plikasi melalui mekanisme yang belum diketahui. Jika dugaan itu benar
aka sebutan “prion” untuk protein ini sangatlah tepat. m
Ada 4 penyakit yang disebabkan oleh prion yaitu:
1. Creutzfeldt – Jacob Disease (CJD)
2. Gertsmann – Straussler Scheinker Syndrome
3. Kuru, dan
4
. Fatal familial insomnia.
Empat penyakit pada hewan:
1) Scrapie pada domba dan kambing
2) Transmissible mink encephalopathy
3) Chronic wasting disease pada rusa dan kijang bagal di Amerika.
4
) Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE).
Di akhir tahun 1990-an ditemukan varian baru dari Creutzfeldt-Jacob Disease (vCJD) yang
dihubungkan dengan BSE atau sering dalam bahasa awam disebut penyakit sapi gila (Mad
Cow Disease).
I. CREUTZFELDT JACOB DISEASE ICD-9 046.1; ICD-10 A81.0
(Jacob-Creutzfeldt Syndrome, Subacute Spongiform Encephalopathy)
1. Identifikasi
Merupakan penyakit dengan perjalanan yang sangat lambat dengan gejala klinis: bingung,
dementia dan ataxia yang bervariasi, menyerang mereka yang berusia antara 16 tahun
sampai 80 tahun namun hampir semua penderita berusia di atas 35 tahun. Selanjutnya
akan muncul kejang mioklonik bersamaan dengan gejala syaraf lain dengan spektrum
yang lebih luas. Namun penyakit ini sangat khas dimana hasil pemeriksaan laboratorium
terhadap LCS menunjukkan normal dan tidak ada gejala demam.
Gambaran Electro Encephalogram (EEG) sering menunjukkan adanya gambaran yang
khas berupa “high voltage complexes” yang periodik. Penyakit ini sangat progressif,
191
kematian sering terjadi dalam waktu 3 sampai dengan 12 bulan (rata-rata 7 bulan). Sekitar
5-10% dari kasus memiliki riwayat keluarga adanya dementia presenelis yang dikaitkan
dengan satu dari berbagai mutasi gen yang terjadi pada kromosom nomor 20 yang
memberi kode amyloidogenic precursor protein (PrP). Perubahan patologis terbatas
terjadi hanya pada otak. Satu keluarga dengan penyakit ini yaitu Gertsmann-Straussler
Scheinker Syndrome (GSS) yang ditandai secara neuropatologis berupa adanya
“multicentric plaques”. GSS dibedakan dari Creuztfeldt-Jacob Disease (CJD) berdasarkan
lamanya sakit dan beberapa gejala klinis.
CJD harus dapat dibedakan dari berbagai bentuk dementia terutama penyakit Alzheimer, infeksi otak yang
berjalan lambat lainnya dari ensepalopati toksik dan metabolic serta kadang-kadang tumor dan lesi-lesi lain
pada otak.
Laporan dari Inggris pada dekade yang lalu dilaporkan bahwa telah terjadi ribuan kasus
BSE pada binatang ternak. Perhatian terhadap ternak sapi mendorong dilakukannya
penelitian besar-besaran baik penelitian epidemiologi maupun penelitian laboratorium
terhadap BSE dan hubungannya dengan CJD. Hasil penelitian terakhir menunjukkan
adanya CJD bentuk baru. Penyakit ini di Inggris atau di negara lain di Eropa disebutkan
sebagai varian baru dari Creutzfeldt Jacob Disease (CJD) atau vCJD. Kedua penyakit ini
dapat dibedakan melalui 3 hal yang sangat berbeda. Pertama vCJD terjadi pada usia 20-30
tahun. Kedua, terjadi perubahan EEG yang khas pada CJD yang tidak ditemukan pada
vCJD. Ketiga, lamanya gejala klinis, vCJD berlangsung lama yaitu 12-15 bulan
sedang CJD hanya 3-6 bulan.
Percobaan yang dilakukan pada tikus (inbred strain) yang disuntikkan dengan
homogenate otak ternak yang terkena BSE dapat memicu penyakit yang sama. Hal
ini tidak berarti bahwa BSE dan CJD disebabkan oleh agen yang sama. Walaupun ada
kemiripan pada kedua penyakit ini namun perbedaan yang prinsip dapat ditemukan
dari berbagai pengamatan dan penelitian epidemiologis yang dilakukan pada manusia
pada saat terjadinya KLB BSE di Inggris, bahwa vCJD merupakan varian dari CJD.
Akhirnya diketahui juga bahwa faktor genetik memiliki peran penting terhadap
terjadinya penyakit, sebab mereka dengan “individual homozygous for methionine” pada
posisi 129 dari protein prion (PrP) diketahui memiliki risiko terserang lebih tinggi.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan adanya perubahan periodik yang khas
dari EEG. Dan diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan hispatologik dan melalui
penelitian dengan menularkan binatang percobaan dengan spesimen penderita. Amyloid
protein abnormal yang ditemukan dalam jaringan otaknya dan adanya pasangan protein
abnormal dalam LCS merupakan verifikasi diagnosa antemortum; namun kit untuk
pemeriksaan LCS tidak selalu ada.
2. Pemicu Penyakit
Telah diketahui bahwa CJD disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat kecil dan dapat
replikasi sendiri yang disebut sebagai prion. Penyakit ini dapat ditularkan kepada
simpanse, monyet, marmot, tikus, hamster dan kambing.
3. Distribusi Penyakit
CJD dilaporkan terjadi hampir di seluruh dunia. Angka kematian rata-rata setiap tahun
yaitu 0,5 – 1/1.000.000 warga dengan klaster dalam keluarga ditemukan di Slovakia,
Israel dan Chili. Di Amerika Serikat kelompok umur spesifik tertinggi yang diserang
yaitu 65-79 tahun dengan rata-rata per tahun lebih dari 5 kasus/1.000.000.
192
Dan pada tahun 1999 ditemukan lebih dari 40 kasus vCJD hampir semuanya dari Inggris.
4. Reservoir
Manusia merupakan satu-satunya reservoir. Belum ada data yang mengatakan bahwa
infeksi CJD pada manusia berasal dari hewan walaupun ini masih merupakan hipotesa.
5. Cara Penularan
Cara penularan sebagian besar kasus belum diketahui, namun sekali lagi diduga bahwa
telah terjadi dengan cara generasi spontan dari replikasi diri protein, dilaporkan ada kasus
secara “iatrogenic” (timbulnya penyakit sebab tindakan medis operatif). Satu kasus
terjadi setelah pencangkokan kornea, 2 kasus setelah pemasangan elektroda korteks yang
pernah digunakan oleh penderita CJD, dan sedikitnya sekitar 14 kasus muncul setelah
pencangkokan graft durameter manusia dan lebih dari 50 kasus setelah injeksi hormon
gonadotropin atau hormon pertumbuhan yang berasal dari glandula pituitaria (hipofise)
manusia. sedang pasien CJD lainnya dilaporkan memiliki riwayat telah dilakukan
bedah otak terhadap mereka dalam waktu 2 tahun sebelum sakit. Kemungkinan lain
dimungkinkan penularan vCJD yaitu sebab mengkonsumsi daging sapi penderita BSE.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi pada kasus sporadis tidak diketahui, namun pada penyakit sebab Kuru
kemungkinan yaitu 4-20 tahun. Pada kasus “iatrogenic” dapat berlangsung antara 15
bulan sampai 30 tahun. Kasus yang terjadi sebab terpajan langsung dengan jaringan otak,
masa inkubasi dapat berlangsung dengan cepat yaitu kurang dari 10 tahun.
7. Masa Penularan
Jaringan susunan saraf pusat (SSP) tetap infeksius selama ada gejala klinis. Namun
jaringan lainnya dan LCS kadang-kadang juga infeksius. Tingkat infektivitas selama masa
inkubasi tidak diketahui tapi percobaan pada hewan menunjukkan bahwa kelenjar limfa
dan organ lainnya kemungkinan sudah terinfeksi sebelum gejala sakit terlihat.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Faktor keturunan (genetic) sangat menentukan perbedaan kerentanan individu dimana
adanya gen “antosomal dominant units”, dapat menjelaskan Distribusi Penyakit ini dalam
lingkungan keluarga. Pada hewan faktor keturunan telah diketahui memicu
perbedaan kerentanan terhadap penyakit scrapie. Adanya mutasi gen pada “prion
protein” terbukti erat hubungannya dengan Distribusi Penyakit ini dalam lingkungan
keluarga.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
Hal yang harus dilakukan dalam upaya pencegahan terjadinya penularan:
• Dihindari penggunaan jaringan penderita untuk ditransplantasi
• Elektroda EEG dan instrument bedah harus dicegah dari pencemaran jaringan
infeksius.
• Alat-alat harus disterilisasi dengan benar sebelum digunakan lagi.
Penularan melalui konsumsi produk daging atau susu belum terbukti.
193
Namun kekhawatiran akan terjadinya penularan melalui produk daging dari hewan
yang terinfeksi BSE memicu diberlakukannya larangan total mengkonsumsi
daging sapi dari daerah terjangkit.
Transfusi darah tidak terbukti dapat menularkan penyakit. Namun donor darah
sebaiknya jangan diambil dari individu yang memiliki risiko tinggi tertular penyakit
“Transmissible Spongiform Encephalopathies” (mereka yang keluarganya menderita
TSE atau mereka yang pernah mengalami pembedahan saraf).
Untuk mencegah risiko terjadi penularan vCJD kepada penerima produk darah, pihak
berwenang di Amerika Serikat dan Kanada pada bulan Agustus 1999 meminta seluruh
pusat transfusi darah tidak memakai donor darah dari mereka yang secara
kumulatif lebih dari 6 bulan pada periode 1 Januari 1980 sampai dengan 31 Desember
1996 berada atau berkunjung ke Ingris, Skotlandia, Wales, Irlandia Utara, Isle of Man
dan pulau Channel. Selain itu pemerintah AS juga melarang donor yang sebelumnya
telah memperoleh injeksi insulin sapi yang belum mendapat lisensi di AS dan produk
injeksi yang dibuat dari sapi dari daerah endemis BSE.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Penyakit ini tidak wajib untuk
dilaporkan, Kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Lakukan tindakan kewaspadaan universal.
3) Desinfeksi serentak: jaringan, alat-alat bedah dan drainage luka yang dianggap
telah tercemar dan harus disterilisasi. Sterilisasi dengan uap memakai
autoclave sangat efektif untuk disinfeksi (selama 1 jam pada suhu 132°C atau
lebih). Penggunaan zat kimia seperti natrium hipoklorida 5% dan 1N-2N natrium
hidroksida kurang efektif, setelah 1 jam harus diikuti dengan sterilisasi
memakai autoclave. Penggunaan Aldehid tidak efektif.
4) Karantina: Tidak dilakukan.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: dapatkan riwayat lengkap penyakit
termasuk riwayat bedah saraf, pengobatan gigi, riwayat pernah menerima
pengobatan hormone manusia dan menerima jaringan transplantasi serta riwayat
bahwa didalam keluarga ada yang menderita demensia.
7) Pengobatan spesifik: Tidak ada.
C, D, E: Penanggulangan wabah, Implikasi menjadi bencana dan Tindakan
lebih lanjut : Tidak ada.
II. K U R U ICD-9 46.0; ICD-10 A81.8
Penyakit susunan saraf pusat dengan gejala ataxia cerebellar, gerak tidak beraturan, tremor
(gemetaran), kaku pada penderita usia 4 tahun dan dewasa, terjadi penurunan berat badan dan
kelemahan progresif. Penyakit ini menyerang wanita dan anak-anak dari kelompok suku yang
memakai bahasa utama yang tinggal didataran tinggi di Papua Nugini. Penyakit ini
disebabkan oleh agen berukuran kecil yang dapat mereplikasi sendiri dan ditularkan kepada
hewan primata dan hewan lain.
194
Kuru ditularkan melalui praktek dan cara pemakaman tradisional yang berlaku di Papua
Nugini dimana pada upacara pemakaman ini terjadi pemajanan terhadap jaringan tubuh
jenazah penderita termasuk adanya praktek kanibalisme.
Dahulu penyakit Kuru sempat sangat banyak dan sering ditemukan di Papua Nugini, sekarang
setiap tahun dilaporkan hanya sekitar 10 orang penderita.
ENTEROBIASIS ICD-9 127.4; ICD-10 B80
(Oxyuriasis, Infeksi cacing Kremi (Pinworm))
1. Identifikasi
Infeksi cacing perut yang paling umum terjadi, tanpa gejala, biasanya dubur terasa gatal,
tidur terganggu (tidak bisa tidur), lecet sekitar dubur dan kadang-kadang terjadi infeksi
sekunder pada kulit dubur sebab digaruk menjadi lecet. Manifestasi klinis lainnya
termasuk vuvovaginitis, salpingitis, granulomata pada pinggul. Radang usus buntu
(apendiksitis) dan enuresis pernah dilaporkan sebagai akibat infeksi cacing kremi namun
sangat jarang.
Diagnosa dibuat dengan pemeriksaan sediaan yang dibuat dari usap dubur (anal swab)
yang diambil dengan cara melekatkan “Scotch adhesive tape” pada dubur. Dilakukan
pemeriksaan mikroskopis untuk melihat adanya telur cacing. Pengambilan usap dubur
sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum mandi dan buang air besar. Pemeriksaan
diulang sebanyak tiga kali atau lebih sebelum menyatakan hasilnya negatif. Kadang telur
cacing ditemukan pada pemeriksaan tinja atau urin. Cacing betina ditemukan dalam tinja
dan disekitar dubur pada saat dilakukan pemeriksaan rectum dan vagina.
2. Pemicu Penyakit
Pemicu penyakit yaitu nematoda usus Enterobius vermicularis.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar luas di seluruh dunia terjadi pada semua golongan sosial ekonomi dan di
beberapa wilayah tingkat infeksinya sangat tinggi. Enterobiasis sangat umum ditemukan
di AS, prevalensi infeksi cacing paling tinggi pada anak-anak usia sekolah, pada
kelompok tertentu bisa mencapai 50%. Kemudian diikuti anak prasekolah, dan prevalensi
infeksi rendah pada orang dewasa kecuali pada ibu yang mendapatkan infeksi dari
anaknya. Infeksi sering terjadi pada lebih dari satu anggota keluarga. Prevalensi tertinggi
paling sering terjadi di asrama.
4. Reservoir
Manusia, cacing kremi pada hewan lain tidak menular pada manusia.
5. Cara Penularan
Kontak langsung dengan telur cacing kremi infektif melalui tangan, dari dubur,
selanjutnya ke mulut sendiri atau ke orang lain atau secara tidak langsung melalui
195
pakaian, tempat tidur, makanan atau bahan-bahan lain yang terkontaminasi oleh telur
cacing kremi ini . Penularan melalui debu biasa terjadi pada rumah tangga dan asrama
yang terkontaminasi berat.
Telur cacing menjadi infektif beberapa jam setelah diletakkan dipermukaan dubur oleh
cacing betina, telur dapat hidup kurang dari 2 minggu diluar pejamu. Larva dari telur
cacing kremi menetas di usus kecil. Cacing muda menjadi dewasa di cecum dan bagian
atas dari usus (cacing betina yang pada masa gravid bermigrasi ke anus dan vagina
memicu pruritus setempat). Cacing kremi yang gravid biasanya migrasi secara aktif
dari rectum dan dapat masuk ke lubang-lubang yang berdekatan.
6. Masa Inkubasi
Siklus hidup cacing kremi dari telur sampai dewasa kurang lebih 2-6 minggu. Gejala
cacing kremi muncul sebab adanya cacing yang banyak dalam usus dan sebab infeksi
ulang.
7. Masa Penularan
Selama cacing betina yang sedang gravid mengeluarkan telur di sekitar anus. Telur yang
berada di dalam rumah dapat bertahan selama 2 minggu.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan terhadap enterobiasis. Perbedaan intensitas dan frekuensi infeksi
tergantung pada perbedaan cara pemajanan.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada warga tentang kebersihan perorangan: cuci
tangan sebelum makan atau sebelum menyiapkan makanan, jaga kebersihan kuku,
kuku sebaiknya dipotong pendek, jangan mengaruk-garuk daerah sekitar anus, dan
tinggalkan kebiasaan mengigit-gigit kuku.
2) Menghilangkan sumber infeksi dengan cara memberi pengobatan terhadap
penderita secara tuntas.
3) Mandi setiap pagi dengan air mengalir “shower” atau mandi dengan berendam
dalam bak mandi.
4) Gantilah pakaian dalam, baju tidur dan sprei setiap hari, sebaiknya dilakukan
setelah mandi.
5) Bersihkan rumah dan sedot dengan penyedot vakum setiap hari selama beberapa
hari setelah pengobatan kasus.
6) Kurangi jumlah penghuni rumah yang ada penderita cacing kremi untuk
menghindari penularan.
7) Anjurkan warga memakai jamban keluarga yang sesuai standar dan
selalu merawat kebersihan jamban ini .
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Tidak diperlukan laporan formal
untuk tindak lanjut kasus ini (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak perlu.
196
3) Desinfeksi serentak: Ganti sprei dan pakaian dalam pasien yang terinfeksi setiap
hari, dilakukan beberapa hari setelah pengobatan, dilakukan dengan hati-hati agar
telur cacing tidak beterbangan di udara, gunakan baju tidur yang tertutup. Telur
cacing akan mati jika dipanaskan dengan suhu 55ºC (131°) dalam beberapa detik;
rebus sprei atau gunakan mesin cuci yang baik untuk mencuci kain ini pada
suhu panas. Bersihkan dan gunakan penyedot debu untuk membersihkan tempat
tidur dan ruang keluarga setiap hari, dilakukan selama beberapa hari setelah
pengobatan.
4) Karantina: Tidak perlu.
5) Imunisasi kontak: Tidak perlu.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: periksa semua anggota keluarga yang
terinfeksi di rumah, atau semua penghuni asrama yang terinfeksi
7) Pengobatan spesifik: Pyrantel pamoate (Antiminth®, Combantrin®, mebendazole
(Vermox®) atau albendazole (Zantel®). Pengobatan diulang setelah 2 minggu.
Pengobatan dilakukan terhadap seluruh anggota keluarga jika ada beberapa orang
yang terinfeksi cacing kremi ini .
C. Penanggulangan wabah
Jika ditemukan banyak kasus di sekolah atau institusi lain maka upaya pemberantasan
paling baik yaitu dengan cara memberikan pengobatan yang sistematik kepada
mereka yang terinfeksi dan kepada anggota keluarga yang kontak dengan mereka yang
terinfeksi.
D. Implikasi menjadi bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Tidak perlu.
ERITEMA INFEKSIOSUM ICD-9 057.0; ICD-10 B08.3
Infeksi Parvovirus pada manusia; Fifth Disease
1. Identifikasi
Eritema infeksiosum yaitu penyakit virus ringan, umumnya tidak disertai demam,
ditandai dengan adanya erupsi eritematus yang muncul secara sporadis atau dalam bentuk
KLB. Umumnya menyerang anak-anak. Ciri-ciri penyakit ini : pipi kemerahan yang
muncul tiba-tiba seperti habis ditampar dan sering disertai ruam seperti renda pada tubuh
dan ekstremitas. Tanda seperti itu berulang sampai 1-3 minggu atau lebih, jika terkena
sinar matahari atau panas. Gejala umum ringan muncul mendahului timbulnya ruam pada
orang dewasa, bentuk ruam tidak khas atau belum tentu ada, namun gejala arthralgia atau
arthritis yang dapat berlangsung selama beberapa bulan atau beberapa tahun; 25% kasus
tanpa gejala. Penyakit ini perlu dibedakan dengan rubella, eritema multiforme dan scarlet
fever. Komplikasi yang berat pada penyakit ini jarang namun dapat terjadi pada penderita
yang menderita anemia yang memerlukan peningkatan produksi sel darah merah
(misalnya pada penderita sickle cell), dapat berkembang menjadi TAC (Transient Aplastic
197
Crisis). Hal ini dapat terjadi tanpa didahului munculnya ruam. Infeksi intra uterin terjadi
pada trimester kedua kehamilan dan dapat memicu anemia pada janinnya dengan
hidreopfetalis dan dapat berakibat kematian pada janin; kurang dari 10% dari kasus yang
ada. Pada orang dengan kelainan sistem kekebalan akan menderita anemia kronis yang
berat. Dan penyakit lain yang muncul bersamaan dengan infeksi parvovirus dilaporkan
pernah terjadi yang tidak memiliki hubungan kausatif seperti: remathoid arthritis,
vasculitis, fulminant hepatitis dan myocarditis. Diagnosa biasanya dibuat berdasarkan
gejala klinis dan data epidemiologi. Konfirmasi diagnosa dibuat melalui tes laboratorium
dengan ditemukan adanya IgM antibody terhadap parvovirus B19 atau adanya kenaikan
titer antibody IgG terhadap B19. IgM akan turun dalam waktu 30-60 hari setelah timbul
gejala. Diagnosis infeksi B19 juga dapat dibuat dengan pemeriksaan untuk melihat
antigen virus dari PCR DNA untuk B19 merupakan tes yang sangat sensitif dan hasilnya
sudah positif pada bulan pertama setelah infeksi akut dan pada beberapa orang lebih lama
dari itu.
2. Pemicu Penyakit
Pemicu infeksi yaitu parvovirus B19 pada manusia yaitu virus DNA yang berukuran
20-25 nm termasuk famili parvoviridae, virus bereplikasi terutama dalam erythroid
precursor cell.
3. Distribusi Penyakit
Tersebar luas hampir di seluruh dunia. Pada umumnya menyerang anak-anak dalam
bentuk sporadis atau KLB. Di Amerika Serikat prevalensi antibodi IgG terhadap virus
B19 sekitar 5-15% pada anak-anak usia dibawah 5 tahun, sedang orang dewasa 50%-
80%. Di daerah subtropis KLB cenderung pada musim dingin dan musim semi dengan
siklus 3-7 tahun.
4. Reservoir: Manusia.
5. Cara Penularan
Infeksi terutama terjadi sebab kontak dengan sekret dari saluran napas penderita
parvovirus. Penularan dapat dari ibu ke janinnya melalui transfusi darah atau produk
darah. Virus B19 sangat resisten terhadap berbagai upaya inaktivasi termasuk dengan
pemanasan pada suhu 80°C selama 72 jam.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi bervariasi, 4-20 hari sampai munculnya ruam atau munculnya gejala krisis
aplastik.
7. Masa Penularan
Pada penderita yang hanya menunjukkan gejala klinis berupa ruam saja, penularan terjadi
sebelum timbulnya ruam, setelah muncul ruam penderita tidak menular lagi. Namun pada
penderita dengan krisis aplastik menular sampai 1 minggu setelah timbul gejala ini .
Pada orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh dengan infeksi kronis dan pada
orang yang menderita anemia berat, tetap menular dalam waktu berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun.
198
8. Kerentanan dan Kekebalan
Mereka dengan golongan darah yang mengandung “antigen P” rentan terhadap penyakit
ini; adanya kekebalan ditandai dengan munculnya antibody B19. Reseptor B19 pada sel
erythroid yaitu antigen golongan darah P. Attack rate pada mereka yang rentan sangat
tinggi dapat mencapai 50% pada orang yang kontak dengan penderita serumah, 10-60%
terjadi pada penitipan anak atau di sekolah dan lama KLB dapat berlangsung selama 2-6
bulan. Di Amerika Serikat 50-80% orang dewasa memiliki serologi positif sebagai
bukti pernah mengalami infeksi, tergantung umur dan lokasi tempat tinggalnya.
9. Cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Secara umum penyakit ini sangat ringan, pencegahan difokuskan kepada mereka
yang cenderung terjadi komplikasi yaitu terhadap orang yang menderita anemia
kronis dan terhadap mereka dengan gangguan sistem kekebalan serta terhadap ibu
yang sedang hamil yang rentan terhadap virus B19. Kepada mereka ini harus
dicegah terhadap infeksi parvovirus dengan menjauhi penderita yang sedang
dirawat di rumah sakit atau pada saat terjadi wabah. Belum dilakukan uji coba
efikasi penggunaan/pemberian IgG.
2) Wanita rentan yang sedang hamil atau yang akan hamil dan secara terus-menerus
berada dekat dengan penderita infeksi virus B19, misalnya di sekolah, di rumah, di
fasilitas pelayanan kesehatan perlu diberi penjelasan bahwa mereka sangat
potensial mendapat infeksi yang dapat memicu terjadinya komplikasi
terhadap janin yang dikandung. Wanita hamil yang memiliki anak dengan
infeksi B19 dianjurkan untuk sesering mungkin mencuci tangan dan menghindari
makan bersama dalam satu piring.
3) Perawatan kesehatan pada pekerja sangat penting dianjurkan agar terhindar dari
infeksi, jarang terjadi infeksi nosokomial pada saat wabah.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat, jika terjadi wabah, Kelas 4 (lihat
pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak praktis dilakukan pada warga luas. Terhadap penderita krisis
transient aplastik di rumah sakit diberlakukan kewaspadaan umum terhadap
penularan melalui percikan ludah (droplet). Walaupun anak-anak yang terinfeksi
B19 sudah menular sebelum menunjukkan gejala sakit, haruslah hati-hati sekali
mengijinkan mereka untuk tidak masuk sekolah pada saat demam.
3) Desinfeksi serentak: sangat dianjurkan mencuci tangan setelah kontak dengan
penderita.
4) Karantina: Tidak perlu.
5) Imunisasi terhadap kontak: Dapat diberikan vaksin recombinant dari kapsid B19.
Diberikan pada stadium awal dari perjalanan penyakit.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Wanita hamil yang terpajan virus
B19 segera dilakukan pemeriksaan antibodi IgG dan IgM untuk menentukan
kerentanan mereka dan membantu memberikan konseling tentang risiko pada
bayinya.
199
7) Pengobatan spesifik: Diberikan serum Imunoglobulin intravena (IG IV). Hal ini
telah dilakukan dengan hasil baik pada kasus anemia kronis walaupun relaps bisa
terjadi lagi sehingga perlu diberikan IGIV lagi.
C. Penanganan wabah
Selama terjadi wabah di sekolah atau pada penitipan anak, mereka yang menderita
anemia, mereka dengan gangguan sistem kekebalan dan wanita hamil harus diberitahu
bahwa mereka berisiko terinfeksi virus B19.
D. Implikasi menjadi bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Tidak perlu.
EXANTHEMA SUBITUM ICD-9 057.8; ICD-10 B08.2
(Sixth disease, Roseola infantum)
1. Identifikasi
Exanthema subitum yaitu penyakit akut, demam disertai ruam yang disebabkan oleh
virus, biasanya menyerang anak-anak dibawah umur 4 tahun dan paling sering terjadi
pada anak sebelum usia 2 tahun. Merupakan salah satu manifestasi dari penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh infeksi herpes virus 6B pada manusia (HHV-6B).
Demam hilang, kadang-kadang mencapai 41°C (106°F) muncul tiba-tiba dan hilang dalam
waktu 3-5 hari. Ruam makulopapuler muncul pada badan dan bagian lain dari badan yang
biasanya muncul setelah demam berkurang. Ruam biasanya hilang dengan cepat, biasanya
ringan, namun pernah dilaporkan adanya kejang demam.
Spektrum penyakit pada anak saat ini telah diketahui, termasuk demam tanpa ruam,
radang pada gendang telinga dan jarang terjadi meningoensefalitis, dapat terjadi serangan
kejang demam berulang atau hepatitis fulminan. Pada orang dewasa pernah ditemukan
sindroma monokleusis dan pada orang dengan gangguan sistem imunitas, pneumonitis
juga dilaporkan. Infeksi HHV-6 dapat juga menimbulkan gejala dan dapat terjadi infeksi
menahun.
Membedakan exanthema subitum dengan penyakit serupa yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) seperti campak dan rubella perlu dilakukan. Diagnosa dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan “paired sera” untuk melihat antibodi dari HHV-6 dengan teknik IFA
atau dengan isolasi virus HHV-6. Pemeriksaan terhadap Ig M saat ini tidak ada. Respons
IgM biasanya tidak terdeteksi sampai dengan kurang dari 5 hari dari saat timbulnya gejala.
Ditemukannya DNA dari HHV-6 dalam darah dengan teknik PCR dimana IgG tidak
terdeteksi, teknik ini dimasa yang akan datang menjanjikan sebagai cara praktis untuk
mendiagnosa penyakit ini secara cepat.
2. Pemicu Penyakit
Herpes virus 6 pada manusia (subfamili beta herpes virus, genus Roseolovirus). Sebagai
Pemicu utama exanthema subitum. HHV-6 dapat dibagi dalam HHV-6A dan HHV-6B
200
dengan memakai teknik monoclonal. Kebanyakan infeksi HHV-6 pada manusia
disebabkan oleh HHV-6B. Exanthema subitum dapat juga disebabkan oleh herpes virus 7
pada manusia.
3. Distribusi Penyakit
Exanthema subitum tersebar luas hampir di seluruh dunia. Di Jepang, AS, Inggris dan
Hongkong dimana gambaran seroepidemiologi dari infeksi HHV-6 telah diketahui dengan
jelas, insidensi tertinggi pada usia 6-12 tahun, sedang pada usia 2 tahun sero prevalensi
HHV-6 sekitar 65-100%. Pada wanita usia subur seroprevalensi sekitar 80-100%. Angka
ini hampir sama di seluruh dunia. Jarang sekali terjadi KLB yang nyata dari exanthema
subitum maupun HHV-6. variasi musiman ditemukan di Jepang yaitu timbul terutama
pada akhir musim dingin atau awal musim semi.
4. Reservoir
Manusia merupakan reservoir utama dari infeksi HHV-6.
5. Cara Penularan
Tidak diketahui dengan pasti. Pada anak-anak terjadinya infeksi setelah antibodi yang
diperoleh dari ibu menurun. Prevalensi DNA dari HHV-6 yang tinggi ditemukan pada
kelenjar ludah orang dewasa membuktikan bahwa orang dewasa berperan sebagai
pembawa virus yang memicu terjadinya infeksi pada anak-anak. Namun penelitian
di AS menunjukkan bahwa angka infeksi spesifik menurut umur (age specific infection
rate) meningkat jika ada lebih dari satu orang anak dalam keluarga. Hal ini membuktikan
bahwa anak berperan juga sebagai reservoir. Transplantasi ginjal atau hati dari donor yang
menderita infeksi HHV-6 dapat mengakibatkan terjadinya infeksi primer pada resipien
yang seronegatif.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi 10 hari dan biasanya sekitar 5-15 hari. Pada orang yang menerima cangkok
ginjal atau hati, masa inkubasi 2-4 minggu setelah pencangkokan.
7. Masa Penularan
Pada infeksi akut, masa penularan tidak diketahui secara pasti. Setelah infeksi akut virus
menjadi laten di kelenjar limfe, ginjal, hati, kelenjar ludah dan dalam sel monosit. Lama
masa penularan setelah fase laten ini belum diketahui, diperkirakan seumur hidup.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi virus ini . Angka infeksi pada bayi yang
berumur kurang dari 6 bulan rendah dan meningkat cepat dengan bertambahnya usia. Hal
ini membuktikan bahwa perlindungan sementara pada bayi didapat dari antibodi maternal.
Penderita infeksi sekunder exanthema subitum jarang ditemukan. Infeksi laten dapat
terjadi hampir pada semua orang tanpa gejala klinis yang berarti, gejala klinis nampak
jelas pada mereka yang memiliki gangguan sistem kekebalan. Gejala klinis pada
penderita dengan infeksi primer mungkin berat dan gejala klinis ini berlangsung lama jika
infeksi terjadi pada orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan.
201
9. Cara-cara Pemberantasan
Tidak ada cara pemberantasan yang cukup efektif dan memadai.
A. Cara-cara Pencegahan.
Dimasa yang akan datang dicari jalan agar transplantasi organ dari donor yang positif
HHV-6 terhadap resipien yang seronegatif dapat dihindari.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan resmi tidak perlu, kelas 5
(lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Di RS dan pada institusi tertentu, tersangka penderita exathema subitum
harus diisolasi dan diterapkan kewaspadaan universal kontak dan penderita
ditempatkan di kamar isolasi.
3) Desinfeksi serentak: Tidak perlu.
4) Karantina: Tidak perlu.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu. Titer antibodi setelah infeksi primer
cukup untuk mencegah reinfeksi. Dimasa yang akan datang mungkin vaksinasi
diperlukan.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber penularan: Tidak perlu, sebab penderita
tanpa gejala klinis di warga prevalensinya sangat tinggi.
7) Pengobatan spesifik: Tidak ada.
C. Penanggulangan wabah: Tidak perlu.
D. Implikasi menjadi bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Tidak ada.
FASCIOLIASIS ICD-9 121.3; ICD-10 B66.3
1. Identifikasi
Penyakit hati yang disebabkan oleh cacing trematoda merupakan parasit yang secara
alamiah hidup pada kambing, sapi dan hewan lain sejenis dan tersebar di seluruh dunia.
Cacing dewasa berbentuk pipih berukuran sekitar 3 cm, hidup dalam saluran empedu.
Cacing muda hidup dalam parenchim hati dan dapat memicu kerusakan parenchim
hati dan kerusakan jaringan serta hepatomegali. Pada saat awal invasi kedalam parenchim
hati kuadran kanan atas terasa sakit, fungsi hati tidak normal dan terjadi eosinofilia.
Setelah migrasi kedalam kelenjar empedu dapat menimbulkan kolik empedu dan icterus
obstructive. Infeksi ektopik terutama disebabkan oleh Fasciola gigantica yang bisa
memicu peradangan di kulit, berpindah-pindah di badan dan bagian tubuh yang lain.
Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur cacing didalam tinja atau didalam aspirat
empedu yang diambil melalui duodenum. Diagnosa serologis dapat dilakukan di beberapa
laboratorium. Diagnosa palsu bisa saja terjadi pada seseorang yang dalam tinjanya
202
ditemukan telur cacing infertile beberapa saat setelah orang ini mengkonsumsi hati
dari hewan yang terinfeksi.
2. Pemicu Penyakit:
Fasciola hepatica dan jarang oleh F. gigantica.
3. Distribusi Penyakit
Infeksi pada manusia dilaporkan terjadi di daerah peternakan kambing dan sapi di
Amerika Selatan, Karibia, Eropa, Australia, Timur Tengah dan Asia. Kasus sporadis
dilaporkan di Amerika Serikat. F. gigantica ditemukan terbatas hanya di Afrika, Pasifik
sebelah barat dan Hawai.
4. Reservoir
Manusia yaitu induk semang kebetulan. Siklus infeksi alamiah terjadi dan bertahan
diantara beberapa spesies hewan, terutama pada kambing, sapi dan keong famili
Lymnaeidae. Sapi, kerbau air dan mamalia besar lainnya menjadi reservoir F. gigantica.
5. Cara Penularan
Telur yang dikeluarkan melalui tinja akan menjadi matang dalam air dan sekitar 2 minggu
telur akan menetas mengeluarkan mirasidium. Dan mirasidium masuk ke dalam tubuh
keong air, dalam keong air mirasidium akan membentuk serkaria dalam jumlah yang
banyak dan keluar dari keong berenang mencari dan melekat pada tumbuh-tumbuhan air
kemudian membentuk kista (metaserkaria) yang tahan kering. Infeksi terjadi apabila
memakan tumbuhan air yang tidak dimasak yang mengandung metaserkaria (seperti
salada air). Kemudian larva mencapai susu dan migrasi menembus dinding usus masuk
kedalam cavum peritoneal, kemudian masuk ke dalam hati dan tumbuh berkembang lalu
masuk ke dalam saluran empedu dan cacing dewasa mengeluarkan telur dalam waktu 3-4
bulan setelah infeksi.
6. Masa Inkubasi: sangat bervariasi.
7. Masa Penularan
Penularan dari manusia ke manusia tidak terjadi secara langsung.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang dan semua umur rentan terhadap infeksi cacing Fasciola dan infeksi bisa
bertahan seumur hidup.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Penyuluhan kesehatan dilakukan di daerah endemis, warga dianjurkan untuk
tidak makan tumbuh-tumbuhan air dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang tidak
diketahui asalnya, khususnya di daerah dimana kambing dan hewan lain
merumput.
2) Hindari penggunaan kotoran kambing untuk memupuk tanaman selada air.
203
3) Keringkan tanah, gunakan moluskisida untuk membunuh moluska apabila secara
teknis dan ekonomis memungkinkan.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan ke intansi kesehatan setempat. Laporan resmi tidak perlu, Kelas 5 (lihat
pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Tidak perlu.
3) Desinfeksi serentak: Tidak perlu.
4) Karantina: Tidak perlu.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu.
6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: menemukan sumber infeksi
berguna untuk mencegah penularan pada penderita dan orang lain.
7) Pengobatan spesifik: Upaya pengobatan secara umum tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Pada akhir tahun 1999 obat yang dianjurkan untuk dipakai
yaitu Triclabendazole: semua permintaan untuk pengobatan Fasciola hepatica
yang ditujukan ke CDC Atlanta dirujuk ke Novartis Pharmacemical AG, Basel,
Swiss sebagai penyalur obat ini . Bithionol (Bitin®) yang sudah tidak
diproduksi lagi namun masih tersedia di CDC Atlanta untuk keperluan domestik.
Obat ini tadinya dianggap sebagai obat pilihan namun angka kesembuhannya
sangat tidak konsisten, begitu juga dengan Prasiquantel. Pada waktu stadium
migrasi, keluhan dan gejala klinis dapat dikurangi dengan diberikan
dehydroemetine, chloroquine atau metronidazole.
C. Penanggulangan wabah
Cari dan temukan sumber infeksi, tumbuh-tumbuhan serta keong yang terlibat dalam
rantai penularan. Hindari mengkonsumsi tumbuhan-tumbuhan air dari daerah yang
terkontaminasi.
D. Implikasi menjadi bencana: Tidak ada.
E. Penanganan lebih lanjut : Tidak perlu.
FASCIOLOPSIASIS ICD-9 121.4; ICD-10 B66.5
1. Identifikasi
Infeksi trematoda yang menyerang usus halus, biasanya duedenum. Gejala klinis muncul
sebagai akibat inflamasi lokal, ulserasi dinding dan keracunan sistemik. Biasanya berupa
diare dan diselingi dengan konstipasi (sembelit); sering juga disertai dengan muntah dan
tidak nafsu makan. Dalam jumlah besar cacing dapat menimbulkan penyumbatan usus
akut. Muka penderita bisa terlihat bengkak, oedema pada kaki, dan ascites bisa terjadi 20
hari setelah infeksi yang masif. Sering dijumpai Eosinofilia dan kadang-kadang anemia
sekunder. Kematian jarang terjadi dan infeksi ringan jarang menimbulkan gejala.
204
Diagnosa dibuat dengan menemukan cacing dewasa berukuran besar atau menemukan
telur cacing dalam tinja; cacing kadang-kadang dimuntahkan.
2. Pemicu Penyakit
Pemicu penyakit yaitu Fasciolopsis buski, trematoda yang ukuran panjangnya dapat
mencapai 7 cm.
3. Penyebaran Penyakit
Tersebar di daerah pedesaan di Asia Tenggara, khususnya di Thailand, China Selatan dan
Tengah, dan sebagian India. Prevalensi tinggi ditemukan di daerah peternakan babi.
4. Reservoir
Babi dan manusia merupakan hospes definitif dari cacing dewasa., anjing dapat juga
terinfeksi namun jarang.
5. Cara Penularan
Telur yang dikeluarkan melalui tinja, paling sering pada babi, akan menetas dan
berkembang dalam air dan dalam waktu 3-7 minggu dalam kondisi yang baik menjadi
miracidia yang akan masuk kedalam tubuh keong yang berperan sebagai hospes
perantara. Miracidia kemudian berkembang menjadi serkaria dan membentuk kista yang
melekat pada tumbuhan air menjadi metaserkaria infektif. Manusia terinfeksi sebab
mengkonsumsi sayuran mentah tumbuhan air. Di China, sumber penularan utama yaitu
biji bunga teratai merah yang tumbuh dalam empang, umbi dari tanaman chesnut yang
tumbuh di air dan umbi dari bambu air. Infeksi sering juga terjadi sebab kulit ari lecet
oleh gigitan.
6. Masa Inkubasi
Telur ditemukan di dalam tinja sekitar 3 bulan setelah infeksi.
7. Masa Penularan
Penularan tetap terjadi selama telur yang fertile masih ada dalam tinja; tanpa pengobatan,
penularan mungkin dapat berlangsung sampai 1 tahun. Tidak menular secara langsung
dari manusia ke manusia.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang rentan. Pada orang yang kurang gizi, dampak dari penyakit ini lebih terlihat;
jumlah cacing mempengaruhi berat ringannya penyakit.
9. Cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan
1. Beri penyuluhan kepada warga yang berisiko di daerah endemis tentang cara
penularan dan siklus hidup dari parasit ini .
2. Untuk membasmi telur, buanglah tinja pada jamban saniter, lakukan manajemen
yang baik terhadap sedotan tinja.
205
3. Jauhkan tempat peternakan babi didaerah yang tercemar dimana banyak tumbuhan
air tumbuh di sana; babi jangan diberi makan tumbuhan air ini.
4. Keringkan tumbuhan air yang diduga mengandung metaserkaria, atau jika
tumbuhan air ini mau dikonsumsi mentah hendaknya disiram dengan air
panas selama beberapa detik, kedua cara ini dapat membunuh metaserkaria.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Di daerah endemis tertentu, hampir
di seluruh negara di dunia tidak merupakan penyakit yang wajib dilaporkan. Kelas
3 C (lihat tentang laporan penyakit menular).
2. Isolasi: tidak perlu.
3. Disinfeksi serentak: lakukan pembuangan tinja yang saniter.
4. Karantina: tidak perlu.
5. Imunisasi terhadap kontak: tidak perlu.
6. Investigasi terhadap sumber penularan: investigasi terhadap penderita perorangan
kurang bermanfaat; upaya penanganan lingkungan yaitu masalah warga
(lihat 9 C, di bawah ini).
7. Pengobatan spesifik : Praziaquantel (Biltricide®) yaitu obat terpilih.
C. Penanggulangan Wabah:
Kecuali tumbuh-tumbuhan air yang mengandung metaserkaria dan yang biasa
dimakan segar oleh warga , identifikasi spesies keong yang hidup di perairan
dimana tanaman ini tumbuh dan cegah terjadinya kontaminasi badan air ini
dengan kotoran manusia dan kotoran babi.
D. Implikasi menjadi wabah: tidak perlu.
E. Penanganan lebih lanjut : tidak perlu.
FILARIASIS ICD-9 125; ICD-10 B74
Istilah filariasis digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis nematoda dari
keluarga Filarioidea. Namun istilah ini hanya digunakan untuk filaria yang hidup dalam
kelenjar limfe seperti tercantum di bawah ini. sedang untuk jenis yang lain merujuk
kepada bab penyakit yang spesifik yang diuraikan tersendiri.
Filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti – ICD-9 125.0; ICD-10 B74.0
(Filariasis bancrofti)
Filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi – ICD-9 125.1; ICD-10 B74.1
(Filariasis malayi, Filariasis brugia)
206
Filariasis yang disebabkan oleh Brugia timori – ICD-9 125.6; ICD-10 B74.2
(Filariasis timorean)
1. Identifikasi
Filariasis bancrofti
yaitu infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda Wuchereria bancrofti yang biasanya
tinggal di sistem limfatik (saluran dan kelenjar limfa) dari penderita. Cacing betina
menghasilkan mikrofilaria yang dapat mencapai aliran darah dalam 6-12 bulan setelah infeksi.
Ada jenis filarial yang menunjukkan perbedaan biologis yaitu : pertama dimana mikrofilaria
ditemukan dalam darah tepi pada malam hari (periodisitas nokturnal) dengan konsentrasi
maksimal pada pukul 22.00 hingga 02.00, kedua dimana mikrofilaria ditemukan dalam
darah tepi terus-menerus namun konsentrasi maksimalnya terjadi pada siang hari (diurnal).
Bentuk yang kedua endemis di Pasifik Selatan dan di daerah pedesaan muncul sebagai fokus
kecil di Asia Tenggara dimana vektornya yaitu nyamuk Aedes yang menggigit siang hari.
Spektrum manifestasi klinis pada daerah endemis filariasis yaitu :
- Mereka yang terpajan namun tetap asimtomatik dan parasitnya negatif
- Mereka yang asimtomatik dengan mikrofilaremia
- Mereka yang mengalami demam berulang, limfadenitis dan limfangitis retrograde dengan
atau tanpa mikrofilaria.
- Mereka dengan tanda-tanda klinis kronis seperti timbulnya hidrokel, kiluria dan
elephantiasis pada anggota badan, payudara dan alat kelamin dengan mikrofilaremia
konsentrasi rendah atau tidak terdeteksi sama sekali
- Mereka dengan sindrom “tropical pulmonary esosinophilia”, dan mereka dengan
serangan asma nokturnal paroksismal, mereka dengan penyakit paru-paru interstitial
kronis, mereka dengan demam ringan yang berulang serta mereka yang menunjukkan
peningkatan eosinofilia dan adanya mikrofilaria degeneratif dalam jaringan dan bukan
dalam aliran darah (occult filariasis).
Filariasis Brugia
Disebabkan oleh cacing nematoda Brugia malayi dan Brugia timori. Bentuk periodik
nokturnal dari Brugia malayi ditemukan pada warga pedesaan yang tinggal di daerah
persawahan terbuka yang sebagian besar ditemukan di Asia Tenggara. Bentuk subperiodik
dapat menginfeksi manusia, kera serta hewan karnivora baik hewan peliharaan ataupun
binatang liar di hutan-hutan Indonesia dan Malaysia. Manifestasi klinis sama dengan filariasis
bancrofti, kecuali bedanya ada pada serangan akut berupa demam filarial, dengan adenitis dan
limfangitis retrograde yang lebih parah, sementara kiluria biasanya jarang terjadi dan
elephantiasis biasanya mengenai ekstremitas bagian bawah (lengan bawah, kaki bagian
bawah) paling banyak ditemui di bagian kaki di bawah lutut. Limfedema pada payudara dan
hidrokel jarang ditemukan.
207
Infeksi Brugia Timori
Ditemukan di Pulau Timor dan di bagian tenggara kepulauan Indonesia. Manifestasi klinis
sama dengan infeksi yang terjadi pada Brugia malayi.
Manifestasi klinis filariasis timbul tanpa ditemukannya mikrofilaria dalam darah (occult
filariasis). Dari ribuan penderita dikalangan tentara Amerika yang diperiksa selama perang
Dunia II, mikrofilaria ditemukan hanya pada 10 –15 orang penderita dengan pemeriksaan
darah berulang-ulang. Pada sebagian dari penderita ini , infeksi ditandai dengan
eosinofilia yang sangat jelas terkadang disertai dengan gejala pada paru berupa sindroma
“tropical pulmonary eosinophilia”.
Mikrofilaria dengan mudah dapat dideteksi pada waktu mikrofilaremia maksimal.
Mikrofilaria hidup dapat dilihat dengan mikroskop kekuatan rendah pada tetesan darah tepi
(darah jari) pada slide atau pada darah yang sudah dihemolisa di dalam bilik hitung.
Pengecatan dengan giemsa untuk sediaan darah tebal maupun darah tipis dapat dipakai untuk
mengidentifikasi spesies dari mikrofilaria. Mikrofilaria dapat dikonsentrasikan dengan cara
filtrasi melalui filter “Nucleopore (dengan ukuran lubang 2-5 µm) dengan adapter Swinney
dan teknik Knott (sedimentasi dengan sentrifugasi 2 cc darah yang dicampur dengan 10 cc
formalin 2%) atau dengan “Quantitative Buffy Coat (QBC)” acridine orange dengan teknik
tabung mikrohematokrit.
2. Pemicu Penyakit
Cacing panjang halus seperti benang yaitu :
- Wuchereria bancrofti
- Brugia malayi
- Brugia timori.
3. Penyebaran Penyakit
Wuchereria bancrofti endemis di sebagian besar wilayah di dunia di daerah dengan
kelembaban yang cukup tinggi termasuk Amerika Latin(fokus-fokus penyebaran yang
tersebar di Suriname, Guyana, Haiti, Republik Dominika dan Costa Rica), Afrika, Asia
dan Kepulauan Pasifik. Umum ditemukan di daerah perkotaan dengan kondisi ideal untuk
perkembangbiakan nyamuk.
Secara umum periodisitas nokturnal dari daerah endemis Wuchereria di wilayah Pasifik
yang ditemukan di sebelah barat 140º bujur timur sedang dengan subperiodisitas
diurnal ditemukan di wilayah yang terletak di sebelah timur daerah 180º bujur timur.
Brugia malayi endemis di daerah pedesaan di India, Asia Tenggara, daerah pantai utara
China dan Korea Selatan.
Brugia timori keberadaannya di daerah pedesaan di Kepulauan Timor, Flores, Alor dan
Roti di Tenggara Indonesia.
4. Reservoir
Reservoir yaitu manusia yang darahnya mengandung mikrofilaria W. bancrofti, Brugia
malayi (periodik) dan Brugia timori.
208
Di Malaysia, Tenggara Thailand, Philipina dan Indonesia, hewan seperti kucing, musang
(Viverra tangalunga) dan kera dapat menjadi reservoir untuk Brugia malayi subperiodik.
5. Cara Penularan
Melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif.
W. bancrofti ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk, yang paling dominan yaitu
Culex quinquefasciatus, Anopheles gambiae, An. funestus, Aedes polynesiensis, An.
scapularis dan Ae. pseudoscutellaris.
Brugia malayi ditularkan oleh spesies yang bervariasi dari Mansonia, Anopheles dan
Aedes.
Brugia timori ditularkan oleh An. barbirostris. Didalam tubuh nyamuk betina,
mikrofilaria yang terisap waktu menghisap darah akan melakukan penetrasi pada dinding
lambung dan berkembang dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform infektif,
kemudian berpindah ke proboscis. Saat nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif
akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva
infektif ini akan bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian akan mengalami
perubahan bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa.
6. Masa Inkubasi
Manifestasi inflamasi alergik mungkin timbul lebih cepat yaitu sebulan setelah terjadi
infeksi, mikrofilaria mungkin belum pada darah hingga 3-6 bulan pada B. malayi dan 6-12
bulan pada W. bancrofti.
7. Masa Penularan
Tidak langsung menular dari orang ke orang. Manusia dapat menularkan melalui nyamuk
pada saat mikrofilaria berada pada darah tepi, mikrofilaria akan terus ada selama 5-10
tahun atau lebih sejak infeksi awal. Nyamuk akan menjadi infektif sekitar 12-14 hari
setelah menghisap darah yang terinfeksi.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Semua orang mungkin rentan terhadap infeksi namun ada perbedaan yang bermakna
secara geografis terhadap jenis dan beratnya infeksi. Infeksi ulang yang terjadi di daerah
endemis dapat mengakibatkan manifestasi lebih berat seperti elephantiasis.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan
1. Memberikan penyuluhan kepada warga di daerah endemis mengenai cara
penularan dan cara pengendalian vektor (nyamuk).
2. Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk
dengan memakai umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan tempat
menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh
nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah maka tindakan
pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan penyemprotan, memakai
pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan memakai kelambu
(lebih baik yang sudah dicelup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok
209
anti nyamuk (repellents) dan membersihkan tempat perindukan nyamuk seperti
kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan membunuh larva dengan
larvasida. Jika ditemukan Mansonia sebagai vektor pada suatu daerah, tindakan
yang dilakukan yaitu dengan membersihkan kolam-kolam dari tumbuhan air
(Pistia) yang menjadi sumber oksigen bagi larva ini .
3. Pengendalian vektor jangka panjang mungkin memerlukan perubahan konstruksi
rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk
memusnahkan tempat perindukan nyamuk.
4. Lakukan pengobatan misalnya dengan memakai diethylcarbamazine (DEC,
Banocide®, Hetrazan®, Notezine®); Pengobatan ini terbukti lebih efektif bila
diikuti dengan pengobatan setiap bulan memakai DEC dosis rendah (25-50
mg/kg BB) selama 1-2 tahun atau konsumsi garam yang diberi DEC (0,2-0,4 mg/g
garam) selama 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Namun pada beberapa kasus
timbulnya reaksi samping dapat mengurangi partisipasi warga , khususnya di
daerah endemis onchocerciasis (lihat Onchorcerciasis, reaksi Marzotti).
Ivermectin dan Albendazole juga telah digunakan; saat ini, pengobatan dosis
tunggal setahun sekali dengan kombinasi obat ini akan lebih efektif.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya
1. Laporkan kepada instansi kesehatan yang berwenang: di daerah endemis tertentu
di kebanyakan negara, bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, Kelas 3
C (lihat pelaporan tentang penyakit menular). Laporan penderita disertai dengan
informasi tentang ditemukannya mikrofilaria memberikan gambaran luasnya
wilayah transmisi di suatu daerah.
2. Isolasi: tidak dilakukan. Kalau memungkinkan penderita dengan mikrofilaria
harus dilindungi dari gigitan nyamuk untuk mengurangi penularan.
3. Desinfeksi serentak: tidak ada.
4. Karantina: tidak ada.
5. Pemberian imunisasi: tidak ada.
6. Penyelidikan kontak dengan sumber infeksi: dilakukan sebagai bagian dari
gerakan yang melibatkan warga (lihat 9 A dan 9 C).
7. Pengobatan spesifik: Pemberian diethylcarbamazine (DEC, Banocide®, Hetrazan®,
Notezine®) dan Ivermectin hasilnya membuat sebagian atau seluruh mikrofilaria
hilang dari darah, namun tidak membunuh seluruh cacing dewasa. Mikrofilaria
dalam jumlah sedikit mungkin saja muncul kembali setelah pengobatan. Dengan
demikian pengobatan biasanya harus diulangi lagi dalam interval setahun.
Mikrofilaria dalam jumlah sedikit hanya dapat dideteksi dengan teknik
konsentrasi. DEC, umumnya menimbulkan reaksi umum akut dalam 24 jam
pertama dari pengobatan sebagai akibat dari degenerasi dan matinya mikrofilaria;
reaksi ini biasanya di atasi dengan Parasetamol, anti histamine atau kortikosteroid.
Limfadenitis dan limfangitis lokal mungkin juga terjadi sebab matinya cacing
dewasa. Antibiotik pada stadium awal infeksi dapat mencegah terjadinya gejala
sisa pada sistem limfa yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
210
C. Penanggulangan Wabah
Pengendalian vektor yaitu upaya yang paling utama. Di daerah dengan tingkat
endemisitas tinggi, penting sekali mengetahui dengan tepat bionomik dari vektor
nyamuk, prevalensi dan insidensi penyakit, dan faktor lingkungan yang berperan
dalam penularan di setiap daerah. Bahkan dengan upaya pengendalian vektor yang
tidak lengkappun dengan memakai obat anti nyamuk masih dapat mengurangi
insiden dan penyebaran penyakit. Hasil yang diperoleh sangat lambat sebab masa
inkubasi yang panjang.
D. Implikasi menjadi bencana: tidak ada.
E Tindakan lebih lanjut : tidak ada.
DIROFILARIASIS ICD-9 125.6; ICD-10 B74.8
(Zoonotic filariasis)
Beberapa spesies filaria biasanya ditemukan pada binatang liar dan hewan peliharaan namun
kadangkala menginfeksi manusia meskipun mikrofilaremia jarang terjadi. Genus Dirofilaria
mengakibatkan penyakit paru-paru dan penyakit kulit pada manusia.
D. immitis (cacing jantung pada anjing) dapat memicu penyakit paru di Amerika Serikat
(dilaporkan sekitar 50 kasus) dengan beberapa kasus terjadi di Jepang, Asia dan Australia.
Cara penularan pada manusia melalui gigitan nyamuk.
Cacing masuk melalui arteri paru-paru yang membentuk nidus pada thrombus yang
mengakibatkan oklusi vaskuler, koagulasi, nekrosis dan fibrosis. Gejala yang timbul meliputi
nyeri dada, batuk dan hemoptisis, jarang terjadi esosinofili. Suatu nodul fibrotis dengan
diameter 1-3 cm, biasanya tanpa menimbulkan gejala, dapat diketahui dengan sinar X sebagai
lesi bentuk koin (coin lesion).
Penyakit kulit yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa macam spesies seperti D. tenuis,
suatu parasit pada hewan raccoon di Amerika; D. ursi pada beruang di Kanada, dan D. repens
dewasa pada kucing dan anjing di Eropa, Afrika dan Asia. Cacing berkembang dan berpindah
kedalam konjunctiva dan jaringan subkutan pada scrotum, payudara, lengan dan kaki namun
mikrofilaremia jarang terjadi. Spesies lain (Brugia) terdapat pada noda limfa. Diagnosa
biasanya ditegakkan dengan menemukan cacing di jaringan pada sayatan dalam pembedahan.
211
NEMATODA LAIN YANG MENGHASILKAN MIKROFILARIA PADA MANUSIA
Beberapa cacing lain mungkin menimbulkan infeksi dan menghasilkan mikrofilaria pada
manusia. Contohnya Onchocerca volvulus dan Loa-loa yang mengakibatkan onchocerciasis
dan loiasis (lihat penjelasan pada daftar penyakit ini ). Infeksi lain berupa penyakit
Mansonellosis (ICD-9 125.4 dan 125.5; ICD-10 B74.4) dimana Mansonella perstans tersebar
luas di Afrika Barat dan Timur Laut Amerika Selatan. Cacing dewasa ditemukan pada rongga
tubuh dan mikrofilaria telanjang bersikulasi dengan periodisitas yang tidak teratur. Infeksi
biasanya terjadi asimtomatik. namun infeksi pada mata oleh mikrofilaria tahap immature
pernah dilaporkan.
Di beberapa negara di Afrika barat dan tengah, infeksi M. streptocerca (ICD-9 125.6; ICD-10
B74.4) sering terjadi dan diduga menimbulkan edema kulit dan bercak-bercak pada kulit,
hipopigmentasi, macula, pruritis dan papula. Cacing dewasa dan mikrofilaria telanjang
terdapat pada kulit sebagai onchocerciasis. M. ozzardi (ICD-9 125.5; ICD-10 B74.4)
ditemukan di Peninsula Yucatan di Meksiko sampai di bagian utara Argentina dan di barat
India. Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria telanjang nonperiodik dalam
darah. Infeksi biasanya asimptomatis namun bisa juga dengan gejala alergi seperti nyeri sendi,
pruritis, sakit kepala dan limfadenopati.
Culicoides yaitu vektor utama dari M. streptocerca, M. ozzardi dan M. perstans di daerah
Karibia. M. ozzardi juga ditularkan oleh lalat hitam. M. rodhaini yang merupakan parasit dari
simpanse ditemukan sebesar 1,7% dari sampel sayatan kulit yang diambil di Gabon.
DEC sangat efektif untuk mengatasi M. streptocerca dan tidak jarang pula efektif untuk
mengatasi M. perstans dan M. ozzardi. sedang Ivermectin efektif untuk M. ozzardi.
INTOKSIKASI MAKANAN (FOODBORNE INTOXICATIONS)
Keracunan Makanan (Food Poisoning)
Penyakit akibat makanan, termasuk didalamnya intoksikasi makanan dan infeksi sebab
makanan, yaitu penyakit yang didapat sebab mengkonsumsi makanan yang tercemar;
kejadian ini sering dan kurang tepat bila disebut sebagai keracunan makanan. Termasuk
dalam istilah ini yaitu penyakit yang disebabkan oleh pencemaran dengan bahan kimia
seperti logam berat, senyawa organik kedalam makanan, namun penyakit akibat makanan
lebih sering disebabkan oleh:
1) Terbentuknya toksin yang disebabkan oleh berkembangbiaknya bakteri didalam makanan
sebelum dikonsumsi (Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus,
keracunan ikan scombroid, tidak ada hubungannya dengan toksin spesifik namun
disebabkan oleh sebab meningkatnya kadar histamin) atau toksin terbentuk didalam usus
seperti pada Clostridum perfringens.
212
2) Infeksi bakteri, virus atau parasit (brucellosis, Campylobacter enteritis, diare yang
disebabkan oleh Escherichia coli, hepatitis A, listeriosis, salmonellosis, shigellosis,
toksoplasmosis, gastroenteritis oleh virus, taenisasis, trichinosis dan vibrio).
3) Toksin yang dihasilkan oleh spesies algae yang berbahaya (keracunan ikan ciguatera,
keracunan kerang yang mengakibatkan paralitik, keracunan kerang yang memicu
neurotoksik, keracunan kerang yang memicu diare dan amnesia) atau racun yang
ada pada spesies ikan tertentu seperti pada ikan buntal.
Pada bab ini secara khusus membahas toksin yang berkaitan dengan penyakit sebab makanan
(dengan pengecualian pada botulism). Infeksi sebab makanan dengan Pemicu khusus akan
dibahas dalam bagian tersendiri yang berhubungan dengan Pemicu nya.
KLB penyakit akibat makanan ini dikenali dengan munculnya sejumlah penderita yang
biasanya terjadi dalam waktu pendek dengan periode waktu yang sangat bervariasi (beberapa
jam sampai beberapa minggu) setelah mengkonsumsi sesuatu makanan, pada umumnya
terjadi diantara orang-orang yang mengkonsumsi makanan bersama-sama. Ketepatan dan
kesepatan penanganan dan kecepatan melakukan pemeriksaan laboratorium dari peristiwa
keracunan makanan ini yaitu hal yang paling penting. Kasus tunggal penyakit akibat
makanan sulit diidentifikasi, kecuali pada kasus botulisme, sebab adanya sindrom gejala
klinis yang sangat khas pada botulisme. Penyakit akibat makanan merupakan salah satu
Pemicu kesakitan akut yang paling sering ditemukan; banyak kasus dan KLB yang tidak
diketahui dan tidak dilaporkan.
Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat makanan tanpa melihat
Pemicu spesifik, pada prinsipnya yaitu sama: yaitu dengan menghindari mengkonsumsi
makanan yang tercemar, memusnahkan atau melakukan denaturasi terhadap bahan pencemar,
mencegah penyebaran lebih luas atau mencegah berkembang biaknya bahan pencemar.
Masalah yang terjadi dan bentuk yang tepat dari penanganan penyakit ini berbeda antara satu
negara dan negara lain tergantung dari faktor-faktor: lingkungan, ekonomi, politik, teknologi
dan sosial budaya. Akhirnya, upaya pencegahan sangat tergantung kepada upaya penyuluhan
kepada para penjamah makanan tentang cara-cara memasak dan menyimpan makanan dengan
tepat, dan membudayakan higiene perorangan. Tentang hal yang terakhir ini , WHO telah
mengembangkan “Sepuluh Pedoman untuk Penyiapan Makanan yang aman” sebagai berikut:
1) Pilihlah makanan yang sudah diproses sesuai dengan standard keamanannya
2) Masaklah makanan secara sempurna (matang).
3) Makanlah makanan yang telah di masak sesegera mungkin.
4) Simpanlah makanan yang telah dimasak secara hati-hati
5) Panaskan kembali makanan yang telah di masak dengan sempurna apabila mau
dihidangkan lagi
6) Hindari pencampuran antara bahan makanan mentah dan makanan yang matang pada
tempat yang sama
7) Cucilah tangan berulang-kali setiap akan menjamah atau sehabis menjamah
makanan/bahan makanan
8) Jagalah kebersihan seluruh bagian dapur
9) Lindungi makanan dari serangga, tikus dan binatang lainnya
10) Gunakan air bersih yang aman untuk mengolah makanan.
213
INTOKSIKASI MAKANAN sebab STAPHYLOCOCCUS
ICD-9 005.0; ICD-10 A05.0
(Staphylococcal Food intoxication)
1. Identifikasi
Intoksikasi (bukan infeksi) bisa terjadi secara tiba-tiba dan berat, dengan gejala nausea
yang berat, kejang-kejang, muntah-muntah dan lemas tak berdaya, dan sering disertai
dengan diare, kadang-kadang dengan suhu tubuh dibawah normal dan dengan tekanan
darah yang rendah. Kematian jarang sekali terjadi, biasanya keadaan ini berlangsung
antara 1 sampai dengan 2 hari. Dan dengan melihat gejala-gejalanya kadangkala
diperlukan perawatan di rumah sakit. Dan pada kasus-kasus tertentu yang muncul sporadis
kadang-kadang memerlukan tindakan eksplorasi lebih lanjut untuk kemungkinan
dilakukan tindakan pembedahan. Diagnosa lebih mudah dilakukan bila ditemukan
sekelompok penderita dengan gejala akut pada saluran pencernaan bagian atas, dimana
interval waktu antara saat mengkonsumsi makanan tercemar dengan munculnya gejala
klinis sangat pendek.
Diferensial diagnosa dilakukan terhadap bentuk-bentuk keracunan makanan lain dan
keracunan dengan bahan kimia. Diagnosa keracunan staphylococcus pada suatu KLB
ditegakkan dengan ditemukannya kuman 105 atau lebih per gram makanan pada
pembiakan rutin, atau ditemukannya enterotoksin dari makanan yang tercemar. Diagnosa
tidak dapat dikesampingkan begitu saja dengan tidak ditemukannya staphylococcus dari
pembiakan makanan yang sebelumnya sudah dipanaskan; ditemukan bentuk Gram pada
makanan membuktikan bahwa kuman mati akibat pemanasan. Walaupun bakteri tidak
ditemukan dalam makanan namun masih memungkinkan untuk menemukan enteroktoksin
atau termonuklease dalam makanan. Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan
ditemukannya kuman dengan tipe phage yang sama dari tinja atau muntahan dari 2 orang
atau lebih penderita. Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan ditemukan staphylococcus
penghail enterotoksin dalam jumlah banyak dari tinja atau muntahan walaupun hanya dari
seorang penderita. Pemeriksaan dengan phage typing jenis kuman dan tes enteroktoksin
dapat membantu dalam penyelidikan epidemiologis namum fasilitas ini tidak selalu ada
dan tidak selalu diperlukan.
2. Pemicu Penyakit (Toxic agent)
Beberapa jenis enterotoksin dari Staphylococcus aureus stabil pada suhu mendidih.
Staphylococcus berkembang biak di dalam makanan yang tercemar dan menghasilkan
toksin.
3. Distribusi Penyakit
Keracunan makanan relatif lebih sering terjadi dan tersebar luas diseluruh dunia, dan
merupakan salah satu jenis intoksikasi akut akibat makanan yang paling sering terjadi di
Amerika Serikat. Sekitar 25% warga yaitu carrier Pemicu penyakit ini .
4. Reservoir
Pada umumnya yang berperan sebagai reservoir yaitu manusia, kadang-kadang sapi
dengan infeksi kelenjar susu berperan sebagai reservoir dan juga dapat anjing dan burung.
214
5. Cara-cara Penularan
Penularan terjadi sebab mengkonsumsi produk makanan yang mengandung enterotoksin
staphylococcus. Makanan yang sering tercemar yaitu terutama makanan yang diolah
dengan tangan, baik yang tidak segera dimasak dengan baik ataupun sebab proses
pemanasan atau penyimpanan yang tidak tepat. Jenis makanan ini seperti pastries,
custard, saus salad, sandwhich, daging cincang dan produk daging. Toksin dapat juga
berkembang pada ham dan salami yang tidak dimasak dengan benar, dan dapat juga pada
keju yang tidak diproses atau diproses kurang sempurna. Bila makanan ini dibiarkan
pada suhu kamar untuk beberapa jam sebelum dikonsumsi, maka staphylococcus yang
memproduksi toksin akan berkembang biak dan akan memproduksi toksin tahan panas.
Kuman mungkin dapat bersumber dari manusia seperti dari discharge purulen pada jari
dan mata yang terinfeksi, abses, erupsi jerawat di muka, sekret nasofaring, atau dari kulit
yang kelihatan normal; atau kuman dapat berasal dari sapi yaitu dari susu dan produk susu
yang tercemar khususnya keju.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi mulai dari saat mengkonsumsi makanan tercemar sampai dengan
timbulnya gejala klinis yang berlangsung antara 30 menit sampai dengan 8 jam, biasanya
berkisar antara 2-4 jam.
7. Masa Penularan : Tidak terjadi penularan.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Sebagian besar orang rentan terhadap keracunan.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara Pencegahan
1) Beri penyuluhan kepada penjamah makanan tentang:
a. Higiene makanan, sanitasi dan kebersihan dapur, pengendalian temperatur
penyimpanan makanan secara tepat, mencuci tangan dengan benar dan
memotong kuku
b. Bahayanya kalau terpajan dengan kulit, hidung atau mata yang terinfeksi dan
luka yang terbuka.
2) Pentingnya pengurangan waktu penjamahan makanan (mulai dari penyiapan
sampai dengan penyajian makanan) tidak lebih dari 4 jam pada suhu kamar.
Simpanlah makanan yang mudah busuk (tidak tahan lama) pada suhu panas (lebih
dari 60°C /140°F) atau pada suhu dingin (kurang dari 10°C/50°F); yang paling
baik yaitu pada suhu dibawah 4°C/39°F didalam tempat yang tertutup, jika bahan
makanan ini harus disimpan lebih dari 2 jam.
3) Jauhkan untuk sementara waktu, orang dengan bisul, abses dan lesi bernanah pada
tangan, muka atau hidung dan mereka dilarang untuk menangani dan menjamah
makanan.
215
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat, laporan wajib dilakukan apabila
terjadi KLB dari kasus suspek atau apabila terjadi KLB dari penderita yang sudah
pasti diagnosanya, Kelas 4 (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2), 3), 4) 5) dan 6) Isolasi, Disinfeksi serentak, karantina, Imunisasi terhadap kontak
dan Investigasi kontak dan sumbe infeksi : Tidak perlu.
Tindakan penanggulangan dilakukan apabila ada KLB. Kasus-kasus individual
jarang sekali teridentifikasi.
7) Pengobatan spesifik: Penggantian cairan bila ada indikasi.
C. Upaya Penanggulangan Wabah
1) Lakukan review dengan cepat terhadap kasus yang dilaporkan:
• Lakukan investigasi untuk mengetahui dengan pasti tentang waktu, tempat
kejadian dan populasi yang berisiko.
• Dapatkan daftar yang lengkap dari semua makanan yang disajikan, simpanlah
makanan yang tersisa kedalam lemari es.
• Dengan melihat gambaran klinis yang menonjol dan ditambah dengan
perkiraan masa inkubasi akan sangat membantu mengarahkan kepada agen
Pemicu yang paling mungkin.
• Kumpulkan sampel dari tinja dan muntahan buat pemeriksaan laboratorium.
• Beri penjelasan dan peringatan kepada petugas laboratorium tentang dugaan
agen Pemicu .
• Wawancarai mereka yang terpajan secara acak
• Bandingkan attack rate dari masing-masing makanan yang dimakan dengan
attack rate jenis makanan yang tidak dikonsumsi; makanan yang tercemar
biasanya memiliki perbedaan attack rate yang bermakna. Biasanya sebagian
besar penderita terbukti telah mengkonsumsi makanan yang tercemar.
2) Selidiki asal dari makanan yang tercemar dan cara-cara pengelolaan makanan
ini mulai dari penyiapan, penyimpanan dan penyajian:
• Cari sumber kontaminasi yang mungkin terjadi dan periode wakt pada saat
dilakukan pemanasan dan pendinginan yang tidak sempurna yang dapat
memicu pertumbuhan kuman staphylococcus.
• Segera ambil sisa makanan yang dicurigai sebagai Pemicu kontaminasi
untuk pemeriksaan laboratorium; kegagalan untuk menemukan staphylococcus
dari sampel maknan ini tidak mengenyampingkan kemungkinan adanya
enterotoksin tahan panas jika makanan ini telah dipanaskan.
3) Cari penjamah makanan dengan infeksi kulit terutama di bagian tangan. Biakkan
semua lesi purulen dari penjamah makanan dan ambil swab hidung dari semua
penjamah makanan. Pemeriksaan antibiogram dan phage typing dari strain
staphylococcus yang memproduksi enterotoksin yang sampelnya diambil dari
makanan, penjamah makanan dan dari muntahan atau tinja penderita, dapat
membantu penegakan diagnosa.
D. Implikasi Bencana
Bahaya potensial dapat terjadi pada situasi dimana makanan harus disediakan secara
massal dan tidak tersedia fasilitas pendingin (lemari es) hal ini khususnya menjadi
216
msalah dilingkungan transportasi udara.
E. Tindakan lebih lanjut
Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.
II. INTOKSIKASI MAKANAN AKIBAT CLOSTRIDIUM PERFRINGENS
ICD-9 005.2; ICD-10 A05.2
(Keracunan makanan akibat C. welchii, Enteritis necroticans, Pigbel)
1. Identifikasi
Gangguan pencernaan yang ditandai dengan gejala kolik tiba-tiba, diikuti dengan diare,
biasanya timbul rasa mual, namun jarang terjadi muntah dan demam. Pada umumnya
penyakit ini ringan dan berlangsung dalam waktu yang singkat, 1 hari atau kurang, dan
jarang berakibat fatal pada orang yang sehat. KLB penyakit ini dengan gejala yang berat
dengan CFR yang tinggi disebabkan oleh necrotizing enteritis pernah dilaporkan terjadi
pada akhir perang dunia II di Jerman dan di Papua Nugini.
Pada saat terjadi KLB, diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya Clostridium
perfringens pada biakan kuman anaerob semikuantitatif dari sampel makanan (sebanyak
105 kuman/gram atau lebih) atau dari sampel tinja penderita (sebanyak 106 kuman/gram
atau lebih) sebagai klinis dan epidemiologis. Diagnosa dapat juga ditegakkan dengan
ditemukannya enterotoksin pada tinja penderita. Bila dilakukan serotyping, maka serotipe
yang sama dapat ditemukan pada spesimen yang berbeda; pemeriksaan serotyping ini
hanya dilakukan secara berkala di Inggris dan di Jepang.
2. Pemicu Infeksi
Clostridium perfringens (C. welchii) tipe A dapat memicu KLB keracunan makanan
yang khas (termasuk dapat menimbulkan gas gangrene); sedang tipe C dapat
memicu enteritis necroticans. Penyakit timbul diakibatkan oleh toksin yang
dihasilkan oleh mikroorganisme ini .
3. Distribusi Penyakit
Penyebaran penyakit ini sangat luas dan lebih sering terjadi di negara-negara dimana
warga nya memiliki kebiasaan menyiapkan makanan dengan cara-cara yang dapat
meningkatkan perkembangbiakan clostridia.
4. Reservoir
Tanah, berperan sebagai reservoir saluran pencernaan orang-orang sehat dan binatang
(lembu, babi, ayam dan ikan), juga dapat berperan sebagai reservoir.
5. Cara-cara Penularan
Cara penularan yaitu sebab menelan makanan yang terkontaminasi oleh tanah dan tinja
dimana makanan ini sebelumnya disimpan dengan cara yang memungkinkan kuman
berkembangbiak. Hampir semua KLB yang terjadi dikaitkan dengan proses pemasakan
217
makanan dari daging (pemanasan dan pemanasan kembali) yang kurang benar, misalnya
kaldu daging, daging cincang, saus yang dibuat dari daging sapi, kalkun dan ayam. Spora
dapat bertahan hidup pada suhu memasak normal. Spora dapat tumbuh dan berkembang
biak pada saat proses pendinginan, atau pada saat penyimpanan makanan pada suhu kamar
dan atau pada saat pemanasan yang tidak sempurna. KLB biasanya dapat dilacak
berkaitan dengan usaha katering, restoran, kafetaria dan sekolah-sekolah yang tidak
memiliki fasilitas pendingin yang memadai untuk pelayanan berskala besar. Diperlukan
adanya Kontaminasi bakteri yang cukup berat (