kusta 17
Ketinggian lantai, kepadatan hunian
kamar, luas ventilasi, kebiasaan membuka
jendela, jenis lantai, jenis dinding, riwayat
kontak serumah dan status ekonomi merupakan
faktor risiko kejadian kusta di wilayah kerja
Puskesmas Bandarharjo tahun 2018.
Penelitian ini merekomendasikan agar
masyarakat diharapkan mampu meningkatkan
kesadaran dan mawas diri untuk segera periksa
ke fasilitas pelayanan kesehatan apabila
memiliki kelainan pada kulit yang dicurigai
sebagai gejala penyakit kusta dan yang paling
penting mau dan mampu untuk meningkatkan
kebersihan dan kesehatan rumah. Instansi
kesehatan seperti puskesmas memberikan
pelayanan promotif dan preventif yang
berkaitan dengan penyakit kusta sehingga dapat
dilakukan diagnosis dini. Selain itu juga
memberikan penyuluhan mengenai pentingnya
menciptakan dan memelihara rumah sehat serta
meningkatkan kegiatan penyisiran untuk
menemukan penderita kusta baru. Peneliti
Selanjutnya diharapkan mampu berinovasi
melakukan penelitian dengan vaiabel dan
metode yang berbeda agar diharapkan
didapatkan hasil penelitian yang lebih baik.
Penyakit kusta masih menjadi masalah
baik skala global maupun nasional. Insiden
kusta di berbagai benua pada tahun 2016 antara
lain di benua Afrika sebesar 19.384 kasus, di
benua Amerika sebesar 27.356 kasus, di
Mediterania Timur sebesar 2.834 kasus, di
benua Asia Tenggara 161.263 kasus dan di
Pasifik Barat sebesar 3.914 kasus. Selain itu
WHO juga melaporkan bahwa Indonesia
menempati jumlah insiden kusta tertinggi
nomor 3 di dunia dengan jumlah kasus sebesar
16.826 kasus setelah India (385.485 kasus) dan
Brazil (25.218 kasus) (WHO, 2017). Penyakit
kusta atau lepra (leprosy) disebut juga Morbus
Hansen adalah sebuah penyakit infeksi menular
kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycrobacterium leprae (Maharani, 2015).
Jumlah kasus baru kusta di Indonesia
pada tahun 2017 sebesar 10.477 kasus.
Indonesia memiliki 10 provinsi dengan jumlah
kasus kusta tertinggi yaitu meliputi Jawa Timur
(3.857), Jawa Barat (2.612), Papua (1.582),
Banten (1.116), Sulawesi Selatan (1.086), Papua
Barat (978), Jawa Tengah (710), Maluku Utara
(621), Sulawesi Tenggara (507) dan NTT (490).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia
tahun 2017, Jawa Tengah menempati jumlah
kasus kusta terbanyak nomor 7 dan proporsi
penderita kusta cacat tingkat II terbanyak
nomor 4 di tingkat nasional (Kemenkes RI,
2017). Jumlah kasus kusta di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2015 sebesar 1.712 kasus
dengan NCDR sebesar 5,3 per 100.000
penduduk. Selanjutnya, sebanyak 8 daerah di
sepanjang pantura Jawa Tengah meliputi
Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan,
Kabupaten Blora, Jepara, Kudus dan Rembang
merupakan daerah endemis tinggi kusta dengan
rata-rata jumlah kasus baru lebih dari 10 per
100.000 penduduk.
Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa
Tengah tahun 2016, kota Semarang merupakan
daerah endemis rendah kusta yang menempati
jumlah kasus kusta terbanyak nomor 14 dan
jumlah penderita kusta cacat tingkat II
terbanyak nomor 5 di Provinsi Jawa Tengah.
Jumlah kasus kusta terus meningkat
sampai tahun 2017 menjadi 68 kasus yang
terdiri dari 9 kasus tipe PB dan 59 kasus tipe
MB. Jumlah kasus kusta tertinggi di kota
Semarang tersebar di 10 wilayah Puskesmas di
mana 8 diantaranya merupakan wilayah yang
sering terjadi banjir rob. Delapan Puskesmas
tersebut yaitu meliputi Puskesmas Bandarharjo
(49%), Gunung Pati (12%), Gayamsari (9%),
Rowosari (4%), Ngaliyan (4%), Sekaran (4%),
Bulu lor (3%), Genuk (3%), Kagok (3%) dan
Karangdoro (3%). Berdasarkan Profil Kesehatan
Kota Semarang tahun 2017, Puskesmas
Bandarharjo menempati jumlah kasus kusta
tertinggi di kota Semarang. Jumlah kasus kusta
di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo pada
tahun 2016 sebesar 12 kasus dan pada tahun
2017 meningkat menjadi 33 kasus di mana 1
diantaranya telah meninggal dunia.
Secara teori, basil kuman kusta dapat
ditemukan di mana-mana seperti di dalam
tanah, air, udara dan pada manusia yang
menderita kusta. Agen penyakit kusta dapat
bertransmisi ke udara dan terbawa dari satu
tempat ke tempat yang lain melalui basil yang
dikeluarkan dari penderita kusta. Hal ini karena
berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir
hidung pada penderita kusta lepromatosa yang
tidak diobati, dan terbukti dapat hidup selama 7
hari pada lendir hidung yang kering. Penyakit
kusta sendiri merupakan penyakit menular,
beberapa hipotesis telah dikemukakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
kusta antara lain adanya riwayat kontak, faktor
genetika, iklim (cuaca panas dan lembab), diet,
status gizi dan status sosial ekonomi.
Faktor lingkungan merupakan salah
satu faktor kejadian kusta yang perlu
diperhatikan. Faktor lingkungan terdidi dari
lingkungan biologi, fisik dan sosial. Lingkungan
biologis merupakan lingkungan biotik yang
dapat berinteraksi dengan manusia secara
dinamis. Lingkungan biologis seperti manusia,
tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri,
jamur, parasit, serangga dan lain-lain. Interaksi
yang tidak seimbang antara manusia dengan
lingkungan biologisnya akan menyebabkan
manusia menjadi sakit. Lingkungan fisik bersifat abiotik atau mati seperti air, udara, tanah,
cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi
dan lain-lain. Lingkungan fisik termasuk
komponen lingkungan yang berinteraksi secara
konstan dengan manusia sepanjang waktu dan
masa serta memegang peran penting dalam
proses terjadinya penyakit di masyarakat.
Lingkungan sosial dapat berupa adat istiadat,
kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar
dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan
kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik.
Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko
lingkungan dengan kejadian kusta di wilayah
kerja Puskesmas Bandarharjo.Berdasarkan Tabel 1, kelompok kasus
terdapat 2 orang (6,9%) yang berumur < 15
tahun dan 27 orang (93,1%) yang berumur ≥ 15
tahun, sedangkan pada kelompok kontrol
terdapat 1 orang (3,4%) yang berumur < 15
tahun dan 28 orang (93,1%) yang berumur ≥ 15
tahun. Kelompok kasus terdapat 3 orang
(10,3%) yang tidak sekolah, tamat SD sebanyak
19 orang (60,5%), tamat SMP sebanyak 3 orang
(10,3%) dan yang tamat SMA sebanyak 4 orang
(13,8%), sedangakan pada responden kontrol
terdapat 7 orang (24,1%) tamat SD, tamat SMP
sebanyak 7 orang (24,1%), tamat SMA sebanyak 13 orang (44,8%) dan tamat perguruan
tinggi sebanyak 2 orang (6,9%). Kelompok
kasus didapatkan responden yang tidak bekerja
sebanyak 10 orang (34,5%), ibu rumah tangga
sebanyak 4 orang (13,8%), buruh sebanyak 10
orang (34,5%) dan wiraswasta sebanyak 5 orang
(17,2%), sedangkan pada responden kontrol
didapatkan responden yang tidak bekerja
sebanyak 2 orang (6,9%), ibu rumah tangga
sebanyak 5 orang (17,2%), buruh sebanyak 1
orang (3,4%), wiraswasta sebanyak 20 orang
(69,0%) dan pegawai swasta sebanyak 1 orang
(3,4%).
Hasil analisis bivariat pada Tabel 2,
jarak genangan air dari rumah dengan kejadian
diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara
jarak genangan air dari rumah dengan kejadian
kusta. Hasil analisis bivariat ketinggian lantai
rumah dengan kejadian kusta diperoleh bahwa
ada hubungan antara ketinggian lantai rumah
dengan kejadian kusta. Responden yang
memiliki ketinggian lantai rumah <20 cm
memiliki risiko 4,98 kali lebih besar terkena
penyakit kusta dibandingkan responden yang
memiliki ketinggian lantai rumah ≥20 cm.
Hasil analisis bivariat kepadatan hunian
kamar dengan kejadian kusta diperoleh bahwa
ada hubungan antara kepadatan hunian kamar
dengan kejadian kusta. Responden yang
memiliki kepadatan hunian kamar tidak
memenuhi syarat memiliki risiko 6,98 lebih
besar terkena penyakit kusta dibandingkan
responden yang memiliki kepadatan hunian
kamar memenuhi syarat. Hasil analisis bivariat
luas ventilasi dengan kejadian kusta diperoleh
bahwa ada hubungan antara luas ventilasi
rumah dengan kejadian kusta. Responden yang
memiliki luas ventilasi rumah < 10% luas lantai rumah memiliki risiko 4,71 kali lebih besar
terkena penyakit kusta dibandingkan responden
yang memiliki luas ventilasi rumah ≥ 10% luas
lantai. Hasil analisis bivariat kebiasaan
membuka jendela dengan kejadian kusta
diperoleh bahwa ada hubungan antara
kebiasaan membuka jendela rumah dengan
kejadian kusta. Responden yang tidak rutin
membuka jendela rumah setiap hari memiliki
risiko 5,29 kali lebih besar bterkena penyakit
kusta dibandingkan responden yang memiliki
kebiasaan membuka jendela rumah setiap hari.
Hasil analisis bivariat tingkat
pencahayaan dengan kejadian kusta diperoleh
bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pencahayaan rumah dengan kejadian kusta.
Hasil analisis bivariat tingkat kelembaban
dengan kejadian kusta diperoleh bahwa tidak
ada hubungan antara tingkat kelembaban rumah
dengan kejadian kusta.
Hasil analisis bivariat jenis lantai dengan
kejadian kusta diperoleh bahwa ada hubungan
antara jenis lantai rumah dengan kejadian kusta.
Responden yang memiliki lantai rumah tidak
kedap air memiliki risiko 5,43 lebih besar
terkena penyakit kusta dibanding responden
yang memiliki lantai rumah kedap air. Hasil
analisis bivariat jenis dinding dengan kejadian
kusta diperoleh bahwa ada hubungan antara
jenis dinding rumah dengan kejadian kusta.
Responden yang memiliki jenis dinding rumah
tidak kedap air memiliki risiko 5,83 kali lebih
besar terkena penyakit kusta dibanding
responden yang memiliki jenis dinding rumah
yang kedap air.
Hasil analisis bivariat riwayat kontak
serumah dengan kejadian kusta diperoleh
bahwa ada hubungan antara riwayat kontak
serumah dengan kejadian kusta. Responden
yang memiliki riwayat serumah dengan
penderita kusta memiliki risiko 6,98 kali lebih
besar terkena kusta disbanding responden yang
tidak memiliki riwayat kontak serumah dengan
penderita kusta. Hasil analisis bivariat status
ekonomi dengan kejadian kusta diperoleh
bahwa ada hubungan antara status ekonomi
dengan kejadian kusta. Responden yang
memiliki status ekonomi lemah memiliki risiko
6,98 kali lebih besar dibandingkan responden
yang memiliki status ekonomi tinggi.
Air membawa penyebab penyakit yang
berasal dari penderita kemudian sampai ke
tubuh orang lain oleh air yang tercemar bakteri
patogen sehingga akhirnya menimbulkan sakit
pada pejamu lain yang sehat. Hasil penelitian
Cabral (2014) menyatakan bahwa air atau tanah
basah dapat bertindak sebagai reservoir untuk
Mycobacterium leprae. Sedangkan konsentrasi
bakteri dalam air akan menurun secara
berangsur-angsur setelah jarak 5 meter.
Responden yang memiliki jarak genangan air
dari rumah ≥ 5 meter tidak akan tertular
penyakit kusta karena tidak ada paparan dengan
agen penyebab penyakit kusta. Hasil penelitian
ini tidak sejalan dengan penelitian Idayani
(2017) yang menyatakan bahwa berdasarkan
analisis spasial sebagian besar responden
(57,9%) rumah penderita kusta dekat dengan
daerah perairan. Penelitian yang dilakukan oleh
Idayani, proporsi responden yang memiliki
rumah dekat dengan perairan lebih besar
daripada responden yang memiliki rumah jauh
dari perairan. Responden pada penelitian ini
sebagian besar tersebar di wilayah kelurahan
Bandarharjo khususnya di RW yang tidak
terdapat genangan air, sehingga jarang
ditemukan genangan air di sekitar rumah
responden. Tidak adanya genangan air di sekitar
rumah responden memperkecil kemungkinan
responden untuk kontak dengan air yang
tercemar bakteri kuman kusta. Oleh karena itu
jarak genangan air dari rumah bukan faktor
risiko kejadian kusta di wilayah kerja
Puskesmas Bandarharjo.
Bakteri penyebab kusta salah satunya
dapat ditemukan dalam tanah dan tanah dapat
bertindak sebagai reservoir kuman kusta. Pada
penelitian ini proporsi responden kasus yang
lantai rumahnya <20 cm lebih banyak dari
responden yang ketinggian lantai rumahnya ≥20
cm. Responden yang memiliki ketinggian lantai
rumah <20 cm sangat berpotensi untuk tertular
penyakit kusta dengan tanah sebagai media
penularanya. Hendaknya dibuat dari bahan
kedap air untuk mengupayakan agar air dari
tanah tidak meresap ke dalam rumah. Oleh karena itu pada lantai di depan rumah dibuat
minimal setinggi 20 cm agar air tidak meresap
ke dalam rumah yang dapat menyebabkan
kelembaban rumah meningkat. Selain itu
meresapnya air ke dalam rumah dapat
membawa bakteri patogen termasuk bakteri
kuman kusta. Oleh karena itu ketinggian lantai
rumah yang <20 cm adalah faktor risiko
kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas
Bandarharjo.
Kepadatan hunian kamar yang tidak
memenuhi syarat dapat meningkatkan
penularan penyakit kusta karena kondisi udara
yang buruk sehingga kuman kusta tidak dapat
dipecahkan dan bahkan tumbuh dengan optimal
dalam tubuh penderita. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian Rismawati
(2014) tentang hubungan antara sanitasi rumah
dan personal hygiene dengan kejadian kusta di
Poliklinik Kusta RSUD Tugurejo yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
kepadatan hunian kamar dengan kejadian kusta.
Selain itu hasil penelitian Patmawati &
Nurjazuliand (2015) juga menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara kepadatan hunian
dengan kejadian kusta. Kepadatan hunian
kamar yang tidak memenuhi syarat berpengaruh
terhadap timbul dan menularnya penyakit.
Kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi
syarat meningkatkan kontak antar individu baik
kontak fisik maupun udara. Selain itu juga akan
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dan
akan mempermudah penularan penyakit kusta
ke anggota keluarga yang lain. Kondisi ini dapat
mendukung kuman kusta berkembang secara
optimal dan meningkatkan penularan penyakit
kusta. Oleh karena itu kepadatan hunian kamar
adalah faktor risiko kejadian kusta di wilayah
kerja Puksesmas Bandarharjo.
Ventilasi yang memenuhi syarat dapat
menghambat pertumbuhan bakteri kuman
kusta. Hal ini karena kuman kusta suka hidup
di tempat lembab namun akan mati apabila
terkena sinar matahari. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian Nurcahyati
(2017) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian
kusta. Penelitian tersebut menyatakan bahwa
sebagaian besar responden yang menderita kusta
memiliki luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat. Sebagian responden kasus pada
penelitian ini memiliki luas ventilasi yang
kurang dari 10% luas lantai. Ventilasi menjadi
persyaratan mutlak suatu rumah yang sehat
karena fungsinya sangat penting. Pertama,
untuk menjaga agar aliran udara di dalam
rumah tetap segar. Jika vnetilasi kurang, maka
ruangan akan mengalami kekurangan O2.
Kedua, aliran udara yang terus meningkat dapat
membebaskan udara dalam ruangan dari bakteri
penyebab kusta. Selain itu luas ventilasi rumah
yang tidak memenuhi syarat mengakibatkan
terhalangnya proses masuknya cahaya matahari
yang masuk ke dalam rumah. Akibatnya kuman
kusta tidak bisa mati dan berkembang dengan
baik di tubuh penderita. Oleh karena itu luas
ventilasi merupakan variabel yang berhubungan
dengan kejadian kusta di wilayah kerja
Puskesmas Bandarharjo.
Proporsi responden kasus yang tidak
membuka jendela setiap hari lebih banyak
daripada responden kontrol yang tidak rutin
membuka jendela setiap hari. Sebagian besar
responden dalam penelitian ini baik kasus
maupun kontrol, hanya menjadikan jendela
sebagai pajangan dan tidak pernah dibuka.
Kondisi ini mengakibatkan udara rumah kotor
karena tidak ada pergantian udara.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian dengan hasil penelitian Namira
(2014) tentang faktor yang berhubungan dengan
kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas
Kapita Kabupaten Jeneponto yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan
membuka jendela dengan kejadian kusta.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa
kebanyakan penderita kusta tidak membuka
jendela secara rutin. Responden yang tidak rutin
membuka jendela memiliki risiko 4,333 kali
lebih besar terkena kusta daripada responden
yang memiliki kebiasaan membuka jendela rutin
setiap hari. Secara teori basil kuman kusta dapat
ditemukan di mana-mana termasuk di udara.
Membuka jendela minimal pada pagi hari
secara rutin akan berfungsi sebagai pergantian
udara. Rumah dengan aliran udara yang baik akan menyulitkan pertumbuhan kuman
penyakit. Pertukaran udara dapat memecah
atau mengurangi konsentrasi kuman di udara.
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara tingkat pencahayaan rumah dengan
kejadian kusta. Tidak adanya hubungan tersebut
terjadi karena sebagian besar responden kasus
(86,2%) memiliki tingkat pencahayaan rumah
yang tidak berisiko dan proporsi responden yang
memiliki tingkat pencahayaan rumah tidak
berisiko lebih besar dibandingkan responden
yang memiliki tingkat pencahayaan rumah yang
berisiko. Sebagian besar responden kontrol
(93,1%) juga memiliki tingkat pencahayaan
yang tidak berisiko dan proporsi responden yang
memiliki tingkat pencahayaan yang tidak
berisiko lebih besar dibandingkan responden
yang memiliki tingkat pencahayaan yang
berisiko. Lokasi pada penelitian ini merupakan
daerah pesisir dengan suhu yang tinggi dan
cuaca sangat panas. Suhu rata-rata di lokasi
penelitian diatas 32ºC, sehingga proporsi
responden baik kasus maupun kontrol yang
memiliki tingkat pencahayaan yang tidak
berisiko lebih besar dibandingkan responden
yang memiliki tingkat pencahayaan yang
berisiko. Oleh karena itu tingkat pencahyaan
bukan merupakan variabel yang memiliki
hubungan signifikan dengan kejadian kusta di
wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo.
Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, responden kasus yang memiliki
kelembaban tidak berisiko masih memiliki
faktor risiko lain seperti adanya riwayat kontak
serumah dan status ekonomi yang rendah. Hal
tersebut mengakibatkan penularan kusta bukan
dari tingkat kelembaban rumah melainkan dari
adanya kontak serumah dengan penderita kusta,
kemudian di dukung pendapatan yang rendah.
Kondisi ini menyebabkan responden tidak
mampu mengakses pelayanan kesehatan untuk
memperiksakan diri, sehingga tidak dapat
dilakukan diagnosis kusta lebih dini. Akibatnya
kuman kusta terus tumbuh berkembang secara
optimal dalam tubuh penderita dan menularkan
ke anggota keluarga yang lain. Hasil penelitian
ini tidak sejalan dengan hasil penelitian
Rismawati (2014) tentang hubungan antara
sanitasi rumah dan personal hygiene dengan
kejadian kusta di Poliklinik Kusta RSUD
Tugurejo yang menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara tingkat kelembaban
dengan kejadian kusta. Lokasi pada penelitian
ini merupakan daerah pesisir dengan suhu yang
tinggi dan cuaca sangat panas sehingga
kelembabanya rendah. Kelembaban rata-rata di
lokasi penelitian di bawah 60%, sehingga
proporsi responden baik kasus maupun kontrol
yang memiliki tingkat kelembaban yang tidak
berisiko lebih besar dibandingkan responden
yang memiliki tingkat kelembaban yang
berisiko. Oleh karena itu tingkat kelembaban
bukan merupakan variabel yang memiliki
hubungan signifikan dengan kejadian kusta di
wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo.
Jenis lantai rumah pada beberapa
responden kasus masih ada yang menggunakan
tanah. Selain itu rumahnya juga tidak memiliki
penghawaan yang cukup. Berbagai jenis
penyakit dapat muncul karena lingkungan yang
buruk. Rumah yang sehat akan memberikan
kesehatan pada penghuninya. Apabila lantai
rumah terbuat dari bahan tidak kedap air dapat
menyebabkan meresapnya air ke dalam rumah
sehingga rumah menjadi tidak sehat dan
lingkungan sekitar buruk. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Oktaviani & Nurmala
(2016) tentang faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian kusta di Kabupaten Lampung
Utara yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara jenis lantai rumah dengan
kejadian kusta. Selain itu hasil penelitian
Aprizal (2017) menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara jenis lantai dengan kejadian
kusta. Menurut Maharani (2015) lantai
merupakan bahan bangunan fisik rumah yang
sebaiknya dibuat dari bahan kedap air dan
dibuat agak tinggi agar tidak bersentuhan
langsung dengan tanah. Bakteri Mycrbacterium
leprae suka hidup pada tempat yang sanitasi
lingkunganya buruk. Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan, lantai rumah
responden yang menderita kusta masih banyak
yang terbuat dari tanah sehingga dapat menjadi
tempat yang ideal untuk pertumbuhan kuman kusta. Lantai rumah yang tidak kedap air akan
menyerap air dari tanah sehingga meningkatkan
kelembaban dan dapat bertindak sebagai
reservoir untuk Mycobacterium leprae.
Responden yang memiliki jenis dinding
rumah tidak kedap air memiliki risiko 5,83 kali
lebih besar terkena penyakit kusta dibanding
responden yang memiliki jenis dinding rumah
yang kedap air. Adanya hubungan tersebut
terjadi karena proporsi dinding rumah yang
tidak kedap air pada responden kasus (27,6%)
lebih besar dari pada dinding rumah yang tidak
kedap air pada responden kontrol (3,4%).
Sedangkan proporsi dinding rumah yang kedap
air pada responden kontrol (96,6%) lebih besar
daripada dinding rumah yang kedap air pada
responden kasus (72,5%). Pada beberapa
responden kasus, dinding rumahnya masih
terbuat dari papan tanpa ventilasi yang cukup.
Kondisi dinding yang tidak memenuhi syarat
dapat menyebabkan rumah menjadi tidak sehat.
Hal ini karena dinding yang tidak kedap air
lebih bersifat lembab dan menjadi tempat yang
baik untuk pertumbuhan kuman kusta. Menurut
Maharani (2015) dinding rumah sebaiknya
dibuat dari tembok, tetapi dengan ventilasi yang
cukup. Dinding harus terbuat dari bahan yang
kedap air dan mudah dibersihkan. Hal ini untuk
mencegah agar dinding rumah tidak kotor dan
lembab sehingga menjadi tempat tumbuh dan
berkembangnya bakteri penyebab kusta. Selain
itu kuman kusta suka di lingkungan lembab.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ratnawati (2016) tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko
kejadian penyakit kusta yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara jenis dinding
rumah dengan kejadian kusta. Penelitian
tersebut menemukan bahwa sebagian besar
reponden yang menderita kusta memiliki
dinding rumah yang tidak kedap air. Oleh
karena itu jenis dinding rumah merupakan
variabel yang berhubungan dengan kejadian
kusta di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo.
Berdasarkan hasil observasi dan
pengumpulan data di lapangan, kejadian kusta
di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo lebih
banyak terjadi pada masyarakat yang masih satu
keluarga. Satu keluarga responden biasanya
terdiri dari suami, istri, dan anak yang
semuanya terdiagnosis menderita kusta.
Kebiasaan masyarakat di lokasi penelitian yang
memiliki keakraban tinggi dengan anggota
serumah dan tidak memiliki pekerjaan sehingga
lebih banyak menghabiskan waktu bersama di
rumah meningkatkan kontak serumah baik fisik
maupun udara. Menurut Maharani (2015)
secara teoritis diketahui bahwa seseorang
terinfeksi kuman kusta karena pernah
melakukan kontak langsung dalam jangka yang
sangat lama dengan penderita kusta. Hal ini
karena berjuta-juta basil dikeluarkan melalui
lendir hidung penderita kusta lepromatosa
kemudian mekanisme penularan penyakit kusta
adalah melalui kontak yang dekat dan
penularan melalui udara. Riwayat kontak
serumah merupakan mekanisme penularan
utama penyakit kusta karena terjadi kontak
yang lama secara terus menerus baik kontak
fisik maupun udara. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Bakker (2014) tentang
faktor risiko kejadian kusta di Indonesia yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
riwayat kontak serumah dengan kejadian kusta.
Selain itu hasil penelitian yang dilakukan oleh
Norlatifah (2010) menemukan bahwa riwayat
kontak serumah merupakan faktor risiko
kejadian kusta. Penelitian Susanti & Azam
(2016) juga menyatakan bahwa faktor risiko
yang berhubungan dengan kejadian kusta
adalah riwayat kontak. Penyakit kusta atau
lepra merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Mycrobacterium leprae, bakteri ini dapat
menularkan penyakit melalui udara dan air
sehingga kontak langsung dengan penderita
dapat menjadi aktifitas penularan kejadian
kusta. Menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Goulart (2008) tentang faktor risiko dan
protektif perkembangan penyakit kusta
berdasarkan riwayat kontak serumah,
menyatakan bahwa dari studi kohort terhadap
responden yang diikuti secara prosprektif
selama 5 tahun menunjukkan bahwa adanya
riwayat kontak serumah memiliki risiko 3,8 kali
lebih besar terkena penyakit kusta.
Berdasarkan temuan di lapangan, satukeluarga penderita kusta di Wilayah kerja
Puskesmas Bandarharjo yang terdiri dari 4-5
anggota keluarga dengan satu tulang punggung
yang bekerja sebagai buruh atau tukang becak.
Status ekonomi yang rendah berpengaruh pada
kemampuan responden untuk mengakses
pelayanan kesehatan, pemenuhan gizi, dan
kondisi fisik rumah. Sebagaian besar respoden
kasus dalam penelitian ini memiliki ekonomi
dengan penghasilan perbulan < Rp. 1.500.000,-
dengan distribusi pekerjaan responden
terbanyak adalah buruh, cenderung hanya
cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari,
sehingga mereka tidak bisa mengakses layanan
kesehatan dan tidak bias memperbaiki kondisi
rumah menjadi sehat. Ketika responden
mengalami gejala penyakit kusta, mereka tidak
mampu untuk memeriksakan diri ke fasilitas
pelayanan kesehatan. Kenyataan di lapangan,
penderita kusta melakukan pengobatan setelah
mereka di diagnosis positif kusta dan di bantu
oleh para kader untuk mendapatkan pengobatan
gratis. Kondisi seperti ini mengakibatkan
penderita kusta tidak bisa didiagnosa lebih dini
sehingga bakteri kusta terus bertumbuh dengan
optimal dalam tubuh penderita.
Menurut Maharani (2015) Umumnya
penyakit kusta terdapat di Negara yang sedang
berkembang dan sebagian besar penderitanya
adalah dari golongan ekonomi lemah. Negara
atau masyarakat berstatus ekonomi rendah,
pengetahuan tentang kesehatan dan
lingkunganya rendah, sehingga keadaan
kesehatan lingkunganya buruk. Hal ini
mengakibatkan adanya populasi berisiko tinggi
terhadap penyakit menular dan siklus penularan
penyakit kusta terus terjadi. Status ekonomi
dapat dilihat dari penghasilan per bulan, di
mana negara yang tergolong berpenghasilan
rendah banyak menderita penyakit menular
termasuk penyakit kusta.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Wagenaar (2015) tentang faktor risiko
kejadian kusta di Bangladesh yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara status
ekonomi dengan kejadian kusta. Selain itu hasil
penelitian Richardus (2018) tentang
Keanekaragaman makanan dan kemiskinan
sebagai faktor risiko kusta di Indonesia juga
menyatakan bahwa pendapatan yang rendah
memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian kusta. Faktor ekonomi berpengaruh
terhadap daya beli msayarakat terutama
terhadap kemampuan mengakses fasilitas
pelayanan kesehatan, sehingga berhubungan
secara signifikan dengan penyakit menular.
Kemampuan ekonomi masyarakat
mempengaruhi kondisi lingkungan
perumahanya seperti lantai, dinding dan atap
rumah. Oleh karena itu status ekonomi
merupakan variabel yang berhubungan secara
siginifikan dengan kejadian kusta di wilayah
kerja Puskesmas Bandarharjo.
Analisis multivariat pada Tabel 3 yang
dilakukan dengan menggunakan uji regresi
logistik berganda diperoleh hasil bahwa variabel
yang memiliki hubungan dengan kejadian kusta
yaitu ketinggian lantai rumah, kepadatan
hunian kamar dan jenis lantai. Variabel yang
diprediksi memiliki hubungan paling kuat
dengan kejadian kusta di wilayah kerja
Pukesmas Bandarharjo yaitu ketinggian lantai
rumah. Hal ini berarti responden yang memiliki
ketinggian lantai rumah < 20 cm memiliki risiko
18,89 kali lebih besar untuk terkena penyakit
kusta dibandingkan responden yang memiliki
ketinggian lantai rumah ≥20 cm. Selain itu
berdasarkan hasil perhitungan persamaan
regresi logistik berganda didapatkan peluang
responden untuk terkena penyakit kusta dari
adanya interaksi dari variabel-variabel yang
paling berhubungan (ketinggian lantai,
kepadatan hunian kamar, dan jenis lantai).
Adanya interakasi antara faktor risiko
lingkungan fisik memberikan peluang lebih
besar untuk kejadian kusta.
Jadi variabel yang diprediksi memiliki
hubungan paling kuat dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo adalah
ketinggian lantai rumah. Hal ini karena
berdasarkan penelitian di lapangan sebagian
besar responden kasus memiliki kondisi
lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi
syarat dan memiliki riwayat kontak serumah
dengan penderita kusta. Sebagian besar
responden kasus (52%) yang memiliki
ketinggian lantai rumah berisiko juga memiliki
kepadatan hunian kamar tidak memenuhi
syarat, jenis lantai dan jenis dinding tidak kedap
air serta ada riwayat kontak serumah dengan
penderita kusta. Kondisi fisik rumah yang
memiliki ketinggian lantai rumah < 20 cm akan
lebih dekat dengan tanah sehingga
memungkinkan kontaminasi bakteri dari tanah
ke dalam rumah. Apabila rumah responden juga
memiliki jenis lantai rumah yang terbuat dari
tanah sehingga tidak kedap air maka akan
mendukung berkembangbiaknya bakteri karena
kondisi rumah yang kotor dan lembab. Selain
itu adanya interaksi antara kondisi lingkungan
fisik rumah yang tidak memenuhi syarat dan
faktor risiko lingkungan sosial berupa riwayat
kontak serumah dengan penderita semakin
memperbesar peluang kejadian kusta. Riwayat
kontak serumah dengan penderita kusta
memungkinkan masuknya bakteri M. leprae ke
dalam tubuh responden yang sehat kemudian
bakteri tersebut tumbuh secara optimal dalam
rumah yang kondisi lingkunganya tidak sehat.
Sehingga bakteri terus berkembang biak dalam
tubuh penderita.
Jumlah penderita kusta di kota Semarang pada tahun 2017 sebanyak 68 dan di Puskesmas
Bandarharjo sebanyak 33 kasus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
faktor risiko lingkungan dengan kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo tahun
2018. Penelitian dilakukan pada Mei 2018. Penelitian ini merupakan penelitian analitik
observasional dengan pendekatan kasus-kontrol. Besar sampel masing-masing kelompok adalah 29
responden, diambil dengan teknik purposive sampling. Data diolah menggunakan uji chi-square
dan regresi logistik. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan antara ketinggian lantai (p-value=
0,008), kepadatan hunian kamar (p-value= 0,002), luas ventilasi (p-value= 0,015), kebiasaan
membuka jendela (p-value= 0,032), jenis lantai (p-value= 0,007), jenis dinding (p-value= 0,004),
riwayat kontak serumah (p-value= 0,002) dan status ekonomi (p-value= 0,002) dengan kejadian
kusta. Ketinggian lantai, kepadatan hunian kamar kamar, luas ventilasi rumah, kebiasaan
membuka jendela rumah, jenis lantai, jenis dinding, riwayat kontak serumah dan status ekonomi
merupakan faktor risiko kejadian kusta di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo.
kusta 37
Neglected Tropical Disease (NTD) merupakan penyakit tropis dan
sub tropis yang masih banyak dialami warga dengan kondisi ekonomi lemah dan
cenderung terabaikan karena berbagai faktor. Permasalahan yang dialami oleh pasien
dengan NTD sangat kompleks, mulai dari kondisi fisik mengalami kelemahan, perubahan
karena kecacatan serta dampaknya setelah mengalami perubahan fisiknya. Metode :
penelitian ini menggunakan metode kepustakaan tentang aspek holistik pasien kusta dan
filariasis tahun 2009-2019 dan didukung data sekunder dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Kediri. Hasil : Pasien kusta di Jawa Timur dengan kecacatan tingkat 2 sebesar 10,40%
sedangkan pasien filariasis sejumlah 10.681 kasus. Pasien kusta dan filariasis mengalami
berbagai masalah pada aspek holistik kehidupannya karena deformitas pada fisiknya,
sehingga mereka merasa malu untuk bergaul dengan orang-orang disekitarnya dan
membatasi interaksi sosial, produktivitas menurun, tergantung pada orang lain, pasien dan
keluarga diasingkan, sulit mendapatkan pekerjaan. Kesimpulan : Pasien kusta dan
filariasis mengalami perubahan dan gangguan pada fisiknya akibat proses penyakit yang
dialami yang berdampak pada aspek lainnya yaitu aspek psikologis, sosial, spiritual dan
kultural pada pasien, keluargaNeglected Tropical Disease (NTD) adalah
penyakit yang dialami oleh warga
wilayah tropis dan sub tropis dengan kondisi
perekonomian yang lemah. Kondisi
ekonomi yang lemah, juga sering disertai
dengan penurunan pada sumber yang lain
misalnya kurangnya sanitasi lingkungan dan
sumber daya manusia. Pramono M. S., 2014
menyebutkan pada tingkat individu di NAD,
ada hubungan yang bermakna pada
penggunaan kelambu dan kondisi saluran
pembuangan air limbah rumah tangga.
Individu yang tidur tidak menggunakan
kelambu berisiko 1,60 menderita filariasis
dibandingkan mereka yang tidur
menggunakan kelambu, sedangkan individu
yang rumahnya tidak ada saluran
limbah berisiko 3,47 menderita filariasis
daripada yang rumahnya memiliki saluran
limbah. Pada tingkat kabupaten/kota, faktor
yang mempengaruhi penderita filariasis di
Provinsi NAD adalah jarak ke sarana
pelayanan terdekat, jarak yang diperlukan
untuk memperoleh air dan persentase
penduduk yang ketika tidur malam
menggunakan kelambu berinsektisida.
Makin jauh jarak ke pelayanan dan sumber
air berpeluang meningkatkan kejadian
filariasis.
NTD dikatakan penyakit yang terabaikan
karena pasien yang menderita penyakit ini
akan mengalami penyakit ini dalam waktu
yang lama bahkan selama hidupnya
sehingga dapat menimbulkan berbagai
masalah. Permasalahan yang kompleks tidak
hanya bagi pasien sendiri namun juga bagi
keluarga dan warga sekitarnya. NTD
memicu penurunan aktivitas dan
produktivitas pasiennya dan berdampak
pada keluarga dan warga sekitarnya.
NTD merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Protozoa, Bakteri, Virus,
Helminth. Tahun 2012 ada lima NTD di
Indonesia yaitu Kusta, Filariasis,
Schistosomiasis, Frambusia dan
Kecacingan.
Kemenkes, 2016 menguraikan tentang
berbagai teknologi preventif, diagnostik dan
terapeutik baru yang berpotensi besar untuk
meningkatkan keberhasilan pengendalian
penyakit terabaikan (Neglected Tropical
Diseases/NTD), Tuberkulosis dan Malaria.
Masalah-masalah implementasi/operasional
di lapangan seringkali menghambat realisasi
potensi berbagai teknologi tersebut.
Implementasi yang dilakukan untuk
mengatasi masalah penyakit tropis-sub
tropis termasuk NTD banyak dilakukan.
Implementasi tersebut merupakan
pelaksanaan dari kebijakan atau program
atau intervensi pengendalian penyakit tropis
yang ada di Indonesia termasuk penelitian.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk
meningkatkan efektifitas, efisiensi dan
capaian dari implementasi suatu kebijakan,
program atau intervensi di bidang kesehatan.
Pasien yang menderita NTD memerlukan
terapi yang lama, bahkan beberapa pasien
mengalami perubahan dan gangguan pada
fisiknya. Perubahan fisik dan gangguan
fisik, dapat berdampak pada kondisi
psikologis pasien selama sakit bahkan
seumur hidupnya termasuk pada keluarga.
Misalnya pasien tidak dapat
beraktivitas/bekerja sehingga pemenuhan
kebutuhan pasien tergantung orang lain.
Pasien dapat mengalami gangguan konsep
diri (self concept) selama menjalani proses
terapi/sakit. Aspek fisik terganggu,
memicu aspek biologi, psikologi,
sosial, spiritual dan kultural manusia sebagai
makhluk holistik dan komprehensif juga
dapat terganggu. Endriyani S., 2014
menyebutkan perubahan fisik yang dialami
pasien kusta dapat menimbulkan terjadinya
gangguan emosional bagi pasien. Pasien
umumnya merasa takut terhadap kecacatan
yang terjadi, takut menghadapi sikap dari
keluarga dan warga , takut kehilangan
pekerjaan dan peran di warga , serta
terganggunya hubungan di dalam keluarga.
Penyakit kusta dikenal warga
berdasarkan tradisi kebudayaan (turun
temurun) sehingga penyakit kusta dipahami
sebagai penyakit yang sangat menular dan
tidak dapat diobati, penyakit keturunan,
najis dan penyakit kutukan dari Tuhan.
Manusia sebagai sistem holistik dan terbuka,
memerlukan kemampuan untuk memahami
dan beradaptasi terhadap kondisinya yang
menderita NTD disertai dengan perubahan
fisik. Infeksi filaria memicu adanya
kerusakan pada saluran limfe, memicu peradangan dan pembengkakan bagian
tubuh yang mengalami peradangan.
Perubahan fisik pasien Kusta paling
menonjol jika mengalami kecacatan tingkat
2, adanya deformitas pada ekstremitas.
Kondisi seperti ini memerlukan berbagai
tindakan baik secara mandiri pasien,
keluarga maupun lintas sektor. Misalnya
pemberian obat sesuai program yang
dijalankan, pendampingan selama terapi,
pencegahan penularan penyakit, pencegahan
kecacatan, peningkatan kemampuan
bersosialisasi, pemberian keterampilan
untuk menunjang aktivitas sehari-hari dan
produktivitasnya bahkan untuk memenuhi
kebutuhan pribadi/keluarga. Tujuan
penulisan ini adalah untuk mengetahui aspek
holistik pada pasien dengan Kusta dan
Filariasis (Neglegted Topical Disease).
Penulisan ini merupakan kajian kepustakaan
dari hasil penelitian, buku dan tinjauan
pustaka dari beberapa referensi/literature 10
tahun terakhir (2009-2019) yang
menguraikan aspek holistik pada pasien
kusta dan filariasis, meliputi aspek fisik,
psikologis, sosiaal, ekonomi, spiritual dan
kultural
Data yang digunakan untuk mendukung
pembahasan kajian ini adalah data sekunder
dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018
(beberapa data diperoleh sampai Bulan April
2019).
HASIL
KUSTA
Kusta/Lepra/Morbus Hansen merupakan
penyakit tipe granulomatosa yang
menyerang saraf tepi, mukosa saluran
pernapasan atas dan kulit yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae. Bakteri
berbentuk batang diklasifikasikan dalam
genus yang sama dengan Mycobacterium
tuberkulosis. Penanganan kusta yang kurang
tepat, dapat memicu perkembangan
secara progresif dan kerusakan pada saraf
anggota gerak, kulit dan mata. Kusta
merupakan penyakit yang lama
perkembangannya/masa inkubasinya.
Permasalahan yang dialami pasien kusta
bukan hanya karena deformitas fisik, namun
deformitas fisik menimbulkan dampak pada
aspek psikologis, sosial, spiritual dan
kultural pasien selama sakit bahkan seumur
hidup termasuk keluarganya.
Proses penyebaran bakteri M. leprae
sehingga memicu penularan jika
ada kontak langsung secara berulang
dengan penderita Kusta. M. leprae mampu
bertahan selama 9 hari di luar tubuh
manusia, proses pembelahan bakteri dalam
waktu 14-21 hari. Seseorang yang terinfeksi
M. leprae memerlukan waktu 2-5 tahun
untuk munculnya tanda dan gejala.
Beberapa tanda dan gejala pada kusta dapat
ditemukan juga pada penyakit lain
(Differential Diagnosis). Tanda
utama/Cardinal Signs penyakit kusta yang
harus diperhatikan adalah adanya : 1)
Bercak yang hilang rasa/mati rasa, 2)
Penebalan syaraf tepi disertai gangguan
fungsi pada sensorik, motorik dan otonom 3)
pemeriksaan Skin Smear/kerokan kulit
ditemukan kuman kusta (BTA). Tanda dan
gejala pada kusta lainnya yang harus
diwaspadai yaitu bercak putih pada kulit
seperti panu pada awalnya hanya sedikit
namun semakin lama semakin lebar dan
banyak, bintil-bintil kemerahan tersebar
pada kulit, bagian tubuh ada yang tidak
berkeringat, terasa kesemutan pada anggota
badan atau bagian wajah, muka berbenjolbenjol dan tegang (facies leomina/muka
singa) dan kerusakan syaraf tepi sehingga
timbul mati rasa. Gejala Kusta tidak selalu
tampak. Sebaiknya waspada jika ada yang
menderita Iuka tak kunjung sembuh dalam
jangka waktu lama. Jika ditekan dengan jari
luka tidak terasa sakit. Kusta terkenal
sebagai penyakit yang paling ditakuti karena
deformitas atau cacat tubuh. Masalah pada
mata dapat meliputi anestesi kornea,
Lagophtalmos dan Iridosiklitis. Tingkat
kecacatan kusta menggambarkan kondisi
fisik pasien kusta, terbagi menjadi kecacatan
tingkat 0, tingkat 1 dan tingkat 2.
WHO 2018 menyebutkan prevalensi Kusta
di Indonesia pada tahun 2017-kuartal
pertama 2018 sejumlah 18.242 orang dari
total penduduk 266.995.000 orang. pasien
Kusta tipe MB sejumlah 13.701 orang, jenis
kelamin wanita sejumlah 6.043 orang,
pasien dengan kecacatan tingkat 2 sejumlah 1.116 orang, pasien anak-anak sejumlah
1.755 anak 48 diantaranya mengalami
kecacatan tingkat 2, kasus kambuh sejumlah
267 orang dan menjalani terapi ulang
sejumlah 776 orang. Ditjen P2P Kemenkes
RI, 2019 (per tanggal April 2019)
menyebutkan jumlah kasus baru Kusta di
Indonesia sejumlah 17.017 orang. Angka
kecacatan tingkat 2 per 1.000.000 penduduk
sebesar 4.22 dan Kusta pada usia 0-14 tahun
sejumlah 1.861 anak (10,94%). Tipe
Multiple Baciler (MB) sejumlah 14.543
orang dengan proporsi 85.46. Pasien kusta di
Jawa Timur sejumlah 3.259 orang pasien
baru, kecacatan tingkat 2 sejumlah 339
orang (10,40%). Kusta pada usia 0-14 tahun
sejumlah 224 (6.87%).
FILARIASIS
Filariasis/Lymphatic Filariasis/Kaki
Gajah/Elephantiasis merupakan penyakit
infeksi yang menyerang saluran dan kelenjar
getah bening. Filariasis disebabkan oleh
Nematoda family Filariodidea. Cacing
Filaria yang ditularkan melalui vektor, yaitu
nyamuk genus Anopheles, Aedes, Mansonia,
Culex dan Armigeres. Di Regional SouthEast Asia (SEAR) ada 3 jenis parasit
Filariasis, yaitu Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi dan Brugia timori. Kemenkes
RI 2014 menyebutkan daerah endemis
Filariasis pada umumnya seperti daerah
dataran rendah, terutama di pantai,
pedalaman, pedesaan, persawahan, rawarawa dan hutan (sesuai dengan breeding
place nyamuk).
Ditjen P2P Kemenkes RI, 2019
menyebutkan pada tahun 2018 ada
10.681 kasus filariasis yang tersebar di 34
provinsi. Kabupaten/kota endemis Filariasis
sejumlah 236 kabupaten/kota tersebar di 28
propinsi dan yang masih melaksanakan
Pemberian Obat Pencegahan Massal
(POPM) Filariasis sejumlah 131 (5,55%).
Nilai tingkat kecacatan umum dipakai pada
seorang penderita kusta baru adalah tingkat
kecacatan tertinggi (tingkat 2) pada saat
menentukan keadaan cacat pada mata,
tangan atau kaki. Kecacatan tingkat 2 yang
dialami pasien dewasa maupun pada anakanak, sangat berpengaruh terhadap kualitas
hidup dan produktivitas pasien, konsep diri,
sosialisasi pasien dengan sekitarnya, adanya
stigma negatif dari sekitarnya, pemenuhan
spiritual pasien dan peningkatan beban
hidup keluarga.
Tipe Muliple Baciler (MB) merupakan tipe
kusta yang mudah menular, sehingga jika
tidak ditangani dengan baik, berisiko besar
menularkan pada orang-orang disekitarnya.
Terutama pada anggota keluarga atau orang
yang sering kontak dengan pasien (kontak
terdekat), orang yang mudah mengalami
penurunan daya tahan tubuh (ibu hamil,
balita, usia lanjut), malnutrisi, sedang
menderita penyakit kronis, kontak langsung
dengan luka pasien tanpa tindakan septik
aseptik.
Pongtiku Arry, 2016 menguraikan
pengobatan kusta sesuai regimen WHO,
yaitu diberikan obat paket MDT (Multi
Drugs Therapy) yang mengandung
Rifampicin, Lamprene, DDS. Kasus PB
diberi 6 blister yang diselesaikan dalam 6-9
bulan, sedangkan kasus MB diberi 12 blister
yang diselesaikan selama 12-18 bulan. Pilot
project yang dilakukan tindakan
pencegahan/tindakan Chemoprofilaksis
dengan single dose Rifampicin pada orang
yang belum ada tanda klinis kusta namun
beresiko terkena karena sebagai kontak
keluarga, tetangga atau sosial.
FILARIASIS
Filariasis dapat memicu kerusakan
pada sistem limfe (lymphoedema),
pembengkakan pada glandulla mammae,
scrotum dan ekstremitas. Limfedema dan
scrotal hidrokel berdampak buruk pada
kehidupan pribadi dan sosial, serta
terbatasnya aktivitas kerja. Kerusakan
tersebut menimbulkan kecacatan seumur
hidup, sehingga dapat memicu
penurunan produktivitas pasien,
ketergantungan pada orang lain/keluarga,
gangguan konsep diri dan stigma negatif
dari warga serta memicu
peningkatan beban pada keluarga. Suryani,
2014 menyebutkan sembilan puluh persen
penyakit filariasis limfatik di duniadisebabkan oleh cacing Wuchereria
bancrofti yang memicu terjadinya
hidrokel, kiluria ataupun limfedema. Sisanya
disebabkan oleh spesies Brugia (Brugia
malayi dan Brugia timori) yang
memicu limfedema ataupun
elefantiasis namun tidak pernah melibatkan
organ genital. Lebih dari 27 juta pria di
seluruh dunia diketahui menderita hidrokel,
serta lebih dari 15 juta penduduk dunia
menderita elefantiasis dan limfedema.
Kerusakan sistem limfatik, termasuk
kerusakan saluran limfe kecil yang ada di
kulit, memicu menurunnya
kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe
dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe
sehingga dapat terjadi limfedema. Penderita
limfedema, serangan akut berulang oleh
bakteri atau jamur akan memicu
penebalan dan pengerasan kulit,
hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan
peningkatan pembentukkan jaringan ikat
(fibrose tissue formation) sehingga terjadi
peningkatan stadium limfedema, dimana
pembengkakkan yang semula terjadi hilang
timbul akan menjadi pembengkakkan
menetap (Masrizal, 2012).
Munawaroh L., 2016 menyebutkan usaha
yang dilakukan untuk menekan jumlah
kasus filariasis adalah dengan pelaksanaan
Program Eliminasi Filariasis melalui
Pemberian Obat Massal Pencegahan
(POMP) filariasis. POPM adalah pemberian
obat DEC dikombinasikan dengan
Albendazole setiap tahun sekali selama 5
tahun secara berturut-turut.
PEMBAHASAN
ASPEK HOLISTIK PASIEN KUSTA
DAN FILARIASIS
Konsep holistik, komprehensif dan sistem
terbuka pada manusia merupakan suatu
konsep yang utuh, saling berinteraksi dan
saling beradaptasi yang terdiri dari aspek
fisik, psikologis, sosial, spiritual dan kultural
tidak dapat dipisah-pisahkan. Aspek holistik
manusia merupakan keseluruhan aspek
kehidupan manusia yang saling menunjang
dan saling mempengaruhi. Salah satu aspek
terganggu atau berubah, maka aspek lainnya
juga akan beradaptasi menyesuaikan dengan
kondisi yang sedang dialami. Aspek tersebut
meliputi aspek fisik terdiri dari kondisi dan
aktivitas jasmaniah manusia, aspek
psikologis yang berhubungan dengan
kondisi mental manusia dalam menghadapi
kondisi sakitnya, aspek sosial meliputi
interaksi antar manusia termasuk juga
kondisi ekonomi, aspek spiritual melibatkan
tentang aktivitas kerohanian/keyakinan dan
aspek kultural yang terdiri dari aktivitas
sehari-hari yang mengaplikasikan
budaya/kebiasaan yang dapat diterima oleh
sekitarnya.
NTD menguraikan tentang penyakit yang
terabaikan atau penykit yang kurang
diperhatikan, dialami oleh warga di
wilayah tropis dan sub tropis dengan kondisi
ekonomi rendah. Rendahnya kondisi
ekonomi pasien sering memicu
terjadinya keterbatasan lainnya. NTD
merupakan penyakit yang jarang
memicu kematian, namun sulit untuk
dihilangkan. Kondisi ekonomi yang tidak
baik, memicu aktivitas lebih berfokus
pada kegiatan pemenuhan makan keluarga.
Ketidakmampuan menyediakan sanitasi
rumah dan lingkungan sehat. Pencahayaan
ventilasi, kelembaban (rumah) kurang,
pembuangan limbah manusia dan rumah
tangga tidak sesuai. Risiko penularan kusta
dan filariasis meningkat, terutama pada
orang terdekat. Penelitian Padhi T., 2015
menguraikan bahwa risiko tinggi terjadinya
kusta yaitu pada keluarga dan kontak sosial,
pendidikan rendah, perumahan yang buruk
dan pendapatan rendah. Wibawa T., 2016
menyebutkan NTD disebabkan oleh
kemiskinan yang terjadi di pedesaan, daerah
kumuh di wilayah khatulistiwa (daerah
tropis-sub tropis). Kemiskinan dan
keterbatasan sumber daya lainnya, misalnya
akses air minum bersih, sanitasi yang buruk
dan perumahan yang tidak sehat, dapat
berkontribusi terhadap terjadinya NTD.
NTD dapat menurunkan kesehatan anak,
mengakibatkan menurunnya tingkat
pendidikan, meningkatkan biaya kesehatan
dan risiko perawatan tidak efektif,
mengurangi produktivitas dan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.
Kusta dan Filariasis merupakan penyakit
tropis infeksi yang memerlukan terapi lama
dan menimbulkan cacat fisik pada tubuh pasien (deformitas fisik). Penanganan yang
dilakukan sudah tepat dengan pemberian
terapi sesuai dengan SOP yang sudah
ditetapkan. Namun beberapa aspek
kehidupan lainnya kadang tidak ditangani
secara komprehensif atau terabaikan.
Pemberian atau pemberian terapi melalui
program MDT pada kusta dan POPM pada
filariasis sudah dilaksanakan dengan baik.
namun dampak dari kecacatan yang dialami
pasien (selama hidup pasien) belum
tertangani dengan baik. Kondisi pasien kusta
dan filarisis khususnya yang sudah
mengalami perubahan fisik dan kecacatan
fisik serta lebih banyak yang menderita tipe
MB pada kusta dapat mengalami berbagai
masalah dari semua aspek holistik. Pasien
mengalami penurunan produktivitas dan
tergantung pada orang lain.
Berdasarkan data dari Kemenkes RI tahun
2019, tingginya angka kejadian Kusta dan
Filariasis pada usia dewasa/produktif, diikuti
dengan angka kecacatan tingkat 2 pada kusta
dan tipe MB yang juga tinggi, berisiko
meningkatkan penurunan produktivitas
pasien serta meningkatkan beban hidup
pasien dan keluarga serta warga dan
risiko penularan kepada orang-orang di
sekitar pasien. Jika tidak ditangani secara
holistik, seluruh aspek kehidupan pasien
dapat terpengaruh.
Perubahan dan gangguan fisik pasien kusta
dan filariasis, memicu munculnya
masalah pada aspek fisik, yaitu
masalah/gangguan aktivitas sehari-hari
(nutrisi, cairan, eliminasi, istirahat, personal
hygiene, aktivitas), rasa nyaman. Masalah
pada aspek psikologis (konsep diri, isolasi
diri, marah, risiko perilaku kekerasan,
ketergantungan). Masalah pada aspek sosial
(isolasi diri, penurunan produktivitas,
peningkatan beban keluarga (beban sosial
dan ekonomi)). Masalah pada aspek spiritual
yang dapat terjadi adalah penurunan
keyakinan/kepercayaan dan pelaksanaan
ibadah, pasien merasa mendapatkan
hukuman/siksaan/karma. Sedangkan pada
aspek kultural, karena adanya persepsi yang
salah tentang kusta atau filariasis dapat
menimbulkan stigma negatif dan
diskriminasi pada pasien NTD (adanya
anggapan pasien menderita penyakit
kutukan, keturunan), kurang pengetahuan,
kurang pemanfaatan tehnologi/fasilitas
kesehatan, keterbatasan informasi,
perubahan pola sehari-hari, perubahan
peran-fungsi-tugas keluarga. Tidak sedikit
pasien dengan filarisis menyembunyikan
penyakitnya karena malu dan takut
mendapatkan stigma negatif dari sekitarnya.
Penelitian Lismayanti L., 2013 menguraikan
tentang pengalaman hidup orang terinfeksi
filariasis, yaitu ada lima tema yang
diperoleh dari informan yaitu emosi,
persepsi, gejala klinis, ekonomi dan sosial
serta pengalaman dalam mengakses
pelayanan kesehatan. Penelitian Sulianti A.,
2013 tentang Tinjauan Psikologi Kesehatan
pada Penderita Penyakit Kaki Gajah
Kronis/Filariasis menunjukkan hasil ada
tiga dinamika psikologis yaitu : penolakan
(7,7%), cemas (85%) dan depresi (7,7%).
Perilaku penderita sebagian besar (77%)
menutupi penyakitnya karena minimnya
pengetahuan. Filariasis dianggap penyakit
yang menakutkan, karena pada fase kronis
dapat memicu kecacatan pada tubuh
secara permanen karena pengerasan dan
kerusakan pada jaringan pembuluh limfe
dan pembuluh darah di sekitar organ tubuh.
Kondisi seperti ini belum ditemukan
obatnya bahkan tindakan operasi pun kurang
bermanfaat lagi sehingga menimbulkan
kecacatan. Permasalahan yang muncul tidak
hanya secara estetika dan penurunan
mobilitas pasien, namun juga muncul masalah
psikologis dan sosial.
Perasaan malu dan takut karena
perubahan/gangguan pada fisik,
ketidakmampuan, ketergantungan pada
orang lain dapat berdampak pada
kelangsungan pelaksanaan terapi yang
dijalani. Pasien merasa malu berinteraksi
dengan sekitarnya termasuk dengan petugas
kesehatan yang berdampak terhadap proses
terapi. Pasien takut dihindari atau
dikucilkan/diasingkan oleh orang sekitarnya
yang merasa jijik dengan kondisi luka/fisik
pasien (pada kusta dapat disertai deformitas
ekstremitas). Jika program terapi dihentikan
maka dapat berisiko meningkatkan
kerusakan jaringan tubuh/tingkat kecacatan
meningkat dan risiko penularan semakin
besar. Kondisi tersebut dapat berdampak terhadap semakin meningkatkan terjadinya
penurunan produktivitas pasien.
Kekurangtahuan pasien, keluarga dan
warga tentang penyakit Kusta da
Filariasis memicu munculnya berbagai
persepsi, diantaranya anggapan penyakit
kutukan, keturunan. Dampaknya bukan
hanya pasien yang dikucilkan, namun
keluarga dapat juga mendapatkan perlakuan
yang sama. Persepsi bahwa kusta dan
filariasis dianggap sebagai penyakit
keturunan/kutukan karena adanya beberapa
anggota keluarga menderita penyakit yang
sama. Hal ini terjadi karena seringnya
interaksi yang tidak tepat anggota keluarga
yang sehat dengan pasien. Didukung dengan
kurangnya pengetahuaan tentang penyakit
tersebut (penyebab, tanda gejala,
penatalaksanaan, komplikasi penyakit).
Didukung dengan kondisi sanitasi
lingkungan yang tidak sehat, meningkatkan
risiko tertular karena tersedianya breeding
place nyamuk (rumah lembab, pencahayaan
dan ventilasi udara kurang) serta ada nya
genangan limbah rumah tangga dan kandang
ternak yang menyatu dengan tempat tinggal.
Penelitian Fajriyah N.N., Dharmawan D.A.
& Herdiyanto S., 2013 menyebutkan pasien
kusta termasuk orang-orang yang dikucilkan
dan dijauhi dari pergaulan di warga ,
karena warga memiliki prasangka dan
stigma negatif tentang kusta. Penyakit kusta
merupakan penyakit kutukan dan keturunan,
stigma ini akan berdampak negatif bagi
klien. Banyak klien kusta yang
menghentikan bahkan tidak melakukan
pengobatan sama sekali.
NTD adalah penyakit tropis yang dialami
oleh warga dengan kemampuan
ekonomi rendah. Rantai masalah berikutnya
jika pasien mengalami gangguan fisik yaitu
terjadinya penurunan produktivitas pasien
sehingga memicu gangguan
pemenuhan ekonomi keluarga. Dampaknya
adalah keterbatasan peningkatan kualitas
sumber daya manusia (dewasa), penurunan
kemampuan kognitif pada anak, penurunan
kesehatan ibu hamil (sebagai pasien atau
keluarga). Ketidakmampuan menentukan
keputusan pelaksanaan terapi memicu
pasien cenderung mendiamkan kondisinya.
Etika A.N., 2015 menyebutkan mekanisme
koping yang digunakan pada pasien kusta
dari 75 responden sebagian besar
menggunakan mekanisme koping yang
berfokus pada emosi yaitu 41 responden
(54,7%). Hasil penelitian menunjukkan
adanya korelasi searah antara tingkat
kecacatan dengan mekanisme koping pada
pasien kusta dan semakin parah tingkat
kecacatan pasien kusta akan semakin
menggunakan mekanisme koping yang
berfokus pada emosi. Mekanisme koping
yang berfokus pada emosi cenderung
dilakukan ketika pasien tidak dapat
mengubah situasi yang menekan, hanya
dapat menerima situasi tersebut karena tidak
adekuatnya sumber daya yang dimilikinya.
Konsep holistik inilah yang perlu
diperhatikan untuk mengatasi dampak dari
adanya perubahan fisik pada kasus ini.
Kelangsungan hidup pasien kusta dan
filariasis yang sudah mengalami kecacatan
fisik sangat tergantung dari bantuan orang
sekitarnya, sehingga kondisi ini
memicu rasa tidak berharga, tidak
berdaya, tergantung pada orang lain
sehingga berisiko memicu timbulnya
masalah lainnya. Suatu permasalahan yang
terus menerus dapat terjadi dan saling
mempengaruhi timbulnya masalah
berikutnya sepanjang hidup. Soedarjatmi,
2009 menyebutkan pasien kusta mengatakan
sulit dalam mencari pekerjaan, responden
merasa takut jika pimpinan dan temantemannya mengetahui bahwa responden
menderita penyakit kusta, namun dengan
tidak bekerja mereka tidak mempunyai
penghasilan.
Kusta dan Filariasis (Neglegted Tropical
Disease) merupakan penyakit yang dapat
memicu timbulnya permasalahan pada
pasien, keluarga dan warga pada semua
aspek kehidupan, meliputi aspek fisik,
psikologis, sosial, spiritual dan kultural.
Pelaksanaan terapi pada pasien Kusta dan
Filariasis (Neglegted Tropical Disease)
memerlukan upaya yang menyeluruh
(komprehensif) karena adanya rantai
masalah yang dihadapi pasien selama
hidupnya sejak didiagnosis Kusta atau
Filariasis. Sehingga disarankan penatalaksanaan tidak hanya sudah
terlaksananya program terapi (MDT dan
POPM) namun juga memperhatikan aspek
holistik manusia yang saling berhubungan
dan saling mempengaruhi yaitu aspek fisik,
psikologis, sosial, spiritual dan kultural.
Diperlukan adanya kerjasama antara pasien,
keluarga, warga dan petugas kesehatan
untuk membantu pasien meningkatkan
kualitas hidupnya.