Tampilkan postingan dengan label kusta f. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kusta f. Tampilkan semua postingan

Kusta f

 











kusta26




DAFTAR SINGKATAN

BB : Mid Borderline

BCG : Bacille Calmette Guerin

BL : Borderline Lepromatous

BT : Borderline tuberkuloid

BTA : Basil Tahan Asam

CMI : Cell Mediated Immunity

DRESS : Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom

ENL : Eritema Nodosum Leprosum

LL : Lepromatosa polar

LPD : Lembar Pengumpul Data

MB : Multibasiler

MDT : Multi Drug Therapy

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PB : Pausibasiler

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

RFT : Release From Treatment

SAGE : Strategic Advisory Group of Expert on immunization

SDR : Single Dose Rifampisin

SIS : Sistem Imunitas Seluler

SPSS : Software Statistical Product and Service Solution

TT : Tuberkuloid tuberkuloid

VMT : Voluntary Muscle Test

WHO : World Health Organization




Kusta yaitu  penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman 

Mycobacterium leprae. Penyakit ini mempunyai afinitas utama pada beberapa 

bagian tubuh diantaranya kulit, mata, dan juga anggota gerak

Kusta yaitu  salah satu penyakit infeksi yang masih merupakan masalah 

kesehatan di negara kita  . Hal ini disebabkan adanya kasus baru yang tetap ditemukan 

walaupun bukan berasal dari daerah endemis. Kebanyakan kasus datang terlambat 

dan telah terjadi kecacatan. Keterlambatan diagnosis dapat terjadi antara lain karena 

pasien tidak segera datang berobat untuk kelainan kulitnya, atau petugas kesehatan 

tidak dapat menegakkan diagnosis yang disebabkan kelainan klinis mirip dengan 

penyakit lain. Sementara itu sarana penunjang klinis tidak dikuasai dengan baik dan 

penunjang laboratoris tidak tersedia. Di sisi lain, penanganan yang tidak 

komprehensif akan menyebabkan komplikasi akibat kusta secara langsung maupun 

akibat pengobatan yang tidak tuntas

Kusta tergolong penyakit infeksi granulomatosa kronik yang dapat 

menyebabkan kecacatan dan neuropati perifer apabila tidak segera ditangani. Hal 

ini yang membedakan kusta dengan penyakit lain mengingat dampak yang 

ditimbulkan dalam segi fisik, psikologis, dan sosial yang cukup besar

2.1.2 Epidemiologi

Epidemiologi penyakit kusta dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu 

distribusi kusta berdasar  orang, distribusi kusta berdasar  geografi (tempat), 

dan distribusi kusta berdasar  waktu, yaitu : 

1. Distribusi berdasar  orang 

Distribusi penderita kusta berdasar  faktor manusia (orang) dapat dilihat 

dalam beberapa hal, yaitu

a. berdasar  usia 

Penyakit kusta dapat dialami oleh semua kelompok usia. Namun, kasus 

yang banyak terjadi di negara kita   yaitu pada usia produktif. Di negara kita   penderita anak-anak di bawah usia 14 tahun didapatkan ±13 %, namun  anak di 

bawah usia 1 tahun jarang ditemukan. Frekuensi tertinggi terdapat pada 

kelompok usia 25-35 tahun

berdasar  data dari Kementrian Kesehatan RI tahun 2020, proporsi kusta 

anak pada tahun 2019 sebesar 11,52%. Proporsi tersebut lebih tinggi dari tahun 

2018, yaitu sebesar 10,94%, akan namun  persentase kasus baru kusta pada anak 

secara nasional mengalami penurunan selama periode 2015-2017, yaitu 

sebelumnya 11,22% kemudian menurun menjadi 11,03% di tahun 2017. 

Adapun data kasus kusta pada anak di tahun 2013-2017, pada tahun 2013 yaitu  

kasus tertinggi yaitu 11,88 tiap 100.000 warga  nya

b. berdasar  jenis kelamin 

Kusta bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Pada beberapa daerah, 

laki-laki memiliki jumlah penderita kusta dua kali lebih tinggi dibandingkan 

perempuan. Penderita baru kusta laki-laki di negara kita   sebesar 62,7% dan 

perempuan sebesar 37,3%. Pada tahun 2019 Provinsi Aceh memiliki kasus baru 

sebanyak 337 kasus. Jumlah laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, 

yaitu 203 kasus laki-laki dan 134 kasus perempuan

c. berdasar  etnik 

Pada beberapa wilayah ataupun negara yang memiliki keadaan lingkungan 

yang sama, didapatkan bahwa faktor etnik mempengaruhi distribusi kusta. 

Penyakit kusta di negara Myanmar banyak terjadi pada etnik Buma. Begitu juga 

di Malaysia, penyakit kusta paling sering terjadi pada etnik Cina(13). Hal ini 

berhubungan dengan adanya migrasi di daerah tersebut, penelitian yang 

dilakukan di Brazil menyatakan bahwa migrasi meningkatkan distribusi kusta. 

Hal ini dikarenakan para imigran yang tinggal di pinggiran kota Brazil 

bermigrasi dari daerah endemik ke daerah non-endemik dan hidup dalam 

kondisi sosioekonomi rendah yang menyebabkan penularan penyakit kusta

d. berdasar  sosial ekonomi 

Faktor sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya penyakit kusta. Penyakit 

kusta banyak terjadi di negara dengan tingkat sosioekonomi rendah. Hal 

tersebut berbanding terbalik dengan Eropa, karena angka kejadian kusta di wilayah tersebut mengalami penurunan yang sangat pesat yang sejalan dengan 

meningkatnya sosial ekonomi

2. Distribusi berdasar  geografi (tempat) 

Pada tahun 2019, regional Asia merupakan wilayah dengan kasus baru kusta 

tertinggi, yaitu sebanyak 143.787 kasus dan regional Eropa memiliki kasus baru 

kusta terendah dengan jumlah kasus sebanyak 42 kasus negara kita   telah 

melaksanakan eliminasi kusta tingkat nasional sejak tahun 2000, yaitu dengan 

prevalensi <1 tiap 10.000 warga  . Pada tahun 2019, dari seluruh provinsi 

yang ada di negara kita   masih terdapat delapan provinsi lagi yang belum 

mencapai status eliminasi kusta, artinya masih memiliki prevalensi >1 per 

10.000 warga  . Delapan provinsi yang belum melakukan eliminasi, yaitu 

Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku 

Utara, Papua dan Papua Barat(15). 

2.1.4 Faktor risiko

Pada dasarnya faktor risiko seseorang terkena kusta di seluruh dunia sangat 

rendah. Hal ini disebabkan karena sebesar 95% manusia memiliki kekebalan alami 

terhadap penyakit kusta dan hanya sebesar 5% saja yang dapat terinfeksi. Dari 5% 

yang terinfeksi, ada sekitar 70% dapat sembuh dengan sendirinya tanpa minum obat 

dan hanya sebesar 30% saja yang dapat menjadi sakit

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan penyakit kusta 

yakni jumlah bakteri, faktor host, seperti umur, jenis kelamin, genetik serta faktor￾faktor yang mempermudah penularan lainnya seperti tingkat pendidikan yang 

rendah, pekerjaan, kemiskinan, status gizi yang buruk dan tempat tinggal atau 

bermigrasi ke daerah yang endemis kusta(20). berdasar  penelitian Oktaria 

(2018) di Jawa Timur, orang yang berisiko terkena penyakit kusta yaitu orang yang 

memiliki tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan yang kurang stabil untuk 

menyediakan makanan yang beragam dan memiliki gejala anemia Penelitian 

serupa yang dilakukan di Kediri tahun 2017 menyatakan bahwa tingkat pendidikan 

meningkatkan risiko kusta melalui pekerjaan. Orang yang berpendidikan tinggi 

akan memiliki pekerjaan yang layak dan memiliki pendapatan juga, lain halnya 

dengan orang yang memiliki pendidikan rendah, pengetahuan, keterampilan dan kemampuannya juga rendah. Secara otomatis hal tersebut akan menyebabkan 

kurangnya kesempatan kerja dan pendapatan rendah. Maka karena itu, akan 

menjadi sulit bagi mereka untuk memenuhi nutrisi sehingga kekebalan tubuh akan 

menjadi rendah dan rentan terkena penyakit

2.1.3 Etiologi

Kuman penyebab yaitu  Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G. A. 

Hansen pada tahun 1873 di Norwegia, yang hingga saat ini belum dapat dibiakkan 

dalam media artifisial. Namun, pada tahun 1960 Shepard berhasil 

menginokulasikan Mycobacterium leprae pada kaki mencit, dan berkembang biak 

di sekitar area tersebut. Mycobacterium leprae berbentuk batang dengan ukuran 1-

8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol serta Gram-positif(20).

Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang 

rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu 

memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Basil kusta masuk 

ke tubuh manusia melalui kontak langsung dengan kulit atau mukosa nasal yang 

berasal dari droplet. Basil dari droplet akan bertahan hidup selama 2 hari dalam 

lingkungan yang kering, bahkan hingga 10 hari pada lingkungan yang lembab dan 

suhu yang rendah. sesudah  infeksi terjadi, gejala klinis pada saraf perifer atau kulit 

akan muncul dalam waktu 3 bulan hingga 10 tahun. Gejala klinis yang timbul 

bervariasi, bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik, 

akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya bila SIS rendah 

memberikan gambaran lepromatosa

Mycobacterium Leprae, ditemukan oleh G.A Hansen yang merupakan 

warga negara Norwegia pada tahun 1874 dan sampai saat ini belum dapat dibiakkan 

dalam media buatan. Mycobacterium leprae merupakan kuman berbentuk basil 

dengan ukuran 3 – 8 µm × 0,5µm, tahan asam dan alkohol serta bersifat gram 

positif. Mycobacterium leprae hidup secara intraseluler dan memiliki afinitas yang 

besar pada sel saraf (Schwan cell) juga sistem retikulo endotel(15). 

Masa inkubasi kusta bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan rata￾rata 3-5 tahun. Masa inkubasi berhubungan dengan pembelahan sel yang lama, yaitu berkisar antara 2-3 minggu dan diluar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman 

kusta bisa bertahan sampai 9 hari

2.1.5 Patogenesis

Spektrum klinis kusta bergantung secara eksklusif pada keterbatasan 

variabel di dalam kemampuan pejamu untuk mengembangkan imunitas yang 

diperantarai sel yang efektif terhadap Mycobacterium leprae. Organisme mampu 

menyerang dan berkembang biak di saraf perifer dan menginfeksi dan bertahan 

hidup di sel endotel dan sel fagosit di banyak organ. Infeksi subklinis kusta sering 

terjadi pada warga   di daerah endemis. Agaknya infeksi subklinis ditangani 

dengan mudah oleh respons CMI pejamu. Ekspresi klinis kusta yaitu  

perkembangan granuloma, penderita dapat mengembangkan "keadaan reaksi" yang 

dapat terjadi dalam beberapa bentuk pada >50% dari kelompok pasien tertentu

2.1.6 Klasifikasi

Berbagai klasifikasi penyakit kusta dibuat dengan tujuan tertentu, namun 

yang banyak digunakan yaitu  klasifikasi menurut WHO dan klasifikasi Ridley￾Jopling

1. Klasifikasi WHO

Untuk kepentingan pengobatan, WHO pada tahun 1987 membuat 

klasifikasi kusta menjadi 2 tipe, yaitu tipe Pausibasiler (PB) dengan sedikit atau 

tidak ditemukan bakteri dan tipe Multibasiler (MB) dengan jumlah bakteri yang 

banyak. Tipe PB menurut WHO yaitu  tipe TT dan BT menurut Ridley dan Jopling, 

sedangkan tipe MB yaitu  tipe BB, BL dan LL, atau tipe apapun dengan BTA 

positif

Pada umumnya pemeriksaan kerokan jaringan kulit untuk pemeriksaan 

BTA tidak tersedia di lapangan, maka pada tahun 1995 WHO mengubah klasifikasi 

menjadi lebih sederhana berdasar  hitung lesi kulit dan jumlah saraf perifer yang 

terkena

Kulit 

Kelainan kulit dapat berbentuk makula atau bercak hipopigmetasi dengan 

anestesi, atau makula hipopigmetasi disertai tepi yang menimbul dan sedikit 

eritematosa, atau berupa infiltrat/plak eritematosa, atau dapat pula berbentuk papul 

dan nodul. Kelainan kulit ini menyerupai berbagai penyakit kulit lain, sehingga 

adanya gangguan sensibilitas berupa anestesi atau hipoestesi sangat membantu 

dalam menegakkan diagnosis kusta. Gambaran klinis kulit yang beragam ini dapat 

digunakan untuk menentukan tipe kusta, karena khas untuk tipe tertentu(20).

2. Saraf Perifer 

Manifestasi neurologis terbanyak pada kusta ialah adanya kerusakan saraf 

perifer yang menyertai lesi kulit, terutama pada serabut saraf kulit dan trunkus saraf. 

Gambaran dan distribusi kerusakan saraf yang terjadi dipengaruhi oleh jumlah 

bakteri yang menginfiltrasi saraf, serta respons imunologis penderita terhadap saraf 

yang terinfeksi. berdasar  hal tersebut, manifestasi klinis kerusakan saraf perifer 

dapat digolongkan menjadi gangguan sensorik, gangguan motorik dan gangguan 

otonom. Ketiga gangguan ini dapat terjadi pada saraf perifer di ekstremitas maupun 

saraf kranial

Neuropati perifer paling sering bermanifestasi sebagai mononeuropati, 

polineuropati atau mononeuropati multipleks. Saraf perifer yang sering terkena 

ialah N.ulnaris, N.radialis, N.medianus, N. poplitea lateralis, N. tibialis posterior,


N. fasialis, N. trigeminus serta N.auricularis magnus. Gangguan pada saraf perifer 

tersebut meliputi gangguan pada cabang saraf sensorik, otonom dan motorik.

2.1.8 Diagnosis

Diagnosis penyakit kusta ditetapkan berdasar  temuan satu dari tiga tanda 

kardinal kusta berikut ini, yaitu: 

a. Kelainan kulit atau lesi yang khas kusta, dapat berbentuk hipopigmentasi atau 

eritema yang mati rasa (anestesi) 

b. Penebalan saraf perifer disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat peradangan 

(neuritis) kronis. Gangguan fungsi saraf ini dapat berupa: 

1) Gangguan fungsi sensoris: anestesi 

2) Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis otot 

3) Gangguan fungsi otonom: kulit kering atau anhidrosis dan terdapat fisura 

c. Adanya basil tahan asam (BTA) pada kerokan jaringan kulit (slit skin smear). 

Untuk memastikan tanda kardinal pertama, selanjutnya dilakukan 

pemeriksaan gangguan sensibilitas pada lesi kulit. Pemeriksaan gangguan rasa raba 

dilakukan dengan menggunakan usapan ujung kapas pada lesi. Gangguan terhadap 

suhu, dapat dilakukan dengan menggunakan dua tabung reaksi berisi air hangat 

bersuhu 400°C dan air dingin. Bila pasien tidak dapat membedakan suhu hangat 

dan dingin, maka telah terjadi gangguan sensibilitas. Gangguan terhadap rasa nyeri 

diperiksa dengan menggunakan ujung jarum. Bila pasien merasakan ujung jarum 

tersebut tumpul, maka telah terjadi hipoestesi. namun  bila tidak merasakan sakit, 

berarti telah terjadi anestesi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf 

otonom, harus diperhatikan adanya kekeringan kulit di daerah lesi berupa sisik 

halus. Bila tidak jelas, dapat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan pensil 

tinta. Cara pemeriksaan yaitu dengan menggores kulit menggunakan pensil tersebut 

mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, maka goresan pada 

kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi, karena 

goresan pinsil lumer karena adanya keringat. Dapat pula diperhatikan adanya 

alopesia di daerah lesi, yang lebih mudah terlihat bila rambut yang tumbuh cukup 

lebat. Gangguan fungsi motoris menyebabkan kelainan otot, atrofik atau paresis, dan dapat diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT). Pada dasarnya, sebagian 

besar pasien dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis

Apabila hanya ditemukan tanda kardinal kedua, perlu dirujuk ke dokter 

saraf atau dokter spesialis kulit, dengan sarana pemeriksaan penunjang yang 

memadai. Jika masih ragu maka dianggap sebagai penderita yang dicurigai atau 

tersangka

1.4.2 Komplikasi

Pada individu dengan kusta, masih ada kemungkinan berkembangnya abses 

pada saraf. Sebagian besar terlihat pada saraf ulnaris, jenis komplikasi ini 

memerlukan intervensi bedah segera untuk mencegah gejala sisa yang tidak dapat 

diperbaiki. Komplikasi terkait saraf juga melibatkan mata yang menyebabkan 

kelumpuhan saraf kranial ditambah dengan insensitivitas kornea dan 

lagophthalmos. Hal ini dapat menyebabkan trauma, infeksi serta ulserasi kornea 

dan kekeruhan. Kebutaan di negara dunia ketiga berkorelasi dengan jumlah kasus 

kusta positif. Neuropati pada ekstremitas juga merupakan komplikasi yang terkait 

dengan kusta, menyebabkan ketidakpekaan terhadap sentuhan halus, rasa sakit, dan 

reseptor panas dan akibatnya menyebabkan hilangnya jari distal. Dalam kasus yang 

melibatkan pasien kusta, hilangnya sensitivitas distal mungkin terjadi, meskipun 

proses ini tidak sepenuhnya dipahami dan mungkin merupakan proses osteolitik 

yang kurang dipahami. Dalam reaksi imunologi yang meradang, kemungkinan 

morbiditas tinggi. Eritema nodosum leprosum (ENL) biasanya muncul dengan 

papula eritematosa yang nyeri dan sembuh dalam waktu seminggu. Jenis papula ini 

terjadi pada hampir 50% orang yang mendekati kusta tipe LL

Terlepas dari kerusakan yang disebabkan sebagian besar pada kulit dan 

saraf perifer, itu juga melibatkan sistem retikuloendotelial, endokrin, dan 

hemopoietik bersama dengan otot, tulang, dan mata(24).

2.1.10 Prognosis

Prognosis kusta tergantung pada beberapa faktor, yang meliputi: stadium 

penyakit saat diagnosis, inisiasi pengobatan dini, akses pasien terhadap pengobatan, 

dan kepatuhan terhadap terapi  Dengan dimulainya terapi multiobat (MDT) tepat waktu sesudah  onset awal, 

kusta umumnya dipandang sebagai penyakit yang dapat disembuhkan. Perawatan 

dengan MDT dapat mencegah kelainan bentuk yang luas dan kecacatan neurologis. 

Dengan mengikuti terapi yang ditentukan dengan benar, tingkat gangguan 

neurologis dapat dibatasi. namun  ada kasus yang menunjukkan pemulihan parsial 

atau tidak ada pemulihan dari kelemahan otot atau kehilangan sensasi yang terjadi 

sebelum dimulainya terapi. Kekambuhan (munculnya kembali penyakit sesudah  

pengobatan selesai) minimal sesudah  MDT diterapkan, dan kematian juga jarang 

terjadi

2.2 Pencegahan dan Pengobatan Kusta

2.2.1 Pencegahan 

Saat ini, tidak ada intervensi imunoprofilaksis spesifik kusta yang tersedia,

meskipun vaksinasi Bacille Calmette Guerin (BCG) dapat memberikan

perlindungan akan namun  tidak ada vaksin yang secara khusus menargetkan

Mycobacterium leprae. Pendekatan paling efektif untuk mengurangi risiko

berkembangnya kusta terhadap individu yang terpapar Mycobacterium leprae

dalam waktu lama yaitu  kemoprofilaksis menggunakan single-dose rifampicin

(SDR) diberikan untuk kontak dekat tanpa gejala dari pasien kusta yang baru 

didiagnosis. Kombinasi antara imunoprofilaksis dan kemoprofilaksis masih dalam

tahap eksplorasi

1. Pencegahan kusta melalui kemoproflaksis

World Health Organization (WHO) merekomendasikan SDR sebagai

preventif kontak pasien kusta (dewasa dan anak-anak usia >2 tahun) pengecualian

bagi yang didiagnosis kusta, TB, dan kontraindikasi lain. Jadwal dosis yang

direkomendasikan untuk SDR yaitu  sebagai berikut :2. Pencegahan kusta melalui imunoprofilaksis

WHO merekomendasikan golongan Strategic Advisory Group of Expert

on immunization (SAGE) sebagai vaksinasi. Vaksin untuk penyakit kusta masih

dalam tahap uji coba, seperti pada penelitian LepVax, vaksin subunit baru yang saat 

ini terdapat di tahap 1. WHO merekomendasikan agar setiap vaksin TB baru

dievaluasi untuk pencegahan penyakit Mycobacterium lainnya seperti kusta dan

buruli ulkus

2.2.2 Pengobatan

Pengobatan kusta sudah distandarisasi di seluruh dunia dan didasarkan pada

rekomendasi WHO yang dikeluarkan pada tahun 1982. Mirip dengan tuberkulosis, 

pengobatan kusta melibatkan multidrug therapy (MDT). Tiga obat pilihan pertama 

yaitu  : Dapson, Rifampisin, dan Klofazimin. Monoterapi atau hanya 

menggunakan salah satu dari obat-obatan ini sudah tidak dipakai untuk mencegah

terjadinya resistensi

1. Dapson

Disintesis di Jerman pada tahun 1908, dapson merupakan obat pertama yang

digunakan sebagai monoterapi pada tatalaksana kusta di tahun 1941. Efek

samping termasuk hemolisis tergantung dosis dan pembentukan methemoglobin,

keparahan jelas terlihat dalam kasus defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase.

Efek samping lainnya yaitu  gejala gastrointestinal, sakit kepala, dan kelelahan.

Efek samping yang jarang termasuk reaksi fototoksik, urtikaria, erupsi obat, eritema 

multiforme, sindrom DRESS, agranulositosis, dan hepatitis. Tidak ada

teratogenisitas yang diketahui dan kehamilan bukan merupakan kontraindikasi.

Dosis harian yaitu  100 mg dalam semua bentuk kusta

2. Rifampisin

Pertama ditemukan dan dipakai sebagai OAT pada tahun 1965 dan mulai

dipakai sebagai obat kusta di tahun 1970. Rifampisin merupakan obat yang menjadi 

salah satu komponen kombinasi dapson dengan dosis harian 10 mg/kg berat badan. 

Rifampisin tidak boleh digunakan sebagai monoterapi mengingat resistensi yang 

akan terjadi lebih besar kemungkinannya jika diberikan setiap minggu atau setiap 

2 minggu, maka dari itu rifampisin harus selalu diikutkan pada pengobatan 

kombinasi. Efek samping yang mungkin terjadi yaitu  hepatotoksik, nefrotoksik,

gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit

3. Klofazimin (lampren)

Klofazimin cocok untuk mengobati reaksi kusta tipe 2 karena bersifat

sebagai antiinflamasi. Lebih dari 75% pasien yang diobati dengan Klofazimin

mengalami hiperpigmentasi merah-coklat pada lesi kusta sesudah  beberapa minggu

yang terutama menonjol pada ras Kaukasia. Perubahan pada kulit ini bisa sembuh

jika pengobatan dihentikan, mereka sering menjadi penyebab penghentian dini

pengobatan pada wanita muda yang akhirnya akan mengakibatkan kekambuhan dan

terjadinya reaksi kusta


Regimen pengobatan menurut Guidelines for the diagnosis, treatment and

prevention of leprosy WHO tahun 2018 disesuaikan dengan indikasi sebagai

berikut



dapat diberikan dengan berbagai indikasi, antara lain

a. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi Rifampisin pasien yang kumannya resisten

terhadap Rifampisin umumnya resisten juga terhadap Dapson.Oleh karena itu, 

digunakan regimen berikut


Ofloksasin 400 mg bisa diganti dengan levofloksasin 500 mg atau moxifloksasin

400 mg.

b. Pasien yang tidak dapat mengkonsumsi Klofazimin, maka dalam MDT 12 bulan 

dapat diganti dengan Ofloksasin 400 mg/hari atau Minosiklin 100 mg/hari selama 

12 bulan atau Rifampisin 600 mg/bulan, Ofloksasin 400 mg/bulan dan Minosiklin 

100 mg/bulan selama 24 bulan

c. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi Dapson apabila obat menyebabkan efek

samping yang berat, seperti sindrom Dapson (sindrom hipersensitivitas obat), maka

obat harus segera dihentikan. Untuk tipe kusta MB, MDT tetap dilanjutkan tanpa

Dapson selama 12 bulan sedangkan untuk tipe kusta PB, Dapson dapat diganti 

dengan Klofazimin dengan dosis sama dengan MDT tipe MB selama 6 bulan




Data Penelitian

Data dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder yaitu data rekam 

medik pasien kusta yang dikumpulkan peneliti dari 5 puskesmas yaitu Puskesmas 

Muara Satu, Puskesmas Muara Dua, Puskesmas Banda Sakti, Puskesmas Blang 

Mangat, dan Puskesmas Kandang yang meliputi usia, jenis kelamin, tipe kusta, 

pekerjaan, serta lamanya pemberian obat yang didapatkan oleh pasien di Puskesmas 

Kota Lhokseumawe. 

Data dalam penelitian ini yaitu  seluruh pasien kusta yang mendapatkan 

MDT di Puskesmas Kota Lhokseumawe. Data pada penelitian ini berjumlah 42 

sampel.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Tipe kusta

Persentase pasien berdasar  tipe kusta dapat dilihat pada tabel 4.1 

dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe.

berdasar  tabel 4.3 menunjukkan terdapat 4 orang pasien (9,5%) dengan 

tipe kusta PB dan 38 orang pasien (90,5%) dengan tipe kusta MB. 

4.2.2 Usia

Persentase pasien berdasar  kategori usia dapat dilihat pada tabel 4.2

dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe.


berdasar  tabel 4.2 didapatkan hasil data pengelompokan pasien kusta 

dari usia di Puskesmas Kota Lhokseumawe. Dari data tersebut, didapatkan bahwa

kategori usia terbanyak merupakan kategori usia dewasa (28,6%) dan untuk 

kategori usia anak yaitu dengan total penderita kusta sebanyak 2 orang (4,8%). 

4.2.3 Jenis kelamin

Persentase pasien berdasar  jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.3

dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe.


berdasar  tabel 4.3 menunjukkan data menurut kategori jenis kelamin

pada pasien kusta di Puskesmas Kota Lhokseumawe. Dari data tersebut, didapatkan 

hasil dari pengelompokan pasien kusta menurut jenis kelamin yang dibedakan 

menjadi laki-laki dan perempuan, dengan total pasien laki-laki sebanyak 27 orang 

(64,3%) dan pasien perempuan sebanyak 15 orang (35,7%). 

4.2.4 Pekerjaan

Persentase pasien berdasar  kategori pekerjaan dapat dilihat pada tabel 

4.4 dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe

berdasar  tabel 4.4 didapatkan bahwa kejadian kusta tertinggi ada pada 

pasien yang tidak bekerja yaitu sebanyak 21 orang dengan persentase 50% dari 

total pasien kusta yang ada di Puskesmas Kota Lhokseumawe. Pasien dengan 

kategori pekerjaan sebagai PNS merupakan kategori pekerjaan dengan kasus pasien 

kusta terendah (7,1%). 

4.2.5 Tepat lamanya pengobatan 

Persentase pasien berdasar  tepat lamanya pengobatan dapat dilihat pada 

tabel 4.6 dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe.


berdasar  tabel 4.6 didapatkan bahwa sebanyak 32 orang pasien kusta 

(76,2%) menjalani pengobatan tepat 6 bulan dan 12 bulan, sedangkan sebanyak 10 

orang pasien kusta (23,8%) menjalani pengobatan tidak tepat waktu. Lamanya 

pengobatan yang tidak tepat bulan dikarenakan pasien meninggal, pindah, putus 

berobat dan pasien tidak di evaluasi. 


Hasil pengobatan 

Persentase pasien berdasar  hasil pengobatan dapat dilihat pada tabel 4.7

dibawah ini. Data diambil dari lima puskesmas di Kota Lhokseumawe.


berdasar  tabel 4.7 diatas dapat diketahui bahwa hasil pengobatan 

lengkap dapat dinyatakan RFT yaitu sebanyak 76,2%, pasien putus berobat 

sebanyak 16,7%, dan 7,1% pasien meninggal. 

4.3 Pembahasan

4.3.1 Gambaran karakteristik pasien kusta berdasar  tipe kusta

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kusta yang dialami 

yaitu  kusta tipe MB dibandingkan tipe PB. Tipe MB terjadi pada individu dengan 

sistem imunitas tubuh yang rendah, biasanya pada individu usia tua. berdasar  

hasil penelitian menunjukkan bahwa kusta tipe MB lebih banyak yaitu 90,5% dari 

total penderita. Hal ini disebabkan karena tipe tersebut mudah menular melalui 

kontak kulit maupun inhalasi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang 

dilakukan Jayanti (2014) dari 46 penderita kusta, terdapat sebanyak 25 orang 

penderita kusta tipe MB sedangkan pada kusta tipe PB terdapat sebanyak 21 orang 

penderita. berdasar  penelitian yang dilakukan De Almeida (2014) juga 

mengatakan bahwa dari total 23 pasien kusta yang diteliti, diketahui kejadian kusta

tertinggi yaitu  dengan tipe Multibasiler (MB) yaitu sebanyak 13 orang atau 

sebanyak 56,5%. Sedangkan tipe Pausibasiler (PB) ditemukan sebanyak 10

orang

4.3.2 Gambaran karakteristik pasien kusta berdasar  usia

Hasil penelitian ini diperoleh data penderita usia termuda 9 tahun dan usia 

tertua 70 tahun. Usia terbanyak pada sampel penelitian ini yaitu  usia dewasa

dengan rentang usia 31-40 tahun sejumlah 12 penderita, sedangkan kelompok usia 

paling sedikit yaitu usia anak-anak dengan rentang usia 1-10 tahun sejumlah 2

penderita. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penderita kusta usia 

dewasa lebih banyak daripada penderita usia anak-anak. 

Menurut penelitian kusta oleh Jariyakulwong, dkk (2022) insiden kusta 

meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Hal tersebut disebabkan oleh masa 

inkubasi kusta yang sangat lama dan gambaran klinis dari kusta yang muncul 

terlambat. Masa inkubasi bervariasi dari 5 hingga 10 tahun, tergantung pada subtipe 

klinis. berdasar  hasil penelitian di Rumah Sakit Kusta Kediri, penderita usia 

dewasa lebih banyak daripada penderita usia anak-anak dengan persentase lebih 

dari 90%. Hal ini disebabkan oleh karena masa inkubasi Mycobacterium leprae 

yang membutuhkan waktu lama sekitar 40 hari sampai 40 tahun, sehingga 

gambaran klinis muncul pada usia dewasa

4.3.3 Gambaran karakteristik pasien kusta berdasar  jenis kelamin

Data penderita kusta berdasar  kelompok jenis kelamin pada penelitian 

ini menunjukkan bahwa kusta di Puskesmas Kota Lhokseumawe lebih banyak 

ditemukan pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 27 orang atau 

sebesar 64,3% dari total pasien yang ada. Sedangkan pada pasien perempuan 

sebanyak 15 orang atau sebesar 35,7%.

Laki-laki memiliki tingkat terkena kusta lebih tinggi dibandingkan 

perempuan dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain faktor lingkungan 

dan biologis. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Peng, dkk (2020) rasio kasus 

kusta baru antara pria dan wanita di Tiongkok pada tahun 2020 yaitu  2,1:1, yaitu 

dengan total 273 laki-laki (67,2%) dan 133 perempuan (32,8%). Hal ini mungkin 

disebabkan oleh perbedaan persepsi dan pengetahuan mengenai penyakit kusta, 

ketergantungan ekonomi, dan ketidakpekaan jenis kelamin dalam layanan penyakit 

kusta yang menyebabkan keterlambatan diagnosis pada perempuan

4.3.4 Gambaran karakteristik pasien kusta berdasar  pekerjaan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian kusta tertinggi 

berdasar  pekerjaan pada pasien kusta di Puskesmas Kota Lhokseumawe yaitu 

kategori pasien yang tidak bekerja, hal ini dikarenakan dalam kategori pasien yang 

tidak bekerja terdapat pasien pelajar, ibu rumah tangga, dan juga lanjut usia. 

berdasar  dari hasil penelitian di Rumah Sakit Kusta Kediri, jenis 

kelamin laki-laki lebih banyak menderita kusta 75% dari total penderita kasus baru. 

Hal ini kemungkinan karena laki-laki lebih sering bekerja di luar rumah daripada 

wanita, sehingga meningkatkan risiko tertular kusta. Namun, hal itu juga 

dipengaruhi oleh lingkungan pekerjaan dan keadaan sosial ekonomi penderita

Kusta lebih banyak diderita oleh penderita dengan keadaan sosial ekonomi 

rendah. berdasar  hasil penelitian, jenis pekerjaan terbanyak sesudah  pasien 

dengan kategori tidak bekerja yaitu  pasien dengan kategori pekerjaan sebagai 

buruh yaitu sejumlah 8 penderita (19%). Petugas puskesmas menjelaskan bahwa 

data tersebut didapat dari wawancara petugas dengan penderita kusta dan sebagian 

besar penderita kusta dengan kategori pekerjaan buruh ini menyebutkan bahwa 

pekerjaan buruh yaitu  pekerja pabrik.

4.3.5 Regimen pengobatan pasien kusta berdasar  tepat lamanya pengobatan

Regimen pengobatan MDT harus sesuai dengan yang direkomendasikan 

oleh WHO, termasuk lama pemberian obat harus tepat sesuai dengan tipenya. 

Lamanya pengobatan dan efek samping MDT kemungkinan besar akan 

menimbulkan ketidakpatuhan pada pasien dan menyebabkan mereka berhenti 

meminum obat. Jika masalah ini tidak diatasi, pasien akan terus menjadi sumber 

penularan pajanan. Waktu pengobatan yang lama dengan pengobatan rutin yang 

harus diminum setiap hari dari MDT dapat menjadi faktor yang menyebabkan 

ketidakpatuhan. Salah satu cara untuk mengatasinya yaitu  dengan memberikan 

dukungan tenaga lingkungan dan kesehatan sebagai mediator informasi kepada para 

korban

berdasar  hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti terkait dari 

lamanya pengobatan terdapat 76,2% menjalani pengobatan dengan tepat lamanya 

pengobatan, yaitu 6-9 bulan untuk kusta tipe PB dan 12-18 bulan untuk kusta tipe 

MB. Pemberian obat kurang dari tepat lamanya pengobatan dikarenakan pasien 

tidak mendapatkan dukungan untuk pengobatan dari lingkungannya sehingga 

pasien putus obat, kemudian ada pasien yang meninggal dan juga ada pasien yang pindah berobat. Menurut penelitian lain, didapatkan dampak terkait penyakit kusta 

juga termasuk dengan adanya stigma negatif kepada penderita kusta

Tujuan pengobatan yang dilakukan pada pasien kusta yaitu  untuk 

memutuskan mata rantai penularan, mencegah terjadinya resistensi obat, 

memperpendek masa pengobatan, meningkatkan keteraturan berobat dan mencegah 

terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum 

pengobatan. Pasien kusta yang tidak patuh dalam menjalani pengobatan 

dikarenakan waktu pengobatan yang cukup panjang dan mengonsumsi berbagai 

macam obat-obatan serta efek samping yang ditimbulkan. Ketidakpatuhan ini juga 

sering menjadi masalah secara global, apabila tidak mengikuti prosedur pengobatan 

secara benar dapat menimbulkan terjadinya kekambuhan, resistensi obat, atau 

bahkan kematian. Hasil dari studi juga menyebutkan bahwa berbagai macam faktor 

yang mempengaruhi kepatuhan seperti manajemen pengobatan yang belum baik,

rendahnya tingkat pengetahuan tentang penanganan kusta, dan kurangnya 

kedisiplinan pasien meminum obat

4.3.6 Hasil pengobatan 

Hasil pengobatan yang didapatkan oleh peneliti diperoleh pasien RFT

sebanyak 76,2%, pasien putus berobat 16,7%, dan pasien meninggal dalam masa 

pengobatan 7,1%. Pasien yang dinyatakan RFT yaitu pasien yang menjalani 

pengobatan lengkap dan telah menyelesaikan pengobatan secara menyeluruh.

Pasien yang putus berobat didefinisikan jika seorang penderita tidak 

mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan untuk kusta tipe PB dan penderita 

tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 6 bulan untuk tipe MB secara 

kumulatif, maka yang bersangkutan dikategorikan sebagai putus obat. Pasien 

meninggal didefinisikan sebagai pasien yang meninggal karena alasan apa pun 

sebelum pengobatan selesai

Penderita Kusta yang telah dinyatakan selesai pengobatan (RFT) harus tetap 

dilakukan pemantauan oleh petugas puskesmas untuk menghindari reaksi Kusta 

yang dapat menyebabkan disabilitas. Setiap puskesmas dan fasilitas pelayanan 

kesehatan lain yang memberikan layanan pengobatan kusta wajib melakukan 

pencatatan dan pelaporan. Hal ini digunakan sebagai dasar pemenuhan kebutuhan program dan untuk penetapan status pencapaian Eliminasi Kusta. sesudah  eliminasi 

kusta di seluruh provinsi dan kabupaten/kota tercapai, penaggulangan kusta masih 

tetap perlu dilanjutkan dengan tujuan menurunkan penderita kusta dan memutuskan 

transmisi Kusta. Sebagaimana dengan target Sustainable Development Goals 

(SDG’s) 3.3 yaitu penurunan 90% jumlah orang yang membutuhkan intervensi 

terhadap penyakit-penyakit AIDS, Tuberculosis, Malaria, dan penyakit tropis 

terabaikan yaitu Kusta dan Filariasis. Untuk itu pada tahun 2024-2030 dilakukan 

upaya untuk menurunkan angka prevalensi Kusta tingkat nasional sampai kurang 

dari 0,05 per 10.000 warga  

Menurut penelitian yang dilakukan Tatiana Siregar (2019), kepatuhan 

penderita dalam proses pengobatan sangat menentukan keberhasilan pengobatan. 

Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Rieke Dianita (2020) yang 

menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan dengan pencegahan 

kusta. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin rendah peluang 

mereka kontak dengan penderita kusta. Dalam hal ini, pendidikan dianggap sebagai 

faktor substansial dari kesadaran masyarakat yang berkontribusi terhadap eliminasi 

penyakit kusta. Hal ini sejalan dengan penelitian di Brazil, dimana pasien tidak 

melaporkan gejala yang mereka miliki untuk mendapatkan pengobatan atau bahkan 

tidak tahu bahwa mereka menderita kusta karena kurangnya pengetahuan dan 

kesadaran akan penyakit ini,


berdasar  hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti terkait gambaran

pengobatan MDT pada pasien kusta di Puskesmas Kota Lhokseumawe, dapat 

disimpulkan bahwa :

1. Karakteristik pasien kusta pada penelitian ini didapatkan bahwa kusta tipe 

MB yaitu 90,5%. berdasar  kelompok usia, pasien kusta paling banyak

pada kelompok usia dewasa tahun yaitu 88,1%. berdasar  jenis kelamin, 

pasien kusta yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan 

perempuan yaitu 64,3%. berdasar  pekerjaan paling banyak pasien kusta 

dengan kelompok kategori tidak bekerja yaitu 50%.

2. Penggunaan MDT di Puskesmas Kota Lhokseumawe yang mengacu pada 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kusta tahun 2020 

diperoleh tepat lamanya pengobatan 76,2% dengan hasil pengobatan di 

didapatkan pasien RFT 76,2%, putus berobat 16,7%, dan meninggal 7,1%.



Kusta yang biasa dikenal dengan sebutan lepra atau Morbus Hansen yaitu 

penyakit menular kronik yang diakibatkan oleh Mycobacterium leprae. Asal kata 

kusta sendiri berasal dari bahasa sanskerta yaitu kustha yang memiliki arti 

sekumpulan gejala yang terdapat pada kulit. Kusta tergolong penyakit infeksi 

granulomatosa kronik yang dapat menyebabkan kecacatan apabila tidak segera 

ditangani. Hal ini yang membedakan kusta dengan penyakit lain mengingat dampak 

yang ditimbulkan dalam segi fisik, psikologis, dan sosial yang cukup besar(1,2)

Kusta yaitu  penyakit tropis terabaikan yang masih terjadi dilebih dari 120 

negara, dengan lebih dari 200.000 kasus baru dilaporkan setiap tahun. berdasar  

data World Health Organization (WHO) pada tahun 2021 ditemukan kasus kusta 

dengan total sebanyak 140.552 kasus dengan rincian penderita kusta terbanyak 

ditempati India dengan total 75.394 kasus dan urutan kedua ditempati Brazil dengan 

penderita kusta sebanyak 18.318 orang. negara kita   menempati sebagai negara 

terbanyak ketiga dengan total 10.976 kasus. Pada tahun 2021, di Aceh, terdapat 

kasus baru kusta sebanyak 254 kasus. Menurut data awal yang diambil peneliti di 

Puskesmas Kandang, Puskesmas Muara Satu, Puskesmas Muara Dua, Puskesmas 

Banda Sakti dan juga Puskesmas Blang Mangat, didapatkan sebanyak 42 kasus 

pasien kusta di Kota Lhokseumawe(3,4).

Mycobacterium leprae menyerang saraf-saraf perifer pada tangan, kaki,

badan, dan wajah, yang kemudian dapat menyerang organ tubuh lain seperti mata, 

mukosa saluran nafas atas, otot, tulang dan testis(5,6). Bakteri ini menyerang sel 

schwann dan makrofag, maka jika seseorang sudah terinfeksi akan muncul 

manifestasi klinis umumnya pada persarafan dan kulit. Individu yang rentan 

terhadap Mycobacterium leprae memiliki berbagai gambaran klinis dan patologis. 

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan setiap orang yang berbeda untuk 

mengembangkan respon imun seluler terhadap kusta yaitu  dasar untuk variasi 

ini Tanda awal penyakit kusta dapat berupa perubahan warna atau bercak￾bercak pada kulit dengan hilangnya sensasi rasa. Ketika saraf di lengan 

terpengaruh, hal ini bisa menyebabkan jari dan ibu jari melengkung, sebagian 

tangan mengalami penurunan sensasi, juga dapat menyebabkan kelumpuhan otot. 

Begitu juga ketika kusta menyerang pada kaki. Akibatnya, penderita tidak 

merasakan rasa sakit, dan bisa mengalami luka pada tangan dan kaki tanpa disadari. 

Saraf yang rusak juga menyebabkan kulit terkelupas dan jaringan di bawah kulit 

terbuka(5).

Klasifikasi kusta menurut WHO (pausibasiler dan multibasiler) yaitu  

kriteria yang digunakan dalam menentukan tipe kusta di negara kita   dan bermanfaat 

selanjutnya untuk menentukan regimen pengobatan. Penatalaksanaan pengobatan 

kusta sepenuhnya diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Pemberantasan Kusta 

Nomor 11 Tahun 2019. Regimen pengobatan kusta yaitu  Multidrug Therapy

(MDT), kombinasi rifampisin, dapson, dan klofazimin. Pemberian obat pada 

penderita kusta berdasar  klasifikasi umur. Jangka waktu pengobatannya yaitu  

6 sampai 9 bulan untuk tipe PB dan 12 sampai 18 bulan untuk tipe MB(7–9)

Tipe Pausibaciliary (PB) menerima terapi dapson 100 mg/hari untuk 

diminum di rumah dan rifampisin 600 mg/bulan untuk diminum dihadapan petugas. 

Pasien yang telah menerima 6 dosis MDT dalam waktu 6 bulan atau sampai dengan 

9 bulan dapat segera dinyatakan RFT (Release From Treatment) asalkan tidak 

terjadi lesi baru atau lesi sebelumnya yang sudah membesar. Pasien yang 

diresepkan RFT dikeluarkan dari daftar pengobatan dan ditempatkan dalam 

kelompok observasi. Tipe MB juga menerima pengobatan dapson dan rifampisin 

yang sama dengan tipe PB. Perbedaannya yaitu  pengobatan MB ditambah dengan 

klofazimin (Lamprene) 50 mg/hari untuk dibawa ke rumah dan 300 mg/bulan 

diminum di depan petugas. Durasi pengobatannya yaitu  12 bulan dan maksimal 

18 bulan (12 dosis rifampisin). Jika ada kontraindikasi klofazimin dapat diberikan 

kombinasi rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg selama 24 

bulan. Pasien MB yang menerima 12 dosis MDT dalam waktu maksimum 18 bulan 

dan menerima sampel BTA negatif (follow-up bulanan) dapat dinyatakan sebagai 

pasien RFT

Lama waktu pengobatan kusta dapat membuat timbulnya permasalahan 

pada pelaksanaan program Multi Drug Therapy (MDT), yaitu adanya pasien yang 

tidak patuh minum obat dan adanya risiko kemunculan resistensi. Menurut 

Peraturan Menteri Kesehatan Republik negara kita   Nomor 11 Tahun 2019, sejak 

tahun 2001 sampai 2019, situasi epidemiologi Kusta di negara kita   statis dengan 

angka penemuan penderita kusta baru berada pada kisaran 17.000-20.000 kasus

baru per tahunnya dan terjadi peningkatan tren penderita kusta disabilitas tingkat 2, 

dengan proporsi di atas 10%. berdasar  data Kementerian Kesehatan pertanggal 

16 Januari 2022 diketahui bahwa secara nasional tercatat pencapaian indikator 

persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu masih 

dibawah target yaitu didapatkan 87% dari target indikator nasional 90%

Kepatuhan pengobatan MDT perlu diperhatikan untuk mendukung 

penggunaan antibiotik yang efisien dan efektif agar dapat meminimalkan terjadinya 

toksisitas obat dan mencegah perkembangan resistensi terhadap pemakaian 

antibiotik ini. Pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dapat membuat bakteri kebal 

terhadap antibiotik. Oleh karena itu, diperlukan penggunaan antibiotik yang tepat 

dan benar.

berdasar  hasil pengamatan dan pengambilan data awal yang dilakukan 

oleh peneliti di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, saat ini didapatkan masih 

kurangnya penelitian yang mencatat persebaran data pasien kusta maupun 

karakteristik pasien kusta yang ada di Kota Lhokseumawe, sehingga peneliti 

tertarik ingin melakukan penelitian mengenai pendataan karakteristik kasus kusta 

di Kota Lhokseumawe dan juga mengenai gambaran pengobatan multi drug therapy 

(MDT) pada pasien kusta di Kota Lhokseumawe.

1.2 Rumusan Masalah

Kusta yaitu  penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium 

leprae. Ketidakpatuhan dalam penggunaan antibiotik kusta dapat membuat 

timbulnya permasalahan pada pelaksanaan program multi drug therapy (MDT). 

Secara nasional juga didapatkan pencapaian indikator persentase penderita kusta 

yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu masih dibawah target yaitu 

didapatkan 87% dari target indikator nasional 90%(12). Saat ini juga didapatkan


masih kurangnya penelitian yang mencatat persebaran data pasien kusta maupun 

karakteristik pasien kusta yang ada di Kota Lhokseumawe, sehingga peneliti ingin 

melakukan penelitian mengenai gambaran penggunaan MDT pada pengobatan 

pasien kusta di Puskesmas Kota Lhokseumawe dan pendataan karakteristik kasus 

kusta di Kota Lhokseumawe.

1.

1.

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu  untuk mengetahui gambaran 

pengobatan MDT terhadap pengobatan pasien kusta di Kota Lhokseumawe.


1. Mengetahui karakteristik pasien kusta meliputi sebaran demografi penderita 

kusta di Kota Lhokseumawe berdasar  tipe kusta, usia, jenis kelamin, dan

pekerjaan.

2. Mengetahui gambaran hasil pengobatan MDT pada pasien kusta di Puskesmas 

Kota Lhokseumawe.


1. Manfaat teoritis dari penelitian ini ialah sebagai informasi ilmu pengetahuan 

bagi pembaca, khususnya pada tenaga kesehatan dan mahasiswa kesehatan 

untuk lebih menambah pengetahuan mengenai gambaran pengobatan MDT 

terhadap pasien kusta.

2. Menjadi sarana untuk penelitian lebih lanjut mengenai gambaran penggunaan 

antibiotik terhadap pengobatan pasien kusta bagi peneliti dari mahasiswa 

bidang kesehatan ataupun bidang lainnya.



1. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan khususnya bagi tenaga kesehatan 

untuk lebih mewaspadai pemberian antibiotik yang sesuai dengan tipe kusta 

pasien dan durasi pemberian antibiotik untuk menghindari ketidakpatuhan

dan efek samping yang tidak diinginkan. 

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber edukasi pada masyarakat penderita 

kusta untuk lebih cerdas dalam meminum obat yang sesuai dengan anjuran 

yang diberikan demi untuk menciptakan pengobatan yang efektif.

3. Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada 

keluarga penderita tentang penyakit kusta. Mereka dapat belajar lebih banyak 

tentang gejala, penanganan, dan bagaimana menjaga diri mereka sendiri atau 

anggota keluarga yang terkena kusta.





Morbus Hansen (MH) yang disebut lepra atau kusta adalah suatu penyakit menular yang menimbulkan 

masalah dalam dunia kesehatan di seluruh dunia. Kusta tersebar di seluruh dunia terutama daerah tropis 

dan subtropis serta menyerang semua umur dengan frekuensi tertinggi pada kelompok umur 20 hingga 30 

tahun. Tn. AB, laki-laki, berusia 33 tahun datang keluhan mati rasa dan sering kesemutan. Tangan dan kaki 

mulai bengkak dan luka-luka. Beberapa kuku kaki terlepas tanpa disadari. Pemerikasaan fisik didapatkan 

kesadaran komposmentis. Status generalis pasien didapatkan madarosis pada kedua bulu mata, mata tampak 

anemis. Telinga didapatkan infiltrat pada kedua cuping telinga. Status dermatologis pada regio fasialis dan 

ekstremitas superior didapatkan makula dan patch hiperpigmentasi multipel batas tegas, bentuk geografika, 

ukuran bervariasi. Pemerikasan bakterioskopis sdengan Slit Skin Smear pada cuping telinga ditemukan 1-

10 kuman Basil Tahan Asam (BTA) / 100 lapang pandang (+1). Indeks Bakteriologis didaptkan +1.

Morbus Hansen (MH) yang disebut lepra atau kusta adalah suatu penyakit menular 

yang menimbulkan masalah dalam dunia kesehatan di seluruh dunia. Masalah yang 

timbul bukan hanya dari segi medis tapi juga mempengaruhi kehidupan sosial penderita 

karena adanya stigma yang buruk dari masyarakat. MH adalah infeksi kronis pada manusia yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang pertama-tama akan 

menyerang saraf tepi, selanjutnya mengenai kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian 

atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis namun tidak pernah mengenai

sistem saraf pusat. Kusta tersebar di seluruh dunia terutama daerah tropis dan subtropis 

serta menyerang semua umur dengan frekuensi tertinggi pada kelompok umur 20 hingga 

30 tahun. Morbus hansen memberikan gejala klinis yang berbeda-beda pada setiap 

indivindu tergantung dari indivindu tersebut

Pada tahun 1962 Ridley dan Jopling mengklasifikasikan MH menjadi 5 tipe dalam 

suatu spektrum klinis yaitu kusta tipe tuberculoid polar (TT), tipe bordeline tuberculoid 

(BT), tipe mid borderline (BB), tipe bordeline lepromatosa (BL) dan tipe lepromatosa 

polar (LL). WHO sejak 1981 merekomendasikan penggunaan multidrug therapy (MDT) 

yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofazimin. Untuk kepentingan terapi WHO 

mengklasifikasi penderita kusta menjadi tipe pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB). 

Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 atau pasien dengan BTA positif mendapatkan 

kombinasi pengobatan yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofazimin (2).

Reaksi kusta merupakan keadaan akut pada perjalanan kronis penyakit yang 

memberikan gejala dan tanda inflamasi akut pada lesi kulit pasien kusta. Reaksi kusta ini 

dapat muncul sebelum, selama dan sesudah pengobatan kusta yang dapat terjadi pada 30-

50% penderita kusta. Secara umum reaksi kusta dibagi dua yaitu reaksi reversal (RR) atau 

reaksi tipe 1 dan Erythema Nodosum Leprosum (ENL) atau reaksi tipe 2 (3).

Identitas Pasien

Nama : Tn. AB

Umur : 33 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Dusun Tanjong Meuleuweuk, Desa Krueng Lingka 

 Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara

Pasien Berobat : Poliklinik Kulit RSUD Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara 

 Provinsi Aceh pada tanggal 11 Januari 2022

2.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis di poliklinik kulit untuk mendapatkan

informasi tentang penyakit dari pasien.


Keluhan Utama

 Mati Rasa

2.4 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengelukan mati rasa dan sering kesemutan yang dirasakan sekitar 5 bulan 

yang lalu. Awalnya keluhan hanya dirasakan di kedua tangan dan mulai menjalar 

kearah lengan bawah, kaki dan tungkai bawah. Pasien tidak merasakan gatal maupun 

nyeri pada lokasi bercak. Kemudian pasien mengeluhkan tangan dan kaki mulai 

bengkak dan luka-luka. Beberapa kuku kaki pasien juga terlepas tanpa pasien sadari, 

pasien mengaku hanya merasakan sedikit nyeri pada lokasi kuku yang terlepas 

tersebut. Keluhan tersebut dirasakan semakin berat dan pasien juga merasa lemas dan 

nyeri pada kepala sehingga pasien tidak efisien dalam mencari nafkah.

2.5 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan pernah mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa tahun yang lalu 

dan tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat alergi obat, atopi, 

kencing manis, penyakit kuning, darah tinggi, dan keganasan disangkal.

2.6 Riwayat Penyakit Keluarga/Lingkungan Sekitar

Pasien mempunyai ayah dengan riwayat hipertensi dan mempunyai ibu dengan riwayat 

diabetes melitus. Pasien mengatakan tidak terdapat anggota keluarga yang lain 

mengalami hal serupa. Sepengetahuan pasien tidak ada tetangga yang pernah 

menderita penyakit serupa maupun sakit kulit yang perlu minum obat dalam jangka 

waktu lama.

2.7 Riwayat Pengobatan

Pasien mengaku sudah pernah berobat ke Puskesmas sebanyak dua kali dan di 

berikann Paracetamol 500 mg, prednison 5 mg, Chlorphenamine Maleate 4 mg. Pasien 

bekerja sebagai kuli. Sehari – hari pasien mengaku makan tidak teratur, tergantung 

pendapatan yang didapatkan. 

3. HASIL PEMERIKSAAN

3.1 Status Generalikus

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis


Frekuensi nadi : 92 x/menit

Frekuensi nafas : 21 x/menit

Suhu : 36,7’C

Status gizi : Normal 

3.2 Keadaan Spesifik

Mata Status generalis pasien didapatkan kepala normosefali, rambut tidak ditemukan 

kelainan, tampak madarosis pada kedua bulu mata, mata tampak anemis, namun tidak 

didapatkan tanda ikterik dan lagoftalmos. Pemeriksaan telinga didapatkan infiltrat 

pada kedua cuping telinga. Pada hidung dan tenggorokan tidak ditemukan adanya 

kelainan. 

Status dermatologis pada regio fasialis didapatkan makula dan patch 

hiperpigmentasi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi antara 

0,3x0,5cm – 0,5x1cm tersebar diskret dengan distribusi simetris. Regio aurikularis 

dextra bagian tragus didapatkan pustul. Tampak infiltrat pada kedua aurikularis 

dekstra dan sinistra.

Status dermatologis regio thorakoabdominal anterior dan posterior tidak terdapat 

efloresensi. Status dermatologis regio ekstremitas superior didapatkan makula dan 

patch hiperpigmentasi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi 

antara 0,3x0,5 cm – 0,5x1 cm tersebar diskret dengan distribusi simetris dan nodul 

eritema multipel bentuk bulat, batas tegas, ukuran diameter bervariasi antara 0,3 –

0,5cm tersebar diskret dengan distribu sisimetris, pada palpasi terdapat konsistensi 

lunak, nyeri tekan dan hangat pada perabaan, xerotic skin (+). Regio kuku digiti I￾IV pedis dekstra et sinistra dan manus dekstra et sinistra didapatkan ekskoriasi 

multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,1x0,2 – 0,2x0,3cm ditutupi krusta 

coklat kehitaman, anonychia (+).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemerikasan bakterioskopis pada tangga 10 Januari 2022 dengan Slit Skin Smear pada 

cuping telinga ditemukan 1-10 kuman Basil Tahan Asam (BTA) / 100 lapang pandang 

(+1). Indeks Bakteriologis didaptkan +1.

5. DIAGNOSIS

5.1 Diagnosis Kerja

Kusta tipe MB disertai Eritema Nodusum Leprosum

5.2 Diagnosis Banding

Diagnosis banding adalah proses saat dokter membedakan antara dua atau lebih kondisi

medis yang mungkin berada di balik gejala seseorang

6. TATALAKSANA

6.1 Medikamentosa

Penatalaksanaan yang diberikan saat datang pertama kali ke poliklinik kulit dan kelamin 

RSUD Cut Meutia adalah prednisolon tablet 5 mg 2x1/hari pada pagi dan siang masing￾masing sebanyak 4 tablet, omeprazole tablet 20 mg 2x1/hari 30 menit sebelum makan 

dan fucilex 2% cream 5gram 2x1/hari pada luka dan permohonan pemberian multidrug 

therapy multibasiller (MDT MB) paket pertama pada Puskesmas Simpang Tiga.

6.2 Edukasi

Pasien dan keluarga diberikan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) mengenai 

penyakit yang diderita dan penyebabnya, terapi yang diberikan dan rencana pemberian 

MDT sebanyak 12 paket, pentingnya kepatuhan minum obat, efek samping obat yang 

mungkin terjadi, perjalanan penyakit, komplikasi yang mungkin terjadi, kontrol secara 

rutin untuk reaksi kusta serta memeriksa, melindungi dan merawat kedua tangan dan 

kakinya untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut.

7. PROGNOSIS

Quo Ad vitam : Dubia ad bonam

Quo Ad fungsionam : Dubia ad bonam hingga malam

Quo Ad sanationam : Dubia ad bonam hingga malam

KOMPLIKASI

Tidak ada

9. PEMBAHASAN

Isi Kusta merupakan infeksi kronis yang terutama menyerang kulit dan sistem saraf 

tepi (4). Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang merupakan kuman 

berbentuk batang, tahan asam, bersifat obligat intraseluler dan tidak dapat dibiakkan 

dalam media buatan. Mycobacterium leprae tidak dapat mensintesis purin dan besi yang 

dibutuhkan untuk metabolismenya sehingga kuman ini akan mengambil zat – zat yang 

diperlukan tersebut dari host nya. Kuman ini membutuhkan waktu 11-13 hari untuk 

membelah diri. Waktu replikasi yang lama ini menyebabkan masa inkubasi yang panjang 

dari penyakit kusta (5). Masa inkubasi penyakit kusta antara 5 tahun untuk tipe 

pausibasiler dan dapat mencapai hingga 20 tahun untuk tipe multibasiler. 

Pada kasus diatas pasien merupakan seorang laki-laki berusia 33 tahun, suku Aceh. 

Kusta dapat menginfeksi setiap individu berbagai usia, dengan rentang 3 minggu sampai 

lebih dari 70 tahun. Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif, 

terutama terlihat pada usia 20 hingga 30 tahun. Mengacu pada Indian Association of 

Leprologist (IAL) didapatkan bahwa di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia, 

kasus kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan 

dengan rasio 2 : 1. Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor 

lingkungan dan sosial budaya (6).

Anamnesis yang dilakukan dengan pasien didapatkan keluhan utama keluhan mati 

rasa dan sering kesemutan yang dirasakan sekitar 5 bulan yang lalu. Awalnya keluhan 

hanya dirasakan di kedua tangan dan mulai menjalar kearah lengan bawah, kaki dan 

tungkai bawah. Pasien tidak merasakan gatal maupun nyeri pada lokasi bercak. Penyakit 

kusta memiliki 2 bentuk spektrum yaitu bentuk tuberculoid dan lepromatous. 

Karakteristik klinisnya adalah (7) : 

1. Tuberculoid : satu atau beberapa lesi kulit dengan eritema, atau hipopigmentasi, batas 

tegas, hipoestetik, sering timbul, aktif, terdapat penyebaran pada tepinya dan bagian 

tengah jelas. Pada kelainan ini terdapat respons cell-mediated immune.

2. Lepromatous : awalnya terdapat beberapa lesi, nyeri, makula eritema atau 

hipopigmentasi yang akan berkembang jadi papula, nodul, atau plak; pada akhirnya akan menjadi hipoestesia. Infiltrasi kulit pada wajah, tangan, dan kaki billateral dan 

simetris dapat terjadi tanpa diawali lesi makulopapular

Pasien juga mengeluhkan tangan dan kaki mulai bengkak dan luka-luka. 

Beberapa kuku kaki pasien juga terlepas tanpa pasien sadari, pasien mengaku hanya 

merasakan sedikit nyeri pada lokasi kuku yang terlepas tersebut. Hal ini sesuai pada 

reaksi tipe 2 lesi berupa nodul merah dan nyeri. Gambaran klinis reaksi kusta sangat 

khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri, dan dapat disertai gangguan fungsi saraf. 

Setelah lesi menyembuh dapat meninggalkan warna keunguan yang sukar terlihat 

pada penderita berkulit gelap (3).

Pasien bekerja sebagai kuli. Sehari – hari pasien mengaku makan tidak teratur, 

tergantung pendapatan yang didapatkan. Faktor lingkungan berhubungan dengan 

terjadinya kusta, mencakup kemiskinan, lahir atau tinggal pada daerah endemik dan 

adanya anggota keluarga yang menderita kusta (8).

Status dermatologis pada regio fasialis didapatkan makula dan patch 

hiperpigmentasi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran bervariasi antara 

0,3x0,5cm – 0,5x1cm tersebar diskret dengan distribusi simetris. Regio aurikularis 

dextra bagian tragus didapatkan pustul. Tampak infiltrat pada kedua aurikularis 

dekstra dan sinistra. Status dermatologis regio thorakoabdominal anterior dan 

posterior tidak terdapat efloresensi. Status dermatologis regio ekstremitas superior 

didapatkan makula dan patch hiperpigmentasi multipel, batas tegas, bentuk 

geografika, ukuran bervariasi antara 0,3x0,5 cm – 0,5x1 cm tersebar diskret dengan 

distribusi simetris dan nodul eritema multipel bentuk bulat, batas tegas, ukuran 

diameter bervariasi antara 0,3 – 0,5 cm tersebar diskret dengan distribu sisimetris, 

pada palpasi terdapat konsistensi lunak, nyeri tekan dan hangat pada perabaan, 

xerotic skin (+). Regio kuku digiti I-IV pedis dekstra et sinistra dan manus dekstra et 

sinistra didapatkan ekskoriasi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 

0,1x0,2 – 0,2x0,3cm ditutupi krusta coklat kehitaman, anonychia (+).

Gambaran klinis dari kusta mencerminkan patologi, yang bergantung pada 

keseimbangan antara multiplikasi basil dan respon imunitas seluler dari pejamu. Pada 

tahun 1962, Ridley dan Jopling mengklasifikasikan kusta berdasarkan klinis, yang 

meliputi typical tuberculoid (TT), borderline tuberculoid (BT), borderline borderline 

(BB), borderline lepromatous (BL), dan lepromatous leprosy (LL) (9).Pemerikasan bakterioskopis pada tangga 10 Januari 2022 dengan Slit Skin Smear 

pada cuping telinga ditemukan 1-10 kuman Basil Tahan Asam (BTA) / 100 lapang 

pandang (+1). Indeks Bakteriologis didaptkan +1. Pemeriksaan ini dilakukan untuk 

membantu menegakan diagnosis serta pilihan pengobatan. Menurut Ridley, rentang IB 

dimulai dari angka 0 hingga 6+, dengan 0 berarti tidak ada BTA dalam 100 lapang 

pandang (LP) (10) : (1) 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP; (2) 2+ bila 1-10 BTA dalam 

10 LP; (3) 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP; (4) 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 

1 LP; (5) 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP; (6) 6+ bila > 1000 BTA rata-rata 

dalam 1 LP. 

Bedasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka 

diagnosis pasien ini adalah Kusta tipe MB disertai Eritema Nodusum Leprosum. 

Diagnosis didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda utama) menurut WHO, yaitu (6) 

: (1) Bercak kulit yang mati rasa. Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar 

(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja 

terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri; (2) Penebalan saraf tepi Dapat/tanpa disertai rasa 

nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu : (a) Gangguan fungsi sensoris: mati 

rasa; (b) Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis; (c) Gangguan fungsi otonom : 

kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu; (3) Ditemukan kuman 

tahan asam Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada 

bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf.

Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal. Pada 

Tn AB didapatkan 3 dari 3 tanda kardinal. Karakteristik kusta tipe multibasilar (MB), 

yakni ditemukan lesi kulit dengan jumlah lebih dari lima dan/atau keterlibatan lebih dari 

satu percabangan saraf dengan gangguan fungsi neurologis. Reaksi Kusta adalah suatu 

episode dalam perjalanan kronis penyakit Kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan 

(seluler respons) atau reaksi antigen-antibodi (Humoral respons) yang dapat merugikan. 

Reaksi Kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah 

pengobatan. Reaksi kusta dibagi menjadi reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2. Reaksi tipe 2 

sering disebut sebagai reaksi ENL (eritema nodusum leprosum), karena memberikan 

gambaran klinis peradangan pada kulit yaitu timbul nodus eritema, lunak dan nyeri, dan 

dapat berulserasi. Biasanya pada lengan dan tungkai. Gejala ini umumnya menghilang 

dalam beberapa hari atau beberapa minggu, dan dapat pula diikuti dengan pembentukan 

nodus baru, sedangkan nodus lama menjadi keunguan.Tujuan dari tatalaksana kusta yaitu: memutus rantai penularan, mencegah resistensi 

obat, memperpendek masa pengobatan, meningkatkan keteraturan berobat dan mencegah 

terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacatyang sudah ada sebelum pengobatan.

Penatalaksanaan yang diberikan saat datang pertama kali ke poliklinik kulit dan 

kelamin RSUD Cut Meutia adalah prednison tablet 5 mg 2x1/hari pada pagi dan siang 

masing-masing sebanyak 4 tablet, omeprazole tablet 20 mg 2x1/hari 30 menit sebelum 

makan dan fucilex 2% cream 5gram 2x1/hari pada luka dan permohonan pemberian 

multidrug therapy multibasiller (MDT MB) paket pertama pada Puskesmas Simpang 

Tiga. Tahun 1995 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug 

Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.

Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, salah 

satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti 

kusta lain bersifat bakteriostatik. Pasien multibasiler (MB) dewasa pada pengobatan 

bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) a) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg 

(600 mg) b) 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg) c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg 

Pengobatan harian: hari ke-2 hingga 28 d) 1 tablet lampren 50 mg e) 1 tablet dapson/DDS 

100 mg. Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 

bulan (10).

Sesuai rekomendasi WHO untuk reaksi kusta harus segera di terapi dengan 

antiinflamasi atau obat imunosupresi. Umumnya banyak digunakan kortikosteroid (4). 

Pada kasus ini di berikan prednison. Prednison dapat menekan inflamasi oleh beberapa 

mekanisme yaitu selsel imunokompeten dan makrofag dalam sirkulasi dikurangi karena 

efek kortikosteoid yang dapat menekan respon makrofag dan pembentukan mediator 

proinflamasi, seperti prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating factor (PAF) 

dihambat (11). Prednison merupakan golongan glukocorticoid yang dapat menyebabkan 

efek samping pada sistem gastrointestinal. Peningkatan yang signifikan resiko terjadinya 

peptic ulcer dan perdarahan gastroinstestinal, untuk profilaksis dapat diberikan golongan 

proton pump inhibitor seperti omeprazol (4). Fucilex cream diberikan untuk luka-luka 

dan mencegah terjadinya infeksi sekunder. Fucilex cream berisi Fusidic acid yang bekerja 

secara bakteriostatik dan bakterisidal pada dosis tinggi. Fusidic acid menghambat sintesis 

protein bakteri (pada proses translokasi) dengan berikatan dengan translokasi (protein 

yang dibutuhkan saat proses translokasi bakteri di ribosom) yang dikenal juga dengan 

faktor elongasi G (EF-G). Hal ini akan menghambat proses translokasi dari situs P ke situs A, sehingga protein yang diperlukan bakteri tidak terbentuk, dan akhirnya bakteri 

mengalami lisis.

Selain terapi farmakologis dapat juga di berikan terapi non farmakologi yaitu 

tatalaksana kedokteran fisik dan rehabilitasi, agar penderita kusta dapat kembali ke 

masyarakat sebagai manusia yang produktif dan berguna, melalui layanan rehabilitasi 

medik berupa terapi fisik, terapi okupasi, pemberian ortosis dan prosthesis, perawatan 

luka, supporting psikologis melalui peresepan latihan yang sesuai (10).


Telah dilaporkan Tn. AB, laki-laki, berusia 33 tahun, Kecamatan Langkahan, 

Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Nomor RM 002161, datang bersama istrinya ke poliklinik 

kulit dan kelamin RSUD Cut Meutia pada hari Selasa, 11 Januari 2022. Pasien membawa 

rujukan dari Puskesmas Simpang Tiga dengan diagnosis suspek Leprosy (Hansen 

Desease).

Anamnesis yang dilakukan dengan pasien didapatkan keluhan utama keluhan mati 

rasa dan sering kesemutan yang dirasakan sekitar 5 bulan yang lalu. Diagnosis Kusta tipe 

MB disertai Eritema Nodusum Leprosum dan cacat kusta tingkat 1 ditegakkan 

berdasrakan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 

Penatalaksanaan yang diberikan saat datang pertama kali ke poliklinik kulit dan 

kelamin RSUD Cut Meutia adalah prednisolon tablet 5 mg 2x1/hari pada pagi dan siang 

masing-masing sebanyak 4 tablet, omeprazole tablet 20 mg 2x1/hari 30 menit sebelum 

makan dan fucilex 2% cream 5 gram 2x1/hari pada luka dan permohonan pemberian 

multidrug therapy multibasiller (MDT MB) paket pertama pada Puskesmas Simpang 

Tiga. Prognosis pada pasien quo ad vitam yaitu bonam, quo ad functionam yaitu dubia ad 

bonam hingga dubia ad malam dan quo ad sanationam yaitu dubia ad bonam hingga dubia 

ad malam.




Kusta adalah penyakit menular karena bakteri Mycobacterium leprae dan tetap endemik secara global seperti di 

negara Brasil, India dan Indonesia juga menyumbang sekitar 80% dari kasus baru yang terdaftar secara global. Di 

dunia negara indonesia adalah negara tertinggi ketiga setelah negara lain yaitu negara India dan Brazil yang 

didapatkan kasus baru penderita lepra pada tahun 2017 adalah 15.910 atau penemuan kasus lepra baru yaitu 6,07 

per 100.000 penduduk). beberapa faktor yang mempengaruhi penyakit Kusta yaitu faktor manusia seperti jenis 

kelamin, usia, etnik dan suku serta faktor sosial ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 

karakteristik penderita Lepra (Kusta) yang menjalani pengobatan rawat jalan di puskesmas Tamalate Makassar 

periode 2018–2021. Penelitian ini adalah penelitian dengan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan cross￾sectional dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam medik pasien lepra (kusta) dan pengambilannya dengan 

cara teknik total sampling. Ditemukan distribusi penderita lepra atau kusta yang menjalani perawatan rawat jalan 

di Puskesmas Tamalate Makassar periode 2018-2021 berdasarkan klasifikasinya terbanyak pada kusta tipe 

Multibasiller yaitu 33 orang (78%), berdasarkan usia didapatkan terbanyak pada kelompok usia 26-35 tahun 

(28,6%), berdasarkan jenis kelamin didapatkan lebih banyak pada kelompok laki-laki sebanyak 34 orang (81%), 

dan berdasarkan pekerjaan lebih banyak pada pasien yang bekerja sebagai buru harian yaitu 16 orang (38,1%). 

Kesimpulan Karakteristik penderita Lepra (Kusta) yang menjalani pengobatan rawat jalan di puskesmas Tamalate 

Makassar periode 2018–2021 yaitu terbanyak pada kusta tipe Multibasiller, kelompok usia 26-35 tahun, berjenis 

kelamin laki-laki dan pasien yang bekerja sebagai buruh harian.

Kusta yaitu penyakit menular karena bakteri Mycobacterium leprae dan tetap endemik secara 

global seperti di negara Brasil, India dan Indonesia juga menyumbang sekitar 80% dari kasus baru yang 

terdaftar secara global. Penyakit kusta mempengaruhi kulit dan saraf perifer dari individu yang terinfeksi

(1). Penyakit ini dominan menyerang kulit dan saraf perifer, mengakibatkan neuropati serta konsekuensi 

jangka panjang, termasuk kelainan bentuk dan kecacatan. Kalau dulunya umum di daerah beriklim 

sedang (misalnya Eropa), sekarang kusta terutama terbatas pada daerah tropis dan subtropic (2).

Di dunia negara indonesia adalah negara tertinggi ketiga setelah negara lain yaitu negara India 

dan Brazil yang didapatkan kasus baru penderita lepra pada tahun 2017 adalah 15.910 atau penemuan 

kasus lepra baru yaitu 6,07 per 100.000 penduduk). beberapa faktor yang mempengaruhi penyakit Kusta

yaitu faktor manusia seperti jenis kelamin, usia, etnik dan suku serta faktor sosial ekonomi (3).

Kusta dapat terjadi pada semua usia yaitu dari usia bayi hingga usia lanjut (yaitu sekitar usia 3 

minggu hingga lebih dari 70). Kusta ditemukan lebih banyak pada pasien muda atau produktif. Kusta

lebih dominan pada pasien jenis kelamin laki-laki dibandingkan jenis kelamin perempuan. Pada 

beberapa negara di dunia kecuali beberapa negara di bagian Afrika mendapatkan hasil jenis kelamin 

laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan. Di Indonesia, pria dan wanita relatif seimbang (3).

Pada tahun 2015 Curnella melakukan penelitian hubungan pekerjaan terhadap kejadian kusta atau 

lepra di kabupaten Blora didapatkan hasil bahwa buruh dan petani lebih banyak dibandingkan pekerjaan 

lainnya seperti wirasuasta, pedagang dan tidak bekerja (4).

WHO mengklasifikasikan penyakit kusta menjadi 2 yaitu kusta Multibasiler (MB) dan kusta

Pausibasiler (PB). Ini berdasarkan gejala klinis serta hasil penunjang yaitu BTA dengan pemeriksaan 

kerokan jaringan kulit (5).

Diagnosis dini dan pengobatan yang cepat dari seluruh kasus kusta baru yang diobati dengan 

multidrug (MDT) merupakan rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih jadi kunci 

strategi dalam pengendalian kusta dan selanjutnya mencegah rusaknya saraf dan cacat. Diagnosis dini 

pada pasien merupakan peluang yang tinggi untuk meurunkan bahkan menghentikan penularan lebih 

lanjut. Meskipun demikian, banyak laporan terbaru di dunia memperlihatkan masih banyak pasien yang 

terlambat didiagnosis (5,6).

METODE

Metode penelitian pada penelitian ini yaitu metode penelitian deskriptif yang menggunakan 

pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tamalate Makassar. Waktu 

penelitian dilaksanakan pada Desember 2021 selama 1 minggu. Sampel pada penelitian ini yaitu seluruh 

pasien yang menderita Lepra (kusta) dan menjalani pengobatan rawat jalan di Puskesmas Tamalate 

Makassar pada tahun 2018-2021 yang diperoleh dengan cara total sampling menggunakan data rekam 

medik pasien yang didiagnosa oleh dokter Kusta (lepra) yang menjalani pengobatan rawat jalan. Data 

dikumpulkan dari pengamatan kemudian diedit dan dimasukkan ke file komputer. diolah, serta data 

disajikan dengan menggunakan program komputer SPSS for Windows v.23.00.

HASIL

Data hasil yang didapatkan pada pasien penderita Lepra (kusta) yang menjalani pengobatan rawat 

jalan di Puskesmas Tamalate Makassar periode 2018-2021 akan disajikan dalam tabel sebagai berikut:


Tabel 1. Menunjukkan bahwa karakteristis kusta berdasarkan tipe kusta yang terbanyak adalah 

kelompok kusta tipe Multibasiller dengan jumlah 33 kasus (78,6%)



Tabel 2. Menunjukkan bahwa karakteristis kusta berdasarkan usia pasien kusta yang terbanyak 

adalah kelompok usia 26-35 tahun dengan jumlah 12 kasus (28,6%).

Tabel 3. Karakteristik lepra pada pasien yang menjalani perawatan rawat jalan 

di Puskesmas Tamalate Makassar periode 2018-2021 berdasarkan jenis kelamin.



Tabel 3. Menunjukkan bahwa karakteristis kusta berdasarkan usia pasien yang terbanyak adalah 

kelompok usia 26-35 tahun dengan jumlah 34 kasus (81 %).

Tabel 4. Karakteristik lepra pada pasien yang menjalani perawatan rawat jalan di Puskesmas Tamalate 



Tabel 4. Menunjukkan bahwa karakteristis kusta berdasarkan Pekerjaan pasien yang terbanyak 

adalah kelompok pasien yang bekerja sebagai buruh harian dengan jumlah 16 kasus (38,1%)

PEMBAHASAN

Klasifikasi Kusta

Pada table 1. tersebut didapatkan perbedaan jumlah penderita kusta berdasarkan tipenya. 

Klasifikasi kusta menurut WHO membaginya menjadi 2 yaitu kusta paucibasiler atau multibaciler. 

Kusta pausibasiler adalah jenis penyakit yang lebih ringan, yang didefinisikan oleh lesi hipopigmentasi, 

pucat, dan kemerahan dengan adanya 1 hingga 5 lesi kulit. Sedangkan kusta multibaciler ditandai adanya 

> 5 lesi pada kulit dan juga dapat ditemukan nodul, plak, dan infiltrasi kulit yang menyebar (7).

Hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Prakoeswa pada tahun 2022 

mendapatkan hasil Jenis kusta tipe Multibasiler yaitu yang lebih dominan di negara Indonesia dengan 

persentasi 86,2% (7). Keadaan ini sejalan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muchtar yang 

mendapatkan hasil rasio tipe Multibacillary (MB) dan tipe Paucibacillary (PB) yaitu 3:1(8). 


Bakterioskopic diperiksa agar dapat membantu dalam penegakan diagnose pasien serta membantu dalam 

observasi dalam tatalaksana pasien (9)(10).

Data dari WHO mengkonfirmasi hal tersebut dalam global leprosy pada tahun 2018, khasus 

Multibaciller lebih dominan sebanyak 14.543 pasien (9). Kusta dengan jenis MB didapatkan lebih tinggi 

angka kejadiannya jika dibandingkan dengan jenis PB, karena tipe MB merupakan tipe kusta yang lebih 

mudah menular dibandingkan tipe PB ini disebabkan oleh respons imun seluler terhadap M. leprae yang 

lemah, sehingga jumlah bakteri pada lesi lebih banyak yang menjadi sumber infeksi. tipe MB mudah 

menular melalui kontak kulit maupun inhalasi (11). Tipe MB terjadi pada individu dengan sistem 

imunitas tubuh yang rendah, biasanya pada individu usia tua (12).

Tingkat prevelensi pasien denganjenis multibaciler lebih tinggi dari pada jenis yang paucibasiler. 

Hal ini dapat disebabkan karena berbagai factor seperti keturunan, tingginya virulensi dari kuman, 

pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah serta tingkat kesadaran dan pengetahuan dari masyarakat 

juga berpengaruh. Selain itu kecepatan penderita untuk menjalani pengobatan, jarak dari fasilitas 

Kesehatan dan juga keadaan social-economy serta keteraturan lama mengkomsumsi obat. seseorang 

untuk mencari pengobatan, jarak dan ketersediaan akses serta keteraturan dalam meminum obatnya (13).

Diantara semua factortersebut dikatakan bahwa faktor paling utama yang menjadi penyebab yaitu 

system imunitas tubuh penderita atau dengan kata lain respon imun seluler seseorang terhadap kuman 

tersebut. Apabila seseorang memiliki respon imunitas celuler yang baik maka orang itu jika terinfeksi 

M. Lepra hanya muncul manifestasi dalam bentuk paucibasiler dan bahkan bisa sembuh dengan 

sendirinya. Namun, apabila seseorang memiliki respon imunitas celuler yang rendah atau buruh makan 

pasien terseut akan mengalami lepra dengan jenis multibaciler (13).

Usia

Dari penelitian ini hasil yang didapatkan berdasarkan umur yaitu lebih dominan pada umur 26-

35 tahun sebanyak 28.6% dan dari penelitian ini terlihat gambaran pasien di Puskesmas Tamalate 

Makasar lebih dominan pada usia dewasa dibandingkan dengan usia anak anak.

Hasil ini sama dengan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Prakoeswa pada tahun 2022 dengan 

hasil mayoritas subjek adalah> 14tahun (95,3%), dan hanya 4,7% yang berusia <14 tahun. Begitupun 

juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Nabila pada tahun 2010 yang mendapatkan hasil penderita 

usia dewasa lebih banyak daripada penderita usia anak-anak (7).

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Nabila pada tahun 2010 

penderita dewasa lebih dominan dari pada penderita kusta kelompok usia anak-anak. penyakit lepra bisa 

menyerang semua kelompok umur bisa dari pasien bayi hingga yang usianya telah mencapai usia lanjut. 

Tapi yang terlihat dilapangan dan praktek sehari hari terbanyak ditemukan pada pasien yang umurnya 

masih muda dan umur produktif. Kemungkinan ini bisa terjadi karena pasien orang dengan umur yang 

produktif saat itu adalah fase dimana pergaulan dan aktivitas yang dilakukan lebih tinggi jika 

dibandingkan dengan umur yang non produktif. Maka dari itu usia produktif lebih rentang tertular 

penyakit infeksi termasuk morbus hensen ini (10).


Penyakit bisa terjadi pada pasien yang umurnya memasuki produktif kemungkinan alasannya 

adalah pada usia ini ruang gerak dan kegiatan itu meluas dan memiliki aktifitas yang lebih padat inilah 

yang bisa menyebabkan system imunitas tubuh bisa mengalami penurunan dan ini akan menjadi alas an 

mengapa pasien mudah terinfeksi. Alasan lain yaitu, insiden penyakit morbus hensen ini sulit ditemukan 

pada usia dini dan penyakit ini memiliki masa inkubasi sangat lama maka dari itu kebanyakan pasien 

kusta baru didiagnosis saat umurnya antara 15 tahun sampai umur 60 tahun. Pada usia produktif kusta

memiliki efek yang bisa mempengatruhi kondisi dari social-econimy pasien. Banyak diantara mereka 

yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan atau ditolak oleh masyarakat sekitar. Inilah yang menyebabkan 

pada akhirnya pasien ini tidak mampu bertahan hidup secara mandiri dan mereka harus bergantung pada 

anggota keluarga mereka (10).

Jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan pasien dengan jenis kelamin laki- laki 

lebih dominan dari pada perempuan. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Prakoeswa 

pada tahun 2022 dengan hasil jenis kelamin laki-laki juga lebih dominan dari pada perempuan 

Begitupun juga penelitian yang dilakukan oleh Saragi pada tahun 2012 yang mendapatkan hasil yang 

sama 

Adanya yang lebih cenderung pada prevalensi kemunginan disebabkan karena laki-laki lebih 

tidak memperhatikan secara detail kesehatannya disbanding dengan perempuan yang begitu sangat 

memperdulikan dan sangat proaktif dalam memperhatikan kesehatan apalagi terkhusus pada kesehatan 

kulitnya. Berdasarkan kontak dengan masyarakat Wanita lebih jarang dan dari kegiatan sehati-hari 

berdasarkan pakaian Wanita lebih tertutup sehingga ini yang menjadi pencegahan terpaparnya penyakit 

infeksi maka dari itu lebih terproteksi daibandingkan dengan laki-laki

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Depkes RI tahun 2014 menyebutkan laki-laki dominan 

terjan penyakit infeksi dibanding wanita. Hasil ini sesuai dengan data dari kementrian Kesehatan RI 

tahun 2018 yang menjelaskan bahwa jumlah pasien baru lepra di Indonesia adalah jenis kelamin laki￾laki yaitu sebanyak 9.8722 orang sedangkan untuk pasien dengan jenis kelamin perempuan didapatkan 

6,048 

Pada Wanita kasus morbus hensen ini rendah bisa juga dipengaruhi oleh factor lingkungan, factor

biologi dan factor gaya hidupnya. Adanya pserbedaan prilaku dertaan gaya hidup dari masing- masing 

juga dapat menjadi pengaruh yang berpotensi. Diketahui pada wanita sudah terbiasa dengan perlakuan 

dalam merawat duru serta kenjaga Kesehatan dirinya. Pasien laki-laki lebih dominan mengalami 

penyakit infeksi termasuk kusta karena pada umumnya aktivitas yang mereka lakukan lebih banyak di 

luar rumah dibandingkan didalam rumah hal ini berbeda dengan wanita yang aktivitasnya kebanyakan 

berat dan didalam rumah alasan ini yang bisa menjadi penyebab mengapa laki-laki ini lebih mudah 

terjangkit suatu penyakit infeksi. Pada wanita di kehiduoan sehari-hari jarang bekerja atau melakukan 

aktivitas di luar rumah sehingga resiko terpapar suatu peyakit kusta pun berpeluang kecil jika ingin 

dibandingan dengan mereka yang berjenis kelamin laki-laki (14).Jenis pekerjaan

Berdasarkan jenis pekerjaan pada penelitian ini didapatkan penderita kusta yang lebih dominan 

adalah buruh harian dan paling rendah adalah PNS. Hasil dari penelitian ini sedikit berbeda dengan 

penelitian yang dilakukan oleh Porong pada tahun 2020 yang mendapatkan hasil bahwa kelompok 

pekerjaan terbanyak yaitu petani, begitupun juga penelitian yang dilakukan oleh singh pada tahun 2019 

yang mendapatkan hasil diantara jenis pekerjaan dari penderita kusta yang terkonfirmasi, petani 

memiliki angka tertinggi 

Berdasarkan hasil penelitian, distribusi jenis pekerjaan dengan penelitian sebelumnya memiliki 

hasil yang berdeda. Perbedaan ini bisa terjadi karena factor geografi dan tingkat kemajuan serta 

pengembangan dari kota tempat dilakukannya penelitian. Wilayah kerja Puskesmas Tamalate tempat 

dilakukannya penelitian ini terletak di Kota Makassar dimana pada daerah ini lahan pertanian yang 

kurang. Hasil penelitian Ini juga dihubungakan dengan kenyataan kusta lebih dominan pada penderita 

dengan keadaan social-economi rendah. Keadaan social-economy yang rendah juga termasuk factor 

yang berpengaruh terhadap prevalensi kustha. Berdasarkan penelitian ini, jenis pekerjaan yang dominan 

yaitu pasien yang bekerja sebagai buruh harian yaitu sebanyak 16 pasien (38.1%) 

Jenis pekerjaan juga merupakan salah satu faktor risiko kejadian penyakit kusta. Orang-rang yang 

bekerja sebagai petani maupun buruh memiliki risiko tiga setengah kali terjangkit penyakit kusta jika 

dibanding dengan orang yang memiliki pekerjaan selain petani maupun buruh. Orang-orang yang 

memiliki pekerjaan sebagai pekerja kasar yang harus mengeluarkan tenaga yang banyak dan pasien yang 

pekerjaannya sering mengalami kelelahan fisik juga diduga menjadi lebih mudah terkena penyakit kusta

Penelitian oleh Apriliana pada tahun 2019 yang menyatakan kalau ada hubungan antara jenis 

pekerjaan dengan prevalensi kusta di lokasi penelitiannya yaitu Puskesmas Wonoasri Kab Madiun. Pada 

hasil penelitiannya dijelaskan bahwa responden yang memiliki pekerjannya berisiko (petani, buruh tani 

dan sebagainya) punya risiko 4,5711 kali lebih berisiko terkena kusta daripada responden yang memiliki 

pekerjaan tidak berisiko. Pernyataan ini yang sesuai dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini 

yaitu buruh harian yang masuk dalam kelompok pekerjaan yang berisiko memiliki jumlah tertinggi jika 

dibandingkan dengan kelompok jenis pekerjaan yang tidak beresiko seperti kelompok PNS dan 

kelompok yang bekerja sebagai pegawai swasta (15).

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa karakteristik pasien lepra yang 

menjalani perawatan rawat jalan di Puskesmas Tamalate Makassar selama periode 2018-2021 

menunjukkan hasil terbanyak pada kusta tipe Multibasiller, kelompok usia 26-35 tahun, jenis kelamin 

laki-laki, dan pekerjaan sebagai buruh harian. Meskipun begitu, penelitian ini masih memerlukan 

penambahan informasi lebih lanjut. Oleh karena itu, disarankan agar penelitian selanjutnya dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama guna memperoleh gambaran karakteristik pasien lepra yang lebih 

komprehensif. Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan penambahan informasi tentang lama 

pengobatan, potensi kecacatan, dan faktor-faktor lain yang relevan dalam karakteristik pasien lepra.