Kusta merupakan penyakit infeksi granulomatous
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae dan terutama menyerang saraf perifer.
Perkembangan kusta tuberkuloid atau lepromatosa
tergantung dari keseimbangan Th
1-Th
2. Pada
bentuk tuberkuloid, respon imun yaitu tipe Th
1.
Sedangkan pada bentuk lepromatosa, ada respon
Th
2. Reaksi kusta merupakan episode inflamasi akut
atau subakut yang dimediasi oleh proses imunologis
pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat kronis,
yang dapat mengenai kulit, saraf, membran mukosa
dan lokasi lain. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum,
selama dan sesudah pengobatan. Terdapat peran
sitokin dalam reaksi kusta. Pengenalan tentang
sitokin-sitokin yang disekresikan pada spektrum
kusta dapat mempermudah proses klasifikasi kasus
borderline dan memungkinkan pengobatan dini
berdasarkan tipe kusta sehingga angka kecacatan
bisa diminimalkan.
Kusta didefinisikan sebagai penyakit infeksi kronis
yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan
terutama menyerang kulit dan saraf perifer.1 Kusta
berasal dari bahasa India kustha yang telah dikenal
sejak 1400 tahun sebelum masehi. Penyakit kusta
disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama
dr. Gerhard Armauwer Hansen yang menemukan
bakteri penyebabnya pada tahun 1874 di
Norwegia.
Kusta merupakan penyakit yang dapat
memicu komplikasi berupa ulserasi, mutilasi,
dan deformitas. Komplikasi terjadi akibat kerusakan
saraf sensorik dan motorik yang irreversibel, serta
akibat adanya kerusakan berulang pada daerah
anestesi yang disertai paralisis dan atrofi otot.3
Kusta tidak hanya memicu komplikasi dari
segi medis, namun dapat meluas hingga masalah
sosial dan ekonomi akibat adanya stigma negatif
dari masyarakat.
Patogenesis kerusakan saraf kusta melibatkan
berbagai macam sitokin. Pengenalan tentang
sitokin-sitokin yang disekresikan pada spektrum
kusta amatlah penting diketahui, dengan tujuan
untuk mempermudah proses klasifikasi kasus
borderline dan memungkinkan pengobatan dini
berdasarkan tipe kusta sehingga angka kecacatan
bisa diminimalkan
Received: 2018-10-05
Accepted: 2018-11-28
Diterbitkan: 2018-12-1
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data WHO tahun 2016, angka kejadian
kasus kusta baru yaitu sebesar 216.108 (0,21 per
10.000 penduduk) yang berasal dari 145 negara
di dunia. Di Indonesia, angka prevalensi kusta
mencapai 0,71 per 10.000 penduduk dengan angka
penemuan kasus baru sebesar 16.826 kasus (6,50 per
100.000 penduduk) pada tahun 2016. Dari jumlah
kasus baru tersebut, 4,19% diantaranya yaitu tipe
multibasiler. Sedangkan menurut jenis kelamin,
62,47% diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan
37,53% lainnya berjenis kelamin perempuan.2
Secara nasional, Indonesia telah mencapai status
eliminasi kusta pada tahun 2000, dimana prevalensi
kusta mencapai <1 per 10.000 penduduk (<10 per
100.000 penduduk). Namun, masih ada 11 provinsi
yang belum mencapai status eliminasi kusta,
antara lain Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara,
Papua, serta Papua Barat. Di tahun 2016, terdapat
penambahan provinsi yang mencapai eliminasi
yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Kalimantan
Utara.2
Angka cacat tingkat 2 pada tahun 2016 yaitu
sebesar 5,27 per 1.000.000 penduduk, menurun
dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 6,60 per
1.000.000 penduduk. Provinsi dengan angka cacat
tingkat 2 tertinggi pada tahun 2016 yaitu Maluku
Utara (13,49 per 1.000.000 penduduk), Sulawesi
Selatan (13,25 per 1.000.000 penduduk) dan Papua
(11,85 per 1.000.000 penduduk). Angka cacat
tingkat 2 merupakan indikator keberhasilan dalam
mendeteksi kasus baru kusta. Angka yang tinggi
menunjukkan keterlambatan dalam penemuan
kasus di lapangan.
ETIOPATOGENESIS
Etiologi
Patogen penyebab penyakit kusta yaitu
Mycobacterium leprae (M. leprae). Patogen ini
bersifat obligat intraseluler, aerob, tidak dapat
dibiakkan secara in vitro, berukuran 3-8 µm x 0,5
µm, tahan asam dan alhohol, serta merupakan
bakteri basil Gram positif.3 M. leprae bereplikasi
dengan pembelahan biner dengan waktu yang
sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Bentuk bakteri
ini sedikit melengkung, bereplilasi optimal pada
suhu antara 27°C - 30°C secara in vivo, dan
tumbuh baik pada jaringan yang lebih dingin.3,6
Keefektifan patogen ini bergantung pada dua
elemen strukturnya, yaitu kapsul dan dinding sel.
Kapsulnya terdiri dari sejumlah besar lipid, terutama
phthiocerol dimycocerosate dan fenolat glikolipid I,
yang merupakan target immunoglobulin (Ig) M.
Komponen penting lainnya dari dinding sel yaitu
lipoarabinomannan yang merupakan antigen untuk
makrofag.
Transimisi
M. leprae mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5
tahun, akan namun dapat juga berlangsung hingga
40 tahun.2,3 Mekanisme bagaimana patogen ini
ditransmisikan belum bisa dipahami, namun
diketahui bahwa M. leprae memiliki tingkat
penularan rendah. Kontak yang sering, erat,
dan lama yaitu faktor risiko yang diketahui
berkontribusi dalam penularan penyakit ini. Jumlah
bakteri dilaporkan tinggi pada kusta lepromatosa,
sebanyak 7 juta basil pada satu gram jaringan.
Kelangsungan hidup bakteri ini di luar tubuh
yaitu 36 jam sampai 9 hari.6,7
Patogenesis
M. leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi
yang rendah. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh
biasanya melalui sistem pernafasan. Patogenisitas
yang rendah memicu hanya sebagian kecil
orang yang terinfeksi yang memicu tandatanda penyakit. sesudah memasuki tubuh, bakteri
bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke dalam
sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam
makrofag, sel-sel otot, dan sel-sel endotel pembuluh
darah.
sesudah memasuki sel Schwann atau makrofag,
keadaan bakteri tergantung pada perlawanan dari
individu yang terinfeksi. Peningkatan jumlah bakteri
dalam tubuh dan infeksi akan memicu sistem imun
berupa limfosit dan histiosit (makrofag) untuk
menyerang jaringan yang terinfeksi. Pada tahap
ini, manifestasi klinis mungkin muncul sebagai
keterlibatan saraf disertai dengan penurunan
sensasi. jika tidak didiagnosis dan diobati pada
tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan
oleh kekuatan respon imun pasien.
Sistem imun seluler (SIS) memberi
perlindungan terhadap penderita kusta. saat SIS
spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam
tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau
memicu kusta dengan tipe pausibasiler
(PB). jika SIS rendah, infeksi menyebar tidak
terkendali dan memicu kusta dengan tipe
multibasiler (MB). Dalam perjalanan kronis
penyakit dapat timbul peningkatan respon imun
secara tiba-tiba karena efek pengobatan atau
perubahan status imunitas sehingga menghasilkan
peradangan kulit dan atau saraf serta jaringan
lainnya. Hal ini disebut sebagai reaksi kusta (tipe 1
dan 2).
Respon Imun
Respon imunologi terhadap M. leprae tidak hanya
menentukan perjalanan penyakit, namun juga
menentukan tipe kusta yang akan bermanifestasi.
Pasien-pasien kusta tuberkuloid mampu
membatasi pertumbuhan patogen dan memiliki
respon sel T yang kuat terhadap M. leprae. Hal ini
ditandai dengan produksi sitokin-sitokin sel Th
1
yang membentuk granuloma tuberkuloid terkait
dengan imunitas protektif dan destruktif M. leprae.
Sebaliknya, pasien-pasien kusta lepromatosa
menunjukkan respons sel T yang lemah terhadap
M. leprae. Lesi-lesi pada kusta lepromatosa
mengekspresikan sitokin-sitokin sel Th
2 (IL-4,
IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-10), yang berperan untuk
produksi antibodi, inhibisi fungsi makrofag
(terbentuk granuloma makrofag), dan supresi
SIS, sehingga memungkinkan bakteri intraseluler
bermultiplikasi.
Dinamika respon imun alamiah pada kusta
dapat dipahami dengan mengetahui hubungan
antibodi spesifik M. leprae dan sekresi berbagai
sitokin (IFN-ϒ, IL-2, IL-5, IL-10, IL-6, TNF-α, dan
granulocyte macrophage colony-stimulating factor
[GM-CSF]) pada pasien kusta. Sitokin IFN-γ dan
TNF-α bersifat imunoprotektif, sedangkan IL-2 dan
IL-10 bersifat imunosupresif terhadap M. leprae.
11
Pada tahap proteksi awal, mekanisme nonspesifik
terutama dilakukan oleh monosit yang berperan
sebagai sel fagosit. Selain monosit, respon terhadap
infeksi juga meningkatkan produksi neutrofil dari
sumsum tulang. Produksi neutrofil diinduksi oleh
sitokin CSF. Neutrofil memfagosit mikroba yang
ada di dalam sirkulasi maupun mikroba di dalam
jaringan ekstravaskular dan menghasilkan lisis
parsial. Neutrofil hanya bertahan beberapa jam,
sementara monosit dalam sirkulasi bertahan hingga
lima hari. Namun, sel-sel monosit dapat bermigrasi
ke jaringan ikat dan bertahan selama beberapa
bulan sebagai histiosit.
Sebagian bakteri yang lolos akan ikut bersama
monosit di dalam aliran darah. Selama berada
dalam monosit, bakteri tersebut bahkan dapat
bereplikasi (Troyan horse phenomenon) dan masuk
ke berbagai organ. Monosit yang terstimulasi ini
berdiferensiasi menjadi makrofag dengan aktifitas
energetik yang tinggi, dan mampu membentuk selsel epiteloid pada kusta tipe TT dan sel-sel lepra (sel
Virchow) pada kusta tipe LL. Makrofag-makrofag
yang teraktivasi pada kusta tipe TT juga mampu
memfagositosis basil intraneural. Makrofag juga
berperan sebagai antigen presenting cell (APC) baik
pada respon imunitas selular maupun humoral.
Bakteri yang keluar dari monosit yang mati dan
pecah akan menginvasi sel-sel Schwann dan masuk
ke dalam vakuola-vakuola fagositik (fagosom),
sehingga dapat bermultiplikasi dan terlindungi dari
antibodi maupun makrofag. Namun, M. leprae juga
dapat meninggalkan tempat persembunyiannya
dan masuk ke jaringan perineural, sehingga
akhirnya terbentuk granuloma epiteloid. Sel-sel
Schwann tidak memiliki enzim lisosomal untuk
menghancurkan bakteri, sehingga basil M. leprae
dapat bertahan untuk waktu yang lama.
KLASIFIKASI
Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan
regimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.
Menurut WHO, pengelompokan kusta dibagi
menjadi 2 bentuk yaitu tipe pausibasiler dan
multibasiler.
Klasifikasi yang sering digunakan yaitu
klasifikasi oleh Ridley dan Jopling (1962)
berdasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis,
imunologis dan histopatologis, yaitu kusta tipe
Tuberkuloid Tuberkuloid (TT), Borderline
Tuberkuloid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline
Lepromatosa (BL) dan Lepromatosa Lepromatosa
(LL). Secara klinis, kusta memicu
ketidakstabilan pada sistem imunitas pejamu yang
mencerminkan spektrum penyakitTingkat Kerusakan Saraf
Sebagian besar masalah kecacatan pada kusta terjadi
akibat penyakit kusta yang terutama menyerang
saraf perifer. Menurut Srinivasan, saraf perifer
yang terkena akan mengalami beberapa tingkat
kerusakan, yaitu:
Stage of involvement
Pada tingkat ini, saraf menjadi lebih tebal dari
normal dan mungkin disertai nyeri tekan dan nyeri
spontan pada saraf perifer tersebut, namun belum
disertai gangguan fungsi saraf misalnya anestesi
atau kelemahan otot.
Stage of damage
Pada tingkat ini, saraf telah rusak dan fungsi
saraf tersebut terganggu. Diagnosis stage of damage
ditegakkan bila saraf telah mengalami paralisis yang
tidak lengkap atau lengkap lebih dari 6-9 bulan.
Pengobatan pada tingkat ini, kerusakan saraf yang
permanen dapat dihindari.
Stage of destruction
Pada tingkat ini, saraf telah rusak secara lengkap.
Diagnosis stage of destruction dapat ditegakkan
bila terjadi kerusakan atau paralisis saraf secara
lengkap selama lebih dari satu tahun. Pada tingkat
ini, fungsi saraf tidak dapat diperbaiki walaupun
dengan pengobatan.
Kerusakan Saraf pada Kusta Tipe Pausibasiler
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan
ditangkap oleh APC dan melalui dua sinyal yaitu
sinyal pertama dan sinyal kedua. Sinyal pertama
bergantung pada TCR (T-cell receptor) terkait
antigen yang dipresentasikan oleh molekul
Major Histocompatibility Complex (MHC) pada
permukaan APC. Sedangkan sinyal kedua yaitu
produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan
dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi
dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua
sinyal ini akan mengaktivasi T0
sehingga T0
akan
berdiferensiasi menjadi Th
1 dan Th
2. Adanya
TNF-α dan IL-12 akan membantu differensiasi T0
menjadi Th
1.15,16
Th
1 akan menghasilkan IL-2 dan IFN-γ yang
akan meningkatkan fagositosis makrofag (fenolat
glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae
akan berikatan dengan C3 melalui reseptor
CR1, CR3, CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL-2
juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam
fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri
dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida
dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan
bakteri secara kimiawi. Karena gagal membunuh
antigen maka sitokin dan growth factors akan terus
dihasilkan dan akan merusak jaringan. Akibatnya
makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan
sitoplasma dan organela dari makrofag akan
membesar. Pada kondisi ini makrofag sudah disebut
dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini
akan membentuk suatu granuloma.
Makrofag-makrofag fagositik pada kusta tipe
TT (Mitsuda-positif) dapat menghancurkan
semua basil, sehingga memberi informasi
antigen yang diekspresikan pada permukaan
MHC kelas II, yang dipresentasikan oleh APC, dan
menginduksi imunitas selular (melibatkan sel Th
1
yang mensekresi IL-2 dan IFN-ϒ). Makrofag yang
mengandung basil M. leprae akan menginduksi
perkembangan sel-sel epiteloid. Namun, saat MHC
kelas I terlibat, sel-sel limfosit T-sitotoksik (CD8+)
dapat beraksi pada makrofag-makrofag lain untuk
mengeliminasi organisme dengan cara apoptosis.11
Kerusakan Saraf pada Kusta Tipe Multibasiler
Th
2 menghasilkan sitokin IL-4, IL-10, IL-5, dan
IL-13. IL-5 mengaktivasi eosinofil, IL-4 dan IL-10
mengaktivasi makrofag, IL-4 mengaktivasi sel B
untuk menghasilkan IgG dan IgE, sementara IL-4,
IL-10, dan IL-13 mengaktivasi sel mast.15
Sinyal pertama tanpa adanya sinyal kedua
akan menginduksi adanya sel T anergi. Tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan
memicu respon ke arah Th
2. Pada kusta
tipe tuberkuloid, dapat dilihat bahwa Th
1 akan
lebih tinggi dibandingkan dengan Th
2, sedangkan
pada kusta lepromatosa, Th
2 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th
Pada pasien kusta LL (Mitsuda-negatif),
makrofag fagositik menghasilkan lisis bakteri
parsial. Fosfolipid bakteri ditelan masuk dalam
vakuola sitoplasmik, menghasilkan sel-sel lepra
(sel Virchow). Selama fase awal, tidak ada stimulasi
imun yang berperan. Diduga bahwa disfungsi
mitokondria dari makrofag “Mitsuda negatif ”
memicu produksi radikal bebas berlebihan
dan depresi fosfolipase lisosomal. Pada fase lanjut
kusta lepromatosa, makrofag-makrofag lain dapat
memfagosit sel Virchow, sehingga memberi
informasi neoantigenik yang terekspresikan pada
MHC kelas II, merangsang APC baru, mensekresi
IL-4, dan menstimulasi imunitas humoral.
Kerusakan Saraf Kusta pada Reaksi Reversal
Reaksi reversal (RR) atau reaksi tipe 1 terjadi karena
adanya peningkatan hebat dan tiba-tiba dari respon
imun seluler, yang memicu respon inflamasi
atau peradangan kulit atau saraf pada pasien tipe
borderline (BT, BB, dan BL).18 Lesi kulit yang telah
ada menjadi lebih eritematosa dan dapat disertai
timbulnya lesi baru. Lesi kulit dapat disertai dengan
neuritis ringan hingga berat. Kondisi neuritis ini
yang dapat memicu terjadinya kerusakan
saraf lebih parah.
Walaupun pencetus utama belum diketahui,
namun diperkirakan ada hubungannya dengan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pemeriksaan
imunohistokimia menunjukkan peningkatan
TNF di kulit dan saraf selama reaksi tipe 1
dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian
di India, didapatkan respon antibodi ke antigen
18kDa secara signifikan lebih tinggi pada pasien
dengan reaksi tipe 1 dibandingkan pasien TT atau
borderline tanpa reaksi tipe 1.
Penderita kusta tipe MB maupun PB dapat
mengalami reaksi tipe 1. Sekitar seperempat
dari seluruh penderita kusta kemungkinan akan
mengalami reaksi tipe 1.
Reaksi tipe 1 paling sering
terjadi dalam enam bulan sesudah mulai pengobatan.
Namun, beberapa penderita mengalami reaksi tipe 1
sebelum mulai berobat,dan memicu penderita
datang untuk berobat. Sebagian kecil penderita
mengalami reaksi lebih lambat, baik selama masa
pengobatan maupun sesudahnya.8,20 Reaksi tipe 1
dapat bersifat upgrading (reaksi reversal) jika
terjadi peningkatan imunitas seluler sehingga
memicu pergeseran spektrum ke arah
tuberkuloid atau downgrading jika terjadi
penurunan imunitas seluler sehingga memicu
pergeseran spektrum ke arah lepromatosa.8,19
Kerusakan Saraf Kusta pada Reaksi ENL
Reaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum
(ENL) yaitu komplikasi imunologis paling serius
pada pasien BL dan LL. Hal ini terjadi jika basil
leprae dalam jumlah besar terbunuh dan secara
bertahap dipecah. Protein dari basil yang mati
mencetuskan reaksi alergi yang akan mengenai
seluruh tubuh dan memicu gejala sistemik
karena protein ini terdapat di aliran darah. Pada
reaksi ini terjadi peningkatan deposit kompleks
imun di jaringan. Lebih jauh, pada ENL terjadi
peningkatan sementara respon imunitas yang
diperantarai sel dengan ekspresi pada sitokin tipe
Th
1. Sel T yang utama pada ENL yaitu CD4+. TNF
dan IL-6 juga muncul pada lesi kulit ENL, sementara
kadar IL-4 yang rendah mendukung peran Th
1
pada reaksi ini. Gejala konstitusional yang muncul
berupa demam, menggigil, nyeri sendi, mual, nyeri
pada saraf, dan otot dari ringan sampai berat. Pada
reaksi ENL efloresensi yang tampak berupa nodul
eritema dan nyeri dengan tempat predileksi lengan
dan tungkai. Pada kasus berat dapat menyerang
sistemik, sehingga memicu iridosiklitis,
neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan
nefritis akut dengan proteinuria.
ENL hanya terjadi pada penderita tipe MB,
dan terutama timbul pada tipe lepromatosa polar.
Namun, hal ini dan dapat juga timbul pada tipe
BL. Pada ENL tidak terjadi perubahan tipe, berarti
bahwa semakin tinggi tingkat multibasilarnya
semakin besar kemungkinan timbulnya ENL.
ENL termasuk respon imun humoral, dimana
terjadi fenomena kompleks imun akibat reaksi
antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, IgG),
dan komplemen. Kadar imunoglobulin penderita
kusta tipe lepromatosa lebih tinggi daripada tipe
tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena jumlah
kuman tipe lepromatosa jauh lebih banyak daripada
tipe tuberkuloid. ENL lebih sering terjadi pada masa pengobatan. Banyaknya kuman lepra yang
mati dan hancur memicu banyak antigen
yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun
tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang
akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
Lesi pada ENL dapat berupa papul kecil
ataupun nodul berwarna kemerahan dan nyeri
pada penekanan. Secara klinis reaksi tipe 2 dibagi
menjadi bentuk ringan jika hanya ditemukan
lesi kulit tanpa rasa nyeri maupun gangguan fungsi
saraf dan organ lain, dan bentuk berat jika
terdapat lesi kulit yang disertai gangguan saraf,
gejala sistemik dan gangguan pada organ lain.
Pada suatu studi, dikatakan bahwa ENL yaitu
komplikasi imunologi yang serius serta sukar
ditangani. Sebagian besar penderita dengan ENL
akan mengalami beberapa kali episode multipel
akut atau kronik. Mekanisme imunologi ENL
belum sepenuhnya dimengerti. Peningkatan TNF-α
serta IL-6 pada kasus yang lebih berat menunjukkan
respon cell-mediated immune (CMI) juga berperan
dalam terjadinya ENL.
PERAN SITOKIN DALAM KERUSAKAN
SARAF PADA KUSTA
Interleukin-2 (IL-2) dan Interferon-ϒ(IFN-ϒ)
Respons imun seluler merupakan aspek
penting dalam resistensi pejamu terhadap infeksi
mikobakterial. Hipotesis mengatakan bahwa
spektrum klinis kusta menunjukkan keseimbangan
antara Th
1 dan Th
2. Terdapat regulasi silang antara
kedua subset sel Th, yaitu sitokin-sitokin Th
1 akan
menekan sel-sel Th
2 dan sebaliknya. Respon
sel T terhadap mikobakteria akan mengaktivasi
dan memicu proliferasi sel-sel Th
1 dan
melepaskan IL-2. IL-2 menstimulasi ekspansi selsel Th
2 dan sel-sel natural killer (NK) pada lesi,
sehingga menghasilkan peningkatan produksi
IFN-ϒ. Sitokin IFN-ϒ akan mengaktivasi makrofag,
sehingga mensekresi IL-2. Keberadaan IL-2 dapat
memacu SIS terhadap patogen intraselular pada
kusta tuberkuloid. Hal yang sebaliknya terjadi pada
kusta lepromatosa selama progresi penyakit.
Interleukin-10 (IL-10)
Awalnya IL-10 dianggap sebagai faktor yang
disekresi oleh sel-sel Th
2 dan menghambat
sintesis sitokin dan proliferasi sel-sel Th
1. Namun,
monosit juga menjadi sumber utama sitokin ini.
Keseimbangan antara monosit penghasil IL-
12 dan IL-10 penting untuk hasil akhir respon
sitokin sel T. Beberapa sel Th
1 manusia juga
ada yang menghasilkan IL-10, yang merupakan
sitokin anti-inflamasi. Fungsi sel-sel Th
1 manusia
bersifat heterogen, beberapa berfungsi sebagai
pro-inflamasi dan yang lain sebagai anti-inflamasi.
Kekuatan ekspresi IL-12 dan lemahnya ekspresi IL-
10 pada lesi-lesi TT terjadi akibat lepasnya IFN- ϒ
lokal
Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α)
Sitokin TNF-α merupakan sitokin kunci yang
terlibat dalam respons pejamu melawan berbagai
patogen, termasuk mikobakteria. Sitokin ini bersifat
pro-inflamasi untuk aktivasi makrofag dan formasi
granuloma dalam mencegah perluasan infeksi
mikobakteria. TNF-α berlawanan dengan kadar
IL-2 (antagonis). Produksi TNF-α yang berlebih
pada kusta tipe TT dan BT, menunjukkan bahwa
sitokin ini dapat mencegah terjadinya bentuk yang
lebih parah dari penyakit kusta.
TNF-α juga merupakan salah satu sitokin
yang secara aktif diproduksi oleh sel-sel
polimorfonuklear (PMN) in vitro. Migrasi PMN
ke lokasi inflamasi sangat berkaitan dengan
konsentrasi kemoatraktan lokal dan ekspresi
molekul adhesi in situ. Lipopolisakarida (LPS)
mikobakteria yang merupakan penginduksi
utama monosit, juga dapat menstimulasi neutrofil
untuk memproduksi TNF-α. Sel-sel T tampaknya
secara parsial terlibat dalam perekrutan neutrofilneutrofil dan mempengaruhi fungsi efektor PMN
di lokasi infeksi. TNF-α merupakan sitokin yang
penting untuk pembentukan granuloma, yang
merupakan gambaran patologis dasar pada kusta
di kulit dan saraf, serta untuk pergerakan leukosit
selama inflamasi. Peningkatan rasio TNF-α/IL-
berperan untuk mengendalikan invasi dan replikasi
mikobakteria. Rasio TNF-α/ IL-10 yang lebih tinggi
berkaitan dengan prognosis yang lebih baik.
Kadar TNF-α dalam serum pasien kusta akan
menurun sesudah pemberian MDT (multi-drug therapy) sesuai dengan penurunan jumlah bakteri.
Penurunan produksi sitokin ini dapat terlihat
dari lesi kulit pasien kusta TT sesudah pemberian
MDT, namun akan tetap tinggi pada kusta TT yang
tidak diobati. Kusta tipe LL/BL yang telah diterapi
selama enam bulan tidak menunjukkan perubahan
yang bermakna. Perlu ditekankan bahwa defek
imunitas selular spesifik pada pasien LL bersifat
permanen dan tidak dapat dikembalikan dengan
pengobatan.11,25
Reaksi kusta juga berkaitan dengan perubahan
aktivitas sitokin, terutama sitokin proinflamasi
misalnya TNF-α. Inflamasi pada RR terjadi akibat
peningkatan proliferasi sel T terhadap antigen M.
leprae, peningkatan produksi IL-1β, IL-2, TNF-α
dan IFN-ϒ, serta penurunan kadar IL-4, IL-5 dan
IL-10. Hal ini menunjukkan peningkatan respon
imunitas seluler terhadap M. leprae. TNF-α akan
meningkat oleh induksi IFN-ϒ dan mekanisme
autokrin (autoregulasi). Sitokin ini juga berperan
penting dalam proses inflamasi (episode reaksi)
dan kerusakan jaringan dan saraf (induksi
apoptosis). Kadar TNF-α dalam serum meningkat
sesuai keparahan penyakit pada reaksi tipe 1 dan
tipe 2
Hasil studi Manandhar dkk., menunjukkan
bahwa sel-sel mononuklear darah perifer dari
pasien-pasien kusta dengan RR yang tidak diobati
secara bermakna memiliki kadar TNF-α yang lebih
tinggi dibandingkan pasien kusta tanpa reaksi.
Umumnya IFN-ϒ dan TNF-α pada pasien dengan
RR menurun selama terapi steroid, namun kadar
TNF-α meningkat jika dosis steroid diturunkan.
Kadar IL-10 juga meningkat selama periode terapi
steroid dan sangat berkaitan dengan kadar TNF-α.
Peningkatan IL-10 merupakan koreksi alamiah
untuk episode inflamasi. Hasil studi lainnya oleh
Faber dkk., menunjukkan peningkatan TNF-α pada
empat dari tujuh pasien kusta dengan reaksi.
Berbagai bukti menyatakan bahwa TNF-α
berperan penting dalam patogenesis ENL. Kadar
sitokin ini meningkat akibat pelepasan TNF-α secara
spontan oleh sel-sel mononuklear darah perifer dan
stimulasi komponen dinding sel M. leprae. Tidak
ditemukan korelasi antara gejala sistemik dengan
kadar TNF-α. Dapat disimpulkan bahwa TNF-α
berperan dalam reaksi kusta, baik secara langsung
maupun secara sinergik bersama sitokin lainnya.
Rekurensi episode reaksi dapat terjadi karena infeksi
lain misalnya abses gigi atau periodontal, sehingga
meningkatkan sitokin-sitokin di antaranya TNF-α.
Kadar IL-2 dan TNF-α yang tinggi berhubungan
dengan relaps kusta tipe borderline lepromatosa
(BL)/lepromatosa (LL) menjadi tipe tuberkuloid
(TT)/borderline tuberkuloid (BT). Sedangkan pada
kusta tipe TT/BT yang relaps menjadi tipe BL/LL,
terjadi peningkatan produksi sitokin-sitokin Th
2
(IL-4, IL-5, IL-6, IL-10). Kadar IL-10 yang tinggi
juga berkaitan dengan reaktivasi.
Peran TNF-α pada Imunopatogenesis ENL
Konsep klasik terjadinya ENL yaitu terjadinya
fenomena Arthus, di mana terjadi kompleks
antigen antibodi yang selanjutnya akan mengendap
di sepanjang pembuluh darah yang akhirnya
memicu vaskulitis. Kadar TNF-α yang
berlebihan dan IL-6 yang meningkat pada serum
penderita ENL menandakan bahwa respon imun
seluler sangat berperan terhadap mekanisme
terjadinya ENL. TNF-α berasal dari beragam sel
terutama fagosit mononuklear dan sel T yang
diaktifkan oleh antigen, sel NK dan sel mast. Efek
biologinya dapat berpengaruh baik secara lokal
maupun sistemik, serta dapat bersifat protektif
maupun patologis tergantung pada konsentrasi,
lama pajanan, dan tersedianya mediator lain
pada lingkungan seluler. Produksi lokal dapat
meningkatkan pertahanan tubuh terhadap
patogen dengan memberi respon inflamasi
yaitu memicu datangnya neutrofil dan
monosit ke tempat infeksi serta mengaktifkan selsel tersebut untuk membunuh mikroba, memacu
ekspresi vascular cell adhesion molecule (VCAM),
merangsang makrofag mensekresi kemokin dan
menginduksi kemotaksis, merangsang fagosit
mononuklear untuk mengsekresi IL-1 dengan efek
yang sama dengan TNF-α dan sebagainya.
Seperti diketahui bahwa neutrofil berguna
untuk pergerakan sel, meliputi E-selectin yang
diregulasi oleh IL-1β. Aktivasi Toll-Like Receptor
2 (TLR2) secara in-vitro menginduksi IL-1β yang
bersama dengan IFN-γ akan merangsang ekspresi
E-selectin dan perlekatan neutrofil pada sel endotel
(Gambar 6). Sedangkan bila dihasilkan secara luas,
kadar TNF-α dapat membahayakan pejamu karena
dapat memicu terjadinya trombus sel endotel, Gambar 6. Peran Neutrofil pada ENL. lebih jauh lagi dapat terjadi sindroma klinis yang sangat fatal yang dinamakan syok septik.
Sekresi TNF-α yang berlebih pada ENL diduga
berasal dari dinding bagian dalam M. leprae yang
dapat merangsang kekebalan alamiah pada tubuh
manusia, yaitu Triacetylated Lipoprotein (TLP) dan
merupakan Pathogen Associated Molecular Pattern
(PAMPs). TLP merupakan komponen membrane
lipoprotein pada semua genus mikobakteria
dan diduga merupakan indikator utama sekresi
TNF-α oleh makrofag.31 IFN-γ yang diproduksi
oleh sel T dan sel NK juga merangsang makrofag
untuk meningkatkan sintesis TNF-α. Sitokin pro
inflamasi, diantaranya TNF-α, IFN-γ, dan IL-
1β telah dilaporkan berperan dalam mekanisme
terjadinya reaksi kusta baik reaksi tipe 1 (reaksi
reversal) maupun reaksi tipe 2 (termasuk ENL).
Pada ENL, kadar TNF-α yang dilepaskan oleh sel
mononuklear darah tepi lebih banyak dibandingkan
penyakit lain. Disalah satu pihak TNF-α dapat
bekerja sinergis dengan IFN-γ sebagai protektif
imunitas dengan memperantarai terbentuknya
granuloma dan menghambat pertumbuhan M.
leprae secara in-vitro. Sedangkan dilain pihak,
TNF-α dapat memicu kerusakan saraf dan
terjadinya nekrosis jaringan.
Kusta yaitu penyakit infeksi yang memicu
masalah yang sangat kompleks baik dalam segi kesehatan, sosial,
maupun ekonomi. Berdasarkan data WHO, jumlah kasus kusta baru
pada tahun 2016 yaitu sebesar 216.108 kasus (0,21 per 10.000
penduduk) dari 145 negara di dunia.
Tujuan: Mengatahui peran sitokin dalam patogenesis kerusakan
saraf pada penyakit kusta sehingga mempermudah proses
klasifikasi kasus borderline dan memungkinkan pengobatan dini
berdasarkan tipe kusta.
kusta32
1. ada kasus reaksi kusta sebanyak 37 (66,1 %) dari 56 pasien
kusta di puskesmas Kota Pontianak selama tahun 2008-2013.
2. Identitas pasien reaksi kusta di puskesmas Kota Pontianak selama
tahun 2008-2013 yang umum ditemukan yaitu usia 15-34 tahun
(43,2 %), jenis kelamin laki-laki (72,9 %), pendidikan terakhir pada
tamat SD (29,7 %), pekerjaan sebagai buruh (35,1 %) dan tipe
kusta MB (97,2 %)
3. Pasien reaksi kusta di puskesmas Kota Pontianak periode 2008-
2013 paling banyak berjenis reaksi tipe 1 (75,6 %)
4. Kejadian reaksi kusta di puskesmas Kota Pontianak periode 2008-
2013 paling banyak terjadi saat pengobatan kusta (70,2 %)
5. Faktor yang paling banyak dapat menyebabkan reaksi kusta di
puskesmas Kota Pontianak periode 2008-2013 yaitu stres mental
(37,8 %) 6. Manifestasi klinis dari reaksi kusta di puskesmas Kota Pontianak
periode 2008-2013 yang paling banyak yaitu dari manifestasi
klinis reaksi tipe 1 ringan (51.3 %)
7. Pengobatan yang paling banyak diberikan untuk mengobati
penderita reaksi kusta di puskesmas Kota Pontianak periode 2008-
2013 yaitu paracetamol (43,2 %) dan anjuran istirahat (83,7 %)
dengan keadaan hasil pengobatan terhadap reaksi kusta yang
paling banyak ditemukan yaitu membaik (78,3 %).
Penyakit kusta (Lepra, Morbus Hansen) yaitu suatu penyakit
infeksi menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Mula-mula
kuman ini menyerang susunan saraf tepi, lalu menyerang kulit, mukosa,
saluran napas, sistem retikuloendotelal, mata, otot, tulang dan testis 1.
Pada 2011, dari regional Asia Tenggara, negara kita berada di posisi
kedua sesudah India dalam hal jumlah kasus baru kusta 2. Di Kalimantan
Barat, khususnya di Kota Pontianak, dari 23 puskesmas yang ada,
tercatat penderita pada kasus baru selama tahun 2008 hingga 2013
berjumlah 101 orang 3,4,5,6,7,8.
Berkenaan dengan penyakit kusta, kebijakan nasional mengenai
pengendalian kusta di negara kita menetapkan visi bahwa masyarakat
sehat bebas kusta yang mandiri dan berkeadilan 2. Sehubungan dengan
kebijakan ini , puskesmas selaku unit pelaksana tingkat pertama
serta ujung tombak pembangunan kesehatan di negara kita , memiliki
program kerja wajib di puskesmas yakni dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular, dimana kusta termasuk di dalamnya 2.
Reaksi kusta yaitu episode akut pada perjalanan penyakit kusta
sebagai akibat dari perubahan mendadak sistem kekebalan tubuh. Reaksi
kusta dapat timbul sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Ada 2 macam reaksi kusta, yaitu reaksi tipe I (Reversal Reaction) dan reaksi tipe
II (Erythema Nodusum Leprosum = ENL) 10. Masing-masing jenis kusta
memiliki resiko untuk terjadinya reaksi kusta 11.
Pada reaksi kusta tipe I, sangat penting untuk mengenal dan
mengobati secara tepat oleh karena dapat terjadi kerusakan saraf yang
cepat dan luas. Dikatakan pula pada reaksi kusta tipe II ringan dapat
menghilang segera tetapi ENL berat dapat menetap selama bertahuntahun 1
Saat ini, belum ada penelitian tentang Kejadian Reaksi Kusta di
Puskesmas Kota Pontianak Periode 2008-2013 sehingga peneliti tertarik
untuk meneliti hal ini .
Sebanyak 56 orang menjadi subjek pada penelitian ini. Diantara jumlah
ini , didapatkan 37 subjek mengalami reaksi kusta. Dari 37 subjek penelitian yang mengalami reaksi kusta, 8 diantaranya
merupakan pasien yang tercatat di puskesmas Khatulistiwa dan 7 pasien
tercatat di puskesmas Siantan Hilir.
Dari 37 subjek penelitian yang mengalami reaksi kusta, 20 diantaranya
berasal dari Kecamatan Pontianak Utara.
Dari 37 subjek penelitian yang mengalami reaksi kusta, 16 diantaranya
berada pada rentang usia 15-34 tahun dan 12 berada pada 35-54 tahun.
Hanya 3 subjek saja yang berusia dibawah 15 tahun.
Dari 37 subjek penelitian yang mengalami reaksi kusta, 27 diantaranya
berjenis kelamin laki-laki dan lainnya perempuanDari 37 subjek penelitian yang mengalami reaksi kusta, 28 orang diketahui
Dari 37 subjek penelitian yang mengalami reaksi kusta, 11 orang
diantaranya berpendidikan terakhir pada tamat SD, 10 subjek tidak tamat
SD dan 5 tidak bersekolah. Adapun subjek yang sudah diploma dan
sarjana berjumlah 3 orang.
Dari 37 subjek penelitian yang mengalami reaksi kusta, 13 orang
diantaranya bekerja sebagai buruh. Adapun subjek yang bekerja sebagai
ibu rumah tangga berjumlah 5 orang. Didapat pula sebanyak 6 orang
subjek yang tidak bekerja.
Dari 37 subjek penelitian yang mengalami reaksi kusta, 36 diantaranya
bertipe kusta Multibasiler (MB). Hanya 1 subjek saja yang bertipe kusta
Pausibasiler (PB).
Dari 37 subjek yang mengalami reaksi kusta, 31 diantaranya sudah
dinyatakan Release From Treatment (RFT) saat diwawancara.
Dari 37 subjek reaksi kusta, 28 diketahui berjenis reaksi kusta Tipe 1.
Sebanyak 9 orang subjek bertipe reaksi kusta 2.
Dari 37 subjek reaksi kusta, 26 diketahui mengalami reaksi saat dalam
pengobatan kusta. Tujuh orang subjek diketahui mengalami reaksi kusta
sesudah pengobatan kusta.
Dari 37 subjek reaksi kusta, 19 diantaranya bermanifestasi klinis reaksi
kusta tipe 1 ringan dan 4 pada tipe 2 berat.
Dari 37 subjek reaksi kusta, 16 diketahui mendapat Paracetamol untuk
mengobati reaksi kustanya. 11 diketahui mendapat pengobatan
menggunakan Prednison dengan dosis yang sesuai skema pada tinjauan
pustaka. Di lain hal, sebanyak 31 dari 37 subjek reaksi kusta diketahui
mendapat pengobatan non-farmakologi berupa istirahat dan 6 lainnya
memilih pengobatan alternatif.
Dari 37 subjek reaksi kusta, 29 diketahui keadaannya membaik sesudah
diberikan pengobatan terhadap reaksi kustanya. ada 3 subjek yang
keadaannya diketahui memburuk.
Dari 37 subjek reaksi kusta, 3 subjek diketahui mengalami kelelahan fisik
sebelum terjadi reaksi kusta pada sebelum pengobatan kusta. Empat
belas subjek mengalami stres mental yang mencetuskan reaksi pada saat
pengobatan kusta dan 5 subjek diketahui kelelahan fisik mencetuskan
reaksi pada sesudah pengobatan kusta selesai.
Dari 56 subjek penelitian, 51 diketahui teratur dan 5 tidak teratur dalam
menjalani pengobatan kustanya.
Berdasarkan penelusuran dengan menggunakan data primer dan
sekunder, didapatkan sebanyak 56 subjek penelitian dimana 37 subjek
diantaranya mengalami reaksi kusta. Semua subjek penelitian ini
telah sesuai dengan kriteria subjek penelitian.
ada beberapa data mengenai jumlah kasus reaksi kusta.
Susanto (2006) mendapatkan hasil dari 109 penderita kusta, 82 diketahui
mengalami reaksi kusta 12. Purnamasari (2011) mendapatkan lebih dari
separuh 60 penderita kusta pernah mengalami reaksi kusta
Ditinjau dari segi asal puskesmas, didapatkan kasus reaksi kusta
terbanyak (21,6 %) tercatat di puskesmas Khatulistiwa. Adapun di
puskesmas Gang Sehat, Purnama dan Paris 2 masing-masing mencatat 1
kasus reaksi kusta. Dengan demikian, pasien reaksi kusta yang
memeriksakan dirinya di puskesmas, yang terbanyak yaitu di wilayah
puskesmas Khatulistiwa. Sebuah penelitian oleh di
Nepal menyatakan, 61 % pasien reaksi kusta pernah menggunakan
fasilitas kesehatan terkait untuk mendapatkan layanan mengenai kusta,
walaupun beberapa diantaranya akan dirujuk ke spesialis terkait untuk
lebih memastikan keadaannya
Berkaitan dengan hal di atas, ditinjau dari segi asal daerah, kasus
reaksi kusta terbanyak (54 %) berasal dari kecamatan Pontianak Utara.
Namun demikian, Jacob et al. (2008) mengungkapkan, reaksi kusta dapat
terjadi di daerah non-endemik kusta mengingat pasien kusta dapat tinggal
di mana saja
Ditinjau dari segi usia, kasus reaksi kusta terbanyak (43,2 %) terjadi
pada rentang usia 15-34 tahun. Hasil ini sesuai dengan pernyataan
Ranque et al. (2006) yakni umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun
merupakan faktor risiko terjadinya reaksi kusta 16.
Ditinjau dari segi jenis kelamin, kasus reaksi kusta terbanyak (72,9
%) terjadi pada individu berjenis kelamin laki-laki. Sharma et al. (2004)
juga mendapatkan hasil yang serupa 17. Berdasarkan penelusuran yang
telah dilakukan pada penelitian ini, sebagian besar laki-laki lebih sering
mengalami kelelahan fisik ataupun stres mental karena ia menjadi tulang
punggung keluarganya. Oleh kemungkinan sebab ini , reaksi kusta
pada penelitian ini terjadi demikian mengingat kelelahan fisik ataupun
stres mental merupakan faktor yang dapat mencetuskan reaksi kusta 1,2.
Ditinjau dari segi status pernikahan, kasus reaksi kusta terbanyak
(75,6 %) terjadi pada subjek yang telah menikah. Hal ini mungkin terkait
dengan faktor usia, dimana subjek penelitian yang telah menikah rata-rata
berumur di atas 15 tahun, sehingga memiliki faktor resiko terjadinya reaksi
kusta karena orang dewasa lebih banyak memiliki sel T 16. Selain itu, pada
usia produktif, reaksi kusta lebih sering terjadi, yang dimungkinkan karena
pada usia ini respon imun lebih aktif dan lebih sering terpapar faktor
eksternal
Ditinjau dari segi pendidikan, kasus reaksi kusta terbanyak (29,7 %)
terjadi pada subjek yang berpendidikan terakhir pada tamat SD dan
secara keseluruhan lebih banyak terjadi pada yang berpendidikan terakhir
tamat SD ke bawah. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan Raffe et al.
(2013) yang mendapatkan sebanyak 55 % pasien reaksi kusta yang
ditelitinya di Nepal diketahui tidak bersekolah 14. Hasil pada penelitian ini,
kenyataan di lapangan memang demikian yang didapatkan dan tidak
menyatakan adanya kaitan antara pendidikan terakhir dengan terjadinya
reaksi kusta. Adapun hasil penelusuran oleh peneliti kepada subjek yang
termasuk kelompok ini , beberapa subjek menyatakan baru
memeriksakan kondisi tubuh saat reaksi kustanya telah dirasakan
menghambat aktivitas sehari-harinya. Berbeda dengan kelompok
berpendidikan terakhir sesudah tamat SD yang beberapa diantaranya
menyatakan lebih segera dan sering memeriksakan kondisinya karena
mendapat banyak informasi dan diterima dengan baik.
Ditinjau dari segi pekerjaan, kasus reaksi kusta terbanyak (35,1 %)
terjadi pada subjek yang bekerja sebagai buruh. Hasil ini serupa dengan
penelitian oleh Nataraj (2008) dan pernyataan oleh Dave et al. (2003)
bahwa kejadian reaksi diduga lebih banyak terjadi pada pekerja kasar
yang banyak mengeluarkan tenaga 19,20. Pengeluaran tenaga berlebihan
akan berdampak pada penurunan stamina sehingga penderita kusta dapat
mengalami stres fisik dan terjadi perubahan respon imun yang dapat
memicu terjadinya reaksi
Ditinjau dari segi tipe kusta, 97,2 % kasus reaksi kusta pada
penelitian ini terjadi pada subjek bertipe kusta MB. Hasil serupa
didapatkan oleh Douglas et al. (2013) dan dengan pernyataan oleh
Ranque et al. (2006) yakni tipe MB berisiko 4 kali mengalami reaksi 16,21.
Kemungkinan hal ini terjadi karena tipe kusta MB dapat menimbulkan
reaksi reversal ataupun ENL 2.
Ditinjau dari jenis reaksi, 75,6 % subjek bertipe reaksi kusta tipe 1.
Kumar et al. (2004), Nataraj (2008) dan Raffe (2013) mendapatkan hasil
yang serupa 14,19,22. Motta et al. (2012) menemukan lebih banyak subjek
ENL daripada reaksi revesal. Perbedaan ini dapat dikarenakan penelitian
oleh Motta (2012) ini dilakukan di pusat rujukan yang menangani
pasien dengan komplikasi yang lebih berat, seperti ENL kronik 23. Selain
itu, didapatnya hasil sebagian besar reaksi terjadi saat pengobatan kusta
juga dapat menjadi kemungkinan terjadinya perbedaan hasil ini
mengingat pada saat MDT, terjadi peningkatan kekebalan seluler
sebagaimana patogenesis RR.
Pada reaksi reversal atau reaksi kusta tipe 1, terjadi peningkatan
kekebalan seluler. Keuntungan dari hal ini yaitu prognosis menjadi lebih
baik dengan lebih cepat terjadinya kemajuan dalam penyembuhan 1. ENL
dapat terjadi akibat pengobatan kusta. Hal ini dapat terjadi karena pada
pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, yang pada
akhirnya menyebabkan kompleks imun
Dikatakan bahwa kusta dapat menyebabkan kecacatan, namun
proses terjadinya tidak sepenuhnya diketahui 2. Adapun penderita kusta
yang mempunyai resiko mendapat cacat yaitu penderita yang terlambat
berobat MDT, adanya reaksi (terutama reaksi reversal), memiliki banyak
tanda/bercak di kulit ataupun dengan nyeri saraf tepi atau ada
pembesaran saraf 1.
Diketahui bahwa RR terjadi pada bentuk kusta tuberkuloid ataupun
borderline, sedangkan ENL pada lepromatosa. Pada bentuk tuberkuloid,
ada bentukan tuberkuloid granuloma. Adanya infiltrasi tubekuloid
granuloma pada saraf dan bersama dengan reaksi edema yang terjadi
menyebabkan tekanan pada akson dan pembuluh darah pada epineurium.
Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan saraf yang bersifat reversibel
atau irreversibel, bergantung pada derajat dan lamanya iskemi yang
ditimbulkan. Pada bentuk lepromatosa yang tubuh penderitanya tidak mempunyai daya tahan sama sekali menyebabkan tidak terjadi infiltrasi
seluler sehingga gangguan fungsi saraf pada permulaannya sangat
minimal. Pada bentuk borderline, imunitasnya yang tidak stabil merupakan
faktor predisposisi untuk timbulnya reaksi yang pada akhirnya akan
mengakibatkan kerusakan saraf yang lebih luas Hal-hal inilah yang
menyebabkan kecacatan dapat ditimbulkan oleh adanya reaksi, terutama
reaksi reversal 1.
Ditinjau dari segi waktu terjadinya, 70,2 % kasus reaksi kusta terjadi
pada masa pengobatan kusta. Hasil ini serupa dengan yang dijumpai
pada penelitian Kumar et al. (2004) dan Nataraj (2008) 19,22. Hasil ini juga
sesuai dengan pernyataan bahwa reaksi kusta terutama timbul selama
atau sesudah pengobatan 1,2. Pada saat pengobatan kusta, dapat terjadi
peningkatan status imunologis ataupun pembentukan kompleks antara
antigen yang terutama berasal dari kuman kusta yang mati dan hancur
dengan antibodi tubuh, dimana kedua hal inilah yang dapat menimbulkan
reaksi kusta
Selain itu, didapatkan pula hasil lain pada peneltian ini yakni 83,7 %
subjek penelitian diketahui sudah RFT dan pernah mengalami reaksi
kusta, baik sebelum, saat ataupun sesudah MDT. Lama pengobatan MDT
akan berpengaruh terhadap reaksi kusta. Penderita biasanya mendapat reaksi kusta sesudah 6 bulan atau lebih menjalani MDT. Hal ini dapat
terjadi mengingat semakin banyak kuman kusta, baik yang mati akibat
pengobatan, akan berinteraksi dengan sistem imun tubuh yang kemudian
menyebabkan reaksi kusta
Ditinjau dari segi manifestasi klinis, yang terbanyak terjadi yaitu
manifestasi klinis dari reaksi kusta tipe 1 ringan (51,3 %). Hasil ini berbeda
dengan Sarita et al. (2013) yang mendapatkan kasus reaksi tipe 1 lebih
banyak terjadi jenis berat daripada ringan. Ini dapat terjadi mengingat
lokasi penelitian ini berada di pusat rujukan tersier dan kebanyakan
pasien dirujuk dengan gejala yang berat/kronik 25. Adapun beratnya reaksi
tergantung pada keberadaan kuman kusta pada tubuh dan kekuatan
respon imun tubuh dalam menghadapi kuman kusta ini
Ditinjau dari segi pengobatan, 43,2 % subjek reaksi kusta diobati
menggunakan paracetamol dengan dosis 3x1 tablet/hari selama 1 minggu
atau lebih, dan dengan terapi non-farmakologi berupa istirahat (83,7 %).
Hasil ini dapat dikatakan bersesuaian dengan pedoman pengobatan
reaksi kusta oleh Kemenkes RI (2012) 2. Diketahui pula hasil lain pada
penelitian ini, kondisi 78,3 % subjek didapatkan membaik sesudah
mendapat pengobatan untuk reaksi kustanya. Penggunaan paracetamol ditujukan sebagai analgetik/antipiretik, selain pula sebagai antiinflamasi
mengingat adanya respon inflamasi di dalam terjadinya reaksi kusta 2,11.
Ditinjau dari segi faktor pencetus, 14 subjek (37,8 %) mengalami
stres mental sebelum akhirnya terjadi reaksi kusta pada saat pengobatan.
Prawoto (2008) juga mendapatkan hasil yang serupa 18. Hasil ini
mendukung pernyataan bahwa stres mental merupakan salah satu faktor
pencetus reaksi kusta 11. Untuk mengetahui apakah seseorang mengalami
stres mental, dapat digunakan skala stres Holmes. Diketahui dari
penelitian ini bahwa sebelum terjadinya reaksi kusta, beberapa subjek
penelitian mengatakan sering memikirkan kapan mereka sembuh
sehingga tidak malu dengan orang lain terhadap sakitnya dan ada pula
yang sering memikirkan kapan ia dapat bekerja dengan tenang. Sebagian
besar memang mengatakan ada perubahan akibat kusta yang dialami,
baik dari segi sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Dengan demikian, hal
ini dapat menunjukkan adanya keadaan stres mental yang dialami oleh
pasien kusta yang kemudian mencetuskan reaksi kusta.
Ditinjau dari segi keteraturan minum obat, sebagian besar diketahui
teratur dalam pengobatan kustanya. Hasil serupa juga didapat pada
penelitian oleh Prawoto (2008) 18. Keteraturan minum obat bermanfaat
untuk dapat mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan, dimana cacat ini dapat timbul
melalui reaksi kusta
Latar Belakang: Reaksi kusta yaitu episode akut pada perjalanan penyakit kusta
sebagai akibat dari perubahan sistem kekebalan tubuh. Reaksi kusta dapat timbul
sebelum, selama dan sesudah pengobatan kusta.
Tujuan: Untuk mengetahui gambaran kejadian reaksi kusta di Puskesmas Kota
Pontianak periode 2008-2013.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif cross sectional. Data diambil
melalui identifikasi rekam medis dan wawancara kepada subjek penelitian.
Hasil: 37 dari 56 subjek diketahui mengalami reaksi kusta. Dari jumlah ini , 97,2 %
bertipe MB, 75,6 % berjenis reaksi reversal, 70,2 % mengalami reaksi saat pengobatan
kusta, 37,8 % mengalami stres mental sebelum terjadi reaksi, 51,3 % bermanifestasi
klinis reaksi reversal ringan, 43,2 % menggunakan paracetamol dan 83,7 % beristirahat
untuk mengobati reaksinya, dan 78,3 % keadaannya membaik sesudah mendapat
pengobatan untuk reaksi. Selain itu, kebanyakan dari jumlah ini berusia antara 15-
34 tahun (43,2 %) dan berjenis kelamin laki-laki (72,9 %).
Kesimpulan: Sebagian besar pasien kusta pernah mengalami reaksi kusta, terutama
pada saat pengobatan kusta, dengan gambaran klinis reaksi reversal ringan.