pengobatan Bali.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Lontar Usadha Tiwang
membahas tentang penyakit tiwang yakni penyakit yang mempunyai gejala badan
terasa meluang, sakit dan ngilu, gelisah, mata mendelik, otot kaku bahkan sampai
pingsan. Penyakit atau gejala penyakit diobati dengan ramuan obat-obatan yang
terbuat dari campuran berbagai jenis tumbuh-tumbuhan atau bahan lainnya seperti
arak, lengis tanusan, garam, gula, kapur, maupun santen, bahkan tain seksek serta
iduh bang. Penggunaannya dimakan, diminum, ditutuhkan, disemburkan, diuapkan
atau dilulurkan, maupun ditempelkan.
warga Bali tetap percaya terhadap pengobatan tradisional, bahwa sehatsakit terjadi merupakan kombinasi antara shtula sarira-suksma sarira-antahkarana
sarira yakni keseimbangan antara badan (body), pikiran (mind), dan jiwa (spirit).
Kesehatan merupakan suatu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomis. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
warga , diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam
bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan warga . Upaya
kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan ini salah satunya dapat
dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan tradisional. Pelayanan kesehatan
tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang
mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang
dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
warga (UU RI 36/2009).
Pengobatan Tradisional Bali mengacu pada tradisi, pengalaman, keterampilan
turun-temurun warga Bali, baik yang belum tercatat maupun yang telah terliterasi
dalam lontar usada ataupun dalam pendidikan atau pelatihan, dan diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku dalam warga Bali (PerGub Bali No 55 Tahun 2019) .
warga Bali tetap percaya terhadap sistim pengobatan tradisional Bali. Hal ini
sebab warga Bali percaya bahwa sehat-sakit terjadi merupakan kombinasi shtula
sarira-suksma sarira-antahkarana sarira yakni keseimbangan antara badan (Body),
pikiran (Mind), dan jiwa (spirit). Disamping itu, saat ini ada kecenderungan warga
beralih memakai bahan-bahan alami dalam meningkatkan kesehatan dan
kebugarannya. Namun demikian, warga Bali yang berobat ke tempat praktik batra
atau pengobatan alternatif hanya mencapai 1,03%, dibandingkan berobat ke praktik
dokter atau bidan yang mencapai 57,96 % (BPS, 2019).
Ada indikasi bahwa praktik pengobatan tradisional Bali masih ketinggalan jauh
dengan praktik pengobatan tradisional di Negara lain, seperti praktik pengobatan
Traditional Chinise Medicine (TCM) sejak ribuan tahun lalu , yang berdasarkan pada
konsep yin-yang dan Wuxing serta memakai berbagai macam ramuan (Yuan et
al., 2016), praktik pengobatan ayurwedic di India dengan tiga elemen Pitta-KaphaVata (Ventegodt et al., 2007). sebab itulah maka kajian tentang pengobatan tradisional
Bali penting untuk dilakukan sebab pengetahuan tradisional tentang pengobatan
Usada Bali adalah salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang perlu dijaga sehingga
tidak diklaim dan dipatenkan oleh bangsa lain. Pengetahuan ini dapat memiliki nilai
unggul, kompetitif dan inovatif dari warga Bali dan warga Indonesia.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pengobatan tradisional Bali, dengan
mengambil fokus kajian pada pengobatan yang tertuang dalam lontar Usadha
tiwang, dengan harapan dapat menjadi salah satu referensi dalam pengembangan
pengobatan tradisional Bali empiris, pengobatan tradisional Bali komplementer dan
pengobatan tradisional integratif.
Penelitian ini memakai metode kepustakaan (Library Research). Unit
analisis berupa naskah lontar Usadha Tiwang. Naskah lontar ini berupa naskah
lontar yang telah ditransliterasi dari aksara Bali ke aksara Latin, namun demikian
penyebutan lontar masih digunakan sesuai kebiasaan umum di warga . Deskripi
lontar Usadha Tiwang; Verzameld door Kirtya, Uit Boesongbio (Pengastoelan),
Ontvangen 10 April 1933, Getik 12 Desember 1941, Door Ni Made Tirta, Nagakeken
door Ketoet Kabir. Lontar ini diperkirakan telah ada sebelum tahun 1933
(Gambar 1).
Lontar ini kemudian ditelusuri cara atau metode pengobatan untuk
berbagai jenis penyakit dengan memakai sarana atau campuran bahan yang
terutama berupa ramuan dari tumbuh-tumbuhan. Data yang diperoleh dianalisis
secara deskriptif kualitatif.
PEMBAHASAN
Pengobatan tradisional Bali seperti tertulis dalam lontar usadha tiwang
terutama membahas tentang penyakit tiwang. Tiwang adalah penyakit yang
mempunyai gejala badan terasa meluang, sakit dan ngilu, gelisah, mata mendelik, otot
kaku bahkan sampai pingsan. Jenis tiwang dicirikan berdasarkan gejala yang muncul,
seperti tiwang utara memiliki gejala gelisah (meunyang-anyingan), mata mendelik.
Tiwang tojos dicirikan dengan gejala gelisah (meunyang-anyingan), mata mendelik,
serta tangan tidak mau diam (pati grèpè). Tiwang udang memiliki gejala tangan dan
tungkai bergerak-gerak seperti gerakan udang, mata melotot. Di samping itu, lontar
usadha tiwang menyebutkan penyakit lainnya seperti batuk, mokan yaitu penyakit
dengan gejala bengkak dan terasa sakit. Berbagai jenis penyakit atau gejala penyakit
disajikan pada tabel 1.
Praktik pengobatan tradisional di Bali umumnya dilaksanakan oleh pengusada
atau balian yang mempunyai pengetahuan cukup tentang pengobatan tradisional
ini . Pengetahuan ini diperoleh dengan berbagai cara seperti; sebab
turunan dari keluarga sebelumnya, taksu, pica, belajar atau nyastra, dan lainya.
Dengan demikian Balian dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yakni; (1)
Balian Katakson merupakan Balian yang mendapat keahlian melalui taksu. Taksu
berupa kekuatan spiritual yang dimiliki oleh seseorang serta telah mempengaruhi
orang ini , baik cara berpikir, berbicara maupun berperilaku. Kekuatan Taksu
ini memungkinkan sesorang mampu mengobati orang yang menderita sakit; (2)
Balian Kapican merupakan balian yang memiliki kemampuan setelah memperoleh
pica. Pica ini dapat berupa benda bertuah. Dengan mempergunakan pica
ini , balian mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan penyakit; (3) Balian
Usada merupakan balian yang memiliki kemampuan pengobatan yang diperoleh
melalui aktifitas belajar ilmu pengobatan, baik melalui guru waktra, belajar pada
Balian, maupun belajar sendiri melalui lontar usada; (4) Balian Campuran merupakan
Balian katakson maupun Balian kapican yang mempelajari usada (Nala, 2002).
Dalam melaksanakan pengobatan, seorang pengusadha umumnya mengikuti
tata laksana pengobatan di antaranya; (1) ngelinggihan taksu yakni memohon kekuatan dan sinar suci dari Tuhan Yang Maha Esa sebab kecakapan atau
pengetahuan yang dimiliki seroang pengusada berasal dari Tuhan yang Maha Esa
sebagai kekuatan yang masuk kedalam jiwa, raga dan pikiran yang berwujud sebagai
Taksu sang Pengusada, (2), pengraksa jiwa sang gering yakni sang gering melakukan
pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar memberikan kekuatan pada diri sang
gering dan pengusada, (3) tetengering gering yakni pengenalan gejala penyakit
(diagnosis), serta (4) pengobatan dengan memakai obat (PerGub Bali 55/Th
2019). Dalam usadha tiwang, tetengering gering terlihat dari pengenalan gejala-gejala
penyakit, seperti tiwang utara dicirikan dengan gejala gelisah (meunyang-anyingan),
mata mendelik. Tiwang tojos dicirikan dengan gejala gelisah (meunyang-anyingan),
mata mendelik, serta tangan tidak mau diam (pati grèpè). Selanjutnya, dilakukan
pengobatan dengan memakai berbagai jenis ramuan yang berasal dari tumbuhtumbuhan serta bahan-bahan lainnya. Seperti tiwang utara di obati dengan campuran
Gamongan (Zingiber zerumbet), Triketuka {Kesuna (Allium sativum L), Jangu (Acorus
calamus), Mesui (Cryptocarya massoy (Oken) Kosterm), serta tain seksek. Bahanbahan tersebbut kemudian dihaluskan semuanya dan cara pengobatannya dengan
cara diurapkan.
Namun demikian, cara pengolahan bahan atau sarana obat banyak yang belum
dicantumkan secara jelas, seperti misalnya pengobatan terhadap tiwang kertas dengan
memakai daun dapdap tis (Erythrina subumbrans), rimpang kunyit (Curcuma
demostica), serta gula tebu, pengobatannya dengan cara diminumkan. Kondisi ini akan
memunculkan interpretasi bahwa bahan tersbut dibuat dalam bentuk loloh terlebih
dahulu sebelum diminum. Disamping itu takaran bahan-bahan atau sarana masih
belum terungkap secara jelas. Bahkan Pengobatan tiwang bebek tidak dicantumkan
cara pengobatannya. Tiwang bebek memiliki gejala Perut ngredek seperti suara lautan,
dan diobati dengan campuran bahan yang terdiri atas Sembung (Blumea balsamifera
(L.) DC.), Daringo (Acorus calamus), namun cara pemakaian atau pengobatannya
belum jelas.
Penyakit atau gejala penyakit diobati dengan ramuan obat-obatan yang terbuat
dari campuran berbagai jenis tumbuh-tumbuhan atau bahan lainnya.
Penggunaannyapun bermacam-macam seperti dimakan, diminum, ditutuhkan,
disemburkan, diuapkan atau dilulurkan, maupun ditempelkan. Tumbuhan ini ada
yang digunakan dalam keadaan segar atau sudah dalam bentuk olahan seperti
direbus atau ditambus. Tumbuhan ini ada yang diolah dalam bentuk boreh,
loloh, sembar, tampel, atau tutuh. Boreh berupa campuran obat yang dibuat dengan cara menggiling ataupun menumbuk campuran bahan sampai halus kemudian
ditambahkan air atau arak. Sedangkan loloh berupa sari pati yang diperoleh dengan
cara meremas-remas atau menggerus bahan dengan menambahkan sedikit air
kemudian diperas dan disaring.. Sembar atau simbuh yaitu berupa ramuan yang
diperoleh dengan cara mengunyah bahan-bahan sampai lumat kemudian
disemburkan secara langsung pada bagian badan yang diobati. Tampel atau tempel
yaitu ramuan yang diperoleh dengan cara menghaluskan campuran bahan-bahan dan
dalam penggunaannya ditempelkan pada bagian yang diobati. Tutuh Tutuh atau
pepeh yaitu ramuan yang diambil dari sari pati dengan cara memeras atau menggiling
bahan-bahannya kemudian disaring untuk mendapatkan sari patinya dan dalm
penggunaannya diteteskan
Bahan lainya yang sering digunakan seperti arak, lengis tanusan yakni minyak
kelapa yang dibuat secara tradisional, garam, gula, kapur, maupun santen, bahkan
tain seksek serta iduh bang. Tain seksek yaitu serbuk kayu yang dihasilkan oleh ulat
pemakan kayu, sedangkan iduh bang berupa air ludah berwarna merah setelah
seseorang nginang atau makan sirih (nyirih).
Pemanfaatan tumbuhan ini disertai unsur non medis seperti mantramantra. Seperti salah satu mantra “Ong kita saking campah, kaupatana, tiwang asu,
aku akokon, ong teja-teja, teka luar, 3. Ong sanghyang Indra angleburaken tiwang
kabeh, tiwang bangke, tiwang asu, teka mati kita kabeh, ko sipok aku sipok, ong tejateja teka luar 3”. Mantra-mantra yang disertai dengan sarana dan ritual pembersihan
unsur abstrak, bertujuan melindungi pasien secara psikologis dan memotivasi untuk
ketahanan bathin agar terhindar dari mara bahaya (fungsi preventif, promotif,
rehabilitasif). Mantera memegang peranan penting dalam pengobatan oleh para
pengobat tradisional. Tanpa mantera, segala bentuk sarana dianggap belum memiliki
kekuatan supra natural dalam penyembuhan, sebab tercapainya kesembuhan mutlak
merupakan kuasa Tuhan, bukan oleh saran obat saja.
Penyakit tidak hanya merupakan gejala biologi saja, tetapi juga memiliki
dimensi yang lain yakni sosial budaya. Menyembuhkan suatu penyakit tidak cukup
hanya dengan menangani masalah biologinya saja, tetapi harus digarap masalah
sosial budayanya. warga pada umumnya mencari pertolongan pengobatan
bukanlah sebab penyakit yang patogen, tetapi kebanyakan akibat adanya kelainan
fungsi dari tubuhnya. warga di Bali masih percaya bahwa pengobatan tradisional
usadha banyak maanfaatnya untuk menyembuhkan orang sakit. Walaupun telah
banyak ada Puskesmas tersebar merata di setiap kecamatan, tetapi berobat ke
pengobat tradisional Bali (Balian) masih merupakan pilihan yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja baik bagi orang desa maupun orang kota. Oleh sebab itu
maka pelayanan kesehatan tradisional, baik emperis, komplementer maupun
integratisi, sangat diperlukan oleh warga Bali. Pelayanan kesehatan tradisional
adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada
pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
warga (UU RI. 36/Tahun 2009).
warga Bali tetap percaya terhadap pengobatan tradisional. warga
Bali percaya bahwa sehat-sakit terjadi merupakan kombinasi antara shtula sarirasuksma sarira-antahkarana sarira yakni keseimbangan antara badan (Body), pikiran
(Mind), dan jiwa (spirit). WHO juga menyatakan bahwa tiga karakteristik pengobatan
tradisional yang membuat pasien percaya terhadap pengobatan tradisional adalah,
pertama kepercayaan bahwa hidup adalah kesatuan dari badan, emosi, pikiran dan
roh atau jiwa, dan kesehatan adalah keseimbangan antara beberapa aspek di dalam
badan manusia dengan lingkungan. Penyakit akan terjadi bila tidak ada
kesinambungan antara fisik, emosional, mental, atau spiritual. Kedua, pengobatan
tradisional memakai pendekatan menyeluruh pada diagnosis dan tindakan,
bukan melihat bagian per bagian tubuh. Ketiga, pengobatan tradisional berdasarkan
pada kebutuhan individu, berbeda orang berbeda tindakan meskipun pada kasus
penyakit yang sama
Sistim pengobatan ini menggambarkan hubungan kompleks
pengetahuan, kepercayaan dan pemanfaatan, yang disebut juga sebagai kompleks
Corpus-Cosmos-Praxis. Kompleksitas ini menggambarkan bahwa, praktik
(praxis) pemanfaatan tumbuhan dalam pengobatan dilandasi oleh sistim kepercayaan
yang kuat (cosmos) dan sistim pengetahuan (corpus) (Arsana, 2019). Kondisi
ini sebab praktik pengobatan tradisional Bali telah berakar kuat dalam budaya
warga Bali, sehingga tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Kondisi
ini sebab kebudayaan Bali dapat dikatakan terbentuk dari proses interaksi
manusia Bali dengan lingkungannya. Dalam kosmologi orang Bali, lingkungan
dibedakan atas dua macam yakni lingkungan sekala (nyata) dan lingkungan niskala
(tidak nyata). Lingkungan sekala meliputi lingkungan sosial (warga ) dan
lingkungan fisik (alam sekitarnya). Sedangkan lingkungan niskala merupakan
lingkungan spiritual yang dihuni oleh kekuatan-kekuatan supranatural atau adikodrati
yang diyakini dapat menimbulkan pengaruh positif maupun negatif terhadap
kehidupan manusia. Ekspresi dari interaksi antara orang Bali dengan lingkungan sosial antara lain melahirkan Basa Bali (Bahasa Bali), norma-norma, peraturanperaturan, hukum (sima, dresta, awig-awig), pranata-pranata sosial seperti pranata
kekerabatan (nyama, braya, dadia, soroh), dan pranata kewarga an (sekeha,
banjar, desa, gumi). Ekspresi dari interaksi orang Bali dengan lingkungan fisik antara
lain melahirkan sistem pengetahuan tentang alam (seperti penanggalan sasih,
pawukon, pranatamangsa), sistem subak dan lain sebagainya. Ekspresi dari interaksi
antara orang Bali dengan lingkungan spiritual (niskala) melahirkan sistem religi lokal
atau “agama Bali” yang di dalamnya mencakup emosi atau sentimen keagamaan,
konsepsi tentang kekuatan-kekuatan dan mahluk-mahluk gaib, upacara ritual
keagamaan, fasilitas keagamaan, kelompok atau komunitas keagamaan (Pujaastawa,
2014).
Hal ini sesuai dengan konsep pelayanan kesehatan tradisional Bali yakni;
(1) gangguan kesehatan individu disebabkan oleh ketidakseimbangan/harmoni bhuana
alit (tubuh manusia) dengan bhuana agung (lingkungan alam semesta), unsur fisik,
mental, sosial, spiritual, dan budaya; (2) manusia memiliki kemampuan beradaptasi
dan penyembuhan diri sendiri (self healing); (3) penyehatan dilakukan dengan
pendekatan holistik (menyeluruh) dan alamiah yang bertujuan untuk menyeimbangkan
kembali antara kemampuan adaptasi dengan penyebab gangguan kesehatan (PerGub
Bali 55/Th 2019).
Penelitian ini memakai metode kepustakaan (Library
Research). Unit analisis berupa naskah lontar Usadha Tiwang, yang telah
ditransliterasi dari aksara Bali ke aksara Latin.
Temuan: Hasil penelitian diketahui bahwa tiwang adalah penyakit yang mempunyai
gejala badan terasa meluang, sakit dan ngilu, gelisah, mata mendelik, otot kaku
bahkan sampai pingsan. Jenis tiwang dicirikan berdasarkan gejala yang muncul.
Pengobatan dilaksanakan secara holistik oleh pengusada sesuai tatalaksana
pengusada, dengan memakai ramuan obat-obatan yang terbuat dari campuran
berbagai jenis tumbuh-tumbuhan atau bahan lainnya seperti arak, lengis tanusan,
garam, gula, kapur, maupun santen, bahkan tain seksek serta iduh bang.
Penggunaannya dengan cara dimakan, diminum, ditutuhkan, disemburkan, diuapkan
atau dilulurkan, maupun ditempelkan. Takaran, cara pengolahan, serta cara pemakaian
masih belum jelas.
Implikasi: warga Bali tetap percaya terhadap sistim pengobatan tradisional Bali.
Namun demikian, warga Bali yang berobat ke tempat praktik pengobatan
tradisional sangat sedikit. Simpulannya adalah pengobatan tradisional Bali dilakukan
secara holistik untuk mencapai keseimbangan antara shtula sarira-suksma sariraantahkarana sarira.