Epilepsi refrakter
Epilepsi merupakan gangguan kronis
pada otak yang ditandai dengan adanya 2
bangkitan tanpa provokasi dengan
interval antar bangkitan lebih dari 24
jam.1 Epilepsi memiliki angka kejadian
yang tinggi, khususnya di negara
berkembang dengan insidensi 61-
124/100.000 anak per tahun. Insidensi
epilepsi di Indonesia sendiri belum
diketahui secara pasti karena tidak semua
pasien dengan epilepsi terjangkau oleh
fasilitas kesehatan.2 Berdasarkan
penelitian Kelompok Studi Epilepsi
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (POKDI PERDOSSI) selama
6 bulan tahun 2013, didapatkan 2.288
pasien dari 18 rumah sakit, dimana rerata
usia kasus baru adalah 25,06 ± 16,9
tahun dan kasus lama 29,2 ± 16,5 tahun.
Sebanyak 77,9% berobat pertama kali ke
dokter spesialis saraf dan 6,8% berobat
ke dokter umum, sedangkan sisanya
berobat ke dukun dan tidak berobat.3
Penyakit epilepsi dapat mengganggu
kualitas hidup baik karena komorbiditas,
efek jangka panjang dari pengobatan,
keterbatasan sosial dan aktivitas harian
penderita, serta memerlukan biaya
cukup banyak.2
Epilepsi refrakter merupakan epilepsi
memiliki kejang yang tidak dapat
dikontrol dengan pengobatan anti
epilepsi yang adekuat, hal ini terjadi pada
30-40% pasien dengan epilepsi.
4
Bedah epilepsi merupakan salah satu
pendekatan epilepsi refrakter dengan
tujuan untuk agar pasien epilepsi bebas
bangkitan atau menurunkan frekuensi
dengan efek samping minimal.5
Penggunaan subdural ECoG
intraoperatif atau ekstraoperatif dapat
membantu untuk menentukan lokasi
yang lebih akurat, yaitu zona
epileptogenik yang akan diangkat atau
diputuskan koneksinya saat
pembedahan.6 Penggunaan obat anestesi
dalam pembedahan dapat mengganggu
gelombang epileptiform saat ECoG,
sehingga diperlukan pendekatan anestesi
tersendiri.6,7 Pada laporan kasus ini
dilakukan pembahasan mengenai
manajemen anestesi perioperatif untuk
tindakan lesionektomi dengan
ekokortikografi.
KASUS
Pasien
Seorang laki-laki 24 tahun dengan
epilepsi refrakter, post kraniotomi
pemasangan EEG intrakranial, post
kraniotomi evakuasi EDH, bronkitis
dalam pengobatan direncanakan untuk
dilakukan tindakan lesionektomi dengan
elektrokortikografi.
Anamnesa
Pasien dikonsulkan ke bagian anestesi
dengan keluhan kejang berulang sejak 2
tahun yang lalu, dikatakan epilepsi dan
berobat rutin dengan spesialis saraf. Obat
yang diminum rutin yaitu asam valproat,
namun selama pengobatan masih sering
timbul kejang yang berupa gerakan
kelojotan pada kedua lengan terutama
lengan kiri. Kejang berdurasi 10 menit
dengan frekuensi kejang beragam 2-10
kali per hari. Sebelum kejang pasien
seringkali merasakan adanya kesemutan
pada kedua lengan, dan setelah kejang
pasien merasa mengantuk. Pasien juga
mengeluhkan adanya batuk 2 hari
sebulum masuk rumah sakit dan
dikonsulkan ke dokter paru.
AMPLE
Allergy: Alergi disangkal
Medication: Parasetamol, omeprazole,
fenitoin, depakote, diazepam, nebulizer
ventolin + flixotide, N-Asetilsistein,
vitamin A, vitamin B Kompleks, vitamin
C, zinc .
Past illness: epilepsi refrakter, riwayat
operasi kraniotomi pemasangan EEG
Intrakranial dengan GA 2 hari
sebelumnya, operasi kraniotomi
evakuasi EDH dengan GA 1 hari
sebelumnya. Bronkitis dalam
pengobatan. Riwayat sakit tiroid maupun
asma disangkal.
Last meal: 6 jam preoperasi
Event/Environmental: Batuk berdahak,
kejang 4 kali sejak 1 hari sebelum
operasi selama 1 menit
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis glasgow coma
scale (GCS) E4M6V5. BB= 46 kg, TB =
163 cm.
Vital sign: TD = 135/99 mmHg, HR = 84
x/menit, RR = 18 x/menit, T = 36,9ºC,
SpO2 = 98% dengan NK 3 lpm.
Kepala = Tampak luka bekas operasi
tertutup kassa dengan kabel EEG intra
kranial frontal, posterior, dan koronal.
Mata = anemis (-), ikterik (-), pupil
isokor. Mulut = Mallampati II, buka
mulut 3 jari. Leher = massa (-), deviasi
trakea (-), kaku kuduk (-). Terpasang
CVC di regio subklavia kiri, drainase
lancar. Thoraks = paru-paru = dada
simetris, gerakan normal, perkusi dan
palpasi = dalam batas normal, auskultasi
= suara dasar vesikuler, wheezing (-),
rhonchi (-). Jantung = bunyi jantung 1-2
regular, murmur (-), gallop (-). Abdomen
= supel, BU (+) normal. Ekstremitas =
edema (-), motorik dan sensorik dalam
batas normal.
Pemeriksaan Laboratorium
Hb = 12,4 g/dL. Ht = 36,8%. Leukosit
15.800 /uL. Trombosit 572.000 /uL. Na
= 137. K = 3,9. Cl = 103 mmol/L. Mg =
0,7. Ca = 2,3. GDS = 135 mg/dL. Ureum
= 14 mg/dL. Kreatinin = 0,89 mg/dL.
Asam Laktat = 13,0. Albumin = 2,9. PPT
18,3/15,3 detik. PTTK 25,5/30,3 detik.
D-Dimer 2550. Fibrinogen = 116.
Pemeriksaan Penunjang Lain
Foto thoraks = CVC terpasang dari arah
subklavia kiri dengan ujung distal pada
paravertebrata kanan setinggi korpus
vertebra Th 6 – 7, cor dan pulmo tak
tampak kelainan.
EEG = kejang kali (tidur 3 kali, bangun
2 kali), semiologi: lengan kiri tonik fleksi
ke atas, lengan kanan terangkat berusaha
memegang tangan kiri, pernah disertai
klonik halus kedua lengan terutama kiri,
pasca kejang, pasien bengong sebentar.
Di luar perekaman pasien mengaku
sebelum kejang ada rasa kesemutan di
wajah dan lengan kiri. Bangkitan epilepsi
yang secara semiologi berasal dari lobus
frontal/parietal sisi kanan dengan
gambaran EEG general kadang dominan
centroparietal kanan, didapatkan
gelombang epileptik interiktal pada regio
central kanan.
Magnetig resonance imaging (MRI) =
Tidak tampak gambaran atrofi maupun
sklerosis pada hipokampus kanan kiri,
tak tampak infark, perdarahan maupun
tanda peningkatan tekanan intra kranial
(TIK). Pelebaran sisterna magna.
Hipertrofi konka nasal inferior kiri.
Rencana tindakan: lesionektomi dengan
elektrokortikografi pada pasien epilepsi
refrakter.
Persiapan Operasi
Kamar operasi diinformasikan untuk
persiapan operasi dan ICU dipersiapkan
untuk pemindahan pascaoperasi. Pasien
diberikan edukasi mengenai operasi dan
dilakukan screening anestesi dan
penentuan status ASA.
Persiapan Anestesi
Pasien dipuasakan selama 6 jam dan
pasien sudah dipasangkan infus dan
selang kateter. Obat antiepilepsi ditunda.
Loading cairan dengan kristaloid.
Premedikasi dengan ondansetron,
deksametason, dan ketorolak. Pasien
dipasangkan alat monitor dan terpantau
TD = 122/78 mmHg, HR = 89 kali/menit,
RR 19 kali/menit, SpO2 = 99 % room
air, EKG normo sinus rhythm. Pasien
diinduksi dengan propofol, fentanyl dan
atracurium. Setelah induksi terpantau TD
= 118/66 mmHg, HR = 77 kali/menit, RR
= 18 kali/menit, SpO2 = 98 %, EKG
normo sinus rhythm. Pasien diintubasi
dan dipasangkan endotracheal tube
(ETT) non kinking. Dilakukan blok scalp
dengan bupivakain.
Durante Operasi
Pasien diberikan dosis maintainace dari
propofol dan rocuronium. Saat
perekaman ECoG, infus propofol
dihentikan, sementara rocuronium tetap
diberikan. Setelah perekaman ECoG,
dilakukan reseksi dan dosis
maintainance propofol kembali
diberikan sampai operasi selesai. Selama
operasi tidak didapatkan adanya episode
kejang fokal dan tanda-tanda vital stabil.Pascaoperasi
Pasien diobservasi di PACU dengan TD
= 119/75 mmHg, HR = 69 kali/menit, RR
= 20 kali/menit, SpO2 = 99%, EKG
normo sinus rhytm. Pasien kemudian
dipindahkan ke ICU untuk observasi
lebih lanjut dengan terapi anti kejang dari
spesialis bedah saraf.
PEMBAHASAN
Epilepsi didefinisikan sebagai sebuah
gangguan kronis di otak yang ditandai
dengan minimal 2 episode bangkitan
tanpa provokasi yang terjadi dengan
interval lebih dari 24 jam, atau satu
episode bangkitan tanpa provokasi
dengan kemungkinan berulangnya
kejang dalam 10 tahun sama dengan 2
episode kejang, atau kondisi yang sudah
didiagnosis sindrom epilepsi sebelumnya
oleh dokter yang kompeten.1 Etiologi
dari epilepsi dapat disebabkan oleh
etiologi struktural, genetik, infeksi,
metabolik, imun, maupun belum
diketahui (diagnosis berdasarkan usia,
semiologi bangkitan, dan pemeriksaan
EEG.3
Tujuan pengobatan dari epilepsi adalah
tidak adanya bangkitan dan tidak ada
efek samping secepat mungkin. Oleh
karena itu intervensi dini yang tepat
berpengaruh untuk mencegah terjadinya
kejang rekuren dan defisit progesif
lainnya.8
30-40% pasien epilepsi
memiliki kejang yang tidak dapat
dikontrol dengan pengobatan anti
epilepsi yang adekuat, hal ini disebut
dengan epilepsi refrakter.4
Diagnosis dari epilepsi refrakter dapat
ditegakkan dengan menyingkirkan
refrakter palsu yang berhubungan
dengan kejang nonepileptik, pengobatan
obat anti epilepsi yang tidak adekuat,
atau adanya faktor-faktor pencetus
kejang lainnya.9 Monitoring EEG
dibutuhkan untuk menentukan jenis
kejang yang terjadi. Diagnosis refrakter
terjadi apabila obat yang digunakan
paling sedikit 2 macam obat dengan
dosis yang dapat ditolerir. Diagnosis
refrakter biasanya dipertimbangkan jika
sudah 1 - 2 tahun dari kejadian epilepsi
yang tidak terkontrol.5
Mesial temporal
lobe epilepsy (MTLE) merupakan tipe
epilepsi tersering pada remaja dan
dewasa yang biasanya refrakter dan
dapat diatasi dengan pembedahan. Lesi
yang terdapat pada MTLE adalah
sklerosis pada hipokampus.4
Bedah epilepsi merupakan salah satu
pendekatan tatalaksana untuk epilepsi
yang sudah mengalami resisten terhadap
obat. Tujuan dari tindakan ini adalah
untuk tercapainya bebas bangkitan atau
menurunkan frekuensi dengan efek
samping minimal. Tindakan ini
diindikasikan untuk kasus epilepsi yang
berpotensi akan membaik seperti adanya
sklerosis hipokampus, ganglioglioma,
dysembrioplastic neuroepithelial tumor
(DNET), cavernous angioma, displasia
korteks, ensefalitis rasmussen,
hemimegalensegali, stuge weber, dan
sindroma lenox gestaut.3,10 Terdapat
beberapa jenis terapi pembedahan untuk
epilepsi. Bedah reseksi atau lesionektomi
merupakan bedah pengangkatan daerah
epileptogenik tanpa menyebabkan defisit
neurologi permanen. Daerah
epileptogenik ini ditentukan berdasarkan
semiologi, temuan interictal dan ictal
pada EEG, dan temuan lesi pada FDGPET, SPECT, atau MRI.11 Pada epilepsi
fokal tanpa adanya lesi, dibutuhkan
monitoring yang invasif. Sebagian besar
pembedahan epilepsi merupakan reseksi
pada bagian lobus anterotemporal.5
Penentuan zona epileptogenik sangatlah
penting sebelum dilakukan pembedahan.
Penggunaan MRI untuk menentukan
kelainan struktural tidak selalu
menunjukan penyebab epilepsi sehingga
dibutuhkan pemeriksaan EEG tambahan
yang dicocokkan dengan gejala klinis
pasien.12 Penggunaan EEG scalp dapat
membantu namun kurang presisi untuk
menentukan lokasi. Penggunaan
subdural ECoG intraoperatif atau
ekstraoperatif dapat membantu untuk
menentukan lokasi yang lebih akurat.
Penemuan daerah interiktal yang
melonjak atau zona iritatif yang melebar
daripada saat ictal merupakan gold
standard dalam melokalisasi zona
epileptogenik. Penggunaan ECoG
intraoperatif biasanya hanya dilakukan
dalam waktu yang singkat sehingga
terkadang tidak menangkap gelombang
yang diinginkan sehingga pemantauan
sebelum operasi sangat dibutuhkan.6,13
Manajemen anestesi perioperatif
meliputi persiapan preoperatif,
premedikasi, intraoperatif, dan post
operatif. Selama persiapan preoperatif,
pasien harus dimotivasi secara
psikologis terutama jika kraniotomi
sadar dilakukan. Pada premedikasi,
penggunaan obat-obatan benzodiazepin
perlu dihindari, dan pemberian obat
antikejang dapat diberikan setelah
dikonsultasikan dengan ahli saraf atau
bedah saraf. Terdapat beberapa pilihan
teknik anestesi untuk operasi epilepsi,
yaitu dengan anestesi umum atau
kraniotomi sadar, yang dapat meliputi
teknik perawatan anestesi termonitor,
atau teknik operasi asleep-awake-asleep
(AAA).14 Pada anestesi umum, zona
epileptogenik harus sudah ditentukan
sebelumnya karena penggunaan obatobatan ini akan mengurangi aktivitas
ECoG. Penggunaan teknik anestesi ini
biasa dilakukan pada reseksi lobus tanpa
ECoG. Apabila ECoG dilakukan maka
kedalaman anestesi harus dikurangi.
Induksi dapat dilakukan dengan agen
intravena seperti propofol dan fentanil.
Penggunaan obat inhalasi seperti
isofluran dan desfluran juga dapat
diberikan. Kraniotomi sadar atau awake
craniotomy lebih diunggulkan karena
dapat melokalisasi dengan lebih baik
zona yang akan diangkat.15,16 Pada teknik
monitored anesthesia care, blok saraf di
scalp dilakukan dengan sedasi ringan.
Setelah duramater dibuka, pemberian
infus ramifentanil atau dexmedetomidine
dapat tergus digunakan. Pemberian
propofol dapat dihentikan 15 menit
sebelum dilakukan pemetaan kortikal.17
Pada teknik anestesi AAA, diberikan
anestesi umum sebelum dan setelah
pemetaan. Pada anestesi ini patensi jalan
napas harus diperhatikan dimana, pada
saat pasien tidak sadar harus digunakan,
namun dilepas saat pasien akan bangun.
Patensi ini dapat menggunakan
laryngeal mask airway (LMA) maupun
ETT. Penggunaan LMA lebih sering
digunakan karena lebih mudah untuk
memasukkan, dikeluarkan, dan
dipasangkan kembali tanpa merubah
posisi pasien. Pada teknik ini, blok scalp
dilakukan setelah induksi anestesi.7
Apabila dalam operasi terjadi kejang
fokal, penanganan pertama yang dapat
digunakan adalah dengan mengirigasi
zona operasi dengan cairan saline dingin.
Apabila manuver gagal maka dapat
diberikan propofol bolus 10 - 30 mg. Jika
kejang belum berhenti maka pemberian
tambahan benzodiazepin seperti
midazolam atau tiopental dapat
diberikan. Pada perawatan pascaoperasi,
penggunaan obat antikejang biasanya
ditunda untuk melihat perbaikan
pascaoperasi.18 Terjadinya kejang
postictal dapat menutupi kewaspadaan
kejang akibat perdarahan intrakranial,
oleh karena itu dibutuhkan observasi
yang lebih ketat. Apabila terdapat kejang
tonik klonik generalisata, obat lini
pertama yang dapat diberikan adalah
benzodiazepin.7Penggunaan obat-obatan
anestesi dipertimbangkan sebagai faktor
yang dapat memanipulasi aktivitas
epileptiform. Penggunaan anestesi
umum dapat menyebabkan penggunaan
ECoG kurang menunjukkan gelombang
pada daerah yang dieksplorasi. Akan
tetapi, penggunaan anestesi lokal yang
memiliki kelebihan untuk memetakan
lokasi epileptiform sulit dilakukan
terutama pada anak-anak dan dewasa
yang kurang operatif. Penggunaan obat
anestesi halogen seperti halotan, nitrous
oxide, desfluran, enfluran, isofluran,
sevofluran dapat memproduksi reduksi
dari amplitudo dan frekuensi EEG
setelah aktivasi inisial tergantung dari
dosis yang digunakan. Apabila
penggunaannya sangat dibutuhkan pada
pasien yang tidak koperatif, barbiturat
yang memiliki kerja cepat dapat
digunakan. Menghentikan obat anestesi
kerja cepat 10-15 menit sebelum
perekaman ECoG biasanya dapat
menghasilkan pembacaan ECoG yang
baik.
Penggunaan obat narkotik kecuali pada
alfentanil, memiliki efek yang minimal
terhadap aktivitas gelombang pada
ECoG. Penggunaan obat opioid dosis
tinggi dapat menyebabkan peningkatan
gelombang epileptiform, oleh karena itu
hal ini dapat membantu proses
melokalisasi area epileptogenik.
Penggunaan obat sedatif hipnotik
intravena seperti barbiturat, droperiodl,
benzodiazepin, propofol, dan etomidat
juga dapat menyebabkan depresi dari
gelombang EEG setelah pemberian dosis
inisial, sedangkan obat-obatan yang
melemahkan otot hanya memberikan
efek yang minimal.19,20 Penggunaan
propofol dapat menginduksi aktivitas
interiktal sehingga dapat dibaca pada
EEG namun pada dosis tinggi dapat
menyebabkan penghambatan aktivitas
elektrik. Penggunaan propofol ini cukup
popular dalam sedasi sadar dalam operasi epilepsi agar dapat
mengidentifikasi zona epileptogenik.
Metabolisme propofol yang singkat
dapat menginduksi tidur pada pasien
dengan cepat untuk proses kraniotomi
dan eliminasinya yang cepat dapat
membuat pasien mudah dibangunkan
dan ECoG dibaca.6
Pada pasien dengan MLTE karena
sklerosis hipokampus, reseksi temporal
dilakukan pada 60% kasus. 60 -70%
pasien pasca pembedahan ini bebas
kejang dalam follow up 1 - 2 tahun,
namun hanya 58% dalam follow up 10
tahun. Penelitian yang diakukan oleh
menunjukkan bahwa 66,9% pasien
terbebas dari kejang klasifikasi Engel 1.9
Hasil akhir dari pembedahan ini sangat
bergantung pada penyebab epilepsi dan
keakuratan dari lokalisasi daerah yang
direseksi.5,21
Intervensi pembedahan epilepsi
merupakan opsi dalan penatalaksanaan
epilepsi refrakter. Penggunaan ECoG
dapat membantu menentukan lokasi
yang akan dilakukan pembedahan.
Penggunaan agen anestetik memiliki
efek pada gelombang epileptiform yang
dibutuhkan dalam ECoG, sehingga
diperlukan teknik anestesi khusus dalam
pembedahan epilepsi.
Epilepsi refrakter merupakan epilepsi yang tidak membaik dengan
pemberian obat anti epilepsi yang adekuat. Epilepsi refrakter terjadi pada 30-40% pasien
dengan epilepsi. Bedah epilepsi merupakan salah satu tatalaksana dalam epilepsi
refrakter, dan penggunaan elektrokortikografi dapat membantu menentukan daerah yang
dioperasi. Penggunaan obat-obatan anestesi memiliki pengaruh terhadap gelombang
electrocorticography (ECoG), sehingga diperlukan pendekatan anestesi khusus. Pada
laporan kasus ini akan dibahas manajemen perioperatif anestesi untuk operasi
lesionektomi dengan bantuan ECoG pada pasien epilepsi refrakter.
Kasus: Seorang laki-laki 24 tahun dengan epilepsi refrakter, post kraniotomi pemasangan
EEG intrakranial, post kraniotomi evakuasi extra dural haemorraghe (EDH), bronchitis
dalam pengobatan direncanakan untuk dilakukan tindakan lesionektomi dengan
elektrokortikografi. Pasien memiliki riwayat epilepsi dengan pengobatan rutin berupa
asam valproat, namun kejang masih terus terjadi. Kejang berupa kelojotan pada kedua
lengan terutama sisi kiri. Kejang berdurasi 10 menit dengan frekuensi kejang 2-10 kali
per hari. Sebelum kejang pasien seringkali merasakan adanya kesemutan pada kedua
lengan, dan setelah kejang pasien merasa mengantuk. Durante operasi pasien diberikan
dosis maintainace dari propofol dan rocuronium. Saat perekaman ECoG, infus propofol
dihentikan, sementara rocuronium tetap diberikan. Setelah perekaman ECoG, dilakukan
reseksi dan dosis maintainance propofol kembali diberikan sampai operasi selesai.
Pembahasan: Bedah reseksi atau lesionektomi merupakan bedah pengangkatan daerah
epileptogenik tanpa menyebabkan defisit neurologi permanen. Penggunaan subdural
ECoG intraoperatif atau ekstraoperatif dapat membantu untuk menentukan zona
epileptogenik akurat. Apabila ECoG dilakukan, anestesi umum perlu disesuaikan agar
gelombang ECoG dapat dipertahankan.
Kesimpulan: Agen anestesi dosis rendah seperti fentanil, alfentanil, remifentanil,
sufentanil dan propofol dapat digunakan untuk operasi epilepsi tanpa mempengaruhi
ECoG.