kusta5
Eritema Nodosum Leprosum (ENL) merupakan reaksi kusta tipe II yang paling sering dilaporkan. ENL
paling sering terjadi pada kusta tipe lepromatosa (LL). Pengobatan ENL dengan prednisolon terbukti
efektif namun memberikan efek samping berat seperti hiperglikemia, diabetes, osteoporosis, hipertensi,
katarak dan imunosupresi bila digunakan dalam jangka waktu panjang, sedangkan pengobatan dengan
talidomid sangat terbatas sebab memiliki efek teratogenik. pemakaian metotreksat dan metformin
pada ENL bekerja sebagai agen anti-inflamasi yang memberikan berbagai keuntungan berdasar
profil keamanan, pengaturan dosis yang mudah, dan biaya yang rendah. Kedua obat ini dapat menjadi
pilihan obat monoterapi maupun sebagai obat tambahan yang dikombinasikan dengan kortikosteroid.Eritema nodosum leprosum (ENL) yaitu reaksi
kusta dengan inflamasi berat yang berpotensi
terjadi pada 50% pasien dengan kusta tipe
lepromatosa dan 5-10% pasien kusta tipe
borderline lepromatosa.
4 ENL dapat terjadi
sebelum, selama atau sesudah pengobatan selesai.
ENL memicu peradangan pada organ tubuh
yang ditandai dengan nyeri hebat pada lesi kulit,
demam, nyeri sendi dan tulang, iritis, orkitis,
limfadenopati, dan neuritis. Sebagian besar
pasien memiliki beberapa episode peradangan
hebat yang berlangsung selama beberapa tahun
dan dapat menimbulkan kecacatan hingga
kematian. pemicu ENL masih belum diketahui
dengan jelas, namun ditemukan hubungan
aktivasi kompleks imun dan peradangan. Lesi
kulit ENL dapat menunjukkan gambaran
vaskulitis dan ada bukti aktivasi neutrofil
dan limfosit.1
Tujuan utama pengobatan ENL yaitu
mengontrol peradangan akut dan neuritis,
mengurangi rasa nyeri dan tidak nyaman,
mencegah perkembangan dan perluasan lesi kulit,
saraf, mata dan viseral, serta mencegah
timbulnya episode ENL berulang.
2,4 Pasien
dengan ENL membutuhkan pengobatan jangka
panjang dengan diberikan kortikosteroid,
klofazimin, dan talidomid. Talidomid yaitu
pengobatan yang paling efektif tetapi tidak
tersedia secara luas sebab efek teratogenik. Saat
ini obat yang paling umum digunakan yaitu
kortikosteroid dosis tinggi, namun obat ini
mengakibatkan komplikasi berat dan kematian
pada pemakaian jangka panjang.
1 Dengan
berbagai pertimbangan dalam pemilihan
pengobatan ENL saat ini, beberapa obat telah
dicetuskan sebagai terapi alternatif ENL, dengan
atau tanpa kortikosteroid untuk mencegah efek
samping dan meningkatkan efektivitas obat
terhadap ENL, seperti metrotreksat dan
metformin dengan profil keamanan yang baik
untuk mengelola peradangan pada ENL.
Tinjauan ini akan menjelaskan
mekanisme kerja, cara pengunaan, dan
keunggulan metotreksat serta metformin sebagai
terapi alternatif yang dapat diberikan pada kasus
ENL berulang.
ISI
Definisi dan Klasifikasi Kusta & Reaksi Kusta
Morbus Hansen atau disebut juga
penyakit kusta (lepra) disebabkan oleh M. leprae
(basil tahan asam). Penyakit ini terutama
menyerang kulit dan sistem saraf tepi, bersifat
kronis, dan berdampak disabilitas atau kecacatan.
M. leprae menyerang sel schwann sehingga
menginduksi demielinisasi dan hilangnya
konduksi aksonal.
Ridley-Jopling mengklasifikasikan kusta
berdasar respon imun pasien menjadi
indeterminate (I), tuberkuloid (TT), borderlinetuberkuloid (BT), boderline-borderline (BB),
borderline-lepromatosa (BL) dan lepromatosa
(LL). Selain itu, ada klasifikasi lain oleh
WHO berdasar jumlah lesi kulit dan
persarafan yang terganggu, yaitu pausibasiler
(PB) atau multibasiler (MB) yang dibuat untuk
memfasilitasi regimen pengobatan
Dalam perjalanan penyakit kusta yang kronis
akan terjadi reaksi inflamasi yang berasal dari
reaksi hipersensitivitas akut maupun kronis
sebagai respon terhadap antigen M. leprae.
Episode ini disebut reaksi kusta dan dapat terjadi
dalam perjalanan penyakit yang teratur bahkan
tanpa intervensi pengobatan. Reaksi kusta
merupakan pemicu utama kerusakan
neurologis permanen yang memicu
komplikasi serius berupa kecacatan.2 Reaksi
kusta digolongkan menjadi reaksi tipe I (reaksi
reversal/reaksi upgrading) dan reaksi tipe II
(eritema nodosum leprosum/ENL).
15 Reaksi tipe I
terlihat secara khas pada kusta borderline,
sedangkan reaksi tipe II timbul pada kusta tipe
lepromatosa atau borderline lepromatosa.
3
Eritema Nodusum Leprosum
Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
merupakan reaksi kusta tipe II yang paling sering
terjadi.
3 ENL yaitu vaskulitis agresif dengan
deposisi kompleks imun yang mempengaruhi
berbagai organ tubuh, dan mengakibatkan
neuritis, panniculitis, glomerulonefritis, artralgia,
epididimitis, orkitis, peradangan pada mata,
osteitis dan limfadenitis dengan gejala sistemik
seperti demam, edema, dan malaise.
14 Dalam
kasus yang berat dapat terjadi ulserasi pada lesi.
Pada pemeriksaan histologi ENL terlihat edema
dan campuran infiltrat inflamasi di dermis dan
subkutis, terutama neutrofil dan eosinofil,
limfosit, agregasi makrofag yang berbusa, sel
plasma, dan sel mast. Dapat ditemukan vaskulitis
dan campuran panniculitis lobular dan septal.
Ditemukan basil dalam jumlah besar dengan
gambaran granular. Limfosit dominan yang
ada dalam ENL yaitu sel T-helper,
sedangkan sel T-supresor mendominasi pada
kusta lepromatosa.9,14
Mekanisme ENL sampai saat ini belum
diketahui secara pasti namun diyakini sebagai
respon inflamasi sistemik terhadap deposisi
kompleks imun ekstravaskular.
5 ENL bersifat
kronis, dapat timbul bertahun-tahun sesudah
pengobatan kusta selesai, dan membutuhkan
pengobatan selama beberapa tahun.4,5 Manandhar
dkk. mengidentifikasi lima faktor risiko untuk
episode ENL berulang, yaitu subtipe LL, apusan
kulit >4+, lebih dari lima saraf yang membesar,
adanya nodul kulit atau infiltrasi, kehamilan dan
laktasi.
3
ada tiga pola klinis ENL, yaitu
episode akut, rekuren, dan kronik. Episode akut
yaitu episode tunggal ENL yang terjadi kurang
dari 24 minggu. ENL rekuren yaitu episode
ENL kedua atau lebih yang timbul ≥28 hari
sesudah pengobatan ENL dihentikan. ENL kronik
yaitu episode yang terjadi selama lebih dari 24
minggu dan pasien memerlukan pengobatan ENL
secara terus menerus atau saat periode bebas
pengobatan sampai 27 hari.
4
Patogenesis ENL diduga berkaitan
dengan deposisi kompleks imun. Kuman
M.leprae yang masuk ke dalam tubuh akan
ditangkap oleh makrofag. Kompleks imun terjadi
sebab peningkatan pembentukan antibodi oleh
sel B dan peningkatan antigen mikobakteri
melalui fragmentasi basil M. leprae. Limfosit T
yaitu bagian dari respon imun adaptif yang
membantu menghilangkan bakteri, virus, infeksi parasit atau sel ganas. Ditemukan peningkatan
sel T CD 4+, penurunan CD 8+, dan peningkatan
rasio CD4+/CD8+ pada pasien ENL. Sitokin
TNF-α dan IFN-γ ditemukan meningkat pada
pasien dan menunjukkan peran inflamasi pada
ENL. TNF-α terbentuk akibat dari stimulasi sel
dengan M.Leprae dan komponennya. Kemokin
seperti IL-8 memicu kompleks imun
tersimpan dalam kulit.16 Aktivasi neutrofil pada
ENL memicu terjadinya peningkatan
ekspresi E-selektin dan IL-1β yang mengarah
pada pelekatan neutrofil ke sel endotel.8 Neutrofil
berkontribusi pada sebagian besar produksi TNF
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan pada
kusta. Beberapa penelitian juga telah
menunjukkan adanya peningkatan kadar TNF-α,
IL-6, IL-12 dan IL-17 pada kulit dan darah.4
Mekanisme kompleks imun pada pasien ENL
telah dibuktikan melalui pemeriksaan
imunoassay dengan Clq
Pengobatan ENL yang Diberikan Saat Ini
Pada kasus ENL sedang hingga berat
pilihan pengobatan utama yaitu kortikosteroid,
dengan yang paling umum digunakan yaitu
prednisolon oral. Dosis bergantung pada tingkat
keparahan penyakit, dapat diberikan 15-30 mg
per hari atau lebih. Semakin berat reaksi yang
terjadi maka semakin tinggi dosis yang
diberikan.
15 Sebagian besar pasien memerlukan
pengobatan prednisolon jangka panjang sebab
evolusi reaksi kusta. Ketika terjadi
ketergantungan pada steroid atau komplikasi dari
pemakaian nya, klofazimin dapat diberikan.
Klofazimin yaitu zat aktif yang bekerja sebagai
anti-inflamasi dan antimikroba. Obat ini tidak
boleh diberikan lebih dari 12 bulan. Selain
steroid, talidomid juga terbukti efektif sebagai
monoterapi maupun dalam kombinasi dengan
steroid pada pengobatan ENL sedang hingga
berat. Obat ini memiliki onset kerja yang sama
cepatnya dengan steroid. Talidomid mengurangi
kebutuhan prednisolon pada pasien dengan ENL
kronik. Pengobatan dengan talidomid dan
prednisolon oral merupakan obat yang sampai
saat ini efektif dalam pengelolaan ENL sebab
kedua obat ini bekerja dengan menghambat
pelepasan TNF-α.11,12 Namun, pengobatan jangka
panjang dengan kortikosteroid dosis tinggi
berhubungan dengan efek samping berat seperti
hiperglikemia, diabetes, osteoporosis, hipertensi,
katarak dan imunosupresi. Talidomid sebagai
terapi alternatif steroid juga kerap tidak tersedia
sebab peraturan yang membatasi
pemakaian nya akibat dari efek teratogenik.
5
Pengobatan ENL Berulang dengan
Metotreksat
Metotreksat memberikan berbagai
keuntungan untuk pasien ENL. berdasar
pengalaman, profil keamanan, pengaturan dosis
yang mudah, dan biaya yang rendah metotreksat
menjadi salah satu alternatif pengobatan ENL
yang dapat diberikan sebagai monoterapi maupun
obat tambahan yang dikombinasikan dengan
kortikosteroid.
5 Metotreksat merupakan analog
asam folat yang memiliki sifat anti-proliferasi
yang dimediasi via inhibisi jalur folat dependen
(anti-neoplasia), imunosupresif, dan memiliki
efek anti-inflamasi yang berasal dari peningkatan
regulasi adenosin melalui peningkatan kadar
AICAR.
7
Metrotreksat dalam dosis rendah
memiliki efek anti inflamasi. Pada jalur antiinflamasi ada nukleosida purin yang dikenal
sebagai adenosin, yang memiliki kapasitas untuk
melawan proses inflamasi. Molekul metoreksat
dan poliglutamat memiliki kemampuan untuk
menghambat enzim yang bergantung pada folat
(terlibat dalam sintesis nukleotida purin) yang
disebut 5-aminoimidazole-4-carboxamide
ribonucleotide (AICAR) transformilase. Pada saat
AICAR transformilase tidak berfungsi terjadi
peningkatan kadar AICAR dalam sel yang
memicu terjadinya inhibisi adenosin
deaminase sehingga terjadi peningkatan pada
adenosin di ekstraseluler. Adenosin merupakan
nukleosida purin yang dianggap sebagai senyawa
anti-inflamasi endogen. Dengan mengikat
reseptor permukaan sel tertentu, adenosin
terbukti memiliki efek anti-inflamasi yang kuat
pada sejumlah sel target yang berbeda. Efek antiinflamasi merupakan hasil interaksi adenosin
dengan reseptor adenosin pada permukaan sel,
mekanisme yang menghambat kemotaksis
leukosit, inflamasi oksidatif pada
neutrofil/monosit dan sintesis sitokin dari
monosit/makrofag (TNF-α, IL-6, -8,-10 dan 12).
Steroid juga terbukti memiliki efek anti-inflamasi
dengan mekanisme yang sebagian besar sama.
Kombinasi terapi metotreksat dan steroid
diharapkan memberikan hasil yang lebih baik.
Beberapa penelitian telah menunjukkan
efektivitas pengobatan metotreksat pada pasien
dengan ENL
Penelitian yang dilakukan oleh Hasan,
dkk (2020) menguji 19 pasien ENL berusia 18-65
tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien
dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama
diberikan 3x 2,5 mg metotreksat setiap minggu
selama enam bulan dan prednisolon 40 mg/hari
dengan penurunan dosis perlahan selama tiga
bulan dan kelompok kedua diberikan monoterapi
prednisolon (40 mg/hari dengan penurunan dosis
perlahan selama 6 bulan). Kedua kelompok akan
dilakukan observasi terhadap ENL rekuren
dengan penilaian RSAS (Reaction Severity
Assessment Score). Hasil dari penelitian ini
yaitu satu pasien dari kelompok pertama dan
dua pasien dari kelompok kedua mengalami ENL
rekuren. Ketiga pasien diobservasi dan
ditambahkan dosis prednisolon sesuai protokol
WHO dan didapatkan hasil kelompok pertama
tidak mengalami episode ENL berulang, namun
kelompok kedua mengalami episode rekuren dan
eksaserbasi ENL. Selain itu, pada pasien dengan
monoterapi prednisolon efek samping steroid
lebih terlihat jelas. ada tiga kasus hipertensi
dan satu kasus diabetes pada kelompok dengan
monoterapi prednisolon. Kesimpulan dari
penelitian ini yaitu metotreksat dapat digunakan
sebagai terapi tambahan untuk mencegah
rekurensi ENL terutama jika ada
kontraindikasi pemakaian steroid jangka
panjang. Metotreksat juga dapat diberikan untuk
meminimalisir toksisitas steroid.6
Penelitian yang dilakukan oleh Nagar,
dkk (2015) menguji pemakaian metotreksat
pada kasus ENL dengan resistensi prednisolon.
Pasien yang tidak responsif dengan prednisolon
diberikan talidomid. Talidomid terbukti dapat
mengobati ENL namun tidak dapat mencegah
remisi. Maka dari itu, pasien diberikan
metotreksat dengan dosis 15 mg/minggu dosis
terbagi tiga dengan jarak 12 jam, dengan
pengobatan selama 6 bulan. Hasil yang
didapatkan yaitu merotreksat terbukti efektif,
namun pemberian metotreksat tidak efektif dalam
kasus non-responsif terhadap talidomid.10
Pengobatan ENL Berulang dengan Metformin
Dalam pengobatan ENL kronik berulang,
target terapi ditujukan kepada mediator-mediator
inflamasi dan mencegah terjadinya stres mental.
Episode inflamasi ENL pada pasien kusta
menunjukkan peningkatan kadar serum TNF-α
yang tinggi. TNF-α merupakan mediator penting
dalam proses inflamasi dan memicu
kerusakan jaringan selama reaksi berlangsung.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
ketika distimulasi secara in vitro akan terjadi
pelepasan TNF-α dalam jumlah besar.
Peningkatan ekspresi mRNA TNF-α dan protein
TNF-α telah terdeteksi pada lesi ENL. TNF-α
memiliki efek biologis yang berbeda baik dalam
inisiasi maupun amplifikasi kerusakan jaringan
pada reaksi kusta dan juga dikaitkan dengan
mediasi kerusakan saraf pada kusta neuritis. ENL
dianggap sebagai penyakit yang dimediasi
kompleks imun atau reaksi hipersensitivitas tipe
III.
Metformin merupakan obat oral golongan
biguanid, diberikan kepada pasien diabetes
melitus tipe II dan sindrom poliksitik ovarium.
Dosis metformin berkisar dari 250 mg sampai
2500 mg per hari dalam dosis terbagi. Dengan
dosis yang sesuai, metformin dapat diberikan
dalam jangka panjang dengan efek samping
minimal. Metformin berpotensi untuk mengobati
gangguan yang berhubungan dengan inflamasi,
sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan
peradangan pada ENL. Dalam penelitian secara
in vivo, metformin menunjukkan efek antiinflamasi dengan menghambat TNF-α. Dalam
penelitian in vitro, metformin menunjukkan
peran inhibisi TNF-α jika diberikan secara
monoterapi maupun kombinasi.
Keuntungan menggunakan metformin
dibandingkan obat yang tersedia saat ini yaitu
profil keamanannya, tersedia di pasaran selama
beberapa dekade, dapat diberikan dengan aman
pada wanita hamil, pilihan dosis yang luas dan
tidak banyak pemeriksaan lanjutan spesifik.
Selain itu, metformin dapat digunakan sebagai
monoterapi atau dalam kombinasi dengan steroid
dosis rendah atau pada pasien ENL dengan
riwayat diabetes melitus. pemakaian metformin pada ENL dapat mengurangi peradangan dan
mencapai fase perbaikan dengan cepat tanpa efek
samping yang signifikan.
11,12
Dibadingkan dengan prednisolon dan
talidomid, metformin memberikan efek samping
minimal berupa intoleransi lambung seperti sakit
perut, perut kembung, dan diare. Efek akan
berkurang jika dosis diturunkan atau diberikan
bersama dengan makanan. ada bukti
penurunan penyerapan vitamin B12 sebesar 10-
13%, namun tidak berkaitan dengan kejadian
anemia megaloblastik. Efek samping lain seperti
vaskulitis leukositoklastik, pneumonitis alergi,
hiperbilirubinemia, dan anemia hemolitik sangat
jarang terjadi. Hipoglikemia jarang terjadi
dengan pemberian monoterapi untuk penderita
diabetes melitusDengan berbagai efek samping berat yang
ditimbulkan pada pemakaian kortikosteroid
jangka panjang dan keterbatasan pemakaian
talidomid, metotreksat dan metformin
memberikan berbagai keuntungan dalam
pengobatan ENL berulang. Metotreksat telah
terbukti dapat mencegah ENL berulang dengan efek samping minimal. Metformin juga dapat
diberikan sebagai agen anti-inflamasi pada kasus
ENL berulang, namun penelitian mengenai
efektivitas pemakaian metformin masih sedikit
dan perlu pengembangan lebih lanjut
kusta10
Penyakit kusta memiliki pengaruh yang
luas pada kehidupan penderita mulai dari
perkawinan, pekerjaan, hubungan antar pribadi,
kegiatan bisnis sampai kehadiran mereka pada
acara –acara keagamaan serta acara di
lingkungan warga
Penyakit kusta juga menimbulkan masalah
yang sangat kompleks, masalah yang dimaksud
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai
masalah sosial, ekonomi, psikologis, budaya,
keamanan dan ketahanan nasional (Depkes RI,
2005). Kecacatan yang berlanjut dan tidak
mendapatkan perhatian serta penanganan yang
tidak baik akan menimbulkan ketidak mampuan
melaksanakan fungsi sosial yang normal serta
kehilangan status sosial secara progresif,
terisolasi dari warga , keluarga dan temantemannya sedang secara
psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit
penderita membentuk paras yang menakutkan.
Kecacatannya juga memberikan gambaran yang
menakutkan menyebabkan penderita kusta
merasa rendah diri, depresi dan menyendiri
bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya. Suatu
kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta
berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan
ini turut memperburuk keadaan
Melihat sejarah, penyakit kusta merupakan
penyakit yang ditakuti warga dan keluarga.
Saat itu telah terjadi pengasingan secara spontan
sebab penderita merasa rendah diri dan malu
(stigma). Disamping itu warga menjauhi
sebab merasa jijik dan takut hal ini disebabkan
sebab kurangnya pengetahuan atau pengertian
juga kepercayaan yang keliru terhadap penyakit
kusta. warga masih banyak beranggapan
bahwa kusta disebabkan oleh kutukan, gunaguna, dosa, makanan ataupun keturunan. Diera
modern ini muncul istilah “stigmatisasi” yang lebih
mencerminkan “kelas” daripada fisik. Proses
inilah yang pada akhirnya membuat para penderita
terkucil dari warga , dianggap menjijikan dan
harus dijauhi. Sebenarnya stigma ini timbul sebab
adanya suatu persepsi tentang penyakit kusta
yang keliru.
Salah satu misi Depertemen Kesehatan
dalam pemberantasan penyakit kusta yaitu
menghilangkan stigma sosial (ciri negatip yang
menempel pada pribadi seseorang sebab
pengaruh lingkungannya) dengan mengubah
persepsi warga terhadap penyakit kusta
melalui pembelajaran secara intensif tentang
penyakit kusta (Depkes RI, 2005). Menurunkan
stigma dan mengurangi diskriminasi mendorong
perilaku warga dalam menerima penderita
kusta. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan
percaya diri penderita dan keluarga dalam
kehidupan sehari – hari.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Tugurejo Semarang merupakan Rumah Sakit
kelas B milik Provinsi Jawa Tengah. Terletak di
Semarang bagian barat, sebelum menjadi rumah
sakit umum merupakan Rumah Sakit Khusus
penderita kusta, sampai saat ini RSUD Tugurejo
masih memberikan pelayanan penyakit kusta dan
menjadi pusat rujukan serta pendidikan penyakit
kusta di Jawa Tengah. Data kunjungan rawat jalan
penderita kusta setiap tahun meningkat, tahun
2005 yaitu 3.839 pasien, tahun 2006 berjumlah
3.975 dan tahun 2007 sebanyak 4.127
kunjungan (RSUD Tugurejo, 2007). Tahun 2007
poli klinik khusus penderita kusta menemukan
192 kasus penderita baru. Jumlah penderita
rawat inap kkusus kusta tahun 2005 yaitu 190
pasien, tahun 2006 sebanyak145 penderita dan
tahun 2007 terdapat 130 penderita yang harus
dirawat (RSUD Tugurejo, 2007).
Dari pengamatan awal yang telah
dilakukan peneliti ditemukan beberapa perilaku
penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo
berbeda dengan penderita penyakit lainnya,
diantaranya mereka selalu mengambil tempat di
belakang atau di sudut ruang saat menunggu giliran
diperiksa. Sebagian besar mereka menundukkan
kepalanya dan penderita laki-laki menggunakan
topi. Jika diajak bicara mereka tidak menataplawan bicaranya dan sebagian besar memakai
baju lengan panjang. Survey awal yang dilakukan
peneliti pada bulan Oktober 2007 terhadap 10
orang penderita kusta memperoleh hasil bahwa
masih ada persepsi negatif penderita kusta
terhadap penyakit kusta
Atas dasar hal ini diatas maka perlu
diteliti mengenai faktor-faktor yang
melatarbelakangi persepsi penderita terhadap
stigma penyakit kusta. Secara Umum penelitian
ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor
yang melatar belakangi persepsi penderita kusta
terhadap stigma penyakit kusta.
Penelitian ini menggunakan metode
diskriptif kualitatif yang menggunakan rancangan
studi kasus . Responden dipilih
secara porposif terdiri dari penderita kusta yang
berobat ke RSUD Tugurejo sebanyak 8 orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
mendalam, selanjutnya data di analisis dengan
content analysis (diskripsi isi)
1. Karakteristik Responden
Gambaran umum responden menunjukkan
bahwa responden terbanyak berumur antara 26
tahun sampai 35 tahun dengan jenis kelamin lakilaki. Pada kelompok umur ini merupakan
masa produktip dalam kehidupan responden.
Dengan terserangnya penyakit kusta responden
merasa bahwa aktivitas sehari - harinya sangat
terganggu oleh penampilannya disebab kan
adanya perubahan pada fisik dan kepercayaan
diri yang menurun.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang
mendasar untuk melaksanakan tindakan
(, dilihat dari segi
pendidikan sebagian besar responden
berpendidikan Sekolah Menengah Atas, hanya
ada satu responden yang tidak bersekolah.
Sebagian besar responden tidak bekerja,
selain sulit dalam mencari pekerjaan responden
merasa takut apabila pimpinan dan temantemannya mengetahui bahwa responden
terserang penyakit kusta dan responden sangat
menyadari kelelahan akan mengakibatkan
kekambuhan penyakitnya, dengan tidak bekerja
responden menyatakan bahwa tidak memiliki
penghasilan.
Penyakit kusta memiliki pengaruh yang
luas pada kehidupan penderita, mulai dari
perkawinan, pekerjaan, hubungan pribadi,
kegiatan bisnis sampai kehadiran mereka pada
acara-acara di lingkungan warga (Leprosy
Review, 2005). Sebagian besar responden telah
menderita penyakit kusta antara 1 tahun sampai
dengan 5 tahun, dalam kurun waktu sekian lama
responden harus selalu berobat dan minum obat
seraca rutin, apabila sampai terlambat dalam
berobat responden menyatakan penyakitnya
akan muncul kembali.
2. Faktor-faktor yang melatar belakangi
persepsi penderita kusta terhadap stigma
penyakit kusta
a. Stigma penyakit kusta menurut persepsi
responden.
Stigma yaitu hal-hal yang membawa aib,
hal yang memalukan, sesuatu dimana seseorang
menjadi rendah diri, malu dan takut sebab
sesuatu (Salim, 1996). Hasil wawancara
mendalam didapatkan hasil , bahwa semua
responden menyatakan warga disekitar
tidak mengetahui bahwa responden menderita
penyakit kusta dan sebagian keluarga responden,
merasa sangat takut dan was-was saat
mengetahui responden menderita kusta. Untuk
mengatasi stigma ini, sebagian besar responden
melakukannya dengan tetap bekerja, ada juga
dengan cara membatasi diri, menutup diri, tidak
memperdulikan lingkungannya, walaupun ada
juga yang tetap mengikuti kegiatan di
kampungnya seolah-olah tidak sedang sakit.
Untuk menghindari efek stigmatisasi
penderita kusta menggunakan beragam cara agar
orang lain tidak mempelajari atau mengetahuitentang penyakitnya diantaranya
menyembunyikan secara efektif tentang
penyakitnya, mencegah pengungkapan diri
terhadap warga , keluarga dan temantemannya (Dayakisni, 2003). Wawancara
mendalam terhadap responden dalam mengatasi
stigma ini diperoleh jawaban bahwa, responden
selalu menggunakan pakaian tertutup, seperti
berkerudung, memakai baju lengan panjang, rok
panjang dan bagi penderita laki-laki
menggunakan jaket, memakai sepatu berkaos
kaki dan bertopi juga tidak menceritakan kepada
siapapun tentang penyakit yang dideritanya.
b. Persepsi penderita terhadap kemudahan
kemungkinan terkena penyakit.
Dalam teori health belief model dinyatakan
bahwa ketika individu mengetahui adanya
kerentanan pada dirinya, dia percaya bahwa
penyakit akan berakibat serius pada organ tubuh.
Adanya gejala - gejala fisik mungkin
mempengaruhi persepsi keparahan dan motivasi
pasien untuk mengikuti instruksi yang diberikan
Penyakit kusta yaitu penyakit menular
menahun dan disebabkan oleh kuman kusta .
Penyakit ini dapat ditularkan dari penderita kusta
kepada orang lain, secara teoritis penularan ini
dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan
lama dengan penderita. Timbulnya penyakit kusta
bagi seseorang tidak mudah semua tergantung
dari beberapa faktor, antara lain : faktor sumber
penularan yaitu tipe penyakit kusta , faktor kuman
kusta dan faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar responden memiliki
persepsi bahwa penyakit kusta dapat menimpa
semua orang, sebagian responden menganggap
bahwa orang yang jorok dan kondisinya menurun
yang dapat tertular penyakit kusta. Penyakit kusta
dapat ditularkan dari penderita kusta kepada
orang lain. Sebagian besar responden tidak
mengetahui cara penularan penyakit kusta dan
ada yang mengatakan penyakit ini menular melalui
udara dan satu responden menyatakan bisa
tertular penyakit kusta apabila golongan darahnya
sama dengan penderita, jika tidak sama tidak
akan tertular.
c. Persepsi penderita terhadap kegawatan
penyakit.
Pada penelitian ini, didapatkan jawaban
bahwa sebagian besar responden menganggap
kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan
serius alasan responden yaitu penyakit kusta
mengakibatkan perubahan bentuk fisik dan
kecacatan dimana kecacatan ini bisa menetap
seumur hidupnya. Sebagian besar responden
berpandangan bahwa penyakit kusta bisa
menimbulkan kematian hal ini dikemukakan
bahwa gejala yang muncul saat terkena penyakit
ini sangat berat, dan saat pertama kali berobat
tidak langsung diketahui penyakitnya sehingga
responden merasa pengobatan yang dilakukan
kurang tepat, justru penyakitnya menjadi berat
dalam arti lain terlambat berobat untuk penyakit
kustanya sebab salah dalam mendiagnosa
penyakit.
d. Persepsi penderita terhadap manfaat
berperilaku positip.
Penyakit kusta dapat diobati dan bukan
penyakit turunan / kutukan, menurut WHO
menggunakan hemoterapi dengan Multi Drug
Treatment (MDT). Tujuan pengobatan ini yaitu
untuk mematikan kuman kusta. Pada tipe MB
lama pengobatan 12 – 18 bulan dan tipe PB lama
pengobatan 6 – 9 bulan. Bila penderita kusta tidak
minum obat secara teratur, maka kuman kusta
dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul
gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat
memperburuk keadaan (Depkes, 2004). Semua
responden menyatakan orang yang menderita
penyakit kusta harus berobat secara rutin, sebab
kalau tidak rutin akan kambuh lagi, perasaan
tenang, tidak stres, tidak lelah sangat membantu
responden mengurangi frekuensi kekambuhan.
Kecacatan yang berlanjut dapat
menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan
fungsi sosial yang normal, serta kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dariwarga , keluarga dan teman-temannya
Sebagian besar dari responden menyatakan,
perawatan diri dengan rajin sangat perlu, supaya
cacatnya tidak bertambah parah, dengan
mengoles pelembab di tangan dan kakinya akan
mengurangi kekeringan pada kulit yang bisa
membuat luka / pecah-pecah. Menurut
responden setiap hari penderita kusta harus
memeriksa anggota badannya apakah terjadi luka
atau tidak, sebab anggota badan penderita
mengalami mati rasa sehingga kalau terjadi luka
tidak terasa sakit, menurut responden
mengetahui terjadinya luka secara dini akan
mengurangi terjadinya kecacatan sebab luka bisa
cepat diobati sehingga tidak bertambah berat/
menjalar
e. Persepsi penderita terhadap risiko
berperilaku negatip
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa secara umum risiko
berperilaku negatip yaitu tentang hal-hal yang
tidak boleh di lakukan, responden mengutarakan
bahwa jenis-jenis makanan tertentu tidak boleh
dimakan seperti daging kambing, durian, nangka,
makanan beralkohol dan keadaan stres, capek /
kelelahan harus dihindari sebab akan
memunculkan gejala-gejala penyakit kusta
(reaksi kusta).
Secara psikologis bercak, benjolan-benjolan
pada kulit penderita membentuk paras yang
menakutkan, kecacatannya juga memberi
gambaran yang menakutkan, hal ini menyebabkan
penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan
menyendiri (Depkes RI, 2005).Sebagian besar
responden menanggapi bahwa penderita kusta
yang selalu mengucilkan diri sebab malu itu tidak
baik, sebab penderita kusta harus berobat,
apabila tidak berobat secara rutin maka tidak
akan sembuh dan sebagian lagi menyatakan
mengucilkan diri yaitu tindakan yang paling
tepat agar tidak menjadi bahan pembicaraan
tetangga. Responden lain sebenarnya mengetahui
bahwa tindakan mengucilkan diri yaitu tidak
baik, akan tetapi responden ini
melakukannya juga sebab malu dan down
mentalnya. Berkaitan dengan pandangan
responden tentang penderita yang tidak berobat
semua responden berpendapat bahwa tindakan
ini merupakan kesalahan besar sebab
penderita kusta jika tidak berobat selain tidak
sembuh akan mengalami reaksi dan bisa menjadi
cacat dan sebagian responden menyatakan perlu
adanya terapi mental oleh psykolog sebab selain
fisik yang sakit penderita kusta juga menderita
sakit secara mentalnya.
f. Faktor Internal yang melatar belakangi
persepsi penderita terhadap stigma
penyakit kusta.
Pada umumnya responden tidak
mengetahui bahwa menderita kusta, informasi
tentang penyakit kusta didapat dari orang lain
seperti petugas kesehatan, saudara atau
perangkat desa, sebagian besar responden
merasa kaget, takut dan tidak percaya saat
pertama kali mengetahui terserang penyakit kusta
dan satu responden berusaha bunuh diri saat
mengetahuinya. Sebagian besar responden
mengatakan, keluarga sangat kaget saat
mengetahui responden terserang penyakit kusta,
sikap keluarga saat itu selalu mendorong untuk
berobat walaupun ada perasaan kecewa, waswas dan takut. Satu responden mengatakan
keluarganya biasa saja dengan penyakit
responden dan tidak merasa bahwa responden
menderita penyakit kusta, keluarga mengatakan
kalau yang berbahaya itu yaitu sakit lepra, hal
ini sebab keluarga tidak mengetahui perbedaan
antara kusta dan lepra, dan waktu pertama
responden menderita kusta keluarga mengatakan
bahwa baru di beri cobaan dari Allah harus
diterima.
g. Faktor ekternal yang melatar belakangi
persepsi penderita terhadap stigma
penyakit kusta.
Stigmatisasi diri sendiri penderita kusta
sangat nyata, orang dengan kusta dapat menjadi
malu mungkin sebab sikapnya jugakecacatannya dan sikap ini dapat mengisolasikan
mereka dari warga , dengan demikian
pendapat bahwa kusta itu menjijikan, memalukan
harus ditutupi akan menjadi stigma yang nyata
pada penderita, penderita akan mengalami
kesulitan untuk berinteraksi, akan mengucilkan
diri dan sikap ini akan menjadi permanen . Semua responden
mengatakan, warga disekitar tempat tinggal
dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa
responden menderita kusta, mereka mengira
responden berpenyakit lain seperti penyakit saraf,
diabetes, sebab alergi obat atau sebab salah
obat sehingga warga dan teman responden
tidak melakukan tindakan apapun terhadap
responden.
Stigma menunjukkan “tanda” yaitu tanda
yang diberikan dalam bentuk cap oleh
warga terhadap seseorang, orang yang
terstigmatisasi menjadi berperilaku seolah-olah
mereka dalam kenyataan yang memalukan atau
namanya tercemar (Dayakisni, 2003). Efek dari
stigmatisasi berakibat dapat membuat
warga / orang lain untuk merubah persepsi
dan perilaku mereka terhadap individu yang
dikenai stigma, dan pada umumnya
menyebabkan orang yang dikenai stigma untuk
merubah persepsi tentang dirinya serta
menjadikan mereka mendifinisikan diri sendiri
sebagai orang yang menyimpang. Dari hasil
wawancara yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa secara umum warga , keluarga dan
teman penderita kusta tidak memberikan suatu
tindakan yang mengarah ke stigmatisasi terhadap
responden.
Penyakit kusta yaitu penyakit menular
menahun, disebabkan oleh kuman kusta.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita
kusta tipe MB kepada orang lain dengan cara
penularan langsung. Secara teoritis penularan ini
dapat terjadi dengan cara kontak langsung yang
erat dan lama dengan penderita (Depkes RI,
2005). Dan cross chek yang dilakukan terhadap
keluarga, tetangga dan teman penderita yang
selanjutnya disebut sebagai Informan, dengan
menggunakan wawancara mendalam di peroleh
hasil sebagian besar Informan mengatakan bahwa
penyakit kusta yaitu penyakit menular, bisa
menimpa semua orang dan orang yang kondisi
kesehatannya menurun, kurang menjaga
kebersihan yaitu orang yang bisa tertular
penyakit ini, dan tiga dari lima Informan
mengatakan kontak langsung yang lama yaitu
cara penularan penyakit kusta selain melalui
udara. Sebagian besar menganggap penyakit
kusta yaitu penyakit yang berbahaya sebab
penyakit kusta menimbulkan gejala yang berat,
bisa menular ke orang lain , dapat merubah
bentuk fisik dan bisa menimbulkan kecacatan.
Semua Informan mengatakan penyakit kusta
tidak menyebabkan kematian hanya bisa
mengakibatkan kecacatan. Suami responden
mengetahui jika istrinya menderita penyakit kusta
dari keluarganya yang juga menderita penyakit
ini dan Informan lain mengetahui dari petugas
RSUD Tugurejo Semarang, seorang Informan
tidak mengetahui bahwa temannya dirawat
sebab menderita penyakit kusta sehingga
wawancara terhadap teman responden tidak
penulis lanjutkan. Semua Informan sesudah
mengetahui berpendapat, harus berobat supaya
sembuh dan sikapnya saat itu sangat kecewa,
kawatir walau tetap membantu dalam berobat.
Mengenai pendapat orang-orang dilingkungan
penderita, semua Informan mengatakan bahwa
lingkungan tidak mengetahui kalau menderita
kusta sehingga lingkungan tidak melakukan
tindakan apapun terhadap penderita.
Penyakit kusta yaitu penyakit yang setua peradaban manusia.telah lama diketahui dan ditulis dalam kitab-kitab
kuno. Dalam kitab Sushrat Samhita di zaman India Kuno (1300 SM), tercantum adanya penyakit yang disebut khust dengan
deskripsi sesuai dengan kusta serta tulisan pada daun Papyrus di Mesir, tercantum hal mengenai penyakit yang sesuai dengan
kusta yang dikenal saat ini. Istilah lepra sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno dalam Kitab Perjanjian Baru, merupakan
terjemahan dari istilah zaraath dari bahasa Ibrani kuno.Mikobakterium lepra memetabolisme sumber-sumber karbon melalui
jalur klasik dari glikolisis, hexose monophosphat shunt dan siklus tricarboxylic acid.Respon yang terjadi akibat infeksi M.
Lepra dapat sangat berbeda, keadaan ini terjadi di bawah kontrol secara genetika.
Morbus Hansen (Lepra, Kusta) yaitu infeksi
menahun yang disebabkan Mycobacteria leprae
(M.lepra) primer yang menyerang saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit dan organ
lainnya. Penyakit ini dapat mengakibatkan
kecacatan jika tidak segera ditatalaksana dan
dapat menimbulkan masalah psikososial akibat
stigma atau predikat buruk dalam pandangan
warga .
Strukturn M. lepra
Meicobacterium leprae merupakan bakteri yang
bersifat obligat intra-seluler (hanya bisa hidup
dalam sel) dan dapat bertahan terhadap aksi
fagositosis sebab memiliki dinding sel yang
sangat kuat dan resisten terhadap aksi lisozim.
Mikroskop elektron menunjukkan ultrastruktur
yang umum untuk semua mikobakteria. M.leprae berupa batang lurus dengan panjang
sekitar 1 sampai 8 µm dan diameter 0,3 µm.
Pada jaringan yang terinfeksi batang sering
tersusun bersama-sama membentuk globi. 1,5
Kapsul
Sekeliling organisme merupakan zona elektron
transparan seperti busa atau material vesikular,
merupakan struktur yang unik dari M.leprae. Komposisinya terdiri dari dua lipid,
phthioceroldimycoserosate yang dianggap
berperan pada perlindungan pasif, phenolic
glicolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula
yang mengalami metilasi terpaut pada molekul
fenol dari lemak (phthiocerol). Trisaccharida
ini membuat M.leprae unik secara kimia dan
menjadi antigen yang spesifik.5
Dinding Sel
Terdiri dari dua lapisan : - Lapisan luar berupa elektron transparan dan
mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari
rantai cabang arabinogalaktan yang mengalami
esterifikasi dengan mycolic acid rantai
panjang, mirip dengan mikobakteria lain.5
- Dinding dalam yang terdiri dari peptidoglikan
: karbohidrat terpaut dengan peptidanya
dimana urutan asam aminonya spesifik untuk
M.leprae meskipun peptida ini sangat
kecil untuk dijadikan sebagai antigen
diagnostik.5
Membran
Hanya melekat dibawah dinding sel, merupakan
membran untuk transpor molekul ke dalam dan
keluar dari mikroorganisme. Membran terdiri
dari lipid dan protein. Protein kebanyakan
berupa enzim dan menurut teori merupakan
target utama dari kemoterapi. Mereka juga
merupakan ’protein permukaan antigen’ yang
diekstraksi dari dinding sel M.leprae yang telah
dirusak kemudian dianalisa secara luas.5
Sitoplasma
Kandungan bagian dalam dari sel terdiri dari
timbunan granul, materi genetik asam
deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang
merupakan protein yang mengalami translasi
dan multiplikasi. Analisa DNA berguna dalam
konfirmasi identitas mikrobakteria yang diisolasi
dari armadilos liar, dan menunjukkan suatu
M.leprae, melalui perbedaan secara genetik dan
berhubungan erat dengan M.tuberkulosis dan M.
scrofulaceum.
Biokimia dan metabolisme
Tanpa adanya organisme yang dikultur sangatlah
sulit untuk dipelajari. M. leprae memetabolisme
sumber-sumber karbon melalui jalur klasik dari
glikolisis, hexose monophosphat shunt dan
siklus tricarboxylic acid. Energi dibentuk oleh
konversi ADP menjadi ATP dan dihasilkan oleh
ATP yang telah mengalami perubahan ADP.
Sehingga oksigen dapat digunakan. Semua
bakteri membutuhkan basa purin dari nukleotida
untuk membentuk asam nukleat dan
metabolisme oksidatif. Tidak seperti
mikobakteria lain M. leprae tidak melakukan
sintesa seperti ini, dan kita dapat mencari
mereka dalam sel host. Mikobakteria juga
membutuhkan besi yang diambil dari host oleh
chelate mikobactin. M. leprae kekurangan
mikobactin. Defek metabolik seperti ini
mungkin menjelaskan mengapa organisme ini
sulit untuk dibiakkan in vitro.Komponen kimia
utama dari M.leprae yaitu yaitu antigenik
Phenolic Glicolipid
Trisacharida terminal merupakan spesifisitas
antigen terhadap M.lepra. Varian minor berupa
I, II, dan III. Trisakarida telah berhasil disintesa
dan dapat tautkan ke contoh protein carrier
untuk digunakan dalam seroepidemiologi dan
penelitian-penelitian lain, (lihat Bab 15, h..213).
Antigen ditemukan pada semua jaringan yang
terinfeksi dengan M.leprae, dan menetap dalam
waktu lama sesudah organisme mati.1,5 Juga
ditemukan dalam serum dan urin pasien dengan
lepra lepromatus dan pendeteksiannya menjadi
test diagnostik yang berguna pada lepra
lepromatous awal. Antigen menstimulasi
produksi antibodi IgM, tetapi tidak mencetuskan
hipersensitivitas tipe lambat. Juga berperan
dalam mencetuskan supresi imun pada lepra.1,5
Lipoarabinomannan
Merupakan komponen mayor dari dinding sel
M.leprae; stabil dan tidak dapat dicerna.
Menimbulkan reaktivitas silang dengan
mikobakteria lain, tetapi mengandung epitop
spesifik yangdikenal oleh sera yang diabsorbsi,
dan mencetuskan antibodi IgG.
Antigen Protein
Terdapat berbagai antigen protein didalam
M.leprae, tetapi hanya lima yang menarik sebab
antibodi monoklonal tikus telah menunjukkan
bahwa mereka mengandung epitop spesifik
M.leprae. Protein soluble yang diekstraksi dari
M.leprae merupakan antigen spesifik yang tidak
lengkap untuk test kulit. Beberapa antigen
protein telah sukses diklon dan diekspresikan
pada E.coli, hal ini sangat mendukung untuk
dianalisa.
Imunopatogenesis
Faktor genetik dipertimbangkan sebab memiliki
peranan yang besar untuk terjadinya kusta pada
suatu kelompok tertentu. Respon yang terjadi
akibat infeksi Mycobacterium leprae dapat
sangat berbeda, keadaan ini terjadi di bawah
kontrol secara genetika. Faktor genetik yang
berperan salah satunya berada di bawah sistem
Human Leucocyte Antigen (HLA). HLA yaitu
suatu antigen dipermukaan sel yang merupakan
hasil produk yang dicetak biru oleh gen yang
terletak di kromosom 6 manusia, pada suatu
daerah (locus) yang disebut Major
histocompatibility Complex (MHC). Dikenal
MHC class I (menghasilkan HLA-A, B, dan C)
dan MHC class II (menghasilkan HLA D) yang
banyak dihubungkan dengan imunitas terhadap
bakteri termasuk basil kusta. 4,6
Antigen HLA ini berperan dalam pengenalan
dan penyajian antigen dari sel penyaji (Antigen
Precenting Cell) kepada sel limfosit T (Thelper)
yang akan memulai rangkaian respon imun.
Dari hasil penelitian terhadap penderita kusta
ternyata didapatkan frekuensi HLA DR3 yang
tinggi pada penderita kusta tipe
Tuberkuloid.sedang HLA-DQ1 dihubungkan
dengan tipe Lepromatosa.Bentuk respon imun
yang terjadi apabila basil kusta masuk kedalam
tubuh seseorang dimana HLA akan membuat
seseorang jadi lebih mudah terkena kusta
dibandingkan orang lain. HLA DR akan
mengarahkkan ke imunitas seluler, sedang
HLA-DQ akan mengarahkan ke sistem imunitas
humoral. Epitop atau peptida yang berasal dari
antigen kuman, memerlukan pasangan sesuai
HLA yang ada. Pasangan ini selanjutnya akan
bertemu dengan reseptor pada permukaan
limfosirt (T cell receptor/TCR).4,6
Sel Schwann, sel pendukung utama pada sistem
saraf perifer, tampaknya menjadi target utama
M. leprae pada saraf perifer. Pada penderita
dengan lepra yang sudah parah (advanced), baik
sel- sel Schwann yang bermielin maupun tidak,
sama-sama terinfeksi oleh M.leprae. walaupun
ada beberapa laporan yang menyebutkan bahwa
ada kecenderungan untuk menyerang serabut
saraf yang tidak bermielin. Secara in vitro, kami
telah mengobservasi suatu infeksi yang cepat
dan berat pada kedua jenis sel Schwann itu.
Namun beberapa peneliti telah melaporkan
infeksi yang terbatas pada sel Schwann yang
tidak bermielin secara in vitro. 4,6
Phenolic glycolipid 1 (PGL-1) dari M.leprae
telah dibuktikan terikat secara spesifik pada
laminin-2 dalam lamina basalis dari unit SC- akson. Oleh sebab itu PGL-1 tampaknya
terlibat dalam invasi sel schwann oleh M. leprae
pada suatu jalur laminin 2. Namun yang lebih
penting lagi, bukti-bukti yang ada jelas
menunjukkan bahwa mekanisme ikatan terhadap
permukaan sel schwann via laminin α2bukan
merupakan hal yang patognomonis untuk
M.leprae saja. Spesies mikobakterial lainnya,
termasuk M.tuberkulosis, M.chelonae, dan
M.smegmatis telah menunjukkan suatu 2-
laminin-binding-capacity dan spesies-spesies ini
siap berinteraksi dengan ST88-14 pada barisan
sel schwannoma. Hal ini mengarah pada dugaan
bahwa kemampuan untuk mengikat laminin α2
terbatas pada genus Mycobacterium. Studi lain
juga telah mendemonstrasikan kemampuan
mielin Po untuk mengikat M.leprae.6
Transmission-electron micrograph dari ko- kultur sel Schwan pada tikus yang terinfeksi
M.leprae. Kultur yang terinfeksi diperoleh dari
paparan sel Schwann primer terhadap M.leprae
selama 48 jam. sesudah pertumbuhan selama 12
hari pada suhu 33°C.
a. Sel Schwann yang bermielin. b. Sel Schwann yang tidak bermielin.6
Respon Imun Terhadap M. leprae
Patogenesis kusta terbagi dalam beberapa hal,
yaitu adanya Mycobacterium leprae, fungsi
sistem fagosit mononuklear, aktivitas sel
dendritik yang berhubungan dengan limfosit T
dan limfosit B serta imunitas humoral dan
selular yang meliputi faktor host dan agent
(Mycobacterium leprae) serta interaksi
keduanya.7
Imunitas alamiah (innate immunity)
Sistem kekebalan tubuh lapis pertama bekerja
secara non spesifik lewat pertahanan secara
mekanis misalnya lapisan kulit yang intak,
secara fisiologis, atau kimiawi serta lewat
beberapa jenis sel yang bisa langsung
membunuh kuman.Sel-sel yang pada sistem
imunitas alamiah (innate imunity) bekerja secara
fagositosis yang dijalankan oleh monosit dan
pembunuhan di luar sel (extra cellular killing)
yang dijalankan oleh limfosit pembunuh
(Natural Killer cell/NK cell). Kekebalan
alamiah ini bersifat non spesifik dan ditunjang
oleh status kesehatan secara umum yaitu gizi
yang baik, hidup teratur, serta lingkungan yang
baik.7
Sebagian M. leprae yang masuk ke dalam tubuh
manusia mungkin akan lolos dari seragan sistem
kekebalan alamiah ini . Lewat mekanisme
menumpang di dalam monosit seperti pada
infeksi tuberkulosis diparu (Troyan-horse- phenomen) basil kusta terbawa masuk ke organ
yang lebih dalam tubuh dsn mencari sasaran sel
yang sistem pertehanannya lemah sambil
berkembang biak. Belum jelas mengapa M.
leprae yang ditangkap oleh monosit ini
tidak terbunuh, mungkin lewat cara mimikri
(menyamar) sehingga sel tidak mengenali
musuh, atau bakteri mengeluarkan zat tertentu
yang melumpuhkan salah satu komponen sistem
kekebalan. Salah satu jenis sel fagosit yang
menjadi sasaran adlah sel Schwann yang terletak
di perineum saraf tepi. Sel ini digolongkan
dalam “non professional phagocyte”, sebab
tidak bisa mengekspresikan MHC class II di
permukan selnya, kecuali bila diaktifkan oleh
Interferon gamma (IFN γ). 3,9
Keadaan ini menyebabkan terganggunya proses
penyajian antigen kepada limfosit T, sehingga
sesudah menangkap M.Leprae sel itu tidak bisa
mengaktifkan limfosit dan sebaliknya limfosit
tidak bisa mengirim sinyal (IFN γ) yang
dibutuhkan untuk sistem penghancuran kuman
didalam sel. Maka sel Schwann ini menjadi pos
pertama dari basil kusta sebelum menginvasi
kekulit dan organ lain. Pada waktu sel Scwann
yang tua mati dan pecah, M.Leprae yang
berkembang biak didalam sel ini akan
tersebar keluar dan akan ditangkap oleh sel
fagosit lain. Fase selanjutnya yaitu interaksi
antara basil kusta dengan sistem pertahanan
tubuh lapis kedua yang bersifat spesifik. 3,9
Imunitas yang didapat (acquired immunity)
Dalam sistim pertahanan lapis kedua, eliminasi
kuman dijalankan oleh sistim imun yang didapat
(Acquired Immunity) yang sifatnya spesifik dan
timbul apabila sudah terjadi pengenalan
(recognition) dan pengingatan (memory) oleh
berbagai komponen sel yang terlibat. Untuk
penghancuran kuman yang hidupnya di dalam
sel seperti M. leprae, maka diperlukan
kerjasama antara makrofag dan limfosit T.
Makrofag harus memberi sinyal lewat penyajian
antigen, sedang limfosit harus memberi
sinyal dengan mengeluarkan Interleukin yang
akan mengaktifkan makrofag ini agar
menghancurkan kuman lewat meka isme
fagosom-lisosom kompleks. 3,9
Dalam proses penyajian antigen dari
mikobakteria, antigen yang berasal dari proses
pencernaan di dalam fagosom akan disajikan
oleh MHC kelas II kepada limfosit T yang
CD4+, umumnya dari jenis T-helper atau
inducer. sedang antigen dari kuman yang
berada di dalam sitoplasma akan disajikan oleh
molekul MHC kelas I kepada sel T yang CD8+,
yaitu sitotoksik/supresor.Limfosit Th-1
terbentuk apabila dalam proses stimulasi antigen
terdapat IL-12, IFN-gamma dan IL-18, yang
berasal dari sel NK dan makrofag di dalam
sistim imunitas alamiah (innate immunity).
Kedua subset limfosit ini saling mempengaruhi
satu sama lain (down-regulating) dan selalu
berusaha mencapai keseimbangan. Apabila pada
awal proses aktivasi terdapat IL-4 (kemungkinan
dibentuk oleh sel NK1.1 CD4+) maka Th-0 akan
berubah menjadi Th-2. Selanjutnya Th-1 akan
mengaktifkan sistim imun seluler yang diatur
lewat pengaruh sitokin IL-2, IFN-gamma dan
TNF-alfa, sedang Th-2 akan mengaktifkan
sistim imun humoral lewat mediator IL-4, I-6
dan IL-10.3,9
berdasar konsep Th-1 dan Th-2 ini ,
maka dalam respons imun terhadap kuman M.
Leprae akan terjadi dua kutub, dimana pada satu
sisi akan terlihat aktifitas imunitas humoral.
Manifestasi klinik yang terlihat yaitu kusta tipe
Tuberkuloid dengan aktifitas Th-1 yang
menonjol dan tipe Lepromatosa dengan imunitas
humoralnya yang dihasilkan oleh Th-2.Bentuk- bentuk peralihan (tipe Borderline) kemungkinan
timbul dari perbedaan gradasi antara aktifitas
Th-1 dan aktifitas Th-2.Namun untuk
menjelaskan mengapa bisa terjadi pergeseran
diantara bentuk-bentuk yang tidak stabil
ini , tampaknya konsep diatas masih belum
bisa digunakanKlasifikasi
Perjalanan klinis kusta merupakan suatu proses
yang lambat dan berjalan bertahun-tahun,
sehingga penderita tidak menyadari adanya
proses penyakit di dalam tubuhnya. Sebagian
besar penduduk di daerah endemik kusta pernah
terinfeksi Mycobacterium leprae.Namun sebab
adanya kekebalan alamiah, hanya sekitar 15%
dari mereka menjadi sakit.Pada orang yang
kekebalan alamiahnya tidak berhasil membunuh
kuman yang masuk, terjadi perkembangbiakan
Mycobacterium leprae di dalam sel Schwan di
perineurium. Proses ini berjalan sangat lambat
sebelum muncul gejala klinis yang
pertama.sesudah melewati masa inkubasi yang
cukup lama (sekitar 2-5 tahun) akan muncul
gejala awal penyakit yang bentuknya belum
khas, berupa bercak-bercak dengan sedikit
gangguan sensasi pada kulit disertai dengan
berkurangnya produksi keringat setempat. 7,8
Keadaan ini disebut fase indeterminate dan
dianggap sebagai fase dimana kelainan yang
terjadi masih belum dipengaruhi oleh kekebalan
tubuh. Meskipun tidak semua bentuk
indeterminateakan berlanjut menjadi kusta yang
manifes, dalam beberapa tahun sesudah kelainan
itu ditemukan biasanya akan muncul gejala
klinis yang karakteristik. Kelainan yang khas ini
bervariasi, bisa pada kulit, saraf tepi maupun
organ-organ lainnya.Bentuk kelainan yang
terjadi tergantung tipe kusta yang terjadi dan
berkaitan erat dengan status imun penderita.Di
samping itu terdapat keadaan yang dikenal
sebagai kusta stadium subklinis.Kusta stadium
subklinis yaitu keadaan di mana kuman telah
masuk ke dalam tubuh yang ditandai dengan
pemeriksaan serologis yang positif namun
individu ini tidak menunjukkan gejala
klinis, KSS dapat menjadikusta manifestas dan
berpotensi menjadi sumber transmisi
Morbus Hansen atau lepra atau yang biasa dikenal dengan kusta merupakan
penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kuman ini sangat sensitif
terhadap kulit dan saraf tepi, sehingga dapat menyebabkan masalah kompleks jika tidak
mendapat tatalaksana secara tepat. Masalah kompleks ini tidak hanya dari bidang
medis saja, namun juga mencakup masalah sosial, ekonomi, agama, pemerintahan, dan
nasional
Kusta pada umumnya ditemukan di negara-negara berkembang sebagai akibat
dari menurunnya kemampuan negara-negara ini dalam menyediakan layanan
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan peluang ekonomi yang memadai bagi warga nya. Selain itu, kusta merupakan salah satu dari sedikit penyakit yang masih
menjadi ancaman serius bagi kesehatan warga di Indonesia. Sebab, ada kasus baru
yang teridentifikasi meski bukan berasal dari wilayah endemis. Menurut data
epidemiologi mingguan World Health Organization's (WHO) tahun 2019, terdapat
202.185 kasus baru kustasis. Jumlah kasus baru pada tahun 2019 sedikit menurun
dibandingkan tahun sebelumnya, yakni mencapai 208.618 kasus baru. India menjadi
negara dengan jumlah kasus terbanyak yakni 114.451. Brazil menjadi negara peringkat
teratas dengan total 27.863 kasus, sedang Indonesia berada di peringkat ketiga dengan
total 17.439 kasus
Kasus baru kusta yang ditemukan di Indonesia masih cukup banyak, dan sebagian
besar ditemukan di wilayah Timur. berdasar data tahun 2016, persentase angka
kecacatan tingkat II yaitu 5,27 dari 1.000.000, sedang persentase angka kecacatan
tingkat II pada anak-anak yaitu 0,24 dari 1.000.000. Faktor-faktor yang menyebabkan
tingginya angka ini disebab kan oleh stigma sosial seputar kusta yang relatif tinggi di
warga umum dan sistem layanan kesehatan yang menghambat diagnosis dan terapi
kasus ini . warga umum tidak menyadari kompleksitas penyakit kusta pada
stadium awal, sebagian besar program penanganannya dijalankan oleh bukan dari profesi
dokter, kelengkapan fasilitas dalam diagnosis dan tatalaksana kusta masih di bawah
standar dan tidak memadai. . Namun, tidak semua fasilitas pelayanan
kesehatan menawarkan fasilitas pemeriksaan penunjang yang sama untuk mendiagnosis
pasien. Perkembangan kusta yang sangat cepat menjadikan setiap reaksi yang
berkembang sesudah pengobatan tidak dapat diprediksi dan tidak ada tanda-tanda
keseragaman dalam perawatan kusta
Keterlambatan dalam diagnosis kusta dapat terjadi diantaranya sebab pasien
tidak segera datang ke fasilitas kesehatan untuk berobat ketika muncul kelainan kulitnya,
atau petugas kesehatan tidak dapat menegakkan diagnosis kusta oleh sebab kelainan
klinis mirip dengan penyakit lain Sementara itu sarana penunjang klinis
tidak dikuasai dengan baik serta pemeriksaan penunjang laboratoris yang tidak tersedia,
akan mengakibatkan tatalaksana yang tidak komprehensif sehingga dapat menyebabkan
komplikasi akibat kusta secara langsung dan tatalaksana menjadi tidak tuntas. Sehingga
dibutuhkan kajian atau pembahasan terkait celah atau potensi terjadinya kesalahan
diagnosis dan terapi penyakit kusta
Penelitian terdahulu oleh menyatakan bahwa untuk
menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari Cardinal sign, yaitu lesi (kelainan kulit
yang mati rasa), penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf dan adanya bakteri
tahan asam dari kerokan kulit. Penelitian lain oleh Penegakan
diagnosis kekambuhan dapat dilakukan dengan kriteria klinis, bakteriologis, dan
terapeutik serta kriteria histopatologi dan serologi jika memungkinkan.
Penelitian menyoroti metode
diagnosis kusta dan malformasi vena verukosa. Meskipun (Hazlianda, 2014) menekankan
Cardinal sign dan membahas kriteria diagnosis kekambuhan,
keduanya belum memasukkan faktor-faktor genetik atau molekuler secara khusus.
Inovasi potensial terletak pada pendekatan multidisiplin dengan integrasi informasi genetik untuk memperkuat dan mempercepat diagnosis kusta. Selain itu, kedua penelitian
belum mengeksplorasi teknologi terkini dalam diagnosis, membuka peluang untuk
inovasi melalui penggunaan citra medis canggih atau teknologi diagnostik yang lebih
akurat. Kebaharuan pada penelitian yaitu kompleksitas diagnosis kusta dan menyoroti
celah, termasuk rendahnya pengetahuan warga dan kelainan kulit mirip penyakit
lain.
Makalah ini bertujuan untuk mencari celah atau kesalahan dalam mendiagnosis
penyakit kusta dan dampaknya terhadap terapi yang tidak optimal, yang dapat
meningkatkan angka penularan dan kejadian disabilitas pada penderitanya. Dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesalahan diagnostik, penelitian ini
berupaya mengurangi komplikasi yang muncul akibat kesalahan ini . Pentingnya
kerjasama lintas sektor juga ditekankan untuk mencegah dan mengatasi kesalahan dalam
diagnostik dan terapi kusta.
Hasil dan Pembahasan
Definisi
Kusta yaitu infeksi bakteri yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae.
Kondisi ini paling banyak menyerang afinitas utama saraf perifer, kemudian kulit, dan
juga dapat menyerang organ lain seperti mukosa, testis, mata, dan limpa (Menaldi, 2019).
Etiologi dan Patogenesis
Saat ini, Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun
1873 di Norwegia, tidak dapat dibudidayakan pada media buatan. Namun, Shepard
berhasil pada tahun 1960 dalam mengidentifikasi M. leprae di kaki mencit dan dia juga
memperhatikan perkembangbiakannya di area sekitarnya. Berukuran 1-8 µm x 0,5 µm,
M. leprae merupakan kuman berbentuk batang dengan gram positif
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang banyak
ditemukan pada sel makrofag disekitar pembuluh darah superficial kulit atau sel Schwann
pada jaringan saraf. Begitu Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, tubuh akan
mulai mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya. Mycobacterium leprae tidak
menghasilkan toksin, namun Mycobacterium leprae malah mempengaruhi imunitas sel
host dalam mengekspresikan antigen bakteri. M. leprae masuk ke dalam tubuh manusia
sebagian besar melalui saluran pernafasan dan sebagian lagi melalui kulit yang tidak
intak. sesudah masuk ke dalam host, M. leprae dapat menetap di sel Schwann atau
makrofag. Jika host memiliki imunitas seluler yang normal, maka kuman akan diatasi,
namun sisa-sisanya akan tetap ada di dalam sel untuk waktu yang lama
Epidemiologi
Kusta tersebar tersebar diseluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis.
Kusta dapat menyerang pada semua usia, meskipun lebih sering terjadi pada mereka yang
berusia antara 3 dan 50 tahun. Kusta juga lebih sering mengenai laki-laki dibandingkan
perempuan . berdasar laporan Direktorat Jendral (Ditjen)
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2013, angka kejadian penyakit kusta tertinggi dilaporkan dari Provinsi
Jawa Tengah yaitu sebanyak 4.132 kasus; Provinsi Bagian Barat sebanyak 2.180 kasus;
dan Papua sebanyak 1.765 kasus. berdasar dara ini didapatkan bahwa Provinsi
dengan proporsi kusta terbanyak yaitu jenis kelamin laki-laki yang berasal dari Jawa
Timur (23,25%), Jawa Barat (13,5%) dan Jawa Tengah (10,82%). (Aisyah & Agusni,
2018).
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis kusta selalu menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium
lanjut. Diagnosis Kusta dapat ditegakkan dengan mengamati munculnya gejala klinis
kusta dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan.
Umumnya gejala klinis kusta terdapat pada bagian tubuh yang dingin, seperti saluran
testis, saluran napas, bilik mata depan, dan kulit terutama cuping telinga dan jari. Bagian
tubuh yang dingin ini tidak hanya sebab alasan pertumbuhan yang optimal dari
mycobacterium leprae pada suhu rendah, namun juga sebab kurangnya respon
imunologi akibat rendahnya suhu pada daerah ini .
1. Kulit
Kelainan kulit dapat berbentuk makula atau bercak hipopigmentasi dengan
hilangnya rasa raba (anestesi), atau makula hipopigmentasi disertai tepi yang menimbul
dan sedikit eritementosa, atau berupa ilfiltrat/plak eritematosa, atau dapat pula berbentuk
papul dan nodul. Kelainan kulit ini menyerupai berbagai penyakit kulit lain, sehingga
adanya gangguan sensibilitas berupa anestesi atau hipoestesi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis kusta. Gambaran klinis kulit yang beragam ini dapat digunakan
untuk menentukan tipe kusta, sebab khas untuk tipe tertentu.
2. Saraf Perifer
Gejala neurologis yang umum muncul yaitu kerusakan saraf perifer yang
memperparah lesi kulit, terutama pada serabut dan trunkus saraf. Gejala klinis kerusakan
saraf perifer dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi gangguan sensorik, gangguan
motorik, dan gangguan otonom. Gangguan ini dapat terjadi pada saraf perifer di
ekstremitas maupun saraf kranial.
3. Mata
Mata dapat mengalami kerusakan akibat penyakit kusta. Kerusakan dapat terjadi
di ekstraokuler maupun intraokuler. Kerusakan intraokular terdiri dari episkleritis,
skleritis, iridosiklitis, keratitis, ulkus kornea, serta penurunan sensibilitas kornea.
sedang kerusakan ekstraokuler dapat terjadi madarosis, lagoftalmus, dakriosistisis,
serta mata kering. Kerusakan mata terus berjalan meskipun pengobatan lepra sudah
tuntas.
4. Gangguan psikiatrik
Gangguan psikiatrik pada penyakit kusta lebih berhubungan dengan dampak
psikososial yang dialami oleh pasien
Diagnosis
Dalam mendiagnosis kusta, yang perlu diperhatikan yaitu tanda-tanda utama
atau cardinal sign, yaitu lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit atau lesi yang
dapat berbentuk bercak keputihan atau kemerahan yang mati rasa, penebalan saraf tepi
yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan ditemukannya M. leprae pada
pemeriksaan bakteriologis. Ketika ketiga tanda ini ada, akurasi diagnostik mencapai
95%
Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Intermediate (I), Tuberculoid (T),
BorderlineDimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi
paling sederhana berdasar manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan
pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di
Madrid tahun 1953
Diagnosis Banding
Diagnosa banding pada penyakit kusta jika dilihat dari ujud kelainan kulit
dibedakan menjadi beberapa macam, sebab mengingat bahwa manifestasi awal yang
membuat penderita kusta akan datang ke layanan kesehatan yaitu sebab sebagian besar
didapatkan kelainan kulit. Penyakit kusta sendiri juga disebut juga dengan the greatest
imitator, sebab manifestasi klinis yang muncul menyerupai berbagai penyakit kulit lain
Berikut yaitu diagnosa banding berdasar dari lesi atau ujud kelainan kulit
yang muncul. Lesi eritem bersisik, diagnosa banding yang muncul dengan klinis ini
yaitu psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis seboroik, dermatofitosis. Lesi hipopigmentasi
atau hiperpigmentasi tanpa skuama diantaranya yaitu vitiligo, birth marks. Lesi
hipopigmentasi dengan skuama halus diantaranya dengan pitiriasis versikolor, pitiriasis
alba. Papul, plak atau nodul diantaranya dengan diagnosa banding neurofibromatosis,
sarkoma kaposi, veruka vulgaris, leukemia kutis, granuloma anulare, tuberculosis kutis
verukosus, xanthomatosis
Celah atau kesalahan dalam diagnosis penyakit kusta
Beberapa hal yang bisa membuat kesalahan dalam diagnosis penyakit kusta atau
keterlambatan dalam mendiagnosis penyakit ini yaitu sebagai berikut.
1. Tingkat pengetahuan penyakit kusta yang rendah
Penyakit ini masih menjadi penyakit yang ditakuti oleh warga , atau bahkan
sebagian petugas kesehatan. Masih ada stigma dari warga yang berkembang bahwa
kusta merupakan penyakit kutukan, penyakit keturunan atau sebab ilmu gaib yang sulit
disembuhkan, sehingga dianggap memalukan dan menimbulkan aib bagi keluarga. Hal
ini berdampak warga cenderung bersikap negatif terhadap pasien kusta, seperti
menjauhi, menolak, mencela, dan memandang rendah. Stigma negatif ini mencerminkan
tingkat pengetahuan warga tentang kusta yang rendah. Pengetahuan yang rendah ini
berkorelasi dengan dukungan keluarga dalam proses diagnosis dan tatalaksana lebih
lanjut. Dengan stigma negatif ini juga membuat pasien tidak segera dibawa ke fasilitas
layanan kesehatan, sehingga baru akan dibawa sesudah adanya kelainan yang lebih parah
atau kecacatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh hendra pada tahun 2018
menyebutkan bahwa stigma negatif yang muncul diwarga akibat pengetahuan yang
rendah mengenai penyakit ini. Edukasi dan penyuluhan terkait penyakit kusta pada
sampel populasi yang dilakukan oleh hendra pada anak-anak SMA memberikan pengaruh
yang signifikan terkait tingkat pengetahuan penyakit kusta. Hal ini diharapkan dapat
menurunkan angka kasus baru penyakit kusta di warga akibat pengetahuan yang
masih rendah terhadap penyakit ini.
2. Kelainan kulit yang mirip dengan penyakit lain
Kulit seringkali menjadi hal penting dalam menyelesaikan masalah diagnostik
yang membingungkan dalam kedokteran secara umum. Perubahan-perubahan pada kulit
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik harus mampu dikenali sehingga diagnosis dapat
ditegakkan. Penyakit kusta memiliki menifestasi yang mirip dengan penyakit kulit lain,
hal ini yang membuat kusta juga disebut sebagai the greatest imitator. Namun langkah
diagnostik yang tepat dapat menjadi faktor keberhasilan terapi pada penyakit ini. Apabila
seorang dokter tidak dapat mengenali kelainan kulit dari kusta maka akan menyebabkan
keterlambatan dalam terapi hingga berakibat kecacatan. Pada penelitian Liang Chen
tahun 2023 mengenai analisis kesalahan diagnostik pada penyakit kusta diantaranya
pengetahuan seorang tenaga medis dalam mengenali penyakit ini, salah satunya dalam
membedakan kelainan kulit penyakit kusta dengan yang penyakit yang lain. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa dibutuhkan pelatihan atau workshop terhadap petugas medis
mengenai penyakit kusta, sehingga dapat mencegah terjadinya keterlambatan diagnostik
pada penyakit ini
3. Kunjungan dari pelayanan kesehatan yang bersifat pasif
Kinerja dari petugas kesehatan terkait program pengendalian penyakit kusta dapat
mempengaruhi penderita kusta dalam mendapatkan terapi segera sebab keterlambatan
dalam diagnosis. Hasil penelitian (Kamal & Martini, 2015) menyimpulkan bahwa
kecacatan kusta berhubungan dengan keterlambatan diagnosis pada penderita kusta.
Salah satu penyebabnya yaitu kurangnya upaya penemuan kasus kusta secara aktif. Hal
ini sebab pada umumnya temuan kasus kusta baru muncul ketika penderita dengan
sukarela datang sendiri ke fasilitas layanan kesehatan, dimana saat kondisi datang pasien
sudah terlambat dalam mendapatkan terapi akibat telat diagnosa. Upaya penemuan kasus
kusta baru oleh petugas layanan kesehatan dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan
ke rumah pasien yang baru ditemukan atau yang curiga mengalami kusta. Kunjungan
secara aktif ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan anggota keluarga
sehingga tidak ada diskriminasi.
4. Faktor ekonomi
Faktor dari pendapatan keluarga turut berkontribusi dalam mempengaruhi
keterlambatan diagnosis kusta. Pada umumnya penyakit kusta memang ditemukan
didaerah dengan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Hal ini yang membuat
penyakit kusta termasuk kategori (Neglected Tropical Disease) sebab penyakit ini
berkaitan dengan kemiskinan terutama didaerah tropis. Penderita kusta dengan
pendapatan keluarga yang rendah biasanya merasa ragu untuk melakukan pengobatan di
fasilitas layanan kesehatan, sebab khawatir mengenai ketidaksanggupan terhadap biaya
yang dikeluarkan, sehingga pergi ke fasilitas kesehatan ini urung dilakukan
5. Sarana penunjang yang tidak memadai
WHO telah membuat daftar kriteria diagnostik penyakit kusta dengan mampu
mengenai tiga tanda yang salah satunya yaitu adanya temuan kuman Mycobacterium
leprae yang bisa dilihat dengan pemeriksaan secara laboratorium. Di Indonesia sendiri
terutama didaerah yang terpencil tidak tersedianya laboratorium klinik yang dapat
melakukan pemeriksaan penyakit kusta ini menjadi kendala dalam mendiagnosis kusta.
Sarana penunjang laboratorium yang tidak tersedia membuat diagnosis dari penyakit ini
menjadi terlambat
Kesimpulan dari makalah ini menggambarkan kompleksitas dalam diagnosis
penyakit kusta dan mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat menyebabkan kesalahan
atau keterlambatan dalam proses ini . Makalah ini menyoroti beberapa celah dalam
diagnosis penyakit kusta, termasuk tingkat pengetahuan warga yang rendah,
kelainan kulit yang mirip dengan penyakit lain, kunjungan pelayanan kesehatan yang
bersifat pasif, faktor ekonomi, dan sarana penunjang yang tidak memadai. Kesadaran
warga perlu ditingkatkan melalui edukasi dan penyuluhan tentang penyakit kusta,
sementara pelatihan tenaga medis dalam mengenali kelainan kulit yang khas untuk
mencegah kesalahan diagnostik. Upaya penemuan kasus secara aktif dan perhatian
terhadap faktor ekonomi juga menjadi penting dalam mengatasi keterlambatan dalam
diagnosis.
Sebagai solusi, rekomendasi dapat diarahkan pada peningkatan pengetahuan
warga , pelatihan intensif untuk tenaga medis, peningkatan upaya penemuan kasus
secara aktif, serta peningkatan aksesibilitas dan ketersediaan sarana penunjang
diagnostik. Kerjasama lintas sektor juga penting untuk mencapai tujuan pencegahan
kesalahan dalam diagnosis dan terapi penyakit kusta. Dengan demikian, makalah ini
memberikan landasan untuk pengembangan strategi yang holistik dalam mengatasi
tantangan diagnosis penyakit kusta untuk mengurangi angka penularan dan meningkatkan
kualitas hidup penderita.
Penyakit kusta (Morbus Hansen) merupakan penyakit yang ditakuti oleh warga sampai saat ini, baik
keluarga, termasuk sebagian dari petugas kesehatan, yang disebabkan sebab kurangnya pengetahuan dan
kepercayaan yang keliru terhadap penderita kusta dan kecacatan yang terjadi. Dampak negatif dari segi sosial
yang menjadi sumber permasalahan kehidupan penderita kusta yaitu kecacatan pada tubuh penderita yang
membuat sebagian besar warga merasa jijik menyebabkan penderita dijauhi, dikucilkan oleh warga
serta timbulnya tindakan diskriminasi dan penderita sulit mendapatkan pekerjaan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui stigma warga pada penderita kusta di Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara.
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional, populasi pada penelitian ini sebanyak 200
orang dan tehnik pengambilan sampel yaitu total sampling dengan jumlah sampel 200 orang. Data
dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan dari konsep Scheid dan
Bown 2010. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian didapatkan
bahwa stigma warga negatif sebanyak 127 orang (63,5 %). Disarankan kepada pemberi pelayanan
kesehatan untuk dapat memberikan edukasi/informasi bagi warga mengenai penyakit kusta sehingga
dapat mengubah stigma yang tidak baik bagi penderita kusta.Penyakit kusta (lepra) yang disebut dengan
Morbus Hansen merupakan penyakit yang
ditakuti oleh warga sampai saat ini, baik
keluarga, warga dan termasuk sebagian
dari petugas kesehatan, disebabkan sebab
masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan
yang keliru terhadap kusta dan kecacatan yang
terjadi
Penyakit kusta merupakan salah satu
penyakit infeksi kronis pada kulit dan saraf
tepi disebabkan oleh Mycobacterium Lepra.
Penderita kusta mengalami cacat tubuh, kulit,
kaki, tangan dan jari-jari sebab hilangnya
perlindungan sensasi nyeri, dampak sosial yang
menjadi sumber permasalahan kehidupan
penderita kusta yaitu kecacatan pada tubuh
penderita yang membuat sebagian besar
warga merasa jijik dan umumnya akan menyebabkan penderita dijauhi, dikucilkan oleh
warga , dan timbulnya tindakan
diskriminasi dan sulit mendapatkan pekerjaan
(Kemenkes RI, 2015).
Kuman kusta dapat menyebar secara
langsung maupun tidak langsung dengan
penggunaan peralatan pribadi (sabun, handuk,
sisir) secara bersama yang terkontaminasi
kuman. Kuman kusta lebih cepat menyebar
pada kelompok padat huni. Kepadatan hunian
yang tidak memenuhi standar berisiko
menularkan kusta multibasiler 3x lebih cepat
Jumlah penderita kusta pada tahun 2016
yang dilaporkan dari 143 negara di semua
regional WHO yaitu sebanyak 214.783 kasus
baru kusta dan prevalensi terlapor yaitu
171.948 kasus, dengan angka cacat tingkat 2
sebesar 12.819 per 1.000.000 penduduk dan
jumlah kasus anak di antara kasus baru
mencapai 18.230
Indonesia telah mencapai status eliminasi
kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000
penduduk pada tahun 2000. sesudah itu
Indonesia masih bisa menurunkan angka
kejadian kusta meskipun relatif lambat. Angka
prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017
sebesar 0.70 kasus/10.000 penduduk dan angka
penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per
100.000 penduduk (Kemenkes, RI, 2018).
Pada tahun 2017 dilaporkan 15.910 kasus
baru kusta (6,1/100.000 penduduk) dengan
86,12% kasus di antaranya merupakan tipe
Multi Basiler (MB). sedang menurut jenis
kelamin, 61,99% penderita baru kusta berjenis
kelamin laki-laki dan sebesar 38,01% lainnya
berjenis kelamin perempuan
Prevalensi belum eliminasi di Indonesia
yang tertinggi terdapat di Papua Barat 10,59 per
10.000 penduduk, Papua 4,04, selanjutnya di
ikuti oleh Maluku, Maluku Utara 3,86, Maluku
2,25, Sulawesi Utara 1,65, Gorontalo 1,59,
Sulawesi Barat 1,42 Sulawesi Tenggara 1,35,
Sulawesi Selatan 1,23, Sulawesi Tengah 1,14,
dan Jawa Timur 1,04 per 10.000 penduduk
(Kemenkes RI, 2018).
berdasar data Profil Kesehatan Dinkes
Provinsi Aceh, jumlah kasus kusta baru
sebanyak 524 kasus, diantaranya merupakan
kasus tipe Multibasiler (MB) sebanyak 385
kasus atau (73%) dan tipe Pausibasiler (PB)
sebanyak 139 kasus (27%) dengan NCDR
sebesar 10,48 per 100.000 penduduk. Jumlah
kasus kusta tercatat pada tahun 2016 terdapat di
Kabupaten Pidie sebanyak 61 kasus, disusul
oleh Aceh Barat 21 kasus, Lhokseumawe 25
kasus dan Gayo Lues sebanyak 20 kasus
Stigma pada penderita kusta akan
mempengaruhi pemahaman tentang penyakit
dan penerimaan diri bagi penderita itu sendiri
dan tidak menerimanya di kalangan sosial
warga
Kusta menimbulkan stigma yang besar di
warga , sehingga penderita kusta seringkali
dijauhi dan dikucilkan oleh warga yang
menyebabkan timbulnya masalah psikososial
Dampak yang dapat ditimbulkan dari kusta
yaitu ditakuti oleh warga bahkan
keluarga sehingga penderita kusta merasa
dikucilkan oleh warga dan ini disebabkan
oleh persepsi yang kurang baik terhadap
penyakit kusta
Penelitian yang dilakukan oleh Susanto,
(2009) mendapatkan hasil bahwa penderita
kusta merasa sedih dan kecewa pada diri sendiri
saat mendapatkan diagnosa kusta. Perasaan
sedih dan kecewa ini merupakan respon
terhadap harga diri rendah yang sedang
dialami yang ditunjukkan dengan sikap putus
asa, menarik diri dan kesedihan yang
mendalam.
Peran petugas kesehatan terhadap kusta,
yaitu dengan cara penyuluhan dan promosi
kesehatan tentang penyakit kusta, penularannya
dan akibat ketidak patuhan minum obat
kepada penderita, motivasi dan komitmen yang
kuat, baik dari penderita maupun warga
untuk melakukan tindakan pencegahan primer
Data dari Program Penanggulangan
Penyakit Menular Dinas Kesehatan Aceh Utara
ditemukan bahwa penderita kusta baru murni
dari 31 Kecamatan dengan jumlah semuapenduduk sebanyak 525.608 jiwa, hanya
terdapat di 17 Puskesmas/Kecamatan sebanyak
45 kasus baru, diantaranya kusta tipe PB
sebanyak 15 kasus dan kusta tipe MB sebanyak
30 kasus dengan CDR 0,8% per 10.000
penduduk
Data yang di dapatkan dari Puskesmas
Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara, jumlah
kasus kusta di Gampong Kuala Keureuto Barat
Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara
3 sebanyak 9 orang.
Hasil survey awal di Gampong Kuala
Keureuto Barat Kecamatan Tanah Pasir
Kabupaten Aceh Utara jumlah warga di
Kuala Keureuto Barat sebanyak 278 orang,
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 60
KK. sedang jumlah warga yang umur
17 tahun sampai dengan umur 60 tahun
sebanyak 200 orang.
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan
pendekatan cross-sectional, yaitu pengumpulan
data dilakukan dengan satu priode waktu
tertentu dilakukan hanya satu kali saja dan data
yang dikumpulkan melalui wawancara. Data
yang diambil yaitu warga yang
dilingkungannya ada penderita kusta, dengan
jumlah populasi sebanyak 200 warga .
Teknik pengambalin sampel menggunakan
metode total sampling dan didapatkan 200
sampel.
Pengumpulan data dilakukan pada
tanggal 17 Agustus s/d 03 September 2018.
berdasar tabel 1 dapat dilihat dari 200
responden dapat diketahui bahwa mayoritas
responden berumur 26-35 tahun sebanyak 65
orang (32,5%), mayoritas katagori jenis kelamin
diketahui bahwa laki-laki sebanyak 113 orang
(56,5%), sedang pendidikan mayoritas SMA
sebanyak 126 orang (63%), serta mayoritas
pekerjaan didapatkan tidak bekerja 64 orang
(32%).
berdasar tabel 2 dapat dilihat dari 200
responden stigma warga negatif sebanyak
127 orang (63,5%) dibandingkan dengan 73
orang stigma positif (36,5%).
Hasil penelitian didapatkan stigma negatif
sebanyak 127 orang (63.5%). Ini disebab kan
warga sangat takut untuk tertular penyakit
kusta sebab ketidaktauan warga tentang
proses penularan dari penyakit ini .
pengetahuan, sikap dan perilaku merupakan
aspek yang saling berkaitan. Pengetahuan
berperan penting sebagai salah satu faktor
internal yang dapat mempengaruhi terbentuknya
perilaku seseorang. Rendahnya tingkat
pengetahuan warga tentang pengobatan,
pencegahan dan komplikasi dari penyakit kusta,menyebabkan warga takut untuk
mendekati dan melakukan aktivitas bersama
penderita kusta, hal ini yam membuat stigma
negatif yang sulit dihilangkan pada warga .
Pemikiran dan sikap deskriminasi yang
sudah ada, akan sulit dihilangkan sebab label
buruk yang telah diberikan oleh warga
tanpa ada landasan teori,
Anggapan yang salah tentang penyakit
kusta beredar di tengah-tengah warga dan
diyakini kebenarannya oleh sebagian besar
anggota warga bahwa penderita kusta yang
mengalami cacat, tetap dianggap sebagai
penderita yang berbahaya oleh warga
sehingga warga masih banyak yang
mengalami ketakutan berinteraksi dengan
penderita kusta
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Sulidah (2016) yang dilakukan di Kota Tarakan
Jawa Tengah, bahwa ada hubungan
pengetahuan dan sikap warga terkait kusta
terhadap stigma dan diskriminasi pada penderita
kusta (p=0,000).
Tingkat pengetahuan tentang kusta di
Gampong Kuala Keureuto Barat di dapatkan
bahwa warga masih memiliki pemikiran
yang keliru terhadap penyakit kusta dan
ketidaktahuan proses penularan penyakit.
Oleh sebab itu mereka masih mengucilkan dan
mengabaikan penderita kusta untuk ikut serta
dalam kegiatan sosial warga sebab masih
dipengaruhi oleh stigma yang keliru yang
ditimbulkan oleh penyakit kusta.
Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
warga tentang penyakit kusta sangat
diperlukan untuk merubah pola pikir dan
persepsi warga sehingga tidak akan
memunculkan stigma yang negatif pada
penderita kusta. Dari hasil penelitian diatas
dapat disimpulkan bahwa semakin baik
pengetahuan seseorang maka semakin baik
stigma yang akan muncul terhadap penderita
kusta. Stigma warga yang terjadi di
pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
pengetahuan terhadap penyakit dan pengobatan
yang dilakukan oleh penderita. Faktor lain yang
juga tidak kalah penting yaitu memberikan
pengatahuan melalui pendidikan kesehatan.
Studi ini menemukan bahwa stigma negatif
sebanyak 127 orang (63.5%) dibandingkan
dengan 73 orang stigma positif (36.5%).
Diharapkan dapat dijadikan masukan
kepada warga untuk merubah stigma pada
penderita dengan mencari informasi baik
melalui buku, surat kabar atau media online
tentang penyakit kusta dan melibatkan
penderita di aktivitas sosial warga