Tampilkan postingan dengan label kusta n. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kusta n. Tampilkan semua postingan

Kusta n

 


Kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman 

kusta 

(mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Ber￾dasarkan laporan regional WHO tahun 2000, Indonesia sebagai peringkat keempat dunia 

setelah India, Brazil dan Nepal, namun pada tahun 2011 indonesia telah menempati peringkat 

ketiga di dunia setelah India dan Brazil. Data Depkes tahun 2012 dilaporkan ada 18.994 kasus 

kusta baru di Indonesia dan 2.131 penderita (11,2%) diantaranya sudah cacat pada tingkat 2, 

yaitu cacat kelihatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi pasien 

kusta tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga pada pasien kusta di RS.Dr.Tadjuddin 

Chalid Makassar dengan mengambil 79 pasien kusta sebagai sampel. Jenis penelitian ini ada￾lah kuantitatif dengan desain penelitian deskriptif dan cara pengambilan sampelnya secara ac￾cidental sampling serta untuk pengumpulan data menggunakan kuesioner. Berdasarkan 

penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa sebagian besar pasien kusta memiliki per￾sepsi yang positif tentang penyakit kusta (83,5%) dan dukungan keluarga yang mendukung 

dari keluarganya (62%). Dari hasil penelitian yang dilakukan maka penulis menyarankan 

kepada Rumah Sakit terkait untuk menyampaikan informasi-informasi yang baru mengenai 

penyakit kusta secara berkesinambungan sehingga baik pasien maupun keluarganya tidak ke￾hilangan komunikasi dengan pihak rumah sakit dan hendaknya petugas kusta menjadi pemoti￾fator dan melakukan kerjasama dengan keluarga dalam mengawasi pasien meminum obat.Kusta (lepra) atau Morbus Hansen 

merupakan penyakit menular yang menahun 

dan disebabkan oleh kuman kusta 

(mycobacterium leprae) yang menyerang 

syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. 

Penyakit kusta merupakan suatu penyakit 

menular yang menimbulkan masalah yang 

sangat kompleks, tidak hanya dari segi 

medis (misalnya penyakit atau kecacatan 

fisik), tetapi juga meluas sampai masalah 

sosial dan ekonomi. Disamping itu, ada 

stigma negatif dari masyarakat yang menga￾takan penyakit kusta adalah penyakit yang 

menakutkan. Ini karena dampak yang ditim￾bulkan dari penyakit tersebut cukup parah, 

yaitu deformitas/kecacatan yang menyebab￾kan perubahan bentuk tubuh ( Penyakit kusta merupa￾kan penyakit yang ditakuti masyarakat 

bahkan keluarga sehingga penderita kusta 

banyak yang merasa terkucilkan oleh 

masyarakat, ini disebabkan karena persepsi 

dari penderita dan masyarakat yang tidak 

baik terhadap penyakit kusta 


Tercatat sebanyak 19.695 penderita 

kusta di Indonesia sampai tahun 2005, In￾donesia sendiri telah mencapai tahap elimi￾nasi sejak tahun 2000, tapi sampai sekarang 

masih banyak dijumpai kasus kusta. Pada 

tahun 2005 di Indonesia tercatat 21.537 

penderita kusta terdaftar, jumlah kasus baru 

sebanyak 19.695 penderita, 8,74% pen￾derita mengalami cacat tingkat II serta 9,09 

% diantaranya adalah penderita kusta anak. 

Menurut data kusta nasional tahun 

2000, sebanyak 5% penderita mengalami 

reaksi kusta. Di Indonesia kusta mencapai 

tahap eliminasi sejak tahun 2000, tapi sam￾pai sekarang kasusnya masih belum 

menurun lagi, dan masih dijumpai kasus 

pada anak (11,3%), angka kecacatan sebe￾sar 10,8 % serta 81% kasus masih tergo￾long multibasiler atau banyak bakterinya 

(Depkes, 2007). Di tahun 2012 dilaporkan 

ada 18.994 kasus kusta baru di Indonesia 

dan 2.131 penderita (11,2 %) diantaranya 

ditemukan sudah pada cacat tingkat 2, yaitu 

cacat yang kelihatan. Sedangkan 2.191 

penderita (11,5 %) dantaranya adalah anak￾anak (Depkes,2012).

Untuk Sulawesi Selatan, situasi 

penderita kusta hampir sama dengan pola 

nasional, dimana jumlah penderita dan 

prevalensi rate per 10.000 penduduk men￾galami penurunan yang tidak signifikan 

dari tahun ke tahun. Berdasarkan pengum￾pulan data dari tahun 2011 jumlah pen￾derita kusta sebanyak 1.258 penderita yaitu 

penderita PB sebanyak 193 orang, pen￾derita MB sebanyak 1.065 orang. Untuk 

tahun 2012 kasus baru kusta sebanyak 

1.115 orang, 685 laki-laki dan 430 per￾empuan. Penderita baru kusta B umur 0-14 

tahun sebanyak 19 orang, 11 laki-laki dan 8 

perempuan. Penderita baru kusta PB umur 

diatas 15 tahun sebanyak 152 orang, 84 

laki-laki dan 68 perempuan. Total pen￾derita baru kusta PB sebesar 171 orang, 95 

laki-laki dan 76 perempuan. Sedangkan 

penderita baru MB umur 0-14 tahun 

sebanyak 48 orang, 27 laki-laki dan 21 per￾empuan. Penderita baru kusta MB umur 

diatas 15 tahun sebanyak 896 orang, 563 

laki-laki dan 333 perempuan.

Berdasarkan data kasus kusta tahun 

2013 Dinas Kesehatan Provinsi Sul-sel, di 

kota makassar terdapat 101 kasus baru 

kusta. Sedangkan data untuk provinsi sula￾wesi selatan terdapat 1.172 kasus baru 

kusta. 

Melihat sejarah, penyakit kusta 

merupakan penyakit yang ditakuti oleh keluarga dan masyarakat. Saat itu telah ter￾jadi pengasingan secara spontan karena pen￾derita merasa rendah diri dan malu.

Masyarakat menjauhi penderita 

kusta karena kurangnya pengetahuan atau 

pengertian juga kepercayaan yang keliru 

terhadap penyakit kusta. Masyarakat masih 

menganggap bahwa kusta disebabkan oleh 

kutukan dan guna-guna, proses inilah yang 

membuat para penderita terkucil dari 

masyarakat, dianggap menakutkan dan ha￾rus dijauhi, padahal sebenarnya stigma ini 

timbul karena adanya suatu persepsi tentang 

penyakit kusta yang keliru (Soedarjatmi, 

2009).

Berdasarkan latar belakang diatas, 

maka penulis tertarik untuk mengadakan 

penelitian tentang bagaimana gambaran per￾sepsi pasien tentang penyakit kusta dan 

dukungan keluarga pasien kusta di Rumah 

Sakit DR.Tadjuddin Chalid Makassar.


Penelitian ini dilaksanakan di 

RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar mulai 

dari tanggal 13 april sampai 13 mei 2015. 

Penelitian ini merupakan penelitian 

deskriptif. Dengan populasi semua pen￾derita kusta yang menjalani rawat jalan di 

RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar yaitu 

4083 atau 371 pasien rawat jalan setiap bu￾lannya. Sampel pada penelitian ini adalah 

pasien kusta yang berkunjung di 

RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar untuk 

menjalani proses rawat jalan pada tanggal 

13 april sampai 13 mei 2015 sebanyak 79 

responden.

Teknik pengambilan sampel pada 

penelitian ini menggunakan metode acci￾dental sampling (menunggu).

Instrumen yang dipakai dalam 

penelitian ini adalah kuesioner dengan pen￾gukuran yang menggunakan skala guttmen. 

Penilaian persepsi penderita tentang penya￾kit kusta dibagi menjadi dua yaitu positif 

dan negatif.

Persepsi tentang penyakit kusta 

terdiri atas empat yaitu : Persepsi tentang 

beratnya penyakit kusta adalah respons atau 

tanggapan penderita terhadap beratnya atau 

tidaknya penyakit kusta yang dialaminya, 

terdiri dari empat pertanyaan dengan bobot 

nilai jawaban Ya= 1 dan Tidak= 0 nilai 

tertinggi 4 dan terendah 0, apabila jumlah 

nilai jawaban dari responden ≥2 maka per￾sepsi penderita tentang beratnya penyakit 

positif dan bila <2 maka persepsi penderita 

tentang beratnya penyakit negatif. 

Persepsi tentang risiko penyakit 

kusta adalah respons atau tanggapan dari 

penderita kusta terhadap risiko yang akan 

muncul dikemudian hari dari penyakit kusta 

yang diderita, terdiri dari 5 pertanyaan 

dengan bobot nilai jawaban Ya= 1 dan Tid￾ak= 0 nilai tertinggi 5 dan terendah 0, apabi￾la jumlah nilai jawaban dari responden ≥3 maka persepsi penderita tentang risiko pen￾yakit kusta positif dan bila <3 persepsi pen￾derita tentang risiko penyakit kusta negatif. 

Persepsi tentang konsekuensi tidak 

teratur berobat adalah respons atau tangga￾pan penderia kusta terhadap dampak 

negatif dan positif dari minum obat sampai 

selesai, terdiri empat pertanyaan dengan 

bobot nilai jawaban Ya= 1 dan Tidak= 0 

nilai tertinggi 4 dan terendah 0, apabila 

jumlah nilai jawaban dari responden ≥2 

maka persepsi penderita tentang konsek￾uensi tidak teratur berobat positif dan bila 

<2 maka persepsi penderita tentang 

konsekuensi tidak teratur berobat negatif. 

Persepsi tentang tindakan pencega￾han kecacatan respons atau tanggapan pen￾derita kusta terhadap upaya-upaya yang 

dilakukan dalam mencegah terjadinya 

kecacatan atau reaksi lain yang kemung￾kinan terjadi, terdiri dari 5 pertanyaan 

dengan bobot nilai jawaban Ya= 1 dan Tid￾ak= 0 nilai tertinggi 5 dan terendah 0, apa￾bila jumlah nilai jawaban dari responden 

≥3 maka persepsi penderita tentang tinda￾kan pencegahan positif dan bila <3 persepsi 

penderita tentang tindakan pencegahan 

negatif.

Jadi persepsi pasien akan dikatakan 

positif ketika ≥2 kategori persepsi pasien 

baik, dan jika sebaliknya dikatakan negatif. 

Persepsi tentang dukungan keluarga 

terdiri atas empat yaitu : Dukungan Emo￾sional adalah adanya interaksi anggota 

keluarga terhadap pendeita kusta selama 

proses pengobatan dalam bentuk empati 

dan kepedulian, terdiri dari 6 pertanyaan 

dengan bobot nilai Ya= 1dan Tidak=0 nilai 

tertinggi 6 dan terendah 0, apabila jumlah 

nilai jawaban dari responden ≥3 maka 

dukungan emosional dikatakan mendukung 

dan bila <3 dukungan emosional dikatakan 

tidak mendukung.

Dukungan Instrumental adalah 

adanya interaksi anggota keluarga terhadap 

penderita kusta berupa penyediaan obat dan 

makanan, terdiri dari 5 pertanyaan dengan 

bobot nilai Ya= 1 dan Tidak=0 nilai 

tertinggi 5 dan terendah 0, apabila jumlah 

nilai jawaban dari responden ≥3 maka 

dukungan instrumental dikatakan men￾dukung dan bila <3 dukungan instrumental 

dikatakan tidak mendukung.

Dukungan Informasi adalah adanya 

interaksi anggota keluarga dalam mem￾berikan informasi kesehatan maupun infor￾masi perawatan selama proses pengobatan 

pasien kusta, terdiri dari 6 pertanyaan 

dengan bobot nilai Ya= 1dan Tidak=0 nilai 

tertinggi 6 dan terendah 0, apabila jumlah 

nilai jawaban dari responden ≥3 maka 

dukungan informasi dikatakan mendukung 

dan bila <3 dukungan informasi dikatakan 

tidak mendukung.

Dukungan spiritual adalah adanya interaksi 

anggota keluarga dalam bentuk harapan, doa dan pengertian kepada pasien kusta atau 

seberapa besar keluarga meyakinkan ang￾gotanya bahwa dengan melakukan pen￾gobatan akan menghasilkan kesembuhan, 

terdiri dari 6 pertanyaan dengan bobot nilai 

Ya=1 dan Tidak=0 nilai tertinggi 6 dan ter￾endah 0, apabila jumlah nilai jawaban dari 

responden ≥3 maka dukungan spiritual 

dikatakan mendukung dan bila <3 maka 

dukungan spiritual dikatakan tidak men￾dukung.

Persepsi dukungan keluarga 

dikatakan mendukung apabila ≥3 kategori 

persepsi dukungan keluarga baik, dan jika 

sebaliknya dikatakan tidak mendukung.


Hasil penelitian menunjukkan persepsi 

pasien tentang penyakit kusta yang men￾cakup persepsi tentang beratnya penyakit 

kusta adalah positif yaitu sebesar 75,9%, 

persepsi risiko penyakit kusta adalah positif 

yaitu sebesar 58,2%, persepsi konsekuensi 

tidak teratur berobat yaitu positif sebesar 

74,7%, dan persepsi pencegahan kecacatan 

yaitu negatif sebesar 54,4%. Sedangkan un￾tuk dukungan keluarga yang meliputi 

dukungan emosional yaitu mendukung 

sebesar 50,6%, dukungan instrumental yaitu 

tidak mendukung sebesar 74,7%, dukungan 

informasi yaitu tidak mendukung sebesar 

65,8%,dan dukungan spiritual yaitu men￾dukung sebesar 75,9%.

Hasil crosstabulasi antara variabel persepsi 

risiko penyakit kusta dan konsekuensi tidak 

teratur berobat yaitu dari 46 responden yang 

memiliki persepsi positif tentang risiko pen￾yakit kusta 89,1% responden diantaranya 

memiliki persepsi positif terhadap konsek￾uensi tidak teratur berobat. Crosstabulasi 

antara dukungan instrumental dan dukungan 

informasi yaitu dari 59 responden yang 

memiliki dukungan keluarga tidak men￾dukung tentang dukungan instrumental, 

69,5% responden diantara memiliki 

dukungan keluarga yang tidak mendukung 

terhadap dukungan informasi. Crosstabulasi 

antara dukungan spiritual dan dukungan 

emosional yaitu dari 60 responden yang 

memiliki dukungan keluarga mendukung 

tentang dukungan spiritual, 56,7% dian￾taranya memiliki dukungan keluarga yang 

mendukung tentang dukungan emosional.

PEMBAHASAN

Menurut Ress (1975) jenis kelamin 

adalah salah satu faktor yang berperan da￾lam penularan penyakit kusta. Pada da￾sarnya laki-laki lebih banyak dijangkiti da￾ripada perempuan. Dari 79 responden 

penelitian ini, ada 46 orang responden 

(58,2%) laki-laki, yang rata-rata berusia 60-

69 tahun (16,5%).

Dari hasil penelitian terhadap 79 

responden, 71 responden (89,9%) menja￾wab percaya bahwa kusta adalah penyakit yang pasti bisa disembuhkan, 51 respond￾en (64,6%) menjawab bahwa penyakit 

kusta bukanlah penyakit yang disebabkan 

akibat berhubungan intim dengan suami 

pada saat menstruasi, 55 responden 

(69,6%) menjawab bahwa penyakit kusta 

tidak bisa ditularkan melalui sentuhan dan 

air, dan 42 responden (53,2%) menjawab 

bahwa tidak menerapan prilaku hidup ber￾sih bukanlah penyebab seseorang terkena 

penyakit kusta.

Risiko yang paling menakutkan dari 

penyakit kusta adalah timbulnya 

kecacatan,70 responden (88,6%) dari 79 

responden menjawab bahwa memang benar 

dampak terparah dari penyakit kusta adalah 

kecacatan, dan 60 responden (75,9%) dari 

79 responden menjawab bahwa penyakit 

kusta juga bisa menyebabkan kematian. 

Akan tetapi pada dasarnya kusta adalah 

penyakit yang jarang menyebabkan ke￾matian, kematian yang terjadi pada pen￾derita kusta bukan disebabkan oleh penya￾kit kustanya melainkan oleh penyakit lain 

yang menyerang penderita. 

Pada umumnya penderita kusta 

akan merasa rendah diri, merasa tertekan, 

merasa takut terhadap penyakitnya dan dan 

takut akan timbulnya kecacatan dikemudi￾an hari, penderita juga pasti merasa takut 

untuk menghadapi keluarganya dan 

masyarakat karena sikap penerimaan mere￾ka yang biasanya dinilai kurang wajar. 

Untuk melihat bagaimana persepsi pasien 

tentang penyakit kusta, peneliti ber￾landaskan pada teori Health Belief Model 

atau Model Kepercayaan Kesehatan.

Health belief model dikemukakan 

pertama kali oleh Rosenstock tahun 1966, 

kemudian disempurnakan oleh Becker,dkk 

1970 dan 1980. Model kepercayaan 

kesehatan ini mencakup lima unsur utama, 

yang pertama adalah persepsi individu ten￾tang kemungkinannya terkena suatu penya￾kit. Unsur yang kedua ialah pandangan 

individu tentang beratnya penyakit terse￾but, yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang 

akan dialaminya dari penyakit itu, makin 

berat risiko suatu penyakit dan makin besar 

kemungkinannya bahwa individu itu 

terserang penyakit tersebut, makin dirasa￾kan besar ancamannya. Dari ancaman yang 

terjadi kemudian mendorong individu un￾tuk melakukan tindakan pencegahan atau 

penyembuhan penyakit. Namun ancaman 

yang terlalu besar malah menimbulkan rasa 

takut dalam diri individu yang justru meng￾hambatnya untuk melakukan tindakan ka￾rena individu tak berdaya melawan an￾caman tersebut. Untuk mengurangi rasa 

terancam itu, ditawarkanlah suatu alternatif 

tindakan oleh petugas kesehatan. Apakah 

individu akan menyetujui alternatif yang 

dianjurkan petugas tersebut, tergantung pa￾da pandangan tentang manfaat dan hambat￾an dari pelaksanaan alternatif tersebut. Na￾mun sebaliknya,dalam unsur yang ketiga 

yakni konsekuensi dari tindakan yang di￾anjurkan itu (biaya yang mahal, rasa malu, 

takut akan rasa sakit dan sebagainya) 

seringkali menimbulkan keinginan individu 

justru menhindari alternatif yang dianjurkan 

petugas kesehatan. 

Dukungan keluarga adalah semua 

bantuan yang diberikan oleh anggota 

keluarga sehingga akan memberikan rasa 

nyaman secara fisik dan psikologis pada 

individu yang sedang merasa tertekan atau 

stress 

Untuk melihat bagaimana dukungan 

keluarga terhadap pasien kusta maka peneli￾ti berlandaskan kepada bentuk dukungan 

keluarga menurut Goldsworthy,1998 (dalam 

Masykur,2010) bahwa ada 4 jenis dukungan 

sosial, yaitu dukuingan emosional, 

dukungan instrumental, dukungan informasi 

dan dukungan spiritual.

Penelitian sebelumnya yang dil￾akukan oleh Masykur (2010) dan Rilauni 

Mongi (2012) tidak melibatkan variabel 

dukungan spiritual, karena berpegang pada 

konsep dukungan keluarga terhadap 

perawatan dan pelayanan kesehatan 

(Friedman,2003), bahwa dukungan keluarga 

adalah bagian dari dukungan sosial. 

Dukungan keluarga dalam perawa￾tan kesehatan ada 3, dan tidak termasuk 

didalamnya dukungan spiritual. Namun 

peneliti menambahkan variabel dukungan 

spiritual untuk melihat apakah keluarga 

mendukung pasien dari segi dukungan spir￾itual.

Ada 44 (55,7%) dari 79 responden 

yang mengatakan bahwa anggota keluarga 

dengan senangtiasa meyakinkan agar re￾sponden tidak berputus asa. Bahkan 61 re￾sponden (77,2%) percaya ketika keluarga 

mereka memberi tahu bahwa doa adalah 

obat yang terbaik diantara obat-obat yang 

lain asalkan didampingi dengan usaha untuk 

berobat.

Dapat dilihat bagaimana kesabaran 

Nabi Ayyub as dalam menghadapi cobaan 

yang diberikan kepadanya berupa beratnya 

penyakit kulitnya, sebagaimana Allah ber￾firman dalam QS Al-Anbiyaa 21/84 sebagai 

berikut : 


Terjemahnya :

“Maka Kamipun memperkenankan 

seruannya itu, lalu Kami lenyapkan 

penyakit yang ada padanya dan Ka￾mi kembalikan keluarganya kepa￾danya, dan Kami lipat gandakan 

bilangan mereka, sebagai suatu rah￾mat dari sisi Kami dan untuk men￾jadi peringatan bagi semua yang 

menyembah Allah.”

Ayat diatas berbicara tentang ujian 

yang dialami nabi ayyub as serta anugerah 

rahmat Allah kepadanya ditutup dengan pernyataan bahwa yang demikian itu ada￾lah peringatan bagi hamba-hamba Allah. 

Ini memberi kesan bahwa setiap orang 

yang mengabdi kepada Allah harus siap 

menghadapi aneka ujian karena dengan 

ujian seseorang dapat meningkat dan 

meningkat 

Berdasarkan hasil penelitian ter￾hadap 79 responden pasien kusta di 

RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar tentang 

persepsi pasien tentang penyakit kusta dan 

dukungan keluarga terhadap penderita, 

dapat disimpulkan : 1) Responden yang 

memiliki persepsi positif tentang beratnya 

penyakit kusta sebanyak 60 responden 

(75,9%) dari 79 responden di 

RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun 

2015. 2) Responden yang memiliki per￾sepsi positif tentang risiko penyakit kusta 

sebanyak 46 responden (58,2%) dari 79 

responden di RS.Dr.Tadjuddin Chalid Ma￾kassar Tahun 2015. 3) Responden yang 

memiliki persepsi positif tentang konsek￾uensi tidak teratur berobat sebanyaki 59 

responden (75,7%) dari 79 responden di 

RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun 

2015. 4) Responden yang memiliki per￾sepsi negatif tentang persepsi pencegahan 

kecacatan sebanyak 43 responden (54,4%) 

dari 79 responden di RS.Dr.Tadjuddin 

Chalid Makassar Tahun 2015. 5) Respond￾en yang memiliki dukungan emosional 

keluarga yang mendukung sebanyak 40 

responden (50,6%) dari 79 responden di 

RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun 

2015. 6) Responden yang memiliki 

dukungan instrumental keluarga yang tidak 

mendukung sebanyak 59 responden 

(74,7%) dari 79 responden di 

RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun 

2015. 7) Responden yang memiliki 

dukungan informasi keluarga yang tidak 

mendukung sebanyak 52 responden 

(65,8%) dari 79 responden di 

RS.Dr.Tadjuddin Chalid Makassar Tahun 

2015. 8) Responden yang memiliki 

dukungan spiritual keluarga yang men￾dukung sebanyak 60 responden (75,9%) 

dari 79 responden di RS.Dr.Tadjuddin 

Chalid Makassar Tahun 2015.


kusta20


Penyakit kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, akan 

menyerang kulit dan saraf tepi, serta ditularkan melalui saluran pernafasan atas.

Penatalaksanaan penyakit kusta perlu kesabaran penderita dalam pengobatan, karena

membutuhkan waktu yang lama. Kepatuhan penderita dalam proses pengobatan menentukan 

keberhasilan pengobatan. Perilaku sehat dalam penatalaksanaan pengobatan kusta 

membutuhkan kepatuhan disipilin dalam mengonsumsi obat kusta. Penatalaksanaan 

pengobatan yang buruk dapat berdampak kerusakan permanen pada anggota tubuh penderita 

yaitu terjadinya kecacatan tubuh. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor utama dimensi 

dari perilaku sehat yang mempengaruhi kepatuhan penderita kusta dalam mengonsumsi Multi 

Drug Therafi (MDT) penyakit kusta. Desain penelitian menggunakan deskritif cross sectional, teknik sampel yang digunakan secara total sampling sebanyak 15 orang. Instrumen penelitian 

menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan kepatuhan serta perilaku sehat yang terdiri 

dari dimensi pengetahuan, sikap dan psikomotor, dan dianalisa dengan menggunakan regresi 

linier berganda. Hasil didapat bahwa faktor pengetahuan, sikap, dan psikomotor memiliki 

pengaruh positif dan signifikan dengan kepatuhan penderita mengonsumsi MDT (p value < 

0,005), dimensi pengetahuan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepatuhan dengan 

nilai p value 0,001. Secara keseluruahan koefisien determinan pengetahuan, sikap, dan perilaku 

terhadap kepatuhan penderita kusta mempunyai hubungan yang sangat kuat ( R = 0,809). 

Maka peneliti menyarankan penderita kusta untuk berperilaku sehat dalam menjalankan 

kepatuhan mengosumsi obat untuk mencegah kecacatan dan perlu adanya pengawas minum 

obat bagi penderita kusta.

Profil Kesehatan RI melaporkan terdapat 

17.202 kasus baru kusta dengan 84,5% 

kasus di antaranya merupakan tipe Multi 

Basiler (MB), dan Jawa Barat merupakan

urutan kedua yang mempunyai kasus kusta

baru terbanyak serta termasuk provinsi

beban kusta high burden yaitu sebanyak 2026 

orang atau New Case Detection Rate (NCDR)

34%, jenis kusta MB sebanyak 2.223 orang 

dan PB 125 orang dari jumlah penduduk 

Jawa Barat sebanyak 46.709.569 jiwa 

(Kemenkes RI, 2015) .

Sedangkan laporan Dinkes Kota Depok 

tahun 2016 ditemukan ada 40 penderita 

kusta Baru dengan wilayah Puskesmas 

Limo sebanyak 16 penderita, Puskesmas 

Cipayung terdapat 14 penderita, dan 

Puskesmas Bojongsari sebanyak 10 

penderita (Depok Pos, 2017). 

Kelurahan Limo merupakan bagian dari

wilayah Kota Depok, yang didapatkn 16 

penderita baru, dan hasil penelitian Siregar 

& Ratnawati (2018) dari 9 penderita kusta di 

Kelurahan Limo hidupnya berada di garis 

kemiskinan, membuat penderita malas 

untuk kontrol secara rutin datang berobat 

ke Puskesmas, sehingga penderita 

menjalankan pengobatan dan perawatan 

belum optimal, terutama dalam kepatuhan 

mengonsusmi obat secara rutin. Laporan 

Puskesmas tercatat dari 9 orang yang 

terdata di Puskesmas, masih ada 3 orang 

yang tidak disiplin dalam berobat 

Pengobatan kusta memerlukan penanganan 

yang cepat dan berkelanjutan serta

memerlukan kedisiplinan dalam

pengobatan. Pengobatan kusta

membutuhkan waktu yang lama. Kusta tipe 

PB membutuhkan waktu 6 – 9 bulan, 

sedangkan tipe MB membutuhkan waktu 12 

– 18 bulan. Pengobatan penderita kusta 

bertujuan untuk memutuskan mata rantai 

penularan, menyembuhkan penyakit 

penderita, mencegah terjadinya cacat atau 

mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada dalam pengobatan 

Pengobatan yang lama ini memiliki risiko

tinggi dalam ketidakpatuhan berobat dan

minum obat bagi penderita (Kemenkes RI, 

2014). Seperti riset Wiyarni, (2013)

menyimpulkan sebanyak 48 orang (62,3%) 

penderita kusta tidak patuh dalam minum

obat. Ketidakpatuhan seseorang dalam 

pengobatan juga sebagai pendukung 

morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan 

kesehatan yang cukup besar 

Banyak faktor yang mempengaruhi 

kepatuhan penderita kusta dalam 

mengkonsumsi MDT. Beberapa penelitian 

mengungkapkan kepatuhan seseorang 

dalam mengonsumsi obat karena lupa, tidak 

suka obat tersebut, efek samping dari obat 

yang tidak disukai, kondisi merasa lebih baik 

dan biaya (Morisky, 2015). Faktor-faktor 

tersebut sangat ditentukan oleh perilaku 

sehat dari penderita dalam kepatuhan 

mengonsumsi obat. Ketaatan minum obat 

adalah salah satu yang paling menarik dan 

kompleks dari perilaku pasien. 

Ketidakpatuhan pada rejimen obat dapat 

menghasilkan hasil yang negatif, dan dapat 

ditambah pada populasi dengan penyakit 

kronis karena durasi waktu yang panjang 

dalam pengobatan semua ini ditentukan dari 

perilaku sehat penderita (Cognizant, 2014).

Maka berdasarkan latar belakang yang ada

terkait dengan partisipasi penderita dalam

pelaksanaan program pengobatan kusta

yang dicanagkan pemerintah dalam 

mencegah kecacatan sangat penting 

dilakukan oleh penderita kusta. Peneliti 

tertarik membahas perilaku sehat penderia 

kusta dalam kepatuhan mengonsumsi MDT 

penyakit kusta, untuk itu peneliti ingin 

mencari faktor dimensi manakah yang lebih 

dominan dari perilaku sehat penderita kusta 

untuk patuh mengonsumsi MDT penyakit 

kusta di wilayah kerja Puskesma Limo Koa 

Depok ?


Penelitian ini menggunakan desain 

penelitian deskritif cross sectional, dan analisa 

data menggunakan regresi berganda. Sampel 

yang digunakan total sampling hanya 15 orang 

penderita kusta yang aktif di Puskesmas 

Limo Depok.

Pengambilan data menggunakan kuesioner 

yang berisi peryataan dari dimensi variabel 

perilaku sehat konsep (Notoadmodjo, 

2007): 10 pernyataan pengetahuan, 10 

pernyataan sikap, dan 10 pernytaan 

psikomotor; serta varibel kepatuhan diambil 

dari (Bruner and Sudarth, 2014) dengan 12 

pernyataan, bentuk jawaban kuesioner 

menggunakan skala likert. Hasil uji 

reliabilitas validitas dilakukan pada 

penderita yang berobat kontrol di Puskemas 

sebanyak 20 reponden dengan hasil sikap 

(reliabilitas 0,912 dan validitas 0,584 –

0,870), pengetahuan (reliabilitas 0,922 dan validitas 0,410 – 0,533), psikomotor 

(reliabilitas 0,946 dan validitas 0,525 –

0,976), serta kepatuhan (reliabilitas 0,940

dan validitas 0,532 – 0,931).

Hasil analisa data untuk menjawab hipotesa 

menggunakan Regresi Linier Berganda, 

namun untuk memenuhi syarat 

penggunanaan metode analisa data ini 

dilakukan ujia asumsi penggunaan model 

linier berganda terlebih dahulu berupa uji 

asumsi eksistensi, asumsi idependensi, uji 

homoscedasiticiy, asumsi normalitas dan 

multikolinearitas 

Tabel 1 berikut menjelaskan karakteristik 

responden penderita kusta, bahwa penderita 

kusta usia termuda ada 1 dikatagroikkan 

dibawah usia 17 tahun dengan data asli usia 

4 tahun, sedangkan usia > 17 ada 14 

orang(93,33%) dan dengan usia tertua dari 

pendataan 61 tahun satu orang. Jenis 

kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 

9 orang (60%). Pendididkan penderita 

terbanyak SMA sebanyak 8 orang (53,33%), 

Jenis Kusta terbanyak adalah tipe Multi 

Basiler sebanyak 13 orang (86,7%), lama

menderita kusta lebih dari 12 bulan juga 

sebanyak 13 orang (86,7%). 

Melihat data karakteristik ini juga telah 

disesuaikan dengan data dari Puskesmas 

dan saat kunjungan rumah untuk validasi, terutama kehidupan sehari-hari penderita 

semua berada pada kondisi miskinHasil Uji Asumsi Linier Berganda

Uji Asumsi terpenuhi semua karena, pada 

1) Asumsi eksistensi, dimana nilai mean

berada di analisa statistik residual 0,000 dan 

standar deviasi 0,805, 2) Asumsi 

independensi dengan nilai Durbin Watson 

1,813 yang berarti direntang -2 sampai 

dengan +2; 3) Asumsi Homscedascity, 

didapat titik tebaran tidak berpola tertentu 

dan mentebar merata di sekitar garis tiik 

nol maka dapat disebut, varian homogenypada setiap nilai x; 4) Asumsi Liniearitas, 

dari hasil uji ANOVA p value 0,000 < 

0,005, berarti model berbentuk linier; 5) 

Asumsi Normalitas, dimana Plot residual 

data menyebar di sekitar garis diagonal dan 

mengikuti arah garis , maka model 

memenuhi asumsi model regresi., 6) 

Diagnostik Multikolinearitas, dilihat pada 

nilai VIF < 10 (Pengetahuan VIF 1,180, 

Sikap VIF 1,171, dan Psikomotor VIF 

1,031).

Berdasarkan data kareakteristirk repsonden

pada Tabel 1, didapat data penderita kusta 

terbanyak adalah jenis MB (Multi Basiler) 

sebanyak 13 orang (86,7%). Penderita kusta 

dengan jenis MB membutuhkan 

pengobatan selama 12 bulan, secara tidak 

langsung sangat membutuhkan kepatuhan signifikan terhadap kepatuhan dengan nilai 

t hitung 3,915 dan probabilitanya 0,002; 

psikomotor berpengaruh positif terhadap 

kepatuhan dengan nilai t hitung 2.589 dan 

probabilitasnya 0,003. Ketiga koefisien 

regresi signifikan terhadap kepatuhan

Pada tabel 4 juga dijelaskan secara parsial 

pengetahuan (p value= 0,001), sikap (p value

= 0,002), dan psikomotor (p value 0,025) 

berhubungan dengan kepatuhan. Faktor 

penentu utama dalam kepatuhan secara 

berturut-turut dari pengetahuan, sikap, dan 

psikomotor. Dari uji Anova atau F di 

dapat F hitung 14,204 dengan tingkat 

signifikan 0,000, yaitu lebih kecil dari 0,05, 

maka model regresi bisa dipakai untuk 

memprediksi kepatuhan. penderita dalam pengobatan, karena 

pengobatan yang tidak tuntas 

mengakibatkan penderita harus memulai 

lagi dari tahap awal

Kusta tipe MB lebih berisiko untuk meng￾alami reaksi kusta (kecacatan) dan 50% 

penderita kusta mengalami reaksi kusta 

pada tahun per-tama setelah didiagnosis kusta, reaksi kusta akan me-ningkat pada 

pasien dengan penyakit kusta lama atau 

pengobatan kusta yang lama 

Dari survey langsung ke rumah penderita 

dan pegamatan bahwa kehidupan 

penderitan termasuk dalam katagorik 

miskin, rumah sangat sederhana dan kondisi 

lingkungan sangat lembab, berisiko penyakit 

kusta penderita terbanyak dalam katgorik 

MB. Kondis hidup miskin ditambah adanya 

penyakit kusta yang didierita menambah 

stigma dari masyarakat. Stigma yang 

didapat penderita mempengaruhi penderita 

untuk datang ke pelayanan kesehatan 

sehingga mempengaruhi juga penderita 

dalam kepatuhan berobat. stigma sosial dan 

self-stigma dapat menjadi faktor yang 

berkontribusi besar untuk mencari 

pengobatan yang teratur 

bahwa pendapatan keluarga yang rendah 

juga mempengaruhi kepatuhan penderita 

dalam kepatuhan pengobatan 

Data karakteristik pada Tabel 1, tingkat 

pendidikan penderita terbanyak 8 orang 

SMA (53,33%) selebihnya SMP.Riset 

Siregar & Ratnawati (2018) dari 9 penderita 

kusta, empat orang berpendidikan SMP, 

dan sisanya SD dan SMA, bahwa pasien dan 

keluarga menyatakan tidak memahami 

etiologi, pengobatan dan perawatan pada 

penyakit kusta. Kondisi ini kaitannya 

dengan pendidikan penderita. Tingkat 

pendidikan seseorang mempengaruhi 

wawasan sesorang dalam memahami 

penyakit atau pengobatannya 

Wawasana seseorang dalam memahami 

sesuatu dalam pengetahuan pengobatan dan 

perawatan penyakitnya menentukan 

keberhasilan dalam penyembuhan 

penyakitnya. Pengetahuan sangat 

menentukan terlambatnya diagnosa 

penyakit sehingga tingginya frekuensi 

diagonsa kusta yang tertunda, 

ketidaksadaran akan diagnosis, serta 

kepatuhan dalam pengobatan, waktu yang 

panjang anatar terpapar gejala dengan waktu 

diagnosis mencerminkan ketidaktahuan 

penderita dan ketidak pedulian gejala 

penyakit kusta 

Hampir separuh responden kusta (49,7%) 

dari 245 responden tidak mengetahui 

keparahan gejala seperti bercak merah, 

bengkak kecil, sensasi kesemutan dirasakan 

di luka, percaya bahwa gejala akan hilang 

Pengetahuan penderita kusta perlu 

diberikan karena berkaitan dengan

pengobatan khususnya dalam kepatuhan 

mengonsumsi obat. Hasil riset Rustam

(2014) bahwa ada hubungan antara 

pengetahuan dengan kepatuhan minum 

obat, pengetahuan mempengaruhi 

kepatuhan seseorang dalam mengonsumi obat, dikarenaka pada risetnya mayoritas 

penderita kurang mendapat informasi dan 

edkuasi dari petugas kesehatan tentang 

penyakit kusta dan tata cara pengobatannya. 

Hal ini juga didukung dari riset Selum & 

Wahyuni (2012) ada pengaruh antara 

pengetahuan dengan kepatuhan berobat

karena semakin banyak informasi yang 

diperoleh penderita tentang kusta, maka 

pengetahuan penderita tentang kusta 

khususnya pentingnya pengobatan untuk 

kesembuhan kusta akan baik, sehingga 

penderita dapat termotivasi untuk berobat 

secara teratur. Terbukti dari riset Brown et 

al (2016) bahwa 50% penderita yang 

mengingat apa yang dibahas saat bertemu 

dengan dokter mengenai penyakitnya, hal 

ini akan mempengaruhi kepatuhan dalam 

,mengonsumsi obat, maka dibutuhkan 

teknik yang efektif dalam pendidikan 

kesehatan penderita. 

Dari pendidikan kesehatan yang didapat 

oleh penderita menentukan ketaatan 

penderita minum obat sering diartikan 

sebagai usaha pasien untuk mengendalikan 

perilaku atau sikapnya apakah pasien 

mengikuti apa yang disampkain oleh 

petugas untuk dilaksanakan guna mencapai 

kesembuhan. Sikap dalam kehidupan sehari￾hari adalah merupakan reaksi yang bersifat 

emosional terhadap stimulus sosial. Sikap 

belum merupakan suatu tindakan atau 

aktivitas, akan tetapi merupakan 

predisposisi tindakan/psikomotor atau 

perilaku 

Sikap penderita kusta ingin berobat dengan 

patuh dibuktikan dengan kemampuannya 

dalam kemampuan penderita untuk 

melakukan perawatan pribadi, dengan 

diidentifikasi sebagai kemampuan mereka 

untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, 

mengontrol lingkungan hidup mereka, 

menggunakan alat pelindung diri, kulit dan 

perawatan luka, pencegahan kecacatan dan 

partisipasi dalam self care gorups (Sutanto, T., 

Dewi, EI., & Rahmawati, I., 2017). Hasil 

penelitian pada penderita kusta di 

Kabupaten Gresik, bahwa ada pengaruh 

sikap penderita terhadap pengobatan dini 

dan pengobatan teratur, karena dengan 

pengobatan yang 

Kepatuhan minum obat pada pasien 

merupakan suatu perilaku terbuka (overt 

behavior), pendidikan kepatuhan minum obat 

mengajak klien lebih berperilaku terbuka dan 

mampu menerima keadaannya sehingga bisa 

berkomitmen dengan keputusan yang dia 

buat adanya keyakinan, 

konstruksi pengetahuan atau pemahaman

seseorang menentukan sebuah episode 

penyakit, penyebabnya, kronisitas dan 

modus dari onset gejala, patofisiologi 

penyakit, dan konsekueni dalam 

pengobatan merupakan faktor-faktor 

berperilaku sehat untuk mengatasi masalah 

kesehatannya.Selain faktor perilaku sehat, ada faktor lain 

yang harus diperhatikan untuk membahas 

mengenai kepatuhan seseorang dalam 

berobat, seperti yang diuraikan WHO (2003 

dalam Gurumurthy, 2018) yaitu sosial 

ekonomi, provider pasien/sistem pelayanan 

kesehatan, terkait kondisi dengan rejimen 

pengobatan penyakit lain yang mneyertai, 

terkait obatnya, terkait kondisi pasiennya.