intensity).
8. Pencegahan primer kejadian kardiovaskular pada pasien disertai faktor risiko
kardiovaskular multipel menggunakan terapi statin intensitas tinggi (high
intensity).
9. Pencegahan sekunder kejadian kardiovaskular menggunakan terapi statin
intensitas tinggi (high intensity).
10. Pada pasien DM dengan kadar trigliserida tinggi (t 150 mg/dL) dan/atau
kolesterol HDL rendah (< 40 mg/dL untuk pria, < 50 mg/dL untuk wanita) harus dilakukan intensifikasi terapi gaya hidup dan mengoptimalkan kontrol
glikemik. (C)
Sasaran terapi:
o Pada pasien DM, target utamanya adalah penurunan LDL.
o Target LDL < 100 mg/dL pada pasien diabetes tanpa disertai penyakit
kardiovaskular (kelompok risiko tinggi). (B)
o Target LDL < 70 mg/dL pada diabetes risiko kardiovaskuler multipel (kelompok
risiko sangat tinggi). (C)
o Target LDL < 55 mg/dL pada diabetes yang disertai dengan penyakit
kardiovaskular (kelompok risiko ekstrim). (B)
o Bila LDL tetap t 70 mg/dL meskipun sudah mendapat terapi statin dosis optimal
yang dapat ditoleransi, pertimbangkan pemberian terapi tambahan dengan
ezetimibe. (A)
o Bila kadar trigliserida mencapai ш 500 mg/dL perlu segera diturunkan dengan
terapi fibrat untuk mencegah timbulnya pankreatitis.
o Pada wanita hamil penggunaan statin merupakan kontraindikasi (B).
III.3.2. Hipertensi
1. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan setiap kali kunjungan pasien ke
poliklinik. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dalam beberapa kali
pemeriksaan dan pada hari berbeda terdapat peningkatan tekanan darah t
140/90 mmHg.(B)
2. Sasaran tekanan darah:
Target pengobatan pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi tanpa
disertai penyakit kardiovaskular aterosklerotik atau risiko kejadian
kardiovaskular aterosklerotik 10 tahun ke depan < 15%, adalah tekanan
darah sistolik < 140 mmHg dan dan tekanan darah diatolik < 90 mmHg. (A)
Pada pasien dengan risiko kejadian kardiovaskular aterosklerotik 10 tahun
ke depan >15%, harus mencapai target tekanan darah sistolik <130 mmHg
dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg. (C)
Pada wanita hamil dengan diabetes, dan sebelumnya menderita
hipertensi dan sudah mendapat terapi antihipertensi maka target tekanan
darah adalah 120 - 160/80 ʹ 105 mmHg untuk mengoptimalisasi
kesehatan ibu dan mengurangi risiko gangguan pertumbuhan janin. (E)
3. Pengelolaan :
Non ʹ farmakologis :
Pada pasien dengan tekanan darah >120/80 mmHg diharuskan melakukan
perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dengan cara menurunkan
berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok dan
alkohol serta mengurangi konsumsi garam (< 2300 mg/hari),
meningkatkan konsumsi buah dan sayuran (8 - 10 porsi per hari), produk
dairy low-fat (2 -3 porsi per hari).
Farmakologis :
a. Pemberian terapi obat antihipertensi harus mempertimbangkan
proteksi terhadap kardiorenal, efek samping obat dan kebutuhan
pasien. (C)
b. Pasien dengan tekanan darah t 140/90 mmHg dapat diberikan terapi
farmakologis secara langsung. Umumnya cukup dengan pemberian
monoterapi, namun bila target terapi tidak tercapai dapat diberikan
terapi kombinasi.
c. Pada pasien dengan tekanan darah darah t 160/100 mmHg maka
langsung diberikan terapi antihipertensi kombinasi.
d. Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah
tercapai. Tekanan darah yang terkendali setelah satu tahun
pengobatan, dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap. Pada
orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan :
Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE inhibitor/ACE-i)
Penyekat reseptor angiotensin II/Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Antagonis kalsium
Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah
Diuretik dosis rendah
Catatan :
Penghambat ACE atau ARB dengan dosis maksimum yang dapat ditoleransi, sebagai pilihan pertama
pada pasien DM dengan hipertensi disertai albuminuria (albumin to creatinin ratio t 300 mg/g (A), <
300 mg/g (B)).
Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.
Kombinasi penghambat ACE (ACE-I) dengan ARB tidak dianjurkan.
Pemberian diuretik Hydrochlorothiazide (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti
memperburuk toleransi glukosa.
Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.
Tekanan darah yang terkendali setelah satu tahun pengobatan, dapat dicoba menurunkan dosis
secara bertahap.
Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.
III.3.3. Obesitas
1. Prevalansi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian pula sebaliknya kejadian
DM dan gangguan toleransi glukosa pada obesitas sering dijumpai.
2. Obesitas, terutama obesitas sentral berhubungan secara bermakna dengan
sindroma metabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi) yang didasari
oleh resistensi insulin.
3. Resistensi insulin pada diabetes dengan obesitas membutuhkan pendekatan
khusus.
4. Tujuan penatalaksanaan obesitas tidak hanya semata ʹ mata untuk
menurunkan berat badan, tapi juga untuk menurunkan glukosa darah,
memperbaiki profil lipid, menurunkan tekanan darah, dan mengurangi
tekanan mekanis pada ekstremitas bawah yaitu pinggul dan lutut.
Berdasarkan hal tersebut, maka American Association of Clinical
Endocrinologists(AACE) dan American College of Endocrinology (ACE) membagi
menjadi 3 kelompok obesitas, yaitu:
I.Tahap 0 (IMT tinggi tanpa komplikasi obesitas)II.Tahap 1 (IMT tinggi disertai dengan 1 atau 2 komplikasi obesitas ringan
hingga sedang)
III.Tahap 2 (IMT tinggi disertai dengan ш 1 komplikasi obesitas yang berat, atau
> 2 komplikasi obesitas ringan hingga sedang)
5. Penurunan berat badan 5 ʹ 10% sudah memberikan hasil yang baik.
6. Pada pasien DM tipe 2 dengan obesitas harus dilakukan terapi nutrisi medis,
aktivitas fisik dan perubahan perilaku untuk mencapai dan mempertahankan
penurunan berat badan sebanyak >5%. Intervensi dilakukan dengan intensitas
tinggi (sebanyak 16 sesi selama 6 bulan) disertai dengan diet yang sesuai untuk
mencapai penurunan kalori 500 -750 kkal/hari. (A)
7. Diet harus bersifat individual, yaitu dengan pembatasan kalori tetapi terdapat
perbedaan dalam komposisi karbohidrat, lemak dan protein yang bertujuan
untuk mencapai penurunan berat badan. (A) Bila akan dilakukan penurunan
berat badan >5% dalam jangka waktu yang pendek (3 bulan) maka dapat
diberikan asupan kalori yang sangat rendah (ч 800 kkal/hari), namun harus
dilakukan pengawasan medis yang ketat oleh tenaga terlatih. (B)
8. Pemilihan terapi DM pada pasien obesitas harus mempertimbangkan efek obat
terhadap peningkatan berat badan.
III.3.4 Gangguan Koagulasi
1. Terapi aspirin 75 ʹ 162 mg/hari digunakan sebagai strategi pencegahan
primer kejadian kardiovaskular pada pasien DM dengan faktor risiko
kardiovaskular (risiko kardiovaskular dalam 10 tahun mendatang > 10%).
Termasuk pada laki-laki usia > 50 tahun atau perempuan usia > 60 tahun yang
memiliki tambahan paling sedikit satu faktor risiko mayor (riwayat penyakit
kardiovaskular dalam keluarga, hipertensi, merokok, dislipidemia, atau
albuminuria) (C).
2. Terapi aspirin 75 ʹ 162 mg/hari perlu diberikan sebagai strategi pencegahan
sekunder kejadian kardiovaskular bagi pasien DM dengan riwayat pernah
mengalami penyakit kardiovaskular (A).
3. Aspirin dianjurkan tidak diberikan pada pasien dengan usia di bawah 21
tahun, seiring dengan peningkatan kejadian sindrom Reye.
4. Terapi kombinasi antiplatelet (aspirin dan clopidogrel) diberikan sampai satu
tahun setelah kejadian sindrom koroner akut (A).5. Clopidogrel 75 mg/hari dapat digunakan sebagai pengganti aspirin pada
pasien yang mempunyai alergi dan atau kontraindikasi terhadap penggunaan
aspirin (B).
III.4 Penyulit Diabetes Melitus
III.4.1. Penyulit Akut
1. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Komplikasi akut DM yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah
yang tinggi (300 - 600 mg/dL), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300 - 320 mOs/mL) dan
peningkatan anion gap.
Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (>600
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (>320 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat.
Catatan: Kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi, sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dL.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau
tanpa adanya tanda dan gejala sistem autonom, seperti adanya whipple͛s
triad:
o Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
o Kadar glukosa darah yang rendah
o Gejala berkurang dengan pengobatan.
Sebagian pasien dengan DM dapat menunjukkan tanda dan gejala glukosa
darah rendah tetapi pemeriksaan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak,
tidak semua pasien DM mengalami tanda dan gejala hipoglikemia meskipun
pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran
yang terjadi pada pasien DM harus selalu dipikirkan kemungkinan
disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi
dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus
dilakukan selama 24 - 72 jam, terutama pada pasien dengan gagal ginjal
kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang.
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,
mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental yang
bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering
lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama. Pasien dengan
risiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai kemungkinan hipoglikemia
simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap kesempatan (C)
Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait dengan derajat
keparahannya, yaitu :
o Hipoglikemia ringan : pasien tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian glukosa per-oral.
o Hipoglikemia berat: Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian glukosa intravena, glukagon, atau resusitasi lainnya.
Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan, antara lain:
Kendali glikemik terlalu ketat
Hipoglikemia berulang
Hilangnya respon glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun
terdiagnosis DMT1
Attenuation of epinephrine, norepinephrine, growth hormone, cortisol
responses
Neuropati autonom
Tidak menyadari hipoglikemia
End Stage Renal Disease (ESRD)
Tumor penghasil IGF-2 seperti insulinoma dan NICTH (Non Islet Cell Tumor
Hypoglycemia) berupa karsinoma hepatoseluler, tumor Phylloides, GIST
(Gastro Intestinal Stromal Tumor), mesothelioma, hemangioperisitoma,
adenokarsinoma, sarkoma, tumor renal, tumor korteks ginjal dan tumor
tiroid.
Malnutrisi
Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat
Rekomendasi pengobatan hipoglikemia:
Pengobatan pada hipoglikemia ringan:
1. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana).
2. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain
yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah. (E)
3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikan
glukosa darah.
4. Glukosa 15 ʹ 20 g (2 ʹ 3 sendok makan gula pasir) yang dilarutkan dalam air
adalah terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar (E)
5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15
menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15
menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada (glukosa serum
<70 mg/dL), pengobatan dapat diulang kembali. (E)
6. Jika hipoglikemia menetap setelah 45 menit atau 3 siklus pengananan
sesuai dengan poin 4 maka diperlukan pemberikan cairan glukosa yaitu
infus dextrose 10% sebanyak 150 ʹ 200 mL dalam waktu 15 menit.
7. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal
(glukosa serum >70 mg/dL), pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi makanan ringan untuk mencegah berulangnya
hipoglikemia. (E)
Pengobatan pada hipoglikemia berat :
1. Hentikan obat ʹ obat antidiabetes. Jika pasien menggunakan insulin, maka
perlu dilakukan penyesuaian dosis.
2. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa
pemberian intravena dextrose 20% sebanyak 75 ʹ 100 mL dalam waktu 15
menit.
3. Periksa glukosa darah tiap 10 ʹ 15 menit setelah pemberian i.v tersebut
dengan target t 70 mg/dL. Bila target belum tercapai maka prosedur dapat
diulang.
4. Jika glukosa darah sudah mencapai target, maka pemeliharaannya
diberikan dextrose 10% dengan kecepatan 100 mL/jam (hati ʹ hati pada
pasien dengan gangguan ginjal dan jantung) hingga pasien mampu untuk
makan.
5. Pemberian glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan sebagai alternatif
lain terapi hipoglikemia jika akses intravena sulit dicapai (hati ʹ hati pada
pasien malnutrisi kronik, penyalahgunaan alkohol, dan penyakit hati berat).
6. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia. Jika hipoglikemia
disebabkan oleh regimen SU atau insulin kerja panjang maka hati ʹ hati
hipoglikemia dapat bertahan dalam kurun waktu 24 ʹ 36 jam (E)
Pencegahan hipoglikemia:
1. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemia, penanganan
sementara, dan hal lain harus dilakukan.
2. Anjurkan melakukan PGDM, khususnya bagi pengguna insulin atau obat oral
golongan insulin sekretagog.
3. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi,
tentang: dosis, waktu megkonsumsi, efek samping.
4. Bagi dokter yang menghadapi pasien DM dengan kejadian hipoglikemia
perlu melalukan:
o Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien.
o Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan
melakukan program ulang dengan memperhatikan berbagai aspek
seperti: jadwal makan, kegiatan oleh raga, atau adanya penyakit penyerta yang memerlukan obat lain yang mungkin berpengaruh
terhadap glukosa darah.
o Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih kecil kemungkinan
menimbulkan hipoglikemia.
III.4.2. Penyulit Menahun
1. Makroangiopati
Pembuluh darah otak : stroke
Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
pasien DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri
pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio
intermittent), Namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik
pada kaki merupakan kelainan lain yang dapat ditemukan pada pasien
DM.
Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
2. Mikroangiopati
a. Retinopati Diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
atau memperlambat progresi retinopati (A). Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati.
b. Nefropati Diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresifitas nefropati (A).
Untuk pasien penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan protein
sampai di bawah 0.8 g/kgBB/hari tidak direkomendasikan karena
tidak memperbaiki risiko kardiovaskular dan menurunkan LFG
ginjal (A).
c. Neuropati
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor
penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang
meningkatkan risiko amputasi.
Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan
bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal
yang simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi
sederhana (menggunakan monofilamen 10 gram). Pemeriksaan ini
kemudian diulang paling sedikit setiap tahun. (B)
Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan kaki
yang memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus dan
amputasi.
Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau
pregabalin dapat mengurangi rasa sakit.
Semua pasien DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.
Untuk pengelolaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama
dengan bidang/disiplin ilmu lain.
d. Kardiomiopati
Pasien DM Tipe 2 memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi untuk
terjadinya gagal jantung dibandingkan pada non-diabetes.
Diagnosis kardiomiopati diabetik harus dipastikan terlebih dahulu
bahwa etiologinya tidak ada berkaitan dengan adanya hipertensi,
kelainan katup jantung, dan penyakit jantung koroner.
Pada pasien diabetes disertai dengan gagal jantung, pilihan terapi
yang disarankan adalah golongan penghambat SGLT-2 atau GLP-1
RA.
III.5. Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
III.5.1. Pencegahan Primer Terhadap Diabetes Melitus Tipe 2
Sasaran pencegahan primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki
faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk menderita
DM tipe 2 dan intoleransi glukosa.
Faktor Risiko Diabetes Melitus
Faktor risiko DM Tipe 2 sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu :
A. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi
Ras dan etnik
Riwayat keluarga dengan DM Tipe 2
Umur: risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 40 tahun harus dilakukan skrining DM Tipe 2.
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG).
Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang
lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding
dengan bayi yang lahir dengan BB normal.
B. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi
Beraƚ badan lebih ;IMT ш Ϯϯ kgͬm2
).
Kurangnya aktivitas fisik
Hipertensi (> 140/90 mmHg)
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan/atau trigliserida > 250 mg/dL)
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan rendah
serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi
glukosa dan DM tipe 2.
C. Faktor lain yang terkait dengan risiko DM Tipe 2.
Pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat TGT atau GDPT
sebelumnya.
Pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK,
atau PAD
Identifikasi dan pemeriksaan penyaring kelompok risiko tinggi DM Tipe 2 dan
prediabetes dapat dilihat pada poin Diagnosis di Bab 3 Pengelolaan DM tipe 2.
Pencegahan primer DM tipe 2 dilakukan dengan tindakan penyuluhan dan
pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko
tinggi DM tipe 2 dan intoleransi glukosa.
Upaya pencegahan dilakukan terutama melalui perubahan gaya hidup. Berbagai
bukti yang kuat menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup dapat mencegah DM
tipe 2. Perubahan gaya hidup harus menjadi intervensi awal bagi semua pasien
terutama kelompok risiko tinggi. Perubahan gaya hidup juga dapat sekaligus
memperbaiki komponen faktor risiko diabetes dan sindroma metabolik lainnya
seperti obesitas, hipertensi, dislipidemia dan hiperglikemia.
Indikator keberhasilan intervensi gaya hidup adalah penurunan berat badan 0,5 - 1
kg/minggu atau 5 - 7% penurunan berat badan dalam 6 bulan dengan cara mengatur
pola makan dan meningkatkan aktifitas fisik. Studi Diabetes Prevention Programme(DPP) menunjukkan bahwa intervensi gaya hidup yang intensif dapat menurunkan
58% insiden DM tipe 2 dalam 3 tahun. Tindak lanjut dari DPP Outcome Study
menunjukkan penurunan insiden DM tipe 2 sampai 34% dan 27 % dalam 10 dan 15
tahun.
Perubahan gaya hidup yang dianjurkan untuk individu risiko tinggi DM tipe 2 dan
intoleransi glukosa adalah :
A. Pengaturan pola makan
Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal.
Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi
dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak glukosa darah yang
tinggi setelah makan.
Komposisi diet sehat mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat
larut.
B. Meningkatkan aktifitas fisik dan latihan jasmani
Latihan jasmani yang dianjurkan :
o Latihan dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu
dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50 - 70% denyut
jantung maksimal) (A), atau 90 menit/minggu dengan latihan
aerobik berat (mencapai denyut jantung > 70% maksimal).
o Latihan jasmani dibagi menjadi 3 ʹ 4 kali aktivitas/minggu
C. Menghentikan kebiasaan merokok (A)
D. Pada kelompok dengan risiko tinggi diperlukan intervensi farmakologis.
Tidak semua individu dengan risiko tinggi dapat menjalankan perubahan gaya hidup
dan mencapai target penurunan berat badan seperti yang diharapkan, oleh karena
itu dibutuhkan intervensi lain yaitu dengan penggunaan obat-obatan. Intervensi
farmakologis untuk pencegahan DM tipe 2 direkomendasikan sebagai intervensi
sekunder yang diberikan setelah atau bersama-sama dengan intervensi perubahan
gaya hidup.
Metformin merupakan obat yang dapat digunakan dalam pencegahan diabetes
dengan bukti terkuat dan keamanan jangka panjang terbaik. Metformin dapat
dipertimbangkan pemberiannya pada pasien prediabetes berusia < 60 tahun dengan
obesitas, atau wanita dengan riwayat diabetes gestasional. Obat lain yang dapat
dipertimbangkan adalah alfa glukosidase inhibitor (acarbose) yang bekerja dengan
cara menghambat kerja enzim alfa glukosidase yang mencerna karbohidrat. Berdasarkan studi STOP-NIDDM dalam tindak lanjut selama 3,3 tahun, acarbose
terbukti menurunkan risiko DM tipe 2 sampai 25% dan risiko penyakit kardiovaskular
sebesar 49%.
(Pencegahan primer terhadap DM tipe 2 dapat dibaca lengkap pada Buku Panduan
Pengelolaan Prediabetes dan Pencegahan Diabetes Tipe 2 tahun 2019 yang
diterbitkan oleh PB PERSADIA)
III.5.2. Pencegahan Sekunder Terhadap Komplikasi Diabetes Melitus
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM Tipe 2. Tindakan
pencegahan sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar glukosa sesuai target
terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit yang lain dengan pemberian
pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini adanya penyulit merupakan
bagian dari pencegahan sekunder. Tindakan ini dilakukan sejak awal pengelolaan
penyakit DM Tipe 2. Program penyuluhan memegang peran penting untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan sehingga
mencapai target terapi yang diharapkan. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan
pertama dan perlu selalu diulang pada pertemuan berikutnya.
Rekomendasi pemberian vaksinasi pada pasien DM Tipe 2
CDC Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) merekomendasikan
beberapa vaksinasi yang dapat diberikan kepada pasien dewasa dengan DM, yaitu
:
Vaksinasi Influenza
Influenza merupakan penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya
mortalitas dan morbiditas pada populasi risiko tinggi seperti pasien DM.
Vaksinasi influenza yang diberikan pada pasien DM dapat menurunkan
kejadian influenza dan perawatan di rumah sakit akibat infeksi.
Vaksinasi Hepatitis B
Pasien DM memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena hepatitis B
dibandingkan populasi umum. Risiko ini disebabkan karena kontaknya
darah yang terinfeksi atau peralatan pemantauan glukosa atau jarum yang
terinfeksi. Vaksin hepatitis B direkomendasikan pada pasien DM berusia <
60 tahun. Vaksinasi Pneumokokus
Pasien DM berisiko tinggi terhadap infeksi pneumokokus dan bakteremia
nosokomial, dengan tingkat mortalitas 50 persen. Vaksinasi pneumokokus
berguna untuk memberikan perlindingan terhadap pneumonia
pneumokokal. Vaksin yang direkomendasikan berupa vaksin polisakarida
pneumokokus valen -23 (PPSV-23). Vaksinasi ini direkomendasikan untuk
pasien diabetes berusia 2 ʹ 64 tahun. Usia t 65 tahun juga diperbolehkan
mendapatkan vaksin jenis ini walaupun sudah memiliki riwayat vaksinasi
pneumokokus sebelumnya.
Vaksinasi COVID-19
Berdasarkan data dari CDC, diketahui bahwa sebagian besar angka
kematian (40%) infeksi COVID-19 berasal dari pasien dengan DM.
Berdasarkan data tersebut, CDC merekomendasikan bahwa pasien dengan
DM diprioritaskan untuk mendapatkan vaksin COVID-19.
III.5.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok pasien diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta
meningkatkan kualitas hidup. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini
mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan tersier tetap
dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya
rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan
terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama
yang baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung, ginjal, mata, saraf, bedah
ortopedi, bedah vaskular, radiologi, kedokteran fisik dan rehabilitasi, gizi, podiatris,
dan lain-lain.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.Diabetes dengan Infeksi
Infeksi pada pasien diabetes sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa
darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah
yang tinggi meningkatkan kerentanan atau memperburuk infeksi. Kadar glukosa
yang tidak terkendali perlu segera diturunkan, antara lain dengan menggunakan
insulin, dan setelah infeksi teratasi dapat diberikan kembali pengobatan seperti
semula.
Kejadian infeksi lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes akibat munculnya
lingkungan hiperglikemik yang meningkatkan virulensi patogen, menurunkan
produksi interleukin, menyebabkan terjadinya disfungsi kemotaksis dan aktifitas
fagositik, serta kerusakan fungsi neutrofil, glukosuria, dan dismotitilitas
gastrointestinal dan saluran kemih. Sarana untuk pemeriksaan penunjang harus
lengkap seperti pemeriksaan kultur dan tes resistensi antibiotik.
A. Diabetes dengan tuberkulosis
Diabetes diasosiasikan dengan peningkatan risiko tuberkulosis (TB) aktif pada
studi kontrol dan studi kohort, namun belum ada bukti yang kuat yang
mendukung. Penyakit diabetes dapat mempersulit diagnosis dan manajemen TB
karena terdapat perubahan gambaran klinis penyakit TB dan perlambatan
periode konversi kultur sputum. Diabetes juga dapat memengaruhi hasil
pengobatan TB akibat perlambatan reaksi mikrobiologis terhadap obat,
percepatan perkembangan infeksi, serta peningkatan risiko kematian dan risiko
TB berulang (relaps).
Saat ini, prevalensi terjadinya TB paru meningkat seiring dengan peningkatan
prevalensi pasien DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10 ʹ 15%
dan prevalensi penyakit infeksi ini 2 ʹ 5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes
dibandingkan dengan yang non-diabetes.
Obat-obatan untuk diabetes dan tuberkulosis dapat berinteraksi sehingga
menghambat aktifitas satu sama lain. Pasien diabetes yang juga menderita tuberkulosis juga sering mengalami risiko untuk terjadinya hepatitis imbas obat
(drug induced hepatitis) akibat obat-obat antituberkulosis.
Rekomendasi yang dianjurkan pada diabetes dengan tuberkulosis adalah:
x Pada pasien dengan DM perlu dilakukan skrining untuk infeksi TB, dan sebaliknya
pada pasien dengan tuberkulosis perlu dilakukan skrining diabetes.
x Skrining tuberkulosis yang direkomendasikan adalah penilaian gejala-gejala
tuberkulosis seperti batuk lebih dari 2 minggu pada setiap pasien DM. Skrining
lengkap dengan pemeriksaan penunjang belum disarankan karena belum ada
bukti yang mendukung.
x Pasien DM yang menunjukkan gejala tuberkulosis perlu mendapatkan
pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan foto dada dan pemeriksaan sputum
tuberkulosis sebanyak tiga kali untuk menegakkan diagnosis.
x Penatalaksanaan TB pada pasien DM umumnya tidak berbeda dengan pasien TB
tanpa DM, tidak ada bukti yang mendukung perlunya regimen baru ataupun
penambahan masa pengobatan. Namun apabila kadar glukosa darah tidak
terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan.
x Pasien dengan TB direkomendasikan untuk mendapatkan skrining diabetes
dengan pemeriksaan kadar glukosa darah saat diagnosis TB ditegakkan.
x Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas
obat oral antidiabetik (golongan sulfonilurea) sehingga diperlukan monitoring
kadar glukosa darah lebih ketat atau diganti dengan anti diabetik lainnya seperti
insulin yang dapat meregulasi glukosa darah dengan baik tanpa memengaruhi
efektifitas OAT.
x Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena pasien DM sering mengalami
komplikasi pada mata.
x Pemberian isoniazid (INH) dapat menyebabkan neuropati perifer yang dapat
memperburuk atau menyerupai diabetik neuropati maka sebaiknya diberikan
suplemen vitamin B6 atau piridoksin selama pengobatan.
B. Diabetes dengan infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) lebih sering terjadi pada pasien diabetes dan
diasosiasikan dengan peningkatan komplikasi dan perburukan penyakit. Faktor
risiko yang meningkatkan terjadinya ISK pada diabetes antara lain: kontrol
glikemi yang inadekuat, durasi terjadinya DM yang lama, vaginitis berulang,
ataupun abnormalitas anatomi saluran kemih. Pielonefritis akut lebih sering terjadi 4 ʹ 5 kali lipat lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan pasien non-DM
dengan manifestasi klinis yang umumnya sama kecuali keterlibatan ginjal
bilateral pada pasien DM.
C. Diabetes dengan infeksi saluran pernapasan
Infeksi Streptokokus dan virus influenza merupakan infeksi tersering yang
diasosiasikan dengan diabetes. Rekomendasi dari ADA adalah pemberian
imunisasi influenza setiap tahun pada semua pasien diabetes yang berusia lebih
dari 60 tahun.
D. Diabetes dengan infeksi saluran pencernaan
Diabetes sering diasosiasikan dengan peningkatan terjadinya gastritis akibat
infeksi H. pylori. Meski demikian, belum ada studi yang membuktikan hal
tersebut. Infeksi hepatitis C tiga kali lebih sering terjadi pada pasien diabetes
dibandingkan non-DM dengan manifestasi yang lebih berat. Infeksi hepatitis B
dua kali lebih sering terjadi pada pasien diabetes di atas 23 tahun dibandingkan
non-diabetes.
E. Diabetes dengan infeksi jaringan lunak dan kulit
Infeksi jaringan lunak dan kulit yang sering dialami pasien diabetes adalah
furunkel, abses dan gangren. Infeksi kulit yang akut seperti selulitis dan abses
umumnya disebabkan oleh kuman aerob kokus gram positif, tetapi untuk infeksi
yang sudah lama kuman penyebab biasanya bersifat polimikrobial, yang terdiri
dari kokus gram negatif, basil gram positif, dan bakteri anaerob.
F. Diabetes dengan infeksi jaringan rongga mulut
Infeksi pada gigi dan gusi (periodontal) merupakan infeksi tersering ke-6 pada
pasien DM dan empat kali lebih sering terjadi dibanding non-DM. Keadaan
penyakit umumnya juga lebih parah dan dapat memengaruhi prognosis penyakit
DM.
G. Diabetes dengan infeksi telinga
Otitis eksterna maligna umumnya menyerang pasien DM berusia lanjut dan
sering disebabkan oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa.H. Diabetes dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Pasien HIV seharusnya dilakukan pemeriksaan glukosa plasma puasa untuk
mengetahui sudah terjadi prediabetes atau DM tipe 2 sebelum memulai terapi
antiretroviral (ARV), pada saat terjadi perubahan terapi ARV dan setelah 3 ʹ 6
bulan setelah terapi ARV diberikan. Bila pada pemeriksaan glukosa puasa normal,
maka dilakukan pemeriksaan glukosa puasa ulang setiap tahun. (E) Pemeriksaan
HbA1c terkadang tidak akurat karena nilainya lebih rendah dari yang sebenarnya,
sehingga tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan skrining ataupun
pemantauan. Diabetes lebih sering terjadi 4 kali lebih banyak pada pasien HIV
dibandingkan non-HIV. Risiko diabetes dapat meningkat akibat penggunaan obat
ARV golongan protease inhibitor (PI) dan nukleosida reverse transcriptase
inhibitor (NRTI).
Kejadian DM baru diperkirakan terjadi pada lebih dari 5% pasien HIV yang
meggunakan golongan protease inhibitor, sedangkan angka kejadian prediabetes
relatif lebih tinggi yaitu lebih dari 15%. Obat golongan PI ini diduga dapat
meningkatkan resistensi insulin akibat tingginya kadar sitokin antiinflamasi dan
menyebabkan apoptosis sel-sel beta pankreas. Obat ARV golongan NRTI juga
memengaruhi distribusi lemak tubuh, baik berupa lipohipertrofi maupun
lipoatrofi, yang berkaitan dengan resistensi insulin. Pasien HIV yang mengalami
hiperglikemia akibat pemberian terapi ARV, perlu dipertimbangkan untuk
mengganti dengan obat ARV golongan lain yang lebih aman dengan
memperhatikan kondisi penyakitnya. Terapi obat antidiabetes dapat diberikan
bila diperlukan.
Pada pasien HIV dengan prediabetes, asupan nutrisi yang sehat dan aktivitas fisik
yang baik, sangat dianjurkan karena dapat menurunkan risiko untuk menjadi
diabetes. Penatalaksanaan pada pasien HIV dengan diabetes juga sama dengan
pasien non-HIV yaitu bertujuan untuk mencegah komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular.
IV. 2 Kaki Diabetes
Setiap pasien dengan diabetes perlu dilakukan pemeriksaan komprehensif kaki
minimal setiap satu tahun meliputi inspeksi, perabaan pulsasi arteri dorsalis pedis
dan tibialis posterior, dan pemeriksaan neuropati sensorik.Deteksi dini kelainan kaki pada pasien diabetes dapat dilakukan dengan penilaian
karakteristik:
x Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku
x Rambut kaki yang menipis
x Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh, ingrowing nail).
x Kalus (mata ikan) terutama di bagian telapak kaki.
x Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki yang
menonjol.
x Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari
x Kaki baal, kesemutan, atau tidak terasa nyeri.
x Kaki yang terasa dingin
x Perubahan warna kulit kaki (kemerahan, kebiruan, atau kehitaman).
Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Ulkus
kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan kaki, yang
meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup pasien. Ulkus
kaki diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri perifer
ataupun kombinasi keduanya.
Pemeriksaan neuropati sensorik menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein 10
g ditambah salah satu dari pemeriksaan garpu tala frekuensi 128 Hz, tes refleks tumit
dengan palu refleks, tes pinprick dengan jarum, atau tes ambang batas persepsi
getaran dengan biotensiometer.
Kaki diabetes dapat dibagi menjadi berbagai kelompok, yaitu:
1. Kaki diabetes tanpa ulkus
Pasien kaki diabetes tanpa ulkus perlu mendapatkan edukasi untuk
mencegah munculnya masalah-masalah kaki diabetes lebih lanjut.
Beberapa poin edukasi tersebut antara lain adalah:
x Hindari berjalan tanpa alas kaki di dalam ataupun luar ruangan
x Hindari penggunaan sepatu tanpa kaus kaki.
x Tidak disarankan penggunaan zat kimia ataupun plasters untuk
membuang kalus.
x Inspeksi dan palpasi harian perlu dilakukan pada bagian dalam sepatu.
Jangan menggunakan sepatu ketat atau dengan tepi tajam.
x Penggunaan minyak dan krim pelembab dapat diberikan pada kulit
kering, tetapi tidak pada sela-sela jari kaki.
x Penggantian kaus kaki setiap hari.
x Hindari penggunaan kaus kaki yang ketat atau setinggi lutut.
x Kuku kaki dipotong tegak lurus.
x Kalus dan kulit yang menonjol harus dipotong di layanan kesehatan,
x Kewaspadaan pasien untuk memastikan kaki diperiksa secara teratur
oleh penyedia layanan kesehatan.
x Memberitahukan penyedia layanan kesehatan apabil terdapat luka
pada kaki.
2. Kaki diabetes dengan ulkus
Infeksi pada kaki diabetes merupakan komplikasi yang sering terjadi dan
dapat memperberat perjalanan penyakit. Klasifikasi kaki diabetes dengan
ulkus dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria Wagner (Tabel 16)
atau PEDIS (Tabel 17).
Pengawasan perbaikan luka dengan infeksi dapat dilakukan dengan penilaian
karakteristik ulkus yaitu ukuran, kedalaman, penampakan, dan lokasi. Ukuran luka
dapat dinilai dengan teknik planimetri. Klasifikasi infeksi pada kaki diabetes dapat
ditentukan tanpa pemeriksaan penunjang, yaitu berdasarkan manifestasi klinis,
yakni
Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera mungkin.
Komponen penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus adalah:
x Kendali metabolik (metabolic control):
Pengendalian keadaan metabolik sebaik mungkin seperti pengendalian kadar
glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin dan sebagainya.
x Kendali vaskular (vascular control):
Perbaikan asupan vaskular (dengan operasi atau angioplasti), biasanya
dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.
x Kendali infeksi (infection control):
Pengobatan infeksi harus diberikan secara agresif jika terlihat tanda-tanda
klinis infeksi. Kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap, namun
tidak disertai tanda-tanda klinis, bukan merupakan infeksi.
x Kendali luka (wound control):
Pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur. Perawatan lokal
pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan konsep TIME:
o Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)
o Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)
o Moisture Balance (menjaga keseimbangan kelembaban)
o Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
x Kendali tekanan (pressure control):
Mengurangi tekanan karena tekanan yang berulang dapat menyebabkan
ulkus, sehingga harus dihindari. Hal itu sangat penting dilakukan pada ulkus
neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang
sesuai diperlukan untuk mengurangi tekanan.
x Penyuluhan (education control):
Penyuluhan yang baik. Seluruh pasien dengan diabetes perlu diberikan
edukasi mengenai perawatan kaki secara mandiri.
IV.3 Diabetes dengan Osteomielitis
1. Osteomielitis adalah infeksi pada jaringan tulang. Pada kaki diabetik biasanya
terjadi akibat penyebaran infeksi dari luka.
2. Gejala klinis akut biasanya disertai demam dan ditemukan adanya luka. Pada
yang kronik, biasanya port d͛entree tidak jelas.
3. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembengkakan jaringan lunak. Pada
jari biasanya ditemukan gambaran khusus seperti jari sosis (sausage toe). Jika didapatkan ulkus, dapat dilakukan pemeriksaan tes bone-proof, dengan
melakukan sondase pada luka. Jika ujung sonde menyentuh permukaan
tulang dapat dipastikan mengalami osteomielitis.
4. Pemeriksaan penunjang terdapat leukositosis dan peningkatan LED.
Pemeriksaan foto tulang baru akan terlihat abnormal setelah 10 ʹ 14 hari
terkena infeksi.
5. Diagnosis osteomielitis yang akurat dapat ditegakkandengan pemeriksaan
MRI tulang.
6. Pemeriksaan kultur jarimgan tulang yang mengalami osteomielitis berguna
untuk menentukan patogen penyebab infeksi.
7. Manajemen kaki diabetik dengan osteomielitis dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik jangka panjang, debridement, ataupun amputasi.
Antibiotik jangka panjang diberikan sampai 3 bulan misalnya dari golongan
kuinolon.
IV.4 Diabetes dengan Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Penyakit pembuluh darah perifer (Peripheral Arterial Disease/ PAD) merupakan
penyakit penyempitan pembuluh darah perifer terutama pada kaki, yang sebagian
besar disebabkan oleh proses aterosklerosis. Faktor-faktor risiko utama terjadinya
PAD antara lain: usia, jenis kelamin laki-laki, merokok, dislipidemia, hipertensi,
diabetes melitus.
Gejala PAD pada kaki antara lain:
x Klaudikasio intermiten (claudicatio intermitent), yaitu nyeri yang terjadi
pada saat latihan fisik dan hilang pada saat istirahat.
x Penyembuhan luka di kaki yang lama.
x Suhu kaki menurun.
x Jumlah bulu pada kaki menurun.
x Pulsasi kaki menurun (arteri femoralis, arteri popliteal, arteri tibialis
posterior dan arteri dorsalis pedis).
Diagnosis PAD ditegakkan dengan pemeriksaan ankle brachial index (ABI), yaitu rasio
tekanan darah sistolik antara arteri dorsalis pedis/tibialis posterior dengan tekanan
sistolik tertinggi antara arteri brachialis kiri dan kanan. Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan handheld ultrasound. Penilaian hasil ABI adalah:
Pasien dengan PAD sebaiknya dievaluasi mengenai riwayat klaudikasio dan
pemeriksaan pulsasi pedis. Perlu dipertimbangkan pemeriksaan ABI karena banyak
pasien PAD adalah asimtomatik. Pemeriksaan PAD dapat dilakukan di pusat dengan
sarana memadai untuk pemeriksaan USG doppler dupleks dan angiografi.
Terapi pada pasien dengan PAD selain dengan menggunakan medikamentosa, juga
dapat dilakukan tindakan revaskularisasi. Tindakan revaskularisasi adalah suatu
tindakan untuk membuka pembuluh darah arteri yang tersumbat, dengan melalui
intervensi endovaskular atau teknik bedah terbuka (bypass surgery). Pasien PAD
dengan infeksi umumnya memiliki prognosis buruk sehingga perlu dilakukan terapi
infeksi sebelum dilakukan tindakan revaskularisasi.
Critical limb ischemia (CLI)
1. Keadaan CLI adalah penyumbatan berat pada arteri di daerah ekstremitas
bawah, yang ditandai dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut.
2. Keadaan ini lebih serius dari PAD, karena merupakan kondisi kronik yang
sangat parah pada kaki, sehingga pasien tetap mengeluh nyeri walaupun
dalam keadaan istirahat.
3. Gejala yang paling sering pada CLI adalah ischemic rest pain, yaitu nyeri yang
hebat pada tungkai bawah dan kaki ketika seseorang tidak bergerak atau
luka yang tidak membaik pada tungkai bawah atau kaki, akibat iskemia.
4. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan pulsasi nadi pada tungkai bawah
atau kaki.
5. Infeksi dapat terjadi berupa luka yang terbuka, infeksi kulit dan ulkus yang
tidak membaik, maupun gangren kering (dry gangrene) dan terlihat kulit
yang berwarna hitam pada tungkai bawah atau kaki.
6. Kriteria diagnosis CLI :
Nyeri istirahat kronik (Chronic rest pain)
Tissue loss :
a. Ulkus
b. Gangren
ABI d 0,4
Ankle systolic pressure d 0,5 mmHg
Toe systolis pressure d 30 mmHg
7. Pasien dengan diagnosis CLI direkomendasikan untuk mendapatkan
tindakan revaskularisasi segera untuk mempertahankan jaringan yang
terkena.
8. Pada pasien CLI dengan infeksi kaki, perlu pemberian antibiotik terlebih
dahulu untuk penanganan infeksi sebelum melakukan revaskularisasi.
Acute limb ischemia (ALI)
1. ALI merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan pada ekstremitas, yang
terjadi secara mendadak.
2. Keadaan ALI dapat disebabkan oleh adanya trombus atau emboli yang
menyumbat peredaran darah di esktremitas.
3. Onset ALI adalah kurang dari 2 minggu.
4. Terdapaƚ iƐƚilah ͞ϲ P͟ LJang didefiniƐikan Ɛebagai gejala dan ƚanda kliniƐ
kondisi membahayakan esktremitas terkait :
o Pain
o Pulselessness
o Pallor
o Paresthesia
o Paralysis
o Polar (suhu)
IV.5 Diabetes dengan Selulitis dan Fasitis Nekrotikan
Selulitis adalah infeksi pada jaringan lunak yang dapat dijumpai pada kaki diabetes
tanpa atau dengan ulkus. Penanganan selulitis terutama dengan pemberian
antibiotik terutama untuk golongan kokus gram positif. Tindakan segera perlu
dilakukan bila telah terbentuk abses, yaitu berupa insisi dan drainase, dan bila perlu
dengan anastesi umum. Kuman golongan anaerob dan MRSA dapat menyebabkan
perluasan infeksi jaringan lunak sepanjang fasia otot (fasitis nekrotikan) sehingga
perlu dilakukan tindakan debridement yang luas dengan membuang seluruh fascia
otot yang mengalami infeksi.
Tindakan amputasi pada kaki diabetik dilakukan atas indikasi:
x Kerusakan jaringan kaki yang luas atau infeksi yang meluas dan
mengancam nyawa
x Luka pada CLI yang tidak memungkinkan dilakukan tindakan
revaskularisasi.
x Jika berdasarkan aspek rehabilitatif tindakan amputasi lebih bermanfaat
IV.6 Diabetes dengan Nefropati Diabetik
1. Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama dari Gagal Ginjal
Stadium Akhir.
2. Sekitar 20 ʹ 40% pasien diabetes akan mengalami nefropati diabetik.
3. Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30 ʹ 299 mg/24 jam
merupakan tanda dini nefropati diabetik pada DM tipe 2.
4. Pasien yang disertai dengan albuminuria persisten pada kadar 30 ʹ 299 mg/24
jam dan berubah menjadi albuminuria persisten pada kadar ш 300 mg/24 jam
sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir
5. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan melalui pemeriksaan urinary albumin
to creatinin ratio (UACR) dengan sampel spot urin acak. Nefropati diabetik
merupakan diagnosis klinis berdasarkan adanya albuminuria dan/atau
penurunan LFG.
6. Nilai diagnosis UACR adalah:
a. Normal : < 30 mg/g
b. Rasio albumin kreatinin 30 ʹ 299 mg/g
c.Rasio albumin kreatinin ш 300 mg/g
7. Penapisan dilakukan:
a. Segera setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.
b. Jika albuminuria < 30 mg/24 jam dilakukan evaluasi ulang setiap tahun.
(B)
8. Metode Pemeriksaan
a. Rasio albumin/kreatinin dengan urin sewaktu
b. Kadar albumin dalam urin 24 jam: Pemantauan albumin urin secara
kontinu untuk menilai respon terapi dan progresivitas penyakit masih
dapat diterima. (E)
9. Penatalaksanaan
a. Optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi risiko ataupun
menurunkan progresi nefropati. (A)
b. Optimalisasi kontrol hipertensi untuk mengurangi risiko ataupun
menurunkan progresi nefropati. (A)
c. Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit
ginjal kronik tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar
glikemik, risiko kejadian kardiovaskular, atau penurunan LFG. (A)
d. Terapi dengan penghambat ACE atau obat penyekat reseptor
angiotensin II tidak diperlukan untuk pencegahan primer. (B)
e. Terapi Penghambat ACE atau Penyekat Reseptor Angiotensin II
diberikan pada pasien tanpa kehamilan dengan albuminuria sedang (30
ʹ 299 mg/24 jam) (C) dan albuminuria berat (> 300 mg/24 jam) (A).
10. Perlu dilakukan monitoring terhadap kadar serum kreatinin dan kalium serum
pada pemberian penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II, atau
diuretik lain. (E)
a. Diuretik, penyekat kanal kalsium, dan penghambat beta dapat diberikan
sebagai terapi tambahan ataupun pengganti pada pasien yang tidak
dapat mentoleransi penghambat ACE dan Penyekat Reseptor
Angiotensin II.
b. Apabila serum kreatinin ш 2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut
dilibatkan.
c. Pertimbangkan konsultasi ke ahli nefrologi apabila kesulitan dalam
menentukan etiologi, manajemen penyakit, ataupun gagal ginjal
stadium lanjut. (B)
IV.7 Diabetes dengan Disfungsi Ereksi
o Prevalensi disfungsi ereksi (DE) pada pasien diabetes tipe 2 lebih dari 10
tahun cukup tinggi, berkisar antara 35 ʹ 75% dibandingkan 26% di
populasi umum dan merupakan akibat adanya neuropati autonom,
angiopati dan problem psikis.
o Prevalensi disfungsi ereksi (DE) pada pasien diabetes tipe 2 lebih dari 10
tahun cukup tinggi dan merupakan akibat adanya neuropati autonom,
angiopati dan problem psikis. Keluhan DE perlu ditanyakan pada saat
konsultasi pasien diabetes dikarenakan kondisi ini sering menjadi sumber
kecemasan pasien diabetes, tetapi jarang disampaikan oleh pasien.
Diagnosis DE dapat ditegakkan dengan menilai 5 hal yaitu fungsi ereksi,
fungsi orgasme, nafsu seksual, kepuasan hubungan seksual, dan kepuasan
umum, dengan menggunakan instrumen sederhana yaitu kuesioner
international index of erectile function 5 (IIEF-5)Pada pria dengan DM yang memiliki gejala atau tanda-tanda hipogonadisme
seperti penurunan keinginan atau aktivitas seksual (libido), atau disfungsi ereksi, perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan testosteron
serum pada pagi hari. (B)
o Tingkat testosteron rata-rata pria dengan diabetes lebih rendah dibandingkan
dengan pria tanpa diabetes, tetapi hal ini masih mungkin diakibatkan juga
keadaan obesitas yang umumnya menyertai pasien DM.
o Pemeriksaan hormon testosteron bebas (free testosterone) pada pagi hari
dianjurkan pada pasien DM bila kadar hormon testosteron total mendekati
batas bawah. Pemeriksaan luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating
hormone (FSH) dapat dilakukan untuk membedakan hipogonadisme primer
atau sekunder.
o Penyebab DE perlu dipastikan apakah merupakan masalah organik atau
masalah psikis bila diagnosis DE telah ditegakkan. Upaya pengobatan utama
adalah memperbaiki kontrol glukosa darah senormal mungkin dan
memperbaiki faktor risiko DE lain seperti dislipidemia, merokok, obesitas dan
hipertensi. Identifikasi berbagai obat yang dikonsumsi pasien yang
berpengaruh terhadap timbulnya atau memberatnya DE perlu dilakukan.
o Pengobatan lini pertama adalah terapi psikoseksual dan medikamentosa
berupa obat penghambat fosfodiesterase tipe 5 (sildenafil, taldanafil, dan
vardenafil).
o Pada pasien DM yang belum memperoleh hasil memuaskan, dapat diberikan
injeksi prostaglandin intrakorporal, aplikasi prostaglandin intrauretral, dan
penggunaan alat vakum, maupun prostesis penis pada kasus dengan terapi lain
tidak berhasil.
o Pemberian terapi hormon testosteron pada kondisi hipogonadisme yang
simptomatik dapat memiliki manfaat termasuk peningkatan fungsi seksual,
kekuatan dan massa otot, dan kepadatan tulang.
IV.8 Diabetes dengan Kehamilan
Hiperglikemia yang terdeteksi pada kehamilan harus ditentukan klasifikasinya
sebagai salah satu di bawah ini:
(WHO 2013, NICE update 2014)
A. Diabetes melitus dengan kehamilan
Pengelolaan sebelum konsepsi
Semua perempuan diabetes mellitus tipe 2 yang berencana hamil
dianjurkan untuk :
o Konseling mengenai kehamilan pada DM tipe 2. Target glukosa darah : GDP dan sebelum makan: 80 ʹ 110 mg/dL
GD 1 jam setelah makan : 100 ʹ 155 mg/dL
HbA1c: < 7%; senormal mungkin tanpa risiko sering hipoglikemia
berulang.
Hindari hipoglikemia berat.
o Suplemen asam folat 800 mcg ʹ 1 mg / hari (riwayat neural tube defect : 4
mg/hari)
o Hentikan rokok dan alcohol
o Hentikan obat-obat dengan potensi teratogenik seperti Obat hipertensi
golongan ACE-inhibitor, ARB dan obat hipolipidemik.
o Mengganti terapi anti diabetes oral ke insulin, kecuali metformin pada
kasus PCOS (polycystic ovarium syndrome).
o Evaluasi retina oleh optalmologis, koreksi bila perlu
o Evaluasi kardiovaskular
Pengelolaan dalam kehamilan
o Target optimal kendali glukosa darah (tanpa sering hipoglikemia) :
- Glukosa darah puasa 70 ʹ 95 mg/dL
- Glukosa 1 jam post-prandial 110 ʹ 140 mg/dL atau 2 jam post-prandial
100 ʹ 120 mg/dL
o Target tekanan darah pada ibu yang disertai hipertensi kronis :
- Sistolik : 110 ʹ 135 mmHg
- Diastolik : 85 mmHg
o Kendali glukosa darah menggunakan insulin dengan dosis titrasi yang
kompleks, sebaiknya dirujuk pada dokter ahli yang berkompeten.
B. Diabetes mellitus gestasional
o Perempuan hamil dengan faktor risiko dilakukan pemeriksaan diagnosis
untuk diabetes pada kunjungan prenatal pertama. (B)
o Pemeriksaan penapisan DM gestasional (DMG) dilakukan pada usia
kehamilan 24 ʹ 28 minggu pada semua perempuan hamil yang sebelumnya
tidak memliki riwayat DM. (B)
o Skrining dilakukan dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan
menggunakan glukosa 75 gram. Pasien didiagnosis DMG bila glukosa darah
puasa ш 92 mg/dL, atau glukosa darah setelah 1 jam ш 180 mg/dL atau glukosa
darah setelah 2 jam ш 153 mg/dL. Hasil skrining awal yang negatif sebelum 24
minggu kehamilan, tetap harus dilakukan pemeriksaan ulang antara 24 ʹ 28
minggu kehamilan.(Pembahasan lebih detail mengenai diabetes melitus gestasional akan terpisah pada
konsensus pengelolaan Diabetes Melitus Gestasional)
IV.9 Diabetes dengan Ibadah Puasa
Bagi pasien DM, kegiatan berpuasa (dalam hal ini puasa Ramadhan) akan
memengaruhi kendali glukosa darah akibat perubahan pola dan jadual makan serta
aktivitas fisik. Berpuasa dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemia, hiperglikemia, ketoasidosis
diabetikum, dan dehidrasi atau thrombosis. Risiko tersebut terbagi menjadi risiko
sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Risiko komplikasi tersebut terutama muncul
pada pasien DM dengan risiko sedang sampai sangat tinggi
Pertimbangan medis terkait risiko serta tatalaksana DM secara menyeluruh harus
dikomunikasikan oleh dokter kepada pasien DM dan atau keluarganya melalui
kegiatan edukasi. Jika pasien tetap berkeinginan untuk menjalankan ibadah puasa
Ramadhan, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Satu-dua bulan sebelum menjalankan ibadah puasa, pasien diminta untuk
melakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh meliputi kadar
glukosa darah, tekanan darah, dan kadar lemak darah, sekaligus
menentukan risiko yang akan terjadi bila pasien tetap ingin berpuasa.
2. Pasien diminta untuk memantau kadar glukosa darah secara teratur,
terutama pertengahan hari dan menjelang berbuka puasa.
3. Jangan menjalankan ibadah puasa bila merasa tidak sehat.
4. Harus dilakukan penyesuaian dosis serta jadwal pemberian obat
antihiperglikemik oral dan atau insulin oleh dokter selama pasien
menjalankan ibadah puasa
5. Hindari melewatkan waktu makan atau mengonsumsi karbohidrat atau
minuman manis secara berlebihan untuk menghindari terjadinya
hiperglikemia post prandial yang tidak terkontrol. Pasien dianjurkan untuk
mengonsumsi karbohidrat kompleks saat sahur dan karbohidrat simpel saat
berbuka puasa, serta menjaga asupan buah, sayuran dan cairan yang cukup.
Usahakan untuk makan sahur menjelang waktu imsak (saat puasa akan
dimulai).
6. Hindari aktifitas fisik yang berlebihan terutama beberapa saat menjelang
waktu berbuka puasa.
7. Puasa harus segera dibatalkan bila kadar glukosa darah kurang dari 60
mg/dL. Pertimbangkan untuk membatalkan puasa bila kadar glukosa darah
kurang dari 80 mg/dL atau glukosa darah meningkat sampai lebih dari 300
mg/dL untuk menghindari terjadi ketoasidosis diabetikum.
8. Selalu berhubungan dengan dokter selama menjalankan ibadah puasa.
(Penjelasan lengkap dapat dibaca di Buku Pedoman Penatalaksanaan DM tipe 2 pada
Individu Dewasa di Bulan Ramadan)
Tabel 21. Kategori Risiko Terkait Puasa Ramadan pada Pasien DM tipe 2
Risiko sangat tinggi pada pasien dengan :
Hipoglikemia berat dalam 3 bulan terakhir menjelang Ramadan.
Riwayat hipoglikemia yang berulang.
Hipoglikemia yang tidak disadari (unawareness hypoglycemia).
Kendali glikemik buruk yang berlanjut.
DM tipe 1.
Kondisi sakit akut.
Koma hiperglikemia hiperosmolar dalam 3 bulan terakhir menjelang Ramadan.
Menjalankan pekerjaan fisik yang berat.
Hamil.
Dialisis kronik.
Risiko tinggi pada pasien dengan :
Hiperglikemia sedang (rerata glukosa darah 150ʹ300 mg/dL atau HbA1c 7,5ʹ9%).
Insufisiensi ginjal.
Komplikasi makrovaskular yang lanjut.
HidƵp ͞Ɛendiri͟ dan mendapaƚ ƚerapi inƐƵlin aƚaƵ ƐƵlfonilƵrea͘
Adanya penyakit penyerta yang dapat meningkatkan risiko.
Usia lanjut dengan penyakit tertentu.
Pengobatan yang dapat mengganggu proses berpikir
Risiko sedang pada pasien dengan :
Diabetes terkendali dengan glinid (short-acting insulin secretagogue).
Risiko rendah pada pasien dengan :
DiabeƚeƐ ͞Ɛehaƚ͟ dengan glikemia LJang ƚerkendali melalƵi͖
terapi gaya hidup,
o metformin,
o acarbose,
o thiazolidinedione,
o penghambat enzim DPP-4
Penyesuaian terapi DM tipe 2 pada pasien yang berpuasa :
1. Metformin
Metformin cukup aman digunakan pada pasien DM yang sedang
berpuasa, karena relatif jarang mengakibatkan hipoglikemia, namun pada
beberapa pasien tetap diperlukan penyesuaian dosis dan jadwal.
Pasien yang menggunakan metformin satu kali sehari tidak perlu
penyesuaian dosis dan obat dapat dikonsumsi setelah buka puasa.
Demikian pula pada pasien yang menggunakan metformin dua kali sehari,
juga tidak perlu penyesuaian dosis dan obat dapat dikonsumsi setelah
buka puasa dan sahur.
Pasien yang menggunakan metformin tiga kali sehari, maka pada saat
buka puasa obat diminum 2 tablet sekaligus, dan saat sahur cukup
mengkonsumsi 1 tablet saja.
Pemberian metformin lepas lambat (prolonged release atau extended
release), juga tidak perlu penyesuaian dosis, dan obat diminum saat buka
puasa.
2. Acarbose
Acarbose menghambat kerja enzim alfa-glukosidase yang memecah
karbohidrat menjadi glukosa di usus, sehingga memperlambat
penyerapan glukosa dan memodifikasi sekresi insulin.
Risiko hipoglikemianya rendah sehingga tidak diperlukan penyesuaian
dosis selama puasa.
3. Thiazolidinedion
Mekanisme kerjanya mengaktifkan reseptor proliferator peroksisom
gamma yang terdapat di sel lemak, otot dan hati sehingga dapat
meningkatkan sensitivitas reseptor insulin tanpa meningkatkan sekresi
insulin. Hal inilah menyebabkan risiko hipoglikemia yang rendah, sehingga
tidak perlu perubahan dosis dan obat dapat diminum saat berbuka
ataupun sahur.
4. Sulfonilurea
Sulfonilurea bekerja dengan cara meningkatkan sekresi insulin di sel β
pankreas yang tidak tergantung pada glukosa (glucose independent)
sehingga mengakibatkan kejadian hipoglikemia yang lebih tinggi
dibandingkan dengan OHO lain.
Risiko hipoglikemia ini bervariasi antar obat karena interaksi reseptor
yang berbeda, afinitas obat dan lama kerja obat dalam tubuh. Insiden hipoglikemia tertinggi dikaitkan dengan glibenclamide (25,6%), glimepirid
(16,8%) dan gliclazid (14.0%).
Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa pasien dengan DM dapat
terus menggunakan SU generasi kedua dan berpuasa dengan aman.
Pemberian sulfonilurea sekali sehari pada pasien diabetes bisa diberikan
saat berbuka puasa, dan pada pasien dengan kadar glukosa darah yang
terkontrol dapat dipertimbangkan untuk menurunkan dosis.
Pasien yang mengonsumsi sulfonilurea dua kali sehari, maka dosis obat
saat berbuka sama dengan dosis sebelumnya namun dosis yang diberikan
saat sahur harus diturunkan terutama pada pasien dengan glukosa darah
yang terkontrol.
5. Penghambat SGLT-2
Penghambat SGLT2 termasuk dapagliflozin, canagliflozin dan
empagliflozin, adalah kelas obat antidiabetik terbaru.
Penghambat SGLT2 mengurangi reabsorpsi glukosa di tubulus sehingga
meningkatkan ekskresi glukosa oleh ginjal dan akibatnya menurunkan
dapat glukosa darah.
Penghambat SGLT2 dikaitkan dengan risiko hipoglikemia yang rendah
sehingga merupakan pilihan pengobatan yang cukup aman untuk pasien
dengan DM tipe 2 selama Ramadan.
Golongan obat ini memiliki efek samping infeksi saluran kemih dan infeksi
genital, serta risiko ketoasidosis dan dehidrasi yang merupakan masalah
yang sangat terkait selama bulan Ramadan.
Penggunaan obat ini dianjurkan saat berbuka puasa namun tidak perlu
penyesuaian dosis, dan dianjurkan mengkonsumsi cairan dalam jumlah
yang cukup.
6. Penghambat DPP-4
DPP-4 adalah enzim yang dengan cepat memetabolisme GLP-1.
Pemberian penghambat DPP-4 secara efektif dapat meningkatkan kadar
GLP-1 di dalam sirkulasi, sehingga merangsang insulin, namun tergantung
pada glukosa (glucose dependent).
Golongan obat ini, seperti sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin, alogliptin
dan linagliptin, yang diberikan secara oral sekali atau dua kali sehari,
merupakan salah satu obat antidiabetik dengan toleransi yang baik pada
pasien yang berpuasa dan risiko hipoglikemia yang rendah.
Obat-obatan ini tidak memerlukan perubahan dosis ataupun cara
pemberian selama bulan Ramadan.7. GLP-1 RA
Obat agonis reseptor GLP-1 meniru kerja hormon inkretin, GLP-1
endogen, yaitu meningkatkan sekresi insulin sehingga dapat menurunkan
glukosa dalam darah, yang bergantung pada glukosa (glucose dependent).
Agonis reseptor GLP-1 juga mengurangi sekresi glukagon, meningkatkan
penyerapan glukosa dan penyimpanan glikogen di otot, mengurangi
produksi glukosa oleh hati, mengurangi nafsu makan dan memperlambat
pengosongan lambung.
Risiko hipoglikemianya rendah ketika digunakan sebagai monoterapi.
Penelitian terakhir juga menunjukkan bahwa kombinasi GLP-1 RA dengan
metformin efektif dalam mengurangi berat badan dan kadar HbA1c.
Sebelum Ramadan pasien sebaiknya sudah melakukan pengaturan dosis
GLP-1 sesuai dengan target HbA1c dan kadar glukosa darah yang ingin
dicapai, sehingga 6 minggu sebelum Ramadhan pasien sudah
menggunakan dosis yang tepat.
8. Insulin
Penggunaan insulin selama puasa dapat mengakibatkan hipoglikemia.
Insulin analog lebih direkomendasikan daripada human insulin, karena
risiko kejadian hipoglikemia lebih rendah.
Hasil penelitian observasional membuktikan bahwa penggunaan insulin
basal aman digunakan selama bulan Ramadan dan tidak ada peningkatan
signifikan kejadian hipoglikemia.
Pemberian insulin kerja menengah atau kerja panjang sekali sehari
diberikan saat berbuka puasa dengan dosis yang diturunkan sebanyak 15
ʹ 30% dari dosis sebelumnya. Bila diberikan dua kali sehari maka dosis pagi
hari diberikan saat berbuka puasa, dan dosis sore hari diturunkan sebesar
50% dan diberikan saat sahur.
Insulin kerja cepat atau kerja pendek dapat digunakan untuk lebih
mengontrol glukosa darah postprandial.
Uji coba acak label terbuka menunjukkan bahwa peningkatan kadar
glukosa darah postprandial setelah berbuka puasa dan tingkat
hipoglikemia, lebih rendah pada pemberian insulin kerja cepat.
Pasien yang menggunakan insulin kerja cepat atau kerja pendek maka
pada saat berbuka puasa diberikan dosis normal, dosis siang hari tidak
diberikan, dan pada saat sahur dosis diturunkan 25 ʹ 50% dari dosis
sebelumnya.
Insulin premixed yang menggabungkan insulin kerja cepat dan insulin kerja menengah, lebih mudah digunakan karena membutuhkan lebih
sedikit suntikan daripada rejimen basal-bolus, tetapi mengakibatkan risiko
hipoglikemia yang lebih tinggi, sehingga pengaturan dosis harus lebih
diperhatikan. Pasien yang menggunakan insulin premixed yang diberikan
sekali sehari tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis dan diberikan saat
berbuka puasa.
Pasien yang menggunakan insulin premixed dua kali sehari, maka dosis
insulin saat berbuka puasa tetap dan dosis saat sahur diturunkan 25 ʹ 50%
dari dosis sebelumnya.
Pemberian insulin premixed 3 kali sehari perlu dilakukan perubahan yaitu
menghilangkan dosis siang hari, dan menurunkan dosis yang diberikan
saat sahur dan berbuka puasa.
Titrasi dosis sebaiknya dilakukan setiap 3 hari berdasarkan kadar glukosa
darah pasien.
IV. 10 Diabetes dengan Pengelolaan Perioperatif
Diabetes menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas dan masa rawat pada
pasien operasi. Tingkat kematian perioperatif pada pasien diabetes 50% lebih tinggi
dibandingkan pada pasien tanpa diabetes. Penyebab dari kondisi ini adalah :
Risiko hipo/hiperglikemia
Faktor-faktor komorbid, di antaranya komplikasi makro dan mikrovaskular.
Pemberian obat-obatan yang kompleks, termasuk insulin.
Kesalahan dalam proses peralihan terapi insulin intravena ke subkutan.
Risiko infeksi perioperatif.
Perhatian yang kurang dalam pemantauan pasien diabetes.
Kelalaian dalam mengidentifikasi pasien diabetes.
Tidak adanya pedoman institusi terhadap manajemen diabetes.
Kurangnya pengetahuan manajemen diabetes pada staf tenaga kesehatan.
IV.11 Diabetes yang menggunakan steroid
Glukokortikoid sering memberikan efek samping metabolik karena
pengaruhnya dalam beberapa proses homeostasis glukosa, sensitivitas
insulin, metabolisme lemak dan adipogenesis.
Glukokortikoid dapat memicu diabetes dengan mengurangi sensitivitas
insulin, yaitu dengan menurunkan ikatan insulin pada reseptornya, mengubah interaksi protein pada insulin cascade, meningkatkan lipolisis,
meningkatkan hepatic glucose uptake, dan mengganggu ekspresi GLUT-2 dan
GLUT-4, serta pendistribusian insulin subselular.
Manajemen pasien DM yang diobati dengan glukokortikoid umumnya sama
dengan pengobatan dengan DM pada umumnya, tetapi perlu dipikirkan
kemungkinan terjadinya perubahan kadar glukosa darah yang dipengaruhi
oleh pemberian kortikosteroid.
Insulin direkomendasikan sebagai obat pilihan utama untuk pengobatan
glucocorticoid-induced hyperglycemia (terlebih pada fase akut). Pemberian
insulin dapat dilakukan dengan metode insulin basal ditambah insulin
prandial subkutan yaitu regimen basal bolus atau basal plus koreksi.
IV.12 Diabetes dengan Retinopati Diabetik
Retinopati diabetes adalah komplikasi mikrovaskular yang paling umum dan
paling berpotensi sebagai penyebab kebutaan.
Komplikasi mata pada pasien diabetes lebih sering terjadi, seperti kelainan
kornea, glaukoma, neovaskularisasi iris dan katarak.
Gejala retinopati diabetes antara lain floaters, pandangan kabur, distorsi, dan
kehilangan ketajaman visual progresif (progressive visual acuity loss).
Tanda-tanda retinopati diabetes antara lain pembentukan mikroaneurisma,
perdarahan berbentuk api (flame shaped hemorrhages), edema retina dan
eksudat, cotton-wool spot, venous loops dan venous beading, kelainan
mikrovaskular intraretina dan makular edema.
Metode pemeriksaan pada retinopati diabetes menggunakan pencitraan,
antara lain angiografi fluoresen, optical coherence tomography scanning dan
ultrasonografi B-scan.
Pasien DM tipe memerlukan pemeriksaan mata komprehensif oleh spesialis
mata segera setelah diagnosis ditegakkan.
Pemeriksaan mata rutin dilakukan setiap 2 tahun pada pasien tanpa temuan
retinopati pada skrining awal, dan setiap 1 tahun pada pasien dengan temuan
retinopati diabetik. Pemeriksaan dapat lebih sering pada retinopati stadium
lanjut. (B)
Wanita dengan diabetes yang merencanakan kehamilan perlu mendapatkan
pemeriksaan dan konseling mata komprehensif untuk mengetahui risiko
progresi retinopati. (B)
Pasien dengan temuan retinopati diabetik dalam stadium apapun perlu dikonsultasikan ke spesialis mata. (A)
Kontrol glukosa darah dan tekanan darah secara intensif dapat mencegah
kemunculan ataupun peningkatan keparahan retinopati diabetik.
Retinopati diabetes dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu:
1. Retinopati diabetes nonproliferatif
x Ringan: diindikasikan dengan setidaknya terdapat 1 mikroaneurisma
x Sedang: adanya perdarahan, mikroaneurisma, dan eksudat
x Berat: dikarakterkan dengan perdarahan dan mikroaneurisma pada 4
kuadran, dengan venous beading setidaknya pada 2 kuadran serta
kelainan mikrovaskular intraretinal setidaknya pada 1 kuadran (4-2-1).
2. Retinopati diabetes proliferatif
Terdapat gambaran neovaskularisasi, perdarahan preretina, perdarahan
dalam vitreous, proliferasi jaringan fibrovaskular, traction retinal
detachments, dan makular edema.
IV.13 Diabetes dengan Penyakit Kritis
Glukosa darah yang direkomendasikan untuk pasien DM dengan penyakit kritis harus
dikontrol pada kisaran 140 ʹ 180 mg/dL dan tidak boleh melebihi 180 mg/dL (A).
Target yang lebih ketat seperti 110 ʹ 140 mg/dL, mungkin dapat diterapkan pada
pasien-pasien tertentu, namun harus diperhatikan risiko terjadinya hipoglikemia (C).
Pada hampir seluruh kondisi klinis di rawat inap, terapi insulin merupakan pilihan
utama dalam kontrol glikemik. Pada pasien ICU, pemberian insulin secara drip
intravena umumnya lebih dipilih. Di luar ICU, terapi insulin subkutan lebih
direkomendasikan. Perlu diperhatikan risiko hiperglikemia pada perubahan terapi
insulin drip intravena menjadi subkutan.
Pemberian insulin secara sliding scale sangat tidak disarankan. Pemberian insulin
subkutan dengan memperhatikan pola sekresi insulin endogen yang fisiologis berupa
insulin basal, prandial, lebih direkomendasikan, yang bila diperlukan dapat
ditambahkan dosis insulin koreksi.
1. Krisis Hiperglikemia
Sudah dibahas pada bab komplikasi.
2. Sindrom Koroner Akut (SKA)Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kegawatan medis yang diakibatkan
penurunan perfusi jaringan jantung akibat penyempitan hingga penyumbatan
arteri koroner. Pasien dengan SKA memberikan gambaran klinis nyeri dada
sebelah kiri yang menjalar ke area sekitar. Klasifikasi SKA ditentukan berdasarkan
gambaran EKG dan pemeriksaan laboratorium, yaitu SKA dengan elevasi segmen
ST (ST-elevation myocardial infarction / STEMI) dan SKA tanpa peningkatan
segmen ST (Non-ST segment elevation myocardial infraction/NSTEMI atau angina
pektoris tidak stabil/APS).
Konsensus penatalaksanaan SKA dengan elevasi segmen ST oleh European Society of
Cardiology pada tahun 2012 menjelaskan bahwa target glukosa darah pasien harus
di bawah 200 mg/dL karena hipoglikemia merupakan faktor penting yang dapat
meningkatkan mortalitas. Penelitian metaanalisis lainnya pada tahun 2012
menyimpulkan bahwa kontrol glukosa yang ketat dengan terapi insulin intensif tidak
menurunkan mortalitas pasien, bahkan meningkatkan insiden hipoglikemia.
Faktor-faktor pada pasien DM dapat meningkatkan risiko SKA, di antaranya
terjadinya akselerasi aterosklerosis, prothrombic state dan disfungsi autonomik.
Pasien DM yang mengalami sindrom koroner akut ber