Pengobatan Tionghoa

 



Penelitian ini mengkaji Lauya dalam praktik pengobatan alternatif di kalangan komunitas etnis 

Tionghoa di Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten tinombala  Raya, lasungai  Barat. 

Lauya, sebagai bagian integral dari pengobatan tradisional Tionghoa memegang peran penting 

dalam praktik penyembuhan non-konvensional. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan 

menganalisis peran serta pengaruh Lauya dalam kehidupan sehari-hari komunitas Tionghoa di 

wilayah tersebut, khususnya dalam konteks kesehatan dan penyembuhan merujuk pada konsep 

Health Belief. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik wawancara 

mendalam dan observasi partisipatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lauya masih 

memiliki posisi yang signifikan dalam praktik pengobatan alternatif di kalangan etnis Tionghoa 

di lokasi studi. Keberlanjutan tradisi ini didorong oleh keterikatan budaya yang kuat serta keyakinan akan efektivitasnya, yang dapat dipahami melalui dimensi health belief model, yaitu 

persepsi kerentanan, persepsi keparahan, persepsi manfaat, dan pemicu tindakan. Selain 

berfungsi sebagai metode penyembuhan, Lauya juga menjadi simbol identitas budaya yang 

memperkuat solidaritas dalam komunitas TionghoaIndonesia merupakan negara dengan tingkat heterogenitas budaya yang tinggi. 

Keragaman ini tercermin dalam keberadaan berbagai etnis, bahasa, agama, serta tradisi 

lokal yang menyebar di seluruh wilayah nusantara. Keanekaragaman ini membentuk 

struktur sosial yang kompleks, namun warga  Indonesia mampu membangun 

kohesi sosial melalui mekanisme budaya dan politik yang mendukung interaksi dinamis 

antaridentitas kolektif, tanpa menghapus ciri khas masing-masing kelompok (Geertz, 

1960). Di antara wilayah yang mencerminkan kompleksitas tersebut, Pulau lasungai  

menjadi salah satu contoh yang menarik. Penduduk lasungai  terdiri dari aneka suku 

bangsa dengan perbedaan warna kulit, bentuk mata, dan ukuran postur tubuh. Dalam 

konteks sosial, mereka umumnya diklasifikasikan menjadi kelompok pribumi asli, 

pendatang dari berbagai wilayah Nusantara, serta komunitas Tionghoa dan migran 

antarbenua (Ode, 2013). 

Keragaman ini melahirkan sistem kepercayaan dan praktik budaya yang sangat 

kaya, termasuk dalam hal pemaknaan terhadap penyakit dan metode pengobatannya. 

Berbagai kelompok etnis di Indonesia memiliki cara pandang tersendiri terhadap 

penyakit dan penyembuhan. Banyak warga  yang hingga kini masih mengandalkan 

metode pengobatan tradisional yang berakar dari nilai-nilai spiritual dan sistem 

kepercayaan kolektif (Ariyanti et al., 2020; Nugroho, 2024; Sariani et al., 2023).

Salah satu bentuk pengobatan tradisional tersebut adalah praktik yang dilakukan 

oleh Lauya, yakni sebutan bagi seseorang yang dianggap memiliki kemampuan 

menyembuhkan penyakit. Lauya merupakan penyembuh yang dipercaya oleh 

warga  etnis Tionghoa. Lauya berasal dari tradisi Kong Hu Cu yang menyebar di 

kalangan warga  Tionghoa di lasungai  Barat, dengan makna “Lao-Nyin” atau 

orang yang dituakan. Lauya dipercaya mampu mengusir roh jahat dan penyakit serta 

membawa keberuntungan melalui berbagai ritual. Kepercayaan warga  terhadap 

Lauya tidak hanya bertahan di desa, tetapi juga dijumpai dalam konteks perkotaan, 

menandakan kelangsungan dan adaptasi praktik ini dalam dinamika sosial modern 

(Humaedi, 2016). Lauyabahkan diyakini sudah ada berabad-abad lalu dan menjadi bagian integral kehidupan warga  Tionghoa termasuk yang berada di area

Kecamatan Sungai Raya, tinombala  Raya, lasungai  Barat.

Praktik serupa dengan Lauya juga lumrah ditemukan pada etnis lainnya di 

Indonesia, seperti Baliant dalam warga  Dayak yang menjalankan penyembuhan 

dengan pendekatan spiritual dan ritualistik (Asmawati & Hartati, 2018; Widaty et al., 

2021), Dukun di Jawa yang menangani persalinan dan gangguan tubuh dengan 

campuran doa serta jamu (Fatmawati et al., 2020; Kurniati & Muflihah, 2021), dan Sanro

pada Etnis Bugis-Makassar yang diyakini meracik obat herbal sekaligus menjalankan 

peran sosial-keagamaan (Saleh, 2019; Zainal et al., 2022) Ketiga contoh tersebut 

memperlihatkan bahwa pengobatan non-medis bukan sekadar bentuk layanan 

kesehatan alternatif, melainkan merupakan sistem pengetahuan yang melekat pada 

struktur budaya warga .

Pada dasarnya sistem pengobatan dalam warga  memang tidak monolitik. 

Foster dan Anderson (1986) membedakan dua jenis metode pengobatan yaitu sistem 

pengobatan modern dan tradisional. Keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda 

dalam memahami dan menangani penyakit. Pengobatan modern berfokus pada aspek 

ilmiah dan teknologi, sedangkan pengobatan tradisional banyak berkaitan dengan 

sistem nilai, kepercayaan, dan praktik turun-temurun. David (dalam Humaedi, 2016) 

menambahkan bahwa pengobatan tradisional seringkali terkait dengan unsur mistis 

dan takhayul. Meskipun demikian, praktik tersebut merupakan bentuk pengetahuan 

lokal yang kaya dengan filosofi dan nilai yang relevan bagi komunitasnya. 

Bahkan, secara nasional, pengobatan tradisional diakui sebagai bagian dari sistem 

kesehatan oleh pemerintah, meskipun posisinya sering kali marginal dalam kebijakan 

kesehatan yang didominasi paradigma biomedis (Putra et al., 2019; Sonjaya, 2022). Oleh 

sebab itu, penggalian dan dokumentasi praktik seperti Lauya penting untuk 

memperkaya pemahaman tentang keberagaman sistem pengobatan di Indonesia serta 

kontribusinya dalam pembangunan kesehatan warga .

Namun demikian, kajian mengenai Lauya sebagai bagian dari sistem pengobatan 

tradisional di Indonesia, khususnya di wilayah lasungai  Barat, masih sangat terbatas. 

Sebagian besar studi terdahulu lebih banyak menyoroti praktik pengobatan oleh dukun 

atau tabib secara umum, sehingga bentuk-bentuk lokal yang lebih spesifik seperti Lauya 

belum banyak mendapat perhatian akademik. Padahal, Lauya memiliki ciri khas yang 

mencerminkan struktur pengetahuan, relasi sosial, dan nilai budaya yang hidup dalam 

warga  Etnis Tionghoa. Kurangnya dokumentasi mengenai praktik, persepsi, dan 

keberlangsungan peran Lauya dalam warga  kontemporer menunjukkan adanya 

ruang kosong dalam kajian antropologi kesehatan yang berpotensi menghambat 

pemahaman menyeluruh tentang keragaman sistem pengobatan tradisional di 

Indonesia. Kajian ini menjadi sangat penting tidak hanya untuk mengisi kekosongan 

literatur, tetapi juga untuk memberikan kontribusi pada pelestarian pengetahuan lokal 

yang terancam punah dan mendukung pembangunan kebijakan kesehatan yang 

inklusif dan berbudaya. Penelitian ini bertujuan mengisi kekosongan tersebut dengan 

mengeksplorasi sistem pengobatan Lauya di Desa Parit Baru serta memahami peran dan 

dinamika eksistensinya dalam konteks kehidupan warga  lokal, sehingga dapat 

menjadi referensi bagi pengembangan antropologi kesehatan dan strategi penguatan Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan kualitatif. 

Pendekatan ini dipilih karena sesuai untuk memahami makna sosial dan kultural dari 

praktik pengobatan tradisional oleh Lauya dalam kehidupan warga  etnis Tionghoa 

di Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten tinombala  Raya. Penelitian kualitatif 

memungkinkan peneliti menggali pengalaman dan pandangan informan secara 

mendalam, terutama ketika yang dikaji berkaitan dengan sistem pengetahuan lokal, 

praktik spiritual, dan kepercayaan kolektif yang hidup dalam komunitas.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Parit Baru yang secara administratif termasuk

dalam wilayah Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten tinombala  Raya, lasungai  Barat. 

Lokasi ini dipilih berdasarkan karakteristik warga nya yang terdiri atas komunitas 

etnis Tionghoa dengan tradisi pengobatan yang masih dijalankan secara turun-temurun. 

Penelitian lapangan berlangsung pada bulan Mei 2023, dengan fokus pada interaksi 

sosial dan aktivitas penyembuhan yang dilakukan oleh Lauya di lingkungan tempat 

tinggalnya.

Pengumpulan data dilakukan melalui data primer dan sekunder. Data primer 

diperoleh melalui observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan mengamati 

langsung praktik Lauya di lapangan, mencermati interaksi antara penyembuh dan 

pasien, serta memperhatikan konteks sosial dan simbolik yang muncul selama praktik 

berlangsung. Wawancara dilakukan dengan informan yang dipilih secara purposive 

sampling, yaitu individu yang dianggap memiliki pengetahuan, pengalaman, atau 

keterlibatan langsung dalam praktik pengobatan tersebut. Informan meliputi Lauya , 

pasien, keluarga pasien, dan warga sekitar yang memahami praktik penyembuhan 

tersebut dalam keseharian mereka.

Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber tertulis yang relevan. Bahan yang 

digunakan meliputi catatan dari instansi setempat, dokumen yang ditemukan di lokasi 

penelitian, serta literatur akademik yang membahas pengobatan tradisional, 

antropologi kesehatan, dan kebudayaan warga  Tionghoa. Sumber-sumber tersebut 

digunakan untuk memperkuat pemahaman konteks dan mendukung interpretasi atas 

data lapangan.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis tematik. 

Setelah seluruh hasil wawancara ditranskripsi dan catatan observasi dirapikan, peneliti 

melakukan proses pengkodean untuk menandai bagian-bagian penting dari data. Proses 

ini dilanjutkan dengan mengelompokkan informasi ke dalam tema-tema utama yang 

berkaitan dengan praktik pengobatan, struktur makna yang diyakini warga , serta 

kedudukan sosial Lauya dalam komunitas. Penafsiran dilakukan secara kontekstual 

dengan memperhatikan hubungan antar tema yang muncul dari data., peneliti 

melakukan triangulasi dengan membandingkan data hasil observasi, wawancara, dan 

sumber sekunder yang telah dikumpulkan dengan tujuan menjaga konsistensi dan 

akurasi temuanEksistensi Lauya sebagai penyembuh tradisional dalam komunitas etnis Tionghoa 

di lasungai  Barat tidak lepas dari pola keyakinan warga  terhadap kesehatan, 

penyakit, dan proses penyembuhan. Oleh karena itu, memahami bagaimana keyakinan 

tersebut menopang keberlanjutan praktik Lauya, teori Health Belief Model oleh 

Rosenstock (1988) digunakan sebagai pisau analisis. Teori ini menyoroti dimensi￾dimensi persepsi yang memengaruhi tindakan individu atau kelompok dalam 

merespons ancaman kesehatan, yang meliputi keyakinan akan kerentanan terhadap 

penyakit (Perceived susceptibility), tingkat keparahan dampaknya (Perceived Severity), 

nilai manfaat dari tindakan penyembuhan (Perceived benefits), serta pemicu tindakan 

(cues to action). Keempat unsur ini berperan dalam menjelaskan bagaimana warga  

terus memelihara dan mempraktikkan sistem pengobatan tradisional berbasis spiritual 

seperti Lauya.

1) Perceived Suspectbility

Perceived susceptibility adalah keyakinan seseorang individu atau seseorang 

dipercayainya, bahwa penyakit yang dideritanya merupakan sebuah akibat dari suatu 

perilaku tertentu. Perceived susceptibility memiliki arti yaitu sebagai suatu rasa rentan 

atau kerentanan yang merujuk pada suatu kemungkinan dimana seseorang dapat 

terkena suatu penyakit. Perceived susceptibility dikaitkan dalam konteks tradisi dan 

budaya tradisional, merujuk pada cara pandang individu atau warga  tentang 

seberapa rentan mereka terhadap ancaman atau bahaya tertentu berdasarkan 

kepercayaan, nilai, dan praktik yang dianut secara turun- temurun. Dalam banyak 

budaya tradisional, konsep ini seringkali berkaitan dengan keyakinan spiritual, mitos, 

atau tradisi lisan yang telah menjadi bagian menyeluruh dari kehidupan sehari-hari.

Dalam budaya kami orang Tionghoa dan terutama orang Kong Hu Cu, sangat 

mempengaruhi pandangan kami tentang kesehatan. Salah satu konsep utama 

adalah keseimbangan Yin dan Yang, serta keseimbangan antara lima elemen (air, 

api, kayu, logam, dan tanah). Kesehatan dipandang sebagai hasil dari keseimbangan 

yang baik antara elemen-elemen ini dalam tubuh. Jika ada ketidakseimbangan, 

maka tubuh menjadi rentan terhadap penyakit.

1

Tidak jauh berbeda dengan penyataan Aliang, dalam wawancara Bersama Acin

seperti:

Menurut saya, kerentanan terhadap penyakit sangat dipengaruhi oleh tradisi dan 

budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Ada beberapa hal yang 

saya ingin sampaikan mengenai bagaimana budaya kami membentuk cara kita 

melihat suatu penyakit. Pertama kita hidup dalam lingkungan yang bisa dikatakan 

modern, meskipun begitu kita, tak bisa lepas dari suatu tradisi yang ada, dimana 

tradisi tersebut menjadi patokan bagi hidup kita. Kedua,banyak dari kita, orang 

tionghoa masih terikat kepada suatu kepercayaan tentang adanya hal hal mistis 

yang tak kasat mata.

2

Selanjutnya peneliti mewawancarai warga  sebagai pasien yang pernah, akan, dan sedang melakukan pengobatan dengan menggunakan jasa seorang Lauya, sebagai 

berikut:

Sebagai seseorang yang tumbuh dan hidup di daerah yang cukup modern, saya 

mengambil pengalaman dalam keluarga saya. Dalam keluarga saya masih 

memegang erat tradisi serta budaya tionghoa, dimana dengan itu secara tak 

langsung berpengaruh kepada saya pribadi dalam memandang soal penyakit.

3

Berikutnya peneliti bertanya kepada sepasang suami istri, bernama Akka dan 

Yenni, sebagai berikut: 

Tentunya dik, namanya kepercayaan itu adalah sesuatu yang begitu sangat sakral 

bagi kami, karena ada beberapa hal yang kita tidak ketahui sebagai nyin (manusia). 

Di alam kita selalu hidup berdampingan dengan segala macam mahluk dari 

tumbuhan ke binatang, dari binatang sampai ke manusia, dari yang nampak sampai 

yang tidak nampak (mun/mahluk astral). Terkadang kita sebagai manusia yang 

nampak, secara tidak sengaja menginjak rumah mereka ataupun badan mereka.

4

(Tn. Akka). lalu  di sambut oleh (Ny. Yenni), maksudnya begini dik, kita tidak 

bisa menolak bahwa pada kenyataannya ini sudah jaman modern, rumah sakit ada 

bergelimpangan di sana-sini, namun ada beberapa hal yang membuat kita tetap ke 

Lauya, selain karena kita sedari kecil sudah dikenali dengan hal seperti ini, kita 

masih memegang teguh kepercayaan, dimana dalam kepercayaan serta budaya 

yang kita pegang teguh, membuat kita tidak bertanya lagi pada diri sendiri, karena 

rasa yakin inilah.

5Dari hasil wawancara mengenai bagaimana bagaimana budaya serta tradisi 

mempengaruhi cara pandang mereka tentang suatu penyakit, peneliti mendapatkan 

kesimpulan beberapa hal. Dalam konteks tradisi dan budaya tradisional, merujuk pada 

persepsi individu atau warga  tentang seberapa rentan mereka terhadap ancaman 

atau bahaya tertentu berdasarkan kepercayaan, nilai, dan praktik yang dianut secara 

turun-temurun. Dalam banyak budaya tradisional, konsep ini seringkali terkait dengan 

keyakinan spiritual, mitos, atau tradisi lisan yang telah menjadi bagian yang tertanam dari kehidupan sehari-hari. Dalam budaya-budaya yang mendasarkan kepercayaan 

mereka pada warisan nenek moyang, seperti banyak budaya pribumi di lasungai  

Barat, Perceived susceptibility tercermin dalam cerita-cerita tentang penyakit, bencana 

alam, atau roh jahat yang mengancam kelangsungan hidup mereka. Persepsi ini dapat 

tercermin dalam upacara keagamaan, pengorbanan, atau praktik penyembuhan 

tradisional yang dimaksudkan untuk melindungi diri dari ancaman tersebut.

2) Perceived Severity

Perceived Severity adalah kepercayaan individu yang bersifat subyektif tentang 

penyebaran suatu penyakit. Penyebab utamanya adalah perilaku atau kepercayaan 

tentang seberapa berbahayanya penyakit sehingga seseorang terhindar dari sumber 

penyakit. Dalam konteks tradisi dan budaya Perceived Severity atau tingkat keparahan 

mencerminkan pemahaman yang kompleks dan mendalam tentang penyakit, 

kesehatan, dan kesejahteraan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai aspek budaya, sosial, 

spiritual, dan historis yang membentuk bagaimana individu dan komunitas budaya 

menilai dan merespons penyakit.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti mewawancarai narasumber yang terdiri dari 

Lauya dan beberapa warga  yg relevan untuk memberikan tanggapan tentang 

bagaimana komunitas budaya memandang konsekuensi jangka panjang dari penyakit, 

sebagai berikut:

Sebagai orang Tionghoa, saya pribadi memiliki pandangan mengenai konsekuensi 

jangka panjang dari suatu penyakit. Dalam budaya Tionghoa, ada namanya 

penyakit karma, dimana penderita ini terkena semacam kesialan karena perbuatan 

nya dimasa kehidupan lampau, ataupun karena perbuatan nya semasa hidup di 

dunia yang sekarang. Konsekuensi jangka panjang dari penyakit ini sering kali 

membuat menderita, dan tugas seorang Lauya adalah mengobati orang yang seperti 

ini. takutnya kalau dibiarkan terlalu lama akan makin parah dan biasanya orang 

orang seperti itu akan (siaw nang) mengalami gangguan jiwa.

6

Selanjutnya hasil wawancara dengan Acin mengenai bagaimana narasumber 

komunitas budaya memandang konsekuensi jangka panjang dari penyakit, sebagai 

berikut:

Budaya Tionghoa memiliki warisan pengobatan tradisional yang sangat banyak, 

seperti penggunaan obat obatan herbal dan tu’ ciam (akupunktur). Namun, ada 

beberapa penyakit yang sulit diatasi dengan pengobatan ini, dan ini sering kali 

dipandang lebih serius. Dan biasanya kami langsung beralih ke Lauya untuk 

berkonsultasi, takutnya kita ada tekena pengaruh dari ‘Kui’(Jin/mahluk astral), jika 

dibiarkan terlalu lama, takutnya energi tubuh dalam badan kita habis terhisap 

olehnya, dan terkadang itu bisa sampai membuat kita hilang kesadaran ntah itu gila 

bahkan sampai kehilangan nyawa.

7

Dari hasil wawancara bersama Acin peneliti mendapatkan bahwa banyak metode 

pengobatan komunitas Tionghoa, dari metode herbal maupun akupuntur, namun faktor 

spiritual juga tak dapat dihilangkan dalam budaya serta tradisi mereka. Dimana hal hal yang menyangkut tentang klinik tetap diklasifikasikan menjadi salah satu sumber sakit 

dan penyakit.

Selanjutnya penulis mewawancarai willy sebagai pasien yang pernah melakukan 

pengobatan dengan menggunakan jasa seorang Lauya, sebagai berikut:

Dalam keluarga saya dari kakek sampai ke saya, mempercayai bahwa suatu 

penyakit pasti ada suatu penyebab, seperti saya sekarang “kiok thung” (kaki 

besi/sakit kaki yang di akibatkan oleh mahluk halus). Saya sudah mencoba 

melakukan pemeriksaan ke rumah sakit sebelumnya, namun hasil pemeriksaan 

mengatakan bahwa saya sehat dan tidak menderita sakit apapun. Saya juga sempat 

bingung dengan sakit ini, setelah salah satu orang dalam keluarga saya menyuruh 

untuk pergi ke seorang Lauya untuk berkonsultasi, menurut cerita salah satu dari 

keluarga saya sakit yang seperti saya ini sangat berbahaya karena takutnya sakit ini 

tidak kunjung sembuh dan bahkan nyawa saya bisa jadi taruhan nya. Segera lah 

saya ke Lauya, dan benar saja saya mendapatkan bahwa saya terkena “kiok thung”, 

dan syukur saja saya cepat membawa ke seorang Lauya, kalau tidak sakit ini 

mungkin juga akan memakan seluruh tubuh saya.8

Berikutnya peneliti mewawancarai Akka dan Yenni tentang bagaimana budaya 

mereka memandang konsekuensi jangka panjang dari sebuah penyakit.

Ya, tentu saja tradisi dalam keluarga saya memandang serius tentang suatu 

penyakit. Dalam budaya kami, keluarga adalah inti dari segala hal kehidupan. 

Penyakit jangka panjang tidak hanya mempengaruhi yang sakit tetapi juga seluruh 

keluarga kalau adapun efek jangka panjang dari suatu penyakit.

9

Saya dan suami saya adalah seorang pedagang di pasar Flamboyan di situ kami 

membuka lapak kecil-kecilan. Nah saya sudah lebih dari tujuh tahun saya berjualan, 

namun baru kali ini. Saya dan suami mengeluh karena hasil penjualan kami 

menurun, saya bingung kok bisa begini, setelahnya saya mendapatkan usulan dari 

teman saya, saya disuruh untuk pergi bertanya kepada seorang Lauya. Dua atau tiga 

hari setelahnya saya dan suami saya berinisiatif untuk pergi kesana, saat sesudah 

sampai disana saya disuruh untuk “pai-pai” (berdoa), setelah itu saya konsultasi 

dengan seorang Lauya, di situ saya diberitahukan bahwa saya dan suami saya 

rupanya lupa melakukan izin kepada dewa dan leluhur tuk membuka cabang, 

sehingga rejeki kami ditutup oleh langit. Kalau dalam bahasa di sini mungkin bisa 

kita sebut dengan ‘sue’ (kesialan).

10

Dari penjelasan di atas seperti poin Perceived Severity dalam Health belief, dapat 

dikaitkan dengan pola tradisi Tionghoa, dimana mencerminkan pemahaman tentang 

penyakit, kesehatan, dan hal ini dipengaruhi oleh berbagai aspek budaya, sosial, 

spiritual, yang membentuk bagaimana individu dan komunitas budaya menilai dan 

merespons penyakit. Pandangan ini mencerminkan pemahaman holistik tentang 

kesehatan. Melalui perspektif ini, kita dapat melihat bagaimana budaya dan tradisi 

Tionghoa memberikan kerangka yang kaya dan kompleks untuk memahami Perceived 

Severity dalam konteks tradisi kesehatan. Kepercayaan dan nilai religius juga dapat 

mempengaruhi persepsi seorang individu terhadap parahnya suatu sakit yang dideritanya. Dalam tradisi orang Tionghoa, penyakit dipandang sebagai ujian spiritual

atau hukuman ilahi, yang menambah dimensi moral dan spiritual pada persepsi 

keparahan. Misalnya, dalam beberapa tradisi, penyakit yang dianggap sebagai akibat 

dari gangguan roh mungkin dipandang lebih serius karena memerlukan campur tangan 

spiritual selain perawatan medis.

Pengalaman pribadi dengan penyakit atau melihat orang lain di sekitar mereka 

mengalami penyakit juga mempengaruhi cara mereka memandang tentang seberapa 

parahnya tingkat penyakit. Seseorang yang telah melihat anggota keluarga menderita 

penyakit memiliki persepsi keparahan yang lebih tinggi terhadap penyakit tersebut. 

Selain itu, narasi kolektif dalam komunitas tentang penyakit tertentu juga dapat 

mempengaruhi bagaimana penyakit tersebut dipandang.

3) Perceived Benefit

Perceived benefit, atau manfaat yang dirasakan, adalah konsep penting yang 

mempengaruhi bagaimana individu dan komunitas memandang dan menilai berbagai 

praktik budaya dan tradisi. Dalam konteks budaya dan tradisi, perceived benefit

mencakup berbagai aspek seperti kesehatan, kesejahteraan emosional, hubungan sosial, 

dan identitas budaya. Dalam berbagai budaya di dunia, pengobatan tradisional sering 

kali terkait erat dengan kepercayaan terhadap makhluk astral atau entitas spiritual. 

Manfaat yang dirasakan dari praktik-praktik ini tidak hanya mencakup penyembuhan 

fisik, tetapi juga kesejahteraan mental, emosional, dan spiritual. Kepercayaan ini 

memainkan peran penting dalam memperkuat efek positif dari pengobatan tradisional 

dan menciptakan rasa keterhubungan yang lebih dalam dengan dunia yang tidak 

terlihat. Menurut Maxwell Maltz (2019) citra diri dibentuk oleh pengalaman masa lalu

seseorang, keberhasilan dan kegagalan, pengetahuan yang dimilikinya, dan bagaimana

orang lain menilai dirinya secara objektif.

Berikut wawancara bersama Aliang, Lauya terkait bagaimana hasil yang di dapati 

setelah melakukan pengobatan.

Sebagai seorang Lauya yang terhubung erat dengan kepercayaan terhadap leluhur.

Setiap sesi pengobatan tradisional merupakan pengalaman yang mendalam dan 

penuh makna bagi saya. Sebelum memulai proses penyembuhan, saya merenung 

dan mengambil waktu untuk mempersiapkan diri secara spiritual. Ketika pasien 

datang kepada saya dengan masalah kesehatan mereka, saya tidak hanya melihat 

gejala fisik, tetapi juga mencoba merasakan energi dan keadaan spiritual mereka. 

Saya mendengarkan cerita mereka dengan teliti, mencari petunjuk dari leluhur 

tentang akar masalah yang mendasari. Setelah sesi pengobatan selesai, saya merasa 

campur aduk antara kelelahan dan kepuasan yang mendalam. Saya tahu bahwa 

saya telah memberikan segala yang terbaik untuk membantu orang yang berobat 

dengan saya, dan saya pribadi merasa terhormat atas kepercayaan yang mereka 

berikan kepada saya.

11

Dari hasil wawancara dengan Aliang diperoleh beberapa simpulan. Pertama, 

hasil wawancara tersebut mencerminkan praktik pengobatan tradisional yang berakar 

dalam kepercayaan terhadap dunia yang tak tampak. Dalam banyak budaya sungai   Barat, terutama pada warga  yang memiliki tradisi spiritual yang kuat 

seperti komunitas Tionghoa, praktik pengobatan sering kali dihubungkan dengan 

keyakinan terhadap kekuatan supranatural, seperti roh leluhur, entitas alam, atau 

mahluk astral.

Kedua, hasil wawancara tersebut menyoroti peran dari seorang Lauya atau tabib 

tradisional dalam warga  yang menghargai warisan budaya dan tradisi spiritual. 

Lauya atau tabib tradisional sering kali dihormati sebagai perantara antara dunia fisik 

dan spiritual, dan praktik mereka memegang peran penting dalam menjaga 

keseimbangan dan kesejahteraan komunitas. Dalam banyak budaya, pengobatan 

tradisional tidak hanya dianggap sebagai cara untuk menyembuhkan penyakit fisik, 

tetapi juga sebagai cara untuk memelihara hubungan dengan leluhur, alam, dan entitas 

spiritual lainnya.

Berikutnya peneliti mewawancarai Acin sebagai Lauya dan menanyakan tentang 

bagaimana hasil yang didapati setelah melakukan pengobatan, sebagai berikut:

Sebagai seorang Lauya dalam tradisi Tionghoa, hampir setiap hari saya dipanggil 

untuk membantu orang-orang yang percaya bahwa mereka telah terkena sue

‘kesialan’, sebuah konsep yang sangat berakar dalam budaya dan kepercayaan 

Tionghoa. Kesialan ini sering dianggap sebagai gangguan energi negatif yang bisa 

datang dari berbagai sumber, seperti roh jahat, feng shui yang buruk, atau 

pelanggaran terhadap aturan-aturan spiritual tertentu. Pengalaman membantu 

mengusir ‘sue’ kesialan tidak hanya memberikan kepuasan pribadi, tetapi juga 

memperkuat keyakinan saya dalam tradisi dan praktik penyembuhan yang telah 

diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui kerja keras dan kepercayaan, saya 

tahu bahwa saya bisa membantu orang lain menemukan keseimbangan dan 

kebahagiaan dalam hidup mereka”. 12

Peneliti dapat menyimpulkan bahwa perceived benefits dalam praktik pengobatan 

tradisional, bagaimana manfaat yang dirasakan oleh pasien memainkan peran penting 

dalam efektivitas dan penerimaan metode penyembuhan tersebut.

Dalam konteks hasil wawancara dengan seorang Lauya tentang seorang yang 

mengobati pasien dengan penyakit ‘sue’ kesialan, terdapat beberapa aspek penting dari 

perceived benefits yang dapat diidentifikasi dan dianalisis. Dari analisis ini, jelas bahwa 

perceived benefits memainkan peran krusial dalam praktik pengobatan tradisional yang 

berhubungan dengan kepercayaan terhadap leluhur. Manfaat yang dirasakan oleh 

pasien, seperti peningkatan kesejahteraan emosional, kepercayaan pada proses 

penyembuhan, pemulihan keseimbangan energi, rasa perlindungan, dan koneksi 

dengan tradisi budaya, semuanya berkontribusi pada efektivitas dan penerimaan 

pengobatan tersebut.

Selanjutnya peneliti mewawancarai Willy sebagai seseorang yang pernah, dan 

akan menggunakan jasa seorang Lauya, dan sekaligus meminta tanggapan narasumber 

Willy mengenai bagaimana hasil yang didapati setelah melakukan proses pengobatan, 

sebagai berikut:

Saya rasa saya mendapat suatu musibah, saya merasa semakin putus asa setiap hari 

karena bengkak di kaki saya tidak kunjung sembuh meskipun telah mencoba berbagai perawatan medis. Awalnya, saya berharap bahwa gejala ini hanya 

sementara dan akan mereda dengan sendirinya, tetapi ketika waktu terus berlalu 

tanpa perbaikan, kekhawatiran dan ketidaknyamanan semakin membebani pikiran 

saya. Saya telah menjalani berbagai pemeriksaan dan mengikuti rencana 

pengobatan yang diresepkan oleh dokter, tetapi tidak ada yang berhasil. Kaki saya 

tetap bengkak, dan rasa sakitnya semakin tidak tertahankan. Dalam keputusasaan, 

saya memutuskan untuk mencari bantuan di luar dunia medis konvensional”. Salah

satu dari seorang keluarga merekomendasikan seorang Lauya yang katanya 

memiliki reputasi yang baik dalam membantu orang-orang dengan masalah 

kesehatan yang sulit dijelaskan secara medis. Meskipun awalnya saya ragu, namun 

dengan tiada pilihan lain, saya memutuskan untuk memberikannya kesempatan.

Bertemu dengan Lauya itu adalah pengalaman yang cukup menarik bagi saya. 

Mereka mendengarkan dengan seksama cerita saya tentang bengkak di kaki saya 

dan mengamati dengan teliti energi saya. Setelah melakukan sejumlah ritual dan 

pembersihan energi, saya merasa ada perubahan yang aneh terjadi di dalam diri 

saya. Pada awalnya, saya tidak yakin apakah perubahan itu nyata atau hanya 

halusinasi. Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai merasakan perbaikan 

yang nyata. Bengkak di kaki saya mulai berkurang secara bertahap, dan rasa 

sakitnya pun semakin berkurang13

’’.

Dari hasil wawancara dengan willy di atas, peneliti mendapatkan bahwa 

narasumber awalnya mengalami kesulitan dalam mencari kesembuhan melalui 

perawatan medis konvensional. Meskipun telah mencoba berbagai metode pengobatan 

yang diresepkan oleh dokter, namun tidak ada hasil yang memuaskan. Hal ini 

mencerminkan pengalaman yang umum di mana seseorang dapat mengalami 

kekecewaan terhadap pendekatan medis tradisional ketika menghadapi masalah 

kesehatan yang kompleks atau tidak dapat dijelaskan secara medis. Ketika narasumber 

memutuskan untuk mencari bantuan dari ahli spiritual, dia lalu  mengalami 

perbaikan yang signifikan. Ini menggambarkan bagaimana dalam banyak budaya dan 

tradisi, terdapat keyakinan yang kuat pada kekuatan penyembuhan spiritual atau 

alternatif.

warga  sering menghubungkan kesehatan dan penyembuhan dengan energi, 

roh, atau kekuatan gaib lainnya yang dapat memberikan manfaat yang tidak dapat 

dicapai melalui pendekatan medis konvensional. Pada kesempatan berikutnya 

narasumber juga bertanya kepada Akka dan Yenni bagaimana hasil yang didapati 

setelah melakukan pengobatan, sebagai berikut:

Lauya lalu  menawarkan beberapa saran dan memberikan saya beberapa 

amalan spiritual yang harus saya lakukan untuk membersihkan energi negatif yang 

mungkin telah mengganggu usaha saya. Dia juga memberikan saya beberapa kata￾kata penyemangat dan membimbing saya untuk tetap bersikap positif. Meskipun 

saya tidak memiliki banyak uang untuk membayar jasanya, sang ahli spiritual 

menerima apa pun yang saya bisa berikan dengan hati terbuka. Saya sangat 

berterima kasih atas kemurahan hatinya. Saat saya meninggalkan tempat itu, saya 

merasa ada beban yang terangkat dari bahu saya. Meskipun saya tidak tahu apakah 

semua yang dikatakan oleh sang ahli spiritual akan berhasil, tetapi setidaknya saya merasa telah melakukan segala yang saya bisa untuk mencoba memperbaiki 

keadaan. Beberapa minggu lalu , perlahan-lahan, keajaiban mulai terjadi. 

Pembeli-pembeli kembali ke kios saya, dan omset saya mulai meningkat. Saya 

merasa seperti ada kekuatan baru yang telah mengalir ke dalam usaha saya, dan 

saya bersyukur atas bantuan yang telah saya terima dari Lauya.

14

Hasil analisis bersama lima narasumber, langkah untuk pergi ke seorang Lauya 

diambil sebagai upaya terakhir setelah berbagai usaha yang dilakukan narasumber 

untuk mengatasi masalahnya gagal. Keputusan ini tercermin dari persepsi narasumber 

terhadap manfaat yang mungkin didapat dari bantuan spiritual, yang mungkin tidak 

tersedia melalui upaya-upaya yang telah dilakukannya sebelumnya. Perceived benefit

dalam konteks ini adalah harapan atau keyakinan dari narasumber bahwa konsultasi 

dengan ahli spiritual dapat membawa perubahan positif dalam kehidupannya. 

Meskipun tidak ada jaminan keberhasilan, narasumber percaya bahwa ahli spiritual 

yang akan di kunjungi memiliki kemampuan atau pengetahuan yang dapat membantu 

mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Selama sesi dengan ahli spiritual, narasumber 

menerima saran dan panduan untuk melakukan amalan spiritual yang diharapkan 

membersihkan energi negatif yang mengganggu usahanya. Meskipun tidak jelas apakah 

upaya ini akan berhasil, narasumber merasa lega karena telah melakukan segala yang 

dia bisa untuk mencoba memperbaiki keadaannya. Perceived benefit dalam hal ini adalah 

rasa lega dan kepuasan batin yang narasumber dapatkan karena telah melakukan 

sesuatu untuk mengatasi masalahnya, meskipun belum tentu hasilnya langsung terlihat. 

Ketika pendapatan narasumber mulai meningkat setelah beberapa waktu, hal ini 

memperkuat keyakinan narasumber terhadap manfaat dari konsultasi dengan ahli 

spiritual. Meskipun tidak ada efek langsung yang dapat dibuktikan, narasumber 

percaya bahwa perubahan positif dalam usahanya adalah hasil dari upaya spiritual 

yang telah dilakukan, sehingga meningkatkan perceived benefit dari pengalaman 

tersebut.

4) Cues to Action

Cues to action, dalam psikologi kesehatan, merujuk pada faktor-faktor atau 

stimulus-stimulus tertentu yang mendorong seseorang untuk mengambil tindakan 

tertentu, terutama dalam konteks perubahan perilaku untuk mencapai tujuan kesehatan 

atau kebugaran. Namun, ketika kita mempertimbangkan konteks tradisi dan budaya, 

cues to action menjadi lebih kompleks karena berbagai norma, nilai, dan praktik budaya 

yang memengaruhi cara orang bertindak dan mempersepsikan informasi.

Dalam konteks ini, cues to action dapat muncul dalam bentuk perayaan budaya, 

seperti festival atau upacara adat yang menekankan pentingnya pola makan sehat atau 

aktivitas fisik. Selain itu, keluarga juga dapat berperan sebagai cues to action dalam 

banyak budaya. Misalnya, jika dalam sebuah keluarga nilai-nilai kesehatan sangat 

ditekankan, seperti rutin berolahraga bersama atau memasak makanan sehat bersama￾sama, maka lingkungan keluarga tersebut dapat menjadi sumber stimulus yang kuat 

untuk mengarahkan individu untuk mengambil tindakan yang mendukung kesehatan mereka. Selanjutnya, dalam beberapa budaya, agama atau spiritualitas memainkan 

peran yang signifikan dalam membentuk perilaku dan keputusan sehari-hari. Misalnya, 

dalam agama-agama tertentu, seperti Hinduisme atau Buddhism, praktik meditasi dan 

perenungan dapat dianggap sebagai bagian penting dari perawatan diri dan kesehatan 

mental. Dalam hal ini, ajaran agama atau spiritualitas dapat menjadi cues to action yang 

kuat bagi individu untuk mengambil langkah-langkah yang mendukung kesejahteraan 

mereka.

Dengan demikian cues to action dalam konteks tradisi dan budaya dapat berasal 

dari berbagai sumber, mulai dari praktik tradisional hingga nilai-nilai keluarga, agama, 

dan pengaruh media. Memahami bagaimana faktor-faktor ini saling berinteraksi dan 

memengaruhi perilaku individu adalah kunci dalam merancang intervensi yang efektif 

untuk mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan di berbagai komunitas budaya.

Berikut adalah hasil wawancara peneliti bersama Aliang, Lauya:

Pai-pai adalah sebuah tradisi yang berasal dari budaya Tionghoa yang telah menjadi 

bagian penting dari kehidupan sehari-hari di banyak komunitas Tionghoa di dunia. 

Istilah "Pai pai" sendiri memiliki arti berdoa atau dalam bahasa Tionghoa. Tradisi ini 

berkaitan erat dengan konsep keberuntungan dan keberkahan yang diyakini dapat 

membawa keberuntungan dan kebahagiaan kepada mereka yang melakukannya 

dengan sungguh-sungguh.

1

Dari hasil wawancara bersama Aliang, peneliti dapat disimpulkan bahwa Tradisi 

Pai pai dapat dianggap sebagai serangkaian cues to action yang mempengaruhi perilaku 

individu dalam menciptakan kondisi yang diharapkan membawa keberuntungan dan 

kebahagiaan dalam kehidupan mereka. Dalam konteks ini, berbagai aspek tradisi, 

seperti membersihkan rumah, menggunakan simbol-simbol keberuntungan, dan

mengikuti ritual tertentu, bertindak sebagai stimulus yang mendorong individu untuk 

mengambil tindakan tertentu. Dengan demikian, dalam konteks cues to action, tradisi pai 

pai dapat dipandang sebagai serangkaian stimulus atau petunjuk yang membantu 

membentuk dan mengarahkan perilaku individu dalam upaya menciptakan kondisi 

yang diharapkan membawa keberuntungan dan kebahagiaan dalam kehidupan mereka.

Ada, yaitu tradisi bakcang, tradisi hari Bakcang bukan hanya tentang memakan 

makanan khas atau mengikuti ritual kuno, tetapi juga tentang memperingati sejarah 

dan menghormati leluhur, serta tentang memperkuat ikatan komunitas dan


merayakan warisan budaya yang kaya. Dalam konteks keberuntungan, memakan 

bakcang dianggap membawa keberuntungan dan keselamatan bagi mereka yang 

melakukannya dengan sungguh-sungguh, sambil menghargai nilai-nilai budaya 

dan spiritual yang terkandung dalam tradisi tersebut.

Hasil wawancara peneliti bersama Acin, peneliti dapat menyimpulkan dalam 

konteks sosial dan budaya. Dengan demikian, narasi tentang tradisi Hari Bakcang 

menunjukkan bagaimana praktik-praktik budaya dapat bertindak sebagai cues to action

yang memengaruhi perilaku individu dalam merayakan tradisi dan mencari 

keberuntungan. Praktik-praktik tersebut tidak hanya menciptakan kesempatan untuk 

memperkuat ikatan komunitas dan merayakan warisan budaya, tetapi juga memberikan 

kesempatan bagi individu untuk memperoleh makna spiritual dan harapan akan 

keberuntungan dalam kehidupan mereka. Berikutnya adalah hasil wawancara bersama 

narasumber Willy:

Sebagai contoh, cerita-cerita nenek moyang kami seringkali mencakup kisah-kisah 

tentang bagaimana perilaku tidak sopan atau tidak hormat terhadap leluhur atau 

entitas gaib dapat mengakibatkan malapetaka atau kutukan bagi keturunan mereka. 

Oleh karena itu, menjaga kesopanan dianggap sebagai cara untuk melindungi diri 

dari bahaya supranatural dan memastikan keberuntungan dan keberkahan dalam 

kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, tradisi kesopanan dalam budaya saya 

tidak hanya berfungsi sebagai norma sosial, tetapi juga sebagai bentuk 

perlindungan spiritual.

16

Dalam konteks budaya dan tradisi, praktik-praktik kesopanan yang diajarkan 

secara turun-temurun dalam keluarga narasumber bertindak sebagai serangkaian cues 

to action yang memengaruhi perilaku individu dalam interaksi sehari-hari. Misalnya, 

ketika seseorang dibesarkan dengan nilai-nilai kesopanan yang kuat, seperti 

mengucapkan salam kepada orang tua dan tetua, atau menghormati orang lain di 

sekitarnya, hal-hal ini bertindak sebagai cues to action yang memicu mereka untuk 

berperilaku dengan cara yang sopan dan menghargai.

Selain itu, dalam konteks tradisi, cerita-cerita nenek moyang tentang hubungan 

antara kesopanan dan dunia supranatural berfungsi sebagai cues to action yang 

mengarahkan individu untuk mempraktikkan perilaku yang sesuai dengan norma￾norma budaya dan spiritual. Ketika seseorang mendengar tentang konsekuensi buruk 

yang mungkin terjadi karena perilaku tidak sopan atau tidak hormat terhadap roh atau 

leluhur, hal itu memicu mereka untuk berhati-hati dan memperhatikan perilaku 

mereka, baik dalam interaksi sosial maupun dalam menjaga hubungan dengan alam 

supranatural.

Berikutnya narasumber bertanya kepada Akka terkait apakah ada ritual atau 

tradisi dalam budaya anda yang berfungsi sebagai pengingat untuk menjalani kesehatan 

secara rutin: “Sama seperti cerita saya sebelumya dik, Adapun ritual biasanya kita berdoa di pe’kong. 

Meminta keberkahan serta kesehatan bagi seluruh keluarga.”17

Pemaparan narasumber ini menekankan pentingnya ritual doa di Pe’kong sebagai 

pemicu utama. Tempat ibadah ini menjadi fokus kegiatan spiritual, dimana warga berkumpul untuk berdoa. lalu  tradisi dan kebiasaan dapat menjadi faktor, apa 

yang narasumber lakukan merupakan bagian dari tradisi dan kebiasaan yang telah 

berlangsung lama, memberikan rasa keteraturan dan stabilitas dalam kehidupan 

komunitas.

Meminta keberkahan dan kesehatan bagi seluruh keluarga merupakan tujuan 

tindakan ini. Ini memberikan motivasi yang kuat karena menyangkut kesejahteraan dan 

kesehatan orang-orang yang dicintai. lalu  ada harapan kolektif, tindakan doa 

bersama ini menciptakan harapan kolektif dan memberikan rasa kebersamaan dalam 

menghadapi tantangan hidup.

4.

Artikel ini menyoroti keberadaan Lauya sebagai praktisi pengobatan alternatif di 

kalangan etnis Tionghoa di Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya, lasungai  Barat. 

Temuan utama menunjukkan bahwa Lauya masih memegang peranan signifikan dalam 

praktik pengobatan alternatif di komunitas etnis Tionghoa setempat. Kelangsungan 

tradisi ini didorong oleh kuatnya kepercayaan akan efektivitas pengobatan serta 

keterikatan budaya yang mendalam. Lebih dari sekadar metode penyembuhan, Lauya 

juga berfungsi sebagai simbol identitas budaya yang memperkuat solidaritas 

komunitas.

Analisis menggunakan health belief model (HBM) membantu menjelaskan alasan 

warga  mempertahankan dan mempraktikkan sistem pengobatan tradisional 

berbasis spiritual ini. warga  memandang kerentanan terhadap penyakit melalui 

kacamata tradisi dan budaya, yang terkait dengan kepercayaan spiritual seperti 

ketidakseimbangan Yin dan Yang, lima elemen dalam tubuh, serta pengaruh makhluk 

astral (perceived susceptibility )Pandangan tentang tingkat keparahan penyakit mencakup 

aspek budaya, sosial, dan spiritual, di mana penyakit dianggap dapat menyebabkan 

gangguan serius hingga kematian jika disebabkan oleh gangguan energi negatif atau 

sebagai akibat karma dan hukuman spiritual. Dampak penyakit terhadap keluarga dan 

mata pencaharian juga meningkatkan persepsi ini (Perceived Severity). Pengobatan Lauya 

dirasakan memberikan manfaat menyeluruh, meliputi penyembuhan fisik sekaligus 

kesejahteraan mental, emosional, dan spiritual. Lauya dianggap sebagai perantara dunia 

fisik dan spiritual yang mampu mengusir kesialan dan memulihkan keseimbangan 

energi. Praktik ini sering menjadi pilihan ketika pengobatan medis konvensional kurang 

berhasil, dengan biaya yang lebih terjangkau serta memberikan kepuasan batin bagi 

pasien (Perceived benefits).Tradisi budaya, ritual doa, serta penghormatan terhadap 

leluhur dan entitas spiritual menjadi pemicu penting dalam mendorong warga  

mencari pengobatan Lauya (Cues to Action).


pengobatan Bali

 



pengobatan Bali.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Lontar Usadha Tiwang 

membahas tentang penyakit tiwang yakni penyakit yang mempunyai gejala badan 

terasa meluang, sakit dan ngilu, gelisah, mata mendelik, otot kaku bahkan sampai 

pingsan. Penyakit atau gejala penyakit diobati dengan ramuan obat-obatan yang 

terbuat dari campuran berbagai jenis tumbuh-tumbuhan atau bahan lainnya seperti 

arak, lengis tanusan, garam, gula, kapur, maupun santen, bahkan tain seksek serta 

iduh bang. Penggunaannya dimakan, diminum, ditutuhkan, disemburkan, diuapkan 

atau dilulurkan, maupun ditempelkan. 

warga   Bali tetap percaya terhadap pengobatan tradisional, bahwa sehat￾sakit terjadi merupakan kombinasi antara shtula sarira-suksma sarira-antahkarana 

sarira yakni keseimbangan antara badan (body), pikiran (mind), dan jiwa (spirit).


Kesehatan merupakan suatu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual 

maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial 

dan ekonomis. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi 

warga  , diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam 

bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan warga  . Upaya 

kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, 

preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan 

berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan ini   salah satunya dapat 

dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan tradisional. Pelayanan kesehatan 

tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang 

mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang 

dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di 

warga   (UU RI 36/2009). 

Pengobatan Tradisional Bali mengacu pada tradisi, pengalaman, keterampilan 

turun-temurun warga   Bali, baik yang belum tercatat maupun yang telah terliterasi 

dalam lontar usada ataupun dalam pendidikan atau pelatihan, dan diterapkan sesuai 

dengan norma yang berlaku dalam warga   Bali (PerGub Bali No 55 Tahun 2019) . 

warga   Bali tetap percaya terhadap sistim pengobatan tradisional Bali. Hal ini 

sebab  warga   Bali percaya bahwa sehat-sakit terjadi merupakan kombinasi shtula 

sarira-suksma sarira-antahkarana sarira yakni keseimbangan antara badan (Body), 

pikiran (Mind), dan jiwa (spirit). Disamping itu, saat ini ada kecenderungan warga  

beralih memakai  bahan-bahan alami dalam meningkatkan kesehatan dan 

kebugarannya. Namun demikian, warga   Bali yang berobat ke tempat praktik batra 

atau pengobatan alternatif hanya mencapai 1,03%, dibandingkan berobat ke praktik 

dokter atau bidan yang mencapai 57,96 % (BPS, 2019). 

Ada indikasi bahwa praktik pengobatan tradisional Bali masih ketinggalan jauh

dengan praktik pengobatan tradisional di Negara lain, seperti praktik pengobatan 

Traditional Chinise Medicine (TCM) sejak ribuan tahun lalu , yang berdasarkan pada 

konsep yin-yang dan Wuxing serta memakai  berbagai macam ramuan (Yuan et 

al., 2016), praktik pengobatan ayurwedic di India dengan tiga elemen Pitta-Kapha￾Vata (Ventegodt et al., 2007). sebab  itulah maka kajian tentang pengobatan tradisional 

Bali penting untuk dilakukan sebab  pengetahuan tradisional tentang pengobatan

Usada Bali adalah salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang perlu dijaga sehingga

tidak diklaim dan dipatenkan oleh bangsa lain. Pengetahuan ini dapat memiliki nilai

unggul, kompetitif dan inovatif dari warga   Bali dan warga   Indonesia. 

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pengobatan tradisional Bali, dengan 

mengambil fokus kajian pada pengobatan yang tertuang dalam lontar Usadha 

tiwang, dengan harapan dapat menjadi salah satu referensi dalam pengembangan

pengobatan tradisional Bali empiris, pengobatan tradisional Bali komplementer dan 

pengobatan tradisional integratif.


Penelitian ini memakai  metode kepustakaan (Library Research). Unit 

analisis berupa naskah lontar Usadha Tiwang. Naskah lontar ini   berupa naskah 

lontar yang telah ditransliterasi dari aksara Bali ke aksara Latin, namun demikian 

penyebutan lontar masih digunakan sesuai kebiasaan umum di warga  . Deskripi 

lontar Usadha Tiwang; Verzameld door Kirtya, Uit Boesongbio (Pengastoelan), 

Ontvangen 10 April 1933, Getik 12 Desember 1941, Door Ni Made Tirta, Nagakeken 

door Ketoet Kabir. Lontar ini   diperkirakan telah ada sebelum tahun 1933 

(Gambar 1).

Lontar ini   kemudian ditelusuri cara atau metode pengobatan untuk 

berbagai jenis penyakit dengan memakai  sarana atau campuran bahan yang 

terutama berupa ramuan dari tumbuh-tumbuhan. Data yang diperoleh dianalisis 

secara deskriptif kualitatif.


PEMBAHASAN

Pengobatan tradisional Bali seperti tertulis dalam lontar usadha tiwang

terutama membahas tentang penyakit tiwang. Tiwang adalah penyakit yang 

mempunyai gejala badan terasa meluang, sakit dan ngilu, gelisah, mata mendelik, otot 

kaku bahkan sampai pingsan. Jenis tiwang dicirikan berdasarkan gejala yang muncul, 

seperti tiwang utara memiliki gejala gelisah (meunyang-anyingan), mata mendelik. 

Tiwang tojos dicirikan dengan gejala gelisah (meunyang-anyingan), mata mendelik, 

serta tangan tidak mau diam (pati grèpè). Tiwang udang memiliki gejala tangan dan 

tungkai bergerak-gerak seperti gerakan udang, mata melotot. Di samping itu, lontar 

usadha tiwang menyebutkan penyakit lainnya seperti batuk, mokan yaitu penyakit 

dengan gejala bengkak dan terasa sakit. Berbagai jenis penyakit atau gejala penyakit 

disajikan pada tabel 1.

Praktik pengobatan tradisional di Bali umumnya dilaksanakan oleh pengusada 

atau balian yang mempunyai pengetahuan cukup tentang pengobatan tradisional 

ini  . Pengetahuan ini   diperoleh dengan berbagai cara seperti; sebab  

turunan dari keluarga sebelumnya, taksu, pica, belajar atau nyastra, dan lainya. 

Dengan demikian Balian dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yakni; (1) 

Balian Katakson merupakan Balian yang mendapat keahlian melalui taksu. Taksu

berupa kekuatan spiritual yang dimiliki oleh seseorang serta telah mempengaruhi 

orang ini  , baik cara berpikir, berbicara maupun berperilaku. Kekuatan Taksu

ini   memungkinkan sesorang mampu mengobati orang yang menderita sakit; (2) 

Balian Kapican merupakan balian yang memiliki kemampuan setelah memperoleh 

pica. Pica ini   dapat berupa benda bertuah. Dengan mempergunakan pica 

ini  , balian mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan penyakit; (3) Balian 

Usada merupakan balian yang memiliki kemampuan pengobatan yang diperoleh 

melalui aktifitas belajar ilmu pengobatan, baik melalui guru waktra, belajar pada 

Balian, maupun belajar sendiri melalui lontar usada; (4) Balian Campuran merupakan 

Balian katakson maupun Balian kapican yang mempelajari usada (Nala, 2002). 

Dalam melaksanakan pengobatan, seorang pengusadha umumnya mengikuti 

tata laksana pengobatan di antaranya; (1) ngelinggihan taksu yakni memohon kekuatan dan sinar suci dari Tuhan Yang Maha Esa sebab  kecakapan atau 

pengetahuan yang dimiliki seroang pengusada berasal dari Tuhan yang Maha Esa 

sebagai kekuatan yang masuk kedalam jiwa, raga dan pikiran yang berwujud sebagai 

Taksu sang Pengusada, (2), pengraksa jiwa sang gering yakni sang gering melakukan 

pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar memberikan kekuatan pada diri sang 

gering dan pengusada, (3) tetengering gering yakni pengenalan gejala penyakit 

(diagnosis), serta (4) pengobatan dengan memakai  obat (PerGub Bali 55/Th 

2019). Dalam usadha tiwang, tetengering gering terlihat dari pengenalan gejala-gejala 

penyakit, seperti tiwang utara dicirikan dengan gejala gelisah (meunyang-anyingan), 

mata mendelik. Tiwang tojos dicirikan dengan gejala gelisah (meunyang-anyingan), 

mata mendelik, serta tangan tidak mau diam (pati grèpè). Selanjutnya, dilakukan 

pengobatan dengan memakai  berbagai jenis ramuan yang berasal dari tumbuh￾tumbuhan serta bahan-bahan lainnya. Seperti tiwang utara di obati dengan campuran 

Gamongan (Zingiber zerumbet), Triketuka {Kesuna (Allium sativum L), Jangu (Acorus 

calamus), Mesui (Cryptocarya massoy (Oken) Kosterm), serta tain seksek. Bahan￾bahan tersebbut kemudian dihaluskan semuanya dan cara pengobatannya dengan 

cara diurapkan. 

Namun demikian, cara pengolahan bahan atau sarana obat banyak yang belum 

dicantumkan secara jelas, seperti misalnya pengobatan terhadap tiwang kertas dengan 

memakai  daun dapdap tis (Erythrina subumbrans), rimpang kunyit (Curcuma 

demostica), serta gula tebu, pengobatannya dengan cara diminumkan. Kondisi ini akan 

memunculkan interpretasi bahwa bahan tersbut dibuat dalam bentuk loloh terlebih 

dahulu sebelum diminum. Disamping itu takaran bahan-bahan atau sarana masih 

belum terungkap secara jelas. Bahkan Pengobatan tiwang bebek tidak dicantumkan 

cara pengobatannya. Tiwang bebek memiliki gejala Perut ngredek seperti suara lautan, 

dan diobati dengan campuran bahan yang terdiri atas Sembung (Blumea balsamifera 

(L.) DC.), Daringo (Acorus calamus), namun cara pemakaian atau pengobatannya 

belum jelas. 

Penyakit atau gejala penyakit diobati dengan ramuan obat-obatan yang terbuat 

dari campuran berbagai jenis tumbuh-tumbuhan atau bahan lainnya. 

Penggunaannyapun bermacam-macam seperti dimakan, diminum, ditutuhkan, 

disemburkan, diuapkan atau dilulurkan, maupun ditempelkan. Tumbuhan ini   ada 

yang digunakan dalam keadaan segar atau sudah dalam bentuk olahan seperti 

direbus atau ditambus. Tumbuhan ini   ada yang diolah dalam bentuk boreh, 

loloh, sembar, tampel, atau tutuh. Boreh berupa campuran obat yang dibuat dengan cara menggiling ataupun menumbuk campuran bahan sampai halus kemudian 

ditambahkan air atau arak. Sedangkan loloh berupa sari pati yang diperoleh dengan 

cara meremas-remas atau menggerus bahan dengan menambahkan sedikit air 

kemudian diperas dan disaring.. Sembar atau simbuh yaitu berupa ramuan yang 

diperoleh dengan cara mengunyah bahan-bahan sampai lumat kemudian 

disemburkan secara langsung pada bagian badan yang diobati. Tampel atau tempel 

yaitu ramuan yang diperoleh dengan cara menghaluskan campuran bahan-bahan dan 

dalam penggunaannya ditempelkan pada bagian yang diobati. Tutuh Tutuh atau 

pepeh yaitu ramuan yang diambil dari sari pati dengan cara memeras atau menggiling 

bahan-bahannya kemudian disaring untuk mendapatkan sari patinya dan dalm 

penggunaannya diteteskan

Bahan lainya yang sering digunakan seperti arak, lengis tanusan yakni minyak 

kelapa yang dibuat secara tradisional, garam, gula, kapur, maupun santen, bahkan 

tain seksek serta iduh bang. Tain seksek yaitu serbuk kayu yang dihasilkan oleh ulat 

pemakan kayu, sedangkan iduh bang berupa air ludah berwarna merah setelah 

seseorang nginang atau makan sirih (nyirih). 

Pemanfaatan tumbuhan ini   disertai unsur non medis seperti mantra￾mantra. Seperti salah satu mantra “Ong kita saking campah, kaupatana, tiwang asu, 

aku akokon, ong teja-teja, teka luar, 3. Ong sanghyang Indra angleburaken tiwang 

kabeh, tiwang bangke, tiwang asu, teka mati kita kabeh, ko sipok aku sipok, ong teja￾teja teka luar 3”. Mantra-mantra yang disertai dengan sarana dan ritual pembersihan 

unsur abstrak, bertujuan melindungi pasien secara psikologis dan memotivasi untuk 

ketahanan bathin agar terhindar dari mara bahaya (fungsi preventif, promotif, 

rehabilitasif). Mantera memegang peranan penting dalam pengobatan oleh para 

pengobat tradisional. Tanpa mantera, segala bentuk sarana dianggap belum memiliki 

kekuatan supra natural dalam penyembuhan, sebab  tercapainya kesembuhan mutlak 

merupakan kuasa Tuhan, bukan oleh saran obat saja. 

Penyakit tidak hanya merupakan gejala biologi saja, tetapi juga memiliki 

dimensi yang lain yakni sosial budaya. Menyembuhkan suatu penyakit tidak cukup 

hanya dengan menangani masalah biologinya saja, tetapi harus digarap masalah 

sosial budayanya. warga  pada umumnya mencari pertolongan pengobatan 

bukanlah sebab  penyakit yang patogen, tetapi kebanyakan akibat adanya kelainan 

fungsi dari tubuhnya. warga   di Bali masih percaya bahwa pengobatan tradisional 

usadha banyak maanfaatnya untuk menyembuhkan orang sakit. Walaupun telah 

banyak ada Puskesmas tersebar merata di setiap kecamatan, tetapi berobat ke 

pengobat tradisional Bali (Balian) masih merupakan pilihan yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja baik bagi orang desa maupun orang kota. Oleh sebab  itu 

maka pelayanan kesehatan tradisional, baik emperis, komplementer maupun 

integratisi, sangat diperlukan oleh warga   Bali. Pelayanan kesehatan tradisional 

adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada 

pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat 

dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di 

warga   (UU RI. 36/Tahun 2009).

warga   Bali tetap percaya terhadap pengobatan tradisional. warga   

Bali percaya bahwa sehat-sakit terjadi merupakan kombinasi antara shtula sarira￾suksma sarira-antahkarana sarira yakni keseimbangan antara badan (Body), pikiran 

(Mind), dan jiwa (spirit). WHO juga menyatakan bahwa tiga karakteristik pengobatan 

tradisional yang membuat pasien percaya terhadap pengobatan tradisional adalah, 

pertama kepercayaan bahwa hidup adalah kesatuan dari badan, emosi, pikiran dan 

roh atau jiwa, dan kesehatan adalah keseimbangan antara beberapa aspek di dalam 

badan manusia dengan lingkungan. Penyakit akan terjadi bila tidak ada 

kesinambungan antara fisik, emosional, mental, atau spiritual. Kedua, pengobatan 

tradisional memakai  pendekatan menyeluruh pada diagnosis dan tindakan, 

bukan melihat bagian per bagian tubuh. Ketiga, pengobatan tradisional berdasarkan 

pada kebutuhan individu, berbeda orang berbeda tindakan meskipun pada kasus 

penyakit yang sama 

Sistim pengobatan ini   menggambarkan hubungan kompleks 

pengetahuan, kepercayaan dan pemanfaatan, yang disebut juga sebagai kompleks 

Corpus-Cosmos-Praxis. Kompleksitas ini   menggambarkan bahwa, praktik 

(praxis) pemanfaatan tumbuhan dalam pengobatan dilandasi oleh sistim kepercayaan 

yang kuat (cosmos) dan sistim pengetahuan (corpus) (Arsana, 2019). Kondisi 

ini   sebab  praktik pengobatan tradisional Bali telah berakar kuat dalam budaya 

warga   Bali, sehingga tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Kondisi 

ini   sebab  kebudayaan Bali dapat dikatakan terbentuk dari proses interaksi

manusia Bali dengan lingkungannya. Dalam kosmologi orang Bali, lingkungan

dibedakan atas dua macam yakni lingkungan sekala (nyata) dan lingkungan niskala

(tidak nyata). Lingkungan sekala meliputi lingkungan sosial (warga  ) dan 

lingkungan fisik (alam sekitarnya). Sedangkan lingkungan niskala merupakan

lingkungan spiritual yang dihuni oleh kekuatan-kekuatan supranatural atau adikodrati

yang diyakini dapat menimbulkan pengaruh positif maupun negatif terhadap

kehidupan manusia. Ekspresi dari interaksi antara orang Bali dengan lingkungan sosial antara lain melahirkan Basa Bali (Bahasa Bali), norma-norma, peraturan￾peraturan, hukum (sima, dresta, awig-awig), pranata-pranata sosial seperti pranata

kekerabatan (nyama, braya, dadia, soroh), dan pranata kewarga  an (sekeha, 

banjar, desa, gumi). Ekspresi dari interaksi orang Bali dengan lingkungan fisik antara 

lain melahirkan sistem pengetahuan tentang alam (seperti penanggalan sasih,

pawukon, pranatamangsa), sistem subak dan lain sebagainya. Ekspresi dari interaksi

antara orang Bali dengan lingkungan spiritual (niskala) melahirkan sistem religi lokal

atau “agama Bali” yang di dalamnya mencakup emosi atau sentimen keagamaan,

konsepsi tentang kekuatan-kekuatan dan mahluk-mahluk gaib, upacara ritual

keagamaan, fasilitas keagamaan, kelompok atau komunitas keagamaan (Pujaastawa, 

2014). 

Hal ini   sesuai dengan konsep pelayanan kesehatan tradisional Bali yakni; 

(1) gangguan kesehatan individu disebabkan oleh ketidakseimbangan/harmoni bhuana 

alit (tubuh manusia) dengan bhuana agung (lingkungan alam semesta), unsur fisik, 

mental, sosial, spiritual, dan budaya; (2) manusia memiliki kemampuan beradaptasi 

dan penyembuhan diri sendiri (self healing); (3) penyehatan dilakukan dengan 

pendekatan holistik (menyeluruh) dan alamiah yang bertujuan untuk menyeimbangkan 

kembali antara kemampuan adaptasi dengan penyebab gangguan kesehatan (PerGub 

Bali 55/Th 2019).






Penelitian ini memakai  metode kepustakaan (Library 

Research). Unit analisis berupa naskah lontar Usadha Tiwang, yang telah 

ditransliterasi dari aksara Bali ke aksara Latin. 

Temuan: Hasil penelitian diketahui bahwa tiwang adalah penyakit yang mempunyai 

gejala badan terasa meluang, sakit dan ngilu, gelisah, mata mendelik, otot kaku 

bahkan sampai pingsan. Jenis tiwang dicirikan berdasarkan gejala yang muncul. 

Pengobatan dilaksanakan secara holistik oleh pengusada sesuai tatalaksana 

pengusada, dengan memakai  ramuan obat-obatan yang terbuat dari campuran 

berbagai jenis tumbuh-tumbuhan atau bahan lainnya seperti arak, lengis tanusan, 

garam, gula, kapur, maupun santen, bahkan tain seksek serta iduh bang. 

Penggunaannya dengan cara dimakan, diminum, ditutuhkan, disemburkan, diuapkan 

atau dilulurkan, maupun ditempelkan. Takaran, cara pengolahan, serta cara pemakaian 

masih belum jelas. 

Implikasi: warga   Bali tetap percaya terhadap sistim pengobatan tradisional Bali. 

Namun demikian, warga   Bali yang berobat ke tempat praktik pengobatan 

tradisional sangat sedikit. Simpulannya adalah pengobatan tradisional Bali dilakukan 

secara holistik untuk mencapai keseimbangan antara shtula sarira-suksma sarira￾antahkarana sarira. 



Pengobatan Alternatif Ghaib

 



Pengobatan Alternatif  Ghaib


Pengobatan alternatif memakai     kekuatan gaib merupakan fenomena yang telah 

lama eksis di negara kita  dan memiliki akar budaya serta kepercayaan tradisional yang 

mendalam. Meskipun metode ini sering kali dianggap sebagai solusi cepat dan murah untuk 

berbagai masalah kesehatan, praktiknya kerap dilakukan tanpa dasar ilmiah atau pengawasan 

yang memadai. Hal ini menyebabkan berbagai dampak negatif, baik fisik, finansial, maupun 

psikologis, yang dirasakan oleh warga . Dalam banyak kasus, pengobatan ghaib menjadi 

pilihan saat   individu merasa putus asa atau tidak puas dengan pengobatan medis modern. 

Namun, ketergantungan terhadap metode ini justru dapat memperburuk kondisi pasien, 

terutama jika penyakit yang diderita memerlukan penanganan medis segera.Dampak negatif pengobatan ghaib sangat beragam. Secara fisik, banyak pasien yang 

mengalami penundaan pengobatan medis karena terlalu mengandalkan metode supranatural. 

Kasus-kasus seperti pasien kanker yang menunda pengobatan medis demi terapi ghaib sering 

kali berujung pada kondisi yang lebih buruk, bahkan kematian. Ketidakefektifan metode ini 

disebabkan oleh ketiadaan dasar ilmiah yang mendukung klaim penyembuhan yang dilakukan 

oleh praktisi. Selain itu, praktik ini sering kali dilakukan oleh individu yang tidak memiliki 

keahlian medis, sehingga dapat memberi  diagnosis yang salah atau rekomendasi yang tidak 

aman bagi pasien. Sebagai contoh, pembakaran dupa di ruangan tertutup yang diklaim sebagai 

terapi penyembuhan justru memperburuk kondisi pasien dengan gangguan pernapasan hingga 

menyebabkan kematian.

Dari sisi finansial, pengobatan ghaib sering kali menjadi lahan subur bagi praktik 

penipuan. Banyak praktisi memanfaatkan kepercayaan warga  untuk mengeksploitasi 

mereka secara ekonomi. Contohnya, pasien diminta membayar sejumlah besar uang untuk air 

suci, batu ajaib, atau ritual yang diklaim memiliki kekuatan penyembuhan. saat   metode ini 

gagal memberi  hasil, pasien tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga menghadapi beban 

ekonomi yang lebih besar, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu. 

Selain itu, manipulasi psikologis oleh praktisi juga kerap terjadi. Pasien sering kali disalahkan 

atas kegagalan pengobatan, dengan alasan kurangnya iman atau dosa tertentu. Hal ini tidak 

hanya memperparah kondisi emosional pasien, tetapi juga menciptakan stigma sosial yang 

mendalam.

Kerugian lainnya adalah dampak sosial dan psikologis yang dirasakan oleh pasien dan 

keluarga mereka. Banyak pasien yang merasa malu atau kehilangan harapan setelah gagal 

sembuh melalui metode ghaib. Trauma emosional ini sering kali diperburuk oleh tuduhan dari 

warga  atau praktisi bahwa kegagalan ini   adalah akibat dari kesalahan pasien sendiri. 

Beberapa keluarga bahkan mengalami perpecahan karena tekanan ekonomi dan emosional 

yang disebabkan oleh pengobatan yang tidak efektif. Selain itu, praktik ghaib yang melibatkan 

ritual tertentu juga berpotensi menimbulkan konflik budaya atau agama, terutama jika ritual 

ini   bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh komunitas setempat.

Dalam menghadapi masalah ini, regulasi hukum menjadi sangat penting. Pasal 252 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2023 hadir untuk memberi  

perlindungan hukum bagi warga  dari praktik pengobatan yang dapat membahayakan 

kesehatan atau merugikan pasien. Pasal ini mengatur bahwa seseorang yang melakukan praktik 

pengobatan tanpa izin atau dengan cara yang melanggar hukum dapat dikenai sanksi pidana. 

Dalam konteks pengobatan ghaib, penerapan pasal ini mencakup tindakan tanpa izin resmi, penipuan, serta praktik yang mengakibatkan kerugian fisik, finansial, atau bahkan kematian 

pasien. Contohnya, seorang dukun yang menawarkan penyembuhan penyakit serius tanpa 

memiliki izin atau dasar medis dapat dikenai sanksi pidana. Begitu pula dengan kasus-kasus 

penipuan, seperti menjual produk atau jasa dengan harga tinggi tanpa memberi  hasil yang 

nyata, yang juga dapat ditindak berdasar   pasal ini.

Penerapan Pasal 252 tidak hanya bertujuan untuk memberi  efek jera bagi pelaku, 

tetapi juga sebagai alat edukasi bagi warga . Dengan ancaman sanksi pidana, diharapkan 

warga  menjadi lebih kritis dan selektif dalam memilih layanan kesehatan, termasuk 

pengobatan alternatif. Pemerintah juga memiliki peran penting dalam mendukung 

implementasi regulasi ini, misalnya melalui kampanye edukasi tentang pentingnya pengobatan 

berbasis bukti dan memperluas akses ke layanan medis yang terpercaya. Langkah ini 

diharapkan dapat mengurangi ketergantungan warga  pada metode ghaib yang berisiko 

tinggi.

Selain itu, regulasi ini juga dapat mendorong praktik pengobatan alternatif untuk lebih 

transparan dan profesional. Elemen-elemen pengobatan tradisional yang aman dan bermanfaat 

dapat diintegrasikan ke dalam sistem medis modern melalui penelitian ilmiah yang 

mendukung. Misalnya, penggunaan tanaman obat tradisional yang telah terbukti secara ilmiah 

dapat dikembangkan menjadi terapi komplementer yang aman. Dengan pendekatan ini, tradisi 

dan budaya lokal tetap dapat dihormati tanpa mengorbankan keselamatan dan kesejahteraan 

warga .

Secara keseluruhan, pengobatan alternatif memakai     kekuatan ghaib memiliki 

dampak yang kompleks bagi warga , baik secara fisik, finansial, psikologis, maupun 

sosial. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk melindungi warga  dari 

praktik yang merugikan ini. Regulasi hukum seperti Pasal 252 KUHP, edukasi warga , dan 

pengembangan pengobatan tradisional berbasis bukti ilmiah merupakan upaya penting untuk 

menciptakan perlindungan dan keadilan yang lebih baik bagi semua pihak. Dengan pendekatan 

yang komprehensif, diharapkan pengobatan alternatif dapat menjadi pelengkap yang aman dan 

efektif bagi sistem kesehatan nasional.


Tidak dapat dipungkiri di dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, permasalahan 

penegakan hukum merupakan suatu dinamika sosial yang pasti akan ditemukan oleh sebuah 

negara tak terkecuali negara apapun itu termasuk negara kita . Permasalahan ini biasanya selalu 

diikuti dengan adanya suatu norma sebagai solusi dalam mengatasi masalah ini  . Jauh 

sebelumnya, seorang filsuf yang bernama Cicero mengatakan “Ubi Societas, Ibi Ius, Ibi 

Crimen” (ada warga , ada hukum dan ada kejahatan). warga  saling menilai, menjalin 

interaksi dan komunikasi, tidak jarang timbul konflik atau pertikaian Eksistensi antara manusia 

dan kepercayaan (beliefs) terhadap hal gaib pada dasarnya bagaikan dua sisi koin, yang selalu 

berdampingan dan tak terlepaskan, hubungan ini merupakan konsep primitif atau sudah 

berlangsung sejak zaman dahulu. berdasar   sejarah perjalanan kehidupan manusia diyakini 

antara manusia dan hal gaib berkembang menyempurnakan diri secara bersama-sama bahkan 

kini, contohnya konsep animisme pada akhirnya menjadi fondasi kepercayaan manusia 

terhadap agama. Terlepas dari keterbatasan panca indera dan kemampuan akal manusia 

maupun teknologi yang terus menggali eksistensi hal-hal gaib kepada kajian yang lebih rasional, sulit direalisasikan dikarenakan sifatnya yang masuk kedalam aspek metafisika, 

namun dalam tataran empirik hal-hal terkait dengan kekuatan gaib dalam hal ini adalah praktik 

paranormal yang mengadakan peramalan, masih dipercaya oleh sebagian warga  dalam 

realita sosial, sekalipun pada abad-21 kini yang bersanding dengan kehidupan manusia dan 

revolusi di bidang ilmu pengetahuan. Fenomena kepercayaan terhadap praktik paranormal, 

merupakan fenomena universal yang dapat ditemukan dalam perjalanan sejarah suatu bangsa 

baik pada negara maju (modern country) maupun negara berkembang (development country). 

Pada realita sosial di warga  negara kita  kepercayaan terhadap praktik paranormal 

dapat ditemukan dengan mudah di berbagai daerah mulai dari Sabang hingga Merauke. 

warga  menganggap praktek paranormal diyakini memiliki    kesaktian ‘tertentu, sudah 

menjadi sebuah fakta sosial sehari-hari bahkan kebutuhannya dipercaya untuk memperlancar 

berbagai bidang kehidupan mereka, seperti urusan akademis, politik, snis, ekonomi, jodoh, 

rezeki dan lain sebagainya. Kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam perjalanan hidup, 

seringkali membuat manusia putus asa dan hendak mencari jalan pintas sehingga dapat 

memecahkan persoalan hidup dengan cepat membuat hal ini dimanfaatkan oleh “oknum” yang 

mengaku memiliki    kesaktian tertentu, padahal kesaktiannya palsu dan dapat mengarah 

kepada penipuan dimana korban berasal dari kalangan warga  desa hingga pejabat ibukota 

yang gamang menghadapi realitas, sehingga dukun dianggap menjadi jalan pintas yang 

memunculkan korban sehingga terjebak pada janji sihir mistik yang pekat. 

Pengobatan alternatif telah menjadi bagian integral dalam warga , terutama di 

negara kita , di mana banyak orang mengandalkan metode non-konvensional dalam mencari 

kesembuhan. Dalam praktiknya, pengobatan alternatif ini seringkali melibatkan penggunaan 

kekuatan gaib, seperti ramuan tradisional, ritual spiritual, dan metode pengobatan yang tidak 

berbasis ilmiah. Meskipun memiliki tempat tersendiri dalam budaya dan tradisi warga , 

munculnya berbagai praktik pengobatan alternatif ini juga menimbulkan kekhawatiran, 

terutama dalam konteks hukum pidana dan kesehatan. Dalam Pasal 252 Kitab Undang-Undang 

Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sejak tahun 2023, terdapat ketentuan yang mengatur 

mengenai tindakan yang dianggap merugikan kesehatan warga , termasuk praktik 

pengobatan yang tidak memenuhi standar ilmiah dan yang dapat membahayakan jiwa pasien. 

Dengan adanya pasal ini, terdapat potensi kriminalisasi terhadap pelaku pengobatan alternatif 

yang memakai     kekuatan gaib, apalagi jika praktik ini   terbukti merugikan pasien.

Oleh sebab itu, segala bentuk pembaharuan hukum pidana harus selalu dikaitkan pada 

tujuan ini  . Untuk memberi  perlindungan yang komprehensif, maka pembaruan tidak 

hanya meliputi aspek materiil melainkan juga aspek formil, (Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan 

Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana negara kita , (Jakarta: Gramedia 

Pustaka Utama, 2003), hlm. 9-10 dan hlm. 14) Dengan disahkannya Kitab Undang-Undang 

Hukum Pidana (KUHP 2023) maka konteks sinkronisasi dan harmonisasi ketentuan pidana 

materiil terhadap ketentuan pidana formil yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 

(KUHAP 1981) dan Rancangan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 

(RKUHAP 2012) menjadi relevan. Urgensi penyelarasan KUHP 2023 terhadap KUHAP 1981 

dan RKUHAP 2012 menjadi penting agar ketentuan-ketentuan di KUHP 2023 tidak hanya 

bersifat konseptual tetapi juga bisa diimplementasikan secara praktik, (Lihat E.Y. Kanter dan 

S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di negara kita  dan Penerapannya, Jakarta: Storia 

Grafika: 2002, hlm. 20. “Hukum pidana formal atau juga disebut hukum acara pidana adalah 

seluruh garis hukum, yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum dan keadilan 

untuk melaksanakan ketentuan ketentuan hukum pidana materia.” berdasar   definisi ini, 

maka dapat terlihat bahwa sinkronisasi dan harmonisasi antara hukum pidana materiil dan 

formil menjadi esensial

2. 

Metode penelitian normatif merupakan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis 

peraturan hukum yang berlaku dan penerapannya terhadap fenomena yang menjadi objek 

penelitian. Dalam konteks pengobatan alternatif memakai     kekuatan gaib, metode ini 

berfokus pada kajian normatif terhadap Pasal 252 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 

(KUHP) Tahun 2023, yang mengatur tentang praktik pengobatan tanpa dasar ilmiah dan yang 

berpotensi merugikan warga . Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis dokumen 

hukum, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, serta literatur yang relevan. Selain itu, 

pendekatan ini juga meninjau prinsip-prinsip hukum pidana, asas-asas hukum kesehatan, dan 

doktrin hukum untuk memahami bagaimana regulasi ini   dirumuskan dan diterapkan. 

Dengan demikian, metode normatif ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas regulasi 

hukum dalam memberi  perlindungan kepada warga  dari dampak negatif pengobatan 

alternatif yang tidak bertanggung jawab. Hasil penelitian normatif ini diharapkan dapat 

memberi  rekomendasi hukum yang konstruktif untuk meningkatkan sinkronisasi dan 

harmonisasi antara regulasi yang ada dengan kebutuhan sosial.Para ahli hukum adat negara kita  menggambarkan warga  negara kita  

sebagaihubungan di antara manusia, kekuatan-kekuatan gaib, tanah, barang-barang dan 

lain lainnya lagi yang berada di dunia ini, yang menurut alam pikiran warga  

ini   dianggap “normal” dan merupakan syarat mutlak untuk kehidupan yang 

bahagia dan harmonis yang disebut keseimbangan (evenwicht), oleh karena baik umat 

manusia maupun warga  itu masing-masing adalah pusat gabungan 

hubungan.123Tindak Pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan 

(evenwichtsver storing) dan dalam hal ini pemidanaan berupa raksi adat (adatreaktie) 

bertujuan untuk memulihkan kembali keseimbangan

Dari segi ideologis dapat dikemukakan, bahwa berdasar   Pancasila maka 

manusia ditempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan 

Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengemban kodratnya sebagai makhluk 

pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Pancasila yang bulat dan utruh memberi 

keyakinan kepada rakyat dan bangsa negara kita  bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai 

dan bangsa negara kita  bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas 

keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam 

hubungan manusia warga , dalam hubungan manusia dengan alam, hubungan 

manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan 

kebahagiaan rohani.124 Atas dasar kerangka sosiologis dan idiologis di atas, kerangka 

pemikiran integratif tentang tujuan pemidanaan sebagaimana ini   dalam penjatuhan 

sanksi pidana tidak lain adalah kohesi dalam kelompok (saahoriheid in de 

greep).125Namun demikian tidak sedikit pula yang beranggapan agar supaya tujuan 

pemidanaan tidak menyampingkan kenyataan yang ada dalam warga , berupa 

pemenuhan keinginan akan pembalasan

Pengaturan hukum di negara kita  memberi  ruang bagi pengobatan alternatif melalui 

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mengakui pengobatan 

tradisional, termasuk penggunaan tenaga dalam, herbal, dan lainnya. Namun, pengakuan ini 

disertai syarat bahwa pengobatan alternatif harus dilakukan secara bertanggung jawab dan 

tidak merugikan warga . Hal ini mencakup ketentuan untuk mencegah praktik yang dapat 

merugikan pasien, seperti klaim palsu, penipuan, atau tindakan yang membahayakan 

Kesehatan Pengobatan alternatif adalah suatu metode penyembuhan yang dilakukan di luar dari pengobatan medis konvensional. Metode ini mencakup berbagai praktik tradisional, spiritual, 

atau teknik terapi non-konvensional yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan fisik, 

mental, dan emosional. Dalam konteks global, pengobatan alternatif sering kali dipandang 

sebagai bentuk pelengkap (complementary) atau pengganti (alternative) dari pengobatan 

modern. 

Menurut WHO, pengobatan alternatif atau pengobatan tradisional didefinisikan sebagai 

"pengetahuan, keterampilan, dan praktik berbasis teori, kepercayaan, dan pengalaman asli yang 

digunakan untuk menjaga kesehatan serta mencegah, mendiagnosis, dan mengobati penyakit 

fisik dan mental. Di negara kita , definisi serupa diberikan oleh Undang-Undang Nomor 36 

Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menganggap pengobatan alternatif sebagai upaya 

kesehatan yang didasarkan pada pengalaman empiris dan keterampilan yang diwariskan secara 

turun-temurun. 

Pengobatan alternatif dapat berupa penggunaan bahan alami, praktik spiritual, atau 

terapi manual seperti pijat tradisional. Praktik ini sering kali memiliki akar budaya dan 

kepercayaan lokal, yang menjadi daya tarik utama bagi warga  yang merasa tidak puas 

atau kurang percaya pada metode pengobatan modern.

Pengobatan alternatif merupakan bagian dari kehidupan warga  yang memiliki 

akar budaya dan kepercayaan lokal. Salah satu bentuknya yang unik dan sering kali menjadi 

perdebatan adalah pengobatan alternatif memakai     kekuatan ghaib. Metode ini melibatkan 

elemen-elemen supranatural, spiritual, atau energi tak kasat mata untuk mengatasi berbagai 

masalah kesehatan, baik fisik maupun mental. Pengobatan alternatif memakai     kekuatan 

ghaib merujuk pada praktik penyembuhan yang tidak melibatkan teknologi medis atau bahan 

obat konvensional, melainkan memakai     kekuatan spiritual atau energi supranatural. Istilah 

"ghaib" merujuk pada sesuatu yang tidak terlihat dan berada di luar jangkauan indera manusia. 

Dalam konteks pengobatan, kekuatan ghaib diyakini dapat memengaruhi kondisi tubuh dan 

pikiran melalui mekanisme yang sering kali tidak dapat dijelaskan secara ilmiah 

Pengobatan alternatif memakai     kekuatan ghaib merupakan praktik yang sudah 

lama dikenal di berbagai budaya, termasuk di negara kita . Namun, seiring perkembangan zaman 

dan meningkatnya kesadaran warga  tentang pentingnya standar medis, praktik ini 

memunculkan berbagai permasalahan yang dapat merugikan warga . Dalam tulisan ini, 

akan dijelaskan mengapa praktik pengobatan alternatif memakai     kekuatan ghaib perlu 

dikriminalisasi, dengan mempertimbangkan aspek keamanan, transparansi, etika, dan dampak 

sosiaLPraktik pengobatan memakai     kekuatan ghaib sering kali dilakukan tanpa dasar ilmiah yang jelas. Ketidaktahuan warga  tentang prosesnya membuat mereka rentan 

terhadap bahaya yang tidak terlihat. Misalnya, banyak pasien yang mengalami penundaan 

perawatan medis karena terlalu bergantung pada metode ini, yang pada akhirnya memperburuk 

kondisi kesehatan mereka. 

Haryanto berkata kata   bahwa sekitar 30% pasien di pedesaan lebih memilih pengobatan 

alternatif sebelum akhirnya mencari bantuan medis. Sayangnya, keputusan ini sering kali 

berujung fatal, terutama pada kasus penyakit serius seperti kanker atau diabetes. Praktisi yang 

tidak memiliki keahlian medis dapat memberi  diagnosis yang salah atau bahkan melarang 

pasien untuk memakai     pengobatan medis. Hal ini menimbulkan risiko kesehatan yang 

nyata bagi warga . Praktik pengobatan ghaib sering kali bersifat tertutup dan sulit 

dipertanggungjawabkan. Tidak ada transparansi dalam proses penyembuhan, dan klaim 

kesembuhan sering kali tidak dapat diverifikasi. Misalnya, seorang praktisi mungkin 

mengklaim bahwa mereka dapat menyembuhkan penyakit tertentu melalui energi spiritual, 

tetapi tidak memberi  penjelasan ilmiah tentang bagaimana mekanisme itu bekerja. 

Ketiadaan regulasi dan pengawasan membuat pasien tidak memiliki perlindungan hukum. Jika 

terjadi kesalahan atau malpraktik, sangat sulit bagi pasien untuk menuntut tanggung jawab. 

 berkata kata   bahwa dalam banyak kasus, pasien hanya diberi janji kosong 

tanpa adanya bukti konkret mengenai efektivitas metode yang digunakan. 

Pengobatan Alternatif memakai     ghaib sering kali menjadi lahan subur bagi 

penipuan dan eksploitasi. Beberapa praktisi memakai     status mereka untuk 

mengeksploitasi pasien secara finansial, emosional, atau bahkan seksual. Misalnya, ada laporan 

tentang pasien yang diminta membayar sejumlah besar uang untuk "ritual penyembuhan" atau 

diberikan benda-benda yang diklaim memiliki kekuatan supranatural dengan harga tinggi 

(Sutrisno, 2020). Selain itu, tidak sedikit praktisi yang memanfaatkan kepercayaan warga  

untuk memperkuat status sosial atau ekonomi mereka. Mereka sering kali memakai     cara￾cara manipulatif, seperti memberi  kesaksian palsu dari pasien atau menyebarkan klaim 

berlebihan tentang kemampuan mereka. Hal ini tidak hanya merugikan pasien secara individu 

tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan terhadap praktik pengobatan alternatif secara umum. 

Keberadaan pengobatan ghaib yang tidak terkontrol dapat menghambat upaya pemerintah 

dalam mempromosikan pendidikan kesehatan dan akses ke layanan medis modern. 

Ketergantungan warga  pada metode ghaib sering kali membuat mereka enggan untuk 

mencari perawatan medis yang terjangkau dan terpercaya. Haryanto dalam penelitian menunjukkan bahwa salah satu alasan utama warga  

tetap memakai     pengobatan ghaib adalah kurangnya pemahaman tentang pentingnya 

pengobatan berbasis bukti. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan praktik ini dapat 

menghambat upaya edukasi kesehatan, terutama di daerah pedesaan.memakai     kekuatan 

ghaib juga dapat memberi  dampak negatif secara psikologis dan sosial. Banyak pasien yang 

merasa tertipu atau kehilangan harapan setelah mengikuti metode ini tanpa hasil yang nyata. 

Kekecewaan ini sering kali berujung pada trauma, depresi, atau bahkan perpecahan dalam 

keluarga. Selain itu, beberapa praktik pengobatan ghaib melibatkan ritual atau kepercayaan 

yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya atau agama tertentu. Hal ini dapat menimbulkan 

konflik di dalam komunitas atau menciptakan stigma terhadap individu yang mencari 

pengobatan alternatif. Mustika et al. (2020) berkata kata   bahwa beberapa pasien yang gagal 

mendapatkan hasil dari pengobatan ghaib sering kali dikucilkan oleh warga  mereka 

karena dianggap membawa "energi negatif." Dalam konteks perlindungan konsumen, 

pengobatan ghaib sering kali melanggar prinsip dasar transparansi dan akuntabilitas. Pasien 

sebagai konsumen layanan kesehatan berhak mendapatkan informasi yang jelas, jujur, dan 

berbasis bukti tentang perawatan yang mereka terima. 

Ketiadaan regulasi dalam praktik ini membuat warga  rentan terhadap 

penyalahgunaan. Sutrisno (2020) menyebutkan bahwa pengaturan hukum yang ketat 

diperlukan untuk memastikan bahwa semua bentuk layanan kesehatan, termasuk pengobatan 

alternatif, memenuhi standar tertentu yang melindungi kepentingan publik. Mengkriminalisasi 

praktik pengobatan ghaib bukan berarti menghilangkan tradisi atau budaya warga , tetapi 

lebih kepada memastikan bahwa praktik ini   dilakukan dengan cara yang tidak 

membahayakan. Sebagai contoh, beberapa elemen pengobatan alternatif dapat diintegrasikan 

dengan sistem medis modern melalui penelitian dan pengembangan yang berbasis bukti. 

Kementerian Kesehatan RI (2017) berkata kata   bahwa penggunaan tanaman obat tradisional dapat 

dikembangkan menjadi terapi komplementer yang aman jika didukung oleh penelitian ilmiah. 

Langkah serupa dapat dilakukan terhadap praktik pengobatan ghaib, yaitu dengan menyaring 

elemen-elemen yang bermanfaat dan membuang yang berisiko. 

Pengobatan alternatif dengan memakai     kekuatan ghaib telah menjadi praktik yang 

dikenal luas, terutama di negara-negara yang kaya akan tradisi dan kepercayaan spiritual seperti 

negara kita . Meski praktik ini sering kali dianggap sebagai alternatif yang lebih mudah diakses 

dan ekonomis dibandingkan dengan pengobatan modern, tidak jarang praktik ini   justru 

membawa kerugian besar bagi pasien. Kasus-kasus yang melibatkan pengobatan alternatif 

ghaib menunjukkan berbagai bentuk kerugian, baik fisik, finansial, maupun psikologis, sehingga memunculkan urgensi untuk mengawasi atau bahkan membatasi praktik semacam 

ini. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik terjadi di Jawa Timur, di mana seorang 

pasien kanker payudara memilih menunda pengobatan medis konvensional demi mengikuti 

terapi supranatural. Praktisi pengobatan ghaib ini   mengklaim mampu menyembuhkan 

kanker hanya dengan doa dan pemberian air yang telah diberkati. Sayangnya, setelah beberapa 

bulan menjalani terapi ini  , kondisi pasien semakin memburuk. saat   akhirnya pasien 

memutuskan untuk kembali ke pengobatan medis, kanker yang dideritanya telah mencapai 

stadium akhir sehingga tidak dapat diselamatkan. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana 

ketergantungan terhadap pengobatan ghaib dapat memperburuk kondisi kesehatan seseorang, 

terutama jika pasien tidak segera mendapatkan perawatan medis yang sesuai 

Kasus lain yang cukup mencolok terjadi di Sulawesi Selatan, di mana seorang dukun 

menawarkan penyembuhan untuk gangguan mental melalui ritual energi positif. Pasien dan 

keluarganya diminta membayar sejumlah besar uang untuk serangkaian ritual yang 

berlangsung selama beberapa bulan. Ritual ini   melibatkan penggunaan dupa, mantra, dan 

"meditasi bersama" yang diklaim mampu membersihkan energi negatif penyebab penyakit. 

Namun, setelah menjalani terapi ini  , kondisi pasien tidak menunjukkan perbaikan 

signifikan. Sebaliknya, pasien justru mengalami trauma emosional karena merasa gagal 

sembuh. Keluarga pasien pun mengalami kerugian finansial yang besar akibat biaya tinggi 

yang harus mereka keluarkan. Kasus ini menunjukkan betapa rawannya pasien dengan 

gangguan mental terhadap eksploitasi dalam pengobatan alternatif, terutama saat   keluarga 

berada dalam kondisi putus asa 

Di daerah pedesaan Jawa Barat, seorang praktisi pengobatan ghaib terkenal dengan 

metode penyembuhannya yang memakai     air suci. Air ini   diklaim telah diberkati 

melalui doa-doa tertentu dan dipercaya memiliki kekuatan untuk menyembuhkan berbagai 

penyakit, mulai dari penyakit ringan seperti flu hingga penyakit serius seperti diabetes. Banyak 

pasien yang bersedia membayar mahal demi mendapatkan air ini  , bahkan beberapa di 

antaranya rela menjual harta benda mereka untuk membiayai terapi. Namun, dalam banyak 

kasus, pasien melaporkan bahwa kondisi kesehatan mereka tidak membaik setelah 

mengonsumsi air ini  . Beberapa keluarga pasien bahkan harus menanggung beban 

finansial yang berat setelah pengobatan ini gagal memberi  hasil yang diharapkan. Praktik 

ini tidak hanya menimbulkan kerugian finansial tetapi juga memperkuat stigma di warga  

bahwa penyakit serius sulit disembuhkan, terutama jika telah melewati fase tertentu Kerugian akibat pengobatan ghaib tidak hanya terbatas pada aspek finansial tetapi juga 

dapat mengancam nyawa pasien secara langsung. Di Kalimantan, seorang pasien dengan 

gangguan pernapasan meninggal setelah menjalani terapi ghaib yang melibatkan pembakaran 

dupa di ruangan tertutup. Praktisi pengobatan ini   mengklaim bahwa asap dupa memiliki 

energi penyembuh yang dapat membersihkan saluran pernapasan pasien. Namun, pasien yang 

sebenarnya menderita asma akut justru mengalami serangan asma yang fatal akibat terpapar 

asap dalam jumlah besar. Kasus ini memicu kritik luas terhadap praktik pengobatan ghaib yang 

tidak memiliki dasar ilmiah dan sering kali mengabaikan kondisi medis pasien yang sebenarnya 

. Kerugian lainnya juga terlihat dalam kasus seorang wanita di 

Yogyakarta yang berusaha menyembuhkan penyakit kulit kronis melalui metode ghaib. 

Praktisi pengobatan ini   memakai     ritual yang melibatkan pembaluran tubuh pasien 

dengan campuran minyak dan ramuan tradisional, disertai dengan pembacaan mantra. Dalam 

waktu beberapa hari setelah terapi, kondisi kulit pasien justru memburuk, dengan munculnya 

ruam dan infeksi yang parah. saat   akhirnya dirujuk ke dokter, pasien harus menjalani 

pengobatan antibiotik yang intensif untuk mengatasi infeksi ini  . Penelitian lebih lanjut 

menemukan bahwa campuran ramuan yang digunakan oleh praktisi ini   mengandung 

bahan-bahan yang berpotensi menyebabkan reaksi alergi atau iritasi kulit pada beberapa orang. 

Kasus ini menyoroti risiko penggunaan bahan tanpa pengawasan atau uji keamanan dalam 

pengobatan ghaib 

Kasus pengobatan ghaib juga sering kali dikaitkan dengan fenomena penipuan massal. 

Di sebuah desa di Sumatera Utara, seorang dukun terkenal menjanjikan penyembuhan penyakit 

kronis melalui penggunaan "batu ajaib." Batu ini   dijual dengan harga yang sangat tinggi, 

dengan klaim bahwa energi di dalamnya dapat menghilangkan segala macam penyakit. Setelah 

beberapa bulan, banyak pasien yang merasa tertipu karena tidak ada perubahan pada kondisi 

kesehatan mereka. Beberapa dari mereka bahkan melaporkan bahwa dukun ini   

memakai     batu biasa yang hanya diberi cerita mistis untuk meningkatkan nilainya. saat   

kasus ini diinvestigasi, dukun ini   telah melarikan diri dengan membawa uang yang 

jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah dari para pasien 

Fenomena pengobatan ghaib ini juga membawa dampak psikologis yang signifikan 

pada pasien dan keluarga mereka. Banyak pasien yang merasa malu atau kehilangan harapan 

setelah gagal sembuh melalui metode ghaib, yang sering kali dikaitkan dengan kurangnya iman

atau dosa tertentu. Praktisi pengobatan ghaib tidak jarang menanamkan sugesti kepada pasien 

bahwa kegagalan terapi adalah akibat dari kesalahan pasien itu sendiri, seperti kurang berdoa 

atau tidak cukup percaya pada kekuatan supranatural. Sugesti semacam ini dapat memperparah kondisi psikologis pasien, terutama bagi mereka yang sudah mengalami depresi akibat penyakit 

yang mereka derita 

Kasus-kasus ini   menunjukkan betapa besarnya risiko yang dapat timbul dari 

pengobatan alternatif memakai     kekuatan ghaib. Kurangnya regulasi, transparansi, dan 

akuntabilitas dalam praktik ini membuat warga  rentan terhadap berbagai bentuk 

eksploitasi dan kerugian. Selain itu, pendekatan yang tidak berbasis bukti ilmiah sering kali 

menyebabkan pasien kehilangan kesempatan untuk mendapatkan perawatan medis yang tepat 

waktu, yang pada akhirnya dapat memperburuk kondisi kesehatan mereka. Oleh karena itu, 

perlu adanya langkah-langkah konkret untuk melindungi warga  dari dampak negatif 

pengobatan ghaib, baik melalui edukasi, pengawasan, maupun pengembangan regulasi yang 

jelas. 

Pengobatan alternatif memakai     kekuatan ghaib sering kali menghadirkan risiko 

besar bagi warga , sehingga penting untuk mempertimbangkan perlunya kriminalisasi 

praktik ini. Ketergantungan warga  pada metode ghaib sering kali menyebabkan kerugian

fisik, finansial, dan psikologis yang serius. Salah satu alasan utama adalah karena praktik ini 

sering dilakukan tanpa dasar ilmiah atau standar medis yang dapat diverifikasi. Sebagai contoh, 

kasus di Jawa Timur di mana seorang pasien kanker menunda pengobatan medis demi terapi 

supranatural telah menunjukkan dampak fatal, yaitu penyakitnya memburuk hingga mencapai 

stadium akhir. Kondisi ini menggambarkan bagaimana kepercayaan pada metode ghaib dapat 

menghalangi pasien untuk mendapatkan perawatan yang efektif dan tepat waktu 

Selain itu, kurangnya transparansi dalam metode pengobatan ghaib menciptakan ruang 

bagi penipuan dan eksploitasi. Di Sulawesi Selatan, seorang praktisi meminta sejumlah besar 

uang untuk ritual energi positif tanpa memberi  hasil yang signifikan pada pasien dengan 

gangguan mental. Tidak hanya pasien yang menderita akibat trauma emosional, tetapi keluarga 

juga mengalami kerugian finansial yang berat. Hal ini menunjukkan bagaimana ketidakjelasan 

mekanisme penyembuhan dalam pengobatan ghaib sering kali menjadi alasan bagi eksploitasi 

terhadap individu yang berada dalam kondisi rentan , Pengobatan 

ghaib juga sering kali membahayakan kesehatan pasien secara langsung. Kasus di Kalimantan 

di mana seorang pasien meninggal akibat terapi dengan pembakaran dupa adalah bukti nyata 

bahwa metode ghaib dapat membawa risiko kesehatan yang serius. Praktisi yang tidak 

memiliki pemahaman medis justru memperburuk kondisi pasien, yang sebenarnya 

membutuhkan penanganan medis berbasis bukti. Kasus ini mencerminkan perlunya perlindungan hukum untuk mencegah praktik-praktik yang berpotensi mengancam nyawa 

Eksploitasi finansial juga menjadi salah satu alasan penting untuk mengkriminalisasi 

praktik ini. Di Jawa Barat, seorang praktisi pengobatan ghaib menjual air yang disebut "suci" 

dengan harga tinggi kepada pasien yang mengharapkan kesembuhan dari penyakit kronis. 

saat   terapi ini gagal memberi  hasil, pasien sering kali dibiarkan dalam kondisi yang lebih 

buruk, baik secara fisik maupun ekonomi. Kasus ini mencerminkan bagaimana ketidakadilan 

dalam praktik pengobatan ghaib dapat merugikan warga , terutama mereka yang berada 

dalam kondisi finansial yang sudah sulit . Dalam beberapa kasus, 

pengobatan ghaib tidak hanya menipu secara finansial tetapi juga melibatkan manipulasi 

psikologis. Praktisi sering kali menyalahkan pasien atas kegagalan pengobatan dengan 

mengatakan bahwa kurangnya iman atau dosa tertentu menjadi penghalang kesembuhan. Di 

Yogyakarta, seorang pasien dengan penyakit kulit yang memburuk setelah menjalani terapi 

ghaib dilaporkan mengalami trauma emosional akibat disalahkan oleh praktisi atas 

kegagalannya. Manipulasi seperti ini tidak hanya memperparah kondisi pasien tetapi juga dapat 

menciptakan stigma sosial yang mendalam 

Penerapan Pasal 252 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2023 

terhadap tindak pidana pengobatan alternatif memakai     kekuatan ghaib bertujuan untuk 

memberi  perlindungan hukum bagi warga  dari praktik pengobatan yang dapat 

membahayakan keselamatan jiwa, kesehatan, atau hak-hak lainnya. Pasal ini menjadi dasar 

bagi aparat penegak hukum untuk menindak pelaku praktik pengobatan alternatif yang tidak 

memiliki dasar keilmuan, menipu pasien, atau menyebabkan kerugian fisik, finansial, dan 

psikologis. Pasal 252 KUHP mengatur bahwa seseorang yang melakukan praktik pengobatan 

tanpa izin atau dengan cara-cara yang melanggar hukum dapat dikenai sanksi pidana. Dalam 

konteks pengobatan alternatif memakai     kekuatan ghaib, penerapan pasal ini dapat meliputi 

beberapa aspek. Pertama, jika pengobatan dilakukan tanpa izin resmi atau sertifikasi yang 

membuktikan kompetensi pelaku, hal ini dianggap sebagai pelanggaran hukum. Sebagai 

contoh, seorang dukun yang menawarkan penyembuhan penyakit serius melalui metode ghaib 

tanpa memiliki dasar medis atau izin praktik dapat dikenai sanksi pidana berdasar   pasal ini. 

Kedua, penerapan pasal ini juga menyasar tindakan penipuan dalam praktik pengobatan ghaib. 

Banyak kasus menunjukkan bahwa praktisi pengobatan ghaib memanfaatkan kepercayaan 

warga  untuk mendapatkan keuntungan finansial, seperti menjual produk atau jasa dengan 

harga tinggi tanpa hasil yang nyata. Dalam kasus seperti ini, Pasal 252 dapat digunakan untuk 

menindak pelaku atas dasar penipuan atau penyalahgunaan kepercayaan. Ketiga, jika praktik pengobatan ghaib mengakibatkan kerugian fisik atau bahkan kematian pasien, Pasal 252 dapat 

diterapkan untuk menjerat pelaku dengan tuduhan lebih serius. Misalnya, dalam kasus pasien 

yang meninggal akibat ritual ghaib yang tidak aman, seperti pembakaran dupa di ruangan 

tertutup, pelaku dapat dikenai hukuman atas tindakan yang menyebabkan hilangnya nyawa 

seseorang. Dalam implementasinya, aparat penegak hukum perlu memastikan bahwa proses 

penanganan kasus pengobatan ghaib berdasar   Pasal 252 dilakukan secara adil dan 

profesional. Hal ini mencakup pengumpulan bukti yang kuat, termasuk keterangan dari saksi, 

korban, dan ahli medis, untuk membuktikan bahwa praktik ini   melanggar hukum atau 

menyebabkan kerugian nyata. Selain itu, pendekatan yang sensitif terhadap nilai-nilai budaya 

dan kepercayaan warga  juga penting agar hukum diterapkan tanpa menimbulkan konflik 

yang tidak perlu.

Pasal 252 juga dapat berfungsi sebagai alat edukasi bagi warga  untuk lebih 

berhati-hati dalam memilih layanan kesehatan, termasuk pengobatan alternatif. Dengan adanya 

ancaman sanksi pidana, warga  diharapkan lebih selektif dan kritis terhadap praktik 

pengobatan yang tidak memiliki dasar ilmiah atau regulasi yang jelas. Pemerintah juga dapat 

mendukung penerapan pasal ini dengan mengadakan kampanye edukasi tentang pentingnya 

pengobatan berbasis bukti dan menyediakan akses yang lebih luas ke layanan kesehatan yang 

terpercaya. Dalam jangka panjang, penerapan Pasal 252 diharapkan tidak hanya memberi  

efek jera bagi pelaku pengobatan ghaib yang merugikan, tetapi juga mendorong praktik 

pengobatan alternatif untuk lebih transparan, profesional, dan sesuai dengan standar kesehatan 

yang ditetapkan. Dengan demikian, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat penegakan tetapi 

juga sebagai instrumen untuk menciptakan perlindungan dan keadilan bagi warga .



Pengobatan alternatif memakai     kekuatan gaib merupakan praktik tradisional yang banyak 

ditemukan di negara kita , namun sering kali dilakukan tanpa dasar ilmiah, sehingga menimbulkan dampak negatif 

bagi warga . Dampak ini   mencakup kerugian fisik, finansial, dan psikologis, seperti penundaan 

pengobatan medis yang berujung fatal, eksploitasi finansial, hingga manipulasi emosional. Pasal 252 KUHP 

Tahun 2023 hadir untuk mengatur praktik ini, dengan memberi  sanksi pidana bagi pelaku yang melanggar 

hukum atau merugikan warga . Regulasi ini bertujuan melindungi warga , mendorong transparansi, serta 

mengintegrasikan elemen tradisional yang aman ke dalam sistem medis modern berbasis bukti ilmiah.