Tampilkan postingan dengan label kusta a. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kusta a. Tampilkan semua postingan

Kusta a

 






Penyakit kusta atau morbus hansen merupakan 

penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri 

Mycobacterium leprae.1Penyakit ini menyerang kulit, 

saraf tepi, mukosa saluran pernapasan bagian atas, 

dan mata.2 Penyakit kusta dapat menginfeksi laki￾laki atau perempuan dan di semua kelompok umur. 

Penyakit ini tidak hanya menimbulkan masalah medis 

karena dapat menyebabkan disabilitas bagi pasien, 

tetapi juga menimbulkan masalah sosial, ekonomi, 

budaya, keamanan dan ketahanan nasional.3

Berdasarkan data dari World Health Organization 

(WHO) tahun 2019, Brazil, India, dan negara kita  

menempati urutan teratas dengan masing-masing 

negara menyumbangkan lebih dari 10.000 kasus.4

negara kita  masih menjadi negara ketiga tertinggi di 

dunia sebagai penyumbang kasus kusta terbanyak 

setelah Brazil dan India hingga saat ini. Pada tahun 

2021, di negara kita  ada   7.146 penderita kusta 

baru, dengan 11% adalah anak-anak.5 Pada tahun 

1991 World Health Assembly (WHA) mengeluarkan 

suatu resolusi untuk eliminasi kusta pada tahun 2000, 

karena penyakit kusta dianggap sebagai salah satu 

masalah kesehatan di warga  . Eliminasi kusta 

di negara kita  telah mencapai tingkat nasional (angka 

prevalensi <1/10.000 penduduk) sesuai dengan 

target eliminasi kusta global yang diamanatkan oleh 

WHA pada tahun 2000. Namun situasi epidemiologi 

kusta di negara kita  statis sejak tahun 2001 sampai 

sekarang dengan angka penemuan penderita kusta 

baru berada pada kisaran 17.000 hingga 20.000 

penderita kusta baru setiap tahunnya.3

ada   6 provinsi di negara kita  yang

belum mencapai eliminasi kusta hingga saat ini. 

Prevalensi penyakit kusta di keenam provinsi 

tersebut masih di atas 1/10.000 penduduk. 

Keenam provinsi tersebut yaitu Papua Barat, 

Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara dan 

Gorontalo. Sementara di tingkat kabupaten/kota, 

total masih ada   101 kabupaten/kota yang 

belum mencapai eliminasi kusta.5 Berdasarkan 

data Kementerian Kesehatan Republik negara kita  

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian 

Penyakit tahun 2021, jumlah kasus kusta di 

Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 378 

kasus dengan 10 kota/kabupaten terbanyak yaitu 

Kota Kupang, Flores Timur, Alor, Timor Tengah 

Selatan, Lembata, Kupang, Malaka, Sikka, Timor 

Tengah Utara, Ende.6 Penyakit kusta menimbulkan 

banyak masalah, tidak hanya masalah medis 

tetapi meluas hingga masalah sosial, ekonomi, 

dan budaya karena masih ada   stigma di 

warga   terhadap kusta dan disabilitas yang

ditimbulkannya.3 Disabilitas merupakan salah satu 

sumber permasalahan hidup bagi penderita kusta 

yang dapat mengganggu kehidupan sosial. Hal ini 

membuat sebagian besar warga   di sekitar 

merasa jijik sehingga penderita kusta dijauhi 

oleh warga   dan timbul tindakan diskriminasi 

terhadap penderita.7 Selain itu, penderita kusta 

juga cenderung mengalami kesulitan dalam 

bekerja akibat dari disabilitas yang dialami. Hal 

tersebut yang menyebabkan kehilangan sumber 

pendapatan dan menjadi pengangguran sehingga 

tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya dengan 

baik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Risal et al9

tahun 2019 di Kolaka, Sulawesi 

Tenggara menyatakan bahwa dampak ekonomi 

kusta cukup signifikan dengan total kerugian 

ekonomi akibat kusta kurang lebih 1 miliar rupiah. 

Penyakit kusta memberikan dampak ekonomi

yang besar bagi penderita dan keluarganya.

Orang dengan kusta dan keluarganya 

mengalami kehilangan pendapatan dan menjadi 

pengangguran.9 Penelitian Lutfi dan Wahyudi10 di 

Rumah Sakit Kusta Sumber Glagah Kabupaten 

Mojokerto mendapatkan hasil bahwa penderita 

kusta memiliki interaksi sosial yang kurang karena 

warga   beranggapan bahwa penyakit kusta 

merupakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan 

dan penyakit karena kutukan, maka dari itu banyak 

warga   yang tidak mau berkomunikasi dengan 

penderita kusta.10 Hingga saat ini belum ada data 

atau penelitian yang dilakukan terkait dampak 

sosial dan ekonomi akibat disabilitas pada pasien 

kusta di NTT. Selain itu, tidak banyak penelitian 

yang membahas mengenai dampak sosial dan 

ekonomi pada pasien kusta akibat disabilitas dari 

perspektif pasien. Oleh karena itu, penelitian ini 

bertujuan untuk mengidentifikasi dampak sosial 

dan ekonomi akibat disabilitas pada pasien kusta 

dari perspektif pasien.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, 

deskriptif dan menggunakan pengamatan atau 

analisis mendalam terhadap suatu masalah yang 

sedang terjadi.11 Instrumen dalam penelitian ini

menggunakan handphone untuk merekam suara,

panduan observasi dan daftar pertanyaan yang

telah disusun peneliti khusus untuk menjawab 

tujuan penelitian ini. Penelitian ini sudah 

mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik

Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran

Universitas Nusa Cendana dengan No. Register 

UN01230636, pada tanggal 24 Juli 2023.


Penelitian dilakukan di Rumah Sakit

Kusta dan Cacat Umum Bunda Pembantu Abadi 

Naob. Rumah sakit ini terletak di Desa Naob,

Kecamatan Noemuti Timur, Kabupaten Timor

Tengah Utara (TTU), Provinsi Nusa Tenggara

Timur (NTT), pada bulan Juli−Agustus 2023.

Peneliti melakukan observasi dan wawancara

secara langsung selama satu bulan dengan

pasien yang dirawat inap terutama bagi

penderita yang sudah mengalami disabilitas.

Rumah Kusta Naob dipilih sebagai tempat

penelitian dikarenakan merupakan satu￾satunya rumah sakit khusus kusta di Provinsi 

NTT yang menangani pasien kusta dan disabilitas

yang ditimbulkannya. Subjek dalam penelitian

berjumlah 14 orang yang merupakan pasien

Rumah Sakit Kusta Naob yang memenuhi kriteria 

inklusi dan eksklusi. Teknik pengambilan subjek 

adalah purposive sampling, subjek yang 

diwawancarai dianggap mengetahui mengenai 

masalah yang diteliti. Subjek dipilih dengan 

metode maximum variation sampling dengan 

variabel: jenis kelamin, usia pasien, dan tipe 

kusta.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu, 

pasien kusta berusia ≥17 tahun yang berobat ke 

Rumah Sakit Kusta Naob Timor Tengah Utara, 

pasien yang bersedia mengikuti penelitian dengan 

menandatangani formulir persetujuan (informed 

consent) atau memberikan persetujuan secara 

lisan bila pasien tidak bisa menandatangani formulir 

persetujuan karena kecacatan ditangan yang 

dialaminya, dan pasien yang mengalami kecacatan 

akibat kusta. Kriteria eksklusi yang meliputi pasien 

yang memiliki kesulitan dalam berkomunikasi atau 

tidak bisa berbahasa negara kita  dengan baik.

Pengumpulan data dilakukan dengan 

observasi, wawancara mendalam, dan 

dokumentasi. Observasi dilakukan oleh peneliti 

secara langsung untuk melihat keadaan subjek 

yang ada di sana. Wawancara dilakukan di salah 

satu ruangan di Rumah Sakit Kusta Naob selama 

30−60 menit. Proses wawancara direkam dengan 

alat perekam suara atas izin dari subjek. Selama 

proses wawancara, peneliti ditemani oleh dua orang

pembantu peneliti. Data hasil wawancara yang 

telah dikumpulkan ditranskrip dan dilakukan 

analisis secara kualitatif dengan menggunakan 

program Open Code 4.03.

Hasil

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, 

didapatkan subjek sebanyak 14 orang. Pasien 

laki-laki lebih banyak (12 orang) dibandingkan 

perempuan (2 orang). Pada karakteristik usia, 

didapatkan subjek usia dewasa dengan rentang 

usia 19−44 tahun lebih banyak dibandingkan 

remaja dan lansia. Berdasarkan tipe kusta, tipe 

kusta multibasiler (MB) merupakan tipe yang paling 

banyak diderita oleh subjek dengan jumlah 11 

orang dibandingkan tipe pausibasiler (PB) dengan 

jumlah 3 orang (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik Pasien Kusta di Rumah Sakit

 Kusta Naob Timor Tengah Utara

Karakteristik Jumlah

Jenis kelamin

Laki-laki 12

Perempuan 2

Usia

Dewasa (19-44 tahun) 9

Pra Lansia (45-59 tahun) 5

Tipe kusta

Pausibasiler 3

Multibasiler 11


Disabilitas yang dialami oleh pasien 

berdasarkan hasil observasi didapatkan lebih 

banyak terjadi di tangan dan dialami 13 subjek 

dengan manifestasi klinis claw hand dan jari￾jari yang memendek. Disabilitas yang terjadi di 

kaki dialami 12 subjek dengan manifestasi klinis 

kelemahan dan ulkus yang membuat pasien 

kesulitan berjalan, serta jari-jari yang memendek. 

Disabilitas di mata dialami oleh 3 orang dengan 

manifestasi klinis penurunan tajam penglihatan 

(Gambar 1).

Dampak Sosial

Keberadaan suatu kelompok atau individu 

dalam kehidupan manusia akan memberikan 

dampak, secara positif maupun negatif.12 Hal ini juga 

yang dialami oleh penderita penyakit kusta terutama 

bagi yang mengalami disabilitas. Subjek dijauhi oleh 

teman, tetangga dan keluarga. Sembilan subjek 

mengungkapkan bahwa semenjak terkena penyakit 

kusta, keluarga dan orang-orang sekitarnya meminta 

subjek untuk menjauh bahkan menegur agar tidak 

mendekat dan tidak menggunakan fasilitas yang 

ada di desa secara bersama-sama.

”Ambil air sa beta son bisa sendiri ambil, son 

boleh timba sama-sama dengan dong, mandi itu

di rumah, sonde mandi di kali. Dong sond mau... 

itu dong yang bilang kek tausa pi mandi, soalnya 

itu penyakit menular juga to, beta bilang sudah 

biar beta mandi di rumah sa son masalah... Kek 

umpama kumpul keluarga dong kasih tau saya, 

minta kek jangan datang, di rumah saja”

(Ambil air saja saya tidak bisa ambil sendiri, 

tidak boleh ambil sama-sama dengan orang lain, 

mandi juga di rumah, tidak mandi di sungai. Orang￾orang tidak mau, mereka bilang tidak boleh mandi 

di sungai karena penyakit menular, saya juga sadar 

diri biar saya mandi di rumah saja tidak masalah. 

Contoh lain seperti kumpul keluarga, yang lain 

kasih tau saya untuk tidak datang, dirumah saja) 

(Subjek 1, laki-laki, 48 tahun).

”Misalnya saya mau timba air begitu, sudah 

berhenti timba baru orang bilang kau stop timba air, 

tidak boleh timba air. Kalau kau pu istri yang timba 

baru kau yang pikul boleh. Tapi kalau kau yang ambil 

langsung dari sumur tidak boleh. Dong bilang nanti 

merambat kah apa kah”(Subjek4, laki-laki, 49 tahun). 

Tidak hanya dijauhi orang-orang di sekitar, 

bahkan ada   subjek yang mengatakan bahwa

sempat dipindahkan tempat tinggalnya.

”Saya tinggal di hutan bukan tinggal sama￾sama dengan istri ... itu sudah sakit, jadi tidak

boleh tinggal dalam kampung” (Subjek 4, laki-laki, 

49 tahun)

”Sampai mama saya itu menjauhi, memang kita 

satu rumah dengan mama, tapi saya dipindahkan 

tidur di dapur gitu” (Subjek 6, laki-laki, 40 tahun).

Subjek lain juga mengungkapkan bahwa 

semenjak sakit teman-teman mulai menjauhinya.

”Iya mengapa sebelum saya dapat ini penyakit 

saya pu teman dong ini selalu bergaul dengan saya, 

nah setelah saya dapat ini penyakit teman yang 

bergaul dengan saya tiba-tiba mereka menghindar 

dari saya” (Subjek 2, laki-laki, 49 tahun).

”Itukawan-kawandongitulangsungmenghindar 

dari saya karena takut ini penyakit tidak tau kan ini 

penyakit, katanya kan bilang apa takut dong mereka 

juga dapat ini penyakit, menular begitu, jadi mereka 

menghindar dari saya” (Subjek 9, 27 tahun, laki-laki). 

Subjek 3 menambahkan juga bahwa tidak perlu 

orang lain, keluarganya sendiri pun menjauhkan

diri darinya.

”Pernah dijauhi, tidak perlu orang lain, keluarga 

saya sendiri menjauhkan diri dari saya. Seperti ada 

acara apa ada berkumpul ketika saya duduk ikut 

gabung ada yang langsung bangun jalan” (Subjek 

3, laki-laki, 37 tahun).

Pasien kusta juga merasa malu dan rendah diri 

akibat penyakit dan disabilitas yang dialami. Hal 

tersebut diungkapkan oleh 7 subjek penelitian.

”Iya malu mendekati orang, kan orang pasti jijik 

ke kita karena kita punya badan su begini, luka-luka, 

minder juga” (Subjek 5, 36 tahun, perempuan).

”Malu itu pasti, kita su kena penyakit begini ni. 

Bukan sering lagi, ini setiap hari” (Subjek 3, laki￾laki, 37 tahun).

”Kalau mau pi orang banyak itu beta malu, kek 

umpama di kampung ini kan biasa setiap malam 

itu ibadat bersama, atau doa kek umpama kumpul 

keluarga itu maitua (istri) yang pi beta sonde pi” 

(Subjek 1, laki-laki, 48 tahun).

 Selain merasa malu, rendah diri, tertekan, 

adanya dampak negatif hubungan subjek dengan 

orang-orang sekitar, dan disabilitas tersebut juga 

mengganggu aktivitasnya.

”Permisi ma sonde bisa pegang sendok, 

makan juga maitua (istri) harus bantu, mandi juga 

dibantu, bahkan mau tidur saja susah” (Subjek 1, 

laki-laki, 48 tahun).

”Semakin hari cuma ditempat tidur tidak 

bekerja, tiap hari makan, minum, BAB, dan BAK 

orang tua yang bantu ambil buang begitu, bantu￾bantu” (Subjek 5, perempuan, 36 tahun).

”Permisi ma jalan ke kamar mandi saja 

merangkak pakai belakang, tangan dengan tumitkaki dua-dua merangkak belakang karena memang 

tidak bisa injak, nah itu yang buat saya tidak bisa 

keluar” (Subjek 10, laki-laki, 38 tahun).

Sebanyak 3 subjek mengungkapkan bahwa 

subjek merasa putus asa dan tertekan akibat 

penyakit kusta.

”Iya putus asa pasti pernah, karena kita sudah 

seperti ini sudah punya penyakit ini mau cari uang 

kermana” (Subjek 4, laki-laki, 49 tahun).

”Iya (putus asa), karena mau buat sesuatu tidak 

jalan dengan lancar, terganggu, saya menyesal 

mau lanjut sekolah tiba-tiba jatuh sakit” (Subjek 12, 

laki-laki, 28 tahun).

”Kalau dibilang putus asa, terkadang sampai 

sekarang pun ada rasa putus asa karena kondisi 

kita seperti ini kan dengan ini penyakit... sampai 

saya berpikir saya berharap kalau bisa saya mati, 

memang keadaan kita sudah ngeri sekali karena 

penyakit ini” (Subjek 6, laki-laki, 40 tahun).

Penyakit kusta tidak hanya memberi dampak 

sosial padasubjek, tetapi juga pada keluarga mereka.

”Tetangga malahan takut mau datang, sampai 

mereka bilang begini ah jangan ke rumahnya

mama saya, jangan ketemu keluarganya itu, itu 

ada dia punya anak bawa penyakit virus itu, nanti

kalian kena” (Subjek 6, laki-laki, 40 tahun).

”Iya anak sempat kena omong dari orang, tapi 

dia juga terima itu kan dia bilang itu Tuhan yang 

kasih, saya punya mama tidak beli itu penyakit” 

(Subjek 8, perempuan, 55 tahun).

Tidak semua subjek mengalami dampak negatif 

terhadap kehidupan sosial. Walaupun tingkat disabilitas 

yang dialami cukup tinggi, subjek tetap mendapat 

dukungan dari keluarga, teman, dan tetangga.

”Kalau saya punya tetangga mereka usaha 

supaya harus bawa ke rumah sakit. Mereka tidak 

menjauh.” (Subjek 2, laki-laki, 49 tahun).

”Iya masih baik (hubungan dengan tetangga), 

mereka malah mendukung saya untuk sembuh.” 

(Subjek 11, laki-laki, 43 tahun).

”Tidak menjauh, setiap malam di kampung itu 

dong pi kunjung” (Subjek 13, laki-laki, 27 tahun).

Pendapat yang tidak jauh berbeda disampaikan 

juga oleh Subjek 10 yang mengatakan bahwa 

teman-teman kerjanya tetap memberikan dukungan 

dan tidak menghindarinya.

”Kalau mereka (teman-teman) tidak, mereka 

malah bergaul dengan saya, selalu kasih saya 

support. Mereka tetap sumbang dana beli obat 

kasih saya.” (Subjek 10, laki-laki, 38 tahun).

Selain tetap mendapat dukungan dari berbagai 

pihak, beberapa subjek juga masih tetap berpikir 

positif, tidak putus asa, dan tidak tertekan.

”Saya tidak apa-apa, tidak putus asa, tidak 

takut. Soalnya kan ada obat kan, yang penting ada 

kita minum rutin ya nanti dia akan sembuh” (Subjek 

7, laki-laki, 51 tahun).

”Tidak, kalau putus asa tidak, kalau putus asa 

berarti saya tidak sampai sekuat sampai di sini... 

tidak merasa tertekan. Karena memang kalau

mau rasa tertekan saya berpikir bahwa mungkin di 

luar sana masih ada yang lebih parah dari saya” 

(Subjek 10, laki-laki, 38 tahun).

Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi yang dirasakan oleh pasien 

kusta akibat disabilitas antara lain kesulitan 

ataupun ketidakmampuan untuk bekerja dan 

mencari nafkah. Sebelum terkena kusta dan 

mengalami disabilitas, subjek masih bisa bekerja 

dengan baik dan memenuhi kebutuhan sehari￾hari. Sebanyak tiga belas subjek penelitian 

mengalami dampak negatif terhadap kehidupan 

ekonomi akibat penyakit kusta dan disabilitasnya. 

Akibatnya pendapatan menurun bahkan tidak

ada lagi, sementara pengeluaran yang semakin 

besar untuk membiayai pengobatan. Sepuluh 

subjek mengatakan dapat bekerja dan memenuhi 

kebutuhan sehari-hari, namun setelah sakit dan 

terjadi perubahan pada penampilan fisik sehingga 

sulit untuk bekerja bahkan terpaksa untuk berhenti 

dan mengundurkan diri dari pekerjaan.

”Iya dari penghasilan kebutuhan sehari-hari bisa

terpenuhi... sekarang su begini ni kita mau dapat 

kerja juga sulit” (Subjek 5, perempuan, 36 tahun).

”Iya dulu kebutuhan bisa terpenuhi, Tuhan tolong 

saya waktu itu saya beli babi beli sapi kambing... 

Saya berhenti kerja 2021, saya tidak bawa (mobil) 

lagi karena penyakit sudah semakin kena semakin 

parah, jadi saya berhenti kerja dari 2021 sampai 

sekarang” (Subjek 11, laki-laki, 43 tahun).

”Iya bisa memenuhi kebutuhan... saya juga 

bantu orang tua angkat di Kalimantan... masih bisa 

bantu mama dong bangun rumah... Setelah sakit 

saya mengundurkan diri dari perusahaan... tidak 

ada uang lagi, ya begini sudah hidup, dengan apa 

adanya kita bersyukur”(Subjek 6, laki-laki, 40 tahun). 

”Iya mengundurkan diri, di hotel kan butuh 

orang yang artinya normal” (Subjek 10, laki-laki, 38

tahun).

Subjek juga mengalami kesulitan untuk 

memenuhi kebutuhan hidup terpaksa menjual 

barang atau hewan ternak untuk memenuhi 

kebutuhan sehari-hari. Empat subjek mulai menjual 

barang dan hewan ternak bahkan untuk pemenuhan 

ekonomi mendapatkan bantuan oleh saudaranya.Dua subjek penelitian juga mengatakan bahwa 

anak dan istrinya yang menggantikan untuk bekerja 

mencari nafkah.

”Iya memang ada kesulitan, seperti ficin, 

garam, bahan-bahan masak, sampai garam tidak 

ada saya bilang di istri sudah kamu lihat ayam ko 

apa kamu pergi jual sudah ko beli kasih kita ficin 

garam, karena saya su sakit begini saya mau cari 

kasih kita uang kermana” (Subjek 2, laki-laki, 49 

tahun).

”Itu saya hanya jual itu, saya jual ini kambing 

dong. Pokoknya pembeli liat apa yang cocok saya 

jual, pokoknya untuk kami punya hidup” (Subjek 

11, laki-laki, 43 tahun).

”Pokoknya (uang) habis. Barang-barang yang 

sudah dibeli dijual kembali hanya gara-gara untuk 

obati” (Subjek 10, laki-laki, 38 tahun).

”Iya tidak ada (penghasilan). Uang dong habis 

sudah” (Subjek 13, laki-laki, 27 tahun)

“Kerja di kebun pisang sana saya rasa makin 

parah, akhirnya saya pulang kembali ke Malaka… 

Sekarang istri lagi pergi TKW untuk bantu bayar 

sekolah anak” (Subjek 7, laki-laki, 51 tahun).

“Anak yang pertama mau sekolah lanjut kuliah 

tapi batal karena saya sakit di sini. ada dia punya 

bapak kecil di Papua, dia antar saya sampai sini baru 

dari sana telepon kirim tiket dia ke Papua sudah. 

Dia kerja di sana tapi saya kasihan dia karena umur 

baru 18 tahun” (Subjek 11, laki-laki, 43 tahun).

Diskusi

Pada penelitian ini didapatkan subjek berjenis 

kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan 

perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Oktariana et al14 di RSUP dr. 

Mohammad Hoesin Palembang yang mendapatkan 

bahwa frekuensi subjek dengan jenis kelamin

laki-laki lebih banyak dengan jumlah 33 orang 

dibandingkan dengan perempuan dengan jumlah

17 orang.14 Sejalan juga dengan penelitian

yang dilakukan oleh Widya et al15 di Puskesmas 

Pemalang yang mendapatkan pasien dengan

jenis kelamin laki-laki lebih banyak ditemukan 

dengan jumlah 29 orang dibandingkan dengan 

perempuan dengan jumlah 11 orang.15 Banyaknya 

pasien kusta laki-laki dibandingkan perempuan 

terjadi dikarenakan adanya perbedaan aktivitas 

dari laki-laki yang lebih banyak dan lebih sering 

dilakukan di luar rumah, terlebih lagi kebanyakan 

tulang punggung keluarga adalah laki-laki. Selain 

itu, laki-laki juga terkadang lambat dalam mencari 

pengobatan dan kurang memperhatikan kondisi 

kesehatannya secara menyeluruh.

Pada karakteristik usia, didapatkan bahwa 

subjek usia dewasa lebih dominan dibandingkan 

lansia. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan 

oleh Aviana et al16 di RSUD Bali Mandara yang 

mendapatkan bahwa subjek dengan usia 26−44 

tahun lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan 

kelompok usia yang lain.16 Sejalan juga dengan 

penelitian yang dilakukan oleh Salsabila et al17 di 

Aceh Utara yang mendapatkan bahwa pasien kusta 

terbanyak ada pada kelompok usia 19−44 tahun, 

yaitu sebanyak 76 orang.17Hal tersebut dikarenakan 

kelompok usia tersebut termasuk dalam kategori 

usia produktif, dalam fase pergaulan dan mobilitas 

yang tinggi sehingga berinteraksi dengan banyak 

orang dan dapat meningkatkan risiko kontak dengan 

penderita kusta.

Berdasarkan tipe kusta, tipe kusta MB 

merupakan tipe yang paling banyak diderita oleh 

subjek dibandingkan tipe PB. Hasil penelitian ini 

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh 

Amaliah et al18 di Puskesmas Tamalate Makassar 

yang mendapatkan bahwa kusta tipe MB lebih 

banyak ditemukan yaitu sebanyak 33 orang 

dibandingkan dengan kusta PB yang hanya 

sebanyak sembilan orang.18 Sejalan juga dengan 

penelitian yang dilakukan oleh Aviana et al16 di RSUD 

Bali Mandara yang juga mendapatkan penderita 

kusta tipe MB sebanyak 51 orang dibandingkan 

dengan tipe PB yang hanya sebanyak empat orang. 

Tipe MB lebih sering ditemukan dibandingkan tipe 

PB karena kusta tipe MB lebih mudah menular 

disebabkan oleh respons imun seluler terhadap M. 

leprae yang lemah, sehingga jumlah bakteri pada 

lesi lebih banyak yang menjadi sumber infeksi.16

Sistem imun tubuh seseorang merupakan faktor 

utama penyebab kusta dengan tipe MB. Apabila 

seseorang memiliki respon imun atau sistem imun 

yang baik dan terinfeksi kusta, maka manifestasi 

klinis yang muncul akan mengarah ke tipe PB, 

bahkan bisa sembuh dengan sendirinya. Namun, 

apabila sistem imun tubuh orang tersebut lemah 

maka akan mengarah ke tipe MB.19

Hingga saat ini warga   masih memandang

penyakit kusta sebagai penyakit kutukan dari 

Tuhan akibat dosa atau kesalahan yang dilakukan 

oleh pasien dan keluarganya di masa lalu serta 

tidak dapat disembuhkan. Hal tersebut yang 

membuat warga   menganggap penyakit

ini sebagai momok yang harus disingkirkan. 

Pandangan-pandangan tersebut membuat pasien 

kusta mendapat tindakan-tindakan negatif dari 

warga   yang berdampak pada kehidupan 

sosial pasien sendiri maupun keluarganyaTindakan negatif yang diberikan kepada 

penderita kusta antara lain dikucilkan dari lingkungan 

sekitarnya. Penderita juga tidak dapat mengatasi 

berbagai konsekuensi sosial akibat perubahan

fisik yang ditimbulkan oleh kusta, seperti kesulitan 

mencari pekerjaan, kesulitan mencari pasangan 

hidup, ditolak dalam pekerjaan, dijauhi warga   

bahkan keluarga sendiri. Berbagai dampak sosial 

yang dialami membuat pasien kusta seperti tidak 

dimanusiakan oleh warga   sekitar, bahkan 

status apapun yang dimiliki karena menderita 

penyakit kusta merupakan status yang mati secara 

sosial dan tidak mempunyai peranan sedikitpun 

dalam kehidupan warga  .20

Perilaku warga   yang negatif biasanya lebih 

ditujukan pada penderita kusta yang mengalami 

disabilitas, yaitu terjadi perubahan penampilan 

fisik. Disabilitas paling sering menyebabkan

pasien dijauhi, dikucilkan oleh warga  , dan 

mengalami tindakan diskriminasi terhadap mereka. 

Hal tersebut yang dialami oleh subjek dalam 

penelitian ini, sebanyak 12 orang subjek dalam 

penelitian ini mengalami dampak negatif sosial 

akibat peyakit kusta dan disabilitas yang dialami. 

Dampak sosial yang paling banyak dialami adalah 

dijauhi warga   dan keluarga sendiri. Subjek 

yang mengalami keterbatasan fisik juga berdampak 

pada aktivitas sehari-hari serta istirahat mereka 

yang terganggu. Subjek bergantung kepada orang 

lain dikarenakan tidak bisa melakukan aktivitas 

sehari-hari akibat disabilitas yang diderita, seperti 

makan, minum, mandi, buang air besar, buang 

air kecil, bahkan berjalan pun mereka tidak bisa 

melakukannya sendiri.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Darmawan19 tahun 2018 di 

Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo, 

yang menemukan bahwa 80% subjek dalam 

kondisi sosial kurang baik. Subjek menyatakan 

bahwa sering mendengar orang membicarakan 

penyakitnya, malu bergaul dengan orang lain, 

merasa putus asa dengan hidup, tidak optimis 

menjalani hidup, sering diperlakukan tidak baik 

karena kondisinya, tidak merasa puas dengan diri, 

serta merasa bahwa penyakitnya mengganggu 

warga  .19 Sejalan dengan penelitian yang 

dilakukan oleh Maryuni dan Inayati21 di Puskesmas 

Mulyo Rejo Kabupaten Lampung Utara didapatkan 

bahwa dari 10 pasien kusta yang diwawancara, 

sebagian besar merasa mendapatkan perlakuan 

yang berbeda dari warga   sekitar yaitu 

merasa terkucilkan, minder, dan malu bergaul 

dengan orang lain.21 Penelitian lain yang dilakukan

oleh Jainudin dan Astuti22 di Rumah Sakit Kusta 

Sumberglagah Kabupaten Mojokerto Provinsi 

Jawa Timur mengungkapkan bahwa subjek 

penelitiannya mengalami malu, kepercayaan diri 

menurun, kehilangan harapan, dan merasa harga 

diri rendah karena penyakitnya.22

Namun dari hasil observasi dan wawancara 

yang dilakukan, peneliti mendapatkan bahwa tidak 

semua subjek mengalami dampak negatif sosial. 

Bahkan ada   subjek dengan tingkat disabilitas 

yang tinggi namun tidak mengalami dampak negatif. 

Hal tersebut dikarenakan orang-orang di sekitarnya 

mengetahui bahwa apabila penyakit kusta ditangani 

dan diobati dengan baik maka penyakit tersebut tidak 

menular sehingga tetap memberikan mendukung 

dan membantu subjek. Subjek juga tetap berpikir 

positif karena mereka mempunyai edukasi atau 

pemahaman yang baik terhadap penyakit kusta. Hal 

tersebut membuat timbul rasa lebih bersyukur, tidak 

merasa putus asa, serta tidak tertekan.

Selain dari dampak sosial, dampak ekonomi 

juga dirasakan oleh pasien kusta. Pasien kusta 

seringkali mengalami keterbatasan ataupun 

ketidakmampuan dalam bekerja akibat kondisi 

fisiknya. Hal tersebut membuat subjek kehilangan 

sumber pendapatan yang berakibat tidak 

terpenuhinya kebutuhan hidup mereka sehari￾hari.23 Dampak yang paling banyak dialami yaitu 

pasien kusta terpaksa untuk berhenti bekerja 

dan mengundurkan diri dari pekerjaan mereka 

sebelumnya akibat disabilitas yang dialami.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian 

yang dilakukan oleh Nasution et al24 di Rumah Sakit 

Dr. Tadjuddin Chalid Makassar yang menyatakan 

bahwa disabilitas menyebabkan pasien kusta tidak 

berdaya kerja dan bergantung kepada pasangan 

hidupnya dikarenakan tidak dapat bekerja untuk 

mencari nafkah setelah dilakukan amputasi.24

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh 

Yunita et al8 di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh yang 

mengungkapkan bahwa pihak pasien mengalami 

kerugian ekonomi yang paling besar akibat kusta 

karena mereka kehilangan sumber pendapatan 

disebabkan tidak dapat bekerja seperti biasa 

karena disabilitas atau keterbatasan yang dialami.8

Pendapat lain disampaikan oleh Putra dan 

Gianawati25 di Jember yang menyatakan bahwa 

pasien kusta masih bisa bekerja dengan memilih 

untuk melakukan usaha di bidang jasa dan jual 

beli dengan modal pinjaman, awalnya penderita 

tidak diterima di warga   akibat penyakit dan 

disabilitas yang dialami, namun setelah berusaha 

lebih keras pasien kusta ini diterima serta bisamengembangkan usahanya untuk mencukupi 

kebutuhan hidup.25

Banyaknya masalah yang timbul tidak hanya 

dari segi medis membuat tidak hanya pengobatan 

yang dibutuhkan oleh pasien kusta tetapi juga 

membutuhkan dukungan dari pemerintah dan 

warga  . Dukungan tersebut dapat dilakukan 

dengan cara tidak menjauhi, mencela, atau 

pun melakukan tindakan diskriminasi lainnya.21

Dukungan sosial yang diberikan warga   dapat 

menjadi penawar stres dari aspek psikologis, 

sedangkan dukungan sosial dapat memberikan 

dampak yang positif bagi para penderita kusta.26

Dengan adanya dukungan yang diberikan

pada pederita kusta dan edukasi yang benar

pada warga   serta berkurangnya tindakan 

diskriminasi, diharapkan penderita kusta tidak 

merasa malu dan takut terutama untuk berobat 

sehingga pengobatan terhadap penderita kusta 

dapat dilaksanakan sesegera mungkin. Hal 

tersebut dapat membantu pasien kusta terhindar 

dari disabilitas yang berdampak pada kehidupan 

sosial dan ekonomi mereka, serta dalam hal ini 

juga dapat membantu mencapai eliminasi dan 

eradikasi penyakit kusta di negara kita .

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah

pemilihan sampel yang menggunakan teknik 

purposive sampling sehingga dapat menghasilkan 

sampel yang tidak representatif dari populasi

yang lebih luas. Hal ini membatasi kemampuan 

untuk menggeneralisasi temuan ke seluruh pasien 

kusta. Pemilihan sampel dengan purposive sering 

kali mengarah pada bias, karena hanya individu 

dengan kriteria tertentu yang dipilih. Keterbatsan 

lain adalah studi kualitatif dapat memberikan 

wawasan mendalam tentang pengalaman pasien, 

tetapi hasilnya mungkin sulit untuk diukur atau 

dibandingkan secara objektif.

Berdasarkan kekurangan penelitian di

atas, ada   saran perbaikan untuk penelitian 

pengembangan pada tahap yang lebih lanjut antara 

lain mempertimbangkan penggunaan metode 

random sampling atau stratified sampling untuk 

memastikan keberagaman sampel dan meningkatkan 

representativitas. Melakukan penelitian mixed 

methods dengan menggabungkan data kualitatif dan 

kuantitatif dapat memberikan gambaran yang lebih 

komprehensif dan kuat mengenai dampak sosial dan 

ekonomi yang dialami pasien kusta.


Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan 

bahwa sebagian besar subjek mengalami dampak

negatif sosial dan ekonomi akibat disabilitas. 

Namun, dalam penelitian ini peneliti juga 

mendapatkan bahwa ternyata subjek yang memiliki 

tingkat disabilitas tinggi tidak mengalami dampak 

sebesar mereka yang tingkat disabilitasnya rendah. 

Selain itu, dampak yang dirasakan tidak hanya 

dialami oleh pasien tetapi juga keluarga mereka. 

Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan dan kerja 

sama dari berbagai pihak, serta edukasi yang baik 

pada warga   mengenai penyakit kusta agar 

dapat mengurangi dampak sosial dan ekonomi 

yang dirasakan pasien.







Disabilitas merupakan salah satu sumber permasalahan hidup bagi penderita kusta yang dapat 

mengganggu kehidupan sosial dan ekonomi. Sebagian besar warga   merasa jijik sehingga penderita 

kusta dijauhi. Penderita kusta juga tidak dapat bekerja lagi akibat disabilitas yang membuat kerugian ekonomi 

yang cukup besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak sosial dan ekonomi akibat disabilitas 

kusta pada pasien kusta dari perspektif pasien. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini 

dilakukan di Rumah Sakit Kusta Naob yang merupakan satu-satunya rumah sakit khusus kusta di Provinsi 

Nusa Tanggara Timur (NTT) pada tanggal bulan Juli−Agustus 2023. Pengumpulan data dilakukan dengan 

observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Subjek dipilih secara purposive sampling. Data yang 

dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan aplikasi Open Code 4.03. Hasil analisis menunjukkan bahwa 

sebagian besar subjek mengalami dampak negatif sosial dan ekonomi akibat disabilitas. Namun, dari hasil 

penelitian didapatkan juga bahwa ternyata subjek yang memiliki tingkat disabilitas tinggi tidak mengalami 

dampak sebesar yang tingkat disabilitasnya rendah dikarenakan adanya pemahaman yang baik terhadap 

kusta, baik dari warga   maupun pasien. Oleh karena itu, diperlukan edukasi serta keterlibatan berbagai 

pihak untuk membantu mengurangi dampak sosial dan ekonomi yang dialami pasien.kusta3


Kekambuhan kusta didefinisikan sebagai munculnya kembali tanda dan gejala kusta setelah pasien 

menyelesaikan Multidrug Therapy (MDT) secara adekuat. Indonesia menjadi negara ketiga penyumbang 

kasus kekambuhan kusta terbanyak, yaitu 284 kasus pada tahun 2018. Faktor yang berperan dalam terjadinya 

kekambuhan adalah kuman persisters, terapi inadekuat, resistensi obat, terapi yang tidak teratur, monoterapi 

dapson, indeks bakteriologis awal yang tinggi, jumlah lesi kulit dan saraf yang banyak, hasil tes lepromin 

negatif, pemberian terapi antireaksi, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), dan kehamilan. Apabila 

memungkinkan, diagnosis kekambuhan dapat ditegakkan dengan kriteria klinis, bakteriologis, dan terapeutik, 

serta kriteria histopatologi dan serologis,. Dengan kriteria ini , diharapkan lebih mudah membedakan 

kekambuhan dengan reaksi, resistensi, reaktivasi, dan reinfeksi. Tata laksana kekambuhan utamanya adalah 

pemberian kembali MDT sesuai tipe kekambuhan kusta namun terapi perlu dimodifikasi apabila terjadi 

resistensi obat. Hal yang penting diperhatikan saat pengobatan kekambuhan adalah tipe kusta, riwayat terapi 

sebelumnya, dan kemungkinan resistensi obat. Dengan pemahaman dan penegakan diagnosis yang tepat, 

diharapkan terapi dapat segera diberikan sehingga mencegah kecacatan dan transmisi infeksi. 

Kusta, lepra, atau morbus Hansen adalah infeksi 

kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae

dengan manifestasi klinis pada kulit, sistem saraf tepi, 

mata, membran mukosa, tulang, dan testis. Infeksi ini 

menurunkan kualitas hidup pasien secara signifikan 

walaupun sebenarnya dapat disembuhkan.1

 Sebanyak 159 

negara melaporkan 208.619 kasus baru pada tahun 2018 

dengan prevalensi 0,24 per 100.000 orang. Indonesia 

melaporkan 17.017 kasus baru dan merupakan negara 

ketiga penyumbang kasus terbanyak

Salah satu tolok ukur keberhasilan pengobatan kusta 

adalah laju kekambuhan yang ditentukan dari angka 

kesembuhan penyakit kusta yang berkaitan erat dengan 

laju release from treatment (RFT). Program yang berjalan 

perlu dievaluasi lebih lanjut apabila laju kekambuhan 

melebihi 5%. Risiko kekambuhan 10 kali lebih rendah 

pada pasien yang menerima multidrug treatment (MDT) 

dibandingkan penerima monoterapi dapson. Berdasarkan 

estimasi World Health Organization (WHO), risiko 

kekambuhan sembilan tahun setelah MDT dihentikan 

adalah 0,77% pada kusta multibasilar (MB) dan 1,07% 

pada kusta pausibasilar (PB).3

Pada tahun 2017, sebanyak 53 negara melaporkan laju 

RFT lebih dari 85% dari seluruh kasus kusta. Sebanyak 

3.361 kasus kekambuhan dilaporkan pada tahun 2018 

dengan Brazil dan India sebagai penyumbang kasus 

terbanyak diikuti Indonesia sebanyak 284 kasus (8,4%) 

dengan laju kekambuhan 1,7%.2

 Laju kekambuhan 

kusta di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. Cipto 

Mangunkusumo, Jakarta mencapai 1,2% pada tahun 

2015-2019, mencakup 0,5% kusta PB dan 0,7% kusta 

MB.

Laju kekambuhan adalah salah satu tolok ukur yang 

digunakan untuk menilai keberhasilan tata laksana kusta 

sehingga penting dilakukan studi untuk mengetahui kasus 

kekambuhan di dunia dan tata laksana untuk menekan 

angka kekambuhan. Tinjauan pustaka ini bertujuan 

menelaah kekambuhan pada penyakit kusta dan tata 

laksananya.


Dengan penemuan MDT, definisi kesembuhan pada 

kusta adalah pasien yang telah menerima MDT secara 

adekuat. MDT diberikan sebanyak 12 dosis selama 12-

18 bulan pada kusta MB dan 6 dosis selama 6-9 bulan 

pada kusta PB, dengan syarat kapanpun selama terapi, 

pasien setidaknya mengonsumsi dua per tiga dosis yang 

seharusnya.

Definisi kekambuhan kusta mencakup:

Guide to leprosy control (WHO 1988)

Pasien yang telah menyelesaikan MDT secara 

adekuat namun kembali muncul tanda dan gejala 

penyakit kusta selama masa pemantauan atau setelahnya. 

Masa pemantauan didefinisikan dua tahun untuk kusta 

PB dan lima tahun untuk kusta MB.

Kriteria Becx-Bleumink 

Diagnosis kekambuhan ditegakkan apabila didapat 

lesi kulit baru, lesi lama kembali aktif, indeks bakteriologis 

(IB) 2+ atau lebih pada 2 sampel, kehilangan fungsi saraf 

baru, temuan sesuai kekambuhan pada pemeriksaan 

histopatologi kulit atau saraf, serta aktivitas lepromatosa 

pada mata.

Kekambuhan kusta PB

Kasus kekambuhan kusta PB sulit dibedakan secara 

klinis dengan reaksi reversal (RR) lanjut, berbeda dengan 

kasus kekambuhan kusta MB yang mudah dikenali 

secara klinis.

 Kriteria diagnosis kekambuhan kusta PB 

ditampilkan pada Tabel 1.3

INTERVAL KEKAMBUHAN

Interval kekambuhan atau masa inkubasi 

kekambuhan menjadi pedoman untuk penentuan masa 

pemantauan pasien kusta sesudah RFT. Lebih dari 

50% kasus kekambuhan pada pasien yang menerima 

monoterapi dapson terjadi dalam tiga tahun pada kasus 

nonlepromatosa, lima tahun pada kasus borderline, dan 

enam tahun pada kasus lepromatosa. Pada penerima 

MDT, interval kekambuhan kusta PB sama dengan 

monoterapi dapson sedangkan pada kusta MB median 

interval kekambuhan adalah sembilan tahun.3

KLASIFIKASI KEKAMBUHAN

Kekambuhan kusta dapat diklasifikasikan menjadi kekambuhan dini dan lanjut. Kekambuhan dini terjadi 

dalam 0-3 tahun setelah RFT akibat kesalahan tipe kusta 

saat awal terapi sehingga durasi terapi tidak adekuat atau 

terapi tidak teratur. Kekambuhan lanjut terjadi dalam 

3-10 tahun setelah RFT akibat resistensi obat atau kuman 

persisters atau reinfeksi.3

FAKTOR PREDISPOSISI KEKAMBUHAN

Kuman persisters 

Kuman persisters adalah organisme yang bertahan 

pada pejamu secara permanen atau dorman parsial walau 

telah diberikan terapi. Kuman persisters dapat ditemukan 

pada lokasi yang rentan secara imunologis, seperti saraf 

dermis, otot polos, kelenjar getah bening, iris, sumsum 

tulang, dan hati. Kuman persisters ditemukan pada 10% 

pasien kusta MB dan proporsinya semakin meningkat 

seiring meningkatnya IB.3

 Terapi yang lebih lama 

dikaitkan dengan keparahan dan kuman persisters.

4

Terapi inadekuat

Terapi inadekuat umumnya terjadi akibat kesalahan 

diagnosis kusta MB sebagai kusta PB.3

 Pasien yang 

diberi enam dosis MDT berisiko 3,62 kali lebih besar 

untuk mengalami kekambuhan dibandingkan pasien 

yang menerima 12 dosis MDT, yang mendukung teori 

kemungkinan kesalahan diagnosis kusta MB sehingga 

terapi yang diberikan inadekuat.4

Resistensi obat

Resistensi primer terjadi akibat infeksi M. leprae

dengan galur resisten sedangkan resistensi sekunder 

terjadi akibat terapi tidak teratur atau monoterapi.3

 Empat 

kasus resistensi dilaporkan dari 92 kasus kekambuhan 

kusta di Brazil dengan median waktu sejak RFT hingga 

kekambuhan 3,26 tahun pada pasien dengan resistensi 

obat, yang lebih singkat dibandingkan pasien tanpa 

resistensi (9,45 tahun).5

Terapi tidak teratur

Terapi tidak teratur umumnya disebabkan suplai obat 

tidak memadai atau ketidakpatuhan pasien.3

 Pasien yang 

mendapatkan terapi yang tidak teratur memiliki risiko 

3,8 kali lebih besar untuk mengalami kekambuhan.4

Monoterapi dapson 

Laju kekambuhan lebih tinggi pada pasien yang 

menerima monoterapi dapson dibandingkan MDT akibat 

perkembangbiakan organisme yang resisten terhadap 

obat.3

 Monoterapi dapson dikaitkan dengan banyaknya 

kejadian resistensi terhadap dapson. Pada pasien 

kekambuhan ditemukan 70% kasus resistensi terhadap 

dapson, lima kasus diantaranya menerima monoterapi 

dapson.6

IB awal tinggi

Pasien dengan IB tinggi sebelum terapi memiliki 

risiko kekambuhan lebih tinggi. Pasien dengan kusta 

lepromatosa memiliki imunitas selular yang buruk 

sehingga lebih sering ditemukan kuman persisters yang 

mudah memicu kekambuhan.3

 Pasien dengan IB sebelum 

terapi ≥ 2+ memiliki risiko 4,294 kali lebih besar untuk 

mengalami kekambuhan dibandingkan dengan pasien 

dengan IB < 2+.7

Jumlah lesi kulit dan saraf

Laju kekambuhan tinggi dikaitkan dengan banyak 

lesi kulit dan saraf (lebih dari lima buah dan terdapat 

pada tiga atau lebih area tubuh). Antibodi mikobakterial 

telah ditemukan pada pasien kusta tuberkuloid (TT) dan 

borderline tuberculoid (BT) yang memiliki banyak lesi 

kulit, yang mengindikasikan terdapat banyak organisme. 

Maka, kasus ini mungkin sebenarnya bukan kusta PB 

dengan pemberian MDT selama 6 bulan kemungkinan 

inadekuat.3

Tes lepromin negatif

Pasien dengan kusta tipe borderline dan tes lepromin 

positif ditemukan memiliki laju kekambuhan lebih 

rendah.3

 Pasien dengan kusta tipe selain borderline

memiliki risiko 7,1 kali lebih besar mengalami 

kekambuhan dibandingkan seluruh tipe borderline.

4

Terapi antireaksi

Salah satu faktor yang dipikirkan berperan pada 

reaksi dan kekambuhan adalah kuman persisters.

3

Pasien yang diberikan terapi antireaksi memiliki risiko 

4,881 lebih besar untuk mengalami kekambuhan. Risiko 

ini tidak terkait supresi imun oleh kortikosteroid tetapi 

akibat kebanyakan reaksi merupakan eritema nodosum 

leprosum (ENL) yang ditemukan pada pasien kusta MB 

dengan persisters.

7

Infeksi human immunodeficiency virus (HIV)

Risiko kekambuhan meningkat pada pasien dengan 

koinfeksi HIV dan kusta dilaporkan sebagai penyakit 

rekonstitusi imun pada pasien yang mendapatkan highly 

active antiretroviral treatment (HAART).Kondisi fisiologis

Kehamilan, terutama pada trimester ketiga, seringkali 

dikaitkan dengan kekambuhan.8

 Kekambuhan pada 

kehamilan diduga akibat penurunan imunitas selular yang 

ditandai dengan penurunan regulasi respons T-helper 1 

(Th1) dan penurunan produksi interleukin-2 (IL2).8-10

MANIFESTASI KLINIS

Pada kusta MB, kekambuhan lebih sering terjadi 

pada usia lanjut sedangkan kasus kusta PB lebih sering 

ditemukan pada usia muda. Laki-laki cenderung sering 

mengalami kekambuhan kemungkinan sebab  prevalensi 

kusta lebih banyak pada laki-laki. Pada populasi 

perempuan dengan kusta, kekambuhan lebih sering 

ditemukan pada ibu hamil dan menyusui.3

Manifestasi kekambuhan kusta PB

Lesi lama yang sudah menyembuh menunjukkan 

aktivitas baru, seperti eritema, infiltrasi, perluasan, lesi 

satelit, serta peningkatan jumlah lesi. Saraf sehat menjadi 

nyeri dan menebal, disertai perluasan area mati rasa dan 

defisit motorik. Kekambuhan dapat terjadi hanya pada 

saraf dan dapat disertai perubahan tipe kusta.3

 Kusta PB 

dilaporkan dapat mengalami kekambuhan dalam bentuk 

MB.11

Manifestasi kekambuhan kusta MB

Infiltrasi muncul di berbagai bagian tubuh yang 

dapat disertai papul dan nodus subkutan merah muda, 

lembut, dan mengkilap. Papul dapat membentuk plak 

dan membesar, serta teraba seperti memiliki selubung. 

Papul dan nodus dapat ditemukan pada palatum durum, 

bibir bagian dalam, dan glans penis. Sampel pemeriksaan 

apusan kulit diambil dari bagian dalam nodul. 

Pembengkakan nodular dapat ditemukan di sekitar saraf 

kulit dan saraf perifer disertai dengan kehilangan fungsi, 

penebalan dan/atau nyeri pada saraf yang sebelumnya 

sehat, dan area mati rasa bertambah. Kekambuhan dapat 

berupa kusta histoid. Kusta dengan keterlibatan mata 

dapat mengalami kekambuhan dalam bentuk mutiara 

iris atau lepromata.3

 Sebuah kasus kekambuhan kusta 

dilaporkan dengan manifestasi klinis hanya pada saraf 

tanpa keterlibatan kulit pada pasien kusta MB setelah 

RFT 6 tahun.12

PEMERIKSAAN PENUNJANG 

Pemeriksaan mikrobiologi, imunologi, dan 

histopatologi dapat dilakukan untuk menegakkan 

diagnosis kekambuhan kusta. Pemeriksaan mikrobiologi 

terdiri atas teknik in-vivo, in-vitro, dan molekular. Teknik 

in-vivo dilakukan dengan menginokulasi bakteri pada 

kaki mencit. Teknik in-vitro mencakup pemeriksaan 

indeks morfologi, perwarnaan fluorescein diacetate￾ethidium bromide (FDA-EB), laser microprobe mass 

analysis (LAMMA), pengukuran adenosin trifosfat 

(ATP), dan pemeriksaan berbasis makrofag. Teknik 

molekular mencakup pemeriksaan yang menargetkan 

asam deoksiribonukleat dan asam ribonukleat serta 

polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan imunologi 

mencakup pemeriksaan antibody phenolic glycolipid 

1 (PGL-1), natural disaccharide-octyl-bovine serum 

albumin enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), 

dan pemeriksaan berbasis interleukin. Pemeriksaan 

histopatologi dan mikrobiologi harus dilakukan minimal 

1 kali setiap 6 bulan selama pengobatan dan diulang 

hingga 5 tahun setelah hasilnya negatif.3

KRITERIA DIAGNOSIS KEKAMBUHAN

Diagnosis kekambuhan cukup ditegakkan dengan 

kriteria klinis, bakteriologis, dan terapeutik. Kriteria 

histopatologi dan serologi dapat digunakan jika fasilitas 

memadai. Diagnosis kekambuhan kusta PB ditegakkan 

apabila terdapat manifestasi klinis sesuai kusta PB, 

peningkatan IB, tidak membaik dengan pemberian 

steroid, temuan histopatologi sesuai kusta PB, atau 

peningkatan kadar indikator serologis. Kekambuhan 

kusta MB ditegakkan apabila terdapat manifestasi klinis 

sesuai kusta MB, peningkatan IB, tidak membaik dengan 

pemberian steroid, temuan histopatologi sesuai kusta 

MB, peningkatan kadar indikator serologis, atau skor ≥3 

pada sistem penilaian Linder.

 IM tidak digunakan sebab  

sulit distandarisasi dan kurang reliabel di lapangan.

Kriteria klinis3

Kriteria klinis dapat digunakan untuk menegakkan 

diagnosis kekambuhan kusta PB maupun MB. Kriteria 

klinis mencakup ukuran dan luas lesi bertambah, timbul 

lesi baru, eritema dan infiltrasi pada lesi yang telah 

menyembuh, serta keterlibatan saraf (penebalan atau 

nyeri).

Kriteria bakteriologis

Kriteria ini digunakan untuk menegakkan diagnosis 

kekambuhan kusta MB. Dengan asumsi penurunan IB 

0,5-1 log-unit/tahun pada kusta MB, estimasi IB pada 

akhir terapi dapat dihitung dengan rumus:

Estimasi IB pada akhir terapi = IB pada awal terapi – jum￾lah tahun yang dibutuhkan untuk mencapai RFTPada pasien dengan IB positif di awal terapi, 

diagnosis kekambuhan ditegakkan apabila dalam dua 

kali pemeriksaan berturut-turut setelah RFT terdapat 

peningkatan IB >2+ pada dua lokasi pengambilan, 

dengan catatan pasien telah mengkonsumsi minimal 

75% dari obat yang diberikan. Pada pasien dengan hasil 

negatif sebelumnya, bila hasil pemeriksaan IB positif 

dalam dua kali pemeriksaan selama masa pemantauan 

dapat ditegakkan sebagai kekambuhan.3

Kekurangan kriteria ini adalah kekambuhan dengan 

IB <2+ tidak terdiagnosis, yang mungkin terjadi pada 

pasien dengan imunitas tinggi dan ketika fase awal 

perkembangbiakan bakteri, serta kualitas pemeriksaan 

apusan kulit yang beragam.3

Kriteria terapeutik

Kriteria terapeutik dapat digunakan untuk 

menegakkan diagnosis kekambuhan kusta PB maupun 

MB. Apabila pasien yang diduga mengalami RR 

diberikan prednisolon dengan dosis 1 mg/kg/hari, RR 

akan menyembuh sepenuhnya dalam 2 bulan. Jika 

dalam 4 minggu setelah pemberian kortikosteroid, 

gejala tidak membaik atau bertambah parah, diagnosis 

kekambuhan dapat ditegakkan.14 Pemberian steroid 

pada kasus kekambuhan yang tidak terdeteksi dapat 

menyebabkan perkembangbiakan bakteri.

 Walaupun 

demikian, Efek imunosupresi steroid tidak dikaitkan 

dengan meningkatnya risiko kekambuhan, melainkan 

akibat kebanyakan reaksi terjadi pada kusta MB dengan 

persisters 

Kriteria histopatologi

Kriteria histopatologi untuk kusta PB adalah 

munculnya granuloma yang telah regresi sebelumnya 

sedangkan kriteria untuk kusta MB adalah peningkatan 

infiltrasi makrofag disertai peningkatan IB dan BTA 

solid.3

Kriteria serologis

Indikator serologis untuk kekambuhan kusta MB, 

yaitu tipe lepromatous leprosy (LL), adalah antibodi IgM 

PGL-

 Pemeriksaan ini digunakan untuk menegakkan 

diagnosis kekambuhan dan didapatkan peningkatan 

kadar antibodi setelah sebelumnya menurun saat pasien 

dinyatakan RFT

Sistem penilaian Linder untuk kekambuhan kusta 

MB

Sebuah sistem penilaian telah dikembangkan 

oleh Linder untuk kekambuhan kusta MB (Tabel 2). 

Kriteria ini lebih sensitif dibandingkan kriteria WHO. 

Kekambuhan didiagnosis jika skor ≥3.3

DIAGNOSIS BANDING

Perbedaan kekambuhan dan reaksi 

Kekambuhan dan RR memiliki gambaran granuloma 

yang serupa pada pemeriksaan histopatologi.3,15

Perbedaannya adalah peningkatan IB pada kekambuhan 

tidak ditemukan pada kasus RR. Terdapat beberapa 

gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang dapat 

membedakan keduanya (Tabel 3 dan 4).3

Perbedaan kekambuhan dan resistensi

Resistensi terhadap dapson sering ditemukan. 

Sejak penggunaan MDT, resistensi terhadap rifampisin 

dan ofloksasin sering terjadi akibat terapi tidak teratur 

(Tabel 5). Resistensi terhadap klofazimin sangat jarang 

terjadi sehingga mekanismenya masih belum diketahui. 

Resistensi terhadap rifampisin ditemukan sebanyak 5,1% 

pada 1.143 kasus kekambuhan.16

Perbedaan kekambuhan dan reaktivasi

Reaktivasi terjadi akibat terapi tidak tuntas atau 

tidak teratur. Reaktivasi timbul segera setelah penyakit 

membaik sedangkan kekambuhan muncul setelah 

RFT dan penyakit menyembuh selama beberapa saat.3

Reaktivasi sering terjadi pada kusta borderline yang 

tidak stabil secara klinis dan imunologis. Reaktivasi 

disebabkan oleh produksi sitokin proinflamasi lokal 

(terutama interferon-γ dan tumor necrosis factor-α) yang Perbedaan kekambuhan dan reinfeksi

Reinfeksi sulit dibuktikan terutama pada daerah 

endemis. Pasien kusta lepromatosa yang sembuh tidak 

menjadi imunokompeten sepenuhnya sehingga walaupun 

risiko reinfeksi rendah, terdapat risiko yang signifikan 

bagi pasien ini . Pasien kusta umumnya tetap tinggal 

di daerah endemis kusta dan kembali terpajan terhadap 

M. leprae sehingga sering terjadi reinfeksi. Pada 

reinfeksi, masa inkubasi sulit diduga dan lesi baru kulit 

maupun saraf tidak menyerupai lesi awal. Namun, ketika 

ditemukan pasien dengan interval sejak RFT hingga 

terjadi lesi baru melebihi masa inkubasi (umumnya 

lebih dari 15 tahun), dapat dipikirkan kemungkinan 

reinfeksi.

Pengobatan kekambuhan harus segera dimulai untuk 

mencegah kecacatan dan transmisi infeksi. Pasien dengan 

IB sebelum terapi ≥4+ sebaiknya diberikan terapi dan 

pemantauan lebih lama. Tata laksana utama kekambuhan 

kusta adalah MDT sesuai jenis kustanya, yaitu MDT 

PB untuk kekambuhan kusta PB dan MDT MB untuk 

kekambuhan kusta MB. Modifikasi MDT perlu dilakukan 

jika ditemukan resistensi obat.

Tipe kusta

Pasien kusta umumnya mengalami kekambuhan 

dengan tipe yang sama. Akan tetapi, pasien kusta PB 

kadang-kadang mengalami kekambuhan dalam bentuk 

MB sehingga perlu diberikan MDT MB.

Riwayat terapi sebelumnya

Pasien yang sebelumnya menerima monoterapi 

dapson atau klofazimin ketika mengalami kekambuhan 

perlu diberikan MDT sesuai tipe kustanya.3

Resistensi obat

Terapi perlu dimodifikasi apabila pasien resisten 

terhadap rifampisin (Tabel 6).

KEGAGALAN RESPONS TERAPI

Tidak tampaknya perbaikan klinis maupun 

bakteriologis meskipun terapi adekuat atau perburukan 

selama terapi digolongkan sebagai gagal merespons 

terapi. Kasus ini berpotensi kekambuhan sehingga 

penanganan perlu diberikan untuk membedakan reaksi 

atau kegagalan reespons terapi. WHO mendefinisikan 

hasil memuaskan MDT sebagai pasien yang patuh 

berobat dengan hasil akhir basil mulai menghilang pada 

kusta MB dan lesi membaik secara umum pada kusta 

PB dan MB. Lesi kemungkinan belum menghilang 

seluruhnya ketika terapi dihentikan. Perbaikan yang 

lambat dapat menandakan kegagalan terapi sehingga 

pemantauan perlu dilakukan setidaknya dua tahun atau 

jika memungkinkan sampai lima tahun. Antimikroba 

alternatif perlu dipertimbangkan pada kasus ini.

Kekambuhan kusta adalah sebuah hambatan 

dalam mencapai target eliminasi kusta. Penegakan 

diagnosis kekambuhan dapat dilakukan dengan kriteria 

klinis, bakteriologis, dan terapeutik serta kriteria 

histopatologi dan serologi jika memungkinkan. Tata 

laksana kekambuhan kusta bergantung pada tipe kusta 

saat kekambuhan dan ada tidaknya resistensi obat. 

Kekambuhan kusta diharapkan dapat segera ditangani 

dan menurunkan angka morbiditas pasien kusta dengan 

pemahaman yang baik mengenai hal ini .