Hipertensi dikenal sebagai salah satu “silent killer” yang kerap tidak disadari oleh
penderitanya karena tidak bergejala. Namun, gejala seperti pusing, mimisan,
detak jantung tidak normal, pandangan kabur, dan telinga yang berdenging
dapat terjadi apabila hipertensi sudah pada tahap yang lebih parah. Menurut
JNC VII, Hipertensi merupakan kondisi ketika tekanan sistolik terukur ≥140
mmHg atau tekanan diastolik terukur ≥90 mmHg. Faktor resiko hipertensi yang
bisa kita kontrol pada pola makan yang tidak sehat, gaya hidup yang tidak sehat,
konsumsi rokok dan alkohol, serta obesitas. Prevalensi hipertensi secara global
diestimasi sebesar 22% dari total populasi dunia. Sekitar 2/3 dari penderita
hipertensi berasal dari negara ekonomi menengah ke bawah. Di Indonesia,
berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 didapati bahwa prevalensi
hipertensi mencapai angka 34,11% pada penduduk >18 tahun. Berdasarkan data
yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali pada tahun 2018-2019
Prevalensi di Bali yang mengalami hipertensi pra lansia 45-59 tahun yaitu
495.166 kasus. Kota Denpasar menduduki peringkat yang ke 7 di Bali dengan
prevalensi hipertensi sebesar 44.172 kasus yang mengalami hipertensi. Salah satu
pengobatan alternatif yang dapat menjadi pilihan untuk menurunkan tekanan
darah adalah terapi herbal. Terapi herbal adalah terapi komplementer menggunakan tumbuhan yang
berkhasiat obat. Indonesia dikenal memiliki tumbuhan obat yang sangat banyak.
Di dunia Internasional, penggunaan obat herbal sudah sangat berkembang,
cenderung meningkat, dan diperhitungkan sebagai komponen penting dalam
pelayanan kesehatan dasar. Penggunaan obat herbal sebagai bagian dari
pengobatan hipertensi semakin meningkat dalam dekade terakhir. Hal ini
disebabkan adanya beberapa faktor, salah satunya karena efek samping yang
dianggap lebih sedikit. Pada penelitian sebelumnya tahun 2019 yang dilakukan
oleh di Puskesmas Mergangsan, didapatkan hasil bahwa ada
hubungan antara persepsi pasien yang menggunakan kombinasi terapi
antihipertensi dan terapi komplementer terhadap outcomes klinis pada pasien
hipertensi. Oleh karena itu, berdasarkan hasil dari studi pendahuluan dan juga
penelitian terdahulu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan
penggunaan herbal dalam terapi komplementer (herbal) untuk hipertensi di Kota
Denpasar.
Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif. Penelitian ini mendeskripsikan kejadian yang terjadi pada saat
sekarang, yakni pengobatan herbal dalam terapi komplementer hipertensi.
Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berdomisili Denpasar yang
yang menderita Hipertensi dan yang menggunakan terapi kombinasi
antihipertensi (Konvensional) dan terapi Komplementer (Herbal) untuk terapi
Hipertensi, yang berusia > 17-65 tahun. Pengambilan sampel menggunakan
purposive sampling dimana mengikuti kriteria inklusi dan ekslusi. Hasil
penelitian merupakan data deskriptif analitik berupa presentase.
Hasil penelitian ini terkait gambaran distribusi frekuensi dari karakteristik
responden. Pada bagian ini dijelaskan mengenai karakteristik responden yang
menjadi sampel penelitian yaitu terdiri dari umur, jenis kelamin, tingkat
Pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan.Berdasarkan dari penelitian yang sudah dilakukan, didapatkan hasil
seperti pada tabel 1 mayoritas responden termasuk ke dalam rentang usia 46-65
tahun (Lanjut Usia) yaitu sebanyak 76 orang (69%), berjenis kelamin perempuan
sebanyak 57 orang (52%), mayoritas pendidikan responden yaitu SMA sebanyak
66 orang (60%), dengan pekerjaan mayoritas responden yaitu sebagai wirausaha
atau pegawai swasta 85 orang (77%), serta mayoritas status perkawinan
responden yaitu menikah 103 orang (99%). Pada penelitian ini menggunakan
rentang usia minimal >17 tahun, karena menurut Estiningsih (2012) dikatakan
bahwa seorang dengan usia 18-44 tahun lebih beresiko terkena hipertensi, hal
tersebut juga dapat terjadi karena faktor dari IMT (Indeks Massa Tubuh) yang
tidak normal. Sedangkan menurut Kemenkes (2017) Hipertensi banyak terjadi
pada usia >45 tahun, penderita hipertensi pada Wanita menopause banyak
ditemui pada usia >45-65 tahun. Perubahan hormonal setelah menopause dapat
meningkatkan resiko penyakit degeneratif salah satunya yaitu Hipertensi Pada tabel 1 terlihat bahwa penderita hipertensi lebih
banyak terjadi pada perempuan yaitu sebesar 52%. Berdasarkan beerapa
penelitian hal ini dapat terjadi karena berhubungan dengan usia penderita.
Dimana penderita hipertensi perempuan berusia >45 tahun memiliki resiko lebih
tinggi terkena hipertensi, karena pada usia tersebut perempuan mulai
kehilangan hormon estrogen atau karena sudah memasuki masa pre-menoupose.
(. Menurut Yuwono, dkk alasan lain mengatakan bahwa
hampir 50% penderita hipertensi adalah perempuan, hal ini terjadi karena
perempuan memiliki beberapa kondisi khusus yang berhubungan dengan
mengkonsumsi asupan kalsium, masa kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral
dan mengalami masa menopause.
Tingkat pendidikan responden mayoritas yaitu lulusan SMA (Sekolah Menengah
Atas) yaitu sebesar 60%. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang terhadap sesuatu salah satunya
seperti dalam memilih terapi pengobatan.
mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah
pula dalam menerima informasi dan meningkatkan pengetahuan serta kecepatan
dalam memahami dan mengolah informasi juga meningkat. Berdasarkan pada tabel 5.5 didapatkan hasil bahwa herbal yang paling
banyak digunakan sebagai terapi komplementer hipertensi oleh responden yaitu pada bagian daun paling banyak digunakan yaitu Daun Seledri (30%), Daun
Salam (6%), Daun Meniran (5%) dan Daun Kelor (4%). Pada bagian Buah paling
banyak digunakan yaitu Buah Mentimun (39%), Buah Melon (4%) dan Buah
Semangka (2%). Selanjutnya pada bagian Rimpang yang digunakan oleh
responden yaitu Jahe (1%), dan yang terakhir pada bagian Umbi responden
menggunakan Bawang Putih atau Kesuna (9%).
Terapi herbal merupakan salah satu pilihan dari terapi komplementer
yang dapat dimanfaatkan sebagai terapi penunjang dari terapi konvensional.
Dalam memilih terapi komplementer herbal untuk hipertensi, ada banyak jenis
bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk menurunkan tekanan darah
seperti bagian akar, batang, buah, daun, dan sebagainya.
Terapi herbal yang digunakan dapat berfungsi sebagai vasodilator dan
vasorelaksan. Vasodilator adalah kandungan zat yang dapat berfungsi untuk
membantu melebarkan pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan efek
relaksasi pada otot polos. Sedangkan vasorelaksan adalah adalah zat yang dapat
membantu proses dalam penurunan tekanan darah. (Putri Dafriani, 2016).
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa penggunaan buah timun
memiliki persentase paling tinggi yaitu sebesar 39% (tabel 2) penderita hipertensi
menggunakan buah timun sebagai terapi komplementer dalam penurun tekanan
darah. Berdasarkan pada penelitian terdahulu, yang dilakukan oleh Negara, dkk
(2018) dikatakan bahwa timun dapat membantu menurunkan tekanan darah
pada lansia yang menderita hipertensi. Mentimun dapat dimanfaat sebagai
terapi komplementer herbal untuk hipertensi karena mentimun memiliki
kandungan kalium yang tinggi sehingga dapat membantu menurunkan volume
darah dan tekanan darah atau dapat berfungsi sebagai vasodilator (
Pada penelitian ini, responden yang memanfaatkan jahe sebagai terapi
komplementer hipertensi hanya sebesar 1% saja. Diketahui manfaat jahe juga
sebagai vasodilator, hal ini sangat disayangkan karena, menurut jurnal penelitian
dari Nadia, E.A bahwa jahe ternyata memiliki manfaat dalam sistem
kardiovaskular, seperti memiliki efek antioksidan yang dapat membantu
mengurangi radikal bebas dan menurunkan tekanan darah. Selain itu, pada penelitian Braga (2019), dikatakan bahwa jahe memiliki kandungan Gingerol dan
kalium yang berfungsi untuk membantu menurunkan kontraksi otot polos
sehingga akan menyebabkan tekanan darah menurun atau sebagai vasodilator.
Oleh karena itu, jahe dapat dijadikan pilihan dalam terapi komplementer herbal
untuk hipertensi.
Simpulan penelitian ini ialah Responden yang menjadi sampel
penelitian mayoritas merupakan Perempuan, dengan rentang usia 46-65 tahun
(Lansia), pekerjaan responden mayoritas sebagai pegawai swasta, pendidikan
mayoritas tamat SMA (Sekolah Menengah Atas), dan yang terakhir mayoritas
status perkawinan dari responden yaitu Menikah. Jenis herbal yang digunakan
oleh penderita hipertensi yang menjadi responden penelitian ini yaitu bagian
tanaman, seperti daun, buah, rimpang dan umbi. Bagian tanaman yang paling
banyak digunakan oleh responden adalah Buah Mentimun (39%), Daun Seledri
(30%) dan yang paling sedikit adalah Jahe (1%)
Hipertensi sering kita ketahui sebagai Sillent killer karena sering tanpa keluhan.
Dikatakan hipertensi ketika tekanan sistolik terukur ≥140 mmHg atau tekanan
diastolik terukur ≥90 mmHg. Prevalensi penderita hipertensi di Kota Denpasar
masih terbilang cukup tinggi yaitu sebanyak 177.627 diperkirakan terjadi
peningkatan penderita hipertensi di Kota Denpasar dari tahun 2014 sekitar
114.421. Penatalaksanaan terapi dalam hipertensi bisa dilakukan secara
farmakologi dan non farmakologi. Penggunaan herbal sebagai bagian dari
pengobatan hipertensi semakin meningkat dalam beberapa decade terakhir ini.
Penelitian ini mencoba melihat pola penggunaan herbal dalam terapi
komplementer pada hipertensi di kota Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan
dengan metode purposive sampling. Pasien hipertensi yang bersedia mengikuti
penelitian dan menggunakaan terapi konvensional kombinasi dengan
komplementer herbal di rentang usia 17-65 masuk dalam sampel penelitian. Hasil
penelitian menunjukkan laki-laki sebesar 52% dengan rentang usia 46-55 tahun
sebanyak 70% merupakan kategori lanjut usia yang lebih banyak menggunakan
herbal dalam terapi komplementer. Tiga terbesar herbal yang digunakanadalah
Buah timun 39%, daun seledri 30% dan bawang putih 9%. Sumber informasi
terkait pemanfaatan herbal ini diperoleh dari keluarga sebanyak 60 %, Teman
sebanyak 38% dan Internet sebanyak 12 %. Dapat disimpulkan bahwa penederita
hipertensi masih banyak yang menggunakan herbal dalam terapi komplementer
yaitu buah mentimun dengan informasi terbanyak diperoleh dari keluarga.
OBAT HERBAL
Obat Tradisional yaitu bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan ini
yang secara turun temurun telah idipakai
untuk pengobatan berdasar pengalaman.
Perkembangan selanjutnya obat tradisional
kebanyakan berupa campuran yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan sehingga dikenal
dengan obat herbal.
Obat herbal yaitu obat yang berasal dari
tumbuhan yang diproses atau diekstrak
sedemikian rupa sehingga menjadi serbuk, pil
atau cairan yang dalam prosesnya tidak
memakai zat kimia. Seperti yang di
ketahui obat herbal dapat menyembuhkan
penyakit dengan efek samping yang minim
sebab dibuat dari bahan-bahan yang alami,
tidak seperti obat-obat sintetis yang dapat
memberi efek samping baik secara
langsung maupun setelah waktu yang lama.
Obat-obatan herbal yaitu campuran dari
banyak bahan aktif.4 Jenis obat herbal ada
yaitu: Jamu, obat herbal terstandarisasi dan
fitofarmaka.
Menurut WHO, sekitar 80% warga di
negara-negara anggota WHO di Afrika
memakai obat tradisional untuk keperluan
Kesehatan. Demikian pula pemakaian obat
tradisional di Asia, di RRC pemakaian obat
tradisional mencapai 90%, di Jepang 60-70%
dokter meresepkan obat tradisional untuk
pasien mereka, obat tradisional melayu, TCM
dan obat tradisional India idipakai secara
luas di Malaysia. WHO di wilayah Amerika
melaporkan 71% penduduk Chile dan 40%
penduduk Kolombia memakai obat
tradisional. Beberapa sumber menyebutkan
pemakaian obat tradisional oleh penduduk di
Perancis mencapai 49%, Kanada 70%, Inggris
40% dan Amerika Serikat 42%.5 Menurut
Survei Sosial Ekonomi Nasional (susenas) dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Republik
negara kita tahun 2014, persentase penduduk
yang memakai obat tradisional
berdasar jenis kelamin yaitu sebesar
20,48% untuk laki-laki, 21,51% untuk
perempuan dan 20,99% untuk laki-laki dan
perempuan. sedang persentase di provinsi
Jambi sebesar 25,56% untuk laki-laki, 24,59%
untuk perempuan, dan 25,09% untuk laki-laki
dan perempuan.
Laju percepatan kemajuan medis yaitu
pendorong tambahan untuk minat yang
semakin besar pada obat herbal, sebab
perawatan konvensional sering gagal
memberi perawatan holistik, berfokus pada pasien yang didambakan banyak orang.
sebab itu mereka beralih ke masa lalu dan
mencari obat tradisional, sikap ini semakin
diperkuat sebab obat-obatan modern mungkin
memiliki efek samping yang kuat dan tidak
menyenangkan, sehingga penyembuhan
terasa lebih buruk dibandingkan keadaan penyakit
itu sendiri.
Selama beberapa tahun terakhir,
pemakaian obat-obatan herbal di kalangan
warga umum telah meningkat secara
dramatis. Banyak laporan menunjukkan bahwa
obat-obatan herbal sering diambil bersamaan
dengan terapi konvensional. Meskipun obatobatan herbal umumnya dianggap aman bila
idipakai tunggal pada dosis dan waktu yang
dianjurkan, ada peningkatan bukti interaksi
obat dengan herbal yang dapat memicu
efek samping yang serius atau kegagalan
terapi dengan obat-obatan konvensional, dari
hasil penelitian ada efek samping negative
dari pemakaian obat herbal bersamaan
dengan obat konvensional seperti
kecenderungan perdarahan yang disebabkan
oleh ginkgo dan interaksi aspirin.8
Dari hasil penelitian lain, pemakaian
tanaman obat herbal St. John Wort bersamaan
dengan bupropion dan SSRI dapat
mengakibatkan sindrom serotonin,
pemakaian bawang putih dengan antiplatelet
seperti warfarin dapat memicu
pendarahan, dan juga pendarahan dapat
terjadi akibat dari pemakaian ginkgo biloba
dengan aspirin, dan masih banyak interaksi
lainnya.9 Pemakaian obat herbal jangka
panjang dan dosis tinggi dapat memicu
kerusakan organ tubuh.
Dalam interaksi obat dengan herbal, tidak
semuanya memiliki efek yang merugikan.
Beberapa herbal dilaporkan berinteraksi
dengan obat dan hasilnya menguntungkan,
seperti mengurangi toksisitas atau mengurangi
efek samping lain yang mungkin dialami.
Beberapa herbal juga meningkatkan atau
menurunkan metabolisme obat sehingga
mempengaruhi ketersediaan obat.8
Selama ini masih sedikit informasi tentang
interaksi antara obat herbal dan obat sintetik.
Maka dari itu, peneliti tertarik melakukan
penelitian tentang analisis pemakaian obat
herbal dan studi literatur interaksinya terhadap
obat konvensional di negara kita tahun 2020.
Jenis penelitian yang idipakai yaitu
penelitian deskriptif dengan memakai data
primer yaitu kuesioner berupa google form.
Penelitian dibagi menjadi dua tahapan yaitu,
survei data pemakaian macam obat herbal
secara kuantitatif dan interaksi kombinasi obat
herbal dengan obat konvensional dari
pencarian pada hasil literatur secara kualitatif
berdasar hasil tahap pertama. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini
yaitu consecutive sampling. Pengambilan
seluruh subjek yang diamati dan memenuhi
kriteria penelitian dalam kurun waktu tertentu
sampai besar sampel yang diperlukan
terpenuhi. Kriteria inklusi yaitu warga
negara kita yang berumur 18 tahun keatas dan
memliki gejala penyakit/keluhan sebagai dasar
pemakaian obat herbal. sedang kriteria
eksklusi yaitu warga negara kita yang
memakai obat herbal polifarmasi dan
mengisi kuesioner tidak lengkap
Penelitian ini dilaksanakan di beberapa
wilayah negara kita dengan memakai data
yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner
yang telah dibuat oleh peneliti dan disesuaikan
dengan tujuan penelitian yang mengacu pada
kerangka konsep dan teori yang telah dibuat.
Dari 407 response rate didapatkan 281 sampel
yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memiliki kriteria eksklusi. Dimana ada
sampel yang memiliki kriteria eksklusi berupa
pemakaian obat herbal polifarmasi sebesar
0,7% dan mengisi kuesioner tidak lengkap
sebesar 2,5%. Data 281 sampel akan disajikan
dalam bentuk analisis univariat.
berdasar Tabel 2, didapatkan hasil
uji univariat karakteristik sampel sebagai
berikut:
1. berdasar hasil analisis data
kelompok usia, didapatkan kelompok
usia 18 sampai 45 tahun sebayak
212 orang (75.4%), 46 sampai 65
tahun sebanyak 65 orang (23.1%)
dan lebih dari 65 tahun sebanyak 4
orang (1.4%). Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Ratna
(2019), didapatkan usia responden
yang memakai obat tradisional
yaitu dengan kategori dewasa awal
(18-40 tahun) sebanyak 79%.90 Hal
yang sama juga didapatkan dari
penelitian yang dilakukan Rasni, dkk
(2018), karakter usia menunjukkan
bahwa mayoritas responden berada
pada usia produktif yaitu 18-40 tahun
sebanyak 64 orang (62.7%).
Mayoritas usia responden yang
produktif membuat daya tangkap dan
pola pikir seseorang semakin
berkembang sehingga semakin
mudah untuk menggali informasi
tentang obat tradisional. Hal ini
dapat menjadi alasan mengapa
banyak responden yang didominasi
umur ini .91 Namun dari
penelitian yang dilakukan oleh
Sudibyo (2007), didapatkan
pemakai obat herbal paling banyak
didominasi kelompok lanjut usia (56
tahun ke atas). Hal ini mungkin
disebabkan sebab orang tua lebih
menyukai pemakaian obat
tradisional sebab lebih mudah dan
praktis.
2. berdasar hasil analisis data jenis
kelamin, didapatkan responden yang
berjenis kelamin laki-laki sebanyak
128 orang (45.6%) dan perempuan
sebanyak 153 orang (54.4%). Hal ini
sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Sudibyo (2007),
didapatkan hasil proporsi
pemakaian obat herbal lebih
banyak pada responden perempuan
yaitu 28.5% dan laki-laki 27.8%.92
Dan juga pada penelitian mengenai
obat tradisional yang dilakukan oleh
Rasmi (2018) didapatkan hasil
mayoritas responden berjenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak
71 orang (69,6%).
3. berdasar hasil analisis wilayah
tempat tinggal, didapatkan responden
yang bertempat tinggal di desa
sebanyak 92 orang (32.7%) dan di
kota sebanyak 189 orang (67.3%). Hal
ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Astri, dkk (2016),
berdasar karakteristik tempat
tinggal, proporsi rumah tangga yang
pernah memakai pelayanan
Kesehatan tradisional, daerah
perkotaan sebesar 36.9% dan
pedesaan 26.3%. pemakaian obat
tradisional juga banyak idipakai
oleh warga yang berada di kota
besar meskipun sebenarnya banyak
tersedia fasilitas Kesehatan dan
mudahnya memperoleh obat
konvensional.93 Namun dari penelitian
Sudibyo (2007), didapatkan proporsi
pemakai obat herbal yang bertempat
tinggal di pedesaan lebih tinggi
dibandingkan yang bertempat tinggal
di perkotaan. Disebab kan mudahnya
memperoleh tanaman obat herbal di
wilayah pedesaan.
4. berdasar hasil analisis tingkat
Pendidikan, didapatkan mayoritas
responden tamat SMA/sederajat
sebanyak 156 orang (55.5%) dan
tamat sarjana sebanyak 113 orang
(40.2%). Hal ini sejalan dengan
penelitian Ratna (2019) dimana
mayoritas pemakai obat herbal
memiliki tingkat pendidikan tamat
SMA.90 Hal ini didukung oleh
penelitian Sulfiyana, didapatkan
mayoritas responden terbanyak yaitu
tamat SMA sebanyak 36 orang
(69,2%).94 Namun dari penelitian
Sudibyo (2007), mayoritas pemakai
obat herbal tidak sekolah sebesar
40,5%.92 Hal ini sejalan dengan studi
Wardana (2008) menemukan bahwa
tingkat Pendidikan tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap minat
individu dalam memakai obat
tradisional, disebabkan adanya faktor
lain yang lebih kuat memberi
pengaruh seperti tradisi nenek
moyang, kebiasaan keluarga dan
informasi nasehat dari tetangga atau
teman kerabat atau penjual
jamu/obat tradisional secara
langsung.95 Purnamaningrum (2010),
menyatakan bahwa Pendidikan tidak
memiliki pengaruh terhadap perilaku
mengobati. Kondisi ini dapat
disebabkan sebab probabilitas
warga memilih obat tradisional
tergantung dengan tingkat
pengetahuan dan pemahaman
indvidu mengenai pengobatan
tradisional yang biasanya telah
didapat dari pengalaman yang
diberikan oleh orang tua dan
kebiasaan warga sehingga
pemakaian obat tradisional sudah
menjadi sugesti akan sembuh jika
individu mengkonsumsi obat
tradisional untuk menyembuhkan
penyakitnya.
5. berdasar hasil analisis tingkat
pendapatan, didapatkan responden
berpendapatan tinggi (>Rp 2.500.000
per bulan) sebanyak 118 orang
(42%), sedang (Rp 1.500.000-
2.500.000 per bulan) sebanyak 47
orang (16.7%) dan rendah (<Rp
1.500.000 per bulan) sebanyak 116
orang (41.3%). Hal ini sesuai dari
hasil penelitian Herti (2016) dimana
mayoritas pemakai obat herbal
berpenghasilan lebih dari Rp
3.000.000 per bulan (63,3%).
Namun pada penelitian Ismail (2015),
didapatkan mayoritas pemakai obat
herbal memiliki pendapatan rendah
(kurang dari Rp 1.500.000 per bulan)
sebanyak 28 orang (82,4%).98 Hal
yang sama didapatkan dari penelitin
Tiara (2019) dimana sebagian besar
responden berpendapatan kurang
dari 2 juta.99 Menurut Herika (2015),
pendapatan tidak memiliki hubungan
yang signifikan terhadap probabilitas
individu untuk memilih pengobatan
tradisional.100 Hal ini sejalan dengan
studi Purnamaningrum (2010) yang
menyatakan bahwa pendapatan tidak
memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perilaku mengobati baik
dengan menggunaan obat modern
ataupun pengobatan tradisional.96
Pernyataan ini juga didukung oleh
studi Muwahid (2006) yang
menyatakan bahwa besarnya
penghasilan tidak berpengaruh
terhadap probabilitas dalam
pemilihan dan pemakaian obat
tradisional sebab Sebagian besar
konsumen lebih memprioritaskan
khasiat.
berdasar Tabel 3, didapatkan bahwa
jahe merupakan obat herbal yang paling
banyak dikonsumsi yaitu sebanyak 82 orang
(29.2%). Lalu diikuti oleh kunyit yaitu sebanyak
31 orang (11%) dan jeruk nipis yaitu sebanyak
14 orang (5%). Hal ini sejalan dengan FOHAI
(2017), dimana persentase pemakaian
tanaman obat di negara kita paling besar yaitu
jahe (50.36%).89 Dari hasil penelitian Ratna
(2019), obat herbal yang banyak idipakai
yaitu jamu (52,38%)
berdasar Tabel 4, didapatkan jenis
gejala penyakit/keluhan yang banyak
mendasari pemakaian obat herbal yaitu sakit
tenggorokan sebanyak 45 orang (16%). Lalu
diikuti dengan batuk sebanyak 34 orang
(12.1%) dan untuk melancarkan menstruasi
sebanyak 16 orang (5.7%). Hal ini sejalan
dengan penelitian Ismiyana (2013) yang juga
mendapatkan responden yang memakai
obat tradisional umumnya mengalami batuk,
flu, masuk angin, pusing, gangguan
pencernaan dan lain-lain.102 Pada penelitian
Sudibyo (2007), pemakai obat herbal
didominasi oleh diare sebagai keluhan yang
mendasari pemakaian obat herbal.
berdasar Tabel 5, didapatkan bentuk
sediaan obat herbal yang paling banyak
idipakai oleh responden yaitu rajangan
sebanyak 155 orang (55.2%), efervesen
sebanyak 27 orang (9.6%) dan cairan
sebanyak 26 orang (9.3%). Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Merdekawati
(2016) bahwa warga memakai obat
tradisional untuk menyembuhkan penyakit
ringan yang dideritanya dan persentase paling
tinggi menunjukkan bentuk sediaan yang
banyak idipakai yaitu rebusan tanaman
obat (65%).103 Penelitian yang dilakukan oleh
Ratna (2019) juga menyatakan bahwa sediaan
yang paling banyak idipakai warga
ialah sediaan cair (92.86%). Hal ini disebab kan
obat tradisional bentuk cairan merupakan
bentuk yang paling lama ada di negara kita dan
bentuk cairan lebih praktis dalam
pemakaian nya.
berdasar Tabel 6, didapatkan alasan
pemakaian obat herbal paling banyak yaitu
sebab efek samping yang relatif kecil
sebanyak 100 orang (35.6%). Lalu diikuti oleh
dapat diperoleh dengan mudah sebanyak 83
orang (29.5%), sudah idipakai secara turuntemurun sebanyak 83 orang (29.5%), dan
harga yang lebih terjangkau sebanyak 15 orang
(5.3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Ratna
(2019), didapatkan alasan warga
memakai obat tradisional sebab terbuat
dari bahan alami (37,50%) yang memiliki efek
samping yang relative lebih kecil.104
Triratnawati (2010), menyatakan bahwa
pengobatan tradisional diterapkan sebab
alasan yang mudah, murah dan manjur serta
sesuai dengan kerangka berpikir individu
dalam rumah tangga.105 Menurut penelitian
Ratna (2019), juga didapatkan obat tradisional
idipakai secara turun-temurun sebesar
82,7% dan diketahui sisanya yaitu 17.3%
memilih yang lain.
berdasar Tabel 7, didapatkan
responden yang merasakan khasiat dari
pemakaian obat herbal sebanyak 273 orang
(97.2%) dan yang tidak merasakan khasiat
sebanyak 8 orang (2.8%). Hal ini sejalan
dengan penelitian Ratna (2019), menyatakan
bahwa persepsi yang banyak timbul di
warga mengenai pemakaian obat
tradisional yaitu percaya akan khasiat obat
tradisional. Dari penelitian ini dapat
diketahui masih banyak warga meyakini
bahwa persepsi mereka mengenai khasiat obat
tradisional yang lebih aman sebab terbuat dari
bahan yang alami dan jika dikonsumsi
dalam jangka waktu yang panjang tidak
memicu efek samping.90 Namun pada
penelitian yang dilakukan Tiara (2019),
didapatkan sebagian besar tidak merasakan
khasiat dari pemakaian obat herbal.
Ketidaktahuan warga tentang khasiat
obat herbal yang tidak timbul secara instan
seperti halnya obat kimia
berdasar Tabel 8, didapatkan
responden yang merasakan efek samping dari
pemakaian obat herbal sebanyak 1 orang
(0.4%) dan tidak merasakan efek samping
sebanyak 280 orang (99.6%). Hal ini sejalan
dengan penelitian Ratna (2019), dari penelitian
ini dapat diketahui masih banyak
warga meyakini bahwa persepsi mereka
mengenai khasiat obat tradisional yang lebih
aman sebab terbuat dari bahan yang alami
dan jika dikonsumsi dalam jangka waktu
yang panjang tidak memicu efek
samping.90 Namun pada penelitian yang
dilakukan Tiara (2019), didapatkan Sebagian
besar responden merasakan efek samping dari
pemakaian obat herbal. Efek samping yang
timbul diakibatkan oleh ketidaktahuan
warga tentang aturan dan cara pakai obat
herbal yang baik, seperti takaran dosis dan
interaksinya terhadap obat kimia
berdasar Tabel 9, didapatkan
responden yang memakai obat herbal
dan obat konvensional secara bersamaan
sebanyak 37 orang (13.2%) dan yang tidak
sebanyak 244 orang (86.8%). Hal ini sejalan
dengan penelitian Sefni (2012), mayoritas
pemakai obat herbal tidak memakai
obat konvensional secara bersamaan. Sefni
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna dari kelompok terapi kombinasi
konvensional-bahan alam dengan kelompok
terapi konvensional. berdasar juga dari
beberapa jurnal yang telah dibaca oleh
peneliti, khasiat kandungan dari obat herbal
dalam menyembuhkan suatu penyakit dapat
menyaingi khasiat dari terapi konvensional
dan dalam beberapa kasus ditemukan bahwa
kombinasi obat herbal dengan konvensional
dapat memicu interaksi negatif.
berdasar Tabel 10, dari pencarian
pada hasil literatur yang ada didapatkan hasil
adanya interaksi positif antar kombinasi obat
herbal-konvensional sebanyak 7 orang
(13.5%), interaksi negatif sebanyak 5 orang
(18.9%), dan tidak ada interaksi ataupun belum
diketahui interaksinya sebanyak 25 orang
(67.6%). Interaksi yang terjadi tidak ditanyakan
dikuesioner, disebab kan setiap orang memiliki
persepsi yang berbeda sehingga interaksi yang
terjadi tidak bisa dibuktikan hanya dengan
pertanyaan pada kuesioner.
Interaksi Obat Herbal Dengan Obat
Konvensional
Interaksi Positif
1. Jahe-Metformin
Dikutip dari jurnal Interactions between
antidiabetic drugs and herbs: an overview of
mechanisms of action and clinical implications,
didapatkan adanya interaksi positif dari
pemakaian kombinasi jahe dengan
metformin. Dari penelitian yang dilakukan,
didapatkan Jahe mengurangi hiperglikemia dan
memperbaiki disfungsi ginjal pada tikus
diabetes dengan dosis metformin yang
dikurangi. Kombinasi metformin dan jus jahe
memperbaiki nefrotoksisitas gentamisin. jahe
telah terbukti memiliki efek perlindungan ginjal
bila idipakai dengan metformin.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mahmoud (2013) dimana jahe
memili efek perlindungan ginjal jika
dikombinasikan dengan metformin.
2. Bawang Putih-Metformin
Dikutip dari jurnal Interactions between
antidiabetic drugs and herbs: an overview of
mechanisms of action and clinical implications,
didapatkan adanya interaksi positif dari
pemakaian kombinasi bawang putih dengan
metformin. Ditemukan bahwa bawang putih
meningkatkan Cmx (kadar maksimum yang
dapat dicapai obat pada plasma) dan Area
under curve (menunjukkan jumlah obat didlm
plasma) metformin. terapi kombinasi lebih
efektif dalam menurunkan kadar glukosa
darah, menyoroti bahwa ekstrak bawang putih
mempotensiasi efek hipoglikemik metformin.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Shika (2011), didapatkan terapi
kombinasi eksperimental antara jahe dengan
metformin memiliki efek pengurangan yang
lebih baik pada kadar glukosa darah.
3. Jahe-Paracetamol
Dikutip dari jurnal Ginger (Zingiber
officinale) potentiate paracetamol induced
chronic hepatotoxicity in Rats, didapatkan
adanya interaksi positif dari pemakaian jahe
dengan paracetamol. Paracetamol dapat
memicu toksisitas hati sebagai
ditunjukkan dengan peningkatan aktivitas
enzimatik hati serum, penurunan albumin dan
peningkatan fraksi globulin, induksi stres
oksidatif dan penipisan antioksidan. Dari hasil
penelitian yang pernah dilakukan, jahe dapat
menurunkan efek toksik paracetamol pada hati
menunjukkan adanya interaksi antara mereka.
Studi eksperimental lebih lanjut diperlukan
untuk jelaskan interaksi ini .
Dari penelitian Abdel-Azeem (2013) telah
melaporkan bahwa jahe efektif dalam
mengurangi hepatotoksisitas yang diinduksi
oleh paracetamol. Pemeriksaan histopatologi
menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan
kelompok pemberian paracetamol saja, hewan
yang diobati dengan jahe mengalami
penurunan tingkat nekrosis dan vakuolisasi sel
yang menunjukkan efek menguntungkan.11e
4. Madu-Paracetamol
Dikutip dari jurnal Potential Protective
Effect of Honey Against Paracetamol-induced
Hepatotoxicity, didapatkan adanya interaksi
positif dari pemakaian kombinasi maduparacetamol. Dikutip dari hasil penelitian yang
pernah dilakukan, perawatan awal dengan
madu dan silymarin sebelum pemberian
parasetamol secara signifikan mencegah
peningkatan kadar serum penanda enzim hati,
dan mengurangi stres oksidatif dan sitokin
inflamasi. Evaluasi histopatologi hati juga
mengungkapkan bahwa madu mengurangi
kejadian lesi hati akibat parasetamol. Madu
dapat idipakai sebagai agen hepatoprotektif
yang efektif melawan kerusakan hati akibat
paracetamol. Hal ini sesuai dengan penelitin Ali
(2010) dimana pemakaian madu dapat
meminimalkan efek toksik di hati yang dapat
disebabkan oleh paracetamol.
5. Daun Kelor-Metformin
Dikutip dari pada jurnal Effect of moringa
oleifera with and without metformin on an
experimental model of metabolic syndrome in
rats, didapatkan adanya interaksi positif dari
pemakaian kombinasi daun kelor dengan
metformin. dalam penelitian yang pernah
dilakukan, menunjukkan bahwa penambahan
daun kelor ke metformin menghasilkan
peningkatan yang signifikan pada parameter
sindroma metabolik. Namun, penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menyelidiki bahan aktif
zat herbal ini yang bertanggung jawab atas efek
menguntungkannya dan kemungkinan
mekanisme yang mendasari efek ini. Selain itu,
dapat disarankan agar daun kelor dapat
idipakai sebagai suplemen herbal selain
metformin pada subjek dengan sindrom
metabolik, dengan mempertimbangkan
kekurangan terapi yang secara langsung
mengatasi epidemi sindrom metabolik yang
berkembang.
Pada penelitian lain yang dilakukan Lisa
(2020), ekstrak metformin dan moringa oleifera
(daun kelor) menunjukkan penurunan
ketebalan yang signifikan pada sel teka pada
pasien polycystic ovary syndrome (PCOS).
Interaksi Negatif
1. Jahe-Metronidazole
Dikutip dari jurnal Herb-Drug Interaction: A
Case Study of Effect of Ginger on the
Pharmacokinetic of Metronidazole in Rabbit,
didapatkan adanya interaksi negatif dari
pemakaian kombinasi jahe dengan
metronidazole. Dari hasil penelitian, jahe dapat
memicu peningkatan bioavailabilitas dan
waktu paruh, dan penurunan konstanta laju
pembersihan dan eliminasi metronidazol per
oral. Hal ini dapat memicu implikasi
negatif dalam praktek klinis sebab toksisitas
metronidazol dapat dengan mudah dicapai
terutama selama pemberian dosis ganda
sebab kemungkinan akumulasi obat.
Jahe dikenal dapat meningkatkan sirkulasi
darah dan bioavailabilitas. Dalam suatu
penelitian jika jahe diformulasikan bersamaan
dengan metronidazole akan memiliki efek
spasmolitik dan menyebab relaksasi otot polos.
Sehingga terjadi penurunan pengosongan
lambung, motilitas gastrointestinal dan
peningkatan sirkulasi darah ke saluran
gastrointestinal.
2. Bawang putih-Propanolol
Dikutip dari jurnal Pharmacodynamic and
Pharmacokinetic Interactions of Propranolol
with Garlic in Rats, didapatkan adanya interaksi
positif dan negatif dari pemakaian kombinasi
bawang dengan propranolol. Hasil dari
penelitian mengungkapkan bahwa bawang
putih dapat meningkatkan bioavailabilitas dan
waktu paruh seiring dengan penurunan klirens
dan konstanta laju eliminasi propanolol bila
dikonsumsi secara oral. Hal ini dapat
memicu implikasi negatif dalam praktek
klinis sebab toksisitas propanolol dapat
dengan mudah dicapai terutama selama
pemberian dosis ganda sebab kemungkinan
akumulasi obat. Namun, penambahan bawang
putih secara hati-hati dalam dosis sedang
dapat menghasilkan efek menguntungkan
selama pengobatan hipertensi pada hewan
dengan stres miokard. Oleh sebab itu,
penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk
menentukan pengaruh konstituen aktif tertentu
dari bawang bila dikombinasikan dengan
propanolol pada hewan yang mengalami
hipertensi dan kerusakan miokard.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Asdaq (2010) didapatkan efek sinergis dari
kombinasi bawang putih dengan propranolol
dengan pemberian dosis yang rendah.
3. Kayu Manis-Simvastatin
Didapatkan adanya interaksi negatif dari
pemakaian kombinasi kayu manis dengan
simvastatin. Mengkonsumsi kayu manis dalam
dosis yang sangat besar dapat membahayakan
hati, terutama pada penderita penyakit hati.
Mengkonsumsi kayu manis dalam jumlah besar
bersama dengan obat-obatan yang mungkin
juga membahayakan hati dapat meningkatkan
risiko kerusakan hati. Dikutip dari
formularium obat herbal asli negara kita (2017),
didapatkan bahwa kayu manis memiliki
kandungan coumarin yang dapat
membahayakan hati.89 Sehingga jika
dikombinasikan dengan obat seperti
simvastatin dapat meningkatkan risiko
kerusakan hati.
4. Mengkudu-Glimepirid, Metformin, Captopril
Dikutip dari Formularium Ramuan Obat
Tradisional negara kita tahun 2017 didapatkan
adanya interaksi negatif dari pemakaian
kombinasi mengkudu dengan obat antidiabetes
(glimepiride dan metformin) dan captopril.
Interaksi negatif pada kombinasi mengkudu
dengan obat antidiabetes, dimana hal ini dapat
memicu hipoglikemia dan hipotensi.
Disebab kan terapi kombinasi ini dapat
menurunkan kadar glukosa darah dan kalium
darah. Dapat juga memicu warna urin
menjadi merah muda sampai merah
kecoklatan. Pada penelitian Kumar (2007),
jus mengkudu yang difermentasi idipakai
untuk menyelidiki aktivitas hipoglikemik pada
tikus yang diinduksi diabetes. Didapatkan
penurunan glukosa puasa yang sifnifikan.
Sehingga pemberian bersamaan dengan obat
antidiabetes dapat memicu
hipoglikemia.
Dari kombinasi mengkudu dengan
captopril. Dikutip dari penelitian Kumar, dkk
(2010), menyatakan bahwa senyawa
skopoletin dalam mengkudu merupakan zat
aktif yang bersifat antioksidan dan dapat
membantu menurunkan tekanan darah melalui
efek vasodilatasi sama halnya seperti obat
golongan ACE inhibitor (captopril). Beberapa
obat untuk tekanan darah tinggi seperti
captopril dapat meningkatkan kadar kalium
dalam darah. Mengkonsumsi jus mengkudu
dengan captopril dapat memicu terlalu
banyak kalium dalam darah.1
Tidak Ada Interaksi
1. Kunyit-Omeprazole
Dikutip dari jurnal Combination of Curcuma
Longa and Omeprazole in the Treatment of
Peptic-Ulcer Disease and H. pylori Eradication
in Comparison to the Triple Therapy: A
Controlled Clinical Trial, didapatkan tidak
adanya interaksi dari pemakaian kombinasi
kunyit dengan omeprazole. Dari suatu
penelitian didapatkan Kombinasi Curcuma
longa andomeprazole tidak menunjukkan
perbedaan efek penyembuhan ulkus peptikum
dibandingkan dengan terapi standar.124 Dikutip
dari formularium obat herbal asli negara kita ,
tidak ada interaksi antara kombinasi pemberian
kunyit dengan omeprazole.89
Untuk kombinasi obat herbal dengan
konvensional lainnya tidak didapatkan interaksi
ataupun interaksi belum diketahui. Oleh sebab
itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
menyelidiki apakah bahan aktif zat herbal
tertentu dapat memicu efek
menguntungkan/merugikan atau tidak
memicu efek sama sekali setelah
dikombinasikan dengan obat konvensional.
berdasar dari hasil penelitian dan
pembahasan pada penelitian ini mengenai
Analisis pemakaian Obat Herbal dan Studi
Literatur Interaksinya Terhadap Obat
Konvensional Di negara kita Tahun 2020, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Jenis obat herbal yang banyak idipakai
yaitu jahe.
2. Karakteristik responden sebagian besar
berusia 18-45 tahun, perempuan, tinggal di
perkotaan, tamat SMA, berpendapatan
tinggi (lebih dari Rp 2.500.000 per bulan),
jenis gejala penyakit atau keluhan yang
mendasari pemakaian obat herbal yaitu
sakit tenggorokan, sediaan obat herbal yang
banyak idipakai yaitu rajangan, dan
alasan pemakaian obat herbal paling
banyak yaitu sebab efek samping yang
relatif kecil.
3. Mayoritas responden merasakan khasiat dan
tidak merasakan efek samping dari
pemakaian obat herbal.
4. Mayoritas pemakai obat herbal tidak
mengkombinasikannya dengan obat
konvensional.
5. Pencarian pada beberapa hasil literatur,
mayoritas pemakai kombinasi obat herbal
Persentase penduduk negara kita yang memakai obat tradisional pada tahun 2014 yaitu 20,99%.
Terjadi peningkatan pemakaian obat herbal, sehingga ada kemungkinan dapat terjadi interaksi.
Adapun data tentang pemakaian obat herbal dan interaksinya dengan obat konvensional masih
terbatas. Jenis penelitian ini yaitu penelitian deskriptif yang memakai kuesioner berupa google
form. Dilakukan analisis univariat untuk mengetahui karakteristik pemakai obat herbal dan interaksi
dari kombinasi obat herbal dengan obat konvensional melalui pencarian pada literatur yang sudah
tersedia. Hasil penelitian dari 281 responden sebagian besar berusia 18-45 tahun (75,4%), perempuan
(54,4%), tinggal di perkotaan (67,3%), tamat SMA (55,5%), dan berpendapatan tinggi perbulannya
(42%). Obat herbal yang paling banyak idipakai yaitu jahe (29,2%). Didapatkan beberapa jenis obat
herbal yang idipakai berbeda-beda pada tiap jenis gejala penyakit/keluhan yang sama. Sediaan obat herbal yang paling banyak idipakai berupa rajangan (55,2%), dan sebagian besar responden
beralasan dalam pemakaian obat herbal disebab kan efek samping yang relatif kecil (35,6%).
Mayoritas responden merasakan khasiat (97,2%), dan yang lainnya tidak merasakan efek samping
(99,6%). Didapatkan juga kombinasi obat herbal dengan obat konvensional (13,2%) dengan beberapa
memiliki interaksi yang menguntungkan (13,5%), interaksi merugikan (18,9%), dan tidak ada interaksi
(67,6%%). ada variasi dalam pemakaian obat herbal untuk keluhan yang sama pada tiap daerah.
Beberapa responden mengkombinasikannya dengan obat konvensional. Didapatkan interaksi
menguntungan, interaksi merugikan, dan tidak ada interaksi dari kombinasi ini .