ntukan
klasifikasi stadium TTG secara akurat?
Bukti Ilmiah
Penyakit yang tergabung dalam TTG adalah: mola invasif (MI), koriokarsinoma (Kr), placental site
trophoblastic tumor (PSTT), dan epitheloid trophoblastic tumor (ETT). Apabila pemeriksaan
histopatologi tidak dapat dilaksanakan akibat tidak tersedianya jaringan untuk pemeriksaan, maka
diagnosis TTG dapat ditegakkan ketika kadar beta hCG tetap mengalami peningkatan yang persisten
meskipun kehamilan mola sudah dievakuasi. (Berkowitz et al, 2015a)
Pemeriksaan untuk klasifikasi stadium serta stratifikasi terapi setelah kehamilan mola
Terjadinya penyakit persisten pada pasien yang telah mengalami mola hidatidosa (MH) dapat diketahui
sejak dini dengan cara memantau kadar beta hCG. Terapi dapat ditentukan berdasarkan informasi yang
diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan klinis, pengukuran kadar serum beta hCG dan pemeriksaan
ultrasonografi Doppler di bagian pelvis untuk mengkonfirmasi bahwa sudah tidak ada kehamilan,
untuk mengetahui ukuran/volume uterus dan untuk mengetahui penyebaran penyakit di dalam pelvis
dan juga pembuluh darah pelvis.
Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan pada semua pasien untuk mengeksklusi adanya kehamilan.
Ketika kehamilan sudah dieksklusi, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan USG Onkologi
Ginekologi ataupun CT-scan untuk dapat menentukan stadium TTG secara lebih akurat.
CT-scan toraks tidak perlu dilakukan jika hasil foto toraks berada dalam batas normal. Hal ini karena
meskipun ditemukan mikrometastasis (yang dapat ditemukan pada ~40% pasien), tidak akan
mempengaruhi luaran pasien . Namun, jika ternyata hasil foto toraks menunjukkan
adanya lesi, maka perlu dilakukan pemeriksaan tambahan berupa magnetic resonance imaging (MRI)
pada otak serta CT-scan pada tubuh. Hal ini penting untuk mengeksklusi penyakit yang lebih tersebar
luas, terutama sekali jika terdapat penyebaran pada otak ataupun hepar, karena hal ini akan sangat
mempengaruhi tata laksana pasien.
Metastasis pada paru harus dinilai berdasarkan foto toraks dan bukan CT-scan toraks, karena kriteria
klasifikasi stadium oleh International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) menggunakan
foto toraks. Semua pasien harus memiliki foto toraks dasar sebagai pembanding.
PET singkatan dari "positron emission tomography", merupakan tes pencitraan kedokteran nuklir yang
menggunakan sejumlah kecil bahan radioaktif cair yang disuntikkan ke tubuh pasien. PET scan
digunakan untuk mendiagnosis berbagai penyakit, termasuk kanker. Zat radioaktif yang paling umum
digunakan dalam PET scan adalah gula sederhana (seperti glukosa) yang disebut FDG, yang
merupakan singkatan dari "fluorodeoxyglucose", zat ini digunakan karena tumor membutuhkan gula
untuk pertumbuhannya. Zat tersebut akan terakumulasi di tubuh pasien dan mengeluarkan energi dalam
bentuk sinar gamma, yang akan terdeteksi oleh PET scan dan sebuah komputer kemudian mengubah
sinyal menjadi gambar atau gambar rinci yang menunjukkan bagaimana jaringan dan organ bekerja.
Pemindai PET sekarang umumnya digabungkan dengan pemindai tomografi (CT) terkomputerisasi,
yang disebut PET-CT scan. CT scan menggunakan peralatan sinar-X untuk membuat gambar rinci
irisan bagian dalam tubuh Anda. Kombinasi PET-CT memungkinkan diagnosis yang lebih akurat untuk
setiap masalah.
Pemeriksaan untuk klasifikasi stadium pada koriokarsinoma (Kr) dan placental site trophoblastic
tumour/epithelioid trophoblastic tumour (PSTT/ETT)
Pasien yang datang dengan peningkatan kadar beta hCG dan dicurigai mengalami TTG (Kr atau
PSTT/ETT) setelah kehamilan sebelumnya akan memerlukan pemeriksaan yang jauh lebih ekstensif.
Pemeriksaan-pemeriksaan ini meliputi CT-scan toraks dan abdomen dengan kontras, MRI otak dan
pelvis, ultrasonografi Doppler pada pelvis dan jika diperlukan, pungsi lumbal untuk memperoleh data
rasio kadar beta hCG pada cairan serebrospinal dibandingkan dengan serum. Jika rasio menunjukkan
hasil lebih dari 1:60, maka kemungkinan pasien tersebut mengalami gangguan sistem saraf pusat
meskipun belum tampak tanda klinis apapun (Seckl et al, 2010). Jika terdapat keraguan mengenai
diagnosis klinis, maka sebaiknya diambil sampel jaringan dan kemudian dilakukan analisis genetik
terkait adanya gen paternal untuk menentukan sumber tumor. Pada Kr, sistem klasifikasi stadium
berdasarkan FIGO harus diaplikasikan, sementara pada PSTT/ETT, sistem klasifikasi stadium FIGO
tidak valid karena PSTT/ETT memiliki perilaku biologis yang berbeda (produksi beta hCG lebih
rendah, laju pertumbuhan lebih lambat, metastasis yang lebih lambat, dan kemosensitivitas yang lebih
rendah). Oleh karena itu, pada PSTT/ETT, klasifikasi stadium FIGO hanya digunakan untuk
mengadaptasi intensitas terapi. Beberapa peneliti saat ini mulai menggunakan pencitraan dengan
positron emission tomography/computed tomography (PET-CT), namun ternyata modalitas pencitraan
ini lebih berguna untuk mengidentifikasi lokasi terjadinya relaps (sehingga bisa menentukan lokasi
reseksi). PET-CT pada kanker juga mudah mengalami false-positive dan false-negative
saran 3.2.1.1 Tingkat
Wanita dengan tumor trofoblas gestasional (TTG) harus menjalani
pemeriksaan kadar beta hCG, USG pelvis, CT-scan abdomen dan pelvis,
serta foto toraks.
C
saran 3.2.1.2 Tingkat
Jika ditemukan metastase pada foto toraks, maka harus dilakukan
pemeriksaan CT-scan pada toraks serta MRI pada otak dan PET Scan
C
Poin Penting
Pemeriksaan serta penentuan putusan terkait tata laksana pasien harus dilakukan oleh seorang
Konsultan Onkologi Ginekologi yang memang ahli dalam bidang ini.
Pertanyaan klinis 3.2.2.1
Pada wanita dengan TTG, sistem penilaian risiko (risk scoring system) apa yang sebaiknya
digunakan untuk menentukan klasifikasi stadium TTG?
Bukti Ilmiah
The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) melaporkan data TTG
menggunakan sistem klasifikasi stadium anatomis (tabel 1) dan juga sistem penilaian prognosis (tabel
2)
Sejak tahun 2002, semua klinisi yang menangani kasus TTG harus menggunakan sistem ini agar data
yang diperoleh antar Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblas dapat dibandingkan dengan baik. Sistem
penilaian prognosis FIGO (prognostic score) memprediksi potensi terjadinya resistensi terhadap obat
kemoterapi tunggal (methotrexate atau actinomycin D). Nilai 0-6 menunjukkan risiko rendah untuk
terjadinya resistensi, sementara nilai > 7 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadi resistensi. Jika
nilai yang diperoleh > 7, maka kemungkinan keberhasilan terapi menggunakan obat kemoterapi
tunggal sangatlah kecil bahkan hampir tidak ada, sehingga sebaiknya diterapi menggunakan terapi
multi-agen. Klasifikasi stadium anatomis (anatomical staging) dapat membantu untuk menentukan
terapi dan juga memberikan informasi tambahan untuk klinisi.
Tabel 4 Klasifikasi Stadium Anatomis (Anatomical Staging) FIGO (2009)
Stadium I TTG terbatas di uterus
Stadium II TTG meluas keluar dari uterus, namun tetap terbatas pada struktur
genitalia
Stadium III TTG meluas ke paru-paru, dengan/tanpa keterlibatan traktus genitalia
Stadium IV Metastasis ke lokasi lainnya
Klasifikasi stadium menggunakan notasi berupa angka romawi (menandakan klasifikasi stadium
anatomis FIGO) kemudian diikuti oleh angka arab (menandakan penilaian WHO yang dimodifikasi).
PSTT dan ETT diklasifikasikan secara terpisah (Biscaro et al, 2015). Total nilai dari masing-masing
pasien diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai yang diperoleh dari masing-masing faktor prognostik
yang tersedia. Jika nilai yang diperoleh adalah 0-6, maka pasien dianggap berisiko rendah, sementara
jika nilai yang diperoleh > 7, maka pasien dianggap berisiko tinggi. PSTT dan ETT tidak dapat dinilai
menggunakan sistem penilaian prognosis ini
Keputusan yang diambil berdasarkan penilaian risiko (misalnya keputusan dalam pemilihan dan
pemberian kemoterapi) harus dilakukan oleh ahli yang memiliki pengalaman luas di bidang ini.Pasien dengan hasil dalam batas ambang (borderline patients) harus diberikan pertimbangan khusus
dan didiskusikan oleh Tim Trofoblas. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pasien dengan nilai
prognosis sebesar 5-6 kemungkinan memiliki peningkatan resistensi terhadap kemoterapi tunggal. Pada
penelitian yang dilakukan oleh lebih dari setengah pasien risiko rendah dengan
skor FIGO/WHO sebesar 0-6 berhasil memberikan respon komplit (complete response) terhadap terapi lini pertama menggunakan methotrexate/folinic acid (60%). Namun, pasien dengan skor 6 atau kadar
beta hCG > 100.000 IU/l ternyata mengalami angka resistensi yang lebih tinggi yang
bermakna/signifikan. Respon komplit terhadap methotrexate/folinic acid hanya tercapai pada sebanyak
19% pasien dengan nilai FIGO/WHO 6 dan pada 16% pasien dengan kadar beta hCG >100.000 IU/l
0
saran 3.2.2.1 Tingkat
Wanita dengan TTG harus dinilai menggunakan FIGO score untuk
memutuskan pemilihan regimen kemoterapi yang akan diberikan.
Tanggung Jawab terkait Implementasi saran
Kementerian Kesehatan, Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI), dan Direktur
Rumah Sakit memiliki tanggung jawab bersama dalam mengimplementasikan saran
yang tercantum pada PNPK, sementara setiap anggota dari tim multidisiplin bertanggung
jawab terhadap implementasi dari masing-masing saran pedoman yang relevan dengan
bidang mereka.
Pertanyaan klinis 4.1.1.1
Apa saja indikasi dilakukannya kemoterapi pada wanita dengan TTG?
Bukti Ilmiah
Indikasi kemoterapi ditetapkan oleh International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)
dan dijabarkan di bawah ini. Indikasi yang paling umum adalah adanya peningkatan atau tidak adanya
perubahan (plateau) kadar human chorionic gonadotropin (beta hCG). Indikasi lainnya yaitu adanya
diagnosis koriokarsinoma berdasarkan histopatologi dan adanya penyebaran ke organ lain. Penelitian
menunjukkan bahwa TTG tidak akan mengalami remisi spontan jika kadar beta hCG 1 bulan setelah
evakuasi mola hidatidosa (MH) masih >20.000 IU/l (dan diasosiasikan pula dengan peningkatan risiko
perforasi uterus) ataupun jika terdapat metastasis paru atau metastasis vagina >2 cm (lesi dengan
ukuran lebih kecil dapat mengalami regresi secara spontan) Selain itu, kemoterapi
dapat diberikan untuk membantu menghentikan perdarahan masif yang memerlukan transfusi darah
(meskipun kadar beta hCG sudah menurun).
Data terkini menunjukkan bahwa pemantauan saja sudah cukup adekuat untuk sejumlah wanita yang
terus mengalami penurunan kadar beta hCG selama 6 bulan sesudah evakuasi dilakukan (Agarwal et al,
2012). Namun, keputusan ini tidak dapat disamaratakan dan hanya dapat diputuskan untuk pasienpasien tertentu oleh klinisi yang telah berpengalaman dalam menangani kasus TTG.
Indikasi kemoterapi pada TTG :
• Tidak adanya perubahan atau adanya peningkatan kadar human chorionic gonadotropin (beta
hCG) setelah evakuasi dilakukan menurut kriteria WHO atau Kurva Mochizuki
• Terdapat perdarahan vagina yang masif atau tedapat perdarahan gastrointestinal maupun
intraperitoneal
• Terdapat bukti histopatologi yang menunjukkan adanya koriokarsinoma
• Terdapat bukti metastasis pada otak, hepar, saluran cerna, atau terdapat bayangan opak > 2 cm
pada foto toraks
Pasien-pasien dengan keadaan berikut harus didiskusikan secara individu:
• Wanita dengan kadar serum beta hCG >20.000 IU/l selama lebih dari 4 minggu sesudah
evakuasi (karena berisiko untuk mengalami perforasi uterus)
• Wanita dengan kadar beta hCG yang masih diatas ambang normal pada 6 bulan sesudah
evakuasi (meskipun kadar beta hCG masih mengalami penurunan)
saran 4.1.1.1 Tingkat
Indikasi dilakukannya kemoterapi pada pasien TTG:
• Tidak adanya perubahan (plateau) atau adanya peningkatan (rising)
kadar human chorionic gonadotropin (beta hCG) setelah evakuasi
dilakukan menurut kriteria WHO atau kurva Mochizuki,
• Terdapat perdarahan vagina masif atau terdapat perdarahan
gastrointestinal maupun intraperitoneal,
• Terdapat bukti histopatologi yang menunjukkan adanya
koriokarsinoma,
• Terdapat bukti metastasis.
• Kadar beta hCG yang masih diatas ambang normal pada 6 bulan
sesudah evakuasi (meskipun kadar beta hCG masih mengalami
penurunan).
Plateau didefinisikan sebagai >4 kadar beta hCG yang ekuivalen dalam jangka waktu minimal selama
3 kali pemeriksaan. Peningkatan didefinisikan sebagai adanya peningkatan kadar beta hCG sebesar
10% dari 3 hasil pemeriksaan kadar beta hCG dalam jangka waktu minimal selama 2 kali pemeriksaan.
Pertanyaan klinis 4.1.2.1
Apakah regimen kemoterapi lini pertama yang optimal untuk diberikan pada pasien TTG risiko
rendah (FIGO 0-6)?
Bukti Ilmiah
TTG risiko rendah memiliki salah satu dari karakteristik berikut:
• TTG stadium I (FIGO) – Stadium ini memiliki karakteristik berupa adanya peningkatan kadar
human chorionic gonadotropin (beta hCG) yang persisten dan/atau tumor terbatas di uterus
• TTG stadium II atau III (FIGO) dengan nilai risiko WHO sebesar 0-6
Terapi standar untuk hampir seluruh pasien TTG risiko rendah adalah kemoterapi menggunakan agen
tunggal, yaitu methotrexate saja, actinomycin D saja atau etoposide saja. Terdapat sejumlah variasi
dalam regimen terkait perbedaan dosis, frekuensi, rute pemberian, serta kriteria pemilihan pasien untuk
terapi Sejumlah peneliti berargumen bahwa terapi dengan intensitas
tinggi (terapi diberikan setiap hari selama 5-8 hari setiap 2 minggu) lebih menguntungkan
dibandingkan dengan terapi intensitas rendah (terapi diberikan 1 kali setiap 2 minggu)
Pihak lain menyatakan bahwa actinomycin D memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
menyebabkan remisi dibandingkan dengan methotrexate. Beberapa penelitian dengan randomisasi yang
berusaha membuktikan pendapat-pendapat tersebut kebanyakan memiliki power yang rendah serta
membandingkan regimen yang tidak sering digunakan secara internasional Oleh
karena itu, baru-baru ini dilakukan suatu uji klinis dengan randomisasi skala besar mengenai
perbandingan antara regimen methotrexate yang umum digunakan di Eropa dan Pusat Pengelolaan
Penyakit Trofoblas lainnya (methotrexate 0.4 mg/kg (maksimal 25 mg) IV hari ke-1 sampai ke-5 setiap
2 minggu) dan regimen actinomycin-D (1.25 mg/m2 IV setiap 2 minggu). Pasien
yang mengalami kegagalan terapi menggunakan terapi lini pertama akibat resistensi umumnya dapat
diganti dengan menggunakan terapi lini kedua atau bahkan terapi lini ketiga, sehingga kesintasan
keseluruhan (overall survival) pada pasien TTG adalah ~100% Karena angka kesintasan TTG sangat tinggi, maka sebaiknya
kemoterapi dimulai dari regimen yang paling tidak toksik terlebih dahulu.
Regimen methotrexate yang dikombinasikan dengan folinic acid harus diberikan di rumah sakit.
Regimen kombinasi ini bersifat efektif, dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menyebabkan
kerontokan rambut (berbeda halnya dengan actinomycin-D) sehingga regimen ini sudah diadaptasikan
secara luas
Suatu data penelitian yang tidak terandomisasi menunjukkan bahwa mengurangi 1 siklus terapi
konsolidasi dapat meningkatkan risiko relaps sebesar 2-3 kali lipat (Lybol et al, 2012). Fakta ini
menunjukkan betapa pentingnya pemberian 3 siklus terapi konsolidasi methotrexate setelah kadar beta
hCG kembali normal.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hasanzadeh et al, (2014), efficacy regimen methotrexate IM yang
diberikan setiap minggu disertai dengan peningkatan dosis pada pasien TTG risiko rendah adalah
sebesar 74.3% dan merupakan angka keberhasilan tertinggi di penelitian-penelitian terkini. Penelitian
ini juga menyatakan bahwa efektivitas regimen methotrexate menjadi lebih rendah ketika diberikan
pada pasien dengan nilai prognosis sebesar 5 dan 6, dan terutama sekali pada pasien dengan nilai 6.
Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan terkait manajemen, protokol terapi, serta perubahan
klasifikasi. Suatu penelitian retrospektif lain yang dilakukan oleh Taylor et al. (2013) menunjukkan
bahwa sebanyak 60% pasien (173/289 pasien) yang diterapi dengan methotrexate/folinic acid berhasil
memberikan respon komplit, sementara sebanyak 40% sisanya (116 pasien) mengalami resistensi.
Menurut DiSaia dkk (2012), etoposide diberikan 200 mg/m2
/hari per oral selama 5 hari setiap 2
minggu. Sedangkan pemberian actinomisin-D pada TTG risiko rendah adalah 9-13 mcg/kgBB/hari
intravena, dengan dosis maksimal 500 mcg/hari selama 5 hari setiap 2 minggu atau dapat diberikan
actinomisin-D dengan dosis 1,25 mg/m2 bolus intravena setiap 2 minggu.
saran 4.1.2.1 Tingkat
Pasien dengan FIGO score sebesar 0-6 dapat diterapi dengan agen tunggal
yaitu methotrexate (dengan/tanpa folinic acid) atau actinomycin D. Sebagian
besar pusat trofoblas lebih cenderung menggunakan methotrexate dengan
folinic acid karena methotrexate dengan folinic acid memiliki toksisitas yang
lebih rendah dibandingkan dengan methotrexate saja maupun actinomycin
D
saran 4.1.2.2 Tingkat
Setelah kadar beta hCG kembali normal, kemoterapi pada pasien risiko
rendah harus tetap dilanjutkan yaitu sebanyak 2-3 siklus sebagai terapi
konsolidasi.
C
Poin Penting
Histerektomi (sebagai pengganti kemoterapi) memiliki potensi untuk menjadi pilihan terapi
awal bagi pasien TTG yang tidak mempermasalahkan keadaan fertilitasnya di kemudian hari.
Pertanyaan klinis 4.1.3.1
Apakah regimen kemoterapi lini pertama yang optimal untuk diberikan pada pasien TTG risiko
tinggi (FIGO >7)?
Bukti Ilmiah
TTG risiko tinggi memiliki salah satu dari karakteristik berikut:
• Hammond risiko tinggi
• TTG (FIGO) dengan nilai risiko WHO sebesar >7
EMA/CO (etoposide, methotrexate, actinomycin D serta cyclophosphamide dan oncovin/vincristine)
merupakan regimen kemoterapi kombinasi lini pertama yang umum digunakan pada pasien TTG risiko
tinggi. Pada uji klinis yang terandomisasi, regimen ini masih jarang dibandingkan dengan regimen
kombinasi lain seperti MAC (methotrexate, actinomycin D, cyclophosphamide atau chlorambucil)
ataupun FAV (5-FU, actinomycin D, dan vincristine). Regimen-regimen tersebut memiliki toksisitas
yang lebih rendah dibandingkan dengan regimen EMA/CO; namun masih diperlukan suatu uji klinis
terandomisasi yang berkualitas untuk mengevaluasi dampak jangka panjang serta kemungkinan
munculnya keganasan sekunder pada pasien yang telah diterapi menggunakan regimen-regimen
tersebut. Uji klinis pada TTG sulit untuk dilaksanakan karena TTG memiliki insidensi rendah sehingga
diperlukan kolaborasi multicenter.
Penelitian retrospektif terkini yang dilakukan oleh Alifrangis et al. (2013) menunjukkan bahwa
kesintasan pasien TTG periode 1995 – 2010 yang diterapi menggunakan regimen kemoterapi EMA/CO
meningkat secara signifikan dari 86.2% (sebelum tahun 1995) menjadi 97.9%. Terapi kemoterapi
induksi menggunakan EP diberikan pada 23.1% pasien risiko tinggi (33 dari 140 pasien) dan hasilnya
jumlah kematian dini mengalami penurunan dari 7.2% sebelum tahun 1995 (n=11 dari 151 pasien; KI
95%, 4.1%-12.6%) menjadi 0.7% (n=1; KI 95%, 0.1-3.7%). Namun, pasien risiko tinggi yang
diberikan EP memiliki angka relaps yang lebih tinggi (9%, P = 0.44) dan angka kematian yang juga
lebih tinggi (12%, P= 0.088) dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan EP (angka relaps 6%,
angka kematian 4%), meskipun angka yang lebih tinggi ini tidak signifikan secara statistik.
saran 4.1.3.1 Tingkat
Pasien dengan FIGO score >7 harus diterapi menggunakan kemoterapi
multi-agen, dan sebagian besar Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblas kini
menggunakan kombinasi EMA/CO karena memiliki efektivitas yang tinggi,
simpel untuk diberikan, dan relatif tidak toksik.
B
saran 4.1.3.2 Tingkat
Kematian dini pada TTG risiko sangat tinggi dapat dikurangi dengan cara
memberikan terapi induksi menggunakan etoposide dan cisplatin. Pasienpasien tersebut juga dapat diberikan terapi substitusi dari EMA/CO yaitu
terapi menggunakan EP/EMA.
C
Poin Penting
Pada pasien TTG risiko tinggi, keputusan penanganan pasien tidak bisa disamaratakan (harus
berdasarkan individu) dan harus berdasarkan diskusi dengan klinisi yang berpengalaman
dalam menangani kasus TTG risiko tinggi.
Pertanyaan klinis 4.1.4.1
Pada pasien TTG risiko rendah yang mengalami perdarahan dan sedang menjalani kemoterapi
pertama, tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengobservasi dan mengatasi perdarahan?
Bukti Ilmiah
Tim penyusun pedoman ini mesaran kan bahwa siklus kemoterapi pertama (dan kedua, jika
diperlukan) sebaiknya diberikan saat pasien dirawat inap di Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblas yang
memiliki fasilitas onkologi ginekologi dan radiologi intervensi. Kemoterapi selanjutnya pada pasien
yang tidak bermasalah dapat diberikan di Rumah Sakit setempat yang memiliki SpOG.
Jika kadar beta hCG sangat tinggi, massa uterus berukuran besar, atau jika terdapat bukti metastasis ke
vagina, maka pasien dapat dirawat inap selama 2 siklus kemoterapi (atau lebih) karena adanya risiko
perdarahan
Pada TTG dapat terjadi perdarahan pervaginam maupun perdarahan intraperitoneal. Jika perdarahan
bersifat sedang, maka perdarahan dapat diatasi dengan tirah baring dan kemoterapi. Jika perdarahan
bersifat masif maka perlu dilakukan terapi berupa tampon vagina, radiasi hemostatis, transfusi darah,
anti-fibrinolitik, embolisasi emergensi, atau histerektomi. Berdasarkan penelitian dalam 25 tahun ke
belakang, intervensi-intervensi tersebut hanya diperlukan oleh <1.5% pasien TTG.
Indikasi dilakukan histerektomi total pada TTG adalah bila terjadi perdarahan masif atau terjadi kemoresisten.
saran 4.1.4.1 Tingkat
Pada pasien TTG risiko rendah yang menjalani kemoterapi lini pertama,
sebaiknya kemoterapi siklus pertama + kedua diberikan dalam setting rawat
inap di suatu Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblas yang memiliki fasilitas
onkologi ginekologi, dan radiologi intervensi.
C
Pertanyaan klinis 4.1.5.1
Pada wanita dengan TTG, pemeriksaan apa yang harus dilakukan untuk memantau respon
terhadap kemoterapi dan juga untuk follow-up?
Bukti Ilmiah
Pemantauan respon kemoterapi pada pasien risiko rendah
Kadar beta hCG pasien harus dipantau sebelum terapi siklus berikutnya. Terapi dilanjutkan hingga
kadar beta hCG kembali normal, kemudian terus dilanjutkan sebanyak 2-3 siklus tambahan (terapi
konsolidasi).
Pemantauan respon kemoterapi pada pasien risiko tinggi
Terapi dilanjutkan selama 6 minggu (3 kali) setelah kadar beta hCG kembali normal, atau selama 8
minggu (4 kali) jika terdapat faktor-faktor yang memperburuk prognosis, seperti adanya metastasis ke
liver ataupun ke otak. Kemudian dilakukan re-imaging untuk mendokumentasikan tampilan pasien
pasca terapi dengan tujuan sebagai pembanding. Pengangkatan sisa massa tidak perlu untuk dilakukan
karena pengangkatan ini tidak akan menurunkan risiko rekurensi (risiko rekurensi sendiri hanya <3%)
Follow-up pasien pasca kemoterapi
Setelah pasien mencapai remisi, kadar serum beta hCG harus tetap diperiksa setiap 2 minggu sekali
hingga hasil pemantauan menunjukkan bahwa kadar beta hCG terus berada dalam rentang normal
selama 1 tahun. Beberapa Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblas di dunia terus melakukan pemeriksaan
titer beta hCG setiap 6 bulan sekali selama seumur hidup untuk individu-individu tertentu yang berisiko
tinggi. Individu yang termasuk dalam kategori risiko tinggi adalah wanita yang mengalami resistensi
yang sangat tinggi sehingga memerlukan multipel regimen kemoterapi kombinasi, wanita dengan
koriokarsinoma stadium lanjut, serta wanita yang mengalami rekurensi di kemudian hari. (Garner,
2013) follow up selama minimal 5 tahun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien-pasien
yang memiliki risiko sangat tinggi tersebut.
saran 4.1.5.1 Tingkat
Pemantauan terapi pada pasien risiko rendah: Kadar beta hCG pasien
diperiksa sebelum terapi pada siklus berikutnya.
C
saran 4.1.5.2 Tingkat
Pemantauan terapi pada pasien risiko tinggi: Pasien dengan risiko tinggi
harus menjalani terapi konsolidasi sebanyak 3 siklus setelah kadar beta
hCG kembali normal, atau sebanyak 4 siklus pada pasien dengan faktorfaktor yang memperburuk prognosis, seperti terdapatnya metastasis ke
hepar dengan/tanpa metastasis ke otak.
saran 4.1.5.3 Tingkat
Follow-up sesudah terapi: Setelah remisi tercapai, kadar serum beta hCG
harus diperiksa setiap 2 minggu sekali hingga pemantauan menunjukkan
bahwa kadar beta hCG dalam rentang normal selama 1 tahun.
C
Poin Penting
Follow up selama minimal 5 tahun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien-pasien
yang memiliki risiko sangat tinggi.
Pertanyaan klinis 4.1.6.1
Apakah indikasi untuk mengganti regimen terapi kemoterapi lini pertama pada wanita dengan
TTG?
Bukti Ilmiah
Kemoterapi harus terus diberikan hingga kadar beta hCG kembali normal, kemudian kemoterapi terus
dilanjutkan sebanyak minimal 2-3 siklus (konsolidasi) sejak kadar beta hCG kembali normal (Lybol et
al, 2012). Regimen harus diganti jika respon terapi tidak adekuat (misalnya kadar beta hCG tidak
mengalami perubahan (plateau) atau bahkan mengalami peningkatan (rising) pada 2 kali pemeriksaan,
atau ketika terjadi toksisitas (seperti mucositis, pleuritic chest pain, atau nyeri abdomen).
Resistensi terhadap kemoterapi lini pertama terjadi pada sekitar 5% pasien TTG risiko tinggi tanpa
metastasis dan sekitar 10-15% dengan metastasis
Resistensi terhadap kemoterapi dan adanya rekurensi penyakit lebih sering ditemukan pada pasien TTG
risiko tinggi Sekitar 20-30% pasien risiko tinggi hanya memberikan
respon inkomplit terhadap kemoterapi lini pertama, atau mengalami rekurensi setelah sempat mencapai
remisi dan pada akhirnya memerlukan salvage chemotherapy.
saran 4.1.6.1 Tingkat
Pada pasien TTG risiko rendah, terdapat indikator klinis yang
menunjukkan perlunya dilakukan perubahan terapi dari regimen
kemoterapi lini pertama, yaitu: Terdapat toksisitas akibat terapi ataupun
terdapat respon yang inadekuat (didefinisikan sebagai adanya peningkatan
kadar beta hCG atau kadar beta hCG tetap sama (plateau) pada 2 kali
pengukuran.
Poin Penting
Sebelum memulai suatu regimen baru, perlu dipertimbangkan untuk melakukan klasifikasi
stadium ulang (terutama pada pasien risiko tinggi).
Pertanyaan klinis 4.1.7.1
Apakah bentuk terapi lini selanjutnya yang harus diberikan, bila pasien TTG risiko rendah
tidak berespon terhadap kemoterapi agen tunggal (methotrexate atau actinomycin D) atau pada
pasien yang mengalami relaps setelah kadar beta hCG sempat mencapai rentang normal pasca
pemberian kemoterapi agen tunggal?
Pada penelitian oleh Sita-Lumsden et al. (2012), ditemukan bahwa penetapan nilai cut-off yang lebih
tinggi (300 IU/l) memberikan angka keberhasilan actinomycin-D yang lebih tinggi yaitu 94%,
sementara nilai cut-off yang lebih rendah yaitu 100 IU/l memberikan angka keberhasilan yang lebih
rendah yaitu 87%.
Pada wanita dengan TTG risiko rendah, jika kemoterapi selanjutnya dengan agen tunggal juga
mengalami kegagalan, maka perlu diberikan kemoterapi multiagen untuk mencapai kesembuhan; Hal
ini perlu dilakukan pada sekitar 6-15% kasus
Regimen kemoterapi multiagen yang paling sering digunakan di Charing Cross adalah EMA/CO.
Namun, New England Trophoblastic Disease Centre (NETDC, USA) lebih memilih untuk mencoba
regimen kemoterapi MAC sebelum memberikan regimen EMA/CO dengan alasan bahwa etoposide
diasosiasikan dengan peningkatan risiko terjadinya tumor sekunder
Pemilihan terapi lini selanjutnya tergantung dari kadar beta hCG pasien. Jika pasien memiliki kadar
beta hCG <300 IU/l maka dapat diberikan actinomycin-D (agen tunggal), sementara jika kadar beta
hCG >300 IU/l maka dapat diberikan EMA-CO
Penelitian Alifrangis et al, 2013 menunjukkan bahwa 250 pasien TTG risiko rendah yang diterapi
dengan EMA/CO (sebagai terapi lini kedua setelah adanya relaps atau adanya resistensi terhadap
kemoterapi agen tunggal) memiliki angka kesintasan keseluruhan (overall survival rate) sebesar 99.6%.
Hanya 4 pasien (1.5%) yang mengalami resistensi dan/atau relaps setelah EMA/CO, dan keempat
pasien ini kemudian dapat disembuhkan menggunakan terapi salvage regimens.
saran 4.1.7.1 Tingkat
Pada pasien TTG risiko rendah dengan respon yang inadekuat atau
mengalami relaps setelah diberikan kemoterapi agen tunggal (methotrexate
atau actinomycin D), terapi lini selanjutnya adalah kemoterapi kombinasi
menggunakan EMA/CO.
B
Pertanyaan klinis 4.1.8.1
Apakah terapi lini selanjutnya yang harus diberikan pada pasien TTG risiko tinggi yang tidak
merespon atau mengalami relaps setelah menjalani kemoterapi lini pertama?
Bukti Ilmiah
Pasien TTG risiko tinggi yang tidak merespon atau mengalami relaps setelah menjalani kemoterapi lini
pertama sangatlah jarang, sehingga pertimbangan terapi pada masing-masing kasus harus didiskusikan
dengan ahli internasional.
Pada saat ini, salvage regimen yang paling sering digunakan di Amerika Utara dan UK adalah
EMA/EP Cochrane review menunjukkan bahwa sekitar 90% pasien TTG risiko
tinggi yang awalnya diterapi dengan regimen EMA/CO kemudian dilanjutkan dengan salvage regimen
berupa kombinasi platinum-etoposide tetap bertahan hidup Pada 3 seri penelitian
mengenai salvage treatment menggunakan EMA/EP setelah terjadinya kegagalan terapi dengan
EMA/CO, didapatkan angka kesembuhan sebesar 75% (9 dari 12 wanita; Newlands 2000), 66.6% (12
dari 18 wanita; Mao 2007), dan 84.9% (11 dari 13 wanita; Lu 2008). Namun, ditemukan pula bahwa
EMA/EP memiliki efek supresi sumsum tulang (myelosuppression) yang signifikan serta menyebabkan
efek hepatotoksik. Efek samping inilah yang menyebabkan adanya penundaan terapi dan juga
penurunan dosis. Efek supresi sumsum tulang dapat diminimalisasi dengan cara memberikan
granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF)
Terdapat alternatif lain dari EMA/EP yaitu TP/TE (paclitaxel/cisplatin dan paclitaxel/etoposide).
Regimen dengan kandungan taxane ini memiliki angka kesembuhan yang sebanding dengan regimen
EMA/EP (70% dari 10 pasien yang belum pernah terapapar terapi EP sebelumnya mengalami kesembuhan) dan memiliki efek toksik yang lebih rendah sehingga tidak ditemukan terjadinya
penundaan ataupun penurunan dosis kemoterapi Saat ini sedang dikembangkan
sebuah uji klinis untuk membandingkan regimen-regimen tersebut
Terdapat pula pendekatan lain pada pasien TTG risiko tinggi yang tidak merespon atau mengalami
relaps yaitu pemberian kemoterapi dosis tinggi disertai dengan transplantasi stem-cell perifer, namun
pendekatan ini jarang menghasilkan kesembuhan
saran 4.1.8.1 Tingkat
Pada pasien TTG risiko tinggi dengan respon yang inadekuat atau
mengalami relaps setelah diberikan kemoterapi lini pertama, regimen
selanjutnya yang dapat diberikan adalah kemoterapi kombinasi EMA/EP
atau TP/TE.
C
Poin Penting
Kondisi ini (pasien TTG risiko tinggi yang tidak merespon atau mengalami relaps setelah
menjalani kemoterapi lini pertama) sangat jarang ditemukan, sehingga pertimbangan terapi
pada masing-masing kasus harus didiskusikan pada Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblast.
Pertanyaan klinis 4.1.9.1
Regimen kemoterapi apakah yang optimal untuk diberikan pada pasien TTG yang datang
dengan keadaan umum buruk, metastasis ke hepar, otak, ataupun paru?
Bukti Ilmiah
Kondisi ini sangat jarang ditemukan, sehingga pertimbangan terapi pada masing-masing kasus harus
didiskusikan dengan Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblast.
Terapi Emergensi
Pada pasien dengan keadaan umum buruk akibat penyakit hepar ataupun sistem saraf pusat (SSP), dan
terutama sekali pada pasien dengan ancaman gagal napas, maka dapat diberikan kemoterapi berupa EP
selama 2 hari (E 100 mg/m2 D 1+2, P 20 mg/m2 D 1+2). Terapi ini dapat diulangi setiap minggu,
kemudian dapat diganti ke regimen EMA/CO atau EMA/EP.
Metastasis ke hepar
Pasien yang datang dengan metastasis ke hepar dapat diterapi menggunakan protokol EMA/EP.
(Charing Cross, 2015)
Penelitian dengan subjek pasien dengan metastasis ke hepar yang dilakukan oleh Barber et al. (2014)
menunjukkan bahwa sebanyak 82% pasien memberikan respon komplit terhadap regimen EMA/CO,
sementara hanya sebanyak 17% pasien memberikan respon komplit terhadap regimen lain
(Methotrexate, ACT-D, atau MAC) (P = 0.035).
Metastasis ke otak
Pada kasus ini, rumah sakit Charing Cross memberikan terapi berupa regimen EMA/CO dosis tinggi
yaitu pemberian methotrexate dosis tinggi (1 g/m2
) dan dikombinasikan dengan durasi pemberian
folinic acid rescue (FA) yang diperpanjang. Dosis kemoterapi EMA/CO untuk SSP ini tetap
dilanjutkan selama 8 minggu sesudah kadar human chorionic gonadotropin (beta hCG) kembali
normal. Methotrexate intrathecal juga diberikan sebanyak 12.5 mg disertai dengan folinic acid
sebanyak 15 mg pada minggu terapi CO hingga kadar serum beta hCG kembali normal, kemudian
selanjutnya terapi tersebut dapat dihentikan.
Pada keadaan emergensi dengan metastasis ke otak, maka diberikan dexamethasone dosis tinggi dan
diikuti dengan pemberian regimen EP selama 2 hari sesuai dengan yang tercantum di atas.
Pada pasien dengan metastasis ke hepar dan otak di saat yang bersamaan, diberikan terapi sebagai
berikut:
Terapi ini mengkombinasikan EMA dalam dosis SSP dan dikombinasikan dengan terapi EP. Protokol
EMA hari ke-2 tidak dilakukan karena bersifat terlalu myelosuppressive ketika dikombinasikan dengan
EP. Granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF) dapat diberikan selama 3-4 hari, antara hari ke-1
dan 8 dan antara hari ke-8 dan 1.
Minggu ke-1 Hari ke-1 Actinomycin-D 0.5 mg IV (flat dose)
Etoposide 100 mg/m2 IV
NaCl fisiologis 1.000 ml + KCl 20 mMol, habis dalam 2 jam
Methotrexate 500 mg/m2 dalam 1.000 ml larutan NaCl fisiologis,
habis dalam 12 jam IV
Methotrexate 500 mg/m2 dalam 1.000 ml larutan NaCl fisiologis,
habis dalam 12 jam IV
Hari ke-2 Folinic acid 30 mg PO setiap 6 jam x 12 dosis, dimulai pada 32
jam setelah pemberian methotrexate atau Folinic acid 15 mg
IM/IV 24 jam setelah pemberian methotrexate.
Minggu ke-2 Hari ke-8 Etoposide 150 mg/m2 IV
Cisplatin 75 mg/m2 IV
Methotrexate intrathecal juga diberikan sebanyak 12.5 mg disertai dengan pemberian folinic acid
sebanyak 15 mg IM/IV pada minggu ke-2 (hari ke-8) hingga kadar beta hCG kembali normal,
kemudian terapi dapat dihentikan (Charing Cross, 2015, Savage et al, 2015).
Gagal napas
Pasien dengan metastasis ke paru dalam volume besar dapat diberikan oksigen dengan menggunakan
sungkup, penggunaan bantuan ventilator tidak dapat diberikan karena adanya risiko terjadinya
perdarahan traumatik (traumatic hemorrhage) dari pembuluh darah pada tumor (tumour vasculature).
Gangguan napas juga dapat disebabkan akibat adanya tumor pada pembuluh darah pulmonal, dan
umumnya hal ini dapat diatasi secara cepat dengan kemoterapi. Pemberian anti-koagulasi dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan emboli tumor (sangat jarang).
saran 4.1.9.1 Tingkat
Terapi Emergensi
Pada pasien dengan keadaan umum yang buruk akibat metastasis pada
hepar, sistem saraf pusat (SSP), dan yang berisiko gagal napas, dapat
diberikan kemoterapi emergensi berupa EP (E 100 mg/m2 D 1+2, P 20
mg/m2 D1+2) selama 2 hari. Regimen ini dapat diulang setiap minggu dan
kemudian dilanjutkan dengan regimen EMA/CO atau EMA/EP.
C
saran 4.1.9.2 Tingkat
Metastasis ke hepar
Pada pasien dengan keadaan umum yang buruk akibat metastasis pada
hepar, dapat diberikan kemoterapi emergensi berupa EP (E 100 mg/m2 D
1+2, P 20 mg/m2 D1+2) selama 2 hari. Regimen ini dapat diulang setiap
minggu dan kemudian dapat diganti menjadi regimen EP/EMA di
kemudian hari. Pasien yang datang dengan metastasis ke hepar harus
memulai terapi dengan protokol EMA/EP.
saran 4.1.9.3 Tingkat
Metastasis ke otak
Pada pasien dengan keadaan umum yang buruk akibat metastasis sistem
sarat pusat (SSP), dapat diberikan kemoterapi berupa EP (E 100 mg/m2 D
1+2, P 20 mg/m2 D1+2) selama 2 hari. Regimen ini dapat diulang setiap
minggu dan kemudian dapat diganti menjadi regimen EMA/CO dosis tinggi
di kemudian hari dengan dosis methotrexate yang ditingkatkan (1 g/m2
) dan
dikombinasikan dengan folinic acid dengan durasi pemberian yang
diperpanjang. Dosis EMA/CO pada kasus gangguan SSP dilanjutkan
selama 8 minggu setelah kadar beta hCG kembali normal. Pada situasi
kegawatdaruratan dengan metastasis ke otak, diberikan dexamethasone
dosis tinggi kemudian diikuti dengan pemberian EP selama 2 hari seperti
yang sudah tercantum di atas.
C
saran 4.1.9.4 Tingkat
Metastasis ke hepar dan ke otak di saat yang bersamaan
Pada pasien dengan keadaan umum yang buruk akibat metastasis pada
hepar atau sistem saraf pusat (SSP), terutama pasien yang berisiko gagal
napas, dapat diberikan kemoterapi emergensi berupa EP (E 100 mg/m2 D
1+2, P 20 mg/m2 D1+2) selama 2 hari. Regimen ini dapat diulang setiap
minggu dan dilanjutkan dengan regimen EMA/EP.
C
Poin Penting
Kondisi ini sangat jarang ditemukan, sehingga pertimbangan terapi pada masing-masing kasus
harus didiskusikan dengan Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblast.
saran Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Ringkasan saran Klinis
Penanggung jawab Implementasi: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dinas Kesehatan, dan
Direktur Rumah Sakit memiliki tanggung jawab bersama dalam mengimplementasikan saran
yang tercantum pada PNPK, sementara setiap anggota dari tim multidisiplin bertanggung jawab
terdapat implementasi dari masing-masing saran pedoman yang relevan dengan bidang mereka.
Terdapat berbagai macam penatalaksanaan untuk pasien dalam pedoman ini.
5.1. Diagnosis
5.1.1 Disaran kan untuk melakukan peninjauan hasil histologipatologi jaringan yang diperoleh
pada semua kasus kegagalan kehamilan (abortus, kehamilan ektopik dan mola hidatidosa)
dengan tujuan untuk mengeksklusi tumor trofoblas (saran D).
5.1.2 Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
kehamilan mola parsial ataupun komplit pada saat pra-evakuasi. Akan tetapi, diagnosis definitif
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi pada jaringan konsepsi. (saran
C).
5.1.3. Pada seluruh kasus yang dicurigai sebagai kehamilan mola, sebaiknya hasil histopatologi dapat
diterima oleh klinisi dalam waktu 14 hari (saran D).
5.1.4. Sebaiknya dibentuk suatu Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblas di Bandung untuk menangani
kasus-kasus TTG (saran D).
5.1.5. Manajemen pada kasus yang rumit harus didiskusikan dalam konferensi klinis di Pusat
Pengelolaan Penyakit Trofoblas. (saran D).
5.1.6 Pada kasus mola hidatidosa komplit, dilakukan pengawasan kadar human chorionic
gonadotropin (beta hCG) dilakukan setiap 1 minggu hingga tercapai kadar beta hCG normal
selama 3 minggu sesuai dengan kriteria WHO atau menurut kurva Mochizuki: kadar beta hCG
1000 mIU/4 minggu, ≤100 mIU/6 minggu, ≤20-30 mIU/8 minggu, ≤5 mIU/12 minggu (atau di
bawah batas normal).
• Jika hal ini tercapai dalam jangka waktu 8 minggu, maka lakukan pemantauan setiap 1
bulan selama 6 bulan sejak evakuasi.
• Jika normalisasi tercapai dalam jangka waktu > 8 minggu sejak evakuasi, maka lakukan
pengawasan setiap 1 bulan selama 6 bulan sejak kadar beta hCG kembali normal
(saran C).
5.1.7 Pada kasus mola hidatidosa parsial, pemantauan kadar beta hCG dilakukan setiap 1 minggu
hingga kadar beta hCG kembali normal, kemudian dilanjutkan dengan 1 kali pemeriksaan kadar
beta hCG tambahan untuk konfirmasi yang dilakukan pada 4 minggu kemudian. Jika kadar beta
hCG pada pemeriksaan tambahan tersebut normal, maka pemantauan dianggap tuntas/komplit.
(saran D).
5.2. Klasifikasi Stadium
5.2.1 Wanita dengan tumor trofoblas gestasional (TTG) harus dilakukan pemeriksaan kadar beta hCG,
USG pelvis, CT-scan abdomen dan pelvis, serta toraks foto (saran C).
5.2.2. Jika ditemukan metastase pada toraks foto, maka harus dilakukan pemeriksaan CT-scan pada
toraks serta MRI pada otak (saran C).
5.2.3. Wanita dengan TTG harus dinilai menggunakan FIGO score untuk memutuskan pemilihan
regimen kemoterapi yang akan diberikan (saran B).
5.3. Terapi
5.3.1 Indikasi dilakukannya kemoterapi pada pasien TTG:
• Tidak adanya perubahan atau adanya peningkatan kadar human chorionic gonadotropin
(beta hCG) setelah evakuasi dilakukan, menurut kriteria WHO atau kurva Mochizuki
• Terdapat perdarahan pervaginam masif atau terdapat perdarahan gastrointestinal maupun
intraperitoneal, dengan kadar beta hCG yang meningkat sesuai dengan kriteria WHO
atau kurva Mochizuki
Terdapat bukti histopatologi yang menunjukkan adanya koriokarsinoma
• Terdapat bukti metastasis pada otak, hepar, saluran cerna, atau terdapat bayangan opak
>2 cm pada toraks foto, dengan kadar beta hCG yang meningkat sesuai dengan kriteria
WHO atau kurva Mochizuki
• Kadar beta hCG yang masih diatas ambang normal di atas 12 minggu sesudah evakuasi
(meskipun kadar beta hCG masih mengalami penurunan).
5.3.2 Pasien dengan FIGO score sebesar 0-6 dapat diterapi dengan obat tunggal yaitu methotrexate
(dengan/tanpa folinic acid) atau actinomycin D. (saran C).
5.3.3 Setelah kadar beta hCG kembali normal, kemoterapi pada pasien risiko rendah tetap dilanjutkan
yaitu sebanyak 2-3 siklus sebagai terapi konsolidasi (saran C).
5.3.4 Pasien dengan FIGO score >7 harus diterapi menggunakan kemoterapi multi-agen, dan sebagian
besar pusat studi menggunakan kombinasi EMA/CO (Etoposide, methotrexate, actinomycin D
dengan cyclophosphamide dan vincristine) karena memiliki efektivitas yang tinggi, sederhana
untuk diberikan, dan relatif tidak toksik (saran B).
5.3.5 Pada pasien TTG risiko rendah yang menjalani kemoterapi lini pertama, sebaiknya kemoterapi
siklus pertama + kedua diberikan pada Pusat Pelayanan Kesehatan (PPK) III (saran C).
5.3.6 Pemantauan terapi pada pasien risiko rendah: Kadar beta hCG pasien diperiksa sebanyak 2 kali
per minggu saat menjalani terapi (saran C).
5.3.7 Pemantauan terapi pada pasien risiko tinggi: Pasien dengan risiko tinggi harus menjalani terapi
konsolidasi sebanyak 3 siklus setelah kadar beta hCG kembali normal, atau sebanyak 4 siklus
pada pasien dengan faktor-faktor yang memperburuk prognosis, seperti terdapatnya metastasis
ke hepar dengan/tanpa metastasis ke otak (saran B).
5.3.8 Pemantauan sesudah terapi: Setelah remisi tercapai, kadar serum beta hCG harus diperiksa setiap
2 minggu sekali hingga pemantauan menunjukkan bahwa kadar beta hCG dalam rentang normal
selama 1 tahun (saran C).
5.3.9 Pada pasien TTG risiko rendah, terdapat indikator klinis yang menunjukkan perlunya dilakukan
perubahan terapi dari regimen kemoterapi lini pertama, yaitu: Terdapat toksisitas yang
berhubungan dengan terapi ataupun terdapat respon yang inadekuat (didefinisikan sebagai
adanya peningkatan kadar beta hCG atau kadar beta hCG tetap sama (plateau) pada 2 kali
pengukuran (saran C).
5.3.10 Pada pasien TTG risiko rendah dengan respon yang inadekuat atau mengalami relaps setelah
diberikan kemoterapi agen tunggal (methotrexate atau actinomycin D), terapi lini selanjutnya
adalah kemoterapi kombinasi menggunakan EMA/CO (saran B).
5.3.11 Pada pasien TTG risiko tinggi dengan respon yang inadekuat atau mengalami relaps setelah
diberikan kemoterapi lini pertama, regimen selanjutnya yang dapat diberikan adalah kemoterapi
kombinasi EP/EMA atau TE/TP (Paclitaxel/cisplatin dan paclitaxel/etoposide) (saran
C).
5.3.12 Terapi Emergensi – Pada pasien yang keadaan umum tidak baik akibat penyakit hepar ataupun
penyakit sistem saraf pusat (SSP), terutama sekali pasien yang berisiko gagal napas, dapat
diberikan kemoterapi emergensi berupa EP (E 100 mg/m2 D 1+2, P 20 mg/m2 D1+2) selama 2
hari. Regimen ini dapat diulang setiap minggu dan kemudian dapat diganti menjadi regimen
EMA/CO atau EP/EMA di kemudian hari (saran C).
5.3.13 Metastasis ke hepar – Pada pasien yang keadaan umum tidak baik akibat penyakit hepar, dapat
diberikan kemoterapi emergensi berupa EP (E 100 mg/m2 D 1+2, P 20 mg/m2 D1+2) selama 2
hari. Regimen ini dapat diulang setiap minggu dan kemudian dapat diganti menjadi regimen
EP/EMA di kemudian hari. Pasien yang datang dengan metastasis ke hepar harus memulai
terapi dengan protokol EP/EMA (saran C).
5.3.14 Metastasis ke otak – Pada pasien yang keadaan umum tidak baik akibat kegawatdaruratan sistem
sarat pusat (SSP), dapat diberikan kemoterapi berupa EP (E 100 mg/m2 D 1+2, P 20 mg/m2
D1+2) selama 2 hari. Regimen ini dapat diulang setiap minggu dan kemudian dapat diganti
menjadi regimen EMA/CO dosis tinggi di kemudian hari dengan dosis methotrexate yang
ditingkatkan (1 g/m2
) dan dikombinasikan dengan folinic acid dengan durasi pemberian yang
diperpanjang (untuk mengurangi efek toksik dari methotrexate). Dosis EMA/CO pada kasus
gangguan SSP dilanjutkan selama 8 minggu setelah kadar beta hCG kembali normal. Pada
situasi kegawatdaruratan dengan metastasis ke otak, diberikan dexamethasone dosis tinggi
kemudian diikuti dengan pemberian EP selama 2 hari seperti yang sudah tercantum di atas
(saran C).
5.3.15 Metastasis ke hepar dan ke otak pada saat yang bersamaan – Pada pasien yang keadaan umum
tidak baik akibat penyakit hepar ataupun penyakit sistem saraf pusat (SSP), terutama sekali
pasien yang berisiko gagal napas, dapat diberikan kemoterapi emergensi berupa EP (E 100
mg/m2 D 1+2, P 20 mg/m2 D1+2) selama 2 hari. Regimen ini dapat diulang setiap minggu dan
kemudian dapat diganti menjadi regimen EP/EMA di kemudian hari. Regimen ini
mengkombinasikan terapi EP dengan dosis EMA pada penyakit SSP. Protokol EMA normal di
hari ke-2 tidak dilakukan karena bersifat terlalu myelosuppressive jika dikombinasikan dengan
EP (saran C).
Poin Penting
Praktik klinis yang disaran kan berdasarkan pengalaman klinis dari Tim Penyusun
Pedoman
Epidemiologi PTG
Insidensi
Perkiraan insidensi PTG di seluruh dunia bervariasi. Berdasarkan data dari RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung, terdapat sekitar 1172 kasus PTG yang terdiagnosis dalam periode 2012 hingga 2016. Di Amerika
Serikat, insidensi kehamilan mola diperkirakan sebanyak 1/1.500 kelahiran hidup, sementara insidensi
di United Kingdom (UK) diperkirakan sebanyak 1/714 kelahiran hidup. Secara umum, Amerika Utara
dan negara-negara Eropa melaporkan angka insidensi yang rendah hingga sedang (1/1.000 hingga
1/1.500 kehamilan), sementara negara-negara Asia dan Amerika Latin melaporkan angka yang lebih
tinggi (1/12 hingga 1/500 kehamilan) Hal ini didukung pula oleh temuan terkait
dampak variasi etnis terhadap kehamilan mola di UK, dimana wanita Asia memiliki angka insidensi
yang lebih tinggi (1/387 kelahiran hidup)
Data epidemiologis bersifat terbatas akibat jarangnya penyakit dan juga kurang akuratnya data yang
tercatat terkait jumlah kehamilan di populasi (gestational events) . Sejumlah
argumen menyatakan bahwa variasi antar daerah disebabkan karena adanya permasalahan dalam
pelaporan, faktor sosioekonomi, dan faktor nutrisi. Permasalahan mengenai pelaporan data
epidemiologis yang reliable dapat disebabkan akibat sejumlah faktor seperti pelaporan data berbasis
populasi dibandingkan dengan data berbasis rumah sakit, adanya inkonsistensi dalam mendefinisikan
kasus (case definitions), ketidakmampuan untuk menentukan populasi berisiko (population at risk),
tidak adanya pusat data yang tersentralisasi, serta pemililhan grup kontrol yang kurang baik untuk
membandingkan faktor risiko yang mungkin berkontribusi Insidensi menjadi sangat
sulit untuk dihitung karena tidak semua kasus akan dilaporkan atau dikenali, dan pada saat ini tidak ada
pusat data yang mencatat jumlah kehamilan di populasi Indonesia.
Di Indonesia, pelayanan PTG dilakukan di rumah sakit tipe A yang mempunyai konsultan onkologi.
Pusat Pengelolaan Penyakit Trofoblast di Bandung berencana mengkonsentrasikan pelayanan pasien
sehingga dapat dilakukan optimalisasi terapi dan pemantauan pada pasien dengan jumlah yang
memadai, dengan menggunakan system online. Selain itu, sentralisasi ini memungkinkan untuk
mempermudah pencatatan pasien sehingga dapat terbentuk suatu pusat data yang kemudian dapat
digunakan untuk tujuan riset dan juga audit.
Gambar 4 menunjukkan bahwa insidensi PTG di Indonesia tampak meningkat sepanjang 2014 hingga
2015. Dan terjadi penurunan pada tahun 2016 (INASGO)
Faktor Risiko
Faktor risiko yang berperan penting dalam kehamilan mola yaitu usia ibu dan juga riwayat PTG
sebelumnya . Wanita dengan usia > 40 tahun 5-10x lebih rentan untuk
mengalami mola hidatidosa komplit, dan sekitar 1/3 kehamilan pada wanita dengan usia > 50 tahun
mengalami kehamilan mola. Mola hidatidosa parsial sering ditemukan pada wanita dengan riwayat
menstruasi yang ireguler dan dengan riwayat penggunaan kontrasepsi oral selama > 4 tahun . Faktor risiko lain yang mungkin meningkatkan risiko kehamilan mola yaitu infertilitas
dan diet
Mortalitas/Sintasan
Meskipun TTG berpotensi memiliki luaran yang buruk, kebanyakan wanita dengan TTG dapat
didiagnosis dan diterapi dengan baik sambil tetap mempertahankan fungsi reproduksi (Soper, 2006).
Luaran pada >98% wanita dengan TTG sangatlah baik, namun sejumlah kecil wanita meninggal akibat
terlambat didiagnosis atau adanya resistensi obat (Seckl et al, 2010). Angka kesintasan keseluruhan
pada pasien TTG yang diterapi di John I. Brewer Trophoblastic Disease Centre di Chicago mengalami
peningkatan dari 88.6% (tahun 1962-1978) menjadi 97.8% (1979-2006). (Hoekstra et al, 2008)
Penelitian lain yang serupa di rumah sakit Charing Cross menunjukkan bahwa dalam program followup formal, angka kesembuhan untuk pasien TTG harus ~100%. Dari 618 pasien yang diterapi,
sebanyak 97% mengalami kesembuhan setelah terapi inisial dan hanya 3% yang mengalami relaps dan
memerlukan terapi lanjutan
Kehamilan Pasca TTG
Hal yang paling dikhawatirkan pasien dengan kehamilan mola atau TTG adalah dampak penyakit
tersebut terhadap fungsi reproduksi pascaTTG.
• Kehamilan pasca mola hidatidosa komplit dan parsial
Meskipun terdapat peningkatan risiko mengalami kehamilan mola berulang, pasien dengan
kehamilan mola dapat memiliki fungsi reproduksi normal pasca penanganan mola.
• Kehamilan pasca Tumor Trofoblas Gestasional
Secara umum, pasien yang telah selesai menjalani kemoterapi dapat memiliki fungsi reproduksi
normal kembali. (
Rencana Implementasi
Rencana implementasi pedoman dibuat berdasarkan model perubahan perilaku COM-B (Michie dkk,
2011). Perubahan perilaku klinis dengan pedoman klinis lebih mungkin jika perilaku dinyatakan secara
spesifik pada rencana implementasi (Michie dkk, 2004). Rencana Perubahan Perilaku (Mitchie dkk,
2011) dibuat pada 2011 sebagai alat untuk mendesain dan mengevaluasi intervensi perubahan perilaku.
Model ini berdasarkan 3 kondisi yang mempengaruhi perilaku: kemampuan, kesempatan dan motivasi.
Setiap komponen dapat dipetakan ke dalam satu dari 9 fungsi intervensi (edukasi, pelatihan,
kemampuan, persuasi, insentivisasi, koersi, pencontohan, pembatasan dan penyusunan lingkungan).
Model ini telah digunakan untuk mengetahui hambatan dan dukungan pembuatan dan implementasi
pedoman yang tercatat secara rinci pada Manual Metodologi Pedoman PNPK. Identifikasi hambatan
dan pendukung disampaikan pada pertemuan saran dengan konsultan. Tabel berikut
menjelaskan fungsi intervensi yang mungkin untuk setiap saran di pedoman. Apabila
saran telah menjadi praktik saat ini, fungsi intervensi tidak dibutuhkan.