corynebacterium diphtheria dari biotipe gravis, mitis atau
intermedius. Bakteri membuat toksin bila bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage
yang mengandung diphtheria toxin gene tox. Strain nontoksikogenik jarang menimbulkan
lesi lokal, namun strain ini dikaitkan dengan kejadian endokarditis infektif.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara
173
subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum
diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunisasi. Di
negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi yaitu infeksi subklinis dan
difteri kulit.
Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4
kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun
atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian
menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia.
Faktor risiko yang mendasari terjadinya infeksi difteri dikalangan orang dewasa yaitu
menurunnya imunitas yang didapat sebab imunisasi pada waktu bayi, tidak lengkapnya
jadwal imunisasi oleh sebab kontraindikasi yang tidak jelas, adanya gerakan yang
menentang imunisasi serta menurunnya tingkat sosial ekonomi warga .
Wabah mulai menurun setelah penyakit ini mencapai puncaknya pada tahun 1995
meskipun pada kejadian ini dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus dan 5.000
diantaranya meninggal dunia antara tahun 1990-1997. Di Ekuador telah terjadi KLB pada
tahun 1993/1994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus ini berusia 15 tahun ke atas.
Pada kedua KLB ini dapat diatasi dengan cara melakukan imunisasi massal.
4. Reservoir: Manusia.
5. Cara Penularan
Cara penularan yaitu melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali
penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu
yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.
6. Masa Inkubasi
Biasanya 2-5 hari terkadang lebih lama.
7. Masa Penularan
Masa penularan beragam, tetap menular sampai tidak ditemukan lagi bakteri dari
discharge dan lesi; biasanya berlangsung 2 minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat
lebih dari 4 minggu. Terapi antibiotik yang efektif dapat mengurangi penularan. Carrier
kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki imunitas biasanya memiliki imunitas juga;
perlindungan yang diberikan bersifat pasif dan biasanya hilang sebelum bulan keenam.
Imunitas seumur hidup tidak selalu, yaitu imunitas yang didapat setelah sembuh dari
penyakit atau dari infeksi yang subklinis. Imunisasi dengan toxoid memberikan kekebalan
cukup lama namun bukan kekebalan seumur hidup. Sero survey di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja kadar antitoksin protektifnya rendah; tingkat
imunitas di Kanada, Australia dan beberapa negara di Eropa lainnya juga mengalami
penurunan. Walaupun demikian remaja yang lebih dewasa ini masih memiliki memori
imunologis yang dapat melindungi mereka dari serangan penyakit. Di Amerika Serikat
kebanyakan anak-anak telah diimunisasi pada kuartal ke-2 sejak tahun 1997, 95% dari
174
anak-anak berusia 2 tahun menerima 3 dosis vaksin difteri. Antitoksin yang terbentuk
melindungi orang terhadap penyakit sistemik namun tidak melindungi dari kolonisasi
pada nasofaring.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan
1) Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada warga
terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi
aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.
2) Tindakan pemberantasan yang efektif yaitu dengan melakukan imunisasi aktif
secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada
waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid,
antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau
vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung
kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b
haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3) Jadwal imunisasi berikut ini yaitu yang direkomendasikan di Amerika Serikat
(Negara lain mungkin memakai jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis
sebagai imunisasi dasar).
a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan
dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8
minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal
ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam
pelaksanaan jadwal ini .
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5
ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun.
Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti
dapat diberikan vaksin DT.
b) Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan
bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin
yang dipakai yaitu vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid
(dewasa) yang rendah. sedang untuk mereka yang sebelumnya belum
pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap
tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3
diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari
Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak
memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja,
oleh sebab itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian
dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
4) Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita
seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar
lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
175
5) Bagi anak-anak dan orang dewasa yang memiliki masalah dengan sistem
kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV
diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang
normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon
kekebalan yang optimal.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Laporan wajib dilakukan di hampir
semua negara bagian di Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia, Kelas 2
A (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk
difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan
dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak
ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan
tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur
tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah
pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
3) Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk
penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita.
Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
4) Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan
dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat
dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara
dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan
di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
5) Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari
sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine
Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan
Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua
orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status
imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak
sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan ini hingga hasil
pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang
sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis
booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima
tahun. sedang bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi,
berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-
Hib tergantung dari usia mereka.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan memakai
kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat jika
tindakan yang diuraikan pada 9B5 diatas sudah dilakukan dengan benar. Pencarian
carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang
sangat dekat.
7) Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria
didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel
untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan
176
bakteriologis ini . (Saat ini yang tersedia yaitu antitoksin yang berasal dari
kuda).
Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”.
Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam
kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor
telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi
petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina
yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan
terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum
kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 –
100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat
pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat
menggantikan pemberian antitoksin.
Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-
anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis.
Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g
per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka
erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V
per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan
adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik
golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga
efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin namun tidak sebaik
erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G
sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6
tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan
dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
C. Penanggulangan Wabah
1) Imunisasi sebaiknya dilakukan seluas mungkin terhadap kelompok yang
memiliki risiko terkena difteria akan memberikan perlindungan bagi bayi dan
anak-anak prasekolah. Jika wabah terjadi pada orang dewasa, imunisasi dilakukan
terhadap orang yang paling berisiko terkena difteria. Ulangi imunisasi sebulan
kemudian untuk memperoleh sukurang-kurangnya 2 dosis.
2) Lakukan identifikasi terhadap mereka yang kontak dengan penderita dan mencari
orang-orang yang berisiko. Di lokasi yang terkena wabah dan fasilitasnya
memadai, lakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dilaporkan
untuk menetapkan diagnosis dari kasus-kasus ini dan untuk mengetahui
biotipe dan toksisitas dari C. diphtheriae.
D. Implikasi Bencana
Kejadian luar biasa dapat terjadi ditempat dimana kelompok rentan berkumpul,
khususnya bayi dan anak-anak. Kejadian wabah difteria seringkali terjadi oleh sebab
adanya perpindahan warga yang rentan terhadap penyakit ini dalam jumlah
banyak.
177
E. Penanganan lebih lanjut
Orang yang mengadakan kunjungan atau singgah di negara-negara yang terjangkit
difteria faucial atau difteria kulit dianjurkan mendapatkan imunisasi dasar. Dosis
booster Td diberikan kepada orang yang sebelumnya telah mendapatkan imunisasi.
DIPHYLLOBOTHRIASIS ICD-9 123.4; ICD-10 B70.0
(Dibothriocephaliasis, Broad atau Infeksi Cacing pita ikan)
1. Identifikasi
Infeksi cacing pita usus yang menahun, gejala-gejala yang timbul ringan atau kadang-
kadang tidak ada gejala sama sekali. Sebagian penderita yang terinfeksi cacing ini
menderita anemia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B-12. Infeksi cacing yang
masif dapat menimbulkan diare, sumbatan pada usus dan disertai tanda-tanda keracunan.
Diagnosa penyakit ini dikonfirmasi dengan ditemukannya telur cacing atau
segmen/potongan tubuh cacing (ploglotid) dalam tinja.
2. Pemicu Penyakit
Diphyllobothrium latum (Dibothriochepallus latus), D. pacificum, D. dendriticum, D.
ursi, D. dalliae dan D. klebanovskii; cestodes.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini ditemukan di daerah danau di belahan bumi bagian utara, sebelah selatan
kutub utara (subarctic), daerah iklim sedang dan daerah tropis dimana warga nya
memiliki kebiasaan mengkonsumsi ikan air tawar mentah atau yang dimasak tidak
sempurna.
Prevalensi meningkat dengan bertambahnya umur seperti di Amerika Utara, fokus
endemis penyakit ini , ditemukan juga pada orang Eskimo di Alaska dan Kanada. Di
Amerika infeksi penyakit ini tersebar secara sporadis dan biasanya menyerang orang
yang makan ikan mentah dari Alaska atau dari bagian barat tengah atau dari danau-danau
di Kanada.
4. Reservoir
Manusia sebagai pejamu (hospes) utama, pejamu yang terinfeksi akan mengeluarkan telur
lewat tinja. Hospes lain yaitu anjing, beruang dan mamalia lain pemakan ikan.
5. Cara Penularan
Manusia tertular sebab mengkonsumsi ikan mentah atau dimasak tidak sempurna. Telur
yang berasal dari segment cacing yang sudah matang (mature) dikeluarkan bersama tinja
lalu mencemari badan-badan air. Telur yang sudah matang kemudian menetas dan
terbentuklah embrio dengan cilia yang disebut coracidium, kemudian coracidium
menginfeksi hospes perantara pertama (golongan copepoda seperti Cyclops atau
Diaptomus) dan dalam hospes ini larva tumbuh menjadi larva proserkoid. Kemudian
Cyclops yang terinfeksi dimakan oleh hospes perantara kedua yaitu ikan (ikan tombak,
ikan duri, ikan turbot, ikan salmon) yang kemudian berubah menjadi larva stadium
178
pleroserkoid. Ikan ini menjadi infektif bila dimakan oleh manusia dan mamalia lain
seperti rubah, cerpelai (sejenis tupai), beruang, kucing, anjing, babi, singa laut dan anjing
laut. Siklus hidup dari telur yang matang kemudian menjadi telur yang menular kembali
diperlukan waktu 11 minggu.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi yaitu 3-6 minggu mulai saat ikan yang infektif dimakan oleh manusia
atau mamalia sampai keluarnya telur dalam tinja.
7. Masa Penularan
Tidak terjadi penularan langsung dari manusia ke manusia. Manusia dan hospes definitif
lainnya secara terus-menerus akan mengeluarkan telur cacing dan mencemari lingkungan
selama didalam usus masih terdapat cacing. Ini dapat berlangsung bertahun-tahun.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Manusia umumnya rentan terhadap infeksi cacing ini dan tidak terbentuk kekebalan
setelah terinfeksi.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan
Infeksi dapat dicegah dengan cara memasak ikan air tawar dalam suhu 56°C (133°F)
selama 5 menit, didinginkan selama 24 jam pada suhu -18°C (0°F) atau dengan
radiasi.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Laporan resmi tidak
diperlukan, termasuk Kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
Dilaporkan apabila infeksi berasal dari produk komersial.
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Desinfeksi serentak: Tidak ada, perlu dilakukan pembuangan tinja yang saniter.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Pemberian imunisasi: Tidak ada.
6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: Tidak selalu harus dilakukan.
7) Pengobatan khusus: Praziquantel (Biltricide®) atau Niclosamide (Niclocide®)
yaitu obat pilihan.
C. Penanggulangan KLB atau Wabah: Tidak ada.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Tidak ada.
179
DRACUNCULIASIS ICD-9 125.7; ICD-10 B72
(Guinea worm infection, Dracontiasis)
1. Identifikasi
Infeksi nematoda yang menyerang subkutis dan jaringan bagian dalam. Tampak seperti
lecet/lapuh, biasanya pada tungkai bawah (khususnya kaki). Cacing betina pada masa
gravida panjangnya 60-100 cm dan siap mengeluarkan larva. Di daerah sekitar kulit yang
terinfeksi cacing ini terasa seperti terbakar (panas), gatal dan disertai demam, mual,
muntah, diare, sesak napas, gatal seluruh tubuh.
Eosinofilia bias terjadi sebelum atau sesudah munculnya vesicular. Setelah vesikula pecah
maka cacing akan mengeluarkan dan melepas larva apabila terendam air. Prognosa baik
apabila tidak ada infeksi oleh bakteri pada luka ini ; infeksi sekunder dapat
memicu radang sendi (arthritis), synovitis (radang sinovial), ankylosis, konstraktur
anggota badan dan bahkan dapat mengancam jiwa. Diagnosa ditegakkan dengan melihat
langsung cacing yang muncul dari luka atau dengan memakai mikroskop untuk
menemukan larva.
2. Pemicu Infeksi – Dracunculus medinensis yaitu jenis nematoda.
3. Distribusi Penyakit
Ditemukan di Afrika (16 negara di bagian Selatan Sahara) dan di Asia (India dan Yaman)
khususnya di daerah yang memiliki iklim kering. Prevalensi penyakit ini di
masing-masing negara sangat bervariasi. Di beberapa daerah tertentu hampir semua
warga terinfeksi, dan di beberapa daerah lain infeksi sangat jarang dan hanya
menyerang warga dewasa muda.
4. Reservoir - Manusia, reservoir pada hewan belum diketahui.
5. Cara Penularan
Larva yang keluar dari cacing betina masuk ke dalam air dan ditelan oleh Crustacea
copepod (Cyclops spp.). Dalam waktu 2 minggu larva berkembang menjadi stadium
infektif, kemudian manusia menelan Copepod yang ada dalam air minum yang berasal
dari sumur dan kolam yang tercemar. Kemudian larva ini dilepas dalam lambung,
masuk dinding usus 12 jari, migrasi kedalam viscera dan berkembang menjadi dewasa.
Cacing betina setelah kawin tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa kemudian
migrasi ke jaringan bawah kulit (paling banyak pada betis atas).
6. Masa Inkubasi - Sekitar 2 bulan.
7. Masa Penularan
Mulai saat gelembung vesikula pecah sampai larva keluar dari uterus cacing betina dalam
masa gravid biasanya memerlukan waktu 2-3 minggu. Dalam air larva infektif terhadap
copepods kira-kira selama 5 hari. Setelah larva dimakan oleh copepods, ia akan menjadi
infektif terhadap manusia setelah 12-14 hari pada suhu lebih dari 25°C (lebih dari 77°F).
Larva ini tetap infektif selama berada dalam tubuh copepods sekitar 3 minggu. Tidak ada
penularan dari manusia ke manusia.
180
8. Kerentanan dan Kekebalan
Secara umum semua orang rentan, tidak ada kekebalan. Penyakit ini dapat tersebar
luas dan dapat terjadi infeksi berulang-ulang pada orang yang sama.
9. Cara Pemberantasan
Menyediakan air yang aman untuk diminum dengan melakukan penyaringan terhadap air
dan memberikan penyuluhan kesehatan terhadap warga yang berisiko, sehingga dapat
bebas dari penyakit ini . Fokus penyakit ini yang sebelumnya berada di Timur
Tengah dan anak benua India telah berhasil dieliminasi.
A. Cara Pencegahan
1) Dengan memberikan penyuluhan kesehatan yang memadai di daerah endemis
(tertular) dengan memberikasn 3 pesan sebagai berikut:
a) Bahwa Guinea worm (infeksi cacing Guinea) ditularkan melalui air minum
yang tidak dimasak atau dimasak tidak sempurna.
b) warga desa yang memiliki luka di kulit tidak boleh masuk ke daerah
yang ada sumber air minumnya.
c) Air minum harus sudah dilakukan penyaringan dengan kain (kain kasa yang
terbuat dari nilon dengan ukuran lubang 100 µm untuk menyaring copepods.
2) Menyediakan air yang dapat diminum. Sumur hendaknya dibuat dinding pada
bibirnya untuk menghindari pencemaran. Begitu pula buat konstruksi yang dapat
melindungi tempat-tempat penampungan air hujan agar tidak tercemar.
3) Pengawasan terhadap populasi copepods dalam sumber-sumber air, tangki-tangki
penampungan air, reservoir dan sumber mata air lainnya dengan memakai
insektisida temefos (abate®) dan hasilnya efektif serta aman terhadap lingkungan.
4) Berikan imunisasi kepada warga yang memiliki risiko tinggi dengan tetanus
toxoid.
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat yang berwenang. Laporkan
dimanapun penyakit ini ditemukan sebab penyakit ini masuk dalam
program eradikasi WHO. Termasuk penyakit Kelas 2B (lihat pelaporan tentang
penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak ada. Disarankan agar penderita tidak masuk ke daerah yang ada
sumber air minum, sebab dalam tubuh penderita ini mengandung cacing
yang infektif (pada saat cacing muncul).
3) Desinfeksi serentak: Tidak dilakukan.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada.
6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi: Melakukan Penyelidikan
terhadap sumber air minum yang kemungkinan menjadi sumber penularan (kira-
kira 1 tahun yang lalu) dan cari kasus-kasus tambahan.
7) Pengobatan khusus: Berikan Tetanus Toxoid dan obati lukanya dengan salep
antibiotika, kemudian dibalut dengan kain kasa steril. Pembedahan dilakukan
dengan prinsip aseptic untuk mengangkat cacing sebelum mereka muncul.
Beberapa obat tertentu seperti Thiabendazole, Albendazole, ivermectin,
metronidazole dan ditambah dengan kortikosteroid mngkin sangat bermanfaat.
181
C. Penanggulangan Wabah
Di daerah yang sangat endemis, survei lapangan dilakukan untuk menentukan
prevalensi. Cari sumber penularan dan lakukan upaya pemberantasan seperti yang
sudah dijelaskan pada butir 9A di atas.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Tindakan lebih lanjut : Resolusi World Health Assembly (WHA 44.5 bulan Mei
1991) telah menetapkan eradikasi dracunculiasis dapat dicapai pada tahun 1995.
Namun pada kenyataannya pada tahun 2000 di beberapa daerah penyakit ini
masih endemis walaupun di daerah lain mereka telah berhasil membasmi penyakit
ini .
PENYAKIT VIRUS EBOLA MARBURG ICD-9 078.89; ICD-10 A98.3; A98.4
(Demam Berdarah Afrika, Penyakit Virus Marburg, Demam Berdarah Virus Ebola)
1. Identifikasi
Yaitu penyakit yang ditandai dengan gejala akut yang parah dan diikuti demam
mendadak, kelemahan, nyeri otot, sakit kepala serta faringitis, muntah, diare dan ruam
makulopapuler. Sering diikuti dengan diatesa hemoragia disertai dengan kerusakan hati,
gagal ginjal, kerusakan otak berat disertai dengan kegagalan fungsi multiorgan. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan limfopeni, trombositopenia dan peningkatan
kadar transaminase (AST lebih banyak daripada ALT), kadang diikuti hiperamilasemia.
Selanjutnya sekitar 25% kasus primer dari Marburg virus berakibat fatal; CFR infeksi
Ebola di Afrika berkisar antara 50-90%.
Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan Elisa terhadap antibodi Ig G (adanya antibodi
lg M sebagai tanda infeksi baru); dengan tes Elisa dapat dideteksi antigen dalam darah,
serum atau organ homogenitas; dapat juga dengan PCR dengan tes IFA memakai
antibodi monoklonal dapat ditemukan antigen virus didalam sel hati; dengan isolasi virus
pada kultur sel pada marmut.
Virus kadang-kadang dapat dilihat dengan preparat irisan hati dengan memakai
Electron Microscope (EM). Diagnosa postmortem melalui uji Immunohistochemical dari
biopsi kulit yang difiksasi dengan formalin dapat juga dilakukan. Tes IFA terhadap
antibodi sering salah terutama dalam survei serologis untuk membuktikan adanya infeksi
masa lalu. Pengamanan terhadap warga , petugas dan staf laboratorium dari infeksi
Ebola harus benar-benar dilakukan (BSL-4= Biosafety Level-4), oleh sebab virus ini
sangat menular dan berbahaya.
2. Pemicu Penyakit
Virion Marburg berdiameter 80nm dengan panjang 790 nm sedang virion Ebola
berdiameter 80 nm dengan panjang 970 nm termasuk filoviridae. Dengan ukuran yang
lebih panjang, struktur yang berhubungan dengan virion yang berbentuk aneh, bercabang,
melingkar mencapai panjang sampai 10 nm.
182
Virus Marburg memiliki antigen berbeda dengan Ebola. Strain Ebola dari Republik
Demokratik Kongo (Zaire), Pantai Gading, Gabon dan Sudan memicu penyakit pada
manusia. Strain keempat dari Ebola yaitu Reston dapat memicu penyakit perdarahan
fatal pada primata, namun infeksi dapat terjadi juga pada manusia dengan gejala yang
asimtomatik.
3. Distribusi Penyakit
Tahun 1967 penyakit Marburg telah dilaporkan dalam 6 kali kejadian di Jerman dan
Yugoslavia dengan total kasus sebanyak 31 orang (7 orang meninggal) sebab terinfeksi
melalui monyet hijau Afrika (Cercopithecus aethiops) dari Uganda; tahun 1975 3 kasus
indeks yang fatal ditemukan di Afrika Selatan yang berasal dari Zimbabwe; tahun 1980
ditemukan 2 orang penderita di Kenya, 1 orang meninggal; pada tahun 1982: 1 orang
penderita lagi ditemukan di Zimbabwe dan pada tahun 1987 1 kasus fatal terjadi di Kenya.
Tahun 1999 di Republik Demokratik Kongo sedikitnya 3 kasus fatal akibat Marburg telah
dilaporkan berasal dari 70 kasus yang dicurigai sebagai demam berdarah yang disebabkan
virus. Tahun 1976 penyakit Ebola dilaporkan pertama kali di bagian barat salah satu
propinsi di Sudan dan di Zaire yang berjarak sekitar 500 mil dari propinsi ini . Saat
itu dirawat di rumah sakit dengan CFR mencapai 70%. Kemudian pada daerah yang sama
di Sudan pada tahun 1979 terjadi lagi KLB Ebola. Strain virus berbeda ditemukan dari
seorang penderita dan dari simpanse pada tahun 1994 di Pantai Gading. Kemudian di
sekitar Kitwit, Zaire terjadi KLB besar Ebola pada tahun 1995. Di Gabon pada tahun
1996-1997 terjadi 2 kali KLB dengan jumlah kasus sebanyak 96 orang dengan kematian
68 orang.
Antibodi FA telah ditemukan dikalangan warga yang bermukim di daerah sekitar Sub
Sahara Afrika namun hubungannya dengan virus Ebola yang virulen tidak diketahui.
Filovirus dikaitkan dengan Ebola diisolasi dari monyet cynomolgus (Macaca fascicularis)
yang diekspor dari Filipina ke Amerika Serikat pada tahun 1989, 1990, 1996 dan yang
diekspor ke Itali pada tahun 1992; pada waktu itu banyak monyet yang mati. Empat dari
lima orang petugas yang sehari-harinya menangani monyet ini dalam darahnya
ditemukan entibodi spesifik tanpa ada gejala sakit atau demam sebelumnya.
4. Reservoir
Belum diketahui dan masih dalam penelitian yang ekstensif.
5. Cara Penularan
Penularan dari orang ke orang dapat terjadi sebab kontak langsung melalui darah, sekret,
organ dan semen yang terinfeksi. Risiko penularah tertinggi terjadi selama stadium lanjut
dari penyakit pada saat penderita muntah, diare, atau mengalami perdarahan. sedang
risiko selama masa inkubasi yaitu rendah. Pada kondisi alami penularan melalui udara
pada manusia belum pernah dilaporkan. Infeksi nosokomial sering terjadi; sebagai
gambaran semua penderita Ebola (Zaire) terjadi sebab terpajan alat suntik dan jarum
yang tercemar dan semua penderita meninggal.
Penularan melalui semen pernah ditemukan setelah 7 minggu si penderita sembuh.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi 3 – 9 hari untuk virus Marburg dan 2-21 hari untuk Ebola.
183
7. Masa Penularan
Masa penularan dapat terjadi selama darah dan cairan tubuh mengandung virus. Lebih dari
30% sukarelawan/perawat yang merawat penderita di Sudan terinfeksi, sedang
sebagian besar kontak di rumah tidak terinfeksi. Virus Ebola dapat diisolasi dari cairan
pada hari ke-61 dan tidak ditemukan pada hari ke-76 dan hari pertama sakit pada
penderita yang tertular di laboratorium.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua umur rentan terhadap Ebola.
9. Cara-cara Pemberantasan
Lihat pada cara-cara pemberantasan Demam Lassa pada butir 9 B, C. D dan E; ditambah
larangan melakukan hubungan seks selama 3 bulan atau sampai hasil pemeriksaan semen
menunjukkan bebas virus ini .
ECHINOCOCCOSIS ICD-9 122; ICD-10 B67
Stadium larva (hydatid atau kista) dari 3 spesies Echinococcus dapat memicu penyakit
pada manusia dan hewan lain, manifestasinya tergantung spesies. Kista biasanya berkembang
di hati namun juga ditemukan di paru-paru, ginjal, limfa, jaringan saraf dan tulang.
Ada 3 tipe manifestasi penyakit yaitu:
1. Unilokulair atau Kista hidatidosa (cystic hydatid)
2. Multilokulair atau penyakit Alveolair hidatidosa (Alveolar hydatid)
3. Penyakit polikista hidatida.
I. ECHINOCOCCOSIS Disebabkan Echinococcus granulosus
ICD-9 122.4; ICD-10 B67.0-B67A.
(Cystic atau Unilocular Echinococcosis, Penyakit Cystic hydatid)
1. Identifikasi
Cacing pita Echinococcus granulosus merupakan spesies Echinococcus yang paling sering
ditemukan dan memicu penyakit kista hidatidosa yang ditularkan pada stadium larva
dari cacing pita ini. Kista hidatidosa membesar sangat lambat, membutuhkan beberapa
tahun untuk berkembang. Umumnya kista berkembang sampai dengan diameter 1-7 cm
tapi bisa mencapai 10 cm. Infeksi dapat terjadi tanpa menunjukkan gejala klinis sama
sekali sampai kista ini membesar mencapai ukuran tertentu dan memberikan efek
langsung sebab tekanan massa kista ini ; tanda-tanda dan gejala-gejala klinis
bervariasi tergantung dari lokasi, besar dan jumlah kista ini .
184
Pecahnya kista dapat memicu reaksi seperti anafilaksis (alergi berat) dan
mengeluarkan proglotid protoskoleks sebagai sumber infeksi echinococcis berikutnya.
Bentuk spesifik kista yaitu feris, berdinding tebal, unilokulair dan lebih sering ditemukan
didalam hati dan paru-paru, walaupun dapat ditemukan juga pada organ lainnya.
Diagnosa klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan oleh massa tumor
yang tumbuh dengan lambat, adanya riwayat pernah tinggal di daerah endemis, ada
riwayat berhubungan dengan atau kontak dengan anjing. Diagnosa banding yaitu tumor
ganas, abses amuba, kista congenital dan TBC. Diagnosa terhadap kista hydatidosa dapat
juga dilakukan dengan pemeriksaan rontgent, CT scan, Ultrasonografi bersama-sama
dengan pemeriksaan laboratorium secara serologis.
Diagnosa definitif terhadap hasil serologis negatif yaitu dengan melakukan pemeriksaan
mikroskopis terhadap spesimen dari hasil biopsi tindakan operatif atau aspirasi kista,
risiko yang mungkin timbul pada tindakan aspirasi yaitu reaksi anafilaktik, hal ini dapat
dihindari jika tindakan aspirasi dipandu dengan USG dan pemberian obat cacing
sebelumnya. Identifikasi terhadap spesies didasarkan pada penemuan penebalan dinding
kista dan proglotidnya berdasarkan struktur dan ukuran kait proglotid.
2. Pemicu Penyakit
Disebabkan oleh Echinococcosis granulosus, cacing pita pada anjing yang bentuknya
kecil.
3. Distribusi Penyakit
Penyebaran penyakit ini tergantung dari dekatnya hubungan manusia dengan anjing yang
terinfeksi. Penyakit ini tersebar di seluruh benua kecuali Antartika, sering terjadi terutama
di negara-negara yang banyak pada rumput tempat menggembalakan ternak dimana anjing
diberi makan jeroan yang mengandung kista. Di Amerika Serikat cacing pita ditemukan di
negara bagian yang beternak domba seperti: Utah, Arizona, New Meksiko dan California
dan hidup berkembang di dalam siklus kehidupan hutan dan melibatkan berbagai jenis
binatang liar termasuk hewan pemamah biak liar lainnya seperti moose, kerbau di Alaska.
Penyebaran penyakit ini dapat dieliminasi secara tuntas di Islandia (Iceland) dan
prevalensinya dapat diturunkan secara bermakna di Australia, Selandia Baru dan Siprus.
4. Reservoir
Anjing domestik dan anjing liar lainnya merupakan hospes terhadap E. ganulosus;
ditemukan ribuan cacing pita pada usus mereka tanpa gejala infeksi. Keluarga kucing dan
banyak hewan pemakan daging lainnya tidak dapat berperan sebagai hospes terhadap
parasit ini. Berbagai jenis herbivora dapat berperan sebagai hospes perantara terutama
domba, sapi, kambing, babi dan hewan lainnya.
5. Cara Penularan
Infeksi pada manusia sering mulai terjadi pada anak-anak melalui rute oro-fecal yaitu
melalui tangan yang mengandung telur cacing sebab kontak dengan anjing yang
terinfeksi atau secara tidak langsung melalui makanan, air, tanah atau alat yang tercemar.
Pada beberapa kejadian ditemukan lalat ikut mengeluarkan telur cacing dari kotoran
hewan yang terinfeksi.
185
Cacing dewasa berada dalam usus halus anjing yang memproduksi telur yang
mengandung embrio infektif (ocosphere) yang dikeluarkan melalui kotoran yang dapat
hidup selama beberapa bulan di padang rumput penggembalaan atau kebun. Bila telur
tertelan oleh hospes perantara, termasuk manusia, telur akan menetas mengeluarkan
embrio yang bermigrasi melalui mukosa usus dan dibawah oleh aliran darah ke berbagai
macam organ yang nantinya akan membentuk kista. Berbagai strain E. garnulosus
bervariasi dalam kemampuannya beradaptasi terhadap berbagai jenis hospes (domba, sapi,
kuda, onta, babi, moose) begitu juga kemampuan mereka untuk menginfeksi manusia.
Anjing terinfeksi oleh sebab memakan jeroan yang mengandung kista hydatidosa.
Domba dan hospes perantara lainnya terinfeksi ketika memakan rumput yang
terkontaminasi kotoran anjing yang mengandung telur E. granulosus.
7. Masa Penularan
Penularan tidak terjadi secara langsung dari manusia ke manusia atau dari satu hospes
perantara ke hospes lainnya. Anjing terinfeksi mulai mengeluarkan telur E. granulosus
sekitar 7 minggu setelah infeksi. Kebanyakan anjing yang terinfeksi akan sembuh secara
spontan setelah 6 bulan, walaupun kadang-kadang dapat hidup 2-3 tahun. Anjing dapat
mengalami infeksi ulang.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Anak-anak lebih mudah terpajan sebab mereka cenderung lebih dekat dengan anjing
yang terinfeksi dan biasanya higene perorangannya juga kurang. Tidak ada bukti bahwa
anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Berikan penyuluhan kesehatan kepada warga risiko tinggi untuk menghindari
kontaminasi dengan kotoran anjing. Anjurkan untuk cuci tangan sebelum makan.
2) Pemutusan rantai penularan dari hospes perantara kepada hospes definitif dapat
dilakukan dengan mencegah anjing memakan jeroan yang tidak dimasak dan
melakukan pengawasan terhadap pemotongan ternak dan pengamanan
pembuangan jeroan yang terinfeksi.
3) Organ dari bangkai hospes perantara yang terinfeksi hendaknya dibakar atau
dikubur dalam-dalam.
4) Secara periodik lakukan pengobatan terhadap anjing-anjing yang berisiko; kurangi
jumlah populasi anjing.
5) Petugas lapangan dan petugas laboratorium hendaknya selalu memperhatikan
prosedur kewaspadaan agar tidak tertelan telur E. granulosus.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Untuk daerah endemis tertentu,
dikebanyakan negara dan negara bagian, penyakit ini tidak wajib dilaporkan, Kelas
3 B (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak perlu.
3) Desinfeksi serentak: Tidak dilakukan.
4) Karantina: Tidak perlu.
5) Imunisasi: Tidak ada.
186
6) Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi: Periksalah anggota keluarga
dan cari mereka yang dicurigai menderita tumor. Periksalah anjing peliharaan dan
lingkungan dalam rumah. Cari kebiasaan sehari-hari yang bisa mengakibatkan
infeksi.
7) Pengobatan spesifik: Membuang kista paling sering dilakukan, namun pengobatan
dengan Mebendazole (Vermox®) dan Albendazole (Zentel®) telah digunakan
dengan hasil yang baik. Pada kebanyakan kasus, cara pengobatan yang paling baik
jika kista primer robek, praziquantel (Biltricide®), obati protoscolisida dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya kista sekunder.
C. Penanganan Wabah
Didaerah hiperendemis lakukan pengawasan terhadap populasi anjing terlantar dan
anjing liar. Obati sisa anjing lainnya dengan Praziquantel (Biltricide®). Lakukan
pengawasan ketat terhadap ternak potong.
D. Implikasi bencana: Tidak ada
E. Penangan lebih lanjut
Lakukan pengawasan lalu-lintas anjing daerah enzootic.
II. ECHINOCOCCOSIS disebabkan oleh E. multicocularis
ICD-9 122.5, 122.7;ICD-10 B67.5 – B67.7
(Penyakit Alveolar, Penyakit Echinococcosis atau penyakit hydatid; Echinococcus
multilocularis)
1. Identifikasi
Ini merupakan penyakit yang sangat invasive dan destruktif disebabkan oleh stadium larva
dari E. multicocularis. Kista sering ditemukan di organ hati dan walaupun dinding kista
tebal tidak membatasi kista ini terus meluas kebagian tepi menghasilkan massa seperti
tumor. Penyebaran terjadi dengan menghasilkan kista sekunder di organ lainnya. Gejala
klinis tergantung pada ukuran dan lokasi kista, namun sering dikelirukan dengan cirrhosis
hepatic atau kanker hati. Penyakit ini sering berakibat fatal.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi yaitu dengan ditemukannya
peri kista pada hospes dan mikro vesikula multiple yang dibentuk oleh proses proliferasi
eksternal. Manusia yaitu hospes incidental (abnormal) dan kista jarang menghasilkan
kapsul satu induk atau menghasilkan proglotid dan calcareous corpuscles. Diagnosa
serologis dengan antigen E. multicocularis yang dimurnikan cukup sensitif dan spesifik.
2. Pemicu Penyakit
Disebabkan oleh Echinococcus multicocularis.
3. Distribusi Penyakit
Penyebaran terbatas di belahan bumi bagian utara yaitu di: Eropa Tengah, Uni Soviet,
187
Siberia, Jepang bagian utara, Alaska, Kanada dan jarang ditemukan di bagian tengah utara
Amerika. Dan penyakit ini sering ditemukan pada orang dewasa.
4. Reservoir
Cacing dewasa terbatas hanya ditemukan pada hewan liar seperti serigala. Namun anjing
dan kucing peliharaan dapat juga sebagai sumber infeksi pada manusia. Hospes perantara
yaitu hewan rodentia seperti tikus. E. multilocularis sering secara alamiah terdapat
dalam siklus kehidupan rodentia serigala.
5. Cara Penularan
Cara penularannya yaitu sebab tertelan telur cacing yang dikeluarkan melalui kotoran
anjing dan kucing yang memakan tikus yang terinfeksi. Bulu anjing, pakaian kuda,
peralatan yang tercemar serta lingkungan yang tercemar dapat juga berperan sebagai
sumber penularan.
6, 7, 8 dan 9 tentang masa Inkubasi, Masa penularan, Kerentanan dan Kekebalan serta
cara-cara pemberantasan sama dengan Echinococcosis yang disebabkan oleh E.
granulosus.
Tidak seperti yang diuraikan pada bab I tentang Echinococcus granulosus di atas, operasi
secara radikal pada E. multicocularis hanya sedikit memberi hasil. Terhadap kasus yang
tidak dilakukan operasi dapat dilakukan pemberian mebendazole dan albendazole yang
dapat mencegah berkembangnya penyakit.
III. ECHINOCOCCOSIS yang disebabkan oleh E. Vogeli ICD-9 122.9; ICD-10 B67.9
(Penyakit Polikistik Hidatidosa)
Penyakit ini disebabkan oleh bentuk kista E. vogeli yang menyerang hati, paru-paru dan
organ lainnya. Gejala sedikit bervariasi tergantung ukuran kista dan lokasinya. Spesies ini
ditandai oleh adanya kait rostellum. Polikistik hidatidosa berbentuk unik dimana membran
germinal yang berproliferasi dari luar membentuk kista sedang dari dalam akan
membentuk septa yang membagi ruangan-ruangan (caviate) menjadi beberapa kista kecil
(mikrokista). Kapsul seperindukan berisi banyak proglotid yang berkembang di dalam
mikrokista.
Kasus-kasus penyakit ini ditemukan di Amerika Tengah, Amerika Selatan terutama di
Brazilia, Kolumbia, Ekuador. Hospes definitif yaitu anjing semak-semak, sedang
hospes perantara yaitu “pacas”, agoutis dan tikus duri. Anjing pemburu yang sering
makan jeroan pacas yang terinfeksi dapat merupakan sumber infeksi. (Catatan: pacas,
agoutis yaitu sejenis rodensia).
188
EHRLICHIOSIS ICD-9 083.8; ICD-10 A79.8
(Demam Sennetsu, Ehrlichiosis manusia di Amerika Serikat)
1. Identifikasi
Ehrlichiosis yaitu penyakit akut yang ditandai dengan demam, penyakit bakterial yang
disebabkan oleh kelompok organisme kecil berbentuk pleomorphic yang hidup dan
berkembang biak didalam phagosome dari lekosit mononuclear atau lekosit
polimorphonuclear pada hospes terjangkit. Seringkali organisme ini ditemukan
dalam sel-sel ini .
Demam Sennetsu memiliki karakteristik yang ditandai dengan demam, menggigil,
malaise, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, radang tenggorokan dan sulit tidur.
Adanya limfadenopati di seluruh tubuh disertai pembesaran dan melunaknya limfonodi.
Limfositosis disertai dengan limfadenopati dibelakang telinga dan daerah leher bagian
belakang, mononucleosis infeksiosa.
Umumnya perjalanan penyakit yaitu ringan, kasus fatal tidak pernah dilaporkan.
Erlichiosis pada manusia di Amerika Serikat merupakan penyakit yang baru dikenal yang
disebabkan dua jenis organisme yang mirip namun berbeda. Satu jenis terutama menyerang
sel mononuclear dikenal dengan sebutan “human monocytic erlichiosis (HME)”. Satu
jenis organisme lagi menyerang sel granulosit dan penyakit ini dikenal sebagai “human
granulocytic erlichiosis (HGE)”. Spektrum penyakit ini bervariasi dari penyakit subklinis
sampai dengan penyakit dengan gejala klinis yang berat dan fatal. Gejala-gejala klinis
penyakit ini sering tidak spesifik namun yang sering ditemukan yaitu demam, sakit
kepala, tidak nafsu makan, mual, nyeri otot dan muntah. Penyakit ini secara klinis sering
dikelirukan dengan penyakit Rocky Mountain Spotted Fever (RMSF) namun dapat
dibedakan dengan jarangnya timbul ruam (rash). Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan adanya lekopenia, trombositopenia serta terjadinya peningkatan satu atau lebih
enzim hepatoseluler. Kasus yang dirawat di rumah sakit pada pemeriksaan awal
laboratorium ditemukan hanya sedikit saja abnormalisitas. Abnormalisitas nilai-nilai hasil
pemeriksaan laboratorium akan nampak semakin jelas selama perawatan.
Diagnosa banding dari penyakit ini yaitu RMSF, penyakit Lyme, syok syndrome toksik
dan multi sistem febril illnesses. Diagnosa klinis dari demam Sennetsu dapat dikonfirmasi
dengan Immuno Fluorescence Test (IF test) dengan memakai agen Pemicu yang
diisolasi dari kultur macrophage. Dengan demikian diagnosa ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium melalui deteksi antibodi memakai
antigen spesifik ditandai dengan naik-turunnya titer antibodi sebanyak 4 kali pada
pemeriksaan berikutnya (pair sera).
Preparat apus darah dan preparat usap dari endapan buffy coat darah dapat dilakukan
untuk menemukan benda inklusi (morula). sedang diagnosa lain yaitu dengan teknik
diagnosa immunohistochemistry, perbenihan dan metoda DNA amplication (contohnya
PCR).
2. Pemicu Penyakit
Pemicu demam sennetsu yaitu Ehrlichia sennetsu. Organisme ini merupakan salah
satu anggota dari genus Ehrlichia, kelompok Ehrlichieae dan familia Rickettsiaceae.
Sampai tahun 1984 masih dianggap masuk kedalam genus Rickettsiae. Agen Pemicu
dari HME yaitu E. chaffeensis, nama ini diberikan sebab untuk pertama kali dapat
189
diisolasi dari seorang penderita di Fort Chaffee, Arkansas. Organisme Pemicu sangat
identik atau erat hubungannya dengan E. phagocytophilia dan E. equi. Echerlichia anjing
(E. ewingi) sering ditemukan pada anjing di Missouri dan pada tahun 1999 dilaporkan
telah memicu timbulnya granulocytis erlichiosis.
3. Distribusi Penyakit
Pada tahun 1999 di Amerika Serikat kasus ehrlichiosis pada manusia yang dilaporkan
1.200 orang. Sebagian besar dari kasus HME ditemukan di negara bagian sebelah selatan
Amerika, sedang kasus HE sebagian besar dilaporkan di negara bagian tengah barat
dan timur laut Amerika. sedang demam sennetsu dilaporkan terjadi di bagian barat
Jepang.
4. Reservoir: Tidak diketahui untuk demam sennetsu ataupun ehrlichiosis Amerika.
5. Cara Penularan
Cara penularan untuk demam sennetsu tidak diketahui, namun dari anamnesa penderita
demam ini diketahui sering mendatangi sungai dan rawa lebih kurang dalam 3-4 minggu
sebelum sakit. Diduga kutu Amblyomma americanum berperan sebagai vektor HME;
sebagian besar penderita menyatakan bahwa mereka pernah digigit pinjal atau
menyatakan pernah berkunjung ke daerah yang penuh pinjal beberapa minggu sebelum
sakit. Diperkirakan Ixodes scapularis merupakan vektor dari penyakit HE di negara
bagian tengah barat laut dan timur laut Amerika.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi demam sennetsu yaitu 14 hari. sedang penyakit American
Ehrlichiosis yaitu 7-21 hari.
7
. Masa Penularan - Tidak ada penularan dari manusia kepada manusia.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Hampir semua orang rentan terhadap penyakit ini namun usia lanjut dan mereka yang
mengalami retardasi mental lebih rentan untuk menderita penyakit yang lebih parah. Dan
selanjutnya tidak ada data yang menunjukkan adanya imunitas setelah menderita penyakit
ini.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Tidak ada cara pencegahan standar untuk demam sennetsu.
2) Upaya pemberantasan pinjal dapat diterapkan untuk mencegah penyakit American
ehrlichiosis (dapat dilihat pada cara-cara pencegahan penyakit Lyme, 9A).
B. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan kasus diwajibkan hampir
disemua negara bagian di Amerika, Kelas 2 B (lihat pelaporan tentang penyakit
menular).
2) Isolasi: Tidak ada.
3) Penggunaan desinfektan: Tidak ada.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi terhadap Kontak: Tidak ada.
190
6) Penyelidikan terhadap penderita dan sumber infeksi: Tidak ada.
7) Pengobatan spesifik: Tetracycline; untuk ibu hamil dan anak-anak berumur
dibawah 8 tahun diberikan Chloramphenicol.
C. Penanggulangan wabah: Tidak ada.
D. Implikasi bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Tidak ada.
ENCEPHALOPATHY, SUB ACUTE SPONGIFORM ICD-9 046; ICD-10 A81
(Infeksi virus yang lambat pada otak)
Termasuk dalam kelompok penyakit degeneratif subakut pada otak yang disebabkan oleh
filterable agent nonkonvensional, dengan masa inkubasi yang panjang dan tidak ditemukan
adanya inflamasi atau respons imunitas. Organisme Pemicu penyakit ini diduga berupa
protein yang unik bere