Tampilkan postingan dengan label Kedokteran ilmu bedah 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kedokteran ilmu bedah 1. Tampilkan semua postingan

Kedokteran ilmu bedah 1




dilakukan berdasar evidence base medicine yang diperoleh dari studi pustaka pada beberapa 

jurnal, percobaan klinik dan guideline yang telah disusun oleh pusat layanan bedah saraf lain 

serta pendapat para ahli. Buku Pedoman ini memuat panduan praktek klinis kasus – kasus 

bedah saraf terutama yang sering dijumpai dalam praktek klinis sehari – hari. 

Rekomendasi pada buku pedoman ini yaitu   suatu acuan tindakan atau penggunaan 

alat diagnostik maupun terapeutik yang dapat dilakukan untuk penatalaksanaan suatu 

penyakit saraf. Penentuan rekomendasi berdasar GRADE System (Grading of 

Recommendations, Assessment, Development and Evaluation) yang memiliki dua 

komponen: 

a. Dua-level yang menggambarkan kekuatan rekomendasi : kuat dan kondisional 

(lemah) 

b. Empat-level atau tiga level yang menggambarkan derajat kualitas dari bukti 

pendukung (tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah atau tinggi, sedang dan 

rendah-sangat rendah) 

Kekuatan rekomendasi (Strength of Recommendation), terdiri dari dua: 

a. Rekomendasi kuat (nomor 1) 

yaitu   harus dilakukan (atau tidak dilakukan), dimana keuntungan jelas lebih tinggi 

dibandingkan dengan resikonya untuk hampir semua pasien. 

b. Lemah/ rekomendasi kondisional (nomor 2) 

yaitu   jika keuntungan dan resiko hampir seimbang atau lebih tidak menentu. 

Tingkat pembuktian (Quality of Evidence): 

Penilaian tingkat pembuktian mencerminkan keyakinan dalam perkiraan manfaat, 

bahaya, dan beban. Diimplementasikan dengan empat level tingkat pembuktian, 

atau dengan tiga level tingkat pembuktian,  dengan   penggabungan kategori  

"rendah" dan "sangat rendah". Tiga tingkat pembuktian  menggunakan huruf. Huruf  

A untuk bukti kualitas tinggi, B untuk tingkat pembuktian sedang, dan huruf C untuk 

tingkat pembuktian rendah / sangat rendah. (Clinical practice guidelines : Paul Shekelle et al, 

2015) 

Tingkat pembuktian kualitas tinggi (high quality) berasal dari penelitian randomized 

controlled trial yang baik atau bukti – bukti kuat yang lain (seperti penelitian 

observasional yang baik dengan efek yang luas).  Tingkat pembuktian kualitas sedang 

(moderate-quality) diperoleh dari penelitian randomized dengan beberapa limitasi, 

 

atau dari penelitian dengan desain studi yang lain yang memiliki level kekuatan 

khusus. Tingkat pembuktian rendah (low-quality) berasal dari penelitian 

observasional atau penelitian controlled trials dengan limitasi yang sangat terbatas. 

Tingkat pembuktian sangat rendah (very low-quality) diperoleh dari penelitian 

observasional non sistemik, alasan biologis, atau penelitian observasional dengan 

limitasi yang sangat terbatas. 

 

Proses penentuan kekuatan rekomendasi dilakukan dalam sebuah diskusi panel yang 

melibatkan para pakar spesialis bedah saraf. Komponen yang dipertimbangkan dalam 

menentukan rekomendasi antara lain: 

1. Clinical evidence (termasuk konsensus) 

2. Pandangan pasien 

3. Pertimbangan sudut pandang ekonomi kesehatan (health economics) 

Tiga komponen ini akan menghasilkan penilaian klinis (clinical judgement) yang menjadi 

dasar dalam menentukan rekomendasi.   

 

 

 

 

 

 

 

Alur proses diskusi panel dapat dilihat dalam bagan di bawah ini: 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jadi, secara garis besar, penetapan rekomendasi berdasar Grade System harus 

melalui lima langkah berikut ini: 

 

Langkah pertama yaitu   menentukan prioritas rangking dari penelitian tersebut. Penelitian 

randomized controlled trial memiliki rangking prioritas tinggi, sedangkan penelitian 

observasional memiliki rangking prioritas rendah.  

Langkah kedua yaitu   melakukan upgrading atau downgrading dengan mengevaluasi 

penelitian tersebut. Penelitian RCT bisa di-downgrade jika didapatkan resiko bias, tidak 

konsisten, tidak langsung, tidak presisi, dan bias publikasi. Sedangkan penelitian 

observasional bisa di-upgrading bila memiliki efek konsisten yang besar, respon dosis yang 

tinggi, dan faktor perancu yang hanya menurunkan ukuran dari efek. 

Langkah ketiga yaitu   mengevaluasi untuk tahapan pengelompokan grading dalam 

kelompok High, Moderate, Low, atau Very Low. 

Langkah keempat yaitu   mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi 

rekomendasi antara lain keseimbangan antara efek yang diinginkan dan efek yang tidak 

diinginkan, pembiayaan yang efektif, dan kecenderungan pasien terhadap berbagai pilihan 

yang tersedia. Pertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kekuatan 

 

rekomendasi jika diterapkan. Tingkat pembuktian  yang kuat (high quality) tidak selalu serta 

merta menjadi rekomendasi yang kuat. Rekomendasi harus mempertimbangkan faktor lain 

disamping kualitas tingkat pembuktian.  

Langkah kelima yaitu   langkah terakhir untuk memutuskan rekomendasi. Hasilnya dapat 

berupa rekomendasi kuat untuk dilakukan atau kuat untuk tidak dilakukan (angka 1) atau 

rekomendasi lemah/kondisional untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan (angka 2). 

Tabel dibawah yaitu   kriteria berdasarkan GRADE System 

 

 

 

 

 

Derajat 

Rekomendasi 

Kejelasan 

Risiko/Keuntungan 

Bukti pendukung berkualitas Implikasi 

1A 

Rekomendasi kuat 

Bukti berkualitas 

tinggi 

Manfaat jelas lebih 

besar daripada risiko 

dan beban, atau 

sebaliknya 

Bukti yang konsisten  dari 

randomized controlled trials atau 

bukti dari beberapa jenis penelitian 

yang lain. Penelitian lebih lanjut 

tidak mungkin untuk mengubah 

hasil kami tentang manfaat dan 

risiko. 

Rekomendasi kuat, dapat 

diaplikasikan untuk 

sebagian besar pasien  

1B 

Rekomendasi kuat 

Bukti berkualitas 

sedang 

Manfaat jelas lebih 

besar daripada risiko 

dan beban, atau 

sebaliknya 

Bukti dari randomized controlled 

trials  dengan keterbatasan (hasil 

yang tidak konsisten, kelemahan 

metodologis, tidak langsung atau 

tidak tepat), atau bukti yang sangat 

kuat dari beberapa penelitian. 

Penelitian lebih lanjut (jika 

dilakukan) cenderung memiliki 

dampak pada  hasil tentang 

manfaat dan risiko , dan dapat 

berubah. 

Rekomendasi kuat,  

biasanya bisa 

diaplikasikan untuk 

sebagian besar pasien  

1C 

Rekomendasi kuat 

Bukti berkualitas 

rendah 

Manfaat tampak lebih 

besar daripada risiko 

dan beban, atau 

sebaliknya 

Bukti dari studi observasional, 

pengalaman klinis tidak sistematis, 

atau acak, percobaan terkontrol 

dengan kekelemahan. Setiap 

perkiraan efek tidak pasti. 

Rekomendasi relatif kuat.  

Masih bisa berubah 

ketika bukti kualitas yang 

lebih tinggi tersedia 

10 

 

 

Derajat Rekomendasi Kejelasan 

Risiko/Keuntungan 

Bukti pendukung berkualitas Implikasi 

2A 

Rekomendasi  lemah 

Bukti berkualitas tinggi 

Manfaat  sama  dengan 

risiko dan beban 

Bukti yang konsisten  dari 

randomized controlled trials atau 

bukti dari beberapa jenis penelitian 

yang lain. Penelitian lebih lanjut 

tidak mungkin untuk mengubah 

hasil kami tentang manfaat dan 

risiko. 

Rekomendasi  lemah, 

tindakan terbaik 

mungkin berbeda 

tergantung pada 

keadaan atau pasien 

atau nilai-nilai sosial 

2B 

Rekomendasi  lemah 

Bukti berkualitas 

sedang 

Manfaat  sama  dengan 

risiko dan beban, beberapa  

masih belum pasti antara  

manfaat, risiko dan beban 

Bukti dari randomized controlled 

trials  dengan keterbatasan (hasil 

yang tidak konsisten, kelemahan 

metodologis, tidak langsung atau 

tidak tepat), atau bukti yang sangat 

kuat dari beberapa penelitian. 

Penelitian lebih lanjut (jika 

dilakukan) cenderung memiliki 

dampak pada  hasil tentang manfaat 

dan risiko , dan dapat berubah. 

Rekomendasi  lemah, 

pendekatan lain 

mungkin lebih baik 

untuk beberapa pasien 

dalam kondisi tertentu 

2C 

Rekomendasi  lemah 

Bukti berkualitas 

rendah 

Masih belum bisa 

diperkirakan antara 

manfaat, risiko dan beban. 

Mungkin manfaat sama  

dengan risiki dan beban 

Bukti dari studi observasional, 

pengalaman klinis tidak sistematis, 

atau acak, percobaan terkontrol 

dengan kekelemahan. Setiap 

perkiraan efek tidak pasti. 

Rekomendasi  sangat 

lemah.  Alternatif lain 

sama 

 

Sistematika penyusunan buku pedoman ini dibuat agar mudah untuk difahami dan 

dilaksanakan untuk proses diagnostik dan terapeutik oleh dokter umum, peserta didik 

spesialis bedah saraf dan spesialis saraf, dokter spesialis bedah saraf dan dokter spesialis 

saraf.  

Pedoman ini secara berkala akan dilakukan evaluasi dan penelitian pendukung 

lanjutan, sehingga didapatkan gradasi rekomendasi dengan tingkat pembuktian yang lebih 

tinggi dan dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan, pendidikan dan penelitian 

serta langkah pemilihan diagnostik dan terapeutik yang lebih baik. 

  

11 

 

PNPK Divisi Neurotrauma 

 

1. Cedera Otak Ringan   ICD 10: S06.0 

2. Cedera Otak Sedang/Berat  ICD 10: S06.9 

3. Fraktur Basis Cranii   ICD 10: S02.1 

4. Fraktur Calvaria    ICD 10: S02.0 

5. Traumatic Intracerebral Hematoma ICD 10: S06.3 

6. Diffuse Axonal Injury   ICD 10: S06.2 

7. Epidural Hematoma   ICD 10: S06.4 

8. Traumatic Subarachnoid Hemorrhage ICD 10: S06.6 

9. Traumatic Subdural Hematoma  ICD 10: S06.5 

10. Trauma tembus otak   ICD 10: S01.9 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

12 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Cedera Otak Ringan 

ICD-10 : S06.0 

1. Pengertian (Definisi) Cedera Otak Ringan yaitu   cedera otak yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesadaran 

yang diukur dengan menggunakan skala GCS (Glasgow Coma Scale) 13-15 yang diukur 30 

menit setelah trauma (1,2,5) 

2. Anamnesis Identitas pasien: Nama, Umur, JenisKelamin, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat  

– Keluhan utama  

– Mekanisma trauma  

– Waktu dan perjalanan trauma  

– Pernah pingsan atau sadar setelah trauma  

– Amnesia retrograde atau antegrade  

– Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo  

– Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala  

– Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan 

diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah  

3. PemeriksaanFisik Primary Survey 

Pemeriksaan  Evaluasi  Perhatikan, catat, dan 

perbaiki  

A. Airway  Patensi saluran napas ?  

Suara tambahan ?  

Obstruksi ?  

B. Breathing  Apakah oksigenasi  

ĨĞkƚiĨ͙. ͍  

Rate dan depth  

Gerakan dada  

Air entry  

Sianosis  

C. Circulation  Apakah perfusi  

AĚĞkuaƚ ͙..͍  

Pulse rate dan volume  

Warna kulit  

Capilarry return  

Perdarahan  

Tekanan darah  

D. Disability  

( status neurologis )  

Apakah ada kecacatan 

ŶĞurŽlŽŐis ͙͍  

Tingkat kesadaran- 

menggunakan sistem GCS 

atau AVPU.  

Pupil (besar, bentuk, reflek 

cahaya, bandingkan kanan-

kiri)  

E. Exposure  

(buka seluruh pakaian)  

ĞĚĞra ŽrŐaŶ laiŶ͙ ͍  Jejas, deformitas, dan 

gerakan ekstremitas. Evaluasi 

respon terhadap perintah 

atau rangsang nyeri  

 

Secondary Survey 

Pemeriksaan Status Generalis 

Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan khusus 

untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:  

– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,  

– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)  

 

Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak yaitu  :  

13 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

1. Pemeriksaan kepala  

Mencari tanda :  

a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus 

dan benda asing.  

b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma), 

ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di 

membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.  

c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan 

fraktur mandibula  

d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata 

depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.  

 

e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan 

dengan diseksi karotis  

 

2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.  

Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada 

medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan 

autonomik. 

 

Pemeriksaan Status Neurologis 

Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :  

a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera kepala 

berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan cedera otak ringan 

GCS 13 – 15 

 

b. Saraf kranial, terutama:  

Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil 

bandingkan kanan-kiri  

Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.  

 

c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal 

detachment.  

 

d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda 

lateralisasi.  

 

 Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek tendon, 

reflek patologis dan tonus spingter ani. 

4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan imaging  

5. DiagnosisKerja Cedera Otak Ringan (Concussion) S06.0 

6. Diagnosis Banding - Intoksikasi alkohol 

- Stroke 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan Rekomendasi 

Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

14 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

1 CT scan 

CT Scan direkomendasikan pada pasien 

dengan COR. CT Scan dipilih untuk evaluasi di 

UGD. Pada beberapa literatur disebutkan 

didapatkan kelainan CT Scan pada 5% pasien 

dengan GCS 15 dan 30% pada pasien dengan 

GCS 13. Insiden kelainan CT Scan yang 

membutuhkan tindakan bedah 1%.  

CT Scan dikerjakan pada pasien COR dengan 

salah satu kelainan berikut: 

- GCS <15 2 jam setelah cedera 

- curiga fraktur tulang kepala terbuka atau 

impresi 

- tanda FBC: hemotimpanum, racoon eyes, 

Battle’s sign, atau kebocoran LCS 

- dua atau lebih episode muntah 

- usia 65 tahun atau lebih 

- lupa ingatan sebelum kejadian 30 menit 

atau lebih 

- mekanisme terjadinya cedera 

1B 2,4,9,10 

2 MRI 

MRI lebih sensitif untuk menunjukkan area 

kecil kontusional atau perdarahan kecil, 

cedera aksonal, dan perdarahan kecil ekstra 

aksial. Pada pasien COR, didapatkan 

sebanyak 15% kelainan MRI yang pada CT 

Scan-nya normal. 

1B      4,8 

CT-Scan Whole 

Body 

Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus 

multitrauma untuk mengurangi waktu 

diagnosis, dapat digunakan pada pasien 

dengan hemodinamik tidak stabil 

2A 13 

 

 

8. Terapi  

 

No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) 

Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

15 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

1 Operasi 

bila didapatkan lesi intrakranial yang indikasi 

untuk dilakukan operasi (perdarahan 

epidural, perdarahan subdural, perdarahan 

intraserebral) 

1B 3,7,12 

2 Konservatif 

pasien dirawat di RS pada pasien dengan: 

- GCS <15 

- CT Scan abnormal: perdarahan intrakranial, 

edema serebri 

- kejang 

- kelaianan parameter perdarahan dengan 

penyebab yang melatar belakangi seperti 

pemakaian antikoagulasi oral. 

 

- Head Up 30o (2B) 

- Berikan cairan secukupnya (normal 

saline) untuk resusitasi korban agar tetap 

normovolemia, atasi hipotensi yang 

terjadi dan berikan transfuse darah jika 

Hb kurang dari 10 gr/dl. (1B) 

- Periksa tanda vital, adanya cedera 

sistemik di bagian anggota tubuh lain, 

GCS dan pemeriksaan batang otak secara 

periodik. 

- Berikan obat-obatan analgetik (misal: 

acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri 

ringan dan sedang) bila didapatkan 

keluhan nyeri pada penderita (2B) 

- Berikan obat-obatan anti muntah (misal: 

metoclopramide atau ondansentron) dan 

anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: 

ranitidin atau omeprazole) jika penderita 

muntah (2B) 

- Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), 

bila tampak edema atau cedera yang 

tidak operable pada CT Scan. Manitol 

dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 

g/kg. BB pada keadaan tertentu, atau 

1B    3,7,12 

16 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 

cc manitol 20% dalam 24 jam. 

Penghentian secara gradual. (1B) 

- Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada 

pasien dengan resiko tinggi kejang 

dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg 

kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah 

terjadi kejang, PHT diberikan sebagai 

terapi. (1B) 

 

 

9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

 

10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 

Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 

Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 

Prognosis dipengaruhi: 

- Usia 

- Status Neurologis awal 

- Jarak antara trauma dan tindakan bedah 

- Edema cerebri 

- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan hematom 

epidural 

- Faktor ekstrakranial 

11. Penelaah kritis 1. Prof. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr., Sp.BS 

2. Dr. Agus Turchan, dr., Sp.BS 

3. Dr. M. Arifin Parenrengi, dr., Sp.BS 

4. Dr. Joni Wahyuhadi, dr., Sp.BS 

5. Dr. Eko Agus Subagyo, dr., Sp.BS 

6. Dr. Asra Al Fauzi, dr., Sp.BS 

7. Wihasto Suyaningtyas, dr., Sp.BS 

8. Rahadian Indarto, dr., Sp.BS 

9. Muhammad Faris, dr., Sp.BS 

10. Achmad Fahmi, dr., Sp.BS 

11. Nur Setiawan Suroto, dr., Sp.BS 

12. Irwan Barlian Immadoel Haq, dr, Sp.BS 

13. Tedy Apriawan, dr., Sp.BS 

14. Heri Subianto, dr., Sp.BS 

12. Indikator Medis Perbaikan status neurologis. 

13. Kepustakaan 1. Practice parameter: the management of concussion in sports (summary statement). 

ZĞƉŽrƚ ŽĨ ƚŚĞ YualiƚLJ ^ƚaŶĚarĚs ^ubĐŽmmiƚƚĞĞ. EĞurŽlŽŐLJ ϭϵϵϳʡ ϰϴ͗ϱϴϭ 

2. Stein SC, Ross SE. The value of computed tomographic scans in patients with lowrisk 

ŚĞaĚ iŶũuriĞs.EĞurŽsurŐĞrLJ ϭϵϵϬʡ Ϯϲ͗ϲϯϴ 

3. Servadei F, Teasdale G, Merry G, Neurotraumatology Committee of the World 

Federation of Neurosurgical Societies. Defining acute mild head injury in adults: a 

proposal based on prognostic factors, diagnosis, and management. J Neurotrauma 

ϮϬϬϭʡ ϭϴ͗ϲϱϳ 

4. Uchino Y, Okimura Y, Tanaka M, et al. Computed tomography and magnetic resonance 

17 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

imaging of mild head injury is it appropriate to classify patients with Glasgow Coma 

Scale score of 13 to 15 as "mild injury"? Acta NĞurŽĐŚir ;WiĞŶͿ ϮϬϬϭʡ ϭϰϯ͗ϭϬϯϭ 

5. Culotta VP, Sementilli ME, Gerold K, Watts CC. Clinicopathological heterogeneity in the 

ĐlassiĨiĐaƚiŽŶ ŽĨ milĚ ŚĞaĚ iŶũurLJ. EĞurŽsurŐĞrLJ ϭϵϵϲʡ ϯϴ͗Ϯϰϱ 

6. Dacey RG Jr, Alves WM, Rimel RW, et al. Neurosurgical complications after apparently 

miŶŽr ŚĞaĚ iŶũurLJ. AssĞssmĞŶƚ ŽĨ risk iŶ a sĞriĞs ŽĨ ϲϭϬ ƉaƚiĞŶƚs. : EĞurŽsurŐ ϭϵϴϲʡ 

65:203. 

7. The management of minor closed head injury in children. Committee on Quality 

Improvement, American Academy of Pediatrics. Commission on Clinical Policies and 

ZĞsĞarĐŚ͕ AmĞriĐaŶ AĐaĚĞmLJ ŽĨ &amilLJ WŚLJsiĐiaŶs. WĞĚiaƚriĐs ϭϵϵϵʡ ϭϬϰ͗ϭϰϬϳ 

8. Hughes DG, Jackson A, Mason DL, et al. Abnormalities on magnetic resonance imaging 

seen acutely following mild traumatic brain injury: correlation with neuropsychological 

tests aŶĚ ĚĞlaLJĞĚ rĞĐŽǀĞrLJ. EĞurŽraĚiŽlŽŐLJ ϮϬϬϰʡ ϰϲ͗ϱϱϬ. 

9. Borg J, Holm L, Cassidy JD, et al. Diagnostic procedures in mild traumatic brain injury: 

results of the WHO Collaborating Centre Task Force on Mild Traumatic Brain Injury. J 

ZĞŚabil DĞĚ ϮϬϬϰʡ ͗ϲϭ. 

10. Atzema C, Mower WR, Hoffman JR, et al. Defining "therapeutically inconsequential" 

head computed tomographic findings in patients with blunt head trauma. Ann Emerg 

DĞĚ ϮϬϬϰʡ ϰϰ͗ϰϳ. 

11. Nishijima DK, Offerman SR, Ballard DW, et al. Immediate and delayed traumatic 

intracranial hemorrhage in patients with head trauma and preinjury warfarin or 

ĐlŽƉiĚŽŐrĞl usĞ. AŶŶ mĞrŐ DĞĚ ϮϬϭϮʡ ϱϵ͗ϰϲϬ. 

12. Menditto VG, Lucci M, Polonara S, et al. Management of minor head injury in patients 

receiving oral anticoagulant therapy: a prospective study of a 24 hour observation 

ƉrŽƚŽĐŽl. AŶŶ mĞrŐ DĞĚ ϮϬϭϮʡ ϱϵ͗ϰϱϭ. 

13. Jiang L, Ma Y, Jiang S, Ye L, Zheng Z, Xu Y, et al. Comparison of whole-body computed 

tomography vs selective radiological imaging on outcomes in major trauma patients: a 

meta analysis. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine 

2014, 22:54. 

 

 

 

                                                                                                                                         Jogjakarta, April 2016 

                               Ketua Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia  

 

 

 

     Dr. dr. Endro Basuki, SpBS (K)., M.Kes 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

18 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Cedera Otak Tidak Spesifik 

(Cedera Otak Sedang & Cedera Otak Berat) 

ICD-10 :S06.9 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Cedera Otak Tidak Spesifik (Cedera Otak Sedang dan Cedera Otak Berat) yaitu   cedera otak 

yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesadaran yang diukur dengan menggunakan skala 

GCS (glasgow Coma Scale), GCS 9-12 untuk Cedera Otak Sedang, dan GCS <8 untuk Cedera 

Otak Berat. (1,2,3,4) 

2. Anamnesis – Identitas pasien: Nama, Umur, Jenis kelamin, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat  

– Keluhan utama  

– Mekanisma trauma  

– Waktu dan perjalanan trauma  

– Pernah pingsan atau sadar setelah trauma  

– Amnesia retrograde atau antegrade  

– Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo  

– Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala  

– Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan 

diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah  

3. PemeriksaanFisik Primary Survey (1,2,3,4,9) 

Pemeriksaan  Evaluasi  Perhatikan, catat, dan 

perbaiki  

A. Airway  Patensi saluran napas ?  

Suara tambahan ?  

Obstruksi ?  

B. Breathing  Apakah oksigenasi  

ĨĞkƚiĨ͙. ͍  

Rate dan depth  

Gerakan dada  

Air entry  

Sianosis  

C. Circulation  Apakah perfusi  

AĚĞkuaƚ ͙..͍  

Pulse rate dan volume  

Warna kulit  

Capilarry return  

Perdarahan  

Tekanan darah  

D. Disability  

( status neurologis )  

Apakah ada kecacatan 

ŶĞurŽlŽŐis ͙͍  

Tingkat kesadaran- 

menggunakan sistem GCS 

atau AVPU.  

Pupil (besar, bentuk, reflek 

cahaya, bandingkan kanan-

kiri)  

E. Exposure  

(buka seluruh pakaian)  

ĞĚĞra ŽrŐaŶ laiŶ͙ ͍  Jejas, deformitas, dan 

gerakan ekstremitas. Evaluasi 

respon terhadap perintah 

atau rangsang nyeri  

 

Secondary Survey 

Pemeriksaan Status Generalis 

Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan khusus 

untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:  

– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,  

– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)  

19 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak yaitu  :  

1. Pemeriksaan kepala  

Mencari tanda :  

a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus 

dan benda asing.  

b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma), 

ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di 

membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.  

c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan 

fraktur mandibula  

d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata 

depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.  

e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan 

dengan diseksi karotis  

 

2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.  

Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada 

medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan 

autonomik. 

 

Pemeriksaan Status Neurologis 

Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :  

a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).  

Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan: GCS 

14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)  

GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS)  

GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)  

b. Saraf kranial, terutama:  

Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil 

 bandingkan kanan-kiri  

Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.  

c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal 

detachment.  

d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda 

lateralisasi.  

Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek tendon, 

reflek patologis dan tonus spingter ani. 

4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan imaging  

Dari Pemeriksaan fisik, penilaian GCS dapat digunakan untuk mengklasifikasikan jenis cedera 

otak berdasarkan tingkat keparahanya. GCS dengan jumlah total nilai 13 – 15 dapat 

dikategorikan sebagai Cedera Otak Ringan (COR), GCS dengan jumlah 9 – 12 dikategorikan 

sebagai CederaOtak Sedang (COS), dan GCS dengan total nilai kurang dari sama dengan 8 

dekategorikan sebagai Cedera Otak Berat (COB) 

Untuk Cedera Otak Sedang dan Cedera Otak Berat, menurut ICD 10 dapat dikelompokkan 

menjadi Cedera Kepala Tidak Spesifik. 

Pada pasien dengan COS & COB, setelah dilakukan pemeriksaan fisik, pemasangan selang 

infus dan pengambilan sampel darah untuk laboratorium dan kemungkian persiapan operasi, 

dapat dilakukan diagnostik berupa foto Rontgen dan CT-Scan 

5. Diagnosis Kerja Cedera Otak Tidak Spesifik (Cedera Otak Sedang & Cedera Otak Berat) 

ICD-10 :S06.9 

20 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

6. Diagnosis Banding - Intoksikasi alkohol 

- Stroke 

- AVM 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grade 

Rekom

endasi 

Ref 

1 X-Foto Servikal 

X-Foto Servikal dikerjakan pada pasien COS 

atau COB untuk menyingkirkan adanya 

kemungkinan cedera servikal. Sensitivitas x-

foto servikal 70%-80% 

1C 

14,15,1

2 X-Foto Thorak 

X-Foto Thorak dilakukan pada pasien trauma 

yang tidak membutuhkan CT Scan. X-Foto 

dikerjakan berdasarkan mekanisme cedera 

dan temuan klinis. X-Foto thorak dikerjakan 

pada pasien trauma tembus dada, punggung, 

atau perut yang tidak membutuhkan CT Scan 

1C 17,18 

3 CT scan 

CT Scan yaitu   modalitas yang dipilih pada 

fase akut pada trauma kepala dan sebaiknya 

dikerjakan secepatnya. CT Scan kepala 

direkomendasikan dikerjakan pada semua 

pasien cedera otak dengan GCS 14 atau 

kurang. CT Scan evaluasi dapat dikerjakan 

bila didapatkan deteriorisasi neurologis. 

1B 

19,20,2

1,22,23 

CT-Scan Whole 

Body 

Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus 

multitrauma untuk mengurangi waktu 

diagnosis, dapat digunakan pada pasien 

dengan hemodinamik tidak stabil 

2A 36 

 

 

8. Terapi  

 

No Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grade 

Rekom

endasi 

Ref 

Operasi 

(ICD 9 CM: 

01.24) 

indikasi untuk tindakan bedah segera pada 

COS atau COB berdasarkan status neurologis, 

biasanya GCS dan temuan CT Scan yang 

sesuai kriteria seperti volume perdarahan 

1C 

24,25,2

21 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

yang besar atau ketebalan dan bukti adanya 

efek massa termasuk midline shift. 

-    tindakan bedah direkomendasikan untuk 

evakuasi EDH dengan volume >30ml 

berapapun GCS pasien. Juga pada EDH 

akut dengan GCS <8 dengan pupil 

anisokor 

-    tindakan bedah direkomendasikan untuk 

SDH akut dengan tebal >10mm atau MLS 

>5mm berapapun GCS pasien. Tindakan 

bedah juga direkomendasikan pada 

pasien dengan GCS <8 atau GCS turun 2 

poin dibandingkan saat pasien datang, 

dan atau pasien dengan pupil asimetris 

dan dilatasi, dan atau TIK >20mmHg. 

-    indikasi tindakan bedah pada ICH belum 

terlalu jelas. Beberapa sumber 

menyebutkan evakuasi ICH pada volume 

>50ml, atau GCS 6-8 pada pasien dgn ICH 

di temporal atau frontal volume >20ml 

dengan MLS >5mm dan atau kompresi 

sisterna pada CT Scan 

- Pemasangan ICP Monitor dilakukan pada 

pasien COB (GCS 3-8 setelah proses 

resusitasi) dengan CT-Scan kepala 

abnormal (hematoma, contusio, edema 

serebri atau penyempitan sisterna 

basalis). ICP monitor juga dipasang pada 

pasien COB dengan CT-Scan kepala 

normal jika didapatkan 2 atau lebih dari 

hal berikut : 

- Usia > 40 tahun 

- TDS < 90 mmHg 

- Postural bilateral atau unilateral 

2 Konservatif 

Penatalaksanaan COS (GCS 9-12) (2B) 

- Dirawat di rumah sakit untuk observasi, 

pemeriksaan neurologis secara periodik. 

IB 

   

3,27,28,

29,30,3

22 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

- Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan 

dan kontrol kembali, bila kondisi 

memburuk dilakukan CT-Scan Scan ulang 

dan penatalaksanaan sesuai protokol 

cedera kepala berat. 

 

Penatalaksanaan COB (GCS <= 8) 

- Pastikan jalan nafas pasien clear, berikan 

oksigenasi 100% dan jangan banyak 

memanipulasi gerakan leher sebelum 

cedera cervical dapat disingkirkan, bila 

perlu intubasi. (1B) 

- Head Up 30o (2B) 

- Berikan cairan secukupnya (normal 

saline) untuk resusitasi korban agar tetap 

normovolemia, atasi hipotensi yang 

terjadi dan berikan transfuse darah jika 

Hb kurang dari 10 gr/dl. (1B) 

- Periksa tanda vital, adanya cedera 

sistemik di bagian anggota tubuh lain, 

GCS dan pemeriksaan batang otak secara 

periodik.  

- Berikan obat-obatan analgetik (misal: 

acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri 

ringan dan sedang) bila didapatkan 

keluhan nyeri pada penderita (2B) 

- Berikan obat-obatan anti muntah (misal: 

metoclopramide atau ondansentron) dan 

anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: 

ranitidin atau omeprazole) jika penderita 

muntah (2B) 

- Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), 

bila tampak edema atau cedera yang 

tidak operable pada CT Scan. Manitol 

dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 

g/kg. BB pada keadaan tertentu, atau 

dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 

1,32,33,

34,35 

23 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

cc manitol 20% dalam 24 jam. 

Penghentian secara gradual. (1B) 

- Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada 

pasien dengan resiko tinggi kejang 

dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg 

kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah 

terjadi kejang, PHT diberikan sebagai 

terapi. (1B) 

- Operasi cito pada perkembangan ke arah 

indikasi operasi. 

 

9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

 

10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 

Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 

Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 

Prognosis dipengaruhi: 

- Usia 

- Status Neurologis awal 

- Jarak antara trauma dan tindakan bedah 

- Edema cerebri 

- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan hematom 

epidural 

- Faktor ekstrakranial 

11. 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Fraktur Basis Cranii 

ICD-10:S02.1 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Patah Tulang Kepala yang meliputi salah satu dari tulang dasar kepala: lamina cribiformis 

dari Os Ethmoid, Pars orbita dari Os Frontal, pars Petrosus dan skuamus Os Temporalis, 

Os Sphenoid dan Os Occipital 

2. Anamnesis  Didapatkan riwayat trauma 

 Riwayat keluarnya darah atau cairan dari hidung dan/atau telinga 

 Mual 

 Muntah 

 Gangguan Melihat 

 Wajah mencong 

 Gangguan Mendengar 

3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Fisik Umum 

(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi ) 

Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways), B (breathing), dan 

C (circulation) 

 Dapat disertai dengan cedera lain dan penurunan kesadaran 

 

Pemeriksaan lokalis 

Gambaran Khas : 

 Retro aurikular/Mastoid Ecchymosis (Battle sign) 

 Periorbital Ecchymosis (Raccoon eyes) 

 Clear Rhinorea 

 Clear Otorhea 

 Hemotimpanum 

 

Pemeriksaan Neurologis (jika didapatkan) 

 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 

 Lesi N III,IV,VI 

 Lesi N VII 

 Lesi N VIII 

 

4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan imaging sesuai klinis 

5. DiagnosisKerja Fraktur Basis Cranii (ICD 10: S02.1) 

6. Diagnosis Banding - Trauma maksilofacial 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan Rekomendasi GR Ref 

27 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

CT Scan Kepala 

 

 CT-Scan Bone Window untuk melihat 

gambar tulang kalvaria dan CT-Scan Brain 

Window untuk melihat lesi parenkim otak 

atau perdarahan otak.  

 Fraktur pada dasar tengkorak dapat 

menggunakan irisan tipis potongan axial 

bone window dasar tengkorak 

 Rinorea dan ottorhea merupakan indikasi 

untuk dilakukan tindakan CT Scan 

1A 

2, 3, 4, 5, 

6, 7, 8, 

11, 12, 

13, 14 

2 X-foto kepala 

 Bila jejas cukup besar ; cari garis fraktur, 

aerokel, darah dalam sinus paranasalis, 

shift glandula pinealis, fragmen tulang 

dan korpus alienum 

 Tidak untuk mencarifraktur basis 

Penderita yang memerlukan CT-scan 

kepala tidak perlu dibuat X-foto kepala 

1C 3, 4, 15, 

X-foto vertebra 

servikal 

 

 Mencari cedera penyerta terutama bila 

jejas juga didapatkan di bahu, leher, dan 

dicurigai adanya cedera leher dari 

pemeriksaan klinis 

 

1C 

2, 3, 4, 5, 

15, 

X-foto thoraks 

 

 Mencari cedera penyerta 

 

1C 2, 3, 4, 5 

Lab Beta 2 

Transferrin 

 Mencari bukti adanya leakage LCS 

1C 

2, 3, 21, 

22, 23 

CT-Scan Whole 

Body 

 Whole Body CT (WBCT) digunakan pada 

kasus multitrauma untuk mengurangi 

waktu diagnosis, dapat digunakan pada 

pasien dengan hemodinamik tidak stabil 

2A 32 

 

 

8. Terapi  

No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) GR Ref 

1 Operasi 

Indikasi Pembedahan 

 Kebocoran LCS post trauma yang disertai 

dengan meningitis 

 Fraktur transversal Os petrosus yang 

melibatkan optic capsule 

 Fraktur tulang temporal yang 

mengakibatkan lesi total otot wajah 

1C 3,8,12 

28 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 Trauma balistik pada temoral yang 

mengakibatkan kerusakan vaskular 

 Defek luas dengan herniasi otak kedalam 

sinus paranasal, Pneumocephalus , atau 

kebocoran LCS lebih dari lima hari 

 

 Tindakan bedah : 

 Craniotomy  (ICD 9 : 01.24) 

 Duraplasty (ICD 9 : 02.12) 

 Cranioplasty (ICD 9 : 02.04) 

2 Konservatif 

Perawatan non operatif di ruangan meliputi 

 Observasi GCS, pupil, lateralisasi, danfaal 

vital 

 Optimalisasi, stabilisasi faal vital, menjaga 

optimalnya suplai O2ke otak 

 Airway: menghisap secret / darah / 

muntahan bila diperlukan, trakheostomi. 

Penderita COB dengan lesi yang tidak 

memerlukan evakuasi dan penderita 

dengan gangguan analisa gas darah 

dirawat dalam respirator 

 Mempertahankan perfusi otak, 

memposisikan kepala head up sekitar 30 

derajat  dengan menghindari fleksi leher 

 Kateter buli-buli diperlukan untuk 

mencatat produksi urine, mencegah 

retensi urine, mencegah tempat tidur 

basah (dengan demikian mengurangi 

risiko dekubitus) 

- Head Up 30o (2B) 

- Berikan cairan secukupnya (normal 

saline) untuk resusitasi korban agar tetap 

normovolemia, atasi hipotensi yang 

terjadi dan berikan transfuse darah jika 

Hb kurang dari 10 gr/dl. (1B) 

- Periksa tanda vital, adanya cedera 

sistemik di bagian anggota tubuh lain, 

GCS dan pemeriksaan batang otak secara 

periodik. 

- Berikan obat-obatan analgetik (misal: 

acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri 

ringan dan sedang) bila didapatkan 

keluhan nyeri pada penderita (2B) 

- Berikan obat-obatan anti muntah (misal: 

metoclopramide atau ondansentron) dan 

anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: 

ranitidin atau omeprazole) jika penderita 

muntah (2B) 

- Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), 

bila tampak edema atau cedera yang 

tidak operable pada CT Scan. Manitol 

dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 

g/kg. BB pada keadaan tertentu, atau 

dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 

cc manitol 20% dalam 24 jam. 

1C 

2, 3, 4, 6, 

8, 12, 

24, 25, 

26, 27, 

28, 29, 

30, 31, 

33, 34, 

35 

29 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

Penghentian secara gradual. (1B) 

 Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada 

pasien dengan resiko tinggi kejang 

dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg 

kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah 

terjadi kejang, PHT diberikan sebagai 

terapi. (1B) 

 Antibiotik Profilaksis   

 

9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Gejaladarifraktur basis Cranii 

 Komplikasi yang bisaterjadi (Perdarahan intra cranial, edema cerebri, infeksi, bengkak) 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 

Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 

Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 

Prognosis dipengaruhi: 

- Usia 

- Status Neurologisawal 

- Jarakantara trauma dantindakanbedah 

- Edema cerebri 

- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan hematom 

epidural 

- Faktorekstrakranial 


PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

FRAKTUR TULANG TENGKORAK  

ICD-10: S02.0 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Fraktur tulang tengkorak dapat dikategorikan sebagai fraktur linear, depresi. 

Fraktur Linier: fraktur tunggal yang mengenai seluruh ketebalan calvarium dengan 

alignment masih baik. 

Fraktur depress/impresi: fraktur dimana segmen frakturnya di bawah level segmen 

fraktur yang berdekatan. Fraktur impresi dapat berupa fraktur terbuka maupun tertutup 

2. Anamnesis  Didapatkan riwayat trauma 

 Didapatkan gangguan neurologis (amnesia, penurunan kesadaran, kejang, dll.) 

 Macam trauma: kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, jatuh dari 

ketinggian dan lain-lain 

3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Fisik Umum 

(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 

 Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways), B 

(breathing), dan C (circulation) 

Pemeriksaan kepala 

 Mencari tanda–tanda jejas, patah dasar tengkorak, patah tulang wajah, trauma 

pada mata, auskultasi karotis untuk menentukan adanya bruit  

Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang 

 Mencari tanda–tanda cedera pada tulang belakang (terutama cedera servikal) 

dan cedera pada medulla spinalis 

Pemeriksaan lain 

 Cedera lain dicari dengan cermat dari cranial kekaudal 

 Semua temuan tanda trauma dicatat. Benjolan, luka lecet, luka terbuka, false 

movement, flail chest, dinding abdomen, nyeri tekan dan lain-lain, perdarahan 

yang tampak segera dihentikan 

 

PemeriksaanNeurologis 

 Tingkat kesadaranGlasgow Coma Scale (GCS) 

 Saraf II-III, lesisaraf VII perifer 

 Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, retinal detachment 

 Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah 

33 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 Autonomis 

4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan imaging sesuai klinis 

5. DiagnosisKerja Fraktur Linier Kalvaria atau Fraktur Impresi Kalvaria (ICD-10: S02.0) 

6. Diagnosis Banding  Kelainan kongenital pediatric 

 Metabolic Bone Disease of Prematurity 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan Rekomendasi GR Ref 

CT Scan Kepala 

 

 CT-Scan Bone Window untuk melihat 

gambar tulang kalvaria dan CT-Scan Brain 

Window untuk melihat lesi parenkim otak 

atau perdarahan otak. Bila dibutuhkan 

dapat dilakukan CT-Scan 3D 

 Gambaran garis fraktur linear atau 

fragmen tulang yang masuk melebihi 

fragmen tulang di dekatnya 

 Biasanya disertai scalp hematoma di 

tempat patahan tulang 

 Fraktur pada skull biasanya disertai lesi 

intraparenkim. 

 Fraktur depresi pada tengkorak 

membutuhkan CT scan. 

1A 

2, 3, 4, 6, 

18, 19, 

28, 29, 

30  

2 MRI 

 MRI lebih sensitif untuk menunjukkan 

area kecil kontusional atau perdarahan 

kecil, cedera aksonal, dan perdarahan 

kecil ekstra aksial. . 

2A 

2,4,6,8, 

31,32,33 

3 X-foto kepala 

 Bila jejas cukup besar ; cari garis fraktur, 

aerokel, darah dalam sinus paranasalis, 

shift glandula pinealis, fragmen tulang 

dan korpus alienum 

 Tidak untuk mencarifraktur basis 

Penderita yang memerlukan CT-scan 

kepala tidak perlu dibuat X-fotokepala 

1C 

3, 4, 6, 

17, 18 

X-foto vertebra 

servikal 

 

 Mencari cedera penyerta terutama bila 

jejas juga didapatkan di bahu, leher, dan 1C 

2,3,4,5,6

,17,18, 

22, 23 

34 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

dicurigai adanya cedera leher dari 

pemeriksaan klinis 

 

X-foto thoraks 

 

 Mencari cedera penyerta 

 

1C 2,3,4,5,6 

6 USG kepala 

 Pada bayi dan anak-anak dengan tulang 

yang tipis memiliki sensitifitas dan 

spesifitas yang lebih dari foto x-ray 

kepala 

1C 

6,24,25

,26,27 

CT-Scan Whole 

Body 

 Whole Body CT (WBCT) digunakan pada 

kasus multitrauma untuk mengurangi 

waktu diagnosis, dapat digunakan pada 

pasien dengan hemodinamik tidak stabil 

2A 42 

 

8. Terapi No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) GR Ref 

1 Operasi 

 Patah tulang tengkorak dengan luka terbuka 

 Patah tulang sinus frontalis dengan luka 

terbuka atau didapatkan gambaran 

pneumatocephalus 

 Patah tulang tengkorak impresi dengan 

fragmen tulang melebihi fragmen tulang di 

dekatnya dan didapatkan defisit neurologi. 

 Prosedur operasi antara lain: 

Craniotomy (ICD 9 : 01.24) 

Debridement + dekortikasi sinus frontal + 

dekompresi (ICD 9 : 02.02)  

cranioplasty (ICD 9 : 02.04) 

jahit duramater (ICD 9 :02.11) 

 

1C 3,6,8 

2 Konservatif 

 Patah tulang tertutup, patah tulang 

impresi tertutup tanpa disertai defisit 

neurologis 

 Perawatan non operatif di ruangan 

meliputi: 

 Observasi GCS, pupil, lateralisasi, 

dan faal vital. (1B) 

 Optimalisasi, stabilisasi faal vital, 

menjaga optimalnya suplai O2 

1B 

2, 3, 4, 6, 

8, 34, 

35, 36, 

37, 38, 

39, 40, 

41, 43, 

44, 45 

35 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

keotak. (1B) 

 Airway: menghisap sekret/ darah/ 

muntahan bila diperlukan, 

trakheostomi. Penderita COB 

dengan lesi yang tidak memerlukan 

evakuasi dan penderita dengan 

gangguan analisa gas darah dirawat 

dalam respirator. (1B) 

 Mempertahankan perfusi otak, 

memposisikan kepala head up 

sekitar 30, dengan menghindari 

fleksi leher. (1B) 

 Kateter buli-buli diperlukan untuk 

mencatat produksi urine, mencegah 

retensi urine, mencegah tempat 

tidurbasah (dengan demikian 

mengurangi risiko dekubitus). (1C) 

 Head Up 30o (2B) 

 Berikan cairan secukupnya (normal 

saline) untuk resusitasi korban agar 

tetap normovolemia, atasi hipotensi 

yang terjadi dan berikan transfuse 

darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl. 

(1B) 

 Periksa tanda vital, adanya cedera 

sistemik di bagian anggota tubuh 

lain, GCS dan pemeriksaan batang 

otak secara periodik. 

 Berikan obat-obatan analgetik 

(misal: acetaminophen, ibuprofen 

untuk nyeri ringan dan sedang) bila 

didapatkan keluhan nyeri pada 

penderita (2B) 

 Berikan obat-obatan anti muntah 

(misal: metoclopramide atau 

ondansentron) dan anti ulkus 

gastritis H2 bloker (misal: ranitidin 

36 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

atau omeprazole) jika penderita 

muntah (2B) 

 Berikan Cairan hipertonik (mannitol 

20%), bila tampak edema atau 

cedera yang tidak operable pada CT 

Scan. Manitol dapat diberikan 

sebagai bolus 0,5 – 1 g/kg. BB pada 

keadaan tertentu, atau dosis kecil 

berulang, misalnya (4-6) x 100 cc 

manitol 20% dalam 24 jam. 

Penghentian secara gradual. (1B) 

 Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis 

pada pasien dengan resiko tinggi 

kejang dengan dosis 300 mg/hari 

atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 

hari. Bila telah terjadi kejang, PHT 

diberikan sebagai terapi. (1B) 

 

9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

 Tipe perdarahan yang memberikan hasil pasca operasi paling baik di antara tipe 

perdarahan lainnya jika segera dilakukan tindakan evakuasi 

 Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 

terganggu, melalui program rehabilitasimedik 

10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 

Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 

Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 

Prognosis dipengaruhi: 

- Usia 

- Status Neurologisawal 

- Jarak antara trauma dan tindakan bedah 

- Edema cerebri 

- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan hematom 

epidural 

- Faktorekstrakranial 

1

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

HEMATOMA INTRASEREBRAL TRAUMATIKA 

ICD-10: S06.3 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Kumpulan darah, dalam parenkim otak. Ini dapat merupakan perdarahan-perdarahan 

kecil yang menyatu, atau cedera pembuluh darah yang cukup besar. 

2. Anamnesis  Didapatkan riwayat trauma 

 Didapatkan gangguan neurologis (amnesia, penurunan kesadaran, kejang, dll.) 

 Macam trauma: kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, jatuh dari 

ketinggian dan lain-lain 

3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Fisik Umum 

(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 

 Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways), B 

(breathing), dan C (circulation) 

Pemeriksaan kepala 

 Mencari tanda–tanda jejas, patah dasar tengkorak, patah tulang wajah, trauma 

pada mata, auskultasi karotis untuk menentukan adanya bruit  

Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang 

 Mencari tanda–tanda cedera pada tulang belakang (terutama cedera servikal) 

dan cedera pada medulla spinalis 

Pemeriksaan lain 

 Cedera lain dicari dengan cermat dari cranial ke kaudal 

 Semua temuan tanda trauma dicatat. Benjolan, luka lecet, luka terbuka, false 

movement, flail chest, dinding abdomen, nyeri tekan dan lain-lain, perdarahan 

yang tampak segera dihentikan 

 

Pemeriksaan Neurologis 

 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 

 Saraf II-III, lesi saraf VII perifer 

 Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, retinal detachment 

 Motoris&sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah 

 Autonomis 

4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan imaging sesuai klinis 

5. DiagnosisKerja Hematoma Intraserebral (ICD 10: S06.3) 

6. Diagnosis Banding - Cerebro vascular accident 

- Epileptic fits 

- Keracunan obat 

- Penyakit metabolic 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan Rekomendasi GR Ref 

Lab. DL (Darah 

Lengkap), 

Crossmatch 

Lab. DL (Darah Lengkap) dan crossmatch 

direkomendasikan pada pasien dengan ICH 

yang eligible operative untuk kelancaran 

proses operasi.  

1B 

9,10,11

,12,13,

14,15,1

6,17,18 

2 X-Foto Kepala 

F-Foto vertebra kepala direkomendasikan 

bila jejas cukup besar; kemudian mencari 

2A 

     

3,4,19,

42 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

garis fraktur, aerokel, darah dalam sinus 

paranasalis, shift glandula pinealis, fragmen 

tulang dan korpus alienum. Tidak untuk 

mencari fraktur basis. Penderita yang 

memerlukan CT-scan kepala tidak perlu 

dibuat X-foto kepala. 

20,21 

X-foto Vertebra 

Servikal 

Menyingkirkan adanya cedera servikal 

1B 

22,23,2

4,25,26 

4 X-foto Thorax 

X-Foto Thorax digunakan untuk mencari 

cedera penyerta 

1C 2,3,4,5 

5 CT Scan Kepala 

CT Scan direkomendasikan pada pasien ICH 

dengan gambaran hiperdens berbentuk 

bulan  sabit  (kresens) . selain itu juga bisa 

disertai dengan gambaran scalp  hematom 

dan fraktur kalvaria di kontralateralnya. 

1B 

2,3,4, 

27,28,2

9,30,31

,32,33 

6 MRI 

MRI lebih sensitif untuk menunjukkan area 

kecil kontusional atau perdarahan kecil, 

cedera aksonal, dan perdarahan kecil ekstra 

aksial. 

2B 

6,8,47,

48,49,5

CT-Scan Whole 

Body 

Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus 

multitrauma untuk mengurangi waktu 

diagnosis, dapat digunakan pada pasien 

dengan hemodinamik tidak stabil 

2A 51 

 

8. Terapi No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) GR Ref 

Operatif 

Craniotomy + 

Evakuasi ICH 

+ Dekompresi 

(ICD 9: 

01.24), 

osteoplasty 

(ICD 9 : 

02.04) 

Bila didapatkan: 

- Volume perdarahan pada frontal atau 

temporal > 20ml. 

- Midline shift >5mm 

- Dan atau kompresi pada sisterna 

- Efek massa dengan deteriorasi neurologis 

sesuai dengn lesi 

- Volume perdarahan lebih dari 50ml 

- Hematome Intraserebral di fossa posterior 

dengan efek massa (distorsi, dislokasi, 

obliterasi ventrikel empat, kompresi 

sisterna basal, atau hidrosefalus obstruktif) 

1B 

1,2,28,2

9,30 

2 Operatif Peningkatan Tekanan Intra Kranial 1B 33,34,35

43 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

pemasangan 

ICP monitor 

(ICD 9 : 01.1) 

berhubungan dengan meningkatnya  

mortalitas dan perburukan kondisi pasien. 

Indikasi pemasangan ICP monitor pada 

cedera otak yaitu   GCS 3-8 dan CT scan 

abnormal yang menunjukkan suatu efek 

massa seperti hematom dan kontusio. Bila 

didapatkan pasien dengan COB (GCS 3-8 

setelah proses resusitasi) dengan CT Scan 

kepala abnormal tidak indikasi untuk 

dilakukan evakuasi hematome 

,36,37,3

8,39 

3 Konservatif 

Penatalaksanaan COS (GCS 9-12) (2B) 

- Dirawat di rumah sakit untuk observasi, 

pemeriksaan neurologis secara periodik. 

- Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan 

dan kontrol kembali, bila kondisi 

memburuk dilakukan CT-Scan Scan ulang 

dan penatalaksanaan sesuai protokol 

cedera kepala berat. 

 

Penatalaksanaan COB (GCS <= 8) 

- Pastikan jalan nafas pasien clear, berikan 

oksigenasi 100% dan jangan banyak 

memanipulasi gerakan leher sebelum 

cedera cervical dapat disingkirkan, bila 

perlu intubasi. (1B) 

- Head Up 30o (2B) 

- Berikan cairan secukupnya (normal 

saline) untuk resusitasi korban agar tetap 

normovolemia, atasi hipotensi yang 

terjadi dan berikan transfuse darah jika 

Hb kurang dari 10 gr/dl. (1B) 

- Periksa tanda vital, adanya cedera 

sistemik di bagian anggota tubuh lain, 

GCS dan pemeriksaan batang otak secara 

periodik.  

- Berikan obat-obatan analgetik (misal: 

acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri 


Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

ringan dan sedang) bila didapatkan 

keluhan nyeri pada penderita (2B) 

- Berikan obat-obatan anti muntah (misal: 

metoclopramide atau ondansentron) dan 

anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: 

ranitidin atau omeprazole) jika penderita 

muntah (2B) 

- Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), 

bila tampak edema atau cedera yang 

tidak operable pada CT Scan. Manitol 

dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 

g/kg. BB pada keadaan tertentu, atau 

dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 

cc manitol 20% dalam 24 jam. 

Penghentian secara gradual. (1B) 

- Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada 

pasien dengan resiko tinggi kejang 

dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg 

kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah 

terjadi kejang, PHT diberikan sebagai 

terapi. (1B) 

Operasi cito pada perkembangan ke arah 

indikasi operasi 

 

9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

 Memerlukanperawatanpascaoperasiuntukpemulihanfungsineurologis yang 

terganggu, melalui program rehabilitasimedik 

10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia 

Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia 

Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia 

Prognosis dipengaruhi: 

- Usia 

- Status Neurologisawal 

- Jarakantara trauma dantindakanbedah 

- Edema cerebri 

45 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan hematom 

epidural 

- Faktorekstrakranial 

1

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Diffuse Axonal Injury 

(DAI, ICD 10: S06.2) 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Cidera luas pada axon otak disebabkan shearing mechanism yang tampak pada 

pemeriksaan patologis dan CT-Scan kepala sebagai lesi kecil multipel yang terlihat di area 

white matters otak.1,2,3 

2. Anamnesis – Identitas pasien: Nama, Umur, Jenis kelamin, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat  

– Keluhan utama  

– Mekanisma trauma  

– Waktu dan perjalanan trauma  

– Pernah pingsan atau sadar setelah trauma  

– Amnesia retrograde atau antegrade  

– Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo  

– Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala  

– Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan 

diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah 

3. Pemeriksaan Fisik Primary Survey (1,2,3,4,9) 

Pemeriksaan  Evaluasi  Perhatikan, catat, dan 

perbaiki  

A. Airway  Patensi saluran napas ?  

Suara tambahan ?  

Obstruksi ?  

B. Breathing  Apakah oksigenasi  

ĨĞkƚiĨ͙. ͍  

Rate dan depth  

Gerakan dada  

Air entry  

Sianosis  

C. Circulation  Apakah perfusi  

AĚĞkuaƚ ͙..͍  

Pulse rate dan volume  

Warna kulit  

Capilarry return  

Perdarahan  

Tekanan darah  

D. Disability  

( status neurologis )  

Apakah ada kecacatan 

ŶĞurŽlŽŐis ͙͍  

Tingkat kesadaran- 

menggunakan sistem GCS 

atau AVPU.  

Pupil (besar, bentuk, reflek 

cahaya, bandingkan kanan-

kiri)  

E. Exposure  

(buka seluruh pakaian)  

ĞĚĞra ŽrŐaŶ laiŶ͙ ͍  Jejas, deformitas, dan 

gerakan ekstremitas. Evaluasi 

respon terhadap perintah 

atau rangsang nyeri  

 

Secondary Survey 

Pemeriksaan Status Generalis 

Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan khusus 

untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:  

– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,  

– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)  

 

Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak yaitu  :  

51 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

1. Pemeriksaan kepala  

Mencari tanda :  

a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka 

tembus dan benda asing.  

b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma), 

ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di 

membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.  

c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan 

fraktur mandibula  

d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata 

depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.  

e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan 

dengan diseksi karotis  

 

2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.  

Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada 

medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan 

autonomik. 

 

Pemeriksaan Status Neurologis 

Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :  

a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).  

Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan: 

GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)  

GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS)  

GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)  

b. Saraf kranial, terutama:  

Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek 

konsensuil  bandingkan kanan-kiri  

Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.  

c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal 

detachment.  

d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda 

lateralisasi.  

Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek 

tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani. 

4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis sesuai diatas 

2. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

3. Pemeriksaan imaging  

5. Diagnosis Kerja Diffuse Axonal Injury 

(DAI, ICD 10: S06.2) 

6. Diagnosis Banding  Diffuse vascular injury 

 Hypoxic/ ischaemei damage 

 Brain edema 

52 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grade 

Rekom

endasi 

Ref 

1 CT scan 

Sebagian besar pasien dengan DAI (50-

80%) menunjukkan CT Scan normal 

Mungkin ditemukan bintik perdarahan 

pada gray-white matter junction, corpus 

callosum maupun brainstem 

Untuk diagnostic awal DAI pada pasien post 

trauma episodic awal 

2B 7 

2 MRI 

MRI dilakukan jika pada CT Scan tidak 

tampak gambaran kelainan (CT Scan 

normal) namun berdasarkan gejalan klinis 

pasien menunjukkan gambaran DAI 

Pada Sequence tertentu, misalnya 

gradient-echo sequence, biasanya 

menampakkan efek paramagnetic dari 

ptekie berupa bintik kehitaman. Sequence 

T2-weighted images juga bias terlihat 

gambaran bintik hiperintens. 

Pada MR-DTI, tampak gambaran 

penurunan fractional Anisotropy (FA) 

terutama pada bagian otak yang 

mengalami axonal injury  

2B 

8, 9,10, 

11 

CT-Scan Whole 

Body 

Whole Body CT (WBCT) digunakan pada 

kasus multitrauma untuk mengurangi 

waktu diagnosis, dapat digunakan pada 

pasien dengan hemodinamik tidak stabil 

2A 13 

8. Terapi  

No Terapi Prosedur (ICD 9 CM) Grade 

Rekom

endasi 

Ref 

1 Konservatif - Observasi GCS, pupil, lateralisasi, dan 

faal vital.                                        

- Optimalisasi, stabilisasi faal vital, 

menjaga kecukupan suplai O2 ke otak. 

- Sirkulasi : cairan infus berimbang 

1B 4,5,6 

53 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

NaCl-glukosa, cegah terjadinya 

overhidrasi,  bila sudah stabil secara 

bertahap di ganti cairan / nutrisi 

enteral / pipa lambung. 

- Airway : menghisap sekret / darah / 

muntahan bila diperlukan, 

tracheostomi. Penderita COB dengan 

lesi yang tidak memerlukan evakuasi 

dan penderita dengan gangguan 

analisa gas darah dirawat dalam 

respirator 

- Mempertahankan perfusi otak, 

memposisikan kepala head up sekitar 

30, dengan menghindari fleksi leher.                                                                

- Kateter buli-buli diperlukan untuk 

mencatat produksi urine, mencegah 

retensi urine, mencegah tempat tidur 

basah (dengan demikian mengurangi 

risiko dekubitus).                                                                                                   

- Periksa tanda vital, adanya cedera 

sistemik di bagian anggota tubuh lain, 

GCS dan pemeriksaan batang otak 

secara periodik.  

- Berikan obat-obatan analgetik (misal: 

acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri 

ringan dan sedang) bila didapatkan 

keluhan nyeri pada penderita (2B) 

- Berikan obat-obatan anti muntah 

(misal: metoclopramide atau 

ondansentron) dan anti ulkus gastritis 

H2 bloker (misal: ranitidin atau 

omeprazole) jika penderita muntah 

(2B) 

- Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis 

pada pasien dengan resiko tinggi 

kejang dengan dosis 300 mg/hari atau 

5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. 

54 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

Bila telah terjadi kejang, PHT diberikan 

sebagai terapi. (1B) 

- Hipotermi Ringan 

 

9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

 Memerlukan perawatan pasca operasi untuk pemulihan fungsi neurologis yang 

terganggu, melalui program rehabilitasi medik 

10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia  

Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia  

Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia 

Prognosis tergantung: 

1. Usia 

2. Status neurologis saat pasien datang di rumah sakit 

3. grading DAI. 

4. Penyakit yang menyertai dan komplikasi yang timbul 


PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

EPIDURAL HEMATOMA 

ICD-10: S06.4 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Perdarahan di dalam rongga epidural yang disebabkan karena trauma. (1,9) 

 

2. Anamnesis – Identitas pasien: Nama, Umur, Jenis kelamin, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat  

– Keluhan utama  

– Mekanisma trauma  

– Waktu dan perjalanan trauma  

– Pernah pingsan atau sadar setelah trauma  

– Amnesia retrograde atau antegrade  

– Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo  

– Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala  

– Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan 

diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah  

3. PemeriksaanFisik Primary Survey (1,9) 

Pemeriksaan  Evaluasi  Perhatikan, catat, dan 

perbaiki  

A. Airway  Patensi saluran napas ?  

Suara tambahan ?  

Obstruksi ?  

B. Breathing  Apakah oksigenasi  

ĨĞkƚiĨ͙. ͍  

Rate dan depth  

Gerakan dada  

Air entry  

Sianosis  

C. Circulation  Apakah perfusi  

AĚĞkuaƚ ͙..͍  

Pulse rate dan volume  

Warna kulit  

Capilarry return  

Perdarahan  

Tekanan darah  

D. Disability  

( status neurologis )  

Apakah ada kecacatan 

ŶĞurŽlŽŐis ͙͍  

Tingkat kesadaran- 

menggunakan sistem GCS 

atau AVPU.  

Pupil (besar, bentuk, reflek 

cahaya, bandingkan kanan-

kiri)  

E. Exposure  

(buka seluruh pakaian)  

ĞĚĞra ŽrŐaŶ laiŶ͙ ͍  Jejas, deformitas, dan 

gerakan ekstremitas. Evaluasi 

respon terhadap perintah 

atau rangsang nyeri  

 

Secondary Survey 

Pemeriksaan Status Generalis 

Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan khusus 

untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:  

– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,  

– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)  

 

Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak yaitu  :  

1. Pemeriksaan kepala  

57 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

Mencari tanda :  

a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus 

dan benda asing.  

b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma), 

ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di 

membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.  

c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan 

fraktur mandibula  

d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata 

depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.  

e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan 

dengan diseksi karotis  

 

2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.  

Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada 

medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan 

autonomik. 

 

Pemeriksaan Status Neurologis 

Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :  

a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).  

Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan: GCS 

14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)  

GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS)  

GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)  

b. Saraf kranial, terutama:  

Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil 

 bandingkan kanan-kiri  

Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.  

c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal 

detachment.  

d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda 

lateralisasi.  

Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek tendon, 

reflek patologis dan tonus spingter ani. 

4. Kriteria Diagnosis 4. Anamnesis sesuai diatas 

5. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

6. Pemeriksaan imaging  

5. DiagnosisKerja Epidural HematomTraumatika (ICD-10: S06.4) 

6. Diagnosis Banding - Cerebro vascular accident 

- Keracunan obat 

- Penyakit metabolic 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grade 

Rekom

endasi 

 

Ref 

1 X-Foto Servikal 

X-Foto Servikal dikerjakan pada pasien COS 

atau COB untuk menyingkirkan adanya 

1C 4,5,6 

58 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

kemungkinan cedera servikal. Sensitivitas x-

foto servikal 70%-80% 

2 X-Foto Thoraks 

X-Foto Thorak dilakukan pada pasien 

trauma yang tidak membutuhkan CT Scan. 

X-Foto dikerjakan berdasarkan mekanisme 

cedera dan temuan klinis. X-Foto thorak 

dikerjakan pada pasien trauma tembus 

dada, punggung, atau perut yang tidak 

membutuhkan CT Scan 

1C 7,8 

3 CT scan 

Gambaran hiperdens berbentuk bikonveks 

karena darah terkumpul terbatas pada 

perlekatan duramater di sutura kranial 

Bisa disertai dengan gambaran scalp 

hematom dan fraktur kalvaria 

Volume EDH dihitung dengan rumus: 

A x B x C x 0.52 

Dimana A = tebal EDH pada slice CT-Scan 

paling tebal 

B = panjang EDH pada slice yang 

sama dengan A 

C = tinggi dari EDH (dihitung dari 

jumlah slice CT-Scan) 

 

1B 1,2,3,9 

4 MRI 

MRI lebih sensitif dibandingkan CT Scan 

untuk mendeteksi perdarahan intrakranial. 

MRI khususnya bermanfaat untuk diagnosa 

EDH di vertex.  

2C 19,20 

CT-Scan Whole 

Body 

Whole Body CT (WBCT) digunakan pada 

kasus multitrauma untuk mengurangi 

waktu diagnosis, dapat digunakan pada 

pasien dengan hemodinamik tidak stabil 

2A 21 

 

8. Terapi  

No Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grade 

Rekom

endasi 

Ref 

59 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

1 Operasi 

indikasi tindakan operasi EDH: 

 Volume >30 cc, atau 

 Ketebalan >15 mm, atau 

 Pergeseran midline >5 mm, atau 

 Pasien EDH akut (GCS <9) dan 

anisokor di evakuasi secepat 

mungkin 

tindakan operasi berupa: 

Craniotomy + Evakuasi EDH (ICD 9CM : 

01.24), Osteoplasty (ICD 9CM : 02.04). 

1C 1,3,9 

2 Non Operasi 

 Volume <30 cc, ketebalan <15 mm, 

pergeseran midline <5 mm 

 Perawatan non operatif di ruangan 

meliputi: 

 Observasi GCS, pupil, lateralisasi, dan 

faal vital. (1C) 

 Sirkulasi : cairan infus berimbang NaCl-

glukosa, dicegah terjadinya overhidrasi, 

bila sudah stabil secara bertahap di 

ganti cairan / nutrisi enteral / pipa 

lambung. (1C) 

 Airway : menghisap sekret / darah / 

muntahan bila diperlukan, 

tracheostomi. Penderita COB dengan 

lesi yang tidak memerlukan evakuasi 

dan penderita dengan gangguan analisa 

gas darah dirawat dalam respirator. 

(1B) 

 Mempertahankan perfusi otak, 

memposisikan kepala head up sekitar 

30, dengan menghindari fleksi leher. 

(1C) 

 Kateter buli-buli diperlukan untuk 

mencatat produksi urine, mencegah 

retensi urine, mencegah tempat tidur 

basah (dengan demikian mengurangi 

risiko dekubitus). (1B) 

1B/1C 

10,11,12,

13,14,15,

16,17,18 

60 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

 Berikan obat-obatan analgetik (misal: 

acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri 

ringan dan sedang) bila didapatkan 

keluhan nyeri pada penderita (2B) 

 Berikan obat-obatan anti muntah 

(misal: metoclopramide atau 

ondansentron) dan anti ulkus gastritis 

H2 bloker (misal: ranitidin atau 

omeprazole) jika penderita muntah (2B) 

 Berikan Cairan hipertonik (mannitol 

20%), bila tampak edema atau cedera 

yang tidak operable pada CT Scan. 

Manitol dapat diberikan sebagai bolus 

0,5 – 1 g/kg. BB pada keadaan tertentu, 

atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) 

x 100 cc manitol 20% dalam 24 jam. 

Penghentian secara gradual. (1B) 

 Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis 

pada pasien dengan resiko tinggi kejang 

dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg 

kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah 

terjadi kejang, PHT diberikan sebagai 

terapi. (1B) 

 

9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

 

10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 

Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 

Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 

Prognosis dipengaruhi: 

- Usia 

- Status Neurologisawal 

- Jarak antara trauma dan tindakan bedah 

- Edema cerebri 

- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan hematom 

epidural 

- Faktor ekstrakranial 


 

 

PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

Traumatik Subarachnoid Hemorrhage (SAH) 

ICD-10 : S06.6 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Perdarahan dalam ruang subarachnoid, yang terletak di antara arachnoid mater dan pia 

mater setelah cedera kepala. Mekanisme perdarahan dalam kasus ini sering tidak 

teridentifikasi. (1, 2, 6, 7, 8) 

2. Anamnesis  Riwayat Trauma 

 Nyeri kepala hebat 

 Penurunan Kesadaran 

 Mual dan Muntah 

 Kejang 

 Pandangan kabur  

3. PemeriksaanFisik Pemeriksaan Fisik Umum 

(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 

 Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways), B (breathing), 

dan C (circulation) 

Pemeriksaan kepala 

 Mencari tanda - tanda jejas, patah dasar tengkorak, patah tulang wajah, trauma 

pada mata, auskultasi karotis untuk menentukan adanya bruit  

Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang 

 Mencari tanda - tanda cedera pada tulang belakang (terutama cedera servikal) dan 

cedera pada medula spinalis 

Pemeriksaan lain 

 Cedera lain dicari dengan cermat dari kranial ke kaudal 

 Semua temuan tanda trauma dicatat. Benjolan, luka lecet, luka terbuka, false 

movement, flail chest, dinding abdomen, nyeri tekan dan lain-lain, perdarahan yang 

tampak segera dihentikan 

 

Pemeriksaan Neurologis 

 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 

 Fundoskopi, dicari tanda-tanda edema pupil, retinal detachment 

 Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah 

4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis sesuai diatas 

 Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

 Pemeriksaan imaging sesuai klinis 

5. Diagnosis Kerja Traumatik Subarachnoid Hemorrhage (ICD-10 : S06.6) 

6. Diagnosis Banding - SAH akibat aneurisma pecah 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 CT scan 

CT Scan tanpa kontras merupakan 

pemeriksaan yang aman dan sensitif untuk 

1C 2,3,4 

64 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

memperlihatkan adanya perdarahan 

subarachnoid 

CT/ MR 

angiografi 

Angiografi non invasif merupakan modalitas 

lanjutan untuk kasus akut perimesencephalic 

SAH 

2B 2, 3, 4, 9 

3 MRI 

MRI kepala lebih sensitif dibanding CT Scan 

kepala dalam mendeteksi perdarahan 

intrakranial. MRI kepala dikpakai pada 

beberapa kasus dimana dicurigai adanya SAH 

atau perdarahan lain yang tidak tampak pada 

CT Scan kepala. 

2B 2, 3,4 

5 DSA 

DSA merupakan modalitas terbaik untuk 

perimesencephalic SAH 

2B 9, 12,13 

CT-Scan Whole 

Body 

Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus 

multitrauma untuk mengurangi waktu 

diagnosis, dapat digunakan pada pasien 

dengan hemodinamik tidak stabil 

2A 17 

 

 

8. Terapi  

 

No Terapi 

Prosedur  (ICD 9 CM) Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 Operatif 

EVD (ICD 9 CM: 02.21) bila didapatkan 

Hydrocephalus 

2B 

6, 7, 11, 

16 ICP Monitor (ICD 9 CM : 01.1)  

bila GCS < 9 

2 Non Operatif 

Tatalaksana pasien di ruangan:  

- Pastikan jalan nafas pasien clear, berikan 

oksigenasi 100% dan jangan banyak 

memanipulasi gerakan leher sebelum 

cedera cervical dapat disingkirkan, bila 

perlu intubasi. (IIB) 

- Head Up 30o (2B) 

- Berikan cairan secukupnya (normal 

2B 

6,7, 8, 

14, 16 

65 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

saline) untuk resusitasi korban agar tetap 

normovolemia, atasi hipotensi yang 

terjadi dan berikan transfuse darah jika 

Hb kurang dari 10 gr/dl. (1B) 

- Periksa tanda vital, adanya cedera 

sistemik di bagian anggota tubuh lain, 

GCS dan pemeriksaan batang otak secara 

periodik. 

- Berikan obat-obatan analgetik (misal: 

acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri 

ringan dan sedang) bila didapatkan 

keluhan nyeri pada penderita (2B) 

- Berikan obat-obatan anti muntah (misal: 

metoclopramide atau ondansentron) dan 

anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: 

ranitidin atau omeprazole) jika penderita 

muntah (2B) 

- Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), 

bila tampak edema atau cedera yang 

tidak operable pada CT Scan. Manitol 

dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 

g/kg. BB pada keadaan tertentu, atau 

dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 

cc manitol 20% dalam 24 jam. 

Penghentian secara gradual. (1B) 

 Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada 

pasien dengan resiko tinggi kejang 

dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg 

kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah 

terjadi kejang, PHT diberikan sebagai 

terapi. (1B) 

 

 

9. Edukasi Diberikan penjelasan mulai dari pemeriksaan yang perlu dilakukan, diagnosis pasien bahwa 

terdapat perdarahan di lapisan selaput otak, dimana kondisi ini dapat memperburuk 

keluaran pasien dengan cedera otak dan penjelasan mengenai terapi yang diberikan 

Kemungkinan perawatan yang lama 

Komplikasi yang bisa terjadi, mulai dari perburukan, perdarahan ulang, infeksi akibat 

perawatan yang lama, hydrocephalus 

10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 

66 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

Ad Sanationam (sembuh)  : Dubia ad bonam 

Ad Fungsionam (fungsi)   : Dubia ad bonam 

Prognosis dipengaruhi: 

- Usia 

- Status Neurologisawal 

- Jarakantara trauma dantindakanbedah 

- Edema cerebri 

- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan hematom 

epidural 

- Faktorekstrakranial 


PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 

ILMU BEDAH SARAF 

2016 

 

TRAUMATIK HEMATOMA SUBDURAL 

ICD-10: S06.5 

1. Pengertian 

(Definisi) 

Kumpulan darah dalam ruang subdural otak (antar duramater dan membran arachnoid).  

Biasanya diakibatkan robeknya bridging veins yang mengalirkan darah dari permukaan otak 

ke dural sinues. Penyebab SDH yang lain yaitu   robeknya arteri, sekitar 20-30% kasus SDH. 

Atau dapat berasal dari kontusio otak yang superfisial. (1,2,3,4,5) 

2. Anamnesis  Didapatkan riwayat trauma 

 Didapatkan gangguan neurologis (amnesia, penurunan kesadaran, kejang, dll.) 

 Macam trauma: kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, jatuh dari 

ketinggian dan lain-lain 

3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum 

(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) 

 Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways), B (breathing), 

dan C (circulation) 

Pemeriksaan kepala 

 Mencari tanda – tanda jejas, patah dasar tengkorak, patah tulang wajah, trauma 

padamata, auskultasi karotis untuk menentukan adanya bruit  

Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang 

 Mencari tanda – tanda cedera pada tulang belakang (terutama cedera servikal) dan 

cedera pada medulla spinalis 

Pemeriksaan lain 

 Cedera lain dicari dengan cermat dari cranial ke kaudal 

 Semua temuan tanda trauma dicatat. Benjolan, lukalecet, luka terbuka, false 

movement, flail chest, dinding abdomen, nyeri tekan dan lain-lain, perdarahan yang 

tampak segera dihentikan 

 

Pemeriksaan Neurologis 

 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) 

 Saraf II-III, lesi saraf VII perifer 

 Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, retinal detachment 

 Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah 

 Autonomis 

69 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

4. Kriteria Diagnosis 7. Anamnesis sesuai diatas 

8. Pemeriksaan klinis sesuai diatas 

9. Pemeriksaan imaging sesuai di atas 

5. Diagnosis Kerja Hematoma Subdural (ICD 10: S06.5) 

6. Diagnosis Banding - Cerebro vascular accident 

- Epileptic fits 

- Keracunan obat 

- Penyakit metabolic 

7. Pemeriksaan 

Penunjang 

 

No Pemeriksaan 

Rekomendasi Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 Laboratorium DL, cross match 1B 22 

X-foto vertebra 

servikal 

 Menyingkirkan adanya cedera servikal 

1B 6,7,8 

3 X-foto thoraks  Mencari cedera penyerta 1C 9,10 

4 CT scan kepala 

 CT Scan kepala paling sering dipakai 

untuk imaging pasien dengan trauma 

kepala akut dengan alasan cepat, relative 

simple, dan banyak tersedia. Tampak 

sebagai lesi hiperdens berbentuk bulan 

sabit (crescentic shape) pada konveksitas 

hemisfer 

 ^Ğkiƚar ϵϭй ^, ĚŐ ƚĞbal шϱ mm suĚaŚ 

teridentifikasi pada pemeriksaan CT Scan 

kepala 

1B 11,12 

5 MRI kepala 

MRI kepala lebih sensitif dibanding CT Scan 

kepala dalam mendeteksi perdarahan 

intrakranial. MRI kepala dikpakai pada 

beberapa kasus dimana dicurigai adanya SDH 

atau perdarahan lain yang tidak tampak pada 

CT Scan kepala. 

1B 12 

6 Angiografi 

Diindikasikan untuk evaluasi SDH, ketika 

tidak didapatkan riwayat trauma dan tidak 

jelas penyebabnya.  

1C 

13,14 

 

70 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

CT-Scan Whole 

Body 

Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus 

multitrauma untuk mengurangi waktu 

diagnosis, dapat digunakan pada pasien 

dengan hemodinamik tidak stabil 

2A 23 

 

 

8. Terapi  

No Terapi Prosedur  (ICD 9 CM) 

Grad

Reko

mend

asi 

Ref 

1 Operasi 

1. Craniotomi evakuasi hematom  (ICD 9 

CM : 01.24) bila  

 Hematom subdural dengan 

ketebalan >10mm atau midline shift 

>5mm tanpa melihat GCS 

 '^ чϴ aƚau bila '^ ƚuruŶ шϮ ƉŽiŶ 

dari saat pertama datang ke RS, dan 

atau bila didapatkan pupil asimetris 

atau pupil dilatasi dan tetap, dan 

atau pengukuran TIK >20mmHg. 

1C 15,16 

2. ICP Monitor (ICD 9 CM : 01.1) 

 GCS < 9 

 Hematom subdural dengan tebal       

< 10mm atau midline shift < 5mm 

1B 

18,19, 

20, 21 

2. 

 

Non operatif : 

 

 Hematoma yang kecil dan tidak 

memberikan efek masa (midline shift< 

0,5 cm), juga tidak memberikan gejala 

klinik. 

 Perawatan di ruangan 

 Observasi GCS, pupil, lateralisasi, dan faal 

vital. 

 Optimalisasi, stabilisasi faal vital, menjaga 

mantapnya suplai O2 ke otak.  

 Sirkulasi : cairan infus berimbang NaCl-

glukosa, dicegah terjadinya overhidrasi, 

 1B 

 

15,17,18 

19 

71 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

bila sudah stabil secara bertahap di ganti 

cairan / nutrisi enteral / pipa lambung. 

 Airway : menghisap sekret / darah / 

muntahan bila diperlukan, tracheostomi. 

Penderita COB dengan lesi yang tidak 

memerlukan evakuasi dan penderita 

dengan gangguan analisa gas darah 

dirawat dalam respirator. 

 Kateter buli-buli diperlukan untuk 

mencatat produksi urine, mencegah 

retensi urine, mencegah tempat tidur 

basah (dengan demikian mengurangi 

risiko dekubitus). 

 Head Up 30o (2B) 

 Berikan cairan secukupnya (normal 

saline) untuk resusitasi korban agar tetap 

normovolemia, atasi hipotensi yang 

terjadi dan berikan transfuse darah jika 

Hb kurang dari 10 gr/dl. (1B) 

 Periksa tanda vital, adanya cedera 

sistemik di bagian anggota tubuh lain, 

GCS dan pemeriksaan batang otak secara 

periodik. 

 Berikan obat-obatan analgetik (misal: 

acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri 

ringan dan sedang) bila didapatkan 

keluhan nyeri pada penderita (2B) 

 Berikan obat-obatan anti muntah (misal: 

metoclopramide atau ondansentron) dan 

anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: 

ranitidin atau omeprazole) jika penderita 

muntah (2B) 

 Berikan Cairan hipertonik (mannitol 

20%), bila tampak edema atau cedera 

yang tidak operable pada CT Scan. 

Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 

– 1 g/kg. BB pada keadaan tertentu, atau 

72 

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf 

dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 

cc manitol 20% dalam 24 jam. 

Penghentian secara gradual. (1B) 

 Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada 

pasien dengan resiko tinggi kejang 

dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg 

kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah 

terjadi kejang, PHT diberikan sebagai 

terapi. (1B) 

 

9. Edukasi Penjelasan kepada pasien dan keluarganya: 

 Perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 

 Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian 

 Tata cara perawatan dan dokter yang merawat 

10. Prognosis Ad Vitam (Hidup)   : Dubia ad bonam 

Ad Sanationa