disentri amuba
Kejang demam (Febrile Seizure) adalah salah satu masalah umum pada anak-anak. Kejang demam
biasanya terjadi antara usia 6-60 bulan dengan suhu 380C dan lebih. Kejang demam terbagi menjadi 2
klasifikasi, yaitu kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) dan kejang demam komplek (Complex
Febrile Seizure). Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lama kejangnya lebih dari 15 menit,
dan berulang dalam 24 jam. Disentri adalah penyakit diare akibat infeksi Entamoeba Hystolytica
merupakan penyakit yang tersebar diseluruh dunia dengan terpusat dinegara berkembang dengan tingkat
sanitasi yang rendah. Kami melaporkan kasus anak usia 2 tahun dengan berat badan 12 kg, datang ke
IGD dengan keluhan kejang SMRS. Pasien mengalami kejang disertai demam 1 kali dengan durasi ±7
menit dan setelah masuk bangsal demam 1 kali durasi ±5 berulang selama 24 jam, kejang seluruh tubuh.
BAB cair berwarna hijau dan kuning, terdapat ampas dan tidak ada lendir sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit sebanyak 2 kali. Batuk (+) Pilek (+). Pemeriksaan Feses Rutin menunjukan warna hijau,
konsistensi lunak dan Amuba positif. Pada Hari rawat kedua dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan
stomatitis pada bibir Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tersebut,
diagnosis pasien adalah kejang demam kompleks, febris H-1 dengan disentri amuba, stomatitis.
Kejang demam adalah salah satu
masalah umum pada anak-anak. Kejang
demam biasanya terjadi antara usia 6 bulan
– 5 tahun dengan suhu 38 0C dan lebih.
Mereka tidak terjadi karena infeksi sistem saraf pusat atau gangguan elektrolit dan
metabolisme. Kejang demam merupakan
kejadian pada bayi atau anak yang
berhubungan dengan demam tetapi tidak
pernah terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab tertentu. Anak yang pernah
kejang tanpa demam dan bayi berumur
kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam
kejang demam. Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang
ditandai dengan kejang berulang tanpa
demam. Menurut J. Gordon Millichap
membagi kejang demam menjadi 2
golongan, yaitu kejang demam sederhana
(Simple Febrile Seizure) dan kejang demam
kompleks (Complex Febrile
Seizure).(Kliegman, 2016)
Studi populasi di Eropa dan
Amerika melaporkan insiden kejang demam
sebesar 2-5% dari anak. Insiden di bagian
lain dunia bervariasi, antara 5-10 % (India),
8,8% (Jepang). Data dari negara-negara
berkembang sangat terbatas, frekuensinya
mungkin didapatkan lebih tinggi di Asia.
Sebanyak 2-5% anak-anak yang berumur
kurang dari 5 tahun pernah mengalami
kejang disertai demam. Puncak umur
mulainya adalah sekitar 14-6 bulan. Sekitar
9-35% dari seluruh kejang demam awal
merupakan kejang demam
kompleks.(Kliegman, 2016)
Disentri menyebar di seluruh dunia
dengan terpusat pada negara berkembang
yang memiliki tingkat sanitasi yang rendah.
Angka insidensi disentri basiler terbanyak
adalah pada anak-anak dengan usia 1 hingga
4 tahun. Kondisi ini menjadikan disentri
basiler sebagai penyebab diare tersering
pada anak-anak berusia dibawah 5 tahun, di
Afrika dan Asia Selatan. Prinsip penularan
disentri amuba adalah dengan tertelannya
makanan yang terkontaminasi feses yang
mengandung kista matang.
Infeksi Entamoeba Histolytica paling
banyak terjadi di negara subtropis dan tropis
seperti negara negara di Amerika tengah dan
selatan, Asia Pasifik dan Afrika. Di benua
Afrika dan Asia tenggara
infeksi Entamoeba Histolytica menjadi
salah satu penyebab terjadinya diare berat
pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun
yang kemudian berpotensi tinggi menyebabkan kematian. Oleh sebab itu,
disentri amuba sering ditemukan pada
wisatawan yang melakukan perjalanan ke
wilayah endemik. World Health
Organization memperkirakan 4 milyar
kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan
2,2 juta diantaranya meninggal; sebagian
besar anak-anak di bawah umur 5 tahun.
Lebih dari 5000 anak meninggal setiap hari
akibat diare. Dari semua kematian anak
akibat diare, 78% terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. Laporan Riskesdas tahun 2007
menunjukkan bahwa penyakit Diare
merupakan penyebab kematian nomor satu
pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%),
sedangkan pada golongan semua umur
merupakan penyebab kematian yang ke
empat (13,2%) (Kementrian Kesehatan RI,
2018)
Disentri adalah peradangan dan infeksi
pada usus, yang mengakibatkan diare yang
mengandung darah atau lendir. Gejala lain
yang mungkin termasuk kram perut, mual,
muntah, dan demam. Kondisi ini dapat
terjadi sebagai akibat dari infeksi bakteri
atau parasit. Infeksi ini biasanya menyebar
sebagai akibat dari kebersihan atau sanitasi
yang buruk. (Kementrian Kesehatan RI,
2018)
Disentri terbagi jadi dua jenis, yaitu:
Disentri basiler atau shigellosis, yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Shigella.
Dan Disentri amuba atau amoebiasis yang
disebabkan oleh infeksi Entamoeba
histolytica.(Ikatan Dokter Anak Indoensia,
2013)
LAPORAN KASUS
Pasien merupakan An. A.P usia 2
tahun 2 bulan dengan berat badan 12 kg,
datang ke IGD dengan keluhan kejang.
Pasien mengalami kejang disertai demam
(+) 1 kali dengan durasi ±7 menit dan
berulang pada saat pasien dibangsal dahlia
dengan durasi kejang ±5 selama 24 jam,
kejang seluruh tubuh dimulai dari tangan
dan kaki, mata mendelik keatas, setelah
kejang pasien sadar dan langsung menangis.
Demam dikeluhkan sejak 1 hari SMRS.
BAB cair sebanyak 3 kali setiap BAB
kurang lebih ¼ gelas belimbing (±50 cc),
BAB berwarna kuning, ampas (+), lendir
(+), darah (-), batuk (+) dan pilek (+). HMRS pasien masih BAB cair. BAK
berwarna kuning jernih, nyeri saat berkemih
(-). Saat kejang pasien tidak sadar. Setelah
kejang, pasien langsung menangis, nafsu
makan menurun (+), rewel (-), tampak haus
(-).
Riwayat ANC baik, riwayat
persalinan tidak baik, riwayat PNC baik.
ASI eksklusif, kualitas dan kuantitas
makanan baik, makanan sesuai dengan
usianya. Perkembangan motorik kasar,
motorik halus, bahasa dan personal sosial
sesuai usia. Vaksinasi dasar dinyatakan
lengkap sesuai usia. Sosial ekonomi cukup,
lingkungan baik kurang baik, dan personal
hygiene kurang baik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum tampak sedang, kesadaran
compos mentis, suhu tubuh 38.5ºC, Nadi
110x/menit, Pernapasan 25 x/menit, SpO2
97%. Pada pemeriksaan kulit, kelenjar
limfe, otot, tulang dan sendi dalam batas
normal. Pemeriksaan kepala dalam batas
normal, UUB sudah menutup, UUB tidak
membonjol, reflek cahaya (+/+), pupil
isokor kanan dan kiri (3mm/3mm), bulging
fontanella (-). Pemeriksaan leher, thoraks
dan jantung dalam batas normal,
pemeriksaan fisik paru dalam batas normal.
Pemeriksaan abdomen dalam batas normal,
turgor kulit menurun (-) dan anogenital
dalam batas normal. Pemeriksaan
ekstremitas didapatkan akral hangat.
Pemeriksaan status neurologis, reflek
patologis dan meningeal sign dalam batas
normal. Pemeriksaan mata dalam batas
normal, pupil isokor 3mm, reflek cahaya
(+/+) normal, papil edema (-/-), mata
cowong (-/-). Pemeriksaan kepala, hidung,
mulut, telinga, dan gigi dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium darah rutin
menunjukkan peningkatan leukosit, MCHC,
Neutrofil dan Rasio N/L serta terjadi
penurunan Limfosit dan Eosinofil
akibat diare memberikan prognosis yang
lebih baik. Pasien selanjutnya diobservasi di
ruang Dahlia dengan terapi Infus RL
36cc/jam, Injeksi Diazepam 3mg (kp kejang
berulang), Inj. Paracetamol 100mg/4 jam
(kp T > 38,5oC), Ampicillin 300 mg/6 jam
(skin test), Diazepam puyer 3x1 mg, Syrup
Paracetamol 1 cth/4 jam (kp T > 37,5oC),
Zinc syr 1x1, L-bio 2x1, Puyer batuk
(Salbutamol 1mg + trifed 1/6 tab +
ambroxol 5 mg) 3x1.
Setelah dirawat selama 5 hari, dan
keadaan stabil, pasien diperbolehkan pulang
dengan pemberian edukasi kepada ibu anak
dan keluarga apa yang harus dilakukan
apabila terjadi demam, dan kejang dirumah.
Serta kontrol rutin untuk mengevaluasi
kondisi dan tumbuh kembang anak.
DISKUSI
KEJANG DEMAM
Kasus ini mengambarkan presentasi
klinis pasien dengan kejang demam. Dalam
keadaan yang sering terjadi di IGD pasien
anak datang dengan keluhan demam disertai
kejang sedangkan banyak diagnosis yang
memiliki tanda dan gejala yang sama
sehingga kita sebagai tenaga medis harus
dapat membedakan kejang pada pasien
harus tepat diagnosis dan penatalaksanaan.
(Kliegman, 2016)
Kejang Demam adalah bangkitan
kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh di atas 38°C yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium. Definisi ini
menyingkirkan kejang yang disebabkan
penyakit saraf seperti meningitis, ensefatitis
atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini
mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang
mendasarinya mengenai sistem susunan
saraf pusat.1 Menurut J. Gordon Millichap
membagi kejang demam menjadi 2
golongan, yaitu kejang demam sederhana
(Simple Febrile Seizure) dan kejang demam
kompleks (Complex Febrile
Seizure).(Tejani, 2018)
1. Kejang Demam Sederhana (Simple
Febrile Seizure), dengan ciri-ciri
gejala klinis
sebagai berikut:
• Kejang berlangsung
singkat < 15 menit
• Kejang umum tonik dan
atau klonik
• Umumnya berhenti sendiri
• Tanpa gerakan fokal atau
berulang dalam 24 jam
• Umur penderita 6 bulan- 5
tahun
2. Kejang Demam Kompleks
(Complex Febrile Seizure), dengan
ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut:
• Kejang lama >15 menit
• Kejang fokal atau parsial
satu sisi, atau kejang umum
didahului kejang parsial
• Berulang atau lebih dari 1
kali dalam 24 jam
• Kejang pertama kali pada
umur < 6 bulan atau > 5
tahun
Penyebab kejang demam hingga kini masih
belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa
faktor yang mungkin berperan dalam
menyebabkan kejang demam,yaitu:
1. Demam
2. Efek produk toksik daripada
mikroorganisme (kuman dan virus)
terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang
abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau
elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat
virus) yang ringan atau yang tidak diketahui atau ensefalopati toksik
sepintas
• Anamnesis: Biasanya didapatkan
riwayat kejang demam pada
anggota keluarga yang lainnya
(ayah, ibu, atau saudara kandung).
• Pemeriksaan Neurologis: tidak
didapatkan kelainan.
• Pemeriksaan Laboratorium:
pemeriksaan rutin tidak dianjurkan,
kecuali untuk mengevaluasi sumber
infeksi atau mencari penyebab
(darah tepi, elektrolit, dan
guladarah).
• Pemeriksaan Radiologi: X-ray
kepala, CT scan kepala atau MRI
tidak rutin dan hanya dikerjakan
atas indikasi.
Indikasi CT scan CT Scan atau MRI :
kelainan neurologi fokal menetap
(hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi
struktural di otak. (mikrosefali, spastisitas)
atau terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial (kesadaran menurun, muntah
berulang, UUB menonjol, paresis N.VI,
edema papil)
• Pemeriksaan cairan
serebrospinal (CSS) : tindakan
pungsi lumbal untuk pemeriksaan
CSS dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Pada bayi kecil, klinis
meningitis tidak jelas, maka
tindakan pungsilumbal dikerjakan
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi <12 bulan: diharuskan.
2. Bayi antara 12 – 18 bulan:
dianjurkan.
3. Bayi >18 bulan : tidak rutin,
kecuali bila ada tanda-tanda
meningitis.
• Pemeriksaan Elektro
Ensefalografi (EEG) :tidak
direkomendasikan, kecuali pada
kejang demam yang tidak khas
(misalnya kejang demam
komplikata pada anak usia > 6
tahun atau kejang demam fokal.
Pemberian obat kejang demam
terbagi menjadi 3 yaitu pengobatan saat
kejang, pengobatan rumatan, dan pengobatan intermitten. Pada kasus dengan
kejang demam kompleks, anak dengan
fakor resiko berupa demam yang melebihi
38,5C diberikan terapi pengobatan
intermitten yaitu diazepam dosis 0,3-0,5
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis saat pasien
demam atau intrarectal tiap 8 jam sebanyak
5 mg (BB<12 kg) dan 10 mg
(BB>12kg).(Tejani, 2018; Xixis, Samanta
and Keenaghan, 2023)
Saat ini diazepam merupakan obat
pilihan utama untuk kejang demam fase
akut, karena diazepam mempunyai masa
kerja yang singkat. Diazepam dapat
diberikan secara intravena atau secara
rektal, jika diberikan secara intramuskular
absorbsinya lambat. Pemberian diazepam
secara rektal aman dan efektif serta dapat
pula diberikan oleh orang tua di rumah.
Faktor resiko terjadinya kejang demam
berulang dan harus diberikan terapi
intermitten adalah riwayat kejang demam
dalam keluarga, usia kurang dari 18 bulan,
tingginya suhu sebelum kejang demam,
makin kecil resiko berulangnya kejang
demam; lamanya demam sebelum kejang,
semakin pendek jarak antara mulainya
demam dengan terjadinya kejang, makin
besar resiko berulangnya kejang demam.
Pada kasus ini tidak terdapat faktor faktor
untuk diberikannya pengobatan intermitten,
dimana pada kasus ini suhu anak tidak
sampai 38,5 oC dan juga tidak terdapat
riwayat kejang demam pada keluarga.
Sehingga pada kasus ini hanya diberikan
pengobatan saat kejang. (Xixis, Samanta
and Keenaghan, 2023)
a. Kejang demam akan terjadi kembali
pada sebagian kasus. Faktor resiko
terjadinya kejang demam berulang
adalah:
• riwayat kejang demam dalam
keluarga
• usia kurang dari 15 bulan
• temperatur yang rendah saat kejang
• cepatnya kejang saat demam.
Bila seluruh faktor di atas ada,
kemungkinan berulang 80% sedangkan
bila tidak terdapat faktor tersebut hanya
10% - 15% kemungkinan berulang. Kemungkinan berulang adalah pada
tahun pertama.
b. Epilepsi Faktor resiko lain adalah
terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Faktor resiko menjadi epilepsi adalah:
• kelainan neurologis atau
perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama
• kejang demam kompleks
• riwayat epilepsi pada orang tua atau
saudara kandungDISENTRI AMOEBA
Menurut Dorland, 2011, diare
merupakan pengeluaran tinja, konsistensi
cair, dengan frekuensi berkali-kali yang
tidak normal.
Data dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), 2013, menunjukkan insiden
diare pada balita di Indonesia sebesar 6,7%.
Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi
yaitu Aceh 10,2%, Papua 9,6%, DKI Jakarta
8,9%, Sulawesi Selatan 8,1%, dan Banten
8,0%. Sebagian besar (70%-80%) kasus
adalah anak di bawah 5 tahun (lebih kurang
40 juta kejadian). Sedangkan menurut jenis
kelamin, prevalensi diare pada laki-laki dan
perempuan hampir sama, yaitu 8,9% pada
laki-laki dan 9,1% pada perempuan.(Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
RI, 2013)
Disentri menyebar di seluruh dunia
dengan terpusat pada negara berkembang
yang memiliki tingkat sanitasi yang rendah.
Angka insidensi disentri basiler terbanyak
adalah pada anak-anak dengan usia 1 hingga 4 tahun. Kondisi ini menjadikan disentri
basiler sebagai penyebab diare tersering
pada anak-anak berusia dibawah 5 tahun, di
Afrika dan Asia Selatan. Prinsip penularan
disentri amuba adalah dengan tertelannya
makanan yang terkontaminasi feses yang
mengandung kista matang.
Infeksi Entamoeba Histolytica paling
banyak terjadi di negara subtropis dan tropis
seperti negara negara di Amerika tengah dan
selatan, Asia Pasifik dan Afrika. Di benua
Afrika dan Asia tenggara
infeksi Entamoeba Histolytica menjadi
salah satu penyebab terjadinya diare berat
pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun
yang kemudian berpotensi tinggi
menyebabkan kematian. Oleh sebab itu,
disentri amuba sering ditemukan pada
wisatawan yang melakukan perjalanan ke
wilayah endemik. WHO memperkirakan 4
milyar kasus terjadi di dunia pada tahun
2000 dan 2,2 juta diantaranya meninggal;
sebagian besar anak-anak di bawah umur 5
tahun. Lebih dari 5000 anak meninggal
setiap hari akibat diare. Dari semua
kematian anak akibat diare, 78% terjadi di
Afrika dan Asia Tenggara. Laporan
Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa
penyakit Diare merupakan penyebab
kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan
pada balita (25,2%), sedangkan pada
golongan semua umur merupakan penyebab
kematian yang ke empat (13,2%) (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
RI, 2013)
Disentri adalah peradangan dan infeksi
pada usus, yang mengakibatkan diare yang
mengandung darah atau lendir. Gejala lain
yang mungkin termasuk kram perut, mual,
muntah, dan demam. Kondisi ini dapat
terjadi sebagai akibat dari infeksi bakteri
atau parasit. Infeksi ini biasanya menyebar
sebagai akibat dari kebersihan atau sanitasi
yang buruk.(Ikatan Dokter Anak Indoensia,
2013)
Disentri terbagi jadi dua jenis, yaitu:
Disentri basiler atau shigellosis, yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Shigella.
Dan Disentri amuba atau amoebiasis yang
disebabkan oleh infeksi Entamoeba
histolytica.(Ikatan Dokter Anak Indoensia,
2013)Cara penularan diare pada umumnya
melalui fekal oral yaitu melalui makanan
atau minuman yang tercemar oleh
enteropatogen, atau kontak langsung tangan
dengan penderita atau barang-barang yang
telah tercemar tinja penderita atau tidak
langsung melalui lalat. (4F= field,flies,
fingers, fluid)
Faktor risiko lainnya adalah makanan
yang tidak higienis, tempat penyimpanan
makanan dingin yang kurang, kontak
makanan dengan lalat, dan mengkonsumsi
air minum yang tercemar. Beberapa faktor
risiko dari penderita adalah usia, kebersihan
perorangan, asam lambung dan rintangan
lainnya yaitu intestinal motility, enteric
microflora, imunity dan intestinal receptors.
Tingginya insiden diare salah satunya dapat
disebabkan oleh beberapa jenis bakteri
seperti Vibrio cholera, Salmonella sp,
Shigella sp, Campylobacter jejuni dan
Escherichia coli. Beberapa subtype E.colii
yang dapat menyebabkan diare yaitu :
Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC),
Enterophatogenic Escherichia coli (EPEC),
Enteroaggregative Escherichia coli
(EAEC), Enteroinvasive Escherichia coli
(EIEC) dan Enterohemorraghic Escherichia
coli (EHEC).(Chou and Austin, 2023)
Menurut gejala klinis diare, dapat
diklasifikasikan mejadi tujuh, yaitu:(Ikatan
Dokter Anak Indoensia, 2013)Pemeriksaan fisik yang dinilai pada
penderita diare:
- Keadaan umum, kesadaran, dan
tanda vital
- Tanda utama: keadaan umum
gelisah/cengeng atau
lemah/letargi/koma, rasa haus,
turgor kulit abdomen menurunTanda tambahan: ubun-ubun
besar, kelopak mata, air mata,
mukosa bibir, mulut, dan lidah
- Berat badan
- Tanda gangguan keseimbangan
asam basa dan elektrolit seperti
napas cepat, dan dalam (asidosis
metabolik), kembung
(hipokalemi), kejang (hipo atau
hipernatremi)
- Penilaian derajat dehidrasi
dilakukan sesuai dengan kriteria
berikut:
a. Tanpa dehidrasi (kehilangan
cairan <5% berat badan)
- Tidak ditemukan tanda
utama dan tanda tambahan
- Keadaan umum baik, sadar
- Ubun ubun besar tidak
cekung, mata tidak cekung, air
mata ada, mukosa mulut dan
bibir basah
- Turgor abdomen baik,
bising usus normal
- Akral hangat
b. Dehidrasi ringan sedang/ tidak
berat (kehilangan cairan 5-
10% berat badan)
- Apabila didapatkan 2 tanda
utama ditambah 2 atau lebih
tanda tambahan
- Keadaan umum gelisah
atau cengeng
- Ubun ubun besar sedikit
cekung, mata sedikit cekung,
air mata kurang, mukosa mulut
dan bibir sedikit kering’turgor
kurang, akral hangat
c. Dehidrasi berat (kehilangan
cairan >10% berat badan)
- Apabila didapatkan 2 tanda
utama ditambah 2 atau lebih
tanda tambahan
- Keadaan umum lemah,
letargi atau koma
- Ubun-ubun sangat cekung,
air mata tidak ada, mukosa
mulut dan bibir sangat kering,
- Turgor sangat kurang dan
akral digin
- Pasien harus rawat inap
Lebih lanjut, diare juga dapat dibagi
berdasarkan lamanya waktu terjadinya
diare, yaitu diare akut dan diare persisten.
Diare akut adalah buang air besar lebih dari
3 kali dalam 24 jam, dengan konsistensi
cair, dan berlangsung kurang dari 1 minggu.
Diare persisten yaitu episode diare yang
diperkirakan penyebabnya adalah infeksi
dan mulainya sebagai diare akut, tetapi
berakhir lebih dari 14 hari. Diare persisten
sering berhubungan atau bersamaan dengan
intoleransi laktosa atau protein susu sapi.
Intoleransi laktosa dan protein susu sapi
dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan.
Kedua keadaan ini terjadi sekunder terhadap
kerusakan mukosa karena infeksi,
malnutrisi atau reaksi alergi susu sapi atau
protein lain.(Ikatan Dokter Anak Indoensia,
2013)
Diare pada anak secara umum dapat
meberikan manifestasi klinis berupa:
1. Diare cair
2. Rasa haus
3. Rewel
4. Lemah
5. Kesadaran menurun
6. Demam
7. Sesak
8. Kejang
9. Kembung
10. Muntah
Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada anak dengan diare antara
lain yaitu, pemeriksaan tinja, terutama
apabila ada tanda intoleransi laktosa dan
kecurigaan amubiasis. Hal yang dinilai adalah makroskopis (konsistensi, warna,
lendir, darah, dan bau), mikroskopis
(leukosit, eritrosit, parasite, dan bakteri),
kimia (pH, clinitest, elektrolit (Na, K,
HCO3)). Analisis gas darah dan elektrolit
dilakukan jika dicurigai adanya ganguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit.11
Prinsip-prinsip pengobatan pada diare
adalah rehidrasi. Diare berair disebabkan
oleh organisme selain Vibrio cholerae
biasanya sembuh sendiri dan tidak
memerlukan terapi antibiotic. The
Integrated Management of Childhood
Illness (IMCI) merekomendasikan
penggunaan antimikroba oral hanya untuk
anak-anak dengan diare berdarah (amuba
atau disentri bakteri), kolera, dan giardiasis.
Tatalaksana Suportif pada Disentri:
• Masuk Rumah Sakit untuk anak gizi
buruk dan bayi muda <2 bulan,
keracunan, letargi, perut kembung,
dan nyeri tekan atau kejang serta
rewsiko sepsis.
• Penanganan dehidrasi dan
Pemberian Makanan.
• Suplemen Zinc
• Jangan berikan obat simtomatis
untuk keluhan nyeri perut, nyeri
anus, maupun untuk mengurangi
frekuensi BAB karena dapat
memperburuk kondisi pasien, dan
tidak terbukti bermanfaat untuk
mencegah dehidrasi dan
memperbaiki gizi.
Tatalaksana Antibiotik pada Disentri,
banyak laporan resistensi shigella terhadap
ampicillin, kotrimoksazol, klorampenikol,
tetrasiklin, gentamicin, Pilihan Terapi:
• Ceftriaxone IV/IM 50-100
mg/kgBB/hari
• Cefixim 8 mg/kgBB/hari 1-2 dd
• Asam nalidisik 55 mg/kgBB/hari 4
dd
• Azitromisin 12 mg/kgBB/hari. Hari
pertama lanjut 6 mg/kgBB/hari
selama 4 hari
• Ciprofloksasin 20-30 mg/kg/hari 2
dd.
Antibiotik diberikan minimal selama 5
hari.
✓ Jika hasil Laboratorium Feses rutin
sudah keluar : Amoeba (+) beri Metronidazol30-50 mg/kgBB/hari
3 dd selama 5 hari.
Strategi pengendalian penyakit diare
yang yang dilaksanakan yaitu LINTAS
Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare ):
1. Berikan Oralit
Untuk mencegah terjadinya
dehidrasi dapat dengan memberikan
oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak
tersedia berikan cairan rumah tangga
seperti air tajin, kuah sayur, air matang.
Bila penderita tidak bisa minum harus
segera di bawa ke sarana kesehatan
untuk mendapat pertolongan cairan
melalui infus.(Ikatan Dokter Anak
Indoensia, 2013)
Derajat dehidrasi dibagi dalam 3
klasifikasi :
a. Diare tanpa dehidrasi
Dosis oralit bagi penderita
diare tanpa dehidrasi sbb : Umur <
1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali
anak mencret. Umur 1–4 tahun: ½ -
1 gelas setiap kali anak mencret.
Umur diatas 5 Tahun : 1– 1½ gelas
setiap kali anak mencret.
b. Diare dehidrasi Ringan/Sedang
Dosis oralit yang diberikan
dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb
dan selanjutnya diteruskan dengan
pemberian oralit seperti diare tanpa
dehidrasi.
c. Diare dehidrasi berat
Penderita diare yang tidak
dapat minum harus segera dirujuk
ke Puskesmas untuk di infus.
2. Berikan obat zinc
Zinc merupakan salah satu
mikronutrien yang penting dalam tubuh.
Zinc dapat menghambat enzim INOS
(Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana
ekskresi enzim ini meningkat selama diare
dan mengakibatkan hipersekresi epitel
usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi
dinding usus yang mengalami kerusakan
morfologi dan fungsi selama kejadian diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita: - Umur <
6 bulan: ½ tablet(10mg) per hari selama 10
hari - Umur > 6 bulan: 1 tablet (20mg) per
hari selama 10 hari.
Pemberian ASI / Makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada
penderita terutama pada anak agar tetap kuat
dan tumbuh serta mencegah berkurangnya
berat badan. Anak yang masih minum Asi
harus lebih sering di beri ASI.
Pemberian Antibiotika hanya atas
indikasi.Berdasarkan Pathogen Penyebab Diare.
Prognosis diare dengan pemberian
penggantian cairan yang adekuat, perawatan
yang mendukung, dan terapi antimikrobial
jika diindikasikan, prognosis diare infeksius
hasilnya sangat baik dengan morbiditas dan
mortalitas yang minimal