Tampilkan postingan dengan label Tumor Muskuloskeletal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tumor Muskuloskeletal. Tampilkan semua postingan

Tumor Muskuloskeletal

 




















Tumor 

Muskuloskeletal



Insiden tumor muskuloskeletal rendah, sedang   terapinya bisa 

sangat berat bagi pasien dan keluarganya, seperti tindakan amputasi 

tungkai. Dengan penanganan yang sempurna sekalipun, umur 

harapan hidup beberapa penderitanya tidak mencapai angka yang 

tinggi. Oleh sebab itu, di bidang tumor muskuloskeletal, mutlak 

dibutuhkan standar pelayanan yang tinggi mulai dari skrining, 

diagnosis, penatalaksanaan dan evaluasi pasca terapi. Salah satu 

standar pelayanan yang tinggi di bidang diagnosis yaitu   prinsip 

multidisiplin dalam penegakkan diagnosis. Paling tidak dokter￾dokter spesialis orthopedi, patologi dan radiologi bersama-sama 

membahas informasi dari masing-masing bidang untuk disatukan 

menjadi diagnosis yang tepat. Selanjutnya, untuk menentukan 

penanganan pasca diagnosis, dibutuhkan kerjasama dari dokter￾dokter spesialis orthopedi, onkologi medis, dan dokter spesialis 

onkologi radiasi.

Evaluasi awal dan diagnosis yang akurat sangat menentukan 

dalam penanganan dan hasil terapi tumor muskuloskeletal. Sebagian besar pasien dengan muskuloskeletal tumor datang dengan keluhan 

satu atau lebih dari 5 tanda atau gejala yaitu  :

1. Massa jaringan lunak

2. Massa tulang yang tidak nyeri 

3. Tumor tulang yang ditemukan secara tidak sengaja (biasanya 

kebetulan ditemukan pada pemeriksaan foto sinar-X untuk 

penyakit lain)

4. Lesi tulang yang nyeri

5. Fraktur patologi oleh karena trauma yang tidak adekuat

Sebagai pedoman umum bila didapatkan massa jaringan lunak 

atau massa tulang, maka tiga pertanyaan di bawah ini harus dijawab 

1,2 :

1. Apakah kondisi yang abnormal berhubungan dengan tumor, 

atau penyakit non-tumor (infeksi, infl amasi atau metabolik)?

2. Bila kelainan berupa tumor, apakah jinak atau ganas?

3. Bila tumor ganas, apakah high grade atau low grade?

Pada beberapa kasus, gejala yang timbul mudah didiagnosis 

sebagai tumor. Pada kasus lainnya, tumor mungkin ditemukan 

secara kebetulan atau pasien mungkin juga mengeluh nyeri atau 

fraktur patologi akibat lesi yang timbul. Dokter harus melakukan 

eksplorasi riwayat penyakit, melakukan pemeriksaan fi sik dan 

meminta pemeriksaan tambahan yang sesuai dengan diagnosis kerja 

yang dibuat.

Dalam pemeriksaan, baik pemeriksaan fi sik dan pemeriksaan 

penunjang harus dilakukan secara sistematis. Eksplorasi riwayat 

penyakit harus dengan cermat dilakukan, meliputi: umur, lamanya 

keluhan, adanya rasa nyeri, riwayat penyakit lain, dan informasi lain yang berkaitan dengan kondisi penyakit pasien. Pemeriksaan fi sik 

meliputi inspeksi, palpasi, ruang gerak ekstremitas, harus dilakukan 

dengan cermat dan seksama. 

Pemeriksaan penunjang merupakan serangkaian pemeriksaan 

yang dapat membantu menegakkan diagnosis tumor muskuloskeletal. 

Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan laboratorium rutin maupun 

yang berkaitan dengan tumor tertentu, dilanjutkan dengan 

pencitraan radiologi. Pencitraan radiologi dapat dimulai dengan 

pencitraan sederhana yang harus dikerjakan yaitu foto sinar-X, 

dan kemudian apabila dibutuhkan pencitraan yang lebih canggih 

untuk menilai lesi lebih detail dapat dilakukan CT Scan, MRI, 

USG, Angiografi , Bone Scan dan PET Scan. Dalam melakukan 

pencitraan harus diingat bahwa tidak selalu pencitraan canggih bisa 

memberikan hasil lebih baik dari pencitraan sederhana, oleh karena 

itu foto konvensional tetap menjadi andalan diagnosis.

Pemeriksaan patologi merupakan bagian penting dalam 

menegakkan diagnosis tumor muskuloskeletal. Kecuali FNAB (fi ne 

needle aspiration biopsy) tindakan pengambilan spesimen jaringan 

tumor untuk dianalisis merupakan tindakan invasif. Oleh sebab 

itu pengambilan spesimen jaringan tumor harus dilakukan setelah 

semua pemeriksaan non-invasif selesai dilakukan. Hal ini dilakukan 

untuk menghindari kesalahan interpretasi radiologi. Hasil spesimen 

pada FNAB yaitu   sel, sedang   pada core biopsy dan biopsi terbuka 

hasil spesimennya yaitu   jaringan untuk pemeriksaan histopatologi. 

B. Evaluasi Tumor Jaringan Lunak

Massa jaringan lunak merupakan manifestasi yang paling sering 

dijumpai pada tumor muskuloskeletal. Diagnosis yang akurat dan 

terapi yang adekuat sangat penting untuk menghindari potensi kehilangan fungsi anggota gerak dan memberi hasil yang maksimal 

untuk menyembuhkan tumor jaringan lunak. 

1. Riwayat penyakit:

Data yang penting didapatkan dalam eksplorasi riwayat penyakit 

yaitu    :

• Umur pasien. Pada bayi dan anak bisa terlihat lesi jinak 

dimana terlihat pertumbuhan lokal, kecacatan, pertumbuhan 

berlebihan pada ekstremitas atau penurunan fungsi (lipoma, 

hemangioma, neurofi broma, hamartoma). Sarkoma jaringan 

lunak pada anak sangat jarang dan bila ada, sangat mungkin 

yaitu   rabdomiosarkoma. Pada dewasa rabdomiosarkoma 

sangat jarang pada ekstremitas. Sarkoma jaringan lunak lebih 

sering terjadi pada dewasa mulai dekade ke-4.

• Lamanya lesi. Pola pertumbuhan sangat penting. Massa yang 

telah ada selama beberapa tahun dan tumbuh lambat umumnya 

jinak. Pertumbuhan yang cepat menunjukan massa kemungkian 

ganas atau infeksi. Kecepatan tumbuh tumor merupakan hal 

penting yang harus dievaluasi.

• Nyeri. Penekanan jaringan sekitar oleh tumor jaringan 

lunak sering menimbulkan nyeri, tetapi tumor sendiri jarang 

menimbulkan nyeri bagi pasien. Perkecualian pada peripheral 

nerve sheath tumors dan sarkoma jaringan lunak tumbuh cepat 

yang bisa menimbulkan penekanan pada struktur sekitarnya 

dan terjadi kompresi intrakompartemen. Infeksi juga bisa 

menimbulkan nyeri.

• Riwayat trauma. Trauma kronik yang berulang pada jaringan 

lunak bisa menimbulkan fi brosis reaktif, atau miosistis osifi kan. 

Bila massa menetap setelah trauma, pemeriksaan lengkap harus dilakukan untuk menentukan apakah massa berhubungan 

dengan trauma (hematoma atau seroma yang persisten) atau 

tumor jaringan lunak. Ditanyakan juga tentang trauma tembus, 

infeksi yang bisa menimbulkan reaksi terhadap benda asing 

yang masuk ke dalamtubuh, dan menimbulkan massa kalsifi kasi 

pada jaringan lunak.

• Riwayat keluarga dengan massa jaringan lunak. Hal ini 

terutama diamati pada neurofi bromatosis. Pada beberapa kasus 

sindroma kanker keluarga (seperti Li-Fraumeni syndrome yang 

dikaitkan dengan mutasi p53 allele), angota keluarga mempunyai 

resiko tinggi menderita sarkoma jaringan lunak atau bentuk lain 

kanker.

2. Pemeriksaan fi sik

Pemeriksaan fi sik pada tumor jaringan lunak meliputi  :

 Inspeksi. Massa jaringan lunak jarang terlihat sebagai benjolan 

kecuali bila timbul pada daerah dimana massa ototnya tidak besar 

atau tumor superfi sial. Bila tumor di daerah yang massa ototnya 

besar seperti daerah paha atau pada daerah yang berrongga 

seperti pelvis maka tumor baru terlihat bila ukurannya sudah 

besar. Kulit di atas tumor lebih sering terlihat normal.

 Palpasi. Beberapa hal yang perlu dievaluasi yaitu  : 

• Letak tumor. Apakah superfi sial atau profunda (di bawah 

fasia / pembungkus otot) sangat penting ditentukan 

dalam pemeriksan fi sik. Lesi yang terletak superfi sial 

kemungkinan besar jinak sedang   lesi yang terletak di 

bawah fasia (profunda) sangat mungkin ganas. Massa yang 

terletak di bawah fasia bergerak bersamaan dengan gerakan 

otot. • Ukuran. Ukuran tumor bisa memberikan data tentang 

kemungkinan tumor jinak atau ganas. Tumor dengan ukuran 

kurang dari 5 cm dan terletak superfi sial kemungkinan 

besar merupakan tumor jinak, sebaliknya setiap tumor yang 

letaknya di bawah fasia harus dicurigai sebagai tumor ganas 

apalagi dengan diameter lebih dari 5 cm. 

• Konsistensi tumor. Konsistensi tumor bisa bervariasi 

dari kistik, lunak, dan padat. Konsistensi tumor kistik 

dan lunak lebih banyak dikaitkan dengan tumor jinak 

sedang   konsistensi padat sering dikaitkan dengan 

tumor ganas. 

• Batas tumor. Umumnya tumor superfi sial dengan 

pemeriksaan palpasi bisa ditentukan batas atau tepi tumor. 

Tumor jinak biasanya berbatas tegas karena memiliki 

kapsul sedang   tumor ganas atau infeksi batasnya sulit 

ditentukan. sedang   pada tumor profunda, karena 

letaknya yang dalam, sulit untuk ditentukan batasnya.

• Nyeri. Umumnya tumor jaringan lunak tidak nyeri atau 

nyeri minimal bila dilakukan manipulasi. Nyeri lebih sering 

terjadi akibat tumor menekan organ lain seperti syaraf. 

• Perlekatan. Merupakan informasi yang penting untuk 

mengetahui infi ltrasi lokal tumor ke jaringan sekitarnya. 

Tumor yang melekat ke jaringan di bawahnya sebaiknya 

dicurigai sebagai tumor ganas.

• Suhu kulit. Suhu kulit di atas tumor jaringan lunak 

umumnya sama dengan suhu kulit dibagian tubuh lainnya. 

Bila pada perabaan suhu lebih hangat dari jaringan sekitarnya 

patut dicurigai sebagai tumor jaringan lunak yang ganas 

dengan infeksi sebagai diagnosis diff erensial.

• Permukaan tumor. Umumnya tumor jaringan lunak 

permukaan rata, tidak berdungkul-dungkul. 

3. Pemeriksaan tambahan 

Pemeriksaan tambahan yang diperlukan dalam menegakkan 

diagnosis tumor jaringan lunak yaitu  :

 Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah umumnya 

tidak memberikan hasil yang spesifi k. Pemeriksaan darah rutin 

biasanya diperlukan untuk persiapan bila pasien akan dilakukan 

operasi baik untuk biopsi maupun eksisi tumor.

 Pencitraan radiologi. 

• Foto Sinar-X. Pemeriksaan ini dapat memberi informasi 

tentang asal tumor apakah berasal dari jaringan lunak 

atau tulang dan juga informasi kerusakan tulang akibat 

penekanan tumor jaringan lunak.

• Ultrasonografi. Digunakan sebagai pemeriksaan penyaring 

pada tumor jaringan lunak, digunakan untuk membedakan 

apakah tumor jinak atau ganas, terutama pada tumor yang 

kecil dan superfi sial.

• MRI. Merupakan pencitraan utama pada tumor jaringan 

lunak karena dapat memberikan informasi yang akurat 

tentang anatomi dan kontras masing-masing komponen 

jaringan lunak. MRI bisa menilai batas lesi dan keterlibatan 

neurovascular serta jaringan sekitarnya. 

• PET scan. Merupakan pemeriksaan yang relatif baru saat 

ini menggunakan bahan radiofarmaka 18[F]-2-fl uoro-

2-deoxy-D-glucose (18F-FDG). FDG bila diinjeksikan 

ke dalam tubuh akan terperangkap di dalam sel tumor,


sehingga pemeriksaan ini sangat berguna untuk deteksi dini 

keberadaan tumor jaringan lunak.

 Pemeriksaan sitologi dan histopatologi. Tumor jaringan 

lunak oleh WHO dibagi dalam 11 tipe dengan lebih dari 50 

subtipe. Insiden tumor ini hanya 1% bila dibandingkan dengan 

keseluruhan tumor ganas pada manusia. Sehingga dibutuhkan 

kecermatan dalam pemeriksaan spesimennya. Pemeriksaan 

sitologi pada tumor jaringan lunak umumnya kurang 

menghasilkan diagnosis yang akurat. Dianjurkan spesimen yang 

digunakan yaitu   spesimen yang berasal dari hasil core biopsy

dan biopsi terbuka yang dilakukan oleh spesialis yang terlatih. 

Hasil dari prosedur biopsi dianalisis secara histopatologi dan 

juga bisa dilanjutkan untuk pemeriksaan imunohistokimia.


C. Evaluasi Tumor Tulang

Insiden tumor lebih kurang sepersepuluh tumor jaringan lunak. 

Gambaran klinik tumor tulang sangat bervariasi. Pasien bisa 

memiliki lesi tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan, bisa 

juga disertai massa jaringan lunak, pembengkakan sampai fraktur 

patologi.

1. Riwayat penyakit

• Umur. Insiden tumor tulang berhubungan erat dengan umur 

pasien. Setiap dekade memiliki hubungan dengan jenis tumor 

tertentu. Pada dekade pertama, tumor jinak yang bisa ditemukan 

yaitu   simple bone cyst, eusinofi lik granuloma, sedang   tumor 

ganas yang paling sering yaitu   sarkoma Ewing. Pada dekade 

kedua tumor jinak yang bisa didapatkan misalnya yaitu   

osteokondroma, osteoid osteoma, sedang   tumor ganas yang 

paling sering terjadi yaitu   osteosarkoma. Dengan mengetahui 

umur dari pasien, bisa diketahui kemungkinan jenis tumor yang 

timbul.

• Lamanya lesi. Tumor jinak tulang bisa timbul dalam dekade ke 

tiga sampai ke empat tanpa keluhan. Bila tumor telah ada lebih 

dari 1 tahun bisa dipastikan bahwa lesi tersebut merupakan 

tumor yang jinak, kecuali pada tumor tertentu yang bisa 

bertransformasi menjadi tumor ganas. Tumor ganas ditandai 

dengan pertumbuhan yang cepat dalam beberapa bulan. Bila 

terdapat benjolan atau tumor yang tumbuh sangat cepat dalam 

1 sampai 3 bulan, maka harus dipikirkan kemungkinan infeksi.

• Nyeri. Lesi tanpa nyeri atau nyeri ringan umumnya merupakan 

karakter dari tumor jinak kecuali jika terjadi fraktur patologis. 

Nyeri pada tumor jinak biasanya timbul perlahan dan bisa 

berhubungan denggan aktivitas serta trauma. Pada ostoid 

osteoma nyeri terutama timbul pada malam hari dan memberi 

respon yang baik terhadap pemberian terapi NSAID atau 

aspirin. Berkebalikan dengan tumor jinak, tumor ganas tulang 

sering didahului dengan keluhan nyeri. Nyeri bisa bervariasi 

dalam hal onset, durasi dan beratnya, tetapi secara umum nyeri 

lebih berat pada tumor ganas tulang dibandingkan dengan 

tumor jinak tulang.

• Kondisi umum penderita. Biasanya pada tumor jinak kondisi 

umum penderita tampak baik. Pada tumor ganas kondisi 

penderita lemah dan tampak sakit tergantung dari staging dari 

tumor tersebut.

2. Pemeriksaan fi sik

Inspeksi. Pada inspeksi tumor tulang bisa terlihat sebagai 

benjolan. Umumnya benjolan terdapat pada daerah dekat 

persendian dan sangat jarang di bagian tengah ekstremitas. 

Permukaan kulit pada tumor jinak tulang umumnya sama dengan 

jaringan sekitarnya. Pada tumor ganas tulang permukaan kulit 

bisa tampak mengkilap karena pertumbuhan tumor yang cepat, 

ditambah dengan pelebaran pembuluh darah balik (venektasi), 

dan bisa tampak kemerahan.

Palpasi. Pada pemeriksaan palpasi, beberapa hal yang perlu 

diuraikan yaitu  :

• Letak tumor. Tumor tulang bisa timbul pada daerah epifi sis, 

metafi sis dan diafi sis. Lokasi terbanyak terjadinya tumor 

tulang yaitu   pada darah metafi sis.• Konsistensi tumor. Tumor tulang bisa teraba padat atau 

keras. Perabaan padat bisa ditemukan pada tumor jinak 

tulang dengan ekspansi di dalam tulang, sehingga bila 

diraba terdapat benjolan padat akibat ekspansi tumor di 

dalam tulang yang mendesak otot-otot di atasnya. Pada 

tumor ganas tulang perabaan padat umumnya terjadi akibat 

ekspansi tumor ke jaringan lunak yang teraba. Perabaan 

keras umumnya terdapat pada ostekondroma, dimana 

tumor timbul pada daerah metafi sis dan menonjol pada satu 

sisi tulang sehingga dapat dengan mudah diraba.

• Ukuran tumor. Tumor dengan ekspansi di dalam tulang 

dan tumor yang telah ekspansi ke dalam jaringan lunak 

sekitarnya, dinilai dengan cara mengukur diameter 

ekstremitas yang terkena. sedang   tumor yang menonjol 

pada bagian tertentu dari tulang yang dinilai hanya bagian 

yang menonjol. Tumor jinak umumnya tumbuh lambat 

dalam waktu tahunan sehingga ukurannya relatif tetap.

• Permukaan. Permukaan tumor tulang pada perabaan 

umumnya rata kecuali pada osteokondroma bisa berdungkul￾dungkul.

• Batas tumor. Batas tumor dinilai pada daerah transisi antara 

tumor dengan jaringan yang sehat. Pada tumor jinak yang 

menimbulkan ekspansi pada tulang, batasnya sulit dinilai, 

begitu juga pada tumor ganas tulang yang pada umumnya 

telah ekspansi ke jaringan lunak. Tumor jinak yang menonjol 

keluar dari salah satu bagian tulang seperti osteokondroma 

batasnya bisa ditentukan. 

• Nyeri. Tumor jinak tulang umumnya tidak nyeri bila 

diraba, nyeri bisa terjadi akibat: tumor mendesak jaringan sekitarnya, tumor tersebut bertransformasi menjadi tumor 

ganas tulang, atau bila terjadi kerusakan tulang sehingga 

kekuatan tulang bisa menurun dan berakhir dengan fraktur 

patologis. Pada tumor ganas tulang, biasanya tumor terasa 

nyeri bila ditekan dengan derajat nyeri ringan sampai berat. 

Nyeri juga bisa terjadi spontan akibat kerusakan tulang.

• Suhu. Perabaan pada kulit di atas tumor jinak tulang tidak 

berbeda dengan kulit di bagian tubuh lain. Pada tumor ganas 

tulang perabaaan kulit di atas tumor terasa hangat akibat dari 

meningkatnya vaskularisasi tumor disertai dengan pelebaran 

pembuluh darah di daerah kulit.

• Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium memberikan 

data yang penting dan bisa menggambarkan kondisi umum 

penderita. Pasien dengan lesi tumor jinak pada umumnya 

hasil pemeriksaan laboratorium memberikan hasil yang 

normal. Pemeriksaan laboratorium pada tumor ganas 

tulang bervariasi sesuai dengan staging dari tumor. Anemia 

merupakan hasil yang sering ditemukan pada tumor ganas. 

Pada osteosarkoma akan didapatkan peningkatan alkali 

fosfatase dan laktat dehidrogenase yang tinggi. Serum alkali 

fosfatase yang tinggi menggambarkan peningkatan aktivitas 

osteoblas, sedang   laktat dehidrogenase menunjukan 

derajat kerusakan jaringan yang terjadi akibat dari tumor. 

Pemeriksaan untuk menilai fungsi hepar dan ginjal 

diperlukan untuk mengetahui kemungkinan metastasis 

pada kedua organ tersebut. Pada multipel mieloma bisa 

dilakukan pemeriksaan serum elekroforesis dan protein 

bence jones. Dalam mencari sumber tumor primer pada 

metastasis bisa dilakukan pemeriksaan tumor marker

seperti CEA dan PSA.

• Pencitraan radiologi:

 Foto sinar-X. Merupakan pemeriksaan penunjang utama 

pada tumor tulang. Foto sinar-X bisa membedakan 

apakah tumor berasal dari tulang ataupun jaringan lunak. 

Evaluasi foto sinar-X pertama yaitu   lokasi tumor. Tumor 

tulang memiliki predileksi dengan lokasi tertentu pada 

tulang misalnya: GCT (Giant Cell Tumor) predileksinya 

pada daerah epifi sis, fi brous displasia predileksinya pada 

diafi sis, ABC (aneurysmal bone cyst) predileksinya pada 

metafi sis. Tumor ganas tulang osteosarkoma predileksinya 

pada metafi sis, sedang   sarkoma Ewing pada diafi sis. 

Ke dua, tipe kerusakan tulang. Tipe kerusakan tulang 

terdiri dari geographic, mouth-eaten dan permeative. Tipe 

kerusakan tulang mencerminkan kecepatan tumbuh 

dan agresivitas tumor, pada tulang yang tumbuh 

lambat, maka tulang masih mempunyai kesempatan 

melakukan reparasi sehingga tampak batas tumor 

dengan tulang induknya yang tegas dan disertai ekspansi 

tulang (membesar, balloning), semakin cepat dan agresif 

pertumbuhan tumor mengakibatkan kegagalan tulang 

untuk melakukan reparasi dan pada foto sinar-X akan 

tampak destruksi tipe mouth-eaten sampai permiative. Ke 

tiga batas tumor. Batas tumor sangat erat hubungannnya 

dengan tipe destruksi, pada tipe geographic lesi berbatas 

tegas kebalikannya pada tipe permiative maka batas lesi 

menjadi tidak jelas. Ke empat reaksi periosteum. Proses 

ini mencerminkan reaksi tulang terhadap kerusakan yang 

terjadi. Tipe reaksi periosteum dapat memprediksi tipe 

kerusakan atau kelainan tulang termasuk tumor tertentu. 

Ke lima matriks tulang. Matriks tulang yang timbul bisa mencerminkan jenis tumor tertentu. Pada tumor 

pembentuk tulang (bone forming tumor) akan terlihat 

gambaran osteblastik atau matriks osteoid, pada tumor 

pembentuk kartilago (cartilage forming tumor) terlihat 

gambaran matriks chondroid. Pada tumor ganas yang 

agresif bisa terjadi osteolitik atau campuran osteoblastik 

dan osteolitik. Ke enam ekspansi tumor. Ekspansi di 

dalam tulang yang menimbulkan pembesaran diameter 

tulang (ballooning) mencerminkan pertumbuhan 

tumor yang lambat. Ekspansi ke jaringan lunak tampak 

pada foto sinar-X bila ada reaksi periosteal, walaupun 

dari foto sinar-X korteks tulang masih baik. Ke tujuh 

multiplisiti. Lesi yang melibatkan lebih dari satu tulang 

hanya bisa terjadi pada tumor tertentu. Tumor jinak yang 

bisa memiliki lesi multipel yaitu  : enkondromatosis, 

osteokondromatosis, fi brosdisplasia poliostotik, 

sedang   pada tumor ganas yaitu   multipel myeloma,

serta tumor tulang metastasis. Pemeriksaan foto sinar-X 

paru berguna untuk penyaringan awal metastasis tumor.

 CT scan. Pencitraan ini memberikan gambaran yang 

lebih jelas dan detail pada lesi tulang sehingga berguna 

untuk menentukan staging lokal tumor. Bila pada foto 

sinar-X ditemukan lesi yang samar dan tidak jelas, 

dibutuhkan CT scan untuk memberi gambaran yang 

lebih detail. Terutama untuk menentukan jenis ossifi kasi 

chondroid atau osteoid. Pencitraan ini juga sangat 

membantu bila ada lesi pada tulang kompleks seperti 

pelvis dan vertebra yang biasanya sulit dievalusi dengan 

foto sinar-X. Pemberian kontras intra vena pada CT akan 

lebih memberikan informasi tentang lesi dan jaringan di sekitarnya. CT 3 dimensi yang saat ini telah banyak 

dimiliki oleh fasilitas radiologi sangat membantu dalam 

menilai anatomi lesi dan kerusakan tukang yang terjadi 

serta merupakan informasi awal yang sangat dibutuhkan 

untuk pembedahan. Metode skrining metastasis paru 

yang paling sensitif yaitu   CT scan. 

 MRI. Merupakan standar yang digunakan untuk staging

lokal tumor. Berbeda dengan CT scan, MRI memberikan 

gambaran yang akurat tentang kondisi jaringan lunak 

di sekitar tumor. MRI seharusnya dilakukan pada 

seluruh kompartemen, tidak hanya pada daerah tumor 

saja. Evaluasi yang harus dilakukan pada MRI yaitu   

keterlibatan jaringan lunak di sekitarnya terutama 

struktur penting seperti neurovaskular, infi ltrasi tumor 

pada medulla tulang (pada osteosarkoma sering ditemui 

infi ltrasi tumor jauh di proksimal dari lesi pada tulang), 

dan mendeteksi skip lesion. MRI juga berguna untuk 

menilai respon kemoterapi. 

 Kedokteran nuklir. Pemeriksaan ini meliputi Bone scan

dan PET scan. Bone scan menggunakan bahan radioaktif 

Tc-99m MDP. Di dalam tulang isotop ini akan 

melakukan ikatan dengan matrik tulang yang dihasilkan 

oleh osteoblas, oleh karena itu bila aktivitas osteoblas 

meningkat maka uptake isotop akan meningkat. 

Peningkatan aktivitas osteoblas terjadi dalam rangka 

reparasi tulang sehingga uptake isotop yang meningkat 

bisa terjadi pada penyembuhan fraktur, infl amasi, 

tumor, dan kondisi lain yang menyebabkan peningkatan 

aktivitas osteoblas. Dalam melakukan diagnosis tumor 

tulang hasil bone scan wajib dihubungkan dengan hasil

pemeriksaan lain, tidak boleh hanya melihat hasil 

bone scan saja. PET scan menggunakan radiofarmaka 

18[F]-2fl uoro-2deoxy-D-glucose (18F-FDG), yang analog 

dengan glukosa. Setelah pemberian FDG, zat ini akan 

terperangkap di dalam sel tumor. Berbeda dengan 

bone scan maka PET scan langsung bisa mendeteksi 

keberadaan tumor.

• Pemeriksaan sitologi dan histopatologi. Berbeda dengan 

tumor jaringan lunak, hasil pemeriksaan sitologi yang didapat 

dari FNAB memberikan hasil yang cukup akurat mendekati 

hasil pemeriksaan histopatologi dari core biopsy dan biopsi 

terbuka, terutama bila didiskusikan secara multidisiplin. 

Kontraindikasi FNAB yaitu   bila tidak didapatkan daerah 

yang destruksi pada korteks tulang (bone window) sehingga 

jarum yang digunakan tidak bisa menembus korteks tulang.

Prevalensi sarkoma tulang dan jaringan lunak sangat rendah bila 

dibandingkan dengan karsinoma. Belum ada angka statistik yang 

akurat di Indonesia tentang insiden sarkoma tulang dan jaringan 

lunak. Menurut WHO insiden tumor muskuloskeletal hanya 0,2% 

pada tumor tulang dan lebih kurang 2 % tumor jaringan lunak pada 

populasi. Di samping itu, tumor memiliki variasi tipe dan subtipe 

yang sangat banyak sehingga untuk menegakkan diagnosis tumor 

muskuloskeletal menjadi tantangan bagi para klinisi yang terlibat 

dalam penanganan tumor muskuloskeletal. 

Insiden tumor muskuloskeletal yang rendah ini mengakibatkan 

tidak semua atau jarang sekali dokter orthopaedi, radiologi, patologi 

anatomi, dan dokter lain menemui kasus tumor muskuloskeletal dalam prakteknya sehari-hari. Kondisi ini mengakibatkan pengalaman 

klinis dokter dalam mendiagnosis tumor muskuloskeletal menjadi 

tidak adekuat dan bila dipaksakan bisa menimbulkan kesalahan 

dalam mendiagnosis sehingga mengakibatkan penatalaksanaan 

tumor menjadi tidak adekuat. 

Dalam melakukan tatalaksana diagnosis dan terapi, sejak 

awal sudah harus dilakukan dengan cermat dan teliti sehingga 

bisa menghasilkan terapi yang optimal. Sebaiknya terapi tumor 

muskuloskeletal dilakukan di institusi kesehatan yang memiliki 

pusat pelayanan tumor. Dokter umum, orthopedi, dan dokter 

lain bisa melakukan penyaringan awal tumor muskuloskeletal 

pada saat pasien datang pertama kali, dan kemudian meminta 

pencitraan radiologi sederhana sesuai dengan sarana yang ada. 

Pencitraan canggih sebaiknya dilakukan di pusat pelayanan tumor 

muskuloskeletal. Sebaiknya pasien dikirim ke pusat pelayanan 

tumor sebelum dilakukan biopsi. 

Pendekatan multidisiplin dalam diagnosis dan terapi tumor 

muskuloskeletal dapat didefi nisikan sebagai pendekatan tim 

yang terintegrasi dimana dokter dari beberapa disiplin ilmu 

merencanakan bersama tahapan diagnosis dan terapi terhadap 

pasien tumor muskuloskeletal sesuai dengan kondisi individu 

pasien.

16 Tatalaksana pasien tumor cukup kompleks dan melibatkan 

beberapa dokter dan tenaga kesehatan dari berbagai disiplin 

ilmu. Kondisi ini menyebabkan adanya potensi komunikasi dan 

koordinasi yang kurang adekuat sesama dokter yang merawat. 

Pendekatan multidisiplin merupakan kunci untuk terapi dan 

perawatan pasien tumor yang berkualitas tinggi. Pendekatan 

multidisiplin bertujuan memperbaiki dan meningkatkan 

komunikasi, koordinasi, dan membuat keputusan dengan tepat bagi para dokter dari berbagai bidang ilmu yang terlibat dalam 

tatalaksana tumor muskuloskeletal. Pendekatan multidiplin telah 

direkomendasikan secara internasional dan telah diterapkan 

di berbagai negara maju. Di RSUD Dr. Soetomo pendekatan 

multidisplin untuk penatalaksanaan tumor muskuloskeletal 

telah dimulai pada tahun 1997 dengan melibatkan Depertemen 

Orthopaedi, Patologi Anatomi, Radiologi dan Penyakit Dalam dan 

diberi nama Tim Medik Muskuloskeletal Patologi dan sekarang 

berubaha nama menjadi Tim Medik Muskuloskeletal Tumor. 

Penelitian tentang pendekatan multidisiplin pada tatalaksana 

tumor menunjukan perbaikan dalam diagnosis dan terapi kasus 

tumor baru, lebih sesuai dengan pedoman evidence-based dan yang 

paling penting yaitu   tingkat kepuasan pasien yang tinggi.2,17-19

Pendekatan multidisiplin bisa menggunakan berbagai model. 

Pendekatan multidisiplin di pusat tumor muskuloskeletal dilakukan 

oleh berbagai bidang ilmu terkait, dengan mengadakan pertemuan 

regular. Di RSUD Dr. Soetomo Tim Medik Muskuloskeletal Tumor 

(MST) mengadakan pertemuan regular seminggu sekali dengan 

melibatkan dokter Orthopaedi, Radiologi, Patologi Anatomi, Radio 

Onkologi, Onkologi Medik dewasa dan anak serta dokter lain 

yang terkait. Tim ini juga menerima rujukan atau konsultasi dari 

rumah sakit lain, baik dari sekitar Surabaya maupun dari provinsi 

lain. Model lain yang bisa dan telah dilakukan di beberapa negara 

yaitu   mengadakan pertemuan regular antara para dokter terkait 

dari berbagai RS dalam satu kota besar dengan melibatkan dokter 

dari kota kecil di sekitarnya.

Dalam melakukan pertemuan multidisplin agar tim bisa bekerja 

dengan baik dan menghasilkan keputusan yang terbaik untuk pasien 

dibutuhkan beberapa persyaratan sebagai berikut

1. Kepemimpinan. Kepemimpinan yang baik merupakan bagian 

integral dalam menjalankan pendekatan multidisiplin. Ketua 

tim harus memastikan bahwa semua pendapat dari anggota tim 

didengar, dihargai, dan diarahkan untuk membuat keputusan. 

Selanjutnya kepemimpinan yang efektif diperlukan untuk 

mendorong agar terjadi diskusi terbuka yang produktif sehingga 

bisa menghindari baik meminggirkan atau meniadakan peran 

salah satu anggota tim dan menghasilkan keputusan yang tidak 

tepat.

2. Dinamis. Anggota tim harus harus menyepakati untuk saling 

menghormati dan percaya, menurunkan ego masing-masing 

dan mendorong diskusi yang konstruktif. Perawat punya 

peranan penting dalam mengkoordinasi perawatan, dan juga 

bisa mewakili pandangan dan opini pasien. Aspek psikologi juga 

penting dan sering terlupakan dalam memberikan informasi 

kepada pasien. 

3. Admisnistrasi. Bantuan administrasi merupakan komponen 

kunci dalam menjalankan pendekatan multidisiplin. 

Dokumentasi dan data base merupakan komponen penting 

pada pertemuan multidisiplin. 

4. Keterlibatan pasien. Terdapat perbedaan pendapat tentang 

keterlibatan pasien. Pasien harus diinformasikan bahwa kasusnya 

akan didiskusikan dalam pertemuan multidisiplin Th e Cancer 

Care Ontario Guideline menyatakan pasien sebaiknya tidak 

hadir dalam pertemuan multidisiplin untuk menghindar bias 

dalam mengambil keputusan.

5. Tim medik secara bersama dapat dilibatkan dalam memberikan 

keterangan rinci tentang upaya medis yang sudah dan akan 

dilaksanakan kepada pasien dan keluarganya.


Terapi pada tumor muskuloskeletal bervariasi, terdiri dari: mulai 

dari observasi, kemoterapi, pembedahan, dan radioterapi. 

Terapi pada tumor jinak tulang baik tumor jaringan lunak 

maupun tulang ditentukan oleh ukuran tumor, sifat biologis tumor, 

kerusakan pada tulang yang terjadi, gangguan pada struktur di


sekitarnya dan keluhan nyeri yang diderita pasien. Umumnya 

tumor jinak yang ukurannya kurang dari 3 cm dan tidak aktif 

cukup dilakukan observasi saja, begitu juga pada tumor tulang yang 

tidak aktif (Enneking stage1) yang kadangkala ditemukan secara 

kebetulan pada pencitraan foto sinar-X untuk kegunaan lain seperti 

osteochondroma, bone cyst, fi brous dysplasia. Pada tumor jinak yang 

aktif, tumbuh membesar, menimbulkan kerusakan tulang sehingga 

berpotensi menimbulkan fraktur patologis, menekan jaringan 

sekitarnya sehingga menimbulkan gangguan sesuai dengan jaringan 

yang terganggu serta menimbulkan nyeri yang mengganggu 

pada penderita, maka dianjurkan untuk diambil melalui proses 

pembedahan. 

Pembedahan sampai saat ini masih merupakan pilihan utama 

untuk tumor ganas sistem muskuloskeletal, tetapi harus diingat 

bahwa setiap tumor ganas dari manapun sumbernya memiliki 

kemampuan untuk metastasis ke organ lain. Kemampuan tumor 

ganas untuk metastasis tidak bisa diatasi dengan pembedahan, 

sehingga dibutuhkan terapi yang bersifat sistemik seperti kemoterapi 

sebagai terapi tambahan (adjuvant), walaupun begitu tidak 

semua tumor ganas muskuloskeletal sensitif terhadap kemoterapi. 

Radioterapi bisa menjadi pilihan lain untuk terapi tambahan dan 

juga sebagai terapi utama untuk tumor ganas muskuloskeletal yang 

tidak dapat dioperasi (non-operable).

Dengan terapi tambahan (neo-adjuvant dan adjuvant), 

pencitraan radiologi yang bisa menampilkan gambaran lebih detail 

tentang anatomi tumor dan teknik pembedahan yang baik beserta 

pilihan untuk rekonstruksi baik menggunakan implan maupun 

rekonstruksi biologi menggunakan tulang (baik allograft maupun 

memproses kembali jaringan tulang yang terkena tumor) prognosis

(pasien yang bisa bertahan hidup sampai 5 tahun) pasien dengan 

tumor ganas tulang meningkat drastis dari 30-40% menjadi 60-

80%. 

 Urutan terapi tumor ganas tulang yaitu   sebagai berikut 2 :

1. Kontrol sistemik dengan kemoterapi neo-adjuvant disebut juga 

induksi kemoterapi yang diberikan sebelum pembedahan. 

Tujuan kemoterapi neo-adjuvant yaitu   mencegah atau eliminasi 

mikrometastasis dan menimbulkan nekrosis pada jaringan 

tumor. Bila tumor memberi respon terhadap kemoterapi 

keuntungan lain yang bisa didapat yaitu   tumor bisa mengecil 

dan terjadi batas (pseudocapsule) antara jaringan tumor dengan 

jaringan yang sehat, walaupun keadaan ini tidak selalu terjadi.

2. Kontrol lokal dengan pembedahan untuk mengambil jaringan 

tumor ganas beserta jaringan sehat di sekitarnya (wide excision). 

Radioterapi juga bisa diberikan sebagai terapi adjuvant untuk 

kontrol lokal baik sebelum operasi maupun pasca operasi.

3. Kontrol sistemik dengan adjuvant kemoterapi, diberikan 

setelah operasi dengan tujuan untuk mencegah atau eliminasi 

mikrometastasis. Komposisi obat yang diberikan tergantung dari 

hasil evaluasi kemoterapi neoadjuvant yang dilakukan dengan 

metode HUVOS. Bila hasil evaluasi menunjukan respon baik 

(Huvos grade 3-4) maka kemoterapi diberikan dengan komposisi 

obat yang sama, tetapi bila respon tidak baik (Huvos grade 1-2), 

maka komposisi obat kemoterapi harus diganti.

4. Follow-up



Follow-up (Surveillance)

Follow-up dilakukan setelah terapi tumor jinak dan ganas 

muskuloskeletal untuk sedini mungkin mendeteksi kemungkinan 

adanya kekambuhan lokal dan metastasis, sehingga masih 

dimungkinkan untuk melakukan terapi awal yang efektif. Follow￾up pada tumor high-grade harus meliputi pemeriksaan fi sik pada 

daerah tumor dan menilai fungsi anggota gerak serta menilai setiap 

kemungkinan komplikasi dari rekonstruksi pasca pembedahan. 

Pencitraan lokal pada area tumor dan paru-paru harus dilakukan. 

Belum ada evidence yang menyatakan frekuensi paling optimal 

begitu juga dengan pencitraan terbaik dalam melakukan follow￾up.

24-26

Pada sarkoma high-grade, frekuensi follow-up bisa dilakukan 

setiap 2 sampai 4 bulan pada 3 tahun pertama setelah terapi selesai, 

setiap 6 bulan pada tahun ke-4 dan 5 kemudian setelah itu setiap 

tahun. Tim Medik Muskuloskeletal RSUD Dr. Soetomo-FK UNAIR 

mengatur follow-up pasien setiap 3 bulan pada tahun pertama 

dan kedua, setiap 6 bulan pada tahun ke-3 dan 4 dan selanjutnya 

setahun sekali. Pada sarkoma low-grade, frekuensi kunjungan follow￾up dikurangi menjadi setiap 4 sampai 6 bulan pada 2 tahun pertama 

dan selanjutnya setiap tahun.

Metastasis setelah terapi dan kekambuhan lokal bisa 

terjadi sampai lebih dari 10 tahun setelah diagnosis pada 

semua tumor sehingga tidak ada alasan untuk menghentikan 

surveillance. Pada sarkoma Ewing mungkin terjadi metastasis 

ke tulang, oleh karena itu dibutuhkan bone scan untuk 

mendeteksinya. Pencitraan canggih seperti PET atau whole￾body MRI dibutuhkan untuk evaluasi lebih lanjut. Evaluasi 

toksisitas jangka panjang akibat obat-obatan kemoterapi dan

radioterapi juga penting untuk dilakukan, begitu juga dengan 

komplikasi awal dari kemoterapi. Monitoring komplikasi jangka 

panjang yang dilakukan, tergantung pada protokol kemoterapi 

dan radioterapi. Keganasan sekunder bisa terjadi pada pasien 

sarkoma tulang yang bertahan hidup (survivors). Leukemia 

sekunder terutama akut leukemia myeloid walaupun jarang 

bisa terjadi setelah kemoterapi dan paling awal ditemukan pada 

tahun ke-2 hingga ke-5.24-26

Pada sarkoma jaringan lunak, derajat keganasannya 

mempengaruhi kemungkinan dan kecepatan kekambuhan. 

Penilaian resiko berdasarkan grade, ukuran, dan lokasi tumor 

akan menentukan kebijakan follow-up. Pasien dengan resiko 

tinggi umumnya akan timbul kekambuhan dalam waktu 

2 sampai 3 tahun sedang   pasien dengan resiko rendah 

bisa kambuh dengan waktu yang lebih lama, walaupun kecil 

kemungkinannya. Kekambuhan sering berupa metastasis ke 

paru-paru. Deteksi awal kekambuhan lokal dan metastasis pada 

paru-paru membawa dampak ke arah prognostik. Metastasis 

paru-paru sering asimptomatik saat tahap yang baik untuk 

operasi, sebab follow-up rutin difokuskan pada tempat tersebut. 

Walaupun deteksi kekambuhan lokal dengan MRI dan metastasis 

paru dengan CT scan bisa dideteksi lebih awal, tetapi belum 

terbukti menguntungkan dan cost eff ective bila dibandingkan 

dengan pemeriksaan fi sik pada daerah lesi dan pencitraan foto 

sinar-X regular. Untuk itu dibutuhkan penelitian prospektif. 

Pendekatan praktis yang digunakan oleh beberapa institusi 

sebagai berikut. Terapi pembedahan pada pasien intermediate/

high grade dievaluasi setiap 3 sampai 4 kali pertahun hingga 2 

sampai 3 tahun pertama, kemudian 2 kali setahun pada periode 

berikutnya sampai 5 tahun selanjutnya 1 tahun sekali. Pasien low grade dievaluasi untuk kekambuhan lokal setiap 4 sampai 

6 bulan, dengan foto sinar-X atau CT scan sampai 3 sampai 5 

tahun, dan selanjutnya 1 tahun sekal