Home »
epidemi menular 3
» epidemi menular 3
epidemi menular 3
November 16, 2023
epidemi menular 3
rentan lainnya. Tiga cara kemoterapi yang
dipakai untuk mengobati infeksi STH pada komunitas antara
lain (1) pemberian obat anti STH pada populasi biasanya ,
komunitas diterapi tanpa dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
status infeksi, dan karakteristik sosial lainnya, (2) sasaran
pemberian obat anti STH berdasar kelompok usia, kehadiran
di sekolah atau karakteristik sosial lainnya, penduduk suatu
wilayah, tanpa menilai status infeksi, (3) sasaran pemberian
obat anti STH pada individu tertentu berdasar diagnosis
infeksi saat itu.
Kemoterapi pencegahan merupakan cara untuk
mengontrol morbiditas infeksi STH. Program ini
dikembangkan pada tahun 2006 yang kemudian diterbitkan oleh
WHO (WHO, 2006). Kontrol morbiditas untuk infeksi STH
didefinisikan sebagai eliminasi infeksi intensitas berat dan
sedang dengan pemberian obat secara periodik. Empat obat
yang direkomendasikan oleh WHO adalah albendazol dan
mebendazol yang paling banyak dipakai , serta levamisol dan
pirantel pamoate yang lebih jarang dipakai . Keempat jenis
obat ini memiliki efikasi yang tinggi dalam mengobati
infeksi Ascaris lumbrocoides namun untuk infeksi Trichuris
trichiura memberikan hasil yang tidak memuaskan dengan
ditunjukkan dengan rendahnya angka kesembuhan (CR=cure
rate).
Tujuan utama WHO untuk mengendalikan infeksi STH
sampai tahun 2020 adalah dengan menurunkan angka
morbiditas pada anak usia pra-sekolah (2-5 tahun) dan sekolah
(5-14 tahun), oleh karena itu negara-negara di Asia Tenggara
yang endemis terhadap infeksi STH dilaksanakan program
kampanye pemberian pengobatan secara massal yang diberikan
pada anak usia pra-sekolah dan sekolah di area yang terinfeksi
dengan obat anti STH dengan pengaturan jarak waktu
pemberian. Pada anak usia pra-sekolah dan sekolah paling
banyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura sehingga pengobatan massal dititikberatkan untuk
mengatasi infeksi kedua jenis cacing tersebut.
Pengobatan STH dilakukan sesuai dengan jenis infeksi
cacing yang dialami. Infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura dapat diberikan baik albendazol 400 miligram (mg)
sekali atau mebendazol 100 mg dua kali pemberian dalam sehari
selama tiga hari. Pilihan lain dapat juga diberikan pirantel
pamoate 10 mg/kilogram (kg) berat badan (BB), dosis maksimal
satu gram. Ketiga jenis obat ini juga dapat dipakai
untuk anak usia kurang dari dua tahun. Golongan obat
benzimidazoles yaitu albendazol dan mebendazol memang
merupakan jenis obat yang dipakai secara luas dalam
program pencegahan kemoterapi terhadap infeksi STH namun
kedua obat ini menunjukkan efikasi yang rendah dalam
mengobati infeksi Trichuris trichiura.
Salah satu masalah utama kemoterapi pencegahan
melalui program pengobatan massal adalah kesulitan
melakukan eliminasi infeksi STH pada individu. Pemilihan obat
yang kurang tepat juga dapat memicu kesulitan eliminasi
infeksi STH. Penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa
rendahnya angka kesembuhan dan reinfeksi terjadi dengan
cepat didaerah endemis, dengan prevalens infeksi Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura kembali seperti sebelum
diberikan pengobatan awal.
1) Albendazol
Albendazol merupakan anti STH spektrum luas.
Albendazol adalah benzimidazol karbamat. Albendazol
setelah pemberian oral akan diserap secara tidak
teratur, penyerapan akan meningkat dengan makan
tinggi lemak dan kemudian dengan cepat akan
dimetabolisme pertama kali di hati menjadi bentuk
metabolit aktif yaitu albendazol sulfoxide. Albendazol
akan mencapai konsentrasi maksimal dalam plasma
dalam waktu tiga jam. Metabolit aktif ini terikat pada
protein lalu didistribusi dengan baik ke jaringan dan
masuk ke empedu, saluran pencernaan dan cairan otak.
Pada akhirnya metabolit aktif albendazol ini akan
diekskresi melalui urin.
Albendazol mengatasi infeksi STH dengan cara
menghambat sintesis mikrotubular. Albendazol juga
memiliki efek larvasidal serta ovisidal. Cara pemberian
albendazol dapat diberikan dengan perut kosong
ataupun setelah makan. Dosis albendazol yang
dipakai untuk mengatasi infeksi Trichuris trichiura
adalah 400 mg dosis tunggal. Penurunan jumlah telur
cacing infeksi Trichuris trichiura dengan memakai
albendazol paling tinggi diamati setelah tujuh hari
pengobatan dibandingkan setelah 14, 21, dan 28 hari
pengobatan.
Albendazol secara cepat di konversi menjadi
sulfoxide albendazol melalui metabolisme hepatik,
mencapai kadar puncak dua sampai lima jam setelah
diminum, sedangkan waktu paruh obat albendazol
adalah delapan sampai 12 jam. Benzimidazole bekerja
dengan cara mengikat subunit-β pada tubulin yang
kemudian akan menghambat pembentukan
mikrotubulus, memotong transport glukosa, dan deplesi
glikogen. Efek ini pada akhirnya akan
memicu imobolisasi dan kematian cacing dewasa
serta menghambat pelepasan telur cacing di tinja dan
penempelan telur di dinding usus.
Kontraindikasi penggunaan obat ini adalah
adanya hipersensitivitas terhadap benzimidazole. Efek
samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat
albendazol antara lain sakit kepala, mual, muntah, diare,
nyeri perut, peningkatan fungsi hati, demam. Interaksi
obat yang dapat meningkatkan kadar albendazol dalam
plasma jika diberikan bersama dengan deksametason
dan praziquantel.
2) Pirantel Pamoate
Pirantel pamoat merupakan turunan
tetrahydropyrimidine yang berkhasiat sebagai anti STH.
Pirantel pamoate efektif dalam mengatasi infeksi cacing
baik bentuk matur maupun imatur dalam saluran
pencernaan. Obat ini bekerja dengan cara menimbulkan
depolarisasi pada otot cacing sehingga terjadi pelepasan
asetilkolin dan penghambatan kolinesterase. Hal ini
memicu pelumpuhan cacing yang diikuti dengan
pembuangan dari saluran pencernaan individu yang
terinfeksi.
Pirantel pamoate memiliki efikasi bermakna
untuk mengatasi infeksi nematoda usus. Pirantel
pamoate menghasilkan depolarisasi dan kontraksi pada
badan otot cacing sehingga memicu spastik
paralisis dan melepas penempelan telur pada dinding
usus. Kadar puncak efek tercapai satu sampai tiga jam
setelah diminum.
Pirantel pamoate dapat diberikan dengan dosis
10 mg/kg/hari sekali pemberian dalam sehari. Pirantel
pamoate dapat diberikan dengan atau tanpa makanan.
Efek merugikan dari pengunaan obat ini jarang terjadi,
ringan, dan bersifat sementara. Efek ini antara lain
mual, muntah, diare, nyeri perut, sakit kepala, sulit
tidur, ruam kulit, demam, dan lemas.
Oxantel pamoate yang merupakan analog
pirantel pamoate efektif dalam mengatasi infeksi
Trichuris trichiura, baik dipakai tanpa atau dengan
kombinasi albendazol jika dibandingkan dengan
monoterapi albendazol atau mebendazol. Dengan
membandingkan penggunaan kombinasi obat oxantel
pamoate dan albendazol dengan mebendazol untuk
infeksi Trichuris trichiura didapatkan angka
kesembuhan yang lebih tinggi dan berbeda bermakna
pada kelompok yang mendapatkan terapi kombinasi
oxantel pamoate dan albendazol. Penelitian yang
dilakukan ditahun berikutnya oleh Speich dkk. (2015)
mendapatkan hasil yang sama. Hasil serupa dengan
hasil evaluasi efikasi obat tiga minggu seteleh
pemberian kombinasi oxantel pamoate dan albendazol
didapatkan angka kesembuhan 48%.
Efek samping obat pirantel pamoate adalah
gangguan pencernaan ringan, sakit kepala, mengantuk,
bintik-bintik kemerahan, dan peningkatan fungsi hati.
Tidak ditemukan interaksi obat dengan obat lainnya
jika dipakai secara bersamaan. Primakuine dapat
menurunkan kadar obat pirantel pamoate (WHO,
2010).
3) Kombinasi albendazol dan pirantel pamoate
Kombinasi albendazol dan pirantel pamoate
berdasar penelitian in vitro memiliki efek sinergis
kuat. Kombinasi obat ini bukan merupakan
kontraindikasi, tidak menimbulkan efek samping yang
bermakna, dan tidak menurunkan efektivitas kerja obat.
Hal ini berbeda dengan kombinasi albendazol dan
levamisole yang merupakan kontraindikasi karena
menurunkan efektivitas albendazol dan menimbulkan
efek samping berupa onchocerciasis.
Penelitian Speich dkk. (2014) mengenai efikasi
dan keamanan penggunaan kombinasi obat albendazol
dan oxantel pamoate (yang merupakan analog pirantel
pamoate) hanya didapatkan efek samping yang ringan.
Gejala yang muncul setelah pemberian terapi ini
sama seperti gejala yang ada sebelum terapi diberikan
oleh karena itu tidak ada efek samping dari penggunaan
kombinasi obat tersebut. Pada penelitian ini juga
dijelaskan bahwa tidak ada interaksi obat jika diberikan
secara bersamaan.
DEFINISI HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen
yang menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang
memiliki penenda CD 4+ dipermukaannya seperti makrofag dan
limfosit T. AIDS (acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan
suatu kondisi immunosupresif berkaitan erat dengan berbagai infeksi
oportunistik, neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologic akibat
infeksi HIV.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus
yang berarti terdiri atas untai tunggal RNA virus yang masuk ke dalam
inti sel pejamu dan ditranskripkan kedalam DNA pejamu ketika
menginfeksi pejamu. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
adalah suatu penyakit virus yang memicu kolapsnya sistem imun
disebabkan oleh infeksi immunodefisiensi manusia (HIV), dan bagi
kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun setelah diagnosis.
Perbedaan orang dengan HIV positif dengan orang dengan AIDS
a. Orang dengan HIV positip adalah pasien yang telah terinfeksi
virus HIV, dapat menularkan penyakitnya walaupun nampak sehat
dan tidak menunjukkan gejala penyakit apapun.
b. Orang dengan AIDS adalah pasien yang menunjukkan tandatanda dari sekumpulan gejala penyakit yang memerlukan
pengobatan, setelah sekian waktu terinfeksi HIV
c. Perjalanan waktu sejak seorang penderita tertular HIV hingga
menderita AIDS dapat berlangsung lama antara 5 sampai 10 tahun
2. PATOGENESIS HIV/AIDS
HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan
tubuh seperti darah, semen, cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya
pasien tergantung pada status imunitas, gizi, kesehatan umum dan
usia serta jenis kelamin merupakan faktor risiko. pasien akan
berisiko tinggi terinfeksi HIV bila bertukar darah dengan orang yang
terinfeksi, pemakaian jarum suntik yang bergantian terutama pada
pengguna narkoba, hubungan seksual.
Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui
cairan tubuh seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga
terdapat dalam saliva, air mata, dan urin (sangat rendah). HIV tidak
dilaporkan terdapat didalam air mata dan keringat. Pria yang sudah
disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil dibandingkan dengan pria
yang tidak disunat. Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan
melalui:
a. Ibu hamil
1) Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI)
2) Angka transmisi mencapai 20-50%
3) Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga
4) Laporan lain menyatakan risiko penularan malalui ASI
adalah 11-29%
5) Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan
penelitian pada duakelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang
menyusui sejak awal kelahiran bayi dan kelompok ibu yang
menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya,
melaporkan bahwa angka penularan HIV pada bayi yang
belum disusui adalah 14% (yang diperoleh dari penularan
melalui mekanisme kehamilan dan persalinan), dan angka
penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya
disusui. Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh
antibodi HIV dari ibunya selama 6-15 bulan.
b. Jarum suntik
1) Prevalensi 5-10%
2) Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui
jarum suntik karena penyalahgunaan obat
3) Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana)
dewasa, pengguna obat suntik di Jakarta sebanyak 40%
terinfeksi HIV, di Bogor 25% dan di Bali 53%.
c. Transfusi darah
1) Risiko penularan sebesar 90%
2) Prevalensi 3-5%
d. Hubungan seksual
1) Prevalensi 70-80%
2) Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan
intim
3) Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhirakhir ini dengan semakin meningkatnya kesadaran
masyarakat untuk memakai kondom, maka penularan
melalui jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh
penularan melalui jalur penasun (pengguna narkoba
suntik) (Widoyono, 2011).
3. KLASIFIKASI HIV/AIDS
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4
golongan, yaitu:
a. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa
inkubasi yang berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun
lamanya
b. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala
limfadenopati umum
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan
gangguan sistem imun atau kekebalan
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis
yang berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial,
hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang
disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya
sarcoma kaposi. Penderita akhirnya meninggal dunia akibat
komplikasi penyakit infeksi sekunder.
1. Fase 1
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu
sudah terpapar dan terinfeksi. namun ciri – ciri terinfeksi
belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase
ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja
terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu
(biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).
2. Fase 2
Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase
kedua ini individu sudah positif HIV dan belum
menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada
orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala
ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).
3. Fase 3
Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut
gejala AIDS. Gejala – gejala yang berkaitan antara lain
keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare terus
menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang
tidak sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang dan badan
menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada
fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.
4. Fase 4
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa
setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari
jumlah sel T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut
dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru
yang memicu radang paru – paru dan kesulitan
bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau
sarcoma kaposi, infeksi usus yang memicu diare
parah berminggu – minggu, dan infeksi otak yang
memicu kekacauan mental dan sakit kepala.
Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan
infeksi HIV terkonfirmasi menurut WHO:
a. Stadium 1 (asimtomatis)
1) Asimtomatis
2) Limfadenopati generalisata
b. Stadium 2 (ringan)
1) Penurunan berat badan < 10%
2) Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik,
prurigo, onikomikosis, ulkus oral rekurens, keilitis
angularis, erupsi popular pruritik
3) Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir
4) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis,
faringitis, otitis media
c. Stadium 3 (lanjut)
1) Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas
2) Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan
3) Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C,
intermiten/konstan) > 1 bulan
4) Kandidiasis oral persisten
5) Oral hairy leukoplakia
6) Tuberculosis paru
7) Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema,
infeksi tulang/sendi, meningitis, bakteremia
8) Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut
9) Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (<
0,5×109 /L) tanpa sebab jelas, atau trombositopenia
kronis (< 50×109 /L) tanpa sebab yang jelas
d. Stadium 4 (berat)
1) HIV wasting syndrome
2) Pneumonia akibat pneumocystis carinii
3) Pneumonia bakterial berat rekuren
4) Toksoplasmosis serebral
5) Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
http://repository.unimus.ac.id
6) Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar
getah bening
7) Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau
visceral
8) Leukoensefalopati multifocal progresif
9) Mikosis endemic diseminata
10) Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus
11) Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru
12) Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren
13) Tuberculosis ekstrapulmonal
14) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi,
ensefalopati HIV, kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk
meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks invasive,
leismaniasis atipik diseminata
Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV
simtomatis (Kapita Selekta, 2014).
4. ETIOLOGI HIV/AIDS
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang
disebut HIV dari sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang
disebut Lympadenopathy Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell
Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell
Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribunokleat (DNA) setelah
masuk kedalam sel pejamu.
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri
dari lima fase yaitu:
a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah
infeksi. Tidak ada gejala
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan
gejala flu like illness
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan
gejala tidk ada
d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati,
lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan
tumor pada berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis
5. KELOMPOK RISIKO HIV/AIDS
Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS
sebagai berikut :
a. Pengguna napza suntik: memakai jarum secara bergantian
b. Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan
dan peluang untuk kehidupan yang layak memaksa mereka
menjadi pekerja seks
c. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki
d. Narapidana
e. Pelaut dan pekerja di sektor transportasi
f. Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual
berisiko seperti kekerasan seksual, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV tanpa pelindung, mendatangi
lokalisasi/komplek PSK dan membeli seks.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi,
pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah
a. Lelaki homoseksual atau biseks
b. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi
c. Orang yang ketagihan obat intravena
d. Partner seks dari penderita AIDS
e. Penerima darah atau produk (transfusi).
6. GEJALA KLINIS HIV/AIDS
Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang bisa menandai
apakah pasien telah tertular HIV, karena keberadaan virus HIV
sendiri membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun
hingga mencapai masa yang disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di
dalam darah bisa terjadi tanpa pasien menunjukkan gejala penyakit
tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila pasien terinfeksi HIV
untuk pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan
menjalankan tes darah, maka dalam tes pertama ini belum tentu
dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini disebabkan
karena tubuh kita membutuhkan antibodi yang nantinya akan
dideteksi oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period
(periode jendela).
Dalam masa ini, bila orang ini ternyata sudah
memiliki virus HIV di dalam tubuhnya (walaupun belum bisa
dideteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV melalui
perilaku yang disebutkan di atas tadi. biasanya , tanda-tanda utama
yang terlihat pada pasien yang sudah sampai pada tahapan AIDS
adalah :
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat
b. Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
c. Diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa :
a. Batuk berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
b. Kelainan kulit dan iritasi (gatal)
c. Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan
d. Pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh, seperti
dibawah telinga, leher,ketiak, dan lipatan paha.
Gambar 38. Gejala utama infeksi HIV akut
Meskipun sebagian besar orang yang terinfeksi HIV memiliki
viral load yang dapat dideteksi dan tanpa pengobatan pada akhirnya
akan berkembang menjadi AIDS, sebagian kecil (sekitar 5%)
mempertahankan sel T CD4 + tingkat tinggi (sel T helper ) tanpa terapi
antiretroviral. dari lima tahun. Orang -orang ini diklasifikasikan
sebagai "pengontrol HIV" atau nonprogressor jangka panjang (LTNP).
Kelompok lain terdiri dari mereka yang mempertahankan viral load
rendah atau tidak terdeteksi tanpa pengobatan anti-retroviral, yang
dikenal sebagai "pengontrol elit" atau "penekan elit". Mereka mewakili
sekitar 1 dari 300 orang yang terinfeksi.
Gambar 39. Gejala Utama AIDS
7. PATOFISIOLOGI HIV/AIDS
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan.
Seiring pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah
sel limfosit CD 4+ akan terus menurun. biasanya , jarak antara infeksi
HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5 – 10
tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang
spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan,
limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut ini dilanjutkan dengan
periode laten yang asimtomatis, namun pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun hingga
terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi
oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat
reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasan.
Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun)
adalah sel – sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan
menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah
secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong.
pasien yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama
bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang
dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar
200 – 300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4
mencapai kadar ini, gejala – gejala infeksi (herpes zoster dan jamur
oportunistik).
KOMPLIKASI
a. Oral lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV
oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV),
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan,
keletihan dan cacat.
b. Neurologik
1) Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek
perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
2) Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau
ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala, malaise, demam,
paralise total/parsial.
3) Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi
sistemik, dan maranik endokarditis.
4) Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV.
c. Gastrointertinal
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora
normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek,
penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan
dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi,
obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri
abdomen, ikterik, demam atritis.
3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan
inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek
inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
d. Respirasi Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus,
virus influenza, pneumococcus dan strongyloides dengan efek
sesak nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan
zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma,
dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
1) Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek
kebutaan
2) Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media,
kehilangan pendengaran dengan efek nyeri (Susanto & Made
Ari, 2013).
6. PENCEGAHAN PENULARAN HIV / AIDS
a. biasanya
Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E)
yaitu:
– A : Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan
seks berisiko tinggi, terutama seks pranikah
– B : Be faithful – saling setia
– C : Condom – memakai kondom secara konsisten dan
benar
– D : Drugs – menolak penggunaan NAPZA
– E : Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama
b. Untuk pengguna Napza Pecandu yang IDU dapat terbebas dari
penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti memakai Napza
sebelum terinfeksi, tidak memakai jarum suntik bersama.
c. Untuk remaja Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah,
menghindari penggunaan obat-obatan terlarang dan jarum suntik,
tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung percampuran
darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari
perilaku yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan
tidak bertanggung jawab.
8. PENGOBATAN HIV/AIDS
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa
obat yang ada adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat
antiretroviral adalah obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti
HIV guna menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang
termasuk antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine.
Obat infeksi oportunistik adalah obat yang dipakai untuk penyakit
yang muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang
penting untuk pengobatan oportunistik yaitu memakai obat-obat
sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC, dll.
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:
a. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) Sensitivitasnya
tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil
positif 2-3 bulan setelah infeksi.
b. Western blot Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%.
Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu
sekitar 24 jam.
c. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Tes ini dipakai untuk:
1) Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada
padabayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara
serologis.
2) Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada
kelompok berisiko tinggi
3) Tes pada kelompok tinggi sebelum terjadi serokonversi.
4) Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA memiliki
sensitivitas rendah untuk HIV-2.
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan pasien secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila
suatu saat terpajan dengan penyakit ini tidak akan sakit atau hanya
mengalami sakit ringan (Permenkes RI).
1. TUJUAN IMUNISASI
Tujuan imunisasi terutama untuk memberikan perlindungan
terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Menurut
Permenkes RI (2017), program imunisasi di negara kita memiliki tujuan
umum untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian
akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
Sedangkan, tujuan khusus dari imunisasi ini diantaranya, tercapainya
cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi sesuai target RPJMN
(target tahun 2019 yaitu 93%), tercapainya Universal Child
Immunization/UCI (prosentase minimal 80% bayi yang mendapat IDL
disuatu desa/kelurahan) di seluruh desa/kelurahan, dan tercapainya
reduksi, eliminasi, dan eradikasi penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi.
2. MANFAAT IMUNISASI
Manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah
dengan menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi, namun dapat dirasakan oleh :
a. Anak, yaitu mencegah penderitaan yang disebabkan oleh
penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian.
b. Keluarga, yaitu menghilangkan kecemasan dan biaya
pengobatan bila anak sakit, mendorong pembentukan keluarga
apabila orangtua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa
kanak-kanak yang nyaman.
c. Negara, yaitu memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan
bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan
negara (Proverawati, 2010 : 5-6).
3. JENIS PENYELENGGARAAN IMUNISASI PROGRAM
Imunisasi program adalah Imunisasi yang diwajibkan kepada
pasien sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi
yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang
dapat dicegah dengan Imunisasi. Imunisasi program terdiri dari
imunisasi rutin, imunisasi tambahan, dan imunisasi khusus
(Permenkes Republik negara kita ).
a. Imunisasi Rutin Imunisasi rutin merupakan imunisasi yang
dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan
yang terdiri dari imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan.
1) Imunisasi Dasar Imunisasi dasar merupakan imunisasi
awal yang diberikan kepada bayi sebelum berusia satu
tahun. Pada kondisi ini, diharapkan sistem kekebalan tubuh
dapat bekerja secara optimal. Setiap bayi (usia 0-11 bulan)
diwajibkan untuk mendapatkan imunisasi dasar lengkap
yang terdiri dari 1 dosis Hepatitis B, 1 dosis BCG, 3 dosis
DPT-HB-HiB, 4 dosis polio tetes, dan 1 dosis campak/MR.
2) Imunisasi Lanjutan Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan
yang bertujuan untuk menjamin terjaganya tingkat
imunitas pada anak baduta, anak usia sekolah, dan wanita
usia subur.
a) Imunisasi Lanjutan Pada Anak Baduta Imunisasi
lanjutan merupakan ulangan imunisasi dasar untuk
mempertahankan tingkat kekebalan dan untuk
memperpanjang masa perlindungan anak yang sudah
mendapatkan imunisasi dasar yaitu dengan diberikan
1 dosis DPT-HB-Hib pada usia 18 bulan dan 1 dosis
campak/MR pada usia 24 bulan. Perlindungan optimal
dari pemberian imunisasi lanjutan ini hanya
didapatkan apabila anak ini telah mendapatkan
imunisasi dasar secara lengkap.
b) Imunisasi Anak Sekolah Imunisasi lanjutan yang
diberikan pada anak usia SD diberikan pada kegiatan
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang
diintegrasikan dengan kegiatan UKS. Imunisasi yang
diberikan adalah imunisasi campak, tetanus, dan
difteri. Imunisasi ini diberikan pada kelas 1 (campak
dan DT), kelas 2 (Td), dan kelas 5 (Td).
c) Imunisasi Pada Wanita Usia Subur Imunisasi yang
diberikan pada wanita usia subur adalah imunisasi
tetanus toksoid difteri (Td) yang berada pada
kelompok usia 15-39 tahun baik itu WUS hamil (ibu
hamil) dan tidak hamil.
b. Imunisasi Tambahan Imunisasi tambahan merupakan jenis
Imunisasi tertentu yang diberikan pada kelompok umur
tertentu yang paling berisiko terkena penyakit sesuai dengan
kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.
c. Imunisasi Khusus Imunisasi khusus dilaksanakan untuk
melindungi pasien dan masyarakat terhadap penyakit
tertentu pada situasi tertentu seperti persiapan keberangkatan
calon jemaah haji/umroh, persiapan perjalanan menuju atau
dari negara endemis penyakit tertentu, dan 15 kondisi kejadian
luar biasa/wabah penyakit tertentu.
4. PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI
Menurut buku ajar imunisasi yang disusun oleh pusat
pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan (2014), dijelaskan bahwa terdapat beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu
sebagai berikut :
TUBERCULOSIS (TBC)
Penyakit TBC merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosa disebut juga batuk darah yang ditularkan
melalui pernafasan dan melalui bersin atau batuk. Gejala awal penyakit
ini adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam, dan keluar
keringat pada malam hari, gejala lalu yaitu batuk terus
menerus, nyeri dada dan mungkin batuk darah, sedangkan gejala lain
timbul tergantung pada organ yang diserang. Komplikasi yang dapat
diakibatkan dari penyakit TBC adalah kelemahan dan kematian.
DIFTERI
Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheriae yang ditularkan melalui kontak fisik dan
pernafasan. Gejala yang timbul berupa radang tenggorokan, hilang
nafsu makan, demam ringan,dalam 2-3 hari timbul selaput putih
kebirubiruan pada tenggorokan dan tonsil. Komplikasi yang dapat
diakibatkan dari penyakit difteri adalah gangguan pernafasan yang
berakibat kematian.
PERTUSIS
Pertusis merupakan penyakit pada saluran pernafasan yang
disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis yang ditularkan melalui
percikan ludah (droplet infection) dari batuk atau bersin. Gejala yang
timbul berupa pilek, mata merah, bersin, demam, batuk ringan yang
lama kelamaan menjadi parah dan menimbulkan batuk yang cepat dan
keras. Komplikasi yang dapat diakibatkan dari penyakit pertusis
adalah Pneumonia bacterialis yang dapat memicu kematian.
TETANUS
Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Clostridium tetani yang menghasilkan neurotoksin dan ditularkan
melalui kotoran yang masuk ke dalam luka yang dalam. Gejala awal
yang timbul berupa kaku otot pada rahang, disertai kaku pada leher,
kesulitan menelan, kaku otot perut, berkeringat dan demam. Pada bayi
terdapat gejala berhenti menetek antara 3-28 hari setelah lahir dan
gejala berikutnya berupa kejang yang hebat dan tumbuh menjadi kaku.
Komplikasi yang dapat diakibatkan dari penyakit tetanus adalah patah
tulang akibat kejang, Pneumonia, infeksi lain yang dapat menimbulkan
kematian.
HEPATITIS B
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
hepatitis B yang merusak hati (penyakit kuning). Ditularkan secara
horizontal dari produknya, suntikan yang tidak aman, transfusi darah,
melalui hubungan seksual dan secara vertikal dari ibu ke bayi selama
proses persalinan. Gejala yang ditimbul berupa merasa lemah,
gangguan perut, flu, urin menjadi kuning, kotoran menjadi pucat, dan
warna kuning bisa terlihat pada mata ataupun kulit. Komplikasi yang
diakibatkan dari penyakit hepatitis B adalah penyakit bisa menjadi
kronis yang menimbulkan pengerasan hati (Cirhosis Hepatitis), kanker
hati (Hepato Cellular Carsinoma) dan menimbulkan kematian.
CAMPAK
Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
myxovirus viridae measles dan ditularkan melalui udara (percikan
ludah) dari bersin atau batuk penderita. Gejala awal yang timbul
berupa demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, konjungtivitis (mata
merah) dan koplik spots, lalu timbul ruam pada muka dan
leher, kemudian menyebar ke tubuh dan tangan serta kaki. Komplikasi
yang diakibatkan dari penyakit campak adalah diare hebat,
peradangan pada telinga, infeksi saluran nafas (Pneumonia).
RUBELLA
Rubella atau campak jerman merupakan penyakit yang
disebabkan oleh virus rubella, sebuah togavirus yang menyelimuti dan
memiliki RNA genom untai tunggal. Virus ini ditularkan melalui jalur
pernafasan dan bereplikasi dalam nasofaring dan kelenjar getah
bening serta ditemukan dalam darah 5-7 hari setelah infeksi dan
menyebar ke seluruh tubuh. Rubella ditularkan melalui oral droplet,
dari nasofaring atau rute pernafasan. Gejala rubella pada anak
biasanya berlangsung dua hari yang ditandai dengan ruam awal pada
wajah yang menyebar ke seluruh tubuh, demam ren posterior
limfadenopati servikal. Sedangkan gejala pada anak yang lebih tua dan
orang dewasa gejala tambahan berupa pembengkakan kelenjar, dingin
seperti gejala, dan sakit sendi terutama pada wanita muda. Masalah
serius dapat terjadi berupa infeksi otak dan perdarahan.
POLIOMIELITIS
Poliomielitis merupakan penyakit pada susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh virus polio tipe 1, 2, atau 3 dan secara klinis
menyerang anak di bawah usia 15 tahun dan menderita lumpuh layu
akut dengan ditularkan melalui kotoran manusia (tinja) yang
terkontaminasi. Gejala yang timbul berupa demam, nyeri otot dan
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi yang
diakibatkan dari penyakit poliomielitis adalah bisa memicu
kematian jika otot pernafasan terinfeksi dan tidak segera ditangani.
RADANG SELAPUT OTAK
Radang selaput otak (meningitis) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing, dan protozoa.
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang
disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis
penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang
disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat. Penularan
kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan
droplet (tetesan) infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus,
cairan bersin, dan cairan tenggorokan penderita.
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas
mendadak, letargi, muntah, dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui fungsi lumbal.
Pada stadium I selama 2-3 minggu ditandai dengan gejala ringan dan
nampak seperti gejala infeksi biasa, stadium II berlangsung selama 1-3
minggu ditandai dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita
mengalami nyeri kepala yang hebat dan sangat gelisah, sedangkan
stadium III ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran
sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia bila
tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.
RADANG PARU-PARU
Radang paru-paru (pneumonia) adalah sebuah penyakit pada
paru-paru dimana (alveoli) yang bertanggungjawab menyerap oksigen
dari atmosfer meradang dan terisi oleh cairan. Radang paru-paru dapat
disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh bakteri,
virus, jamur, atau parasit. Radang paru-paru dapat juga disebabkan
oleh penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau terlalu berlebihan
minum alkohol. Gejala yang berhubungan dengan radang paru-paru
termasuk batuk, demam.
1. DEFINISI KUSTA
Penyakit kusta adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang di
sebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe
penyakit granulomatosa pada syaraf tepi dan mukosa dari saluran
pernapasan atas, dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati
dari luar. Kusta dapat sangat progresif, memicu kerusakan pada
kulit, syarafsyaraf, anggota gerak, dan mata.
2. ETIOLOGI KUSTA
Penyebab dari penyakit ini adalah kuman kusta yang berbentuk
batang di kelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari
spesies Mycobacterium, dan biasa berkelompok dan ada yang tersebar
satu – satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2 - 0,5 mic yang
bersifat tahan asam, Mycobacterium leprae juga merupakan bakteri
aerobik, tidak membentuk spora. Sifat tahan asam Mycobacterium
leprae disebabkan adanya asam mikolat dan komponen seperti lilin
yang mengikat karbol fuksin.
Kuman Mycobacterium leprae dapat hidup di luar tubuh
manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada suhu dan cuaca dan di
ketahui kuman kusta yang utuh yang dapat menimbulkan penularan.
Kuman Mycobacterium leprae menular kepada manusia melalui
kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian
kuman membelah dalam jangka 14 – 21 hari dengan masa inkubasi
ratarata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda
seorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit
mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
3. KLASIFIKASI KUSTA
Klasifikasi Ridley-Jopling, penyakit kusta dapat di klasifikasikan
dalam tiga tipe, yaitu : Kusta tipe indetermnate (I), Tuberculoid (TT),
Borderline Lepramatause (BL), dan Lepramatouse (LL). Sedangkan
menurut WHO penyakit kusta di klasifikasikan dalam dua tipe yaitu :
tipe Pausi Basiler (PB), dan tipe Multi Basiler (MB).
a. Klasifikasi Ridley- Jopling
1) Penyakit Kusta Indeterminate Lesi kulit terdiri dari suatu
makula yang pipih dan tunggal, biasanya sedikit
hipopigmentasi ataupun sedikit erythematose, sedikit oval
ataupun bulat dalam hal bentuk. Permukaannya rata dan
licin, tidak di temukan tanda-tanda ataupun perubahan
tekstur kulit. Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) pada
biasanya negatif atau sedikit positif.
2) Penyakit Kusta Tipe Tubercoloid Jenis Lesi ini pada
biasanya bersifat stabil, lesi biasanya berwarna
kemerah-merahan dan kecoklat-coklatan ataupun
mengalami hipopigmentasi berbentuk oval atau bulat,
berbatas tegas dari kulit yang normal di sekitarnya.
3) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Tipe ini sangat labil (tidak
stabil), lesi-lesi kulit biasanya sukkulent atau eras,
pleimorfik menebal secara seragam (uniform) atau pun
dengan suatu daerah penyambuhan sentral.
4) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Tuberculoid (BT) Lesi kulit
dapat ditentukan dari beberapa sampai banyak berwarna
kemerah–merahan sampai kecoklat-coklatan atau
hypochronik, dan ada lesi-lesi yang tersendiri yang dapat
meninggi batasnya tampak dengan nyata apabila
dibandingkan dengan kulit yang sehat di sekelilingnya.
Syaraf–syaraf tepi kadang dapat terus menebal, dengan
hasil pemeriksaan BTA positif yang ringan.
5) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Lepramatouse (BL) Lesi
kulit bentuknya berbagai ragam, bervariasi dalam hal
ukuran, menebal atau mengalami infitrasi, berwarna
kemerahmerahan ataupun kecoklatan, sering banyak dan
meluas. Hasil pemeriksaan BTA adalah positif.
6) Penyakit Kusta Tipe Lepramatouse (LL) Pada tipe penyakit
kusta Lepramatouse yang sub polar, lesilesi kulit sangat
menyerupai lesi-lesi penyakit kusta Lepramatouse yang
polar, namun masih dijumpai sejumlah kecil sisa lesi-lesi
dari kusta yang asimetrik, juga kerusakan syaraf (tepi yang
asimetrik dengan pembesaran syaraf dapat pula
diperlihatkan pada tipe kusta ini.
b. Klasifikasi menurut WHO
Klasifikasi kusta menurut WHO dapat di golongkan dalam dua
tipe yaitu
1) Tipe Pause Basiler (PB)
2) tipe Multi Basiler (MB).
4. PATHOGENESIS KUSTA
Cara penularan penyakit kusta belum di ketahui dengan jelas.
Penularan dapat terjadi di dalam rumah tangga maupun
kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama. Basil di keluarkan
melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepramatouse yang
tidak di obati dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir
hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepramatouse
dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinan masuk
melalui saluran pernapasan atas dan juga melalu kulit yang terluka.
Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga
melalui plasenta.
Mycobacterium Leprae keluar dari tumbuh manusia melalui
kulit dan mukosa hidung. Pada kasus lepramatouse menunjukkan
adanya sejumlah organisme di dermis kulit dan di buktikan bahwa
organisme ini dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun
terdapat laporan bahwa di temukannya bakteri tahan asam di epitel.
Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme ini
dapat keluar melalui kelenjar keringat. Jumlah dari bakteri dari lesi
mukosa hidung di kusta lepramatouse antara 10.000 hingga
10.000.000 bakteri.18 Sebagian besar pasien lepramatouse
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka dan
mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepramatouse dapat
memproduksi 10.000.000 organisme perhari.
Penyakit kusta dapat di tularkan dari penderita kusta tipe Multi
Basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung.
Timbulnya penyakit kusta bagi pasien tidak mudah dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain adalah penderita
kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler (MB) tidak akan menularkan
kusta apabila berobat teratur.
5. GEJALA KLINIS KUSTA
Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan
banyak penyakit lain. Sebaliknya banyak penyakit lain dapat
menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu
dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara
tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit yang lain agar
tidak membuat kesalahan yang merugikan pasien. Diagnosis penyakit
kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama), yaitu :
a. Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih–putihan
(hipopigmentasi) atau kemerah – merahan (eritematous). Mati
rasa dapat bersifat kurang rasa (nipestesi) atau tidak merasa
sama sekali (anestesi)
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi
saraf bisa berupa gangguan fungsi sensorik seperti mati rasa,
gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (Parese) atau
kelumpuhan (Paralise), gangguan fungsi otonom seperti kulit
kering, retak, pembengkakan (edema) .
c. Basil tahan asam (BTA) positif
Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit (skin
smear), cuping telinga dan bagian aktif suatu lesi kulit. Untuk
tujuan tertentu kadang diambil dari bagian tubuh tertentu
(biopsi). pasien dinyatakan sebagai penderita kusta
bilamana terdapat sekurangkurangnya dua dari tanda-tanda
kardinal diatas atau bila terdapat tanda (BTA positif) diambil
dari bagian kulit yang dicurigai. Bilamana terdapat hanya salah
satu dari empat tanda pertama 1- 4, maka pemeriksaan
laboratium diulangi lagi, terutama bila hanya terdapat tanda
infiltrat. Dan apabila tidak adanya cardinal sign bisa dinyatakan
tersangka (suspek) kusta.
d. Tanda-tanda tersangka (suspek) pada kulit.
1) Tanda-tanda pada kulit
a) Kelainan kulit berupa bercak merah atau putih, atau
benjolan
b) Kulit mengkilap
c) Bercak yang tidak gatal
d) Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat
atau tidak berambut
2) Tanda-tanda pada saraf
a) Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada
anggota badan atau bagian muka
b) Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka .
3) Diagnosa kusta di lapangan dengan memakai jenis
pemeriksaan yaitu
a) Anamnesis Dengan mencatat identitas penderita,
riwayat tanda-tanda kulit/saraf yang dicurigai,
riwayat kontak dengan penderita.
b) Pemeriksaan klinis Dengan melakukan periksa raba
pada kelainan kulit untuk mengetahui hilangnya rasa
(dengan memakai kapas yang di runcingkan
ujungnya, maupun dengan lidi, Periksa saraf tepi
dengan perabaan, apakah ada penebalan atau nyeri
raba. Untuk dapat membedakan dengan mudah
apakah ada penebalan/pembesaran perbandingan
dengan yang normal pada orang sehat.
Gejala-gejala klinis kusta meliputi :
a. Kehilangan perasaan
Kehilangan perasaan baik total maupun partial
terhadap rasa sakit atau suhu, tanpa menifestasi pada kulit.
selain pada penyakit lepra dapat terjadi pada penyakit-penyakit dari sistem saraf pusat atau tepi. Jika ini
menunjukan gejala-gejala neurologis, sebaiknya dievakuasi
oleh pasien neurolog yang berkompeten.
b. Hipopigmentasi
Hipopigmentasi terdapat pada anak-anak dengan
riwayat keluarga positif menderita lepra suatu waktu dapat
dikacaukan dengan lesi-lesi karena fungsi, bakteri, alergi, dan
kelainan-kelainan kongenital.
c. Impetigo furfurace
Terutama terdapat pada wajah atau pada sebagian dari
tumbuh, dan terutama pada anak-anak disebabkan oleh
sterpyococus, dan memiliki gambaran yang khas, berupa
makula.
d. Nevus anemicus
Dapat terlihat pada waktu lahir atau tampak pada usia
yang lebih tua. Lesi-lesi terlihat bulat, atau geometris dan
ukuran bertambah besar sejalan dengan bertambahnya usia
penderita. Lesi ini tidak bersisik, tidak gatal, dan tidak
anestetik, dan kerokan pada kulit memberi hasil yang
negative.
e. Depigmentasi (leukoderma atau vitiligo)
Leukoderma dapat merupakan keadaan sekunder dari
penyakit kulit yang lebih dulu, sedangkan vitiligo merupakan
suatu penyakit primer yang disebabkan karena
ketidakmampuan untuk membentuk melanin. Kedua penyakit
ini tidak anestetik, dan pemeriksaan laborat
menunjukkan penemuan-penemuan yang negative.
f. Tinea sirsinata
Merupakan lesi bulat dan eritermatosa dengan atau
tanpa cekungan atau tepi yang infiltratif sering diduga lesi leprae khususnya jenis tuberkuloid. Tinea sirsinata
disebabkan karena suatu jamur dermatofit yang biasanya
ditandai dengan sisik – sisik atau dibatasi vesikel – vesikel.
g. Erythema multiforme
Tipe ini merupakan suatu keadaan kulit yang akut yang
menunjukkan pruritus atau lebih sakit dari anestetik bercak –
bercak infiltrate terutama terdapat bilateral.
h. Dermatorniositis
Mulai muncul di wajah seperti udema, namun kelainan
ini segera diikuti dengan nyeri otot khususnya pada daerah
dada dan pelvic, kemudian berkembang menjadi atrofi.
i. Periarteritis nodosa
Ditandai adanya nodul-nodul sepanjang rute arteri
yang mirip dengan Eritema Nodosum Leprosum sebab
keduanya ada rasa sakit dan timbul secara berkelompok.
Eritema Nodosum Leprosum terdapat pada beberapa
penderita dengan penyakit leprae lepromatosa yang
sebelumnya sudah ada infiltrasi yang menyeluruh atau oleh
adanya nodul-nodul.
6. FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN KUSTA
a. Umur
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun
demikian jarang dijumpai pada umur yang sangat muda.
Frekuensi terbanyak adalah pada umur 15-29 tahun. Pada
beberapa penelitian dilaporkan bahwa prevalensi kusta
meningkat sampai usia 20 tahun, kemudian mendatar antara
20-50 tahun dan setelah itu menurun.
Kejadian kusta lebih sering terjadi pada penderita orang
tua dibandingkan pada anak-anak dan dewasa muda.
terjadinya kecacatan kusta pada usia yang lebih tua
tergantung pada kondisi fisik pasien (daya tahan tubuh),
terjadinya penurunan berbagai fungsi organ tubuh yang akan
mempermudah kelompok usia tua jatuh dalam kondisi yang
lebih parah dengan penyakit yang cenderung bersifat
progresif dan irreversible.
b. Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki
lebih banyak terkena dibandingkan wanita. Perbandingan 2 :
1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insiden
ini hampir sama, bahkan ada daerah yang menunjukkan
penderita wanita lebih banyak.
c. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur
yang ikut menentukan pengalaman dan pengetahuan
pasien , baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan
social.
d. Jenis lantai
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian
bawah, kontruksi lantai rumah harus kedap air dan selalu
kering agar mudah dibersihkan dari kotoran dan debu.
Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap
terhadap air seperti tegel, semen, keramik. Lantai yang tidak
memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan
perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit. Selain itu
dapat memicu meningkatnya kelembaban dalam
ruangan.
e. Faktor Imunitas
Pada individu dengan respon imunitas selular baik akan
menjadi kusta tuberkuloid, sedang bila respon imunitas jelek
menjadi kusta lepromatosa. Respon imunitas selular
meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun pada
usia tertentu akan mengalami penurunan. Respon imun
ini tidak berbeda antara laki-laki dan wanita.
f. Faktor Kuman
Kusta Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kumankuman kusta yang masih utuh kemungkinan dapat
menimbulkan penularan, sedangkan bentuk yang tidak utuh
tidak menular. Suatu kenyataan kuman bentuk utuh yang
keluar dari tubuh yang sakit tidak banyak. Juga faktor lamanya
kuman kusta di luar badan manusia memegang peranan pula
dalam hal penularan ini, yaitu bila kuman keluar dari badan
penderita maka kuman dapat bertahan 1-2 hari dan ada pula
yang berpendapat 7 hari, hal ini tergantung dari suhu/cuaca di
luar, maka panas cuaca di luar makin cepat kuman kusta akan
mati.
g. Kelembaban
Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan kuman
penyebab penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi
tempat yang disukai oleh kuman untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakannya.29 biasanya penilaian kelembaban
dalam rumah dengan memakai hygrometer. Menurut
indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang
memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70% dan
kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan
adalah 70%. Komponen rumah harus memenuhi persyaratan
fisik dan biologis agar aman bagi penguhinya, salah satunya
adalah lantai harus kedap air. Jenis lantai tanah memicu
kondisi rumah menjadi lembab yang memungkinkan segala
bakteri berkembangbiak.
Hal ini memicu kondisi ketahanan tubuh menjadi
lebih buruk, sehingga dapat memicu gangguan atau
penyakit terhadap penghuninya dan memudahkan pasien
terinfeksi penyakit.30 Kelembaban yang tinggi dapat
memicu membran mukosa hidung menjadi kering
sehingga kurang efektif dalam menghadang mikro
organism.Kelembaban unutk Mycobactrium leprae dapat
hidup dalam secret hidung yang dikeringkan pada
temperature kamar 36,70C dengan kelembaban 77,6%.30
Mycobacterium leprae hidup diluar hospes dengan
temperature dan kelembaban yang bervariasi. Mycobacterium
leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari pada kelembaban 70,9%.
Sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan
hidup sampai 46 hari.
h. Ventilasi
Ventelasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi
atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia.
berdasar kejadiannya, maka ventelasi dapat dibagi ke
dalam dua jenis yaitu:
1) Ventilasi alam.
Ventilasi alam berdasar pada tiga kekuatan,
yaitu: daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan
massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi
alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin).
temperatur udara dan kelembabannya. Selain melalui
jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat
diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat
porous dinding ruangan, atap dan lantai.
2) Ventilasi buatan.
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan
dengan memakai alat mekanis maupun elektrik.
Alat-alat ini diantaranya adalah kipas angin,
exhauster dan AC (Air Conditioner).
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi
penghuninya. Ventilasi rumah memiliki banyak fungsi
yaitu:
1) Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetep
segar / bersih, ini berarti keseimbangan oksigen
yang diperlukan oleh penghuni rumah ini tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan memicu
kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti
kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuni rumah
akan meningkat. Disamping itu tidak cukupnya
ventilasi akan memicu kelembaban udara di
dalam ruangan naik karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit.
2) Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri pathogen karena terjadinya aliran
udara yang terus-menerus sehingga bakteri yang
terbawa udara akan selalu mengalir.
3) Menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam
kelembaban yang optimum.
Tersedianya udara segar dalam rumah atau
ruangan amat dibutuhkan manusia. Suatu ruangan yang
tidak memiliki ventilasi yang baik akan memicu
kadar oksigen yang kurang, kadar karbondioksida
meningkat, ruangan akan berbau dan kelembaban udara
akan meningkat. Menurut indicator penghawaan rumah,
luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah
≥10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai
rumah (Depkes RI, 2005).
Menurut Lubis (1989), luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan
terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar
matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman
kusta yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan
ikut terhisap bersama udara pernafasan.
i. Suhu
Rumah atau bangunan yang sehat haruslah memiliki
suhu yang diatur sedemikian rupa sehingga suhu badan dapat
dipertahankan. Jadi suhu dalam ruangan harus dapat
diciptakan rupa sehingga tubuh tidak terlalu banyak
kehilangan panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai
kepanasan.
j. Kepadatan hunian
Kuman M.lepra sebagai penyebab penyakit kusta
merupakan kuman yang hidup dengan baik di suhu 27-300C.
Maka jika suhu di suatu rumah tidak memenuhi suhu normal
(18-200C), rumah atau ruangan ini berpotensi untuk
menularkan penyakit menular, seperti kusta.
Ketidakseimbangan antara luas rumah dengan jumlah
penghuni akan memicu suhu didalam rumah menjadi
tinggi dan hal ini dapat mempercepat penularan kusta. Tidak
padat hunian (memenuhi syarat ) adalah jika luas >9 m 2 per
orang dan padat penghuni jika luas < 9 m2 per orang.
k. Riwayat
Kontak dengan penderita Riwayat kontak adalah
riwayat pasien yang berhubungan dengan penderita kusta
baik serumah maupun tidak. Sumber penularan kusta adalah
kusta utuh yang berasal dari penderita kusta, jadi penularan
kusta lebih mudah terjadi jika kontak dengan penderita kusta
langsung. Jumlah kontak serumah pada penderita
lepramatouse sebesar 4 kali lebih banyak yang kemudian
menderita kusta disbanding dengan tiap tuberkuloid dengan
adanya hal ini dapat dipastikan bahwa kontak serumah
merupakan kelompok yang paling terancam (high risk) untuk
menderita penyakit kusta.
l. Lama kontak
Lama kontak adalah jumlah waktu kontak dengan
penderita kusta. Penyakit kusta menular melalui kontak yang
lama (2-5 tahun). penyakit kusta memiliki masa inkubasi 2-
5 tahun.36
m. Personal hygiene
Personal hygiene (kebersihan perorangan) merupakan
tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung jawab
individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi
penyebaran penyakit menular. Pencegahan penyakit kusta
dapat dilakukan dengan meningkatkan personal hygiene,
diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan rambut dan
pemeliharaan kuku.
7. PENGOBATAN KUSTA
Penyakit kusta dapat disembuhkan dengan beberapa obat.
Pengobatan kusta dilakukan berdasar tipe kusta. WHO
merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy
(MDT) untuk tipe pauci basiler (PB) maupun tipe multi basiler (MB).
Obat antikusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulphon) dan kemudian clofazimine, dan rifampisin.
Tujuan 25 pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) yaitu mencegah dan
mengobati resistensi, memperpendek masa pengobatan, mempercepat
pemutusan mata rantai penularan.
Metode pemberian Multi Drug Therapy (MDT) untuk jenis
multibasilar adalah: (1) rifampisin 600 mg setiap bulan, di bawah
pengawasan, (2) diaminodinefil sulfan (DDS) 100 mg sehari, (3)
clofazimine 300 mg setiap bulan, di bawah pengawasan, dan
dilanjutkan 50 mg satu hari atau 100 mg untuk satu hari atau 3 kali
100 mg setiap minggu. Pemberian Multi Drug Therapy (MDT) untuk
jenis pausibasilar adalah: (1) rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan
pengawasan, (2) diaminodinefil sulfan (DDS) 100 mg sehari.
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons
imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel
makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara
kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan
non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.
Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif
atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak
ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, namun untuk berbagai macam antigen.
Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam
elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen
tertentu.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen
adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan
khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap
antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah
bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih
dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan
tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.
A. RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI
Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus,
parasit, radiasi matahari, dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari
kejadian ini adalah tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat.
Biasanya manusia dilindungi oleh sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan
tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga
kesehatan. Kelebihan tantangan negatif, bagaimanapun, dapat menekan sistem
pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai
penyakit fatal.
Mikroorganisme yang memicu penyakit pada manusia dan
hewan masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara. biasanya
mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit disebut patogen. Patogen
yang telah masuk akan menimbulkan penyakit dengan pelbagai mekanisme.
Segala macam mikroorganisme yang menginvasi vertebrata akan berhadapan
dengan imunitas innate sebagai pertahanan pertama yang terjadi beberapa
menit setelah infeksi. Imunitas adaptif akan timbul apabila pertahanan
pertama ini tidak mampu mengeliminasi patogen yang masuk.
Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati
penyakit saja. Infeksi bakteri dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan
antivirus dan infeksi parasit dengan antiparasit terbatas obat-obatan yang
tersedia. Sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, depresi
disebabkan oleh stres emosional diobati dengan antidepresan atau obat
penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan gizi jarang diobati
sama sekali, bahkan jika diakui, dan kemudian oleh saran untuk
mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem pertahanan manusia
sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan
organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan
juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain
seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi
menjadi tumor.
Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel
tubuh dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya
guna merespon infeksi patogen – baik yang berkembang biak di dalam sel
tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang biak di
luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi penyakit.
Meskipun demikian, sistem kekebalan memiliki sisi yang kurang
menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak
nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik
senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan berlangsung.
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons
imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel
makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara
kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan
non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.
1. IMUNITAS SELULAR
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T
dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T
adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio
terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum
tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi
limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Dari gambar di atas Panel (a) menggambarkan diagram pita yang
didasarkan pada pengamatan kristallografi antibodi IgG, menunjukkan
kerangka rantai polipeptida. Tiga protein globular membentuk struktur
IgG menyerupai huruf Y. Dua sisi ikatan antigen terletak pada ujung kedua
lengan yang diikatkan pada badan antibodi dengan ikatan yang sangat
fleksibel. Panel (b) merupakan skema yang menjelaskan panel (a). Pada
panel (b) ditunjukkan komposisi empat rantai dan domain yang
menyususn tiap-tiap rantai. Panel (c) merupakan simplikasi skema
molekul antibodi.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan
molekul tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri
limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan
juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh
antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD,
artinya cluster of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang
meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri
atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T
dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga
dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi
monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga
terjadi penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat
memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit
T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah
memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya
mengalami aborsi dalam timus sehingga biasanya limfosit yang keluar
dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan
limfosit T efektor. Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th
= CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten
lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi
sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan
limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis
sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td
= CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen berada.
PAJANAN ANTIGEN PADA SEL T
biasanya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T
dependent antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel
imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat yang
dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti
bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang
tidak tergantung pada sel T (TI = T independent antigen) adalah antigen
yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang, biasanya bermolekul
besar.
Limfosit Th biasanya baru mengenal antigen bila dipresentasikan
bersama molekul produk MHC (major histocompatibility complex) kelas II
yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag.
Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama
molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR
dengan antigen. Ikatan ini terjadi sedemikian rupa dan
menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel
Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal
antigen dan mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi
menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target yang telah
dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila
berasosiasi dengan molekul MHC kelas I. Sel Th aktif juga dapat
merangsang sel Td untuk mengalami transformasi blast, proliferasi, dan
diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel Td aktif yang melepaskan
limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.
LIMFOKIN
Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi
pembentukan reseptor Fc dan C3B pada permukaan makrofag sehingga
mempermudah melihat antigen yang telah berikatan dengan antibodi atau
komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu
limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit
oksigen yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri,
parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen
oleh makrofag.Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag
dirangsang untuk melepaskan faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan
jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran dapat dibatasi.
Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab
tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir aktivasi ini adalah
eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga
menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen
serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.
2. IMUNITAS HUMORAL
Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit
B dengan atau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B
akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma.
Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD,
dan IgE.
Antibodi merupakan reseptor sel B yang disekresi, sehingga identik
dengan reseptor sel B itu sendiri kecuali pada C-terminal dari bagian
konstan rantai berat. Pada reseptor sel B, C-terminal pada membran
berupa squence yang bersifat hidrofobik, dan pada antibody C-terminal
berupa squence yang bersifat hidrofilik yang memungkinkan terjadinya
sekresi molekul tersebut. Antibodi bersifat terlarut dan disekresi dalam
jumlah yang besar sehingga mudah diperoleh dan mudah dipelajari.
Molekul antibodi secara garis besar digambarkan sebagi huruf ”Y”. Tiga
skema struktur antibodi yang diperoleh dari sinar-X kristalografi. Semua
antibodi disusun dengan cara yang sama dari pasangan polipeptida rantai
berat dan ringan dan biasanya protein itu dinamakan imunoglobulin.
biasanya imunoglobulin dibagi menjadi lima kelas yang berbeda
yakni: IgM, IgD, IgG, IgA, dan IgE yang dapat dibedakan pada bagian
konstannya (C region).
Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang
perkembangannya pada mamalia dipengaruhi oleh lingkungan bursa
fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan
lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT).
Dalam perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya
merupakan reseptor antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini
reseptor antigen merupakan imunoglobulin permukaan (surface
immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah
kelas IgM, dan pada perkembangan lalu sel B juga memperlihatkan
IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa.
Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B
matur memiliki reseptor antigen tertentu.
PAJANAN ANTIGEN PADA SEL B
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan
dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim
dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast,
proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi
dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara langsung
mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga
infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih
mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi.
Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen
yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks
antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis
serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain memiliki
reseptor Fc juga memiliki reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi
komplemen.
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis
oleh sel Tc yang memiliki reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa
ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC).
Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen
berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen
yang memicu terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan
sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat
berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada
imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang,
kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan
berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi
tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen
yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan
dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.
B. REGULASI RESPON IMUN
Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi
sistem imun yang tak terkendali, maka diperlukan adanya regulasi
respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh untuk meregulasi respons
imun yang sudah terjadi.
1. REGULASI OLEH ANTIBODI YANG TERBENTUK
Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat
mempengaruhi produksi antibodi lalu . Pada waktu kadar antibodi
masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons permulaan, antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang memiliki kapasitas
memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru
terbentuk merupakan faktor penting untuk mendorong proses maturasi
afinitas. Hal ini terjadi karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi
dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang
terangsang adalah sel B yang memiliki daya ikat tinggi terhadap
antigen atau berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga
berafinitas tinggi.
Adanya efek antibodi seperti ini dipengaruhi oleh tipe isotip
antibodi. biasanya IgM memiliki tendensi untuk meningkatkan
produksi antibodi, namun IgG lebih sering bersifat supresif. Di samping itu,
pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih besar
daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks
Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat
dipresentasikan pada sel Th yang kemudian merangsang sel B membentuk
antibodi. Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun afinitas
antibodi. namun bila antibodi sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu
setelah mencapai jumlah cukup untuk menetralkan antigen yang ada,
antibodi akan merupakan umpan balik negatif agar tidak terbentuk
antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi karena dengan terikatnya
bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka reseptor antigen pada
sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut, sehingga
tidak terjadi aktivasi dan priming sel B terhambat .
Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan
umpan balik negatif melalui bagian Fc-nya. Sel B selain memiliki
reseptor antigen juga memiliki reseptor Fc. Dengan terikatnya antibodi
pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada reseptor
antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya
gabungan silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak
terjadi aktivasi sel B . Tidak adanya bridging antara suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B mengakibatkan tidak
terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk
mengalami transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan
akibatnya pembentukan antibodi makin lama makin berkurang.
2. REGULASI IDIOTIP SPESIFIK
Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi
yang makin lama makin bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari
antibodi ini akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang
mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya
belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. namun fakta
memang membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi
dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit yang memiliki reseptor
untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga memiliki idiotip
hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.
Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase
respons imun mulai menurun. Anti-idiotip yang terbentuk dengan
sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal image dari
antigen asal. namun adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons imun
yang normal tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap
antigen asal. Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan
jumlah antibodi makin lama makin berkurang. Dapat dipersamakan
seperti batu yang jatuh ke dalam ir dan menimbulkan gelembung air
yang makin lama makin menghilang. Regulasi melalui pembentukan antiidiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down
regulation) yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne.
3. REGULASI OLEH SEL T SUPRESOR (Ts)
Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit
lainnya untuk meningkatkan fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th =
CD4). Selain itu terdapat juga limfosit yang menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan sel T supresor (Ts = CD8). Sel Ts
dapat juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan mencegah
respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan
tugasnya belumlah jelas, namun secara in vitro dapat diketahui bahwa pada
aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan menekan respons
imun yang sedang berlangsung.
Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang
merangsang respons imun itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang
2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi antigen spesifik yang akan
merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen yang
mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel
B dan sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B
atau sel Th yang memiliki reseptor idiotip dari idiotip sel Ts, sehingga
sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.
C. MEKANISME PERTAHANAN NON SPESIFIK
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik
disebut juga respons imun alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan
non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa
dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air
mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan
komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
1. Permukaan tubuh, mukosa dan kulit
Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi
mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka
mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen
lain dari sistem imunitas alamiah.
2. Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian
pula silia pada mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak
dinding sel mikroorganisme.
3. Komplemen dan makrofag
Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai
macam bakteri secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui
proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang
distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini
memiliki reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor
kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dan
polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
4. Protein fase akut
Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat
adanya kerusakan jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis
protein fase akut. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu
protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein
khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari
pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur
alternatif yang akan melisis antigen.
5. Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon
Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus
atau sel tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit
dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi
virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.
D. MEKANISME PERTAHANAN SPESIFIK
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan
spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan
atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan
komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik
disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen
yang merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga
menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi
dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk
antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen yang merangsangnya,
sehingga terjadi eliminasi antigen.
Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang
mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit
T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada
imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons
imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi
menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau
meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta
meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses
antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).
Berbagai penyakit infeksi masih menjadi salah satu masalah
kesehatan utama di seluruh dunia, termasuk di negara kita . Penularan
penyakit ini juga sangat mudah terjadi. Oleh sebab itu, tindakan
pencegahan perlu dilakukan agar penyebaran penyakit infeksi dapat
dihentikan.
Penyakit infeksi bisa disebabkan oleh berbagai mikroorganisme,
seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit. Masing-masing penyakit
infeksi memiliki gejalanya tersendiri dan pengobatan yang berbedabeda, tergantung penyebabnya. Risiko pasien untuk terkena penyakit
infeksi bisa meningkat apabila ia memiliki kondisi medis tertentu,
misalnya infeksi HIV dan kekurangan sel darah putih, seperti leukopenia
dan neutropenia.
Setiap penyakit infeksi juga memiliki masa inkubasinya masingmasing. Masa inkubasi adalah jeda waktu dari saat mikroorganisme
masuk ke dalam tubuh pasien hingga orang ini menunjukkan
gejala penyakit infeksi. Penyakit infeksi ada yang memiliki masa inkubasi
selama beberapa hari, bulan, hingga tahun.
Berikut ini adalah beberapa macam penyakit menular akibat
infeksi yang banyak ditemukan di negara kita , berdasar penyebabnya:
1. INFEKSI VIRUS
Virus merupakan penyebab infeksi yang paling sering terjadi.
Beberapa penyakit akibat infeksi virus yang masih banyak ditemukan di
negara kita meliputi ISPA, influenza, cacar, campak, hepatitis, demam
berdarah, HIV/AIDS, dan gastroenteritis. Sedangkan penyakit infeksi virus
yang terbilang lebih jarang ditemukan termasuk flu burung, flu singapura,
chikungunya, dan SARS.
2. INFEKSI BAKTERI
Infeksi bakteri juga termasuk penyakit infeksi yang masih banyak
ditemukan di negara kita . Beberapa contoh penyakit infeksi bakteri yang
dimaksud adalah:
a. Demam tiroid
b. Tuberkolusis (TBC)
c. Pneumonia
d. Meningitis
e. Infeksi saluran kemih
f. Difteri
g. Batuk rejan (pertusis)
h. Sepsis
3. INFEKSI JAMUR
Jamur mudah tumbuh subur di daerah beriklim tropis dan hangat
dengan kelembapan yang tinggi, salah satunya negara kita . Hal ini membuat
penyakit infeksi jamur cukup banyak ditemukan di negara kita .
Beberapa contoh penyakit jamur yang sering terjadi adalah
athlete’s foot atau infeksi jamur kaki, infeksi jamur kulit, kuku, dan infeksi
jamur pada vagina, histoplasmosis, blastomycosis, candidiasis, dan
aspergillosis. Sebagian jenis jamur juga dapat memicu meningitis
dan pneumonia.
4. INFEKSI PARASIT
Infeksi parasit bisa disebabkan oleh berbagai jenis makhluk hidup,
seperti cacing dan amuba. Contoh penyakit parasit ini adalah cacingan,
malaria, giardiasis, amebiasis, dan toksoplasmosis.
A. MEKANISME PENYEBARAN PENYAKIT INFEKSI
Penyakit infeksi dapat menular dari satu orang ke orang lain
secara langsung maupun tidak langsung. Berikut ini penjelasannya:
1. PENULARAN SECARA LANGSUNG (DIRECT TRANSMISSION)
Ada 3 cara penyebaran penyakit menular secara langsung, yaitu:
a. Dari penderita penyakit infeksi ke orang lain
Berbagai jenis kuman dan virus penyebab infeksi dapat berpindah dari
satu orang ke orang lainnya melalui kontak fisik dengan orang yang
terinfeksi, misalnya melalui sentuhan,percikan air liur saat bersin atau
batuk, dan berciuman. Penularan juga bisa terjadi melalui darah,
misalnya dari transfusi darah atau jarum suntik yang dipakai
bergantian dengan orang lain. Selain melalui darah, penularan melalui
cairan tubuh juga bisa terjadi, misalnya melalui hubungan seksual
dengan penderita penyakit infeksi. Penularan infeksi melalui kontak
seksual ini sering menjadi penyebab infeksi menular seksual.
b. Dari ibu ke bayi
Seorang ibu yang menderita penyakit infeksi saat hamil berisiko tinggi
untuk menularkan penyakit yang dideritanya ke janin di dalam
kandungan. Di samping itu, penularan penyakit infeksi dari ibu ke bayi
juga bisa terjadi melalui proses persalinan atau saat menyusui ASI.
c. Hewan ke manusia
Penularan infeksi dari hewan ke manusia bisa terjadi saat pasien
tercakar atau tergigit hewan, mengonsumsi daging hewan yang
dimasak kurang matang, serta bersentuhan dengan kotoran atau urine
hewan yang telah terinfeksi.
Hewan pembawa penyakit infeksi ini bisa hewan liar mau pun hewan
peliharaan yang kurang terawat kesehatannya. Contoh penyakit infeksi
yang menular melalui hewan adalah toksoplasmosis, pes, leptospirosis,
dan rabies.
2. PENULARAN SECARA TIDAK LANGSUNG (INDIRECT
TRANSMISSION)
Terdapat 3 cara penyebaran penyakit infeksi secara tidak langsung, yaitu:
a. Benda yang terkontaminasi
Beberapa jenis kuman dapat hidup pada benda tertentu, seperti keran
air, gagang pintu, dan bahkan handphone. Penularan bisa terjadi ketika
Anda menyentuh benda yang telah terkontaminasi kuman atau benda
milik penderita penyakit infeksi. Mikroorganisme penyebab infeksi
juga bisa menyebar melalui penggunaan barang pribadi, misalnya
handuk, sikat gigi, dan pisau cukur, secara bergantian dengan orang
lain.
b. Makanan dan minuman yang terkontaminasi
Sembarangan mengonsumsi makanan dan minuman juga dapat
memicu Anda tertular penyakit infeksi. Berbagai jenis kuman,
virus, dan parasit banyak ditemukan dalam makanan atau minuman,
terutama daging dan telur yang tidak dimasak hingga matang atau
makanan dan minuman yang tidak dipasteurisasi. Contoh penyakit
infeksi yang terjadi melalui metode ini adalah diare, keracunan
makanan, anthrax, flu babi, dan flu burung.
c. Gigitan serangga
Banyak penyakit infeksi yang menular melalui gigitan serangga,
misalnya gigitan nyamuk yang membawa virus atau parasit penyebab
infeksi. Contoh penyakit infeksi akibat gigitan serangga ini adalah
demam berdarah, malaria, filariasis (kaki gajah), chikungunya,
penyakit Lyme dan infeksi virus Zika.
B. TIPS MENCEGAH PENYAKIT INFEKSI
Infeksi virus atau bakteri yang sudah parah bisa membuat sel darah
putih berkurang atau leukopenia. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko dan
mencegah terjadinya penyakit infeksi, penting untuk melakukan langkah
pencegahan penyakit infeksi sebagai berikut:
1. Membiasakan diri untuk mencuci tangan dengan memakai air dan
sabun, terutama setelah buang air kecil dan besar, membuang sampah,
sebelum masak, dan sebelum makan.
2. Memasak makanan atau minuman hingga matang sebelum dikonsumsi.
3. memakai masker ketika sedang berada di luar rumah atau ketika
sedang sakit.
4. Tidak berbagi peralatan kebersihan pribadi, seperti sikat gigi, pisau cukur,
handuk, dan alat makan, dengan orang lain.
5. Melengkapi imunisasi sesuai jadwal yang direkomendasikan dokter atau
ketika hendak bepergian ke daerah dengan penyakit endemik.
6. Melakukan hubungan seks aman, yaitu memakai kondom ketika
berhubungan intim dan tidak berganti pasangan seksual.
7. Menjaga kebersihan lingkungan. Salah satunya adalah dengan tidak
membuang sampah sembarangan.
8. Dengan berbekal pemahaman tentang penyebab penyakit infeksi, cara
penyebaran, dan cara mencegahnya, diharapkan Anda tidak tertular
penyakit infeksi dan tidak menularkan penyakit infeksi ke orang lain.
9. Jika terdapat gejala-gejala infeksi, seperti demam, batuk, pilek, sesak
napas, atau diare, Anda sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter
agar dapat diberikan pengobatan yang tepat.
C. KONSEP INFEKTIVITAS, PATHOGENESIS, VIRULENSI DAN
IMUNOGENITAS
Proses Perjalanan suatu penyakit bermula dari adanya gangguan
keseimbangan antara agen penyakit, host dan lingkungan, sehingga
menimbulkan gejala penyakit. Agen penyakit merupakan faktor awal proses
terjadinya penyakit, sehingga faktor agen penyakit ini merupakan hal yang
sangat penting untuk dipelajari, agar setiap organisme dapat melakukan
pencegahan lebih awal terhadap timbulnya suatu penyakit.
1. INFEKTIVITAS
Adalah kemampuan agen penyakit untuk memicu terjadinya
infeksi. Dihitung dari jumlah individu yang terinfeksi dibagi dengan jumlah
individu yang terpapar.
2. PATOGENESITAS
Adalah kemampuan agen penyakit untuk memicu penyakit
klinis. Dihitung dari jumlah kasus klinis dibagi dengan jumlah individu yang
terinfeksi. Pada dasarnya dari seluruh mikroorganisme yang ada di alam,
hanya sebagian kecil saja yang merupakan patogen. Patogen adalah
organisme atau mikroorganisme yang memicu penyakit pada
organism lain. Kemampuan pathogen untuk memicu penyakit disebut
dengan patogenisitas. Dan patogenesis disini adalah mekanisme infeksi dan
mekanisme perkembangan penyakit. Infeksi adalah invasi inang oleh
mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi dengan jaringan inang.
Infeksi berbeda dengan penyakit. Suatu mikroorganisme yang membuat
kerusakan atau kerugian terhadap tubuh inang disebut pathogen sedangkan
kemampuan mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit disebut
pathogenesis. Patogenesis adalah suatu ekanisme bagaimana suatu
penyebab penyakit bekerja sehingga menghasilkan tanda dan gejala klinis.
Patogen adalah agen biologis yang memicu penyakit pada inangnya.
Sebutan lain dari patogen adalah mikroorganisme parasit. biasanya istilah
ini diberikan untuk agen yang mengacaukan fisiologi normal hewan atau
tumbuhan multiseluler. Patogenesitas adalah kemampuan pathogen
memicu penyakit.
Kapasitas bakteri memicu penyakit tergantung pada
patogenitasnya. Dengan kriteria ini bakteri dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu agen penyebab bakteri, pathogen oportunistik, dan non pathogen.
Agen penyebab penyakit adalah bakteri pathogen yang memicu suatu
penyakit ( Salmonella sp. ). Pathogen oportunistik adalah bakteri yang
berkemampuan sebagai pathogen ketika mekanisme pertahanan inang
diperlemah ( contohE. coli ) menginfeksi saluran urin ketika sistem
pertahanan inang dikompromikan ( diperlemah ). Non pathogen adalah
bakteri yang tidak pernah menjadi pathogen. Namun bakteri non pathogen
dapat menjadi pathogen karena kemampuan adaptasi terhadap efek
mematikan terapi modern seperti kemoterapi, imunoterapi, dan mekanisme
resistensi. Bakteri tanah Serratia marcescens yang semula non pathogen,
berubah menjadi pathogen yang memicu pneumonia, infeksi saluran
urin, dan bakteremia pada inang terkompromi. Pathogen oportunistik
biasanya adalah flora normal ( manusia ) dan memicu penyakit bila
menyerang bagian yang tidak terlindungi, biasanya terjadi pada orang yang
kondisinya tidak sehat. Pathogen virulen ( lebih berbahaya ), dapat
menimbulkan penyakit pada tubuh kondisi sehat ataupun normal.
Sebagaimana kita ketahui sebelumnya mikroorganisme adalah
organisme hidup yang berukuran mikroskopis sehingga tidak dapat dilihat
dengan mata telanjang. Mikroorganisme dapat ditemukan disemua tempat
yang memungkinkan terjadinya kehidupan, disegala lingkungan hidup
manusia. Mereka ada di dalam tanah, di lingkungan akuatik, dan atmosfer (
udara ) serta makanan, dan karena beberapa hal mikroorganisme ini
dapat masuk secara alami ke dalam tubuh manusia, tinggal menetap dalam
tubuh manusia atau hanya bertempat tinggal sementara. Mikroorganisme
ini dapat menguntungkan inangnya namun dalam kondisi tertentu dapat juga
menimbulkan penyakit.
3. VIRULENSI
Adalah kemampuan penyakit untuk memicu kematian.
Indikator ini menunjukkan kemampuan agen infeksi memicu
keparahan (severety) penyakit. Dihitung dari jumlah kasus yang mati dibagi
dengan jumlah kasus klinis. Ada beberapa factor yang mempengaruhi
virulensi suatu mikroorganisme. Factor virulensi dapat berupa senyawa
organic atau berupa bagian sel itu sendiri. Factor virulensi seperti pada
table :
Pada bakteri factor virulensi dapat dibagi menjadi dua yaitu : factor
pendukung kolosinasi dan factor pendukung invasi.
4. IMUNOGENITAS
Adalah kemampuan suatu substansi (seperti antigen atau epitope)
dalam memicu respons imun dari tubuh manusia atau hewan lainnya.
Dalam kata lain, imunogenisitas adalah kemampuan untuk memicu respons
imun humoral dan/atau dimediasi sel. Kemampuan untuk menginduksi
respon imun yang dimediasi humoral dan0atau sel. Kita tahu kapan sel B
dan T diaktifkan oleh antigen, itu menghasilkansel efektor dan sel memori.
Misalnya, jika sel B diaktifkan, ia akan berdiferensiasi menjadi sel plasma B
yang mengeluarkan antibody. Terdapat perbedaan antara imunogenisitas
yang diinginkan dan tak diinginkan:
a. Imunogenisitas yang diinginkan biasanya dihasilkan oleh vaksin, ketika
penyuntikan suatu antigen (dari vaksin) memicu respons imun terhadap
patogen (virus, bakteri) untuk melindungi organisme. Pengembangan
vaksin adalah proses yang rumit, dan imunogenisitas merupakan unsur
utama dalam kemujaraban suatu vaksin.
b. Imunogenisitas yang tidak diinginkan merupakan respons imun dari
suatu organisme terhadap antigen untuk terapi (seperti protein
rekombinan atau antibodi monoklonal). Akibatnya, dikeluarkan antibodi
anti-obat yang menghilangkan efek terapi atau malah memicu dampak
negatif.
Contoh terbaik untuk Immonogen adalah Hapten. Haptens adalah
zat dengan berat molekul rendah yang tidak dapat memperoleh respon
imun. Tapi itu bisa dibuat Immunogenik dengan pendidikan melalui
pembawa yang sesuai.
Infeksi merupakan invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme
yang mampu memicu sakit. Infeksi juga disebut asimptomatik apabila
mikroorganisme gagal dan memicu cedera yang serius terhadap sel atau
jaringan. Penyakit akan timbul jika patogen berbiak dan memicu
perubahan pada jaringan normal.
Infeksi merupakan pembiakan mikroorganisme pada jaringan
tubuh,terutama yang memicu cedera sellular lokal akibat kompetisi
metabolisme, toksin, replikasi intra selular, atau respon antigen-antibodi.
1. Rantai infeksi proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait
antar berbagai faktor yang mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir,
portal of exit, cara penularan, portal of entry dan host/ pejamu yang
rentan.
a. Agen Infeksi
Microorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara
lain bakteri, virus, jamur dan protozoa. Mikroorganisme di kulit
bisa merupakan flora transient maupun resident. Organisme
transient normalnya ada dan jumlahnya stabil, organisme ini bisa
hidup dan berbiak di kulit. Organisme transien melekat pada kulit
saat pasien kontak dengan obyek atau orang lain dalam aktivitas
normal. Organisme ini siap ditularkan, kecuali dihilangkan dengan
cuci tangan. Organisme residen tidak dengan mudah bisa
dihilangkan melalui cuci tangan dengan sabun dan deterjen biasa
kecuali bila gosokan dilakukan dengan seksama. Mikroorganisme
dapat memicu infeksi tergantung pada: jumlah
microorganisme, virulensi (kemampuan memicu penyakit),
kemampuan untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta
kerentanan dari host/penjamu
b. Reservoar (Sumber Mikroorganisme)
Adalah tempat dimana mikroorganisme patogen dapat
hidup baik berkembang biak atau tidak. Yang bisa berperan sebagai
reservoir adalah manusia, binatang, makanan, air, serangga dan
benda lain. Kebanyakan reservoir adalah tubuh manusia, misalnya
di kulit, mukosa, cairan maupun drainase. Adanya microorganisme
patogen dalam tubuh tidak selalu memicu penyakit pada
hostnya. Sehingga reservoir yang di dalamnya terdapat
mikroorganisme patogen bisa memicu orang lain menjadi
sakit (carier). Kuman akan hidup dan berkembang biak dalam
reservoar jika karakteristik reservoarnya cocok dengan kuman.
Karakteristik ini yaitu oksigen, air, suhu, pH, dan pencahayaan
c. Portal Of Exit (Jalan Keluar)
Mikroorganisme yang hidup di dalam reservoir harus
menemukan jalan keluar (portal of exit untuk masuk ke dalam host
dan memicu infeksi. Sebelum menimbulkan infeksi,
mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari reservoarnya.
Jika reservoarnya manusia, kuman dapat keluar melalui saluran
pernapasan, pencernaan, perkemihan, genitalia, kulit dan
membrane mukosa yang rusak serta darah.
d. Cara Penularan (Transmission)
Kuman dapat menular atau berpindah ke orang lain dengan
berbagai cara seperti kontak langsung dengan penderita melalui
oral, fekal, kulit atau darahnya;kontak tidak langsung melalui jarum
atau balutan bekas luka penderita; peralatan yang terkontaminasi;
makanan yang diolah tidak tepat; melalui vektor nyamuk atau lalat.
e. Portal Masuk (Port de Entry)
Sebelum pasien terinfeksi, mikroorganisme harus
masuk dalam tubuh. Kulit merupakan barier pelindung tubuh
terhadap masuknya kuman infeksius. Rusaknya kulit atau
ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba dapat
masuk ke dalam tubuh melalui rute atau jalan yang sama dengan
portal keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan tubuh
memperbesar kesempatan patogen masuk ke dalam tubuh.
f. Daya Tahan Hospes (Manusia)
pasien terkena infeksi bergantung pada kerentanan
terhadap agen