Kusta adalah penyakit infeksi kronik dipicu oleh kuman Mycobacterium leprae. Jumlah
angka kejadian kusta di Kabupaten Brebes pada Tahun 2018 di Kecamatan Larangan sebanyak 58
kasus tertinggi pertama, sedangkan Kecamatan Wanasari 41 kasus tertinggi kedua padahal kedua
wilayah memiliki karakteristik wilayah berbeda. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui
factor risiko yang berhubungan degan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas Larangan dan
Puksesmas Wanasari tahun 2020. Penelitian ini survey analitik dengan pendekatan kasus kontrol.
Besar sampel adalah 120 sampel yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis pekerjaan (p= 0,002), tingkat
pengetahuan (p= 0,0020, perosnal hygiene (p=0,001), peran petugas kesehatan (p=0,016), suhu
rumah (p=0,001), luas ventilasi ruangan (p=0,002), kepadatan hunian (p=0,020), dan jenis lantai
(p=0,007). Jenis pekerjaan, lama kontak, tingkat pengetahuan, personal hygiene, peran petugas
kesehatan, intensitas pencahayaan rumah, suhu rumah, luas ventilasi ruangan, kepadatan hunian
dan jenis lantai merupakan faktor risiko kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas Larangan dan
Puskesmas Wanasari. Saran dari penelitian ini adalah penempatan dan pemerataan tenaga
kesehatan, perlu ditingkatkannya sosialisasi tentang kusta dan rumah sehat serta melakukan
koordinasi lintas sektoral.
Kusta adalah penyakit infeksi kronik
yang dipicu oleh kuman Mycobacterium
leprae. Terutama
menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit dan jaringan tubuh lainnya,
seperti mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,
sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan
testis, kecuali susunan saraf pusat. Penyakit ini
merupakan penyakit infeksius dengan waktu
inkubasi yang panjang sampai bertahun-tahun.
Timbulnya Kusta merupakan suatu interaksi
antara berbagai faktor penyebab yaitu pejamu
(host), kuman (agent), dan lingkungan
(environment), melalui suatu proses yang
dikenal sebagai rantai penularan
Faktor utama kasus kusta tentu saja
sumber penular penyakitnya, yaitu kuman
Mycobacterium leprae. Namun demikian,
kuman ini memiliki ruang lingkup yang tidak
terpisah dari faktor-faktor lain. Faktor risiko lain
seperti etnik atau suku, faktor sosial ekonomi,
jenis kelamin, dan faktor menurut umur.
Menurut catatan sebagain besar negara di dunia
kecuali negara di Afrika menunjukkan bahwa
laki-laki lebih banyak terserang dibandingkan
dengan wanita. Sedangkan dari segi umur kusta
dapat terjadi pada semua umur antara bayi
sampai usia lanjut. Namun yang terbanyak
adalah pada umur muda dan produktif . serta faktor risiko lingkungan, seperti
kondisi geografis, demografis, dan iklim
memiliki andil yang cukup besar. Kualitas
lingkungan yang buruk seperti sumber air yang
tercemar, jenis lantai yang tidak memenuhi
syarat, suhu rumah yang berisiko kusta dan
penduduk yang padat merupakan lingkungan
yang sangat baik untuk perkembangbiakan dan
penularan penyakit kusta
Selain faktor lingkungan, faktor
pelayanan kesehatan memiliki peran yang
penting dalam penanganan kasus kusta,
termasuk jarak ke pelayanan kesehatan serta
peran petugas kesehatan. Jarak ke pelayanan
kesehatan berpengaruh terhadap kemampuan
seseorang untuk melakukan pengobatan atau
pelayanan kesehatan lainnya. Tenaga kesehatan
sangat berpengaruh dalam pengendalian
penyakit kusta Peran
petugas kesehatan yang baik dapat menekan
angka kejadian kusta, menentukan keberhasilan
pengobatan penderita kusta dan dapat
memberikan motivasi pada penderita untuk
melakukan pemeriksaan lanjut ke pelayanan
kesehatan sehingga meminimalisir penyebaran
penyakit kusta. Berdasrkan studi pendahuluan
untuk sistem surveilans kusta di Kabupaten
Brebes masih sangat sederhana untuk
pengumpulan data hanya dilakukan oleh
puskesmas, petugas belum menyadari
pentingnya data yang akurat dan lengkap untuk
pengambilan keputusan dan kurangnya
ketepatan waktu dalam pengumpulan informasi,
sudah melakukan penyuluhan kusta namun
dalam praktiknya kurang menjangkau seluruh
warga .
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia,
dengan sebagian besar kasus terdapa di daerah
tropis dan subtropis, namun dengan adanya
perpindahan penduduk maka penyakit ini bisa
menyerang dimana saja. Data yang dirilis oleh
World Health Organization (WHO)
menyebutkan bahwa pada tahun 2015 kusta
telah menyerang sekitar 210.758 jiwa, dan Asia
tenggara menempati posisi pertama (156.118)
diikuti regional Amerika (28.806) dan sisanya
berada di regional lainnya. negara kita menjadi
negara dengan jumlah kasus terbanyak ke tiga
(17.202) setelah India (127.326) dan Brazil
(26.395) dan merupakan salah satu negara yang
memiliki risiko cukup besar dengan penykit ini
Meskipun secara nasional negara kita
sudah mencapai eliminasi kusta pada bulan Juni
2000, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000
penduduk pada tahun 2000 namun sampai saat
ini jumlah penderita kusta di negara kita masih
cukup tinggi. Jumlah kasus kusta di negara kita
pada tahun 2018 dilaporkan sebanyak 19.033
kasus (0,72/10.000 penduduk). Adapun jumlah
kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di
provinsi dengan jumlah penduduk yang besar,
yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan JawaTengah .
Di Kabupaten Brebes, berdasarkan data
dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,
kabupaten ini menempati peringkat kedua
dalam hal kasus kusta terbanyak di Jawa
Tengah dengan prevalensi kasus kusta sebesar
23,4/100.000 penduduk (Dinkes Provinsi Jawa
Tengah, 2019). Selain itu, jumlah penemuan
kasus kusta di Kabupaten Brebes dari tahun
2016 sampai dengan tahun 2018 cenderung
mengalami peningkatan, mulai dari 230 kasus,
323 kasus, kemudian menjadi 422 kasus.
Kecamatan Wanasari dan Kecamatan Larangan
merupakan kecamatan dengan kasus kusta
tertinggi pertama dan kedua pada tahun 2018
(Dinkes Kabupaten Brebes, 2019).
Berdasarkan data penemuan kasus kusta
pada tahun 2017 di Kecamatan Larangan
sebanyak 31 kasus tertinggi keempat dan pada
tahun 2018 mengalami peningkatan menjadi 58
kasus tertinggi pertama. Kecamatan Larangan
merupakan kecamatan dengan jarak tempuh (29
km) dari ibukota Kabupaten Brebes. Kepadatan
penduduk di Kecamatan Larangan pada tahun
2018 sebesar 876 jiwa/km2 (BPS Kabupaten
Brebes, 2020). Sedangkan berdasarkan data
penemuan kasus kusta pada tahun 2017 di
Kecamatan Wanasari memiliki jumlah kasus
sebanyak 31 tertinggi kelima, dan pada tahun
2018 tertinggi kedua yaitu sebanyak 41 kasus
(Dinkes Kabupaten Brebes, 2019). Kecamatan
Wanasari merupakan kecamatan dengan jarak
tempuh (4 km) dari ibukota Kabupaten Brebes.
Kepadatan penduduk di Kecamatan Wanasari
pada tahun 2018 sebesar 2.022 jiwa/km2.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah belum pernah dilakukan
penelitian tentang variabel jarak rumah ke
pelayanan kesehatan dan peran tenaga
kesehatan dengan kejadian kusta. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadain kusta
di wilayah kerja Puskesmas Larangan dan
Puskesmas Wanasari Kabupaten Brebes tahun
2020. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti
kira perlu adanya penelitian lebih lanjut dan
lebih mendalam terkait dengan faktor risiko apa
saja yang berhubungan dengan kejadian kusta di
wilayah kerja Puskesmas Larangan dan
Puskesmas Wanasari di Kabupaten Brebes.
Jenis penelitian yang digunakan adalah
survey analitik, dengan rancangan penelitian
kasus kontrol untuk mengetahui faktor risiko
yang berhubungan dengan kejadaian kusta.
Pada penelitian ini fokus penelitiannya adalah
jenis pekerjaan, status ekonomi, personal
hygiene, tingkat pengetahuan, tingkat
pendidikan, jarak tempuh ke pelayanan
kesehatan, peran petugas kesehatan, kepadatan
hunian, luas ventilasi rumah, suhu kamar, dan
jenis lantai. Penelitian dilakukan pada bulan
Januari-Maret 2020 di wilayah kerja Puskesmas
Larangan dan Puskesmas Wanasari Kabupaten
Brebes.
Populasi kasus dalam penelitian ini
adalah jumlah seluruh penderita kusta di
wilayah kerja Puskesmas Wanasari dan
Puskesmas Larangan pada tahun 2018 dan 2019
yang berjumlah 142 orang. Populasi kontrol
dalam penelitian ini adalah bukan penderita
kusta yang tercatat dalam rekam medik
Puskesmas Larangan dan Wanasari Kabupaten
Brebes Tahun 2019. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan yaitu teknik purposive
sampling. Jumlah sampel pada penelitian ini 60
kasus dan 60 kontrol, dengan total secara
keseluruhan adalah 120 sampel.
Sumber data penelitian terdiri dari data
primer dan data sekunder. data primer
didapatkan melalui wawancara secara langsung
dan mendalam serta observasi dengan
responden/sampel penelitian, sedangkan data
sekunder data laporan kasus kusta Dinas
Kesehatan Kabupaten Brebes tahun 2019,
rekam medis penderita kusta yang ada di
Puskesmas Larangan dan Wanasari Kabupaten
Brebes. Teknik pengumpulan data melalui
empat cara, observasi, wawancara dengan
menggunakan kuisioner, pengukuran langsung
kondisi rumah, dan dokumentasi berupa
laporan catatan, berkas, atau bahan-bahan
tertulis lainnya. Teknik analisis data pada
penelitian ini diolah secara statistik dengan menggunakan program SPSS Windows 16.0 Uji
statistik yang digunakan dalam penelitian ini
adalah uji chi-square dan uji Fisher.
Menurut hasil penelitian di wilayah kerja
Puskesmas Larangan sebagian besar mata
pencaharian penduduknya adalah sebagai
petani atau buruh tani. warga Larangan
adalah daerah yang penduduknya sebagain
besar bermata pencaharian sebagai petani, ini
mencirikan bahwa Kecamatan Larangan
merupakan daerah agraris yaitu daerah
pertanian. Diketahui bahwa dalam warga
agraris di mana kehidupannya masih tergantung
pada hasil produksi tanah sebagai sarana
produksi pokok dan memiliki corak yang
homogen dalam mata pencaharian yaitu sebagai
petani. Wilayah dengan luas sawah lebih
banyak biasanya diikuti dengan mata
pencaharian penduduk di sekor pertanian, hal
ini didukung juga dengan kondisi geografis
berupa sawah yang luas sesuai dengan data
BPS Kabupaten Brebes Tahun 2019 sejumlah
2285,90 Ha. Pekerjaan dengan beban kerja yang
berat sehingga mengeluarkan tenaga berlebihan
yang selanjutnya dapat berdampak pada
penurunan stamina berakibat pada perubahan
sistem imun memicu pada terjadinya ENL
(Entrhema Nodosum Leprosum) sehigga mudah
terkena virus/bakteri
Selanjutnya seperti yang kita ketahui pekerjaan
sebagai buruh/tani seringkali kontak dengan
tanah dan juga lingkungan yang kotor, padahal
tanah dan lingkungan yang kotor merupakan
tempat yang baik untuk perkembangbaikan
bakteri. Hal ini dibenarkan penelitian yang
menyatakan bahwa bakteri kusta atau dikenal
mycobacterium leprae dapat hidup diluar tubuh
manusia, yaitu pada tanah hingga 46 hari
(
Berdasarkan Tabel 1, kelompok kasus
terdapat 31 orang (51,7%) yang berjenis kelamin
laki-laki dan 29 orang (48,3%) yang berjenis
kelamin perempuan, sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat 24 orang (40,0%) yang berjenis
kelamin laki-laki dan 36 orang (60,0%) yang
berjenis kelamin perempuan. Kelompok kasus
terdapat 8 orang (13,3%) yang tidak sekolah,
tamat SD sebanyak 28 orang (46,7%),
SMP/sederajat sebanyak 7 orang (11,7%) dan
yang SMA/sederajat sebanyak 17 orang
(28,3%). sedangakan pada responden kontrol
terdapat 11 orang (8,3%) yang tidak sekolah,
tamat SD sebanyak 20 orang (33,3%),
SMP/sederajat sebanyak 5 orang (8,3%),
SMA/sederajat sebanyak 19 orang (31,7%) dan
perguruan tinggi sebanyak 5 orang (8,3).
Kelompok kasus didapatkan paling banyak
bekerja sebagai petani/buruh tani sebanyak 30
orang (50,0%) dan pada kelompok kontrol
paling banyak bekerja sebagai petani/buruh tani
sebnayak 23 orang (38,3%).
Berdasarkan jenis pekerjaan hasil
menunjukkan bahwa jenis pekerjaan ada
hubungan dengan kejadian kusta di wilayah
kerja Puskesmas Larangan dan Puskesmas
Wanasari. Hal ini didasarkan pada hasil uji Chisquare diperoleh bahwa nilai p (0.002) < α (0,05)
maka Ho ditolak, berarti dapat diketahui ada
hubungan antara jenis pekerjaan dengan
kejadian Kusta. Nilai odd ratio (OR) 3,127
dengan 95% CI 1,523-6,795. Hal ini
menunjukkan bahwa responden dengan jenis
pekerjaan berisiko memiliki risiko 3,127 kali
lebih besar terkena penyakit kusta bila
dibandingkan dengan responden yang memiliki pekerjaan tidak berisiko. Hasil Penelitian ini
sesuai dengan penelitian yang dilakuan oleh
Aprliana (2019) yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara jenis pekerjaan dengan
kejadian kusta berdasarkan hasil uji chi-square
dengan p value 0,016<0,005 di wilayah kerja
Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun. Jadi
responden yang memiliki pekerjannya berisiko
(petani, buruh tani dll) memiliki risiko 4,571 kali
lebih besar terkena kusta dibandingkan dengan
responden yang pekerjaanya tidak berisiko
Hasil uji Chi-square untuk variabel tingkat
pendidikan diperoleh bahwa nilai p p (0.087) >
α (0,05) maka H0 diterima, berarti dapat
diketahui tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan kejadian Kusta. Tingkat
pendidikan akan berpengaruh pada
ketidakampuan dalam merubah pola pikir
seseorang dalam berorientasi pada masa depan,
dengan rendahnya tingkat pendidikan maka
warga tidak mempunyai akses informasi,
pengetahuan dan tekonologi, hal ini berkorelasi
dengan jenis pekerjaan yang dijelaskan diatas.
Sehingga akan mempengaruhi kemampuannya
dalam berpikir untuk beralih pekerjaan lain
selain petani. Berdasarkan hasil penelitian pada
daerah pedesaan responden kebanyakan tingkat
pendidikan sebatas tamat SD dan SMP.
Menurut peneliti alasan daerah pedesaan
memiliki tingkat pendidikan yang rendah adalah
faktor ekonomi. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang menyatakan faktor ekonomi
merupakan masalah utama warga tidak
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi
Hasil penelitian ini selaras dengan
penelitian dari di Kabupaten Rembang yang
menemukan bahwa tidak adanya hubungan
antara tingkat pendidikan dengan kejadian kusta
mengatakan bahwa tingkat pendidikan sebagai
salah satu unsur yang menentukkan
pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik
dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan
sosial, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
pendidikan rendah yang dimiliki penderita
seharusnya berhubungan dengan kejadian kusta.
Pada umumnya semakin tinggi pendidikan
seseorang maka semakin baik pula tingkat
pengetahuannya, dengan memberikan informasi
tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara
pemeliharaan kesehatan, cara menghindari
penyakit dan sebagainya akan meningkatkan
pengetahuan warga tentang hal tersebut
. Dalam hal ini,
pendidikan dianggap sebagai faktor substansial
dari kesadaran warga yang berkontribusi
terhadap eliminasi penyakit kusta. Hal ini
sejalan dengan penelitian di Brazil, dimana
pasien tidak melaporkan gejala yang mereka
miliki untuk mendapatkan pengobatan atau
bahkan tidak tahu bahwa mereka menderita
kusta karena kurangnya pengetahuan dan
kesadaran akan penyakit ini
Rendahnya pendidikan dapat pula
mengakibatkan lambatnya seseorang melakukan
pencairan pengobatan dan diagnosis penyakit,
sehingga mengakibatkan penderita kusta
mengalami kecacatan yang semakin parah.
W.S Winke menyatakan bahwa
pengertian status sosial ekonomi mempunyai
makna suatu keadaan yang menunjukan pada
kemampuan finansial keluarga dan
perlengkapan material yang dimilki, dimana
keadaan ini bertaraf baik, cukup, dan kurang
(Basrowi, 2010). Penyakit kusta adalah salah
satu manifestasi dari kemiskinan karena
sebagian besar penderita kusta berasal dari
golongan ekonomi lemah. Penyakit kusta jika
tidak ditangani dapat menyebabkan cacat, dan
hal tersebut menjadi penghalang bagi pasien
kusta untuk menjalani kehidupan
berwarga untuk memenuhi kebutuhan
sosial ekonominya. Penghasilan keluarga
merupakan faktor yang dianggap mewakili
keadaan sosio ekonomi keluarga dan
merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi keadaan kesehatan seseorang.
Pendapatan yang diterima seseorang akan
mempengaruhi daya beli terhadap barangbarang kebutuhan pokok dan barang-barang
kebutuhan lainnya seperti sandang (pakaian)
dan pangan (makanan).
Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai
p (0,095) > α (0,05) maka Ho diterima, berarti
dapat diketahui tidak ada hubungan antara
status ekonomi dengan kejadian Kusta. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian di
Kecamatan Mendahar Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang menyatakan bahwa hasil pvalue 0.350 artinya tidak terdapat hubungan
antara pendapatan keluarga dengan kejadian
kusta
Berdasarkan hasil observasi para
penderita kusta memiliki keluarga dengan
anggota 4-5 orang memiliki hanya satu tulang
punggung sehingga beban keluarga hanya
diberikan kepada satu orang, sedangkan
pekerjaanya sebagai petani, buruh tidak mampu
untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Untuk
mengkases pelayanan kesehatan, pemenuhan
gizi keluarga dan kondisi fisik rumah sangat
berkorelasi dengan status ekonomi. Sebagian
besar responden memiliki status ekonomi
rendah dengan penghasilan perbulan < UMR (
Rp. 1.665.000).
Penyakit kusta menyerang banyak di
negara berkembang dengan status ekonomi yang
rendah. Negara atau warga berstatus
ekonomi rendah, akan berakibat pada
pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan
tentang kesehatan dan lingkungan juga rendah,
sehingga menyebabkan keadaan kesehatannya
buruk. Hal ini mengakibatkan adanya populasi
berisiko tinggi terhadap penyait menular
termasuk penyakit kusta. Sudah diketahui
bahwa faktor sosial ekonomi sangat berperan
penting dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti
pada negara-negara di Eropa dengan adanya
peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian
kusta akan cepat menurun bahkan hilang. Kasus
kusta impor pada negara tersebut ternyata tidak
menularkan pada orang yang tingkat sosial
ekonominya tinggi. Kegagalan kasus kusta
impor untuk menularkan pada kasus kedua di
Eropa juga dipicu karena tingkat sosial
ekonomi yang tinggi.
Pengetahuan adalah hasil proses yang
dilakukan oleh penginderaan manusia terhadap
suatu objek melalui indera yang dimilikinya
(mata, hidung, telinga dan sebagainya)
(Notoatmodjo, 2010). Kemampuan seseorang
dalam mengetahui gejala, cara penularan
penyakit kusta dan penangannya dapat
dihasilkan dari pengetahuan yang baik. Hasil uji
Chi-square diperoleh bahwa nilai p (0.002) < α
(0,05) maka Ho ditolak, berarti dapat diketahui
ada hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan kejadian Kusta. Nilai odd ratio (OR)
3,361 dengan 95% CI 1,563-7,227. Hal ini
menunjukkan bahwa responden dengan tingkat
pengetahuan rendah memiliki risiko 3,361 kali
lebih besar terkena penyakit kusta bila
dibandingkan dengan responden yang memiliki
tingkat pengetahuan tinggi. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian di wilayah kerja
Puskesmas Bakunase Kota Kupang yang
menyatakan bahwa variabel pengetahuan
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian kusta karena memiliki nilai OR>1
yakni sebesar 18,16 terhadap Kejadian kusta di
Wilayah Kerja Puskesmas Bakunase Kota
Kupang tahun 2017 karena memiliki nilai p
value = 0,027 (p<0,05) (Salju, 2018).
Orang yang memiliki pengetahuan yang
tinggi tentang kusta cenderung akan mencoba
untuk menghindari dirinya dari berbagai faktor
yang dapat menyebabkan penularan (Sapriadi,
2019). Kemudian, pengetahuan tentang
penyakit kusta pasti juga mempengaruhi personal
hygiene seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pengamatan di lapangan,
kebanyakan responden melihat gejala kusta
sebagai penyakit kulit biasa seperti panu, kadas,
dan kurap sehingga mengalami keterlambatan
dalam pengobatan penyakit kusta, kemudian
dalam pengobatan juga tidak sesuai dengan
anjuran petugas kesehatan hal ini akan
berdampak dnegan resistennya bakteri kusta.
kurangnya pengetahuan peneliti mengira karena
akses menuju pelayanan kesehatan juga sulit
selain karena waktu tempuhnya serta jarak yang
sangat jauh juga tidak adanya angkutan umum
sehingga responden kurang mau
memeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan. Dari pihak puskesmas juga tidak
pernah memberikan penyuluhan tentang
penyakit kusta.
Responden dengan tingkat pengetahuan
yang baik memilki sumber informasi yang
lengkap dari media massa ataupun media
elektronik, serta adanya penyuluhan dan
sosialisasi akan memberikan dampak terhadap
peningkatan pengetahuan responden. Selain itu,
pengetahuan responden yang rendah juga
merupakan salah satu dampak dari rendahnya
pendidikan yang ditempuh oleh responden,
dimana pada penelitian ini responden sebagian
besar menempuh pendidikan tingkat SD dan SMP. Kusta sangat dekat kaitannya dengan
pengetahuan, dimana kusta sering terjadi pada
pasien yang memiliki pengetahuan yang rendah.
Karena ketidaktahuan maka mereka tidak
segera memeriksakan diri ke puskesmas atau
pelayanan kesehatan lainnya. Periode sebelum
penyembuhan adalah masa paling rentan untuk
menularkan kusta kepada orang lain (Marizal,
2020). Orang dengan pengetahuan yang tinggi
tentang kusta tentu akan mencoba menjauhkan
dirinya dari faktor yang dapat menjadi sumber
penularan penyakit kusta. Kemudian,
pengetahuan tentang penyakit juga sejalan atau
berbanding lurus dengan kebiasaan personal
hygiene di setiap hari (Sapriadi,
2019).Berdasarkan penelitian, dapat diketahui
bahwa perilaku higienis memiliki hubungan
signifikan dengan penularan kusta. Di samping
itu, pengetahuan yang baik harus diimbangi
dengan praktik yang baik pula.
Praktik personal hygiene bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan pada individu, dengan
kulit sebagai garis tubuh pertama yang
melakukan pertahanan melawan infeksi,
sehinga kebanyakan pasien kusta menderita
kecacatan pada kulit. Oleh karena itu personal
hygiene sangat penting bagi penderita kusta
adalah perawatan kulit. Perilaku atau kebiasaan
seseorang dalam menjalankan kehidupan seharihari berkaitan dengan kebersihan (personal
hygiene) yang juga dapat mempengaruhi
kesehatan seseorang.
Berdasarkan hasil penelitian berdasarkan
hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai p
(0.001) < α (0,05) maka Ho ditolak, berarti
dapat diketahui ada hubungan antara personal
hygiene dengan kejadian Kusta. Nilai odd ratio
(OR) 3,714 dengan 95% CI 1,746-7,900. Hal ini
menunjukkan bahwa responden dengan personal
hygiene buruk memiliki risiko 3,714 kali lebih
besar terkena penyakit kusta bila dibandingkan
dengan responden yang memiliki personal
hygiene baik. Hasil penelitian sejalan dengan
penelitian Akbar yang menyatakan ada
hubungan antara personal hygiene dengan
kejadian kusta hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
Juntinyuat mengungkapkan bahwa Personal
hygiene adalah faktor yang berhubungan dengan
kejadian kusta(OR=3,14 ; CI 95%, 1,066-9,267
p=0,035) (Akbar, 2020).
Pengetahuan akan hygiene akan
mempengaruhi praktik hygiene seseorang.
Namun, hal ini saja tidak cukup, karena
motivasi merupakan kunci penting dalam
pelaksanaan hygiene tersebut. Permasalahan
yang sering terjadi adalah ketiadaan motivasi
karena kurangnya pengetahuan. Dari hasil ini
dapat dilihat masih banyak responden yang
memiliki personal hygiene buruk. Banyak dari
mereka yang tidak mengetahui bahwa kebiasaan
menggunakan alat-alat pribadi (handuk, sabun,
sisir) bersama dapat menjadi salah satu media
penularan penyakit kusta. Saran dari peneliti
adalah pemberian pendidikan kesehatan
(khususnya tentang kebersihan
perseorangan/personal hygiene) yang diberikan
kepada warga , dimaksudkan untuk
membantu meningkatkan daya tahan tubuh
anggota keluarga di suatu warga terhadap
serangan kuman penyakit. Pendidikan
kesehatan tentang kebersihan perseorangan
yang dibangun di warga ini, sebagai salah
satu bentuk implementasi dari program
Kementerian Kesehatan tentang Pola Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) yang berdampak pada
pengurangan angka kejadian penyakit.
warga memerlukan peran petugas
kesehatan dalam mewujudkan suatu perilaku
yang berhubungan dengan kesehatan.
Seharusnya peran petugas kesehatan yang baik
cenderung menciptakan perilaku yang baik pula.
Peran petugas kesehatan sudah baik pada
warga perkotaan, hal ini dapat dipengaruhi
oleh pengetahuan dan sikap warga rural
mengenai perilaku pencegahan kusta yang
kurang baik sehingga dorongan dari petugas
kesehatan sudah mampu mengubah perilaku
warga untuk menjadi baik. Berdasarkan
wawancara dengan responden pernah dilakukan
pemantauan kontak dengan penderita kusta,
kunjungan ke penderita kusta dilakukan rutin,
namun tidak dilakukan upaya promosi
kesehatan.
Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa
nilai p (0,016) < α (0,05) maka Ho ditolak,
berarti dapat diketahui ada hubungan antara
peran petugas kesehatan dengan kejadian Kusta.
Nilai odd ratio (OR) 2,466 dengan 95% CI 1,172-5,188. Hal ini menunjukkan bahwa
responden dengan peran tenaga kesehatan
kurang memiliki risiko 2,466 kali lebih besar
terkena penyakit kusta bila dibandingkan
dengan responden yang memiliki peran tenaga
kesehatan baik. Penelitian ini selaras dengan
penelitian yang dilakukan Khotimah yang
menjelaskan bahwa peran tenaga kesehatan
bermakna terhadap kepatuhan minum obat
pada pendeita kusta dengan diperoleh nilai pvalue (0,001), nilai OR sebesar 3,143 dan nilai
(95% CI= 2,039-4,844) (Khotimah, 2014).
Peneliti menyimpulkan bahwa peran tenaga
kesehatan yang kurang baik dipicu pula
akses menuju pelayanan kesehatan juga kurang
baik, selain itu petugas kesehatan
penanggungjawab program kusta juga bertugas
untuk program lain sehingga beban kerja terlalu
berat. Hal ini akan berdampak pada kurangya
edukasi kepada warga , jarang melakukan
kunjungan pada penderita kusta. Peranan
petugas kesehatan dalam melayani pasien kusta
dapat membangun hubungan yang baik dengan
pasien. Selain peran dalam pengobatan, peran
petugas kesehatan memiliki peran yang besar
dalam upaya pemberantasan penyakit kusta
adalah menurunkan angka kejadian kusta, dan
menentukan keberhasilan pengobatan kusta.
Dengan adanya peran petugas kesehatan dapat
memberikan motivasi pada penderita untuk
melakukan pemeriksaan ke pelayanan
kesehatan, selain itu juga memberikan motivasi
untuk melakukan kegiatan pencegahan penyakit
kusta. namun kurang efektif dikarenakan
lingkungan puskesmas Larangan sangat luas
dan kurangnya petugas kesehatan sehingga
peran petugas tidak maksimal.
Akses fisik terkait dengan ketersediaan
pelayanan kesehatan, atau jaraknya terhadap
pengguna pelayanan. Akses fisik dapat dihitung
dari waktu tempuh, jarak tempuh, jenis
transportasi, dan kondisi di pelayanan
kesehatan, seperti jenis pelayanan, tenaga
kesehatan yang tersedia dan jam buka. Jarak
rumah ke pelayanan kesehatan adalah seberapa
jauh lintasan yang ditempuh responden menuju
ke tempat pelayanan kesehatan meliputi
puskesmas, rumah sakit, dan lainnya. Hasil uji
Chi-square diperoleh bahwa nilai p (0.062) > α
(0,05) maka Ho diterima, berarti dapat
diketahui tidak ada hubungan antara jarak
rumah ke pelayanan kesehatan dengan kejadian
Kusta.
Berdasarkan penelitian dapat diketahui
bahwa jarak rumah ke pelayanan kesehatan
rata-rata memiliki akses yang jauh dari rumah
responden. Jarak yang dekat dapat
memudahkan responden untuk mendapatkan
pelayanan sehingga mudah dalam mencari
pengobatan akan keluhan yang dirasakan
responden. Pelayanan kesehatan warga
khususnya bagi golongan warga sosial
rendah harus lebih dekat sehingga pelayanan
kesehatan tersebut dapat dengan mudah
diterima dan diakses oleh warga . Jarak
merupakan penghalang yang meningkatkan
kecenderungan penundaan upaya seseorang
atau warga dalam mencari pelayanan
kesehatan. warga diharapkan dapat
memanfaatkan pelayanan kesehatan berupa
(dalam hal ini puskesmas) untuk keluarganya,
jika jarak tempat tinggalnya tidak terlalu jauh
dari pusat pelayanan kesehatan. warga
yang tempat tinggalnya dekat dengan
puskesmas memiliki peluang lebih besar dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan
dibandingkan warga yang bertempat
tinggal jauh kaitannya adalah dengan
pencegahan penyakit kusta. Dalam
pemanfaatan pelayanan kesehatan terkadang
akses yang sulit terhadap pelayanan kesehatan
sangat mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan untuk memanfaatkan pelayanan
kesehatan Puskesmas.
Suhu adalah besaran yang menyatakan
derajat panas atau dingin sutau benda dan alat
yang digunakan untuk mengukur suhu adalah
termohygrometer (Indrawati, 2019). Rata-rata
suhu rumah di wilayah pedesaan adalah 30,1 0C
sedangkan pada daerah perkotaan suhu rataratanya adalah 320C hal ini sangat berpengaruh
terhadap bakteri kusta.
Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai
p (0.001) < α (0,05) maka Ho ditolak, berarti
dapat diketahui ada hubungan suhu rumah
dengan kejadian Kusta. Nilai odd ratio (OR)
4,363 dengan 95% CI 1,938-11,092. Hal ini
menunjukkan bahwa responden dengan suhu
rumah berisiko kusta memiliki risiko 4,363 kali
lebih besar terkena penyakit kusta bila dibandingkan dengan responden yang memiliki
suhu rumah tidak berisiko kusta. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian di Kecamatan
Winongan Kabupaten Pasuruan Tahun 2018
berdasarkan hasil uji chi square didapatkan hasil
0,004 < 0,05 dengan hasil ada hubungan antara
kejadian kusta dengan suhu rumah. Nilai rasio
Odds mengatakan bahwa responden yang tidak
memiliki suhu rumah sesuai dengan persyaratan
33 kali lebih berisiko terhadap kejadian kusta
daripada responden yang memiliki suhu rumah
sesuai dengan persyaratan (Latifah, 2020).
Berdasarakan penelitian di lapangan pada
wilayah kerja Puskesmas Wanasari berada pada
dataran rendah dekat dengan pantai sehingga
sedikit banyak mempengaruhi suhu di
lingkungan tersebut, sedangkan pada daerah
pedesaan wilayah ada yang berada pada dataran
tinggi. Sebagian besar didapatkan bahwa suhu
rumah melebihi suhu yang berisiko yaitu 270 C-
300 C. Pertumbuhan optimal in vivo
Mycobacterium Leprae pada tikus yaitu pada
suhu ruang yaitu 27-30ºC, sehingga hal ini
dapat dikatakan bahwa kuman kusta dapat
hidup pada suhu udara yang nyaman yang telah
ditetapkan oleh pemerintah, akan namun kuman
kusta dapat tumbuh secara optimal pada suhu
31-37ºC, diluar tubuh manusia (dalam kondisi
tropis) kuman kusta dan sekret nasla dapat
bertahan hidup sampai 9 hari (Amirudin, 2012).
Selain itu ketidakseimbangan antara luas rumah
dengan jumlah penghuni akan menyebabkan
suhu di dalam rumah menjadi tinggi dan hal ini
yang dapat mempercepat penularan suatu
penyakit (Siswanti, 2018). Upaya penyehatan
yang bisa dilakukan jika suhu diatas 30ºC
dengan cara meningkatkan sirkulasi udara
dengan menambah ventilasi mekanik atau
buatan dan apabila suhu kurang dari 18ºC dapat
dilakukan dengan menggunakan pemanas
ruangan dengan menggunakan sumber energy
yang aman bagi lingkungan dan kesehatan.
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi
kondisi atmosfer yang menyenangkan dan
menyehatkan manusia. Fungsi ventilasi udara
adalah untuk menjaga agar aliran udara di
dalam rumah tetap segar. Kurangnya ventilasi
udara akan menyebabkan kelembaban udara di
dalam ruangan naik karena rendahnya cahaya
matahari yang masuk dan terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit penyerapan.
Kelembaban ini akan merupakan media yang
baik untuk perkembangan Mycobacterium Leprae.
Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai
p (0.002) < α (0,05) maka Ho ditolak, berarti
dapat diketahui ada hubungan luas ventiasi
ruangan dengan kejadian Kusta. Nilai odd ratio
(OR) 3,237 dengan 95% CI 1,529-6,853. Hal ini
menunjukkan bahwa responden dengan luas
ventilasi ruangan tidak memenuhi syarat
memiliki risiko 3,237 kali lebih besar terkena
penyakit kusta bila dibandingkan dengan
responden yang memiliki luas ventilasi ruangan
memenuhi syarat. Hasil penelitian tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan di Puseksmas
Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara kelembaban dengan kejadian penyakit
kusta (p value > α (0,05) (Wulansari, 2020).
Lokasi pada penelitian di wilayah kerja
Puskesmas Wanasari merupakan daerah pesisir
dengan suhu yang tinggi dan cuaca sangat
panas. Suhu rata-rata di lokasi penelitian diatas
32,5ºC. Luas ventilasi udara akan
mempengaruhi faktor lingkungan lainnya
berupa suhu, kelembaban, pencahyaan, kondisi
lantai dan sebagainya. Melalui ventilasi yang
cukup maka pertukaran udara semakin baik dan
cahaya matahari akan menyinari ruangan
rumah yang dapat membunuh kuman-kuman
kusta. Oleh karena itu penderita kusta dan
keluarga perlu memahami cara penggunaan
ventilasi udara yang baik yaitu ventilasi udara
atau jendela harus dibuka setiap harinya agar
cahaya matahari masuk ke dalam rumah.
Meskipun luas ventilasi memenuhi syarat namun
apabila tidak berfungsi sebagaimana mestinya
maka tidak akan berdampak apa-apa terhadap
kondisi rumah.
Kepadatan hunian rumah adalah
perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah
tinggal. Luas rumah yang tidak sebanding
dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan
penjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat
karena disamping menyebabkan kurangnya
oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi akan mudah
menularkan ke anggota keluarga yang lain.Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai
p (0,020) < α (0,05) maka Ho ditolak, berarti
dapat diketahui ada hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian Kusta. Nilai odd ratio
(OR) 2,513 dengan 95% CI 1,144-5,517. Hal ini
menunjukkan bahwa responden dengan
kepadatan hunian tidak memenuhi syarat
memiliki risiko 2,513 kali lebih besar terkena
penyakit kusta bila dibandingkan dengan
responden yang memiliki kepadatan hunian
memenuhi syarat. Hasil penelitian selaras
dengan penelitian Akbar (2020) yang
menunjukkan hasil uji statistik diperoleh nilai
(OR=3,50 ; CI 95%, 1,112-11,017 p=0,028) hal
ini berarti responden dengan kepadatan hunian
tidak memenuhi standar 3,50 kali berisiko lebih
besar untuk menderita penyakit kusta
dibandingkan responden dengan kepadatan
hunian yang kepadatan hunian memenuhi
standar. Selain itu nilai p-value = 0,0028 < α
(0,05) sehingga kepadatan hunian merupakan
faktor risiko terhadap kejadian kusta di wilayah
kerja Puskesmas Juntinyuat (Akbar, 2020).
Kepadatan hunian rumah akan
memudahkan terjadinya penularan penyakit
seperti kusta. Koloni bakteri dan kepadatan
hunian per meter persegi memberikan efek
sinergis menciptakan sumber pencemar yang
berpotensi menekan reaksi kekebalan bersama
dengan terjadinya peningkatan bakteri patogen
dengan kepadatan hunian pada setiap keluarga.
Bakteri kusta di rumah penderita kusta semakin
banyak, bila jumlah penghuni semakin banyak
jumlahnya. Kondisi kepadatan hunian rumah
penduduk di lokasi penelitian sebagian besar
rumah penduduk dihuni 1-3 kepala keluarga
dimana masing-masing beranggotakan 4-6
anggota keluarga dan menempati ruangan yang
kurang dari 9m². Kepadatan penghuni dalam
satu rumah tinggal akan menyebabkan
kurangnya konsumsi oksigen dan akan
mempermudah penularan kusta kepada anggota
keluarga yang lain. Menurut teori bahwa rumah
yang dihuni oleh orang banyak berpotensi
terhadap penularan penyakit dan infeksi serta
bertambahnya kadar O2
, uap air dan suhu. Oleh
sebab itu kepadatan hunian dalam rumah
tempat tinggal merupakan variabel yang
berperan dalam kejadian kusta (Patmawati &
Setiani, 2015).
Rumah sehat memiliki lantai kedap air
dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki
peran terhadap proses kejadian penyakit kusta,
melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai
tanah cenderung menimbulkan kelembapan,
pada musim panas lantai menjadi kering
sehingga dapat menimbulkan debu yang
berbahaya bagi penghuninya. Lantai yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dapat dijadikan
tempat berkembangbiaknya kuman dan vektor
penyakit, menjadikan udara dalam rumah
menjadi lembab. Lantai rumah perlu dibuat dari
bahan yang kedap terhadap air seperti tegel,
semen atau keramik. Lantai yang jarang
dibersihkan, banyak mengandung debu dan
lembab, tanah yang berasal dari berbagai tempat
dan mengandung bakteri, dan lantai yang basah
merupakan sarang penyakit (Notoatmodjo,
2010).
Hasil uji Chi-square diperoleh bahwa nilai
p (0.007) < α (0,05) maka Ho ditolak, berarti
dapat diketahui ada hubungan antara jenis
lantai rumah dengan kejadian Kusta. Nilai odd
ratio (OR) 5,255 dengan 95% CI 1,413-19,544.
Hal ini menunjukkan bahwa responden dengan
jenis lantai yang tidak memenuhi syarat
memiliki risiko 5,255 kali lebih besar terkena
penyakit kusta bila dibandingkan dengan
responden yang memiliki jenis lantai
memenuhi syarat. Hasil penelitian ini selaras
dengan penelitian yang dilakukan di Puskesmas
Bandarharjo yang menyatakan bahwa dari hasil
analisis bivariat jenis lantai dengan kejadian
kusta diperoleh bahwa ada hubungan antara
jenis lantai rumah dengan kejadian kusta p
(0.007) < α (0,05). Responden yang memiliki
lantai rumah tidak kedap air memiliki risiko
5,43 lebih besar terkena penyakit kusta
dibanding responden yang memiliki lantai
rumah kedap air (Siswanti & Wijayanti, 2018).
Sejalan dengan penelitian di Puskesmas Bonang
II yang menyatakan sebagian besar penderita
kusta mempunyai jenis lantai yang tidak
memenuhi syarat (Prasetyaningtyas, 2017).
Kondisi ini akan mempermudah
perkembangbiakan bakteri di dalam tanah
karena lantai yang kondisinya seperti itu tidak
dapat dibersihkan dengan desinfektan ataupun
lisol, karena terbuat dari tanah ataupun plester
yang sudah rusak serta retak.Jenis lantai yang tidak memenuhi syarat
merupakan tempat tinggal yang baik bagi
kuman kusta. Oleh karen itu penderita kusta
harus memperhatikan kondisi lantainnya dan
perlu dijaga kebersihannya setiap hari dan
mengusahakan penggunaan ventilasi udara
untuk mengurangi kelembaban dalam rumah.
Berdasarkan teori, lantai rumah yang
menggunakan tanah memiliki risiko tinggi
terhadap kejadian kusta karena lantai yang tidak
memenuhi syarat merupakan media yang baik
untuk perkembangan Mycobacterium leprae. Hal
ini dipicu karena Mycobacterium leprae dapat
bertahan hidup di tanah hingga 46 hari. Selain
itu, Mycobacterium leprae mampu tumbuh diluar
tubuh manusia dan dapat ditemukan di tanah
atau debu. Jenis lantai yang digunakan
responden ada yang masih menggunakan tanah
atau tidak kedap air. Kondisi lantai seperti ini
akan sulit atau bahkan tidak dapat dibersihkan
dengan desinfektan. Lingkungan rumah yang
buruk dapat menyebabkan berbagai jenis
penyakit muncul. Lantai rumah yang tidak
kedap air akan menyerap air dari tanah sehingga
meningkatkan kelembaban dan dapat bertindak
sebagai reservoir untuk Mycobacterium leprae.
kusta23
Penyakit kusta merupakan penyakit menular, menahun disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium leprae) yang bersifat intraseluler obligat. Salah satu dampak dari penyakit
kusta yaitu kecacatan yang dapat berupa cacat tingkat 0, tingkat 1 dan tingkat 2 yang
dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, tipe kusta, lama menderita dan pengobatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dan korelasional mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan tingkat kecacatan klien kusta di Kelurahan Bitahan RT 11 dan 12
wilayah kerja Puskesmas Lokpaikat tahun 2015. Jenis penelitian kuantitatif dengan rancangan
penelitian deskriptif korelasional dan dengan metode pendekatan retrospektif. Metode
pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling yang berjumlah 44 responde. Proses
pengumpulan data menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Data yang diperoleh
kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan uji chi-square atau koefisien kontingensi
dengan tingkat kepercayaan 95%, signifikansi ditentukan jika ρ kurang dari 0,05. Hasil
penelitian menunjukan bahwa variabel usia diperoleh hasil (ρ=0,627), variabel jenis kelamin
diperoleh hasil (ρ=0,438), variabel tipe kusta diperolah hasil (ρ=0,021), variabel lama menderita
diperoleh hasil (ρ=0,007), variabel pengobatan diperolah hasil (ρ=0,520). Disarankan kepada
pemberi pelayanan kesehatan, agar meningkatkan pemberian informasi kepada warga
melalui penyuluhan agar memahami pentingnya pengobatan secara dini dan teratur.Penyakit kusta atau lepra atau disebut juga
penyakit moorbus hansen yaitu penyakit
menular, menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang
bersifat intraseluler obligat. Penyakit
menular yaitu suatu penyakit yang dapat
menyebar dari seseorang yang menderita
penyakit ke orang lain yang belum
menderitanya. Klien kusta dapat
menularkan penyakit kepada warga di
sekitar yang ditentukan oleh faktor
lingkungan dan imunitas. (Kemenkes,
2012).
Penularan penyakit kusta oleh klien akan
menimbulkan beberapa masalah yang akan
mengakibatkan klien kusta menjadi suatu
population at risk. Masalah yang dimaksud
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial, ekonomi, budaya,
keamanan dan ketahanan. Permasalahan
penyakit kusta yang sangat komplek terkait
dengan kehidupan klien kusta yang terjadi
secara fisik, psikologis dan sosial di
komunitas membutuhkan penanganan yang
menyeluruh. Permasalahan fisik penyakit
kusta terkait dengan lesi pada kulit dan
kecacatan fisik (Suryanda, 2007 dalam
Susanto, 2013).
Kecacatan seringkali dialami oleh banyak
klien kusta sebelum mendapatkan
pengobatan karena lemahnya kesadaran dari
klien, keluarga, bahkan warga
terhadap penyakit kusta. Bayangan cacat
kusta menyebabkan klien seringkali tidak
dapat menerima kenyataan bahwa ia
menderita kusta. Akibatnya akan ada
perubahan mendasar pada kepribadian dan
tingkah lakunya dan klien berusaha untuk
menyembunyikan keadaannya sebagai klien
kusta. Hal ini tidak menunjang proses
pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya
akan memperbesar resiko timbulnya cacat
(Kemenkes, 2012).
WHO (1998) membagi cacat kusta menjadi
tiga tingkatan yaitu cacat tingkat 0 berarti
tidak ada cacat, cacat tingkat 1 berarti cacat
yang disebabkan oleh kerusakan saraf
sensoris yang tidak terlihat seperti
hilangnya rasa raba pada kornea mata,
talapak tangan dan telapak kaki. Cacat
tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang
terlihat pada mata, tangan maupun kaki.
Tingkat cacat digunakan untuk menilai
kualitas penanganan pencegahan cacat yang
dilakukan oleh petugas. Fungsi lain dari
tingkat cacat yaitu untuk menilai kualitas
penemuan dengan melihat proporsi cacat
tingkat 2 diantara penderita baru
(Kemenkes, 2012).
Angka proporsi cacat tingkat II yang tinggi
mengindikasikan adanya keterlambatan
dalam penemuan klien yang dapat
diakibatkan oleh rendahnya kinerja petugas
dan rendahnya pengetahuan warga
mengenai tanda-tanda dini penyakit kusta.
Hasil studi pendahuluan tanggal 20
Desember 2014 menyebutkan bahwa dari
13 puskesmas yang terdapat di Kabupaten
Tapin, Puskesmas Lokpaikat merupakan
salah satu Puskesmas dengan jumlah klien
kusta terbanyak, dikarenakan Kelurahan
Bitahan Rt 11 dan 12 pernah dijadikan
sebagai tempat lokalisasi klien kusta.
Sampai tahun 2015 tercatat tersisa 50 klien
kusta yang pernah menjalani pengobatan
dan masih hidup dan berada kelurahan
Bitahan Rt 11 dan 12 dengan cacat tingkat
II tercatat sebanyak 32 klien kusta. Pada
tahun 2014 di wilayah kerja Puskesmas
Lokpaikat masih terdapat 3 klien kusta yang
sedang menjalani regimen pengobatan.
Petugas kesehatan pemegang program kusta
mengatakan bahwa klien kusta di Lokpaikat
banyak yang menderita tipe kusta
Multibasiler sehingga resiko untuk terkena
cacat lebih besar dan beresiko menularkan
kepada orang lain. Dikatakan bahwa klien
kusta menderita kecacatan akibat
terlambatnya penemuan kasus ketika berada
di daerah asal masing-masing dan
rendahnya pengetahuan warga tentang
kusta. Hal ini juga di dukung dengan melakukan
wawancara kepada 10 klien kusta, banyak
diantaranya yaitu berjenis kelamin wanita
yaitu sebanyak 7 orang dengan kisaran
umur berkisar antara 40-60 tahun.
Didapatkan hasil mereka mengatakan ketika
terdapat bercak kulit mati rasa mengira
panu dan penyakit kulit biasa dan kecacatan
yang dialami dikarenakan terlambat berobat
ke Puskesmas dan tidak ada pengobatan
secara gratis di daerah asal mereka masingmasing. Berdasarkan wawancara dengan
seorang ibu yang mempunyai anak
menderita kecacatan, ibu mengatakan
ketika mengandung tidak mengetahui
bahwa ibu dan suaminya sedang menderita
kusta. Ketika melahirkan terdapat bercak
pada lengan bayi tersebut. Bidan hanya
mengira bercak tersebut merupakan tanda
lahir, ketika dewasa hingga anak tersebut
menderita kecacatan baru diketahui
menderita kusta dan dibawa ketempat
penampungan dan mendapatkan
pengobatan. Berdasarkan wawancara
tersebut diketahui bahwa rendahnya
pengetahuan warga maupun petugas
kesehatan dalam mendeteksi kasus kusta
sehingga diagnosis yang lambat
mengakibatkan kuman kusta mengalami
progresifitas dan dapat mengakibatkan
kecacatan pada klien kusta. Berdasarkan
hasil observasi yang dilakukan didapatkan
hasil bahwa banyak klien kusta yang
mengalami jari-jari kiting lengkap dan kaki
semper dan beberapa klien kusta juga tidak
memiliki jari-jari tangan karena pernah
melakukan bedah rekonstruksi.Dari 44 responden yang diteliti umur ketika
pertama kali ditemukan oleh petugas
kesehatan dan mendapatkan pengobatan
terbanyak pada usia dewasa awal (18-40
tahun) sebanyak 20 responden (45,5%).
Penentuan distribusi umur berdasarkan
pertama kali responden timbul penyakitnya
sangat sulit diketahui. Umur pada klien
kusta berkembang dengan karakteristik
yang beragam mulai dari anak-anak sampai
dengan lanjut usia. Faktor usia yang sangat
beresiko untuk tertular pada populasi kusta
yaitu kelompok usia anak-anak dan
dewasa (Susanto, 2013). Penyakit kusta
dapat menyerang semua umur (3 minggu
sampai 70 tahun), terbanyak pada umur
muda dan produktif. Frekuensi tertinggi
terdapat pada kelompok umur antara 25-35
tahun. Di Indonesia klien anak-anak
dibawah umur 14 tahun didapatkan ±
11,39%, tetapi anak dibawah 1 tahun jarang
sekali ditemukan (FKUI, 2009).
Penelitian Kattan et al (2006) cit
Nurkasanah (2013) di India Selatan
kebanyakan klien kusta berumur 10–14
tahun, kemudian menurun pada kelompok
umur berikutnya dan akan meningkat
kembali pada umur 20–60 tahun. Pola
distribusi sesuai kelompok umur tersebut
hampir sama pada kebanyakan negara
endemis kusta. Hasil ini sesuai dengan
penelitian di Kota Makassar tahun 2013
yang menunjukkan bahwa umur merupakan
faktor protektif kejadian penyakit kusta.
Artinya, responden yang berumur 0-14
tahun dapat tercegah dari penyakit kusta.
Hal ini dapat disebabkan oleh masa
inkubasi penyakit kusta yang lama dan
lambat (Susanto,2013).
Hasil penelitian ini bertentangan dengan
teori bahwa infeksi oleh kuman kusta lebih
mudah pada anak-anak yang memiliki
sistem imun yang belum sempurna. Pada
penelitian ini pravelensi responden yang
ditemukan oleh petugas kesehatan pada
masa anak-anak (0-17 tahun) hanya
berjumlah 12 responden (27,3%). Menurut
Kumar, et al, (2005) cit Manyullei (2012)
pravelensi kusta lebih tinggi terjadi pada
umur 18 tahun kebawah. Faktor umur
berkaitan dengan sistem imun pada anak
yang belum berkembang dengan baik.
Selain itu anak-anak masih rentan terhadap trauma infeksi yang dapat memfasilitasi
terjadinya transmisi kusta.
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin
Jenis Kelamin F
Persentase
(%)
Laki-laki 28 63.6
Perempuan 16 36.4
Total 44 100
Dari 44 responden yang diteliti diketahui
bahwa responden terbanyak yaitu laki-laki
berjumlah 28 responden (63,6%).
Penelitian ini menunjukan bahwa jenis
kelamin yang terbanyak menderita kusta
berada pada golongan laki-laki. Dimana
dari hasil tersebut membuktikan bahwa
laki-laki lebih banyak beraktifitas
dilingkungan yang berpopulasi dan
berkontaminasi dengan berbagai penyakit
terutama klien kusta maupun dengan
mantan klien kusta. Sedangkan perempuan
paling sedikit yaitu 16 responden (36,4%)
disebabkan perempuan lebih banyak
beraktifitas didalam rumah.
Perempuan merupakan seseorang yang
sangat memperhatikan kesehatannya dan
citra tubuh. Demikian juga terdapat masalah
kesehatan yang berhubungan dengan
kulitnya. Ketika perempuan mendapatkan
tanda penyakit kusta berupa bercak kulit
mati rasa hal tersebut tentu akan
berpengaruh terhadap citra tubuhnya
sehingga mereka tidak akan tinggal diam
dan mencari bantuan untuk mengatasi
masalah tersebut yang salah satunya pergi
ke pusat kesehatan atau Puskesmas. Selum
(2012) menjelaskan bahwa jika jumlah
klien kusta laki-laki lebih banyak, maka ada
beberapa sebab antara lain laki-laki
mempunyai aktivitas diluar rumah yang
lebih sering dibanding dengan perempuan,
sehingga laki-laki lebih rentan untuk
tertular penyakit kusta. Pemeriksaan
terhadap perempuan kurang maksimal
karena faktor budaya tertentu, hal ini
menyebabkan kasus kusta pada perempuan
tidak terdeteksi secara maksimal. Wanita
yang biasa menutup tubuhnya dengan rapat
juga mempunyai kemungkinan lebih kecil
untuk terjadinya kontak kulit dengan klien
kusta. Menggunakan pakaian pelindung dan
alas kaki dapat membantu mengurangi
kemungkinan penularan kusta, mengingat
kuman M.leprae dapat hidup pada
lingkungan diluar tubuh manusia/tanah
selama 46 hari (Amirrudin, 2012).
Distribusi Responden Berdasarkan Tipe
Kusta
Tipe Kusta F
Persentase
(%)
Paubasiler (PB) 6 13.6
Multibasiler (MB) 38 86.4
Total 44 100
Dari 44 responden yang diteliti diketahui
bahwa responden terbanyak menderita
kusta tipe Multibasiler (MB) sebanyak 38
responden (86,4%). Berdasarkan hasil
observasi dan wawancara dengan responden
ketika penelitian di Kelurahan Bitahan RT
11 dan 12 didapatkan bahwa sebagian besar
responden merupakan status sosial ekonomi
rendah. Klien kusta yang sudah lanjut usia
dan menderita kecacatan serta tidak bisa
bekerja lagi dalam memenuhi kebutuhan
mendapatkan bantuan hidup dari
Pemerintah Kabupaten Rantau. Kondisi
status sosial ekonomi yang rendah tentunya
akan memberikan pengaruh terhadap
pemenuhan nutrisi dan status gizi klien
yang akan memberikan pengaruh nyata
terhadap daya tahan tubuh klien tersebut.
Depkes (2007) menyebutkan hanya sedikit
orang yang akan terjangkit kusta setelah
kontak dengan penderita, hal ini disebabkan
karena adanya imunitas. M.leprae termasuk
kuman obligat intraseluler dan sistem
kekebalan yang efektif yaitu sistem
kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti
pubertas, menopause, kehamilan, serta
faktor infeksi dan malnutrisi dapat
meningkatkan perubahan klinis penyakit
kusta. Kemenkes (2012) menyebutkan
penjamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi merupakan kelompok terbesar yang
telah atau akan menjadi resisten terhadap
kuman kusta, penjamu yang mempunyai
kekebalan rendah terhadap kuman kusta
biasanya hanya akan menderita kusta tipe
Paubasiler (PB), sedangkan seseorang yang
tidak mempunyai kekebalan terhadap
kuman kusta bila terpapar kuman akan
menderita kusta tipe Multibasiler (MB)
yaitu tipe kusta yang banyak mengandung
kuman Mycobacterium Leprae.
Seperti halnya terhadap penyakit-penyakit
lainnya maka terhadap kuman-kuman kusta
tubuh manusia mempunyai daya tahan dan
kerentanan tubuh sendiri-sendiri. Untuk
melindungi tubuh dari serangan M.leprae
dengan sendirinya sistem imun seluler
sangat diharapkan dapat membasmi kuman
M.leprae. Status gizi pada pasien kusta
memiliki pengaruh nyata terhadap daya
tahan tubuhnya. Hal ini disebabkan status
gizi yang baik yaitu proteksi yang baik
untuk melawan virus patogen dalam tubuh.
Sistem imunologi yang didukung
sepenuhnya oleh protein tubuh akan
memberikan pertahanan maksimal dan
mengurangi efek kerusakan jaringan akibat
infeksi virus dan bakteri oleh tubuh.
Interaksi antara infeksi termasuk penyakit
kusta dan gizi di dalam tubuh seseorang
dikemukakan sebagai suatu peristiwa
sinergistik. Selama terjadinya infeksi status
gizi akan menurun dan dengan menurunnya
status gizi, orang tersebut menjadi kurang
resisten terhadap infeksi. Respon imun
menjadi kurang efektif dan kuat ketika
seseorang mengalami gizi kurang
Distribusi Responden Berdasarkan
Lama Menderita Kusta
Lama Menderita Kusta F
Persentase
(%)
< 1 tahun 9 20,5 9 20.5
≥ 1 tahun 35 79,5 35 79.5
Total 44 100
Dari 44 responden yang diteliti diketahui
bahwa responden yang memiliki riwayat
lamanya menderita kusta terbanyak
menderita kusta ≥ 1 tahun sebanyak 35
responden (79,5%). Sebagian besar
penderita kusta di Kelurahan Bitahan RT 11
dan 12 mempunyai pendidikan tidak
sekolah atau tamat SD sehingga
menyebabkan rendahnya pengetahuan
warga tentang tanda dan gejala kusta
menyebabkan klien sudah ditemukan dalam
keadaan cacat ketika pertama kali datang ke
Puskesmas.
Lama menderita oleh klien kusta menderita
kusta sampai ditemukan oleh petugas
kesehatan dan menjalani pengobatan
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
klien tidak mengerti tanda dini kusta berupa
bercak-bercak kulit mati rasa, malu karena
klien sudah dalam keadaan cacat, klien
yang tidak mengetahui bahwa terdapat obat
yang tersedia secara Cuma-Cuma di
Puskesmas. Faktor lain yang juga menjadi
penghambat klien datang ke pusat
kesehatan yaitu jarak antara tempat
tinggal dengan sarana kesehatan cukup
jauh. Nicholls (2002) dalam Susanto (2013)
juga menyebutkan bahwa penemuan klien
baru terkait dengan deteksi penyakit kusta
di komunitas masih sulit. Penemuan klien
kusta di komunitas biasanya sudah
terlambat dan tertunda. Penemuan klien
kusta yang terlambat dan tertunda
berhubungan dengan anggapan warga
yang negatif terhadap klien kusta,
rendahnya kesadaran mengenai awal gejala
kusta dan kondisi cacat yang dialami oleh
klien kusta. Rentang waktu yang lama
terhadap penundaan pengobatan juga
diakibatkan oleh usaha pencarian pelayanan
kesehatan oleh klien kusta dan keluarga
yang salah seperti penggunaan obat
tradisional dan interaksi dengan intervensi
pelayanan kesehatan khususnya Puskesmas
yang menjadi alternatif terakhir dalam
penanganan kusta.Distribusi Responden Berdasarkan
Pengobatan
Pengobatan f
Persentase
(%)
Teratur 39 88.6
Tidak Teratur 5 11.4
Total 44 100
Dari 44 responden yang diteliti menunjukan
bahwa sebanyak 39 responden (88,6%)
teratur dalam pengobatan kusta. Sebagian
besar respoden yag diteliti patuh dalam
menjalani regimen pengobatan kusta
sebanyak 39 responden (88,6%). Hal ini
dikarenakan di Kelurahan Bitahan RT 11
dan 12 yang pernah dijadikan sebagai
tempat penampungan klien kusta,
pengobatan kusta sangat diawasi oleh
petugas kesehatan dan sering mendapat
kunjungan Dokter dari dalam maupun luar
negri sehingga regimen pengobatan bisa
diawasi secara ketat.
Klien kusta yang mematuhi aturan minum
obat MDT didukung oleh adanya dampak
positif dari pengobatan kusta. Pengobatan
kusta yang adekuat dan keteraturan minum
obat akan mengurangi kondisi yang
infeksius dari klien kusta yang menular.
Ketidakteraturan minum obat pada klien
kusta akan berakibat sangat buruk yang
berdampak terhadap kondisi resistensi obatobatan anti kusta pada klien kusta sebagai
akibat dari ketidakpatuhan klien kusta
terhadap pengobatan yang diberikan.
Perburukan dari kondisi kecacatan juga
menjadi motivasi bagi klien untuk
menjalani pengobatan secara teratur
.
Pengobatan kusta yang diberikan kepada
klien kusta dapat membunuh kuman kusta.
Dengan demikian pengobatan akan
memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit klien serta
mencegah bertambahnya cacat yang sudah
ada sebelum pengobatan. Pengobatan pada
klien kusta ditujukan untuk mematikan
kuman kusta sehingga tidak berdaya
merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda
penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya
hilang. Dengan hancurnya kuman maka
sumber penularan dari klien terutama tipe
MB ke orang lain terputus (Depkes, 2007).
Ketidakpatuhan klien kusta terhadap
pengobatan kusta ditunjukan melalui
perilaku melanggar aturan pemberian obat.
Klien kusta dalam melanggar pemberian
obat kusta berkaitan dengan kurang percaya
terhadap pengobatan karena lamanya
pengobatan dan kesembuhan yang akan
dicapai. Berdasarkan penelitian kualitatif di
Kabupaten Bangkalan didapatkan hasil
bahwa klien kusta terpaksa berobat ke
petugas kesehatan katena malu akan
penyakitnya dan keluarga percaya bahwa
penyakit kusta diakibatkan oleh adanya
guna-guna, sehingga klien akan berobat ke
petugas kesehatan sudah dalam keadaan
yang sangat parah. Hal ini akan berdampak
pada manajemen terapeutik pengobatan
kusta yang tidak efektif (Susanto, 2013).
Distribusi Frekuensi Tingkat Cacat
Responden
Tingkat Cacat
Responden F
Persentase
(%)
Tingkat 0 4 9.1
Tingkat 1 10 22.7
Tingkat 2 30 68.2
Total 44 100
Dari 44 responden hasil penelitian tingkat
kecacatan tertinggi yaitu sebanyak 30 orang
responden (68,2%) mengalami kecacatan
tingkat 2. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil
bahwa sebagian besar responden yang
mengalami kecacatan tingkat 2 mengatakan
telah mengalami kecacatan sebelum mereka
ditemukan oleh petugas kesehatan dan
menjalani pengobatan. Tingginya tingkat
kecacatan tingkat 2 pada klien kusta di
Kelurahan Lokpaikat RT 11 dan 12
dipengaruhi karena terlambat diagnosis dan
pengobatan, rendahnya pengetahuan klien
kusta tentang tanda gejalanya, malu dengan
penyakitnya sehingga tidak memeriksakan
diri ke fasilitas kesehatan sebelum
penyakitnya menjadi parah maupun
kurangnya survei penemuan dini kasus
kusta sehingga klien ditemukan sudah
mengalami kecacatan.
Adanya ketakutan terhadap penyakit kusta
yang menyebabkan mutilasi terhadap
anggota tubuh, dengan masa inkubasi yang
cukup lama maka proses terdeteksinya oleh
tenaga medis tidak dikontrol dengan baik
sehingga kerusakan maupun kecacatan
dapat terjadi pada mata, tangan maupun
kaki. Tetapi jika diagnosis dini dan
pengobatan oleh petugas kesehatan segera
dilakukan maka kecacatan tersebut dapat
dicegah. Pendapat Brakel et al. (2004) cit
Susanto (2006) menyatakan bahwa proporsi
dari kasus baru dengan kecacatan tingkat 2
telah terjadi penurunan dengan
diterapkannya penemuan kasus baru kusta,
sehingga penegakan diagnosis kusta secara
dini dapat mengurangi tingkat kecacatan
kusta. Hasil penelitian ini sesuai dengan
pendapat Ganapati et al. (2003) cit Susanto
(2006) yang mengatakan bahwa setelah 4
tahun terdeteksi kusta dengan perawatan
diri yang baik dapat membantu
memperbaiki tingkat kecacatan lebih dari
50% dari pasien.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
bahwa responden pada dewasa awal paling
dominan mengalami kecacatan tingkat 2
yaitu 11 orang (25%). Hasil analisis lebih
lanjut menujukkan nilai ρ(0,627) > α (0,05)
hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara umur dengan tingkat
kecacatan klien kusta di Kelurahan Bitahan
RT 11 dan 12 Wilayah Kerja Puskesmas
Lokpaikat. Penelitian ini juga terdapat hasil
bahwa kecacatan tingkat 2 juga banyak
didominasi oleh kategori umur anak-anak
(0-17 tahun) sebanyak 9 responden (75%).
Kerentanan populasi anak terhadap kusta
dipengaruhi daya imunitas tubuh dengan
melawan bibit penyakit. Populasi anak yang
masih muda menyebabkan kecacatan yang
cepat bila dibandingkan dengan anak yang
lebih tua. Hal ini mencerminkan siklus
penularan penyakit karena anak-anak
mungkin berada dalam kondisi
transmissibility tinggi dan paparan awal
basil. Faktor-faktor tersebut meningkatkan
kemungkinan tertular dan terserang
penyakit dan menyoroti kekurangan
layanan kesehatan tepat waktu dalam
mendeteksi kasus. Pada penelitian juga
didapatkan bahwa penemuan klien ketika
usia > 60 tahun sebanyak 3 orang
responden sudah mengalami kecacatan
tingkat 2. Peningkatan tingkat kecacatan
pada klien kusta dapat disebabkan oleh
meningkatnya umur. Peningkatan umur
dapat menyebabkan kemampuan sistem
saraf berkurang sehingga pada syaraf
motorik terjadi paralisis ,pada usia lanjut
terjadi penurunan kemampuan hormonal,
kemampuan sensorik, dan kemampuan
motorik.
Rambey (2012) menyebutkan kecacatan
klien kusta lebih sering terjadi pada klien
dewasa atau tua dibandingkan klien anakanak atau dewasa muda. Kecacatan pada
usia tua cenderung ireversibel, kondisi fisik dan penurunan fungsi organ tubuh pada
orang tua menjadi faktor risiko terjadinya
cacat yang progesif dan irreversibel.
Klien kusta dapat mengalami reaksi hampir
tiap saat yaitu sebelum pengobatan.
Ranque, et al, (2006) cit Manyullei (2012)
menyebutkan umur saat didiagnosa kusta
lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko
terjadiya reaksi kusta, sedangkan umur
kurang dari 15 tahun cenderung lebih
sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini
disebabkan karena dalam sistem imun anak,
TH2 diduga kuat mampu mengatasi
terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi
kusta lebih kecil terjadi pada anak.
Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan
sel T memori lebih banyak dan
menyebabkan frekuensi terjadinya reaksi
kusta lebih tinggi. Pada reaksi terjadi proses
inflamasi akut yang menyebabkan
kerusakan saraf. Besarnya resiko terjadinya
kecacatan pada penderita dengan reaksi
kusta 9 kali dibanding dengan penderita
yang tidak pernah mengalami reaksi. Hal
ini disebabkan karena pada reaksi reversal
terjadi peningkatan respon imun seluler
yang hebat secara tiba-tiba. Mengakibatkan
kerusakan dan kecacatan yang timbulnya
dalam hitungan hari jika tidak ditangani
dengan adekuat. Hal ini menjadi salah satu
faktor terjadinya kecacatan tingkat 2 lebih
sering terjadi pada umur dewasa awal (18-
40 tahun)Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
bahwa responden laki-laki lebih dominan
mengalami kecacatan tingkat 2 yaitu 21
orang (47,7%). Hasil analisis lebih lanjut
menunjukkan nilai ρ (0,438) > α (0,05) hal
ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara jenis kelamin dengan
tingkat kecacatan klien kusta di Kelurahan
Bitahan RT 11 dan 12 Wilayah Kerja
Puskesmas Lokpaikat. Kelurahan Bitahan
RT 11 dan 12 merupakan tempat yang
dijadikan sebagai lokalisasi klien kusta.
Lokalisasi merupakan tempat pembatasan
pada suatu tempat atau lingkungan. Salah
satu tujuan dari adanya lokalisasi bagi klien
kusta yang berada di Kelurahan Bitahan
yaitu untuk mengurangi terjadinya
penyebaran Mycobacterium leprae kepada
warga di lingkungan sekitar.
Penelitian Lana (2013) tingkat cacat lebih
umum terjadi pada laki-laki terkait dengan
keterlambatan diagnosis pada pria,
perempuan memiliki akses terbaik untuk
pelayanan kesehatan dan perempuan
memiliki perhatian yang lebih besar
terhadap citra tubuh. Moschioni (2010)
dalam penelitiannya menyebutkan pria
lebih sering mengalami kecacatan dari pada
perempuan, dikarenakan pria mengalami
kesulitan datang ke fasilitas kesehatan
selama hari kerja, rasa takut kehilangan
pekerjaan karena stigma dari penyakit
kusta, pria lebih mungkin untuk terlibat
dalam kegiatan fisik yang berat sehingga
resiko kecacatan akan meningkat.Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
bahwa responden paling dominan
mengalami kusta tipe Multibasiler (MB)
dan kecacatan tingkat 2 yaitu 28 orang
(63,6%). Hasil analisis lebih lanjut
menunjukkan nilai ρ (0,021) < α (0,05) hal
ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara tipe kusta dengan tingkat kecacatan
klien kusta di Kelurahan Bitahan RT 11 dan
12 Wilayah Kerja Puskesmas Lokpaikat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara tipe kusta
dengan kejadian kacacatan tingkat 2
(p=0,006). Besarnya resiko terjadinya
kecacatan tingkat 2 pada penderita tipe MB
5 kali dibandingkan dengan penderita tipe
PB (OR=5,950). Perbedaan tingkat
kecacatan pada tipe pausibasilar dan
multibasiler disebabkan karena perbedaan
respon imunitas dimana ditemukan sistem
imunitas yang baik pada tipe pausibasilar
dan sebaliknya pada tipe multibasiler. Hal
ini yang menyebabkan kecacatan lebih
banyak pada tipe multibasiler.
Pada kusta tipe TT yang termasuk dalam
penggolongan kusta tipe paubasiler (PB)
kemampuan fungsi sistem imunitas selular
tinggi sehingga makrofag sanggup
menghancurkan kuman. Sayangnya setelah
kuman di fagositosis, makrofag akan
berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu
membentuk sel dantia Langhans. Bila
infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi
reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan
sekitarnya (Amiruddin, 2012).
Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Kumar et al, di distrik Agra yang
menyebutkan bahwa tipe kusta MB
memiliki faktor risiko yang sangat besar
dan bermakna terhadap timbulnya
kecacatan derajat 2. Richardus et al, juga
mengatakan terjadinya kecacatan lebih
sering pada tipe MB dibandingkan tipe PB
karena pengobatan yang lama pada tipe MB
dapat mengakibatkan klien bosan sehingga
putus berobat dan mengakibatkan
timbulnya kecacatan.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
bahwa responden paling dominan menderita
kusta ≥ 1 tahun dan menderita kecacatan
tingkat 2 yaitu sebanyak 27 orang (61,4%).
Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan
nilai ρ (0,007) < α (0,05) artinya Ha
diterima dan dapat disimpulkan terdapat
hubungan antara lama menderita dengan
tingkat kecacatan klien kusta di Kelurahan
Bitahan RT 11 dan 12 Wilayah Kerja
Puskesmas Lokpaikat. Penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara lama sakit dengan
tingkat kecacatan (<0,01). Besarnya resiko
terjadinya cacat tingkat satu pada penderita
dengan lama sakit > 1 tahun sebesar 2 kali
lebih tinggi dibanding penderita dengan
lama sakit < 1 tahun, sedangkan pada cacat
tingkat 2 yaitu sebesar 4 kali lebih tinggi
yang disebabkan oleh lamanya menderita
sakit dan tidak segera mendapatkan
pengobatan serta perawatan maka makin
membesarnya terjadi reaksi kusta yang
tidak segera diatasi maka dapat
menyebabkan kerusakan saraf dan akhirnya
dapat menyebabkan timbulnya cacat.FKUI (2003) menyebutkan tingkat
kerusakan saraf pada klien kusta dapat
dibagi menjadi 3 tahapan yaitu Stage of
Involvement dimana pada tingkat ini saraf
menjadi lebih tebal dari normal (penebalan
saraf) dan mungkin disertai nyeri tekan dan
nyeri spontan pada saraf perifer tersebut,
tetapi belum disertai gangguan fungsi saraf,
misalnya anastesi atau kelemahan otot.
Tahapan berikutnya tahap Stage of damage
dimana pada stadium ini saraf telah rusak
dan fungsi saraf tersebut telah terganggu.
Kerusakan fungsi saraf, misalnya
kehilangan fungsi saraf otonom, sensoris
dan kelemahan otot menunjukkan bahwa
saraf tersebut telah mengalami
kerusakan(damage) atau telah mengalami
paralisis yang tidak lengkap atau saraf
batang tubuh telah mengalami paralisis
lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan.
Selanjutnya tahap stage of destruction yaitu
pada tingkat ini saraf telah rusak secara
lengkap.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan
penelitian Kurnianto (2002) yang
menyebutkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna atara lama sakit dengan
tingkat kecacatan (<0,01). Besarnya resiko
terjadinya cacat tingkat satu pada penderita
dengan lama sakit > 1 tahun sebesar 2 kali
lebih tinggi dibanding penderita dengan
lama sakit < 1 tahun, sedangkan pada cacat
tingkat 2 yaitu sebesar 4 kali lebih tinggi
yang disebabkan oleh lamanya menderita
sakit dan tidak segera mendapatkan
pengobatan serta perawatan maka makin
membesarnya terjadi reaksi kusta yang
tidak segera diatasi maka dapat
menyebabkan kerusakan saraf dan akhirnya
dapat menyebabkan timbulnya cacat.
Keterlambatan klien dalam mencari
pengobatan dipengaruhi oleh seberapa cepat
perkembangan penyakit hingga dapat
menyebabkan keluhan bermakna bagi klien
dan seberapa besar kesadaran klien akan
gejala dan tanda pertama penyakit kusta
yang kebanyakan menyerupai penyakit kulit
yang ringan. Pada pertemuan para ahli
kusta di New Delhi pada tahun 2009 Smith
merumuskan dari penelitian di Myanmar,
Nepal dan India mengenai kasus kecacatan
derajat 2 yang tersembunyi bahwa yang
menjadi alasan klien terlambat mencari
pengobatan yaitu masalah akses ke
sarana kesehatan, terbatasnya pelayanan
kesehatan, terdapat kondisi di mana
penyakit kusta sembuh sendirinya
sehingga dianggap warga tidak
berbahaya dan adanya rasa malu dari diri
sendiri maupun keluarga yang akhirnya
menyembunyikan keadaan klien kusta.Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
bahwa responden paling dominan menjalani
pengobatan kusta secara teratur serta
mengalami kecacatan tingkat 2 yaitu
sebanyak 27 orang responden (20,5%).
Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan
nilai ρ (0,520) > α (0,05) hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara pengobatan dengan tingkat
kecacatan klien kusta di Kelurahan Bitahan
RT 11 dan 12 Wilayah Kerja Puskesmas
Lokpaikat. Dalam penelitian menyebutkan
bahwa keteraturan berobat bukan faktor
resiko terhadap kejadian kecacatan tingkat
2 pada penderita kusta di Kelurahan
Bitahan RT 11 dan 12 Wilayah Kerja
Puskesmas Lokpaikat.
Penyakit kusta merupakan suatu penyakit
yang dapat berdampak kecacatan bagi penderitanya. Pengobatan bagi klien kusta
yaitu berupa MDT (multi drug therapy)
yang diberikan selama 12-18 bulan bagi
pengobatan kusta tipe MB dan 6-9 bulan
bagi kusta tipe PB. Pemberian Multi Drug
Therapy (MDT) pada klien kusta terutama
pada tipe Multibasiler karena tipe tersebut
merupakan sumber kuman menularkan
kepada orang lain. Tujuan pengobatan klien
untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit klien dan
mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada
sebelum pengobatan.
Beberapa klien kusta di Kelurahan Bitahan
RT 11 dan 12 pada awal merasakan tanda
gejala kusta berupa bercak kulit mati rasa
tidak menggunakan jasa pelayanan
Puskesmas oleh beberapa sebab seperti
kurangnya informasi dan keyakinan klien
tentang sakit dan ada yang takut
meggunakan jasa pelayanaan kesehatan
karena kondisi penyakit yang dialami
sebagai suatu ancaman. Klien menganggap
sakit sebagai suatu kondisi yang buruk dan
tidak dapat disembuhkan. Hal ini
mengakibatkan klien kusta ditemukan
sudah dalam kondisi cacat.
Kondisi kecacatan tersebut sangat
berpengaruh terhadap regimen pengobatan
yang akan dijalani. Kemenkes (2012)
menyebutkan bahwa pengobatan kusta
hanya dilakukan untuk mencegah terjadinya
keparahan dari kecacatan lebih lanjut. Bagi
klien kusta yang telah mengalami
kecacatan, pengobatan tidak akan
memperbaiki dari kondisi kecacatan, tetapi
hanya mencegah terjadinya perburukan dari
kecacatan. Bila klien kusta tidak meminum
obat secara teratur maka kuman kusta dapat
menjadi aktif kembali dan dapat
menimbulkan gejala-gejala baru yang akan
memperburuk keadaan klien. Pentingnya
pengobatan sedini mungkin dan teratur
minum obat agar tidak timbul cacat yang
baru.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Sulastri (2013) yang menyebutkan bahwa
keteraturan berobat bukan faktor risiko
terhadap kejadian kecacatan tingkat 2 pada
penderita kusta di RS Dr. Tadjuddin Chalid
Makassar. Penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Jain et al, yang mendapatkan
bahwa dari 76 klien kusta dengan kecacatan
tingkat 2 hampir keseluruhan (73 klien)
teratur dalam pengobatan. Serta adanya
fakta bahwa klien yang memiliki cacat
tingkat 2 lebih termotivasi untuk
melakukan pengobatan akibat rasa malu
dan kuatnya keinginan untuk sembuh dari
kecacatan yang dideritanya.
Motivasi dalam menjalani pengobatan
secara teratur juga sesuai dengan penelitian
yag dilakukan oleh Hutabarat et al, dari
penelitiannya di Kabupaten Asahan tahun
2007 yang mendapatkan adanya hubungan
bermakna secara statistik antara cacat kusta
derajat 2 dengan kepatuhan minum obat.
Hal ini disebabkan kekhawatiran seseorang
untuk kehilangan anggota geraknya
sehingga berpengaruh pada kepatuhan
dalam pengobatan agar kecacatannya tidak
bertambah parah. Demikian juga menurut
Mahmud dalam penelitiannya di Rumah
Sakit Dr. Tajuddin Chalid Makasar, yang
menemukan bahwa klien yang memiliki
motivasi tinggi untuk berobat yaitu klien
kusta dengan kecacatan derajat 2. Persepsi
klien juga berperan dalam proses
pengobatan sebagaimana dipaparkan oleh
Masykur yang menemukan bahwa persepsi
beratnya penyakit, persepsi resiko penyakit
kusta dan persepsi konsekuensi tidak teratur
berobat dari klien kusta merupakan variabel
yang dominan yang mempengaruhi tingkat
kepatuhan klien dalam berobat.