Tampilkan postingan dengan label Herbal dalam terapi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Herbal dalam terapi. Tampilkan semua postingan

Herbal dalam terapi

 




Hipertensi dikenal sebagai salah satu “silent killer” yang kerap tidak disadari oleh 

penderitanya karena tidak bergejala. Namun, gejala seperti pusing, mimisan, 

detak jantung tidak normal, pandangan kabur, dan telinga yang berdenging 

dapat terjadi apabila hipertensi sudah pada tahap yang lebih parah. Menurut 

JNC VII, Hipertensi merupakan kondisi ketika tekanan sistolik terukur ≥140 

mmHg atau tekanan diastolik terukur ≥90 mmHg. Faktor resiko hipertensi yang 

bisa kita kontrol pada pola makan yang tidak sehat, gaya hidup yang tidak sehat, 

konsumsi rokok dan alkohol, serta obesitas. Prevalensi hipertensi secara global 

diestimasi sebesar 22% dari total populasi dunia. Sekitar 2/3 dari penderita 

hipertensi berasal dari negara ekonomi menengah ke bawah. Di Indonesia, 

berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 didapati bahwa prevalensi 

hipertensi mencapai angka 34,11% pada penduduk >18 tahun. Berdasarkan data 

yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali pada tahun 2018-2019 

Prevalensi di Bali yang mengalami hipertensi pra lansia 45-59 tahun yaitu 

495.166 kasus. Kota Denpasar menduduki peringkat yang ke 7 di Bali dengan 

prevalensi hipertensi sebesar 44.172 kasus yang mengalami hipertensi. Salah satu 

pengobatan alternatif yang dapat menjadi pilihan untuk menurunkan tekanan 

darah adalah terapi herbal. Terapi herbal adalah terapi komplementer menggunakan tumbuhan yang 

berkhasiat obat. Indonesia dikenal memiliki tumbuhan obat yang sangat banyak.

Di dunia Internasional, penggunaan obat herbal sudah sangat berkembang, 

cenderung meningkat, dan diperhitungkan sebagai komponen penting dalam 

pelayanan kesehatan dasar. Penggunaan obat herbal sebagai bagian dari 

pengobatan hipertensi semakin meningkat dalam dekade terakhir. Hal ini 

disebabkan adanya beberapa faktor, salah satunya karena efek samping yang 

dianggap lebih sedikit. Pada penelitian sebelumnya tahun 2019 yang dilakukan 

oleh di Puskesmas Mergangsan,  didapatkan hasil bahwa ada 

hubungan antara persepsi pasien yang menggunakan kombinasi terapi 

antihipertensi dan terapi komplementer terhadap outcomes klinis pada pasien 

hipertensi. Oleh karena itu, berdasarkan hasil dari studi pendahuluan dan juga 

penelitian terdahulu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan 

penggunaan herbal dalam terapi komplementer (herbal) untuk hipertensi di Kota 

Denpasar. 


Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan 

kuantitatif. Penelitian ini mendeskripsikan kejadian yang terjadi pada saat 

sekarang, yakni pengobatan herbal dalam terapi komplementer hipertensi.

Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berdomisili Denpasar yang

yang menderita Hipertensi dan yang menggunakan terapi kombinasi 

antihipertensi (Konvensional) dan terapi Komplementer (Herbal) untuk terapi 

Hipertensi, yang berusia > 17-65 tahun. Pengambilan sampel menggunakan 

purposive sampling dimana mengikuti kriteria inklusi dan ekslusi. Hasil 

penelitian merupakan data deskriptif analitik berupa presentase. 


Hasil penelitian ini terkait gambaran distribusi frekuensi dari karakteristik 

responden. Pada bagian ini dijelaskan mengenai karakteristik responden yang 

menjadi sampel penelitian yaitu terdiri dari umur, jenis kelamin, tingkat 

Pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan.Berdasarkan dari penelitian yang sudah dilakukan, didapatkan hasil 

seperti pada tabel 1 mayoritas responden termasuk ke dalam rentang usia 46-65 

tahun (Lanjut Usia) yaitu sebanyak 76 orang (69%), berjenis kelamin perempuan 

sebanyak 57 orang (52%), mayoritas pendidikan responden yaitu SMA sebanyak 

66 orang (60%), dengan pekerjaan mayoritas responden yaitu sebagai wirausaha 

atau pegawai swasta 85 orang (77%), serta mayoritas status perkawinan 

responden yaitu menikah 103 orang (99%). Pada penelitian ini menggunakan 

rentang usia minimal >17 tahun, karena menurut Estiningsih (2012) dikatakan 

bahwa seorang dengan usia 18-44 tahun lebih beresiko terkena hipertensi, hal 

tersebut juga dapat terjadi karena faktor dari IMT (Indeks Massa Tubuh) yang 

tidak normal. Sedangkan menurut Kemenkes (2017) Hipertensi banyak terjadi 

pada usia >45 tahun, penderita hipertensi pada Wanita menopause banyak 

ditemui pada usia >45-65 tahun. Perubahan hormonal setelah menopause dapat 

meningkatkan resiko penyakit degeneratif salah satunya yaitu Hipertensi Pada tabel 1 terlihat bahwa penderita hipertensi lebih 

banyak terjadi pada perempuan yaitu sebesar 52%. Berdasarkan beerapa 

penelitian hal ini dapat terjadi karena berhubungan dengan usia penderita. 

Dimana penderita hipertensi perempuan berusia >45 tahun memiliki resiko lebih 

tinggi terkena hipertensi, karena pada usia tersebut perempuan mulai 

kehilangan hormon estrogen atau karena sudah memasuki masa pre-menoupose.

(. Menurut Yuwono, dkk alasan lain mengatakan bahwa 

hampir 50% penderita hipertensi adalah perempuan, hal ini terjadi karena 

perempuan memiliki beberapa kondisi khusus yang berhubungan dengan 

mengkonsumsi asupan kalsium, masa kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral 

dan mengalami masa menopause. 

Tingkat pendidikan responden mayoritas yaitu lulusan SMA (Sekolah Menengah 

Atas) yaitu sebesar 60%. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang 

dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang terhadap sesuatu salah satunya 

seperti dalam memilih terapi pengobatan. 

mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah 

pula dalam menerima informasi dan meningkatkan pengetahuan serta kecepatan 

dalam memahami dan mengolah informasi juga meningkat. Berdasarkan pada tabel 5.5 didapatkan hasil bahwa herbal yang paling 

banyak digunakan sebagai terapi komplementer hipertensi oleh responden yaitu pada bagian daun paling banyak digunakan yaitu Daun Seledri (30%), Daun 

Salam (6%), Daun Meniran (5%) dan Daun Kelor (4%). Pada bagian Buah paling 

banyak digunakan yaitu Buah Mentimun (39%), Buah Melon (4%) dan Buah 

Semangka (2%). Selanjutnya pada bagian Rimpang yang digunakan oleh 

responden yaitu Jahe (1%), dan yang terakhir pada bagian Umbi responden 

menggunakan Bawang Putih atau Kesuna (9%).

Terapi herbal merupakan salah satu pilihan dari terapi komplementer 

yang dapat dimanfaatkan sebagai terapi penunjang dari terapi konvensional. 

Dalam memilih terapi komplementer herbal untuk hipertensi, ada banyak jenis 

bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk menurunkan tekanan darah 

seperti bagian akar, batang, buah, daun, dan sebagainya.

Terapi herbal yang digunakan dapat berfungsi sebagai vasodilator dan 

vasorelaksan. Vasodilator adalah kandungan zat yang dapat berfungsi untuk 

membantu melebarkan pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan efek 

relaksasi pada otot polos. Sedangkan vasorelaksan adalah adalah zat yang dapat 

membantu proses dalam penurunan tekanan darah. (Putri Dafriani, 2016). 

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa penggunaan buah timun 

memiliki persentase paling tinggi yaitu sebesar 39% (tabel 2) penderita hipertensi 

menggunakan buah timun sebagai terapi komplementer dalam penurun tekanan 

darah. Berdasarkan pada penelitian terdahulu, yang dilakukan oleh Negara, dkk 

(2018) dikatakan bahwa timun dapat membantu menurunkan tekanan darah 

pada lansia yang menderita hipertensi. Mentimun dapat dimanfaat sebagai 

terapi komplementer herbal untuk hipertensi karena mentimun memiliki 

kandungan kalium yang tinggi sehingga dapat membantu menurunkan volume 

darah dan tekanan darah atau dapat berfungsi sebagai vasodilator (

Pada penelitian ini, responden yang memanfaatkan jahe sebagai terapi 

komplementer hipertensi hanya sebesar 1% saja. Diketahui manfaat jahe juga 

sebagai vasodilator, hal ini sangat disayangkan karena, menurut jurnal penelitian 

dari Nadia, E.A bahwa jahe ternyata memiliki manfaat dalam sistem 

kardiovaskular, seperti memiliki efek antioksidan yang dapat membantu 

mengurangi radikal bebas dan menurunkan tekanan darah. Selain itu, pada penelitian Braga (2019), dikatakan bahwa jahe memiliki kandungan Gingerol dan 

kalium yang berfungsi untuk membantu menurunkan kontraksi otot polos 

sehingga akan menyebabkan tekanan darah menurun atau sebagai vasodilator. 

Oleh karena itu, jahe dapat dijadikan pilihan dalam terapi komplementer herbal 

untuk hipertensi.


Simpulan penelitian ini ialah Responden yang menjadi sampel 

penelitian mayoritas merupakan Perempuan, dengan rentang usia 46-65 tahun 

(Lansia), pekerjaan responden mayoritas sebagai pegawai swasta, pendidikan 

mayoritas tamat SMA (Sekolah Menengah Atas), dan yang terakhir mayoritas 

status perkawinan dari responden yaitu Menikah. Jenis herbal yang digunakan 

oleh penderita hipertensi yang menjadi responden penelitian ini yaitu bagian 

tanaman, seperti daun, buah, rimpang dan umbi. Bagian tanaman yang paling 

banyak digunakan oleh responden adalah Buah Mentimun (39%), Daun Seledri 

(30%) dan yang paling sedikit adalah Jahe (1%)










Hipertensi sering kita ketahui sebagai Sillent killer karena sering tanpa keluhan. 

Dikatakan hipertensi ketika tekanan sistolik terukur ≥140 mmHg atau tekanan 

diastolik terukur ≥90 mmHg. Prevalensi penderita hipertensi di Kota Denpasar 

masih terbilang cukup tinggi yaitu sebanyak 177.627 diperkirakan terjadi 

peningkatan penderita hipertensi di Kota Denpasar dari tahun 2014 sekitar 

114.421. Penatalaksanaan terapi dalam hipertensi bisa dilakukan secara 

farmakologi dan non farmakologi. Penggunaan herbal sebagai bagian dari 

pengobatan hipertensi semakin meningkat dalam beberapa decade terakhir ini. 

Penelitian ini mencoba melihat pola penggunaan herbal dalam terapi 

komplementer pada hipertensi di kota Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan 

dengan metode purposive sampling. Pasien hipertensi yang bersedia mengikuti 

penelitian dan menggunakaan terapi konvensional kombinasi dengan 

komplementer herbal di rentang usia 17-65 masuk dalam sampel penelitian. Hasil 

penelitian menunjukkan laki-laki sebesar 52% dengan rentang usia 46-55 tahun 

sebanyak 70% merupakan kategori lanjut usia yang lebih banyak menggunakan 

herbal dalam terapi komplementer. Tiga terbesar herbal yang digunakanadalah 

Buah timun 39%, daun seledri 30% dan bawang putih 9%. Sumber informasi 

terkait pemanfaatan herbal ini diperoleh dari keluarga sebanyak 60 %, Teman 

sebanyak 38% dan Internet sebanyak 12 %. Dapat disimpulkan bahwa penederita

hipertensi masih banyak yang menggunakan herbal dalam terapi komplementer 

yaitu buah mentimun dengan informasi terbanyak diperoleh dari keluarga.


OBAT HERBAL




Obat Tradisional yaitu   bahan atau 

ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, 

bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian 

(galenik) atau campuran dari bahan ini  

yang secara turun temurun telah idipakai   

untuk pengobatan berdasar  pengalaman.

Perkembangan selanjutnya obat tradisional 

kebanyakan berupa campuran yang berasal 

dari tumbuh-tumbuhan sehingga dikenal 

dengan obat herbal.

Obat herbal yaitu   obat yang berasal dari 

tumbuhan yang diproses atau diekstrak 

sedemikian rupa sehingga menjadi serbuk, pil 

atau cairan yang dalam prosesnya tidak 

memakai  zat kimia. Seperti yang di 

ketahui obat herbal dapat menyembuhkan 

penyakit dengan efek samping yang minim 

sebab  dibuat dari bahan-bahan yang alami, 

tidak seperti obat-obat sintetis yang dapat 

memberi   efek samping baik secara 

langsung maupun setelah waktu yang lama.

Obat-obatan herbal yaitu   campuran dari 

banyak bahan aktif.4 Jenis obat herbal ada 

yaitu: Jamu, obat herbal terstandarisasi dan 

fitofarmaka.

Menurut WHO, sekitar 80% warga   di 

negara-negara anggota WHO di Afrika 

memakai  obat tradisional untuk keperluan 

Kesehatan. Demikian pula pemakaian  obat 

tradisional di Asia, di RRC pemakaian  obat 

tradisional mencapai 90%, di Jepang 60-70% 

dokter meresepkan obat tradisional untuk 

pasien mereka, obat tradisional melayu, TCM 

dan obat tradisional India idipakai   secara 

luas di Malaysia. WHO di wilayah Amerika 

melaporkan 71% penduduk Chile dan 40% 

penduduk Kolombia memakai  obat 

tradisional. Beberapa sumber menyebutkan 

pemakaian  obat tradisional oleh penduduk di 

Perancis mencapai 49%, Kanada 70%, Inggris 

40% dan Amerika Serikat 42%.5 Menurut 

Survei Sosial Ekonomi Nasional (susenas) dari 

Badan Pusat Statistik (BPS) Republik 

negara kita   tahun 2014, persentase penduduk 

yang memakai  obat tradisional 

berdasar  jenis kelamin yaitu sebesar 

20,48% untuk laki-laki, 21,51% untuk 

perempuan dan 20,99% untuk laki-laki dan 

perempuan. sedang   persentase di provinsi 

Jambi sebesar 25,56% untuk laki-laki, 24,59% 

untuk perempuan, dan 25,09% untuk laki-laki 

dan perempuan.

Laju percepatan kemajuan medis yaitu   

pendorong tambahan untuk minat yang 

semakin besar pada obat herbal, sebab  

perawatan konvensional sering gagal 

memberi   perawatan holistik, berfokus pada pasien yang didambakan banyak orang. 

sebab  itu mereka beralih ke masa lalu dan 

mencari obat tradisional, sikap ini semakin 

diperkuat sebab  obat-obatan modern mungkin 

memiliki efek samping yang kuat dan tidak 

menyenangkan, sehingga penyembuhan 

terasa lebih buruk dibandingkan  keadaan penyakit 

itu sendiri.

Selama beberapa tahun terakhir, 

pemakaian  obat-obatan herbal di kalangan 

warga   umum telah meningkat secara 

dramatis. Banyak laporan menunjukkan bahwa 

obat-obatan herbal sering diambil bersamaan 

dengan terapi konvensional. Meskipun obat￾obatan herbal umumnya dianggap aman bila 

idipakai   tunggal pada dosis dan waktu yang 

dianjurkan, ada peningkatan bukti interaksi 

obat dengan herbal yang dapat memicu  

efek samping yang serius atau kegagalan 

terapi dengan obat-obatan konvensional, dari 

hasil penelitian ada   efek samping negative 

dari pemakaian  obat herbal bersamaan 

dengan obat konvensional seperti 

kecenderungan perdarahan yang disebabkan 

oleh ginkgo dan interaksi aspirin.8

Dari hasil penelitian lain, pemakaian  

tanaman obat herbal St. John Wort bersamaan 

dengan bupropion dan SSRI dapat 

mengakibatkan sindrom serotonin, 

pemakaian  bawang putih dengan antiplatelet 

seperti warfarin dapat memicu  

pendarahan, dan juga pendarahan dapat 

terjadi akibat dari pemakaian  ginkgo biloba 

dengan aspirin, dan masih banyak interaksi 

lainnya.9 Pemakaian obat herbal jangka 

panjang dan dosis tinggi dapat memicu  

kerusakan organ tubuh.

Dalam interaksi obat dengan herbal, tidak 

semuanya memiliki efek yang merugikan. 

Beberapa herbal dilaporkan berinteraksi 

dengan obat dan hasilnya menguntungkan, 

seperti mengurangi toksisitas atau mengurangi 

efek samping lain yang mungkin dialami. 

Beberapa herbal juga meningkatkan atau 

menurunkan metabolisme obat sehingga 

mempengaruhi ketersediaan obat.8

Selama ini masih sedikit informasi tentang 

interaksi antara obat herbal dan obat sintetik.

Maka dari itu, peneliti tertarik melakukan 

penelitian tentang analisis pemakaian  obat 

herbal dan studi literatur interaksinya terhadap 

obat konvensional di negara kita   tahun 2020. 


Jenis penelitian yang idipakai   yaitu   

penelitian deskriptif dengan memakai  data 

primer yaitu kuesioner berupa google form. 

Penelitian dibagi menjadi dua tahapan yaitu, 

survei data pemakaian  macam obat herbal 

secara kuantitatif dan interaksi kombinasi obat 

herbal dengan obat konvensional dari 

pencarian pada hasil literatur secara kualitatif 

berdasar  hasil tahap pertama. Teknik 

pengambilan sampel dalam penelitian ini 

yaitu   consecutive sampling. Pengambilan 

seluruh subjek yang diamati dan memenuhi 

kriteria penelitian dalam kurun waktu tertentu 

sampai besar sampel yang diperlukan 

terpenuhi. Kriteria inklusi yaitu warga   

negara kita   yang berumur 18 tahun keatas dan 

memliki gejala penyakit/keluhan sebagai dasar 

pemakaian  obat herbal. sedang   kriteria 

eksklusi yaitu warga   negara kita   yang 

memakai  obat herbal polifarmasi dan 

mengisi kuesioner tidak lengkap

Penelitian ini dilaksanakan di beberapa 

wilayah negara kita   dengan memakai  data 

yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner

yang telah dibuat oleh peneliti dan disesuaikan 

dengan tujuan penelitian yang mengacu pada 

kerangka konsep dan teori yang telah dibuat. 

Dari 407 response rate didapatkan 281 sampel 

yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak 

memiliki kriteria eksklusi. Dimana ada   

sampel yang memiliki kriteria eksklusi berupa 

pemakaian  obat herbal polifarmasi sebesar 

0,7% dan mengisi kuesioner tidak lengkap 

sebesar 2,5%. Data 281 sampel akan disajikan 

dalam bentuk analisis univariat.

berdasar  Tabel 2, didapatkan hasil 

uji univariat karakteristik sampel sebagai 

berikut:

1. berdasar  hasil analisis data 

kelompok usia, didapatkan kelompok 

usia 18 sampai 45 tahun sebayak 

212 orang (75.4%), 46 sampai 65 

tahun sebanyak 65 orang (23.1%) 

dan lebih dari 65 tahun sebanyak 4 

orang (1.4%). Hal ini sejalan dengan 

penelitian yang dilakukan Ratna 

(2019), didapatkan usia responden 

yang memakai  obat tradisional 

yaitu dengan kategori dewasa awal 

(18-40 tahun) sebanyak 79%.90 Hal 

yang sama juga didapatkan dari 

penelitian yang dilakukan Rasni, dkk 

(2018), karakter usia menunjukkan 

bahwa mayoritas responden berada 

pada usia produktif yaitu 18-40 tahun 

sebanyak 64 orang (62.7%). 

Mayoritas usia responden yang

produktif membuat daya tangkap dan 

pola pikir seseorang semakin 

berkembang sehingga semakin 

mudah untuk menggali informasi 

tentang obat tradisional. Hal ini  

dapat menjadi alasan mengapa 

banyak responden yang didominasi 

umur ini .91 Namun dari 

penelitian yang dilakukan oleh 

Sudibyo (2007), didapatkan 

pemakai   obat herbal paling banyak 

didominasi kelompok lanjut usia (56 

tahun ke atas). Hal ini mungkin 

disebabkan sebab  orang tua lebih 

menyukai pemakaian  obat 

tradisional sebab  lebih mudah dan 

praktis.

2. berdasar  hasil analisis data jenis 

kelamin, didapatkan responden yang 

berjenis kelamin laki-laki sebanyak 

128 orang (45.6%) dan perempuan 

sebanyak 153 orang (54.4%). Hal ini 

sejalan dengan penelitian yang 

dilakukan Sudibyo (2007), 

didapatkan hasil proporsi 

pemakaian  obat herbal lebih 

banyak pada responden perempuan 

yaitu 28.5% dan laki-laki 27.8%.92 

Dan juga pada penelitian mengenai 

obat tradisional yang dilakukan oleh 

Rasmi (2018) didapatkan hasil 

mayoritas responden berjenis 

kelamin perempuan yaitu sebanyak 

71 orang (69,6%).

3. berdasar  hasil analisis wilayah 

tempat tinggal, didapatkan responden 

yang bertempat tinggal di desa 

sebanyak 92 orang (32.7%) dan di 

kota sebanyak 189 orang (67.3%). Hal 

ini sejalan dengan penelitian yang 

dilakukan Astri, dkk (2016), 

berdasar  karakteristik tempat 

tinggal, proporsi rumah tangga yang 

pernah memakai  pelayanan 

Kesehatan tradisional, daerah 

perkotaan sebesar 36.9% dan 

pedesaan 26.3%. pemakaian  obat 

tradisional juga banyak idipakai   

oleh warga   yang berada di kota 

besar meskipun sebenarnya banyak 

tersedia fasilitas Kesehatan dan 

mudahnya memperoleh obat 

konvensional.93 Namun dari penelitian 

Sudibyo (2007), didapatkan proporsi 

pemakai   obat herbal yang bertempat 

tinggal di pedesaan lebih tinggi 

dibandingkan yang bertempat tinggal 

di perkotaan. Disebab kan mudahnya 

memperoleh tanaman obat herbal di 

wilayah pedesaan.

4. berdasar  hasil analisis tingkat 

Pendidikan, didapatkan mayoritas 

responden tamat SMA/sederajat 

sebanyak 156 orang (55.5%) dan 

tamat sarjana sebanyak 113 orang 

(40.2%). Hal ini sejalan dengan 

penelitian Ratna (2019) dimana 

mayoritas pemakai   obat herbal 

memiliki tingkat pendidikan tamat 

SMA.90 Hal ini didukung oleh 

penelitian Sulfiyana, didapatkan 

mayoritas responden terbanyak yaitu 

tamat SMA sebanyak 36 orang 

(69,2%).94 Namun dari penelitian 

Sudibyo (2007), mayoritas pemakai   

obat herbal tidak sekolah sebesar 

40,5%.92 Hal ini sejalan dengan studi 

Wardana (2008) menemukan bahwa 

tingkat Pendidikan tidak berpengaruh 

secara signifikan terhadap minat 

individu dalam memakai  obat 

tradisional, disebabkan adanya faktor 

lain yang lebih kuat memberi   

pengaruh seperti tradisi nenek 

moyang, kebiasaan keluarga dan 

informasi nasehat dari tetangga atau 

teman kerabat atau penjual 

jamu/obat tradisional secara 

langsung.95 Purnamaningrum (2010), 

menyatakan bahwa Pendidikan tidak 

memiliki pengaruh terhadap perilaku 

mengobati. Kondisi ini dapat 

disebabkan sebab  probabilitas 

warga   memilih obat tradisional 

tergantung dengan tingkat 

pengetahuan dan pemahaman 

indvidu mengenai pengobatan 

tradisional yang biasanya telah 

didapat dari pengalaman yang 

diberikan oleh orang tua dan 

kebiasaan warga   sehingga 

pemakaian  obat tradisional sudah 

menjadi sugesti akan sembuh jika 

individu mengkonsumsi obat 

tradisional untuk menyembuhkan 

penyakitnya.

5. berdasar  hasil analisis tingkat 

pendapatan, didapatkan responden 

berpendapatan tinggi (>Rp 2.500.000 

per bulan) sebanyak 118 orang 

(42%), sedang (Rp 1.500.000-

2.500.000 per bulan) sebanyak 47 

orang (16.7%) dan rendah (<Rp 

1.500.000 per bulan) sebanyak 116 

orang (41.3%). Hal ini sesuai dari 

hasil penelitian Herti (2016) dimana 

mayoritas pemakai   obat herbal 

berpenghasilan lebih dari Rp 

3.000.000 per bulan (63,3%).

Namun pada penelitian Ismail (2015), 

didapatkan mayoritas pemakai   obat 

herbal memiliki pendapatan rendah 

(kurang dari Rp 1.500.000 per bulan) 

sebanyak 28 orang (82,4%).98 Hal 

yang sama didapatkan dari penelitin 

Tiara (2019) dimana sebagian besar 

responden berpendapatan kurang 

dari 2 juta.99 Menurut Herika (2015), 

pendapatan tidak memiliki hubungan 

yang signifikan terhadap probabilitas 

individu untuk memilih pengobatan 

tradisional.100 Hal ini sejalan dengan 

studi Purnamaningrum (2010) yang 

menyatakan bahwa pendapatan tidak 

memiliki pengaruh yang signifikan 

terhadap perilaku mengobati baik 

dengan menggunaan obat modern 

ataupun pengobatan tradisional.96

Pernyataan ini juga didukung oleh 

studi Muwahid (2006) yang 

menyatakan bahwa besarnya 

penghasilan tidak berpengaruh 

terhadap probabilitas dalam 

pemilihan dan pemakaian  obat 

tradisional sebab  Sebagian besar 

konsumen lebih memprioritaskan 

khasiat.


berdasar  Tabel 3, didapatkan bahwa 

jahe merupakan obat herbal yang paling 

banyak dikonsumsi yaitu sebanyak 82 orang 

(29.2%). Lalu diikuti oleh kunyit yaitu sebanyak 

31 orang (11%) dan jeruk nipis yaitu sebanyak 

14 orang (5%). Hal ini sejalan dengan FOHAI 

(2017), dimana persentase pemakaian  

tanaman obat di negara kita   paling besar yaitu   

jahe (50.36%).89 Dari hasil penelitian Ratna 

(2019), obat herbal yang banyak idipakai   

yaitu jamu (52,38%)

berdasar  Tabel 4, didapatkan jenis 

gejala penyakit/keluhan yang banyak 

mendasari pemakaian  obat herbal yaitu sakit 

tenggorokan sebanyak 45 orang (16%). Lalu 

diikuti dengan batuk sebanyak 34 orang 

(12.1%) dan untuk melancarkan menstruasi 

sebanyak 16 orang (5.7%). Hal ini sejalan 

dengan penelitian Ismiyana (2013) yang juga 

mendapatkan responden yang memakai  

obat tradisional umumnya mengalami batuk,

flu, masuk angin, pusing, gangguan 

pencernaan dan lain-lain.102 Pada penelitian 

Sudibyo (2007), pemakai   obat herbal 

didominasi oleh diare sebagai keluhan yang 

mendasari pemakaian  obat herbal.

berdasar  Tabel 5, didapatkan bentuk 

sediaan obat herbal yang paling banyak 

idipakai   oleh responden yaitu   rajangan 

sebanyak 155 orang (55.2%), efervesen 

sebanyak 27 orang (9.6%) dan cairan 

sebanyak 26 orang (9.3%). Hal ini sejalan 

dengan penelitian yang dilakukan Merdekawati 

(2016) bahwa warga   memakai  obat 

tradisional untuk menyembuhkan penyakit 

ringan yang dideritanya dan persentase paling 

tinggi menunjukkan bentuk sediaan yang 

banyak idipakai   yaitu   rebusan tanaman 

obat (65%).103 Penelitian yang dilakukan oleh 

Ratna (2019) juga menyatakan bahwa sediaan 

yang paling banyak idipakai   warga   

ialah sediaan cair (92.86%). Hal ini disebab kan 

obat tradisional bentuk cairan merupakan 

bentuk yang paling lama ada di negara kita   dan 

bentuk cairan lebih praktis dalam 

pemakaian nya.

berdasar  Tabel 6, didapatkan alasan 

pemakaian  obat herbal paling banyak yaitu 

sebab  efek samping yang relatif kecil 

sebanyak 100 orang (35.6%). Lalu diikuti oleh 

dapat diperoleh dengan mudah sebanyak 83 

orang (29.5%), sudah idipakai   secara turun￾temurun sebanyak 83 orang (29.5%), dan 

harga yang lebih terjangkau sebanyak 15 orang 

(5.3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Ratna 

(2019), didapatkan alasan warga   

memakai  obat tradisional sebab  terbuat 

dari bahan alami (37,50%) yang memiliki efek 

samping yang relative lebih kecil.104 

Triratnawati (2010), menyatakan bahwa 

pengobatan tradisional diterapkan sebab  

alasan yang mudah, murah dan manjur serta 

sesuai dengan kerangka berpikir individu 

dalam rumah tangga.105 Menurut penelitian 

Ratna (2019), juga didapatkan obat tradisional 

idipakai   secara turun-temurun sebesar 

82,7% dan diketahui sisanya yaitu 17.3% 

memilih yang lain.


berdasar  Tabel 7, didapatkan 

responden yang merasakan khasiat dari 

pemakaian  obat herbal sebanyak 273 orang 

(97.2%) dan yang tidak merasakan khasiat 

sebanyak 8 orang (2.8%). Hal ini sejalan 

dengan penelitian Ratna (2019), menyatakan 

bahwa persepsi yang banyak timbul di 

warga   mengenai pemakaian  obat 

tradisional yaitu   percaya akan khasiat obat 

tradisional. Dari penelitian ini  dapat 

diketahui masih banyak warga   meyakini 

bahwa persepsi mereka mengenai khasiat obat 

tradisional yang lebih aman sebab  terbuat dari 

bahan yang alami dan jika   dikonsumsi 

dalam jangka waktu yang panjang tidak 

memicu  efek samping.90 Namun pada 

penelitian yang dilakukan Tiara (2019), 

didapatkan sebagian besar tidak merasakan 

khasiat dari pemakaian  obat herbal. 

Ketidaktahuan warga   tentang khasiat 

obat herbal yang tidak timbul secara instan 

seperti halnya obat kimia


berdasar  Tabel 8, didapatkan 

responden yang merasakan efek samping dari 

pemakaian  obat herbal sebanyak 1 orang 

(0.4%) dan tidak merasakan efek samping 

sebanyak 280 orang (99.6%). Hal ini sejalan 

dengan penelitian Ratna (2019), dari penelitian 

ini  dapat diketahui masih banyak 

warga   meyakini bahwa persepsi mereka 

mengenai khasiat obat tradisional yang lebih 

aman sebab  terbuat dari bahan yang alami 

dan jika   dikonsumsi dalam jangka waktu 

yang panjang tidak memicu  efek 

samping.90 Namun pada penelitian yang 

dilakukan Tiara (2019), didapatkan Sebagian 

besar responden merasakan efek samping dari 

pemakaian  obat herbal. Efek samping yang 

timbul diakibatkan oleh ketidaktahuan 

warga   tentang aturan dan cara pakai obat 

herbal yang baik, seperti takaran dosis dan 

interaksinya terhadap obat kimia


berdasar  Tabel 9, didapatkan 

responden yang memakai  obat herbal 

dan obat konvensional secara bersamaan 

sebanyak 37 orang (13.2%) dan yang tidak 

sebanyak 244 orang (86.8%). Hal ini sejalan 

dengan penelitian Sefni (2012), mayoritas 

pemakai   obat herbal tidak memakai  

obat konvensional secara bersamaan. Sefni 

menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang 

bermakna dari kelompok terapi kombinasi 

konvensional-bahan alam dengan kelompok 

terapi konvensional. berdasar  juga dari 

beberapa jurnal yang telah dibaca oleh 

peneliti, khasiat kandungan dari obat herbal 

dalam menyembuhkan suatu penyakit dapat 

menyaingi khasiat dari terapi konvensional 

dan dalam beberapa kasus ditemukan bahwa 

kombinasi obat herbal dengan konvensional 

dapat memicu  interaksi negatif.

berdasar  Tabel 10, dari pencarian 

pada hasil literatur yang ada didapatkan hasil 

adanya interaksi positif antar kombinasi obat 

herbal-konvensional sebanyak 7 orang 

(13.5%), interaksi negatif sebanyak 5 orang 

(18.9%), dan tidak ada interaksi ataupun belum 

diketahui interaksinya sebanyak 25 orang 

(67.6%). Interaksi yang terjadi tidak ditanyakan 

dikuesioner, disebab kan setiap orang memiliki 

persepsi yang berbeda sehingga interaksi yang 

terjadi tidak bisa dibuktikan hanya dengan 

pertanyaan pada kuesioner.

Interaksi Obat Herbal Dengan Obat 

Konvensional

Interaksi Positif

1. Jahe-Metformin

Dikutip dari jurnal Interactions between 

antidiabetic drugs and herbs: an overview of 

mechanisms of action and clinical implications,

didapatkan adanya interaksi positif dari 

pemakaian  kombinasi jahe dengan 

metformin. Dari penelitian yang dilakukan, 

didapatkan Jahe mengurangi hiperglikemia dan 

memperbaiki disfungsi ginjal pada tikus 

diabetes dengan dosis metformin yang 

dikurangi. Kombinasi metformin dan jus jahe 

memperbaiki nefrotoksisitas gentamisin. jahe 

telah terbukti memiliki efek perlindungan ginjal 

bila idipakai   dengan metformin.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang 

dilakukan oleh Mahmoud (2013) dimana jahe 

memili efek perlindungan ginjal jika   

dikombinasikan dengan metformin.

2. Bawang Putih-Metformin

Dikutip dari jurnal Interactions between 

antidiabetic drugs and herbs: an overview of 

mechanisms of action and clinical implications, 

didapatkan adanya interaksi positif dari 

pemakaian  kombinasi bawang putih dengan 

metformin. Ditemukan bahwa bawang putih 

meningkatkan Cmx (kadar maksimum yang 

dapat dicapai obat pada plasma) dan Area 

under curve (menunjukkan jumlah obat didlm 

plasma) metformin. terapi kombinasi lebih 

efektif dalam menurunkan kadar glukosa 

darah, menyoroti bahwa ekstrak bawang putih 

mempotensiasi efek hipoglikemik metformin.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang 

dilakukan Shika (2011), didapatkan terapi 

kombinasi eksperimental antara jahe dengan 

metformin memiliki efek pengurangan yang 

lebih baik pada kadar glukosa darah.

3. Jahe-Paracetamol

Dikutip dari jurnal Ginger (Zingiber 

officinale) potentiate paracetamol induced 

chronic hepatotoxicity in Rats, didapatkan 

adanya interaksi positif dari pemakaian  jahe 

dengan paracetamol. Paracetamol dapat 

memicu  toksisitas hati sebagai 

ditunjukkan dengan peningkatan aktivitas 

enzimatik hati serum, penurunan albumin dan 

peningkatan fraksi globulin, induksi stres 

oksidatif dan penipisan antioksidan. Dari hasil 

penelitian yang pernah dilakukan, jahe dapat 

menurunkan efek toksik paracetamol pada hati 

menunjukkan adanya interaksi antara mereka. 

Studi eksperimental lebih lanjut diperlukan 

untuk jelaskan interaksi ini .

Dari penelitian Abdel-Azeem (2013) telah 

melaporkan bahwa jahe efektif dalam 

mengurangi hepatotoksisitas yang diinduksi 

oleh paracetamol. Pemeriksaan histopatologi 

menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan 

kelompok pemberian paracetamol saja, hewan 

yang diobati dengan jahe mengalami 

penurunan tingkat nekrosis dan vakuolisasi sel 

yang menunjukkan efek menguntungkan.11e

4. Madu-Paracetamol

Dikutip dari jurnal Potential Protective 

Effect of Honey Against Paracetamol-induced 

Hepatotoxicity, didapatkan adanya interaksi 

positif dari pemakaian  kombinasi madu￾paracetamol. Dikutip dari hasil penelitian yang 

pernah dilakukan, perawatan awal dengan 

madu dan silymarin sebelum pemberian 

parasetamol secara signifikan mencegah 

peningkatan kadar serum penanda enzim hati, 

dan mengurangi stres oksidatif dan sitokin 

inflamasi. Evaluasi histopatologi hati juga 

mengungkapkan bahwa madu mengurangi 

kejadian lesi hati akibat parasetamol. Madu 

dapat idipakai   sebagai agen hepatoprotektif 

yang efektif melawan kerusakan hati akibat 

paracetamol. Hal ini sesuai dengan penelitin Ali 

(2010) dimana pemakaian  madu dapat 

meminimalkan efek toksik di hati yang dapat 

disebabkan oleh paracetamol.

5. Daun Kelor-Metformin

Dikutip dari pada jurnal Effect of moringa 

oleifera with and without metformin on an 

experimental model of metabolic syndrome in 

rats, didapatkan adanya interaksi positif dari 

pemakaian  kombinasi daun kelor dengan 

metformin. dalam penelitian yang pernah 

dilakukan, menunjukkan bahwa penambahan 

daun kelor ke metformin menghasilkan 

peningkatan yang signifikan pada parameter 

sindroma metabolik. Namun, penelitian lebih 

lanjut diperlukan untuk menyelidiki bahan aktif 

zat herbal ini yang bertanggung jawab atas efek 

menguntungkannya dan kemungkinan 

mekanisme yang mendasari efek ini. Selain itu, 

dapat disarankan agar daun kelor dapat 

idipakai   sebagai suplemen herbal selain 

metformin pada subjek dengan sindrom 

metabolik, dengan mempertimbangkan 

kekurangan terapi yang secara langsung 

mengatasi epidemi sindrom metabolik yang 

berkembang.

Pada penelitian lain yang dilakukan Lisa 

(2020), ekstrak metformin dan moringa oleifera 

(daun kelor) menunjukkan penurunan 

ketebalan yang signifikan pada sel teka pada 

pasien polycystic ovary syndrome (PCOS).

Interaksi Negatif

1. Jahe-Metronidazole

Dikutip dari jurnal Herb-Drug Interaction: A 

Case Study of Effect of Ginger on the 

Pharmacokinetic of Metronidazole in Rabbit, 

didapatkan adanya interaksi negatif dari 

pemakaian  kombinasi jahe dengan 

metronidazole. Dari hasil penelitian, jahe dapat 

memicu  peningkatan bioavailabilitas dan 

waktu paruh, dan penurunan konstanta laju 

pembersihan dan eliminasi metronidazol per 

oral. Hal ini dapat memicu  implikasi 

negatif dalam praktek klinis sebab  toksisitas 

metronidazol dapat dengan mudah dicapai 

terutama selama pemberian dosis ganda 

sebab  kemungkinan akumulasi obat.

Jahe dikenal dapat meningkatkan sirkulasi 

darah dan bioavailabilitas. Dalam suatu 

penelitian jika jahe diformulasikan bersamaan 

dengan metronidazole akan memiliki efek 

spasmolitik dan menyebab relaksasi otot polos. 

Sehingga terjadi penurunan pengosongan 

lambung, motilitas gastrointestinal dan 

peningkatan sirkulasi darah ke saluran 

gastrointestinal.

2. Bawang putih-Propanolol

Dikutip dari jurnal Pharmacodynamic and 

Pharmacokinetic Interactions of Propranolol 

with Garlic in Rats, didapatkan adanya interaksi 

positif dan negatif dari pemakaian  kombinasi 

bawang dengan propranolol. Hasil dari 

penelitian mengungkapkan bahwa bawang 

putih dapat meningkatkan bioavailabilitas dan 

waktu paruh seiring dengan penurunan klirens 

dan konstanta laju eliminasi propanolol bila 

dikonsumsi secara oral. Hal ini dapat 

memicu  implikasi negatif dalam praktek 

klinis sebab  toksisitas propanolol dapat 

dengan mudah dicapai terutama selama 

pemberian dosis ganda sebab  kemungkinan 

akumulasi obat. Namun, penambahan bawang 

putih secara hati-hati dalam dosis sedang 

dapat menghasilkan efek menguntungkan 

selama pengobatan hipertensi pada hewan 

dengan stres miokard. Oleh sebab  itu, 

penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk 

menentukan pengaruh konstituen aktif tertentu 

dari bawang bila dikombinasikan dengan 

propanolol pada hewan yang mengalami 

hipertensi dan kerusakan miokard.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh 

Asdaq (2010) didapatkan efek sinergis dari 

kombinasi bawang putih dengan propranolol 

dengan pemberian dosis yang rendah.

3. Kayu Manis-Simvastatin

Didapatkan adanya interaksi negatif dari 

pemakaian  kombinasi kayu manis dengan 

simvastatin. Mengkonsumsi kayu manis dalam 

dosis yang sangat besar dapat membahayakan 

hati, terutama pada penderita penyakit hati. 

Mengkonsumsi kayu manis dalam jumlah besar 

bersama dengan obat-obatan yang mungkin 

juga membahayakan hati dapat meningkatkan 

risiko kerusakan hati. Dikutip dari 

formularium obat herbal asli negara kita   (2017), 

didapatkan bahwa kayu manis memiliki 

kandungan coumarin yang dapat 

membahayakan hati.89 Sehingga jika 

dikombinasikan dengan obat seperti 

simvastatin dapat meningkatkan risiko 

kerusakan hati.

4. Mengkudu-Glimepirid, Metformin, Captopril

Dikutip dari Formularium Ramuan Obat 

Tradisional negara kita   tahun 2017 didapatkan 

adanya interaksi negatif dari pemakaian  

kombinasi mengkudu dengan obat antidiabetes 

(glimepiride dan metformin) dan captopril. 

Interaksi negatif pada kombinasi mengkudu 

dengan obat antidiabetes, dimana hal ini dapat 

memicu  hipoglikemia dan hipotensi. 

Disebab kan terapi kombinasi ini dapat 

menurunkan kadar glukosa darah dan kalium 

darah. Dapat juga memicu  warna urin 

menjadi merah muda sampai merah 

kecoklatan. Pada penelitian Kumar (2007), 

jus mengkudu yang difermentasi idipakai   

untuk menyelidiki aktivitas hipoglikemik pada 

tikus yang diinduksi diabetes. Didapatkan 

penurunan glukosa puasa yang sifnifikan. 

Sehingga pemberian bersamaan dengan obat 

antidiabetes dapat memicu  

hipoglikemia.

Dari kombinasi mengkudu dengan 

captopril. Dikutip dari penelitian Kumar, dkk 

(2010), menyatakan bahwa senyawa 

skopoletin dalam mengkudu merupakan zat 

aktif yang bersifat antioksidan dan dapat 

membantu menurunkan tekanan darah melalui 

efek vasodilatasi sama halnya seperti obat 

golongan ACE inhibitor (captopril). Beberapa 

obat untuk tekanan darah tinggi seperti 

captopril dapat meningkatkan kadar kalium 

dalam darah. Mengkonsumsi jus mengkudu 

dengan captopril dapat memicu  terlalu 

banyak kalium dalam darah.1

Tidak Ada Interaksi

1. Kunyit-Omeprazole

Dikutip dari jurnal Combination of Curcuma 

Longa and Omeprazole in the Treatment of 

Peptic-Ulcer Disease and H. pylori Eradication 

in Comparison to the Triple Therapy: A 

Controlled Clinical Trial, didapatkan tidak 

adanya interaksi dari pemakaian  kombinasi 

kunyit dengan omeprazole. Dari suatu 

penelitian didapatkan Kombinasi Curcuma 

longa andomeprazole tidak menunjukkan 

perbedaan efek penyembuhan ulkus peptikum 

dibandingkan dengan terapi standar.124 Dikutip 

dari formularium obat herbal asli negara kita  , 

tidak ada interaksi antara kombinasi pemberian 

kunyit dengan omeprazole.89

Untuk kombinasi obat herbal dengan 

konvensional lainnya tidak didapatkan interaksi 

ataupun interaksi belum diketahui. Oleh sebab  

itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk 

menyelidiki apakah bahan aktif zat herbal 

tertentu dapat memicu  efek 

menguntungkan/merugikan atau tidak 

memicu  efek sama sekali setelah 

dikombinasikan dengan obat konvensional.


berdasar  dari hasil penelitian dan 

pembahasan pada penelitian ini mengenai 

Analisis pemakaian  Obat Herbal dan Studi 

Literatur Interaksinya Terhadap Obat 

Konvensional Di negara kita   Tahun 2020, dapat 

disimpulkan sebagai berikut:

1. Jenis obat herbal yang banyak idipakai   

yaitu jahe.

2. Karakteristik responden sebagian besar 

berusia 18-45 tahun, perempuan, tinggal di 

perkotaan, tamat SMA, berpendapatan 

tinggi (lebih dari Rp 2.500.000 per bulan), 

jenis gejala penyakit atau keluhan yang

mendasari pemakaian  obat herbal yaitu 

sakit tenggorokan, sediaan obat herbal yang 

banyak idipakai   yaitu rajangan, dan 

alasan pemakaian  obat herbal paling 

banyak yaitu sebab  efek samping yang 

relatif kecil.

3. Mayoritas responden merasakan khasiat dan 

tidak merasakan efek samping dari 

pemakaian  obat herbal.

4. Mayoritas pemakai   obat herbal tidak 

mengkombinasikannya dengan obat 

konvensional. 

5. Pencarian pada beberapa hasil literatur, 

mayoritas pemakai   kombinasi obat herbal 

Persentase penduduk negara kita   yang memakai  obat tradisional pada tahun 2014 yaitu 20,99%. 

Terjadi peningkatan pemakaian  obat herbal, sehingga ada kemungkinan dapat terjadi interaksi. 

Adapun data tentang pemakaian  obat herbal dan interaksinya dengan obat konvensional masih 

terbatas. Jenis penelitian ini yaitu   penelitian deskriptif yang memakai  kuesioner berupa google 

form. Dilakukan analisis univariat untuk mengetahui karakteristik pemakai   obat herbal dan interaksi 

dari kombinasi obat herbal dengan obat konvensional melalui pencarian pada literatur yang sudah 

tersedia. Hasil penelitian dari 281 responden sebagian besar berusia 18-45 tahun (75,4%), perempuan 

(54,4%), tinggal di perkotaan (67,3%), tamat SMA (55,5%), dan berpendapatan tinggi perbulannya 

(42%). Obat herbal yang paling banyak idipakai   yaitu jahe (29,2%). Didapatkan beberapa jenis obat 

herbal yang idipakai   berbeda-beda pada tiap jenis gejala penyakit/keluhan yang sama. Sediaan obat herbal yang paling banyak idipakai   berupa rajangan (55,2%), dan sebagian besar responden 

beralasan dalam pemakaian  obat herbal disebab kan efek samping yang relatif kecil (35,6%). 

Mayoritas responden merasakan khasiat (97,2%), dan yang lainnya tidak merasakan efek samping 

(99,6%). Didapatkan juga kombinasi obat herbal dengan obat konvensional (13,2%) dengan beberapa 

memiliki interaksi yang menguntungkan (13,5%), interaksi merugikan (18,9%), dan tidak ada interaksi 

(67,6%%). ada   variasi dalam pemakaian  obat herbal untuk keluhan yang sama pada tiap daerah. 

Beberapa responden mengkombinasikannya dengan obat konvensional. Didapatkan interaksi 

menguntungan, interaksi merugikan, dan tidak ada interaksi dari kombinasi ini .