Diare
Diare merupakan masih menjadi masalah utama di seluruh dunia dan menjadi
penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian di segala usia. Sebagian besar kasus diare
disebabkan oleh virus bersifat self limiting disease. Namun sayangnya, diare menjadi salah
satu penyakit yang rentan menyebabkan overuse dan misuse dari memakai antibiotik. Hal
tersebut berpotensi meningkatkan resiko terjadinya resistensi antibiotik. Surveilans pola
peresepan antibiotik merupakan bagian penting dalam pengendalian resistensi antibiotik dan
perlu dilakukan secara secara rutin dari waktu ke waktu. Tujuan: Melakukan evaluasi
memakai antibiotik pada pasien diare di Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember tahun 2021
menggunaakan metode ATC/DDD serta melihat kesesuiaan pemilihan antibiotik berdasarkan
PPK tahun 2017. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan metode
retrospektif. Pengambilan data dilakukan terhadap 55 rekam medis pasien diare rawat jalan di Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember tahun 2021 yang memenuhi kriteria. Data memakai
antibiotik dihitung nilai sesuai indikator DDD/1000 pasien/hari, Drug Utilization (DU) 90% serta
kesesuaian dengan PPK 2017. Hasil: Karakteristik responden menunjukkan jumlah pasien
diare perempuan lebih banyak dibanding pasien laki-laki (63,64% vs 36,36%). Persentase
diare terbanyak terjadi pada kelompok usia 18-25 tahun dan 36-45 tahun dengan persentase
masing-masing sebesar 21, 82% serta diagnosis paling banyak adalah gastroenteritis akut
(GEA) yaitu sebesar 67,27%. Total memakai antibiotik pada pasien diare sebesar 5,98
DDD/1000 pasien/hari dengan antibiotik yang sering diresepkan adalah kotrimoksazol dengan
nilai 3,59 DDD/1000 pasien/hari dan menyusun 60,13% dari segmen DU 90%. Persentase
kesesuaian memakai antibiotik pada pasien GEA sebesar 94,59%. Sedangkan untuk
pasien dengan diagnosis disentri, persentase kesesuaian memakai antibiotik didapatkan
sebesar 38,88%. Kesimpulan: Kotrimoxazol paling tinggi diresepkan dalam terapi diare di
Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember dan menunjukkan persentase 60,13% dalam segmen
DU 90%, sehingga perlu adanya evaluasi terkait ketepatan memakai sebagai upaya untuk
mengendalikan jumlah peresepan antibiotik tersebut guna mencegah resiko resistensi
antibiotikDiare didefinisikan sebagai terjadinya
peningkatan frekuensi (3 kali atau lebih)
dengan disertai penurunan konsistensi
buang air besar (lembek sampai cair) jika
dibandingkan dengan pola buang air besar
normal pada seseorang . Diare biasanya
merupakan gejala adanya infeksi pada
saluran pencernaan, yang dapat
disebabkan oleh berbagai organisme
bakteri, virus, maupun parasite dan dapat
ditularkan melalui makanan atau air minum
yang terkontaminasi, atau dari orang ke
orang karena kebersihan yang buruk
Diare merupakan masih menjadi
masalah utama di seluruh dunia. Penyakit
ini menjadi penyebab tingginya angka
kesakitan dan kematian serta merupakan
salah satu penyebab utama kunjungan
rawat jalan maupun rawat inap dari segala
usia . Pada tahun
2016, diare menjadi penyebab kematian
terbesar nomor 8 pada semua usia, dan
menjadi penyebab kematian terbesar
nomor 5 pada anak-anak dibawah 5 tahun
Penyakit diare di negara kita termasuk
penyakit endemis yang berpotensi menjadi
Kejadian Luar Biasa (KLB) karena
berpotensi menimbulkan kematian.
Menurut data Riskesdas 2018, prevalensi
penyakit diare berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan sebesar 6,8% . Penyakit diare juga masih
menjadi masalah kesehatan sering
dihadapi masyarakat dii Kabupaten Jember.
Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Jember menyebutkan bahwa angka
kesakitan akibat diare cenderung belum
stabil, dapat meningkat atau menurun
setiap tahunnya. Meskipun jumlah
kematian karena diare yang dilaporkan
oleh sarana pelayanan kesehatan
cenderung menurun tetapi penyakit diare
masih sering menimbulkan kejadian luar
biasa (KLB). Selama tahun 2020, Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember mencatat
11.364 kasus diare yang dihimpun dari 50
puskesmas di Kabupaten Jember
(Katarnida et al., 2016).
Sebagian besar (70-80%) kasus
diare disebabkan oleh virus atau penyebab
lain yang belum diketahui dan bersifat self
limiting disease. Terapi menggunakan
antibiotik tidak selalu diperlukan, kecuali
untuk kasus berat, diare yang disertai
darah atau pada kondisi dimana penyebab
diare sudah dipastikan karena bakteri.
Namun sayangnya, diare menjadi salah satu penyakit yang rentan menyebabkan
memakai yang salah (misuse) maupun
memakai berlebihan (overuse) dari
antibiotik. Dan hal ini telah banyak
dilaporkan dari seluruh dunia . Sebagai contoh penelitian yang
dilakukan di Thailand selatan yang melihat
kesesuaian memakai antibiotik empiris
pada kasus diare anak menyatakan bahwa
55,9% peresepan antibiotik terhadap
responden yang diteliti tidak tepat indikasi
. Penelitian lainnya
yang dilakukan terhadap pasien anak yang
mengalami diare akut di Abakaliki, Nigeria
menunjukkan hasil bahwa lebih dari 85%
pasien diresepkan antibiotik tanpa adanya
alasan yang jelas mengapa pasien
diberikan antibiotik
Antibiotik yang digunakan secara irasional
dapat memberikan dampak negatif yaitu
terjadinya resistensi. Selain menyebabkan
resistensi, antibiotik yang digunakan
secara irasional dapat menyebabkan
peningkatan biaya kesehatan
Pengendalian terjadinya resistensi
antibiotik dapat dilakukan dengan
mengoptimalkan memakai antibiotik
(Katarnida et al., 2016). World Health
Organization (WHO) dalam program
pengendalian resistensi antibiotik
memberikan panduan untuk melakukan
pengumpulan data memakai antibiotik
untuk dapat menilai tingkat (jumlah) dan
kualitas memakai antibiotik serta
mengindentifikasi peresepan yang
bermasalah, sehingga dapat digunakan
untuk memetakan intervensi yang perlu
dilakukan dalam rangka pengendalian
resistensi amtibiotik
Surveilans pola peresepan antibiotik
merupakan bagian penting dalam
pengendalian resistensi antibiotik dan perlu
dilakukan secara secara rutin dari waktu ke
waktu. Metode the Anatomical Therapeutic
Chemical Classification System/ Define
Daily Dose (ATC/DDD), merupakan
metode yang disarankan oleh WHO dan
telah digunakan secara internasional untuk
membandingkan konsumsi antibiotik antar
negara atau fasilitas kesehatan . Metode ini dapat digunakan
untuk deteksi awal adanya memakai
antibiotik yang irasional Surveilans memakai antibiotik
perlu dilakukan secara rutin di fasilitasfasilitas kesehatan termasuk puskesmas.
Namun demikian di Puskesmas Kalisat
Kabupaten Jember, belum pernah
dilakukan penelitian terkait evaluasi
antibiotik dengan metode ATC/DDD.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
peneliti tertarik untuk melakukan evaluasi
memakai antibiotik dengan metode
ATC/DDD serta kesesuaian atau
kepatuhan pemilihan antibiotik
berdasarkan panduan terapi yang berlaku.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis jumlah (kuantitas)
memakai antibiotik pada kasus diare,
sebagai gambaran dan bahan untuk
melakukan evaluasi lebih lanjut terkait
ketepatan memakai antibiotik. Dalam
penelitian ini juga dilakukan evaluasi
terhadap kepatuhan pemilihan antibiotik di
puskesmas terhadap Panduan Praktik
Klinik (PPK) yang diterbitkan oleh
Pengurus Besar Ikatan Dokter negara kita
(PB IDI) tahun 2017, terutama pada kasus
diare.
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional dengan metode cross
sectional. Pengambilan data dilakukan
secara retrospektif melalui penelusuran
informasi data rekam medik pasien dan
buku register pasien. Populasi dalam
penelitian ini yaitu seluruh pasien dewasa
rawat jalan yang menderita diare di
Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember
periode Januari – Desember tahun 2021.
Pada penelitian ini, didapatkan 55 pasien
yang sesuai dengan kriteria. Adapun
kriteria inklusi meliputi pasien diare usia ≥
18 tahun dengan atau tanpa penyakit penyerta yang didiagnosis menderita diare
dan mendapatkan terapi antibiotik dengan
regimen lengkap. Diagnosis diare yang
dimaksud dalam penelitian ini dapat
meliputi gastroenteritis akut (ICD-10 A09),
disentri (ICD-10 A09.0), disentri basiler
(ICD-10 A06.0) dan disentri amoeba (ICD-
10 A03.9). Sedangkan kriteria eksklusi
meliputi pasien yang didiagnosis diare
dengan disertai penyakit infeksi lain, data
rekam medis tidak terbaca dan atau tidak
lengkap (tidak ada diagnosis penyakit,
nama antibiotik, dosis dan frekuensi
pemberian antibiotik serta lama atau jumlah
pemberian antibiotik).
Pengambilan data dilakukan di
Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember
penelitian yang diambil dari rekam medis
dan buku register pasien meliputi nama
antibiotik, dosis, frekuensi, jumlah, lama
memakai antibiotik dan rute pemberian
dicatat dalam lembar pengumpul.
Data memakai antibiotik tersebut
dikelompokkan berdasarkan golongan
antibiotik dan diberi kode ATC yang sesuai
dalam panduan indeks ATC/DDD yang
telah ditetapkan oleh WHO. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis secara
deskriptif meliputi karakteristik pasien (jenis
kelamin, usia dan diagnosis pasien) dan
profil antibiotik. Selanjutnya dilakukan
evaluasi memakai antibiotik dengan
menggunakan metode ATC/DDD
menggunakan satuan DDD/1000
pasien/hari yang dihitung berdasarkan
rumus sebagai berikut :
DDD/1000 pasien/hari = 𝐷𝐷𝐷 𝑥 1000
𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑥 365
Data memakai antibiotik dalam
DDD/1000 pasien/hari dari masing-masing
antibiotik kemudian diurutkan berdasarkan
persentase memakai terbesar hingga
terkecil, kemudian dijumlahkan secara
kumulatif. Antibiotik yang masuk dalam
segmen DU 90% menunjukkan persentase
antibiotik yang paling banyak digunakan
dalam terapi pasien.
Data memakai antibiotik
kemudian dilihat kesesuaiannya dengan
PPK tahun 2017, untuk mengetahui tingkat
kepatuhan peresepan antibiotik pada
pasien diare oleh dokter berdasarkan
pedoman yang digunakan tersebut.
Persentase kesesuaian pemilihan antibiotik
berdasarkan PPK dapat dihitung dengan
rumus berikut ini:
Persentase kesesuaian peresepan
antibiotik=
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑠𝑒𝑝𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑖
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑠𝑒𝑝𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑥 100%
Karakteristik Pasien
Karakteristik pasien yang dianalisis
dalam penelitian ini yaitu sampel yang
memenuhi kriteria inklusi yang dibedakan
berdasarkan jenis kelamin, usia serta
diagnosis pasien. Hasil penelitian pada
Tabel 1 menunjukkan distribusi pasien
dewasa yang mengalami diare lebih tinggi
pada pasien perempuan, yaitu sebanyak
35 (63,64%) pasien dibandingkan pasien
laki-laki yaitu sebanyak 20 (36,36%) pasien.
Hasil penelitian ini selaras dengan dua
penelitian lainnya yaitu penelitian yang
menyatakan
pasien diare dengan jenis kelamin
perempuan memiliki persentase sebesar
51% sedangkan untuk jenis kelamin lakilaki sebesar 49% (Meila et al, 2020).
Penelitian lainnya yang dilakukan Faila dkk
(2021) di Puskesmas Jambi Kecil,
didapatkan pasien diare yang melakukan
pemeriksaan ke puskesmas sebanyak 56,5%
berjenis kelamin perempuan sedangkan
untuk laki-laki sebesar 43,5%. Perbedaan
jumlah pasien diare laki-laki dan perempuan tidak menjadi faktor timbulnya
diare karena baik perempuan maupun lakilaki mempunyai resiko yang sama terkena
penyakit diare. Faktor sistem kekebalan
tubuh, pola makan, status gizi, kebersihan
diri, higienitas dan sanitasi lingkungan
dapat mempengaruhi kejadian diare
Persentase pasien yang mengalami
diare paling tinggi berada pada rentang
usia 18-25 tahun dan 36-45 tahun, yaitu
masing-masing sebesar 12 (21,82%)
pasien. Untuk persentase tertinggi kedua
ada pada rentang usia 26-35 tahun (Tabel
1). Hubungan antara usia dengan kejadian
diare belum sepenuhnya dapat dipahami.
Dalam penelitian Matsumoto et al (2021)
menunjukkan bahwa usia yang lebih muda
menjadi faktor resiko terjadinya diare.
Namun demikian hasil tersebut berbeda
dengan penelitian Singh et al (2018), yang
justru menyebutkan bahwa usia yang lebih
tua menjadi faktor resiko terjadinya diare
kronis. Resiko diare pada usia dewasa
sepertinya dapat dikaitkan dengan
beberapa faktor antara lain kebiasaan
hidup, faktor kebersihan maupun
meningkatnya stres. Kebiasaan hidup yang
tidak teratur pada usia dewasa, seperti
tidak teratur makan, kurang tidur maupun
adanya perasaan stress yang dialami
meningkatkan resiko diare pada pasien
dewasa
Diagnosis diare pada penelitian ini,
paling banyak adalah gastroenteritis akut
yaitu sebesar 35 (63,64%) pasien dan
diikuti dengan diagnosis disentri sebanyak
12 (21,82%) pasien. Gastroenteritis
merupakan kondisi peradangan pada
saluran cerna (lambung, usus kecil atau
usus besar) yang dapat menimbulkan
gejala mual, muntah, nyeri perut dan diare.
Gastroenteritis akut biasanya berlangsung
selama kurang dari 14 hari. Penyebab
paling sering dari gastroenteritis adalah
virus (50-70%), bakteri (15-20%), parasit
(10-15%) dapat juga disebabkan oleh
memakai obat tertentu atau toksin
(Katarnida et al., 2016).
Gambaran Kuantitas memakai
Antibiotik (ATC/DDD)
Gambaran kuantitas memakai
antibiotik pada penelitian ini didapatkan
melalui buku register serta data rekam
medik pasien diare. Data antibiotik yang
didapatkan kemudian dikelompokkan
berdasarkan golongan, jenis dan jumlah peresepan antibiotik yang diterima oleh
pasien rawat jalan diare di Puskesmas
Kalisat Kabupaten Jember tahun 2021.
Pada penelitian ini, terdapat 5 jenis
antibiotik yang diresepkan untuk pasien
dewasa yang didiagnosis diare dan
menjalani rawat jalan di Puskesmas Kalisat
pada tahun 2021. Jenis antibiotik tersebut
meliputi kotrimoksazol, metronidazole,
tetrasiklin, sefiksim dan kloramfenikol
(Tabel 2).
Hasil penelitian ini menunjukkan total
nilai memakai antibiotik untuk pasien
diare di Puskesmas Kalisat Kabupaten
Jember pada tahun 2021 adalah 5,97
DDD/1000 pasien/hari (Tabel 2). Antibiotik
tertinggi yang sering diresepkan untuk
pasien diare adalah kotrimoksazol dengan
nilai 3,59 DDD/1000 pasien/hari, yang
berarti bahwa 0,359% pasien diare di
Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember
pada tahun 2021 menerima antibiotik
kotrimoksazol. Antibiotik kedua dengan
nilai DDD/1000 pasien/hari adalah
metronidazole dengan nilai sebesar 1,49
DDD/1000 pasien/hari. Kedua antibiotik
tersebut termasuk dalam segmen DU 90%
dimana kotrimoksazol menyusun 60,13%
dan metronidazole menyusun 24,96%
memakai antibiotik pada pasien diare.
Metode DU 90% merupakan metode
sederhana, fleksibel dan murah yang dapat
digunakan untuk menilai kualitas
peresepan antibiotik secara rutin di fasilitas
kesehatan
Antibiotik yang masuk dalam segmen DU
90% perlu dievaluasi lebih lanjut, untuk
menilai ketepatan memakai , juga dalam
rangka pengendalian dan perencanaan
pengadaan obat
Menyajikan profil DU 90% dengan
kepatuhan terhadap pedoman terapi dapat
menjadi media yang penting untuk menilai
kualitas umum dari peresepan antibiotik
dan menjadi dasar untuk melakukan
analisis yang lebih spesifik terhadap
memakai antibiotik pada penyakit atau
pasien tertentu
Antibiotik yang sering digunakan
untuk kasus diare akut dari penelitian ini
berbeda dengan hasil penelitian di India,
dimana antibiotik yang paling sering
diresepkan kepada pasien diare akut
adalah golongan florokuinolon yaitu
norfloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin
Kotrimoksazol
merupakan antibiotik empiris yang dapat
diberikan pada pasien diare. Dalam PPK di
fasilitas kesehatan primer tahun 2017
menyebutkan bahwa kotrimoksazol dan
metronidazol dapat digunakan sebagai
terapi empiris pada kasus gastroenteritis
akut . Adanya
perbedaan ini disebabkan karena antibiotik
golongan fluorokuinolon merupakan terapi
pilihan pertama untuk mengobati penyakit
diare di India. Antibiotik kotrimoksazol tidak
lagi disarankan sebagai terapi diare karena
tingginya resistensi kotrimoksazol di India
memakai antibiotik pada diare
tidak selalu diperlukan, terutama jika
penyebabnya adalah virus karena bersifat
self limiting disease. memakai antibiotik
diperlukan pada kasus diare karena infeksi
bakteri yang dapat ditandai dengan
sejumlah kondisi klinis tertentu seperti
diare, nyeri perut, adanya darah atau
leukosit dalam feses (Katarnida et al., 2016;
Sari et al., 2023). Pemberian dan pemilihan
antibiotik perlu didasarkan pada etiologi
(bakteri penyebab) dan keparahan
penyakit, serta memperhatikan pola
resistensi antibiotik di masing-masing
wilayah
Kesesuaian Pemilihan Antibiotik
Berdasarkan PPK Tahun 2017
Pada penelitian ini, analisis
kesesuaian pemilihan antibiotik digunakan
untuk mengukur kepatuhan peresepan
antibiotik sesuai panduan yang berlaku.
Pedoman yang digunakan untuk menilai
adalah Panduan Praktik Klinis (PPK) di
Fasilitas Kesehatan Primer 2017 yang
digunakan oleh puskesmas terkait.
Penentuan kesesuaian pemilihan antibiotik
didasarkan pada jenis antibiotik yang
diberikan pada pasien dengan
memperhatikan diagnosis yang telah
ditegakkan.
Hasil penelitian menunjukkan
persentase total kesesuaian memakai
antibiotik sebesar 76,36% (Tabel 3).
Kesesuaian pemilihan antibiotik untuk
pasien yang mengalami gastroenteritis
akut (GEA) sebesar 94,59%, sedangkan
kesesuaian pemilihan antibiotik untuk
diagnosis disentri persentase sebesar
38,88%. Dalam PPK tahun 2017 tersebut
terdapat 3 antibiotik yang dapat diberikan
pada pasien GEA yaitu golongan kuinolon
yaitu siprofloksasin atau dapat diberikan
kotrimoksazol. Jika penyebabnya adalah
Giardia maka pasien dapat diberikan
metronidazole. Sedangkan untuk antibiotik
yang dapat diberikan pada pasien dengan
disentri Amoeba dapat diberikan
metronidazole, dan untuk disentri basiler
dapat diberikan florokuinolon
(siprofloksasin), makrolida (azitromisin)
atau sefalosporin (sefiksim)
Kepatuhan pemilihan antibiotik
dalam penelitian ini tergolong cukup tinggi
(76,36%). Namun demikian, masih perlu
adanya evaluasi lebih lanjut terkait
ketepatan memakai antibiotik pada
pasien. Pada penelitian ini terdapat
keterbatasan penelitian, dimana peneliti
tidak dapat menilai ketepatan peresepan
antibiotik tersebut. Hal tersebut disebabkan
karena pengambilan data dilakukan secara
retrospektif melalui rekam medis dan
berfokus terhadap jumlah antibiotik yang
diresepkan untuk pasien diare. Dalam data
rekam medis tidak ditemukannya data
terkait hasil pemeriksaan yang mendukung
seperti suhu tubuh, leukosit maupun
pemeriksaan feses yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis diare yang
disebabkan oleh bakteri. Dengan demikian,
meskipun kepatuhan terhadap PPK cukup
tinggi, namun belum bisa dinilai apakah
memakai antibiotik tersebut sudah
sesuai indikasi atau belum.
Kotrimoxazol merupakan antibiotik
tertinggi yang diresepkan dalam terapi
diare di Puskesmas Kalisat Kabupaten
Jember nilai 3,59 DDD/1000 pasien/hari
dan termasuk dalam segmen DU 90%
dengan jumlah memakai sebesar
60,13%. Antibiotik yang masuk dalam
segmen DU 90% perlu evaluasi lebih lanjut
terkait ketepatan memakai nya pada
pasien. Kepatuhan pemilihan antibiotik
untuk kasus diare tergolong cukup tinggi,
dimana 76,36% pemilihan antibiotik sudah
sesuai dengan PPK tahun 2017. Evaluasi
pola peresepan antibiotik perlu dilakukan
secara secara rutin dari waktu ke waktu
sebagai upaya untuk mengontrol
peresepan antibiotik sebagai salah satu
upaya untuk mengendalikan resistensi
antibiotik.