kulit Kusta
Kusta merupakan penyakit tropis yang terabaikan. Reaksi kusta dengan episode subakut akibat respons
imunologis terhadap antigen Mycobacterium leprae sering terjadi seiring perjalanan penyakit kusta yang
kronis. Penting untuk mengetahui berbagai faktor pemicu yang mungkin akan mencetuskan reaksi kusta karena
memberikan dampak yang bermakna terhadap kualitas hidup. Studi ini merupakan studi retrospektif analitik
dengan data yang diambil dari rekam medis seluruh pasien kusta baru dari tahun 2015–2020. Seluruh varian
data dianalisis dengan Pearson’s Chi Square dan Kruskal Wallis test. Analisis regresi logistik multivariat
digunakan untuk menghitung risiko reaksi kusta. Reaksi tipe 1 lebih sering terjadi pada kusta borderline
dengan indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) negatif. Reaksi tipe 2 umumnya terjadi pada kusta tipe
lepromatosa dengan IB ≥3 + (p=0,001) dan IM 1-5%. Pada analisis multivariat, hanya IB 3+ atau lebih yang
memiliki korelasi positif dengan kemunculan reaksi kusta. Klinisi perlu menggunakan klasifikasi Ridley dan
Jopling serta pemeriksaan IB dan IM untuk mengetahui risiko terjadinya reaksi kusta.Kusta merupakan penyakit tropis yang terabaikan
dan secara resmi berhasil dieliminasi di Indonesia sejak
tahun 2020.1
Ternyata, lebih dari 17.000 kasus baru masih
dilaporkan setiap tahun dengan kemungkinan 6,43%
dari jumlah tersebut mengalami kecacatan fisik tingkat
2.2
Temuan kasus baru menunjukkan adanya penularan
yang sedang berlangsung.3
Selain kecacatan fisik akibat
kusta, peradangan granulomatosa kronis akibat M. leprae
berimbas juga pada kerusakan saraf. Hal ini sangat
penting untuk diperhatikan, terutama pada kasus reaksi
kusta.3,4
Reaksi kusta merupakan respons imunologis
terhadap antigen M. leprae dengan manifestasi klinis
yang signifikan dengan kecacatan terkait. Reaksi kusta
dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi reaksi tipe 1
(T1R) atau tipe 2 (T2R).3,4 Terapi obat kombinasi (multi
drug therapy/MDT) dapat menyembuhkan kusta dan
mungkin mencegah kecacatan, meskipun dapat memicu
respons imunologis terutama bila diperburuk dengan
stres, kehamilan, infeksi penyerta, dan faktor lainnya.3
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko
yang terkait dengan perkembangan reaksi kusta pada
pasien yang datang ke rumah sakit tersier di wilayah
endemik kusta di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi analitik retrospektif
dengan data sekunder dari rekam medis. Kriteria
inklusi ialah semua pasien baru kusta multibasiler (MB)
berusia 20 tahun ke atas, belum diobati, dan terdaftar di
poliklinik Divisi Kusta RSUD dr. Soetomo pada periode
Januari 2015–Desember 2020. Kriteria eksklusi adalah
pasien kusta MB dengan pemeriksaan fisis tidak lengkap
atau hanya dirujuk untuk pemeriksaan penunjang. Data
analisis meliputi usia, jenis kelamin, indeks bakteri (IB),
indeks morfologi (IM), koinfeksi, riwayat penyakit,
dan status gizi berdasarkan indeks massa tubuh (IMT).
Diagnosis dibuat berdasarkan penilaian klinis dan
bakteriologik. Perhitungan IB dan IM mengacu pada
pedoman Ridley dan Jopling (RJ), sedangkan IMT
dihitung dengan membagi berat badan (kg) dengan
tinggi badan (m2
). Izin etik diperoleh dari Komite Etik
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia dengan nomor
referensi: 0459/LOE/301.4.2/V/2021.
Sebanyak 665 pasien yang berobat ke poliklinik
Divisi Kusta RSUD dr. Soetomo pada tahun 2015–2020
dan hanya 307 (46,2%) subjek yang diikutsertakan dalam
penelitian ini. Karakteristik demografi dan klinis subjek
tercantum dalam Tabel 1. Reaksi kusta lebih banyak
ditemukan pada pasien laki-laki (p=0,94), berusia 20-39
tahun (p=0,283), indeks massa tubuh normal (p=0,427),
dan tidak ada riwayat terapi obat kombinasi (p=0,001).
Sebagian besar pasien adalah kusta tipe MB tanpa
gejala reaksi kusta (58,31%). Pasien dengan reaksi kusta
terbagi menjadi 7,82% T1R dan 33,88% T2R. Demografi
pasien MB dengan T1R, yaitu berusia 20–39 tahun
(50%) dengan jenis kelamin laki-laki (79,16%), dan
berdomisili di Surabaya (54,16%). Karakteristik klinis
utama dari kelompok ini adalah memiliki tipe kusta BB
(62,5%), IB negatif (50%), IM negatif (62,5%), tanpa
riwayat MDT sebelumnya (62,5%), tidak ada penyakit
penyerta (1,66%), dan IMT pada rentang 18,5–22,9
(41,66%). Demografi pasien MB dengan T2R adalah
berusia 20–39 tahun (61,53%) dengan jenis kelamin lakilaki (68,26%), dan berdomisili di Surabaya (55,76%).
Karakteristik klinis utama dari kelompok ini yaitu kusta
tipe LL (55,76%), IB 3 + atau lebih (46,15%), IM 1-5%
(48,07%), tanpa riwayat MDT sebelumnya (33,65%)
atau telah RFT (31,73%), tidak ada penyakit penyerta
(72,11%), dan IMT pada rentang 18,5–22,9 (67,36%).
Terdapat perbedaan bermakna pada karakteristik
klinis antara kusta MB dengan atau tanpa reaksi ditemukan
pada tipe kusta, IB, IM, ada tidaknya infeksi oral ataupun
ISPA, serta riwayat pengobatan. Analisis multivariat
dilakukan pada keenam variabel ini untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya reaksi kusta dan dapat dilihat
pada Tabel 2. Analisis multivariat menunjukkan bahwa
tipe kusta BL atau LL, serta IB ≥3 + merupakan faktor
risiko reaksi kusta. Kemungkinan terjadinya reaksi
kusta dihitung dengan maximum likelihood estimation
(MLE). Penelitian ini melaporkan bahwa kemungkinan
reaksi kusta pada pasien dengan tipe BL sebesar 11%,
sedangkan IB 1-2 + sebesar 9% dan IB ≥3 + sebesar 72%.
Kemungkinan terjadinya kusta apabila didapatkan pasien
dengan tipe BL dan IB 1–2 + sebesar 1%, sedangkan tipe
BL dengan IB ≥3 + sebesar 24%.
Kusta sering diklasifikasikan berdasarkan kriteria
WHO untuk menentukan tata laksana dengan lebih mudah.5,6 WHO membuat klasifikasi kusta menjadi tipe
PB dan MB untuk mempermudah praktik di lapangan
karena klasifikasi tersebut sederhana dan berkaitan
dengan penentuan pemberian MDT. Klasifikasi Ridley
dan Jopling (RJ) adalah klasifikasi terstandar berdasarkan
manifestasi klinis, bakterioskopik, histopatologik, dan
imunologik. Penelitian Junior dkk. (2016)
mendapatkan
bahwa terdapat kesesuaian diagnosis antara klasifikasi
operasional WHO dan RJ yang cukup. Penelitian kami
menemukan bahwa klasifikasi RJ dapat memberikan
manfaat tambahan terlebih pada penentuan reaksi kusta
dibandingkan dengan klasifikasi WHO yang lebih
sederhana.
Reaksi tipe 1 lebih sering terjadi pada kusta tipe
borderline, yaitu BB (62,5%) dan BL (33,33%),
dibandingkan dengan kusta tipe LL (4,17%). Sementara
itu, reaksi tipe 2 lebih sering terjadi pada tipe LL (55,76
%) dan BL (41,34%), serta hanya sedikit pada tibe BB
(4,17%). Kriteria RJ mengombinasikan komponen
klinis, patologik, dan bakterioskoopik, sehingga dapat
menyebabkan berbagai variasi di antara para ahli.
Kesesuaian komponen klinis dan histopatologi klasifikasi
RJ bervariasi dari 46,9–62,9%.7,8
Indeks bakteri menggambarkan densitas basil
tahan asam, baik basil solid (hidup) maupun berbentuk
fragmentasi dan granuler (basil mati) yang berinteraksi
dengan kompleks imun.6 Pasien dengan spektrum BL
dan LL memiliki IB 2+ hingga 6+, namun umumnya
IB 3.9,10 Penelitian ini mendapatkan reaksi tipe 2 ratarata memiliki IB ≥3 + dan IM 1-5%. Analisis multivariat pada penelitian ini menemukan bahwa IB ≥3+ memiliki
72% kemungkinan untuk mengalami reaksi kusta.
Penemuan ini sejalan dengan hipotesis bahwa reaksi tipe
2 merupakan reaksi kompleks imun terhadap antigen
bakteri. Oleh karena itu, semakin tinggi fragmen bakteri
pada pasien BL dan LL, atau IB≥3 semakin banyak
pelepasan respons imun yang memicu reaksi tipe 2.1
Pemeriksaan sediaan kerokan jaringan kulit (slit skin
smear) menjadi sangat penting untuk mendapatkan basil
solid. Persentase basil solid pada sediaan ini dinyatakan
sebagai indeks morfologis (IM). Reaksi tipe 1 terjadi
akibat aktivasi imunitas seluler terhadap antigen M. leprae
pada kulit dan saraf. Reaksi ini biasanya didapatkan pada
kusta non polar atau tipe borderline.11 Penelitian kami
menemukan kemunculan reaksi tipe 1 yang umum terjadi
pada pasien dengan IM yang negatif. Di lain pihak,
reaksi tipe 2 berhubungan dengan angka fragmen basil
yang tinggi pada tubuh yang menginisiasi reaksi imun.
Persentase IM yang lebih rendah menggambarkan jumlah
basil utuh yang lebih rendah.10 Hal ini menunjukkan
bahwa rendahnya nilai IM menunjukkan peningkatan
jumlah kuman yang telah mati, dan basil yang hancur ini
dapat mencetuskan reaksi kompleks imun yang berperan
dalam patogenesis T2R. Dengan demikian, reaksi tipe 2
lebih sering ditemukan pada pasien dengan IM tinggi,
sesuai dengan yang ditemukan pada penelitian ini.
Penelitian ini menunjukan bahwa kemunculan
tipe reaksi tidak berhubungan dengan regimen MDT.
Kemungkinan ditemukan T1R pada saat diagnosis
berkisar antara 2,6% dan 6,4%. Kejadian ini dapat
meningkat pada masyarakat tertentu dengan kusta tipe
MB. Sebagai contoh, yaitu pada penduduk Zaire sebanyak
47,5% pasien kusta tipe MB mengalami T1R.11
Pada penelitian ini didapatkan reaksi tipe 1 yang
lebih banyak pada pasien kusta tanpa riwayat pengobatan
MDT dibandingkan dengan pasien kusta yang telah
mendapat pengobatan. Penelitian Nery dkk. (2013)13
menemukan bahwa patogenesis reaksi tipe 1 berkaitan
dengan peningkatan imunitas seluler terutama dalam
6 bulan pertama pengobatan MDT. Observasi dengan
jangka waktu yang lebih lama pada pasien kusta tipe MB
dapat memberikan gambaran peningkatan insidensi T1R,
meskipun tidak dapat dilihat pada penelitian ini.
Reaksi tipe 2 lebih sering muncul saat 2 atau 3 tahun
setelah pasien selesai mendapat MDT karena adanya
antigen M. leprae yang mengacu pada fenomena Arthus.
Penelitian ini mendukung hasil dari penelitian tersebut
dengan kelompok RFT sebagai kelompok dengan jumlah
reaksi ENL paling banyak setelah kelompok pasien yang
belum memiliki riwayat pengobatan sebelumnya.
Komorbid dan penyakit penyerta dapat
meningkatkan risiko terjadinya reaksi kusta. Koinfeksi
dapat menyebabkan pelepasan penanda inflamasi
sehingga merangsang sistem imun secara berlebihan.
Komorbid yang paling umum pada penelitian ini adalah
infeksi oral, termasuk periodontitis, karies, dan gangren
pulpa. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara
koinfeksi dan kejadian reaksi kusta. Usia, jenis kelamin,
dan IMT bukan faktor risiko reaksi kusta pada penelitian
ini, namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa
laki-laki pada usia produktif lebih cenderung mengalami
reaksi kusta.
Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu
penggunaan rekam medis yang tidak lengkap untuk
menemukan faktor pencetus reaksi kusta. Di samping
itu, klasifikasi dan diagnosis kusta tidak divalidasi oleh
dokter penanggung jawab pelayanan.
Tipe kusta, IB, IM, ada tidaknya infeksi oral ataupun
ISPA, serta riwayat pengobatan kemungkinan merupakan
faktor risiko reaksi kusta. Analisis multivariat dari kelima
faktor risiko menunjukkan bahwa hanya IB 3+ atau lebih
yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi
kusta dengan nilai MLE sebesar 72%. Penelitian ini
menunjukkan bahwa reaksi tipe 1 lebih sering ditemukan
pada tipe kusta BB dengan IB dan IM negatif, tanpa
penyakit penyerta ataupun riwayat pengobatan. Reaksi
tipe 2 lebih sering ditemukan pada pasien tipe LL dengan
IB 3+ atau lebih dan IM 1–5%. Riwayat koinfeksi pada
oral ataupun ISPA, dan riwayat pengobatan sebelumnya
dapat menjadi faktor risiko pada reaksi tipe 2. Usia, jenis
kelamin, dan IMT bukan faktor risiko reaksi kusta pada
studi ini.
kusta 8
Tingginya angka insidensi kusta pada orang-orang kontak serumah hampir sepuluh kali
dibanding mereka yang tidak kontak serumah. Pada mereka yang kontak serumah dengan
penderita penyakit kusta mempunyai resiko lebih tinggi tertular. Kontak sekali saja atau
beberapa kali kontak dengan penderita kusta, orang tersebut dapat saja tertular penyakit
tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keberadaan Mycobacterium leprae pada
hasil pewarnaan kontak serumah penderita kusta pasca menjalani pengobatan. Jenis
penelitian ini merupakan penelitian observasi laboratorium dengan pendekatan deskriptif
yakni melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya Mycobacterium
leprae pada hasil pewarnaan sediaan kontak serumah penderita Penyakit Kusta Pasca
Menjalani Pengobatan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar dengan jumlah sampel sebanyak 40
sampel.Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat puluh empat (40) sampel yang
diperiksa, tujuh (7) diantaranya positif BTA sedangkan tiga puluh tiga (33) yang lainnya
negatif BTA. Hasil pemeriksaan basil tahan asam pada deteksi dini Mycobacterium lepraepada kontak serumah penderita penyakit kusta dengan hasil negative yaitu 82,5 %, 1+
yaitu 15 %, dan 2+ yaitu 2,5 %, oleh karena itu perlunya peningkatan kegiatan penyuluhan
tentang kusta. Kontak fisik (Serumah) dengan penderita perlu diminimalkan. Hygiene
perorangan seperti menjaga kebersihan tempat tidur perlu ditingkatkan dan sanitasi rumah
perluh dipertimbangkan kebersihannya.
Penyakit kusta adalah penyakit kronik
yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang pertama
kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya depat menyerang kulit,
mukosa, saluran pernapasan bagian atas,
system retikulo endothelial, mata, otot,
tulang dan testis
Penyakit kusta masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia, menurut data Departemen
Kesehatan pada tahun 2018 terdapat
18.248 penderita kusta di Indonesia.
Penyakit ini adalah salah satu penyakit
menular yang timbulnya memerlukan
waktu yang lama dengan penyebab
kuman Mycobacterium leprae yang
menyerang kulit dan saraf. Penyakit ini
sendiri merupakan salah satu gambaran
nyata kemiskinan di masyarakat di
Indonesia, karena kenyataannya
sebagian besar penderita kusta berasal
dari golongan ekonomi lemah
Meskipun penyakit Kusta tidak
menyebabkan kematian, namun penyakit
ini termasuk penyakit paling ditakuti
oleh seluruh dunia. Penyakit ini sering
kali menyebabkan permasalahan yang
sangat kompleks bagi penderita kusta itu
sendiri, keluarga dan masyarakat. Cara
penularannya yang pasti belum diketahui
tetapi menurut sebagian besar ahli
melalui pernapasan (inhalasi) dan kontak
langsung yang lama dan erat
melaluikulit. Pemeriksaan
bakterioskopik merupakan salah satu
pemeriksaan yang digunakan untuk
membantu menegakkan diagnose dan
pengobatan terhadap Mycobacterium
leprae. Sediaan dibuat dari kerokan kulit
atau mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan Ziehl Neelsen.
Adanya hubungan yang
bermakna antara tingkat pengetahuan
sebagai salah satu bagian dari perilaku
dengan proses penularan dan
penyembuhan pada penderita kusta.
Orang yang memiliki pengetahuan yang
tinggi tentang penyakit kusta tentunya
akan berusaha menjauhkan dirinya dari
faktor-faktor yang dapat menjadi sumber
penularan penyakit ini
Tingginya angka insidensi kusta
pada orang-orang kontak serumah
hampir sepuluh kali dibanding mereka
yang tidak kontak serumah. Pada mereka
yang kontak serumah dengan penderita
penyakit kusta mempunyai resiko lebih
tinggi tertular. Seorang anak yang
tinggal serumah dengan orang tua yang
menderita penyakit kusta mempunyai
kesempatan yang lebih besar untuk
melakukan kontak dengan penderita
kusta. Kontak sekali saja atau beberapa
kali kontak dengan penderita kusta,
orang tersebut dapat saja tertular
penyakit tersebut.
Mycobacterium leprae sebagai
kuman penyebab penyakit ini
sebenarnya sangat lambat dalam
memperbanyak diri sehingga masa
inkubasi penyakit ini sekitar lima tahun.
Gejalanya dapat memakan waktu selama
20 tahun untuk muncul. Meskipun WHO
telah mencanangkan program eliminasi
kusta pada tahun 2000 dan melaporkan
118 dari 122 negara telah eliminasi,
namun kenyataannya jumlah penderita kusta masih tinggi dan masih banyak
temuan kasus baru yang dilaporkan
setiap tahunnya. Situasi ini bahkan lebih
serius jika mereka yang terkena dampak
adalah anak-anak
Indonesia telah mencapai target
eliminasi kusta pada tahun 2001, dengan
jumlah kasus tercatat pada akhir 2006
sebanyak 22.175 angka prevalensi ini
telah berhasil diturunkan dari 5,1 per
10.000 penduduk pada tahun 1991
menjadi 0.98 per 10.000 penduduk pada
tahun 2005 dan pada tahun 2018 menjadi
0.71 per 10.000 penduduk dengan total
18.248 kasus terdaftar. Penurunan angka
prevalensi kusta di Indonesia tidak
disertai penurunan jumlah kasus baru
terdeteksi (new case detection) yang
merupakan proxy angka insidensi kusta.
Fakta ini menunjukkan adanya indikasi
terus berlangsungnya transmisi kusta
pada setiap wilayah kusta dengan
kecepatan pertumbuhan yang sama.
Indikasi ini diperkuat dengan adanya
kesenjangan antara jumlah kasus kusta
tercatat yang menjadi proxy dari angka
prevalensi kusta dengan angka
prevalensi kusta berdasarkan survei.
Angka prevalensi hasil survei ditemukan
lebih tinggi dari angka kasus tercatat.
Hal ini mengindikasikan adanya kasus
yang tidak terdeteksi yang menjadi
sumber penularan di masyarakat
Desain, tempat, waktu
Desain penelitian ini merupakan
penelitian observasi laboratorium
dengan pendekatan deskriptif yakni
melakukan pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui adanya
Mycobacterium leprae pada hasil
pewarnaan sediaan kontak serumah
penderita Penyakit Kusta Pasca
Menjalani Pengobatan. Lokasi
pengambilan sampel dilakukan di
Kampung Kusta Jongaya Makassar dan
lokasi pemeriksaan sampel dilakukan di
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
Makassar. Penelitian ini dilakukan pada
tanggal 27 Mei sampai dengan 31 Mei
2019.
Bahan dan Alat
Populasi pada penelitian adalah
orang serumah yang melakukan kontak
dengan penderita penyakit kusta yang
telah menjalani pengobatan. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah orang serumah penderita penyakit
kusta yang telah
Besar sampel dalam penelitian ini yaitu
sebanyak 40 orang serumah penderita
penyakit kusta yang telah menjalani
pengobatan. Teknik penarikan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Purposive Sampling. Bahan yang
digunakan yaitu Reitz Serum dan
pewarna Ziehl Neelsen. Alat–alat yang
digunakan adalah obyek glass, kapas
alkohol 70%, skapel steril, mikroskop,
oil emersi, pipet steril dan lampu
spiritus.
Langkah-langkah Penelitian
Pelaksanaan penelitian meliputi
pengambilan Reitz Serum pada serumah
penderita penyakit kusta dan dilakukan
pewarnaan Ziehl Neelsen dan dilakukan
pembacaan menggunakan mikroskop.
Pengolahan dan Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini
dilakukan secara deskriptif dalam bentuk
tabel yang disertai dengan narasi.
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan di Laboratorium
mikrobiologi Balai Besar Kesehatan
Paru Masyarakat Makassar pada tanggal
27-31 Mei 2019 terhadap 40 sampel
pembacaan basil tahan asam pada kontak
serumah penderita penyakit kusta
dengan hasil penderita penyakit kusta
dengan hasil negative yaitu 82,5 %, 1+
yaitu 15 %, dan 2+ yaitu 2,5 %.Kusta adalah suatu penyakit
infeksi granulomatosa menahun yang
disebabkan oleh organisme intraseluler
obligat Mycobacterium leprae.
Awalnya, bakteri ini menyerang susunan
saraf tepi, lalu kulit, mukosa, saluran
nafas, sistem retikuloendotelial, mata,
otot, tulang, dan testis
Berdasarkan teori Blum, yaitu
diketahui bahwa terjadinya suatu
penyakit disebabkan oleh empat faktor
utama yaitu lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan, dan genetik.
Secara umum lingkungan dapat dibagi
menjadi lingkungan fisik, lingkungan
biologik, dan lingkungan sosial,
ekonomi, dan budaya. Rumah
merupakan bagian dari lingkungan fisik
yang dapat mempengaruhi kesehatan
individu dan masyarakat, sehingga
rumah yang ditempati harus memenuhi
syarat kesehatan.
Rumah yang tidak sehat dapat
meningkatkan resiko penghuninya
mengalami berbagai macam penyakit
(Wijaya, 2016). Berdasarkan Report of
the International Leprosy Association
Technical Forum dilaporkan adanya M.
leprae pada debu, air untuk mandi dan
mencuci di rumah penderita (Norlatifah,
2010). Hal ini sesuai penelitian yang
dilakukan oleh
bahwa kondisi fisik rumah seperti luas
ventilasi, intensitas pencahayaan,
kelembaban, kepadatan hunian dan
frekuensi mengganti alas tidur berisiko
terhadap kejadian kusta. Faktor lainnya
yaitu seperti jenis lantai yang tidak baik
dan personal hygiene yang buruk
Pada rumah yang tidak sehat dan
tidak memenuhi syarat kesehatan,
memiliki komponen fisik yang kurang
baik seperti lantai dan dinding tidak
kedap air, kurangnya jendela dan
ventilasi rumah (<10% luas lantai), serta
kurangnya cahaya yang masuk ke dalam
rumah mengakibatkan kelembaban yang
tinggi. Hal ini akan membawa pengaruh
buruk bagi penghuninya dan merupakan
media tumbuh bakteri kusta dan
mikroorganisme lainnya
Pemeriksaan mikroskopis
dilakukan untuk melihat keberadaan
basil M. lepra pada hasil insisi telinga
pasien lepra. Pewarnaan yang digunakan
adalah Pewarnaan Ziehl Neelsen karena
M. leprae memiliki dinding sel yang
mengandung banyak zat lipid (lemak)
sehingga bersifat permeabel dengan
pewarnaan biasa. Positif BTA ditandai
dengan ditemukannya basil M. leprae
yang berwarna merah pada pengamatan
mikroskopis. Warna merah yang muncul
merupakan reaksi antara carbol fuchsin
dengan sel M. leprae. Warna ini tidak
luntur setelah pencucian dengan asam
alkohol 3 % karena sel M. leprae
mengandung lapisan lilin dan lemak.
Penambahan metilen biru akan
memberikan warna biru pada latar
sehingga bakteri M. leprae mudah
diamati di bawah mikroskop
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan keempat puluh empat
(40) sampel yang diperiksa, tujuh (7)
diantaranya positif BTA sedangkan tiga
puluh tiga (33) yang lainnya negatif
BTA. Hasil pemeriksaan basil tahan
asam pada deteksi dini Mycobacterium
leprae pada kontak serumah penderita
penyakit kusta dengan hasil negative
yaitu 82,5 %, 1+ yaitu 15 %, dan 2+ yaitu
2,5 %.
Pada penelitian sebelumnya
menunjukkan variabel kontak fisik
(Serumah) menunjukkan bahwa
sebagian besar responden yaitu 43
responden atau sebesar 84,3% yang
berisiko tinggi tertular kusta melalui
kontak fisik. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 8 responden atau sebesar
15,7% adalah responden yang berisiko
rendah tertular kusta melalui kontak
fisik. Kontak fisik yang paling sering
dilakukan responden adalah kontak kulit
dan berbicara dengan penderita
Pada penelitian yang lain
menunjukkan bahwa M. leprae mampu
hidup beberapa waktu di lingkungan. M.
leprae juga dapat ditemukan pada debu
rumah penderita, air untuk mandi dan
mencuci yang dapat menjadi sumber
infeksi, akan tetapi hal ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut
Penelitian yang dilakukan oleh
Yohana dkk menunjukkan Ada
hubungan antara riwayat kontak dengan
kejadian kusta di Kecamatan Kenjeran,
Kecamatan Semampir dan Kecamatan
Tandes dengan nilai p value 0.003 <0.05.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara riwayat kontak dengan
kejadian kusta dengan nilai OR 5.278
(CI 95 % : 1.687-16.514). Responden
yang memiliki riwayat kontak dengan
penderita kusta berisiko terkena kusta
sebesar 5.278 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang
tidak memiliki riwayat kontak
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilaksanakan di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyrakat Makassar
pada tanggal 27-31 Mei 2019
menunjukkan bahwa keempat puluh
empat (40) sampel yang diperiksa, tujuh
(7) diantaranya positif BTA sedangkan
tiga puluh tiga (33) yang lainnya negatif
BTA. Hasil pemeriksaan basil tahan
asam pada deteksi dini Mycobacterium
leprae pada kontak serumah penderita
penyakit kusta dengan hasil negative
yaitu 82,5 %, 1+ yaitu 15 %, dan 2+ yaitu
2,5 %.