epidemi menular 3

rentan lainnya. Tiga cara kemoterapi yang 
dipakai  untuk mengobati infeksi STH pada komunitas antara 
lain (1) pemberian obat anti STH pada populasi biasanya , 
komunitas diterapi tanpa dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, 
status infeksi, dan karakteristik sosial lainnya, (2) sasaran 
pemberian obat anti STH berdasar  kelompok usia, kehadiran 
di sekolah atau karakteristik sosial lainnya, penduduk suatu 
wilayah, tanpa menilai status infeksi, (3) sasaran pemberian 
obat anti STH pada individu tertentu berdasar  diagnosis 
infeksi saat itu. 
Kemoterapi pencegahan merupakan cara untuk 
mengontrol morbiditas infeksi STH. Program ini 
dikembangkan pada tahun 2006 yang kemudian diterbitkan oleh 
WHO (WHO, 2006). Kontrol morbiditas untuk infeksi STH 
didefinisikan sebagai eliminasi infeksi intensitas berat dan 
sedang dengan pemberian obat secara periodik. Empat obat 
yang direkomendasikan oleh WHO adalah albendazol dan 
mebendazol yang paling banyak dipakai , serta levamisol dan 
pirantel pamoate yang lebih jarang dipakai . Keempat jenis 
obat ini memiliki  efikasi yang tinggi dalam mengobati 
infeksi Ascaris lumbrocoides namun  untuk infeksi Trichuris 
trichiura memberikan hasil yang tidak memuaskan dengan 
ditunjukkan dengan rendahnya angka kesembuhan (CR=cure 
rate). 
Tujuan utama WHO untuk mengendalikan infeksi STH 
sampai tahun 2020 adalah dengan menurunkan angka 
morbiditas pada anak usia pra-sekolah (2-5 tahun) dan sekolah 
(5-14 tahun), oleh karena itu negara-negara di Asia Tenggara 
yang endemis terhadap infeksi STH dilaksanakan program 
kampanye pemberian pengobatan secara massal yang diberikan 
pada anak usia pra-sekolah dan sekolah di area yang terinfeksi 
dengan obat anti STH dengan pengaturan jarak waktu 
pemberian. Pada anak usia pra-sekolah dan sekolah paling 
banyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides dan Trichuris 
trichiura sehingga pengobatan massal dititikberatkan untuk 
mengatasi infeksi kedua jenis cacing tersebut. 
Pengobatan STH dilakukan sesuai dengan jenis infeksi 
cacing yang dialami. Infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris 
trichiura dapat diberikan baik albendazol 400 miligram (mg) 
sekali atau mebendazol 100 mg dua kali pemberian dalam sehari 
selama tiga hari. Pilihan lain dapat juga diberikan pirantel 
pamoate 10 mg/kilogram (kg) berat badan (BB), dosis maksimal 
satu gram. Ketiga jenis obat ini juga dapat dipakai  
untuk anak usia kurang dari dua tahun. Golongan obat 
benzimidazoles yaitu albendazol dan mebendazol memang 
merupakan jenis obat yang dipakai  secara luas dalam 
program pencegahan kemoterapi terhadap infeksi STH namun  
kedua obat ini menunjukkan efikasi yang rendah dalam
mengobati infeksi Trichuris trichiura. 
Salah satu masalah utama kemoterapi pencegahan 
melalui program pengobatan massal adalah kesulitan 
melakukan eliminasi infeksi STH pada individu. Pemilihan obat 
yang kurang tepat juga dapat memicu  kesulitan eliminasi 
infeksi STH. Penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa 
rendahnya angka kesembuhan dan reinfeksi terjadi dengan 
cepat didaerah endemis, dengan prevalens infeksi Ascaris 
lumbricoides dan Trichuris trichiura kembali seperti sebelum 
diberikan pengobatan awal. 
1) Albendazol 
Albendazol merupakan anti STH spektrum luas. 
Albendazol adalah benzimidazol karbamat. Albendazol 
setelah pemberian oral akan diserap secara tidak 
teratur, penyerapan akan meningkat dengan makan 
tinggi lemak dan kemudian dengan cepat akan 
dimetabolisme pertama kali di hati menjadi bentuk 
metabolit aktif yaitu albendazol sulfoxide. Albendazol 
akan mencapai konsentrasi maksimal dalam plasma 
dalam waktu tiga jam. Metabolit aktif ini terikat pada 
protein lalu didistribusi dengan baik ke jaringan dan 
masuk ke empedu, saluran pencernaan dan cairan otak. 
Pada akhirnya metabolit aktif albendazol ini akan 
diekskresi melalui urin.
Albendazol mengatasi infeksi STH dengan cara 
menghambat sintesis mikrotubular. Albendazol juga 
memiliki efek larvasidal serta ovisidal. Cara pemberian 
albendazol dapat diberikan dengan perut kosong 
ataupun setelah makan. Dosis albendazol yang 
dipakai  untuk mengatasi infeksi Trichuris trichiura 
adalah 400 mg dosis tunggal. Penurunan jumlah telur 
cacing infeksi Trichuris trichiura dengan memakai  
albendazol paling tinggi diamati setelah tujuh hari 
pengobatan dibandingkan setelah 14, 21, dan 28 hari 
pengobatan. 
Albendazol secara cepat di konversi menjadi 
sulfoxide albendazol melalui metabolisme hepatik, 
mencapai kadar puncak dua sampai lima jam setelah 
diminum, sedangkan waktu paruh obat albendazol 
adalah delapan sampai 12 jam. Benzimidazole bekerja 
dengan cara mengikat subunit-β pada tubulin yang 
kemudian akan menghambat pembentukan 
mikrotubulus, memotong transport glukosa, dan deplesi 
glikogen. Efek ini pada akhirnya akan 
memicu  imobolisasi dan kematian cacing dewasa 
serta menghambat pelepasan telur cacing di tinja dan 
penempelan telur di dinding usus. 
Kontraindikasi penggunaan obat ini adalah 
adanya hipersensitivitas terhadap benzimidazole. Efek 
samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat 
albendazol antara lain sakit kepala, mual, muntah, diare, 
nyeri perut, peningkatan fungsi hati, demam. Interaksi 
obat yang dapat meningkatkan kadar albendazol dalam 
plasma jika diberikan bersama dengan deksametason 
dan praziquantel. 
2) Pirantel Pamoate 
Pirantel pamoat merupakan turunan 
tetrahydropyrimidine yang berkhasiat sebagai anti STH. 
Pirantel pamoate efektif dalam mengatasi infeksi cacing 
baik bentuk matur maupun imatur dalam saluran 
pencernaan. Obat ini bekerja dengan cara menimbulkan 
depolarisasi pada otot cacing sehingga terjadi pelepasan 
asetilkolin dan penghambatan kolinesterase. Hal ini 
memicu  pelumpuhan cacing yang diikuti dengan 
pembuangan dari saluran pencernaan individu yang 
terinfeksi. 
Pirantel pamoate memiliki  efikasi bermakna 
untuk mengatasi infeksi nematoda usus. Pirantel 
pamoate menghasilkan depolarisasi dan kontraksi pada 
badan otot cacing sehingga memicu  spastik 
paralisis dan melepas penempelan telur pada dinding 
usus. Kadar puncak efek tercapai satu sampai tiga jam 
setelah diminum. 
Pirantel pamoate dapat diberikan dengan dosis 
10 mg/kg/hari sekali pemberian dalam sehari. Pirantel 
pamoate dapat diberikan dengan atau tanpa makanan. 
Efek merugikan dari pengunaan obat ini jarang terjadi, 
ringan, dan bersifat sementara. Efek ini antara lain 
mual, muntah, diare, nyeri perut, sakit kepala, sulit 
tidur, ruam kulit, demam, dan lemas. 
Oxantel pamoate yang merupakan analog 
pirantel pamoate efektif dalam mengatasi infeksi 
Trichuris trichiura, baik dipakai  tanpa atau dengan 
kombinasi albendazol jika dibandingkan dengan 
monoterapi albendazol atau mebendazol. Dengan 
membandingkan penggunaan kombinasi obat oxantel 
pamoate dan albendazol dengan mebendazol untuk 
infeksi Trichuris trichiura didapatkan angka 
kesembuhan yang lebih tinggi dan berbeda bermakna 
pada kelompok yang mendapatkan terapi kombinasi 
oxantel pamoate dan albendazol. Penelitian yang 
dilakukan ditahun berikutnya oleh Speich dkk. (2015) 
mendapatkan hasil yang sama. Hasil serupa dengan 
hasil evaluasi efikasi obat tiga minggu seteleh 
pemberian kombinasi oxantel pamoate dan albendazol 
didapatkan angka kesembuhan 48%. 
Efek samping obat pirantel pamoate adalah 
gangguan pencernaan ringan, sakit kepala, mengantuk, 
bintik-bintik kemerahan, dan peningkatan fungsi hati. 
Tidak ditemukan interaksi obat dengan obat lainnya 
jika dipakai  secara bersamaan. Primakuine dapat 
menurunkan kadar obat pirantel pamoate (WHO, 
2010). 
3) Kombinasi albendazol dan pirantel pamoate 
Kombinasi albendazol dan pirantel pamoate 
berdasar  penelitian in vitro memiliki efek sinergis 
kuat. Kombinasi obat ini bukan merupakan 
kontraindikasi, tidak menimbulkan efek samping yang 
bermakna, dan tidak menurunkan efektivitas kerja obat. 
Hal ini berbeda dengan kombinasi albendazol dan 
levamisole yang merupakan kontraindikasi karena 
menurunkan efektivitas albendazol dan menimbulkan 
efek samping berupa onchocerciasis. 
Penelitian Speich dkk. (2014) mengenai efikasi 
dan keamanan penggunaan kombinasi obat albendazol 
dan oxantel pamoate (yang merupakan analog pirantel 
pamoate) hanya didapatkan efek samping yang ringan. 
Gejala yang muncul setelah pemberian terapi ini 
sama seperti gejala yang ada sebelum terapi diberikan 
oleh karena itu tidak ada efek samping dari penggunaan 
kombinasi obat tersebut. Pada penelitian ini juga 
dijelaskan bahwa tidak ada interaksi obat jika diberikan 
secara bersamaan. 
DEFINISI HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen 
yang menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang 
memiliki penenda CD 4+ dipermukaannya seperti makrofag dan 
limfosit T. AIDS (acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan 
suatu kondisi immunosupresif berkaitan erat dengan berbagai infeksi 
oportunistik, neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologic akibat 
infeksi HIV. 
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus
yang berarti terdiri atas untai tunggal RNA virus yang masuk ke dalam 
inti sel pejamu dan ditranskripkan kedalam DNA pejamu ketika 
menginfeksi pejamu. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) 
adalah suatu penyakit virus yang memicu  kolapsnya sistem imun 
disebabkan oleh infeksi immunodefisiensi manusia (HIV), dan bagi 
kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun setelah diagnosis. 
Perbedaan orang dengan HIV positif dengan orang dengan AIDS 
a. Orang dengan HIV positip adalah pasien  yang telah terinfeksi 
virus HIV, dapat menularkan penyakitnya walaupun nampak sehat 
dan tidak menunjukkan gejala penyakit apapun.
b. Orang dengan AIDS adalah pasien  yang menunjukkan tanda￾tanda dari sekumpulan gejala penyakit yang memerlukan 
pengobatan, setelah sekian waktu terinfeksi HIV
c. Perjalanan waktu sejak seorang penderita tertular HIV hingga 
menderita AIDS dapat berlangsung lama antara 5 sampai 10 tahun
2. PATOGENESIS HIV/AIDS
HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan 
tubuh seperti darah, semen, cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya 
pasien  tergantung pada status imunitas, gizi, kesehatan umum dan 
usia serta jenis kelamin merupakan faktor risiko. pasien  akan 
berisiko tinggi terinfeksi HIV bila bertukar darah dengan orang yang
terinfeksi, pemakaian jarum suntik yang bergantian terutama pada 
pengguna narkoba, hubungan seksual.
Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui 
cairan tubuh seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga 
terdapat dalam saliva, air mata, dan urin (sangat rendah). HIV tidak 
dilaporkan terdapat didalam air mata dan keringat. Pria yang sudah 
disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil dibandingkan dengan pria 
yang tidak disunat. Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan 
melalui: 
a. Ibu hamil 
1) Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI) 
2) Angka transmisi mencapai 20-50% 
3) Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga 
4) Laporan lain menyatakan risiko penularan malalui ASI 
adalah 11-29%
5) Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan 
penelitian pada duakelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang 
menyusui sejak awal kelahiran bayi dan kelompok ibu yang 
menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya, 
melaporkan bahwa angka penularan HIV pada bayi yang 
belum disusui adalah 14% (yang diperoleh dari penularan 
melalui mekanisme kehamilan dan persalinan), dan angka 
penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya 
disusui. Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh 
antibodi HIV dari ibunya selama 6-15 bulan. 
b. Jarum suntik 
1) Prevalensi 5-10% 
2) Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui 
jarum suntik karena penyalahgunaan obat 
3) Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) 
dewasa, pengguna obat suntik di Jakarta sebanyak 40% 
terinfeksi HIV, di Bogor 25% dan di Bali 53%. 
c. Transfusi darah 
1) Risiko penularan sebesar 90% 
2) Prevalensi 3-5% 
d. Hubungan seksual 
1) Prevalensi 70-80% 
2) Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan 
intim 
3) Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir￾akhir ini dengan semakin meningkatnya kesadaran 
masyarakat untuk memakai  kondom, maka penularan 
melalui jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh 
penularan melalui jalur penasun (pengguna narkoba 
suntik) (Widoyono, 2011). 
3. KLASIFIKASI HIV/AIDS
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 
golongan, yaitu: 
a. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa 
inkubasi yang berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun 
lamanya 
b. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala 
limfadenopati umum 
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan 
gangguan sistem imun atau kekebalan 
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis 
yang berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial, 
hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang 
disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya 
sarcoma kaposi. Penderita akhirnya meninggal dunia akibat 
komplikasi penyakit infeksi sekunder. 
1. Fase 1 
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu 
sudah terpapar dan terinfeksi. namun  ciri – ciri terinfeksi 
belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase 
ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja 
terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu 
(biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri). 
2. Fase 2 
Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase 
kedua ini individu sudah positif HIV dan belum 
menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada 
orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala 
ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri). 
3. Fase 3 
Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut 
gejala AIDS. Gejala – gejala yang berkaitan antara lain 
keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare terus 
menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang 
tidak sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang dan badan 
menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada 
fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang. 
4. Fase 4 
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa 
setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari 
jumlah sel T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut 
dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru 
yang memicu  radang paru – paru dan kesulitan 
bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau 
sarcoma kaposi, infeksi usus yang memicu  diare 
parah berminggu – minggu, dan infeksi otak yang 
memicu  kekacauan mental dan sakit kepala. 
Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan 
infeksi HIV terkonfirmasi menurut WHO: 
a. Stadium 1 (asimtomatis) 
1) Asimtomatis 
2) Limfadenopati generalisata 
b. Stadium 2 (ringan) 
1) Penurunan berat badan < 10% 
2) Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, 
prurigo, onikomikosis, ulkus oral rekurens, keilitis 
angularis, erupsi popular pruritik 
3) Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir 
4) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, 
faringitis, otitis media 
c. Stadium 3 (lanjut) 
1) Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas 
2) Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan 
3) Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, 
intermiten/konstan) > 1 bulan 
4) Kandidiasis oral persisten 
5) Oral hairy leukoplakia 
6) Tuberculosis paru 
7) Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, 
infeksi tulang/sendi, meningitis, bakteremia 
8) Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut 
9) Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 
0,5×109 /L) tanpa sebab jelas, atau trombositopenia 
kronis (< 50×109 /L) tanpa sebab yang jelas 

d. Stadium 4 (berat) 
1) HIV wasting syndrome
2) Pneumonia akibat pneumocystis carinii 
3) Pneumonia bakterial berat rekuren
4) Toksoplasmosis serebral 
5) Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan 
http://repository.unimus.ac.id 
6) Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar 
getah bening
7) Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau 
visceral 
8) Leukoensefalopati multifocal progresif 
9) Mikosis endemic diseminata 
10) Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus 
11) Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru 
12) Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren 
13) Tuberculosis ekstrapulmonal 
14) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, 
ensefalopati HIV, kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk 
meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks invasive, 
leismaniasis atipik diseminata 
Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV 
simtomatis (Kapita Selekta, 2014).
4. ETIOLOGI HIV/AIDS
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang 
disebut HIV dari sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang 
disebut Lympadenopathy Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell 
Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell 
Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam  rebonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribunokleat (DNA) setelah 
masuk kedalam sel pejamu. 
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human 
Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri 
dari lima fase yaitu:
a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah 
infeksi. Tidak ada gejala 
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan 
gejala flu like illness 
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan 
gejala tidk ada 
d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, 
keringat malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, 
lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut 
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS 
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan 
tumor pada berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis 
5. KELOMPOK RISIKO HIV/AIDS
Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS 
sebagai berikut : 
a. Pengguna napza suntik: memakai  jarum secara bergantian 
b. Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan 
dan peluang untuk kehidupan yang layak memaksa mereka 
menjadi pekerja seks 
c. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki 
d. Narapidana 
e. Pelaut dan pekerja di sektor transportasi 
f. Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual 
berisiko seperti kekerasan seksual, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV tanpa pelindung, mendatangi 
lokalisasi/komplek PSK dan membeli seks. 
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, 
pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah 
a. Lelaki homoseksual atau biseks 
b. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi 
c. Orang yang ketagihan obat intravena 
d. Partner seks dari penderita AIDS 
e. Penerima darah atau produk (transfusi). 
6. GEJALA KLINIS HIV/AIDS 
Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang bisa menandai 
apakah pasien  telah tertular HIV, karena keberadaan virus HIV 
sendiri membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun 
hingga mencapai masa yang disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di 
dalam darah bisa terjadi tanpa pasien  menunjukkan gejala penyakit 
tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila pasien  terinfeksi HIV 
untuk pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan 
menjalankan tes darah, maka dalam tes pertama ini belum tentu 
dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini disebabkan 
karena tubuh kita membutuhkan antibodi yang nantinya akan 
dideteksi oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period 
(periode jendela).
Dalam masa ini, bila orang ini ternyata sudah 
memiliki  virus HIV di dalam tubuhnya (walaupun belum bisa 
dideteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV melalui 
perilaku yang disebutkan di atas tadi. biasanya , tanda-tanda utama 
yang terlihat pada pasien  yang sudah sampai pada tahapan AIDS 
adalah :
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat
b. Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
c. Diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa :
a. Batuk berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
b. Kelainan kulit dan iritasi (gatal)
c. Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan
d. Pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh, seperti 
dibawah telinga, leher,ketiak, dan lipatan paha.
Gambar 38. Gejala utama infeksi HIV akut
Meskipun sebagian besar orang yang terinfeksi HIV memiliki 
viral load yang dapat dideteksi dan tanpa pengobatan pada akhirnya 
akan berkembang menjadi AIDS, sebagian kecil (sekitar 5%) 
mempertahankan sel T CD4 + tingkat tinggi (sel T helper ) tanpa terapi 
antiretroviral. dari lima tahun. Orang -orang ini diklasifikasikan 
sebagai "pengontrol HIV" atau nonprogressor jangka panjang (LTNP). 
Kelompok lain terdiri dari mereka yang mempertahankan viral load 
rendah atau tidak terdeteksi tanpa pengobatan anti-retroviral, yang 
dikenal sebagai "pengontrol elit" atau "penekan elit". Mereka mewakili 
sekitar 1 dari 300 orang yang terinfeksi.
Gambar 39. Gejala Utama AIDS
7. PATOFISIOLOGI HIV/AIDS
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. 
Seiring pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah 
sel limfosit CD 4+ akan terus menurun. biasanya , jarak antara infeksi 
HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5 – 10 
tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang 
spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan, 
limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut ini dilanjutkan dengan 
periode laten yang asimtomatis, namun  pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun hingga 
terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi 
oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat 
reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasan. 
Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) 
adalah sel – sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) 
dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan 
menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah 
secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan 
menurunnya fungsi sel T penolong. 
pasien  yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus 
(HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama 
bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang 
dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 
200 – 300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 
mencapai kadar ini, gejala – gejala infeksi (herpes zoster dan jamur 
oportunistik). 
KOMPLIKASI 
a. Oral lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV 
oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), 
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, 
keletihan dan cacat.
b. Neurologik 
1) Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human 
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek 
perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, 
kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial. 
2) Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, 
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau 
ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala, malaise, demam, 
paralise total/parsial. 
3) Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi 
sistemik, dan maranik endokarditis. 
4) Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV. 
c. Gastrointertinal 
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora 
normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, 
penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan 
dehidrasi. 
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, 
obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri 
abdomen, ikterik, demam atritis.
3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan 
inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek 
inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare. 
d. Respirasi Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, 
virus influenza, pneumococcus dan strongyloides dengan efek 
sesak nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas. 
e. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan
zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, 
dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi 
sekunder dan sepsis. 
f. Sensorik 
1) Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek 
kebutaan 
2) Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, 
kehilangan pendengaran dengan efek nyeri (Susanto & Made 
Ari, 2013). 
6. PENCEGAHAN PENULARAN HIV / AIDS
a. biasanya  
Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E) 
yaitu: 
– A : Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan 
seks berisiko tinggi, terutama seks pranikah 
– B : Be faithful – saling setia 
– C : Condom – memakai  kondom secara konsisten dan 
benar 
– D : Drugs – menolak penggunaan NAPZA 
– E : Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama
b. Untuk pengguna Napza Pecandu yang IDU dapat terbebas dari 
penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti memakai  Napza 
sebelum terinfeksi, tidak memakai jarum suntik bersama. 
c. Untuk remaja Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, 
menghindari penggunaan obat-obatan terlarang dan jarum suntik, 
tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung percampuran 
darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari 
perilaku yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan 
tidak bertanggung jawab.
8. PENGOBATAN HIV/AIDS
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa 
obat yang ada adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat 
antiretroviral adalah obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti 
HIV guna menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang 
termasuk antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. 
Obat infeksi oportunistik adalah obat yang dipakai  untuk penyakit 
yang muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang 
penting untuk pengobatan oportunistik yaitu memakai  obat-obat 
sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC, dll.
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi: 
a. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) Sensitivitasnya 
tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil 
positif 2-3 bulan setelah infeksi.
b. Western blot Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. 
Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu 
sekitar 24 jam. 
c. PCR (Polymerase Chain Reaction) 
Tes ini dipakai  untuk: 
1) Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada 
padabayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara 
serologis. 
2) Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada 
kelompok berisiko tinggi 
3) Tes pada kelompok tinggi sebelum terjadi serokonversi. 
4) Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA memiliki  
sensitivitas rendah untuk HIV-2.
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan 
kekebalan pasien  secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila 
suatu saat terpajan dengan penyakit ini tidak akan sakit atau hanya 
mengalami sakit ringan (Permenkes RI).
1. TUJUAN IMUNISASI 
Tujuan imunisasi terutama untuk memberikan perlindungan 
terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Menurut 
Permenkes RI (2017), program imunisasi di negara kita  memiliki tujuan 
umum untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian 
akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). 
Sedangkan, tujuan khusus dari imunisasi ini diantaranya, tercapainya 
cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi sesuai target RPJMN 
(target tahun 2019 yaitu 93%), tercapainya Universal Child 
Immunization/UCI (prosentase minimal 80% bayi yang mendapat IDL 
disuatu desa/kelurahan) di seluruh desa/kelurahan, dan tercapainya 
reduksi, eliminasi, dan eradikasi penyakit yang dapat dicegah dengan 
imunisasi. 
2. MANFAAT IMUNISASI 
Manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah 
dengan menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit yang 
dapat dicegah dengan imunisasi, namun  dapat dirasakan oleh : 
a. Anak, yaitu mencegah penderitaan yang disebabkan oleh 
penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian. 
b. Keluarga, yaitu menghilangkan kecemasan dan biaya 
pengobatan bila anak sakit, mendorong pembentukan keluarga 
apabila orangtua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa 
kanak-kanak yang nyaman. 
c. Negara, yaitu memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan 
bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan 
negara (Proverawati, 2010 : 5-6). 
3. JENIS PENYELENGGARAAN IMUNISASI PROGRAM 
Imunisasi program adalah Imunisasi yang diwajibkan kepada 
pasien  sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi 
yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang 
dapat dicegah dengan Imunisasi. Imunisasi program terdiri dari 
imunisasi rutin, imunisasi tambahan, dan imunisasi khusus 
(Permenkes Republik negara kita ). 
a. Imunisasi Rutin Imunisasi rutin merupakan imunisasi yang 
dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan 
yang terdiri dari imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan. 
1) Imunisasi Dasar Imunisasi dasar merupakan imunisasi 
awal yang diberikan kepada bayi sebelum berusia satu 
tahun. Pada kondisi ini, diharapkan sistem kekebalan tubuh 
dapat bekerja secara optimal. Setiap bayi (usia 0-11 bulan)
diwajibkan untuk mendapatkan imunisasi dasar lengkap 
yang terdiri dari 1 dosis Hepatitis B, 1 dosis BCG, 3 dosis 
DPT-HB-HiB, 4 dosis polio tetes, dan 1 dosis campak/MR. 
2) Imunisasi Lanjutan Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan 
yang bertujuan untuk menjamin terjaganya tingkat 
imunitas pada anak baduta, anak usia sekolah, dan wanita 
usia subur. 
a) Imunisasi Lanjutan Pada Anak Baduta Imunisasi 
lanjutan merupakan ulangan imunisasi dasar untuk 
mempertahankan tingkat kekebalan dan untuk 
memperpanjang masa perlindungan anak yang sudah 
mendapatkan imunisasi dasar yaitu dengan diberikan 
1 dosis DPT-HB-Hib pada usia 18 bulan dan 1 dosis 
campak/MR pada usia 24 bulan. Perlindungan optimal 
dari pemberian imunisasi lanjutan ini hanya 
didapatkan apabila anak ini telah mendapatkan 
imunisasi dasar secara lengkap.
b) Imunisasi Anak Sekolah Imunisasi lanjutan yang 
diberikan pada anak usia SD diberikan pada kegiatan 
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang 
diintegrasikan dengan kegiatan UKS. Imunisasi yang 
diberikan adalah imunisasi campak, tetanus, dan 
difteri. Imunisasi ini diberikan pada kelas 1 (campak 
dan DT), kelas 2 (Td), dan kelas 5 (Td). 
c) Imunisasi Pada Wanita Usia Subur Imunisasi yang 
diberikan pada wanita usia subur adalah imunisasi 
tetanus toksoid difteri (Td) yang berada pada 
kelompok usia 15-39 tahun baik itu WUS hamil (ibu 
hamil) dan tidak hamil. 
b. Imunisasi Tambahan Imunisasi tambahan merupakan jenis 
Imunisasi tertentu yang diberikan pada kelompok umur 
tertentu yang paling berisiko terkena penyakit sesuai dengan 
kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu. 
c. Imunisasi Khusus Imunisasi khusus dilaksanakan untuk 
melindungi pasien  dan masyarakat terhadap penyakit 
tertentu pada situasi tertentu seperti persiapan keberangkatan 
calon jemaah haji/umroh, persiapan perjalanan menuju atau 
dari negara endemis penyakit tertentu, dan 15 kondisi kejadian 
luar biasa/wabah penyakit tertentu. 
4. PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI 
Menurut buku ajar imunisasi yang disusun oleh pusat 
pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan (2014), dijelaskan bahwa  terdapat beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu 
sebagai berikut : 
TUBERCULOSIS (TBC) 
Penyakit TBC merupakan penyakit yang disebabkan oleh 
Mycobacterium tuberculosa disebut juga batuk darah yang ditularkan 
melalui pernafasan dan melalui bersin atau batuk. Gejala awal penyakit 
ini adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam, dan keluar 
keringat pada malam hari, gejala lalu  yaitu batuk terus 
menerus, nyeri dada dan mungkin batuk darah, sedangkan gejala lain 
timbul tergantung pada organ yang diserang. Komplikasi yang dapat 
diakibatkan dari penyakit TBC adalah kelemahan dan kematian.
DIFTERI
Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri 
Corynebacterium diphtheriae yang ditularkan melalui kontak fisik dan 
pernafasan. Gejala yang timbul berupa radang tenggorokan, hilang 
nafsu makan, demam ringan,dalam 2-3 hari timbul selaput putih 
kebirubiruan pada tenggorokan dan tonsil. Komplikasi yang dapat 
diakibatkan dari penyakit difteri adalah gangguan pernafasan yang 
berakibat kematian. 
PERTUSIS 
Pertusis merupakan penyakit pada saluran pernafasan yang 
disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis yang ditularkan melalui 
percikan ludah (droplet infection) dari batuk atau bersin. Gejala yang 
timbul berupa pilek, mata merah, bersin, demam, batuk ringan yang 
lama kelamaan menjadi parah dan menimbulkan batuk yang cepat dan 
keras. Komplikasi yang dapat diakibatkan dari penyakit pertusis 
adalah Pneumonia bacterialis yang dapat memicu  kematian. 
TETANUS 
Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh 
Clostridium tetani yang menghasilkan neurotoksin dan ditularkan 
melalui kotoran yang masuk ke dalam luka yang dalam. Gejala awal 
yang timbul berupa kaku otot pada rahang, disertai kaku pada leher, 
kesulitan menelan, kaku otot perut, berkeringat dan demam. Pada bayi 
terdapat gejala berhenti menetek antara 3-28 hari setelah lahir dan 
gejala berikutnya berupa kejang yang hebat dan tumbuh menjadi kaku. 
Komplikasi yang dapat diakibatkan dari penyakit tetanus adalah patah 
tulang akibat kejang, Pneumonia, infeksi lain yang dapat menimbulkan 
kematian. 
HEPATITIS B 
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus 
hepatitis B yang merusak hati (penyakit kuning). Ditularkan secara 
horizontal dari produknya, suntikan yang tidak aman, transfusi darah, 
melalui hubungan seksual dan secara vertikal dari ibu ke bayi selama 
proses persalinan. Gejala yang ditimbul berupa merasa lemah, 
gangguan perut, flu, urin menjadi kuning, kotoran menjadi pucat, dan 
warna kuning bisa terlihat pada mata ataupun kulit. Komplikasi yang 
diakibatkan dari penyakit hepatitis B adalah penyakit bisa menjadi 
kronis yang menimbulkan pengerasan hati (Cirhosis Hepatitis), kanker 
hati (Hepato Cellular Carsinoma) dan menimbulkan kematian. 
CAMPAK 
Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus 
myxovirus viridae measles dan ditularkan melalui udara (percikan 
ludah) dari bersin atau batuk penderita. Gejala awal yang timbul 
berupa demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, konjungtivitis (mata 
merah) dan koplik spots, lalu  timbul ruam pada muka dan 
leher, kemudian menyebar ke tubuh dan tangan serta kaki. Komplikasi 
yang diakibatkan dari penyakit campak adalah diare hebat, 
peradangan pada telinga, infeksi saluran nafas (Pneumonia). 
RUBELLA 
Rubella atau campak jerman merupakan penyakit yang 
disebabkan oleh virus rubella, sebuah togavirus yang menyelimuti dan 
memiliki RNA genom untai tunggal. Virus ini ditularkan melalui jalur 
pernafasan dan bereplikasi dalam nasofaring dan kelenjar getah 
bening serta ditemukan dalam darah 5-7 hari setelah infeksi dan 
menyebar ke seluruh tubuh. Rubella ditularkan melalui oral droplet, 
dari nasofaring atau rute pernafasan. Gejala rubella pada anak 
biasanya berlangsung dua hari yang ditandai dengan ruam awal pada 
wajah yang menyebar ke seluruh tubuh, demam ren posterior 
limfadenopati servikal. Sedangkan gejala pada anak yang lebih tua dan 
orang dewasa gejala tambahan berupa pembengkakan kelenjar, dingin 
seperti gejala, dan sakit sendi terutama pada wanita muda. Masalah 
serius dapat terjadi berupa infeksi otak dan perdarahan.
POLIOMIELITIS 
Poliomielitis merupakan penyakit pada susunan saraf pusat 
yang disebabkan oleh virus polio tipe 1, 2, atau 3 dan secara klinis 
menyerang anak di bawah usia 15 tahun dan menderita lumpuh layu 
akut dengan ditularkan melalui kotoran manusia (tinja) yang 
terkontaminasi. Gejala yang timbul berupa demam, nyeri otot dan 
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi yang 
diakibatkan dari penyakit poliomielitis adalah bisa memicu  
kematian jika otot pernafasan terinfeksi dan tidak segera ditangani.
RADANG SELAPUT OTAK 
Radang selaput otak (meningitis) adalah penyakit yang 
disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing, dan protozoa. 
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang 
disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis 
penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang 
disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat. Penularan 
kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan 
droplet (tetesan) infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, 
cairan bersin, dan cairan tenggorokan penderita. 
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas 
mendadak, letargi, muntah, dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan 
dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui fungsi lumbal. 
Pada stadium I selama 2-3 minggu ditandai dengan gejala ringan dan 
nampak seperti gejala infeksi biasa, stadium II berlangsung selama 1-3 
minggu ditandai dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita 
mengalami nyeri kepala yang hebat dan sangat gelisah, sedangkan 
stadium III ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran 
sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia bila 
tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya. 
RADANG PARU-PARU 
Radang paru-paru (pneumonia) adalah sebuah penyakit pada 
paru-paru dimana (alveoli) yang bertanggungjawab menyerap oksigen 
dari atmosfer meradang dan terisi oleh cairan. Radang paru-paru dapat 
disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh bakteri, 
virus, jamur, atau parasit. Radang paru-paru dapat juga disebabkan 
oleh penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau terlalu berlebihan 
minum alkohol. Gejala yang berhubungan dengan radang paru-paru 
termasuk batuk, demam. 


1. DEFINISI KUSTA 
Penyakit kusta adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang di 
sebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe 
penyakit granulomatosa pada syaraf tepi dan mukosa dari saluran 
pernapasan atas, dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati 
dari luar. Kusta dapat sangat progresif, memicu  kerusakan pada 
kulit, syarafsyaraf, anggota gerak, dan mata.
2. ETIOLOGI KUSTA 
Penyebab dari penyakit ini adalah kuman kusta yang berbentuk 
batang di kelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari 
spesies Mycobacterium, dan biasa berkelompok dan ada yang tersebar 
satu – satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2 - 0,5 mic yang 
bersifat tahan asam, Mycobacterium leprae juga merupakan bakteri 
aerobik, tidak membentuk spora. Sifat tahan asam Mycobacterium 
leprae disebabkan adanya asam mikolat dan komponen seperti lilin 
yang mengikat karbol fuksin.
Kuman Mycobacterium leprae dapat hidup di luar tubuh 
manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada suhu dan cuaca dan di 
ketahui kuman kusta yang utuh yang dapat menimbulkan penularan. 
Kuman Mycobacterium leprae menular kepada manusia melalui 
kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian 
kuman membelah dalam jangka 14 – 21 hari dengan masa inkubasi 
ratarata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda 
seorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit 
mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh 
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
3. KLASIFIKASI KUSTA 
Klasifikasi Ridley-Jopling, penyakit kusta dapat di klasifikasikan 
dalam tiga tipe, yaitu : Kusta tipe indetermnate (I), Tuberculoid (TT), 
Borderline Lepramatause (BL), dan Lepramatouse (LL). Sedangkan 
menurut WHO penyakit kusta di klasifikasikan dalam dua tipe yaitu : 
tipe Pausi Basiler (PB), dan tipe Multi Basiler (MB). 
a. Klasifikasi Ridley- Jopling 
1) Penyakit Kusta Indeterminate Lesi kulit terdiri dari suatu 
makula yang pipih dan tunggal, biasanya sedikit 
hipopigmentasi ataupun sedikit erythematose, sedikit oval 
ataupun bulat dalam hal bentuk. Permukaannya rata dan 
licin, tidak di temukan tanda-tanda ataupun perubahan 
tekstur kulit. Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) pada 
biasanya  negatif atau sedikit positif.
2) Penyakit Kusta Tipe Tubercoloid Jenis Lesi ini pada 
biasanya  bersifat stabil, lesi biasanya  berwarna 
kemerah-merahan dan kecoklat-coklatan ataupun 
mengalami hipopigmentasi berbentuk oval atau bulat, 
berbatas tegas dari kulit yang normal di sekitarnya. 
3) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Tipe ini sangat labil (tidak 
stabil), lesi-lesi kulit biasanya  sukkulent atau eras, 
pleimorfik menebal secara seragam (uniform) atau pun 
dengan suatu daerah penyambuhan sentral. 
4) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Tuberculoid (BT) Lesi kulit 
dapat ditentukan dari beberapa sampai banyak berwarna 
kemerah–merahan sampai kecoklat-coklatan atau 
hypochronik, dan ada lesi-lesi yang tersendiri yang dapat 
meninggi batasnya tampak dengan nyata apabila 
dibandingkan dengan kulit yang sehat di sekelilingnya. 
Syaraf–syaraf tepi kadang dapat terus menebal, dengan 
hasil pemeriksaan BTA positif yang ringan. 
5) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Lepramatouse (BL) Lesi 
kulit bentuknya berbagai ragam, bervariasi dalam hal 
ukuran, menebal atau mengalami infitrasi, berwarna 
kemerahmerahan ataupun kecoklatan, sering banyak dan 
meluas. Hasil pemeriksaan BTA adalah positif. 
6) Penyakit Kusta Tipe Lepramatouse (LL) Pada tipe penyakit 
kusta Lepramatouse yang sub polar, lesilesi kulit sangat 
menyerupai lesi-lesi penyakit kusta Lepramatouse yang 
polar, namun masih dijumpai sejumlah kecil sisa lesi-lesi 
dari kusta yang asimetrik, juga kerusakan syaraf (tepi yang 
asimetrik dengan pembesaran syaraf dapat pula 
diperlihatkan pada tipe kusta ini. 
b. Klasifikasi menurut WHO 
Klasifikasi kusta menurut WHO dapat di golongkan dalam dua 
tipe yaitu 
1) Tipe Pause Basiler (PB) 
2) tipe Multi Basiler (MB). 
4. PATHOGENESIS KUSTA 
Cara penularan penyakit kusta belum di ketahui dengan jelas. 
Penularan dapat terjadi di dalam rumah tangga maupun 
kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama. Basil di keluarkan 
melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepramatouse yang
tidak di obati dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir 
hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepramatouse 
dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinan masuk 
melalui saluran pernapasan atas dan juga melalu kulit yang terluka. 
Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga 
melalui plasenta.
Mycobacterium Leprae keluar dari tumbuh manusia melalui 
kulit dan mukosa hidung. Pada kasus lepramatouse menunjukkan 
adanya sejumlah organisme di dermis kulit dan di buktikan bahwa 
organisme ini dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun 
terdapat laporan bahwa di temukannya bakteri tahan asam di epitel. 
Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme ini 
dapat keluar melalui kelenjar keringat. Jumlah dari bakteri dari lesi 
mukosa hidung di kusta lepramatouse antara 10.000 hingga 
10.000.000 bakteri.18 Sebagian besar pasien lepramatouse 
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka dan 
mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepramatouse dapat 
memproduksi 10.000.000 organisme perhari. 
Penyakit kusta dapat di tularkan dari penderita kusta tipe Multi 
Basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. 
Timbulnya penyakit kusta bagi pasien  tidak mudah dan tidak perlu 
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain adalah penderita 
kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler (MB) tidak akan menularkan 
kusta apabila berobat teratur.
5. GEJALA KLINIS KUSTA 
Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan 
banyak penyakit lain. Sebaliknya banyak penyakit lain dapat 
menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu 
dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara 
tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit yang lain agar 
tidak membuat kesalahan yang merugikan pasien. Diagnosis penyakit 
kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama), yaitu :
a. Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa 
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih–putihan 
(hipopigmentasi) atau kemerah – merahan (eritematous). Mati 
rasa dapat bersifat kurang rasa (nipestesi) atau tidak merasa 
sama sekali (anestesi) 
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf 
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari 
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi 
saraf bisa berupa gangguan fungsi sensorik seperti mati rasa, 
gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (Parese) atau 
kelumpuhan (Paralise), gangguan fungsi otonom seperti kulit 
kering, retak, pembengkakan (edema) .
c. Basil tahan asam (BTA) positif 
Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit (skin 
smear), cuping telinga dan bagian aktif suatu lesi kulit. Untuk 
tujuan tertentu kadang diambil dari bagian tubuh tertentu 
(biopsi). pasien  dinyatakan sebagai penderita kusta 
bilamana terdapat sekurangkurangnya dua dari tanda-tanda 
kardinal diatas atau bila terdapat tanda (BTA positif) diambil 
dari bagian kulit yang dicurigai. Bilamana terdapat hanya salah 
satu dari empat tanda pertama 1- 4, maka pemeriksaan 
laboratium diulangi lagi, terutama bila hanya terdapat tanda 
infiltrat. Dan apabila tidak adanya cardinal sign bisa dinyatakan 
tersangka (suspek) kusta. 
d. Tanda-tanda tersangka (suspek) pada kulit. 
1) Tanda-tanda pada kulit 
a) Kelainan kulit berupa bercak merah atau putih, atau 
benjolan 
b) Kulit mengkilap 
c) Bercak yang tidak gatal 
d) Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat 
atau tidak berambut 
2) Tanda-tanda pada saraf 
a) Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada 
anggota badan atau bagian muka 
b) Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka . 
3) Diagnosa kusta di lapangan dengan memakai  jenis 
pemeriksaan yaitu 
a) Anamnesis Dengan mencatat identitas penderita, 
riwayat tanda-tanda kulit/saraf yang dicurigai, 
riwayat kontak dengan penderita. 
b) Pemeriksaan klinis Dengan melakukan periksa raba 
pada kelainan kulit untuk mengetahui hilangnya rasa 
(dengan memakai  kapas yang di runcingkan 
ujungnya, maupun dengan lidi, Periksa saraf tepi 
dengan perabaan, apakah ada penebalan atau nyeri 
raba. Untuk dapat membedakan dengan mudah 
apakah ada penebalan/pembesaran perbandingan 
dengan yang normal pada orang sehat.
Gejala-gejala klinis kusta meliputi :
a. Kehilangan perasaan 
Kehilangan perasaan baik total maupun partial 
terhadap rasa sakit atau suhu, tanpa menifestasi pada kulit. 
selain pada penyakit lepra dapat terjadi pada penyakit-penyakit dari sistem saraf pusat atau tepi. Jika ini 
menunjukan gejala-gejala neurologis, sebaiknya dievakuasi 
oleh pasien  neurolog yang berkompeten.
b. Hipopigmentasi 
Hipopigmentasi terdapat pada anak-anak dengan 
riwayat keluarga positif menderita lepra suatu waktu dapat 
dikacaukan dengan lesi-lesi karena fungsi, bakteri, alergi, dan 
kelainan-kelainan kongenital. 
c. Impetigo furfurace 
Terutama terdapat pada wajah atau pada sebagian dari 
tumbuh, dan terutama pada anak-anak disebabkan oleh 
sterpyococus, dan memiliki  gambaran yang khas, berupa 
makula. 
d. Nevus anemicus 
Dapat terlihat pada waktu lahir atau tampak pada usia 
yang lebih tua. Lesi-lesi terlihat bulat, atau geometris dan 
ukuran bertambah besar sejalan dengan bertambahnya usia 
penderita. Lesi ini tidak bersisik, tidak gatal, dan tidak 
anestetik, dan kerokan pada kulit memberi hasil yang 
negative. 
e. Depigmentasi (leukoderma atau vitiligo) 
Leukoderma dapat merupakan keadaan sekunder dari 
penyakit kulit yang lebih dulu, sedangkan vitiligo merupakan 
suatu penyakit primer yang disebabkan karena 
ketidakmampuan untuk membentuk melanin. Kedua penyakit 
ini tidak anestetik, dan pemeriksaan laborat 
menunjukkan penemuan-penemuan yang negative. 
f. Tinea sirsinata 
Merupakan lesi bulat dan eritermatosa dengan atau 
tanpa cekungan atau tepi yang infiltratif sering diduga lesi leprae khususnya jenis tuberkuloid. Tinea sirsinata 
disebabkan karena suatu jamur dermatofit yang biasanya 
ditandai dengan sisik – sisik atau dibatasi vesikel – vesikel. 
g. Erythema multiforme 
Tipe ini merupakan suatu keadaan kulit yang akut yang 
menunjukkan pruritus atau lebih sakit dari anestetik bercak –
bercak infiltrate terutama terdapat bilateral.
h. Dermatorniositis 
Mulai muncul di wajah seperti udema, namun  kelainan 
ini segera diikuti dengan nyeri otot khususnya pada daerah 
dada dan pelvic, kemudian berkembang menjadi atrofi. 
i. Periarteritis nodosa 
Ditandai adanya nodul-nodul sepanjang rute arteri 
yang mirip dengan Eritema Nodosum Leprosum sebab 
keduanya ada rasa sakit dan timbul secara berkelompok. 
Eritema Nodosum Leprosum terdapat pada beberapa 
penderita dengan penyakit leprae lepromatosa yang 
sebelumnya sudah ada infiltrasi yang menyeluruh atau oleh 
adanya nodul-nodul. 
6. FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN KUSTA
a. Umur 
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun 
demikian jarang dijumpai pada umur yang sangat muda. 
Frekuensi terbanyak adalah pada umur 15-29 tahun. Pada 
beberapa penelitian dilaporkan bahwa prevalensi kusta 
meningkat sampai usia 20 tahun, kemudian mendatar antara 
20-50 tahun dan setelah itu menurun.
Kejadian kusta lebih sering terjadi pada penderita orang 
tua dibandingkan pada anak-anak dan dewasa muda.
terjadinya kecacatan kusta pada usia yang lebih tua 
tergantung pada kondisi fisik pasien  (daya tahan tubuh), 
terjadinya penurunan berbagai fungsi organ tubuh yang akan 
mempermudah kelompok usia tua jatuh dalam kondisi yang 
lebih parah dengan penyakit yang cenderung bersifat 
progresif dan irreversible.
b. Jenis Kelamin 
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki 
lebih banyak terkena dibandingkan wanita. Perbandingan 2 : 
1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insiden 
ini hampir sama, bahkan ada daerah yang menunjukkan 
penderita wanita lebih banyak.
c. Tingkat pendidikan 
Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur 
yang ikut menentukan pengalaman dan pengetahuan 
pasien , baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan 
social.
d. Jenis lantai 
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian 
bawah, kontruksi lantai rumah harus kedap air dan selalu 
kering agar mudah dibersihkan dari kotoran dan debu. 
Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap 
terhadap air seperti tegel, semen, keramik. Lantai yang tidak 
memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan 
perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit. Selain itu 
dapat memicu  meningkatnya kelembaban dalam 
ruangan.
e. Faktor Imunitas 
Pada individu dengan respon imunitas selular baik akan 
menjadi kusta tuberkuloid, sedang bila respon imunitas jelek 
menjadi kusta lepromatosa. Respon imunitas selular 
meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun  pada 
usia tertentu akan mengalami penurunan. Respon imun 
ini tidak berbeda antara laki-laki dan wanita.
f. Faktor Kuman 
Kusta Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman￾kuman kusta yang masih utuh kemungkinan dapat 
menimbulkan penularan, sedangkan bentuk yang tidak utuh 
tidak menular. Suatu kenyataan kuman bentuk utuh yang 
keluar dari tubuh yang sakit tidak banyak. Juga faktor lamanya 
kuman kusta di luar badan manusia memegang peranan pula 
dalam hal penularan ini, yaitu bila kuman keluar dari badan 
penderita maka kuman dapat bertahan 1-2 hari dan ada pula 
yang berpendapat 7 hari, hal ini tergantung dari suhu/cuaca di 
luar, maka panas cuaca di luar makin cepat kuman kusta akan 
mati.
g. Kelembaban 
Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan kuman 
penyebab penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi 
tempat yang disukai oleh kuman untuk pertumbuhan dan 
perkembangbiakannya.29 biasanya  penilaian kelembaban 
dalam rumah dengan memakai  hygrometer. Menurut 
indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang 
memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70% dan 
kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan 
adalah 70%. Komponen rumah harus memenuhi persyaratan 
fisik dan biologis agar aman bagi penguhinya, salah satunya 
adalah lantai harus kedap air. Jenis lantai tanah memicu  
kondisi rumah menjadi lembab yang memungkinkan segala 
bakteri berkembangbiak. 
Hal ini memicu  kondisi ketahanan tubuh menjadi 
lebih buruk, sehingga dapat memicu  gangguan atau 
penyakit terhadap penghuninya dan memudahkan pasien  
terinfeksi penyakit.30 Kelembaban yang tinggi dapat 
memicu  membran mukosa hidung menjadi kering 
sehingga kurang efektif dalam menghadang mikro 
organism.Kelembaban unutk Mycobactrium leprae dapat 
hidup dalam secret hidung yang dikeringkan pada 
temperature kamar 36,70C dengan kelembaban 77,6%.30 
Mycobacterium leprae hidup diluar hospes dengan 
temperature dan kelembaban yang bervariasi. Mycobacterium 
leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari pada kelembaban 70,9%. 
Sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan 
hidup sampai 46 hari.
h. Ventilasi 
Ventelasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi 
atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. 
berdasar  kejadiannya, maka ventelasi dapat dibagi ke 
dalam dua jenis yaitu:
1) Ventilasi alam. 
Ventilasi alam berdasar  pada tiga kekuatan, 
yaitu: daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan 
massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi 
alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin). 
temperatur udara dan kelembabannya. Selain melalui 
jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat 
diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat 
porous dinding ruangan, atap dan lantai. 
2) Ventilasi buatan. 
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan 
dengan memakai  alat mekanis maupun elektrik. 
Alat-alat ini diantaranya adalah kipas angin, 
exhauster dan AC (Air Conditioner). 
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi 
syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi 
penghuninya. Ventilasi rumah memiliki  banyak fungsi 
yaitu: 
1) Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetep 
segar / bersih, ini berarti keseimbangan oksigen 
yang diperlukan oleh penghuni rumah ini tetap 
terjaga. Kurangnya ventilasi akan memicu  
kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti 
kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuni rumah 
akan meningkat. Disamping itu tidak cukupnya 
ventilasi akan memicu  kelembaban udara di 
dalam ruangan naik karena terjadinya proses 
penguapan cairan dari kulit. 
2) Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, 
terutama bakteri pathogen karena terjadinya aliran 
udara yang terus-menerus sehingga bakteri yang 
terbawa udara akan selalu mengalir.
3) Menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam 
kelembaban yang optimum. 
Tersedianya udara segar dalam rumah atau 
ruangan amat dibutuhkan manusia. Suatu ruangan yang 
tidak memiliki  ventilasi yang baik akan memicu  
kadar oksigen yang kurang, kadar karbondioksida 
meningkat, ruangan akan berbau dan kelembaban udara 
akan meningkat. Menurut indicator penghawaan rumah, 
luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah 
≥10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak 
memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai 
rumah (Depkes RI, 2005). 
Menurut Lubis (1989), luas ventilasi yang tidak 
memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan 
terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar 
matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman 
kusta yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan 
ikut terhisap bersama udara pernafasan. 
i. Suhu 
Rumah atau bangunan yang sehat haruslah memiliki  
suhu yang diatur sedemikian rupa sehingga suhu badan dapat 
dipertahankan. Jadi suhu dalam ruangan harus dapat 
diciptakan rupa sehingga tubuh tidak terlalu banyak 
kehilangan panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai 
kepanasan.
j. Kepadatan hunian 
Kuman M.lepra sebagai penyebab penyakit kusta 
merupakan kuman yang hidup dengan baik di suhu 27-300C. 
Maka jika suhu di suatu rumah tidak memenuhi suhu normal 
(18-200C), rumah atau ruangan ini berpotensi untuk 
menularkan penyakit menular, seperti kusta. 
Ketidakseimbangan antara luas rumah dengan jumlah 
penghuni akan memicu  suhu didalam rumah menjadi 
tinggi dan hal ini dapat mempercepat penularan kusta. Tidak 
padat hunian (memenuhi syarat ) adalah jika luas >9 m 2 per 
orang dan padat penghuni jika luas < 9 m2 per orang.
k. Riwayat 
Kontak dengan penderita Riwayat kontak adalah 
riwayat pasien  yang berhubungan dengan penderita kusta 
baik serumah maupun tidak. Sumber penularan kusta adalah 
kusta utuh yang berasal dari penderita kusta, jadi penularan 
kusta lebih mudah terjadi jika kontak dengan penderita kusta 
langsung. Jumlah kontak serumah pada penderita 
lepramatouse sebesar 4 kali lebih banyak yang kemudian 
menderita kusta disbanding dengan tiap tuberkuloid dengan 
adanya hal ini dapat dipastikan bahwa kontak serumah 
merupakan kelompok yang paling terancam (high risk) untuk 
menderita penyakit kusta.
l. Lama kontak 
Lama kontak adalah jumlah waktu kontak dengan 
penderita kusta. Penyakit kusta menular melalui kontak yang 
lama (2-5 tahun). penyakit kusta memiliki  masa inkubasi 2-
5 tahun.36 
m. Personal hygiene 
Personal hygiene (kebersihan perorangan) merupakan 
tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung jawab 
individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi 
penyebaran penyakit menular. Pencegahan penyakit kusta 
dapat dilakukan dengan meningkatkan personal hygiene, 
diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan rambut dan 
pemeliharaan kuku.
7. PENGOBATAN KUSTA 
Penyakit kusta dapat disembuhkan dengan beberapa obat. 
Pengobatan kusta dilakukan berdasar  tipe kusta. WHO 
merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy 
(MDT) untuk tipe pauci basiler (PB) maupun tipe multi basiler (MB). 
Obat antikusta yang paling banyak dipakai  saat ini adalah DDS 
(diaminodifenil sulphon) dan kemudian clofazimine, dan rifampisin. 
Tujuan 25 pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) yaitu mencegah dan 
mengobati resistensi, memperpendek masa pengobatan, mempercepat 
pemutusan mata rantai penularan. 
Metode pemberian Multi Drug Therapy (MDT) untuk jenis 
multibasilar adalah: (1) rifampisin 600 mg setiap bulan, di bawah 
pengawasan, (2) diaminodinefil sulfan (DDS) 100 mg sehari, (3) 
clofazimine 300 mg setiap bulan, di bawah pengawasan, dan 
dilanjutkan 50 mg satu hari atau 100 mg untuk satu hari atau 3 kali 
100 mg setiap minggu. Pemberian Multi Drug Therapy (MDT) untuk 
jenis pausibasilar adalah: (1) rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan 
pengawasan, (2) diaminodinefil sulfan (DDS) 100 mg sehari. 
























Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang 
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons 
imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel 
makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara 
kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan 
non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.
Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif 
atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak 
ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, namun  untuk berbagai macam antigen. 
Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam 
elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen 
tertentu.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen 
adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan 
khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap 
antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah 
bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih 
dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan 
tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.
A. RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI 
Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, 
parasit, radiasi matahari, dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari 
kejadian ini adalah tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat. 
Biasanya manusia dilindungi oleh sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan 
tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga 
kesehatan. Kelebihan tantangan negatif, bagaimanapun, dapat menekan sistem 
pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai 
penyakit fatal. 
Mikroorganisme yang memicu  penyakit pada manusia dan 
hewan masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara. biasanya  
mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit disebut patogen. Patogen 
yang telah masuk akan menimbulkan penyakit dengan pelbagai mekanisme. 
Segala macam mikroorganisme yang menginvasi vertebrata akan berhadapan 
dengan imunitas innate sebagai pertahanan pertama yang terjadi beberapa 
menit setelah infeksi. Imunitas adaptif akan timbul apabila pertahanan 
pertama ini tidak mampu mengeliminasi patogen yang masuk.
Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati 
penyakit saja. Infeksi bakteri dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan 
antivirus dan infeksi parasit dengan antiparasit terbatas obat-obatan yang 
tersedia. Sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, depresi 
disebabkan oleh stres emosional diobati dengan antidepresan atau obat 
penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan gizi jarang diobati 
sama sekali, bahkan jika diakui, dan kemudian oleh saran untuk 
mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem pertahanan manusia 
sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan 
organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan 
juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain 
seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi 
menjadi tumor. 
Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel 
tubuh dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya 
guna merespon infeksi patogen – baik yang berkembang biak di dalam sel 
tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang biak di 
luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi penyakit. 
Meskipun demikian, sistem kekebalan memiliki  sisi yang kurang 
menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak 
nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik 
senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan berlangsung.
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang 
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons 
imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel 
makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara 
kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan 
non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.
1. IMUNITAS SELULAR
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T 
dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T 
adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio 
terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum 
tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi 
limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.

Dari gambar di atas Panel (a) menggambarkan diagram pita yang 
didasarkan pada pengamatan kristallografi antibodi IgG, menunjukkan 
kerangka rantai polipeptida. Tiga protein globular membentuk struktur 
IgG menyerupai huruf Y. Dua sisi ikatan antigen terletak pada ujung kedua 
lengan yang diikatkan pada badan antibodi dengan ikatan yang sangat 
fleksibel. Panel (b) merupakan skema yang menjelaskan panel (a). Pada 
panel (b) ditunjukkan komposisi empat rantai dan domain yang

menyususn tiap-tiap rantai. Panel (c) merupakan simplikasi skema 
molekul antibodi.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan 
molekul tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri 
limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan 
juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh 
antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, 
artinya cluster of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang 
meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri
atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T 
dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga 
dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi 
monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga 
terjadi penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat 
memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit 
T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah 
memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya 
mengalami aborsi dalam timus sehingga biasanya  limfosit yang keluar 
dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan 
limfosit T efektor. Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th 
= CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten 
lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi 
sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan 
limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis 
sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td 
= CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen berada.
PAJANAN ANTIGEN PADA SEL T
biasanya  antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T 
dependent antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel 
imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat yang 
dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti 
bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang 
tidak tergantung pada sel T (TI = T independent antigen) adalah antigen 
yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang, biasanya bermolekul 
besar.
Limfosit Th biasanya  baru mengenal antigen bila dipresentasikan 
bersama molekul produk MHC (major histocompatibility complex) kelas II 
yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag. 
Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama 
molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR 
dengan antigen. Ikatan ini terjadi sedemikian rupa dan 
menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi 
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel 
Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal 
antigen dan mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi 
menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target yang telah 
dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila 
berasosiasi dengan molekul MHC kelas I. Sel Th aktif juga dapat 
merangsang sel Td untuk mengalami transformasi blast, proliferasi, dan 
diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel Td aktif yang melepaskan 
limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.
LIMFOKIN
Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi 
pembentukan reseptor Fc dan C3B pada permukaan makrofag sehingga 
mempermudah melihat antigen yang telah berikatan dengan antibodi atau 
komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu 
limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit 
oksigen yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, 
parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen 
oleh makrofag.Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag 
dirangsang untuk melepaskan faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan 
jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran dapat dibatasi.
Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan 
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab 
tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir aktivasi ini adalah 
eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga 
menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen 
serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.
2. IMUNITAS HUMORAL
Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit 
B dengan atau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B 
akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. 
Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, 
dan IgE.
Antibodi merupakan reseptor sel B yang disekresi, sehingga identik 
dengan reseptor sel B itu sendiri kecuali pada C-terminal dari bagian 
konstan rantai berat. Pada reseptor sel B, C-terminal pada membran 
berupa squence yang bersifat hidrofobik, dan pada antibody C-terminal 
berupa squence yang bersifat hidrofilik yang memungkinkan terjadinya 
sekresi molekul tersebut. Antibodi bersifat terlarut dan disekresi dalam 
jumlah yang besar sehingga mudah diperoleh dan mudah dipelajari. 
Molekul antibodi secara garis besar digambarkan sebagi huruf ”Y”. Tiga 
skema struktur antibodi yang diperoleh dari sinar-X kristalografi. Semua 
antibodi disusun dengan cara yang sama dari pasangan polipeptida rantai 
berat dan ringan dan biasanya  protein itu dinamakan imunoglobulin. 
biasanya  imunoglobulin dibagi menjadi lima kelas yang berbeda 
yakni: IgM, IgD, IgG, IgA, dan IgE yang dapat dibedakan pada bagian 
konstannya (C region).
Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang 
perkembangannya pada mamalia dipengaruhi oleh lingkungan bursa 
fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan 
lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). 
Dalam perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya 
merupakan reseptor antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini 
reseptor antigen merupakan imunoglobulin permukaan (surface 
immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah 
kelas IgM, dan pada perkembangan lalu  sel B juga memperlihatkan 
IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa. 
Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B 
matur memiliki  reseptor antigen tertentu.
PAJANAN ANTIGEN PADA SEL B
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan 
dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim 
dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, 
proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi 
dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara langsung 
mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga 
infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih 
mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi. 
Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen 
yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks 
antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis 
serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain memiliki  
reseptor Fc juga memiliki  reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi 
komplemen.
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis 
oleh sel Tc yang memiliki  reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa 
ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). 
Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen 
berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen 
yang memicu  terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan 
sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat 
berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada 
imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, 
kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan 
berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi 
tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen 
yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan 
dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.
B. REGULASI RESPON IMUN 
Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi 
sistem imun yang tak terkendali, maka diperlukan adanya regulasi 
respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh untuk meregulasi respons 
imun yang sudah terjadi.
1. REGULASI OLEH ANTIBODI YANG TERBENTUK
Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat 
mempengaruhi produksi antibodi lalu . Pada waktu kadar antibodi 
masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons permulaan, antibodi yang  terbentuk akan merangsang sel B yang memiliki  kapasitas 
memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru 
terbentuk merupakan faktor penting untuk mendorong proses maturasi 
afinitas. Hal ini terjadi karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi 
dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang 
terangsang adalah sel B yang memiliki  daya ikat tinggi terhadap 
antigen atau berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga 
berafinitas tinggi.
Adanya efek antibodi seperti ini dipengaruhi oleh tipe isotip 
antibodi. biasanya  IgM memiliki  tendensi untuk meningkatkan 
produksi antibodi, namun  IgG lebih sering bersifat supresif. Di samping itu, 
pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih besar 
daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks 
Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat 
dipresentasikan pada sel Th yang kemudian merangsang sel B membentuk 
antibodi. Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun afinitas 
antibodi. namun  bila antibodi sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu 
setelah mencapai jumlah cukup untuk menetralkan antigen yang ada, 
antibodi akan merupakan umpan balik negatif agar tidak terbentuk 
antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi karena dengan terikatnya 
bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka reseptor antigen pada 
sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut, sehingga 
tidak terjadi aktivasi dan priming sel B terhambat .
Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan 
umpan balik negatif melalui bagian Fc-nya. Sel B selain memiliki  
reseptor antigen juga memiliki  reseptor Fc. Dengan terikatnya antibodi 
pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada reseptor 
antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya 
gabungan silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak 
terjadi aktivasi sel B . Tidak adanya bridging antara suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B mengakibatkan tidak 
terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk 
mengalami transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan 
akibatnya pembentukan antibodi makin lama makin berkurang.
2. REGULASI IDIOTIP SPESIFIK
Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi 
yang makin lama makin bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari 
antibodi ini akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang 
mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya 
belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. namun  fakta 
memang membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi 
dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit yang memiliki  reseptor 
untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga memiliki  idiotip 
hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.
Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase 
respons imun mulai menurun. Anti-idiotip yang terbentuk dengan 
sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal image dari 
antigen asal. namun  adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons imun 
yang normal tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap 
antigen asal. Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan 
jumlah antibodi makin lama makin berkurang. Dapat dipersamakan 
seperti batu yang jatuh ke dalam ir dan menimbulkan gelembung air 
yang makin lama makin menghilang. Regulasi melalui pembentukan anti￾idiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down 
regulation) yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne. 
3. REGULASI OLEH SEL T SUPRESOR (Ts)
Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit 
lainnya untuk meningkatkan fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = 
CD4). Selain itu terdapat juga limfosit yang menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan sel T supresor (Ts = CD8). Sel Ts 
dapat juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan mencegah 
respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan 
tugasnya belumlah jelas, namun  secara in vitro dapat diketahui bahwa pada 
aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan menekan respons 
imun yang sedang berlangsung.
Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang 
merangsang respons imun itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang 
2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi antigen spesifik yang akan 
merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen yang 
mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel 
B dan sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B 
atau sel Th yang memiliki  reseptor idiotip dari idiotip sel Ts, sehingga 
sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.
C. MEKANISME PERTAHANAN NON SPESIFIK 
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik 
disebut juga respons imun alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan 
non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa 
dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air 
mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan 
komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
1. Permukaan tubuh, mukosa dan kulit
Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi 
mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka 
mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen 
lain dari sistem imunitas alamiah.
2. Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit  Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian 
pula silia pada mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak 
dinding sel mikroorganisme.
3. Komplemen dan makrofag
Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai 
macam bakteri secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui 
proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang 
distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini 
memiliki  reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor 
kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dan 
polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
4. Protein fase akut
Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat 
adanya kerusakan jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis 
protein fase akut. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu 
protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein 
khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari 
pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur 
alternatif yang akan melisis antigen.
5. Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon
Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus 
atau sel tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit 
dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi 
virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.
D. MEKANISME PERTAHANAN SPESIFIK 
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi 
mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan 
spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan 
atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan 
komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik 
disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen 
yang merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga 
menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi 
dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk 
antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, 
sehingga terjadi eliminasi antigen.
Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang 
mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit 
T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada 
imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons 
imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi 
menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau 
meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta 
meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses 
antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).








Berbagai penyakit infeksi masih menjadi salah satu masalah 
kesehatan utama di seluruh dunia, termasuk di negara kita . Penularan 
penyakit ini juga sangat mudah terjadi. Oleh sebab itu, tindakan 
pencegahan perlu dilakukan agar penyebaran penyakit infeksi dapat 
dihentikan.
Penyakit infeksi bisa disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, 
seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit. Masing-masing penyakit 
infeksi memiliki gejalanya tersendiri dan pengobatan yang berbeda￾beda, tergantung penyebabnya. Risiko pasien  untuk terkena penyakit 
infeksi bisa meningkat apabila ia memiliki kondisi medis tertentu, 
misalnya infeksi HIV dan kekurangan sel darah putih, seperti leukopenia 
dan neutropenia.
Setiap penyakit infeksi juga memiliki masa inkubasinya masing￾masing. Masa inkubasi adalah jeda waktu dari saat mikroorganisme 
masuk ke dalam tubuh pasien  hingga orang ini menunjukkan 
gejala penyakit infeksi. Penyakit infeksi ada yang memiliki masa inkubasi 
selama beberapa hari, bulan, hingga tahun.
Berikut ini adalah beberapa macam penyakit menular akibat 
infeksi yang banyak ditemukan di negara kita , berdasar  penyebabnya:
1. INFEKSI VIRUS
Virus merupakan penyebab infeksi yang paling sering terjadi. 
Beberapa penyakit akibat infeksi virus yang masih banyak ditemukan di 
negara kita  meliputi ISPA, influenza, cacar, campak, hepatitis, demam 
berdarah, HIV/AIDS, dan gastroenteritis. Sedangkan penyakit infeksi virus 
yang terbilang lebih jarang ditemukan termasuk flu burung, flu singapura, 
chikungunya, dan SARS. 
2. INFEKSI BAKTERI
Infeksi bakteri juga termasuk penyakit infeksi yang masih banyak 
ditemukan di negara kita . Beberapa contoh penyakit infeksi bakteri yang 
dimaksud adalah:
a. Demam tiroid
b. Tuberkolusis (TBC)
c. Pneumonia
d. Meningitis
e. Infeksi saluran kemih
f. Difteri
g. Batuk rejan (pertusis)
h. Sepsis
3. INFEKSI JAMUR
Jamur mudah tumbuh subur di daerah beriklim tropis dan hangat 
dengan kelembapan yang tinggi, salah satunya negara kita . Hal ini membuat 
penyakit infeksi jamur cukup banyak ditemukan di negara kita .
Beberapa contoh penyakit jamur yang sering terjadi adalah 
athlete’s foot atau infeksi jamur kaki, infeksi jamur kulit, kuku, dan infeksi 
jamur pada vagina, histoplasmosis, blastomycosis, candidiasis, dan 
aspergillosis. Sebagian jenis jamur juga dapat memicu  meningitis 
dan pneumonia.
4. INFEKSI PARASIT
Infeksi parasit bisa disebabkan oleh berbagai jenis makhluk hidup, 
seperti cacing dan amuba. Contoh penyakit parasit ini adalah cacingan, 
malaria, giardiasis, amebiasis, dan toksoplasmosis.
A. MEKANISME PENYEBARAN PENYAKIT INFEKSI 
Penyakit infeksi dapat menular dari satu orang ke orang lain 
secara langsung maupun tidak langsung. Berikut ini penjelasannya:
1. PENULARAN SECARA LANGSUNG (DIRECT TRANSMISSION)
Ada 3 cara penyebaran penyakit menular secara langsung, yaitu:
a. Dari penderita penyakit infeksi ke orang lain
Berbagai jenis kuman dan virus penyebab infeksi dapat berpindah dari 
satu orang ke orang lainnya melalui kontak fisik dengan orang yang 
terinfeksi, misalnya melalui sentuhan,percikan air liur saat bersin atau 
batuk, dan berciuman. Penularan juga bisa terjadi melalui darah, 
misalnya dari transfusi darah atau jarum suntik yang dipakai 
bergantian dengan orang lain. Selain melalui darah, penularan melalui 
cairan tubuh juga bisa terjadi, misalnya melalui hubungan seksual 
dengan penderita penyakit infeksi. Penularan infeksi melalui kontak 
seksual ini sering menjadi penyebab infeksi menular seksual.
b. Dari ibu ke bayi
Seorang ibu yang menderita penyakit infeksi saat hamil berisiko tinggi 
untuk menularkan penyakit yang dideritanya ke janin di dalam 
kandungan. Di samping itu, penularan penyakit infeksi dari ibu ke bayi 
juga bisa terjadi melalui proses persalinan atau saat menyusui ASI.
c. Hewan ke manusia
Penularan infeksi dari hewan ke manusia bisa terjadi saat pasien  
tercakar atau tergigit hewan, mengonsumsi daging hewan yang 
dimasak kurang matang, serta bersentuhan dengan kotoran atau urine 
hewan yang telah terinfeksi. 
Hewan pembawa penyakit infeksi ini bisa hewan liar mau pun hewan 
peliharaan yang kurang terawat kesehatannya. Contoh penyakit infeksi 
yang menular melalui hewan adalah toksoplasmosis, pes, leptospirosis, 
dan rabies.
2. PENULARAN SECARA TIDAK LANGSUNG (INDIRECT 
TRANSMISSION)
Terdapat 3 cara penyebaran penyakit infeksi secara tidak langsung, yaitu:
a. Benda yang terkontaminasi
Beberapa jenis kuman dapat hidup pada benda tertentu, seperti keran 
air, gagang pintu, dan bahkan handphone. Penularan bisa terjadi ketika 
Anda menyentuh benda yang telah terkontaminasi kuman atau benda 
milik penderita penyakit infeksi. Mikroorganisme penyebab infeksi 
juga bisa menyebar melalui penggunaan barang pribadi, misalnya 
handuk, sikat gigi, dan pisau cukur, secara bergantian dengan orang 
lain.
b. Makanan dan minuman yang terkontaminasi
Sembarangan mengonsumsi makanan dan minuman juga dapat 
memicu  Anda tertular penyakit infeksi. Berbagai jenis kuman,
virus, dan parasit banyak ditemukan dalam makanan atau minuman, 
terutama daging dan telur yang tidak dimasak hingga matang atau 
makanan dan minuman yang tidak dipasteurisasi. Contoh penyakit 
infeksi yang terjadi melalui metode ini adalah diare, keracunan 
makanan, anthrax, flu babi, dan flu burung.
c. Gigitan serangga
Banyak penyakit infeksi yang menular melalui gigitan serangga, 
misalnya gigitan nyamuk yang membawa virus atau parasit penyebab 
infeksi. Contoh penyakit infeksi akibat gigitan serangga ini adalah
demam berdarah, malaria, filariasis (kaki gajah), chikungunya, 
penyakit Lyme dan infeksi virus Zika.
B. TIPS MENCEGAH PENYAKIT INFEKSI 
Infeksi virus atau bakteri yang sudah parah bisa membuat sel darah 
putih berkurang atau leukopenia. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko dan 
mencegah terjadinya penyakit infeksi, penting untuk melakukan langkah 
pencegahan penyakit infeksi sebagai berikut:
1. Membiasakan diri untuk mencuci tangan dengan memakai  air dan 
sabun, terutama setelah buang air kecil dan besar, membuang sampah, 
sebelum masak, dan sebelum makan.
2. Memasak makanan atau minuman hingga matang sebelum dikonsumsi.
3. memakai  masker ketika sedang berada di luar rumah atau ketika 
sedang sakit.
4. Tidak berbagi peralatan kebersihan pribadi, seperti sikat gigi, pisau cukur, 
handuk, dan alat makan, dengan orang lain.
5. Melengkapi imunisasi sesuai jadwal yang direkomendasikan dokter atau 
ketika hendak bepergian ke daerah dengan penyakit endemik.
6. Melakukan hubungan seks aman, yaitu memakai  kondom ketika 
berhubungan intim dan tidak berganti pasangan seksual.
7. Menjaga kebersihan lingkungan. Salah satunya adalah dengan tidak 
membuang sampah sembarangan.
8. Dengan berbekal pemahaman tentang penyebab penyakit infeksi, cara 
penyebaran, dan cara mencegahnya, diharapkan Anda tidak tertular 
penyakit infeksi dan tidak menularkan penyakit infeksi ke orang lain.
9. Jika terdapat gejala-gejala infeksi, seperti demam, batuk, pilek, sesak 
napas, atau diare, Anda sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter 
agar dapat diberikan pengobatan yang tepat.
C. KONSEP INFEKTIVITAS, PATHOGENESIS, VIRULENSI DAN 
IMUNOGENITAS 
Proses Perjalanan suatu penyakit bermula dari adanya gangguan 
keseimbangan antara agen penyakit, host dan lingkungan, sehingga 
menimbulkan gejala penyakit. Agen penyakit merupakan faktor awal proses 
terjadinya penyakit, sehingga faktor agen penyakit ini merupakan hal yang 
sangat penting untuk dipelajari, agar setiap organisme dapat melakukan 
pencegahan lebih awal terhadap timbulnya suatu penyakit.
1. INFEKTIVITAS
Adalah kemampuan agen penyakit untuk memicu  terjadinya 
infeksi. Dihitung dari jumlah individu yang terinfeksi dibagi dengan jumlah 
individu yang terpapar. 
2. PATOGENESITAS
Adalah kemampuan agen penyakit untuk memicu  penyakit 
klinis. Dihitung dari jumlah kasus klinis dibagi dengan jumlah individu yang 
terinfeksi. Pada dasarnya dari seluruh mikroorganisme yang ada di alam, 
hanya sebagian kecil saja yang merupakan patogen. Patogen adalah 
organisme atau mikroorganisme yang memicu  penyakit pada 
organism lain. Kemampuan pathogen untuk memicu  penyakit disebut 
dengan patogenisitas. Dan patogenesis disini adalah mekanisme infeksi dan 
mekanisme perkembangan penyakit. Infeksi adalah invasi inang oleh 
mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi dengan jaringan inang. 
Infeksi berbeda dengan penyakit. Suatu mikroorganisme yang membuat 
kerusakan atau kerugian terhadap tubuh inang disebut pathogen sedangkan 
kemampuan mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit disebut 
pathogenesis. Patogenesis adalah suatu ekanisme bagaimana suatu 
penyebab penyakit bekerja sehingga menghasilkan tanda dan gejala klinis. 
Patogen adalah agen biologis yang memicu  penyakit pada inangnya. 
Sebutan lain dari patogen adalah mikroorganisme parasit. biasanya  istilah 
ini diberikan untuk agen yang mengacaukan fisiologi normal hewan atau 
tumbuhan multiseluler. Patogenesitas adalah kemampuan pathogen 
memicu  penyakit.
Kapasitas bakteri memicu  penyakit tergantung pada 
patogenitasnya. Dengan kriteria ini bakteri dikelompokkan menjadi tiga, 
yaitu agen penyebab bakteri, pathogen oportunistik, dan non pathogen. 
Agen penyebab penyakit adalah bakteri pathogen yang memicu  suatu 
penyakit ( Salmonella sp. ). Pathogen oportunistik adalah bakteri yang 
berkemampuan sebagai pathogen ketika mekanisme pertahanan inang 
diperlemah ( contohE. coli ) menginfeksi saluran urin ketika sistem 
pertahanan inang dikompromikan ( diperlemah ). Non pathogen adalah 
bakteri yang tidak pernah menjadi pathogen. Namun bakteri non pathogen 
dapat menjadi pathogen karena kemampuan adaptasi terhadap efek 
mematikan terapi modern seperti kemoterapi, imunoterapi, dan mekanisme 
resistensi. Bakteri tanah Serratia marcescens yang semula non pathogen, 
berubah menjadi pathogen yang memicu  pneumonia, infeksi saluran 
urin, dan bakteremia pada inang terkompromi. Pathogen oportunistik 
biasanya adalah flora normal ( manusia ) dan memicu  penyakit bila 
menyerang bagian yang tidak terlindungi, biasanya terjadi pada orang yang 
kondisinya tidak sehat. Pathogen virulen ( lebih berbahaya ), dapat 
menimbulkan penyakit pada tubuh kondisi sehat ataupun normal.
Sebagaimana kita ketahui sebelumnya mikroorganisme adalah 
organisme hidup yang berukuran mikroskopis sehingga tidak dapat dilihat 
dengan mata telanjang. Mikroorganisme dapat ditemukan disemua tempat 
yang memungkinkan terjadinya kehidupan, disegala lingkungan hidup 
manusia. Mereka ada di dalam tanah, di lingkungan akuatik, dan atmosfer ( 
udara ) serta makanan, dan karena beberapa hal mikroorganisme ini 
dapat masuk secara alami ke dalam tubuh manusia, tinggal menetap dalam 
tubuh manusia atau hanya bertempat tinggal sementara. Mikroorganisme 
ini dapat menguntungkan inangnya namun  dalam kondisi tertentu dapat juga 
menimbulkan penyakit.
3. VIRULENSI
Adalah kemampuan penyakit untuk memicu  kematian. 
Indikator ini menunjukkan kemampuan agen infeksi memicu  
keparahan (severety) penyakit. Dihitung dari jumlah kasus yang mati dibagi 
dengan jumlah kasus klinis. Ada beberapa factor yang mempengaruhi 
virulensi suatu mikroorganisme. Factor virulensi dapat berupa senyawa 
organic atau berupa bagian sel itu sendiri. Factor virulensi seperti pada 
table :
Pada bakteri factor virulensi dapat dibagi menjadi dua yaitu : factor 
pendukung kolosinasi dan factor pendukung invasi.
4. IMUNOGENITAS
Adalah kemampuan suatu substansi (seperti antigen atau epitope) 
dalam memicu respons imun dari tubuh manusia atau hewan lainnya. 
Dalam kata lain, imunogenisitas adalah kemampuan untuk memicu respons 
imun humoral dan/atau dimediasi sel. Kemampuan untuk menginduksi 
respon imun yang dimediasi humoral dan0atau sel. Kita tahu kapan sel B 
dan T diaktifkan oleh antigen, itu menghasilkansel efektor dan sel memori. 
Misalnya, jika sel B diaktifkan, ia akan berdiferensiasi menjadi sel plasma B 
yang mengeluarkan antibody. Terdapat perbedaan antara imunogenisitas 
yang diinginkan dan tak diinginkan:
a. Imunogenisitas yang diinginkan biasanya dihasilkan oleh vaksin, ketika 
penyuntikan suatu antigen (dari vaksin) memicu respons imun terhadap 
patogen (virus, bakteri) untuk melindungi organisme. Pengembangan 
vaksin adalah proses yang rumit, dan imunogenisitas merupakan unsur 
utama dalam kemujaraban suatu vaksin.
b. Imunogenisitas yang tidak diinginkan merupakan respons imun dari 
suatu organisme terhadap antigen untuk terapi (seperti protein 
rekombinan atau antibodi monoklonal). Akibatnya, dikeluarkan antibodi 
anti-obat yang menghilangkan efek terapi atau malah memicu dampak 
negatif.
Contoh terbaik untuk Immonogen adalah Hapten. Haptens adalah 
zat dengan berat molekul rendah yang tidak dapat memperoleh respon 
imun. Tapi itu bisa dibuat Immunogenik dengan pendidikan melalui 
pembawa yang sesuai. 














Infeksi merupakan invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme 
yang mampu memicu  sakit. Infeksi juga disebut asimptomatik apabila 
mikroorganisme gagal dan memicu  cedera yang serius terhadap sel atau 
jaringan. Penyakit akan timbul jika patogen berbiak dan memicu  
perubahan pada jaringan normal. 
Infeksi merupakan pembiakan mikroorganisme pada jaringan 
tubuh,terutama yang memicu  cedera sellular lokal akibat kompetisi 
metabolisme, toksin, replikasi intra selular, atau respon antigen-antibodi.
1. Rantai infeksi proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait 
antar berbagai faktor yang mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, 
portal of exit, cara penularan, portal of entry dan host/ pejamu yang 
rentan. 
a. Agen Infeksi 
Microorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara 
lain bakteri, virus, jamur dan protozoa. Mikroorganisme di kulit 
bisa merupakan flora transient maupun resident. Organisme 
transient normalnya ada dan jumlahnya stabil, organisme ini bisa 
hidup dan berbiak di kulit. Organisme transien melekat pada kulit 
saat pasien  kontak dengan obyek atau orang lain dalam aktivitas 
normal. Organisme ini siap ditularkan, kecuali dihilangkan dengan 
cuci tangan. Organisme residen tidak dengan mudah bisa 
dihilangkan melalui cuci tangan dengan sabun dan deterjen biasa 
kecuali bila gosokan dilakukan dengan seksama. Mikroorganisme 
dapat memicu  infeksi tergantung pada: jumlah 
microorganisme, virulensi (kemampuan memicu  penyakit), 
kemampuan untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta 
kerentanan dari host/penjamu 
b. Reservoar (Sumber Mikroorganisme)
Adalah tempat dimana mikroorganisme patogen dapat 
hidup baik berkembang biak atau tidak. Yang bisa berperan sebagai 
reservoir adalah manusia, binatang, makanan, air, serangga dan 
benda lain. Kebanyakan reservoir adalah tubuh manusia, misalnya 
di kulit, mukosa, cairan maupun drainase. Adanya microorganisme 
patogen dalam tubuh tidak selalu memicu  penyakit pada 
hostnya. Sehingga reservoir yang di dalamnya terdapat 
mikroorganisme patogen bisa memicu  orang lain menjadi 
sakit (carier). Kuman akan hidup dan berkembang biak dalam 
reservoar jika karakteristik reservoarnya cocok dengan kuman. 
Karakteristik ini yaitu oksigen, air, suhu, pH, dan pencahayaan
c. Portal Of Exit (Jalan Keluar)
Mikroorganisme yang hidup di dalam reservoir harus 
menemukan jalan keluar (portal of exit untuk masuk ke dalam host 
dan memicu  infeksi. Sebelum menimbulkan infeksi, 
mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari reservoarnya. 
Jika reservoarnya manusia, kuman dapat keluar melalui saluran 
pernapasan, pencernaan, perkemihan, genitalia, kulit dan 
membrane mukosa yang rusak serta darah.
d. Cara Penularan (Transmission)
Kuman dapat menular atau berpindah ke orang lain dengan 
berbagai cara seperti kontak langsung dengan penderita melalui 
oral, fekal, kulit atau darahnya;kontak tidak langsung melalui jarum 
atau balutan bekas luka penderita; peralatan yang terkontaminasi; 
makanan yang diolah tidak tepat; melalui vektor nyamuk atau lalat.
e. Portal Masuk (Port de Entry)
Sebelum pasien  terinfeksi, mikroorganisme harus 
masuk dalam tubuh. Kulit merupakan barier pelindung tubuh 
terhadap masuknya kuman infeksius. Rusaknya kulit atau

ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba dapat 
masuk ke dalam tubuh melalui rute atau jalan yang sama dengan 
portal keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan tubuh 
memperbesar kesempatan patogen masuk ke dalam tubuh.
f. Daya Tahan Hospes (Manusia)
pasien  terkena infeksi bergantung pada kerentanan 
terhadap agen