Tampilkan postingan dengan label kusta b. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kusta b. Tampilkan semua postingan

Kusta b

 






kusta5



Eritema Nodosum Leprosum (ENL) merupakan reaksi kusta tipe II yang paling sering dilaporkan. ENL 

paling sering terjadi pada kusta tipe lepromatosa (LL). Pengobatan ENL dengan prednisolon terbukti 

efektif namun memberikan efek samping berat seperti hiperglikemia, diabetes, osteoporosis, hipertensi, 

katarak dan imunosupresi bila digunakan dalam jangka waktu panjang, sedangkan pengobatan dengan 

talidomid sangat terbatas sebab  memiliki efek teratogenik. pemakaian  metotreksat dan metformin 

pada ENL bekerja sebagai agen anti-inflamasi yang memberikan berbagai keuntungan berdasar  

profil keamanan, pengaturan dosis yang mudah, dan biaya yang rendah. Kedua obat ini dapat menjadi 

pilihan obat monoterapi maupun sebagai obat tambahan yang dikombinasikan dengan kortikosteroid.Eritema nodosum leprosum (ENL) yaitu  reaksi 

kusta dengan inflamasi berat yang berpotensi 

terjadi pada 50% pasien dengan kusta tipe 

lepromatosa dan 5-10% pasien kusta tipe 

borderline lepromatosa.

4 ENL dapat terjadi 

sebelum, selama atau sesudah  pengobatan selesai. 

ENL memicu   peradangan pada organ tubuh

yang ditandai dengan nyeri hebat pada lesi kulit, 

demam, nyeri sendi dan tulang, iritis, orkitis, 

limfadenopati, dan neuritis. Sebagian besar 

pasien memiliki beberapa episode peradangan 

hebat yang berlangsung selama beberapa tahun

dan dapat menimbulkan kecacatan hingga

kematian. pemicu   ENL masih belum diketahui 

dengan jelas, namun ditemukan hubungan 

aktivasi kompleks imun dan peradangan. Lesi 

kulit ENL dapat menunjukkan gambaran 

vaskulitis dan ada  bukti aktivasi neutrofil 

dan limfosit.1

Tujuan utama pengobatan ENL yaitu  

mengontrol peradangan akut dan neuritis, 

mengurangi rasa nyeri dan tidak nyaman,

mencegah perkembangan dan perluasan lesi kulit, 

saraf, mata dan viseral, serta mencegah 

timbulnya episode ENL berulang.

2,4 Pasien 

dengan ENL membutuhkan pengobatan jangka 

panjang dengan diberikan kortikosteroid,

klofazimin, dan talidomid. Talidomid yaitu  

pengobatan yang paling efektif tetapi tidak 

tersedia secara luas sebab  efek teratogenik. Saat 

ini obat yang paling umum digunakan yaitu  

kortikosteroid dosis tinggi, namun obat ini 

mengakibatkan komplikasi berat dan kematian 

pada pemakaian  jangka panjang.

1 Dengan 

berbagai pertimbangan dalam pemilihan 

pengobatan ENL saat ini, beberapa obat telah 

dicetuskan sebagai terapi alternatif ENL, dengan 

atau tanpa kortikosteroid untuk mencegah efek 

samping dan meningkatkan efektivitas obat 

terhadap ENL, seperti metrotreksat dan 

metformin dengan profil keamanan yang baik 

untuk mengelola peradangan pada ENL.

Tinjauan ini akan menjelaskan

mekanisme kerja, cara pengunaan, dan 

keunggulan metotreksat serta metformin sebagai 

terapi alternatif yang dapat diberikan pada kasus

ENL berulang.

ISI

Definisi dan Klasifikasi Kusta & Reaksi Kusta

Morbus Hansen atau disebut juga 

penyakit kusta (lepra) disebabkan oleh M. leprae

(basil tahan asam). Penyakit ini terutama

menyerang kulit dan sistem saraf tepi, bersifat 

kronis, dan berdampak disabilitas atau kecacatan.

M. leprae menyerang sel schwann sehingga

menginduksi demielinisasi dan hilangnya 

konduksi aksonal.

Ridley-Jopling mengklasifikasikan kusta

berdasar  respon imun pasien menjadi 

indeterminate (I), tuberkuloid (TT), borderline￾tuberkuloid (BT), boderline-borderline (BB), 

borderline-lepromatosa (BL) dan lepromatosa

(LL). Selain itu, ada  klasifikasi lain oleh

WHO berdasar  jumlah lesi kulit dan

persarafan yang terganggu, yaitu pausibasiler

(PB) atau multibasiler (MB) yang dibuat untuk 

memfasilitasi regimen pengobatan


Dalam perjalanan penyakit kusta yang kronis

akan terjadi reaksi inflamasi yang berasal dari 

reaksi hipersensitivitas akut maupun kronis

sebagai respon terhadap antigen M. leprae. 

Episode ini disebut reaksi kusta dan dapat terjadi 

dalam perjalanan penyakit yang teratur bahkan 

tanpa intervensi pengobatan. Reaksi kusta 

merupakan pemicu   utama kerusakan 

neurologis permanen yang memicu   

komplikasi serius berupa kecacatan.2 Reaksi 

kusta digolongkan menjadi reaksi tipe I (reaksi 

reversal/reaksi upgrading) dan reaksi tipe II

(eritema nodosum leprosum/ENL).

15 Reaksi tipe I 

terlihat secara khas pada kusta borderline, 

sedangkan reaksi tipe II timbul pada kusta tipe 

lepromatosa atau borderline lepromatosa.

3

Eritema Nodusum Leprosum

Eritema Nodosum Leprosum (ENL) 

merupakan reaksi kusta tipe II yang paling sering

terjadi.

3 ENL yaitu  vaskulitis agresif dengan 

deposisi kompleks imun yang mempengaruhi 

berbagai organ tubuh, dan mengakibatkan

neuritis, panniculitis, glomerulonefritis, artralgia, 

epididimitis, orkitis, peradangan pada mata, 

osteitis dan limfadenitis dengan gejala sistemik 

seperti demam, edema, dan malaise.

14 Dalam 

kasus yang berat dapat terjadi ulserasi pada lesi. 

Pada pemeriksaan histologi ENL terlihat edema 

dan campuran infiltrat inflamasi di dermis dan 

subkutis, terutama neutrofil dan eosinofil, 

limfosit, agregasi makrofag yang berbusa, sel 

plasma, dan sel mast. Dapat ditemukan vaskulitis 

dan campuran panniculitis lobular dan septal. 

Ditemukan basil dalam jumlah besar dengan

gambaran granular. Limfosit dominan yang 

ada  dalam ENL yaitu  sel T-helper, 

sedangkan sel T-supresor mendominasi pada 

kusta lepromatosa.9,14

Mekanisme ENL sampai saat ini belum 

diketahui secara pasti namun diyakini sebagai 

respon inflamasi sistemik terhadap deposisi 

kompleks imun ekstravaskular.

5 ENL bersifat 

kronis, dapat timbul bertahun-tahun sesudah  

pengobatan kusta selesai, dan membutuhkan 

pengobatan selama beberapa tahun.4,5 Manandhar 

dkk. mengidentifikasi lima faktor risiko untuk

episode ENL berulang, yaitu subtipe LL, apusan 

kulit >4+, lebih dari lima saraf yang membesar, 

adanya nodul kulit atau infiltrasi, kehamilan dan 

laktasi.

3

ada  tiga pola klinis ENL, yaitu 

episode akut, rekuren, dan kronik. Episode akut 

yaitu  episode tunggal ENL yang terjadi kurang 

dari 24 minggu. ENL rekuren yaitu  episode 

ENL kedua atau lebih yang timbul ≥28 hari 

sesudah  pengobatan ENL dihentikan. ENL kronik 

yaitu  episode yang terjadi selama lebih dari 24 

minggu dan pasien memerlukan pengobatan ENL

secara terus menerus atau saat periode bebas 

pengobatan sampai 27 hari.

4

Patogenesis ENL diduga berkaitan 

dengan deposisi kompleks imun. Kuman 

M.leprae yang masuk ke dalam tubuh akan 

ditangkap oleh makrofag. Kompleks imun terjadi 

sebab  peningkatan pembentukan antibodi oleh 

sel B dan peningkatan antigen mikobakteri 

melalui fragmentasi basil M. leprae. Limfosit T 

yaitu  bagian dari respon imun adaptif yang 

membantu menghilangkan bakteri, virus, infeksi parasit atau sel ganas. Ditemukan peningkatan 

sel T CD 4+, penurunan CD 8+, dan peningkatan 

rasio CD4+/CD8+ pada pasien ENL. Sitokin 

TNF-α dan IFN-γ ditemukan meningkat pada 

pasien dan menunjukkan peran inflamasi pada 

ENL. TNF-α terbentuk akibat dari stimulasi sel 

dengan M.Leprae dan komponennya. Kemokin 

seperti IL-8 memicu   kompleks imun 

tersimpan dalam kulit.16 Aktivasi neutrofil pada 

ENL memicu   terjadinya peningkatan 

ekspresi E-selektin dan IL-1β yang mengarah 

pada pelekatan neutrofil ke sel endotel.8 Neutrofil 

berkontribusi pada sebagian besar produksi TNF 

yang berkaitan dengan kerusakan jaringan pada 

kusta. Beberapa penelitian juga telah 

menunjukkan adanya peningkatan kadar TNF-α, 

IL-6, IL-12 dan IL-17 pada kulit dan darah.4

Mekanisme kompleks imun pada pasien ENL 

telah dibuktikan melalui pemeriksaan

imunoassay dengan Clq


Pengobatan ENL yang Diberikan Saat Ini

Pada kasus ENL sedang hingga berat 

pilihan pengobatan utama yaitu  kortikosteroid,

dengan yang paling umum digunakan yaitu  

prednisolon oral. Dosis bergantung pada tingkat 

keparahan penyakit, dapat diberikan 15-30 mg 

per hari atau lebih. Semakin berat reaksi yang 

terjadi maka semakin tinggi dosis yang 

diberikan.

15 Sebagian besar pasien memerlukan 

pengobatan prednisolon jangka panjang sebab  

evolusi reaksi kusta. Ketika terjadi 

ketergantungan pada steroid atau komplikasi dari 

pemakaian nya, klofazimin dapat diberikan. 

Klofazimin yaitu  zat aktif yang bekerja sebagai

anti-inflamasi dan antimikroba. Obat ini tidak 

boleh diberikan lebih dari 12 bulan. Selain 

steroid, talidomid juga terbukti efektif sebagai 

monoterapi maupun dalam kombinasi dengan 

steroid pada pengobatan ENL sedang hingga 

berat. Obat ini memiliki onset kerja yang sama 

cepatnya dengan steroid. Talidomid mengurangi 

kebutuhan prednisolon pada pasien dengan ENL 

kronik. Pengobatan dengan talidomid dan 

prednisolon oral merupakan obat yang sampai 

saat ini efektif dalam pengelolaan ENL sebab  

kedua obat ini bekerja dengan menghambat 

pelepasan TNF-α.11,12 Namun, pengobatan jangka 

panjang dengan kortikosteroid dosis tinggi 

berhubungan dengan efek samping berat seperti 

hiperglikemia, diabetes, osteoporosis, hipertensi, 

katarak dan imunosupresi. Talidomid sebagai 

terapi alternatif steroid juga kerap tidak tersedia 

sebab  peraturan yang membatasi

pemakaian nya akibat dari efek teratogenik.

5

Pengobatan ENL Berulang dengan 

Metotreksat

Metotreksat memberikan berbagai 

keuntungan untuk pasien ENL. berdasar  

pengalaman, profil keamanan, pengaturan dosis 

yang mudah, dan biaya yang rendah metotreksat 

menjadi salah satu alternatif pengobatan ENL 

yang dapat diberikan sebagai monoterapi maupun 

obat tambahan yang dikombinasikan dengan 

kortikosteroid.

5 Metotreksat merupakan analog 

asam folat yang memiliki sifat anti-proliferasi 

yang dimediasi via inhibisi jalur folat dependen

(anti-neoplasia), imunosupresif, dan memiliki 

efek anti-inflamasi yang berasal dari peningkatan 

regulasi adenosin melalui peningkatan kadar 

AICAR.

7

Metrotreksat dalam dosis rendah 

memiliki efek anti inflamasi. Pada jalur anti￾inflamasi ada  nukleosida purin yang dikenal 

sebagai adenosin, yang memiliki kapasitas untuk 

melawan proses inflamasi. Molekul metoreksat

dan poliglutamat memiliki kemampuan untuk 

menghambat enzim yang bergantung pada folat

(terlibat dalam sintesis nukleotida purin) yang 

disebut 5-aminoimidazole-4-carboxamide 

ribonucleotide (AICAR) transformilase. Pada saat 

AICAR transformilase tidak berfungsi terjadi

peningkatan kadar AICAR dalam sel yang 

memicu   terjadinya inhibisi adenosin 

deaminase sehingga terjadi peningkatan pada 

adenosin di ekstraseluler. Adenosin merupakan 

nukleosida purin yang dianggap sebagai senyawa 

anti-inflamasi endogen. Dengan mengikat 

reseptor permukaan sel tertentu, adenosin 

terbukti memiliki efek anti-inflamasi yang kuat 

pada sejumlah sel target yang berbeda. Efek anti￾inflamasi merupakan hasil interaksi adenosin 

dengan reseptor adenosin pada permukaan sel, 

mekanisme yang menghambat kemotaksis 

leukosit, inflamasi oksidatif pada 

neutrofil/monosit dan sintesis sitokin dari 

monosit/makrofag (TNF-α, IL-6, -8,-10 dan 12).

Steroid juga terbukti memiliki efek anti-inflamasi

dengan mekanisme yang sebagian besar sama.

Kombinasi terapi metotreksat dan steroid 

diharapkan memberikan hasil yang lebih baik. 

Beberapa penelitian telah menunjukkan 

efektivitas pengobatan metotreksat pada pasien 

dengan ENL

Penelitian yang dilakukan oleh Hasan, 

dkk (2020) menguji 19 pasien ENL berusia 18-65 

tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien 

dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama

diberikan 3x 2,5 mg metotreksat setiap minggu 

selama enam bulan dan prednisolon 40 mg/hari 

dengan penurunan dosis perlahan selama tiga 

bulan dan kelompok kedua diberikan monoterapi 

prednisolon (40 mg/hari dengan penurunan dosis 

perlahan selama 6 bulan). Kedua kelompok akan 

dilakukan observasi terhadap ENL rekuren 

dengan penilaian RSAS (Reaction Severity 

Assessment Score). Hasil dari penelitian ini 

yaitu  satu pasien dari kelompok pertama dan 

dua pasien dari kelompok kedua mengalami ENL

rekuren. Ketiga pasien diobservasi dan 

ditambahkan dosis prednisolon sesuai protokol 

WHO dan didapatkan hasil kelompok pertama 

tidak mengalami episode ENL berulang, namun 

kelompok kedua mengalami episode rekuren dan 

eksaserbasi ENL. Selain itu, pada pasien dengan 

monoterapi prednisolon efek samping steroid 

lebih terlihat jelas. ada  tiga kasus hipertensi 

dan satu kasus diabetes pada kelompok dengan 

monoterapi prednisolon. Kesimpulan dari 

penelitian ini yaitu  metotreksat dapat digunakan 

sebagai terapi tambahan untuk mencegah 

rekurensi ENL terutama jika ada  

kontraindikasi pemakaian  steroid jangka 

panjang. Metotreksat juga dapat diberikan untuk 

meminimalisir toksisitas steroid.6

Penelitian yang dilakukan oleh Nagar, 

dkk (2015) menguji pemakaian  metotreksat 

pada kasus ENL dengan resistensi prednisolon. 

Pasien yang tidak responsif dengan prednisolon 

diberikan talidomid. Talidomid terbukti dapat 

mengobati ENL namun tidak dapat mencegah 

remisi. Maka dari itu, pasien diberikan 

metotreksat dengan dosis 15 mg/minggu dosis 

terbagi tiga dengan jarak 12 jam, dengan 

pengobatan selama 6 bulan. Hasil yang 

didapatkan yaitu  merotreksat terbukti efektif, 

namun pemberian metotreksat tidak efektif dalam 

kasus non-responsif terhadap talidomid.10

Pengobatan ENL Berulang dengan Metformin

Dalam pengobatan ENL kronik berulang, 

target terapi ditujukan kepada mediator-mediator 

inflamasi dan mencegah terjadinya stres mental.

Episode inflamasi ENL pada pasien kusta 

menunjukkan peningkatan kadar serum TNF-α 

yang tinggi. TNF-α merupakan mediator penting 

dalam proses inflamasi dan memicu   

kerusakan jaringan selama reaksi berlangsung. 

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa 

ketika distimulasi secara in vitro akan terjadi 

pelepasan TNF-α dalam jumlah besar. 

Peningkatan ekspresi mRNA TNF-α dan protein 

TNF-α telah terdeteksi pada lesi ENL. TNF-α 

memiliki efek biologis yang berbeda baik dalam 

inisiasi maupun amplifikasi kerusakan jaringan 

pada reaksi kusta dan juga dikaitkan dengan 

mediasi kerusakan saraf pada kusta neuritis. ENL 

dianggap sebagai penyakit yang dimediasi 

kompleks imun atau reaksi hipersensitivitas tipe 

III.

Metformin merupakan obat oral golongan 

biguanid, diberikan kepada pasien diabetes 

melitus tipe II dan sindrom poliksitik ovarium. 

Dosis metformin berkisar dari 250 mg sampai 

2500 mg per hari dalam dosis terbagi. Dengan 

dosis yang sesuai, metformin dapat diberikan 

dalam jangka panjang dengan efek samping 

minimal. Metformin berpotensi untuk mengobati 

gangguan yang berhubungan dengan inflamasi, 

sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan 

peradangan pada ENL. Dalam penelitian secara 

in vivo, metformin menunjukkan efek anti￾inflamasi dengan menghambat TNF-α. Dalam 

penelitian in vitro, metformin menunjukkan 

peran inhibisi TNF-α jika diberikan secara 

monoterapi maupun kombinasi.

Keuntungan menggunakan metformin 

dibandingkan obat yang tersedia saat ini yaitu  

profil keamanannya, tersedia di pasaran selama 

beberapa dekade, dapat diberikan dengan aman 

pada wanita hamil, pilihan dosis yang luas dan 

tidak banyak pemeriksaan lanjutan spesifik.

Selain itu, metformin dapat digunakan sebagai 

monoterapi atau dalam kombinasi dengan steroid 

dosis rendah atau pada pasien ENL dengan 

riwayat diabetes melitus. pemakaian  metformin pada ENL dapat mengurangi peradangan dan 

mencapai fase perbaikan dengan cepat tanpa efek 

samping yang signifikan.

11,12

Dibadingkan dengan prednisolon dan 

talidomid, metformin memberikan efek samping 

minimal berupa intoleransi lambung seperti sakit 

perut, perut kembung, dan diare. Efek akan 

berkurang jika dosis diturunkan atau diberikan 

bersama dengan makanan. ada  bukti 

penurunan penyerapan vitamin B12 sebesar 10-

13%, namun tidak berkaitan dengan kejadian 

anemia megaloblastik. Efek samping lain seperti 

vaskulitis leukositoklastik, pneumonitis alergi, 

hiperbilirubinemia, dan anemia hemolitik sangat 

jarang terjadi. Hipoglikemia jarang terjadi 

dengan pemberian monoterapi untuk penderita 

diabetes melitusDengan berbagai efek samping berat yang 

ditimbulkan pada pemakaian  kortikosteroid 

jangka panjang dan keterbatasan pemakaian  

talidomid, metotreksat dan metformin 

memberikan berbagai keuntungan dalam 

pengobatan ENL berulang. Metotreksat telah 

terbukti dapat mencegah ENL berulang dengan efek samping minimal. Metformin juga dapat 

diberikan sebagai agen anti-inflamasi pada kasus 

ENL berulang, namun penelitian mengenai 

efektivitas pemakaian  metformin masih sedikit 

dan perlu pengembangan lebih lanjut


kusta10




Penyakit kusta memiliki   pengaruh yang

luas pada kehidupan penderita mulai dari

perkawinan, pekerjaan, hubungan antar pribadi,

kegiatan bisnis sampai kehadiran mereka pada

acara –acara keagamaan serta acara di

lingkungan warga  

Penyakit kusta juga menimbulkan masalah

yang sangat kompleks, masalah yang dimaksud

bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai

masalah sosial, ekonomi, psikologis, budaya,

keamanan dan ketahanan nasional (Depkes RI,

2005). Kecacatan yang berlanjut dan tidak

mendapatkan perhatian serta penanganan yang

tidak baik akan menimbulkan ketidak mampuan

melaksanakan fungsi sosial yang normal serta

kehilangan status sosial secara progresif,

terisolasi dari warga , keluarga dan teman￾temannya  sedang   secara

psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit

penderita membentuk paras yang menakutkan.

Kecacatannya juga memberikan gambaran yang

menakutkan menyebabkan penderita kusta

merasa rendah diri, depresi dan menyendiri

bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya. Suatu

kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta

berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan

ini  turut memperburuk keadaan 

Melihat sejarah, penyakit kusta merupakan

penyakit yang ditakuti warga  dan keluarga.

Saat itu telah terjadi pengasingan secara spontan

sebab  penderita merasa rendah diri dan malu

(stigma). Disamping itu warga  menjauhi

sebab  merasa jijik dan takut hal ini disebabkan

sebab  kurangnya pengetahuan atau pengertian

juga kepercayaan yang keliru terhadap penyakit

kusta. warga  masih banyak beranggapan

bahwa kusta disebabkan oleh kutukan, guna￾guna, dosa, makanan ataupun keturunan. Diera

modern ini muncul istilah “stigmatisasi” yang lebih

mencerminkan “kelas” daripada fisik. Proses

inilah yang pada akhirnya membuat para penderita

terkucil dari warga , dianggap menjijikan dan

harus dijauhi. Sebenarnya stigma ini timbul sebab 

adanya suatu persepsi tentang penyakit kusta

yang keliru.

Salah satu misi Depertemen Kesehatan

dalam pemberantasan penyakit kusta yaitu 

menghilangkan stigma sosial (ciri negatip yang

menempel pada pribadi seseorang sebab 

pengaruh lingkungannya) dengan mengubah

persepsi warga  terhadap penyakit kusta

melalui pembelajaran secara intensif tentang

penyakit kusta (Depkes RI, 2005). Menurunkan

stigma dan mengurangi diskriminasi mendorong

perilaku warga  dalam menerima penderita

kusta. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan

percaya diri penderita dan keluarga dalam

kehidupan sehari – hari.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

Tugurejo Semarang merupakan Rumah Sakit

kelas B milik Provinsi Jawa Tengah. Terletak di

Semarang bagian barat, sebelum menjadi rumah

sakit umum merupakan Rumah Sakit Khusus

penderita kusta, sampai saat ini RSUD Tugurejo

masih memberikan pelayanan penyakit kusta dan

menjadi pusat rujukan serta pendidikan penyakit

kusta di Jawa Tengah. Data kunjungan rawat jalan

penderita kusta setiap tahun meningkat, tahun

2005 yaitu  3.839 pasien, tahun 2006 berjumlah

3.975 dan tahun 2007 sebanyak 4.127

kunjungan (RSUD Tugurejo, 2007). Tahun 2007

poli klinik khusus penderita kusta menemukan

192 kasus penderita baru. Jumlah penderita

rawat inap kkusus kusta tahun 2005 yaitu  190

pasien, tahun 2006 sebanyak145 penderita dan

tahun 2007 terdapat 130 penderita yang harus

dirawat (RSUD Tugurejo, 2007).

Dari pengamatan awal yang telah

dilakukan peneliti ditemukan beberapa perilaku

penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo

berbeda dengan penderita penyakit lainnya,

diantaranya mereka selalu mengambil tempat di

belakang atau di sudut ruang saat menunggu giliran

diperiksa. Sebagian besar mereka menundukkan

kepalanya dan penderita laki-laki menggunakan

topi. Jika diajak bicara mereka tidak menataplawan bicaranya dan sebagian besar memakai

baju lengan panjang. Survey awal yang dilakukan

peneliti pada bulan Oktober 2007 terhadap 10

orang penderita kusta memperoleh hasil bahwa

masih ada persepsi negatif penderita kusta

terhadap penyakit kusta

Atas dasar hal ini  diatas maka perlu

diteliti mengenai faktor-faktor yang

melatarbelakangi persepsi penderita terhadap

stigma penyakit kusta. Secara Umum penelitian

ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor

yang melatar belakangi persepsi penderita kusta

terhadap stigma penyakit kusta.

Penelitian ini menggunakan metode

diskriptif kualitatif yang menggunakan rancangan

studi kasus . Responden dipilih

secara porposif terdiri dari penderita kusta yang

berobat ke RSUD Tugurejo sebanyak 8 orang.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara

mendalam, selanjutnya data di analisis dengan

content analysis (diskripsi isi) 

1. Karakteristik Responden

Gambaran umum responden menunjukkan

bahwa responden terbanyak berumur antara 26

tahun sampai 35 tahun dengan jenis kelamin laki￾laki. Pada kelompok umur ini  merupakan

masa produktip dalam kehidupan responden.

Dengan terserangnya penyakit kusta responden

merasa bahwa aktivitas sehari - harinya sangat

terganggu oleh penampilannya disebab kan

adanya perubahan pada fisik dan kepercayaan

diri yang menurun.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang

mendasar untuk melaksanakan tindakan

(, dilihat dari segi

pendidikan sebagian besar responden

berpendidikan Sekolah Menengah Atas, hanya

ada satu responden yang tidak bersekolah.

Sebagian besar responden tidak bekerja,

selain sulit dalam mencari pekerjaan responden

merasa takut apabila pimpinan dan teman￾temannya mengetahui bahwa responden

terserang penyakit kusta dan responden sangat

menyadari kelelahan akan mengakibatkan

kekambuhan penyakitnya, dengan tidak bekerja

responden menyatakan bahwa tidak memiliki  

penghasilan.

Penyakit kusta memiliki   pengaruh yang

luas pada kehidupan penderita, mulai dari

perkawinan, pekerjaan, hubungan pribadi,

kegiatan bisnis sampai kehadiran mereka pada

acara-acara di lingkungan warga  (Leprosy

Review, 2005). Sebagian besar responden telah

menderita penyakit kusta antara 1 tahun sampai

dengan 5 tahun, dalam kurun waktu sekian lama

responden harus selalu berobat dan minum obat

seraca rutin, apabila sampai terlambat dalam

berobat responden menyatakan penyakitnya

akan muncul kembali.

2. Faktor-faktor yang melatar belakangi

persepsi penderita kusta terhadap stigma

penyakit kusta

a. Stigma penyakit kusta menurut persepsi

responden.

Stigma yaitu  hal-hal yang membawa aib,

hal yang memalukan, sesuatu dimana seseorang

menjadi rendah diri, malu dan takut sebab 

sesuatu (Salim, 1996). Hasil wawancara

mendalam didapatkan hasil , bahwa semua

responden menyatakan warga  disekitar

tidak mengetahui bahwa responden menderita

penyakit kusta dan sebagian keluarga responden,

merasa sangat takut dan was-was saat

mengetahui responden menderita kusta. Untuk

mengatasi stigma ini, sebagian besar responden

melakukannya dengan tetap bekerja, ada juga

dengan cara membatasi diri, menutup diri, tidak

memperdulikan lingkungannya, walaupun ada

juga yang tetap mengikuti kegiatan di

kampungnya seolah-olah tidak sedang sakit.

Untuk menghindari efek stigmatisasi

penderita kusta menggunakan beragam cara agar

orang lain tidak mempelajari atau mengetahuitentang penyakitnya diantaranya

menyembunyikan secara efektif tentang

penyakitnya, mencegah pengungkapan diri

terhadap warga , keluarga dan teman￾temannya (Dayakisni, 2003). Wawancara

mendalam terhadap responden dalam mengatasi

stigma ini diperoleh jawaban bahwa, responden

selalu menggunakan pakaian tertutup, seperti

berkerudung, memakai baju lengan panjang, rok

panjang dan bagi penderita laki-laki

menggunakan jaket, memakai sepatu berkaos

kaki dan bertopi juga tidak menceritakan kepada

siapapun tentang penyakit yang dideritanya.

b. Persepsi penderita terhadap kemudahan

kemungkinan terkena penyakit.

Dalam teori health belief model dinyatakan

bahwa ketika individu mengetahui adanya

kerentanan pada dirinya, dia percaya bahwa

penyakit akan berakibat serius pada organ tubuh.

Adanya gejala - gejala fisik mungkin

mempengaruhi persepsi keparahan dan motivasi

pasien untuk mengikuti instruksi yang diberikan


Penyakit kusta yaitu  penyakit menular

menahun dan disebabkan oleh kuman kusta .

Penyakit ini dapat ditularkan dari penderita kusta

kepada orang lain, secara teoritis penularan ini

dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan

lama dengan penderita. Timbulnya penyakit kusta

bagi seseorang tidak mudah semua tergantung

dari beberapa faktor, antara lain : faktor sumber

penularan yaitu tipe penyakit kusta , faktor kuman

kusta dan faktor daya tahan tubuh 

Sebagian besar responden memiliki  

persepsi bahwa penyakit kusta dapat menimpa

semua orang, sebagian responden menganggap

bahwa orang yang jorok dan kondisinya menurun

yang dapat tertular penyakit kusta. Penyakit kusta

dapat ditularkan dari penderita kusta kepada

orang lain. Sebagian besar responden tidak

mengetahui cara penularan penyakit kusta dan

ada yang mengatakan penyakit ini menular melalui

udara dan satu responden menyatakan bisa

tertular penyakit kusta apabila golongan darahnya

sama dengan penderita, jika tidak sama tidak

akan tertular.

c. Persepsi penderita terhadap kegawatan

penyakit.

Pada penelitian ini, didapatkan jawaban

bahwa sebagian besar responden menganggap

kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan

serius alasan responden yaitu  penyakit kusta

mengakibatkan perubahan bentuk fisik dan

kecacatan dimana kecacatan ini bisa menetap

seumur hidupnya. Sebagian besar responden

berpandangan bahwa penyakit kusta bisa

menimbulkan kematian hal ini dikemukakan

bahwa gejala yang muncul saat terkena penyakit

ini sangat berat, dan saat pertama kali berobat

tidak langsung diketahui penyakitnya sehingga

responden merasa pengobatan yang dilakukan

kurang tepat, justru penyakitnya menjadi berat

dalam arti lain terlambat berobat untuk penyakit

kustanya sebab  salah dalam mendiagnosa

penyakit.

d. Persepsi penderita terhadap manfaat

berperilaku positip.

Penyakit kusta dapat diobati dan bukan

penyakit turunan / kutukan, menurut WHO

menggunakan hemoterapi dengan Multi Drug

Treatment (MDT). Tujuan pengobatan ini yaitu 

untuk mematikan kuman kusta. Pada tipe MB

lama pengobatan 12 – 18 bulan dan tipe PB lama

pengobatan 6 – 9 bulan. Bila penderita kusta tidak

minum obat secara teratur, maka kuman kusta

dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul

gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat

memperburuk keadaan (Depkes, 2004). Semua

responden menyatakan orang yang menderita

penyakit kusta harus berobat secara rutin, sebab 

kalau tidak rutin akan kambuh lagi, perasaan

tenang, tidak stres, tidak lelah sangat membantu

responden mengurangi frekuensi kekambuhan.

Kecacatan yang berlanjut dapat

menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan

fungsi sosial yang normal, serta kehilangan sta￾tus sosial secara progresif, terisolasi dariwarga , keluarga dan teman-temannya

Sebagian besar dari responden menyatakan,

perawatan diri dengan rajin sangat perlu, supaya

cacatnya tidak bertambah parah, dengan

mengoles pelembab di tangan dan kakinya akan

mengurangi kekeringan pada kulit yang bisa

membuat luka / pecah-pecah. Menurut

responden setiap hari penderita kusta harus

memeriksa anggota badannya apakah terjadi luka

atau tidak, sebab  anggota badan penderita

mengalami mati rasa sehingga kalau terjadi luka

tidak terasa sakit, menurut responden

mengetahui terjadinya luka secara dini akan

mengurangi terjadinya kecacatan sebab  luka bisa

cepat diobati sehingga tidak bertambah berat/

menjalar

e. Persepsi penderita terhadap risiko

berperilaku negatip

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa secara umum risiko

berperilaku negatip yaitu tentang hal-hal yang

tidak boleh di lakukan, responden mengutarakan

bahwa jenis-jenis makanan tertentu tidak boleh

dimakan seperti daging kambing, durian, nangka,

makanan beralkohol dan keadaan stres, capek /

kelelahan harus dihindari sebab  akan

memunculkan gejala-gejala penyakit kusta

(reaksi kusta).

Secara psikologis bercak, benjolan-benjolan

pada kulit penderita membentuk paras yang

menakutkan, kecacatannya juga memberi

gambaran yang menakutkan, hal ini menyebabkan

penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan

menyendiri (Depkes RI, 2005).Sebagian besar

responden menanggapi bahwa penderita kusta

yang selalu mengucilkan diri sebab  malu itu tidak

baik, sebab  penderita kusta harus berobat,

apabila tidak berobat secara rutin maka tidak

akan sembuh dan sebagian lagi menyatakan

mengucilkan diri yaitu  tindakan yang paling

tepat agar tidak menjadi bahan pembicaraan

tetangga. Responden lain sebenarnya mengetahui

bahwa tindakan mengucilkan diri yaitu  tidak

baik, akan tetapi responden ini 

melakukannya juga sebab  malu dan down

mentalnya. Berkaitan dengan pandangan

responden tentang penderita yang tidak berobat

semua responden berpendapat bahwa tindakan

ini  merupakan kesalahan besar sebab 

penderita kusta jika tidak berobat selain tidak

sembuh akan mengalami reaksi dan bisa menjadi

cacat dan sebagian responden menyatakan perlu

adanya terapi mental oleh psykolog sebab  selain

fisik yang sakit penderita kusta juga menderita

sakit secara mentalnya.

f. Faktor Internal yang melatar belakangi

persepsi penderita terhadap stigma

penyakit kusta.

Pada umumnya responden tidak

mengetahui bahwa menderita kusta, informasi

tentang penyakit kusta didapat dari orang lain

seperti petugas kesehatan, saudara atau

perangkat desa, sebagian besar responden

merasa kaget, takut dan tidak percaya saat

pertama kali mengetahui terserang penyakit kusta

dan satu responden berusaha bunuh diri saat

mengetahuinya. Sebagian besar responden

mengatakan, keluarga sangat kaget saat

mengetahui responden terserang penyakit kusta,

sikap keluarga saat itu selalu mendorong untuk

berobat walaupun ada perasaan kecewa, was￾was dan takut. Satu responden mengatakan

keluarganya biasa saja dengan penyakit

responden dan tidak merasa bahwa responden

menderita penyakit kusta, keluarga mengatakan

kalau yang berbahaya itu yaitu  sakit lepra, hal

ini sebab  keluarga tidak mengetahui perbedaan

antara kusta dan lepra, dan waktu pertama

responden menderita kusta keluarga mengatakan

bahwa baru di beri cobaan dari Allah harus

diterima.

g. Faktor ekternal yang melatar belakangi

persepsi penderita terhadap stigma

penyakit kusta.

Stigmatisasi diri sendiri penderita kusta

sangat nyata, orang dengan kusta dapat menjadi

malu mungkin sebab  sikapnya jugakecacatannya dan sikap ini dapat mengisolasikan

mereka dari warga , dengan demikian

pendapat bahwa kusta itu menjijikan, memalukan

harus ditutupi akan menjadi stigma yang nyata

pada penderita, penderita akan mengalami

kesulitan untuk berinteraksi, akan mengucilkan

diri dan sikap ini akan menjadi permanen . Semua responden

mengatakan, warga  disekitar tempat tinggal

dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa

responden menderita kusta, mereka mengira

responden berpenyakit lain seperti penyakit saraf,

diabetes, sebab  alergi obat atau sebab  salah

obat sehingga warga  dan teman responden

tidak melakukan tindakan apapun terhadap

responden.

Stigma menunjukkan “tanda” yaitu tanda

yang diberikan dalam bentuk cap oleh

warga  terhadap seseorang, orang yang

terstigmatisasi menjadi berperilaku seolah-olah

mereka dalam kenyataan yang memalukan atau

namanya tercemar (Dayakisni, 2003). Efek dari

stigmatisasi berakibat dapat membuat

warga  / orang lain untuk merubah persepsi

dan perilaku mereka terhadap individu yang

dikenai stigma, dan pada umumnya

menyebabkan orang yang dikenai stigma untuk

merubah persepsi tentang dirinya serta

menjadikan mereka mendifinisikan diri sendiri

sebagai orang yang menyimpang. Dari hasil

wawancara yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa secara umum warga , keluarga dan

teman penderita kusta tidak memberikan suatu

tindakan yang mengarah ke stigmatisasi terhadap

responden.

Penyakit kusta yaitu  penyakit menular

menahun, disebabkan oleh kuman kusta.

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita

kusta tipe MB kepada orang lain dengan cara

penularan langsung. Secara teoritis penularan ini

dapat terjadi dengan cara kontak langsung yang

erat dan lama dengan penderita (Depkes RI,

2005). Dan cross chek yang dilakukan terhadap

keluarga, tetangga dan teman penderita yang

selanjutnya disebut sebagai Informan, dengan

menggunakan wawancara mendalam di peroleh

hasil sebagian besar Informan mengatakan bahwa

penyakit kusta yaitu  penyakit menular, bisa

menimpa semua orang dan orang yang kondisi

kesehatannya menurun, kurang menjaga

kebersihan yaitu  orang yang bisa tertular

penyakit ini, dan tiga dari lima Informan

mengatakan kontak langsung yang lama yaitu 

cara penularan penyakit kusta selain melalui

udara. Sebagian besar menganggap penyakit

kusta yaitu  penyakit yang berbahaya sebab 

penyakit kusta menimbulkan gejala yang berat,

bisa menular ke orang lain , dapat merubah

bentuk fisik dan bisa menimbulkan kecacatan.

Semua Informan mengatakan penyakit kusta

tidak menyebabkan kematian hanya bisa

mengakibatkan kecacatan. Suami responden

mengetahui jika istrinya menderita penyakit kusta

dari keluarganya yang juga menderita penyakit

ini dan Informan lain mengetahui dari petugas

RSUD Tugurejo Semarang, seorang Informan

tidak mengetahui bahwa temannya dirawat

sebab  menderita penyakit kusta sehingga

wawancara terhadap teman responden tidak

penulis lanjutkan. Semua Informan sesudah  

mengetahui berpendapat, harus berobat supaya

sembuh dan sikapnya saat itu sangat kecewa,

kawatir walau tetap membantu dalam berobat.

Mengenai pendapat orang-orang dilingkungan

penderita, semua Informan mengatakan bahwa

lingkungan tidak mengetahui kalau menderita

kusta sehingga lingkungan tidak melakukan

tindakan apapun terhadap penderita.



Penyakit kusta yaitu  penyakit yang setua peradaban manusia.telah lama diketahui dan ditulis dalam kitab-kitab

kuno. Dalam kitab Sushrat Samhita di zaman India Kuno (1300 SM), tercantum adanya penyakit yang disebut khust dengan

deskripsi sesuai dengan kusta serta tulisan pada daun Papyrus di Mesir, tercantum hal mengenai penyakit yang sesuai dengan

kusta yang dikenal saat ini. Istilah lepra sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno dalam Kitab Perjanjian Baru, merupakan

terjemahan dari istilah zaraath dari bahasa Ibrani kuno.Mikobakterium lepra memetabolisme sumber-sumber karbon melalui

jalur klasik dari glikolisis, hexose monophosphat shunt dan siklus tricarboxylic acid.Respon yang terjadi akibat infeksi M.

Lepra dapat sangat berbeda, keadaan ini terjadi di bawah kontrol secara genetika.


Morbus Hansen (Lepra, Kusta) yaitu  infeksi

menahun yang disebabkan Mycobacteria leprae

(M.lepra) primer yang menyerang saraf tepi,

selanjutnya dapat menyerang kulit dan organ

lainnya. Penyakit ini dapat mengakibatkan

kecacatan jika tidak segera ditatalaksana dan

dapat menimbulkan masalah psikososial akibat

stigma atau predikat buruk dalam pandangan

warga .

Strukturn M. lepra

Meicobacterium leprae merupakan bakteri yang

bersifat obligat intra-seluler (hanya bisa hidup

dalam sel) dan dapat bertahan terhadap aksi

fagositosis sebab  memiliki   dinding sel yang

sangat kuat dan resisten terhadap aksi lisozim.

Mikroskop elektron menunjukkan ultrastruktur

yang umum untuk semua mikobakteria. M.leprae berupa batang lurus dengan panjang

sekitar 1 sampai 8 µm dan diameter 0,3 µm.

Pada jaringan yang terinfeksi batang sering

tersusun bersama-sama membentuk globi. 1,5

Kapsul

Sekeliling organisme merupakan zona elektron

transparan seperti busa atau material vesikular,

merupakan struktur yang unik dari M.leprae. Komposisinya terdiri dari dua lipid,

phthioceroldimycoserosate yang dianggap

berperan pada perlindungan pasif, phenolic

glicolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula

yang mengalami metilasi terpaut pada molekul

fenol dari lemak (phthiocerol). Trisaccharida

ini membuat M.leprae unik secara kimia dan

menjadi antigen yang spesifik.5

Dinding Sel

Terdiri dari dua lapisan : - Lapisan luar berupa elektron transparan dan

mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari

rantai cabang arabinogalaktan yang mengalami

esterifikasi dengan mycolic acid rantai

panjang, mirip dengan mikobakteria lain.5

- Dinding dalam yang terdiri dari peptidoglikan

: karbohidrat terpaut dengan peptidanya

dimana urutan asam aminonya spesifik untuk

M.leprae meskipun peptida ini  sangat


kecil untuk dijadikan sebagai antigen

diagnostik.5

Membran

Hanya melekat dibawah dinding sel, merupakan

membran untuk transpor molekul ke dalam dan

keluar dari mikroorganisme. Membran terdiri

dari lipid dan protein. Protein kebanyakan

berupa enzim dan menurut teori merupakan

target utama dari kemoterapi. Mereka juga

merupakan ’protein permukaan antigen’ yang

diekstraksi dari dinding sel M.leprae yang telah

dirusak kemudian dianalisa secara luas.5

Sitoplasma

Kandungan bagian dalam dari sel terdiri dari

timbunan granul, materi genetik asam

deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang

merupakan protein yang mengalami translasi

dan multiplikasi. Analisa DNA berguna dalam

konfirmasi identitas mikrobakteria yang diisolasi

dari armadilos liar, dan menunjukkan suatu

M.leprae, melalui perbedaan secara genetik dan

berhubungan erat dengan M.tuberkulosis dan M.

scrofulaceum.

Biokimia dan metabolisme

Tanpa adanya organisme yang dikultur sangatlah

sulit untuk dipelajari. M. leprae memetabolisme

sumber-sumber karbon melalui jalur klasik dari

glikolisis, hexose monophosphat shunt dan

siklus tricarboxylic acid. Energi dibentuk oleh

konversi ADP menjadi ATP dan dihasilkan oleh

ATP yang telah mengalami perubahan ADP.

Sehingga oksigen dapat digunakan. Semua

bakteri membutuhkan basa purin dari nukleotida

untuk membentuk asam nukleat dan

metabolisme oksidatif. Tidak seperti

mikobakteria lain M. leprae tidak melakukan

sintesa seperti ini, dan kita dapat mencari

mereka dalam sel host. Mikobakteria juga

membutuhkan besi yang diambil dari host oleh

chelate mikobactin. M. leprae kekurangan

mikobactin. Defek metabolik seperti ini

mungkin menjelaskan mengapa organisme ini

sulit untuk dibiakkan in vitro.Komponen kimia

utama dari M.leprae yaitu  yaitu  antigenik

Phenolic Glicolipid

Trisacharida terminal merupakan spesifisitas

antigen terhadap M.lepra. Varian minor berupa

I, II, dan III. Trisakarida telah berhasil disintesa

dan dapat tautkan ke contoh protein carrier

untuk digunakan dalam seroepidemiologi dan

penelitian-penelitian lain, (lihat Bab 15, h..213).

Antigen ditemukan pada semua jaringan yang

terinfeksi dengan M.leprae, dan menetap dalam

waktu lama sesudah   organisme mati.1,5 Juga

ditemukan dalam serum dan urin pasien dengan

lepra lepromatus dan pendeteksiannya menjadi

test diagnostik yang berguna pada lepra

lepromatous awal. Antigen menstimulasi

produksi antibodi IgM, tetapi tidak mencetuskan

hipersensitivitas tipe lambat. Juga berperan

dalam mencetuskan supresi imun pada lepra.1,5

Lipoarabinomannan

Merupakan komponen mayor dari dinding sel

M.leprae; stabil dan tidak dapat dicerna.

Menimbulkan reaktivitas silang dengan

mikobakteria lain, tetapi mengandung epitop

spesifik yangdikenal oleh sera yang diabsorbsi,

dan mencetuskan antibodi IgG.


Antigen Protein

Terdapat berbagai antigen protein didalam

M.leprae, tetapi hanya lima yang menarik sebab 

antibodi monoklonal tikus telah menunjukkan

bahwa mereka mengandung epitop spesifik

M.leprae. Protein soluble yang diekstraksi dari

M.leprae merupakan antigen spesifik yang tidak

lengkap untuk test kulit. Beberapa antigen

protein telah sukses diklon dan diekspresikan

pada E.coli, hal ini sangat mendukung untuk

dianalisa.

Imunopatogenesis

Faktor genetik dipertimbangkan sebab  memiliki

peranan yang besar untuk terjadinya kusta pada

suatu kelompok tertentu. Respon yang terjadi

akibat infeksi Mycobacterium leprae dapat

sangat berbeda, keadaan ini terjadi di bawah

kontrol secara genetika. Faktor genetik yang

berperan salah satunya berada di bawah sistem

Human Leucocyte Antigen (HLA). HLA yaitu 

suatu antigen dipermukaan sel yang merupakan

hasil produk yang dicetak biru oleh gen yang

terletak di kromosom 6 manusia, pada suatu

daerah (locus) yang disebut Major

histocompatibility Complex (MHC). Dikenal

MHC class I (menghasilkan HLA-A, B, dan C)

dan MHC class II (menghasilkan HLA D) yang

banyak dihubungkan dengan imunitas terhadap

bakteri termasuk basil kusta. 4,6

Antigen HLA ini berperan dalam pengenalan

dan penyajian antigen dari sel penyaji (Antigen

Precenting Cell) kepada sel limfosit T (Thelper)

yang akan memulai rangkaian respon imun.

Dari hasil penelitian terhadap penderita kusta

ternyata didapatkan frekuensi HLA DR3 yang

tinggi pada penderita kusta tipe

Tuberkuloid.sedang   HLA-DQ1 dihubungkan

dengan tipe Lepromatosa.Bentuk respon imun

yang terjadi apabila basil kusta masuk kedalam

tubuh seseorang dimana HLA akan membuat

seseorang jadi lebih mudah terkena kusta

dibandingkan orang lain. HLA DR akan

mengarahkkan ke imunitas seluler, sedang  

HLA-DQ akan mengarahkan ke sistem imunitas

humoral. Epitop atau peptida yang berasal dari

antigen kuman, memerlukan pasangan sesuai

HLA yang ada. Pasangan ini selanjutnya akan

bertemu dengan reseptor pada permukaan

limfosirt (T cell receptor/TCR).4,6

Sel Schwann, sel pendukung utama pada sistem

saraf perifer, tampaknya menjadi target utama

M. leprae pada saraf perifer. Pada penderita

dengan lepra yang sudah parah (advanced), baik

sel- sel Schwann yang bermielin maupun tidak,

sama-sama terinfeksi oleh M.leprae. walaupun

ada beberapa laporan yang menyebutkan bahwa

ada kecenderungan untuk menyerang serabut

saraf yang tidak bermielin. Secara in vitro, kami

telah mengobservasi suatu infeksi yang cepat

dan berat pada kedua jenis sel Schwann itu.

Namun beberapa peneliti telah melaporkan

infeksi yang terbatas pada sel Schwann yang

tidak bermielin secara in vitro. 4,6

Phenolic glycolipid 1 (PGL-1) dari M.leprae

telah dibuktikan terikat secara spesifik pada

laminin-2 dalam lamina basalis dari unit SC- akson. Oleh sebab  itu PGL-1 tampaknya

terlibat dalam invasi sel schwann oleh M. leprae

pada suatu jalur laminin 2. Namun yang lebih

penting lagi, bukti-bukti yang ada jelas

menunjukkan bahwa mekanisme ikatan terhadap

permukaan sel schwann via laminin α2bukan

merupakan hal yang patognomonis untuk

M.leprae saja. Spesies mikobakterial lainnya,

termasuk M.tuberkulosis, M.chelonae, dan

M.smegmatis telah menunjukkan suatu 2-

laminin-binding-capacity dan spesies-spesies ini

siap berinteraksi dengan ST88-14 pada barisan

sel schwannoma. Hal ini mengarah pada dugaan

bahwa kemampuan untuk mengikat laminin α2

terbatas pada genus Mycobacterium. Studi lain

juga telah mendemonstrasikan kemampuan

mielin Po untuk mengikat M.leprae.6

Transmission-electron micrograph dari ko- kultur sel Schwan pada tikus yang terinfeksi

M.leprae. Kultur yang terinfeksi diperoleh dari

paparan sel Schwann primer terhadap M.leprae

selama 48 jam. sesudah   pertumbuhan selama 12

hari pada suhu 33°C.

a. Sel Schwann yang bermielin. b. Sel Schwann yang tidak bermielin.6

Respon Imun Terhadap M. leprae

Patogenesis kusta terbagi dalam beberapa hal,

yaitu adanya Mycobacterium leprae, fungsi

sistem fagosit mononuklear, aktivitas sel

dendritik yang berhubungan dengan limfosit T

dan limfosit B serta imunitas humoral dan

selular yang meliputi faktor host dan agent

(Mycobacterium leprae) serta interaksi

keduanya.7

Imunitas alamiah (innate immunity)

Sistem kekebalan tubuh lapis pertama bekerja

secara non spesifik lewat pertahanan secara

mekanis misalnya lapisan kulit yang intak,

secara fisiologis, atau kimiawi serta lewat

beberapa jenis sel yang bisa langsung

membunuh kuman.Sel-sel yang pada sistem

imunitas alamiah (innate imunity) bekerja secara

fagositosis yang dijalankan oleh monosit dan

pembunuhan di luar sel (extra cellular killing)

yang dijalankan oleh limfosit pembunuh

(Natural Killer cell/NK cell). Kekebalan

alamiah ini bersifat non spesifik dan ditunjang

oleh status kesehatan secara umum yaitu gizi

yang baik, hidup teratur, serta lingkungan yang

baik.7

Sebagian M. leprae yang masuk ke dalam tubuh

manusia mungkin akan lolos dari seragan sistem

kekebalan alamiah ini . Lewat mekanisme

menumpang di dalam monosit seperti pada

infeksi tuberkulosis diparu (Troyan-horse- phenomen) basil kusta terbawa masuk ke organ

yang lebih dalam tubuh dsn mencari sasaran sel

yang sistem pertehanannya lemah sambil

berkembang biak. Belum jelas mengapa M.

leprae yang ditangkap oleh monosit ini 

tidak terbunuh, mungkin lewat cara mimikri

(menyamar) sehingga sel tidak mengenali

musuh, atau bakteri mengeluarkan zat tertentu

yang melumpuhkan salah satu komponen sistem

kekebalan. Salah satu jenis sel fagosit yang

menjadi sasaran adlah sel Schwann yang terletak

di perineum saraf tepi. Sel ini digolongkan

dalam “non professional phagocyte”, sebab 

tidak bisa mengekspresikan MHC class II di

permukan selnya, kecuali bila diaktifkan oleh

Interferon gamma (IFN γ). 3,9

Keadaan ini menyebabkan terganggunya proses

penyajian antigen kepada limfosit T, sehingga

sesudah   menangkap M.Leprae sel itu tidak bisa

mengaktifkan limfosit dan sebaliknya limfosit

tidak bisa mengirim sinyal (IFN γ) yang

dibutuhkan untuk sistem penghancuran kuman

didalam sel. Maka sel Schwann ini menjadi pos

pertama dari basil kusta sebelum menginvasi

kekulit dan organ lain. Pada waktu sel Scwann

yang tua mati dan pecah, M.Leprae yang

berkembang biak didalam sel ini  akan

tersebar keluar dan akan ditangkap oleh sel

fagosit lain. Fase selanjutnya yaitu  interaksi

antara basil kusta dengan sistem pertahanan

tubuh lapis kedua yang bersifat spesifik. 3,9

Imunitas yang didapat (acquired immunity)

Dalam sistim pertahanan lapis kedua, eliminasi

kuman dijalankan oleh sistim imun yang didapat

(Acquired Immunity) yang sifatnya spesifik dan

timbul apabila sudah terjadi pengenalan

(recognition) dan pengingatan (memory) oleh

berbagai komponen sel yang terlibat. Untuk

penghancuran kuman yang hidupnya di dalam

sel seperti M. leprae, maka diperlukan

kerjasama antara makrofag dan limfosit T.

Makrofag harus memberi sinyal lewat penyajian

antigen, sedang   limfosit harus memberi

sinyal dengan mengeluarkan Interleukin yang

akan mengaktifkan makrofag ini  agar

menghancurkan kuman lewat meka isme

fagosom-lisosom kompleks. 3,9

Dalam proses penyajian antigen dari

mikobakteria, antigen yang berasal dari proses

pencernaan di dalam fagosom akan disajikan

oleh MHC kelas II kepada limfosit T yang

CD4+, umumnya dari jenis T-helper atau

inducer. sedang   antigen dari kuman yang

berada di dalam sitoplasma akan disajikan oleh

molekul MHC kelas I kepada sel T yang CD8+,

yaitu sitotoksik/supresor.Limfosit Th-1

terbentuk apabila dalam proses stimulasi antigen

terdapat IL-12, IFN-gamma dan IL-18, yang

berasal dari sel NK dan makrofag di dalam

sistim imunitas alamiah (innate immunity).

Kedua subset limfosit ini saling mempengaruhi

satu sama lain (down-regulating) dan selalu

berusaha mencapai keseimbangan. Apabila pada

awal proses aktivasi terdapat IL-4 (kemungkinan

dibentuk oleh sel NK1.1 CD4+) maka Th-0 akan

berubah menjadi Th-2. Selanjutnya Th-1 akan

mengaktifkan sistim imun seluler yang diatur

lewat pengaruh sitokin IL-2, IFN-gamma dan

TNF-alfa, sedang   Th-2 akan mengaktifkan

sistim imun humoral lewat mediator IL-4, I-6

dan IL-10.3,9

berdasar  konsep Th-1 dan Th-2 ini ,

maka dalam respons imun terhadap kuman M.

Leprae akan terjadi dua kutub, dimana pada satu

sisi akan terlihat aktifitas imunitas humoral.

Manifestasi klinik yang terlihat yaitu  kusta tipe

Tuberkuloid dengan aktifitas Th-1 yang

menonjol dan tipe Lepromatosa dengan imunitas

humoralnya yang dihasilkan oleh Th-2.Bentuk- bentuk peralihan (tipe Borderline) kemungkinan

timbul dari perbedaan gradasi antara aktifitas

Th-1 dan aktifitas Th-2.Namun untuk

menjelaskan mengapa bisa terjadi pergeseran

diantara bentuk-bentuk yang tidak stabil

ini , tampaknya konsep diatas masih belum

bisa digunakanKlasifikasi

Perjalanan klinis kusta merupakan suatu proses

yang lambat dan berjalan bertahun-tahun,

sehingga penderita tidak menyadari adanya

proses penyakit di dalam tubuhnya. Sebagian

besar penduduk di daerah endemik kusta pernah

terinfeksi Mycobacterium leprae.Namun sebab 

adanya kekebalan alamiah, hanya sekitar 15%

dari mereka menjadi sakit.Pada orang yang

kekebalan alamiahnya tidak berhasil membunuh

kuman yang masuk, terjadi perkembangbiakan

Mycobacterium leprae di dalam sel Schwan di

perineurium. Proses ini berjalan sangat lambat

sebelum muncul gejala klinis yang

pertama.sesudah   melewati masa inkubasi yang

cukup lama (sekitar 2-5 tahun) akan muncul

gejala awal penyakit yang bentuknya belum

khas, berupa bercak-bercak dengan sedikit

gangguan sensasi pada kulit disertai dengan

berkurangnya produksi keringat setempat. 7,8

Keadaan ini disebut fase indeterminate dan

dianggap sebagai fase dimana kelainan yang

terjadi masih belum dipengaruhi oleh kekebalan

tubuh. Meskipun tidak semua bentuk

indeterminateakan berlanjut menjadi kusta yang

manifes, dalam beberapa tahun sesudah   kelainan

itu ditemukan biasanya akan muncul gejala

klinis yang karakteristik. Kelainan yang khas ini

bervariasi, bisa pada kulit, saraf tepi maupun

organ-organ lainnya.Bentuk kelainan yang

terjadi tergantung tipe kusta yang terjadi dan

berkaitan erat dengan status imun penderita.Di

samping itu terdapat keadaan yang dikenal

sebagai kusta stadium subklinis.Kusta stadium

subklinis yaitu  keadaan di mana kuman telah

masuk ke dalam tubuh yang ditandai dengan

pemeriksaan serologis yang positif namun

individu ini  tidak menunjukkan gejala

klinis, KSS dapat menjadikusta manifestas dan

berpotensi menjadi sumber transmisi


Morbus Hansen atau lepra atau yang biasa dikenal dengan kusta merupakan 

penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kuman ini sangat sensitif 

terhadap kulit dan saraf tepi, sehingga dapat menyebabkan masalah kompleks jika tidak 

mendapat tatalaksana secara tepat. Masalah kompleks ini  tidak hanya dari bidang 

medis saja, namun juga mencakup masalah sosial, ekonomi, agama, pemerintahan, dan 

nasional

Kusta pada umumnya ditemukan di negara-negara berkembang sebagai akibat 

dari menurunnya kemampuan negara-negara ini  dalam menyediakan layanan 

kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan peluang ekonomi yang memadai bagi warga nya. Selain itu, kusta merupakan salah satu dari sedikit penyakit yang masih 

menjadi ancaman serius bagi kesehatan warga  di Indonesia. Sebab, ada kasus baru 

yang teridentifikasi meski bukan berasal dari wilayah endemis. Menurut data 

epidemiologi mingguan World Health Organization's (WHO) tahun 2019, terdapat 

202.185 kasus baru kustasis. Jumlah kasus baru pada tahun 2019 sedikit menurun 

dibandingkan tahun sebelumnya, yakni mencapai 208.618 kasus baru. India menjadi 

negara dengan jumlah kasus terbanyak yakni 114.451. Brazil menjadi negara peringkat 

teratas dengan total 27.863 kasus, sedang   Indonesia berada di peringkat ketiga dengan 

total 17.439 kasus 

Kasus baru kusta yang ditemukan di Indonesia masih cukup banyak, dan sebagian 

besar ditemukan di wilayah Timur. berdasar  data tahun 2016, persentase angka

kecacatan tingkat II yaitu  5,27 dari 1.000.000, sedang   persentase angka kecacatan

tingkat II pada anak-anak yaitu  0,24 dari 1.000.000. Faktor-faktor yang menyebabkan 

tingginya angka ini disebab kan oleh stigma sosial seputar kusta yang relatif tinggi di 

warga  umum dan sistem layanan kesehatan yang menghambat diagnosis dan terapi

kasus ini . warga  umum tidak menyadari kompleksitas penyakit kusta pada 

stadium awal, sebagian besar program penanganannya dijalankan oleh bukan dari profesi 

dokter, kelengkapan fasilitas dalam diagnosis dan tatalaksana kusta masih di bawah 

standar dan tidak memadai. . Namun, tidak semua fasilitas pelayanan 

kesehatan menawarkan fasilitas pemeriksaan penunjang yang sama untuk mendiagnosis 

pasien. Perkembangan kusta yang sangat cepat menjadikan setiap reaksi yang 

berkembang sesudah   pengobatan tidak dapat diprediksi dan tidak ada tanda-tanda 

keseragaman dalam perawatan kusta 

Keterlambatan dalam diagnosis kusta dapat terjadi diantaranya sebab  pasien 

tidak segera datang ke fasilitas kesehatan untuk berobat ketika muncul kelainan kulitnya, 

atau petugas kesehatan tidak dapat menegakkan diagnosis kusta oleh sebab  kelainan 

klinis mirip dengan penyakit lain Sementara itu sarana penunjang klinis 

tidak dikuasai dengan baik serta pemeriksaan penunjang laboratoris yang tidak tersedia,

akan mengakibatkan tatalaksana yang tidak komprehensif sehingga dapat menyebabkan 

komplikasi akibat kusta secara langsung dan tatalaksana menjadi tidak tuntas. Sehingga 

dibutuhkan kajian atau pembahasan terkait celah atau potensi terjadinya kesalahan 

diagnosis dan terapi penyakit kusta 

Penelitian terdahulu oleh menyatakan bahwa untuk 

menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari Cardinal sign, yaitu lesi (kelainan kulit 

yang mati rasa), penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf dan adanya bakteri 

tahan asam dari kerokan kulit. Penelitian lain oleh  Penegakan

diagnosis kekambuhan dapat dilakukan dengan kriteria klinis, bakteriologis, dan 

terapeutik serta kriteria histopatologi dan serologi jika memungkinkan.

Penelitian menyoroti metode 

diagnosis kusta dan malformasi vena verukosa. Meskipun (Hazlianda, 2014) menekankan 

Cardinal sign dan membahas kriteria diagnosis kekambuhan, 

keduanya belum memasukkan faktor-faktor genetik atau molekuler secara khusus. 

Inovasi potensial terletak pada pendekatan multidisiplin dengan integrasi informasi genetik untuk memperkuat dan mempercepat diagnosis kusta. Selain itu, kedua penelitian 

belum mengeksplorasi teknologi terkini dalam diagnosis, membuka peluang untuk 

inovasi melalui penggunaan citra medis canggih atau teknologi diagnostik yang lebih 

akurat. Kebaharuan pada penelitian yaitu kompleksitas diagnosis kusta dan menyoroti 

celah, termasuk rendahnya pengetahuan warga  dan kelainan kulit mirip penyakit 

lain. 

Makalah ini bertujuan untuk mencari celah atau kesalahan dalam mendiagnosis 

penyakit kusta dan dampaknya terhadap terapi yang tidak optimal, yang dapat 

meningkatkan angka penularan dan kejadian disabilitas pada penderitanya. Dengan 

mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesalahan diagnostik, penelitian ini 

berupaya mengurangi komplikasi yang muncul akibat kesalahan ini . Pentingnya 

kerjasama lintas sektor juga ditekankan untuk mencegah dan mengatasi kesalahan dalam 

diagnostik dan terapi kusta.

Hasil dan Pembahasan

Definisi

Kusta yaitu  infeksi bakteri yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae.

Kondisi ini paling banyak menyerang afinitas utama saraf perifer, kemudian kulit, dan 

juga dapat menyerang organ lain seperti mukosa, testis, mata, dan limpa (Menaldi, 2019).

Etiologi dan Patogenesis 

Saat ini, Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 

1873 di Norwegia, tidak dapat dibudidayakan pada media buatan. Namun, Shepard 

berhasil pada tahun 1960 dalam mengidentifikasi M. leprae di kaki mencit dan dia juga 

memperhatikan perkembangbiakannya di area sekitarnya. Berukuran 1-8 µm x 0,5 µm, 

M. leprae merupakan kuman berbentuk batang dengan gram positif 

Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang banyak 

ditemukan pada sel makrofag disekitar pembuluh darah superficial kulit atau sel Schwann

pada jaringan saraf. Begitu Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, tubuh akan 

mulai mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya. Mycobacterium leprae tidak 

menghasilkan toksin, namun Mycobacterium leprae malah mempengaruhi imunitas sel 

host dalam mengekspresikan antigen bakteri. M. leprae masuk ke dalam tubuh manusia 

sebagian besar melalui saluran pernafasan dan sebagian lagi melalui kulit yang tidak

intak. sesudah   masuk ke dalam host, M. leprae dapat menetap di sel Schwann atau 

makrofag. Jika host memiliki imunitas seluler yang normal, maka kuman akan diatasi, 

namun sisa-sisanya akan tetap ada di dalam sel untuk waktu yang lama 

Epidemiologi 

Kusta tersebar tersebar diseluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis. 

Kusta dapat menyerang pada semua usia, meskipun lebih sering terjadi pada mereka yang 

berusia antara 3 dan 50 tahun. Kusta juga lebih sering mengenai laki-laki dibandingkan 

perempuan . berdasar  laporan Direktorat Jendral (Ditjen) 

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik 

Indonesia tahun 2013, angka kejadian penyakit kusta tertinggi dilaporkan dari Provinsi 

Jawa Tengah yaitu sebanyak 4.132 kasus; Provinsi Bagian Barat sebanyak 2.180 kasus; 

dan Papua sebanyak 1.765 kasus. berdasar  dara ini  didapatkan bahwa Provinsi 

dengan proporsi kusta terbanyak yaitu  jenis kelamin laki-laki yang berasal dari Jawa 

Timur (23,25%), Jawa Barat (13,5%) dan Jawa Tengah (10,82%). (Aisyah & Agusni, 

2018).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis kusta selalu menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium 

lanjut. Diagnosis Kusta dapat ditegakkan dengan mengamati munculnya gejala klinis 

kusta dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan. 

Umumnya gejala klinis kusta terdapat pada bagian tubuh yang dingin, seperti saluran 

testis, saluran napas, bilik mata depan, dan kulit terutama cuping telinga dan jari. Bagian 

tubuh yang dingin ini tidak hanya sebab  alasan pertumbuhan yang optimal dari 

mycobacterium leprae pada suhu rendah, namun juga sebab  kurangnya respon 

imunologi akibat rendahnya suhu pada daerah ini . 

1. Kulit 

Kelainan kulit dapat berbentuk makula atau bercak hipopigmentasi dengan 

hilangnya rasa raba (anestesi), atau makula hipopigmentasi disertai tepi yang menimbul 

dan sedikit eritementosa, atau berupa ilfiltrat/plak eritematosa, atau dapat pula berbentuk 

papul dan nodul. Kelainan kulit ini menyerupai berbagai penyakit kulit lain, sehingga 

adanya gangguan sensibilitas berupa anestesi atau hipoestesi sangat membantu dalam 

menegakkan diagnosis kusta. Gambaran klinis kulit yang beragam ini dapat digunakan 

untuk menentukan tipe kusta, sebab  khas untuk tipe tertentu.

2. Saraf Perifer 

Gejala neurologis yang umum muncul yaitu  kerusakan saraf perifer yang 

memperparah lesi kulit, terutama pada serabut dan trunkus saraf. Gejala klinis kerusakan 

saraf perifer dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi gangguan sensorik, gangguan


motorik, dan gangguan otonom. Gangguan ini dapat terjadi pada saraf perifer di 

ekstremitas maupun saraf kranial. 

3. Mata

Mata dapat mengalami kerusakan akibat penyakit kusta. Kerusakan dapat terjadi 

di ekstraokuler maupun intraokuler. Kerusakan intraokular terdiri dari episkleritis, 

skleritis, iridosiklitis, keratitis, ulkus kornea, serta penurunan sensibilitas kornea. 

sedang   kerusakan ekstraokuler dapat terjadi madarosis, lagoftalmus, dakriosistisis, 

serta mata kering. Kerusakan mata terus berjalan meskipun pengobatan lepra sudah 

tuntas.

4. Gangguan psikiatrik 

Gangguan psikiatrik pada penyakit kusta lebih berhubungan dengan dampak 

psikososial yang dialami oleh pasien 

Diagnosis 

Dalam mendiagnosis kusta, yang perlu diperhatikan yaitu  tanda-tanda utama 

atau cardinal sign, yaitu lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit atau lesi yang 

dapat berbentuk bercak keputihan atau kemerahan yang mati rasa, penebalan saraf tepi 

yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan ditemukannya M. leprae pada 

pemeriksaan bakteriologis. Ketika ketiga tanda ini  ada, akurasi diagnostik mencapai 

95% 

Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Intermediate (I), Tuberculoid (T), 

BorderlineDimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi 

paling sederhana berdasar  manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan 

pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di 

Madrid tahun 1953 

Diagnosis Banding 

Diagnosa banding pada penyakit kusta jika dilihat dari ujud kelainan kulit 

dibedakan menjadi beberapa macam, sebab  mengingat bahwa manifestasi awal yang 

membuat penderita kusta akan datang ke layanan kesehatan yaitu  sebab  sebagian besar 

didapatkan kelainan kulit. Penyakit kusta sendiri juga disebut juga dengan the greatest 

imitator, sebab  manifestasi klinis yang muncul menyerupai berbagai penyakit kulit lain

Berikut yaitu  diagnosa banding berdasar  dari lesi atau ujud kelainan kulit 

yang muncul. Lesi eritem bersisik, diagnosa banding yang muncul dengan klinis ini 

yaitu  psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis seboroik, dermatofitosis. Lesi hipopigmentasi 

atau hiperpigmentasi tanpa skuama diantaranya yaitu  vitiligo, birth marks. Lesi 

hipopigmentasi dengan skuama halus diantaranya dengan pitiriasis versikolor, pitiriasis 

alba. Papul, plak atau nodul diantaranya dengan diagnosa banding neurofibromatosis, 

sarkoma kaposi, veruka vulgaris, leukemia kutis, granuloma anulare, tuberculosis kutis 

verukosus, xanthomatosis

Celah atau kesalahan dalam diagnosis penyakit kusta 

Beberapa hal yang bisa membuat kesalahan dalam diagnosis penyakit kusta atau 

keterlambatan dalam mendiagnosis penyakit ini yaitu  sebagai berikut. 

1. Tingkat pengetahuan penyakit kusta yang rendah 

Penyakit ini masih menjadi penyakit yang ditakuti oleh warga , atau bahkan 

sebagian petugas kesehatan. Masih ada stigma dari warga  yang berkembang bahwa 

kusta merupakan penyakit kutukan, penyakit keturunan atau sebab  ilmu gaib yang sulit 

disembuhkan, sehingga dianggap memalukan dan menimbulkan aib bagi keluarga. Hal 

ini berdampak warga  cenderung bersikap negatif terhadap pasien kusta, seperti 

menjauhi, menolak, mencela, dan memandang rendah. Stigma negatif ini mencerminkan 

tingkat pengetahuan warga  tentang kusta yang rendah. Pengetahuan yang rendah ini 

berkorelasi dengan dukungan keluarga dalam proses diagnosis dan tatalaksana lebih 

lanjut. Dengan stigma negatif ini juga membuat pasien tidak segera dibawa ke fasilitas 

layanan kesehatan, sehingga baru akan dibawa sesudah   adanya kelainan yang lebih parah 

atau kecacatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh hendra pada tahun 2018 

menyebutkan bahwa stigma negatif yang muncul diwarga  akibat pengetahuan yang 

rendah mengenai penyakit ini. Edukasi dan penyuluhan terkait penyakit kusta pada 

sampel populasi yang dilakukan oleh hendra pada anak-anak SMA memberikan pengaruh 

yang signifikan terkait tingkat pengetahuan penyakit kusta. Hal ini diharapkan dapat 

menurunkan angka kasus baru penyakit kusta di warga  akibat pengetahuan yang 

masih rendah terhadap penyakit ini.

2. Kelainan kulit yang mirip dengan penyakit lain 

Kulit seringkali menjadi hal penting dalam menyelesaikan masalah diagnostik 

yang membingungkan dalam kedokteran secara umum. Perubahan-perubahan pada kulit 

yang ditemukan pada pemeriksaan fisik harus mampu dikenali sehingga diagnosis dapat 

ditegakkan. Penyakit kusta memiliki menifestasi yang mirip dengan penyakit kulit lain, 

hal ini yang membuat kusta juga disebut sebagai the greatest imitator. Namun langkah 

diagnostik yang tepat dapat menjadi faktor keberhasilan terapi pada penyakit ini. Apabila 

seorang dokter tidak dapat mengenali kelainan kulit dari kusta maka akan menyebabkan 

keterlambatan dalam terapi hingga berakibat kecacatan. Pada penelitian Liang Chen 

tahun 2023 mengenai analisis kesalahan diagnostik pada penyakit kusta diantaranya 

pengetahuan seorang tenaga medis dalam mengenali penyakit ini, salah satunya dalam 

membedakan kelainan kulit penyakit kusta dengan yang penyakit yang lain. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa dibutuhkan pelatihan atau workshop terhadap petugas medis 

mengenai penyakit kusta, sehingga dapat mencegah terjadinya keterlambatan diagnostik 

pada penyakit ini 

3. Kunjungan dari pelayanan kesehatan yang bersifat pasif 

Kinerja dari petugas kesehatan terkait program pengendalian penyakit kusta dapat 

mempengaruhi penderita kusta dalam mendapatkan terapi segera sebab  keterlambatan 

dalam diagnosis. Hasil penelitian (Kamal & Martini, 2015) menyimpulkan bahwa 

kecacatan kusta berhubungan dengan keterlambatan diagnosis pada penderita kusta. 

Salah satu penyebabnya yaitu  kurangnya upaya penemuan kasus kusta secara aktif. Hal 

ini sebab  pada umumnya temuan kasus kusta baru muncul ketika penderita dengan 

sukarela datang sendiri ke fasilitas layanan kesehatan, dimana saat kondisi datang pasien 

sudah terlambat dalam mendapatkan terapi akibat telat diagnosa. Upaya penemuan kasus 

kusta baru oleh petugas layanan kesehatan dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan 

ke rumah pasien yang baru ditemukan atau yang curiga mengalami kusta. Kunjungan 

secara aktif ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan anggota keluarga 

sehingga tidak ada diskriminasi.

4. Faktor ekonomi

Faktor dari pendapatan keluarga turut berkontribusi dalam mempengaruhi 

keterlambatan diagnosis kusta. Pada umumnya penyakit kusta memang ditemukan 

didaerah dengan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Hal ini yang membuat 

penyakit kusta termasuk kategori (Neglected Tropical Disease) sebab  penyakit ini 

berkaitan dengan kemiskinan terutama didaerah tropis. Penderita kusta dengan 

pendapatan keluarga yang rendah biasanya merasa ragu untuk melakukan pengobatan di 

fasilitas layanan kesehatan, sebab  khawatir mengenai ketidaksanggupan terhadap biaya 

yang dikeluarkan, sehingga pergi ke fasilitas kesehatan ini  urung dilakukan

5. Sarana penunjang yang tidak memadai 

WHO telah membuat daftar kriteria diagnostik penyakit kusta dengan mampu 

mengenai tiga tanda yang salah satunya yaitu  adanya temuan kuman Mycobacterium 

leprae yang bisa dilihat dengan pemeriksaan secara laboratorium. Di Indonesia sendiri 

terutama didaerah yang terpencil tidak tersedianya laboratorium klinik yang dapat 

melakukan pemeriksaan penyakit kusta ini menjadi kendala dalam mendiagnosis kusta. 

Sarana penunjang laboratorium yang tidak tersedia membuat diagnosis dari penyakit ini 

menjadi terlambat

Kesimpulan dari makalah ini menggambarkan kompleksitas dalam diagnosis 

penyakit kusta dan mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat menyebabkan kesalahan 

atau keterlambatan dalam proses ini . Makalah ini menyoroti beberapa celah dalam 

diagnosis penyakit kusta, termasuk tingkat pengetahuan warga  yang rendah, 

kelainan kulit yang mirip dengan penyakit lain, kunjungan pelayanan kesehatan yang 

bersifat pasif, faktor ekonomi, dan sarana penunjang yang tidak memadai. Kesadaran 

warga  perlu ditingkatkan melalui edukasi dan penyuluhan tentang penyakit kusta, 

sementara pelatihan tenaga medis dalam mengenali kelainan kulit yang khas untuk 

mencegah kesalahan diagnostik. Upaya penemuan kasus secara aktif dan perhatian 

terhadap faktor ekonomi juga menjadi penting dalam mengatasi keterlambatan dalam 

diagnosis.

Sebagai solusi, rekomendasi dapat diarahkan pada peningkatan pengetahuan 

warga , pelatihan intensif untuk tenaga medis, peningkatan upaya penemuan kasus 

secara aktif, serta peningkatan aksesibilitas dan ketersediaan sarana penunjang 

diagnostik. Kerjasama lintas sektor juga penting untuk mencapai tujuan pencegahan 

kesalahan dalam diagnosis dan terapi penyakit kusta. Dengan demikian, makalah ini 

memberikan landasan untuk pengembangan strategi yang holistik dalam mengatasi 

tantangan diagnosis penyakit kusta untuk mengurangi angka penularan dan meningkatkan 

kualitas hidup penderita.




Penyakit kusta (Morbus Hansen) merupakan penyakit yang ditakuti oleh warga  sampai saat ini, baik 

keluarga, termasuk sebagian dari petugas kesehatan, yang disebabkan sebab  kurangnya pengetahuan dan 

kepercayaan yang keliru terhadap penderita kusta dan kecacatan yang terjadi. Dampak negatif dari segi sosial

yang menjadi sumber permasalahan kehidupan penderita kusta yaitu kecacatan pada tubuh penderita yang 

membuat sebagian besar warga  merasa jijik menyebabkan penderita dijauhi, dikucilkan oleh warga  

serta timbulnya tindakan diskriminasi dan penderita sulit mendapatkan pekerjaan. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui stigma warga  pada penderita kusta di Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara.

Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional, populasi pada penelitian ini sebanyak 200 

orang dan tehnik pengambilan sampel yaitu total sampling dengan jumlah sampel 200 orang. Data 

dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan dari konsep Scheid dan 

Bown 2010. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian didapatkan 

bahwa stigma warga  negatif sebanyak 127 orang (63,5 %). Disarankan kepada pemberi pelayanan 

kesehatan untuk dapat memberikan edukasi/informasi bagi warga  mengenai penyakit kusta sehingga 

dapat mengubah stigma yang tidak baik bagi penderita kusta.Penyakit kusta (lepra) yang disebut dengan

Morbus Hansen merupakan penyakit yang 

ditakuti oleh warga  sampai saat ini, baik 

keluarga, warga  dan termasuk sebagian 

dari petugas kesehatan, disebabkan sebab  

masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan

yang keliru terhadap kusta dan kecacatan yang

terjadi 

Penyakit kusta merupakan salah satu 

penyakit infeksi kronis pada kulit dan saraf 

tepi disebabkan oleh Mycobacterium Lepra.

Penderita kusta mengalami cacat tubuh, kulit, 

kaki, tangan dan jari-jari sebab  hilangnya 

perlindungan sensasi nyeri, dampak sosial yang 

menjadi sumber permasalahan kehidupan 

penderita kusta yaitu kecacatan pada tubuh

penderita yang membuat sebagian besar

warga  merasa jijik dan umumnya akan menyebabkan penderita dijauhi, dikucilkan oleh 

warga , dan timbulnya tindakan

diskriminasi dan sulit mendapatkan pekerjaan 

(Kemenkes RI, 2015).

Kuman kusta dapat menyebar secara 

langsung maupun tidak langsung dengan 

penggunaan peralatan pribadi (sabun, handuk, 

sisir) secara bersama yang terkontaminasi 

kuman. Kuman kusta lebih cepat menyebar 

pada kelompok padat huni. Kepadatan hunian 

yang tidak memenuhi standar berisiko 

menularkan kusta multibasiler 3x lebih cepat 

Jumlah penderita kusta pada tahun 2016 

yang dilaporkan dari 143 negara di semua 

regional WHO yaitu  sebanyak 214.783 kasus 

baru kusta dan prevalensi terlapor yaitu  

171.948 kasus, dengan angka cacat tingkat 2 

sebesar 12.819 per 1.000.000 penduduk dan 

jumlah kasus anak di antara kasus baru

mencapai 18.230 

Indonesia telah mencapai status eliminasi 

kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000 

penduduk pada tahun 2000. sesudah   itu 

Indonesia masih bisa menurunkan angka 

kejadian kusta meskipun relatif lambat. Angka 

prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 

sebesar 0.70 kasus/10.000 penduduk dan angka 

penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per 

100.000 penduduk (Kemenkes, RI, 2018).

Pada tahun 2017 dilaporkan 15.910 kasus 

baru kusta (6,1/100.000 penduduk) dengan 

86,12% kasus di antaranya merupakan tipe 

Multi Basiler (MB). sedang   menurut jenis 

kelamin, 61,99% penderita baru kusta berjenis 

kelamin laki-laki dan sebesar 38,01% lainnya 

berjenis kelamin perempuan 

Prevalensi belum eliminasi di Indonesia

yang tertinggi terdapat di Papua Barat 10,59 per

10.000 penduduk, Papua 4,04, selanjutnya di 

ikuti oleh Maluku, Maluku Utara 3,86, Maluku

2,25, Sulawesi Utara 1,65, Gorontalo 1,59,

Sulawesi Barat 1,42 Sulawesi Tenggara 1,35, 

Sulawesi Selatan 1,23, Sulawesi Tengah 1,14,

dan Jawa Timur 1,04 per 10.000 penduduk 

(Kemenkes RI, 2018).

berdasar  data Profil Kesehatan Dinkes 

Provinsi Aceh, jumlah kasus kusta baru

sebanyak 524 kasus, diantaranya merupakan 

kasus tipe Multibasiler (MB) sebanyak 385 

kasus atau (73%) dan tipe Pausibasiler (PB) 

sebanyak 139 kasus (27%) dengan NCDR

sebesar 10,48 per 100.000 penduduk. Jumlah 

kasus kusta tercatat pada tahun 2016 terdapat di

Kabupaten Pidie sebanyak 61 kasus, disusul

oleh Aceh Barat 21 kasus, Lhokseumawe 25

kasus dan Gayo Lues sebanyak 20 kasus

Stigma pada penderita kusta akan 

mempengaruhi pemahaman tentang penyakit

dan penerimaan diri bagi penderita itu sendiri

dan tidak menerimanya di kalangan sosial 

warga  

Kusta menimbulkan stigma yang besar di 

warga , sehingga penderita kusta seringkali 

dijauhi dan dikucilkan oleh warga  yang 

menyebabkan timbulnya masalah psikososial 


Dampak yang dapat ditimbulkan dari kusta 

yaitu  ditakuti oleh warga  bahkan 

keluarga sehingga penderita kusta merasa 

dikucilkan oleh warga  dan ini disebabkan 

oleh persepsi yang kurang baik terhadap 

penyakit kusta  

Penelitian yang dilakukan oleh Susanto, 

(2009) mendapatkan hasil bahwa penderita 

kusta merasa sedih dan kecewa pada diri sendiri 

saat mendapatkan diagnosa kusta. Perasaan 

sedih dan kecewa ini  merupakan respon 

terhadap harga diri rendah yang sedang 

dialami yang ditunjukkan dengan sikap putus 

asa, menarik diri dan kesedihan yang 

mendalam.

Peran petugas kesehatan terhadap kusta,

yaitu dengan cara penyuluhan dan promosi 

kesehatan tentang penyakit kusta, penularannya 

dan akibat ketidak patuhan minum obat

kepada penderita, motivasi dan komitmen yang 

kuat, baik dari penderita maupun warga 

untuk melakukan tindakan pencegahan primer

Data dari Program Penanggulangan 

Penyakit Menular Dinas Kesehatan Aceh Utara 

ditemukan bahwa penderita kusta baru murni

dari 31 Kecamatan dengan jumlah semuapenduduk sebanyak 525.608 jiwa, hanya 

terdapat di 17 Puskesmas/Kecamatan sebanyak 

45 kasus baru, diantaranya kusta tipe PB 

sebanyak 15 kasus dan kusta tipe MB sebanyak

30 kasus dengan CDR 0,8% per 10.000 

penduduk 

Data yang di dapatkan dari Puskesmas

Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara, jumlah 

kasus kusta di Gampong Kuala Keureuto Barat 

Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara 

3 sebanyak 9 orang.

Hasil survey awal di Gampong Kuala 

Keureuto Barat Kecamatan Tanah Pasir

Kabupaten Aceh Utara jumlah warga  di

Kuala Keureuto Barat sebanyak 278 orang, 

dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 60

KK. sedang   jumlah warga  yang umur

17 tahun sampai dengan umur 60 tahun 

sebanyak 200 orang.


Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan 

pendekatan cross-sectional, yaitu pengumpulan

data dilakukan dengan satu priode waktu

tertentu dilakukan hanya satu kali saja dan data

yang dikumpulkan melalui wawancara. Data

yang diambil yaitu  warga  yang 

dilingkungannya ada penderita kusta, dengan 

jumlah populasi sebanyak 200 warga . 

Teknik pengambalin sampel menggunakan 

metode total sampling dan didapatkan 200 

sampel.

Pengumpulan data dilakukan pada 

tanggal 17 Agustus s/d 03 September 2018.


berdasar  tabel 1 dapat dilihat dari 200

responden dapat diketahui bahwa mayoritas 

responden berumur 26-35 tahun sebanyak 65 

orang (32,5%), mayoritas katagori jenis kelamin 

diketahui bahwa laki-laki sebanyak 113 orang 

(56,5%), sedang   pendidikan mayoritas SMA 

sebanyak 126 orang (63%), serta mayoritas

pekerjaan didapatkan tidak bekerja 64 orang 

(32%).


berdasar  tabel 2 dapat dilihat dari 200 

responden stigma warga  negatif sebanyak 

127 orang (63,5%) dibandingkan dengan 73 

orang stigma positif (36,5%).

 

Hasil penelitian didapatkan stigma negatif

sebanyak 127 orang (63.5%). Ini disebab kan 

warga  sangat takut untuk tertular penyakit 

kusta sebab  ketidaktauan warga  tentang 

proses penularan dari penyakit ini .

pengetahuan, sikap dan perilaku merupakan

aspek yang saling berkaitan. Pengetahuan 

berperan penting sebagai salah satu faktor 

internal yang dapat mempengaruhi terbentuknya 

perilaku seseorang. Rendahnya tingkat

pengetahuan warga  tentang pengobatan, 

pencegahan dan komplikasi dari penyakit kusta,menyebabkan warga  takut untuk 

mendekati dan melakukan aktivitas bersama 

penderita kusta, hal ini yam membuat stigma 

negatif yang sulit dihilangkan pada warga .

Pemikiran dan sikap deskriminasi yang 

sudah ada, akan sulit dihilangkan sebab  label 

buruk yang telah diberikan oleh warga  

tanpa ada landasan teori, 

Anggapan yang salah tentang penyakit 

kusta beredar di tengah-tengah warga  dan 

diyakini kebenarannya oleh sebagian besar

anggota warga  bahwa penderita kusta yang

mengalami cacat, tetap dianggap sebagai 

penderita yang berbahaya oleh warga  

sehingga warga  masih banyak yang 

mengalami ketakutan berinteraksi dengan 

penderita kusta 

Penelitian ini sejalan dengan penelitian

Sulidah (2016) yang dilakukan di Kota Tarakan

Jawa Tengah, bahwa ada hubungan

pengetahuan dan sikap warga  terkait kusta 

terhadap stigma dan diskriminasi pada penderita

kusta (p=0,000).

Tingkat pengetahuan tentang kusta di 

Gampong Kuala Keureuto Barat di dapatkan

bahwa warga  masih memiliki pemikiran

yang keliru terhadap penyakit kusta dan 

ketidaktahuan proses penularan penyakit.

Oleh sebab itu mereka masih mengucilkan dan 

mengabaikan penderita kusta untuk ikut serta 

dalam kegiatan sosial warga  sebab  masih 

dipengaruhi oleh stigma yang keliru yang 

ditimbulkan oleh penyakit kusta.

Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan 

warga  tentang penyakit kusta sangat 

diperlukan untuk merubah pola pikir dan 

persepsi warga  sehingga tidak akan 

memunculkan stigma yang negatif pada 

penderita kusta. Dari hasil penelitian diatas 

dapat disimpulkan bahwa semakin baik

pengetahuan seseorang maka semakin baik 

stigma yang akan muncul terhadap penderita 

kusta. Stigma warga  yang terjadi di

pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya 

pengetahuan terhadap penyakit dan pengobatan 

yang dilakukan oleh penderita. Faktor lain yang 

juga tidak kalah penting yaitu memberikan 

pengatahuan melalui pendidikan kesehatan.


Studi ini menemukan bahwa stigma negatif 

sebanyak 127 orang (63.5%) dibandingkan 

dengan 73 orang stigma positif (36.5%).

Diharapkan dapat dijadikan masukan 

kepada warga  untuk merubah stigma pada 

penderita dengan mencari informasi baik 

melalui buku, surat kabar atau media online 

tentang penyakit kusta dan melibatkan 

penderita di aktivitas sosial warga