epidemi menular 2

pengobatan yang direkomendasikan adalah selama 5 hari.
Oseltamivir (Taminflu) dan Zanamivir (Relenza) bekerja dengan 
menghambat neuraminidase, suatu glikoprotein pada permukaan virus 
influenza yang merusak reseptor sel terinfeksi untuk hemagglutinin 
virus. Dengan menghambat neuraminidase virus, pelepasan virus dari 
sel terinfeksi dan penyebaran virus akan berkurang. Oseltamivir dan 
Zanamivir merupakan terapi yang efektif untuk influenzavirus A atau B 
dan diminum dalam 48 jam sejak onset gejala.
4. EBOLA
Infeksi Ebola terjadi melalui mukosa, luka, kulit atau tusukan 
jarum yang telah terkontaminasi. Sebagian besar penularan ke manusia 
diakibatkan oleh kontak dengan hewan atau manusia dan bangkai 
hewan yang terinfeksi. Virus Ebola adalah salah satu virus yang paling 
virulen pada manusia dan dapat membunuh hingga 70-80% dengan 
kurun waktu 5-7 hari. Wabah Ebola di Afrika, menunjukkan bahwa 
penularan dari orang ke orang dapat terjadi melalui kontak dengan 
cairan tubuh yang terinfeksi seperti keringat, feses, muntahan, air 
mata, air susu ibu (ASI), air mani, urin dan darah, khususnya pada 
tahap akhir infeksi ketika jumlah virus mencapai puncak.
Dalam darah, biasanya virus menghilang setelah melewati masa 
akut, namun pada beberapa bentuk cairan tubuh, virus Ebola masih 
dapat diekskresikan. Penularan secara seksual sangat mungkin terjadi 
karena virus dapat diisolasi dari cairan vagina atau air mani penderita 
yang telah dinyatakan sembuh. Proses kesembuhan merupakan proses 
yang lama karena virus dapat diisolasi dari pasien sekitar 82 hari 
setelah timbulnya penyakit.
Penularan melalui jarum suntik telah dilaporkan saat wabah 
Ebola yang terjadi pada fasilitas pelayanan kesehatan, karena 
buruknya teknik keperawatan dan penggunaan kembali jarum atau 
alat medis lainnya yang tidak didesinfeksi.
Sampai saat ini belum ada virus Ebola yang dilaporkan baik yang 
menyerang manusia ataupun hewan reservoir. Namun, untuk 
mengantisipasi penyebaran virus Ebola dari negara lain seperti yang 
ditemukan di Filipina, negara kita  melakukan deteksi, diagnosis, dan 
identifikasi terhadap hewan reservoir virus Ebola seperti kelelawar 
dan babi. Hal ini dilakukan karena negara kita  memiliki  iklim yang 
sama dengan Filipina yaitu iklim tropis.
PENYEBAB EBOLA 
Virus Filo terdiri dari virus Ebola (EBOV), virus Marburg 
(MARV) yang termasuk dalam Filoviridae orde Mononegavirales. Virus 
ini merupakan kelompok virus RNA beruntai negatif dan tidak 
bersegmen (Mayo & Pringle 1998). Virus Ebola saat ini terdiri dari lima 
spesies yaitu, Zaire ebolavirus (ZEBOV), Sudan ebolavirus (SEBOV), Tai 
Forest ebolavirus, Reston ebolavirus (REBOV).
Spesies MARV hanya memiliki  satu spesies, yaitu Lake 
Victoria Marburgvirus (ICTV 2009). Masing-masing spesies EBOV tidak 
hanya menunjukkan perbedaan molekuler yang signifikan, namun  juga 
bervariasi dalam hal virulensi dan patogenisitasnya. ZEBOV adalah 
Spesies yang paling patogen pada manusia dengan angka kematian 
sekitar 80%, diikuti oleh SEBOV dengan tingkat kematian kasus sekitar 
50% dan Bundibugyo ebolavirus dengan tingkat kematian sekitar 30%. 
Sampai saat ini, terdapat dua kasus yang dilaporkan pada manusia tapi 
tidak fatal yaitu yang disebabkan oleh Tai Forest ebola virus dan 
beberapa kasus manusia tanpa menunjukkan gejala klinis pada infeksi 
REBOV. Adapun Pemeriksaan elektron mikroskopis pada penyakit 
Ebola terdapat :
a. Virion ebov dan marv berbentuk pleomorphic, tampak dalam 
bentuk filamen panjang atau lebih pendek yang dapat berbentuk 
u, berbentuk 6 atau konfigurasi melingkar. Virus ebola 
memiliki  diameter 80 nm dan panjang hingga 14.000 nm, 
dengan panjang rata-rata virion sekitar 1.200 nm untuk ebov dan 
860 nm untuk marv
b. Genom ebov terdiri dari molekul linier rna beruntai tunggal 
dengan orientasi negatif yang mengkode tujuh protein struktural 
yaitu nukleoprotein (np), virion struktural protein (vp) vp35, 
vp40, glikoprotein (gp), vp30, vp24 dan rna-dependent rna 
polimerase (l).
Pada infeksi Ebola, protein virus dalam interaksi virus dengan 
inangnya. Pada manusia, protein NP dan VP40 memperoleh respon 
Imunoglobulin G (IgG) yang kuat. Protein GP EBOV diperkirakan 
berfungsi untuk menginduksi gangguan terhadap sel endotel dan 
sitotoksisitas dalam pembuluh darah dan sebagai perantara masuknya 
virus ke dalam sel inang. Beberapa penelitian subtipe Filovirus 
memiliki patogenisitas yang berbeda, penyebab rata-rata kematian 
berbeda dengan tingkat keparahan yang berbeda dan juga di pengaruhi 
oleh efek hemologi yang bervariasi.Dari perbedaan genetik diantara 
subtipe, patogenesitas dari strain Sudan dan strain Reston relatif lebih 
rendah dibandingkan dengan strain Zaire.
Sel Taget Infeksi Virus pada Filoviruses memiliki sel tropisme 
yang luas dalam spesies inang yang rentan. sel target yang mendukung 
replikasi virus adalah monosit, makrofag, sel dendritik (DC), hepatosit, 
sel korteks adrenal, fibroblas dan sel endotel. Peristiwa awal selama 
infeksi cenderung terpusat disekitar sel-sel mononuklear dalam sistem 
fagosit, termasuk monosit, makrofag dan DC. Sel-sel ini tidak hanya 
mengatur respon imun bawaan dan adaptif, namun  juga sebagai target 
awal infeksi virus.
Ditemukan kurang lebih 1000 spesien hewan reservoir EBOV 
termasuk kelelawar, burung, dan vertebrata kecil di wilayah epidemi 
(Gabon dan Republik Kongo). berdasar  hasil uji serologis ELISA 
dan uji PCR menunjukkan bahwa EBOV dan virus Filo banyak 
ditemukan pada kelelawar. EBOV dan virus Filo kelelawar berada pada 
hati dan limpa. Sampai saat ini masih dilakukan identifikasi terhadap 
hewan reservoir virus Ebola karena bukan saja kelelawar. Dari 
beberapa penelitian virus Ebola juga ditemukan pada spesien babi dan 
kera.
DISTRIBUSI GEOGRAFIS
Distribusi geografis virus Filo diperkirakan berada di wilayah 
tropis Afrika. Virus Ebola cenderung berada di daerah hutan hujan 
yang lembab di Afrika Tengah dan Barat, sedangkan virus Marburg di 
daerah yang lebih kering seperti Afrika Tengah dan Timur.
Distribusi geografis ZEBOV, SEBOV, Ivory coast ebolavirus, 
Bundibugyo ebolavirus, ditemukan di beberapa negara Afrika Selatan 
dan Gurun Sahara dan biasanya  bersifat endemis. Infeksi REBOV 
memicu  demam disertai perdarahan menyeluruh pada monyet, 
namun  tidak menimbulkan kasus klinis pada manusia, meskipun 
antibodi terhadap kelompok virus Filo ditemukan di beberapa 
personel di fasilitas karantina .
Pada tahun 1994, dengan pewarnaan imunohisto kimia 
ditemukan positif Ebola pada spesimen nekropsi 1 dari 12 simpanse 
yang mati di hutan Pantai Gading melaporkan untuk pertama kali kasus 
terinfeksinya seorang etnologi yang ditularkan dari primata yang 
terinfeksi virus Ebola. Survei epidemiologi di daerah wabah di 
Mayibout pada 1996, menunjukkan bahwa banyak kematian pada 
monyet di dekat daerah wabah dan telah terjadi infeksi pada manusia 
melalui kontak dengan karkas simpanse yang terinfeksi.wabah virus 
Ebola pada manusia yang terjadi di tahun 2001 di Gabon dan Republik 
Kongo, diakibatkan kontak dengan bangkai hewan yang terinfeksi. Oleh 
karena itu, hingga saat ini REBOV masih dikaitkan dengan penyakit 
pada primata.
GEJALA KLINIS EBOLA 
Masa inkubasi bervariasi tergantung pada spesies virus Ebola 
yang menginfeksi dan konsentrasi virus itu sendiri, 
a. Kera cynomolgus yang diinokulasi dengan ZEBOV melalui oral 
atau konjungtiva akan menghasilkan gejala klinis dalam waktu 
3-4 hari.
b. Masa inkubasi infeksi ZEBOV pada kera rhesus dan monyet 
vervet berlangsung antara tiga sampai 16 hari
c. Pada kelinci percobaan, masa inkubasi terjadi antara 4-10 hari. 
Pada monyet percobaan yang terinfeksi, biasanya  
menunjukkan gejala seperti demam disertai perdarahan hebat dan 
menyeluruh, tidak ada nafsu makan, muntah, pembengkakan limpa dan 
penurunan bobot hidup.
Pendarahan dapat terjadi pada kulit, saluran pencernaan atau 
selaput lendir. Bila gejala berlanjut dapat memicu  shock dan 
hipotermia, serta berakhir dengan kematian, virus Ebola Afrika 
biasanya  lebih patogen dari REBOV. Hal ini terlihat dari tanda-tanda 
klinis yang dihasilkan oleh strain Afrika tampak lebih berat, seperti 
perdarahan yang lebih banyak yang memicu  tingkat kematian 
yang lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi REBOV. Infeksi REBOV 
yang berasal dari primata dan belum dipasase pada marmot, tidak 
menghasilkan gejala klinis. yang sama pada monyet, namun  hanya 
menunjukkan demam dan penurunan bobot hidup, kemudian sembuh. 
Sedangkan, apabila diinfeksi dengan virus yang telah dipasase dapat 
memicu  penyakit hati yang fatal. Pada hewan liar dan kelelawar, 
infeksi buatan dengan virus Ebola, tidak menunjukkan gejala klinis.
Pada manusia, infeksi virus Ebola memiliki  masa inkubasi 2-
21 hari dan menunjukkan onset penyakit secara mendadak yang 
ditandai dengan demam, menggigil, lemas, lesu, pegal-pegal, 
anoreksia/ tidak nafsu makan, mual, muntah, perut nyeri dan diare. 
Apabila gejala klinis berlanjut, tampak gangguan pernafasan seperti 
nyeri dada, sesak napas dan batuk, dilanjutkan dengan konjungtivitis, 
hipotensi bila berdiri agak lama, edema dan berakhir dengan kelainan
neurologis seperti sakit kepala, kebingungan, kejang dan koma yang 
dapat disertai dengan gangguan metabolik yang parah dan 
penggumpalan pembuluh darah yang tidak diketahui penyebabnya 
(koagulopati) dan berakhir dengan kematian yang biasanya terjadi 
pada minggu kedua.
Infeksi ZEBOV dapat mengakibatkan mortalitas mendekati 90%, 
sedangkan kasus fatal akibat spesies virus Ebola lainnya tampak jauh 
lebih rendah. Kasus kematian akibat infeksi SEBOV berkisar antara 53-
66% , sedangkan prevalensi infeksi Bundibugyo ebolavirus 
diperkirakan mendekati 40% berdasar  temuan epidemiologi dari 
2.007 kasus pada wabah di Uganda.
Kesembuhan (recovery) mulai terjadi antara 7 sampai 14 hari, 
setelah gejala pertama terjadi. Kematian, jika ini terjadi, biasanya 
antara 6 sampai 16 hari, setelah gejala pertama terjadi, dan sering kali, 
karena 'syok' tekanan darah rendah akibat akibat kekurangan cairan.
biasanya , pendarahan sering kali menunjukkan hal yang buruk, 
kehilangan darah dapat memicu  kematian. Seringkali penderita 
mengalami koma, sebelum kematiannya. Penderita yang selamat sering 
kali mengalami sakit otot dan sendi secara terus menerus,
pembengkakan hati, berkuangnya pendengaran, dan mungkin 
mengalami hal-hal sebagai berikut: merasa capai, lemas berkelanjutan, 
berkurangnya nafsu makan, dan kesulitan mencapai berat semula 
sebelum sakit. Antibodi terbentuk untuk sekurangnya 10 tahun, namun  
belum jelas apakah penderita yang selamat akan kebal terhadap infeksi 
berulang. Sesesorang yang telah sembuh tidak akan menyebarkan 
penyakit lagi. 
PATOGENESIS EBOLA 
biasanya , demam disertai perdarahan menyeluruh tampak pada 
manusia yang disebabkan oleh infeksi EBOV dan MARV. Gejala ditandai 
dengan masalah distribusi cairan, hipotensi dan koagulasi, sehingga sering 
memicu  shock parah dan lalu  kegagalan pada fungsi sistem 
multiorgan. Replikasi virus, dalam hubungannya dengan disregulasi 
kekebalan tubuh dan pembuluh darah, diduga memainkan peran dalam 
perkembangan penyakit. Infeksi virus Filo dapat memicu  
terganggunya sistem kekebalan tubuh bawaan, terutama terhadap respon 
interferon dan hal ini dihubungkan dengan protein virion (VP) 35 dan 24. 
Secara keseluruhan, infeksi EBOV mempengaruhi respon imun bawaan tapi 
dengan hasil yang berbeda-beda.
Gangguan dari barier jaringan darah yang utamanya dikendalikan 
oleh sel endotel, merupakan faktor penting dalam patogenesis. Endotelium 
tampaknya akan terpengaruh langsung oleh aktivasi virus dan sistem 
fagositik, serta secara tidak langsung oleh respon inflamasi melalui 
mediator yang berasal dari sel target utama atau produk ekspresi virus, yang 
berakibat pada meningkatnya permeabilitas sel endotel. Akibatnya 
keseimbangan cairan antara jaringan intravaskular dan ekstravaskular 
terjadi. Data klinis dan laboratorium juga menunjukkan gangguan dalam 
hemostasis selama infeksi.
DIAGNOSIS LABOLATORIUM
Diagnosis terhadap infeksi virus Ebola harus dilakukan dengan 
akurat dan tepat. Jika tidak, akan menimbulkan keresahan dan 
ketidaknyamanan bagi masyarakat, dan penyebaran penyakitnya. 
Diagnosis virus Ebola harus memakai  beberapa metode diagnosis 
untuk mengurangi resiko kesalahan diagnosis.
Diagnosis virus Filo dan virus Ebola dilakukan dengan melihat 
gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, dan immunohistokimia. 
Pemeriksaan serologi yang banyak dipakai  dan efektif adalah ELISA 
dengan memakai  glikoprotein spesifik terhadap grup Ebola.
Sampai saat ini, sudah banyak dikembangkan antibodi 
monoklonal NP (RNPs) SEBOV, REBOV, dan ZEBOV. Temuan ini dapat 
memungkinkan dapat mengidentifikasi spesies isolasi EBOV secara 
serologis.
Sampel yang dipakai  untuk isolasi virus Ebola adalah darah 
dan pengiriman sampel dalam keadaan dingin. Pemeriksaan ini harus 
dilakukan di laboratorium yang memiliki  peralatan lengkap dan 
tingkat keamanan tinggi seperti biosafety level 4 (BSL4). Hal ini 
merupakan kendala bagi negara-negara berkembang karena biasanya  
negara berkembang belum memiliki  laboratorium BSL4. Alternatif 
lainnya adalah pemeriksaan antigen inaktif yang dapat dilakukan di 
laboratorium yang lebih sederhana.
Pasien ang sudah terinfeksi dan fatal akan meninggal sebelum 
terbentuk respon antibodi. Ini membuktikan bahwa pemeriksaan 
serologis hanya dapat dilakukan pada pasien yang masih bisa bertahan 
hidup. Oleh karena itu, metode ELISA dengan mendeteksi antigen virus 
Ebola sangan efektif dipakai .
PENCEGAHAN EBOLA 
Ada tiga cara untuk menginaktifkan virus Ebola yaitu secara :
a. Secara fisika, virus Ebola dipanaskan memakai  autiklaf. 
b. Secara kimia, virus Ebola dapat diinaktifkan dengan 2% 
natrium hipoklorit, 2% glutaraldehid, asam perasetat 5% dan 
1% formalin. 
c. Secara radiologi Virus Ebola juga dapat diinaktifkan dengan 
sinar ultraviolet radiasi gamma, 0,3% betapropiolactone 
selama 30 menit pada 37ºC (98,6ºF), atau pemanasan sampai 
60ºC (140ºF) selama 1 jam.
PENGOBATAN EBOLA
Sampai saat ini pengobatan dan vaksinasi untuk virus Ebola 
belum ditemukan sehingga penemuan untuk vaksin virus Ebola ini 
harus menjadi prioritas. Terapi suportif seperti rehidrasi dengan oral 
atau cairan intravena serta perlakuan sesuai dengan gejala akan 
meningkatkan kesembuhan pasien. Untuk hewan reservoir biasanya 
dilakukan dietanasi.
Kendala dalam pembuatan vaksin ini adalah perbedaan antar 
jenis virus Ebola. Perbedaan antigenik ini memicu  
sedikitnya proteksi silang diantara spesies Ebola, sehingga vaksin yang 
dihasilkan tidak dapat memberikan perlindungan yang maksimal 
terhadap infeksi ZEBOV dan SEBOV yang merupakan spesies Ebola 
yang patogen terhadap manusia.
Perlu adanya pengembangan vaksin virus Ebola berbasis genetik 
untuk mencegah infeksi pada manusia. Selain itu, vaksin virus Ebola 
berbasis genetik aman dipakai .
5. VIRUS ZIKA
Virus Zika merupakan sejenis virus dari keluarga flaviviridae 
dan genus flavivirus. Keluarga flaviviridae merupakan keluarga virus 
yang menyebar melalui vektor artropoda, yang paling utama adalah 
nyamuk. Dari segi bahasa, kata flaviviridae berasal dari bahasa Latin 
flavus yang bermakna kuning. Jadi, keluarga flaviviridae berasal dari 
virus demam kuning. Keluarga flaviviridae memiliki tiga jenis genus, 
yakni Flavivirus, Hepacivirus, dan Pestivirus. Dari ketiga genus dalam 
keluarga Flaviviridae tersebut, virus Zika termasuk genus yang 
pertama, yakni Flavivirus.
Selain nyamuk Aedes aegypti nyamuk Aedes albopictus adalah 
nyamuk lain yang juga berpotensi yang memiliki tingkat keganasan 
yang sama sebagai agen virulensi. Nyamuk jenis ini paling banyak 
dijumpai di daerah Afrika dan Asia. Aedes albopictus yang juga dikenal 
sebagai nyamuk macan Asia dengan ciri garis-garis putih, dianggap 
spesies nyamuk yang paling agresif. Kedua spesies biasanya menggigit 
pada siang hari dan pada sore hari, sehingga kelambu untuk tidur 
malam dianggap tidak begitu berguna untuk mecegah penyebaran 
virus Zika. Setiap spesies nyamuk ini juga dapat menginfeksi orang 
dengan demam berdarah, chikungunya dan demam kuning. 
Pada 2014, virus ini menyebar ke timur melintasi Samudra 
Pasifik ke Polinesia Perancis, kemudian ke Pulau Paskah dan pada 
tahun 2015, ia menyebar ke Amerika Tengah, Karibia, dan kini ia 
menyebar ke Amerika Selatan sebagai satu wabah besar. Pada Januari 
2016, Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat 
mengeluarkan panduan perjalanan untuk negara-negara tejangkit 
wabah, termasuk panduan langkah pencegahan yang dipertingkatkan 
dan pertimbangan untuk menunda kehamilan bagi wanita. Menurut 
laporan, transmisi virus Zika pada janin dapat memicu  
microcephaly pada bayi yang baru lahir. Badan-badan kesehatan dan 
pemerintah lain juga mengeluarkan peringatan yang serupa, 
sedangkan negara-negara seperti Kolombia, Ekuador, El Salvador, dan 
Jamaika, menasihati wanita untuk menunda kehamilan sehingga risiko 
tentang virus ini dapat lebih diketahui. 
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai penyakit yang 
terkait dengan virus Zika di Amerika Latin pada akhir tahun 2015 
hingga Januari 2016 telah menimbulkan keadaan darurat kesehatan 
bagi masyarakat. Oleh sebab itu, WHO mengumumkan Status Darurat 
Kesehatan Internasional 
Infeksi virus Zika terjadi melalui perantara gigitan nyamuk 
Aedes, terutama spesies Aedes aegypti. Penyakit yang disebabkannya 
dinamakan sebagai Zika, penyakit Zika (Zika disease) ataupun demam 
Zika (Zika fever). Gejala yang paling umum dari penyakit virus Zika
adalah demam, ruam, nyeri sendi, dan konjungtivitis (mata merah) . 
Penyakit ringan biasanya memiliki gejala yang berlangsung dari 
beberapa hari sampai satu minggu. 
Virus Zika yang telah menginfeksi manusia dapat menimbulkan 
beberapa gejala, seperti demam, nyeri sendi, konjungtivitis (mata 
merah), dan ruam. Gejala-gejala penyakit Zika dapat menyerupai gejala 
penyakit dengue dan chikungunya, serta dapat berlangsung beberapa 
hari hingga satu minggu. 
Virus Zika pertama ditemukan pada seekor monyet resus di 
hutan Zika, Uganda, pada tahun 1947 . Virus Zika kemudian ditemukan 
kembali pada nyamuk spesies Aedes Africanus di hutan yang sama 
pada tahun 1948 dan pada manusia di Nigeria pada tahun 1954. Virus 
Zika menjadi penyakit endemis dan mulai menyebar ke luar Afrika dan 
Asia pada tahun 2007 di wilayah Pasifik Selatan. Pada Mei 2015, virus 
ini kembali merebak di Brazil. Penyebaran virus ini terus terjadi pada 
Januari 2016 di Amerika Utara, Amerika Selatan, Karibia, Afrika, dan 
Samoa (Oceania). Di negara kita  sendiri, telah ditemukan virus Zika di 
Jambi pada tahun 2015. 
Virus zika yang terjadi sekarang ini sangat membahayakan bagi 
perkembangan janin pada ibu yang hamil, hal ini dikarenakan pada 
kasus yang terjadi di Brazil, ibu yang hamil banyak yang melahirkan 
bayi yang abnormal dengan kelainan pada tulang kepala lebih kecil dari 
biasanya , kelainan ini dinamakan dengan microcephaly4 , maka dari 
itu virus zika ini memiliki efek yang merusak pada perkembangan janin 
meskipun sampai sekarang para ilmuwan masih terus meneliti 
kemungkinan hal tersebut. 
Pada tahun 2010 sampai 2014, brazil memiliki  rata rata 156 
bayi yang lahir dengan microcephaly setiap tahunnya. Yang lebih 
mengejutkan lagi pada tahun 2015, lebih dari 3000 bayi lahir dengan 
kondisi tersebut, bahkan hingga berujung kematian hal ini di 
duga ada kaitannya dengan jejak virus Zika. 
Pada bulan Mei 2015, Organisasi Kesehatan Amerika (PAHO) 
mengeluarkan peringatan mengenai kontak pertama yang dikonfirmasi 
infeksi virus Zika di Brasil. Wabah di Brasil yang terjadi diduga 
memicu  sindrom Guillain-Barré dan kecenderungan wanita yang 
hamil melahirkan bayi dengan cacat lahir dan dapat melahirkan anak 
yang memiliki kecenderungan mengalami kelainan.
PATOGENESIS VIRUS ZIKA 
Penyakit yang disebabkan oleh virus Zika dibawa oleh oleh 
nyamuk nyamuk Aedes aegypti yang sebelumnya telah terinfeksi. 
Nyamuk Aedes aegypti itu sendiri dapat terinfeksi ketika telah 
menggigit manusia yang sebelumnya telah terinfeksi virus ini. Oleh 
karena itu secara berantai kemudian nyamuk Aedes aegypti 
menularkan virus Zika pada setiap orang yang digigitnya dan seperti 
itu seterusnya. 
Sama halnya dengan penyakit demam berdarah, nyamuk Aedes 
aegypti biasanya sangat aktif dengan cara penularan penyakit virus 
Zika ke manusia pada saat siang dan sore hari6 . Secara habitat, 
memang nyamuk jenis ini sangat suka tinggal di area genangan air 

bersih baik di dalam maupun luar ruangan dimana orang-orang 
berada. Penularan virus Zika bisa terjadi dalam beberapa cara, yaitu: 
a. Melalui gigitan nyamuk Virus Zika ditularkan kepada orang 
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang sudah terinfeksi. 
Nyamuk ini biasanya bertelur di dekat tempat-tempat yang 
memiliki genangan air seperti ember, mangkuk, piring hewan 
peliharaan, pot bunga atau vas. Nyamuk ini lebih banyak hidup 
di dalam ruangan. 
b. Dari ibu ke anak Ibu hamil ternyata bisa menularkan virus Zika 
pada janinnya selama kehamilan atau saat melahirkan. Virus ini 
kemudian bisa mengakibatkan mikrosefali dan cacat otak janin 
lainnya. 
c. Melalui hubungan seksual Zika bisa ditularkan melalui 
hubungan seks dari orang yang sudah terinfeksi virus Zika 
sebelumnya kepada mitranya. Saat ditularkan, orang yang sudah 
terinfeksi bahkan belum memiliki gejala. 
d. Melalui transfusi darah Terdapat laporan kasus penularan virus 
Zika lewat transfusi darah di Polinesia. Di dalam laporan 
tersebut, 2,8 persen donor darah dinyatakan positif terjangkit 
virus Zika. 
biasanya  terdapat 2 jenis jalur transmisi virus Zika, yaitu 
melalui jalur vector borne (melalui vektor) dan non vector borne 
(tidak melalui vektor). 
a. Transmisi melalui vektor 
Zika termasuk kedalam kelompok arbovirus 
(anthropode-borne virus) sehingga berdasar  definisinya 
virus ini dapat disebarkan oleh atropoda dari satu vetebrata ke 
vetebrata lainnya melalui gigitan. Mekanisme penularan biologis 
biasanya  terjadi saat vektor yang terinfeksi dengan darah host 
yang mengandung virus kemudian menyuntikkan air liurnya 
yang mengandung virus pada host lain, sehingga terjadi 
penularan virus. Vektor utama penyebaran virus Zika adalah 
nyamuk dari genus Aedes11, Analisis potensi penularan untuk 
virus Zika oleh berbagai spesies nyamuk Aedes telah dilakukan 
dan terbukti Aedes aegypti, Aedes albopictus, Aedes unilineatus 
dan Aedes vittatus semua ditemukan rentan terhadap infeksi 
virus Zika. Namun dalam beberapa kasus wabah virus Zika 
beberapa spesies nyamuk lain ditemukan dalam wilayah 
penyebaran virus. 
Diantaranya vektor Culex quinquefasciatus yang 
ditemukan pada kasus epidemi di Pulau Yap. Ditemukannya 
isolate virus dalam suatu vektor (spesies nyamuk tertentu) 
belum cukup untuk membuktikan bahwa vektor ini dapat 
mentrasmisikan virus ke vetebrata lain, sehingga pada tahun 
1956 Boorman & Porterfield melakukan studi untuk mengetahui 
kemampuan transmisi virus dari nyamuk Aedes aegepty, dalam 
studi ini dipakai  bagian integument dari kulit tikus dewasa 
sebagai penghalang ketika darah manusia terinfeksi yang 
diberikan heparin diletakkan dalam suatu wadah, sehingga 
kemudian dimakan oleh nyamuk. Hasilnya nyamuk ini 
berhasil mentransmisikan virus Zika terhadap monyet resus 
yang dibuktikan dengan terdapatnya antibodi terhadap virus 
Zika dalam tubuh monyet. 
b. Transmisi melalui non vector 
1) Kontaminasi laboratorium 
Seorang anggota staf laboratorium mengalami demam 
setelah vaksinasi demam kuning (17D vaksin), tapi virus Zika 
ditemukan dari darah yang diambil pada hari pertama sakit. 
Kasus Infeksi ini diyakini merupakan kecelakaan dalam 
Laboratorium. 
2) Transmisi seksual 
berdasar  data yang dikumpulkan Musso et all, 
terdapat 4 laporan yang menyatakan kejadian infeksi yang 
kemungkinan ditransmisikan melalui seksual. Pada tahun 
2008 seorang ilmuwan Amerika yang melakukan studi 
lapangan terhadap nyamuk di Senegal mengalami demam 
dengan gejala umum mirip infeksi virus Zika setelah kembali 
ke Amerika Serikat. Dia juga memiliki prostatitis dan 
hematospermia. Istrinya, yang tidak pernah melalukan 
perjalanan ke luar Amerika Serikat sejak tahun 2007, 
melakukan hubungan seksual dengan suaminya sehari 
setelah ia kembali ke rumah. Istrinya kemudian mengalami 
dengan gejala infeksi virus Zika, sehingga diduga terdapat 
mekanisme transmisi seksual dalam kasus ini. 
Kedua pasien dikonfirmasi sebagai mengalami Infeksi 
virus Zika dengan tes serologi. Kemudian pada bulan 
Desember 2013 selama wabah di French Polynesia, seorang 
pria 68 memiliki onset demam dengan gejala kelesuan, dan 
ruam eritematosa 1 minggu setelah kembali dari Kepulauan 
Cook. Darah dan air mani sampel dikumpulkan virus Zika 
RNA dideteksi dengan RT-PCR dan hasilnya positif untuk 
virus Zika. Kemudian pengujian kembali dilakukan terhadap 
semen, serum dan urin dari pasien pada fase convalescent, 
hasilnya hanya semen yang menunjukkan hasil positif. 
Menurut Musso & Gubler hal ini menunjukkan telah 
terjadinya replikasi virus pada saluran kemih dan 
lalu  infeksi virus Zika yang ditularkan melalui 
hubungan seksual telah dilaporkan di Texas .Hasil ini 22 
menegaskan bahwa virus Zika bisa ditularkan melalui 
hubungan seksual 
3) Transmisi maternofetal 
Dalam reviewnya Musso & Gubler juga 
mengungkapkan dua kasus penularan perinatal dari virus 
Zika dilaporkan selama wabah di French Polynesia. Virus 
Zika RNA terdeteksi dalam sampel serum dari kedua ibu dan 
bayi dan dalam air susu ibu. Salah satu bayi tetap 
asimtomatik, sementara yang lain menunjukkan gejala ruam 
makulopapular dengan trombositopenia. Meskipun tidak ada 
partikel virus Zika infektif yang terdeteksi di air susu ibu, 
kemungkinan penularan virus Zika melalui air susu ibu harus 
dipertimbangkan. Dalam penelitian yang dilakukan Quickle 
et all virus Zika strain PRVABC59 (PR 2015) menginfeksi dan 
bereplikasi di makrofag13 utama plasenta manusia yang 
disebut sel Hofbauer. replikasi virus ini bersamaan dengan 
induksi tipe I interferon (IFN), sitokin proinflamasi, dan 
ekspresi gen antivirus, namun  dengan kematian sel minimal. 
Peneliti mengasumsikan mekanisme untuk transmisi 
intrauterin di mana virus Zika mendapatkan akses langsung 
ke kompartemen janin dengan cara menginfeksi sel-sel 
plasenta dan merusak placental barrier. 
4) Transmisi melalui transfusi darah 
Hingga saat ini keefektivan transmisi virus Zika 
melalui transfusi darah masih belum dikethui, namun kasus 
transmisi abrbovirus lain melalui transfusi darah telah 
banyak dilaporkan. Sehingga terdapat peluang yang sangat 
besar terkait transmisi virus Zika melalui transfusi darah.
Namun karena infeksi Zika biasanya tidak 
menunjukkan gejala spesifik, maka untuk mencegah 
transmisinya perlu dilakukan suatu rangkaian analisis asam 
nukleat terhadap darah yang telah didonorkan. Selain 
pengujian asam nukleat pada donor darah, pencegahan 
terjadinya infeksi virus Zika posttransfusion dapat dilakukan 
dengan reaktivasi pathogen dalam produk darah. 
GEJALA VIRUS ZIKA 
Untuk masa inkubasi, virus Zika memerlukan masa 2 (dua) 
sampai dengan 7 (tujuh) hari semenjak virus ini ditularkan. Jika saat 
ditularkan kondisi tubuh dalam keadaan prima, infeksi virus Zika akan 
pulih sendiri dan memerlukan waktu 7 sampai dengan 12 hari saja.
Beberapa pakar melihat adanya banyak kesamaan gejala antara 
demam berdarah dengan demam Zika. Keduanya sama-sama diawali 
dengan demam yang naik turun serta rasa linu hebat pada persendian 
dan tulang. Kadang juga disertai mual, pusing, rasa tidak nyaman di 
perut dan disertai rasa lemah dan lesu yang hebat. Beberapa kesamaan 
sebagai gejala awal membuat penyakit ini diidentifikasi secara keliru 
dengan penyakit demam berdarah. 
Namun sebenarnya terdapat beberapa gejala khas yang bisa 
membedakan keluhan infeksi Zika Virus dengan penyakit demam 
berdarah, beberapa tanda khusus ini antara lain: 
a. Demam cenderung tidak terlalu tinggi, kadang maksimal hanya 
pada suhu 38 derajat celcius. Cenderung naik turun 
sebagaimana gejala demam berdarah, namun  tidak terlalu tinggi. 
b. Muncul beberapa ruam pada kulit yang berbentuk 
makulapapular atau ruam melebar dengan benjolan tipis yang 
timbul. Terkadang ruam meluas dan membentuk semacam ruam 
merah tua dan kecoklatan yang mendatar dan menonjol.
c. Muncul rasa nyeri pada sendi dan otot, kadang disertai lebam 
dan bengkak pada sendi dan otot seperti terbentur dan keseleo 
ringan. 
d. Kerap muncul keluhan infeksi mata menyerupai konjungtivitas 
dengan mata kemerahan. Kadang warna sangat kuat pada 
bagian dalam kelopak sebagai tanda munculnya ruam pada 
bagian dalam kelopak mata. 
Virus Zika berisiko terhadap terjadinya kasus microcephaly atau 
kelainan pertumbuhan otak pada bayi. Sehingga, ibu hamil sangat perlu 
mewaspadai penularan virus Zika . Tidak hanya ibu hamil, semua orang 
juga perlu mewaspadai virus ini,karena virus Zika ini juga bisa 
menyerang sistem saraf dewasa dan memicu  peradangan akar 
saraf di tulang belakang.
MENCEGAH VIRUS ZIKA 
Mencegah gigitan nyamuk adalah salah satu tindakan 
pencegahan awal yang bisa membantu anda terhindar dari infeksi 
virus Zika. Beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan saat 
berada di daerah yang terjangkit virus Zika, antara lain: 
a. Memastikan tempat yang Anda tinggali memiliki pendingin 
ruangan atau setidaknya memiliki tirai pintu dan jendela yang 
dapat mencegah nyamuk masuk ke ruangan. 
b. Menutup dengan rapat tempat penampungan air. 
c. Gunakan baju dan celana berlengan panjang 
d. Gunakan bahan penolak serangga yang terdaftar pada badan 
perlindungan lingkungan atau environmental protection agency 
(EPA), sesuai dengan instruksi yang tertera pada kemasan. 
Instruksi yang terlampir akan memberikan informasi mengenai 
pengaplikasian ulang, area pengaplikasian yang diperbolehkan, 
waktu dan durasi pengaplikasian. 
e. Bayi yang berusia di bawah dua bulan tidak diperkenankan 
memakai  bahan penolak serangga ini sehingga Anda harus 
memastikan agar pakaian bayi dapat melindunginya dari gigitan 
nyamuk. 
f. Gunakan juga kelambu pada tempat tidur bayi, kereta dorong 
bayi, dan gendongan atau alat pengangkut bayi lainnya. 
g. Perhatikan area tubuh anak yang berusia lebih dewasa saat 
mengaplikasikan bahan penolak serangga. Hindari area tubuh 
yang terluka atau sedang mengalami iritasi, area mata, mulut, 
dan tangan. 
h. Pilihlah perawatan, pencucian, atau pemakaian pakaian serta 
peralatan yang memakai  bahan dengan kandungan repelen. 
Pelajari informasi produk dan instruksi penggunaan mengenai 
perlindungan yang diberikan. Hindari memakai  produk ini 
pada kulit.
i. Pelajari juga informasi mengenai daerah yang akan anda 
kunjungi, seperti fasilitas kesehatan dan area luar ruangan 
terbuka sebelum waktu keberangkatan tiba, khususnya area 
yang terjangkit virus Zika.
j. Lakukan tes virus Zika sekembalinya anda, khususnya 
perempuan hamil, dari daerah penyebaran virus Zika.
1. TUBERKULOSIS (TBC)
Tuberkulosis (TBC) paru adalah penyakit infeksi yang 
disebabkan oleh kuman Mycrobacterium tuberculosis yang menyerang 
paru-paru dan bronkus. TBC paru tergolong penyakit air borne 
infection, yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara 
pernapasan ke dalam paru-paru. Kemudian kuman menyebar dari 
paru-paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, 
sistem saluran limfe, melalui bronkus atau penyebaran langsung ke 
bagian tubuh lainnya.
Tuberkulosis (TBC) paru adalah suatu penyakit infeksi kronis 
yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia 
dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban, lingkungan yang 
padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra 
otak yang khas TBC dari kerangka yang digali di Heidelberg dari 
kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari 
mumi dan ukuriran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000 –
4000 SM. Hipokrates telah memperkenalkan sebuah terminologi yang 
diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan penyakit
TBC paru ini. 
TB paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC 
(Mycrobacterium Tuberculosi Humanis). Mycrobacterium tuberculosis 
7 merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran sangat kecil 
dengan panjang 1-4 µm dengan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar 
komponen Mycrobacterium tuberculosis adalah berupa lemak atau 
lipid yang memicu  kuman mampu bertahan terhadap asam serta 
zat kimia dan faktor fisik. Kuman TBC bersifat aerob yang 
membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Mycrobacterium 
tuberculosis banyak ditemukan di daerah yang memiliki kandungan 
oksigen tinggi. Daerah ini menjadi tempat yang kondusif untuk 
penyakit TB. Kuman Mycrobacterium tuberculosis memiliki 
kemampuan tumbuh yang lambat, koloni akan tampak setelah kurang 
dari dua minggu atau bahkan terkadang setelah 6-8 minggu. 
Lingkungan hidup optimal pada suhu 37°C dan kelembaban 70%. 
Kuman tidak dapat tumbuh pada suhu 25°C atau lebih dari 40°C . 
PENYEBAB DAN JENIS TBC 
TBC paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC 
(Mycrobacterium Tuberculosi Humanis). Karena ukurannya yang 
sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang 
terhirup, dapat mencapai alveolus. Mycrobacterium tuberculosis 
termasuk familie Mycrobacteriaceace yang memiliki  berbagai genus, 
satu diantaranya adalah Mycrobacterium, yang salah satunya 
speciesnya adalah Mycrobacterium tuberculosis. Basil TBC memiliki  
dinding sel lipoid sehingga tahan asam, sifat ini dimanfaatkan oleh 
Robert Koch untuk mewarnainya secara khusus. Oleh karena itu, 
kuman ini disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Basil TBC sangat 
rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menit saja 
akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama terhadap gelombang 
cahaya ultraviolet. Basil TBC juga rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja basil TBC yang berada dalam lingkungan 
basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100°C. Basil TBC juga 
akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohol 70% atau 
lisol 5%.
Masuknya kuman TBC ini akan segera diatasi oleh mekanisme 
imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman 
TBC dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman 
TBC. Akan namun , pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu 
menghancurkan kuman TBC dan kuman akan bereplikasi dalam 
makrofag. Kuman TBC dalam makrofag yang terus berkembang biak, 
akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama 
koloni kuman TBC di jaringan paru disebut Fokus Primer. Waktu yang 
diperlukan sejak masuknya kuman TBC hingga terbentuknya kompleks 
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TBC. Hal ini 
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, 
yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya 
gejala penyakit. Masa inkubasi TBC biasanya berlangsung dalam waktu 
4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa 
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, 
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
TBC primer adalah TBC yang terjadi pada pasien  yang belum 
pernah kemasukan basil TBC. Bila orang ini mengalami infeksi oleh 
basil TBC, walaupun segera difagositosis oleh makrofag, basil TBC tidak 
akan mati. Dengan semikian basil TBC ini lalu dapat berkembang biak 
secara leluasa dalam 2 minggu pertama di alveolus paru dengan 
kecepatan 1 basil menjadi 2 basil setiap 20 jam, sehingga pada infeksi 
oleh satu basil saja, setelah 2 minggu akan menjadi 100.000 basil. TBC 
sekunder adalah penyakit TBC yang baru timbul setelah lewat 5 tahun 
sejak terjadinya infeksi primer. Kemungkinan suatu TBC primes yang 
telah sembuh akan berkelanjutan menjadi TBC sekunder tidaklah 
besar, diperkirakan hanya sekitar 10%. Sebaliknya juga suati reinfeksi 
endogen dan eksogen, walaupun semula berhasil memicu  
pasien  menderita penyakit TBC sekunder, tidak selalu penyakitnya 
akan berkelanjutan terus secara progresif dan berakhir dengan 
kematian.hal ini terutama ditentukan oleh efektivitas sistem imunitas 
seluler di satu pihak dan jumlah serta virulensi basil TBC di pihak lain. 
Walaupun sudah sampai timbul TBC selama masih minimal, masih ada 
kemungkinan bagi tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri bila 
sistem imunitas seluler masih berfungsi dengan baik. Jadi dapat 
disimpulkan bahwa TBC pada anak-anak biasanya  adalah TBC primer 
sedangkan TBC pada orang dewasa adalah TBC sekunder.
Bila infeksi Tuberkulosis yang timbul menjadi aktif, sekitar 90%-
nya selalu melibatkan paru-paru. Gejala-gejalanya antara lain 
berupa nyeri dada dan batuk berdahak yang berkepanjangan. Sekitar 
25% penderita tidak menunjukkan gejala apapun (yang demikian 
disebut "asimptomatik"). Kadang kala, penderita mengalami 
sedikit batuk darah. Dalam kasus-kasus tertentu yang jarang terjadi, 
infeksi bisa mengikis ke dalam arteri pulmonalis, dan memicu  
pendarahan parah yang disebut Aneurisma Rasmussen. Tuberkulosis 
juga bisa berkembang menjadi penyakit kronis dan memicu  luka 
parut luas di bagian lobus atas paru-paru. Paru-paru atas paling sering 
terinfeksi. Alasannya belum begitu jelas. Kemungkinan karena paru￾paru atas lebih banyak mendapatkan aliran udara atau bisa juga karena 
drainase limfa yang kurang baik pada paru bagian atas.
Dalam 15–20% kasus aktif, terjadi penyebaran infeksi hingga ke 
luar organ pernapasan dan memicu  TB jenis lainnya. TB yang 
terjadi di luar organ pernapasan disebut "tuberkulosis ekstra paru". TB 
ekstra paru biasanya  terjadi pada orang dewasa 
dengan imunosupresi dan anak-anak. TB ekstra paru muncul pada 50% 
lebih kelompok pengidap HIV. Lokasi TB ekstra paru yang bermakna 
termasuk: pleura (pada TB pleuritis), sistem saraf pusat
(pada meningitis TB), dan sistem kelenjar getah 
bening (pada skrofuloderma leher). TB ekstra paru juga dapat terjadi 
di sistem urogenital (yaitu pada Tuberkulosis urogenital) dan pada 
tulang dan persendian (yaitu pada penyakit Pott tulang belakang). Bila 
TB menyebar ke tulang maka dapat disebut "TB tulang", yang 
merupakan salah satu bentuk osteomielitis. Ada lagi TB yang lebih 
serius yaitu TB yang menyebar luas dan disebut sebagai TB diseminata, 
atau biasanya dikenal dengan nama Tuberkulosis Milier. Di antara 
kasus TB ekstra paru, 10%-nya biasanya merupakan TB Milier.
PATOGENESIS TUBERKULOSIS (TBC)
Menurut Dikjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan 
Lingkungan cara penularan penyakit Tuberkulosis adalah 
a. Sumber penularan adalah pasien TBC BTA positif melalui percik 
renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa 
pasien TBC dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak 
mengandung kuman dalam dahaknya. Hal ini bisa saja 
terjadioleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam 
contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/ccdahak sehingga sulit dideteksi 
melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. 
b. Pasien TBC dengan BTA negatif juga masih memiliki 
kemungkinan menularkanpenyakit TBC. Tingkat penularan 
pasien TBC BTA positif adalah 65%, pasien TBC BTA negatif 
dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC 
dengan hasilkultur negatif dan foto toraks positif adalah 17%. 
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang 
mengandung percik renikdahak yang infeksius tersebut. 
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke 
udara dalam bentukpercikan dahak (droplet nuclei / percik 
renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar3000 percikan 
dahak. 
Kuman TBC menyebar melalui udara saat si penderita batuk, 
bersin, berbicara, atau bernyanyi. Yang hebat, kuman ini dapat 
bertahan di udara selama beberapa jam. Perlu diingat bahwa TBC tidak 
menular melalui berjabat tangan dengan penderita TBC, berbagi 
makanan/minuman, menyentuh seprai atau dudukan toilet, berbagi 
sikat gigi, bahkan berciuman. Lingkungan hidup yang sangat padat dan 
pemukiman di wilayah perkotaan yang kurang memenuhi persyaratan 
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan 
berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TBC. Penularan 
penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung 
droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan 
batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam 
(BTA).
Ketika pasien  yang mengidap TB paru aktif batuk, bersin, 
bicara, menyanyi, atau meludah, mereka sedang menyemprotkan titis￾titis aerosol infeksius dengan diameter 0.5 hingga 5 µm. Bersin dapat
melepaskan partikel kecil-kecil hingga 40,000 titis. Tiap titis bisa 
menularkan penyakit Tuberkulosis karena dosis infeksius penyakit ini 
sangat rendah. (pasien  yang menghirup kurang dari 10 bakteri saja 
bisa langsung terinfeksi).
Orang-orang yang melakukan kontak dalam waktu lama, dalam 
frekuensi sering, atau selalu berdekatan dengan penderita TB, berisiko 
tinggi ikut terinfeksi, dengan perkiraan angka infeksi sekitar 
22%. pasien  dengan Tuberkulosis aktif dan tidak mendapatkan 
perawatan dapat menginfeksi 10-15 (atau lebih) orang lain setiap 
tahun. Biasanya, hanya mereka yang menderita TB aktif yang dapat 
menularkan penyakit ini. Orang-orang dengan infeksi laten diyakini 
tidak menularkan penyakitnya. Kemungkinan penyakit ini menular 
dari satu orang ke orang lain tergantung pada beberapa faktor. Faktor￾faktor ini antara lain jumlah titis infeksius yang disemprotkan 
oleh pembawa, efektivitas ventilasi lingkungan tempat tinggal, jangka 
waktu paparan, tingkat virulensistrain M. tuberculosis, dan tingkat 
kekebalan tubuh orang yang tidak terinfeksi. Untuk mencegah 
penyebaran berlapis dari satu orang ke orang lainnya, pisahkan orang￾orang dengan TB aktif ("nyata") dan masukkan mereka dalam rejimen 
obat anti-TB. Setelah kira-kira dua minggu perawatan efektif, orang￾orang dengan infeksi aktif yang non-resisten biasanya sudah tidak 
menularkan penyakitnya ke orang lain. Bila ternyata kemudian ada 
yang terinfeksi, biasanya perlu waktu tiga sampai empat minggu 
hingga orang yang baru terinfeksi itu menjadi cukup infeksius untuk 
menularkan penyakit ini ke orang lain
GEJALA TUBERKULOSIS (TBC)
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan 
gejala khusus yangtimbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran 
secara klinis tidak 11 terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga 
cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik . 
a. Gejala sistemik atau umum: 
1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai 
dengan darah) 
2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, 
biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. 
Terkadang serangan demam seperti influenza dan bersifat 
hilang timbul 
3) Penurunan nafsu makan dan berat badan 
4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah 
b. Gejala khusus: 
1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila 
terjadi sumbatansebagian bronkus (saluran yang menuju 
ke paru-paru) akibat penekanankelenjar getah bening yang 
membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,suara nafas 
melemah yang disertai sesak. 
2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), 
dapat disertaidengan keluhan sakit dada. 
3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti 
infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk 
saluran dan bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini 
akan keluar cairan nanah. 
4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus 
otak) dandisebut sebagai meningitis (radang selaput otak), 
gejalanya adalah demamtinggi, adanya penurunan 
kesadaran dan kejang-kejang. 
Keluhan-keluhan seorang penderita TBC sangat bervariasi, 
mulai dari sama sekali tak ada keluhan sampai dengan adanya keluhan￾keluhan yang serba lengkap. Keluhan umum yang sering terjadi adalah 
malaise (lemas), anorexia, mengurus dan cepat lelah. Keluhan karena 
infeksi kronik adalah panas badan yang tak tinggi (subfebril) dan 
keringat malam (keringat yang muncul pada jam-jam 02.30-05.00). 
Keluhan karena ada proses patologik di parudan/atau pleura adalah 
batuk dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak, dan nyeri dada. 
Makin banyak keluhan-keluhan ini dirasakan, makin besar 
kemungkinan TBC. Departemen Kesehatan dalam pemberantasan TBC
di negara kita  menentukan anamnesis resmi lima keluhan utama yaitu 
batuk-batuk lama (lebih dari 2 minggu), batuk darah, sesak, panas 
badan, dan nyeri dada. 
FAKTOR RISIKO 
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa orang 
lebih rentan terhadap infeksi TB. Di tingkat global, faktor risiko paling 
penting adalah HIV; 13% dari seluruh kasus TB ternyata terinfeksi juga 
oleh virus HIV. Masalah ini umum ditemukan di kawasan sub-Sahara 
Afrika, yang angka HIV-nya tinggi. Tuberkulosis terkait erat dengan 
kepadatan penduduk yang berlebihan serta gizi buruk. Keterkaitan ini 
menjadikan TB sebagai salah satu penyakit kemiskinan utama. Orang￾orang yang memiliki risiko tinggi terinfeksi TB antara lain: orang yang 
menyuntik obat terlarang, penghuni dan karyawan tempat-tempat 
berkumpulnya orang-orang rentan (misalnya, penjara dan tempat 
penampungan gelandangan), orang-orang miskin yang tidak memiliki 
akses perawatan kesehatan yang memadai, minoritas suku yang 
berisiko tinggi, dan para pekerja kesehatan yang melayani orang-orang
tersebut. Penyakit paru-paru kronis adalah faktor risiko penting 
lainnya. Silikosis meningkatkan risiko hingga 30 kali lebih 
besar. Orang-orang yang merokok memiliki risiko dua kali lebih besar 
terkena TB dibandingkan yang tidak merokok.
Beberapa faktor di bawah ini akan meningkatkan 
kemungkinan pasien  menderita TBC (Tuberkulosis), seperti:
a. Kebiasaan merokok: Jumlah penderita TBC (Tuberkulosis) di 
negara kita  berdasar  survei tahun 2017 menunjukkan 
bahwa penderita TBC (Tuberkulosis) 3 kali lebih banyak 
diidap laki-laki. Banyak faktor yang bisa memicu  hal ini 
seperti ketidakpatuhan kaum laki-laki serta faktor kebiasaan 
merokok. Apalagi berdasar  survei menunjukkan jumlah 
laki-laki yang merokok di negara kita  sebanyak 68,5%.
b. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol
c. Memiliki sistem imunitas tubuh yang rendah karena ODHIV
d. Memiliki penyakit diabetes
e. Kekurangan nutrisi atau mengidap malnutrisi
f. Pemakai narkoba atau obat-obatan terlarang.
g. Mengkonsumsi obat penurun kekebalan tubuh seperti yang 
diberikan kepada pasien kanker, lupus, penyakit Crohn, 
arthritis. dan psoriasis.
PENCEGAHAN TUBERKULOSIS (TBC)
Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderitaan, 
masayarakat dan petugas kesehatan. 
a. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan 
1) Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut 
sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan 
tempat. 
2) Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan 
dengan terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG 
(Bacillus Calmete Guerin). 
3) Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan 
tentang penyakit TBC yang antara lain meliputi gejala 
bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
4) Isolasi, pemeriksaan kepada orang–orang yang terinfeksi, 
pengobatan khusus TBC. Pengobatan mondok dirumah 
sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang 
memerlukan pengembangan program pengobatannya yang 
karena alasan – alasan sosial ekonomi dan medis untuk 
tidak dikehendaki pengobatan jalan. 
5) Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga 
keberhasilan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap 
muntahan dan ludah (piring, tempat tidur, pakaian) 
ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup. 
6) Imunisasi orang–orang kontak. Tindakan pencegahan bagi 
orang–orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, 
petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasinya 
dengan vaksi BCG dan tindak lanjut bagi yang positif 
tertular. 
7) Penyelidikan orang–orang kontak. Tuberculin-test bagi 
seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang 
bereaksi positif, apabila cara–cara ini negatif, perlu diulang 
pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan 
intensif. 
8) Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu 
pengobatan yang tepat obat–obat kombinasi yang telah 
ditetapkan oleh dokter di minum dengan tekun dan teratur, 
waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya 
kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaaan 
penyelidikan oleh dokter. 
b. Tindakan pencegahan. 
1) Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor 
menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan 
meningkatkan pendidikan kesehatan. 
2) Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan pnderita, 
kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan, 
pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, 
suspect, perawatan. 
3) Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan 
keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian 
pengobatan INH (Isoniazid) sebagai pencegahan. 
4) BCG, vaksinasi diberikan pertama-tama kepada bayi 
dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 
5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat ini berupa 
tempat pencegahan. 
5) Memberantas penyakit TBC pada pemerah air susu dan 
tukang potong sapi dan pasteurisasi air susu sapi 
6) Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena 
menghirup udara yang tercemar debu para pekerja 
tambang, pekerja semen dan sebagainya. 
7) Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala 
TBC paru. 
8) Pemeriksaan screening dengan tuberculin test pada 
kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang–
orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, 
petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen. 
9) Pemeriksaan foto rontgen pada orang–orang yang positif 
dari hasil pemeriksaan tuberculin tes.
PENGOBATAN TUBERKULOSIS (TBC)
Terdapat enam macam obat esensial yang telah dipakai sebagai 
berikut : Isoniazid (H), para amino salisilik asid (PAS), Streptomisin 
(S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (P). Faktor-faktor 
risiko yang sudah diketahui memicu  tingginya prevalensi TBC di 
negara kita  antara lain : kurangnya gizi, kemiskinan dan sanitasi yang 
buruk. Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip 
sebagai berikut: 
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis 
obat,dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori 
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). 
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih 
menguntungkan dan sangat dianjurkan. 
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, 
dilakukanpengawasan langsung (DOT = Directly Observed 
Treatment) olehseorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 
c. Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif 
danlanjutan. 
1) Tahap awal (intensif) 
a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap 
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah 
terjadinya resistensi obat. 
b) Pengobatan tahap intensif ini apabila diberikan 
secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular 
dalam kurun waktu 2 minggu. 
c) Sebagian besar pasien TBC BTA positif menjadi BTA 
negatif (konversi) dalam 2 bulan. 
2) Tahap lanjutan 
a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih 
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama 
b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman 
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan 
2. FILARIASIS
Filariasis / Kaki Gajah adalah suatu penyakit yang mengalami 
infeksi sitemik bersifat kronis dan menahun.Filariasis merupakan jenis 
penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya sempat ada, 
kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali.
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit 
yang tersebar di negara kita . Walaupun penyakit ini jarang 
memicu  kematian, namun  dapat menurunkan produktivitas 
penderitanya karena terjadi gangguan fisik.penyakit ini jarang terjadi 
pada anak karena manifestasi klinisnya timbul bertahun – tahun 
setelah terjadi infeksi. Gejala pembengkakan kaki muncul karena 
sumbatan mikrofilaria pada pembuluh limfe yang biasanya terjadi 
pada usia di atas 30 tahun setelah terpapar parasite selama bertahun –
tahun. oleh karena itu Filariasis juga sering disebut penyakit kaki 
gajah. Akibat paling fatal bagi penderita Filariasis yaitu kecacatan 
permanen yang sangat mengganggu produktivitas.
EPIDEMIOLOGI FILARIASIS 
Epidemiologi filariasis yaitu tersebar didaerah-daerah endemik, 
80% penduduk bisa mengalami infeksi namun  hanyasekitar 10 - 20% 
populasi yang menunjukkan gejala klinis Infeksi 
Parasit ini tersebar di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, 
Asia, Pasifik Selatan, danAmerika Selatan. Telah diketahui lebih dari 
200 spesies filarial, dari 200 spesies ini hanya sedikit yang 
menyerang manusia. Masyarakat yang berisiko terserang adalah 
mereka yang bekerja pada daerah yang terkena paparan menahun oleh 
nyamuk yang mengandung larva. Seluruh dunia, angka perkiraan 
infeksi filaria mencapai 250 juta orang. Asia, filarial endemik terjadi di 
negara kita , Myanmar, India, dan Sri Lanka.
Filariasis di negara kita  tersebarluas, daerah endemi terdapat di 
banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti diSumatera dan sekitarnya, 
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya. Masih banyak 
daerah yang belum diselidiki. Di negara kita  filariasis lebihbanyak 
ditemukan di daerah pedesaan. Di daerah kota hanya W. bancrofti 
yangtelah ditemukan, seperti di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan 
dan Semarang. 
FAKTOR PENYEBAB FILARIASIS 
a. Lingkungan 
1) Lingkungan Fisik 
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, 
keadaan geografis, stuktur geologi dan sebagainya. Faktor 
Lingkungan fisik berkaitan erat dengan kehidupan vektor 
sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber￾sumber penularan filariasis. Lingkungan yang cocok 
untuk kehidupan nyamuk maka akan sangat potensial 
untuk penularan filariasis. Lingkungan fisik ini dapat 
menciptakan tempat perindukan dan beristirahatnya 
nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap 
pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan nyamuk. 
Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan 
adanya hewan reservoir (kera, lutung, dan kucing) 
berpengaruh terhadap penyebaran Brugia malayi sub 
periodik nokturna dan non periodik.
Lingkungan fisik ini meliputi : 
1) Suhu 
Suhu juga turut mempengaruhi kejadian 
filariasis peningkatan temperatur berpengaruh 
terhadap perkembangbiakan, pertumbuhan, umur, 
dan distribusi vektor penyakit seperti vektor 
malaria, demam berdarah dengue (DBD), 
chikungunya, dan filariasis.
Jenis – jenis nyamuk seperti Anopheles 
gambiae, A. funestus, A. darlingi, Culex 
quinquefasciatus dan Aedes aegypti merupakan 
salah satu vektor yang dapat menularkan penyakit 
berbasis vektor dan sensitif terhadap perubahan 
suhu ketika masih dalam bentuk jentik dan ketika 
sudah menjadi nyamuk dewasa. Apabila suhu air 
meningkat, larva akan menjadi lebih cepat menjadi 
nyamuk dewasa. Namun pada iklim hangat, nyamuk 
betina dewasa mencerna darah lebih cepat dan 
menghisap darah lebih sering sehingga 
meningkatkan intensitas penularan.
2) Curah Hujan 
Perubahan pola curah hujan dapat 
memicu  kenaikan aliran permukaan dan
kelembaban tanah sehingga dapat memicu  
peningkatan atau penurunan kepadatan vektor 
penyakit serta kontak manusia dengan vektor 
penyakit. Selain itu, banjir dan kekeringan juga 
merupakan salah satu dampak yang disebabkan 
akibat pola curah hujan yang tidak menentu. Hal itu 
mengakibatkan nyamuk lebih berkembang biak dan 
kondisi rumah tidak sehat.
3) Kelembaban 
Kelembaban berhubungan negatif dengan 
mosquito borne disease.Namun, pada hasil analisis 
regresi, menunjukkan bahwa kelembaban dapat 
menimbulkan efek positif terhadap beberapa spesies 
Cullicidae, dimana kelembaban berpengaruh 
terhadap pola aktifitas nyamuk.
4) Fisik Rumah
Keberadaan Kawat Kasa Pemasangan 
kawatkasa pada ventilasi akan memicu  
semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di 
luar rumah dengan penghuni rumah, dimana 
nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah. 
berdasar  penelitian pada tahun 2008, 
menunjukkan bahwa responden yang tidak menutup 
ventilasi rumah dengan kawat kasa memiliki  
risiko 7,74 kali lebih besar menderita filariasis 
daripada responden yang menutup ventilasi dengan 
kawat kasa.
5) Fisik Rumah
Keberadaan Barang Bergantung Keberaaan 
barang bergantung dapat dipakai  nyamuk sebagai tempat istirahat. Sesuai penelitian, responden yang 
memiliki barang-barang bergantung di rumahnya 
memiliki risiko 6,3 kali daripada yang tidak memiliki 
barang-barang bergantung di rumahnya.22 Selain 
itu, pendapat lain juga menyatakan bahwa 
keberadaan restingplace di dalam rumah seperti di 
kolon tempat tidur, baju digantung, dan tempat 
gelap dan kotor mempengeruhi kejadian filarias.
6) Fisik Rumah
Kondisi Tempat Saluran Pembuangan Air 
Limbah (SPAL) Jenis dan kondisi tempat memiliki 
hubungan dengan kejadian filariasis. Respoden yang 
tidak memiliki saluran limbah khusus penampungan 
limbah lebih berisiko dibandinagkan dengan rumah 
yang memiliki penampungan limbah (tertutup di 
pekarangan, terbuka di pekarangan, di luar 
pekarangan, langsung ke got atau sungai). 
Lingkungan rumah yang memiliki saluran terbuka 
lebih berisiko terkena filariasis daripada yang 
memiliki saluran tertutup. Sesuai dengan pendapat 
lain, bahwa nyamuk penular filariasis berkembang 
biak pada air yang berpolusi. Sehingga keadaan 
saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang 
terbuka dan menggenang turut mempengaruhi 
kejadian filariasis.
7) Lingkungan Fisik
Keberadaan Sawah di Sekitar Rumah 
Lingkungan yang tanahnya digarap dan diairi untuk 
menanam padi merupakan daerah persawahan. 
Lingkungan persawahan cocok sebagai reservoir 
untuk nyamuk filariasis.Perkembangbiakan nyamuk 
filariasis salah satunya pada air yang menggenang 
dan berhubungan langsung dengan tanah.Nyamuk 
dapat terbang sejauh 200 meter dari tempat 
perkembangbiakan.
8) Keberadaan semak-semak 
Semak–semak merupakan tempat 
beristirahat bagi Cx.Quinquefasciatus jika berada di 
luar rumah. Semakin dekat jarak rumah responden 
dengan semaksemak, maka semakin besar peluang 
responden kontak dengan Cx.Quinquefasciatus. 
Menurut penelitian di Pekalongan pada tahun 2010, 
keberadaan semak-semak ada hubungannya dengan 
kejadian filariasis. 
9) Keberadaan kandang ternak 
Keberadaan kandang ternakmerupakan 
tempat peristirahatan nyamuk, dimana sebaiknya 
kandang ternak tidak berada di dalam rumah atau 
jaraknya kurang dari 100 meter dari rumah. 
Keberadaan kandang ternak di dekat rumah 
memiliki  dampak yang besar untuk tertular 
filariasis. Kandang ternak memiliki  temperatur 
dan kelembaban ideal untuk nyamuk vektor 
filariasis berkembangbiak, maka secara langsung 
juga akan meningkatkan risiko tertular filariasis.42 
berdasar  penelitian di Desa Samborejo 
Kabupaten Pekalongan tahun 2008, kandang ternak 
di sekitar rumah berhubungan dengan kejadian 
filariasis.2) Lingkungan Biologi 
Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan 
filariasis misalnya, adanya tanaman air sebagai tempat 
pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah endemis 
Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, 
sepanjang sungai atau badan air yang ditumbuhi tanaman 
air. Di negara kita  ditemukan tiga jenis parasit penyebab 
filariasis limfatik pada manusia yaitu, 
a) Wuchereria bancrofti 
Jenis cacing ini ditemukan di daerah perkotaan 
seperti Jakarta, Bekasi, Pekalongan dan 
sekitarnya.Yang ditularkan oleh nyamuk Culex, dapat 
ditemukan di dalam darah tepi pada malam hari. 
Sedangkan Whucheriria bancrofti yang ditemukan 
dipedesaan dengan endemis tinggi terutama di Irian 
Jaya (Papua) yang ditularkan melalui Anopheles, 
Culex dan Aedes. 
Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilarianya 
berukuran ±250µ, cacing betina dewasa berukuran 
panjang 65 – 100mm dan cacing jantan dewasa 
berukuran panjang ±40mm. Di ujung daerah kepala 
membesar, mulutnya berupa lubang sederhana tanpa 
bibir (Oral stylet) Bentuk cacing ini gilig memanjang, 
seperti benang. Jika terlalu banyak jumlahnya cacing 
yang berada dipembuluh darah, maka dapat 
menyumbat aliran limfa sehingga kaki menjadi 
membengkak. Pada saat dewasa, cacing ini 
menghasilkan telur kemudian akan menetas menjadi 
anak cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria. 
lalu , mikrofilaria beredar di dalam 
darah.Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah 
kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk 
yang menggigit, maka larva ini dapat menembus
dinding usus nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada 
nyamuk, kemudian setelah mengalami pertumbuhan, 
larva ini akan masuk ke alat penusuk, nyamuk itu 
menggigit orang, maka orang itu akan tertular 
penyakit ini.
b) Brugia malayi 
Cacing dewasa biasanya  mirip dengan 
Wuchereria bancrofti, hanya saja cacing B. malayi 
lebih kecil. Panjang cacing betina beriksar 43 hingga 
55 mm, sedangkan panjang cacing jantan berkisar 13 
hingga 23 mm. Cacing dewasa dapat memproduksi 
mikrofilaria di dalam tubuh manusia. Mikrofilaria 
ini memiliki lebar berkisar 5 hingga 7 um dan 
panjang berkisar 130 hingga 170 um. 
Biasanya, vektor yang umum berperan dalam 
penyebaran B. malayi adalah nyamuk yang berasal
dari genera Mansonia dan Aedes.Ketika nyamuk 
menghisap darah manusia, nyamuk yang terinfeksi 
B.malayi menyelipkan larva B.malayi ke dalam inang 
manusia. Dalam tubuh manusia, larva B.malayi 
berkembang menjadi cacing dewasa yang biasanya 
menetap di dalam pembuluh limfa. Cacing dewasa 
dapat memproduksi mikrofilaria yang dapat 
menyebar hinggamencapai darah tepi. Ketika nyamuk 
menggigit manusia yang telah terinfeksi, mikrofilaria 
dapat terhisap bersamaan dengan darah kedalam 
perut nyamuk. 
Setelah masuk kedalam tubuh nyamuk, 
mikrofilaria meninggalkan selubungnya. Mikrofilaria 
kemudian berenang melalui dinding proventikulus 
dan porsi kardiak (bagian dalam perut nyamuk), 
hingga mencapai otot toraksis (otot dada). Di dalam 
otot toraksis, larva filaria berkembang menjadi larva 
tahap akhir. 
Larva tahap akhir berenang melalui homocoel 
(rongga tubuh) hingga sampai pada prosbosis 
(sungut) nyamuk. Ketika tiba di dalam probosis 
nyamuk, cacing ini siap menginfeksi inang 
manusia yang lalu  infeksi B.malayi terbatas 
pada wilayah Asia. 
Beberapa negara yang memiliki  prevalensi 
B.malayi antara lain adalah negara kita , Malaysia, 
Filipina, dan India. Kehidupan cacing ini biasanya 
berada pada manusi dan hewan (kera, anjing, kucing). 
Terdapat dua bentuk B. malayi yang dapat dibedakan 
bedasarkan periodisitas mikrofilarianya pada darah 
tepi. Bentuk yang pertama, bentuk periodis nokturnal, 
hanya dapat ditemukan pada darah tepi pada malam 
hari.Bentuk yang kedua, bentuk subperiodis, dapat 
ditemukan pada darah tepi setiap saat, hanya saja 
jumlah mikrofilaria terbanyak ditemukan di malam 
hari.
c) Brugia timori 
Pada kedua jenis kelamin, ujung anteriornya 
melebar pada kepalanya yang membulat ekornya 
berbentuk seperti pita dan agak bundar pada tiap sisi 
terdapat 4 papil sirkum oral yang teratur pada bagian 
luar dan bagian dalam membentuk lingkaran, 
esophagus panjangnya lebih kurang 1 mm dengan 
ujung yang kurang jelas diantara otot dan kelenjar.
Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan 
pembuluh limfe, sedangkan microfilaria di jumpai 
didalam darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing 
dewasa mirip bentuknya dengan W. bancrofti, 
sehingga sulit dibedakan. Panjang cacing betina 
Brugia malayi dapat mencapai 55 mm, dan cacing 
jantan 23 cm. Brugia timori betina panjang badannya 
sekitar 39 mm dan yang jantan panjangnya dapat 
mencapai 23 mm. 
Mikrofilaria Brugia memiliki  selubung, 
panjangnya dapat mencapai 260 mikron pada 
B.malayi dan 310 mikron pada B.timori. Ciri khas 
mikrofilaria B.malayi adalah bentuk ekornya yang
mengecil, dan memiliki  dua inti terminal, sehingga 
mudah dibedakan dari mikrofilaria W. bancrofti. 
Brugia ada yang zoonotik, namun  ada yang 
hanya hidup pada manusia. Pada B.malayi bermacam￾macam, ada yang nocturnal periodic nocturnal 
subperiodic, atau non periodic, B. timori bersifat 
periodic nokturna. Brugia timori ditularkan oleh 
Anopheles didalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria 
yang terisap waktu menghisap darah akan melakukan 
penetrasi pada dinding lambung dan berkembang 
dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform 
infektif, kemudian berpindah ke probosis. Saat 
nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif 
akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas 
tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif ini akan 
bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian 
akan mengalami perubahan bentuk sebanyak dua kali 
sebelum menjadi cacing dewasa.
3) Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya 
Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah 
lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi 
antara manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, 
kebiasaan, dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di 
kebun pada malam hari, keluar pada malam hari, dan 
kebiasaan tidur berkaitan dengan intensitas kontak 
vektor. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi 
daripada perempuan karena biasanya  laki-laki sering 
kontak dengan vektor pada saat bekerja.
b. Faktor Host (Manusia)
Faktor resiko kejadian Filariasis ini dapat dipengaruhi oleh 
manusia itu sendiri, meliputi : 
1) Umur Penyakit Filariasis ini dapat menyerang semua 
kelompok umur, dalam arti setiap orang dapat tertular 
penyakit Filariasis ini apabila sering tergigit nyamuk yang 
mengandung larva L3. 
2) Jenis Kelamin Kejadian Filariasis pada laki – laki lebih 
tinggi dibandingkan dengan wanita, karena pada 
biasanya  laki – laki lebih sering kontak dengan nyamuk 
dikarenakan pekerjaan.36 berdasar  penelitian di Jati 
Sampurna pada tahun 2010 menyatakan jenis kelamin 
laki – laki memiliki resiko terkena Filariasis 4,7 kali 
dibandingkan dengan perempuan. 
3) Pengetahuan Pengetahuan ini hasil dari tahu 
pasien  terhadap obyek tertentu melalui pengindraan 
yang dimiliki.16 menurut penelitian di Pariaman pada 
tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat hubungan 
antara pengetahuan dengan kejadian Filariasis.
4) Sikap Sikap dipengaruhi oleh pengetahuan, dengan 
adanya pengetahuan yang baik, maka akan terbentuknya 
sikap yang baik sehingga mampu menangani kesehatan. 
berdasar  penelitian tahun 2013 terdapat hubungan 
antara sikap dengan kejadian Filariasis.
5) Imunitas pasien  yang berada diwilayah endemis 
Filariasis, tidak semuanaya akan terinfeksi Filariasis. 
Karena orang yang pernah terinfeksi Filariasis 
sebelumnya tidak pernah terbentuk imunitas dalam 
tubuhnya terhadap Filariasis ataupun orang yang tinggal 
diwilayah endemis tidak memiliki  imunitas alami 
terhadap Filariasis.
c. Faktor Perilaku 
Fator perilaku manusia merupakan hal yang dapat 
mempengaruhi terpajannya manusia dengan suatu penyakit 
dan vektor pembawa penyakit. Perilaku yang beresiko 
terhadap kejadian Filariasis ini meliputi : 
1) Kebiasaan keluar rumah pada malam hari 
Kebiasaan pasien  untuk keluar rumah pada 
malam hari saat nyamuk Anopheles aktif menggigit akan 
meningkatkan risiko kejadian filariasis. Faktor ini 
terkait erat dengan spesies nyamuk yang ada. Dimana 
berdasar  hasil survei vektor yang dilakukan bahwa 
puncak kepadatan nyamuk terjadi pada pukul 20.00 –
21.00. Sebaiknya membiasakan diri memakai baju 
panjang dan celana panjang serta memakai obat nyamuk 
oles, hal ini untuk meminimalkan resiko tergigit nyamuk 
saat beraktivitas di luar rumah pada malam hari. 
berdasar  penelitian yang dilakukan di 
Kelurahan Jati Sampurna pada Tahun 2010 didapatkan 
hasil bahwa, responden yang memiliki kebiasaan keluar 
rumah pada malam hari memiliki peluang 5,4 kali lebih 
besar untuk menderita penyakit filariasis dibandingkan 
dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan seperti 
itu. 
2) Kebiasaan menggantung pakaian 
Pakaian yang digantung dapat menjadi sebagai 
tempat peristirahatan nyamuk (vektor) dan menjadi 
faktor yang risiko terhadap kejadian filariasis. 
berdasar  penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja 
Puskesmas Buaran Kabupaten Pekalongan pada tahun 
2011, menyatakan bahwa ada hubungan antara 
kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian 
Filariasis. 
3) Kebiasaan memakai  obat anti nyamuk 
Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan 
sendiri oleh masyarakat seperti berusaha menghindarkan 
diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak 
dengan vektor) misalnya memakai  obat nyamuk 
semprot atau obat nyamuk bakar, mengoles kulit dengan 
obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas 
nyamuk. berdasar  penelitian di Samborejo Kabupaten 
Pekalongan 2008, kebiasaan memakai  obat nyamuk 
berpengaruh terhadap kejadian filariasis.Pemakaian obat 
nyamuk bertujuan untuk mencegah gigitan nyamuk.
4) Pemakaian kelambu saat tidur
Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna 
untuk mencegah kontak dengan nyamuk. Jenis kelambu 
yang dipakai  pada saat tidur tidak boleh sobek, namun 
penggunaan kelambu tidak akan berarti kalau tidak 
diikuti dengan pemakaian yang rutin, karena pada 
biasanya  aktivitas nyamuk menggigit tertinggi pada 
malam hari. berdasar  penelitian di Kabupaten 
Pekalongan pada tahun 2009, didapatkan hasil bahwa 
kejadian filariasis berhubungan dengan kebiasaan 
memakai kelambu pada saat tidur. 
5) Perilaku minum obat 
Salah satu praktik pencegahan dan pemutusan 
mata rantai penularan filariasis adalah dengan pemberian 
obat filariasis (POMP) setahun sekali selama lima tahun 
berturut-turut. Apabila suatu daerah sebagian besar 
terkena penyakit ini, maka pengobatan massal dengan Diethil Carbamizin Citrat (DEC) dapat diberikan setahun 
sekali dan sebaiknya dilakukan paling sedikit selama lima 
tahun. 
d. Faktor Agent (Pembawa Penyakit) 
Keberadaan penderita Filariasis merupakan faktor 
agent penularan Filariasis. Pada dasarnya pasien  dapat 
tertular penyakit Filariasis apabila tergigit oleh nyamuk yang 
mengandung larva L3. Nyamuk yang membawa microfilaria 
dari penderita yang menunjukan gejala klinis maupun tidak 
menunjukan gejala. 
Nyamuk Anophelini dan Non Anophelini dapat 
berperan sebagai vektor filariasis limfatik pada manusia dan 
binatang. Parasit ini tersebar di seluruh kepulauan di 
negara kita  yang termasuk ke dalam genus Aedes, Anopheles, 
Culex, Mansonia, Coquilettidia dan Armigeres. Berikut vektor 
nyamuk Filariasis: 
1) Nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus 
Nyamuk ini aktif pada pagi hari hingga siang, 
penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina, karena 
hanya nyamuk betina yang menghisap darah untuk 
mendapatkan asupan protein yang diperlukan untuk 
produksi telur.Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah 
karena sudah mendapatkan energi dari tumbuhan. 
Nyamuk ini suka berda di area yang gelap dan benda 
berwarna hitam ataupun merah. Nyamuk ini pada 
biasanya  berada di lingkungan perumahan yang terdapat 
banyak genangan air dan ada juga yang berada di daerah 
hutan (A.albopictus).
2) Nyamuk Anopheles 
Nyamuk ini suka menggigit dalam posisi 
menungging atau posisi badan, mulut yang dibenamkan 
kemanusia dalam keadaan segaris. Nymuk ini berwarna 
hitam dan terdapat belang putih pada seluruh tubuh, 
berkembangbiak di tempat penampungan air dan barang 
– barang yang memungkinkan air tergenang seperti bak 
mandi, drum, vas bunga, dan ban bekas. Nyamuk ini tidak 
dapat berkembangbiak diselokan, atau kolam yang airnya 
langsung berhubungan dengan tanah, air mengalir yang 
ditumbuhi tanaman dan nyamuk ini biasanya menggigit 
pada siang atau sore hari, akan namun  untuk menularkan 
penyakit filaria nyamuk ini menggigit pada malam hari. 
3) Nyamuk Culex 
Nyamuk Culex Sp. adalah vektor utama penularan 
filariasis. Penularan penyakit filariasis sangat dipengaruhi 
oleh bagaimana kondisi kekebalan tubuh, berapa kali 
nyamuk menggigit dan berapa lama nyamuk yang 
mengandung cacing filaria hidup. Jika kondisi kekebalan 
tubuh tinggi, maka sangat membantu dalam membunuh 
cacing filaria di dalam tubuh.Untuk terkena Penyakit 
filariasis, paling tidak mengalami gigitan nyamuk 
sebanyak 1000 gigitan. Selain itu, waktu yang dibutuhkan 
Cacing filaria untuk berkembang di dalam tubuh nyamuk 
adalah selama 10 hari. Dengan demikian, jika nyamuk 
tidak bisa hidup selama itu maka cacing filaria akan mati 
juga. Nyamuk culex ini biasanya berkembang biak di 
daerah sekitar kandang ternak babi, sapi, air tanah, rawa –
rawa dan sekitar sawah atau parit. Nyamuk culex fatigan 
ini dapat menyebarkan cacing yang berjenis Wuchereria 
bancrifti, dan nyamuk ini sering dijumpai di rumah –
rumah.
4) Nyamuk Mansonia 
Nyamuk Mansonia ini biasanya berada disekitar 
tanaman air, yaitu seperti enceng gondok dan cacing yang 
disebarkan berjenis Brugia malayi. Gambar 2.8 nyamuk 
mansonia26 Spesies Anopheles, Culex, dan Aedes telah 
dilaporkan menjadi vektor filariasis bancrofti di 
perkotaan dan pedesaan. Vektor utama filariasis di 
perkotaan adalah Culex quinguefasciatus, sedangkan di 
pedesaan filariasis bancrofti dapat ditularkan oleh 
berbagai spesies Anopheles seperti An.anconitus, 
An.bancrofti, An.farauti, An.punctulatus, dan An.subpictus, 
atau dapat pula ditularkan oleh nyamuk Aedes kochi, 
Cx.bitaeniorrhynchus, Cx.annulirostris danArmigeres 
obsturbans. Vektor utama Filariasis malayi adalah 
Anopheles, Mansonia dan Coquilettidia. 
PATOGENESIS FILARIASIS
Perkembangan penyakit filariasis dapat dipengaruhi oleh 
faktor mendapat gigitan nyamuk yang sering, kerentanan individu 
terhadap parasit, banyak larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan 
adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Pada dasarnya 
perkembangan klinis filariasis disebabkan oleh cacing filaria dewasa 
yang tinggal disaluran limfe, sehingga menimbulkan gejala pelebaran 
(dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi), sehingga 
menjadi gangguan fungsi limfatik. 
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu 
adanya sumber penular seperti manusia atau reservoir yang 
mengandung mikrofilaria dalam darahnya, adanya vektor penularan 
filariasis, dan manusia yang rentan filariasis.
pasien  dapat tertular filariasis apabila telah mendapatkan 
gigitan nyamuk infektif yang mengandung larva infektif (larva stadium 
3 – L3). Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk 
melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem 
limfe. Penularan filaria tidak mudah dari satu orang ke orang lain pada 
suatu wilayah tertentu, bahwa orang yang menderita filaria telah 
digigit nyamuk ribuan kali.
Larva L3 B.malayi dan B.timori akan menjadi cacing dewasa 
dalam kurun waktu lebih dari 3,5 bulan, sedangkan W.bancrofti 
memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Selain sulitnya penularan 
dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk 
mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung 
mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap microfilaria 
terlalu banyak dapat memicu  kematian, tapi jika mikrofilaria 
yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah stadium larva 
L3 yang akan ditularkan. 
Kepadatan vektor, suhu, dan kelembaban sangat berpengaruh 
terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh 
terhadap umur nyamuk, sehingga microfilaria yang telah ada dalam 
tubuh nyamuk tidak cukup waktu untuk tumbuh menjadi larva infektif 
L3. Masa inkubasi ekstrinsik untuk W.bancrofti antara 10-14 hari, 
sedangkan B.malayi dan B.timori antara 8-10 hari.
Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung (yang 
didapatkannya ketika menggigit penderita filariasis), akan melepaskan 
selubung tubuhnya yang kemudian bergerak menembus perut tengah 
lalu berpindah tempat menuju otot dada nyamuk. Larva ini disebut 
larva stadium I (L1).L1 kemudian berkembang hingga menjadi L3 yang 
membutuhkan waktu 12–14 hari.L3 kemudian bergerak menuju 
probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang mengandung L3 ini 
menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria dalam tubuh 
orang tersebut. Setelah tertular L3, pada tahap lalu  di dalam 
tubuh manusia, L3 memasuki pembuluh limfe dimana L3 akan tumbuh 
menjadi cacing dewasa, dan berkembangbiak menghasilkan 
mikrofilaria baru sehingga bertambah banyak. Kumpulan cacing filaria 
dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Aliran 
sekresi kelenjar limfe menjadi terhambat dan menumpuk di suatu 
lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe terutama pada 
daerah kaki, lengan maupun alat kelamin yang biasanya disertai infeksi 
sekunder dengan fungi dan bakteri karena kurang terawatnya bagian 
lipatan-lipatan kulit yang mengalami pembengkakan tersebut.
GEJALA KLINIS FILARIASIS
Masa berkembangnya larva infektif di dalam tubuh manusia 
sampai terjadinya gejala klinis dalam waktu antara 8 – 12 bulan. 
Setelah orang terhisap nyamuk infeksius yang membawa mikrofilaria 
hisapan nyamuk pertama dari vektor.
Gejala klinis filariasis disebabkan oleh infeksi W.barcrofti, 
B.malayi, dan B timori adalah sama, namun  gejala klinis akut tampak 
lebih jelas dan berat oleh B.malayi dan B.timori. Infeksi W.bancrofti 
dapat memicu  kelainan saluran pada saluran kemih dan alat 
kelamin, namun  infeksi oleh B.malayi dan B.timori tidak menimbukan 
kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin.
Terdapat gejala klinis akut dan klinis kronis maupun 
mikrofilaria tanpa gejala pada penyakit filariasis: 
a. Mikrofilaremia tanpa gejala pasien  yang akan mengalami 
infeksi penyakit Filariasis tidak akan langsung menunjukan 
gejala, walaupun tidak menunjukan gejala pada fase inilah 
sebenarnya telah terjadi kerusakan system limfa dan ginjal dan 
terjadilah perubahan sistem kekebalan tubuh pada manusia. 
b. Gejala klinis akut 
1) Adenolimfangitis Akut Demam berulang-ulang selama 3–5 
hari, demam dapat hilang bila beristirahat dan muncul 
kembali setelah bekerja berat, pembengkakan getah bening 
limfadenopati, bagian yang terinfeksi akan merasakan, 
kemerahan dan bengkak dikarenakan adanya penumpukan 
cairan. 
2) Limfangitis Filaria Akut Gejala ini tidak disertai dengan 
terjadinya demam, namun pada gejala ini akan muncul 
benjolan kecil pada bagian tubuh seperti, pada sistem 
kelenjar getah bening dan skortum.
c. Gejala klinis kronik 
Gejala ini berupa pembesaran yang sangat jelas dilihat 
dengan kasap mata yaitu pembesaran menetap pada tungkai, 
lengan, buah dada, dan buah zakar.Gejala kronis terdiri dari 
limfa edema, limfa scortum, kiluria, dan hidrokel.Limfa scortum 
adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scortum, 
kadang pada kulit penis, sehingga mudah pecah dan cairan limfe 
mengalir keluar membasahi pakaian. Kiluria adalah kebocoran 
atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah diginjal 
(pelvis renalis) sehingga cairan limfe dan darah masuk kedalam 
saluran kemih dan pelebaran kantung buah zakar karena 
terkumpulya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis.
pasien  yang menderita filariasis dapat didiagnosis 
secara klinis dengan cara sebagai berikut. Deteksi parasit yaitu 
menemukan mikrofilaria di dalam darah pada pemeriksaan 
sediaan darah tebal. Pengambilan darah dilakukan malam hari 
karena mikrofilaria aktif malam hari dan banyak beredar dalam 
sistem pembuluh darah. Setelah membuat sedian darah maka 
dilakukan pemeriksaan sedian tersebut. Pemeriksaan dengan 
ultrasonografi (USG) pada skrotum.
Diagnosis dibuat berdasar  gejala klinis dan dipastikan 
dengan pemeriksaan laboraturium: 
a. Diagnosis Parasitologi 
Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam 
darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada 
pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi, 
membran filtrasi dan tes provokatif DEC. Pengambilan 
darah dilakukan malam hari karena periodisitas 
mikroilaria biasanya  nokturna.Sedangkan diferensiasi 
spesiaes dan stadium filaria dengan memakai  
pelacak DNA yang spesifik dan antibodi monoklonal 
untuk mengidentivikasi larva filaria dalam tubuh 
manusia dan vektor. 
b. Radiodiagnosis 
Pemeriksaa dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum 
dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan 
memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. 
c. Diagnosis Imunologi 
Diagnosis ini memakai  teknik ELISA dan 
immunochromatographictest (ICT). Kedua teknik ini 
pada dasarnya memakai  antibodi monoklona yang 
spesifik untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam 
sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya 
infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan 
dalam darah.
UPAYA PENCEGAHAN, PENGOBATAN, DAN REHABILITASI 
FILARIASIS 
a. Upaya Pencegahan Filariasis 
Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan 
menghindari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan 
vektor) misalnya memakai  kelambu sewaktu tidur, 
menutup ventilasi dengan kasa nyamuk, memakai  obat 
nyamuk, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, 
memakai  pakaian panjang menutupi kulit, tidak memakai 
pakaian berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk, 
membersihkan got/selokan, memelihara ikan pada kolam, dan 
memberikan obat anti filariasis (DEC dan Albendazol) secara 
berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah 
endemis. Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling 
efektif tentu saja dengan memberantas nyamuk itu sendiri 
dengan cara 3M.
b. Upaya Pengobatan Filariasis 
Tujuan utama dalam pengobatan penyakit Filariasis 
ini adalah untuk membasmi parasit atau larva yang 
berkembang di dalam tubuh penderita, sehingga tingkat 
penularannya dapat dikurangi. Pengobatan filariasis harus 
dilakukan secara masal dan pada daerah endemis dengan 
memakai  obat Diethylcarbamazine Citrate (DEC).DEC 
dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada 
pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC adalah satu￾satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk 
filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis yang dianjurkan 6 
mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk 
filariasis akibat Brugia malayi dan Brugia timori, dosis yang 
dianjurkan 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek 
samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, sakit kepala, 
mual hingga muntah.
Pada pengobatan filariasis yang disebabkan oleh 
Brugia malayi dan Brugia timori, efek samping yang 
ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya 
dianjurkan dalam dosis rendah, namun  pengobatan dilakukan 
dalam waktu yang lebih lama. Pengobatan kombinasi dapat 
juga dilakukan dengan dosis tunggal DEC dan Albendazol 
400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun, pengobatan 
kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC. Obat lain yang 
juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik 
semisintetik dari golongan makrolid yang memiliki  
aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini 
hanya membunuh microfilaria efek samping yang ditimbulkan 
lebih ringan dibanding DEC. Terapi suportif berupa pemijatan 
juga dapat dilakukan di samping pemberian DEC dan 
antibiotika, khususnya pada kasus yang kronis. Pada kasus￾kasus tertentu dapat juga dilakukan pembedahan. 
c. Upaya Rehabilitasi Filariasis 
Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan 
dapat sembuh total. Namun, kondisi mereka tidak bisa pulih 
seperti sebelumnya artinya, beberapa bagian tubuh yang 
membesar tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. 
Rehabilitasi tubuh yang membesar ini dapat dilakukan 
dengan jalan operasi.
DAMPAK PENYAKIT FILARIASIS 
Penyakit Filariasis stadium lanjut akan memicu  cacat 
fisik permanen, cacat ini mengacu pada penurunan nilai dan 
pembatasan aktivitas dan akan berdampak pada 
a. Dampak Ekonomi 
Seorang yang menderita penyakit Filariasis ini dalam 
jangka waktu yang lama dia tidak akan bisa bekerja seperti 
biasanya. Jika mereka memaksa untuk bekerja keras maka 
penderita akan mengalami keletihan yang luar biasa sehingga 
mengharuskan penderita untuk beristirahat terlalu cukup 
lama sebelum kembali untuk bekerja. Penderita ini akan 
mengalami kerugian ekonomi setiap tahun akibat kunjungan 
ke fasilitas kesehatan yang berulang – ulang, kehilangan 
produktivitas untuk bekerja dan kecapekan terhadap keluarga 
karena harus merawat penderita Filariasis tersebut.
b. Dampak Sosial 
Penyakit Filariasis ini memberikan beban yang berat 
pada penderita, seperti komplikasi kronis sering dianggap 
memalukan dan menghalangi pasien dari peran sosial di 
masyarakat. Kerusakan organ genital pada laki – laki 
merupakan kecacatan yang berat sehingga memicu  
keterbatasan fisik. Bagi wanita rasa malu dan tabu berkaitan 
dengan lymphoedema. Kerusakan pada tungkai bawah dan 
bagian genital dapat menimbulkan stigma yang negatif.Selain 
itu kerusakan pada organ seksual dapat menambah masalah 
dalam kehidupan perkawinan. Sehingga penderita ini rentan 
terhadap depresi dan kesehatan mental yang buruk.
3. HELMINTHIASIS
Helminthiasis , juga dikenal sebagai infeksi cacing , adalah 
penyakit makroparasit pada manusia dan hewan lain di mana bagian 
tubuh terinfeksi cacing parasit , yang disebut cacing . Ada banyak 
spesies parasit ini, yang secara luas diklasifikasikan menjadi cacing pita 
, cacing , dan cacing gelang . Mereka sering hidup di saluran
pencernaan inang mereka, namun  mereka juga dapat menggali ke dalam 
organ lain, di mana mereka memicu  kerusakan fisiologis.
Soil-transmitted helminths adalah sekelompok cacing kelas 
Nematoda yang memicu  infeksi pada manusia akibat tertelannya 
telur ataupun larva cacing itu sendiri yang berkembang di tanah yang 
lembab yang terdapat di negara yang beriklim tropis ataupun 
subtropis. Infeksi STH yang banyak ditemukan adalah Ascaris 
lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang. Lebih dari 800 
juta anak di dunia terinfeksi oleh Trichuris trichiura. 
World Health Organization memperkirakan bahwa 27.000 anak 
per tahun meninggal karena terjadinya infeksi STH. Lima belas juta 
anak usia kurang dari 15 tahun berisiko mengalami gangguan 
pertumbuhan, penurunan kemampuan fisik, atau keduanya sebagai 
akibat terjadinya infeksi STH. Satu juta lima ratus ribu anak tidak akan 
mengalami perbaikan gangguan pertumbuhan meskipun diberikan 
terapi infeksi STH terutama Ascaris lumbricoides dan Trichuris 
trichiura. Anak usia sekolah memiliki prevalens infeksi STH berat dan 
kronis, yang akan memengaruhi kesehatan anak, nutrisi, 
perkembangan kognitif, dan prestasi belajar. 

negara kita  merupakan negara yang luas di Asia Tenggara terdiri 
dari beberapa kepulauan, sebagai negara berkembang yang berlokasi 
di daerah tropis, banyak penyakit infeksi dan tropis menduduki 10 
peringkat penyakit terbanyak di negara kita . Prevalens infeksi cacing 
STH di Bali masih tinggi karena Bali dengan kisaran suhu 18,7oC 
sampai 28oC serta musim panas yang lebih pendek (lima bulan) 
sehingga optimal untuk perkembangan telur cacing STH menjadi 
infektif di tanah. 
Helminthiasis telah ditemukan mengakibatkan hasil kelahiran 
yang buruk, perkembangan kognitif yang buruk, kinerja sekolah dan 
pekerjaan yang buruk, perkembangan sosial ekonomi yang buruk, dan 
kemiskinan. Penyakit kronis, malnutrisi , dan anemia adalah contoh 
lebih lanjut dari efek sekunder. Helminthiases yang ditularkan melalui 
tanah bertanggung jawab atas infeksi parasit pada seperempat 
populasi manusia di seluruh dunia. Salah satu contoh helminthiases 
yang ditularkan melalui tanah adalah ascariasis .
PENYEBAB HELMINTHIASIS
Infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura lebih sering 
terjadi pada daerah pedesaan dan prevalens yang lebih tinggi dapat 
dihubungkan dengan kepadatan penduduk, tidak tersedianya air 
bersih, dan sanitasi yang buruk. Prevalens tertinggi infeksi Ascaris 
lumbricoides dan Trichuris trichiura adalah di daerah dataran tinggi 
dengan curah hujan yang tinggi. 
Infeksi cacing STH pada anak laki-laki dan perempuan 
cenderung sama, sedangkan usia yang berhubungan dengan tingginya 
prevalens Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura adalah usia 
delapan sampai 12 tahun. Anak kelompok usia ini merupakan 
kelompok anak yang paling aktif serta kurang memperhatikan 
kesehatan dan kebersihan diri (Widjana dan Sutisna, 2000). Hal ini 
juga serupa dengan hasil penelitian Alelign dkk. (2015) dengan 
prevalens infeksi STH paling tinggi pada anak sekolah dasar (SD) kelas 
4-6. Infeksi cacing Trichuris trichiura sering juga disertai infeksi cacing 
lainnya yang tersering adalah Ascaris lumbrocoides. 
Ukuran cacing STH bervariasi dan cacing betina berukuran lebih 
besar dibandingkan jantan. Setiap cacing betina dewasa, setelah 
pembuahan, akan menghasilkan ribuan telur cacing per hari, yang 
kemudian akan ditemukan pada tinja. Manusia merupakan satu￾satunya pejamu utama untuk STH, meskipun pada beberapa kasus 
ditemukan pada babi yang terdapat pada infeksi Ascaris lumbricoides. 
Cacing betina panjangnya sekitar lima cm dan yang jantan sekitar 
empat cm. Telur cacing Trichuris trichiura berukuran 50-54 x 32 
mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penojolan yang 
jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning￾kuningan dan bagian di dalamnya jernih. 
Trichuris trichiura memproduksi telur yang dikeluarkan ke 
lingkungan luar melalui tinja. Penularan Trichuris trichiura terjadi 
secara pasif dengan tertelannya telur oleh seorang anak. Stadium 
pertama larva Trichuris trichiura yang berasal dari telur saat masuk ke 
dalam usus halus kemudian larva akan mengalami beberapa tahapan 
sebelum pematangan. Stadium dewasa biasanya akan berkembang 
dalam 30-90 hari infeksi dan terutama akan tinggal di caecum, bagian 
anterior dari cacing akan bersembunyi pada epitel mukosa. 
Adapun perkiraan usia hidup Trichuris trichiura dewasa adalah 
satu sampai dua tahun, dan cacing betina akan menghasilkan telur 
sebanyak 2000-3000 telur per hari. Pada infeksi berat, cacing dewasa 
bisa terdapat di sepanjang saluran pencernaan mulai dari caecum 
hingga rectum. Cacing dewasa dapat merusak bentuk normal mukosa 
kolon yang dapat memicu  kehilangan darah jika terdapat 
perlekatan parasit dan ulserasi. 
Siklus hidup Ascaris : Cacing dewasa di dalam lumen usus
halus (1). Betina menghasilkan telur (sekitar 200.000 per hari) yang
dikeluarkan bersama tinja (2). Telur yang tidak dibuahi tidak
berbahaya, namun  telur yang dibuahi menjadi infektif setelah 18 hari
sampai beberapa minggu (3). Telur infektif dicerna (4), masuk ke usus
(5), berkembang menjadi larva di usus, dan menembus pembuluh
darah untuk masuk ke paru-paru, di mana mereka berkembang lebih
jauh (6), setelah 10 hingga 14 hari, menembus dinding alveolar, naik
pohon bronkial ke tenggorokan, dan ditelan kembali (7). Setelah
mencapai usus halus, mereka berkembang menjadi cacing dewasa
(8). Diperlukan waktu 2 hingga 3 bulan untuk satu siklus
lengkap. Cacing dewasa bisa hidup 1 sampai 2 tahun.
Trichosomoides , Ascaris lumbricoides dengan 
penetasan larva, sampel cacing gelang 
dewasa, Hymenolepis nana , Schistosoma
mansoni dan Toxocara canis dengan penetasan larva
Dari semua spesies cacing yang diketahui, cacing yang paling 
penting dalam memahami jalur penularannya, pengendaliannya, 
inaktivasi dan pencacahannya dalam sampel kotoran manusia dari 
feses kering, lumpur feses , air limbah , dan lumpur limbah adalah:
a. Cacing yang ditularkan melalui tanah, termasuk Ascaris
lumbricoides (paling umum di seluruh dunia), Trichuris
trichiura , Necator americanus , Strongyloides stercoralis dan
Ancylostoma duodenale
b. Hymenolepis nana
c. Taenia saginata
d. Enterobius
e. Fasciola hepatica
f. Schistosoma mansoni
g. Toxocara canis
h. Toxocara cati
ORANG YANG BERISIKO TINGGI HELMINTHIASIS
Risiko terjadinya infeksi Trichuris trichiura tidak hanya 
dipengaruhi oleh satu faktor namun  beberapa faktor yang terjadi 
bersamaan. Faktor risiko ini antara lain : 
a. Usia (WHO, 2016) 
Kelompok usia yang berisiko tinggi terjadinya infeksi cacing 
antara lain : 
1) Anak usia prasekolah 
2) Anak usia sekolah 
3) Wanita usia subur 
4) Orang dewasa yang pekerjaannya berisiko tinggi seperti 
buruh tambang dan buruh perkebunan teh.
b. Tingkah laku 
1) Kebiasaan buang air besar di lahan terbuka. Dalam 
penelitian didapatkan bahwa jika sebagian kecil dari 
populasi memiliki kebiasaan buang air besar di toilet maka 
infeksi cacing akan berkurang. 
2) memakai  alas kaki.
c. Lingkungan 
1) Area pedesaan memiliki prevalens infeksi STH yang lebih 
tinggi, selain itu daerah padat penduduk, kurangnya 
persedian air, dan sanitasi yang tidak adekuat. berdasar  
penelitian yang dilakukan di Mesir didapatkan anak yang 
tinggal di desa yang dekat dengan sungai atau padang pasir 
memiliki  risiko yang lebih tinggi jika dibandingkan 
dengan anak yang ditinggal di perkotaan. 
2) Lingkungan dengan kehangatan dan kelembaban baik 
merupakan kunci menurukan kejadian infestasi STH. 
3) Tempat tinggal padat yaitu jumlah orang tinggal dalam satu 
rumah lebih dari tiga orang akan meningkatkan kejadian 
infeksi STH. 
GEJALA KLINIS HELMINTHIASIS
Kebanyakan individu yang terinfeksi Trichuris trichiura tidak 
menunjukkan gejala namun terdapat juga sejumlah pasien yang 
terinfeksi Trichuris trichiura menunjukkan gejala yang bermakna, 
terutama pada anak dengan infeksi berat yang berkepanjangan akan 
mengalami sindrom disentri. biasanya  infeksi Trichuris trichiura 
derajat sedang dan berat yang akan menunjukkan gejala yang jelas. 
Morbiditas infeksi Trichuris trichiura disebabkan oleh kurang gizi, 
anemia defisiensi besi, gangguan penyerapan, obstruksi saluran 
pencernaan, disentri kronis, prolaps rektum, serta komplikasi pada 
saluran pernapasan. 
Pada infeksi Trichuris trichiura derajat ringan hanya sedikit 
terjadi kerusakan mukosa usus. Manifestasi klinis yang timbul pada 
infeksi Trichuris trichiura derajat ringan adalah anak menjadi gugup, 
susah tidur, nafsu makan menurun, dapat dijumpai nyeri ulu hati atau 
nyeri perut biasanya , muntah, konstipasi, dan perut kembung. 
Pada infeksi Trichuris trichiura derajat berat dapat menunjukkan 
gejala mencret yang mengandung darah, lendir, nyeri perut, tenesmus 
(nyeri saat buang air besar), anoreksia, anemia, dan penurunan berat 
badan. Pada infeksi Trichuris trichiura yang sangat berat dapat terjadi 
prolaps rektum. 
Infeksi Trichuris trichiura juga dapat memicu  kolitis 
kronis yang akan menimbulkan banyak gejala klinis seperti penyakit 
Crohn dan kolitis ulseratif. Pada anak dengan infeksi Trichuris 
trichiura kronis yang mengalami gangguan pertumbuhan memiliki 
gambaran yang sama dengan anak dengan penyebab lain penyakit 
inflamasi pada usus besar. Pada infeksi Trichuris trichiura derajat 
berat, cacing akan menyebar ke proksimal dan memicu  ileitis. 
Klasifikasi derajat infeksi Trichuris trichiura berdasar  pedoman 
WHO : 
a. Infeksi derajat ringan : 1-999 telur cacing per gram 
b. Infeksi derajat sedang : 1000-9999 telur cacing per gram 
c. Infeksi derajat berat : ≥ 10.000 telur cacing per gram 
Derajat infeksi merupakan kunci terjadinya morbiditas infeksi 
Trichuris trichiura meskipun infeksi derajat ringan sering 
asimptomatik namun juga dapat memicu  morbiditas termasuk 
defisiensi nutrisi baik mikronutrien maupun makronutrien, anemia 
defisiensi besi, dan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan. 
Diagnosis yang akurat sangat penting untuk mengidentifikasi 
individu yang terinfeksi Trichuris trichiura agar dapat menentukan 
obat yang tepat dan untuk mengontrol dan mengeliminasi infeksi 
Trichuris trichiura. Pendekatan diagnostik yang biasa dipakai  saat 
ini pada beberapa penelitian epidemiologi adalah deteksi kopro￾mikroskopik telur cacing dengan teknik Kato-Katz. Kato-Katz multipel 
hapusan tebal dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas diagnosis. 
Cara pemeriksaan lain adalah flotation merupakan cara baru 
dengan teknik translation yaitu metode FLOTAC. Metode FLOTAC ini 
membutuhkan sentrifus yang mungkin saja tidak terdapat pada semua 
laboratorium dan terdiri dari beberapa tahap prosedur. Belakangan ini 
juga berkembang metode FLOTACmini. Metode FLOTAC-mini ini 
memang lebih sensitif untuk mendiagnosis infeksi STH namun  metode 
ini masih belum banyak tersedia di laboratorium. 
Tanda dan gejala helminthiasis bergantung pada sejumlah 
faktor termasuk: tempat infestasi di dalam tubuh; jenis cacing yang 
terlibat; jumlah cacing dan volumenya; jenis kerusakan yang 
disebabkan oleh cacing yang menginfestasi; dan, respon imunologi 
tubuh. Jika beban parasit di dalam tubuh ringan, mungkin tidak ada 
gejala.
PENANGGULANGAN HELMINTHIASIS
Untuk mengatasi infeksi STH maka terdapat tiga intervensi utama : 
a. Perbaikan sanitasi 
Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan transmisi 
dengan cara mengurangi kontaminasi melalui tanah dan air. 
Sanitasi merupakan intervensi definitif untuk mengatasi infeksi 
STH, namun  cara ini akan efektif jika mencakup populasi yang 
besar oleh karena itu membutuhkan biaya yang besar. 
Penerapan strategi ini akan sulit pada daerah dengan sumber 
daya manusia dan dan yang terbatas. Pada kajian sistematis dan 
meta-analisis menunjukkan intervensi terhadap air, sanitasi, dan 
higienis merupakan hal yang sangat penting untuk mengontrol 
infeksi STH. 
b. Edukasi kesehatan 
Bertujuan untuk mengurangi transmisi dan infeksi berulang 
dengan cara memberikan motivasi akan perilaku hidup sehat. 
Edukasi yang diberikan adalah untuk mengurangi kontaminasi 
pada tanah dan air melalui penggunaan jamban saat buang air 
besar. Tanpa adanya perbaikan perilaku buang air besar, 
pemberian obat STH secara periodik pun tidak akan tercapai 
eradikasi infeksi STH. Edukasi kesehatan dapat diberikan secara 
sederhana dan lebih ekonomis serta tidak ada kontraindikasi 
atau risiko terhadap tindakan edukasi ini. 
PENGOBATAN HELMINTHIASIS
a. Terapi obat anti-STH 
Tujuan pemberian obat anti-STH adalah untuk 
mengurangi morbiditas. Tujuan utamanya adalah untuk 
menurunkan angka morbiditas infeksi STH pada anak sekolah 
dengan cara menurunkan derajat keparahan infeksi derajat 
sedang dan berat hingga dibawah 1%. Terapi ini bertujuan 
untuk mengurangi penularan dengan cara pengurangan jumlah 
cacing dan pemecahan telur. Pemberian obat anti STH pada 
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, dengan puncak 
keparahannya adalah anak usia sekolah, diberikan secara 
periodik dan lebih sering sehingga dapat mengurangi penularan
lebih lanjut . 
Pengobatan secara massal atau yang disebut sebagai 
kemoterapi pencegahan oleh WHO merupakan pemberian obat 
anti STH ke populasi yang berisiko tinggi mengalami morbiditas 
dan merupakan landasan untuk mengatasi masalah global 
infeksi STH dan penyakit tropis lainnya. Sasaran utama 
pengobatan secara massal adalah mengurangi derajat 
keparahan infeksi STH dengan cara menghilangkan infeksi 
derajat sedang dan berat pada anak usia sekolah, ibu usia subur, 
dan kelompok