Home »
epidemi menular 2
» epidemi menular 2
epidemi menular 2
November 16, 2023
epidemi menular 2
pengobatan yang direkomendasikan adalah selama 5 hari.
Oseltamivir (Taminflu) dan Zanamivir (Relenza) bekerja dengan
menghambat neuraminidase, suatu glikoprotein pada permukaan virus
influenza yang merusak reseptor sel terinfeksi untuk hemagglutinin
virus. Dengan menghambat neuraminidase virus, pelepasan virus dari
sel terinfeksi dan penyebaran virus akan berkurang. Oseltamivir dan
Zanamivir merupakan terapi yang efektif untuk influenzavirus A atau B
dan diminum dalam 48 jam sejak onset gejala.
4. EBOLA
Infeksi Ebola terjadi melalui mukosa, luka, kulit atau tusukan
jarum yang telah terkontaminasi. Sebagian besar penularan ke manusia
diakibatkan oleh kontak dengan hewan atau manusia dan bangkai
hewan yang terinfeksi. Virus Ebola adalah salah satu virus yang paling
virulen pada manusia dan dapat membunuh hingga 70-80% dengan
kurun waktu 5-7 hari. Wabah Ebola di Afrika, menunjukkan bahwa
penularan dari orang ke orang dapat terjadi melalui kontak dengan
cairan tubuh yang terinfeksi seperti keringat, feses, muntahan, air
mata, air susu ibu (ASI), air mani, urin dan darah, khususnya pada
tahap akhir infeksi ketika jumlah virus mencapai puncak.
Dalam darah, biasanya virus menghilang setelah melewati masa
akut, namun pada beberapa bentuk cairan tubuh, virus Ebola masih
dapat diekskresikan. Penularan secara seksual sangat mungkin terjadi
karena virus dapat diisolasi dari cairan vagina atau air mani penderita
yang telah dinyatakan sembuh. Proses kesembuhan merupakan proses
yang lama karena virus dapat diisolasi dari pasien sekitar 82 hari
setelah timbulnya penyakit.
Penularan melalui jarum suntik telah dilaporkan saat wabah
Ebola yang terjadi pada fasilitas pelayanan kesehatan, karena
buruknya teknik keperawatan dan penggunaan kembali jarum atau
alat medis lainnya yang tidak didesinfeksi.
Sampai saat ini belum ada virus Ebola yang dilaporkan baik yang
menyerang manusia ataupun hewan reservoir. Namun, untuk
mengantisipasi penyebaran virus Ebola dari negara lain seperti yang
ditemukan di Filipina, negara kita melakukan deteksi, diagnosis, dan
identifikasi terhadap hewan reservoir virus Ebola seperti kelelawar
dan babi. Hal ini dilakukan karena negara kita memiliki iklim yang
sama dengan Filipina yaitu iklim tropis.
PENYEBAB EBOLA
Virus Filo terdiri dari virus Ebola (EBOV), virus Marburg
(MARV) yang termasuk dalam Filoviridae orde Mononegavirales. Virus
ini merupakan kelompok virus RNA beruntai negatif dan tidak
bersegmen (Mayo & Pringle 1998). Virus Ebola saat ini terdiri dari lima
spesies yaitu, Zaire ebolavirus (ZEBOV), Sudan ebolavirus (SEBOV), Tai
Forest ebolavirus, Reston ebolavirus (REBOV).
Spesies MARV hanya memiliki satu spesies, yaitu Lake
Victoria Marburgvirus (ICTV 2009). Masing-masing spesies EBOV tidak
hanya menunjukkan perbedaan molekuler yang signifikan, namun juga
bervariasi dalam hal virulensi dan patogenisitasnya. ZEBOV adalah
Spesies yang paling patogen pada manusia dengan angka kematian
sekitar 80%, diikuti oleh SEBOV dengan tingkat kematian kasus sekitar
50% dan Bundibugyo ebolavirus dengan tingkat kematian sekitar 30%.
Sampai saat ini, terdapat dua kasus yang dilaporkan pada manusia tapi
tidak fatal yaitu yang disebabkan oleh Tai Forest ebola virus dan
beberapa kasus manusia tanpa menunjukkan gejala klinis pada infeksi
REBOV. Adapun Pemeriksaan elektron mikroskopis pada penyakit
Ebola terdapat :
a. Virion ebov dan marv berbentuk pleomorphic, tampak dalam
bentuk filamen panjang atau lebih pendek yang dapat berbentuk
u, berbentuk 6 atau konfigurasi melingkar. Virus ebola
memiliki diameter 80 nm dan panjang hingga 14.000 nm,
dengan panjang rata-rata virion sekitar 1.200 nm untuk ebov dan
860 nm untuk marv
b. Genom ebov terdiri dari molekul linier rna beruntai tunggal
dengan orientasi negatif yang mengkode tujuh protein struktural
yaitu nukleoprotein (np), virion struktural protein (vp) vp35,
vp40, glikoprotein (gp), vp30, vp24 dan rna-dependent rna
polimerase (l).
Pada infeksi Ebola, protein virus dalam interaksi virus dengan
inangnya. Pada manusia, protein NP dan VP40 memperoleh respon
Imunoglobulin G (IgG) yang kuat. Protein GP EBOV diperkirakan
berfungsi untuk menginduksi gangguan terhadap sel endotel dan
sitotoksisitas dalam pembuluh darah dan sebagai perantara masuknya
virus ke dalam sel inang. Beberapa penelitian subtipe Filovirus
memiliki patogenisitas yang berbeda, penyebab rata-rata kematian
berbeda dengan tingkat keparahan yang berbeda dan juga di pengaruhi
oleh efek hemologi yang bervariasi.Dari perbedaan genetik diantara
subtipe, patogenesitas dari strain Sudan dan strain Reston relatif lebih
rendah dibandingkan dengan strain Zaire.
Sel Taget Infeksi Virus pada Filoviruses memiliki sel tropisme
yang luas dalam spesies inang yang rentan. sel target yang mendukung
replikasi virus adalah monosit, makrofag, sel dendritik (DC), hepatosit,
sel korteks adrenal, fibroblas dan sel endotel. Peristiwa awal selama
infeksi cenderung terpusat disekitar sel-sel mononuklear dalam sistem
fagosit, termasuk monosit, makrofag dan DC. Sel-sel ini tidak hanya
mengatur respon imun bawaan dan adaptif, namun juga sebagai target
awal infeksi virus.
Ditemukan kurang lebih 1000 spesien hewan reservoir EBOV
termasuk kelelawar, burung, dan vertebrata kecil di wilayah epidemi
(Gabon dan Republik Kongo). berdasar hasil uji serologis ELISA
dan uji PCR menunjukkan bahwa EBOV dan virus Filo banyak
ditemukan pada kelelawar. EBOV dan virus Filo kelelawar berada pada
hati dan limpa. Sampai saat ini masih dilakukan identifikasi terhadap
hewan reservoir virus Ebola karena bukan saja kelelawar. Dari
beberapa penelitian virus Ebola juga ditemukan pada spesien babi dan
kera.
DISTRIBUSI GEOGRAFIS
Distribusi geografis virus Filo diperkirakan berada di wilayah
tropis Afrika. Virus Ebola cenderung berada di daerah hutan hujan
yang lembab di Afrika Tengah dan Barat, sedangkan virus Marburg di
daerah yang lebih kering seperti Afrika Tengah dan Timur.
Distribusi geografis ZEBOV, SEBOV, Ivory coast ebolavirus,
Bundibugyo ebolavirus, ditemukan di beberapa negara Afrika Selatan
dan Gurun Sahara dan biasanya bersifat endemis. Infeksi REBOV
memicu demam disertai perdarahan menyeluruh pada monyet,
namun tidak menimbulkan kasus klinis pada manusia, meskipun
antibodi terhadap kelompok virus Filo ditemukan di beberapa
personel di fasilitas karantina .
Pada tahun 1994, dengan pewarnaan imunohisto kimia
ditemukan positif Ebola pada spesimen nekropsi 1 dari 12 simpanse
yang mati di hutan Pantai Gading melaporkan untuk pertama kali kasus
terinfeksinya seorang etnologi yang ditularkan dari primata yang
terinfeksi virus Ebola. Survei epidemiologi di daerah wabah di
Mayibout pada 1996, menunjukkan bahwa banyak kematian pada
monyet di dekat daerah wabah dan telah terjadi infeksi pada manusia
melalui kontak dengan karkas simpanse yang terinfeksi.wabah virus
Ebola pada manusia yang terjadi di tahun 2001 di Gabon dan Republik
Kongo, diakibatkan kontak dengan bangkai hewan yang terinfeksi. Oleh
karena itu, hingga saat ini REBOV masih dikaitkan dengan penyakit
pada primata.
GEJALA KLINIS EBOLA
Masa inkubasi bervariasi tergantung pada spesies virus Ebola
yang menginfeksi dan konsentrasi virus itu sendiri,
a. Kera cynomolgus yang diinokulasi dengan ZEBOV melalui oral
atau konjungtiva akan menghasilkan gejala klinis dalam waktu
3-4 hari.
b. Masa inkubasi infeksi ZEBOV pada kera rhesus dan monyet
vervet berlangsung antara tiga sampai 16 hari
c. Pada kelinci percobaan, masa inkubasi terjadi antara 4-10 hari.
Pada monyet percobaan yang terinfeksi, biasanya
menunjukkan gejala seperti demam disertai perdarahan hebat dan
menyeluruh, tidak ada nafsu makan, muntah, pembengkakan limpa dan
penurunan bobot hidup.
Pendarahan dapat terjadi pada kulit, saluran pencernaan atau
selaput lendir. Bila gejala berlanjut dapat memicu shock dan
hipotermia, serta berakhir dengan kematian, virus Ebola Afrika
biasanya lebih patogen dari REBOV. Hal ini terlihat dari tanda-tanda
klinis yang dihasilkan oleh strain Afrika tampak lebih berat, seperti
perdarahan yang lebih banyak yang memicu tingkat kematian
yang lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi REBOV. Infeksi REBOV
yang berasal dari primata dan belum dipasase pada marmot, tidak
menghasilkan gejala klinis. yang sama pada monyet, namun hanya
menunjukkan demam dan penurunan bobot hidup, kemudian sembuh.
Sedangkan, apabila diinfeksi dengan virus yang telah dipasase dapat
memicu penyakit hati yang fatal. Pada hewan liar dan kelelawar,
infeksi buatan dengan virus Ebola, tidak menunjukkan gejala klinis.
Pada manusia, infeksi virus Ebola memiliki masa inkubasi 2-
21 hari dan menunjukkan onset penyakit secara mendadak yang
ditandai dengan demam, menggigil, lemas, lesu, pegal-pegal,
anoreksia/ tidak nafsu makan, mual, muntah, perut nyeri dan diare.
Apabila gejala klinis berlanjut, tampak gangguan pernafasan seperti
nyeri dada, sesak napas dan batuk, dilanjutkan dengan konjungtivitis,
hipotensi bila berdiri agak lama, edema dan berakhir dengan kelainan
neurologis seperti sakit kepala, kebingungan, kejang dan koma yang
dapat disertai dengan gangguan metabolik yang parah dan
penggumpalan pembuluh darah yang tidak diketahui penyebabnya
(koagulopati) dan berakhir dengan kematian yang biasanya terjadi
pada minggu kedua.
Infeksi ZEBOV dapat mengakibatkan mortalitas mendekati 90%,
sedangkan kasus fatal akibat spesies virus Ebola lainnya tampak jauh
lebih rendah. Kasus kematian akibat infeksi SEBOV berkisar antara 53-
66% , sedangkan prevalensi infeksi Bundibugyo ebolavirus
diperkirakan mendekati 40% berdasar temuan epidemiologi dari
2.007 kasus pada wabah di Uganda.
Kesembuhan (recovery) mulai terjadi antara 7 sampai 14 hari,
setelah gejala pertama terjadi. Kematian, jika ini terjadi, biasanya
antara 6 sampai 16 hari, setelah gejala pertama terjadi, dan sering kali,
karena 'syok' tekanan darah rendah akibat akibat kekurangan cairan.
biasanya , pendarahan sering kali menunjukkan hal yang buruk,
kehilangan darah dapat memicu kematian. Seringkali penderita
mengalami koma, sebelum kematiannya. Penderita yang selamat sering
kali mengalami sakit otot dan sendi secara terus menerus,
pembengkakan hati, berkuangnya pendengaran, dan mungkin
mengalami hal-hal sebagai berikut: merasa capai, lemas berkelanjutan,
berkurangnya nafsu makan, dan kesulitan mencapai berat semula
sebelum sakit. Antibodi terbentuk untuk sekurangnya 10 tahun, namun
belum jelas apakah penderita yang selamat akan kebal terhadap infeksi
berulang. Sesesorang yang telah sembuh tidak akan menyebarkan
penyakit lagi.
PATOGENESIS EBOLA
biasanya , demam disertai perdarahan menyeluruh tampak pada
manusia yang disebabkan oleh infeksi EBOV dan MARV. Gejala ditandai
dengan masalah distribusi cairan, hipotensi dan koagulasi, sehingga sering
memicu shock parah dan lalu kegagalan pada fungsi sistem
multiorgan. Replikasi virus, dalam hubungannya dengan disregulasi
kekebalan tubuh dan pembuluh darah, diduga memainkan peran dalam
perkembangan penyakit. Infeksi virus Filo dapat memicu
terganggunya sistem kekebalan tubuh bawaan, terutama terhadap respon
interferon dan hal ini dihubungkan dengan protein virion (VP) 35 dan 24.
Secara keseluruhan, infeksi EBOV mempengaruhi respon imun bawaan tapi
dengan hasil yang berbeda-beda.
Gangguan dari barier jaringan darah yang utamanya dikendalikan
oleh sel endotel, merupakan faktor penting dalam patogenesis. Endotelium
tampaknya akan terpengaruh langsung oleh aktivasi virus dan sistem
fagositik, serta secara tidak langsung oleh respon inflamasi melalui
mediator yang berasal dari sel target utama atau produk ekspresi virus, yang
berakibat pada meningkatnya permeabilitas sel endotel. Akibatnya
keseimbangan cairan antara jaringan intravaskular dan ekstravaskular
terjadi. Data klinis dan laboratorium juga menunjukkan gangguan dalam
hemostasis selama infeksi.
DIAGNOSIS LABOLATORIUM
Diagnosis terhadap infeksi virus Ebola harus dilakukan dengan
akurat dan tepat. Jika tidak, akan menimbulkan keresahan dan
ketidaknyamanan bagi masyarakat, dan penyebaran penyakitnya.
Diagnosis virus Ebola harus memakai beberapa metode diagnosis
untuk mengurangi resiko kesalahan diagnosis.
Diagnosis virus Filo dan virus Ebola dilakukan dengan melihat
gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, dan immunohistokimia.
Pemeriksaan serologi yang banyak dipakai dan efektif adalah ELISA
dengan memakai glikoprotein spesifik terhadap grup Ebola.
Sampai saat ini, sudah banyak dikembangkan antibodi
monoklonal NP (RNPs) SEBOV, REBOV, dan ZEBOV. Temuan ini dapat
memungkinkan dapat mengidentifikasi spesies isolasi EBOV secara
serologis.
Sampel yang dipakai untuk isolasi virus Ebola adalah darah
dan pengiriman sampel dalam keadaan dingin. Pemeriksaan ini harus
dilakukan di laboratorium yang memiliki peralatan lengkap dan
tingkat keamanan tinggi seperti biosafety level 4 (BSL4). Hal ini
merupakan kendala bagi negara-negara berkembang karena biasanya
negara berkembang belum memiliki laboratorium BSL4. Alternatif
lainnya adalah pemeriksaan antigen inaktif yang dapat dilakukan di
laboratorium yang lebih sederhana.
Pasien ang sudah terinfeksi dan fatal akan meninggal sebelum
terbentuk respon antibodi. Ini membuktikan bahwa pemeriksaan
serologis hanya dapat dilakukan pada pasien yang masih bisa bertahan
hidup. Oleh karena itu, metode ELISA dengan mendeteksi antigen virus
Ebola sangan efektif dipakai .
PENCEGAHAN EBOLA
Ada tiga cara untuk menginaktifkan virus Ebola yaitu secara :
a. Secara fisika, virus Ebola dipanaskan memakai autiklaf.
b. Secara kimia, virus Ebola dapat diinaktifkan dengan 2%
natrium hipoklorit, 2% glutaraldehid, asam perasetat 5% dan
1% formalin.
c. Secara radiologi Virus Ebola juga dapat diinaktifkan dengan
sinar ultraviolet radiasi gamma, 0,3% betapropiolactone
selama 30 menit pada 37ºC (98,6ºF), atau pemanasan sampai
60ºC (140ºF) selama 1 jam.
PENGOBATAN EBOLA
Sampai saat ini pengobatan dan vaksinasi untuk virus Ebola
belum ditemukan sehingga penemuan untuk vaksin virus Ebola ini
harus menjadi prioritas. Terapi suportif seperti rehidrasi dengan oral
atau cairan intravena serta perlakuan sesuai dengan gejala akan
meningkatkan kesembuhan pasien. Untuk hewan reservoir biasanya
dilakukan dietanasi.
Kendala dalam pembuatan vaksin ini adalah perbedaan antar
jenis virus Ebola. Perbedaan antigenik ini memicu
sedikitnya proteksi silang diantara spesies Ebola, sehingga vaksin yang
dihasilkan tidak dapat memberikan perlindungan yang maksimal
terhadap infeksi ZEBOV dan SEBOV yang merupakan spesies Ebola
yang patogen terhadap manusia.
Perlu adanya pengembangan vaksin virus Ebola berbasis genetik
untuk mencegah infeksi pada manusia. Selain itu, vaksin virus Ebola
berbasis genetik aman dipakai .
5. VIRUS ZIKA
Virus Zika merupakan sejenis virus dari keluarga flaviviridae
dan genus flavivirus. Keluarga flaviviridae merupakan keluarga virus
yang menyebar melalui vektor artropoda, yang paling utama adalah
nyamuk. Dari segi bahasa, kata flaviviridae berasal dari bahasa Latin
flavus yang bermakna kuning. Jadi, keluarga flaviviridae berasal dari
virus demam kuning. Keluarga flaviviridae memiliki tiga jenis genus,
yakni Flavivirus, Hepacivirus, dan Pestivirus. Dari ketiga genus dalam
keluarga Flaviviridae tersebut, virus Zika termasuk genus yang
pertama, yakni Flavivirus.
Selain nyamuk Aedes aegypti nyamuk Aedes albopictus adalah
nyamuk lain yang juga berpotensi yang memiliki tingkat keganasan
yang sama sebagai agen virulensi. Nyamuk jenis ini paling banyak
dijumpai di daerah Afrika dan Asia. Aedes albopictus yang juga dikenal
sebagai nyamuk macan Asia dengan ciri garis-garis putih, dianggap
spesies nyamuk yang paling agresif. Kedua spesies biasanya menggigit
pada siang hari dan pada sore hari, sehingga kelambu untuk tidur
malam dianggap tidak begitu berguna untuk mecegah penyebaran
virus Zika. Setiap spesies nyamuk ini juga dapat menginfeksi orang
dengan demam berdarah, chikungunya dan demam kuning.
Pada 2014, virus ini menyebar ke timur melintasi Samudra
Pasifik ke Polinesia Perancis, kemudian ke Pulau Paskah dan pada
tahun 2015, ia menyebar ke Amerika Tengah, Karibia, dan kini ia
menyebar ke Amerika Selatan sebagai satu wabah besar. Pada Januari
2016, Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat
mengeluarkan panduan perjalanan untuk negara-negara tejangkit
wabah, termasuk panduan langkah pencegahan yang dipertingkatkan
dan pertimbangan untuk menunda kehamilan bagi wanita. Menurut
laporan, transmisi virus Zika pada janin dapat memicu
microcephaly pada bayi yang baru lahir. Badan-badan kesehatan dan
pemerintah lain juga mengeluarkan peringatan yang serupa,
sedangkan negara-negara seperti Kolombia, Ekuador, El Salvador, dan
Jamaika, menasihati wanita untuk menunda kehamilan sehingga risiko
tentang virus ini dapat lebih diketahui.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai penyakit yang
terkait dengan virus Zika di Amerika Latin pada akhir tahun 2015
hingga Januari 2016 telah menimbulkan keadaan darurat kesehatan
bagi masyarakat. Oleh sebab itu, WHO mengumumkan Status Darurat
Kesehatan Internasional
Infeksi virus Zika terjadi melalui perantara gigitan nyamuk
Aedes, terutama spesies Aedes aegypti. Penyakit yang disebabkannya
dinamakan sebagai Zika, penyakit Zika (Zika disease) ataupun demam
Zika (Zika fever). Gejala yang paling umum dari penyakit virus Zika
adalah demam, ruam, nyeri sendi, dan konjungtivitis (mata merah) .
Penyakit ringan biasanya memiliki gejala yang berlangsung dari
beberapa hari sampai satu minggu.
Virus Zika yang telah menginfeksi manusia dapat menimbulkan
beberapa gejala, seperti demam, nyeri sendi, konjungtivitis (mata
merah), dan ruam. Gejala-gejala penyakit Zika dapat menyerupai gejala
penyakit dengue dan chikungunya, serta dapat berlangsung beberapa
hari hingga satu minggu.
Virus Zika pertama ditemukan pada seekor monyet resus di
hutan Zika, Uganda, pada tahun 1947 . Virus Zika kemudian ditemukan
kembali pada nyamuk spesies Aedes Africanus di hutan yang sama
pada tahun 1948 dan pada manusia di Nigeria pada tahun 1954. Virus
Zika menjadi penyakit endemis dan mulai menyebar ke luar Afrika dan
Asia pada tahun 2007 di wilayah Pasifik Selatan. Pada Mei 2015, virus
ini kembali merebak di Brazil. Penyebaran virus ini terus terjadi pada
Januari 2016 di Amerika Utara, Amerika Selatan, Karibia, Afrika, dan
Samoa (Oceania). Di negara kita sendiri, telah ditemukan virus Zika di
Jambi pada tahun 2015.
Virus zika yang terjadi sekarang ini sangat membahayakan bagi
perkembangan janin pada ibu yang hamil, hal ini dikarenakan pada
kasus yang terjadi di Brazil, ibu yang hamil banyak yang melahirkan
bayi yang abnormal dengan kelainan pada tulang kepala lebih kecil dari
biasanya , kelainan ini dinamakan dengan microcephaly4 , maka dari
itu virus zika ini memiliki efek yang merusak pada perkembangan janin
meskipun sampai sekarang para ilmuwan masih terus meneliti
kemungkinan hal tersebut.
Pada tahun 2010 sampai 2014, brazil memiliki rata rata 156
bayi yang lahir dengan microcephaly setiap tahunnya. Yang lebih
mengejutkan lagi pada tahun 2015, lebih dari 3000 bayi lahir dengan
kondisi tersebut, bahkan hingga berujung kematian hal ini di
duga ada kaitannya dengan jejak virus Zika.
Pada bulan Mei 2015, Organisasi Kesehatan Amerika (PAHO)
mengeluarkan peringatan mengenai kontak pertama yang dikonfirmasi
infeksi virus Zika di Brasil. Wabah di Brasil yang terjadi diduga
memicu sindrom Guillain-Barré dan kecenderungan wanita yang
hamil melahirkan bayi dengan cacat lahir dan dapat melahirkan anak
yang memiliki kecenderungan mengalami kelainan.
PATOGENESIS VIRUS ZIKA
Penyakit yang disebabkan oleh virus Zika dibawa oleh oleh
nyamuk nyamuk Aedes aegypti yang sebelumnya telah terinfeksi.
Nyamuk Aedes aegypti itu sendiri dapat terinfeksi ketika telah
menggigit manusia yang sebelumnya telah terinfeksi virus ini. Oleh
karena itu secara berantai kemudian nyamuk Aedes aegypti
menularkan virus Zika pada setiap orang yang digigitnya dan seperti
itu seterusnya.
Sama halnya dengan penyakit demam berdarah, nyamuk Aedes
aegypti biasanya sangat aktif dengan cara penularan penyakit virus
Zika ke manusia pada saat siang dan sore hari6 . Secara habitat,
memang nyamuk jenis ini sangat suka tinggal di area genangan air
bersih baik di dalam maupun luar ruangan dimana orang-orang
berada. Penularan virus Zika bisa terjadi dalam beberapa cara, yaitu:
a. Melalui gigitan nyamuk Virus Zika ditularkan kepada orang
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang sudah terinfeksi.
Nyamuk ini biasanya bertelur di dekat tempat-tempat yang
memiliki genangan air seperti ember, mangkuk, piring hewan
peliharaan, pot bunga atau vas. Nyamuk ini lebih banyak hidup
di dalam ruangan.
b. Dari ibu ke anak Ibu hamil ternyata bisa menularkan virus Zika
pada janinnya selama kehamilan atau saat melahirkan. Virus ini
kemudian bisa mengakibatkan mikrosefali dan cacat otak janin
lainnya.
c. Melalui hubungan seksual Zika bisa ditularkan melalui
hubungan seks dari orang yang sudah terinfeksi virus Zika
sebelumnya kepada mitranya. Saat ditularkan, orang yang sudah
terinfeksi bahkan belum memiliki gejala.
d. Melalui transfusi darah Terdapat laporan kasus penularan virus
Zika lewat transfusi darah di Polinesia. Di dalam laporan
tersebut, 2,8 persen donor darah dinyatakan positif terjangkit
virus Zika.
biasanya terdapat 2 jenis jalur transmisi virus Zika, yaitu
melalui jalur vector borne (melalui vektor) dan non vector borne
(tidak melalui vektor).
a. Transmisi melalui vektor
Zika termasuk kedalam kelompok arbovirus
(anthropode-borne virus) sehingga berdasar definisinya
virus ini dapat disebarkan oleh atropoda dari satu vetebrata ke
vetebrata lainnya melalui gigitan. Mekanisme penularan biologis
biasanya terjadi saat vektor yang terinfeksi dengan darah host
yang mengandung virus kemudian menyuntikkan air liurnya
yang mengandung virus pada host lain, sehingga terjadi
penularan virus. Vektor utama penyebaran virus Zika adalah
nyamuk dari genus Aedes11, Analisis potensi penularan untuk
virus Zika oleh berbagai spesies nyamuk Aedes telah dilakukan
dan terbukti Aedes aegypti, Aedes albopictus, Aedes unilineatus
dan Aedes vittatus semua ditemukan rentan terhadap infeksi
virus Zika. Namun dalam beberapa kasus wabah virus Zika
beberapa spesies nyamuk lain ditemukan dalam wilayah
penyebaran virus.
Diantaranya vektor Culex quinquefasciatus yang
ditemukan pada kasus epidemi di Pulau Yap. Ditemukannya
isolate virus dalam suatu vektor (spesies nyamuk tertentu)
belum cukup untuk membuktikan bahwa vektor ini dapat
mentrasmisikan virus ke vetebrata lain, sehingga pada tahun
1956 Boorman & Porterfield melakukan studi untuk mengetahui
kemampuan transmisi virus dari nyamuk Aedes aegepty, dalam
studi ini dipakai bagian integument dari kulit tikus dewasa
sebagai penghalang ketika darah manusia terinfeksi yang
diberikan heparin diletakkan dalam suatu wadah, sehingga
kemudian dimakan oleh nyamuk. Hasilnya nyamuk ini
berhasil mentransmisikan virus Zika terhadap monyet resus
yang dibuktikan dengan terdapatnya antibodi terhadap virus
Zika dalam tubuh monyet.
b. Transmisi melalui non vector
1) Kontaminasi laboratorium
Seorang anggota staf laboratorium mengalami demam
setelah vaksinasi demam kuning (17D vaksin), tapi virus Zika
ditemukan dari darah yang diambil pada hari pertama sakit.
Kasus Infeksi ini diyakini merupakan kecelakaan dalam
Laboratorium.
2) Transmisi seksual
berdasar data yang dikumpulkan Musso et all,
terdapat 4 laporan yang menyatakan kejadian infeksi yang
kemungkinan ditransmisikan melalui seksual. Pada tahun
2008 seorang ilmuwan Amerika yang melakukan studi
lapangan terhadap nyamuk di Senegal mengalami demam
dengan gejala umum mirip infeksi virus Zika setelah kembali
ke Amerika Serikat. Dia juga memiliki prostatitis dan
hematospermia. Istrinya, yang tidak pernah melalukan
perjalanan ke luar Amerika Serikat sejak tahun 2007,
melakukan hubungan seksual dengan suaminya sehari
setelah ia kembali ke rumah. Istrinya kemudian mengalami
dengan gejala infeksi virus Zika, sehingga diduga terdapat
mekanisme transmisi seksual dalam kasus ini.
Kedua pasien dikonfirmasi sebagai mengalami Infeksi
virus Zika dengan tes serologi. Kemudian pada bulan
Desember 2013 selama wabah di French Polynesia, seorang
pria 68 memiliki onset demam dengan gejala kelesuan, dan
ruam eritematosa 1 minggu setelah kembali dari Kepulauan
Cook. Darah dan air mani sampel dikumpulkan virus Zika
RNA dideteksi dengan RT-PCR dan hasilnya positif untuk
virus Zika. Kemudian pengujian kembali dilakukan terhadap
semen, serum dan urin dari pasien pada fase convalescent,
hasilnya hanya semen yang menunjukkan hasil positif.
Menurut Musso & Gubler hal ini menunjukkan telah
terjadinya replikasi virus pada saluran kemih dan
lalu infeksi virus Zika yang ditularkan melalui
hubungan seksual telah dilaporkan di Texas .Hasil ini 22
menegaskan bahwa virus Zika bisa ditularkan melalui
hubungan seksual
3) Transmisi maternofetal
Dalam reviewnya Musso & Gubler juga
mengungkapkan dua kasus penularan perinatal dari virus
Zika dilaporkan selama wabah di French Polynesia. Virus
Zika RNA terdeteksi dalam sampel serum dari kedua ibu dan
bayi dan dalam air susu ibu. Salah satu bayi tetap
asimtomatik, sementara yang lain menunjukkan gejala ruam
makulopapular dengan trombositopenia. Meskipun tidak ada
partikel virus Zika infektif yang terdeteksi di air susu ibu,
kemungkinan penularan virus Zika melalui air susu ibu harus
dipertimbangkan. Dalam penelitian yang dilakukan Quickle
et all virus Zika strain PRVABC59 (PR 2015) menginfeksi dan
bereplikasi di makrofag13 utama plasenta manusia yang
disebut sel Hofbauer. replikasi virus ini bersamaan dengan
induksi tipe I interferon (IFN), sitokin proinflamasi, dan
ekspresi gen antivirus, namun dengan kematian sel minimal.
Peneliti mengasumsikan mekanisme untuk transmisi
intrauterin di mana virus Zika mendapatkan akses langsung
ke kompartemen janin dengan cara menginfeksi sel-sel
plasenta dan merusak placental barrier.
4) Transmisi melalui transfusi darah
Hingga saat ini keefektivan transmisi virus Zika
melalui transfusi darah masih belum dikethui, namun kasus
transmisi abrbovirus lain melalui transfusi darah telah
banyak dilaporkan. Sehingga terdapat peluang yang sangat
besar terkait transmisi virus Zika melalui transfusi darah.
Namun karena infeksi Zika biasanya tidak
menunjukkan gejala spesifik, maka untuk mencegah
transmisinya perlu dilakukan suatu rangkaian analisis asam
nukleat terhadap darah yang telah didonorkan. Selain
pengujian asam nukleat pada donor darah, pencegahan
terjadinya infeksi virus Zika posttransfusion dapat dilakukan
dengan reaktivasi pathogen dalam produk darah.
GEJALA VIRUS ZIKA
Untuk masa inkubasi, virus Zika memerlukan masa 2 (dua)
sampai dengan 7 (tujuh) hari semenjak virus ini ditularkan. Jika saat
ditularkan kondisi tubuh dalam keadaan prima, infeksi virus Zika akan
pulih sendiri dan memerlukan waktu 7 sampai dengan 12 hari saja.
Beberapa pakar melihat adanya banyak kesamaan gejala antara
demam berdarah dengan demam Zika. Keduanya sama-sama diawali
dengan demam yang naik turun serta rasa linu hebat pada persendian
dan tulang. Kadang juga disertai mual, pusing, rasa tidak nyaman di
perut dan disertai rasa lemah dan lesu yang hebat. Beberapa kesamaan
sebagai gejala awal membuat penyakit ini diidentifikasi secara keliru
dengan penyakit demam berdarah.
Namun sebenarnya terdapat beberapa gejala khas yang bisa
membedakan keluhan infeksi Zika Virus dengan penyakit demam
berdarah, beberapa tanda khusus ini antara lain:
a. Demam cenderung tidak terlalu tinggi, kadang maksimal hanya
pada suhu 38 derajat celcius. Cenderung naik turun
sebagaimana gejala demam berdarah, namun tidak terlalu tinggi.
b. Muncul beberapa ruam pada kulit yang berbentuk
makulapapular atau ruam melebar dengan benjolan tipis yang
timbul. Terkadang ruam meluas dan membentuk semacam ruam
merah tua dan kecoklatan yang mendatar dan menonjol.
c. Muncul rasa nyeri pada sendi dan otot, kadang disertai lebam
dan bengkak pada sendi dan otot seperti terbentur dan keseleo
ringan.
d. Kerap muncul keluhan infeksi mata menyerupai konjungtivitas
dengan mata kemerahan. Kadang warna sangat kuat pada
bagian dalam kelopak sebagai tanda munculnya ruam pada
bagian dalam kelopak mata.
Virus Zika berisiko terhadap terjadinya kasus microcephaly atau
kelainan pertumbuhan otak pada bayi. Sehingga, ibu hamil sangat perlu
mewaspadai penularan virus Zika . Tidak hanya ibu hamil, semua orang
juga perlu mewaspadai virus ini,karena virus Zika ini juga bisa
menyerang sistem saraf dewasa dan memicu peradangan akar
saraf di tulang belakang.
MENCEGAH VIRUS ZIKA
Mencegah gigitan nyamuk adalah salah satu tindakan
pencegahan awal yang bisa membantu anda terhindar dari infeksi
virus Zika. Beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan saat
berada di daerah yang terjangkit virus Zika, antara lain:
a. Memastikan tempat yang Anda tinggali memiliki pendingin
ruangan atau setidaknya memiliki tirai pintu dan jendela yang
dapat mencegah nyamuk masuk ke ruangan.
b. Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
c. Gunakan baju dan celana berlengan panjang
d. Gunakan bahan penolak serangga yang terdaftar pada badan
perlindungan lingkungan atau environmental protection agency
(EPA), sesuai dengan instruksi yang tertera pada kemasan.
Instruksi yang terlampir akan memberikan informasi mengenai
pengaplikasian ulang, area pengaplikasian yang diperbolehkan,
waktu dan durasi pengaplikasian.
e. Bayi yang berusia di bawah dua bulan tidak diperkenankan
memakai bahan penolak serangga ini sehingga Anda harus
memastikan agar pakaian bayi dapat melindunginya dari gigitan
nyamuk.
f. Gunakan juga kelambu pada tempat tidur bayi, kereta dorong
bayi, dan gendongan atau alat pengangkut bayi lainnya.
g. Perhatikan area tubuh anak yang berusia lebih dewasa saat
mengaplikasikan bahan penolak serangga. Hindari area tubuh
yang terluka atau sedang mengalami iritasi, area mata, mulut,
dan tangan.
h. Pilihlah perawatan, pencucian, atau pemakaian pakaian serta
peralatan yang memakai bahan dengan kandungan repelen.
Pelajari informasi produk dan instruksi penggunaan mengenai
perlindungan yang diberikan. Hindari memakai produk ini
pada kulit.
i. Pelajari juga informasi mengenai daerah yang akan anda
kunjungi, seperti fasilitas kesehatan dan area luar ruangan
terbuka sebelum waktu keberangkatan tiba, khususnya area
yang terjangkit virus Zika.
j. Lakukan tes virus Zika sekembalinya anda, khususnya
perempuan hamil, dari daerah penyebaran virus Zika.
1. TUBERKULOSIS (TBC)
Tuberkulosis (TBC) paru adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh kuman Mycrobacterium tuberculosis yang menyerang
paru-paru dan bronkus. TBC paru tergolong penyakit air borne
infection, yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara
pernapasan ke dalam paru-paru. Kemudian kuman menyebar dari
paru-paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, melalui bronkus atau penyebaran langsung ke
bagian tubuh lainnya.
Tuberkulosis (TBC) paru adalah suatu penyakit infeksi kronis
yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia
dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban, lingkungan yang
padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra
otak yang khas TBC dari kerangka yang digali di Heidelberg dari
kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari
mumi dan ukuriran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000 –
4000 SM. Hipokrates telah memperkenalkan sebuah terminologi yang
diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan penyakit
TBC paru ini.
TB paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC
(Mycrobacterium Tuberculosi Humanis). Mycrobacterium tuberculosis
7 merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran sangat kecil
dengan panjang 1-4 µm dengan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar
komponen Mycrobacterium tuberculosis adalah berupa lemak atau
lipid yang memicu kuman mampu bertahan terhadap asam serta
zat kimia dan faktor fisik. Kuman TBC bersifat aerob yang
membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Mycrobacterium
tuberculosis banyak ditemukan di daerah yang memiliki kandungan
oksigen tinggi. Daerah ini menjadi tempat yang kondusif untuk
penyakit TB. Kuman Mycrobacterium tuberculosis memiliki
kemampuan tumbuh yang lambat, koloni akan tampak setelah kurang
dari dua minggu atau bahkan terkadang setelah 6-8 minggu.
Lingkungan hidup optimal pada suhu 37°C dan kelembaban 70%.
Kuman tidak dapat tumbuh pada suhu 25°C atau lebih dari 40°C .
PENYEBAB DAN JENIS TBC
TBC paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC
(Mycrobacterium Tuberculosi Humanis). Karena ukurannya yang
sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Mycrobacterium tuberculosis
termasuk familie Mycrobacteriaceace yang memiliki berbagai genus,
satu diantaranya adalah Mycrobacterium, yang salah satunya
speciesnya adalah Mycrobacterium tuberculosis. Basil TBC memiliki
dinding sel lipoid sehingga tahan asam, sifat ini dimanfaatkan oleh
Robert Koch untuk mewarnainya secara khusus. Oleh karena itu,
kuman ini disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Basil TBC sangat
rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menit saja
akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama terhadap gelombang
cahaya ultraviolet. Basil TBC juga rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja basil TBC yang berada dalam lingkungan
basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100°C. Basil TBC juga
akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohol 70% atau
lisol 5%.
Masuknya kuman TBC ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman
TBC dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman
TBC. Akan namun , pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TBC dan kuman akan bereplikasi dalam
makrofag. Kuman TBC dalam makrofag yang terus berkembang biak,
akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama
koloni kuman TBC di jaringan paru disebut Fokus Primer. Waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman TBC hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TBC. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain,
yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya
gejala penyakit. Masa inkubasi TBC biasanya berlangsung dalam waktu
4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104,
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
TBC primer adalah TBC yang terjadi pada pasien yang belum
pernah kemasukan basil TBC. Bila orang ini mengalami infeksi oleh
basil TBC, walaupun segera difagositosis oleh makrofag, basil TBC tidak
akan mati. Dengan semikian basil TBC ini lalu dapat berkembang biak
secara leluasa dalam 2 minggu pertama di alveolus paru dengan
kecepatan 1 basil menjadi 2 basil setiap 20 jam, sehingga pada infeksi
oleh satu basil saja, setelah 2 minggu akan menjadi 100.000 basil. TBC
sekunder adalah penyakit TBC yang baru timbul setelah lewat 5 tahun
sejak terjadinya infeksi primer. Kemungkinan suatu TBC primes yang
telah sembuh akan berkelanjutan menjadi TBC sekunder tidaklah
besar, diperkirakan hanya sekitar 10%. Sebaliknya juga suati reinfeksi
endogen dan eksogen, walaupun semula berhasil memicu
pasien menderita penyakit TBC sekunder, tidak selalu penyakitnya
akan berkelanjutan terus secara progresif dan berakhir dengan
kematian.hal ini terutama ditentukan oleh efektivitas sistem imunitas
seluler di satu pihak dan jumlah serta virulensi basil TBC di pihak lain.
Walaupun sudah sampai timbul TBC selama masih minimal, masih ada
kemungkinan bagi tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri bila
sistem imunitas seluler masih berfungsi dengan baik. Jadi dapat
disimpulkan bahwa TBC pada anak-anak biasanya adalah TBC primer
sedangkan TBC pada orang dewasa adalah TBC sekunder.
Bila infeksi Tuberkulosis yang timbul menjadi aktif, sekitar 90%-
nya selalu melibatkan paru-paru. Gejala-gejalanya antara lain
berupa nyeri dada dan batuk berdahak yang berkepanjangan. Sekitar
25% penderita tidak menunjukkan gejala apapun (yang demikian
disebut "asimptomatik"). Kadang kala, penderita mengalami
sedikit batuk darah. Dalam kasus-kasus tertentu yang jarang terjadi,
infeksi bisa mengikis ke dalam arteri pulmonalis, dan memicu
pendarahan parah yang disebut Aneurisma Rasmussen. Tuberkulosis
juga bisa berkembang menjadi penyakit kronis dan memicu luka
parut luas di bagian lobus atas paru-paru. Paru-paru atas paling sering
terinfeksi. Alasannya belum begitu jelas. Kemungkinan karena paruparu atas lebih banyak mendapatkan aliran udara atau bisa juga karena
drainase limfa yang kurang baik pada paru bagian atas.
Dalam 15–20% kasus aktif, terjadi penyebaran infeksi hingga ke
luar organ pernapasan dan memicu TB jenis lainnya. TB yang
terjadi di luar organ pernapasan disebut "tuberkulosis ekstra paru". TB
ekstra paru biasanya terjadi pada orang dewasa
dengan imunosupresi dan anak-anak. TB ekstra paru muncul pada 50%
lebih kelompok pengidap HIV. Lokasi TB ekstra paru yang bermakna
termasuk: pleura (pada TB pleuritis), sistem saraf pusat
(pada meningitis TB), dan sistem kelenjar getah
bening (pada skrofuloderma leher). TB ekstra paru juga dapat terjadi
di sistem urogenital (yaitu pada Tuberkulosis urogenital) dan pada
tulang dan persendian (yaitu pada penyakit Pott tulang belakang). Bila
TB menyebar ke tulang maka dapat disebut "TB tulang", yang
merupakan salah satu bentuk osteomielitis. Ada lagi TB yang lebih
serius yaitu TB yang menyebar luas dan disebut sebagai TB diseminata,
atau biasanya dikenal dengan nama Tuberkulosis Milier. Di antara
kasus TB ekstra paru, 10%-nya biasanya merupakan TB Milier.
PATOGENESIS TUBERKULOSIS (TBC)
Menurut Dikjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan cara penularan penyakit Tuberkulosis adalah
a. Sumber penularan adalah pasien TBC BTA positif melalui percik
renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa
pasien TBC dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak
mengandung kuman dalam dahaknya. Hal ini bisa saja
terjadioleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam
contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/ccdahak sehingga sulit dideteksi
melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TBC dengan BTA negatif juga masih memiliki
kemungkinan menularkanpenyakit TBC. Tingkat penularan
pasien TBC BTA positif adalah 65%, pasien TBC BTA negatif
dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC
dengan hasilkultur negatif dan foto toraks positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang
mengandung percik renikdahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke
udara dalam bentukpercikan dahak (droplet nuclei / percik
renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar3000 percikan
dahak.
Kuman TBC menyebar melalui udara saat si penderita batuk,
bersin, berbicara, atau bernyanyi. Yang hebat, kuman ini dapat
bertahan di udara selama beberapa jam. Perlu diingat bahwa TBC tidak
menular melalui berjabat tangan dengan penderita TBC, berbagi
makanan/minuman, menyentuh seprai atau dudukan toilet, berbagi
sikat gigi, bahkan berciuman. Lingkungan hidup yang sangat padat dan
pemukiman di wilayah perkotaan yang kurang memenuhi persyaratan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TBC. Penularan
penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung
droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan
batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam
(BTA).
Ketika pasien yang mengidap TB paru aktif batuk, bersin,
bicara, menyanyi, atau meludah, mereka sedang menyemprotkan titistitis aerosol infeksius dengan diameter 0.5 hingga 5 µm. Bersin dapat
melepaskan partikel kecil-kecil hingga 40,000 titis. Tiap titis bisa
menularkan penyakit Tuberkulosis karena dosis infeksius penyakit ini
sangat rendah. (pasien yang menghirup kurang dari 10 bakteri saja
bisa langsung terinfeksi).
Orang-orang yang melakukan kontak dalam waktu lama, dalam
frekuensi sering, atau selalu berdekatan dengan penderita TB, berisiko
tinggi ikut terinfeksi, dengan perkiraan angka infeksi sekitar
22%. pasien dengan Tuberkulosis aktif dan tidak mendapatkan
perawatan dapat menginfeksi 10-15 (atau lebih) orang lain setiap
tahun. Biasanya, hanya mereka yang menderita TB aktif yang dapat
menularkan penyakit ini. Orang-orang dengan infeksi laten diyakini
tidak menularkan penyakitnya. Kemungkinan penyakit ini menular
dari satu orang ke orang lain tergantung pada beberapa faktor. Faktorfaktor ini antara lain jumlah titis infeksius yang disemprotkan
oleh pembawa, efektivitas ventilasi lingkungan tempat tinggal, jangka
waktu paparan, tingkat virulensistrain M. tuberculosis, dan tingkat
kekebalan tubuh orang yang tidak terinfeksi. Untuk mencegah
penyebaran berlapis dari satu orang ke orang lainnya, pisahkan orangorang dengan TB aktif ("nyata") dan masukkan mereka dalam rejimen
obat anti-TB. Setelah kira-kira dua minggu perawatan efektif, orangorang dengan infeksi aktif yang non-resisten biasanya sudah tidak
menularkan penyakitnya ke orang lain. Bila ternyata kemudian ada
yang terinfeksi, biasanya perlu waktu tiga sampai empat minggu
hingga orang yang baru terinfeksi itu menjadi cukup infeksius untuk
menularkan penyakit ini ke orang lain
GEJALA TUBERKULOSIS (TBC)
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan
gejala khusus yangtimbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran
secara klinis tidak 11 terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga
cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik .
a. Gejala sistemik atau umum:
1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai
dengan darah)
2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama,
biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam.
Terkadang serangan demam seperti influenza dan bersifat
hilang timbul
3) Penurunan nafsu makan dan berat badan
4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah
b. Gejala khusus:
1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila
terjadi sumbatansebagian bronkus (saluran yang menuju
ke paru-paru) akibat penekanankelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,suara nafas
melemah yang disertai sesak.
2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru),
dapat disertaidengan keluhan sakit dada.
3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti
infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk
saluran dan bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini
akan keluar cairan nanah.
4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus
otak) dandisebut sebagai meningitis (radang selaput otak),
gejalanya adalah demamtinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.
Keluhan-keluhan seorang penderita TBC sangat bervariasi,
mulai dari sama sekali tak ada keluhan sampai dengan adanya keluhankeluhan yang serba lengkap. Keluhan umum yang sering terjadi adalah
malaise (lemas), anorexia, mengurus dan cepat lelah. Keluhan karena
infeksi kronik adalah panas badan yang tak tinggi (subfebril) dan
keringat malam (keringat yang muncul pada jam-jam 02.30-05.00).
Keluhan karena ada proses patologik di parudan/atau pleura adalah
batuk dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak, dan nyeri dada.
Makin banyak keluhan-keluhan ini dirasakan, makin besar
kemungkinan TBC. Departemen Kesehatan dalam pemberantasan TBC
di negara kita menentukan anamnesis resmi lima keluhan utama yaitu
batuk-batuk lama (lebih dari 2 minggu), batuk darah, sesak, panas
badan, dan nyeri dada.
FAKTOR RISIKO
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa orang
lebih rentan terhadap infeksi TB. Di tingkat global, faktor risiko paling
penting adalah HIV; 13% dari seluruh kasus TB ternyata terinfeksi juga
oleh virus HIV. Masalah ini umum ditemukan di kawasan sub-Sahara
Afrika, yang angka HIV-nya tinggi. Tuberkulosis terkait erat dengan
kepadatan penduduk yang berlebihan serta gizi buruk. Keterkaitan ini
menjadikan TB sebagai salah satu penyakit kemiskinan utama. Orangorang yang memiliki risiko tinggi terinfeksi TB antara lain: orang yang
menyuntik obat terlarang, penghuni dan karyawan tempat-tempat
berkumpulnya orang-orang rentan (misalnya, penjara dan tempat
penampungan gelandangan), orang-orang miskin yang tidak memiliki
akses perawatan kesehatan yang memadai, minoritas suku yang
berisiko tinggi, dan para pekerja kesehatan yang melayani orang-orang
tersebut. Penyakit paru-paru kronis adalah faktor risiko penting
lainnya. Silikosis meningkatkan risiko hingga 30 kali lebih
besar. Orang-orang yang merokok memiliki risiko dua kali lebih besar
terkena TB dibandingkan yang tidak merokok.
Beberapa faktor di bawah ini akan meningkatkan
kemungkinan pasien menderita TBC (Tuberkulosis), seperti:
a. Kebiasaan merokok: Jumlah penderita TBC (Tuberkulosis) di
negara kita berdasar survei tahun 2017 menunjukkan
bahwa penderita TBC (Tuberkulosis) 3 kali lebih banyak
diidap laki-laki. Banyak faktor yang bisa memicu hal ini
seperti ketidakpatuhan kaum laki-laki serta faktor kebiasaan
merokok. Apalagi berdasar survei menunjukkan jumlah
laki-laki yang merokok di negara kita sebanyak 68,5%.
b. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol
c. Memiliki sistem imunitas tubuh yang rendah karena ODHIV
d. Memiliki penyakit diabetes
e. Kekurangan nutrisi atau mengidap malnutrisi
f. Pemakai narkoba atau obat-obatan terlarang.
g. Mengkonsumsi obat penurun kekebalan tubuh seperti yang
diberikan kepada pasien kanker, lupus, penyakit Crohn,
arthritis. dan psoriasis.
PENCEGAHAN TUBERKULOSIS (TBC)
Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderitaan,
masayarakat dan petugas kesehatan.
a. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan
1) Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut
sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan
tempat.
2) Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan
dengan terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG
(Bacillus Calmete Guerin).
3) Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan
tentang penyakit TBC yang antara lain meliputi gejala
bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
4) Isolasi, pemeriksaan kepada orang–orang yang terinfeksi,
pengobatan khusus TBC. Pengobatan mondok dirumah
sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang
memerlukan pengembangan program pengobatannya yang
karena alasan – alasan sosial ekonomi dan medis untuk
tidak dikehendaki pengobatan jalan.
5) Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga
keberhasilan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap
muntahan dan ludah (piring, tempat tidur, pakaian)
ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
6) Imunisasi orang–orang kontak. Tindakan pencegahan bagi
orang–orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter,
petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasinya
dengan vaksi BCG dan tindak lanjut bagi yang positif
tertular.
7) Penyelidikan orang–orang kontak. Tuberculin-test bagi
seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang
bereaksi positif, apabila cara–cara ini negatif, perlu diulang
pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan
intensif.
8) Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu
pengobatan yang tepat obat–obat kombinasi yang telah
ditetapkan oleh dokter di minum dengan tekun dan teratur,
waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya
kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaaan
penyelidikan oleh dokter.
b. Tindakan pencegahan.
1) Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor
menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan
meningkatkan pendidikan kesehatan.
2) Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan pnderita,
kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan,
pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak,
suspect, perawatan.
3) Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan
keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian
pengobatan INH (Isoniazid) sebagai pencegahan.
4) BCG, vaksinasi diberikan pertama-tama kepada bayi
dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang
5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat ini berupa
tempat pencegahan.
5) Memberantas penyakit TBC pada pemerah air susu dan
tukang potong sapi dan pasteurisasi air susu sapi
6) Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena
menghirup udara yang tercemar debu para pekerja
tambang, pekerja semen dan sebagainya.
7) Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala
TBC paru.
8) Pemeriksaan screening dengan tuberculin test pada
kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang–
orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit,
petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen.
9) Pemeriksaan foto rontgen pada orang–orang yang positif
dari hasil pemeriksaan tuberculin tes.
PENGOBATAN TUBERKULOSIS (TBC)
Terdapat enam macam obat esensial yang telah dipakai sebagai
berikut : Isoniazid (H), para amino salisilik asid (PAS), Streptomisin
(S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (P). Faktor-faktor
risiko yang sudah diketahui memicu tingginya prevalensi TBC di
negara kita antara lain : kurangnya gizi, kemiskinan dan sanitasi yang
buruk. Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip
sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat,dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat,
dilakukanpengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) olehseorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
danlanjutan.
1) Tahap awal (intensif)
a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat.
b) Pengobatan tahap intensif ini apabila diberikan
secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu.
c) Sebagian besar pasien TBC BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap lanjutan
a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
2. FILARIASIS
Filariasis / Kaki Gajah adalah suatu penyakit yang mengalami
infeksi sitemik bersifat kronis dan menahun.Filariasis merupakan jenis
penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya sempat ada,
kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali.
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
yang tersebar di negara kita . Walaupun penyakit ini jarang
memicu kematian, namun dapat menurunkan produktivitas
penderitanya karena terjadi gangguan fisik.penyakit ini jarang terjadi
pada anak karena manifestasi klinisnya timbul bertahun – tahun
setelah terjadi infeksi. Gejala pembengkakan kaki muncul karena
sumbatan mikrofilaria pada pembuluh limfe yang biasanya terjadi
pada usia di atas 30 tahun setelah terpapar parasite selama bertahun –
tahun. oleh karena itu Filariasis juga sering disebut penyakit kaki
gajah. Akibat paling fatal bagi penderita Filariasis yaitu kecacatan
permanen yang sangat mengganggu produktivitas.
EPIDEMIOLOGI FILARIASIS
Epidemiologi filariasis yaitu tersebar didaerah-daerah endemik,
80% penduduk bisa mengalami infeksi namun hanyasekitar 10 - 20%
populasi yang menunjukkan gejala klinis Infeksi
Parasit ini tersebar di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika,
Asia, Pasifik Selatan, danAmerika Selatan. Telah diketahui lebih dari
200 spesies filarial, dari 200 spesies ini hanya sedikit yang
menyerang manusia. Masyarakat yang berisiko terserang adalah
mereka yang bekerja pada daerah yang terkena paparan menahun oleh
nyamuk yang mengandung larva. Seluruh dunia, angka perkiraan
infeksi filaria mencapai 250 juta orang. Asia, filarial endemik terjadi di
negara kita , Myanmar, India, dan Sri Lanka.
Filariasis di negara kita tersebarluas, daerah endemi terdapat di
banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti diSumatera dan sekitarnya,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya. Masih banyak
daerah yang belum diselidiki. Di negara kita filariasis lebihbanyak
ditemukan di daerah pedesaan. Di daerah kota hanya W. bancrofti
yangtelah ditemukan, seperti di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan
dan Semarang.
FAKTOR PENYEBAB FILARIASIS
a. Lingkungan
1) Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim,
keadaan geografis, stuktur geologi dan sebagainya. Faktor
Lingkungan fisik berkaitan erat dengan kehidupan vektor
sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumbersumber penularan filariasis. Lingkungan yang cocok
untuk kehidupan nyamuk maka akan sangat potensial
untuk penularan filariasis. Lingkungan fisik ini dapat
menciptakan tempat perindukan dan beristirahatnya
nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap
pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan nyamuk.
Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan
adanya hewan reservoir (kera, lutung, dan kucing)
berpengaruh terhadap penyebaran Brugia malayi sub
periodik nokturna dan non periodik.
Lingkungan fisik ini meliputi :
1) Suhu
Suhu juga turut mempengaruhi kejadian
filariasis peningkatan temperatur berpengaruh
terhadap perkembangbiakan, pertumbuhan, umur,
dan distribusi vektor penyakit seperti vektor
malaria, demam berdarah dengue (DBD),
chikungunya, dan filariasis.
Jenis – jenis nyamuk seperti Anopheles
gambiae, A. funestus, A. darlingi, Culex
quinquefasciatus dan Aedes aegypti merupakan
salah satu vektor yang dapat menularkan penyakit
berbasis vektor dan sensitif terhadap perubahan
suhu ketika masih dalam bentuk jentik dan ketika
sudah menjadi nyamuk dewasa. Apabila suhu air
meningkat, larva akan menjadi lebih cepat menjadi
nyamuk dewasa. Namun pada iklim hangat, nyamuk
betina dewasa mencerna darah lebih cepat dan
menghisap darah lebih sering sehingga
meningkatkan intensitas penularan.
2) Curah Hujan
Perubahan pola curah hujan dapat
memicu kenaikan aliran permukaan dan
kelembaban tanah sehingga dapat memicu
peningkatan atau penurunan kepadatan vektor
penyakit serta kontak manusia dengan vektor
penyakit. Selain itu, banjir dan kekeringan juga
merupakan salah satu dampak yang disebabkan
akibat pola curah hujan yang tidak menentu. Hal itu
mengakibatkan nyamuk lebih berkembang biak dan
kondisi rumah tidak sehat.
3) Kelembaban
Kelembaban berhubungan negatif dengan
mosquito borne disease.Namun, pada hasil analisis
regresi, menunjukkan bahwa kelembaban dapat
menimbulkan efek positif terhadap beberapa spesies
Cullicidae, dimana kelembaban berpengaruh
terhadap pola aktifitas nyamuk.
4) Fisik Rumah
Keberadaan Kawat Kasa Pemasangan
kawatkasa pada ventilasi akan memicu
semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di
luar rumah dengan penghuni rumah, dimana
nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah.
berdasar penelitian pada tahun 2008,
menunjukkan bahwa responden yang tidak menutup
ventilasi rumah dengan kawat kasa memiliki
risiko 7,74 kali lebih besar menderita filariasis
daripada responden yang menutup ventilasi dengan
kawat kasa.
5) Fisik Rumah
Keberadaan Barang Bergantung Keberaaan
barang bergantung dapat dipakai nyamuk sebagai tempat istirahat. Sesuai penelitian, responden yang
memiliki barang-barang bergantung di rumahnya
memiliki risiko 6,3 kali daripada yang tidak memiliki
barang-barang bergantung di rumahnya.22 Selain
itu, pendapat lain juga menyatakan bahwa
keberadaan restingplace di dalam rumah seperti di
kolon tempat tidur, baju digantung, dan tempat
gelap dan kotor mempengeruhi kejadian filarias.
6) Fisik Rumah
Kondisi Tempat Saluran Pembuangan Air
Limbah (SPAL) Jenis dan kondisi tempat memiliki
hubungan dengan kejadian filariasis. Respoden yang
tidak memiliki saluran limbah khusus penampungan
limbah lebih berisiko dibandinagkan dengan rumah
yang memiliki penampungan limbah (tertutup di
pekarangan, terbuka di pekarangan, di luar
pekarangan, langsung ke got atau sungai).
Lingkungan rumah yang memiliki saluran terbuka
lebih berisiko terkena filariasis daripada yang
memiliki saluran tertutup. Sesuai dengan pendapat
lain, bahwa nyamuk penular filariasis berkembang
biak pada air yang berpolusi. Sehingga keadaan
saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang
terbuka dan menggenang turut mempengaruhi
kejadian filariasis.
7) Lingkungan Fisik
Keberadaan Sawah di Sekitar Rumah
Lingkungan yang tanahnya digarap dan diairi untuk
menanam padi merupakan daerah persawahan.
Lingkungan persawahan cocok sebagai reservoir
untuk nyamuk filariasis.Perkembangbiakan nyamuk
filariasis salah satunya pada air yang menggenang
dan berhubungan langsung dengan tanah.Nyamuk
dapat terbang sejauh 200 meter dari tempat
perkembangbiakan.
8) Keberadaan semak-semak
Semak–semak merupakan tempat
beristirahat bagi Cx.Quinquefasciatus jika berada di
luar rumah. Semakin dekat jarak rumah responden
dengan semaksemak, maka semakin besar peluang
responden kontak dengan Cx.Quinquefasciatus.
Menurut penelitian di Pekalongan pada tahun 2010,
keberadaan semak-semak ada hubungannya dengan
kejadian filariasis.
9) Keberadaan kandang ternak
Keberadaan kandang ternakmerupakan
tempat peristirahatan nyamuk, dimana sebaiknya
kandang ternak tidak berada di dalam rumah atau
jaraknya kurang dari 100 meter dari rumah.
Keberadaan kandang ternak di dekat rumah
memiliki dampak yang besar untuk tertular
filariasis. Kandang ternak memiliki temperatur
dan kelembaban ideal untuk nyamuk vektor
filariasis berkembangbiak, maka secara langsung
juga akan meningkatkan risiko tertular filariasis.42
berdasar penelitian di Desa Samborejo
Kabupaten Pekalongan tahun 2008, kandang ternak
di sekitar rumah berhubungan dengan kejadian
filariasis.2) Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan
filariasis misalnya, adanya tanaman air sebagai tempat
pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah endemis
Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa,
sepanjang sungai atau badan air yang ditumbuhi tanaman
air. Di negara kita ditemukan tiga jenis parasit penyebab
filariasis limfatik pada manusia yaitu,
a) Wuchereria bancrofti
Jenis cacing ini ditemukan di daerah perkotaan
seperti Jakarta, Bekasi, Pekalongan dan
sekitarnya.Yang ditularkan oleh nyamuk Culex, dapat
ditemukan di dalam darah tepi pada malam hari.
Sedangkan Whucheriria bancrofti yang ditemukan
dipedesaan dengan endemis tinggi terutama di Irian
Jaya (Papua) yang ditularkan melalui Anopheles,
Culex dan Aedes.
Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilarianya
berukuran ±250µ, cacing betina dewasa berukuran
panjang 65 – 100mm dan cacing jantan dewasa
berukuran panjang ±40mm. Di ujung daerah kepala
membesar, mulutnya berupa lubang sederhana tanpa
bibir (Oral stylet) Bentuk cacing ini gilig memanjang,
seperti benang. Jika terlalu banyak jumlahnya cacing
yang berada dipembuluh darah, maka dapat
menyumbat aliran limfa sehingga kaki menjadi
membengkak. Pada saat dewasa, cacing ini
menghasilkan telur kemudian akan menetas menjadi
anak cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria.
lalu , mikrofilaria beredar di dalam
darah.Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah
kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk
yang menggigit, maka larva ini dapat menembus
dinding usus nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada
nyamuk, kemudian setelah mengalami pertumbuhan,
larva ini akan masuk ke alat penusuk, nyamuk itu
menggigit orang, maka orang itu akan tertular
penyakit ini.
b) Brugia malayi
Cacing dewasa biasanya mirip dengan
Wuchereria bancrofti, hanya saja cacing B. malayi
lebih kecil. Panjang cacing betina beriksar 43 hingga
55 mm, sedangkan panjang cacing jantan berkisar 13
hingga 23 mm. Cacing dewasa dapat memproduksi
mikrofilaria di dalam tubuh manusia. Mikrofilaria
ini memiliki lebar berkisar 5 hingga 7 um dan
panjang berkisar 130 hingga 170 um.
Biasanya, vektor yang umum berperan dalam
penyebaran B. malayi adalah nyamuk yang berasal
dari genera Mansonia dan Aedes.Ketika nyamuk
menghisap darah manusia, nyamuk yang terinfeksi
B.malayi menyelipkan larva B.malayi ke dalam inang
manusia. Dalam tubuh manusia, larva B.malayi
berkembang menjadi cacing dewasa yang biasanya
menetap di dalam pembuluh limfa. Cacing dewasa
dapat memproduksi mikrofilaria yang dapat
menyebar hinggamencapai darah tepi. Ketika nyamuk
menggigit manusia yang telah terinfeksi, mikrofilaria
dapat terhisap bersamaan dengan darah kedalam
perut nyamuk.
Setelah masuk kedalam tubuh nyamuk,
mikrofilaria meninggalkan selubungnya. Mikrofilaria
kemudian berenang melalui dinding proventikulus
dan porsi kardiak (bagian dalam perut nyamuk),
hingga mencapai otot toraksis (otot dada). Di dalam
otot toraksis, larva filaria berkembang menjadi larva
tahap akhir.
Larva tahap akhir berenang melalui homocoel
(rongga tubuh) hingga sampai pada prosbosis
(sungut) nyamuk. Ketika tiba di dalam probosis
nyamuk, cacing ini siap menginfeksi inang
manusia yang lalu infeksi B.malayi terbatas
pada wilayah Asia.
Beberapa negara yang memiliki prevalensi
B.malayi antara lain adalah negara kita , Malaysia,
Filipina, dan India. Kehidupan cacing ini biasanya
berada pada manusi dan hewan (kera, anjing, kucing).
Terdapat dua bentuk B. malayi yang dapat dibedakan
bedasarkan periodisitas mikrofilarianya pada darah
tepi. Bentuk yang pertama, bentuk periodis nokturnal,
hanya dapat ditemukan pada darah tepi pada malam
hari.Bentuk yang kedua, bentuk subperiodis, dapat
ditemukan pada darah tepi setiap saat, hanya saja
jumlah mikrofilaria terbanyak ditemukan di malam
hari.
c) Brugia timori
Pada kedua jenis kelamin, ujung anteriornya
melebar pada kepalanya yang membulat ekornya
berbentuk seperti pita dan agak bundar pada tiap sisi
terdapat 4 papil sirkum oral yang teratur pada bagian
luar dan bagian dalam membentuk lingkaran,
esophagus panjangnya lebih kurang 1 mm dengan
ujung yang kurang jelas diantara otot dan kelenjar.
Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan
pembuluh limfe, sedangkan microfilaria di jumpai
didalam darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing
dewasa mirip bentuknya dengan W. bancrofti,
sehingga sulit dibedakan. Panjang cacing betina
Brugia malayi dapat mencapai 55 mm, dan cacing
jantan 23 cm. Brugia timori betina panjang badannya
sekitar 39 mm dan yang jantan panjangnya dapat
mencapai 23 mm.
Mikrofilaria Brugia memiliki selubung,
panjangnya dapat mencapai 260 mikron pada
B.malayi dan 310 mikron pada B.timori. Ciri khas
mikrofilaria B.malayi adalah bentuk ekornya yang
mengecil, dan memiliki dua inti terminal, sehingga
mudah dibedakan dari mikrofilaria W. bancrofti.
Brugia ada yang zoonotik, namun ada yang
hanya hidup pada manusia. Pada B.malayi bermacammacam, ada yang nocturnal periodic nocturnal
subperiodic, atau non periodic, B. timori bersifat
periodic nokturna. Brugia timori ditularkan oleh
Anopheles didalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria
yang terisap waktu menghisap darah akan melakukan
penetrasi pada dinding lambung dan berkembang
dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform
infektif, kemudian berpindah ke probosis. Saat
nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif
akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas
tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif ini akan
bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian
akan mengalami perubahan bentuk sebanyak dua kali
sebelum menjadi cacing dewasa.
3) Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah
lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi
antara manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya,
kebiasaan, dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di
kebun pada malam hari, keluar pada malam hari, dan
kebiasaan tidur berkaitan dengan intensitas kontak
vektor. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan karena biasanya laki-laki sering
kontak dengan vektor pada saat bekerja.
b. Faktor Host (Manusia)
Faktor resiko kejadian Filariasis ini dapat dipengaruhi oleh
manusia itu sendiri, meliputi :
1) Umur Penyakit Filariasis ini dapat menyerang semua
kelompok umur, dalam arti setiap orang dapat tertular
penyakit Filariasis ini apabila sering tergigit nyamuk yang
mengandung larva L3.
2) Jenis Kelamin Kejadian Filariasis pada laki – laki lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita, karena pada
biasanya laki – laki lebih sering kontak dengan nyamuk
dikarenakan pekerjaan.36 berdasar penelitian di Jati
Sampurna pada tahun 2010 menyatakan jenis kelamin
laki – laki memiliki resiko terkena Filariasis 4,7 kali
dibandingkan dengan perempuan.
3) Pengetahuan Pengetahuan ini hasil dari tahu
pasien terhadap obyek tertentu melalui pengindraan
yang dimiliki.16 menurut penelitian di Pariaman pada
tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara pengetahuan dengan kejadian Filariasis.
4) Sikap Sikap dipengaruhi oleh pengetahuan, dengan
adanya pengetahuan yang baik, maka akan terbentuknya
sikap yang baik sehingga mampu menangani kesehatan.
berdasar penelitian tahun 2013 terdapat hubungan
antara sikap dengan kejadian Filariasis.
5) Imunitas pasien yang berada diwilayah endemis
Filariasis, tidak semuanaya akan terinfeksi Filariasis.
Karena orang yang pernah terinfeksi Filariasis
sebelumnya tidak pernah terbentuk imunitas dalam
tubuhnya terhadap Filariasis ataupun orang yang tinggal
diwilayah endemis tidak memiliki imunitas alami
terhadap Filariasis.
c. Faktor Perilaku
Fator perilaku manusia merupakan hal yang dapat
mempengaruhi terpajannya manusia dengan suatu penyakit
dan vektor pembawa penyakit. Perilaku yang beresiko
terhadap kejadian Filariasis ini meliputi :
1) Kebiasaan keluar rumah pada malam hari
Kebiasaan pasien untuk keluar rumah pada
malam hari saat nyamuk Anopheles aktif menggigit akan
meningkatkan risiko kejadian filariasis. Faktor ini
terkait erat dengan spesies nyamuk yang ada. Dimana
berdasar hasil survei vektor yang dilakukan bahwa
puncak kepadatan nyamuk terjadi pada pukul 20.00 –
21.00. Sebaiknya membiasakan diri memakai baju
panjang dan celana panjang serta memakai obat nyamuk
oles, hal ini untuk meminimalkan resiko tergigit nyamuk
saat beraktivitas di luar rumah pada malam hari.
berdasar penelitian yang dilakukan di
Kelurahan Jati Sampurna pada Tahun 2010 didapatkan
hasil bahwa, responden yang memiliki kebiasaan keluar
rumah pada malam hari memiliki peluang 5,4 kali lebih
besar untuk menderita penyakit filariasis dibandingkan
dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan seperti
itu.
2) Kebiasaan menggantung pakaian
Pakaian yang digantung dapat menjadi sebagai
tempat peristirahatan nyamuk (vektor) dan menjadi
faktor yang risiko terhadap kejadian filariasis.
berdasar penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja
Puskesmas Buaran Kabupaten Pekalongan pada tahun
2011, menyatakan bahwa ada hubungan antara
kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian
Filariasis.
3) Kebiasaan memakai obat anti nyamuk
Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan
sendiri oleh masyarakat seperti berusaha menghindarkan
diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak
dengan vektor) misalnya memakai obat nyamuk
semprot atau obat nyamuk bakar, mengoles kulit dengan
obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas
nyamuk. berdasar penelitian di Samborejo Kabupaten
Pekalongan 2008, kebiasaan memakai obat nyamuk
berpengaruh terhadap kejadian filariasis.Pemakaian obat
nyamuk bertujuan untuk mencegah gigitan nyamuk.
4) Pemakaian kelambu saat tidur
Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna
untuk mencegah kontak dengan nyamuk. Jenis kelambu
yang dipakai pada saat tidur tidak boleh sobek, namun
penggunaan kelambu tidak akan berarti kalau tidak
diikuti dengan pemakaian yang rutin, karena pada
biasanya aktivitas nyamuk menggigit tertinggi pada
malam hari. berdasar penelitian di Kabupaten
Pekalongan pada tahun 2009, didapatkan hasil bahwa
kejadian filariasis berhubungan dengan kebiasaan
memakai kelambu pada saat tidur.
5) Perilaku minum obat
Salah satu praktik pencegahan dan pemutusan
mata rantai penularan filariasis adalah dengan pemberian
obat filariasis (POMP) setahun sekali selama lima tahun
berturut-turut. Apabila suatu daerah sebagian besar
terkena penyakit ini, maka pengobatan massal dengan Diethil Carbamizin Citrat (DEC) dapat diberikan setahun
sekali dan sebaiknya dilakukan paling sedikit selama lima
tahun.
d. Faktor Agent (Pembawa Penyakit)
Keberadaan penderita Filariasis merupakan faktor
agent penularan Filariasis. Pada dasarnya pasien dapat
tertular penyakit Filariasis apabila tergigit oleh nyamuk yang
mengandung larva L3. Nyamuk yang membawa microfilaria
dari penderita yang menunjukan gejala klinis maupun tidak
menunjukan gejala.
Nyamuk Anophelini dan Non Anophelini dapat
berperan sebagai vektor filariasis limfatik pada manusia dan
binatang. Parasit ini tersebar di seluruh kepulauan di
negara kita yang termasuk ke dalam genus Aedes, Anopheles,
Culex, Mansonia, Coquilettidia dan Armigeres. Berikut vektor
nyamuk Filariasis:
1) Nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus
Nyamuk ini aktif pada pagi hari hingga siang,
penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina, karena
hanya nyamuk betina yang menghisap darah untuk
mendapatkan asupan protein yang diperlukan untuk
produksi telur.Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah
karena sudah mendapatkan energi dari tumbuhan.
Nyamuk ini suka berda di area yang gelap dan benda
berwarna hitam ataupun merah. Nyamuk ini pada
biasanya berada di lingkungan perumahan yang terdapat
banyak genangan air dan ada juga yang berada di daerah
hutan (A.albopictus).
2) Nyamuk Anopheles
Nyamuk ini suka menggigit dalam posisi
menungging atau posisi badan, mulut yang dibenamkan
kemanusia dalam keadaan segaris. Nymuk ini berwarna
hitam dan terdapat belang putih pada seluruh tubuh,
berkembangbiak di tempat penampungan air dan barang
– barang yang memungkinkan air tergenang seperti bak
mandi, drum, vas bunga, dan ban bekas. Nyamuk ini tidak
dapat berkembangbiak diselokan, atau kolam yang airnya
langsung berhubungan dengan tanah, air mengalir yang
ditumbuhi tanaman dan nyamuk ini biasanya menggigit
pada siang atau sore hari, akan namun untuk menularkan
penyakit filaria nyamuk ini menggigit pada malam hari.
3) Nyamuk Culex
Nyamuk Culex Sp. adalah vektor utama penularan
filariasis. Penularan penyakit filariasis sangat dipengaruhi
oleh bagaimana kondisi kekebalan tubuh, berapa kali
nyamuk menggigit dan berapa lama nyamuk yang
mengandung cacing filaria hidup. Jika kondisi kekebalan
tubuh tinggi, maka sangat membantu dalam membunuh
cacing filaria di dalam tubuh.Untuk terkena Penyakit
filariasis, paling tidak mengalami gigitan nyamuk
sebanyak 1000 gigitan. Selain itu, waktu yang dibutuhkan
Cacing filaria untuk berkembang di dalam tubuh nyamuk
adalah selama 10 hari. Dengan demikian, jika nyamuk
tidak bisa hidup selama itu maka cacing filaria akan mati
juga. Nyamuk culex ini biasanya berkembang biak di
daerah sekitar kandang ternak babi, sapi, air tanah, rawa –
rawa dan sekitar sawah atau parit. Nyamuk culex fatigan
ini dapat menyebarkan cacing yang berjenis Wuchereria
bancrifti, dan nyamuk ini sering dijumpai di rumah –
rumah.
4) Nyamuk Mansonia
Nyamuk Mansonia ini biasanya berada disekitar
tanaman air, yaitu seperti enceng gondok dan cacing yang
disebarkan berjenis Brugia malayi. Gambar 2.8 nyamuk
mansonia26 Spesies Anopheles, Culex, dan Aedes telah
dilaporkan menjadi vektor filariasis bancrofti di
perkotaan dan pedesaan. Vektor utama filariasis di
perkotaan adalah Culex quinguefasciatus, sedangkan di
pedesaan filariasis bancrofti dapat ditularkan oleh
berbagai spesies Anopheles seperti An.anconitus,
An.bancrofti, An.farauti, An.punctulatus, dan An.subpictus,
atau dapat pula ditularkan oleh nyamuk Aedes kochi,
Cx.bitaeniorrhynchus, Cx.annulirostris danArmigeres
obsturbans. Vektor utama Filariasis malayi adalah
Anopheles, Mansonia dan Coquilettidia.
PATOGENESIS FILARIASIS
Perkembangan penyakit filariasis dapat dipengaruhi oleh
faktor mendapat gigitan nyamuk yang sering, kerentanan individu
terhadap parasit, banyak larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan
adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Pada dasarnya
perkembangan klinis filariasis disebabkan oleh cacing filaria dewasa
yang tinggal disaluran limfe, sehingga menimbulkan gejala pelebaran
(dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi), sehingga
menjadi gangguan fungsi limfatik.
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu
adanya sumber penular seperti manusia atau reservoir yang
mengandung mikrofilaria dalam darahnya, adanya vektor penularan
filariasis, dan manusia yang rentan filariasis.
pasien dapat tertular filariasis apabila telah mendapatkan
gigitan nyamuk infektif yang mengandung larva infektif (larva stadium
3 – L3). Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk
melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem
limfe. Penularan filaria tidak mudah dari satu orang ke orang lain pada
suatu wilayah tertentu, bahwa orang yang menderita filaria telah
digigit nyamuk ribuan kali.
Larva L3 B.malayi dan B.timori akan menjadi cacing dewasa
dalam kurun waktu lebih dari 3,5 bulan, sedangkan W.bancrofti
memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Selain sulitnya penularan
dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk
mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung
mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap microfilaria
terlalu banyak dapat memicu kematian, tapi jika mikrofilaria
yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah stadium larva
L3 yang akan ditularkan.
Kepadatan vektor, suhu, dan kelembaban sangat berpengaruh
terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh
terhadap umur nyamuk, sehingga microfilaria yang telah ada dalam
tubuh nyamuk tidak cukup waktu untuk tumbuh menjadi larva infektif
L3. Masa inkubasi ekstrinsik untuk W.bancrofti antara 10-14 hari,
sedangkan B.malayi dan B.timori antara 8-10 hari.
Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung (yang
didapatkannya ketika menggigit penderita filariasis), akan melepaskan
selubung tubuhnya yang kemudian bergerak menembus perut tengah
lalu berpindah tempat menuju otot dada nyamuk. Larva ini disebut
larva stadium I (L1).L1 kemudian berkembang hingga menjadi L3 yang
membutuhkan waktu 12–14 hari.L3 kemudian bergerak menuju
probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang mengandung L3 ini
menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria dalam tubuh
orang tersebut. Setelah tertular L3, pada tahap lalu di dalam
tubuh manusia, L3 memasuki pembuluh limfe dimana L3 akan tumbuh
menjadi cacing dewasa, dan berkembangbiak menghasilkan
mikrofilaria baru sehingga bertambah banyak. Kumpulan cacing filaria
dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Aliran
sekresi kelenjar limfe menjadi terhambat dan menumpuk di suatu
lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe terutama pada
daerah kaki, lengan maupun alat kelamin yang biasanya disertai infeksi
sekunder dengan fungi dan bakteri karena kurang terawatnya bagian
lipatan-lipatan kulit yang mengalami pembengkakan tersebut.
GEJALA KLINIS FILARIASIS
Masa berkembangnya larva infektif di dalam tubuh manusia
sampai terjadinya gejala klinis dalam waktu antara 8 – 12 bulan.
Setelah orang terhisap nyamuk infeksius yang membawa mikrofilaria
hisapan nyamuk pertama dari vektor.
Gejala klinis filariasis disebabkan oleh infeksi W.barcrofti,
B.malayi, dan B timori adalah sama, namun gejala klinis akut tampak
lebih jelas dan berat oleh B.malayi dan B.timori. Infeksi W.bancrofti
dapat memicu kelainan saluran pada saluran kemih dan alat
kelamin, namun infeksi oleh B.malayi dan B.timori tidak menimbukan
kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin.
Terdapat gejala klinis akut dan klinis kronis maupun
mikrofilaria tanpa gejala pada penyakit filariasis:
a. Mikrofilaremia tanpa gejala pasien yang akan mengalami
infeksi penyakit Filariasis tidak akan langsung menunjukan
gejala, walaupun tidak menunjukan gejala pada fase inilah
sebenarnya telah terjadi kerusakan system limfa dan ginjal dan
terjadilah perubahan sistem kekebalan tubuh pada manusia.
b. Gejala klinis akut
1) Adenolimfangitis Akut Demam berulang-ulang selama 3–5
hari, demam dapat hilang bila beristirahat dan muncul
kembali setelah bekerja berat, pembengkakan getah bening
limfadenopati, bagian yang terinfeksi akan merasakan,
kemerahan dan bengkak dikarenakan adanya penumpukan
cairan.
2) Limfangitis Filaria Akut Gejala ini tidak disertai dengan
terjadinya demam, namun pada gejala ini akan muncul
benjolan kecil pada bagian tubuh seperti, pada sistem
kelenjar getah bening dan skortum.
c. Gejala klinis kronik
Gejala ini berupa pembesaran yang sangat jelas dilihat
dengan kasap mata yaitu pembesaran menetap pada tungkai,
lengan, buah dada, dan buah zakar.Gejala kronis terdiri dari
limfa edema, limfa scortum, kiluria, dan hidrokel.Limfa scortum
adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scortum,
kadang pada kulit penis, sehingga mudah pecah dan cairan limfe
mengalir keluar membasahi pakaian. Kiluria adalah kebocoran
atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah diginjal
(pelvis renalis) sehingga cairan limfe dan darah masuk kedalam
saluran kemih dan pelebaran kantung buah zakar karena
terkumpulya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis.
pasien yang menderita filariasis dapat didiagnosis
secara klinis dengan cara sebagai berikut. Deteksi parasit yaitu
menemukan mikrofilaria di dalam darah pada pemeriksaan
sediaan darah tebal. Pengambilan darah dilakukan malam hari
karena mikrofilaria aktif malam hari dan banyak beredar dalam
sistem pembuluh darah. Setelah membuat sedian darah maka
dilakukan pemeriksaan sedian tersebut. Pemeriksaan dengan
ultrasonografi (USG) pada skrotum.
Diagnosis dibuat berdasar gejala klinis dan dipastikan
dengan pemeriksaan laboraturium:
a. Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam
darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada
pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi,
membran filtrasi dan tes provokatif DEC. Pengambilan
darah dilakukan malam hari karena periodisitas
mikroilaria biasanya nokturna.Sedangkan diferensiasi
spesiaes dan stadium filaria dengan memakai
pelacak DNA yang spesifik dan antibodi monoklonal
untuk mengidentivikasi larva filaria dalam tubuh
manusia dan vektor.
b. Radiodiagnosis
Pemeriksaa dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum
dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan
memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak.
c. Diagnosis Imunologi
Diagnosis ini memakai teknik ELISA dan
immunochromatographictest (ICT). Kedua teknik ini
pada dasarnya memakai antibodi monoklona yang
spesifik untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam
sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya
infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan
dalam darah.
UPAYA PENCEGAHAN, PENGOBATAN, DAN REHABILITASI
FILARIASIS
a. Upaya Pencegahan Filariasis
Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan
menghindari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan
vektor) misalnya memakai kelambu sewaktu tidur,
menutup ventilasi dengan kasa nyamuk, memakai obat
nyamuk, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk,
memakai pakaian panjang menutupi kulit, tidak memakai
pakaian berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk,
membersihkan got/selokan, memelihara ikan pada kolam, dan
memberikan obat anti filariasis (DEC dan Albendazol) secara
berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah
endemis. Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling
efektif tentu saja dengan memberantas nyamuk itu sendiri
dengan cara 3M.
b. Upaya Pengobatan Filariasis
Tujuan utama dalam pengobatan penyakit Filariasis
ini adalah untuk membasmi parasit atau larva yang
berkembang di dalam tubuh penderita, sehingga tingkat
penularannya dapat dikurangi. Pengobatan filariasis harus
dilakukan secara masal dan pada daerah endemis dengan
memakai obat Diethylcarbamazine Citrate (DEC).DEC
dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada
pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC adalah satusatunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk
filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis yang dianjurkan 6
mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk
filariasis akibat Brugia malayi dan Brugia timori, dosis yang
dianjurkan 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek
samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, sakit kepala,
mual hingga muntah.
Pada pengobatan filariasis yang disebabkan oleh
Brugia malayi dan Brugia timori, efek samping yang
ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya
dianjurkan dalam dosis rendah, namun pengobatan dilakukan
dalam waktu yang lebih lama. Pengobatan kombinasi dapat
juga dilakukan dengan dosis tunggal DEC dan Albendazol
400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun, pengobatan
kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC. Obat lain yang
juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik
semisintetik dari golongan makrolid yang memiliki
aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini
hanya membunuh microfilaria efek samping yang ditimbulkan
lebih ringan dibanding DEC. Terapi suportif berupa pemijatan
juga dapat dilakukan di samping pemberian DEC dan
antibiotika, khususnya pada kasus yang kronis. Pada kasuskasus tertentu dapat juga dilakukan pembedahan.
c. Upaya Rehabilitasi Filariasis
Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan
dapat sembuh total. Namun, kondisi mereka tidak bisa pulih
seperti sebelumnya artinya, beberapa bagian tubuh yang
membesar tidak bisa kembali normal seperti sedia kala.
Rehabilitasi tubuh yang membesar ini dapat dilakukan
dengan jalan operasi.
DAMPAK PENYAKIT FILARIASIS
Penyakit Filariasis stadium lanjut akan memicu cacat
fisik permanen, cacat ini mengacu pada penurunan nilai dan
pembatasan aktivitas dan akan berdampak pada
a. Dampak Ekonomi
Seorang yang menderita penyakit Filariasis ini dalam
jangka waktu yang lama dia tidak akan bisa bekerja seperti
biasanya. Jika mereka memaksa untuk bekerja keras maka
penderita akan mengalami keletihan yang luar biasa sehingga
mengharuskan penderita untuk beristirahat terlalu cukup
lama sebelum kembali untuk bekerja. Penderita ini akan
mengalami kerugian ekonomi setiap tahun akibat kunjungan
ke fasilitas kesehatan yang berulang – ulang, kehilangan
produktivitas untuk bekerja dan kecapekan terhadap keluarga
karena harus merawat penderita Filariasis tersebut.
b. Dampak Sosial
Penyakit Filariasis ini memberikan beban yang berat
pada penderita, seperti komplikasi kronis sering dianggap
memalukan dan menghalangi pasien dari peran sosial di
masyarakat. Kerusakan organ genital pada laki – laki
merupakan kecacatan yang berat sehingga memicu
keterbatasan fisik. Bagi wanita rasa malu dan tabu berkaitan
dengan lymphoedema. Kerusakan pada tungkai bawah dan
bagian genital dapat menimbulkan stigma yang negatif.Selain
itu kerusakan pada organ seksual dapat menambah masalah
dalam kehidupan perkawinan. Sehingga penderita ini rentan
terhadap depresi dan kesehatan mental yang buruk.
3. HELMINTHIASIS
Helminthiasis , juga dikenal sebagai infeksi cacing , adalah
penyakit makroparasit pada manusia dan hewan lain di mana bagian
tubuh terinfeksi cacing parasit , yang disebut cacing . Ada banyak
spesies parasit ini, yang secara luas diklasifikasikan menjadi cacing pita
, cacing , dan cacing gelang . Mereka sering hidup di saluran
pencernaan inang mereka, namun mereka juga dapat menggali ke dalam
organ lain, di mana mereka memicu kerusakan fisiologis.
Soil-transmitted helminths adalah sekelompok cacing kelas
Nematoda yang memicu infeksi pada manusia akibat tertelannya
telur ataupun larva cacing itu sendiri yang berkembang di tanah yang
lembab yang terdapat di negara yang beriklim tropis ataupun
subtropis. Infeksi STH yang banyak ditemukan adalah Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang. Lebih dari 800
juta anak di dunia terinfeksi oleh Trichuris trichiura.
World Health Organization memperkirakan bahwa 27.000 anak
per tahun meninggal karena terjadinya infeksi STH. Lima belas juta
anak usia kurang dari 15 tahun berisiko mengalami gangguan
pertumbuhan, penurunan kemampuan fisik, atau keduanya sebagai
akibat terjadinya infeksi STH. Satu juta lima ratus ribu anak tidak akan
mengalami perbaikan gangguan pertumbuhan meskipun diberikan
terapi infeksi STH terutama Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura. Anak usia sekolah memiliki prevalens infeksi STH berat dan
kronis, yang akan memengaruhi kesehatan anak, nutrisi,
perkembangan kognitif, dan prestasi belajar.
negara kita merupakan negara yang luas di Asia Tenggara terdiri
dari beberapa kepulauan, sebagai negara berkembang yang berlokasi
di daerah tropis, banyak penyakit infeksi dan tropis menduduki 10
peringkat penyakit terbanyak di negara kita . Prevalens infeksi cacing
STH di Bali masih tinggi karena Bali dengan kisaran suhu 18,7oC
sampai 28oC serta musim panas yang lebih pendek (lima bulan)
sehingga optimal untuk perkembangan telur cacing STH menjadi
infektif di tanah.
Helminthiasis telah ditemukan mengakibatkan hasil kelahiran
yang buruk, perkembangan kognitif yang buruk, kinerja sekolah dan
pekerjaan yang buruk, perkembangan sosial ekonomi yang buruk, dan
kemiskinan. Penyakit kronis, malnutrisi , dan anemia adalah contoh
lebih lanjut dari efek sekunder. Helminthiases yang ditularkan melalui
tanah bertanggung jawab atas infeksi parasit pada seperempat
populasi manusia di seluruh dunia. Salah satu contoh helminthiases
yang ditularkan melalui tanah adalah ascariasis .
PENYEBAB HELMINTHIASIS
Infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura lebih sering
terjadi pada daerah pedesaan dan prevalens yang lebih tinggi dapat
dihubungkan dengan kepadatan penduduk, tidak tersedianya air
bersih, dan sanitasi yang buruk. Prevalens tertinggi infeksi Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura adalah di daerah dataran tinggi
dengan curah hujan yang tinggi.
Infeksi cacing STH pada anak laki-laki dan perempuan
cenderung sama, sedangkan usia yang berhubungan dengan tingginya
prevalens Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura adalah usia
delapan sampai 12 tahun. Anak kelompok usia ini merupakan
kelompok anak yang paling aktif serta kurang memperhatikan
kesehatan dan kebersihan diri (Widjana dan Sutisna, 2000). Hal ini
juga serupa dengan hasil penelitian Alelign dkk. (2015) dengan
prevalens infeksi STH paling tinggi pada anak sekolah dasar (SD) kelas
4-6. Infeksi cacing Trichuris trichiura sering juga disertai infeksi cacing
lainnya yang tersering adalah Ascaris lumbrocoides.
Ukuran cacing STH bervariasi dan cacing betina berukuran lebih
besar dibandingkan jantan. Setiap cacing betina dewasa, setelah
pembuahan, akan menghasilkan ribuan telur cacing per hari, yang
kemudian akan ditemukan pada tinja. Manusia merupakan satusatunya pejamu utama untuk STH, meskipun pada beberapa kasus
ditemukan pada babi yang terdapat pada infeksi Ascaris lumbricoides.
Cacing betina panjangnya sekitar lima cm dan yang jantan sekitar
empat cm. Telur cacing Trichuris trichiura berukuran 50-54 x 32
mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penojolan yang
jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningkuningan dan bagian di dalamnya jernih.
Trichuris trichiura memproduksi telur yang dikeluarkan ke
lingkungan luar melalui tinja. Penularan Trichuris trichiura terjadi
secara pasif dengan tertelannya telur oleh seorang anak. Stadium
pertama larva Trichuris trichiura yang berasal dari telur saat masuk ke
dalam usus halus kemudian larva akan mengalami beberapa tahapan
sebelum pematangan. Stadium dewasa biasanya akan berkembang
dalam 30-90 hari infeksi dan terutama akan tinggal di caecum, bagian
anterior dari cacing akan bersembunyi pada epitel mukosa.
Adapun perkiraan usia hidup Trichuris trichiura dewasa adalah
satu sampai dua tahun, dan cacing betina akan menghasilkan telur
sebanyak 2000-3000 telur per hari. Pada infeksi berat, cacing dewasa
bisa terdapat di sepanjang saluran pencernaan mulai dari caecum
hingga rectum. Cacing dewasa dapat merusak bentuk normal mukosa
kolon yang dapat memicu kehilangan darah jika terdapat
perlekatan parasit dan ulserasi.
Siklus hidup Ascaris : Cacing dewasa di dalam lumen usus
halus (1). Betina menghasilkan telur (sekitar 200.000 per hari) yang
dikeluarkan bersama tinja (2). Telur yang tidak dibuahi tidak
berbahaya, namun telur yang dibuahi menjadi infektif setelah 18 hari
sampai beberapa minggu (3). Telur infektif dicerna (4), masuk ke usus
(5), berkembang menjadi larva di usus, dan menembus pembuluh
darah untuk masuk ke paru-paru, di mana mereka berkembang lebih
jauh (6), setelah 10 hingga 14 hari, menembus dinding alveolar, naik
pohon bronkial ke tenggorokan, dan ditelan kembali (7). Setelah
mencapai usus halus, mereka berkembang menjadi cacing dewasa
(8). Diperlukan waktu 2 hingga 3 bulan untuk satu siklus
lengkap. Cacing dewasa bisa hidup 1 sampai 2 tahun.
Trichosomoides , Ascaris lumbricoides dengan
penetasan larva, sampel cacing gelang
dewasa, Hymenolepis nana , Schistosoma
mansoni dan Toxocara canis dengan penetasan larva
Dari semua spesies cacing yang diketahui, cacing yang paling
penting dalam memahami jalur penularannya, pengendaliannya,
inaktivasi dan pencacahannya dalam sampel kotoran manusia dari
feses kering, lumpur feses , air limbah , dan lumpur limbah adalah:
a. Cacing yang ditularkan melalui tanah, termasuk Ascaris
lumbricoides (paling umum di seluruh dunia), Trichuris
trichiura , Necator americanus , Strongyloides stercoralis dan
Ancylostoma duodenale
b. Hymenolepis nana
c. Taenia saginata
d. Enterobius
e. Fasciola hepatica
f. Schistosoma mansoni
g. Toxocara canis
h. Toxocara cati
ORANG YANG BERISIKO TINGGI HELMINTHIASIS
Risiko terjadinya infeksi Trichuris trichiura tidak hanya
dipengaruhi oleh satu faktor namun beberapa faktor yang terjadi
bersamaan. Faktor risiko ini antara lain :
a. Usia (WHO, 2016)
Kelompok usia yang berisiko tinggi terjadinya infeksi cacing
antara lain :
1) Anak usia prasekolah
2) Anak usia sekolah
3) Wanita usia subur
4) Orang dewasa yang pekerjaannya berisiko tinggi seperti
buruh tambang dan buruh perkebunan teh.
b. Tingkah laku
1) Kebiasaan buang air besar di lahan terbuka. Dalam
penelitian didapatkan bahwa jika sebagian kecil dari
populasi memiliki kebiasaan buang air besar di toilet maka
infeksi cacing akan berkurang.
2) memakai alas kaki.
c. Lingkungan
1) Area pedesaan memiliki prevalens infeksi STH yang lebih
tinggi, selain itu daerah padat penduduk, kurangnya
persedian air, dan sanitasi yang tidak adekuat. berdasar
penelitian yang dilakukan di Mesir didapatkan anak yang
tinggal di desa yang dekat dengan sungai atau padang pasir
memiliki risiko yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan anak yang ditinggal di perkotaan.
2) Lingkungan dengan kehangatan dan kelembaban baik
merupakan kunci menurukan kejadian infestasi STH.
3) Tempat tinggal padat yaitu jumlah orang tinggal dalam satu
rumah lebih dari tiga orang akan meningkatkan kejadian
infeksi STH.
GEJALA KLINIS HELMINTHIASIS
Kebanyakan individu yang terinfeksi Trichuris trichiura tidak
menunjukkan gejala namun terdapat juga sejumlah pasien yang
terinfeksi Trichuris trichiura menunjukkan gejala yang bermakna,
terutama pada anak dengan infeksi berat yang berkepanjangan akan
mengalami sindrom disentri. biasanya infeksi Trichuris trichiura
derajat sedang dan berat yang akan menunjukkan gejala yang jelas.
Morbiditas infeksi Trichuris trichiura disebabkan oleh kurang gizi,
anemia defisiensi besi, gangguan penyerapan, obstruksi saluran
pencernaan, disentri kronis, prolaps rektum, serta komplikasi pada
saluran pernapasan.
Pada infeksi Trichuris trichiura derajat ringan hanya sedikit
terjadi kerusakan mukosa usus. Manifestasi klinis yang timbul pada
infeksi Trichuris trichiura derajat ringan adalah anak menjadi gugup,
susah tidur, nafsu makan menurun, dapat dijumpai nyeri ulu hati atau
nyeri perut biasanya , muntah, konstipasi, dan perut kembung.
Pada infeksi Trichuris trichiura derajat berat dapat menunjukkan
gejala mencret yang mengandung darah, lendir, nyeri perut, tenesmus
(nyeri saat buang air besar), anoreksia, anemia, dan penurunan berat
badan. Pada infeksi Trichuris trichiura yang sangat berat dapat terjadi
prolaps rektum.
Infeksi Trichuris trichiura juga dapat memicu kolitis
kronis yang akan menimbulkan banyak gejala klinis seperti penyakit
Crohn dan kolitis ulseratif. Pada anak dengan infeksi Trichuris
trichiura kronis yang mengalami gangguan pertumbuhan memiliki
gambaran yang sama dengan anak dengan penyebab lain penyakit
inflamasi pada usus besar. Pada infeksi Trichuris trichiura derajat
berat, cacing akan menyebar ke proksimal dan memicu ileitis.
Klasifikasi derajat infeksi Trichuris trichiura berdasar pedoman
WHO :
a. Infeksi derajat ringan : 1-999 telur cacing per gram
b. Infeksi derajat sedang : 1000-9999 telur cacing per gram
c. Infeksi derajat berat : ≥ 10.000 telur cacing per gram
Derajat infeksi merupakan kunci terjadinya morbiditas infeksi
Trichuris trichiura meskipun infeksi derajat ringan sering
asimptomatik namun juga dapat memicu morbiditas termasuk
defisiensi nutrisi baik mikronutrien maupun makronutrien, anemia
defisiensi besi, dan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan.
Diagnosis yang akurat sangat penting untuk mengidentifikasi
individu yang terinfeksi Trichuris trichiura agar dapat menentukan
obat yang tepat dan untuk mengontrol dan mengeliminasi infeksi
Trichuris trichiura. Pendekatan diagnostik yang biasa dipakai saat
ini pada beberapa penelitian epidemiologi adalah deteksi kopromikroskopik telur cacing dengan teknik Kato-Katz. Kato-Katz multipel
hapusan tebal dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas diagnosis.
Cara pemeriksaan lain adalah flotation merupakan cara baru
dengan teknik translation yaitu metode FLOTAC. Metode FLOTAC ini
membutuhkan sentrifus yang mungkin saja tidak terdapat pada semua
laboratorium dan terdiri dari beberapa tahap prosedur. Belakangan ini
juga berkembang metode FLOTACmini. Metode FLOTAC-mini ini
memang lebih sensitif untuk mendiagnosis infeksi STH namun metode
ini masih belum banyak tersedia di laboratorium.
Tanda dan gejala helminthiasis bergantung pada sejumlah
faktor termasuk: tempat infestasi di dalam tubuh; jenis cacing yang
terlibat; jumlah cacing dan volumenya; jenis kerusakan yang
disebabkan oleh cacing yang menginfestasi; dan, respon imunologi
tubuh. Jika beban parasit di dalam tubuh ringan, mungkin tidak ada
gejala.
PENANGGULANGAN HELMINTHIASIS
Untuk mengatasi infeksi STH maka terdapat tiga intervensi utama :
a. Perbaikan sanitasi
Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan transmisi
dengan cara mengurangi kontaminasi melalui tanah dan air.
Sanitasi merupakan intervensi definitif untuk mengatasi infeksi
STH, namun cara ini akan efektif jika mencakup populasi yang
besar oleh karena itu membutuhkan biaya yang besar.
Penerapan strategi ini akan sulit pada daerah dengan sumber
daya manusia dan dan yang terbatas. Pada kajian sistematis dan
meta-analisis menunjukkan intervensi terhadap air, sanitasi, dan
higienis merupakan hal yang sangat penting untuk mengontrol
infeksi STH.
b. Edukasi kesehatan
Bertujuan untuk mengurangi transmisi dan infeksi berulang
dengan cara memberikan motivasi akan perilaku hidup sehat.
Edukasi yang diberikan adalah untuk mengurangi kontaminasi
pada tanah dan air melalui penggunaan jamban saat buang air
besar. Tanpa adanya perbaikan perilaku buang air besar,
pemberian obat STH secara periodik pun tidak akan tercapai
eradikasi infeksi STH. Edukasi kesehatan dapat diberikan secara
sederhana dan lebih ekonomis serta tidak ada kontraindikasi
atau risiko terhadap tindakan edukasi ini.
PENGOBATAN HELMINTHIASIS
a. Terapi obat anti-STH
Tujuan pemberian obat anti-STH adalah untuk
mengurangi morbiditas. Tujuan utamanya adalah untuk
menurunkan angka morbiditas infeksi STH pada anak sekolah
dengan cara menurunkan derajat keparahan infeksi derajat
sedang dan berat hingga dibawah 1%. Terapi ini bertujuan
untuk mengurangi penularan dengan cara pengurangan jumlah
cacing dan pemecahan telur. Pemberian obat anti STH pada
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, dengan puncak
keparahannya adalah anak usia sekolah, diberikan secara
periodik dan lebih sering sehingga dapat mengurangi penularan
lebih lanjut .
Pengobatan secara massal atau yang disebut sebagai
kemoterapi pencegahan oleh WHO merupakan pemberian obat
anti STH ke populasi yang berisiko tinggi mengalami morbiditas
dan merupakan landasan untuk mengatasi masalah global
infeksi STH dan penyakit tropis lainnya. Sasaran utama
pengobatan secara massal adalah mengurangi derajat
keparahan infeksi STH dengan cara menghilangkan infeksi
derajat sedang dan berat pada anak usia sekolah, ibu usia subur,
dan kelompok