Tampilkan postingan dengan label Profil kesehatan 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Profil kesehatan 4. Tampilkan semua postingan

Profil kesehatan 4

 






nyakit menular meliputi penyakit menular langsung, penyakit yang dapat dikendalikan 


dengan imunisasi, dan penyakit yang ditularkan melalui binatang. Sedangkan penyakit tidak menular 


meliputi upaya pencegahan dan deteksi dini penyakit tidak menular tertentu.


A. PENYAKIT MENULAR LANGSUNG


1. Tuberkulosis


Tuberkulosis (TBC) saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di 


Indonesia maupun internasional sehingga menjadi salah satu tujuan pembangunan kesehatan 


berkelanjutan (SDGs). 


Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium 


tuberculosis. Kuman tersebut menyebar dari penderita TBC melalui udara. Kuman TBC ini biasanya 


menyerang organ paru, namun dapat juga menyerang selain paru (ekstra paru). Hampir seperempat 


penduduk dunia terinfeksi dengan kuman Mycobacterium tuberculosis. Sekitar 89% TBC diderita 


oleh orang dewasa (56,5% laki-laki dan 32,5% perempuan) dan 11% diderita oleh anak-anak. Sampai 


saat ini, TBC masih merupakan penyebab kematian tertinggi setelah HIV/AIDS, dan merupakan salah 


satu dari 20 penyebab utama kematian di seluruh dunia. Sebagian besar estimasi kematian yang 


disebabkan TBC tercatat di empat negara, yaitu India, Indonesia, Myanmar, dan Filipina. Jumlah 


kematian akibat TBC (di antara pasien HIV negatif) secara global pada tahun 2022 sebesar 1,1 juta, 


hal ini mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2021 yaitu sebesar 1,2 juta.


Indonesia juga merupakan negara peringkat ke-2 penderita TBC tertinggi di dunia setelah 


India dengan proporsi kasus baru sebesar 10% dibandingkan seluruh kasus di dunia. Secara global, 


diperkirakan 10,6 juta orang menderita TBC pada tahun 2022. (WHO, Global Tuberculosis Report, 2023).


Beban penyakit yang disebabkan oleh Tuberkulosis dapat diukur antara lain dengan insiden 


kasus dan mortalitas/kematian, seperti yang dijelaskan di bawah ini.


a. Insiden Tuberkulosis


Menurut Global Tuberculosis Report tahun 2023, pada tahun 2022 estimasi angka insiden TBC 


di Indonesia sebesar 385 per 100.000 penduduk, meningkat jika dibandingkan dengan angka insiden 


TBC tahun 2021 yaitu sebesar 354 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kematian TBC tahun 2022 


sebesar 49 per 100.000 penduduk.Pada tahun 2023 jumlah semua kasus Tuberkulosis yang ditemukan sebanyak 821.200 kasus, 


meningkat cukup tinggi bila dibandingkan semua kasus Tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2022 


yaitu sebesar 677.464 kasus. Jumlah kasus tertinggi dilaporkan dari provinsi dengan jumlah penduduk 


yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. 


Jika dibandingkan dari jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan 


dengan perempuan baik secara nasional maupun provinsi. Secara nasional jumlah kasus pada laki-laki 


sebesar 57,9% dan 42,1% pada perempuan. Gambar 6.1 menunjukan bahwa pada tahun 2023 kasus 


TBC terbanyak ditemukan pada kelompok umur anak 0-14 tahun yaitu sebesar 16,7%, diikuti kelompok 


umur 45-54 tahun (15,9%) dan 55-64 tahun (14,8%)

Cakupan penemuan kasus tuberkulosis adalah jumlah kasus TBC yang diobati dan dilaporkan 


pada tahun tertentu dibagi dengan perkiraan jumlah insiden kasus TBC pada tahun yang sama dan 


dinyatakan dalam persentase. Cakupan penemuan kasus tuberkulosis menggambarkan seberapa 


banyak kasus tuberkulosis yang terjangkau oleh program.


Gambar 6.2. menunjukkan bahwa cakupan penemuan kasus Tuberkulosis pada tahun 2023 


adalah 77,5%, meningkat dari tahun 2022 yaitu 74,7%. Namun angka cakupan ini masih belum mencapai 


target Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2023 yaitu 90%.

Gambar 6.3 menunjukan bahwa pada tahun 2023 terdapat sembilan provinsi yang telah 


mencapai target cakupan penemuan kasus tuberkulosis ≥ 90% yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, 


Papua Tengah, Banten, DKI Jakarta, Papua Selatan, Papua Barat, Papua, dan Jawa Timur. Kondisi ini 


menunjukkan peningkatan sejak tahun 2022, hanya empat provinsi yang mencapai target ≥ 85%.Angka keberhasilan pengobatan (Treatment Success Rate) merupakan indikator yang digunakan 


untuk mengevaluasi pengobatan Tuberkulosis. Angka keberhasilan pengobatan yaitu jumlah semua 


kasus Tuberkulosis yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua kasus Tuberkulosis yang 


diobati dan dilaporkan. Angka keberhasilan pengobatan pasien Tuberkulosis di Indonesia pada tahun 


2023 adalah 86,5%. Angka ini masih belum mencapai target Renstra Kementerian Kesehatan tahun 


2023 yaitu 90%. Provinsi yang mencapai angka keberhasilan pengobatan semua kasus Tuberkulosis minimal 


90% pada tahun 2023 sebanyak lima provinsi, yaitu Lampung (96,8%), Gorontalo (92,2%), Sumatera 


Selatan (91,8%), Nusa Tenggara Barat (90,8%), dan Riau (90,7%).


2. HIV dan AIDS


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menginfeksi sel darah putih yang 


menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Infeksi tersebut menyebabkan penderita 


mengalami penurunan kekebalan sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit 


lain. Sedangkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala yang timbul 


karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV.


Orang yang terinfeksi HIV memerlukan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menekan jumlah 


virus HIV di dalam tubuh. Virus yang tertekan (tersupresi) tidak berpotensi menular kepada orang lain, 


dan orang dengan HIV akan memiliki kualitas hidup yang baik. Penemuan kasus pada stadium awal dan 


segera mendapatkan pengobatan ARV, membuat seseorang tidak jatuh pada HIV stadium lanjut (AIDS). 


Pada HIV stadium lanjut (AIDS) terjadi potensi masuknya infeksi-infeksi lainnya yang dikenal dengan 


infeksi oportunistik. Program pengendalian HIV di Indonesia bertujuan untuk: (1) menurunkan hingga 


meniadakan infeksi baru; (2) menurunkan hingga meniadakan kematian terkait AIDS; (3) menurunkan 


stigma dan diskriminasi.


Dari Gambar 6.6 terlihat jumlah kasus HIV positif yang dilaporkan selama sebelas tahun 


terakhir cenderung meningkat. Pada tahun 2023 dilaporkan sebanyak 57.299 kasus HIV dan 16.410 


kasus AIDS. Jumlah ini mengalami peningkatan signifikan jika dibandingkan tren tiga tahun terakhir. 


Penurunan kasus yang terjadi pada tahun 2020-2021 disebabkan oleh penerapan Pemberlakuan 


Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akibat pandemi sehingga terbatasnya akses masyarakat ke 


pelayanan kesehatan. Dari segi penyedia pelayanan, peningkatan kasus COVID-19 yang cukup siginfikan 


menyebabkan beberapa tenaga kesehatan di layanan diperbantukan untuk membantu penanganan 


COVID-19, sehingga kegiatan operasional penemuan dan penjangkauan kasus menjadi terhambat. 


Selain itu pada tahun 2021 tenaga kesehatan di layanan membantu pemberian vaksinasi COVID-19 


kepada masyarakat. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus HIV dan AIDS pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan 


pada perempuan. Kesenjangan proporsi kasus kelompok laki-laki yang hampir tiga kali lipat dibandingkan 


pada kelompok perempuan seperti digambarkan pada Gambar 6.7 berikut ini.Sebagian besar sebaran kasus HIV dan AIDS terdapat pada kelompok umur produktif 20-49 


tahun. Hal ini disebabkan oleh rentang usia produktif lebih rentan terhadap perilaku beresiko seperti 


perilaku seks yang tidak aman dan penggunaan NAPZA suntik. Sementara itu masih ditemukan kasus 


HIV dan AIDS pada kelompok usia 1-4 tahun yang menunjukkan penularan HIV dari ibu ke anak.


Penanggulangan HIV dan AIDS pada anak di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri 


Kesehatan Nomor 23 Tahun 2022 tentang Penanggulangan HIV, AIDS, dan Infeksi Menular Seksual. 


Namun, masih adanya tantangan pengobatan seperti pengobatan pertama bagi anak dengan HIV 


yang saat ini hanya tersedia di unit pediatrik di Rumah Sakit dan regimen ART yang tidak ramah anak 


menyebabkan kurang optimalnya pengobatan HIV sehingga terjadi perkembangan infeksi HIV menjadi 


AIDS. Dalam rangka mencapai tujuan nasional dan global triple elimination (eliminasi HIV, hepatitis 


B, dan sifilis) pada bayi, penularan HIV dari ibu ke anak diharapkan akan terus menurun di tahun 


selanjutnya. 


3. Pneumonia


Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) yang dapat 


disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit. Sampai saat ini 


program pengendalian pneumonia lebih diprioritaskan pada pengendalian pneumonia balita karena 


penyakit pneumonia memiliki kontribusi cukup besar terhadap angka kesakitan dan kematian balita.


Diharapkan dengan penemuan kasus dan pengobatan pneumonia yang sudah sesuai standar dapat 


mengurangi angka kesakitan dan kematian balita akibat pneumonia.

Pneumonia masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas utama karena infeksi pada bayi 


dan anak di dunia. Pada tahun 2019, kasus pneumonia menyumbang 740.180 (14%) kasus kematian 


anak usia di bawah 5 tahun (Balita) (WHO 2021). Sekitar 2.200 anak meninggal setiap hari akibat 


pneumonia (IVAC 2020; UNICEF 2019a). Pneumonia juga menjadi penyebab kematian Balita terbesar 


di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI 2020; UNICEF 2019b). Pada tahun 2018 diperkirakan sekitar 


19.000 anak meninggal dunia akibat pneumonia.


Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini yaitu dengan meningkatkan 


penemuan pneumonia pada balita. Berikut cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita di 


Indonesia pada tahun 2013-2023 dapat dilihat pada Gambar 6.9Tren cakupan penemuan pneumonia pada balita selama sebelas tahun terakhir cukup fluktuatif. 


Cakupan tertinggi pada tahun 2016 yaitu sebesar 65,3%. Sejak tahun 2015 terdapat perubahan angka 


perkiraan kasus dari 10% menjadi 3,55%, hal tersebut yang menyebabkan pada tahun 2015 cakupannya 


tinggi. Penurunan yang cukup signifikan terlihat pada tahun 2020-2022 jika dibandingkan dengan 


cakupan 5 tahun terakhir, penurunan ini disebabkan dampak dari pandemi COVID-19, dimana adanya 


stigma pada penderita COVID-19 yang berpengaruh pada penurunan jumlah kunjungan balita batuk 


atau kesulitan bernapas di Puskesmas. 


Pada tahun 2023, cakupan penemuan pneumonia pada balita kembali menurun yaitu sebesar 


36,95%. Provinsi dengan cakupan penemuan pneumonia pada balita tertinggi adalah Papua Barat 


(75%), DKI Jakarta (72,4%), dan Bali (71,6%). Tata laksana pneumonia standar mengalami perluasan definisi menjadi penemuan kasus dan 


pengobatan standar menggunakan antibiotik. Pada tahun 2023, target persentase pengobatan kasus 


pneumonia sesuai standar dalam Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2023 adalah 70%. Secara 


nasional, persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar tahun 2023 sebesar 94,8%, artinya 


sudah memenuhi target Renstra Kementerian Kesehatan. Jika dilihat berdasarkan provinsi, semua 


provinsi sudah mencapai target yaitu memiliki persentase lebih dari 70%.Pada tahun 2023 angka kematian akibat pneumonia pada balita sebesar 0,13%. Angka kematian 


akibat pneumonia pada kelompok bayi lebih tinggi hampir tiga kali lipat dibandingkan pada kelompok 


anak umur 1 – 4 tahun. Cakupan penemuan pneumonia dan kematiannya menurut provinsi dan 


kelompok umur pada tahun 2023 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 58.


4. Hepatitis


Hepatitis merupakan peradangan hati yang dapat berkembang menjadi fibrosis, sirosis atau 


kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor, seperti infeksi virus, zat beracun, dan penyakit 


autoimun. Penyebab paling umum Hepatitis adalah infeksi Virus Hepatitis A (VHA), virus hepatiits b 


(VHB), Virus Hepatitis C (VHC), Virus Hepatitis D (VHD) dan Virus hepatitis E (VHE).


Menurut hasil Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, prevalensi hepatitis A, B, C, D dan E pada 


semua kelompok umur di Indonesia adalah 0,12%. Jika dilihat berdasarkan provinsi, provinsi dengan 


prevalensi hepatitis tertinggi adalah Papua Tengah (0,88%) dan provinsi dengan prevalensi hepatitis 


terendah adalah Riau (0,06%)Meskipun ke lima jenis virus tersebut menyebabkan penyakit hati, tapi virus tersebut berbeda 


dalam hal penularan, tingkat keparahan penyakit dan pencegahan. Untuk Hepatitis A dan Hepatitis E, 


besaran masalah tidak diketahui dengan pasti. Namun mengingat kondisi sanitasi lingkungan, higiene 


dan sanitasi pangan, serta perilaku hidup bersih dan sehat yang belum optimal, maka masyarakat 


Indonesia merupakan kelompok berisiko untuk tertular Hepatitis A dan Hepatitis E. Sementara hepatitis 


B dan C merupakan jenis virus hepatitis yang menyebabkan penyakit kronis dan penyebab paling umum 


terjadinya sirosis hati, kanker hati dan kematian.


Menurut hasil Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, Proporsi HBsAg reaktif (Hepatitis B) , 


pada semua umur sebesar 2,4% dan bila dilihat berdasarkan usia, proporsi tertinggi ada pada kategori 


usia 35-44, 45-54 dan 55- 64 tahun masing-masing 3,6% dan proporsi terendah ada pada usia 0-4 tahun 


sebesar 0.1%


Indikator kegiatan hepatitis saat ini merupakan indikator lanjutan dari tahun 2015-2019, Tahun 


2015 – 2019 indikator kinerja hepatitis adalah Persentase Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Deteksi 


Dini Hepatitis B saja, tahun 2020 -2024 ditambah dengan Deteksi Dini Hepatitis C sehingga indikator di 


tahun 2020 – 2024 adalah persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan 


C pada populasi berisiko. Gambar 6.12 menunjukkan kenaikan target per tahun yang diikuti dengan 


kenaikan capaian target indikator. Pada tahun 2023 capaian indikator belum mencapai target Renstra 


tahun 2023 (100%), yaitu 97,28%.

Dari 38 provinsi sebanyak 34 provinsi sudah mencapai 100% kabupaten/kota yang telah 


melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan C, sedangkan sebanyak 4 provinsi yaitu Papua, Papua Barat 


18Daya, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah belum mencapai 100%.

5. Diare


Penyakit Diare merupakan penyakit endemis yang berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa 


(KLB) dan masih menjadi penyumbang angka kematian di Indonesia terutama pada balita. Menurut 


hasil Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, prevalensi diare pada semua kelompok umur sebesar 2%, 


pada balita sebesar 4,9%, dan pada bayi sebesar 3,9%. Sementara pada Sample Registration System


tahun 2018, diare tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian pada neonatus sebesar 7% dan 


pada bayi usia 28 hari sebesar 6%.


a. Cakupan Pelayanan Penderita Diare


Sasaran pelayanan penderita diare pada balita yang datang ke sarana kesehatan ditargetkan 


oleh program sebesar 20% dari perkiraan jumlah penderita diare pada balita. Sedangkan sasaran

pelayanan penderita diare pada semua umur ditargetkan sebesar 10% dari perkiraan jumlah penderita 


diare semua umur.


Pada tahun 2023 cakupan pelayanan penderita diare pada semua umur sebesar 41,5% dan 


pada balita sebesar 31,7% dari sasaran yang ditetapkan. Provinsi dengan cakupan tertinggi pelayanan 


diare pada balita adalah Jawa Timur (62,2%), sedangkan provinsi dengan cakupan terendah adalah 


Kepulauan Riau (5,3%).

b. Penggunaan Oralit dan Zink


LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare) menganjurkan bahwa semua penderita diare 


harus mendapatkan oralit untuk penderita semua umur, maka target penggunaan oralit sebesar 100% 


dari semua kasus diare yang mendapatkan pelayanan di puskesmas. Tahun 2023 secara nasional 


penggunaan oralit pada penderita diare semua umur sebesar 92,1%.

Tidak tercapainya target tersebut disebabkan pemberi layanan di puskesmas belum memberikan 


oralit/zink sesuai standar tata laksana pada penderita diare. Selain itu, masyarakat masih belum 


mengetahui tentang manfaat oralit/zink sebagai cairan yang harus diberikan pada setiap penderita 


diare untuk mencegah terjadinya dehidrasi.


Selain oralit, balita juga diberikan zink yang merupakan mikronutrien yang berfungsi untuk 


mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi 


volume tinja serta mencegah terjadinya diare berulang diare pada tiga bulan berikutnya. Penggunaan 


zink selama 10 hari berturut-turut pada saat balita diare merupakan terapi diare balita. Pada tahun 


2023 cakupan rata-rata pemberian oralit dan zink pada balita diare sebesar 91,97%.


6. Kusta


Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan bakteri, Mycobacterium leprae. Penyakit 


kusta bersifat kronis, menyerang kulit, saraf tepi, dan organ tubuh lain kecuali saraf pusat. Terlambatnya 


dalam deteksi dini dan tatalaksana kasus kusta dapat mengakibatkan kecacatan, pada mata, tangan,


dan kaki.


a. Angka Prevalensi dan Angka Penemuan Kasus Baru


Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 0,63 kasus per 10.000 penduduk 


dan angka penemuan kasus baru sebesar 5,2 kasus per 100.000 penduduk. Tren angka kejadian 


kusta dapat dilihat pada Gambar 6.15. Selama sebelas tahun terakhir terlihat rasio prevalensi angka 


penemuan kasus kusta baru tren relatif menurun, tetapi kembali menunjukkan peningkatan sejak tahun 


2022. Pada tahun 2023 dilaporkan terdapat 14.376 kasus baru kusta yang hampir 90% di antaranya 


merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB).


Provinsi dinyatakan telah mencapai eliminasi jika angka prevalensi <1 per 10.000 penduduk. 


Pada tahun 2023 sebanyak 27 provinsi dari 38 provinsi telah mencapai eliminasi kusta. Terdapat 12 


rovinsi yang belum mencapai eliminasi pada tahun 2023 yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, 


Gorontalo, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Papua Selatan, Maluku, Papua Tengah, Maluku Utara, 


Papua Barat Daya, Papua dan Papua Barat.


Jika disajikan secara spasial, daerah yang berwarna kuning menandai provinsi yang sudah 


berstatus eliminasi kusta, sedangkan daerah yang berwarna merah menandai provinsi yang berstatus 


belum eliminasi kusta. Seluruh provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta berada di sebagian 


Indonesia Bagian Tengah dan sebagian besar Indonesia Bagian Timur, kecuali Papua Pegunungan. 


Provinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Tenggara yang pada tahun sebelumnya sudah mencapai eliminasi, 


kembali berwarna merah karena angka prevalensi kusta per 10.000 penduduk meningkat menjadi di 


atas 1 per 10.000 penduduk.


Jumlah kabupaten/kota yang sudah mencapai eliminasi adalah 390 kabupaten/kota. Jumlah 


ini belum mencapai target eliminasi kusta tahun 2023 yaitu 482 kabupaten/kota dikarenakan berbagai 


kendala baik dari sumber daya manusia dan logistik multi drug therapy (MDT).


b. Angka Disabilitas Tingkat 2


Peningkatan deteksi kasus sejak dini diperlukan dalam pengendalian kasus kusta. Salah satu 


indikator yang digunakan untuk menunjukkan keberhasilan dalam mendeteksi kasus baru kusta 


secara dini yaitu angka disabilitas tingkat 2. Pada tahun 2023 angka disabilitas tingkat 2 sebesar 3 


per 1.000.000 penduduk. Jika dilihat tren dalam sebelas tahun terakhir, angka disabilitas tingkat 2 


cenderung menurun.


Berdasarkan provinsi, tidak ditemukan kasus kusta baru dengan disabilitas tingkat 2 di Provinsi 


Papua Selatan. Angka disabilitas 2 tertinggi terjadi di Provinsi Papua Barat Daya yaitu 14,5 per 1.000.000 


penduduk. Target program di tahun 2023 angka disabilitas tingkat 2 adalah <1 per 1.000.000 penduduk. 


Pada tahun 2023, hanya tujuh provinsi yang dapat mencapai target tersebut yaitu Papua Selatan, 


Sumatera Utara, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Sumatera Selatan.



c. Proporsi Kusta Multibasiler (MB) dan Proporsi Kusta Baru pada Anak


Proporsi kusta MB dan proporsi kusta pada anak (0-14 tahun) di antara kasus baru memperlihatkan 


adanya sumber penularan tersembunyi serta tingginya tingkat penularan di masyarakat.


Tidak banyak terjadi perubahan proporsi kusta MB selama periode 2013 - 2023. Kasus kusta tipe 


MB masih mendominasi di Indonesia menunjukkan banyaknya sumber penularan di masyarakat. Provinsi 


dengan proporsi kusta MB tertinggi pada tahun 2023 yaitu Sumatera Utara (98%) dan Gorontalo (97,6%).


Proporsi kusta pada anak mulai mengalami penurunan sejak tahun 2021. Pada tahun 2023, proporsi 


kusta pada anak adalah 8,2%. Provinsi dengan proporsi kusta pada anak tertinggi yaitu Papua (21,9%) dan 


Papua Barat (21,4%). Data terkait penyakit kusta selengkapnya terdapat pada Lampiran 64 - 67.


d. Penderita Kusta Selesai Berobat (Release From Treatment/RFT)


Indikator persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu (RFT rate) 


sangat penting digunakan dalam menilai kualitas tatalaksana penderita dan kepatuhan penderita 


dalam minum obat. Indikator tersebut merupakan indikator tahunan dan perhitungannya dilakukan 


berdasarkan penderita yang memulai pengobatan MDT pada periode kohort yang sama.


Persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu merupakan 


jumlah penderita baru kusta (PB/MB) dari periode kohort 1 (satu) tahun yang sama yang menyelesaikan 


pengobatan tepat waktu (PB menyelesaikan 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan/MB menyelesaikan 12 dosis 


dalam waktu 12-18 bulan) dinyatakan dalam persentase.


Pada tahun 2023, cakupan RFT di Indonesia sudah cukup tinggi, yaitu untuk kusta PB sebesar 


85,5% dan kusta MB sebesar 84,9%. Penderita kusta PB yang telah selesai berobat di tahun 2023 adalah 


penderita kusta yang tercatat pada kohort sejak tahun sebelumnya yaitu tahun 2022. Sebelas provinsi 


telah mencapai 100% persentase penderita kusta PB yang selesai berobat. Pada Provinsi Kalimantan 


Utara tidak ada penderita kusta yang selesai berobat di tahun 2023 karena memang tidak ada kasus 


kusta PB di provinsi tersebut.

Penderita kusta MB yang tercatat selesai berobat di tahun 2023 adalah penderita kusta MB yang 


tercatat pada kohort sejak 2 tahun sebelumnya, yaitu tahun 2021. Provinsi dengan cakupan tertinggi kusta 


MB selesai berobat adalah Papua Pegunungan dengan jumlah penderita kusta MB selesai berobat sebanyak 


5 orang. Provinsi dengan cakupan terendah adalah Papua Selatan dengan persentase sebesar 43,3%.


7. Coronavirus Disease (COVID-19)


Sejak dilaporkan pertama kali pada tanggal 31 Desember 2019 di Kota Wuhan, Provinsi 


Hubei, Cina, penyakit COVID-19 menyebar ke seluruh dunia dan pada tanggal 11 Maret 2020 WHO 


menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Coronavirus disease (COVID-19) merupakan penyakit menular 


yang disebabkan oleh jenis virus corona yang baru ditemukan yaitu Severe Acute Respiratory Syndrome 


Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). 


Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil dalam kondisi kritis bahkan 


meninggal. Orang lanjut usia dan dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah 


tinggi, gangguan jantung, paru, diabetes dan kanker berisiko mengalami tingkat keparahan lebih tinggi. 


COVID-19 ditularkan melalui droplet, penularan terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat 


(dalam 1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernafasan (misalnya: batuk atau bersin) sehingga 


droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata). Penularan juga dapat 


terjadi melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh 


karena itu, penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi 


dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi.


Dalam rangka upaya penanggulangan dini wabah COVID-19, Menteri Kesehatan telah 


mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor K.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan 


Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) Sebagai Jenis Penyakit yang Dapat Menimbulkan 


Wabah dan Upaya Penanggulangannya. Penetapan didasari oleh pertimbangan bahwa infeksi Novel 


Coronavirus (infeksi 2019-nCoV) telah dinyatakan WHO sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat 


yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Setelah 


tiga tahun berjalan pandemi COVID-19, melalui Peraturan Presiden Nomor 48 tahun 2023 tentang 


Pengakhiran Penanganan Pandemi COVID-19, pada tanggal 4 Agustus 2023 pemerintah menyatakan 


berakhirnya status pandemi COVID-19 di Indonesia. 


Sejak pertama kali diumukan adanya kasus COVID-19 di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sampai 


30 Desember 2023, tercatat kasus konfirmasi di Indonesia sebesar 6.821.940 kasus. Jumlah kasus konfirmasi 


yang dilaporkan sepanjang tahun 2023 adalah 101.978 kasus. Jumlah kasus konfirmasi tertinggi pada tahun 


2023 dilaporkan dari Provinsi DKI Jakarta (35.608), Jawa Barat (21.483), dan Jawa Timur (12.715). 


Secara kumulatif, hampir seluruh kasus COVID -19 sembuh. Recovery rate di Indonesia dan level 


provinsi rata-rata sudah lebih dari 90%. Case fatality rate (CFR) COVID-19 pada tahun 2023 di Indonesia sebesar 


1,32%. Provinsi dengan CFR tertinggi yaitu Maluku (9,09%), Sumatera Barat (6,67%), dan Aceh (6,22%).


Untuk memutus rantai penularan COVID-19, selain melaksanakan protokol kesehatan 


secara ketat, diperlukan upaya untuk meningkatkan imunitas masyarakat. Vaksinasi bertujuan 


untuk meningkatkan kekebalan kelompok (herd immunity). Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 telah 


dilaksanakan sejak tanggal 13 Januari 2021 dengan total sasaran 234.660.020 penduduk usia ≥6 tahun. 


Hingga tahun 2023, pemerintah telah mencanangkan program vaksinasi covid-19 dari vaksinasi 


pertama, vaksinasi primer lengkap (sesuai jenis vaksin yang digunakan), dan booster 1 dan 2. Capaian 


vaksinasi primer lengkap di Indonesia tahun 2023 sebesar 74,7%. Berdasarkan KMK Nomor HK.01.07/


MENKES/762/2022 tentang Indikator Penyesuaian Upaya Kesehatan Masyarakat dan Pembatasan Sosial 


dalam Penanggulangan Pandemi COVID-19, vaksinasi dikategorikan memadai jika mencapai lebih dari 


70% target. Dengan demikian capaian vaksinasi COVID-19 dosis lengkap tahun 2023 secara nasional 


telah memadai. Terdapat 47% provinsi yang telah mencapai vaksinasi primer lengkap memadai, dengan 


capaian tertinggi yaitu DKI Jakarta (116,9%), Bali (98%), dan D.I. Yogyakarta (95,9%).


Sejak Januari 2022 Kementerian Kesehatan telah menerbitkan surat edaran nomor HK.02.02/


II/252/2022 mengenai pemberian vaksin COVID-19 dosis lanjutan (booster). Hasil studi menunjukan 


telah terjadi penurunan antibodi pada enam bulan setelah mendapatkan vaksinasi COVID-19 dosis 


primer lengkap, sehingga dibutuhkan pemberian dosis booster untuk meningkatkan proteksi individu 


terutama pada kelompok masyarakat rentan. Vaksinasi booster diselenggarakan untuk sasaran 


penduduk usia 18 tahun ke atas dengan prioritas kelompok lansia dan penurunan sistem imunitas 


(imunokompromi). Selama tahun 2023 sebanyak 30,2% target penduduk telah mendapatkan 


vaksinasi booster dengan provinsi tertinggi DKI Jakarta (59,1%) dan Bali (57,8%). Dibandingkan 


dengan target WHO booster 1 sebesar 50% maka secara nasional Indonesia belum mencapai target 


capaian vaksinasi booster 1.


Dalam menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penetapan 


Berakhirnya Status Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia dan Peraturan Menteri 


Kesehatan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Pedoman Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 


(COVID-19), Kementerian Kesehatan menetapkan pemberian imunisasi rutin COVID-19 untuk kelompok 


tertentu. Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/2193/2023 


tentang Pemberian Imunisasi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Program.


Kelompok sasaran imunisasi COVID-19 program adalah kelompok sasaran yang belum pernah 


menerima vaksin COVID-19 dan yang sudah menerima minimal 1 dosis vaksin COVID-19 yang terdiri 


dari kelompok lanjut usia, lanjut usia dengan komorbid, dewasa dengan komorbid, tenaga kesehatan 


yang bertugas di garda terdepan, ibu hamil, remaja usia dua belas tahun ke atas, dan kelompok usia 


lainnya dengan kondisi gangguan sistem imun (immunocompromized) sedang sampai berat. Pemberian 


imunisasi COVID-19 program akan dilaksanakan mulai 1 Januari 2024 di seluruh Indonesia.

Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi saat ini masih mengancam dunia karena dapat 


mengakibatkan kematian dan kecacatan. Imunisasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan/


meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat 


terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan menjadi sakit atau hanya mengalami sakit ringan 


(Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, 2017). 


Dengan memberikan imunisasi secara tepat waktu, maka masyarakat dapat tetap terlindung dan 


terjadinya wabah PD3I dapat dicegah. Untuk mendapatkan perlindungan seumur hidup, seseorang 


perlu mendapatkan imunisasi sesuai dosis dan jadwal secara terus menerus dan berkesinambungan. 


Selain imunisasi rutin, yaitu imunisasi bayi, imunisasi anak bawah dua tahun (baduta), imunisasi anak 


usia sekolah dan imunisasi dewasa, juga dikenal imunisasi kejar, imunisasi tambahan, dan imunisasi 


khusus. Imunisasi kejar diberikan pada bayi, baduta dan anak usia sekolah yang belum mendapatkan 


dosis vaksin sesuai usia yang ditentukan pada jadwal imunisasi rutin. Imunisasi tambahan merupakan 


jenis imunisasi tertentu yang diberikan pada kelompok umur tertentu yang paling berisiko terkena 


penyakit sesuai dengan kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu, sementara itu imunisasi 


khusus dilaksanakan untuk melindungi seseorang dan masyarakat terhadap penyakit tertentu pada 


situasi tertentu. 


Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai upaya dalam mencegah 


dan mengendalikan PD3I. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain:


a. Meningkatkan cakupan imunisasi lengkap, karena imunisasi merupakan pencegahan spesifik 


dari PD3I;


b. Melakukan bimbingan teknis dan supervisi program surveilans dan imunisasi;


c. Melaksanakan peningkatan kapasitas petugas surveilans PD3I dalam rangka meningkatkan 


kinerja surveilans AFP dan campak-rubela serta pengendalian difteri;


d. Menyusun, menyediakan, dan mendistribusikan petunjuk teknis surveilans PD3I 


e. Menyediakan dan mendistribusikan media komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) surveilans 


PD3I;


f. Melakukan sosialisasi tentang PD3I kepada lintas program dan lintas sektor terkait serta 


organisasi profesi (IDI, IDAI, IBI, PPNI, PAEI, dll)


g. Melaksanakan pertemuan rutin dengan Komite Ahli Nasional PD3I, untuk mendapatkan 


rekomendasi dalam rangka mencapai target eradikasi polio, eliminasi campak-rubela/CRS serta 


pengendalian difteri dan strategi penanggulangan KLB.


h. Melaksanakan pertemuan jejaring laboratorium difteri, campak-rubela/CRS, dan polio;


i. Melakukan pendampingan penyelidikan epidemiologi penyakit potensial KLB termasuk PD3I ke 


daerah-daerah.



Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah sebagai berikut:


1. Tetanus Neonatorum 


 Tetanus Neonatorum (TN) merupakan penyakit tetanus yang menyerang neonatus (bayi usia 


<28 hari). Walaupun disebut sebagai silent killer, penyakit ini bisa dicegah melalui pemberian vaksin 


Tetanus Toxoid (TT) secara tepat waktu, selain menjaga kebersihan tempat praktik bersalin, serta proses 


persalinan, dan perawatan tali pusat yang bersih dan aman. Penyebab utama dari penyakit ini adalah 


infeksi bakteri Clostridium tetani, yaitu bakteri yang menghasilkan racun yang dapat menyerang otak dan 


sistem saraf pusat. Bakteri ini biasa ditemukan di tanah, debu, dan kotoran hewan. Bakteri Clostridium 


tetani bisa menginfeksi seseorang, melalui luka goresan, sobekan, atau luka tusukan yang disebabkan 


oleh benda-benda yang terkontaminasi. Tetanus tidak dapat ditularkan dari orang ke orang, tetapi 


pada bayi yang baru lahir tetanus neonatorum terjadi oleh karena bakteri ini masuk ke dalam tubuh 


bayi melalui praktik persalinan yang tidak higienis, seperti memotong dan merawat tali pusat yang 


tidak bersih atau steril. Persalinan yang dilakukan oleh penolong persalinan dengan tangan yang tidak 


steril dan terkontaminasi juga merupakan faktor risiko terjadinya kasus tetanus neonatorum. Masa 


inkubasi dari penyakit ini adalah 3-10 hari. Tanda dan gejala biasanya muncul pada hari ke-3 sampai 28 


setelah kelahiran (rata-rata 7 hari setelah kelahiran). Apabila masa inkubasi kurang dari 7 hari, biasanya 


memiliki prognosis penyakit lebih buruk dan mempunyai angka kematian yang tinggi.


Indonesia pada tahun 2016 berhasil mencapai status eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal 


(TMN) dan menjadi negara terakhir di Wilayah Regional Asia Tenggara WHO yang divalidasi untuk 


eliminasi TMN. Eliminasi tetanus maternal dan neonatal atau Maternal and Neonatal Tetanus 


Elimination (MNTE) didefinisikan sebagai situasi dimana kejadian kasus TN < per 1000 kelahiran hidup 


di setiap kabupaten/kota. Saat ini Indonesia terus berupaya untuk mempertahankan status eliminasi 


TMN. Ada 4 strategi yang direkomendasikan oleh WHO untuk dapat mempertahankan status eliminasi 


TMN, yaitu penguatan imunisasi rutin, pemberian imunisasi tetanus tambahan (Supplementary 


Immunization Activities/SIA) di wilayah-wilayah risiko tinggi dengan menargetkan wanita usia subur, 


mempromosikan persalinan dan perawatan tali pusat yang bersih, dan penguatan surveilans TN.


Pada penyakit tetanus, kekebalan tidak bisa didapat setelah terjadi infeksi. Kekebalan terhadap 


penyakit tetanus hanya dapat diperoleh melalui kekebalan buatan secara pasif dengan suntikan anti 


tetanus serum dan/atau secara aktif dengan pemberian imunisasi yang mengandung tetanus (jenis 


vaksin yang diberikan sesuai usia). Jadwal imunisasi tetanus dengan vaksin yang mengandung tetanus 


toxoid saat ini di Indonesia adalah DPT-HB-Hib (umur 2, 3, 4, dan 18 bulan), DT (SD/sederajat Kelas 1), 


Td 2 dosis (SD/sederajat kelas 2 dan 5), dan Td WUS (15-39 tahun).


Selama tahun 2021-2023, jumlah kasus TN secara terus menerus mengalami peningkatan. 


Jumlah kasus TN pada tahun 2023 sebanyak 27 kasus, sedikit meningkat dari jumlah kasus TN pada 


tahun 2022, yaitu sebanyak 21 kasus, dan tahun 2021 sebanyak 11 kasus. Walaupun jumlah kasus 


meningkat, tapi angka Case Fatality Rate (CFR) pada tahun 2023 menurun, yaitu sebesar 48,1%. Angka 


ini menurun dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 57%. Kasus TN tersebar pada 12 provinsi, yaitu Aceh, 


Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kep. Bangka Belitung, Jawa Barat, Banten, 


Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Maluku Utara. Dari 12 provinsi tersebut, terdapat 8 provinsi dengan 


kasus kematian TN, yaitu Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Barat, 


Sulawesi Barat, Maluku Utara. Dari 8 provinsi tersebut, terdapat 3 provinsi dengan CFR sebesar 100% 


yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Maluku Utara. Sebaran kasus TN dapat dilihat pada Gambar 6.25 


di bawah ini.


Berdasarkan faktor risiko terjadinya kasus TN, dari 27 kasus yang terjadi pada tahun 2023, 


proporsi kasus dominan terjadi pada penderita yang tidak diimunisasi sebanyak 17 kasus (63%), 


penolong persalinan yang dilakukan oleh tenaga tradisional sebanyak 12 kasus (50%), perawatan 


tali pusat yang dilakukan secara lain-lain sebanyak 8 kasus (42,1%), alat pemotong tali pusat yang 


menggunakan bambu sebanyak 16 kasus (47,1%). Dari keseluruhan kasus TN, mayoritas penderita 


tidak dirawat di rumah sakit, yaitu sebanyak 25 penderita (83,3%). Hal ini berbeda dengan tahun 


sebelumnya, dimana lebih banyak penderita yang dirawat di rumah sakit dibandingkan dengan yang 


tidak dirawat. Jika mengacu pada proporsi kasus TN berdasarkan faktor risiko maka kita dapat melihat 


bahwa tingginya kenaikan kasus TN pada tahun 2023 disebabkan oleh rendahnya cakupan imunisasi, 


praktik persalinan yang tidak higienis, dan perawatan tali pusat yang tidak bersih.


2. Campak


Penyakit campak yang biasanya juga dikenal sebagai morbili atau measles merupakan 


penyakit yang sangat menular disebabkan oleh virus dari genus Morbillivirus dan termasuk golongan 


Paramyxovirus. Campak menjadi penyebab penting kematian anak-anak di seluruh dunia. Kelompok 


anak usia pra sekolah dan usia SD merupakan kelompok rentan tertular penyakit campak. Campak 


akan menyerang hampir 100% anak yang tidak kebal terhadap virus tersebut. Manusia diperkirakan 


satu-satunya reservoir, walaupun monyet dapat terinfeksi tetapi tidak berperan dalam penyebaran. 


Campak ditularkan melalui udara yang terkontaminasi droplet dari hidung, mulut, atau tenggorokan 


orang yang terinfeksi. Masa inkubasi penyakit campak adalah 7-18 hari, rata-rata 10 hari. Gejala awal 


biasanya muncul 10-12 hari setelah infeksi, termasuk demam tinggi, pilek, mata merah, dan bintik-bintik 


putih kecil di bagian dalam mulut. Beberapa hari kemudian, akan muncul ruam maculopapular, mulai 


pada wajah dan leher bagian atas dan secara bertahap menyebar ke bawah. Campak berat mungkin 


terjadi pada anak-anak yang menderita kurang gizi, terutama pada mereka yang kekurangan vitamin 


A, atau yang sistem kekebalan tubuhnya telah dilemahkan oleh penyakit lain. Komplikasi yang paling 


serius termasuk kebutaan, ensefalitis (infeksi yang menyebabkan pembengkakan otak), diare berat

dan dehidrasi, serta infeksi pernafasan berat seperti pneumonia. Seseorang yang pernah menderita 


campak akan mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tersebut seumur hidupnya.


Suspek campak adalah setiap kasus dengan gejala minimal demam dan ruam maculopapular, 


kecuali sudah terbukti secara laboratorium disebabkan oleh penyakit lain. Penemuan kasus suspek 


campak merupakan salah satu strategi surveilans yang dilakukan untuk menemukan kasus campak 


lebih dini sehingga bisa terhindar dari komplikasi dan kematian. Pada tahun 2023 terdapat kasus suspek 


campak sebanyak 39.360 kasus dan tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah kasus tersebut 


meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kasus suspek campak pada tahun 2022 


sebanyak 21.175 kasus. Peningkatan kasus suspek campak dapat disebabkan oleh adanya penurunan 


yang signifikan cakupan imunisasi rutin anak selama pandemi COVID-19, sistem pencatatan/pelaporan, 


serta upaya surveilans yang lebih baik seiring dengan pelonggaran aktivitas setelah terjadinya pandemi 


COVID-19 di Indonesia. Berdasarkan data, secara global sekitar 1 dari 5 orang anak tidak memiliki 


perlindungan terhadap campak (UNICEF, 2023). Pada tahun 2021, Indonesia masuk diantara 20 negara 


dengan angka tertinggi berdasarkan kategori anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi sama 


sekali (zero-dose) (UNICEF, 2023). COVID-19 menyebabkan penurunan yang signifikan dalam imunisasi 


rutin anak, terutama karena gangguan terhadap layanan perawatan kesehatan esensial. Laporan 


terbaru UNICEF dalam State of the World Children mengungkapkan bahwa secara global, ada 67 juta 


anak yang tidak diimunisasi selama tiga tahun terakhir. Hal ini merupakan kemunduran terbesar dalam 


imunisasi rutin anak dalam 30 tahun terakhir. (UNICEF, 2023)Gambar 6.27 memperlihatkan kasus suspek campak per bulan yang terjadi di Indonesia selama 


3 tahun terakhir. Kasus suspek campak meningkat drastis pada awal tahun 2023. Kondisi ini mulai 


menurun pada bulan April, dan cenderung menurun sampai dengan Desember 2023. Jika dibandingkan 


dengan tahun-tahun sebelumnya kondisi ini cukup berbeda, dimana pada tahun 2021 dan 2022 jumlah 


kasus suspek campak di akhir tahun cenderung meningkat. Penurunan pada akhir tahun 2023 ini 


disebabkan oleh penemuan kasus dan pelaporan yang kurang optimal.


Upaya surveilans untuk menemukan kasus suspek campak, ditindaklanjuti dengan melakukan 


pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosa kasus campak. Pada tahun 2023, dari seluruh 


kasus suspek campak yang dilakukan pemeriksaan laboratorium diperoleh data kasus campak konfirmasi 


laboratorium sebanyak 10.308 kasus (26,2% dari kasus suspek campak), dan tersebar di seluruh provinsi 


di Indonesia. Kasus campak tahun 2023 mengalami peningkatan cukup tinggi dibandingkan dengan 


kasus campak tahun 2022 sebanyak 4.844 kasus. Hal ini disebabkan oleh cakupan imunisasi Campak 


Rubela (MR) yang belum tinggi dan merata.


Gambar 6.28, memperlihatkan perbandingan sebaran kasus campak konfirmasi laboratorium 


pada tahun 2022 dan 2023. Gambar 6.29 memperlihatkan proporsi kasus campak berdasarkan kelompok umur pada tahun 


2023. Proporsi kasus campak terbesar pada kelompok umur 1-4 tahun sebanyak 4.481 kasus (43,5%), 


diikuti kelompok umur 5-9 tahun sebanyak 3.352 (32,5%), kelompok umur <1 tahun sebesar 10,7%. 


Proporsi kasus paling rendah ditemukan pada kelompok umur >14 tahun sebesar 7,4%, diikuti 10-14 


tahun sebesar 5,9%. Kecenderungan ini sama dengan tahun sebelumnya.Gambar 6.30 memperlihatkan proporsi kasus campak konfirmasi laboratorium yang sudah 


mendapatkan vaksinasi. Di Indonesia, proporsi kasus campak yang sudah mendapatkan imunisasi 


sebesar 17,2%. Proporsi ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 6,7%. Mengacu pada 


data tersebut, maka dapat diartikan bahwa dari seluruh kasus campak konfirmasi laboratorium, ada 


sebanyak 82,8% kasus yang belum mendapatkan vaksin campak. Cakupan imunisasi campak pada kasus 


campak, masih jauh dari target cakupan imunisasi campak dosis pertama dan kedua minimal 95%. Dari 


38 provinsi dengan kasus campak konfirmasi laboratorium, urutan provinsi dengan proporsi tertinggi 


adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (100%), diikuti oleh Sulawesi Utara (60%), dan Bengkulu (47,1%). 


Proporsi Provinsi Nusa Tenggara Timur 100% karena kasus campak konfirmasi berjumlah 1 orang dan 


sudah mendapatkan vaksinasi. Ada 4 provinsi dengan proporsi kasus campak yang diimunisasi 0%, 


yaitu Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Maluku, dan Kalimantan Tengah. Apabila terjadi 5 atau lebih kasus suspek campak dalam waktu 4 minggu berturut-turut yang 


terjadi secara mengelompok, dan telah dibuktikan adanya hubungan epidemiologis di suatu daerah, 


maka daerah tersebut dinyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) suspek campak. Setiap kasus suspek 


campak dilakukan penyelidikan epidemiologi menyeluruh (fully investigated) dalam waktu 2x24 jam. 


Pada tahun 2023, dari 39.360 kasus suspek campak yang terjadi di seluruh provinsi yang ada 


di Indonesia, terjadi kejadian KLB suspek campak yang terbagi dalam 137 kali di 24 provinsi dengan 


jumlah kasus sebanyak 2.268. Kejadian KLB suspek campak pada tahun 2023 mengalami peningkatan 


hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kejadian KLB suspek campak pada tahun 2022 sebanyak 


79 kali di 18 provinsi dengan jumlah kasus sebanyak 1.101. Dari 38 provinsi, terdapat 11 provinsi yangmengalami kejadian KLB suspek campak pada tahun 2022 dan 2023 yaitu Sumatera Utara, Sumatera 


Barat, Riau, Jambi, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, dan 


Papua. (Gambar 6.31).KLB suspek campak paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat sebanyak 37 kali. Dari 


keseluruhan KLB suspek campak, kasus kematian terbanyak ditemukan di Provinsi Papua Tengah 


sebanyak 4 kasus, diikuti oleh Papua Barat (2 kasus), serta Jambi dan Maluku Utara masing-masing 


sebanyak 1 kasus. Walaupun kasus kematian hanya terjadi di Provinsi Banten, namun angka kematian 


di provinsi-provinsi tersebut berkisar antara 1-2% dari total kasus di wilayah masing-masing. Pelaporan 


penanganan kasus KLB yang ditangani <24 jam sudah 100%, sehingga kasus KLB suspek campak dapat 


ditangani lebih cepat dan tanggap. Pada Gambar 6.32, dari seluruh KLB suspek campak yang dilakukan pemeriksaan laboratorium 


maka dapat dilihat distribusi KLB yang terjadi. Kejadian KLB campak konfirmasi laboratorium terjadi 


sebanyak 94 kali dengan kasus sebanyak 1.907 (84,5%), kejadian KLB rubela sebanyak 3 kali dengan 


kasus sebanyak 13 (0,6%), KLB gabungan rubela dan campak sebanyak 1 kali dengan kasus sebanyak 4 


(0,2%), dan yang bukan merupakan KLB kasus campak/rubella/gabungan sebanyak 2 kali dengan kasus 


sebanyak 16 (0,7%). Hingga data disajikan, dari keseluruhan kasus KLB suspek campak masih ada kasus 


yang statusnya masih pending laboratorium (tidak dilakukan uji laboratorium) sebesar 12,1% dan kasus 


yang tanpa spesimen sebesar 2%. Hal ini disebabkan oleh orang tua kasus tidak mau anaknya diambil 


spesimen dan petugas yang belum menjelaskan secara maksimal

3. Difteri


Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular yang dapat dicegah dengan imunisasi, 


disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diptheriae strain toksigenik. Penularan terjadi secara droplet 


(percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak erat langsung dari lesi 


di kulit. Apabila tidak diobati dan kasus tidak mempunyai kekebalan, angka kematian sekitar 50%, 


sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10% (CDC Manual for the Surveilance of Vaccine 


Preventable Diseases, 2017). Angka kematian difteri rata rata 5 – 10% pada anak usia kurang 5 tahun 


dan 20% pada dewasa diatas 40 tahun (CDC Atlanta, 2016).


Difteri merupakan jenis penyakit menular yang dapat menimbulkan KLB/Wabah seperti tercantum 


dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1501 tahun 2010. Setiap satu kasus suspek difteri dengan gejala 


faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis, atau kombinasinya disertai demam atau tanpa demam dan adanya 


pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah berdarah apabila dilepas atau dilakukan 


manipulasi harus dilaporkan dalam 24 jam dan dilakukan segera penanggulangan untuk memutuskan 


rantai penularan. Kegiatan penanggulangan KLB difteri dilakukan dengan melibatkan program-program 


terkait yaitu surveilans epidemiologi, program imunisasi, klinisi, laboratorium dan program kesehatan 


lainnya serta lintas sektor terkait. (Pedoman Surveilans Difteri, 2019)


208 Profil Kesehatan Indonesia 2019 | Bab VI. PENGENDALIAN PENYA



Pada tahun 2022, kasus difteri menyebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia kecuali 6 provinsi, 


yaitu Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat 


Daya. Jumlah kasus difteri pada tahun 2023 sebanyak 949 kasus. Angka ini menunjukkan peningkatan 


hampir dua kali lipat dari kasus difteri yang terjadi pada tahun 2022, yaitu sebanyak 541 kasus.


ama 2 tahun terakhir, jumlah kematian akibat difteri mengalami peningkatan secara 


signifikan. Pada tahun 2022 jumlah kematian sebanyak 46 kasus, menjadi 68 kasus pada tahun 2023. 


Dari 38 provinsi dengan kasus difteri, terdapat 16 provinsi diantaranya ditemukan kasus kematian 


akibat difteri. Kasus kematian paling tinggi terjadi di Provinsi Jawa Barat sebanyak 21 kasus, diikuti 


Sumatera Utara sebanyak 10 kasus dan Jawa Timur sebanyak 9 kasus. Pada tahun 2023, angka CFRpada kasus difteri di Indonesia sebesar 7,2%, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 


2022, yaitu sebesar 9%. Dari 16 provinsi dengan kasus meninggal difteri, angka CFR paling tinggi terjadi 


di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 37,5%, diikuti Sulawesi Tengah sebesar 33,3% dan Sumatera 


Utara sebesar 30,3%.KLB difteri terjadi jika suatu wilayah kab/kota dinyatakan KLB difteri jika ditemukan satu 


suspek difteri dengan konfirmasi laboratorium kultur positif atau jika ditemukan suspek difteri yang 


mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus kultur positif. 


Kebijakan dalam penanggulangan difteri antara lain:


1. Setiap KLB harus dilakukan penyelidikan dan penanggulangan sesegera mungkin untuk 


menghentikan penularan dan mencegah komplikasi dan kematian


2. Dilakukan tatalaksana kasus di rumah sakit dengan menerapkan prinsip kewaspadaan seperti 


menjaga kebersihan tangan, penempatan kasus di ruang tersendiri/isolasi, dan mengurangi 


kontak erat kasus dengan orang lain


3. Setiap suspek difteri dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan kultur


4. Setiap kontak erat diberi kemoprofilaksis, dan imunisasi pada saat penyelidikan epidemiologi


5. Pengambilan spesimen pada kontak erat dapat dilakukan jika diperlukan sesuai dengan kajian 


epidemiologi


6. Setiap suspek difteri dilakukan Outbreak Response Immunization (ORI) atau respon pemberian 


imunisasi pada KLB sesegera mungkin. Sebaiknya luas wilayah ORI dilakukan untuk satu (1) 


kabupaten/kota tetapi jika tidak memungkinkan karena sesuatu hal maka ORI minimal dilakukan 


satu (1) kecamatan dengan sasaran sesuai kajian epidemiologi dan interval ORI 0-1-6 bulan


7. ORI dilanjutkan sampai selesai walaupun status KLB difteri di suatu wilayah kabupaten/kota 


dinyatakan telah berakhir.4. Polio dan Acute Flaccid Paralysis (AFP)/Lumpuh Layu Akut


Polio merupakan penyakit yang sangat menular dan disebabkan oleh virus poliomyelitis. 


Penyakit ini menyerang sistem saraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan total hanya dalam hitungan 


jam. Virus ini terutama ditularkan dari orang ke orang melalui fekal-oral. Gejala awal yang terjadi 


adalah demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan pada leher, dan nyeri pada tungkai. Satu dari 


200 infeksi menyebabkan kelumpuhan permanen (biasanya di bagian tungkai). Diantara yang lumpuh, 


5-10% akan berakhir pada kematian karena kelumpuhan terjadi pada otot-otot pernapasan.


Pada bulan Mei 2012, sidang World Health Assembly (WHA) mendeklarasikan bahwa pencapaian 


eradikasi polio merupakan kedaruratan kesehatan masyarakat global dan menetapkan agar Direktur 


Jenderal WHO menyusun strategi eradikasi polio yang komprehensif. Dokumen Rencana Strategis 


2013-2018 dan Inisiatif Pencapaian Eradikasi Polio Global, telah disetujui oleh Badan Eksekutif WHO 


pada Januari 2013. Dalam rencana strategis tersebut dibutuhkan komitmen global bahwa setiap negara 


perlu melaksanakan strategis yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio, penggantian dari trivalent 


Oral Polio Vaccine (tOPV) menjadi bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV), introduksi Inactivated Polio 


Vaccine (IPV) dan penarikan seluruh vaksin polio oral (OPV), surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis), 


dan pengamanan virus polio di laboratorium (Laboratory Containment). Sebagai kelanjutannya, WHO 


juga telah menyusun Rencana Strategis 2019 – 2023 yang berisi 3 tujuan utama yaitu eradikasi, integrasi 


serta sertifikasi dan pengamanan virus polio.


Pada bulan November 2018, dilaporkan satu kasus polio akibat vaccine derived polio virus (VDPV) 


tipe 1 di Yahukimo, Papua. Penyelidikan yang dilakukan selanjutnya menemukan bahwa dua spesimen 


tinja dari anak sehat di sekitar kasus juga positif untuk jenis virus yang sama, yang membuktikan 


bahwa virus tersebut bersirkulasi. Sebagai respon, dilakukan sub PIN di Papua dan Papua Barat dengan 


menggunakan bOPV. KLB polio akibat VDPV bisa terjadi di mana saja bila cakupan imunisasi polio 


rendah selama bertahun-tahun. Untuk menghindari kasus serupa, imunisasi polio harus dijaga tetap 


tinggi (lebih dari 95% anak diimunisasi) dan merata, dan semua kasus lumpuh layu mendadak (acute 


flaccid paralysis/AFP) harus ditemukan secara dini dan dilaporkan.


Penemuan adanya transmisi virus polio dapat dilakukan melalui surveilans AFP, dimana semua 


kasus lumpuh layu akut pada anak usia <15 tahun (yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit 


polio) diamati. Surveilans AFP merupakan indikator sensitivitas deteksi virus polio. Surveilans AFP juga 


penting untuk dokumentasi mengenai tidak adanya virus polio sebagai syarat sertifikasi bebas polio. 


Indikator surveilans AFP adalah non-polio AFP rate, yaitu kasus lumpuh layu akut yang terjadi 


secara akut (mendadak), bukan disebabkan oleh ruda paksa yang diduga disebabkan oleh virus polio 


sampai dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium bukan kasus polio. Kementerian Kesehatan 


menetapkan target non-polio AFP rate sebesar minimal 2/100.000 populasi penduduk usia kurang 


dari 15 tahun. Namun, dikarenakan adanya KLB pada tahun 2022 sehingga target non-polio AFP rate


tahun 2023 dinaikkan menjadi minimal 3/100.000 populasi penduduk usia <15 tahun. Pada tahun 


2023, secara nasional non-polio AFP rate sebesar 6,18/100.000 populasi penduduk kurang dari 15 


tahun. Dapat diartikan bahwa secara nasional, Indonesia telah melebihi target yang ditetapkan. Hal 


ini menggambarkan kinerja surveilans AFP untuk menemukan kasus AFP sudah sangat baik sehingga 


diharapkan tidak ada kasus AFP yang belum terjaring. Angka capaian tahun 2023 ini mengalami 


peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2022 sebesar 3,05/100.000 populasi penduduk 


kurang dari 15 tahun.


Sejak tahun 2007 hingga 2023, secara umum target non-polio AFP rate sebesar 2 per 100.000 


penduduk berusia kurang dari 15 tahun telah tercapai, kecuali pada tahun 2016, 2020, dan 2021. Sejak 


tahun 2021 capaian non-polio AFP rate terus meningkat hingga mencapai angka tertinggi tahun 2023, 


yaitu 6,18 per 100.000 penduduk berusia kurang dari 15 tahun. Persentase spesimen adekuat sejak 


tahun 2007-2016 telah mencapai target sebesar 80%. Namun tahun-tahun berikutnya cenderung 


berada di bawah target kecuali pada tahun 2020. Performa surveilans AFP di Indonesia pada tahun 


2007-2023 dapat dilihat pada Gambar 6.35Pada tahun 2023 seluruh provinsi telah melaporkan kasus AFP, kecuali Papua Pegunungan. 


Dari 38 provinsi di Indonesia, hampir semua provinsi sudah mencapai standar minimal penemuan 


non-polio AFP rate sebesar ≥3 per 100.000 penduduk berusia kurang dari 15 tahun, kecuali 7 provinsi. 


Angka capaian tertinggi ada di Provinsi Maluku Utara, diikuti Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera 


Barat. Tujuh provinsi yang belum berhasil mencapai standar minimal yaitu Provinsi Riau, Kalimantan 


Tengah, Papua Barat Daya, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan. 


Capaian non-polio AFP rate yang paling rendah adalah Papua Selatan sebesar 0,6 per 100.000 


penduduk berusia < 15 tahun. Pemeriksaan spesimen tinja dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya virus polio pada 


kasus AFP yang ditemukan dalam kegiatan surveilans AFP. Semua kasus AFP seharusnya dilakukan 


pemeriksaan klinis dan investigasi virologi, dan setidaknya 80% kasus AFP harus memenuhi standar 


spesimen adekuat dengan persyaratan yaitu volume cukup 8-10 gr, spesimen kondisi baik (tidak bocor, 


suhu dingin 4-8˚C), dua spesimen didapatkan ≤14 hari setelah munculnya kelumpuhan dengan waktu 


pengambilan spesimen pertama dan kedua jeda waktu minimal 24 jam.Persentase spesimen adekuat di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 74% dari target sebesar 


80%, walaupun sudah sedikit meningkat dibandingkan dengan persentase spesimen adekuat pada 


tahun 2022 sebesar 73,7%. Selama 6 tahun terakhir pemeriksaan spesimen tinja dengan spesimen 


adekuat cenderung tidak mencapai target. Pada tahun 2023, dari 38 provinsi hanya terdapat 6 provinsi 


(15,8%) yang telah mencapai standar spesimen adekuat. Provinsi dengan persentase spesimen adekuat 


AFP yang tertinggi adalah Jawa Tengah sebesar 89,4%. Provinsi dengan persentase spesimen adekuat 


yang paling rendah adalah Papua Selatan sebesar 0%. Persentase spesimen adekuat AFP menurut 


provinsi tahun 2023 dapat dilihat pada Gambar 6.37Informasi lebih rinci mengenai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi menurut provinsi 


dan kelompok umur dapat dilihat pada Lampiran 68-70.


C. PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOSIS


1. Demam Berdarah Dengue (DBD)


Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh 


virus dan disebarkan oleh vektor. Virus yang menyebabkan penyakit ini adalah Dengue. Kasus DBD 


pertama di Indonesia dilaporkan di Surabaya pada tahun 1968. Sejak pertama kali ditemukan kasus ini 


terus menunjukkan peningkatan setiap tahun.


Vektor penular penyakit ini berasal dari jenis nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. 


Nyamuk Aedes menyukai genangan atau tempat penampungan air seperti selokan, vas atau pot 


tanaman, tempat minum hewan peliharaan, kolam renang, atau tempat sampah sebagai tempat 


perindukan. Karakteristik vektor penular menentukan persebaran dan waktu kejadian infeksi. 


Habitat nyamuk Aedes pada umumnya berada di wilayah dengan iklim tropis, curah hujan tinggi, 


serta suhu panas dan lembab. Karakteristik dan perilaku vektor tersebut dapat menjelaskan adanya 


kecenderungan peningkatan kasus DBD pada musim penghujan seiring dengan bermunculannya 


tempat perindukan. Selain mempengaruhi banyaknya kasus, karakteristik dan perilaku nyamuk Aedes


juga menjadi landasan upaya pengendalian penyakit DBD melalui intervensi lingkungan dan perilaku 


individu dan masyarakat. Upaya pengendalian tersebut di antaranya melalui kampanye 3M (Menguras, 


Menutup, dan Memanfaatkan) dan 3M plus (memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, menggunakan 


obat anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi, tidak menggantung pakaian di 


dalam kamar, menaburkan bubuk larvasida pada penampungan air).


a. Kesakitan dan Kematian Akibat DBD 


Diagnosa kasus DBD ditegakkan dengan anamnesis perjalanan penyakit, gejala klinis, 


pemeriksaan fisik termasuk tanda vital dan tanda perdarahan, serta pemeriksaan penunjang konfirmasi 


diagnosis. Pasien terduga DBD akan menjalani pemeriksaan laboratorium yang megindikasikan 


penurunan trombosit < 100.000/mm3 dan adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan 


hematokrit > 20%. 


Pada tahun 2023 terdapat 114.720 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 894 kasus. 


Kasus maupun kematian akibat DBD mengalami penurunan dibandingkan tahun 2022 yaitu sebesar 


143.266 kasus dan 1.237 kematian. 


Dalam pengendalian penyakit DBD, digunakan beberapa indikator untuk kegiatan 


pemantauan. Dua indikator utama yang digunakan adalah Incidence Rate per 100.000 penduduk 


dan Case Fatality Rate.


Incidence Rate DBD per 100.000 penduduk menunjukkan kecenderungan penurunan dari 52,1 


pada tahun 2022 menjadi 41,4 pada tahun 2023


Pada tahun 2023, sebanyak 35 provinsi atau 92% memiliki IR DBD >10 per 100.000 penduduk. 


Provinsi dengan IR DBD tertinggi yaitu Provinsi Papua Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Bali, 


Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara. Secara Nasional IR DBD Tahun 2023 sebesar 


41,4 per 100.000 penduduk, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan target nasional sebesar 


≤ 10 per 100.000 penduduk.


Kasus DBD yang terlambat mendapatkan perawatan dapat menyebabkan fatalitas seperti 


kematian. Proporsi kematian terhadap seluruh kasus DBD atau yang dikenal dengan Case Fatality Rate


(CFR) juga dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pengendalian DBDDalam kurun waktu tahun 2013-2020 CFR DBD di Indonesia menunjukkan kecenderungan 


penurunan. Peningkatan tertinggi pada tahun 2021 sebesar 0,96% dan mengalami penurunan pada 


tahun 2023 yaitu sebesar 0,78%. Peningkatan ini dapat menjadi evaluasi bagi perawatan pasien DBD 


baik dari sisi ketepatan waktu penanganan maupun kualitas pelayanan kesehatan.Secara nasional CFR DBD tahun 2023 mencapai 0,78%. CFR ini melebihi batas 0,7% yang telah 


ditetapkan pada target Strategi Nasional Penanggulangan Dengue. CFR pada tahun 2023 menurun 


dibandingkan periode sebelumya. CFR tinggi jika melampaui angka 1%. 


Terdapat 10 provinsi atau 26,3% provinsi memiliki CFR di atas 1%. Pertolongan segera untuk 


mencegah dan mengurangi keparahan dan komplikasi yang menyebabkan kematian diperlukan 


untuk menurunkan CFR. Diperlukan upaya tindak lanjut tatalaksana kasus yg adequat, edukasi dan 


informasi kepada masyarakat tentang bahaya Dengue untuk mencegah keterlambatan penanganan 


dan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan untuk dapat secara dini mengenali gejala dan tanda 


bahaya Dengue. Provinsi DKI Jakarta, Papua, Papua Selatan, Papua Pengunungan dan Papua Barat Daya 


tidak terdapat kasus kematian DBD (CFR=0).Penyebaran kasus DBD di Indonesia dapat dipantau melalui banyaknya kabupaten/kota 


dengan status terjangkit DBD. Pada tahun 2023 terdapat 478 (92,99%) kabupaten/kota yang 


terjangkit DBD di Indonesia. Penyebaran kasus DBD di Indonesia dapat dipantau melalui banyaknya kabupaten/kota 


dengan status terjangkit DBD. Pada tahun 2023 terdapat 478 (92,99%) kabupaten/kota yang 


terjangkit DBD di Indonesia. Sejak tahun 2013 sampai dengan 2023 jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD cenderung 


mengalami fluktuasi, walaupun sedikit penurunan terjadi pada tahun 2017 (434) dan 2018 (440). 


Berdasarkan Permenkes Nomor 13 Tahun 2022, salah satu indikator Rencana Strategis tahun 


2020-2024, yaitu persentase kabupaten/kota yang memiliki IR DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk. Dari 


514 kabupaten/kota di Indonesia, terdapat 111 kabupaten/kota (21,59%) yang mencapai IR DBD ≤ 


10 /100.000 penduduk. Data tersebut menunjukkan bahwa target program tahun 2023 sebesar 85% 


kabupaten/kota dengan IR DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk belum tercapai. 

Pada tahun 2023 terdapat 5 provinsi yang memenuhi target nasional persentase kabupaten/


kota yang memiliki IR DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk yaitu Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua 


Barat Daya, Maluku dan Papua Tengah.


c. Penyelidikan Epidemiologi (PE) pada Dengue


Penyelidikan Epidemiologi (PE) pada Dengue adalah upaya penyelidikan penularan penyakit 


Dengue yang meliputi kegiatan pencarian atau identifikasi kasus Dengue dan/atau kasus suspek infeksi 


Dengue lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular Dengue di tempat tinggal penderita dan 


rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum yang berada dalam radius sekurang￾kurangnya 100 meter. PE bertujuan untuk mengetahui potensi penularan dan penyebaran Dengue lebih 


lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat tinggal penderita 


atau fokus penularan. PE harus dilakukan dalam waktu 1 x 24 jam setelah adanya laporan kasus atau 


terduga Dengue

2. Chikungunya


Demam Chikungunya (demam chik) ini terutama dijumpai di daerah tropis/subtropis dan sering 


menimbulkan epidemi. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya demam chik yaitu rendahnya 


status kekebalan kelompok masyarakat dan kepadatan populasi nyamuk penular karena banyaknya 


tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim penghujan. Gejala utama demam 


chik adalah demam mendadak, nyeri pada persendian, terutama pada sendi lutut, pergelangan, jari 


kaki, tangan, tulang belakang, serta ruam pada kulit. Demam chik ini ditularkan oleh nyamuk Aedes 


albopictus dan Aedes aegypti yang juga merupakan nyamuk penular penyakit DBD. 


a. Kesakitan dan Kematian Akibat Chikungunya


Pada tahun 2023 ditemukan kasus demam Chikungunya sebanyak 6.049 kasus, lebih tinggi 


dibandingkan tahun 2022 sebanyak 2.974 kasus. Tidak ada kematian akibat Chikungunya di tahun 2023 


maupun tahun 2022. Terdapat 29 provinsi yang melaporkan data Chikungunya pada tahun 2023. Hal ini 


berbeda dengan tahun 2022 hanya lima provinsi yang melaporkan Chikungunya. Tiga provinsi dengan 


yang melaporkan kasus tertinggi yaitu Nusa Tenggara Barat sebanyak 1.552 kasus, Jawa Timur sebanyak 


1.254 kasus, Jawa Barat sebanyak 519 kasus. Pada tahun tersebut juga dilaporkan adanya Kejadian Luar 


Biasa (KLB) Chikungunya di Kota Pekanbaru di Provinsi Riau sebanyak 96 kasus, Kabupaten Jember 


48 kasus, Kabupaten Cirebon 14 kasus, Kabupaten Lampung Selatan 25 kasus, Kabupaten Magetan 


54 kasus, dan Bojonegoro 30 kasus. Jumlah kasus Chikungunya pada tahun 2012-2023 disajikan pada 


gambar berikut.


Faktor penyebab meningkatnya kasus chikungunya antara lain kondisi cuaca yang relatif lembab 


dengan curah hujan yang tinggi dan periode waktu hujan yang panjang, adanya imunitas pada daerah 


yang pernah terjangkit. Sampai dengan saat ini belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat 


chikungunya.


b. Penyelidikan Epidemiologi Pada Chikungunya


Penyelidikan epidemiologi (PE) bertujuan untuk mengetaui potensi dan penyebaran 


Chikungunya lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar 


tempat tinggal penderita. PE pada Chikungunya adalah kegiatan pencarian penderita atau terduga 


demam chikungunya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular di tempat tinggal penderita dan rumah/


bangunan sekitar, termasuk tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter. 


3. Pengendalian Faktor Risiko DBD dan Chikungunya


Pengendalian faktor risiko yang paling efektif adalah pengendalian vektor terpadu baik secara 


fisik, kimiawi dan biologi dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam melakukan Pengendalian 


Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus. PSN 3M Plus merupakan upaya pemberantasan sarang nyamuk secara 


terus menerus dan berkesinambungan melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J). 


Kegiatan PSN 3M meliputi menguras bak mandi atau bak penampungan air, menutup rapat￾rapat tempat penampungan air dan memanfaatkan Kembali atau mendaur ulang barang bekas yang 


berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan jentik nyamuk. 


Kegiatan Plus meliputi: mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat 


lainnya yang sejenis seminggu sekali, memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancer atau 


rusak, menutup lubang-lubang pada potongan bambu atau pohon, dan lainnya, menaburkan bubuk 


larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air, memelihara ikan 


pemakan jentik di kolam atau bak penampungan air, memasang kawat kasa, menghindari kebiasaan 


menggantung pakaian dalam kamar, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai, 


menggunakan kelambu, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, dan cara spesifik lainnya 


di masing-masing daerah.


Keberhasilan kegiatan PSN 3M Plus antara lain dapat diukur dengan angka bebas jentik (ABJ). 


Jika ABJ ≥ 95% diharapkan penularan DBD dan Chikungunya dapat dicegah atau dikurangi. Upaya 


pemberantasan vektor penyakit DBD dan Chikungunya hanya dapat berhasil apabila seluruh masyarakat 


berperan secara aktif dalam melakukan kegiatan PSN 3M Plus melalui gerakan 1 Rumah 1 Jumantik. 


4. Malaria


Terkait dengan pengendalian Malaria di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah menetapkan 


target program eliminasi malaria agar seluruh wilayah di Indonesia bebas dari malaria selambat￾lambatnya tahun 2030. Target ini sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 293/Menkes/


SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang “Eliminasi Malaria di Indonesia”.


Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mikroorganisme yang disebut 


Plasmodium. Plasmodium menginfeksi manusia melalui vektor penular nyamuk Anopheles. Bersama 


dengan HIV AIDS dan Tuberkolusis, pengendalian malaria menjadi bagian dari tujuan Sustainable 


Development Goals (SDGs) sebagai tujuan global yang harus dicapai sampai dengan tahun 2030. 


Pada tahun 2023, terdapat delapan provinsi yang seluruh kabupaten/kotanya ditetapkan 


sebagai wilayah bebas malaria, yaitu Riau, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa 


Timur, Banten, dan Bali. Selain itu, terdapat satu provinsi yang seluruh kabupaten/kotanya belum 


berstatus eliminasi malaria, yaitu Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua 


Barat. Namun demikian, terdapat beberapa kabupaten di Provinsi Papua tersebut yang memiliki status

endemis rendah. Dengan adanya intervensi yang efektif status tersebut bisa ditingkatkan menjadi 


bebas malaria.


Eliminasi malaria dapat diupayakan melalui peningkatan persentase konfirmasi sediaan darah 


dan persentase pengobatan standar. Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2023 


sebanyak 75,68% kabupaten/kota di Indonesa atau sebanyak 389 kabupaten/kota telah berstatus 


bebas malaria. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar kabupaten/kota berstatus eliminasi 


malaria tersebar di wilayah Indonesia bagian barat. Sebagian besar kabupaten/kota dengan status 


endemis tinggi terdapat Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya 


dan Papua Barat. Provinsi Nusa Tenggara Timur masih memiliki 2 kabupaten endemis tinggi (Sumba 


Timur dan Sumba Barat Daya) serta 1 kabupaten endemis tinggi di Provinsi Kalimantan Timur yaitu 


Kabupaten Penajam Paser Utara. 


Penentuan stratifikasi endemisitas di antaranya ditentukan berdasarkan nilai Annual Parasite 


Incidence (API) per 1000 penduduk (‰). Wilayah endemis rendah jika API <1 ‰, endemis sedang jika 


API sebesar 1-5 ‰, dan endemis tinggi jika API >5‰. Pada tahun 2023 terdapat 389 kabupaten/kota 


(76%) bebas malaria, 72 kabupaten/kota (14%) berstatus endemis rendah, 26 kabupaten/kota (5%) 


berstatus endemis sedang, dan 27 kabupaten/kota (5%) berstatus endemis tinggi. 


a. Angka Kesakitan Malaria


Morbiditas malaria dapat diketahui dengan menilai indikator Annual Parasite Incidence (API) 


per 1.000 penduduk. Indikator ini diperoleh dengan menghitung proporsi antara pasien positif malaria 


terhadap penduduk berisiko di wilayah tertentu. Indonesia berhasil menekan API menjadi kurang dari 1 


sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2020. Namun demikian, pada tahun 2023 API meningkat hingga 


1,5 per 1.000 penduduk. Pada tahun 2023 terjadi peningkatan peningkatan pemeriksaan kasus malaria 


yang cukup signifikan mencapai 3.464.738 (meningkat dibandingkan tahun sebelumnya) dengan kasus 


positif sebesar 418.546. Jumlah kasus positif mengalami penurunan dari tahun sebelumnya dengan 


kelengkapan laporan mencapai 95%.Dari 3.468.250 suspek malaria tahun 2023 yang dilaporkan, sebanyak 99,80% di antaranya 


telah terkonfirmasi laboratorium, 59,1% diperiksa secara mikroskopis dan 40,9% menggunakan


Rapid Diagnostic Test (RDT), dengan capaian Positivity Rate (PR) sebesar 12,1% dari angka PR yang 


ditargetkan <5%.


API pada tingkat nasional dan provinsi di tahun 2023 disajikan pada gambar berikut.Sebanyak 78% provinsi di Indonesia telah mampu menekan API malaria hingga kurang dari 1 


per 1.000 penduduk. Provinsi Papua merupakan provinsi dengan API malaria tertinggi. Hal ini sejalan 


dengan banyaknya kabupaten/kota di provinsi tersebut dengan status endemis tinggi. Tingginya API 


di Provinsi Papua sebesar 156,59 per 1.000 penduduk yang jauh lebih besar dibandingkan seluruh 


provinsi, hal ini dapat menggambarkan kontribusi yang signifikan terhadap API di tingkat nasional.Pengobatan malar