Kromosom merupakan unsur penanggung jawab penurunan sifat
dari orang tua kepada keturunannya. Kromosom tersusun atas
sekumpulan gen yang terdiri atas untaian asam deoksiribonukleat
(DNA) yang akan menentukan fenotip seseorang. Kromosom mulai diamati
sejak pertengahan abad 19 setelah perkembangan teknik pewarnaan sel.
DNA baru ditemukan pada tahun 1953 oleh Watson dan Crick. Kelainan
genetik merupakan kelainan yang jarang terjadi, setidaknya 2% dari kelahiran
mengalami kelainan genetik.1
Proses replikasi DNA merupakan mekanisme yang menjawab bagaimana
proses penurunan sifat terjadi. Pada saat pembelahan sel, DNA akan
mengalami replikasi, rantai ganda DNA akan terpisah dan masing-masing
rantai akan menyintesis rantai komplementernya. Pada akhir pembelahan sel
akan terbentuk dua rantai DNA yang yang sama persis dengan rantai yang
ada sebelumnya. Rantai DNA yang baru ini, terdiri atas 1 utas rantai lama
dan 1 utas rantai baru.1
Diperkirakan ada sekitar 20.000‒25.000 gen yang terdapat pada
inti sel. Distribusi gen ini pada kromosom sangat bervariasi sehingga
menghasilkan daerah heterokromatin dan eukromatin. Daerah yang paling
banyak mengandung non koding DNA dengan densitas tinggi adalah daerah
subtelomerik.1
1.2 DNA DAN KROMOSOM SEBAGAI UNSUR PEMBAWA SIFAT
DNA adalah kepanjangan dari deoxyribonucleic acid yang merupakan rantai
panjang polimer nukleotida. DNA merupakan rantai double helix. Setiap nukleotida terdiri atas basa nitrogen, gula, dan fosfat. Basa nitrogen terdiri
atas purin (adenin dan guanin) dan pirimidin (sitosin, timin, dan urasil).
Serangkaian urutan DNA akan membentuk gen yang nantinya akan
menghasilkan protein tertentu. Gen terdiri atas bagian yang disebut ekson
dan intron.1
DNA dikemas dalam beberapa tahap untuk menjadi kromosom. DNA
dikemas melingkar pada protein histon untuk membentuk nukleosom.
Nukleosom digulung untuk membentuk benang-benang kromatin yang
membentuk loop panjang pada rangka protein asam nonhiston, yang
selanjutnya membentuk kumparan ketat sehingga terbentuk kromosom.
Manusia memiliki 23 pasang kromosom (46 buah), terdiri atas 22 pasang
autosom dan 1 pasang kromosom seks. Pada saat fertilisasi, masing-masing
gamet akan membawa sifat dari ayah dan ibu untuk selanjutnya bergabung
membentuk embrio.2
Fertilisasi didefinisikan sebagai interaksi antara gamet pria (sperma)
dan gamet wanita (ovum), selanjutnya terjadi fusi, membentuk zigot, dan
menghasilkan individu baru. Oosit dihasilkan dalam ovarium dan berhenti
pada meiosis I, dalam perkembangannya oosit menghasilkan matriks ekstraseluler yang disebut Zona Pelusida (ZP). ZP pada manusia terdiri atas
ZP1, ZP2, ZP3, dan ZP4. Pertumbuhan oosit diikuti dengan pertumbuhan sel
granulosa yang mengelilinginya, yang akan mendukung terjadinya fertilisasi.
Spermatozoa dihasilkan di testis kemudian dipindahkan ke epididimis untuk
ditambahkan beberapa jenis protein. Spermatozoa akan diejakulasikan dalam
keadaan matang tetapi belum mempunyai kemampuan fertilisasi. Setelah
diejakulasikan, spermatozoa perlu mengalami beberapa tahap perubahan agar
dapat melakukan fertilisasi. Spermatozoa mengalami beberapa perubahan
fisiologi pada kepala, leher, dan ekor yang disebut kapasitasi. Sekali
terkapasitasi, spermatozoa akan mempunyai kemampuan berenang yang kuat
untuk dapat mencapai oosit. Selanjutnya akan mengalami reaksi akrosom agar
dapat mencerna zona pelusida dan melakukan fusi dengan oosit.3,4
Fertilisasi dimulai ketika spermatozoa menembus kumulus ooforus dan
korona radiata. Spermatozoa dengan akrosom yang intak akan menempel
pada zona pelusida, menstimulasi terjadinya reaksi akrosom. Akrosom adalah
organel subseluler yang ditemukan di ujung apikal kepala sperma, terdiri
atas berbagai enzim dan protein pengikat ZP. Penetrasi spermatozoa akan
dilanjutkan hingga terjadi fusi dengan oolemma. Kepala spermatozoa akan
mengalami dekondensasi dan membentuk pronukleus. Dua pronuklei dari
sperma dan oosit setelah terbentuk akan berpindah ke tengah saling terkait
erat tetapi tidak mengalami fusi. Proses asosiasi akan mengakibatkan lapisan
masing-masing pronukleus akan menghilang dan mengalami singami. KELAINAN GENETIK
Kelainan genetik merupakan kondisi yang diakibatkan kelainan pada
kromosom atau gen tertentu. Kelainan genetik bisa disebabkan karena mutasi
pada satu gen (monogenic disorder), mutasi pada beberapa gen, kombinasi dari
mutasi gen dan faktor lingkungan atau karena kelainan kromosom (baik
kelainan jumlah maupun kelainan bentuk).7 Kelainan kromosom secara garis
besar dibagi menjadi dua, kelainan jumlah dan kelainan bentuk. Kelainan
jumlah dapat berupa penambahan atau pengurangan kromosom yang
disebut aneuploidi atau penambahan 1 set kromosom yang disebut poliploidi.
Kehilangan satu kromosom disebut monosomi. Penambahan satu atau dua
kromosom homolog disebut trisomi atau tetrasomi.
Beberapa Contoh Kelainan Jumlah Kromosom
Kelainan jumlah kromosom dapat berupa adanya penambahan atau
pengurangan pada jumlah kromosom yang seharusnya 46. Penambahan ini
dapat terjadi pada kromosom autosom maupun kromosom seks. Di bawah
ini merupakan beberapa contoh kelainan yang diakibatkan oleh kelebihan
atau kekurangan jumlah kromosom.
1. Sindrom Down
Kelainan ini pertama kali diperkenalkan oleh John Langdon Down
pada tahun 1866. Kelainan ini disebabkan adanya kelebihan kromosom
21, sebagian, atau seluruhnya. Sindrom Down merupakan penyakit genetik
paling umum di seluruh dunia dan penyebab genetik paling umum terjadinya
kecacatan intelektual, terjadi sekitar 1 dari 400–1500 bayi baru lahir.8
Ciri-ciri kelainan ini yang dapat diketahui sejak neonatus adalah telinga
kecil, brachycephaly, wajah datar, lipatan epicantus, jembatan hidung datar,
mulut kecil dengan lidah besar yang menonjol, leher pendek dengan tonjolan
lemak di punggung, tangan lebar, garis melintang di telapak tangan yang
disebut “lipatan Simian,” celah antara jari pertama dan jari kaki kedua yang
dikenal sebagai “celah sandal”, hipotonia, dan hiperfleksibilitas.9
Ada tiga tipe kelainan pada Sindrom Down, yaitu tipe klasik di mana
terjadi trisomi pada kromosom nomor 21, tipe ini adalah tipe tersering, terjadi
pada sekitar 94% dari kejadian Sindrom Down. Tipe translokasi, di mana
kromosom nomor 21 terlepas pada saat pembelahan dan menempel pada
kromosom akrosentrik yang lain, kromosom nomor 13, 14, 15, dan 22. Tipe
ini terjadi pada 3-4% kasus. Tipe mosaik di mana ada sebagian kromosom
yang normal dan ada sebagian yang mengalami trisomi. Kelainan tipe klasik
dan mosaik tidak diturunkan, terjadi karena kesalahan pembelahan sel pada
sperma, oosit, maupun embrio. Pada tipe translokasi, pada beberapa kasus
diturunkan dari orang tuanya.
2. Sindrom Turner
Didefinisikan sebagai keadaan di mana seorang wanita kehilangan
seluruh atau sebagian kromosom X, terjadi pada 1 di antara 2500 kelahiran
hidup wanita. Penderita Sindrom Turner memiliki ciri-ciri postur pendek,
pubertas yang lambat, tidak terbentuknya ovarium, hipergonadotropin
hipogonadisme, infertil, kelainan jantung bawaan, kelainan endokrin seperti
diabetes mellitus tipe 1 dan 2, osteoporosis, dan penyakit autoimun. Ciriciri lain sangat bervariasi, dapat meliputi edema pada tangan dan kaki, webbed
neck, garis rambut belakang yang rendah, displasia kuku, rahang bawah yang
kecil, hipoplasia kuku, kuku hiperkoveks, cubituc valgus, dan jarak puting
yang jauh
3. Sindrom Klinefelter
Sindrom Klinefelter merupakan kelainan kromosom yang paling sering
terjadi pada laki-laki. Kelainan ini terjadi akibat adanya kelebihan kromosom
X, kelebihan kromosom ini bisa didapatkan baik dari ayah maupun ibunya.
Kelainan ini terjadi pada 1/500 sampai 1/1000 laki-laki.18,19 Gambaran
pemeriksaan Sindrom Klinefelter 80% menunjukkan 47,XXY dan 20% grade
yang lebih tinggi dari kromosom aneuploidi, 46,XY/47,XXY mosaik atau
adanya kelainan struktur pada koromosom X.20
Ciri-ciri Sindrom Klinefelter adalah kegagalan testis primer dengan
ukuran testis kecil, azoospermia, hipergonadotropin hipogonadisme, postur
tubuh tinggi dengan tipe tubuh eunukoid, ginekomastia, kriptokidisme,
penis kecil, rambut pubis sedikit, sindrom metabolik, osteoporosis, kelainan
psikiatri, defisiensi growth hormone, prolaps katup mitral, mengalami kesulitan
dalam belajar, interaksi sosial dan perilaku.18,20 Sangat sulit menegakkan
diagnosis tanpa pemeriksaan kromosom.
Diagnosis Sindrom Klinefelter sulit ditegakkan pada masa anak-anak,
biasanya dilahirkan dengan fenotip normal walaupun pada beberapa kasus
ditemukan sex ambigus. Diagnosis biasanya baru bisa ditegakkan sekitar
usia 30 tahun saat mencari penyebab infertilitas. Hanya 10% kasus yang
bisa ditegakkan sebelum pubertas.18 Diperkirakan 50–75% laki-laki dengan
Sindrom Klinefelter tidak terdiagnosis.
Pola Penurunan Kelainan Genetik
Kelainan monogenic diturunkan dengan mengikuti hukum Mendel, ada empat
pola penurunan sifat, yaitu:
1. Autosomal dominan
Pada kelainan ini, laki-laki dan perempuan mempunyai kemungkinan
yang sama, kelainan akan muncul pada setiap generasi, individu yang
menderita salah satu orang tuanya adalah penderita, anak yang dilahirkan
dari orang tua yang mempunyai kelainan dan tidak akan mempunyai
kemungkinan 50% mengalami kelainan, pola penurunan antar jenis kelamin
dapat terjadi (laki-laki ke laki-laki, laki-laki ke perempuan, perempuan ke
perempuan, dan perempuan ke laki-laki)
Kelainan yang pola pewarisannya mengikuti pola ini antara lain
achondroplasia, aniridia, glaukoma, Sindrom Costello, Renal Cysts and Diabetes
(RCAD) Syndrome, Myotonic Dystrophy, Huntington Disease, spinoserebral
ataksia, dan Familial Hypercholesterolemia.
23,24
2. Autosomal resesif
Kelainan autosomal resesif akan muncul ketika individu mewarisi sifat
dari kedua orang tuanya (homozigot). Pada individu heterozigot yang hanya
mewarisi sifat dari salah satu orang tuanya saja, kelainan ini tidak akan muncul.
Individu ini sehat tetapi karier.1 Perkawinan sesaudara (consanguity) akan
meningkatkan angka kejadian, terjadi pada laki-laki maupun perempuan.
Kelainan hemofilia, thalassemia, sickle cell anemia, Oculocutaneous
Albinism, Crigler–Najjar Syndrome tipe I, Cystic fibrosis, dan Friedreich ataxia
merupakan beberapa contoh kelainan yang diwariskan secara autosomal
resesif.23
3. X-Linked recessive
Kelainan ini utamanya terjadi pada laki-laki, diturunkan melalui
perempuan karier kepada anak laki-lakinya. Laki-laki yang mempunyai
kelainan apabila bisa mencapai usia reproduksi akan mewariskan kelainan
ini pada cucu laki-lakinya melalui anak perempuannya yang karier. Tidak
ditemukan transmisi dari laki-laki ke laki-laki.
Duchenne Muscular Dystrophy, Becker Muscular Dystrophy, Androgen
Insensivity Syndrome, dan ichthyosis merupakan beberapa contoh kelainan
X-linked recessive.
23,25
4. X-Linked dominant
Kelainan ini bisa terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, tetapi
lebih banyak pada perempuan, salah satu orang tua adalah penderita. Kelainan
ini lebih ringan dan bervariasi jika terjadi pada perempuan dibandingkan
pada laki-laki. Perempuan yang menderita, 50% anaknya akan menderita
kelainan yang sama, tidak memandang jenis kelaminnya. Jika laki-laki yang
menderita, maka semua anak perempuannya akan menderita tetapi tidak
pada anak laki-lakinya.
Kelainan yang diwariskan secara X-Linked dominant antara lain CharcotMarie-Tooth disease, Amyotrophic lateral sclerosis, hypophosphatemic rickets, dan
protoporphyria.
26–29
1.3.3 Kelainan Multifaktorial
Kelainan multifaktorial merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor
risiko, baik yang bersifat genetik maupun karena pengaruh lingkungan.
Depresi, penyakit paru obstruktif kronis, penyakit jantung, dan endokrin
merupakan contohnya.30 Penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis,
systemic lupus erythematosus, multiple sclerosis, diabetes mellitus tipe 1, psoriasis,
inflammatory bowel disease, serta penyakit neurodegeneratif seperti Parkinson
dan Alzheimer adalah contoh kelainan multifaktorial lainnya.31,32
Faktor genetik meliputi perubahan urutan basa pada genom manusia,
beberapa polimorfisme berhubungan lebih dari satu macam penyakit,
walaupun polimorfisme yang spesifik hanya berhubungan dengan satu jenis
penyakit, mutasi yang berbeda pada gen yang sama akan berakibat timbulnya
penyakit yang berbeda. Paparan faktor lingkungan dapat terjadi seumur hidup,
faktor lingkungan meliputi polusi, intervensi medis (obat-obatan, operasi),
gaya hidup (diet, rokok, aktivitas fisik), dan status sosial ekonomi.30
1.4 RINGKASAN
Kelainan genetik dapat terjadi pada tingkat gen sampai tingkat kromosom.
Kelainan genetik tingkat kromosom akan mengakibatkan kelainan yang
cukup kompleks dan berupa sindrom (kumpulan gejala). Kelainan genetik
tingkat gen akan mengakibatkan kelainan yang lebih spesifik dan hanya
berkenaan dengan gen yang rusak saja. Kelainan genetik tidak selalu tampak
pada awal kehidupan. Kelainan genetik yang bersifat multifaktorial akan
mengakibatkan kelainan jika ada pengaruh faktor dari luar. Pengobatan
kelainan genetik sampai saat ini baru berupa pengobatan simptomatis untuk
meringankan gejala yang ada, belum ada pengobatan definitif yang bisa
memperbaiki gen yang rusak. Oleh karena itu, deteksi dini sangat diperlukan
agar penderita kelainan genetik mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.
Differences of sex development (DSD) merupakan suatu kondisi
bawaan yang dapat menyebabkan jenis kelamin seorang bayi
baru lahir menjadi sulit untuk ditentukan. Padahal, keputusan
awal jenis kelamin seorang anak memiliki dampak signifikan karena akan
digunakan dalam banyak hal, mulai dari pembuatan akta lahir hingga pola
asuh orang tua.
Deteksi dini kondisi DSD sangat penting sebab pada kondisi yang relatif
berat, anak dengan kromosom kelamin tertentu bisa memiliki gambaran
klinis yang menyerupai jenis kelamin yang lain. Kesalahan penentuan
jenis kelamin dapat menimbulkan dampak yang besar bagi masa depan
anak. Melalui uraian sistematis dalam buku ini, para pembaca diharapkan
dapat memahami serta mengambil keputusan yang cepat dan tepat apabila
menjumpai kasus-kasus DSD.
2.2 PENENTUAN JENIS KELAMIN
Penentuan jenis kelamin seorang anak terjadi pada saat pembuahan
(fertilisasi).1 Manusia normal memiliki 1 set kromosom yang berjumlah 46
buah (diploid), sementara spermatozoa dan telur manusia memiliki separuh
dari jumlah tersebut (haploid). Telur yang normal akan selalu memiliki 22
autosom ditambah 1 kromosom seks, yaitu kromosom X. Spermatozoa di lain
pihak memiliki dua variasi, yaitu 22 autosom ditambah 1 kromosom seks X
atau 22 autosom ditambah 1 kromosom Y. Apabila spermatozoa yang memiliki
kromosom X membuahi sel telur, maka secara genetik hasil pembuahan akan memiliki kelamin perempuan. Apabila spermatozoa memiliki kromosom Y
membuahi telur, maka secara genetik hasil pembuahan akan memiliki jenis
kelamin laki-laki.Meskipun jenis kelamin telah ditentukan sejak pembuahan, namun
hasil pembuahan yang kita kenal sebagai embrio belum dapat dibedakan
jenis kelaminnya secara langsung. Embrio akan berkembang membentuk
bakal kelenjar kelamin (gonad) dan organ lainnya yang mulanya bersifat
bipotensial (dapat berkembang menjadi organ reproduksi laki-laki maupun
perempuan). Pada minggu ke-6 kehamilan, ekspresi dari SRY yang terdapat
pada kromosom Y akan mengaktifkan jalur pembentukan gonad bipotensial
menjadi testis. Ketiadaan kromosom Y akan menyebabkan gonad bipotensial
berkembang menjadi ovarium (indung telur).
Pembentukan kelenjar kelamin juga diikuti perkembangan organ-organ
dalam lainnya yang bersifat bipotensial menjadi organ kelamin yang sesuai
dengan jenis kelamin yang telah ditentukan secara genetik. Organ kelamin
dalam mulai mengalami perubahan pada minggu ke-9 atau 10 kehamilan.
Pada embrio laki-laki, akibat pengaruh hormon testosteron, duktus Wolfii
akan berkembang menjadi epididimis, vas deferen, dan vesikula seminalis.
Anti-mulerian hormone (AMH) menyebabkan regresi duktus Muller.Organ kelamin luar mengalami perkembangan yang identik selama
minggu ke-8 hingga 12 kehamilan. Perubahan mulai nampak pada minggu
ke-12 kehamilan dan perkembangannya akan lengkap pada minggu ke-14
kehamilan. Pada embrio laki-laki, hormon dihidrotestosteron (DHT) akan
menyebabkan organ kelamin yang awalnya bipotensial akan berkembang
menjadi organ kelamin luar laki-laki.
2.3 DIFFERENCES OF SEX DEVELOPMENT
Perkembangan organ seksual tidak selalu berjalan secara normal. Kelainan
kromosom seks maupun ketidaksesuaian kromosom seks dengan gonad,
organ kelamin dalam, dan organ kelamin luar dapat terjadi. Kondisi kelainan
kongenital ini memiliki beragam istilah yang kemudian diseragamkan
menjadi disorders of sex development yang bila diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi “gangguan perkembangan jenis kelamin”. Istilah
ini kemudian diganti menjadi differences of sex development. Kedua istilah
masih umum dipakai untuk menjelaskan kondisi yang sama dan memiliki
singkatan yang sama, yaitu DSD.2 Insiden DSD dilaporkan sekitar 1:4500
hingga 1:5000 kelahiran hidup.3
DSD diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi yang diajukan oleh
Lawson Wilkins Pediatric Endocrinology Society dan European Society of
DSD mencakup beragam spektrum kondisi, mulai dari yang tidak
mengancam hingga mengancam nyawa seperti congenital adrenal hyperplasia.
Kondisi ini juga mencakup kondisi di mana jenis kelamin masih dapat
ditentukan dengan cukup mudah hingga sangat sulit. Peningkatan kejadian
gangguan kognitif, motorik, dan kondisi neuropsikiatri dapat terjadi terutama
pada individu dengan aneuploidi kromosom seks dan pada tingkat lebih
rendah pada individu yang memiliki bentuk lain dari DSD kromosom
seks.5,6
DSD perlu ditatalaksana secara komprehensif dengan melibatkan tim
dari berbagai disiplin ilmu. Penanganan ini umumnya dilakukan pada pusat
rujukan tersier yang telah berpengalaman menangani kasus-kasus DSD. Tim
multidispilin ini akan melakukan diagnosis, penetapan jenis kelamin, dan
pilihan terapi.4,7
Layanan primer tidak dituntut untuk menentukan jenis kelamin bayi
baru lahir dengan DSD segera apabila jenis kelamin sulit ditentukan. Namun,
penting bagi pemberi layanan primer mendeteksi adanya DSD, memberikan
penanganan terhadap kondisi yang mengancam nyawa, memberikan informasi
yang jelas kepada orang tua, dan melakukan rujukan yang benar. Beberapa
hari pertama kehidupan adalah periode waktu kritis untuk mendeteksi kadar
hormon reproduksi. Penundaan yang terlalu lama menyebabkan ahli endokrin
tidak dapat mengkaji tingkat hormon dengan baik.8
2.4 PEMERIKSAAN KELAMIN
Setiap bayi baru lahir perlu diperiksa segera setelah dilahirkan. Salah satu
hasil pemeriksaan yang sangat ditunggu oleh orang tua dan anggota keluarga
lainnya adalah jenis kelamin sang bayi. Meskipun demikian, berbagai
pemeriksaan lain seperti tanda-tanda vital perlu dilakukan terlebih dahulu.
Penjelasan sederhana mengenai pemeriksaan bayi baru lahir dan pemeriksaan
kelamin akan dijelaskan pada subbab ini.
2.4.1 Pemeriksaan Bayi Baru Lahir
Bayi baru lahir perlu dikaji untuk mengetahui adanya tanda-tanda
kedaruratan. Tanda-tanda kedaruratan yang dapat ditemui dan harus segera
ditangani adalah:1. Tidak bernapas sama sekali walaupun distimulasi, bernapas terengahengah; frekuensi napas kurang dari 20 kali per menit; ATAU
2. Perdarahan; ATAU
3. Syok (pucat, dingin saat disentuh, frekuensi jantung lebih dari 180 kali
per menit, letargi, atau tidak sadar).
Setelah melakukan pemeriksaan tanda kedaruratan dan melakukan
penatalaksanaan segera bila diperlukan, pengkajian dilanjutkan pemeriksaan
menyeluruh yang meliputi penampakan umum, status pertumbuhan, kepala
dan leher, bahu dan ekstremitas atas, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas
bawah, punggung, dan neurologis. Buku ini akan memfokuskan hanya pada
pemeriksaan urogenital yang berperan untuk menentukan jenis kelamin dan
adanya DSD.
2.4.2 Pemeriksaan Kelamin Laki-laki
Inspeksi daerah urogenital pada bayi yang diduga laki-laki dilakukan dalam
posisi terlentang. Gambar 2.3 adalah diagram alat kelamin laki-laki normal.
Usia kehamilan sangat berpengaruh terhadap penampilan genitalia eksterna.
Rugae (kerutan atau lipatan) mulai terbentuk pada permukaan ventral skrotum
pada usia kehamilan sekitar 36 minggu. Saat aterm, skrotum sepenuhnya
kasar dan berpigmen lebih gelap daripada kulit di sekitarnya.Palpasi kantung skrotum dan kanalis inguinalis untuk menemukan testis
dan mendeteksi adanya massa. Letak testis bergantung pada usia kehamilan.
Pada usia kehamilan di bawah 26 minggu, testis umumnya tidak ditemukan
di dalam skrotum. Pada perkembangan selanjutnya, testis akan berada di
kanalis inguinalis dan umumnya telah berada di skrotum pada sebagian
besar janin berusia kehamilan 31 minggu.9 Saat dipalpasi, testis normal akan
berbatas tegas dan halus serta ukurannya relatif sama. Testis berbentuk bulat
telur, biasanya dapat bergerak, dan rata-rata berukuran 1,4 hingga 1,6 cm
pada bayi baru lahir.
Pada bayi baru lahir, preputium melekat pada glans dan tidak dapat
ditarik ke belakang tanpa mengganggu perlekatan alaminya dengan
permukaan glans. Oleh karena itu, retraksi paksa harus dihindari. Kondisi
ini dianggap sebagai fimosis fisiologis dan umumnya dapat diretraksi setelah beberapa tahun pertama kehidupan.10 Traksi lembut pada preputium untuk
memvisualisasikan meatus uretra di bagian tengah ujung penis. Penis harus
lurus; ereksi sering terlihat pada bayi baru lahir. Panjang dan lebar penis harus
dinilai. Panjang penis yang diukur dengan peregangan dari penopubic junction
ke kepala glans harus setidaknya 2–3 cm dan diameternya harus 0,9 cm pada
bayi cukup bulan. Beberapa bayi baru lahir memiliki deposit besar jaringan
adiposa di atas tulang kemaluan, memberikan ilusi penis kecil. Dalam kasus
seperti itu, penting untuk menekan bantalan lemak saat meregangkan penis
untuk penilaian panjang penis. Gambar 2.4 menunjukkan teknik pengukuran
panjang penis.
2.4.3 Pemeriksaan Kelamin Perempuan
Pada bayi yang diduga sebagai perempuan, alat kelamin diperiksa dengan
bayi baru lahir dalam posisi telentang. Ilustrasi anatomi eksternal wanita
normal disajikan pada Gambar 2.5. Labia mayor adalah struktur terluar,
membentang dari mons pubis ke komisura labial. Medial dari labia mayor
adalah labia minor, yang bergabung secara anterior untuk membentuk
preputium klitoris.
Selama 8 minggu pertama kehidupan, bayi baru lahir cukup bulan
mungkin memiliki labia yang menonjol, klitoris yang besar, dan meatus
uretra yang sulit untuk divisualisasikan karena pengaruh estrogen ibu.
Paparan hormon ibu dapat merangsang keluarnya cairan putih, mukoid, dan/
atau perdarahan (pseudomens). Temuan ini dapat bertahan hingga 10 hari.
Alat kelamin bayi baru lahir dengan posisi sungsang dan besar mungkin
mengalami edema dan ekimosis selama beberapa hari setelah dilahirkan.
Usia kehamilan memengaruhi penampilan alat kelamin wanita. Pada
kondisi bayi lahir prematur, labia minor dan klitoris sangat menonjol, dan
labia mayor akan tampak kecil karena kurangnya jaringan adiposa. Labia
mayor lebih besar pada bayi baru lahir yang lebih matang. Pada bayi cukup
bulan, labia mayor biasanya menutupi klitoris dan labia minor. Meatus
uretra harus tepat di bagian ventral dari lubang vagina. Penyimpangan dari
posisi ini mungkin menunjukkan gangguan perkembangan (kelainan) sinus
urogenital atau DSD. Labia, daerah inguinal, dan suprapubik diperiksa dan
dipalpasi untuk mendeteksi adanya massa, tonjolan, atau pembengkakan.
Labia kemudian dipisahkan dengan traksi ke arah lateral dan bawah dengan
lembut menggunakan jari-jari pemeriksa. Klitoris adalah struktur paling atas,
terletak di persimpangan labia minor. Pada bayi perempuan cukup bulan,
lebar klitoris normal adalah 2–6 mm dan harus dianggap abnormal jika >9
mm.11
Tepat di bawah klitoris dan di atas lubang vagina terdapat meatus uretra.
Perineum normalnya selebar ujung jari pada bayi perempuan aterm. Hymen
(selaput dara) menutupi vagina dengan memiliki lubang di sentral. Hymenal tag
adalah variasi neonatal yang dapat terjadi pada 5.75–13% bayi baru lahir dan akan
menghilang dalam beberapa minggu karena berkurangnya kadar estrogen.12,13
2.5 DETEKSI DIFFERENCES OF SEX DEVELOPMENT
DSD patut dicurigai apabila terdapat beberapa kondisi sebagai berikut:14,15
Ambiguitas genital yang jelas
Riwayat keluarga DSD, seperti sindrom insensitivitas androgen lengkap/
complete androgen insensitivity syndrome (CAIS)
Ketidaksesuaian antara penampilan genital dan kariotipe prenatal
Alat kelamin wanita yang jelas dengan klitoris yang membesar dan fusi
labial posterior
Alat kelamin wanita yang jelas dengan massa inguinal/labial
Alat kelamin laki-laki jelas dengan testis tidak turun bilateral
Alat kelamin pria yang jelas dengan mikrophallus
Alat kelamin pria yang jelas dengan hipospadia proksimal
Genitalia pria yang jelas dengan hipospadia distal atau mid-shaft dengan
testis yang tidak turun
Pada pemeriksaan kelamin pasien DSD sebaiknya pemeriksa
menggunakan istilah yang netral seperti ‘phallus’ di awal pemeriksaan untuk
klitoris atau penis. Gonad, lipatan labioskrotal, phallus, dan defek urogenital
harus diperiksa satu per satu.
2.5.1 Pemeriksaan Labioskrotum dan Gonad
Lipatan labioskrotum dan keberadaan gonad di skrotum harus dievaluasi
terlebih dahulu. Meskipun gonad yang dapat dipalpasi umumnya adalah
testis, harus diingat bahwa pada kondisi yang jarang dapat berupa ovotestikel.
Selanjutnya, asimetri, maskulinisasi, dan status gonad labioskrotal pada
struktur genital eksternal, adanya pembengkakan, pigmentasi, fusi, dan lipatan
labioskrotal harus dinilai dengan inspeksi dan palpasi. Hiperpigmentasi di
daerah genital atau daerah puting mungkin merupakan tanda adanya CAH.
Pemeriksaan inguinal sangat penting pada anak perempuan, meskipun
fenotipe normal perempuan. Adanya hernia harus diselidiki dengan palpasi
bilateral.
2.5.2 Pemeriksaan Phallus
Panjang penis yang diukur dengan peregangan dari penopubic junction ke
kepala glans harus setidaknya 2–3 cm dan diameternya harus 0,9 cm pada bayi cukup bulan. Amati juga posisi uretra. Apabila muara uretra berada
di ventral penis, maka kondisi ini disebut sebagai hipospadia. Ada atau
tidak adanya chordae harus ditentukan pada pemeriksaan fisik pada bayi
ini. Klitoris mungkin tampak lebih besar karena jumlah jaringan adiposa
yang sedikit di labia pada bayi prematur. Selain itu, juga harus diingat
bahwa peningkatan kadar dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA-S) dapat
menyebabkan klitoromegali yang umumnya membaik pada bulan pertama
pascakelahiran dengan penurunan DHEA-S.
Dari hasil pemeriksaan di atas, jenis kelamin dan DSD dapat dijabarkan
menggunakan skala Prader dan skor maskulinisasi eksternal (External
Masculinization Score). Skala Quigley tidak disarankan untuk digunakan
pada bayi baru lahir karena umumnya digunakan pada pasien 46,XY yang
mengalami sindrom insensitivitas androgen. Selain itu, skala 6 dan 7 tidak
dapat dibedakan hingga pubertas.16
Skala Prader atau Prader staging adalah sistem penilaian sederhana untuk
mengukur tingkat virilisasi alat kelamin yang dibuat oleh Andrea Prader dan
mirip dengan skala Quigley. Skala ini mulanya digunakan untuk menilai
virilisasi alat kelamin wanita dalam kasus hiperplasia adrenal kongenital dan
mengidentifikasi lima tahap yang berbeda.17 Namun, belakangan ini telah
digunakan untuk menggambarkan kisaran perbedaan alat kelamin luar,
dengan presentasi bayi normal ditunjukkan pada kedua ujungnya. Skala
perempuan berada di sebelah kiri dan laki-laki di sebelah kanan.
Skala Prader terdiri atas 7 kondisi yang dijelaskan sebagai berikut
(perhatikan Gambar 2.6):
1. Wanita dengan alat kelamin eksternal normal dan wanita dengan
Sindrom Turner 45,X dan 45,X/46,XX. Namun, mereka yang 46,XY
dan memiliki bentuk lengkap disgenesis gonad 46,XY dan sindrom
insensitivitas androgen dapat memiliki gambaran yang serupa.
2. Prader 1 ditandai dengan klitoris yang sedikit membesar tanpa fusi
labioskrotal. Prader I dapat dianggap sebagai kondisi umum yang ada
pada populasi wanita secara umum.3. Prader 2 ditandai dengan klitoromegali dengan fusi labioskrotal bagian
posterior.
4. Prader 3 ditandai klitoromegali dengan orifisium urogenital yang tunggal
dan fusi labioskrotal yang hampir lengkap.
5. Prader 4 dikenal dengan phallic clitoris, ditandai dengan sinus urogenital
yang menyerupai uretra terletak di pangkal klitoris dan fusi labioskrotal
yang lengkap.
6. Prader 5 dikenal dengan penile clitoris (phallus menyerupai penis), ditandai
dengan meatus uretra pada batang phallus, daerah balanik (hipospadia
glandular) hingga di ujung penis, dan labioskrotal menyerupai skrotum
tanpa adanya gonad.
7. Laki-laki normal dengan genitalia eksterna yang khas dan testis yang
normal di skrotum.External Masculinization Score (EMS) adalah sistem penilain tervalidasi
yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat maskulinisasi. Setiap fitur alat
kelamin luar (ukuran lingga, fusi labioskrotal, lokasi gonad, dan lokasi meatus
uretra) dapat dinilai secara individual untuk memberikan skor dari 0–12.14
(Gambar 2.7).
2.6 TATA LAKSANA DI LAYANAN PRIMER
Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan apabila nakes layanan primer
menemukan kondisi-kondisi abnormalitas pada organ kelamin bayi baru lahir
adalah sebagai berikut:
1. Semua bayi yang baru lahir harus diperiksa dan diidentifikasi jenis
kelamin laki-laki atau perempuan.
2. Apabila testis tidak turun sempurna dan hanya teridentifikasi dengan
perabaan atau terjadi undensensus testis unilateral, lakukan pemeriksaan
ulang atau rujukan setelah 6 minggu. Pemeriksaan dapat dilakukan oleh
dokter umum yang terlatih atau dokter spesialis.
3. Apabila pasien memiliki hipospadia distal (bukan penoskrotal atau
perineal) dan tidak ditemukan kelainan lain yang membutuhkan
penanganan segera, edukasi pasien untuk menunda khitan hingga pasien
telah ditatalaksana oleh dokter spesialis urologi.4. Bayi dengan suspek DSD yang memerlukan evaluasi klinis lebih lanjut
dan perlu untuk dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis. Kasus
ini mencakup bayi dengan hipospadia perineal terisolasi, mikropenis
terisolasi, klitoromegali terisolasi, segala bentuk hipospadia familial, dan
mereka yang memiliki kombinasi anomali genital dengan EMS kurang
dari 11.14
5. Jika terdapat kondisi DSD yang jenis kelaminnya belum pasti, jelaskan
kepada orang tua bahwa tidak mungkin untuk menentukan apakah
bayi mereka laki-laki atau perempuan pada saat ini. Menduga-duga jenis
kelamin dapat merugikan pasien dan orang tua sebab ada kemungkinan
kesulitan untuk menerima perubahan jenis kelamin di kemudian hari
apabila pola asuh orang tua berbeda dengan kenyataan jenis kelamin.
6. Lakukanlah rujukan ke pusat rujukan tersier yang umumnya berlokasi
di ibu kota provinsi Anda.
2.7 PEMERIKSAAN KROMATIN SEKS SEDERHANA
Pada individu dengan lebih dari satu kromosom X, akan terjadi inaktivasi
(Lyonisasi) pada satu kromosom X di periode awal perkembangan embrio.19
Dengan demikian, perempuan dengan kromosom yang normal (46,XX) akan
memiliki satu kromosom yang inaktif, sementara laki-laki (46,XY) tidak
memiliki kromosom X yang inaktif. Namun, dilaporkan bahwa kromosom
X yang mengalami inaktivasi ini dapat mengalami reaktivasi pada pasien
dengan kanker payudara.20 Kromosom X yang inaktif ini dapat diamati
pada neutrofil, mukosa mulut dan vagina, epitel kornea, fibroblas, dan sel
pulpa gigi.21,22 Pada neutrofil, kromosom X yang inaktif akan memberikan
gambaran unik berupa drum stick (DS) di bagian inti. Sementara pada epitel
kornea, mukosa mulut dan vagina, serta fibroblas disebut “Barr body”.
DS pertama kali diidentifikasi oleh Davidson dan Smith sebagai struktur
tambahan di inti. Oleh karena itu, DS sering juga disebut sebagai “Davidson’s
bodies”. DS ditemukan pada 0,5% hingga 2,6% neutrofil. Davidson dan Smith
mengklasifikasikan lima jenis tambahan inti pada neutrofil dewasa: DS, sessile nodule, small club, lobus minor (minor lobe), dan raket. Mereka menganggap
hanya DS yang terkait dengan kromatin seks.23 Namun, Kosenow percaya
bahwa sessile nodule memiliki kemaknaan diagnostik jenis kelamin yang
sama.24 DS memiliki kepala bulat yang tegas, padat, berdiameter sekitar 1,5
mikron, dan dihubungkan oleh satu untaian halus ke satu lobus nukleus.
Sessile nodule memiliki penampilan seperti DS tetapi tidak memiliki batang
penghubung. Lobus minor berukuran besar, memiliki dua untai penghubung,
berupa garis tidak teratur. Small club (tongkat kecil) memiliki diameter kepala
kurang dari 1 mikron dan tidak terlihat pada perbesaran x90; sering multipel
dan lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Sessile nodule dan tag lebih
sering terjadi pada wanita. Struktur raket berbeda dari DS karena memiliki
bagian tengah yang pucat.
Pemeriksaan DS pada neutrofil dapat dilakukan sesuai dengan tahapan
berikut:
1. Sterilkan daerah yang akan diambil darahnya dengan menggunakan
alkohol 96%
2. Ambil sampel darah dengan menusukkan lancet pada daerah yang telah
disterilkan
3. Teteskan darah pada gelas objek
4. Buat preparat hapus
5. Keringkan pada suhu ruangan
6. Fiksasi preparat dengan larutan fixatif (metanol) selama 5 menit
7. Warnai preparat dengan larutan Giemsa selama 5 menit
8. Bilas dengan air keran lalu keringkan
9. Amati 100 neutrofil dengan mikroskop, dimulai dari ujung preparat
hapus
10. Bila ditemukan DS dalam neutrofil, maka pasien kemungkinan
perempuan (46,XX). Bila tidak ditemukan DS, maka pasien
kemungkinan laki-laki (46,XY), pasien dengan insensitivitas androgen
(46,XY), atau Sindrom Turner (45,X)
Pemeriksaan DS memiliki sensitivitas 94.28% dan spesifisitas 90%.
Kemaknaan klinis yang baik ini diperoleh hanya dengan mendeteksi satu DS
dari pemeriksaan 100 neutrofil pada sampel hapusan darah tepi.25
Kelainan jumlah kromosom dapat terjadi pada kromosom X, misalnya
45,X (Sindrom Turner), 47,XXY dan 48,XXXY (Sindrom Klinefelter
dan variasinya), serta 47,XXX. Dengan demikian, pada kondisi 47,XXY,
48,XXXY, dan 47,XXX seharusnya didapatkan tambahan kromosom inaktif
yang membentuk DS ekstra. Namun, dilaporkan bahwa Sindrom Klinefelter
memiliki insiden DS lebih rendah daripada wanita normal sedangkan
frekuensi Barr body tidak menurun.24 Sementara pasien dengan kromosom
XXX dan XXXY tidak mengalami pertambahan jumlah DS, namun insiden
sessile nodule meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tambahan kromosom
X yang ketiga tidak dapat membentuk DS tambahan namun membentuk
sessile nodule.
26
Pemeriksaan DS ini tergolong sederhana dan dapat dilakukan di layanan
primer. Namun, bukan berarti pemeriksaan ini dapat menggantikan rujukan
pasien DSD ke pusat layanan yang lebih komprehensif mengingat pemeriksaan
ini tidak sepenuhnya dapat menggantikan pemeriksaan genetik yang telah
menjadi standar baku dalam pelayanan pasien DSD.
Penentuan jenis kelamin seseorang terjadi sejak proses pembuahan, di mana
struktur genitalia internal serta eksternal akan berkembang pada mingguminggu selanjutnya. Namun, proses perkembangan ini tidak selalu terjadi
secara normal, menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan differences
of sex development (DSD). Klasifikasi DSD meliputi tiga bagian besar, yaitu
DSD kromosom seks, DSD 46,XY, dan DSD 46,XX. Spektrum DSD ini
cukup luas, dari yang tidak mengancam jiwa sampai yang mengancam jiwa
seperti adrenal hiperplasia.
Identifikasi jenis kelamin ini perlu dilakukan sesegera mungkin setelah
bayi baru lahir tentunya setelah pemeriksaan tanda-tanda vital. Pemeriksaan
kelamin laki-laki meliputi penis, preputium, meatus uretra, skrotum, dan
testis. Sementara pemeriksaan kelamin perempuan meliputi labia mayor, labia
minor, klitoris, meatus uretra, dan vagina. Bentuk alat kelamin yang tidak
jelas merupakan suatu dugaan adanya DSD. Penilaian jenis kelamin dapat
dinterpretasikan dengan menggunakan skala Prader yang terdiri atas tujuh
kondisi. Penilaian yang lain dapat dilakukan dengan External Masculinization
Score (EMS) dengan skor 0–12. Pemeriksaan seks kromatin dapat dilakukan
untuk melakukan skrining terhadap bayi yang mengalami DSD. Pemeriksaan
seks kromatin berupa gambaran Barr Body dan Drum Stick. Layanan
kesehatan primer berperan penting sebagai garda terdepan dalam hal deteksi
dini bayi lahir dengan DSD serta merujuk ke fasilitas kesehatan tingkat
lanjut agar pasien dapat ditatalaksana secara komprehensif. Apabila terjadi
keraguan dalam menentukan jenis kelamin seorang bayi baru lahir, sebaiknya
penetapan jenis kelamin ini ditunda sementara waktu.
Hormon tiroid sangat penting untuk perkembangan sistem saraf
pusat bahkan sejak bayi di dalam rahim. Kondisi hipotiroid
kongenital sangat berisiko mengganggu perkembangan otak
dan intelektual anak. Data menunjukkan bahwa lebih dari 1,7 juta orang di
Indonesia berpotensi mengalami gangguan tiroid. Kasus positif gangguan
tiroid pada bayi yang baru lahir dilaporkan sebesar 1:2.736. Jumlah ini lebih
tinggi jika dibandingkan dengan rasio global, yaitu 1:3000 kelahiran. Sangat
penting untuk melakukan skrining hipotiroid kongenital sebagai upaya
pencegahan terjadinya hipotiroid kongenital.1
Salah satu upaya meningkatkan kualitas hidup anak adalah dengan
melaksanakan pemeriksaan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK). Hal
tersebut sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
No. 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan Anak, dan diperjelas secara
teknis dengan Permenkes No. 78 Tahun 2014 tentang SHK. Permenkes
tersebut menegaskan bahwa salah satu pelayanan kesehatan bayi baru lahir
adalah skrining bayi baru lahir, yang dilakukan terhadap setiap bayi baru
lahir oleh tenaga kesehatan, dan paling sedikit meliputi Skrining Hipotiroid
Kongenital (SHK).2,3
3.2 AKSIS HIPOTALAMUS-HIPOFISIS-TIROID
Hormon ini penting untuk brain development, kerja otot, baik otot lurik
atau polos, pertumbuhan lempeng epifisis, mengatur suhu, metabolisme tubuh, dsb. Pada proses release dari otak, awalnya daerah hipotalamus akan
menghasilkan TRH (Thyroid Releasing Hormone). TRH akan menstimulasi
hipofisis untuk menghasilkan TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dan
menstimulasi release tiroksin dari kelenjar tiroid.4,5
Hipotiroid ini dapat terjadi sejak lahir (kongenital) atau acquired (didapat).
Hipotiroid kongenital adalah kondisi di mana fungsi kelenjar tiroid pada anak
menurun atau tidak berfungsi sejak lahir. Kelainan kelenjar tiroid ini bisa
diikuti kelainan bentuk (anatomis) yang lebih kecil atau tidak terbentuk.
Kelainan tiroid ini mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan fisik
dan mental anak melambat. Hipotiroid yang didapat sebagian besar terjadi
pada penyakit autoimun, misalnya Tiroiditis Hashimoto.6
Permasalahan hipotiroid merupakan masalah yang sangat penting. Jika
tidak segera mendapat penanganan, bayi dengan hipotiroid kongenital akan
mengalami gangguan tumbuh kembang hingga retardasi mental. Untuk
diketahui, hormon tiroid memegang peran penting dalam perkembangan
susunan saraf pusat di otak, mengatur panas tubuh, metabolisme, serta
membantu jantung, otot, dan organ tubuh lainnya berfungsi dengan baik.6
3.3 HIPOTIROID KONGENITAL PRIMER
3.3.1 Gejala
Lebih dari 95% bayi dengan hipotiroid kongenital tidak memperlihatkan gejala
saat lahir. Kalaupun ada, sangat samar dan tidak khas. Tanpa pengobatan,
gejala akan semakin tampak dengan bertambahnya usia.7
Gejala dan tanda yang dapat muncul:8
1. letargi (aktivitas menurun);
2. ikterus (kuning);
3. makroglosi (lidah besar);
4. hernia umbilikalis (bodong);
5. hidung pesek;
6. konstipasi; 7. kulit kering;
8. skin mottling (cutis marmorata)/burik;
9. mudah tersedak;
10. suara serak;
11. hipotoni (tonus otot menurun);
12. ubun-ubun melebar;
13. perut buncit;
14. mudah kedinginan (intoleransi terhadap dingin);
15. miksedema (wajah sembap);
16. udem scrotum.Jika sudah muncul gejala klinis, berarti telah terjadi retardasi mental.
Untuk itu penting sekali dilakukan SHK pada semua bayi baru lahir sebelum
timbulnya gejala klinis di atas karena makin lama gejala makin berat.
Hambatan pertumbuhan dan perkembangan mulai tampak nyata pada umur
3–6 bulan dan gejala khas hipotiroid menjadi lebih jelas. Perkembangan
mental semakin terbelakang, terlambat duduk, dan berdiri serta tidak mampu
belajar bicara.9
HK pada bayi baru lahir dapat bersifat menetap (permanen) maupun
transien. Disebut sebagai HK transien bila setelah beberapa bulan atau
beberapa tahun sejak kelahiran, kelenjar tiroid mampu memproduksi sendiri
hormon tiroidnya sehingga pengobatan dapat dihentikan. HK permanen
membutuhkan pengobatan seumur hidup dan penanganan khusus. Penderita
HK permanen ini akan menjadi beban keluarga dan negara.10 Untuk itu,
penting sekali dilakukan SHK pada semua bayi baru lahir sebelum timbulnya
gejala klinis di atas, karena makin lama gejala makin berat.
Bila tidak segera dideteksi dan diobati, maka bayi akan mengalami
kecacatan yang sangat merugikan kehidupan berikutnya. Anak akan mengalami
gangguan pertumbuhan fisik secara keseluruhan, dan yang paling menyedihkan
adalah perkembangan mental terbelakang yang tidak bisa dipulihkan. Keluarga
yang memiliki anak dengan gangguan hipotiroid kongenital akan mendapat
dampak secara ekonomi maupun psikososial. Anak dengan retardasi mental
akan membebani keluarga secara ekonomi karena harus mendapat pendidikan,
pengasuhan, dan pengawasan yang khusus. Secara psikososial, keluarga akan
lebih rentan terhadap lingkungan sosial karena rendah diri dan menjadi stigma
dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu, produktivitas keluarga menurun
karena harus mengasuh anak dengan hipotiroid kongenital.
Bila tidak dilakukan skrining pada setiap bayi baru lahir, negara akan
menanggung beban biaya pendidikan maupun pengobatan terhadap kurang
lebih 1600 bayi dengan hipotiroid kongenital setiap tahun. Jumlah penderita
akan terakumulasi setiap tahunnya. Selanjutnya negara akan mengalami
kerugian sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan
bangsa.
3.3.2 Skrining Hipotiroid Kongenital
Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) adalah skrining/uji saring untuk
memilah bayi yang menderita HK dari bayi yang bukan penderita. SHK
bukan hanya melakukan tes laboratorium, tetapi merupakan suatu sistem
dengan mengintegrasikan proses/prosedur maupun individu yang terlibat,
yaitu manajemen puskesmas/rumah sakit, penanggung jawab program,
petugas kesehatan, orang tua, masyarakat, pemerintah, dan pemerintah
daerah. Sistem ini mencakup komponen Komunikasi, Informasi, Edukasi
(KIE), pengambilan dan pemeriksaan spesimen, tindak lanjut hasil skrining,
diagnosis, tata laksana, pemantauan kasus, pengorganisasian, dan monitoringevaluasi program.3
Secara garis besar, dibedakan tiga tahapan utama yang sama
pentingnya dalam pelaksanaan skrining yaitu,3 1) praskrining; 2) skrining;
3) pascaskrining.
Sebelum tes laboratorium, diperlukan sosialisasi, advokasi, dan edukasi
termasuk pelatihan. Proses skrining, bagaimana prosedur yang benar,
sensitivitas dan spesifisitas, validitas, pemantapan mutu (eksternal/internal).
Tindak lanjut hasil tes, pemanggilan kembali bayi untuk tes konfirmasi,
dilanjutkan diagnosis dan tata laksana pada kasus hasil tinggi HK
Pada bagian ini akan dibahas tentang KIE, proses skrining, dan tindak
lanjut hasil skrining. Pembahasan tentang laboratorium, tata laksana kasus,
dan pengorganisasian akan dibahas tersendiri.3
3.3.3 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
Komunikasi, informasi, dan edukasi merupakan suatu proses berkelanjutan
untuk menyampaikan kabar/berita dari komunikator kepada penerima
pesan agar terjadi perubahan pengetahuan dan perilaku sesuai isi pesan yang
disampaikan. Media KIE dapat berupa leaflet, video, poster, brosur, dan
lain-lain.3
1. Tujuan KIE
Tujuan KIE adalah timbulnya reaksi/respons positif pemangku
kebijakan, tenaga kesehatan, orang tua, keluarga, dan masyarakat agar
dapat melaksanakan SHK pada bayi baru lahir.3
2. Prinsip KIE
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan KIE.
Penyampaian pesan harus dengan cara persuasif, dengan bahasa yang
sederhana dan memperhatikan keadaan/kondisi lawan bicara.3
Isi pesan yang akan disampaikan terutama tentang keuntungan dan
kerugian pada bayi jika memperoleh/tidak memperoleh SHK. Pesan yang
disampaikan mengacu pada leaflet, brosur, dll. Sasaran KIE pada SHK: 1)
ibu/orang tua/keluarga; 2) masyarakat luas; 3) tenaga kesehatan; 4) pemangku
kebijakan.
3.4 PROSES SKRINING
Secara garis besar, skrining bayi baru lahir meliputi proses:
3.4.1 Persiapan
1. Persiapan Bayi dan Keluarga
Memotivasi keluarga, ayah/ibu bayi baru lahir sangat penting.
Penjelasan kepada orang tua tentang skrining pada bayi baru lahir dengan pengambilan tetes darah tumit bayi dan keuntungan skrining ini
bagi masa depan bayi akan mendorong orang tua untuk mau melakukan
skrining bagi bayinya.3
2. Persetujuan/Penolakan
1) Persetujuan (informed consent)
Persetujuan (informed consent) tidak perlu tertulis khusus,
tetapi dicantumkan bersama-sama dengan persetujuan
tindakan medis lain pada saat bayi masuk ke ruang perawatan
bayi.
2) Penolakan (dissent consent/refusal consent)
Bila tindakan pengambilan darah pada BBL ditolak, maka
orang tua harus menandatangani formulir penolakan. Hal
ini dilakukan agar jika di kemudian hari didapati bayi yang
bersangkutan menderita HK, orang tua tidak akan menuntut
atau menyalahkan tenaga kesehatan dan/atau fasilitas
pelayanan kesehatan. Contoh formulir penolakan dapat
dilihat pada formulir.1
Formulir ini harus disimpan pada rekam medis bayi. Bila kelahiran
dilakukan di rumah, bidan/penolong persalinan harus tetap meminta
orang tua menandatangani atau membubuhkan cap jempol pada
formulir “penolakan” yang dibawa dan harus disimpan dalam arsip di
fasilitas pelayanan kesehatan tempatnya bekerja. Penolakan dapat terjadi
terhadap skrining maupun tes konfirmasi. Jumlah penolakan tindakan
pengambilan spesimen darah dan formulirnya harus dilaporkan secara
berjenjang pada koordinator. Skrining BBL tingkat provinsi/kabupaten/
kota, melalui koordinator tingkat puskesmas setempat pada bulan
berikutnya.
3. Persiapan Alat
Alat yang akan digunakan harus dipersiapkan terlebih dahulu.
Alat tersebut terdiri atas: Sarung tangan steril non powder;
Lancet;
Kotak limbah tajam/safety box;
Kertas saring;
Kapas;
Alkohol 70% atau alcohol swab;
Kasa steril;
Rak pengering
4. Persiapan diri
Dalam melakukan pengambilan spesimen, petugas perlu
memperhatikan hal-hal di bawah ini:
Semua bercak darah berpotensi untuk menularkan infeksi.
Oleh karena itu harus berhati-hati dalam penanganannya.
Meja yang digunakan untuk alas menulis identitas pada kartu
kertas saring harus diberi alas plastik atau laken dan harus
diganti atau dicuci setiap hari. Hal ini perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya kontaminasi spesimen darah ke kertas
saring lainnya.
Gunakan alat pelindung diri (APD) saat penanganan
spesimen.
Sebelum dan setelah menangani spesimen, biasakan mencuci
tangan memakai sabun dan air bersih mengalir,3 sesuai
prosedur Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tempat
kerja.
3.4.2 Pengambilan Spesimen
Hal yang penting diperhatikan pada pengambilan spesimen ialah:3
Waktu pengambilan (timing);
Data/identitas bayi;
Metode pengambilan;
Pengiriman/transportasi;
Kesalahan pada pengambilan spesimen.
a. Waktu (timing) Pengambilan Darah
Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur
bayi 48 sampai 72 jam.3
b. Data/Identitas Bayi3
Isi identitas bayi dengan lengkap dan benar dalam kertas saring. Data
yang kurang lengkap akan memperlambat penyampaian hasil tes.
Petunjuk umum pengisian identitas bayi pada kertas saring:
Pastikan tangan pengisi data/pengambil spesimen darah bersih
dan kering sebelum mengambil kartu informasi/kertas saring.
Gunakan sarung tangan. Usahakan tangan tidak menyentuh
bulatan pada kertas saring.
Hindari pencemaran pada kertas saring seperti air, air teh, air kopi,
minyak, susu, cairan antiseptik, bedak, dan/atau kotoran lain. Pastikan data ditulis lengkap dan hindari kesalahan menulis
data. Bila data tidak lengkap dan salah, akan menghambat
atau menunda kecepatan dalam pemberian hasil tes dan
kesalahan interpretasi.
Isi data pasien dengan ballpoint warna hitam/biru yang tidak
luntur.
Amankan kertas saring agar tidak kotor. Usahakan kertas
saring tidak banyak disentuh petugas lain.
Tuliskan seluruh data dengan jelas dan lengkap. Gunakan
HURUF KAPITAL.
Petunjuk pengisian data demografi bayi dalam kertas saring. Harap
diisi:
Nama rumah sakit/rumah bersalin/puskesmas/klinik bidan
Nomor rekam medis bayi
Nama ibu, suku bangsa/etnis, dan nama bayi bila sudah ada
Nama ayah, suku bangsa/etnis
Alamat dengan jelas (nomor rumah, jalan/gang/blok/ RT/
RW, kode pos)
Nomor telepon dan telepon seluler, atau nomor telepon yang
dapat dihubungi. Lengkapi dengan email jika ada
Dokter/petugas penanggung jawab beserta nomor telepon
selulernya
Kembar atau tidak, beri tanda √ pada kotak yang disediakan.
Bila kembar, beri tanda √ sesuai jumlah kembar
Umur kehamilan dalam minggu
Prematur atau tidak
Jenis kelamin, beri tanda √ pada kotak yang disediakan
Berat badan dalam gram, pilih prematur atau tidak
Data lahir:
– Tanggal 2 digit (contoh tanggal 2 → 02)
– Bulan 2 digit (contoh bulan Maret → 03, Desember → 12)– Tahun 2 digit (contoh tahun 2006 → 06 , 2012 → 12)
– Data jam bayi lahir, jam:menit (contoh, 10:15)
Data spesimen:
– Tanggal/bulan/tahun, 2 digit
(contoh: 8 Februari 2006 → 08/02/06)
– Data jam diambil spesimen, jam:menit (contoh, 10:15)
– Spesimen diambil dari darah tumit atau vena
Keterangan lain, bila ada bisa ditambahkan:
– Transfusi darah (ya/tidak)
– Ibu minum obat anti tiroid saat hamil
– Ada atau tidak kelainan bawaan pada bayi
– Bayi sakit (dengan perawatan di NICU)
– Bayi mendapat pengobatan atau tidak. Bila mendapat
pengobatan, disebutkan
c. Metode dan Tempat Pengambilan Darah
Teknik pengambilan darah yang digunakan adalah melalui tumit bayi
(heel prick). Teknik ini adalah cara yang sangat dianjurkan dan paling
banyak dilakukan di seluruh dunia. Darah yang keluar diteteskan
pada kertas saring khusus sampai bulatan kertas penuh terisi darah,
kemudian setelah kering dikirim ke laboratorium SHK.3
Prosedur pengambilan spesimen darah melalui tahapan berikut:
Cuci tangan menggunakan sabun dengan air bersih mengalir
dan menggunakan sarung tangan
Hangatkan tumit bayi yang akan ditusuk dengan cara:
– Menggosok-gosok dengan jari, atau;
– Menempelkan handuk hangat (perhatikan suhu yang
tepat), atau;
– Menempelkan penghangat elektrik, atau;
– Dihangatkan dengan penghangat bayi/baby warmer/
lampu pemancar panas/ radiant warmer.
Supaya aliran darah lebih lancar, posisikan kaki lebih rendah
dari kepala bayi
Agar bayi lebih tenang, pengambilan spesimen dilakukan
sambil disusui ibunya atau dengan perlekatan kulit bayi
dengan kulit ibu (skin to skin contact)
Tentukan lokasi penusukan, yaitu bagian lateral tumit kiri
atau kanan sesuai daerah berwarna merah (Gambar 3.5)
Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan antiseptik kapas
alkohol 70%, biarkan kering (Gambar 3.6)
Tusuk tumit dengan lanset steril sekali pakai dengan
kedalaman 2 mm. Gunakan lanset dengan ujung berbentuk
pisau (blade tip lancet) (Gambar 3.6)
Setelah tumit ditusuk, usap tetes darah pertama dengan kain
kasa steril (Gambar 3.7)
Kemudian lakukan pijatan lembut sehingga terbentuk tetes
darah yang cukup besar Hindarkan gerakan memeras karena
akan mengakibatkan hemolisis atau darah tercampur cairan
jaringan (Gambar 3.7).
• Selanjutnya teteskan darah ke tengah bulatan kertas saring
sampai bulatan terisi penuh dan tembus kedua sisi. Hindarkan
tetesan darah yang berlapis-lapis (layering). Ulangi meneteskan
darah ke atas bulatan lain. Bila darah tidak cukup, lakukan
tusukan di tempat terpisah dengan menggunakan lanset baru
(Gambar 3.8). Agar bisa diperiksa, dibutuhkan sedikitnya satu
bulatan penuh spesimen darah kertas saring.
• Sesudah bulatan kertas saring terisi penuh, tekan bekas
tusukan dengan kasa/kapas steril sambil mengangkat
tumit bayi sampai berada di atas kepala bayi (Gambar 3.8).
Bekas tusukan diberi plester ataupun pembalut hanya jika
diperlukan.
Kertas saring dapat dikirim pada laboratorium senter skrining. Hasil
positif perlu mendapat follow-up
SHK dan terapi dini akan membantu penderita hipotiroid kongenital bisa
tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lainnya. Pemerintah mengeluarkan
Permenkes Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan Anak, serta
Permenkes Nomor 78 Tahun 2014 Tentang Skrining Hipotiroid Kongenital.
Dengan adanya SHK ini diharapkan kasus hipotiroid kongenital primer dapat
terdeteksi lebih awal sehingga morbiditasnya dapat diturunkan.
Gangguan pendengaran merupakan kelainan sensorik yang paling
sering terjadi pada manusia. Prevalensi gangguan pendengaran
bawaan pada bayi baru lahir adalah sekitar 1‒3 kasus per
1.000 dan pada kurang lebih 60% kasus didapatkan saat fase prelingual.
Fase prelingual adalah gangguan pendengaran yang didapatkan sebelum
fase perkembangan bicara, yaitu usia 2‒3 tahun dan sering disebabkan oleh
faktor kongenital. Satu dari 1.000 orang anak akan menjadi tuli sebelum
dewasa. Pada usia 60 tahun ke atas, kemungkinan gangguan pendengaran
meningkat sampai dengan 50%, kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh faktor
genetik.1
Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh banyak faktor penyebab
dan memengaruhi kualitas hidup. Saat ini tingkat gangguan pendengaran
sekunder akibat penyebab lingkungan menurun sehingga faktor genetik harus
ditelusuri. Kemajuan dalam pemeriksaan biologi molekuler faktor genetik
telah meningkatkan deteksi dan intervensi dini pada penderita dengan
gangguan pendengaran. Teknologi implan koklea pada penderita dengan
gangguan pendengaran yang berat menghasilkan keterampilan berbahasa
dan komunikasi yang baik sehingga memahami kerangka komprehensif yang
mendasari penyebab gangguan pendengaran dan manajemen penatalaksanaan
gangguan pendengaran perlu dilakukan.2
4.2 DEFINISI
Gangguan pendengaran disebabkan oleh hambatan di telinga luar, tengah,
atau dalam yang menyebabkan hambatan gelombang suara masuk ke dalam liang telinga sampai ke batang otak. Gangguan pendengaran diklasifikasikan
berdasarkan jenis, onset, tingkat keparahan, dan frekuensi.3
Jenis gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli konduktif
(Conductive Hearing Loss/CHL) yang terjadi akibat kelainan pada telinga luar
dan/atau tulang-tulang pendengaran di telinga tengah. Tuli sensorineural
(Sensorineural Hearing Loss/SNHL) terjadi akibat kerusakan struktur dalam
telinga dalam. Tuli campuran (Mix Hearing Loss) adalah kombinasi tuli
konduktif dan sensorineural serta disfungsi pendengaran pusat karena
disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi pada tingkat saraf kranial kedelapan,
batang otak, atau korteks serebral.4
Onset gangguan pendengaran dapat terjadi saat fase prabahasa
(prelingual) yang muncul sebelum perkembangan proses berbicara dan
berbahasa, yaitu sebelum usia 2‒3 tahun. Tuli kongenital adalah prelingual,
tetapi tidak semua gangguan pendengaran prabahasa (prelingual) disebabkan
oleh faktor genetik karena bisa disebabkan oleh faktor lingkungan. Sedangkan
gangguan pendengaran pascabahasa (postlingual) terjadi setelah perkembangan
bicara normal, yaitu setelah usia 2‒3 tahun.4 Gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh faktor genetik merupakan tuli sensorineural (Sensorineural
Hearing Loss/SNHL). Klasifikasi tuli genetik secara umum dibedakan dengan
tuli genetik sindromik dan nonsindromik.5
Derajat gangguan pendengaran terbagi menjadi ringan (>25–40 dB),
sedang (>40‒55 dB), sedang berat (>55–70 dB), berat (>70–90 dB), dan sangat
berat (>90 dB).4
4.3 EPIDEMIOLOGI
Gangguan pendengaran kongenital terjadi pada 1 bayi dari setiap 1.000
hingga 2.000 kelahiran. Lebih dari 50% dari semua kasus tuli prelingual
dipengaruhi oleh faktor genetik, sedangkan 40% hingga 50% merupakan
kasus sekunder akibat faktor lingkungan karena penyebab infeksi atau
iatrogenik saat kehamilan dan persalinan. Tuli kongenital karena faktor
genetik dibagi menjadi tuli genetik sindromik yang dapat terjadi pada 15–30 % kasus dan nonsindromik (70 %) dari gangguan pendengaran yang
dipengaruhi oleh faktor genetik.1,5
Studi epidemiologi terkait faktor usia dan kontribusi faktor genetik
terhadap gangguan pendengaran belum sepenuhnya diketahui karena
didapatkan lebih dari 100 gen yang berpengaruh terhadap gangguan
pendengaran. Kondisi tersebut dapat memberikan dampak gangguan
pendengaran pada masyarakat, sehingga deteksi gangguan pendengaran
sejak dini sangat perlu dilakukan agar gangguan pendengaran tersebut dapat
ditangani secara dini dan tidak berdampak pada kehidupan sosial penderita
karena hambatan komunikasi dan sosialisasi dalam kehidupan sehari-hari.6
4.4 ETIOLOGI
Gangguan pendengaran dapat muncul saat fase prelingual dan postlingual,
mayoritas terjadi pada fase prelingual yang merupakan tuli kongenital. Tuli
kongenital adalah gangguan pendengaran yang terjadi bawaan sejak dalam
kandungan. Tuli kongenital dapat disebabkan oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik menyebabkan tuli kongenital apabila didapatkan
faktor keturunan dari jalur orang tua penderita. Sedangkan faktor lingkungan
antara lain disebabkan oleh infeksi TORCHS, yaitu Toxoplasma, Rubella,
Citomegalo Virus, Herpes Simplex saat kehamilan, kelainan anatomi kepala
– leher, berat badan bayi lahir sangat rendah (kurang dari 1.500 gram), bayi
mengalami hiperbilirubinemia atau bayi kuning, bayi mengalami asfiksia
berat saat persalinan, pemberian obat ototoksik saat kehamilan, penggunaan
ventilasi mekanik lebih dari 5 hari pada bayi, serta bayi mengalami meningitis
bakterial (Gambar 4.1).
Gangguan pendengaran yang didapat pada orang dewasa paling sering
dikaitkan dengan faktor lingkungan, yaitu paparan kebisingan. Kerentanan
terhadap gangguan pendengaran kemungkinan besar merupakan interaksi
faktor lingkungan dan faktor genetik. Sepuluh persen populasi mengalami
gangguan pendengaran yang cukup parah sehingga mengganggu komunikasi,
dan kondisi ini meningkat menjadi 40% pada individu berusia lebih dari 65
tahun.
Interaksi dan pengaruh faktor genetik dan faktor lingkungan juga
dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Ototoksitas yang diinduksi
aminoglikosida terjadi karena dipengaruhi aspek genetik, yaitu mutasi DNA
mitokondria 1555 A-ke-G.1,5
Etiologi gangguan pendengaran karena faktor genetik dibedakan
menjadi dua, yaitu sindromik dan nonsindromik. Sindromik disebabkan
antara lain oleh sindrom Pendred, sindrom Usher, sindrom Warrdenburg,
sindrom Branchiorenal, sindrom Stickler, sindrom Jervell dan Lange-Nielsen,
dan lain lain. Nonsindromik disebabkan oleh gen yang bersifat autosomal
resesif, autosomal dominan, dan x-linked mitokondria yaitu melalui garis
keturunan ibu (Gambar 4.2).
Sebagian besar tuli genetik yang didiagnosis pada masa bayi dan anak
usia dini bersifat nonsindromik autosomal resesif dengan pewarisan di lokus
DFNB1 dengan mutasi pada GJB2 dan/atau GJB6, yang masing-masing
mengode protein connexin 26 dan connexin 30, dan memberikan koontribusi
sebesar 50% dari tuli genetik nonsindromik resesif autosomal.
4
Diagnosis tuli bawaan ditegakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan fungsi pendengaran, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan
genetik.
4.5.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar tuli genetik yang didiagnosis terjadi pada masa bayi dan
anak usia dini atau dapat disebut sebagai tuli kongenital. Tuli kongenital
adalah gangguan pendengaran yang terjadi bawaan sejak dalam kandungan.
Masa emas perkembangan pendengaran pada anak adalah pada periode usia
2‒3 tahun. Penegakan diagnosis gangguan pendengaran pada bayi baru
lahir diharapkan sudah selesai sebelum usia 3 bulan sehingga bisa segera
mendapatkan tata laksana yang tepat saat usia 6 bulan karena seorang
anak dapat belajar berbicara dan menirukan, diawali dengan kemampuan
mendengar.
Menegakkan diagnosis gangguan pendengaran yang disebabkan faktor
genetik harus dibedakan dari penyebab nongenetik atau lingkungan agar
intervensi yang diberikan tepat dan sesuai. Diagnosis gangguan pendengaran
kongenital memerlukan penelusuran riwayat kehamilan, persalinan,
pascapersalinan dan riwayat ketulian dalam keluarga, pemeriksaan fisik telinga
dan organ lain, pemeriksaan audiologi, dan pemeriksaan penunjang yang
meliputi pemeriksaan radiologi CT-scan tulang temporal, serta pemeriksaan
genetik molekuler. Mendiagnosis penyebab gangguan pendengaran secara
spesifik dan tepat dapat memberikan informasi penting tentang prognostik,
intervensi, dan kepentingan konseling genetik (Gambar 4.3)Riwayat kehamilan dan persalinan yang memengaruhi gangguan
pendengaran kongenital yang harus ditelusuri antara lain yaitu saat hamil menderita infeksi TORCHS (Toxoplasma, Rubella, Citomegalo Virus, Herpes
Simplex), kelainan anatomi kepala – leher, berat badan lahir sangat rendah
(kurang dari 1500 gram), hiperbilirubinemia atau bayi kuning, asfiksia berat
(saat lahir tidak menangis), pemberian obat ototoksik, ventilasi mekanik
lebih dari 5 hari, serta meningitis bakterial. Riwayat keluarga dengan tuli
kongenital pada tiga generasi harus ditelusuri untuk mencari pengaruh faktor
genetik sebagai penyebab tuli kongenital.
Bayi dan anak dalam usia perkembangan dicurigai memiliki gangguan
pendengaran apabila tidak terkejut walaupun ada suara keras, bayi saat
tidur tidak terganggu suara keras, responsif terhadap apa yang dilihat tetapi
kurang responsif terhadap suara, anak dipanggil tidak menoleh, usia 6 bulan
belum mengoceh, ucapan anak tidak benar dan tidak bermakna, saat usia
2‒3 tahun belum dapat bicara, hanya memberikan respons terhadap suara
dengan kekerasan tertentu, dan kemampuan bicara tidak berkembang sesuai
usia.
Deteksi dini tuli kongenital pada bayi baru lahir bertujuan untuk
menyaring gangguan pendengaran segera setelah lahir atau sebelum keluar dari
rumah sakit. Program tersebut termasuk tindak lanjut untuk mengonfirmasi
gangguan pendengaran pada neonatus yang tidak lulus tes skrining awal
sehingga intervensi dapat dimulai untuk mencegah keterlambatan penguasaan
bahasa. Skrining deteksi tuli kongenital bisa dilakukan pada semua bayi baru
lahir (Universal Newborn Hearing Screening) atau hanya pada bayi dengan
risiko tinggi (Targeted Newborn Hearing Screening).
Pemeriksaan fisik pada bayi, anak usia dini, dan pada dewasa dengan
gangguan pendengaran yang tidak diketahui penyebabnya harus dilakukan
secara cermat dan saksama. Tanda fisik yang dicari antara lain branchial
cleft pits, kista atau fistula; preauricular pits, telecanthus, heterochromia iridis,
white forelock, kelainan pigmentasi, high myopia, pigmentary retinopathy, goiter,
kelainan kraniofasial, dan kelainan tulang. Pemeriksaan neurologis berupa
fungsi vestibular dengan pemeriksaan organ mata juga harus dilakukan.
Tujuan pemeriksaan fisik yang cermat terhadap pasien dan anggota keluarga lainnya adalah untuk membuat diagnosis yang benar dan mencari peran
faktor genetik yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran.
Sindrom Waardenburg merupakan gangguan pendengaran sindrom
autosomal dominan yang terbanyak, didapatkan tuli sensorineural
nonprogresif prelingual, kerontokan disertai kelainan pigmentasi pada
kulit, rambut terdapat jambul putih, dan mata terdapat heterochromia iridis.
Sindrom Branchio-Oto-Renal adalah yang kedua terbanyak dari gangguan
pendengaran autosomal dominan. Tipe tuli konduktif, sensorineural, atau
campuran, didapatkan kista atau branchial cleft pits, malformasi telinga luar,
preauricular pits, dan kelainan ginjal.
Sindrom Stickler adalah kelainan autosomal dominan yang
mengakibatkan tuli sensorineural, celah langit-langit, miopia kongenital,
dan displasia spondyloepiphyseal yang akhirnya mengarah pada osteoartritis.
Sindrom Pendred adalah bentuk gangguan pendengaran sindrom autosomal
resesif dengan tuli sensorineural, kelainan tulang temporal dan telinga bagian
dalam, dan struma eutiroid. Struma muncul pada usia pubertas dengan
kemungkinan sebesar 40% atau dewasa sebesar 60%. Gangguan pendengaran
disebabkan oleh kelainan labirin tulang yang melebar yaitu Mondini displasia.
Sindrom Usher ditandai dengan tuli sensorineural, retinitis pigmentosa,
degenerasi retina progresif yang menyebabkan untuk kehilangan penglihatan
pada masa remaja. Sindrom Jervell dan Lange-Nielsen ditandai dengan tuli
sensorineural prelingual dan pemanjangan interval QT.
Tuli kongenital sindrom x-linked antara lain sindrom Alport dan
Sindrom Mohr-Tranebjaerg. Sindrom Alport ditandai dengan tuli sensorineural
post-lingual progresif, glomerulonefritis progresif, dan kelaian mata seperti
lenticonus anterior. Sindrom Mohr-Tranebjaerg memberikan gambaran tuli
sensorineural postlingual progresif, kelainan mata, distonia, patah tulang, dan
keterbelakangan mental.
Selain tuli genetik sindromik, tuli genetik juga disebabkan oleh tuli
nonsindromik yang didapatkan pada 70% ketulian. Jenis ketulian meliputi
nonsindromik autosomal dominan, nonsindromik autosomal resesif, serta
nonsindromik x-linked mitokondria
1. Pemeriksaan Skrining
Skrining deteksi dini yang dapat dilakukan saat bayi baru lahir adalah
dengan pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE). Pemeriksaan OAE bertujuan
untuk menilai fungsi sel rambut luar (Outer Hair Cell/ OHC) rumah siput.
Pemeriksaan OAE dilakukan pada bayi baru lahir dengan syarat terbentuk
liang telinga. Hasil yang didapat adalah lulus atau pass atau tidak lulus atau
refer. Pass berarti fungsi OHC saat pemeriksaan baik, dan bila refer belum
tentu terjadi kerusakan pada OHC. Refer dapat disebabkan karena masih
ada sisa cairan ketuban atau probe pemeriksaan yang kurang pas sehingga
perlu diulang 1 bulan kemudian. Apabila hasil pemeriksaan masih refer saat
diulang, perlu dilakukan pemeriksaan Brainstem Evoked Response Audiometry
(BERA). Tujuan pemeriksaan BERA untuk menilai fungsi pendengaran
perifer, yaitu fungsi saraf pendengaran sampai batang otak. Serangkaian
tes diagnostik pendengaran tersebut dilakukan sebelum usia 3 bulan dan
intervensi dini dilakukan sebelum usia 6 bulan untuk semua bayi dengan
gangguan pendengaran yang terkonfirmasi (Gambar 4.4)
2. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran
Pemeriksaan fungsi pendengaran yang dilakukan berupa OAE dan
BERA merupakan pemeriksaan yang bersifat objektif dan dapat dilakukan
pada usia berapapun. Pemeriksaan audiometri merupakan tes subjektif
yang terdiri atas behavioral testing dan pure tone audiometry yang hanya
dapat dilakukan pada usia tertentu. Behavioral testing terdiri atas behavioral
observation audiometry dan visual reinforcement audiometry. Behavioral
observasional audiometry digunakan pada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan,
sementara visual reinforcement audiometry digunakan pada anak usia 6 bulan
sampai 2,5 tahun dan dapat memberikan hasil audiogram yang baik.
Play audiometry digunakan untuk pemeriksaan pendengaran anak dari
2,5 sampai 5 tahun. Pure tone audiometry dapat digunakan untuk pemeriksaan
pendengaran anak usia 5 tahun dan lebih tua serta dewasa.1
Pemeriksaan audiometri immitans antara lain timpanometri, pemeriksaan
refleks akustik, dan refleks akustik decay. Audiometri immitans dilakukan
untuk mengevaluasi sistem pendengaran perifer, yaitu tekanan telinga tengah,
mobilitas membran timpani, fungsi tuba Eustachius, dan mobilitas tulang
pendengaran telinga tengah.
Profil audiogram hasil pemeriksaan audiometri memberikan gambaran
yang khas pada kasus tuli genetik nonsindromik. Pemeriksaan audiometri
juga harus dilakukan pada anggota keluarga yang lain. Gambaran komposit
sering merupakan karakteristik penyebab genetik yang spesifik dari gangguan
pendengaran autosomal dominan nonsindromik. Salah satu profil audiogram
yang lebih khas dikaitkan dengan gangguan pendengaran DFNA6/14/38
disebabkan oleh mutasi pada WFS1 (Gambar 4.5).
3. Pemeriksaan Radiologi
CT (Computer Tomography) scan adalah tes radiologi terbaik untuk
evaluasi gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kelainan anatomi
yaitu Malformasi Mondini yang menyebabkan pelebaran saluran vestibular.
Pemeriksaan CT-scan tulang temporal juga dilakukan untuk mengevaluasi
penyebab gangguan pendengaran yang mendadak dan progresif yang dapat
disebabkan oleh anomali tulang temporal, neoplasma, penyakit imunologi,
trauma, infeksi, penyakit Lyme, gangguan neurologi dan sirkulasi, serta
penderita dengan dugaan sindrom Pendred. Selain pemeriksaan CT-scan,
pemeriksaan MRI dengan kontras gadolinium juga dapat dikerjakan untuk
evaluasi jaringan lunak atau saraf di dalam telinga dalam. Pemeriksaan USG
ginjal dilakukan untuk pemeriksaan kelainan yang mungkin terkait dengan
sindrom gangguan pendengaran seperti sindrom Branchio-Oto-Renal.
4. Pemeriksaan Genetik
Tes genetik dapat dilakukan untuk berbagai jenis tuli sindromik dan
nonsindromik. Tes genetik GJB2 dan GJB6 mempunyai peran penting dalam
diagnosis dan berguna untuk konseling genetik. Mutasi pada gen tersebut
menyebabkan lebih dari 50% tuli nonsindromik resesif di banyak populasi
dunia.
Displasia Mondini dikaitkan dengan mutasi pada gen SLC26A4
dan POU3F4. Cukup banyak gen lain yang diketahui menyebabkan tuli
nonsindromik walaupun tersedia tes genetik untuk sejumlah gen tersebut,
karena jenisnya banyak dan kontribusinya yang relatif kecil terhadap ketulian
sehingga tidak direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan rutin.
5. Pemeriksaan Prakelahiran
Diagnosis prenatal untuk beberapa bentuk gangguan pendengaran
herediter secara teknis dimungkinkan dengan analisis DNA yang diekstraksi
dari sel janin. Bahan janin dapat diperoleh dengan amniosentesis pada usia
kehamilan 15 sampai 18 minggu atau pengambilan sampel chorionic villus
pada usia kehamilan 10 sampai 12 minggu. Pemeriksaan ini dilakukan
jika ada riwayat ketulian pada tiga generasi kelurga. Akan tetapi, indikasi
intervensi terhadap hasil pemeriksaan masih menjadi perdebatan, apakah
janin yang dikandung akan diterminasi atau menjadi persiapan penanganan
pascakelahiran.
6. Konseling Genetik
Konseling genetik dan penilaian risiko tergantung pada penentuan
yang akurat dari diagnosis genetik yang spesifik. Konseling genetik harus
didukung dengan data tentang diagnosis yang spesifik, faktor risiko genetik,
dan ekspresi GJB2 dan GJB6 serta gen lain yang berperan.
Konseling genetik juga dilakukan untuk individu tuna rungu yang
membutuhkan informasi tentang penyebab ketulian dan informasi
tentang pencegahan agar tidak ada keturunan yang mengalami gangguan
pendengaran.
PENCEGAHAN GANGGUAN PENDENGARAN
Terapi yang ideal belum tentu memperbaiki gangguan pendengaran, sehingga
perlu upaya pencegahan gangguan pendengaran dengan mengurangi aspek
risiko dan aspek genetik. Upaya yang dapat dilaksanakan dengan program
vaksinasi, edukasi faktor yang memperburuk seperti kebisingan, konseling
genetic, dan edukasi pada populasi dengan prevalensi kekerabatan pada
gangguan pendengaran yang didapat dan turun-temurun.
Penatalaksanaan gangguan pendengaran kongenital dilakukan kolaborasi oleh
dokter THT, ahli genetik, dokter anak, ahli saraf, dokter mata anak, dan guru
pendidik tuna rungu. Deteksi dan intervensi dini sangat direkomendasikan
untuk menghindari dampak yang tidak baik untuk perkembangan
kehidupan selanjutnya, khususnya dalam aspek berbahasa, komunikasi, dan
bersosialisasi. Inti dari penatalaksanaan adalah skrining, rehabilitasi, dan
komunikasi.
Program deteksi dini telah mengurangi usia rata-rata terdiagnosisnya
gangguan pendengaran, dari usia 20‒30 bulan menjadi usia 2‒3 bulan dan
cakupan skrining sekitar 93% dari semua bayi baru lahir bayi sebelum keluar
dari rumah sakit. Bayi yang diintervensi tepat sebelum usia 6 bulan kehidupan
memberikan hasil perkembangan bicara, bahasa, sosial, dan emosional yang
sebanding dengan perkembangan fisik, dibandingkan jika tidak terdeteksi
sampai setelah usia 6 bulan.
Apabila bertahan hingga usia dua tahun, gangguan pendengaran akan
memengaruhi proses membaca, berbicara, berbahasa, dan berkomunikasi
seseorang. Intervensi harus dimulai sebelum usia 6 bulan untuk semua bayi
dengan alat bantu dengar, perangkat vibrotactile, atau implan koklea untuk
gangguan pendengaran berat. Pada beberapa sindrom gangguan pendengaran
juga berpengaruh pada aspek kognitif sehingga intervensi gangguan
pendengaran harus memperhatikan aspek kognitif dan psikologis penderita,
tidak hanya aspek pendengaran saja.
PROGNOSIS
Gangguan pendengaran genetik sebagian besar menyebabkan tuli permanen.
Beberapa kasus sindrom yaitu pada sindrom Waardenburg Tipe II dan
Sindrom Usher Tipe III, gangguan pendengaran berlangsung secara progresif.
Pada Sindrom Alport, gangguan pendengaran terjadi selama masa kanakkanak saja.
4
Gangguan pendengaran dapat dipengaruhi oleh aspek lingkungan dan
genetik yang dapat terjadi saat fase prelingual dan postlingual. Gangguan
pendengaran harus dideteksi sejak dini untuk mendapatkan intervensi
sehingga mencegah terjadinya gangguan dalam perkembangan bicara, bahasa,
dan komunikasi serta bersosialisasi. Gangguan pendengaran prelingual sering
disebabkan oleh tuli kongenital yang harus terdeteksi sebelum usia 3 bulan
dan mendapatkan intervensi di usia 6 bulan agar bisa menjalani masa emas
perkembangan bicara dan berbahasa dengan baik pada periode usia 2‒3
tahun. Gangguan pendengaran postlingual terjadi setelah masa perkembangan
bicara dan bahasa juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik.
Modalitas intervensi gangguan pendengaran dengan alat bantu dengar,
perangkat vibrotactile, atau implan koklea untuk gangguan pendengaran berat.
Perkembangan aspek kognitif dan psikologis penderita harus diperhatikan
selain aspek pendengaran sehingga inti dari penatalaksanaan adalah skrining,
rehabilitasi, dan komunikasi.
DAFTAR SINGKATAN
SRY = sex determining region on the Y chromosome
AMH = anti-mullerian hormone
DHT = dihidrotestosteron
DSD = differences of sex development
StAR = steroidogenic acute regulatory protein
CAIS = complete androgen insensitivity syndrome
EMS = external masculinization score
DS = drum stick
DAFTAR ISTILAH
XY = Perempuan
XX = Laki-laki
XXX = Sindrom Triple X (Super Female)
45,X = Sindrom Turner
47,XXY = Sindrom Klinefelter
48,XXXY = Variasi Sindrom Klinefelter
DAFTAR ARTI LAMBANG
& = dan
% = persen
> = lebih besar
cm = sentimeter
mm = milimeter
: = perbandingan