Kesehatan mata merupakan aspek vital yang sering terabaikan dalam
masyarakat pedesaan. Artikel ini membahas
program bakti sosial yang diselenggarakan di Desa Citeko, Puncak Bogor, dengan fokus pada pemeriksaan mata gratis
untuk warga desa. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mata, mendeteksi
masalah penglihatan sejak dini, dan memberikan solusi yang tepat melalui donasi kacamata dan rujukan medis. Kegiatan
ini melibatkan kerjasama antara tenaga medis profesional, relawan, dan pemerintah setempat. Hasil dari program ini
menunjukkan bahwa sejumlah besar warga desa mengalami berbagai masalah penglihatan yang dapat ditangani dengan
pemeriksaan rutin dan intervensi yang tepat. Kesimpulannya, bakti sosial ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup
warga Desa Citeko tetapi juga menekankan pentingnya program serupa di daerah pedesaan lainnya untuk menjaga
kesehatan mata masyarakat secara menyeluruh.
Kesehatan mata merupakan komponen krusial dalam kualitas hidup seseorang, namun seringkali
terabaikan, terutama di komunitas pedesaan. Desa Citeko, yang terletak di kawasan Puncak Bogor,
tidak terkecuali dari fenomena ini. Masyarakat desa ini, seperti banyak komunitas pedesaan lainnya,
menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses layanan kesehatan mata yang
memadai.(Haryandi et al., 2024) Kurangnya kesadaran akan pentingnya pemeriksaan mata rutin
dan terbatasnya fasilitas kesehatan membuat masalah kesehatan mata sering kali tidak terdeteksi
dan tidak tertangani dengan baik.
Sebagai respons terhadap kebutuhan ini, program bakti sosial dengan fokus pada pemeriksaan mata
gratis di Desa Citeko dilaksanakan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan mata, mendeteksi secara dini berbagai masalah
penglihatan, dan menyediakan solusi yang tepat melalui donasi kacamata dan rujukan medis.
Kegiatan ini melibatkan kerjasama antara tenaga medis profesional, relawan, dan pemerintah
setempat, yang bersama-sama bekerja untuk memberikan layanan kesehatan mata yang
komprehensif kepada masyarakat desa.(Prasetya et al., 2023)
Program pemeriksaan mata ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kesehatan mata penduduk
Desa Citeko, tetapi juga memperkuat kesadaran tentang pentingnya kesehatan mata di kalangan
masyarakat pedesaan. Melalui upaya kolaboratif ini, diharapkan dapat ditemukan solusi jangka
panjang yang berkelanjutan untuk menjaga kesehatan mata, serta mencegah dan mengatasi masalah
penglihatan yang dapat menghambat produktivitas dan kualitas hidup masyarakat. Pendahuluan ini
akan menggambarkan latar belakang, tujuan, dan metode pelaksanaan program bakti sosial ini, serta
menyoroti pentingnya intervensi kesehatan mata di daerah pedesaan seperti Desa Citeko.
Melalui pendahuluan ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai latar belakang, tujuan, dan metode
pelaksanaan program bakti sosial di Desa Citeko. Program ini tidak hanya berfungsi sebagai
intervensi jangka pendek untuk mengatasi masalah kesehatan mata yang ada, tetapi juga sebagai
langkah awal menuju peningkatan kualitas hidup masyarakat desa secara keseluruhan. Dengan
pendekatan yang holistik dan kolaboratif, program ini bertujuan untuk menciptakan perubahan
positif yang berkelanjutan dalam kesehatan mata di komunitas pedesaan.
Hasil Pemeriksaan Mata
Program bakti sosial pemeriksaan mata di Desa Citeko, Puncak Bogor, berhasil menjangkau
sejumlah besar warga desa. Dari data yang terkumpul, terdapat sekitar 110 warga yang
mengikuti pemeriksaan mata gratis selama tiga hari kegiatan berlangsung. Hasil pemeriksaan
menunjukkan bahwa sebagian besar peserta mengalami masalah penglihatan yang memerlukan
perhatian lebih lanjut. Beberapa masalah yang umum ditemui antara lain rabun dekat, rabun
jauh, astigmatisme dan presbyopia.(Abdu et al., 2021) Dan mendapatkan kacamata gratis 89
warga.
Tindak Lanjut dan Intervensi
Setelah pemeriksaan mata, peserta yang memerlukan kacamata langsung diberikan kacamata
secara gratis sesuai dengan ukuran hasil refraksi. Selain itu, peserta yang memerlukan
perawatan lebih lanjut direferensikan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan
perawatan lanjutan. Proses tindak lanjut ini dilakukan dengan kerjasama antara tim medis,
relawan, dan pemerintah setempat. Beberapa peserta yang memerlukan perawatan lanjutan
telah diberikan rujukan ke rumah sakit atau klinik mata terdekat.
Dampak dan Manfaat
Program bakti sosial ini memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat Desa Citeko.
Beberapa manfaat yang dapat diamati antara lain:
Peningkatan Kesadaran: Kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mata meningkat di
kalangan masyarakat desa.
Aksesibilitas Layanan: Warga desa mendapatkan akses mudah dan gratis terhadap pemeriksaan
mata, kacamata, dan perawatan medis.
Peningkatan Kualitas Hidup: Warga yang menderita masalah penglihatan mendapatkan solusi
yang tepat, sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka.
Penguatan Kemitraan: Kerjasama antara pihak terkait seperti tenaga medis, relawan, dan
pemerintah desa menjadi lebih solid dan berkelanjutan.
Evaluasi Program
Evaluasi program dilakukan secara menyeluruh setelah kegiatan berakhir. Data hasil
pemeriksaan dan tindak lanjut peserta direkapitulasi dan dianalisis untuk mengevaluasi
efektivitas program. Selain itu, dilakukan juga survei kepuasan peserta untuk mendapatkan
masukan dan saran perbaikan ke depannya. Hasil evaluasi ini akan menjadi dasar untuk
perencanaan program bakti sosial kesehatan mata di masa mendatang.
Pembahasan
Program bakti sosial pemeriksaan mata di Desa Citeko telah membawa manfaat yang nyata
bagi masyarakat. Pada saat dilakukan refraksi yang mendapatkan kacamata 89 dengan kelainan
refraksi myopia 2 (2,25%), astigmat 19 (21,35%), myopia astigmat 2 (2,25%) dan presbyopia
66 (74,16%). Namun, tantangan-tantangan masih ada, seperti perluasan jangkauan program ke
desa-desa lain, pemeliharaan layanan yang berkelanjutan, dan pengelolaan sumber daya yang
efisien. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara pihak terkait,
pengembangan strategi pendanaan yang berkelanjutan, serta upaya-upaya untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam program-program kesehatan mata di masa mendatang.Program bakti sosial pemeriksaan mata di Desa Citeko, Puncak Bogor, telah memberikan
kontribusi yang signifikan dalam menjaga kesehatan mata masyarakat. Melalui pemeriksaan gratis
dan pemberian kacamata, program ini berhasil meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan
mata, mendeteksi masalah penglihatan sejak dini, dan memberikan solusi yang tepat kepada warga
desa yang memerlukan. Hasilnya, kualitas hidup masyarakat Desa Citeko meningkat, dan
kerjasama antara pihak terkait pun menjadi lebih solid.
mata2
Latar Belakang: Penyakit mata kering (dry eye
disease/DED) merupakan salah satu penyakit mata
tersering di dunia. Di negara kita , seiring dengan
kemajuan teknologi informatika, DED menjadi masalah
kesehatan yang serius. Pasien umumnya datang dengan
keluhan yang bervariasi, seperti fotofobia, mata lelah,
gatal, terasa panas atau terbakar, iritasi, dan gangguan
penglihatan. Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah
memberikan ulasan mengenai klasifikasi, diagnosis,
dan tatalaksana mata kering saat ini.
Metode: Sumber pustaka diperoleh dari database
Pubmed, Proquest, dan Google Scholar. Artikel-artikel
yang relevan yang dipublikasi dalam rentang waktu
tahun 2015 sampai 2021 dikumpulkan dan dianalisis
berdasar hasil dari penelitian sebelumnya.
Hasil: berdasar laporan Asia Dry Eye Society (ADES)
di tahun 2020, DED diklasifikasikan menjadi tiga tipe,Penyakit mata kering (dry eye disease/DED)
merupakan salah satu penyakit mata yang
sering ditemui dalam praktik sehari-hari.
Pasien umumnya memiliki keluhan yang
bervariasi, seperti fotofobia, mata lelah,
gatal, terasa panas atau terbakar, iritasi,
dan gangguan penglihatan. Keluhankeluhan ini dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari dan menurunkan kualitas
hidup seseorang karena sifatnya yang
kronis dan membutuhkan terapi jangka
panjang. Tidak jarang pasien dengan
penyakit mata kering juga disertai dengan
gejala depresi dan gangguan mood.1
DED merupakan penyakit
multifaktorial yang berhubungan
dengan ketidakstabilan lapisan air
mata, hiperosmolaritas, inflamasi, dan
abnormalitas neurosensori.2
Pada tahun
2017, Asia Dry Eye Society (ADES)
menekankan ketidakstabilan lapisan air
mata sebagai etiologi utama dari DED dan
pada tahun 2020 mengklasifikasikan DED
menjadi tiga, yaitu defisiensi aqueous,
peningkatan evaporasi, dan penurunan
keterbasahan kornea, dan konjungtiva.3,4
Studi epidemiologi menunjukkan
bahwa prevalensi DED dengan atau
tanpa gejala mata kering berkisar antara
5-50%. Prevalensi DED di negara-negara
Asia Tenggara menunjukkan angka yang
cukup tinggi, yaitu sebesar 20-52,4%
dibandingkan dengan negara-negara di
Eropa (Spanyol 18,4%, Inggris 20%) dan
Amerika (14,5%).
Sebagian besar studi
menunjukkan bahwa prevalensi DED
pada perempuan 1,33-1,74 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan laki-laki dan
meningkat seiring dengan usia (puncaknya
pada usia 40-50 tahun).5,6
Seiring dengan
kemajuan teknologi informatika, DED
menjadi masalah kesehatan yang serius.
Penggunaan komputer atau gadget
akan berdampak pada turunnya refleks
berkedip yang kemudian menyebabkan
peningkatan evaporasi pada mata
Selain usia tua, jenis kelamin perempuan,
dan ras Asia, beberapa faktor risiko
DED lainnya adalah disfungsi kelenjar
Meibom, sindrom Sjogren, defisiensi
hormon androgen, terapi hormon
estrogen, penyakit jaringan ikat, pengguna
komputer dan lensa kontak, lingkungan
(angin, polusi, humiditas rendah), serta
obat-obatan (antihistamin, antidepresan,
ansiolitik, dan isotretinoin).
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas
mengenai klasifikasi, diagnosis, dan
tatalaksana mata kering yang diharapkan
dapat memudahkan klinisi dalam
menegakkan diagnosis dan pemberian
terapi.
Metode penulisan yang digunakan adalah
tinjauan pustaka. Sumber kepustakaan
diperoleh dari database Pubmed, Proquest,
dan Google Scholar dengan menggunakan
kata kunci “dry eye”, “tear”, “fluorescein
breakup pattern”, “tear film-oriented
diagnosis”, dan “tear film-oriented therapy”.
Literatur yang dipilih adalah literatur
yang dipublikasikan tahun 2015 sampai
2021, yang relevan dengan penyakit mata
kering, dan sesuai dengan kata kunci.
Literatur yang dipublikasikan di luar
rentang waktu yang telah disebutkan tidak
dimasukkan ke dalam tinjauan pustaka.
Literatur-literatur yang dipilih kemudian
dikumpulkan dan dianalisis berdasar
hasil dari penelitian sebelumnya lalu
disusun menjadi satu kajian literatur
ilmiah.
HASIL
Definisi dan klasifikasi
Dry eye disease (DED) atau penyakit
mata kering didefinisikan sebagai
penyakit multifaktorial yang ditandai
dengan hilangnya homeostasis air
mata, dan disertai oleh gejala di mata,
di mana ketidakstabilan lapisan air
mata, hiperosmolaritas, inflamasi, dan
abnormalitas neurosensori memiliki
peran penting. Tear Film and Ocular
Surface Society Dry Eye Workshop II
(TFOS DEWS II) mengklasifikasikan
DED menjadi dua tipe, yaitu aqueous
deficient dry eye (ADDE) dan evaporative
dry eye (EDE).2
ADDE merupakan kondisi
yang berkaitan dengan kegagalan fungsi
kelenjar lakrimal untuk menghasilkan
komponen aqueous yang adekuat sehingga
terjadi kerusakan permukaan mata
(kornea dan konjungtiva). Penyakit mata
kering tipe ini sering ditemui pada pasien
dengan sindrom Sjogren, graft versus
host disease (GVHD), ocular cicatricial
pemphigoid (OCP) dan sindrom StevenJohnson. Sementara itu, EDE berkaitan
dengan peningkatan evaporasi air mata
yang sering terjadi pada disfungsi kelenjar
Meibom/Meibom gland dysfunction
(MGD), blink-related (contoh pada
lagoftalmos atau pengguna gadget), dan
pengguna lensa kontak.
Pada tahun 2017, Asia Dry Eye Society
(ADES) mendefinisikan DED sebagai
penyakit multifaktorial yang ditandai
dengan ketidakstabilan lapisan air mata
yang menyebabkan serangkaian gejala
dan/atau gangguan penglihatan, yang
berpotensi menyebabkan kerusakan
permukaan mata. Berbeda dari TFOS
DEWS II yang menekankan homeostasis
air mata, ADES 2017 menekankan
ketidakstabilan air mata sebagai
mekanisme inti dari gejala mata kering
dan/atau gangguan penglihatan.3
Menindaklanjuti konsensus pada
tahun 2017, pada tahun 2020 ADES
mengklasifikasikan DED menjadi tiga
sesuai dengan letak lapisan air mata
yang mengalami kelainan, yaitu DED
akibat defisiensi aqueous, peningkatan
evaporasi, dan penurunan keterbasahan
permukaan mata. Tiap komponen
air mata (lipid, aqueous atau secretory
mucin, dan membrane-associated mucin)
memengaruhi kestabilan lapisan air mata.
Abnormalitas pada komponen lipid akan
meningkatkan evaporasi yang kemudian
menyebabkan ketidakstabilan lapisan air
mata. Defisiensi aqueous, yang merupakan
bentuk klasik dari mata kering, seperti
yang terdapat pada sindrom Sjogren, juga
menyebabkan ketidakstabilan lapisan air
mata. Defisiensi membrane-associated
mucin menurunkan keterbasahan kornea
dan konjungtiva yang kemudian juga
dapat menyebabkan ketidakstabilan
lapisan air mata.
Diagnosis
Penegakkan diagnosis diperlukan untuk
membedakan antara DED, infeksi, dan
alergi yang mana ketiganya memiliki gejala
klinis yang serupa, tetapi penatalaksanaan
yang berbeda. Anamnesis lengkap yang
meliputi onset, keluhan, faktor risiko
(pekerjaan, lingkungan), riwayat penyakit
sistemik (Grave’s disease, Sjogren syndrome,
diabetes mellitus, penyakit vaskular
kolagen), dan riwayat pengobatan harus
ditanyakan.
Pendekatan gejala mata
kering dapat dinilai dengan menggunakan kuesioner Ocular Surface Disease Index
(OSDI), McMonnies Questionnaire,
Women’s Health Study Questionnaire,
atau Dry Eye-Related QoL score (DEQ).
Alat ukur ini telah diuji validitas dan
reliabilitasnya untuk skrining DED.8
Setelah anamnesis, pemeriksaan
oftalmologi yang umumnya dilakukan
antara lain tear film break up time
(TBUT), tes Schirmer, pewarnaan korneakonjungtiva, pemeriksaan margo palpebra
dan orifisium kelenjar Meibom.1,4
Pemeriksaan TBUT menggambarkan
kestabilan lapisan air mata, dilakukan
dengan menggunakan zat pewarna
fluoresein 1%. Jumlah zat fluoresein
yang ditetes sekitar 1-2 L, pemberian
dapat menggunakan pipet atau kertas
strip fluoresein. Setelah itu, pasien
diminta untuk mengedipkan mata
sebanyak tiga kali untuk memastikan
zat warna bercampur dengan air mata
secara adekuat. Waktu interval yang
dibutuhkan antara kedipan terakhir
sampai munculnya bercak gelap pada
kornea diukur menggunakan stopwatch.
Waktu kurang dari 10 detik menunjukkan
bahwa pasien memiliki mata kering.9
Pemeriksaan sekresi air mata dapat dinilai
dengan tes Schirmer I (tanpa anestesi) dan
tear film meniscus height (meniscometry).
Tes Schirmer I yang kurang dari 5 mm
dalam 5 menit dan tear film meniscus
height < 0,25 mm menggambarkan
penurunan sekresi air mata yang ditemui
pada penyakit mata kering tipe ADDE.1,4
Pemeriksaan palpebra dan margo
palpebra meliputi penilaian adanya
entropion, ektropion, lagoftalmos, paralisis
N.VII, obstruksi orifisium kelenjar
Meibom. Frekuensi berkedip juga perlu
diperhatikan karena berkedip merupakan
mekanisme mata untuk mendistribusikan
air mata ke seluruh permukaan mata
sehingga jika terjadi penurunan frekuensi
berkedip, yang sering terjadi pada saat
membaca atau menggunakan komputer,
akan terjadi peningkatan evaporasi air
mata yang berujung pada penyakit mata
kering tipe EDE.
Pewarnaan kornea dan konjungtiva
dilakukan dengan slit lamp biomicroscopy.
Jenis pewarnaan yang umum dipakai
adalah fluorescein, lissamine green, dan
rose bengal. Salah satu terobosan tentang
pendekatan diagnosis DED dilaporkan
oleh Yokoi et al. yang menyebutkan bahwa
fluorescein breakup pattern (FBUP) dapat
menentukan klasifikasi DED.10 Tear film
breakup dapat timbul akibat peningkatan
evaporasi, penurunan volume aqueous
air mata, dan penurunan keterbasahan
permukaan kornea. Detail gambaran
tear film breakup pada tiap tipe DED
dapat dilihat pada Gambar 1. Jika DED
disebabkan oleh defisiensi aqueous, maka
pola yang dominan muncul adalah line
atau area break. Jika DED disebabkan
peningkatan evaporasi, pola yang muncul
adalah random break. Sementara itu, DED
akibat penurunan keterbasahan akan
memberikan gambaran pola berupa spot
atau dimple break.
4,10
berdasar konsensus ADES
2017, diagnosis mata kering dapat
ditegakkan dengan gejala klinis
(menggunakan kuesioner) yang disertai
dengan ketidakstabilan lapisan air mata (menggunakan pemeriksaan TBUT).
Pada skema (Gambar 2) yang ditampilkan
di laporan ADES tahun 2020, dijabarkan
jenis-jenis pemeriksaan yang dilakukan
berdasar dari klasifikasi DED. DED
tipe defisiensi aqueous dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan Schirmer I atau
meniscometry. Pada DED tipe defisiensi
lipid, karena erat kaitannya dengan
disfungsi kelenjar Meibom, pemeriksaan
manual kelopak mata dapat membantu
diagnosis. Selain itu, lipid layer inferometry,
walau jarang digunakan, dapat digunakan
untuk mengevaluasi penurunan ketebalan
lapisan lipid pada pasien DED
Tatalaksana
ADES telah mengusung klasifikasi
DED berdasar lapisan air mata yang
mengalami kelainan. Klasifikasi ini
kemudian menjadi dasar penting untuk
konsep penatalaksanaan DED yang
kemudian disebut dengan Tear Film
Oriented Therapy (TFOT) (Gambar 3).
Jika DED disebabkan oleh defisiensi
mucin, pasien sebaiknya diberikan mucin
secretatogue seperti tetes mata diquafosol
atau rebamipide.3,4,11 Diquafosol
merupakan P2Y2 reseptor agonis yang
berfungsi meningkatkan sekresi aqueous
dan mucin, sedangkan rebamipide
merupakan derivat quinolinone yang
berfungsi meningkatkan komponen
mucin pada lapisan air mata. Pada
beberapa penelitian, diquafosol dan
rebamipide terbukti dapat meningkatkan
TBUT dan memperbaiki staining kornea
dan konjungtiva.4,11–14
Jika lapisan aqueous yang mengalami
kelainan, seperti pada sindrom Sjogren
maupun non-Sjogren, maka terapi
berfokus pada peningkatan volume
air mata dengan pemberian artificial
tears, asam hyaluronat, diquafosol, atau
oklusi puncta. Artificial tears dan asam
hyaluronat merupakan terapi inisial yang
umum dipilih, namun keduanya memiliki
durasi yang singkat pada permukaan
mata, yaitu sekitar 3-5 menit. Diquafosol
memiliki efikasi yang lebih baik
dibandingkan dengan artificial tears dan
asam hyaluronat sehingga saat ini menjadi
terapi pilihan pertama.13-16 Oklusi puncta
tidak hanya meningkatkan komponen
aqueous, tetapi juga komponen lipid dan
mucin. Kombinasi oklusi puncta dengan
diquafosol memberikan perbaikan jangka
panjang pada ADDE berat,
Pemberian anti-inflamasi dipercaya
dapat meningkatkan stabilitas lapisan
air mata. Tetes mata siklosporin A
merupakan imunosupresan yang
berfungsi menurunkan aktivasi sel T
melalui IL-2. Pemberian siklosporin A
0,05% sebanyak 2 kali per hari dapat
memperbaiki keratopati, meningkatkan
hasil tes Schirmer dan mengurangi
keluhan subjektif pasien. Lifitegrast juga
merupakan modalitas baru yang sudah
melalui fase 3 uji klinis. Obat ini berfungsi
menghambat interaksi antara ICAM-1 dan
LFA-1 yang berpengaruh pada aktivasi dan
migrasi sel T. Pemberian kortikosteroid
topikal seperti fluorometholone selama
2-4 minggu terbukti mengurangi keluhan
subjektif pasien DED dan memperbaiki
staining kornea.
Jika kelainan ada pada lapisan lipid,
seperti yang sering ditemukan pada
disfungsi kelenjar Meibom, maka
tatalaksana mengacu pada algoritma
terapi disfungsi kelenjar Meibom, yaitu
kompres hangat, lid hygiene, artificial
tears, antibiotik sistemik/topikal
(golongan tetrasiklin atau makrolid), dan
suplementasi asam lemak omega-3 (yang
terdapat pada minyak ikan).
DED diklasifikasikan menjadi tiga
tipe berdasar lapisan air mata yang
mengalami kelainan, yaitu defisiensi
aqueous, peningkatan evaporasi, dan
penurunan keterbasahan kornea, dan
konjungtiva. Pendekatan diagnosis tipe
DED dapat dilakukan dengan melihat
fluorescein breakup pattern (FBUP) di
mana pada defisiensi aqueous pola yang
dominan adalah line atau area break, pada
peningkatan evaporasi akan menunjukkan
pola random break, dan pada penurunan
keterbasahan akan menunjukkan pola spot
atau dimple break.
Ketiga klasifikasi ini kemudian yang
menjadi dasar penting untuk konsep
penatalaksanaan DED yang disebut
dengan Tear Film Oriented Therapy
(TFOT). Jika DED disebabkan oleh
defisiensi mucin, pasien sebaiknya
diberikan mucin secretatogue seperti tetes
mata diquafosol atau rebamipide. Jika
lapisan aqueous yang mengalami kelainan,
seperti pada sindroma Sjogren maupun
non-Sjogren, maka terapi berfokus
pada peningkatan volume air mata
dengan pemberian artificial tears, asam
hyaluronat, diquafosol, atau oklusi puncta.
Jika kelainan ada pada lapisan lipid, seperti
yang sering ditemukan pada disfungsi
kelenjar Meibom, maka tatalaksana
mengacu pada algoritma terapi disfungsi
kelenjar Meibom, yaitu kompres hangat,
lid hygiene, artificial tears, antibiotik
sistemik/topikal, dan suplementasi asam lemak omega-3.