Tampilkan postingan dengan label kusta p. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kusta p. Tampilkan semua postingan

kusta p

 



kusta 17




Ketinggian lantai, kepadatan hunian 

kamar, luas ventilasi, kebiasaan membuka 

jendela, jenis lantai, jenis dinding, riwayat 

kontak serumah dan status ekonomi merupakan 

faktor risiko kejadian kusta di wilayah kerja 

Puskesmas Bandarharjo tahun 2018.

Penelitian ini merekomendasikan agar 

masyarakat diharapkan mampu meningkatkan 

kesadaran dan mawas diri untuk segera periksa 

ke fasilitas pelayanan kesehatan apabila 

memiliki kelainan pada kulit yang dicurigai 

sebagai gejala penyakit kusta dan yang paling 

penting mau dan mampu untuk meningkatkan 

kebersihan dan kesehatan rumah. Instansi 

kesehatan seperti puskesmas memberikan 

pelayanan promotif dan preventif yang 

berkaitan dengan penyakit kusta sehingga dapat 

dilakukan diagnosis dini. Selain itu juga 

memberikan penyuluhan mengenai pentingnya 

menciptakan dan memelihara rumah sehat serta 

meningkatkan kegiatan penyisiran untuk 

menemukan penderita kusta baru. Peneliti 

Selanjutnya diharapkan mampu berinovasi 

melakukan penelitian dengan vaiabel dan 

metode yang berbeda agar diharapkan 

didapatkan hasil penelitian yang lebih baik.



Penyakit kusta masih menjadi masalah 

baik skala global maupun nasional. Insiden 

kusta di berbagai benua pada tahun 2016 antara 

lain di benua Afrika sebesar 19.384 kasus, di 

benua Amerika sebesar 27.356 kasus, di 

Mediterania Timur sebesar 2.834 kasus, di 

benua Asia Tenggara 161.263 kasus dan di 

Pasifik Barat sebesar 3.914 kasus. Selain itu 

WHO juga melaporkan bahwa Indonesia 

menempati jumlah insiden kusta tertinggi 

nomor 3 di dunia dengan jumlah kasus sebesar 

16.826 kasus setelah India (385.485 kasus) dan 

Brazil (25.218 kasus) (WHO, 2017). Penyakit 

kusta atau lepra (leprosy) disebut juga Morbus 

Hansen adalah sebuah penyakit infeksi menular 

kronis yang disebabkan oleh bakteri 

Mycrobacterium leprae (Maharani, 2015).

Jumlah kasus baru kusta di Indonesia 

pada tahun 2017 sebesar 10.477 kasus. 

Indonesia memiliki 10 provinsi dengan jumlah 

kasus kusta tertinggi yaitu meliputi Jawa Timur 

(3.857), Jawa Barat (2.612), Papua (1.582), 

Banten (1.116), Sulawesi Selatan (1.086), Papua 

Barat (978), Jawa Tengah (710), Maluku Utara 

(621), Sulawesi Tenggara (507) dan NTT (490).

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 

tahun 2017, Jawa Tengah menempati jumlah 

kasus kusta terbanyak nomor 7 dan proporsi 

penderita kusta cacat tingkat II terbanyak 

nomor 4 di tingkat nasional (Kemenkes RI, 

2017). Jumlah kasus kusta di Provinsi Jawa 

Tengah pada tahun 2015 sebesar 1.712 kasus 

dengan NCDR sebesar 5,3 per 100.000 

penduduk. Selanjutnya, sebanyak 8 daerah di 

sepanjang pantura Jawa Tengah meliputi 

Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, 

Kabupaten Blora, Jepara, Kudus dan Rembang 

merupakan daerah endemis tinggi kusta dengan 

rata-rata jumlah kasus baru lebih dari 10 per 

100.000 penduduk.

Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa 

Tengah tahun 2016, kota Semarang merupakan 

daerah endemis rendah kusta yang menempati 

jumlah kasus kusta terbanyak nomor 14 dan 

jumlah penderita kusta cacat tingkat II 

terbanyak nomor 5 di Provinsi Jawa Tengah.

Jumlah kasus kusta terus meningkat 

sampai tahun 2017 menjadi 68 kasus yang 

terdiri dari 9 kasus tipe PB dan 59 kasus tipe 

MB. Jumlah kasus kusta tertinggi di kota 

Semarang tersebar di 10 wilayah Puskesmas di 

mana 8 diantaranya merupakan wilayah yang 

sering terjadi banjir rob. Delapan Puskesmas 

tersebut yaitu meliputi Puskesmas Bandarharjo 

(49%), Gunung Pati (12%), Gayamsari (9%), 

Rowosari (4%), Ngaliyan (4%), Sekaran (4%), 

Bulu lor (3%), Genuk (3%), Kagok (3%) dan 

Karangdoro (3%). Berdasarkan Profil Kesehatan 

Kota Semarang tahun 2017, Puskesmas 

Bandarharjo menempati jumlah kasus kusta 

tertinggi di kota Semarang. Jumlah kasus kusta 

di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo pada 

tahun 2016 sebesar 12 kasus dan pada tahun 

2017 meningkat menjadi 33 kasus di mana 1 

diantaranya telah meninggal dunia.

Secara teori, basil kuman kusta dapat 

ditemukan di mana-mana seperti di dalam 

tanah, air, udara dan pada manusia yang 

menderita kusta. Agen penyakit kusta dapat 

bertransmisi ke udara dan terbawa dari satu 

tempat ke tempat yang lain melalui basil yang 

dikeluarkan dari penderita kusta. Hal ini karena 

berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir 

hidung pada penderita kusta lepromatosa yang 

tidak diobati, dan terbukti dapat hidup selama 7 

hari pada lendir hidung yang kering. Penyakit 

kusta sendiri merupakan penyakit menular, 

beberapa hipotesis telah dikemukakan bahwa 

faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya 

kusta antara lain adanya riwayat kontak, faktor 

genetika, iklim (cuaca panas dan lembab), diet, 

status gizi dan status sosial ekonomi. 

Faktor lingkungan merupakan salah 

satu faktor kejadian kusta yang perlu 

diperhatikan. Faktor lingkungan terdidi dari 

lingkungan biologi, fisik dan sosial. Lingkungan 

biologis merupakan lingkungan biotik yang 

dapat berinteraksi dengan manusia secara 

dinamis. Lingkungan biologis seperti manusia, 

tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, 

jamur, parasit, serangga dan lain-lain. Interaksi 

yang tidak seimbang antara manusia dengan 

lingkungan biologisnya akan menyebabkan 

manusia menjadi sakit. Lingkungan fisik bersifat abiotik atau mati seperti air, udara, tanah, 

cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi 

dan lain-lain. Lingkungan fisik termasuk 

komponen lingkungan yang berinteraksi secara 

konstan dengan manusia sepanjang waktu dan 

masa serta memegang peran penting dalam 

proses terjadinya penyakit di masyarakat. 

Lingkungan sosial dapat berupa adat istiadat, 

kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar 

dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan 

kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik. 

Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah 

untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko 

lingkungan dengan kejadian kusta di wilayah 

kerja Puskesmas Bandarharjo.Berdasarkan Tabel 1, kelompok kasus 

terdapat 2 orang (6,9%) yang berumur < 15 

tahun dan 27 orang (93,1%) yang berumur ≥ 15 

tahun, sedangkan pada kelompok kontrol 

terdapat 1 orang (3,4%) yang berumur < 15 

tahun dan 28 orang (93,1%) yang berumur ≥ 15 

tahun. Kelompok kasus terdapat 3 orang 

(10,3%) yang tidak sekolah, tamat SD sebanyak 

19 orang (60,5%), tamat SMP sebanyak 3 orang 

(10,3%) dan yang tamat SMA sebanyak 4 orang 

(13,8%), sedangakan pada responden kontrol 

terdapat 7 orang (24,1%) tamat SD, tamat SMP 

sebanyak 7 orang (24,1%), tamat SMA sebanyak 13 orang (44,8%) dan tamat perguruan 

tinggi sebanyak 2 orang (6,9%). Kelompok 

kasus didapatkan responden yang tidak bekerja 

sebanyak 10 orang (34,5%), ibu rumah tangga 

sebanyak 4 orang (13,8%), buruh sebanyak 10 

orang (34,5%) dan wiraswasta sebanyak 5 orang 

(17,2%), sedangkan pada responden kontrol 

didapatkan responden yang tidak bekerja 

sebanyak 2 orang (6,9%), ibu rumah tangga 

sebanyak 5 orang (17,2%), buruh sebanyak 1 

orang (3,4%), wiraswasta sebanyak 20 orang 

(69,0%) dan pegawai swasta sebanyak 1 orang 

(3,4%).

Hasil analisis bivariat pada Tabel 2, 

jarak genangan air dari rumah dengan kejadian 

diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara 

jarak genangan air dari rumah dengan kejadian 

kusta. Hasil analisis bivariat ketinggian lantai 

rumah dengan kejadian kusta diperoleh bahwa 

ada hubungan antara ketinggian lantai rumah 

dengan kejadian kusta. Responden yang 

memiliki ketinggian lantai rumah <20 cm 

memiliki risiko 4,98 kali lebih besar terkena 

penyakit kusta dibandingkan responden yang 

memiliki ketinggian lantai rumah ≥20 cm.

Hasil analisis bivariat kepadatan hunian 

kamar dengan kejadian kusta diperoleh bahwa 

ada hubungan antara kepadatan hunian kamar 

dengan kejadian kusta. Responden yang 

memiliki kepadatan hunian kamar tidak 

memenuhi syarat memiliki risiko 6,98 lebih 

besar terkena penyakit kusta dibandingkan 

responden yang memiliki kepadatan hunian 

kamar memenuhi syarat. Hasil analisis bivariat

luas ventilasi dengan kejadian kusta diperoleh 

bahwa ada hubungan antara luas ventilasi 

rumah dengan kejadian kusta. Responden yang 

memiliki luas ventilasi rumah < 10% luas lantai rumah memiliki risiko 4,71 kali lebih besar 

terkena penyakit kusta dibandingkan responden 

yang memiliki luas ventilasi rumah ≥ 10% luas 

lantai. Hasil analisis bivariat kebiasaan 

membuka jendela dengan kejadian kusta 

diperoleh bahwa ada hubungan antara 

kebiasaan membuka jendela rumah dengan 

kejadian kusta. Responden yang tidak rutin 

membuka jendela rumah setiap hari memiliki 

risiko 5,29 kali lebih besar bterkena penyakit 

kusta dibandingkan responden yang memiliki 

kebiasaan membuka jendela rumah setiap hari.

Hasil analisis bivariat tingkat 

pencahayaan dengan kejadian kusta diperoleh 

bahwa tidak ada hubungan antara tingkat 

pencahayaan rumah dengan kejadian kusta. 

Hasil analisis bivariat tingkat kelembaban 

dengan kejadian kusta diperoleh bahwa tidak 

ada hubungan antara tingkat kelembaban rumah 

dengan kejadian kusta. 

Hasil analisis bivariat jenis lantai dengan 

kejadian kusta diperoleh bahwa ada hubungan 

antara jenis lantai rumah dengan kejadian kusta. 

Responden yang memiliki lantai rumah tidak 

kedap air memiliki risiko 5,43 lebih besar 

terkena penyakit kusta dibanding responden 

yang memiliki lantai rumah kedap air. Hasil 

analisis bivariat jenis dinding dengan kejadian 

kusta diperoleh bahwa ada hubungan antara 

jenis dinding rumah dengan kejadian kusta. 

Responden yang memiliki jenis dinding rumah 

tidak kedap air memiliki risiko 5,83 kali lebih 

besar terkena penyakit kusta dibanding 

responden yang memiliki jenis dinding rumah 

yang kedap air.

Hasil analisis bivariat riwayat kontak 

serumah dengan kejadian kusta diperoleh 

bahwa ada hubungan antara riwayat kontak 

serumah dengan kejadian kusta. Responden 

yang memiliki riwayat serumah dengan 

penderita kusta memiliki risiko 6,98 kali lebih 

besar terkena kusta disbanding responden yang 

tidak memiliki riwayat kontak serumah dengan 

penderita kusta. Hasil analisis bivariat status 

ekonomi dengan kejadian kusta diperoleh 

bahwa ada hubungan antara status ekonomi 

dengan kejadian kusta. Responden yang 

memiliki status ekonomi lemah memiliki risiko 

6,98 kali lebih besar dibandingkan responden 

yang memiliki status ekonomi tinggi.

Air membawa penyebab penyakit yang 

berasal dari penderita kemudian sampai ke 

tubuh orang lain oleh air yang tercemar bakteri 

patogen sehingga akhirnya menimbulkan sakit 

pada pejamu lain yang sehat. Hasil penelitian 

Cabral (2014) menyatakan bahwa air atau tanah 

basah dapat bertindak sebagai reservoir untuk 

Mycobacterium leprae. Sedangkan konsentrasi 

bakteri dalam air akan menurun secara 

berangsur-angsur setelah jarak 5 meter. 

Responden yang memiliki jarak genangan air 

dari rumah ≥ 5 meter tidak akan tertular 

penyakit kusta karena tidak ada paparan dengan 

agen penyebab penyakit kusta. Hasil penelitian 

ini tidak sejalan dengan penelitian Idayani 

(2017) yang menyatakan bahwa berdasarkan 

analisis spasial sebagian besar responden 

(57,9%) rumah penderita kusta dekat dengan 

daerah perairan. Penelitian yang dilakukan oleh 

Idayani, proporsi responden yang memiliki 

rumah dekat dengan perairan lebih besar 

daripada responden yang memiliki rumah jauh 

dari perairan. Responden pada penelitian ini 

sebagian besar tersebar di wilayah kelurahan 

Bandarharjo khususnya di RW yang tidak 

terdapat genangan air, sehingga jarang 

ditemukan genangan air di sekitar rumah 

responden. Tidak adanya genangan air di sekitar 

rumah responden memperkecil kemungkinan 

responden untuk kontak dengan air yang 

tercemar bakteri kuman kusta. Oleh karena itu 

jarak genangan air dari rumah bukan faktor 

risiko kejadian kusta di wilayah kerja 

Puskesmas Bandarharjo.

Bakteri penyebab kusta salah satunya 

dapat ditemukan dalam tanah dan tanah dapat 

bertindak sebagai reservoir kuman kusta. Pada

penelitian ini proporsi responden kasus yang 

lantai rumahnya <20 cm lebih banyak dari 

responden yang ketinggian lantai rumahnya ≥20 

cm. Responden yang memiliki ketinggian lantai 

rumah <20 cm sangat berpotensi untuk tertular 

penyakit kusta dengan tanah sebagai media 

penularanya. Hendaknya dibuat dari bahan 

kedap air untuk mengupayakan agar air dari 

tanah tidak meresap ke dalam rumah. Oleh karena itu pada lantai di depan rumah dibuat 

minimal setinggi 20 cm agar air tidak meresap 

ke dalam rumah yang dapat menyebabkan 

kelembaban rumah meningkat. Selain itu 

meresapnya air ke dalam rumah dapat 

membawa bakteri patogen termasuk bakteri 

kuman kusta. Oleh karena itu ketinggian lantai 

rumah yang <20 cm adalah faktor risiko 

kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas 

Bandarharjo.

Kepadatan hunian kamar yang tidak 

memenuhi syarat dapat meningkatkan 

penularan penyakit kusta karena kondisi udara 

yang buruk sehingga kuman kusta tidak dapat 

dipecahkan dan bahkan tumbuh dengan optimal 

dalam tubuh penderita. Hasil penelitian ini

sejalan dengan hasil penelitian Rismawati 

(2014) tentang hubungan antara sanitasi rumah 

dan personal hygiene dengan kejadian kusta di 

Poliklinik Kusta RSUD Tugurejo yang 

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara 

kepadatan hunian kamar dengan kejadian kusta. 

Selain itu hasil penelitian Patmawati & 

Nurjazuliand (2015) juga menyatakan bahwa 

terdapat hubungan antara kepadatan hunian 

dengan kejadian kusta. Kepadatan hunian 

kamar yang tidak memenuhi syarat berpengaruh 

terhadap timbul dan menularnya penyakit. 

Kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi 

syarat meningkatkan kontak antar individu baik 

kontak fisik maupun udara. Selain itu juga akan 

menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dan 

akan mempermudah penularan penyakit kusta 

ke anggota keluarga yang lain. Kondisi ini dapat 

mendukung kuman kusta berkembang secara 

optimal dan meningkatkan penularan penyakit 

kusta. Oleh karena itu kepadatan hunian kamar 

adalah faktor risiko kejadian kusta di wilayah 

kerja Puksesmas Bandarharjo.

Ventilasi yang memenuhi syarat dapat 

menghambat pertumbuhan bakteri kuman 

kusta. Hal ini karena kuman kusta suka hidup 

di tempat lembab namun akan mati apabila 

terkena sinar matahari. Hasil penelitian ini 

sejalan dengan hasil penelitian Nurcahyati 

(2017) yang menyatakan bahwa terdapat 

hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian 

kusta. Penelitian tersebut menyatakan bahwa 

sebagaian besar responden yang menderita kusta 

memiliki luas ventilasi yang tidak memenuhi 

syarat. Sebagian responden kasus pada 

penelitian ini memiliki luas ventilasi yang 

kurang dari 10% luas lantai. Ventilasi menjadi 

persyaratan mutlak suatu rumah yang sehat 

karena fungsinya sangat penting. Pertama, 

untuk menjaga agar aliran udara di dalam 

rumah tetap segar. Jika vnetilasi kurang, maka 

ruangan akan mengalami kekurangan O2. 

Kedua, aliran udara yang terus meningkat dapat 

membebaskan udara dalam ruangan dari bakteri 

penyebab kusta. Selain itu luas ventilasi rumah 

yang tidak memenuhi syarat mengakibatkan 

terhalangnya proses masuknya cahaya matahari 

yang masuk ke dalam rumah. Akibatnya kuman 

kusta tidak bisa mati dan berkembang dengan 

baik di tubuh penderita. Oleh karena itu luas 

ventilasi merupakan variabel yang berhubungan 

dengan kejadian kusta di wilayah kerja 

Puskesmas Bandarharjo.

Proporsi responden kasus yang tidak 

membuka jendela setiap hari lebih banyak 

daripada responden kontrol yang tidak rutin 

membuka jendela setiap hari. Sebagian besar 

responden dalam penelitian ini baik kasus 

maupun kontrol, hanya menjadikan jendela 

sebagai pajangan dan tidak pernah dibuka. 

Kondisi ini mengakibatkan udara rumah kotor 

karena tidak ada pergantian udara. 

Hasil penelitian ini sejalan dengan 

penelitian dengan hasil penelitian Namira 

(2014) tentang faktor yang berhubungan dengan 

kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas 

Kapita Kabupaten Jeneponto yang menyatakan 

bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan 

membuka jendela dengan kejadian kusta. 

Penelitian tersebut menyatakan bahwa 

kebanyakan penderita kusta tidak membuka 

jendela secara rutin. Responden yang tidak rutin 

membuka jendela memiliki risiko 4,333 kali 

lebih besar terkena kusta daripada responden 

yang memiliki kebiasaan membuka jendela rutin 

setiap hari. Secara teori basil kuman kusta dapat 

ditemukan di mana-mana termasuk di udara. 

Membuka jendela minimal pada pagi hari 

secara rutin akan berfungsi sebagai pergantian 

udara. Rumah dengan aliran udara yang baik akan menyulitkan pertumbuhan kuman 

penyakit. Pertukaran udara dapat memecah 

atau mengurangi konsentrasi kuman di udara.

Berdasarkan hasil penelitian 

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan 

antara tingkat pencahayaan rumah dengan 

kejadian kusta. Tidak adanya hubungan tersebut 

terjadi karena sebagian besar responden kasus 

(86,2%) memiliki tingkat pencahayaan rumah 

yang tidak berisiko dan proporsi responden yang 

memiliki tingkat pencahayaan rumah tidak 

berisiko lebih besar dibandingkan responden 

yang memiliki tingkat pencahayaan rumah yang 

berisiko. Sebagian besar responden kontrol 

(93,1%) juga memiliki tingkat pencahayaan 

yang tidak berisiko dan proporsi responden yang 

memiliki tingkat pencahayaan yang tidak 

berisiko lebih besar dibandingkan responden 

yang memiliki tingkat pencahayaan yang 

berisiko. Lokasi pada penelitian ini merupakan 

daerah pesisir dengan suhu yang tinggi dan 

cuaca sangat panas. Suhu rata-rata di lokasi 

penelitian diatas 32ºC, sehingga proporsi 

responden baik kasus maupun kontrol yang 

memiliki tingkat pencahayaan yang tidak 

berisiko lebih besar dibandingkan responden 

yang memiliki tingkat pencahayaan yang 

berisiko. Oleh karena itu tingkat pencahyaan 

bukan merupakan variabel yang memiliki 

hubungan signifikan dengan kejadian kusta di 

wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo.

Berdasarkan hasil pengamatan di 

lapangan, responden kasus yang memiliki 

kelembaban tidak berisiko masih memiliki 

faktor risiko lain seperti adanya riwayat kontak 

serumah dan status ekonomi yang rendah. Hal 

tersebut mengakibatkan penularan kusta bukan 

dari tingkat kelembaban rumah melainkan dari

adanya kontak serumah dengan penderita kusta, 

kemudian di dukung pendapatan yang rendah. 

Kondisi ini menyebabkan responden tidak 

mampu mengakses pelayanan kesehatan untuk 

memperiksakan diri, sehingga tidak dapat 

dilakukan diagnosis kusta lebih dini. Akibatnya 

kuman kusta terus tumbuh berkembang secara 

optimal dalam tubuh penderita dan menularkan

ke anggota keluarga yang lain. Hasil penelitian 

ini tidak sejalan dengan hasil penelitian 

Rismawati (2014) tentang hubungan antara 

sanitasi rumah dan personal hygiene dengan 

kejadian kusta di Poliklinik Kusta RSUD 

Tugurejo yang menyatakan bahwa tidak 

terdapat hubungan antara tingkat kelembaban 

dengan kejadian kusta. Lokasi pada penelitian 

ini merupakan daerah pesisir dengan suhu yang 

tinggi dan cuaca sangat panas sehingga 

kelembabanya rendah. Kelembaban rata-rata di 

lokasi penelitian di bawah 60%, sehingga 

proporsi responden baik kasus maupun kontrol 

yang memiliki tingkat kelembaban yang tidak 

berisiko lebih besar dibandingkan responden 

yang memiliki tingkat kelembaban yang 

berisiko. Oleh karena itu tingkat kelembaban 

bukan merupakan variabel yang memiliki 

hubungan signifikan dengan kejadian kusta di 

wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo.

Jenis lantai rumah pada beberapa

responden kasus masih ada yang menggunakan 

tanah. Selain itu rumahnya juga tidak memiliki 

penghawaan yang cukup. Berbagai jenis 

penyakit dapat muncul karena lingkungan yang 

buruk. Rumah yang sehat akan memberikan 

kesehatan pada penghuninya. Apabila lantai 

rumah terbuat dari bahan tidak kedap air dapat 

menyebabkan meresapnya air ke dalam rumah 

sehingga rumah menjadi tidak sehat dan 

lingkungan sekitar buruk. Hasil penelitian ini 

sejalan dengan penelitian Oktaviani & Nurmala 

(2016) tentang faktor risiko yang berhubungan 

dengan kejadian kusta di Kabupaten Lampung 

Utara yang menyatakan bahwa terdapat 

hubungan antara jenis lantai rumah dengan 

kejadian kusta. Selain itu hasil penelitian 

Aprizal (2017) menyatakan bahwa terdapat 

hubungan antara jenis lantai dengan kejadian 

kusta. Menurut Maharani (2015) lantai 

merupakan bahan bangunan fisik rumah yang 

sebaiknya dibuat dari bahan kedap air dan 

dibuat agak tinggi agar tidak bersentuhan 

langsung dengan tanah. Bakteri Mycrbacterium 

leprae suka hidup pada tempat yang sanitasi 

lingkunganya buruk. Berdasarkan hasil 

pengamatan di lapangan, lantai rumah 

responden yang menderita kusta masih banyak 

yang terbuat dari tanah sehingga dapat menjadi 

tempat yang ideal untuk pertumbuhan kuman kusta. Lantai rumah yang tidak kedap air akan 

menyerap air dari tanah sehingga meningkatkan 

kelembaban dan dapat bertindak sebagai 

reservoir untuk Mycobacterium leprae.

Responden yang memiliki jenis dinding 

rumah tidak kedap air memiliki risiko 5,83 kali 

lebih besar terkena penyakit kusta dibanding 

responden yang memiliki jenis dinding rumah 

yang kedap air. Adanya hubungan tersebut 

terjadi karena proporsi dinding rumah yang 

tidak kedap air pada responden kasus (27,6%) 

lebih besar dari pada dinding rumah yang tidak 

kedap air pada responden kontrol (3,4%). 

Sedangkan proporsi dinding rumah yang kedap 

air pada responden kontrol (96,6%) lebih besar 

daripada dinding rumah yang kedap air pada 

responden kasus (72,5%). Pada beberapa 

responden kasus, dinding rumahnya masih 

terbuat dari papan tanpa ventilasi yang cukup. 

Kondisi dinding yang tidak memenuhi syarat 

dapat menyebabkan rumah menjadi tidak sehat. 

Hal ini karena dinding yang tidak kedap air 

lebih bersifat lembab dan menjadi tempat yang 

baik untuk pertumbuhan kuman kusta. Menurut 

Maharani (2015) dinding rumah sebaiknya 

dibuat dari tembok, tetapi dengan ventilasi yang 

cukup. Dinding harus terbuat dari bahan yang 

kedap air dan mudah dibersihkan. Hal ini untuk 

mencegah agar dinding rumah tidak kotor dan 

lembab sehingga menjadi tempat tumbuh dan 

berkembangnya bakteri penyebab kusta. Selain 

itu kuman kusta suka di lingkungan lembab. 

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian 

yang dilakukan oleh Ratnawati (2016) tentang 

faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko 

kejadian penyakit kusta yang menyatakan 

bahwa terdapat hubungan antara jenis dinding 

rumah dengan kejadian kusta. Penelitian 

tersebut menemukan bahwa sebagian besar 

reponden yang menderita kusta memiliki 

dinding rumah yang tidak kedap air. Oleh 

karena itu jenis dinding rumah merupakan 

variabel yang berhubungan dengan kejadian 

kusta di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo.

Berdasarkan hasil observasi dan 

pengumpulan data di lapangan, kejadian kusta 

di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo lebih 

banyak terjadi pada masyarakat yang masih satu 

keluarga. Satu keluarga responden biasanya 

terdiri dari suami, istri, dan anak yang 

semuanya terdiagnosis menderita kusta. 

Kebiasaan masyarakat di lokasi penelitian yang 

memiliki keakraban tinggi dengan anggota 

serumah dan tidak memiliki pekerjaan sehingga 

lebih banyak menghabiskan waktu bersama di 

rumah meningkatkan kontak serumah baik fisik 

maupun udara. Menurut Maharani (2015) 

secara teoritis diketahui bahwa seseorang 

terinfeksi kuman kusta karena pernah 

melakukan kontak langsung dalam jangka yang 

sangat lama dengan penderita kusta. Hal ini 

karena berjuta-juta basil dikeluarkan melalui 

lendir hidung penderita kusta lepromatosa 

kemudian mekanisme penularan penyakit kusta 

adalah melalui kontak yang dekat dan 

penularan melalui udara. Riwayat kontak 

serumah merupakan mekanisme penularan 

utama penyakit kusta karena terjadi kontak 

yang lama secara terus menerus baik kontak 

fisik maupun udara. Hasil penelitian ini sejalan 

dengan hasil penelitian Bakker (2014) tentang 

faktor risiko kejadian kusta di Indonesia yang 

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara 

riwayat kontak serumah dengan kejadian kusta. 

Selain itu hasil penelitian yang dilakukan oleh 

Norlatifah (2010) menemukan bahwa riwayat 

kontak serumah merupakan faktor risiko 

kejadian kusta. Penelitian Susanti & Azam 

(2016) juga menyatakan bahwa faktor risiko 

yang berhubungan dengan kejadian kusta 

adalah riwayat kontak. Penyakit kusta atau 

lepra merupakan penyakit yang disebabkan oleh 

bakteri Mycrobacterium leprae, bakteri ini dapat 

menularkan penyakit melalui udara dan air 

sehingga kontak langsung dengan penderita 

dapat menjadi aktifitas penularan kejadian 

kusta. Menurut hasil penelitian yang dilakukan 

oleh Goulart (2008) tentang faktor risiko dan 

protektif perkembangan penyakit kusta 

berdasarkan riwayat kontak serumah, 

menyatakan bahwa dari studi kohort terhadap 

responden yang diikuti secara prosprektif 

selama 5 tahun menunjukkan bahwa adanya 

riwayat kontak serumah memiliki risiko 3,8 kali 

lebih besar terkena penyakit kusta.

Berdasarkan temuan di lapangan, satukeluarga penderita kusta di Wilayah kerja 

Puskesmas Bandarharjo yang terdiri dari 4-5 

anggota keluarga dengan satu tulang punggung 

yang bekerja sebagai buruh atau tukang becak. 

Status ekonomi yang rendah berpengaruh pada 

kemampuan responden untuk mengakses 

pelayanan kesehatan, pemenuhan gizi, dan 

kondisi fisik rumah. Sebagaian besar respoden 

kasus dalam penelitian ini memiliki ekonomi 

dengan penghasilan perbulan < Rp. 1.500.000,-

dengan distribusi pekerjaan responden 

terbanyak adalah buruh, cenderung hanya 

cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari, 

sehingga mereka tidak bisa mengakses layanan 

kesehatan dan tidak bias memperbaiki kondisi 

rumah menjadi sehat. Ketika responden 

mengalami gejala penyakit kusta, mereka tidak 

mampu untuk memeriksakan diri ke fasilitas 

pelayanan kesehatan. Kenyataan di lapangan, 

penderita kusta melakukan pengobatan setelah 

mereka di diagnosis positif kusta dan di bantu 

oleh para kader untuk mendapatkan pengobatan 

gratis. Kondisi seperti ini mengakibatkan 

penderita kusta tidak bisa didiagnosa lebih dini 

sehingga bakteri kusta terus bertumbuh dengan 

optimal dalam tubuh penderita.

Menurut Maharani (2015) Umumnya 

penyakit kusta terdapat di Negara yang sedang 

berkembang dan sebagian besar penderitanya 

adalah dari golongan ekonomi lemah. Negara 

atau masyarakat berstatus ekonomi rendah, 

pengetahuan tentang kesehatan dan 

lingkunganya rendah, sehingga keadaan 

kesehatan lingkunganya buruk. Hal ini 

mengakibatkan adanya populasi berisiko tinggi 

terhadap penyakit menular dan siklus penularan 

penyakit kusta terus terjadi. Status ekonomi 

dapat dilihat dari penghasilan per bulan, di 

mana negara yang tergolong berpenghasilan 

rendah banyak menderita penyakit menular 

termasuk penyakit kusta.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil 

penelitian Wagenaar (2015) tentang faktor risiko 

kejadian kusta di Bangladesh yang menyatakan 

bahwa terdapat hubungan antara status 

ekonomi dengan kejadian kusta. Selain itu hasil 

penelitian Richardus (2018) tentang 

Keanekaragaman makanan dan kemiskinan 

sebagai faktor risiko kusta di Indonesia juga 

menyatakan bahwa pendapatan yang rendah 

memiliki hubungan yang signifikan dengan 

kejadian kusta. Faktor ekonomi berpengaruh 

terhadap daya beli msayarakat terutama 

terhadap kemampuan mengakses fasilitas 

pelayanan kesehatan, sehingga berhubungan 

secara signifikan dengan penyakit menular. 

Kemampuan ekonomi masyarakat 

mempengaruhi kondisi lingkungan 

perumahanya seperti lantai, dinding dan atap 

rumah. Oleh karena itu status ekonomi 

merupakan variabel yang berhubungan secara 

siginifikan dengan kejadian kusta di wilayah 

kerja Puskesmas Bandarharjo.

Analisis multivariat pada Tabel 3 yang 

dilakukan dengan menggunakan uji regresi 

logistik berganda diperoleh hasil bahwa variabel 

yang memiliki hubungan dengan kejadian kusta 

yaitu ketinggian lantai rumah, kepadatan 

hunian kamar dan jenis lantai. Variabel yang 

diprediksi memiliki hubungan paling kuat 

dengan kejadian kusta di wilayah kerja 

Pukesmas Bandarharjo yaitu ketinggian lantai 

rumah. Hal ini berarti responden yang memiliki 

ketinggian lantai rumah < 20 cm memiliki risiko 

18,89 kali lebih besar untuk terkena penyakit 

kusta dibandingkan responden yang memiliki 

ketinggian lantai rumah ≥20 cm. Selain itu 

berdasarkan hasil perhitungan persamaan 

regresi logistik berganda didapatkan peluang 

responden untuk terkena penyakit kusta dari

adanya interaksi dari variabel-variabel yang 

paling berhubungan (ketinggian lantai, 

kepadatan hunian kamar, dan jenis lantai). 

Adanya interakasi antara faktor risiko 

lingkungan fisik memberikan peluang lebih 

besar untuk kejadian kusta.

Jadi variabel yang diprediksi memiliki 

hubungan paling kuat dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo adalah 

ketinggian lantai rumah. Hal ini karena 

berdasarkan penelitian di lapangan sebagian 

besar responden kasus memiliki kondisi 

lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi 

syarat dan memiliki riwayat kontak serumah 

dengan penderita kusta. Sebagian besar 

responden kasus (52%) yang memiliki 

ketinggian lantai rumah berisiko juga memiliki 

kepadatan hunian kamar tidak memenuhi 

syarat, jenis lantai dan jenis dinding tidak kedap 

air serta ada riwayat kontak serumah dengan 

penderita kusta. Kondisi fisik rumah yang 

memiliki ketinggian lantai rumah < 20 cm akan 

lebih dekat dengan tanah sehingga 

memungkinkan kontaminasi bakteri dari tanah 

ke dalam rumah. Apabila rumah responden juga 

memiliki jenis lantai rumah yang terbuat dari 

tanah sehingga tidak kedap air maka akan 

mendukung berkembangbiaknya bakteri karena 

kondisi rumah yang kotor dan lembab. Selain 

itu adanya interaksi antara kondisi lingkungan 

fisik rumah yang tidak memenuhi syarat dan 

faktor risiko lingkungan sosial berupa riwayat 

kontak serumah dengan penderita semakin 

memperbesar peluang kejadian kusta. Riwayat 

kontak serumah dengan penderita kusta 

memungkinkan masuknya bakteri M. leprae ke 

dalam tubuh responden yang sehat kemudian 

bakteri tersebut tumbuh secara optimal dalam 

rumah yang kondisi lingkunganya tidak sehat. 

Sehingga bakteri terus berkembang biak dalam 

tubuh penderita.







Jumlah penderita kusta di kota Semarang pada tahun 2017 sebanyak 68 dan di Puskesmas 

Bandarharjo sebanyak 33 kasus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara 

faktor risiko lingkungan dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo tahun 

2018. Penelitian dilakukan pada Mei 2018. Penelitian ini merupakan penelitian analitik

observasional dengan pendekatan kasus-kontrol. Besar sampel masing-masing kelompok adalah 29 

responden, diambil dengan teknik purposive sampling. Data diolah menggunakan uji chi-square 

dan regresi logistik. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan antara ketinggian lantai (p-value= 

0,008), kepadatan hunian kamar (p-value= 0,002), luas ventilasi (p-value= 0,015), kebiasaan 

membuka jendela (p-value= 0,032), jenis lantai (p-value= 0,007), jenis dinding (p-value= 0,004), 

riwayat kontak serumah (p-value= 0,002) dan status ekonomi (p-value= 0,002) dengan kejadian 

kusta. Ketinggian lantai, kepadatan hunian kamar kamar, luas ventilasi rumah, kebiasaan 

membuka jendela rumah, jenis lantai, jenis dinding, riwayat kontak serumah dan status ekonomi 

merupakan faktor risiko kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo.


kusta 37



Neglected Tropical Disease (NTD) merupakan penyakit tropis dan 

sub tropis yang masih banyak dialami warga   dengan kondisi ekonomi lemah dan 

cenderung terabaikan karena berbagai faktor. Permasalahan yang dialami oleh pasien 

dengan NTD sangat kompleks, mulai dari kondisi fisik mengalami kelemahan, perubahan 

karena kecacatan serta dampaknya setelah mengalami perubahan fisiknya. Metode : 

penelitian ini menggunakan metode kepustakaan tentang aspek holistik pasien kusta dan 

filariasis tahun 2009-2019 dan didukung data sekunder dari Dinas Kesehatan Kabupaten 

Kediri. Hasil : Pasien kusta di Jawa Timur dengan kecacatan tingkat 2 sebesar 10,40%

sedangkan pasien filariasis sejumlah 10.681 kasus. Pasien kusta dan filariasis mengalami 

berbagai masalah pada aspek holistik kehidupannya karena deformitas pada fisiknya, 

sehingga mereka merasa malu untuk bergaul dengan orang-orang disekitarnya dan 

membatasi interaksi sosial, produktivitas menurun, tergantung pada orang lain, pasien dan 

keluarga diasingkan, sulit mendapatkan pekerjaan. Kesimpulan : Pasien kusta dan 

filariasis mengalami perubahan dan gangguan pada fisiknya akibat proses penyakit yang 

dialami yang berdampak pada aspek lainnya yaitu aspek psikologis, sosial, spiritual dan 

kultural pada pasien, keluargaNeglected Tropical Disease (NTD) adalah 

penyakit yang dialami oleh warga   

wilayah tropis dan sub tropis dengan kondisi 

perekonomian yang lemah. Kondisi 

ekonomi yang lemah, juga sering disertai 

dengan penurunan pada sumber yang lain 

misalnya kurangnya sanitasi lingkungan dan 

sumber daya manusia. Pramono M. S., 2014 

menyebutkan pada tingkat individu di NAD, 

ada  hubungan yang bermakna pada 

penggunaan kelambu dan kondisi saluran 

pembuangan air limbah rumah tangga. 

Individu yang tidur tidak menggunakan 

kelambu berisiko 1,60 menderita filariasis 

dibandingkan mereka yang tidur 

menggunakan kelambu, sedangkan individu 

yang rumahnya tidak ada  saluran 

limbah berisiko 3,47 menderita filariasis 

daripada yang rumahnya memiliki saluran 

limbah. Pada tingkat kabupaten/kota, faktor 

yang mempengaruhi penderita filariasis di 

Provinsi NAD adalah jarak ke sarana 

pelayanan terdekat, jarak yang diperlukan 

untuk memperoleh air dan persentase 

penduduk yang ketika tidur malam 

menggunakan kelambu berinsektisida. 

Makin jauh jarak ke pelayanan dan sumber 

air berpeluang meningkatkan kejadian 

filariasis.

NTD dikatakan penyakit yang terabaikan 

karena pasien yang menderita penyakit ini 

akan mengalami penyakit ini dalam waktu 

yang lama bahkan selama hidupnya 

sehingga dapat menimbulkan berbagai 

masalah. Permasalahan yang kompleks tidak 

hanya bagi pasien sendiri namun  juga bagi 

keluarga dan warga   sekitarnya. NTD 

memicu  penurunan aktivitas dan 

produktivitas pasiennya dan berdampak 

pada keluarga dan warga   sekitarnya. 

NTD merupakan penyakit infeksi yang 

disebabkan oleh Protozoa, Bakteri, Virus, 

Helminth. Tahun 2012 ada  lima NTD di 

Indonesia yaitu Kusta, Filariasis, 

Schistosomiasis, Frambusia dan 

Kecacingan. 

Kemenkes, 2016 menguraikan tentang 

berbagai teknologi preventif, diagnostik dan 

terapeutik baru yang berpotensi besar untuk 

meningkatkan keberhasilan pengendalian

penyakit terabaikan (Neglected Tropical 

Diseases/NTD), Tuberkulosis dan Malaria. 

Masalah-masalah implementasi/operasional 

di lapangan seringkali menghambat realisasi 

potensi berbagai teknologi tersebut. 

Implementasi yang dilakukan untuk 

mengatasi masalah penyakit tropis-sub 

tropis termasuk NTD banyak dilakukan. 

Implementasi tersebut merupakan 

pelaksanaan dari kebijakan atau program 

atau intervensi pengendalian penyakit tropis 

yang ada di Indonesia termasuk penelitian. 

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk 

meningkatkan efektifitas, efisiensi dan 

capaian dari implementasi suatu kebijakan, 

program atau intervensi di bidang kesehatan. 

Pasien yang menderita NTD memerlukan 

terapi yang lama, bahkan beberapa pasien 

mengalami perubahan dan gangguan pada 

fisiknya. Perubahan fisik dan gangguan 

fisik, dapat berdampak pada kondisi 

psikologis pasien selama sakit bahkan 

seumur hidupnya termasuk pada keluarga. 

Misalnya pasien tidak dapat 

beraktivitas/bekerja sehingga pemenuhan 

kebutuhan pasien tergantung orang lain. 

Pasien dapat mengalami gangguan konsep 

diri (self concept) selama menjalani proses 

terapi/sakit. Aspek fisik terganggu, 

memicu  aspek biologi, psikologi, 

sosial, spiritual dan kultural manusia sebagai 

makhluk holistik dan komprehensif juga 

dapat terganggu. Endriyani S., 2014 

menyebutkan perubahan fisik yang dialami 

pasien kusta dapat menimbulkan terjadinya 

gangguan emosional bagi pasien. Pasien 

umumnya merasa takut terhadap kecacatan 

yang terjadi, takut menghadapi sikap dari 

keluarga dan warga  , takut kehilangan 

pekerjaan dan peran di warga  , serta 

terganggunya hubungan di dalam keluarga. 

Penyakit kusta dikenal warga   

berdasarkan tradisi kebudayaan (turun 

temurun) sehingga penyakit kusta dipahami 

sebagai penyakit yang sangat menular dan 

tidak dapat diobati, penyakit keturunan, 

najis dan penyakit kutukan dari Tuhan.

Manusia sebagai sistem holistik dan terbuka, 

memerlukan kemampuan untuk memahami 

dan beradaptasi terhadap kondisinya yang 

menderita NTD disertai dengan perubahan 

fisik. Infeksi filaria memicu  adanya 

kerusakan pada saluran limfe, memicu  peradangan dan pembengkakan bagian 

tubuh yang mengalami peradangan. 

Perubahan fisik pasien Kusta paling 

menonjol jika mengalami kecacatan tingkat 

2, adanya deformitas pada ekstremitas. 

Kondisi seperti ini memerlukan berbagai 

tindakan baik secara mandiri pasien, 

keluarga maupun lintas sektor. Misalnya 

pemberian obat sesuai program yang 

dijalankan, pendampingan selama terapi, 

pencegahan penularan penyakit, pencegahan 

kecacatan, peningkatan kemampuan 

bersosialisasi, pemberian keterampilan 

untuk menunjang aktivitas sehari-hari dan 

produktivitasnya bahkan untuk memenuhi 

kebutuhan pribadi/keluarga. Tujuan 

penulisan ini adalah untuk mengetahui aspek 

holistik pada pasien dengan Kusta dan 

Filariasis (Neglegted Topical Disease).

Penulisan ini merupakan kajian kepustakaan

dari hasil penelitian, buku dan tinjauan 

pustaka dari beberapa referensi/literature 10 

tahun terakhir (2009-2019) yang 

menguraikan aspek holistik pada pasien 

kusta dan filariasis, meliputi aspek fisik, 

psikologis, sosiaal, ekonomi, spiritual dan 

kultural

Data yang digunakan untuk mendukung 

pembahasan kajian ini adalah data sekunder 

dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018 

(beberapa data diperoleh sampai Bulan April 

2019).

HASIL 

KUSTA

Kusta/Lepra/Morbus Hansen merupakan 

penyakit tipe granulomatosa yang 

menyerang saraf tepi, mukosa saluran 

pernapasan atas dan kulit yang disebabkan 

oleh Mycobacterium leprae. Bakteri 

berbentuk batang diklasifikasikan dalam 

genus yang sama dengan Mycobacterium 

tuberkulosis. Penanganan kusta yang kurang 

tepat, dapat memicu  perkembangan 

secara progresif dan kerusakan pada saraf 

anggota gerak, kulit dan mata. Kusta 

merupakan penyakit yang lama 

perkembangannya/masa inkubasinya. 

Permasalahan yang dialami pasien kusta 

bukan hanya karena deformitas fisik, namun  

deformitas fisik menimbulkan dampak pada 

aspek psikologis, sosial, spiritual dan 

kultural pasien selama sakit bahkan seumur 

hidup termasuk keluarganya.

Proses penyebaran bakteri M. leprae 

sehingga memicu  penularan jika 

ada  kontak langsung secara berulang 

dengan penderita Kusta. M. leprae mampu 

bertahan selama 9 hari di luar tubuh 

manusia, proses pembelahan bakteri dalam 

waktu 14-21 hari. Seseorang yang terinfeksi 

M. leprae memerlukan waktu 2-5 tahun 

untuk munculnya tanda dan gejala.

Beberapa tanda dan gejala pada kusta dapat 

ditemukan juga pada penyakit lain 

(Differential Diagnosis). Tanda 

utama/Cardinal Signs penyakit kusta yang 

harus diperhatikan adalah adanya : 1) 

Bercak yang hilang rasa/mati rasa, 2) 

Penebalan syaraf tepi disertai gangguan 

fungsi pada sensorik, motorik dan otonom 3) 

pemeriksaan Skin Smear/kerokan kulit 

ditemukan kuman kusta (BTA). Tanda dan 

gejala pada kusta lainnya yang harus 

diwaspadai yaitu bercak putih pada kulit 

seperti panu pada awalnya hanya sedikit 

namun  semakin lama semakin lebar dan 

banyak, bintil-bintil kemerahan tersebar 

pada kulit, bagian tubuh ada yang tidak 

berkeringat, terasa kesemutan pada anggota 

badan atau bagian wajah, muka berbenjol￾benjol dan tegang (facies leomina/muka 

singa) dan kerusakan syaraf tepi sehingga 

timbul mati rasa. Gejala Kusta tidak selalu 

tampak. Sebaiknya waspada jika ada yang 

menderita Iuka tak kunjung sembuh dalam 

jangka waktu lama. Jika ditekan dengan jari 

luka tidak terasa sakit. Kusta terkenal 

sebagai penyakit yang paling ditakuti karena 

deformitas atau cacat tubuh. Masalah pada 

mata dapat meliputi anestesi kornea, 

Lagophtalmos dan Iridosiklitis. Tingkat 

kecacatan kusta menggambarkan kondisi 

fisik pasien kusta, terbagi menjadi kecacatan 

tingkat 0, tingkat 1 dan tingkat 2. 

WHO 2018 menyebutkan prevalensi Kusta 

di Indonesia pada tahun 2017-kuartal 

pertama 2018 sejumlah 18.242 orang dari 

total penduduk 266.995.000 orang. pasien 

Kusta tipe MB sejumlah 13.701 orang, jenis 

kelamin wanita sejumlah 6.043 orang, 

pasien dengan kecacatan tingkat 2 sejumlah 1.116 orang, pasien anak-anak sejumlah

1.755 anak 48 diantaranya mengalami 

kecacatan tingkat 2, kasus kambuh sejumlah 

267 orang dan menjalani terapi ulang 

sejumlah 776 orang. Ditjen P2P Kemenkes 

RI, 2019 (per tanggal April 2019) 

menyebutkan jumlah kasus baru Kusta di 

Indonesia sejumlah 17.017 orang. Angka 

kecacatan tingkat 2 per 1.000.000 penduduk 

sebesar 4.22 dan Kusta pada usia 0-14 tahun 

sejumlah 1.861 anak (10,94%). Tipe 

Multiple Baciler (MB) sejumlah 14.543 

orang dengan proporsi 85.46. Pasien kusta di 

Jawa Timur sejumlah 3.259 orang pasien 

baru, kecacatan tingkat 2 sejumlah 339 

orang (10,40%). Kusta pada usia 0-14 tahun

sejumlah 224 (6.87%).

FILARIASIS

Filariasis/Lymphatic Filariasis/Kaki 

Gajah/Elephantiasis merupakan penyakit 

infeksi yang menyerang saluran dan kelenjar 

getah bening. Filariasis disebabkan oleh 

Nematoda family Filariodidea. Cacing 

Filaria yang ditularkan melalui vektor, yaitu 

nyamuk genus Anopheles, Aedes, Mansonia, 

Culex dan Armigeres. Di Regional South￾East Asia (SEAR) ada  3 jenis parasit 

Filariasis, yaitu Wuchereria bancrofti, 

Brugia malayi dan Brugia timori. Kemenkes 

RI 2014 menyebutkan daerah endemis 

Filariasis pada umumnya seperti daerah 

dataran rendah, terutama di pantai, 

pedalaman, pedesaan, persawahan, rawa￾rawa dan hutan (sesuai dengan breeding 

place nyamuk). 

Ditjen P2P Kemenkes RI, 2019 

menyebutkan pada tahun 2018 ada  

10.681 kasus filariasis yang tersebar di 34 

provinsi. Kabupaten/kota endemis Filariasis 

sejumlah 236 kabupaten/kota tersebar di 28 

propinsi dan yang masih melaksanakan 

Pemberian Obat Pencegahan Massal 

(POPM) Filariasis sejumlah 131 (5,55%). 


Nilai tingkat kecacatan umum dipakai pada 

seorang penderita kusta baru adalah tingkat 

kecacatan tertinggi (tingkat 2) pada saat 

menentukan keadaan cacat pada mata, 

tangan atau kaki. Kecacatan tingkat 2 yang 

dialami pasien dewasa maupun pada anak￾anak, sangat berpengaruh terhadap kualitas 

hidup dan produktivitas pasien, konsep diri, 

sosialisasi pasien dengan sekitarnya, adanya 

stigma negatif dari sekitarnya, pemenuhan 

spiritual pasien dan peningkatan beban 

hidup keluarga. 

Tipe Muliple Baciler (MB) merupakan tipe 

kusta yang mudah menular, sehingga jika 

tidak ditangani dengan baik, berisiko besar 

menularkan pada orang-orang disekitarnya. 

Terutama pada anggota keluarga atau orang 

yang sering kontak dengan pasien (kontak 

terdekat), orang yang mudah mengalami 

penurunan daya tahan tubuh (ibu hamil, 

balita, usia lanjut), malnutrisi, sedang 

menderita penyakit kronis, kontak langsung 

dengan luka pasien tanpa tindakan septik 

aseptik. 

Pongtiku Arry, 2016 menguraikan 

pengobatan kusta sesuai regimen WHO, 

yaitu diberikan obat paket MDT (Multi 

Drugs Therapy) yang mengandung 

Rifampicin, Lamprene, DDS. Kasus PB 

diberi 6 blister yang diselesaikan dalam 6-9 

bulan, sedangkan kasus MB diberi 12 blister 

yang diselesaikan selama 12-18 bulan. Pilot 

project yang dilakukan tindakan 

pencegahan/tindakan Chemoprofilaksis 

dengan single dose Rifampicin pada orang 

yang belum ada tanda klinis kusta namun  

beresiko terkena karena sebagai kontak 

keluarga, tetangga atau sosial.

FILARIASIS

Filariasis dapat memicu  kerusakan 

pada sistem limfe (lymphoedema), 

pembengkakan pada glandulla mammae, 

scrotum dan ekstremitas. Limfedema dan 

scrotal hidrokel berdampak buruk pada 

kehidupan pribadi dan sosial, serta 

terbatasnya aktivitas kerja. Kerusakan 

tersebut menimbulkan kecacatan seumur 

hidup, sehingga dapat memicu  

penurunan produktivitas pasien, 

ketergantungan pada orang lain/keluarga, 

gangguan konsep diri dan stigma negatif 

dari warga   serta memicu  

peningkatan beban pada keluarga. Suryani, 

2014 menyebutkan sembilan puluh persen 

penyakit filariasis limfatik di duniadisebabkan oleh cacing Wuchereria 

bancrofti yang memicu  terjadinya 

hidrokel, kiluria ataupun limfedema. Sisanya 

disebabkan oleh spesies Brugia (Brugia 

malayi dan Brugia timori) yang 

memicu  limfedema ataupun 

elefantiasis namun  tidak pernah melibatkan 

organ genital. Lebih dari 27 juta pria di 

seluruh dunia diketahui menderita hidrokel, 

serta lebih dari 15 juta penduduk dunia 

menderita elefantiasis dan limfedema. 

Kerusakan sistem limfatik, termasuk 

kerusakan saluran limfe kecil yang ada di 

kulit, memicu  menurunnya 

kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe 

dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe 

sehingga dapat terjadi limfedema. Penderita 

limfedema, serangan akut berulang oleh 

bakteri atau jamur akan memicu  

penebalan dan pengerasan kulit, 

hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan 

peningkatan pembentukkan jaringan ikat 

(fibrose tissue formation) sehingga terjadi 

peningkatan stadium limfedema, dimana 

pembengkakkan yang semula terjadi hilang 

timbul akan menjadi pembengkakkan 

menetap (Masrizal, 2012). 

Munawaroh L., 2016 menyebutkan usaha 

yang dilakukan untuk menekan jumlah 

kasus filariasis adalah dengan pelaksanaan 

Program Eliminasi Filariasis melalui 

Pemberian Obat Massal Pencegahan 

(POMP) filariasis. POPM adalah pemberian 

obat DEC dikombinasikan dengan 

Albendazole setiap tahun sekali selama 5 

tahun secara berturut-turut.

PEMBAHASAN

ASPEK HOLISTIK PASIEN KUSTA 

DAN FILARIASIS

Konsep holistik, komprehensif dan sistem 

terbuka pada manusia merupakan suatu 

konsep yang utuh, saling berinteraksi dan 

saling beradaptasi yang terdiri dari aspek 

fisik, psikologis, sosial, spiritual dan kultural 

tidak dapat dipisah-pisahkan. Aspek holistik 

manusia merupakan keseluruhan aspek 

kehidupan manusia yang saling menunjang 

dan saling mempengaruhi. Salah satu aspek 

terganggu atau berubah, maka aspek lainnya 

juga akan beradaptasi menyesuaikan dengan 

kondisi yang sedang dialami. Aspek tersebut 

meliputi aspek fisik terdiri dari kondisi dan 

aktivitas jasmaniah manusia, aspek 

psikologis yang berhubungan dengan 

kondisi mental manusia dalam menghadapi 

kondisi sakitnya, aspek sosial meliputi 

interaksi antar manusia termasuk juga 

kondisi ekonomi, aspek spiritual melibatkan 

tentang aktivitas kerohanian/keyakinan dan 

aspek kultural yang terdiri dari aktivitas 

sehari-hari yang mengaplikasikan 

budaya/kebiasaan yang dapat diterima oleh 

sekitarnya.

NTD menguraikan tentang penyakit yang 

terabaikan atau penykit yang kurang 

diperhatikan, dialami oleh warga   di 

wilayah tropis dan sub tropis dengan kondisi 

ekonomi rendah. Rendahnya kondisi 

ekonomi pasien sering memicu  

terjadinya keterbatasan lainnya. NTD 

merupakan penyakit yang jarang 

memicu  kematian, namun  sulit untuk 

dihilangkan. Kondisi ekonomi yang tidak 

baik, memicu  aktivitas lebih berfokus 

pada kegiatan pemenuhan makan keluarga. 

Ketidakmampuan menyediakan sanitasi 

rumah dan lingkungan sehat. Pencahayaan 

ventilasi, kelembaban (rumah) kurang, 

pembuangan limbah manusia dan rumah 

tangga tidak sesuai. Risiko penularan kusta 

dan filariasis meningkat, terutama pada 

orang terdekat. Penelitian Padhi T., 2015 

menguraikan bahwa risiko tinggi terjadinya 

kusta yaitu pada keluarga dan kontak sosial, 

pendidikan rendah, perumahan yang buruk 

dan pendapatan rendah. Wibawa T., 2016 

menyebutkan NTD disebabkan oleh 

kemiskinan yang terjadi di pedesaan, daerah 

kumuh di wilayah khatulistiwa (daerah 

tropis-sub tropis). Kemiskinan dan 

keterbatasan sumber daya lainnya, misalnya 

akses air minum bersih, sanitasi yang buruk 

dan perumahan yang tidak sehat, dapat 

berkontribusi terhadap terjadinya NTD. 

NTD dapat menurunkan kesehatan anak, 

mengakibatkan menurunnya tingkat 

pendidikan, meningkatkan biaya kesehatan 

dan risiko perawatan tidak efektif, 

mengurangi produktivitas dan meningkatkan 

morbiditas dan mortalitas. 

Kusta dan Filariasis merupakan penyakit 

tropis infeksi yang memerlukan terapi lama 

dan menimbulkan cacat fisik pada tubuh pasien (deformitas fisik). Penanganan yang 

dilakukan sudah tepat dengan pemberian 

terapi sesuai dengan SOP yang sudah 

ditetapkan. Namun beberapa aspek 

kehidupan lainnya kadang tidak ditangani 

secara komprehensif atau terabaikan. 

Pemberian atau pemberian terapi melalui 

program MDT pada kusta dan POPM pada 

filariasis sudah dilaksanakan dengan baik. 

namun  dampak dari kecacatan yang dialami 

pasien (selama hidup pasien) belum 

tertangani dengan baik. Kondisi pasien kusta 

dan filarisis khususnya yang sudah 

mengalami perubahan fisik dan kecacatan 

fisik serta lebih banyak yang menderita tipe 

MB pada kusta dapat mengalami berbagai 

masalah dari semua aspek holistik. Pasien 

mengalami penurunan produktivitas dan 

tergantung pada orang lain.

Berdasarkan data dari Kemenkes RI tahun 

2019, tingginya angka kejadian Kusta dan 

Filariasis pada usia dewasa/produktif, diikuti 

dengan angka kecacatan tingkat 2 pada kusta 

dan tipe MB yang juga tinggi, berisiko 

meningkatkan penurunan produktivitas 

pasien serta meningkatkan beban hidup 

pasien dan keluarga serta warga   dan 

risiko penularan kepada orang-orang di 

sekitar pasien. Jika tidak ditangani secara 

holistik, seluruh aspek kehidupan pasien 

dapat terpengaruh. 

Perubahan dan gangguan fisik pasien kusta 

dan filariasis, memicu  munculnya 

masalah pada aspek fisik, yaitu 

masalah/gangguan aktivitas sehari-hari 

(nutrisi, cairan, eliminasi, istirahat, personal 

hygiene, aktivitas), rasa nyaman. Masalah 

pada aspek psikologis (konsep diri, isolasi 

diri, marah, risiko perilaku kekerasan, 

ketergantungan). Masalah pada aspek sosial 

(isolasi diri, penurunan produktivitas, 

peningkatan beban keluarga (beban sosial 

dan ekonomi)). Masalah pada aspek spiritual 

yang dapat terjadi adalah penurunan 

keyakinan/kepercayaan dan pelaksanaan 

ibadah, pasien merasa mendapatkan 

hukuman/siksaan/karma. Sedangkan pada 

aspek kultural, karena adanya persepsi yang 

salah tentang kusta atau filariasis dapat 

menimbulkan stigma negatif dan 

diskriminasi pada pasien NTD (adanya 

anggapan pasien menderita penyakit 

kutukan, keturunan), kurang pengetahuan, 

kurang pemanfaatan tehnologi/fasilitas 

kesehatan, keterbatasan informasi, 

perubahan pola sehari-hari, perubahan 

peran-fungsi-tugas keluarga. Tidak sedikit 

pasien dengan filarisis menyembunyikan 

penyakitnya karena malu dan takut 

mendapatkan stigma negatif dari sekitarnya. 

Penelitian Lismayanti L., 2013 menguraikan 

tentang pengalaman hidup orang terinfeksi 

filariasis, yaitu ada  lima tema yang 

diperoleh dari informan yaitu emosi, 

persepsi, gejala klinis, ekonomi dan sosial 

serta pengalaman dalam mengakses 

pelayanan kesehatan. Penelitian Sulianti A., 

2013 tentang Tinjauan Psikologi Kesehatan 

pada Penderita Penyakit Kaki Gajah 

Kronis/Filariasis menunjukkan hasil ada  

tiga dinamika psikologis yaitu : penolakan 

(7,7%), cemas (85%) dan depresi (7,7%). 

Perilaku penderita sebagian besar (77%) 

menutupi penyakitnya karena minimnya 

pengetahuan. Filariasis dianggap penyakit 

yang menakutkan, karena pada fase kronis 

dapat memicu  kecacatan pada tubuh 

secara permanen karena pengerasan dan 

kerusakan pada jaringan pembuluh limfe 

dan pembuluh darah di sekitar organ tubuh. 

Kondisi seperti ini belum ditemukan 

obatnya bahkan tindakan operasi pun kurang 

bermanfaat lagi sehingga menimbulkan 

kecacatan. Permasalahan yang muncul tidak 

hanya secara estetika dan penurunan 

mobilitas pasien, namun  juga muncul masalah 

psikologis dan sosial.

Perasaan malu dan takut karena 

perubahan/gangguan pada fisik, 

ketidakmampuan, ketergantungan pada 

orang lain dapat berdampak pada 

kelangsungan pelaksanaan terapi yang 

dijalani. Pasien merasa malu berinteraksi 

dengan sekitarnya termasuk dengan petugas 

kesehatan yang berdampak terhadap proses 

terapi. Pasien takut dihindari atau 

dikucilkan/diasingkan oleh orang sekitarnya 

yang merasa jijik dengan kondisi luka/fisik 

pasien (pada kusta dapat disertai deformitas 

ekstremitas). Jika program terapi dihentikan 

maka dapat berisiko meningkatkan 

kerusakan jaringan tubuh/tingkat kecacatan 

meningkat dan risiko penularan semakin 

besar. Kondisi tersebut dapat berdampak terhadap semakin meningkatkan terjadinya 

penurunan produktivitas pasien. 

Kekurangtahuan pasien, keluarga dan 

warga   tentang penyakit Kusta da 

Filariasis memicu  munculnya berbagai 

persepsi, diantaranya anggapan penyakit 

kutukan, keturunan. Dampaknya bukan 

hanya pasien yang dikucilkan, namun  

keluarga dapat juga mendapatkan perlakuan 

yang sama. Persepsi bahwa kusta dan 

filariasis dianggap sebagai penyakit 

keturunan/kutukan karena adanya beberapa 

anggota keluarga menderita penyakit yang 

sama. Hal ini terjadi karena seringnya 

interaksi yang tidak tepat anggota keluarga 

yang sehat dengan pasien. Didukung dengan 

kurangnya pengetahuaan tentang penyakit 

tersebut (penyebab, tanda gejala, 

penatalaksanaan, komplikasi penyakit). 

Didukung dengan kondisi sanitasi 

lingkungan yang tidak sehat, meningkatkan 

risiko tertular karena tersedianya breeding 

place nyamuk (rumah lembab, pencahayaan 

dan ventilasi udara kurang) serta ada nya 

genangan limbah rumah tangga dan kandang 

ternak yang menyatu dengan tempat tinggal. 

Penelitian Fajriyah N.N., Dharmawan D.A. 

& Herdiyanto S., 2013 menyebutkan pasien 

kusta termasuk orang-orang yang dikucilkan 

dan dijauhi dari pergaulan di warga  , 

karena warga   memiliki prasangka dan 

stigma negatif tentang kusta. Penyakit kusta 

merupakan penyakit kutukan dan keturunan, 

stigma ini akan berdampak negatif bagi 

klien. Banyak klien kusta yang 

menghentikan bahkan tidak melakukan 

pengobatan sama sekali. 

NTD adalah penyakit tropis yang dialami 

oleh warga   dengan kemampuan 

ekonomi rendah. Rantai masalah berikutnya 

jika pasien mengalami gangguan fisik yaitu 

terjadinya penurunan produktivitas pasien 

sehingga memicu  gangguan 

pemenuhan ekonomi keluarga. Dampaknya 

adalah keterbatasan peningkatan kualitas 

sumber daya manusia (dewasa), penurunan 

kemampuan kognitif pada anak, penurunan 

kesehatan ibu hamil (sebagai pasien atau 

keluarga). Ketidakmampuan menentukan 

keputusan pelaksanaan terapi memicu  

pasien cenderung mendiamkan kondisinya. 

Etika A.N., 2015 menyebutkan mekanisme 

koping yang digunakan pada pasien kusta 

dari 75 responden sebagian besar 

menggunakan mekanisme koping yang 

berfokus pada emosi yaitu 41 responden 

(54,7%). Hasil penelitian menunjukkan 

adanya korelasi searah antara tingkat 

kecacatan dengan mekanisme koping pada 

pasien kusta dan semakin parah tingkat 

kecacatan pasien kusta akan semakin 

menggunakan mekanisme koping yang 

berfokus pada emosi. Mekanisme koping 

yang berfokus pada emosi cenderung 

dilakukan ketika pasien tidak dapat 

mengubah situasi yang menekan, hanya 

dapat menerima situasi tersebut karena tidak 

adekuatnya sumber daya yang dimilikinya. 

Konsep holistik inilah yang perlu 

diperhatikan untuk mengatasi dampak dari 

adanya perubahan fisik pada kasus ini. 

Kelangsungan hidup pasien kusta dan 

filariasis yang sudah mengalami kecacatan 

fisik sangat tergantung dari bantuan orang 

sekitarnya, sehingga kondisi ini 

memicu  rasa tidak berharga, tidak 

berdaya, tergantung pada orang lain 

sehingga berisiko memicu  timbulnya 

masalah lainnya. Suatu permasalahan yang 

terus menerus dapat terjadi dan saling 

mempengaruhi timbulnya masalah 

berikutnya sepanjang hidup. Soedarjatmi, 

2009 menyebutkan pasien kusta mengatakan 

sulit dalam mencari pekerjaan, responden 

merasa takut jika pimpinan dan teman￾temannya mengetahui bahwa responden 

menderita penyakit kusta, namun  dengan 

tidak bekerja mereka tidak mempunyai 

penghasilan.

Kusta dan Filariasis (Neglegted Tropical 

Disease) merupakan penyakit yang dapat 

memicu  timbulnya permasalahan pada 

pasien, keluarga dan warga   pada semua 

aspek kehidupan, meliputi aspek fisik, 

psikologis, sosial, spiritual dan kultural. 

Pelaksanaan terapi pada pasien Kusta dan 

Filariasis (Neglegted Tropical Disease) 

memerlukan upaya yang menyeluruh 

(komprehensif) karena adanya rantai 

masalah yang dihadapi pasien selama 

hidupnya sejak didiagnosis Kusta atau 

Filariasis. Sehingga disarankan penatalaksanaan tidak hanya sudah 

terlaksananya program terapi (MDT dan 

POPM) namun  juga memperhatikan aspek 

holistik manusia yang saling berhubungan 

dan saling mempengaruhi yaitu aspek fisik, 

psikologis, sosial, spiritual dan kultural. 

Diperlukan adanya kerjasama antara pasien, 

keluarga, warga   dan petugas kesehatan 

untuk membantu pasien meningkatkan 

kualitas hidupnya.