Faktor risiko utama kejadian kusta di
negara kita meliputi riwayat kontak dengan
penderita, personal hygiene yang buruk,
kepadatan hunian yang tinggi, serta pengetahuan
yang terbatas mengenai penyakit ini. Hasil
penelitian ini dapat menjadi dasar untuk
mendukung upaya pengendalian kusta melalui
intervensi yang efektif yaitu dengan memberikan
edukasi kepada warga tentang pencegahan
kusta, khususnya pentingnya menghindari
kontak langsung dengan penderita,
meningkatkan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta pengelolaan kepadatan
hunian secara lebih baik. Pendekatan yang
komprehensif ini diharapkan mampu
mengoptimalkan pencegahan dan pengendalian
kusta sehingga eliminasi kusta secara nasional
dapat tercapai..
Kusta atau lepra yaitu penyakit menular kronis yang dipicu oleh Mycobacterium leprae
dan dapat menyebabkan cacat permanen jika tidak diobati. Penyakit ini masih menjadi
masalah kesehatan di negara kita , dengan prevalensi 2,5 per 100.000 penduduk pada 2021,
terutama di daerah dengan prevalensi tinggi seperti Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan
Sulawesi Selatan. Penelitian bertujuan untuk mengintegrasikan temuan dari berbagai studi
yang tersedia guna memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang faktor risiko
yang memengaruhi kejadian kusta di negara kita . Penelitian memakai metode systematic
review dengan mengacu pada pedoman PRISMA. Pencarian literatur dilakukan melalui tiga
database utama, yaitu Science Direct, PubMed, dan Google Scholar, dengan kata kunci yang
relevan. Artikel yang dipilih yaitu yang diterbitkan antara tahun 2016 hingga 2024,
memakai desain penelitian observasional yang membahas hubungan faktor risiko dengan
kejadian kusta di negara kita . Sebanyak 8 artikel yang memenuhi kriteria inklusi dianalisis.
Hasil analisis menunjukkan bahwa riwayat kontak dengan penderita kusta merupakan faktor
risiko utama, diikuti oleh personal hygiene, kepadatan hunian, dan pengetahuan. Riwayat
kontak dengan penderita kusta menunjukkan hubungan signifikan dalam sebagian besar studi.
Edukasi warga tentang pencegahan kusta dan perbaikan kondisi lingkungan sangat
penting untuk mengurangi penyebaran penyakit ini. Upaya pengendalian kusta harus
memprioritaskan pemutusan rantai penularan melalui deteksi dini dan pengobatan, serta
ditunjang dengan peningkatan pengetahuan, sanitasi, dan pengurangan kepadatan hunian
untuk secara efektif menurunkan angka kejadian kusta di negara kita .Kusta atau lepra yaitu penyakit
menular kronis yang dipicu oleh
bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini
dapat menyerang kulit, saraf tepi, saluran
pernapasan, dan jaringan tubuh lainnya.
Kusta ditandai dengan gejala berupa lesi
kulit yang tidak terasa sakit, penurunan
sensitivitas kulit, dan deformitas pada
ekstremitas tubuh akibat kerusakan saraf.
Meskipun kusta yaitu penyakit yang dapat
disembuhkan dengan pengobatan yang tepat,
jika tidak diobati, penyakit ini dapat
menyebabkan cacat permanen. Kusta
menjadi masalah kesehatan warga
yang serius di beberapa negara, terutama di
daerah dengan sanitasi yang buruk dan
kepadatan penduduk tinggi (World Health
Organization, 2023).
Etiologi dari kusta yaitu infeksi
yang dipicu oleh Mycobacterium
leprae, sebuah bakteri yang berkembang
biak dengan sangat lambat, yang
mempengaruhi sistem saraf dan kulit
(Sugawara-Mikami et al., 2022). Bakteri ini
menyebar melalui percikan dari hidung atau
mulut orang yang terinfeksi, meskipun
penularannya memerlukan kontak yang
dekat dan lama dengan individu yang
terinfeksi. Faktor genetik juga berperan
dalam kerentanannya terhadap penyakit ini
Tidak semua
orang yang terpapar bakteri ini akan
mengalami kusta, yang menunjukkan bahwa
faktor kekebalan tubuh individu juga
memainkan peranan penting dalam
perkembangan penyakit ini (Browne, 1970).
Kemenkes RI telah meluncurkan
berbagai program untuk mencegah
penyebaran kusta, salah satunya yaitu
Program Eliminasi Kusta.(Kemenkes RI,
2019). Program ini bertujuan untuk
menurunkan angka kejadian kusta dan
memastikan bahwa semua kasus baru dapat
diobati dengan tepat. Salah satu pendekatan
yang digunakan yaitu terapi pengobatan
multidrug (MDT) yang efektif untuk
mengobati kusta dalam bentuk ringan
maupun berat. Program ini juga melibatkan
pemeriksaan rutin di daerah endemis untuk
mendeteksi kasus-kasus kusta sedini
mungkin, serta edukasi kepada warga
mengenai gejala dan pencegahan kusta
. Dalam beberapa
tahun terakhir, negara kita telah berhasil
mengurangi prevalensi kusta, namun
tantangan untuk mencapai eliminasi secara
nasional tetap ada, terutama di daerah
dengan keterbatasan akses kesehatan dan
informasi
Secara global, kusta masih menjadi
masalah kesehatan di beberapa negara
berkembang. Data dari WHO pada 2020
menunjukkan bahwa lebih dari 200.000
kasus baru kusta terdeteksi setiap tahunnya
di seluruh dunia, dengan India, Brasil, dan
negara kita sebagai negara dengan jumlah
kasus terbesar (WHO, 2020). Di negara kita ,
kusta tetap menjadi masalah kesehatan
warga yang signifikan meskipun
terjadi penurunan jumlah kasus dalam
beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data
Kementerian Kesehatan negara kita ,
prevalensi kusta pada tahun 2021 tercatat
sekitar 2,5 per 100.000 penduduk dengan
lebih dari 4.000 kasus baru yang ditemukan
di seluruh negeri
Penyebaran kusta di negara kita tidak merata,
dengan provinsi seperti Nusa Tenggara
Timur, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan
yang masih melaporkan angka prevalensi
yang tinggi, menunjukkan bahwa faktor
sosial, ekonomi, dan geografis sangat
mempengaruhi penyebaran penyakit ini
Tingkat kepadatan hunian yang
tinggi dapat meningkatkan risiko penularan
kusta, karena memungkinkan kontak yang
lebih dekat dan lama antara individu yang
terinfeksi dan yang sehat. Pengetahuan yang
rendah tentang kusta dan personal hygiene
yang buruk juga ditemukan sebagai faktor
risiko penting dalam beberapa studi di
negara kita . Individu yang
tinggal di daerah dengan sanitasi buruk dan
akses terbatas ke fasilitas kesehatan
memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengembangkan kusta .
Selain itu, riwayat kontak dengan pasien
kusta juga merupakan faktor risiko yang
signifikan dalam penyebaran penyakit
(. Studi-studi ini
menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti
kepadatan hunian, pengetahuan, personal
hygiene, dan riwayat kontak memiliki peran
besar dalam meningkatkan risiko terjadinya
kusta, terutama di daerah yang memiliki
prevalensi tinggi.
Meskipun beberapa studi telah
mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian kusta, masih
ada kekurangan dalam pemahaman tentang
hubungan kompleks antara faktor-faktor
lingkungan dan kejadian kusta secara
keseluruhan. Variabel-variabel seperti
riwayat kontak, tingkat pengetahuan,
personal hygiene, dan kepadatan hunian
sering kali ditemukan berhubungan dengan
kejadian kusta, namun pengaruh dan
kontribusinya masing-masing terhadap
kejadian kusta belum sepenuhnya jelas.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih
lanjut yang dapat mengkaji dan merangkum
bukti-bukti dari berbagai penelitian terkait
dalam satu kesatuan untuk memberikan
pemahaman yang lebih komprehensif.
Penelitian dengan metode sistematic
review mampu menyintesis berbagai hasil
penelitian dan memberikan pemahaman
yang lebih holistik mengenai faktor risiko
kejadian kusta di negara kita . Penelitian ini
memungkinkan pengumpulan bukti ilmiah
yang lebih kuat untuk mendukung kebijakan
berbasis data. Penelitian ini berfokus
terhadap faktor risko kejadian kusta yang
jarang dibahas secara mendalam dalam
konteks lokal. Dengan demikian, hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat memberikan
dasar yang lebih kuat bagi kebijakan
pencegahan dan pengendalian kusta yang
lebih efektif dalam upaya pencegahan dan
pengendalian kusta di negara kita .
Penelitian ini memakai
pendekatan systematic review yang
mengikuti pedoman Preferred Reporting
Items for Systematic Reviews and MetaAnalyses (PRISMA). Tujuan dari penelitian
ini yaitu untuk menganalisis dan
merangkum temuan dari studi-studi yang
relevan mengenai hubungan antara faktor
risiko riwayat kontak, tingkat pengetahuan,
personal hygiene dan kepadatan hunian
dengan kejadian kusta dengan kejadian
kusta di negara kita .
Pencarian literatur dilakukan pada
tanggal 7 hingga 8 Desember 2024 melalui
tiga database utama, yaitu Science Direct,
PubMed, dan Google Scholar. Untuk
memperoleh hasil yang komprehensif,
pencarian literatur memakai empat kata
kunci yang dirumuskan berdasarkan
pendekatan PICO (Population, Intervention,
Comparison, Outcome). Kata kunci yang
digunakan yaitu “Kusta” AND “Riwayat
Kontak” AND “Tingkat Pengetahuan” AND
“Personal Hygiene” AND “Kepadatan
Hunian”; “Kusta” AND “Riwayat Kontak”
AND “Tingkat Pengetahuan” AND
“Personal Hygiene”; “Kusta” AND
“Kepadatan Hunian” AND “Tingkat
Pengetahuan” AND “Personal Hygiene” ;
“Kusta” AND “Riwayat Kontak” AND
“Kepadatan Hunian”.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini
meliputi artikel yang membahas hubungan
antara faktor risiko tersebut, memakai
desain penelitian observasional. Artikel
yang dipilih dipublikasikan dalam bahasa
Inggris atau bahasa negara kita dan
diterbitkan antara tahun 2016 hingga 2024.
Artikel yang dikeluarkan dari studi ini
meliputi artikel dengan akses terbatas atau
tanpa full-text yang tersedia, artikel yang
tidak relevan dengan konteks negara kita ,
serta artikel yang berupa ulasan literatur,
editorial, opini, atau komentar. Selain itu,
artikel dengan kualitas metodologi yang
rendah, berdasarkan penilaian kritis, serta
artikel duplikasi dari beberapa database juga
dikeluarkan dari analisis.
Proses seleksi dilakukan dalam dua
tahap utama. Pada tahap pertama, artikel
yang relevan diidentifikasi melalui
pencarian sistematis di database yang telah
disebutkan. Pada tahap kedua, artikel
disaring berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi yang telah ditetapkan. Dari hasil
seleksi ini, sebanyak 8 artikel yang
memenuhi kriteria inklusi dipilih untuk
dianalisis lebih lanjut (Gambar 1). Artikelartikel ini kemudian dianalisis untuk
mendapatkan temuan yang dapat menjawab
pertanyaan penelitian mengenai hubungan
antara faktor risiko dengan kejadian kusta di
negara kita .
Berdasarkan hasil analisis dari 8 artikel
yang dipilih dalam sistematic review ini, terdapat
empat faktor utama yang berhubungan signifikan
dengan kejadian kusta di negara kita , yaitu
personal hygiene, riwayat kontak, kepadatan
hunian, dan pengetahuan.
Riwayat kontak
Riwayat kontak dengan penderita kusta
yaitu faktor risiko utama yang paling banyak
ditemukan dalam berbagai penelitian mengenai
penyebaran penyakit kusta. Faktor ini mengacu
pada interaksi langsung dengan individu yang
menderita kusta, baik dalam kehidupan seharihari, seperti tinggal serumah, bekerja bersama,
maupun melalui kontak fisik lainnya, yang
memungkinkan bakteri Mycobacterium leprae
(penyebab kusta) menyebar dari orang yang
terinfeksi ke orang yang rentan (Darmawan &
Rusmawardiana, 2020).
Masrizal et al. (2020) menemukan
(P=0,001; OR=5,6), yang menunjukkan bahwa
individu dengan riwayat kontak memiliki risiko
5,6 kali lebih tinggi terkena kusta. Amiruddin et
al. (2022) melaporkan (P=0,00; OR=6,27), yang
menunjukkan risiko 6,27 kali lebih tinggi pada
mereka dengan riwayat kontak. Ahmad et al.
(2016) mencatat (P<0,05; OR=15,127), yang
menunjukkan risiko sangat tinggi pada individu
dengan riwayat kontak. Aprizal et al. (2017)
menemukan (P=0,001; OR=7,8), yang
menunjukkan peningkatan risiko tujuh kali lipat
pada mereka dengan riwayat kontak. Kurniawati
et al. (2020) melaporkan (P=0,012; OR=14,091),
menunjukkan hampir 14 kali lebih tinggi risiko
pada individu dengan riwayat kontak. Akbar
(2020) mencatat (P<0,000; OR=38,5),
menunjukkan peningkatan risiko yang sangat
signifikan, dengan kemungkinan 38,5 kali lebih
besar. juga menemukan
(P=0,003; OR=24,913), yang menunjukkan
peningkatan risiko hampir 25 kali lebih besar
pada individu dengan riwayat kontak. Temuan
ini menegaskan bahwa riwayat kontak yaitu
faktor risiko utama untuk kejadian kusta.
Masrizal et al. (2020) menyarankan
agar penderita kusta yang belum diobati diisolasi
untuk mencegah penularan lebih lanjut. Muntasir
et al. (2018) juga menekankan pentingnya
penyuluhan kepada warga mengenai
pentingnya menghindari kontak dengan
penderita kusta sebagai bagian dari upaya
pencegahan. Oleh karena itu, screening yang
rutin di daerah dengan prevalensi kusta tinggi
dan edukasi warga mengenai pentingnya
menghindari kontak langsung dengan penderita
kusta dapat berperan dalam menurunkan angka
kejadian kusta.
Personal hygiene
Kebersihan pribadi yang buruk
berkontribusi pada terjadinya infeksi karena
kondisi tubuh dan lingkungan yang tidak
higienis dapat menjadi tempat berkembang
biaknya patogen, termasuk Mycobacterium
leprae. Meskipun kusta umumnya ditularkan
melalui kontak langsung dengan penderita yang
terinfeksi, kebersihan yang buruk dapat
memperburuk paparan terhadap bakteri ini.
Dalam kondisi lingkungan yang tidak higienis,
patogen dapat lebih mudah bertahan dan
menyebar, meningkatkan kemungkinan
seseorang terinfeksi. Personal hygiene yang
buruk dapat menyebabkan penurunan daya tahan
tubuh, yang pada gilirannya memudahkan
patogen untuk menginfeksi tubuh
Personal hygiene yang buruk telah
terbukti menjadi faktor risiko signifikan terhadap
kejadian kusta dalam beberapa penelitian.
melaporkan bahwa
personal hygiene yang buruk berhubungan erat
dengan peningkatan risiko kusta (OR = 7,0; 95%
CI 1,5-30,8), sementara Amiruddin et al. (2022)
juga menemukan hubungan signifikan antara
personal hygiene yang buruk dengan kejadian
kusta (OR = 4,00; 95% CI 1,791-8,935). Hasil
serupa ditemukan oleh Kurniawati et al. (2020),
yang mencatat bahwa personal hygiene yang
buruk meningkatkan risiko kejadian kusta
dengan OR = 5,622 (P = 0,017). Selain itu,
Muntasir et al. (2018) juga mengonfirmasi
bahwa personal hygiene yang buruk berperan
signifikan dalam kejadian kusta dengan OR =
12,103 (P = 0,012). Temuan-temuan ini
menunjukkan bahwa individu dengan personal
hygiene yang buruk memiliki risiko yang lebih
tinggi terhadap kusta.
Pencegahan kusta melalui peningkatan
personal hygiene sangat penting untuk
menurunkan risiko penularan. Kurniawati et al.
(2020) menyarankan agar warga diajarkan tentang pentingnya mencuci tangan secara
teratur, menjaga kebersihan lingkungan, dan
menghindari berbagi barang pribadi yang dapat
menjadi sarana penularan.
menekankan bahwa upaya meningkatkan
personal hygiene secara menyeluruh dapat
mengurangi kemungkinan individu terpapar
Mycobacterium leprae dalam kehidupan seharihari. Peningkatan kesadaran akan personal
hygiene juga dapat mengurangi prevalensi kusta,
terutama di daerah-daerah dengan angka
kejadian yang tinggi.
Kepadatan hunian
Kepadatan hunian yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan risiko penularan
penyakit menular, termasuk kusta, melalui
beberapa mekanisme. Salah satunya yaitu
keterbatasan ruang yang menyebabkan individu
lebih sering berinteraksi dalam ruang yang
sempit, sehingga mempermudah penyebaran
patogen. Dalam rumah yang padat penduduk,
ventilasi udara seringkali tidak memadai, yang
meningkatkan konsentrasi mikroorganisme di
dalam ruangan dan memperbesar kemungkinan
individu terinfeksi menemukan
bahwa kepadatan hunian yang tinggi
meningkatkan risiko kusta (OR = 13,0; 95% CI
1,7-99,3), menunjukkan bahwa kondisi tempat
tinggal yang padat dapat memfasilitasi penularan
penyakit ini. Hasil serupa diperoleh dari
penelitian Ahmad et al. (2016), yang mencatat
bahwa kepadatan hunian berhubungan erat
dengan kejadian kusta (OR = 6,250). Penelitian
ini menunjukkan bahwa lingkungan dengan
kepadatan hunian yang tinggi meningkatkan
kemungkinan penularan kusta. Selain itu, Akbar
(2020) juga menemukan hubungan signifikan
antara kepadatan hunian yang tidak memenuhi
standar dengan kejadian kusta (OR = 3,50; CI
1,112–11,017; P = 0,028). Temuan ini
menegaskan pentingnya pengendalian kepadatan
hunian sebagai salah satu langkah dalam
pencegahan penyebaran kusta.
Studi oleh Muntasir et al. (2018)
menyarankan bahwa intervensi yang mengurangi
kepadatan hunian dapat menjadi strategi penting
untuk pengendalian kusta di wilayah endemik.
Upaya untuk memperbaiki kondisi tempat
tinggal, seperti memperkenalkan program
perbaikan rumah dan menyediakan tempat
tinggal yang lebih sehat dan tidak terlalu padat,
dapat secara signifikan menurunkan risiko
penularan.
Pengetahuan
Pengetahuan yaitu salah satu faktor
penting yang mempengaruhi perilaku individu
dalam menjaga kesehatan dan mencegah
penyakit, termasuk kusta. Pengetahuan yang
baik mengenai cara penularan, gejala, serta
pencegahan kusta dapat meningkatkan
kewaspadaan individu terhadap risiko penyakit
ini dan mendorong mereka untuk mengambil
tindakan pencegahan yang tepat. Penularan
Mycobacterium leprae, bakteri penyebab kusta,
terutama terjadi melalui droplet pernapasan, dan
pengetahuan tentang mekanisme ini
memungkinkan warga untuk lebih berhatihati dalam menjaga jarak dan menghindari
kontak langsung dengan penderita (SugawaraMikami et al., 2022).
Masrizal et al. (2020) menunjukkan
bahwa tingkat pengetahuan yang rendah
meningkatkan risiko kejadian kusta (OR = 9,0;
95% CI 2,0-38,7), yang mengindikasikan bahwa
kurangnya pemahaman tentang kusta dan cara
penularannya berkontribusi pada tingginya
angka kejadian. Penelitian Kurniawati et al.
(2020) juga mendukung temuan ini, dengan
menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan yang
rendah terkait dengan peningkatan risiko kusta
(OR = 18,16; P = 0,027).
Pengetahuan yang baik sering kali
mempengaruhi sikap dan perilaku individu
dalam menjalani hidup sehat. Nurhayati et al.
(2019) menemukan bahwa warga yang
memiliki pengetahuan yang baik mengenai
pencegahan kusta lebih cenderung untuk
menjaga kebersihan pribadi, menghindari kontak
langsung dengan penderita, dan segera mencari
pengobatan jika mengalami gejala yang
mencurigakan. Sebaliknya, warga yang
kurang memiliki pengetahuan yang memadai
mengenai penyakit ini mungkin tidak
memperhatikan tanda-tanda awal atau
mengabaikan pencegahan, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan risiko penularan.
kusta21
Penyakit kusta salah satu penyakit menular serta menimbulkan masalah yang kompleks.
Umumnya penyakit ini ditemukan di negara berkembang akibat dari keterbatasan negara dalam
bidang kesehatan, pendidikan, serta kesejahteraan sosial ekonomi. Data World Health Organization
(WHO) menunjukkan bahwa diperkirakan lebih dari 3.000.000 orang di seluruh dunia hidup dengan
integritas kerusakan kulit akibat penyakit kusta . Menurut Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia (2015) saat ini Indonesia menempati peringkat ke-3 penderita kusta di dunia.
Prevalensi terbanyak penderita kusta berada di India 950.000 kasus, Brazil 173.500 kasus, dan di
Bangladesh 136.000 kasus . Tahun 2012 kasus kusta di Indonesia sebanyak
23.169 dengan jumlah kecacatan tingkat 2 diantara penderita baru berkisar 2.025 orang (10,11%),
jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 2011 maka ada peningkatan kasus kusta
sebanyak 20.023 . Menurut Dinas Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah
prevalensi penderita kusta pada tahun 2012 sebanyak 6.076 per 10.000 penduduk.
Kusta disebut juga penyakit Morbus Hansen atau Lepra yaitu penyakit menyerang kulit seperti
menyebabkan luka terhadap kulit, mati rasa, kerusakan saraf (sistem saraf perifer), melemahnya otot,
melemahnya selaput lendir pada saluran pernafasan atas, serta melemahnya fungsi mata.
Mycobacterium Leprae merupakan bakteri penyebab dari penyakit kusta yang hanya bisa
berkembang pada beberapa sel manusia dan hewan tertentu serta akan bertumbuh pesat pada bagian
tubuh yang bersuhu lebih dingin seperti wajah, tangan, kaki, maupun lutut
Penyakit ini termasuk tipe granulosa saluran pernapasan atas serta lesi pada kulit menjadi tanda yang
dapat diamati dari luar. Bila tidak ditangani akan menjadi sangat progresif dan memicu
kerusakan . Kerusakan pada anggota tubuh seperti kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang jari-jari, dan wajah disebab kan tidak dapat berfungsi dengan normal dalam
jangka panjang
Menurut World Health Organization (WHO) Kusta umumnya terbagi menjadi dua, yaitu Kusta
Pausi Basiler (PB) atau Kusta tipe kering dan Kusta Multi Basiler (MB) atau Kusta tipe basah.
Masing-masing memiliki klasifikasi tanda dan gejala yang berbeda. Hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi residual dan pengurangan atau hilangnya fungsi sensorik kulit (lesi anestesi) dapat
tetap ada pada pasien kusta yang dirawat. Selain itu, adanya xerosis merupakan ciri menonjol dari
kusta yang diobati . Xerosis yaitu suatu kondisi kekeringan pada lapisan
epidermis kulit. Ini yaitu kondisi yang relatif umum yaitu kulit bersisik, mengelupas, dan gatal.
Area plantar kaki sangat rentan sebab ketergantungannya pada sekresi keringat untuk tetap
terhidrasi fisioterapi dapat memberikan
beberapa intervensi seperti pemberian minyak kelapa dimana dapat menjaga kelembaban dan
elastisitas kulit sekaligus meningkatkan proses regenerasi kulit sehingga kulit tidak mudah kering
dan berkerut. Kulit yang kering dan pecah-pecah diolesi minyak kelapa dengan sedikit pijatan untuk
mengendurkan otot-otot kulit sehingga menjadi lebih lembut, lembab, dan rileks. Kelenturan kondisi
kulit dan sendi menjadi salah satu faktor internal yang mempengaruhi flesibilitas
Hal penting yang harus diperhatikan yaitu memeriksa keadaan pasien kusta apakah ada luka
ataupun lecet, sebab luka ataupun lecet sekecil apapun harus segera ditangani dan pasien
diistirahatkan sampai sembuh . Kerusakan integritas kulit seperti xerosis yang
biasanya pada lengkungan atau lipatan sekitar tumit, tangan, dan jari jari harus segara ditangani jika
tidak dapat menjadi pintu masuk infeksi yang akhirnya menyebar ke tulang dan sendi lalu
memicu hilangnya jari. Berdasarkan gambaran di atas, peneliti tertarik melakukan studi kasus
dalam upaya pencegahan kerusakan kulit, menjaga dan memelihara kemampuan fungsional pada
pasien kusta.
2. Metode Penelitian
Studi kasus menggunakan metode deskriptif analitik. Studi dilakukan di Unit Rehabilitasi Kusta
Donorojo selama satu bulan pada Desember 2021. Teknik pengumpulan data persetujuan subjek
yaitu setelah dilakukannya pemeriksaan sebagai penentuan apakah subjek termasuk dalam kriteria
yang akan diberikan program fisioterapi, kemudian diberikan penjelasan tentang tujuan dan maksud
studi kasus, serta ditanya apakah bersedia berpartisipasi dalam studi kasus, selanjutnya dijelaskan
mengenai jalannya studi kasus. Pengukuran keberhasilan program fisioterapi dalam studi kasus ini
menggunakan Prevention of Disability (POD) sebagai alat ukur kecacatan, Overal Dry Skin Score
(ODSS) sebagai alat ukur tingkat Xerosis, Goniometer sebagai alat ukur lingkup gerak sendi, dan
Foot and Ankle Disability Index (FADI) sebagai alat ukur kemampuan fungsional. Data awal didapat
data dari pre-test, dimana pasien melakukan semua pengukuran. Program fisioterapi yang diberikan,
yaitu:
a. Scrubbing, untuk mengangkat jaringan kulit mati sebagai tujuan dari scrubbing serta
mempersiapkan kulit untuk menerima nutrisi perawatan selanjutnya. Dilakukan sebanyak tiga
kali per minggu, dengan intensitas satu kali per hari.
b. Virgin Coconut Oil (VCO) dengan massage, bertujuan untuk menutrisi dan meningkatkan
kelembaban kulit agar tidak kering ataupun bersisik. Ditambahkannya massage dengan teknik
efflurage, kneedding maupun wringing untuk merangsang jaringan otot, merilekskan
persendian, dan memperlancar aliran darah. Dilakukan setiap hari dan cukup sekali per hari.
c. Exercise, bertujuan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi dan melatih kekuatan otot dimana
pasien dapat melakukan passive dan active exercise seperti pumping exercise, calf stretching,
dan calf strengthening. Dilakukan dengan ditahan selama tiga detik dan tiga kali per minggu
dengan intensitas empat set, delapan repetisi per hari.
d. Latihan berdiri ke berjalan bertujuan meningkatkan pergerakan sendi, kekuatan otot, dan
kemampuan mobilisasi serta menurunkan ketergantungan pasien. Dilakukan dengan teknik full
weight bearing selama tiga kali per minggu dan pelaksanaan satu kali per hari.
Intervensi yang dilakukan memiliki tujuan jangka pendek yaitu mengurangi xerosis,
meningkatkan kelembaban kulit, meningkatkan kekuatan otot, dan meningkatkan lingkup gerak
sendi. Adapun jangka panjangnya untuk menjaga kelembaban kulit, memperbaiki estetika kulit, memelihara kualitas otot, dan mengoptimalkan kemampuan fungsional. Pada kondisi ini, pasien
telah melakukan intervensi selama empat minggu. Pemberian edukasi pasien dapat melakukan
latihan sendiri seperti yang telah terapis berikan, namun jangan berlebihan terutama sampai
kelelahan sebab dapat menyebabkan reaksi. Post-test (evaluasi) pada hari terakhir intervensi
dilakukan pengukuran dengan instrumen yang digunakan di pre test.
Seorang laki-laki yang berinisial S berusia 59 tahun merupakan pasien dari Unit Rehabilitasi
Kusta Donorojo dengan diagnosa Morbus Hansen Reaksi Multi Basiler. Pasien dapat dipastikan
reaksi dengan dilakukannya beberapa pemeriksaan seperti Bakteri Tahan Asam/BTA (+).
Tabel 1 menunjukkan pada pengukuran lingkup gerak sendi yang dilakukan menggunakan
Goniometer pada pergelangan kaki pada pre-test didapatkan hasil 20o untuk dorso flexion dan
10o untuk plantar flexion. Setelah diberikannya modalitas fisioterapi dilakukan kembali
pengukuran, maka untuk post-test didapatkan hasil 25 o untuk dorso flexion dan 20o untuk
plantar flexion.
Tabel 2 menunjukkan hasil dari pre-test ada penebalan syaraf pada syaraf Ulnaris dan
syaraf Tibialis Posterior dan tidak ada nyeri. Setelah diberikannya modalitas fisioterapi
dilakukan kembali pengukuran, maka untuk post-test didapatkan hasil normal atau tidak ada
penebalan syaraf serta tidak ada nyeri.
Tabel 3 hasil dari pre-test menunjukkan ada kekuatan otot facial bernilai 5, ulnar 4 tetapi
pada posisi intrinsik (4,5) sebelah kiri bernilai 0, median pada abduksi ibu jari bernilai 5
sedangkan opposisi ibu jari 4, radial pada extensi pergelangan tangan sebelah kanan bernilai 5
tetapi pada sebelah kiri bernilai 4, serta common peroneal pada dorsi flexionon dan eversion
bernilai 4. Setelah diberikannya modalitas fisioterapi dilakukan kembali pengukuran. Post-test
didapatkan hasil kekuatan otot facial bernilai 5, ulnar 4 tetapi pada posisi intrinsik (4,5) sebelah
kiri bernilai 0, median pada abduksi ibu jari bernilai 5 sedangkan opposisi ibu jari 4, radial pada
extensi pergelangan tangan sebelah kanan bernilai 5 tetapi pada sebelah kiri bernilai 4, lalu pada
common peroneal pada dorsi flexionon dan eversion bagian kanan bernilai 4 sedangkan pada
bagian kiri bernilai 5
Tabel 4 menunjukkan hasil dari pre-test ada mati rasa pada telapak kaki kanan dan
kiri. Setelah diberikannya modalitas fisioterapi dilakukan kembali pengukuran. Post-test
didapatkan hasil hanya kaki kanan lah yang masih ada mati rasa.
Tabel 5 menunjukkan hasil pre-test bercak dimana garis horizontal menunjukkan
adanya xerosis. Setelah diberikannya modalitas fisioterapi dilakukan kembali pengukuran
post-test maka hasi; menunjukkan xerosis sudah sangat berkurang.
Tabel 6 menunjukkan pada pengukuran tingkat xerosis yang dilakukan menggunakan
ODSS pada pergelangan kaki. Pre-test didapatkan hasil 4 yaitu dominasi skuama kasar, kulit
kasar terlihat jelas, kemerahan, perubahan skematoma, dan keretakan. Setelah diberikannya
modalitas fisioterapi dilakukan kembali pengukuran, maka untuk post-test didapatkan hasil
1 yaitu sisik halus, kulit kasar, dan kusam minimal. Dapat dilihat pada Gambar 1 perbedaan
sebelum dan sesudah diberikannya treatment.
Gambar 3 menunjukkan setelah diberikannya modalitas fisioterapi dilakukan kembali
pengukuran (post-test) . Hasil yang diperoleh yaitu nilai 60 yang berarti adanya peningkatan
kemampuan fungsional.
f. Virgin Coconut Oil (VCO)
Virgin Coconut Oil (VCO) ada beberapa keunggulan seperti tinggi akan kandungan
asam laurat yang akan diubah menjadi monolaurin sebagai senyawa monogliserida
antibiotik dalam tubuh dan termasuk antivirus, antibakteri, dan anti-protozoa (Oleh sebab itu pemberian VCO (Virgin Coconut Oil)
mempercepat proses penyembuhan dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
penyakit. Virgin Coconut Oil (VCO) dimana ada kandungan asam kaprat yang memiliki
rantai sedang dengan jumlah 10 karbon. Asam kaprat berguna bagi kesehatan yang akan
diubah menjadi monokaprin dan sangat berguna bagi penyakit yang berasal dari virus dan
bakteri. VCO juga dapat mengatasi obesitas, penyakit kulit,
darah tinggi tekanan darah tinggi, dan Diabetes Melitus.
Pada studi kasus ini, setelah diberikan VCO pada kulit pasien, hasilnya menunjukkan
bahwa ada pengaruh yang signifikan pada kulit penderita kusta. Hal ini terjadi sebab asam
laurat yang terkandung dalam minyak kelapa sehingga dapat membantu meningkatkan
kelembapan kulit. Minyak kelapa dapat melembutkan kulit serta dapat menutrisi kulit
hingga menjaga kelembaban kulit dan elastisitas kulit sekaligus memfasilitasi regenerasi
kulit sebab terkandung berbagai macam nutrisi seperti vitamin larut dalam lemak yaitu
Vitamin D, E, K, A, dan provitamin A
Minyak kelapa yang dioleskan pada kulit kering atau seluruh tubuh pada kulit yang
pecah-pecah dengan sedikit teknik pijatan berfungsi mengendurkan otot-otot kulit sehingga
menjadi lembut, lembab, dan rileks Pemberian VCO menunjukkan efek
yang signifikan pada komponen intraseluler, matriks ekstraseluler, dan profil antioksidan
selama penyembuhan luka. Kandungan kolagen total jaringan granulasi pada VCO lebih
tinggi, kolagen merupakan komponen utama matriks ekstraseluler serta protein dominan
jaringan granulasi untuk proses penyembuhan. Pemberian VCO segera diberikan setelah
cedera berlanjut selama beberapa minggu dan bahkan hingga luka ditutup (
g. Exercise
Exercise yang diterapkan dalam penanganan pasien kusta ditujukan untuk mencegah
terjadinya kontraktur serta kecacatan Program latihan yang diterapkan
secara terstruktur dan terprogram secara tepat mampu memberikan hasil yang baik bagi
kemampuan tubuh. Prgram latihan perlu dirancang spesifik sesuai tujuan dan sesuai konsep
prinsip FITT (Frequency, Intensity, Time, Type) Beberapa exercise
yang dapat dilakukan yaitu peregangan, latihan aktif, serta latihan resisten/tahanan untuk
otot-otot intrinsik kaki sebagai upaya pencegahan dan rehabilitasi kecacatan. Tujuan
dilakukannya exercise untuk meningkatkan kualitas hidup penderita kusta dan mencegah
timbulnya perubahan lain sebab dapat meningkatkan sirkulasi darah lokal serta
menghasilkan keselarasan pada kaki . Peradangan yang telah mereda,
pengobatan harus diarahkan untuk mencegah kekakuan sendi, atrofi otot, dan peregangan
pada otot yang mengalami kecacatan. Setelah aktivitas otot volunter kembali segera lakukan
latihan aktif dan berkembang menjadi latihan resisten/tahanan. Pada tahap akhir, pasien
didorong dalam penggunaan kemampuan anggota tubuh dalam beraktifitas berupa latihan
fungsional.
h. Ambulasi
Menurut WHO ambulasi bertujuan untuk memperlancar peredaran darah lalu
mempercepat sistem tubuh kembali normal. Ambulasi dapat mempercepat proses
penyembuhan luka, mencegah komplikasi, hingga hari rawat menjadi lebih cepat
(. Salah satu masalah yang dialami pasien kusta ialah keterbatasan
fungsional seperti kesulitan berjalan. latihan ambulasi dapat dilakukan dengan atau tanpa
alat bantu berjalan. Alat bantu jalan yang dapat digunakan pasien kusta pada latihan
ambulasi antara lain crutches ataupun walker
Latihan berjalan mengikuti prinsip FITT (Frequency, Intensity, Time, Type) dan dapat
diberikan sedini mungkin namun tetap memperhatikan kemampuan pasien ( Frekuensi latihan berjalan merupakan banyaknya hari latihan dalam satu
minggu dimana direkomendasikan oleh ACSM (American College of Sports Medicine)
untuk latihan berjalan yaitu tiga hingga lima hari per minggu, tergantung dari intensitasnya.
Peningkatan kardiorespirasi tidak optimal jika latihan yang dilakukan kurang dari tiga hari
per minggu. Tidak direkomendasikan latihan dengan frekuensi lebih dari lima hari per
minggu dengan intensitas tinggi sebab akan meningkatkan risiko cedera pada sistem
muskuloskeletal
4.
Hasil yang telah didapatkan dari penelitian dimana ada menunjukkan modalitas fisioterapi
yang diberikan efektif memperbaiki kerusakan kulit dan mencegah kecacatan fungsional. Beberapa
implikasi dari penelitian ini yaitu :
a. Bagi Pasien Kusta dengan Xerosis, pasien diharapkan dapat rutin melakukan latihan yang telah
diberikan untuk menjaga dan memilihara kondisi secara optimal.
b. Bagi peneliti selanjutnya, hal penting dalam penelitian selanjutnya untuk meningkatkan
penguasaan keterampilan pemberian modalitas fisioterapi dengan rentang waktu yang relatif
panjang untuk menilai pengaruh jangka panjang.
c. Bagi Unit Rehabilitasi dan Sarana Kesehatan diharapkan dapat memfasilitasi program terapi
dengan berbagai macam modifikasi dan media sehingga pasien dapat mengikuti program terapi
dengan baik dan senang.