Hamil di Luar Nikah
berdasar uraian di atas maka dapat disimpulkan keabsahan dan dasar Hukum
dalam menikahkan wanita hamil diluar nikah adalah KHI. Pernikahan wanita dalam
keadaan hamil dengan catatan yang menikahi adalah laki-laki yang menghamilinya.
sebab hal ini di dasarkan dalam KHI pasal 53 yang menjelaskan wanita yang hamil
diluar nikah bisa menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. Menurut hukum Islam
khususnya Mazhab Hanafi dan Syafi’i wanita yang hamil di luar nikah diperbolehkan
menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. Perilaku zina tidak menghalangi sahnya
akad nikah. Berbeda dengan pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad yang menyatakan
wanita yang hamil di luar nikah tidak boleh kawin dengan laki-laki yang menghamilinya,
bahkan tidak boleh juga dikawini oleh laki-laki yang mengetahui bahwa wanita itu sedang
dalam keadaan hamil, kecuali wanita yang sedang hamil ini habis masa iddahnya
sampai melahirkan dan benar-benar bertaubat.
Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua
makhluk Allah baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang
diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan,
sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling sempurna yakni manusia. Dalam
surat Adh-Dzaariyat ayat 49 disebutkan :
Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.” (Adh-Dhaariyat [51] : 49).
Pernikahan atau yang lazim disebut perkawinan secara terminology
sebagaimana dikemukakan oleh ulama fiqh adalah Akad yang menjadikan halalnya
hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong-menolong
diantara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya
(. Salah satu ayat Al-Quran yang dijadikan sebagai dasar
untuk menjelaskan tujuan pernikahan adalah surat Ar-Rum ayat 21, Allah
menjelaskan diantara tanda-tanda kebesaran Allah dan kesempurnaan Kuasa-Nya,
Dia menciptakan para istri untuk kalian (wahai kaum laki-laki) dari jenis kalian
sendiri, agar jiwa kalian menjadi tenang dan damai kepadanya, dan Dia menjadikan
kecintaan dan kasih sayang antara suami dan istri. Sesungguhnya dalam penciptaan
Allah terhadap semua itu terkandung petunjuk atas Kuasa Allah dan keesaan-Nya
bagi kaum yang berpikir dan mengambil pelajaran.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Dalam
perkembangan teknologi yang semakin canggih, arus informasi yang semakin pesat
dan kehidupan semakin mengalami kemajuan serta perubahan di berbagai daerah
diseluruh negara kita . Hal ini tidak hanya memberikan dampak positif, akan namun juga
telah membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia yang ditandai dengan
adanya berbagai kasus yang terjadi dalam berumah tangga Fenomena
yang menjamur dikalangan remaja dewasa ini akibat kemajuan zaman adalah
munculnya pergaulan bebas, khalwat bahkan perzinaan dan terjadinya kehamilan
sebelum nikah Perihal hamil di luar nikah sudah diketahui
secara jelas sebagai perbuatan zina yang merupakan dosa besar yang harus
ditanggung oleh kedua pasangan, baik pria yang menghamilinya maupun wanita yang
dihamili, serta harus menanggung akibat hukum dari perbuatan pidana yang telah
dilakukannya
Penyimpangan-penyimpangan kaidah sosial atau norma agama dalam hal
hamil di luar nikah ini, disebab kan ketidakmampuan yang bersangkutan menahan
diri sehingga norma apapun dilanggarnya. Ini terjadi di kalangan anak muda sebab
mereka terbawa hanyut oleh jiwa yang cendrung untuk bertindak dulu, berfikir
kemudian, maka akibat dari ketidakmampuan menahan diri, banyak remaja
melakukan hubungan badan sebelum menikah yang berujung pada kehamilan. Kehamilan tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah merupakan aib bagi keluarga,
maka saat orang tua mengetahui anak perempuannya dalam keadaan hamil sebelum
menikah, orang tua ini akan segera menutup aib keluarga dengan cara
menikahkan anak perempuannya itu
Dalam pergaulan Islam juga mengajarkan agar dapat memilih teman dalam
pergaulan yang sepengetahuan tentang agama. Perihal wanita yang menjadi sorot
pandang pergaulan, yang dikatakan mengikuti mode tren gaya kebarat-baratan
mempengaruhi dampak yang sangat negatif. Dan perkembangan zaman semakin
canggih semakin mendukung untuk terjadinya pergaulan bebas semakin terbuka
sehingga terjadinya kehamilan di luar nikah bukan lagi hal aneh untuk didengar.
Pergaulan ini kadang berujung pada persetubuhan diluar nikah yang
mengakibatkan kehamilan. Padahal kehamilan diluar nikah merupakan sebuah aib
yang harus ditutupi. Maka salah satu cara adalah dengan menikahkan wanita hamil
ini .
KUA adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang melakukan
pencatatan pernikahan di kalangan umat Islam. Eksistensi KUA tidak hanya semata
sebab pemenuhan tuntutan birokrasi saja namun secara substansial juga bertanggung
jawab penuh terhadap pelaksanaan keabsahan sebuah pernihakan. Persoalanpersoalan perkawinan yang dihadapi oleh umat muslim semakin kompleks, KUA
sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas keabsahan pernikahan diharuskan
mampu menyelesaikan permasalahan pernikahan yang terjadi di masyarakat
termasuk menyelesaikan persoalan pernikahan yang terjadi kehamilan sebelumnya.
berdasar latarbelakang permasalahan ini dibutuhkan sebuah kajian untuk
bisa menjelaskan bagaimana legalitas pernikahan wanita yang hamil diluar nikah
secara peraturan hukum di negara kita .
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif kepustakaan. Sumber datanya
merupakan data sekunder yang berasal dari sumber kepustakaan seperti buku, jurnal, dan
artikel. Motode analisisnya menggunakan analisis deskriptif kualitatif yang bersifat
analisis isi (content analysis), sehingga dapat memberikan sumbangsih terhadap legalitas
pernikahan wanita yang hamil diluar nikah secara hukum Islam dan aturan hukum di
negara kita
Konsep Dasar Pernikahan
Nikah berasal dari lafaz nakaha, yankihu, nahkan, nikahan, adalah sinonim
dengan kalimat zawaj yang berasal dari lafaz zawwaja, yuzawwiju, tazwij, zawaj
(Idhamy, 1984). Nikah menurut bahasa mempunyai arti Hakikat dan arti kiasan. Arti
yang hakikat dari kata nakaha berarti berkumpul, sedang menurut kiasan berarti
wath’i yang artinya bersetubuh. Jadi nikah merupakan suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Kata nikah dalam bahasa negara kita berarti ikatan (akad) perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama (KBBI, 2020).
Pernikahan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan kontrak keperdataan
biasa, akan namun pernikahan merupakan sunnah Rasulullah SAW dan media yang
paling cocok antara panduan agama Islam dengan naluriah atau kebutuhan biologis
manusia, dan mengandung makna dan nilai ibadah. Amat tepat kiranya, jika
Kompilasi Hukum Islam menegaskan sebagai akad yang sangat kuat, perjanjian yang
kokoh (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya
merupakan ibadah (pasal 2 KHI)
Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua
makhluk Allah, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang
diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan,
sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling sempurna, yakni manusia (Saebani,
2008). Perkawinan menurut istilah fiqh disebut juga “nikah” dan disebut juga
“zawaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai dua arti, yaitu arti yang sebenarnya
(haqiqi) dan arti kias (majaz). Arti yang sebenarnya dari nikah adalah “dhammun”
yang berarti menghimpit, menindih, atau berkumpul. Sedang arti kiasnya adalah
“wath’i” yang berarti bersetubuh atau akad yang berarti mengadakan perjanjian
pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari kata nikah lebih banyak dipakai
dalam arti kiasan dari pada arti yang sebenarnya, bahkan nikah dalam arti yang
sebenarnya jarang sekali dipakai saat ini
Perkawinan menurut ajaran Islam ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut
:
a. Pilihan jodoh yang tepat
b. Perkawinan didahului dengan peminangan
c. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan
d. Perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan
e. Ada persaksian dalam akad nikah
f. Perkawinan tidak ditentukan untuk waktu tertentu
g. Ada kewajiban membayar perkawinan atas suami
h. Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah
i. Tanggung jawab pimpinan keluarga pada suami
j. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga
Dalam agama Islam, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi
syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditentukan. Antara rukun dan syarat perkawinan
itu mempunyai pengertian masing-masing. Yang dimaksud dengan rukun perkawinan
ialah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang
mewujudkannya. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak
merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam artian syarat
yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri
dalam artian tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun ,Para ulama sepakat bahwa akad Nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya rukun-rukun dan
syarat-syarat nikah, yang yaitu :
a. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
b. Calon pengantin itu kedua-duannya telah dewasa dan berakal
c. Persetujuan bebas antara calon mempelai ini
d. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan
e. Harus ada mahar (maskawin) dari calon pengantin laki-laki
f. Harus dihadari sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki yang adil
g. Harus ada upacara ijab qabul
Menjelaskan rukun perkawinan ada lima yaitu calon suami, calon istri, wali nikah,
dua orang saksi, dan ijab qabul dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat
tertentu, yaitu :
a. Calon suami, syaratnya yaitu :
1) Beragama Islam
2) Laki-laki
3) Jelas orangnya
4) Dapat memberikan persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Calon istri, syaratnya yaitu :
1) Beragama Islam
2) Perempuan
3) Jelas orangnya
4) Dapat dimintai persetujuan
5) Tidak terdapat halangan
c. Wali nikah, syaratnya yaitu :
1) Laki-laki
2) Beragama Islam
3) Dewasa
4) Mempunyai hak perwalian
5) Tidak terdapat halangan perwalian
d. Dua orang saksi, syaratnya yaitu :
1) Minimal dua orang laki-laki
2) Hadir dalam ijab qabul
3) Dapat mengerti maksud akad
4) Islam dan adil
5) Dewasa, berakal, tidak terganggu ingatan, tidak tuli.
e. Ijab qabul, syaratnya yatiu :
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata ini
4) Antara ijab dan qabul bersambungan
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
7) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon
mempelai atau wakilnya, yaitu dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
Rukun dan syarat-syarat nikah ini diatas wajib terpenuhi apabila tidak
maka perkawinan tidak sah ,Didalam Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan. Mengatur syarat-syarat perkawinan dalam BAB II pasal 6 :
(1) Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal ini kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan
dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka
tidak dinyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan ini
dapat meberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang ini dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan ini ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pernikahan Perempuan Hamil Menurut Hukum Islam
Kehamilan dapat terjadi melalui pernikahan yang legal atau melalui hubungan
di luar pernikahan. Nikah hamil sering diartikan perkawinan seorang pria dengan
seorang wanita yang sedang hamil. Hal ini terdapat dua kemungkinan, dihamili
terlebih dahulu sebelum dinikahi atau dihamili oleh orang lain, kemudian menikah
dengan orang yang bukan menghamilinya (Mahmudin dan Agus, 2017).
Wanita hamil secara tekstual dapat dipahami dua makna, pertama: wanita
hamil dengan akibat oleh suami yang sah, kedua wanita hamil dengan akibat zina.
Istilah perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita yang
sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikah atau masa
iddah sebab perkawinan yang sah dengan laki-laki yang sudah mengakibatkan
kehamilannya.
Perkawinan terhadap wanita hamil, jika dikaitkan dengan wanita yang hamil
dalam akad yang sah atau di talak oleh suaminya, maka tidak boleh dinikahi hingga
sampai melahirkan anak yang dikandungnya, sesuai dengan firman Allah SWT:
َيِ
Artinya: “Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istriistrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa-massa
iddah mereka tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannysa.” (Ath-Thalaq [65]: 4).
Namun, jika wanita ini hamil dalam keadaan talaq mati maka jumhur
ulama berpendapat mengambil iddah terpanjang, sehingga setelah wanita lewat dari
masa iddahnya baru dibolehkan pernikahan. Masalah perkawinan dengan wanita
yang sedang hamil memiliki berbagai kontroversi penetapan apakah boleh atau
tidaknya tentang pelaksanaan hal ini menyangkut perkawinan di luar nikah.
Bayi yang dilahirkan dari hasil pernikahan hamil disebut oleh ahli hukum
Islam sebagai istilah ibn az-zinaaa atau ibn almula’ana. Jadi, nama ini
dinisbatkan kepada kedua orangtua yang telah berbuat zina atau melakukan perbuatan
dosa. Adapun bayi yang dilahirkannya tetap suci dari dosa dan tidak mewarisi atas
dosa yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.
Pada dasarnya setiap anak, baik lahir dalam perkawinan maupun di luar
perkawinan, dilahirkan memiliki status dan kondisi yang fitrah yang bersih, tanpa
dosa dan noda. Tidak ada anak yang lahir dengan membawa dosa turunan dari siapa
pun termasuk dari kedua orangtuanya yang melakukan perzinaan. Perzinaan memang
sebagai salah satu dosa besar sebagaimana dinyatakan oleh Husain Adz-Dzahabi,
bahwa zina adalah sebagian dosa besar yang kesepuluh
Dalam hal pelaksanaan perkawinan wanita hamil sebab zina, ulama berbeda
pendapat terkait boleh atau tidak dilangsungkannya perkawinan, namun kebanyakan
fuqaha berpendapat bahwa perkawinan laki-laki dengan wanita zina dibolehkan
sebab ia tidak tersangkut kepada orang lain, bukan istri dan bukan pula orang yang
yang sedang menjalani iddah. Perbedaan yang terjadi yaitu mengenai ketentuanketentuan hukum perkawinan wanita hamil. Pendapat ini dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Imam Hanafi dan Imam Syafi’i
Imam Hanafi dan Imam Syafi’i mengatakan wanita hamil akibat zina boleh
melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya atau
dengan laki-laki lain. Menurut Imam Hanafi wanita hamil sebab zina itu
tidak ada iddahnya, bahkan boleh mengawininya namun tidak boleh
melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya
. Menurut imam Syafi’i hubungan seks sebab zina itu
tidak ada iddahnya, sebab sperma laki-laki yang menzianinya tidak perlu
dihormati. Dengan demikian wanita yang hamil sebab zina itu boleh
dikawini dan boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam keadaan
hamil. Menurut mereka wanita zina itu tidak dikenakan ketentuanketentuan hukum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam nikah.
Bagi mereka iddahnya hanya ditentukan untuk menghargai sperma yang
ada dalam kandungan istri dalam perkawinan yang sah, namun sperma hasil
hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh hukum dengan alasan
tidak ditetapkan keturunan anak zina kepada ayah. Memperhatikan
pendapat imam Syafi’i, maka seorang wanita hamil sebab hasil melakukan
hubungan seks di luar nikah jika dia melangsungkan pernikahan dengan
seorang laki-laki, maka kehamilannya ini tidak mempengaruhi
pernikahannya . Imam Syafi’i dan Imam Hanafi berpendapat
hukumnya boleh dan pernikahan itu sah. Dan makruh berhubungan seksual
sampai bayi yang dikandung itu lahir
2. Imam Malik dan Imam Ahmad
Imam Malik dan Imam Ahmad mengatakan tidak boleh melangsungkan
pernikahan antara wanita hamil sebab zina dengan laki-laki lain sampai dia
melahirkan kandungannya. Imam Malik berpendapat sama halnya dengan yang
dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau kawin fasid, dia harus
mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah
Imam Malik dan Imam Ahmad berkesimpulan bahwa wanita hamil tidak boleh
dikawini, sebab dia perlu iddah. Mereka memberlakukan secara umum, termasuk wanita
hamil dari perkawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina. Imam
Maliki dan Imam Hambali berpendapat, hukumnya haram. Dan kalau dinikah maka
pernikahan itu tidak sah. Bahkan menurut Imam Ahmad wanita hamil sebab zina harus
bertaubat dan wajib menjalani iddah sebagaimana halnya pada orang yang ditalak baru
dapat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya.
Pernikahan Perempuan Hamil Menurut Hukum di negara kita
Naluri seksual merupakan naluri dasar manusia yang paling kuat, yang
senantiasa menuntut adanya penyaluran. Jika penyaluran yang dimaksud tidak
terpenuhi maka manusia akan merasa gelisah dan akan mengalami penderitaan yang
akan menyeretnya kepada penyimpangan-penyimpangan. Kehamilan seorang wanita
diluar nikah salah satu contoh akibat dari sekian banyak kasus penyimpangan seksual
yang terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu, dalam menangani masalah ini
Negara melalui lembaga konstitusi telah menetapkan peraturan yang yang antara lain
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dalam Kompilasi Hukum Islam, tentang pernikahan perempuan hamil diluar
nikah diatur pada pasal 53 ayat 1 sampai 3 yang berbunyi :
(1) Seorang Perempuan hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
(2) Pernikahan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahirannya anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan ulanh setelah anak yang dikandung lahir.
Kebolehan kawin perempuan hamil menurut ketentuan di atas adalah terbatas
bagi laki-laki yang menghamilinya. Dari ayat dalam pasal diatas dapat dipahami
bahwa kebolehan kawin dengan perempuan hamil bagi laki-laki yang menghamilinya
adalah merupakan perkecualian bahwa laki-laki yang menghamilinya itulah yang
dapat mengawininya.
Begitu juga dengan proses atau cara yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama
yang ada di setiap daerah di negara kita dalam menikahkan Perempuan hamil di luar nikah
yang tujuannya untuk:
1. Menjaminkan kepastian hukum anak yang akan lahir
2. Dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan pernikahan wanita hamil diluar
nikah sesuai dengan pasal 53 ayat 1 sampai 3.
Dengan demikian, seorang anak yang lahir di luar nikah sesuai dengan pasal 53
ayat 1 anak ini bisa dikatakan sah. Akan namun kalau anak itu lahir bukan dari
pernikahan yang sah, maka anak ini disebut anak hasil zina atau anak yang tidak sah.
Menurut jumhur ulama anak ini hanya di nasabkan kepada ibunya.
Sejak berlakunya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan era baru
bagi umat Islam khususnya dan masyarakat negara kita umumnya. Pemerintah telah
melakukan upaya ini dalam proses yang sangat lama sebab pernikahan adalah suatu akad
suci yang di dalamnya juga mengandung unsur keperdataan. Penyusunan undang-undang
ini dimaksudkan agar semua pihak dapat lebih mengerti dan menyadari betapa penting
nilai keadilan dan ketertiban dalam sebuah pernikahan yang menjadi pilar tegaknya
kehidupan rumah tangga. Mengacu pada nilai keadilan dan ketertiban dalam sebuah
pernihakan, UU No.1 Tahun 1974 ini mengatur tentang pencatatan pernikahan.
Pencatatan pernikahan ini bertujuan untuk mewujudkan perlindungan terhadap martabat
dan kesucian pernikahan dan lebih khusus bagi wanita dalam rumah tangga.
Melalui pencatatan pernikahan yang dibuktikan dengan akta nikah, suami istri
yang merasa dirugikan sebab adanya perselisihan atau tidak bertanggung jawab salah
satu pihak maka dapat melakukan upaya hukum untuk mempertahankan atau
memperoleh hak-hak masing-masing. sebab dengan akta ini , suami istri memiliki
bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana menghadapai persoalan yang muncul
apabila seorang perempuan hamil dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya. KHI
tidak mengantisipasi jawaban untuk persoalan ini. KHI hanya menjelaskan dalam pasal
53 ayat 1 bahwa “seorang perempuan hamil diluar nikah dapat di kawinkan dengan pria
yang menghamilinya”.
Tanpa bermaksud menuduh atau membuka aib orang lain, kejadian pernikahan
wanita hamil diluar nikah banyak yang tidak mengikuti aturan pada pasal 53 ayat 1 KHI.
Kemungkinan pernikahan antara seorang laki-laki yang tidak menghamili wanita yang
hamil dijadikan sebagai bapak formal yaitu pengganti sebab laki-laki yang
menghamilinya tidak mau bertaggung jawab. Persoalan tentang perempuan hamil di luar
nikah ini membutuhkan perhatian dan ketelitian yang serius dari pihak KUA seluruh
daerah bila apabila perempuan ini mengajukan pernikahannya.
Dalam pasal 12 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tata cara
pelaksanaan perkawinan akan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Selanjutnya mengenai tata cara perkawinan ini diatur dalam peraturan pemerintaha RI
No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Bab III memuat tentang Tata cara aperkawinan , antara lain adalah: Pasal 10
berbunyi
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah kali kesepuluh sejak pengumuman kehendak
perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaksud dalam pasal 8
peraturan pemerintahan ini.
(2) Tatacara perkawinan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 11 berbunyi:
(1) Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
pasal 10 peraturan pemerintahan ini, kedua mempelai menandatangani akata
perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasar ketentuan
yang berlaku.
(2) Akta perkawinana yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri
perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3)Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat
secara remi. Tata cara pernikahan wanita hamil sama dengan yang di jelaskan
menurut UU perkawinan No.1 Tahun 1974 akan namun yang membedakan
adalah di surat pernyataan yang menyatakan bahwa mempelai perempuan itu
sudah mengandung.
Pernikahan sesungguhnya adalah sifat manusiawi dalam hubungan lahir dan batin
antara laki-laki dan perempuan. Dalam aturan Islam yang begitu kompleks
mendeskripsikan tentang pernikahan, mulai dari tata cara meminang sampai kepada
terbentuk keluarga yang sakinah. Bagi Islam tidak ada sesuatu yang sukar untuk
dilakukan karna ajaran agama Islam itu mudah termasuk pernikahan.
Dalam negara negara kita juga mempunyai payung hukum sebagai naungan
kemaslahatan rakyat dalam menjalani kehidupan. Termasuk aturan-aturan perkawinan
yang sudah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun badan yang
berwewenang dalam hal terjadinya perkawinan adalah sebuah lembaga yang dibentuk
oleh negara yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) berada dibawah struktur Departemen Agama.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai kumpulan dari berbagai pendirian dan
pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran Islam di negara kita yang sudah
terseleksi dengan baik. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dibentuk sebab adanya kaitan yang sangat erat dengan kondisi hukum Islam di negara kita selama ini. Hal itu sebab
belum adanya satu pengertian yang di sepakati tentang hukum Islam di negara kita . Ada
berbagai anggapan tantang hukum Islam yang masing-masing melihat dari sudut pandang
yang berbeda. Untuk itu dibentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai tempat untuk
menyatukan ide dalam memutuskan suatu perkara dalam negara negara kita . Kompilasi
Hukum Islam (KHI) itu sendiri berisi tentang syariat (hukum Allah), fiqh, dan fatwa para
MUI.
Hukum-hukum yang sudah dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
diperankan oleh lembaga Kantor Urusan Agama (KUA) yang dinaungi oleh lembaga
Departemen Agama, sebagai peran penting dalam kehidupan masyarakat, untuk
memenuhi kebutuhan perihal masalah yang terjadi, salah satunya dalam masalah
perkawinan.
Dalam undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi kewarga an
yang dikeluarkan pada tanggal 29 desember Tahun 2006 juga dijabarkan mengenai
pencatatan perkawinan yaitu mengatur tata cara dan tata laksana pencatatan peristiwa
penting atau pencatatan sipil yang dialami warga Republik negara kita . Pencatatan
perkawinan bagi warga yang beragama Islam, pasal 8 undang-undang No. 23 Tahun
2006 menentukan, bahwa kewajiban instansi pelaksana untuk pencatatan nikah, talak,
cerai, dan rujuk bagi warga yang beragama Islam pada tingkat kecamatan dilakukan
oleh pegawai pencatat pada KUA kecamatan.
Pernikahan merupakan suatu ikatan suci untuk membina rumah
tangga yang kekal abadi. Perihal pernikahan wanita yang
hamil di luar nikah menjadi sebuah aib yang harus ditutupi oleh
sebagian keluarga, sehingga mencari solusi dengan
menikahkan wanita hamil ini . Namun persoalan kemudian
yang muncul bagaimana legalitas pernikahan wanita yang
hamil di luar nikah menurut hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan di negara kita . Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
normatif yuridis sebab berkaitan dengan keabsahan sebuah
hukum. Hasil penelitian disimpulkan pernikahan wanita dalam
keadaan hamil dengan laki-laki yang menghamilinya itu sah
secara hukum Islam, sekalipun ada perbedaan pendapat dari
kalangan mazhab Maliki dan Hanbali yang menyatakan tidak
sah. Secara peraturan perundang-undangan juga menyatakan
sah berdasar dalam KHI pasal 53 yang menjelaskan wanita
yang hamil di luar nikah bisa menikah dengan laki-laki yang
menghamilinya.