a kebutuhan tubuh, seperti
pada pubertas dan pada wanita selama
haid, hamil dan nifas.
– kualitas makanan yang tidak memadai.
– penyakit kronis. Antara lain penyakit
thalassaemia (Yun. thalassa = laut), suatu
anemia yang semula timbul pada penduduk pantai Laut Tengah, namun sekarang
diketahui juga ada di seluruh dunia.
Penanganannya dilakukan dengan sediaan besi.
Gejalanya berupa muka dan kuku pucat,
rasa letih dan lesu, jari kaki-tangan dingin,
palpitasi, adakalanya juga nyeri lidah, kelainan kuku dan kulit keriput (atrofia). Semua
ini berkaitan dengan kekurangan enzim besi
yang perlu bagi pembaharuan sel-sel epitel.
Defisiensi besi juga memengaruhi perilaku
dan fungsi belajar anak-anak.
b. Anemia megaloblaster (anemia primer)
Penyakit ini disebabkan oleh kekurangan
vitamin B12atau asam folat, dan bercirikan selsel darah abnormal dan besar (makrositer) dengan kadar Hb per eritrosit yang normal
atau lebih tinggi (hiperkrom) dan MCV
tinggi. Kekurangan vitamin ini dapat disebabkan oleh gangguan resorpsinya,
seperti pada penyakit coeliakia (diare akibat hipersensitivitas terhadap gluten) dan
steatorea (diare lemak pada seriawan/
”sprue”). Penyebab lainnya yaitu efek toksik
obat, misalnya kloramfenikol, sulfonamida,
antidiabetika oral, fenitoin dan fenilbutazon.
Penanganannya dilakukan dengan pemberian vitamin B12 atau asam folat, tergantung
dari pemicu nya .
* Anemia perniciosa, suatu bentuk anemia
hiperkrom ganas, yang disebabkan defisiensi
vitamin B12 (= extrinsic factor); B12 ini tidak
dapat diserap dari makanan sebab tidak
adanya intrinsic factor(Castle, 1929) di lambung. Intrinsic factor atau hemopoëtine adalah suatu hormon yang disekresi oleh sel
parietal di ujung lambung.
Gejalanya berupa kelainan di saluran cerna
(daya resorpsi yang buruk, nyeri lidah dan
sebagainya). Yang sangat serius yaitu timbulnya kerusakan irreversibel dari sistem saraf
dengan gangguan neurologi, seperti rasa
kesemutan (paresthesia) kaki/tangan dan
berkurangnya refleks otot. Selain itu, juga
nampak degenerasi otak, sumsum tulang dan
saraf perifer. Akibatnya yaitu timbul gejala
psikis, seperti hilang ingatan, halusinasi,
depresi, kebingungan dan demensia. Anemia
perniciosa sering kali timbul pada lansia,
lazimnya kaum wanita.
c. Anemia lainnya
Dikenal beberapa bentuk anemia serius yang
tidak ada hubungannya dengan kekurangan
besi atau vitamin, sebagai berikut:
– anemia aplastis, yaitu eritrosit atau unsur
darah lainnya tidak terbentuk lagi. Dapat
juga disebut jenis primer atau congenital
yang disebabkan oleh keturunan namun
jarang terjadi. Jenis sekunder ditimbulkan
oleh perusakan langsung sumsum tulang
sebagai efek samping obat. Terkenal buruk
dalam kasus ini yaitu kloramfenikol,
karbimazol, sitostatika, seperti busulfan
dan doksorubisin), juga insektisida.
– anemia hemolitik, yaitu eritrosit dirusak, Hb dilarutkan dalam serum dan
diekskresi lewat urin, antara lain pada
malaria tropica.
Terapi
sebab anemia hanya merupakan gejala saja, maka sebelum menjalani pengobatan,
perlu terlebih dahulu ditentukan jenis dan
pemicu nya . Untuk tujuan ini, dilakukan
pemeriksaan sel darah dan adakalanya sumsum tulang serta penentuan kadar besi, B12, dan
folat dalam darah.
* Anemia ferriprive umumnya diobati dengan suatu garam ferro (ferrofumarat dan
glukonat) untuk menormalisasi kadar Hb.
Akan namun , pemicu nya mungkin tetap
masih ada, seperti pada tumor atau borok lambung. Pada jenis anemia ini, vitamin B12atau folat tidak berguna, malah dapat merugikan, sebab menyulitkan diagnosis anemia primer berhubung cepat menghilangnya megaloblas (tingkat permulaan
eritrosit besar) dari sumsum tulang.
* Anemia perniciosa perlu ditangani dengan
vitamin B12. Asam folat tidak dapat diberikan,
sebab walaupun gambaran darah terlihat
menjadi normal, namun dapat menyelubungi
defisiensi vitamin B12. Lamanya terapi perlu
minimal tiga bulan; sesudah masa latensi
dari ±10 hari, kadar Hb (hemoglobin) akan
naik ±1% (= 0,15 g%) sehari sampai nilainya
kembali normal dalam waktu 1-2 bulan.
Kemudian perlu dilanjutkan 1-2 bulan lagi
untuk mengisi depot tubuh.
Pada hakikatnya, pemakaian kombinasi dari
besi, vitamin B12 dan folat untuk mengobati anemia yaitu tidak tepat!
Penggolongan hem(at)opoëtika
Obat-obat yang dipakai pada defisiensi
darah terdiri dari sediaan besi, asam folat
dan sianokobalamin. Sediaan populer sering kali mengandung pula mineral spura.
Ekstrak hati sudah usang dan jarang sekali
dipakai lagi. Ketiga senyawa pertama
akan dibicarakan secara mendalam di bawah
ini.
Ekstrak hati atau Extr.hepaticum liquidum
mengandung vitamin B12 dan asam folat.
Sampai tahun 1948 ekstrak ini merupakan
obat utama pada terapi anemia perniciosa.
Efek sampingnya berupa reaksi alergi dan
nyeri di tempat injeksi. Dengan tersedianya
kedua vitamin ini dalam keadaan
murni, yang tidak memicu efek samping buruk (reaksi alergi, nyeri di tempat
injeksi), maka ekstrak hati sudah menjadi
obsolet. Di kebanyakan negara Barat, semua
preparat dengan ekstrak hati sudah ditarik
dari peredaran.
Mineral tertentu, yang juga lazim disebut
elemen spura, seperti seng, selen, tembaga,
kobal, molybden dan mangan, ada dalam
bahan makanan dengan jumlah kecil sekali
(spura). Kerapkali elemen ini merupakan bagian khusus dari sediaan kombinasi populer
yang dipromosikan sebagai obat penyakit
kurang darah. Sebetulnya, anemia yang
khusus disebabkan oleh defisiensi elemenelemen ini jarang sekali terjadi, lagi pula
belum terbukti secara ilmiah. Oleh sebab itu,
pengobatan anemia dengan sediaan mineral
ini pada prinsipnya tidak betul. Selain dapat mengaburkan diagnosis yang tepat, juga
dapat mengakibatkan efek samping buruk,
misalnya nefritis dan struma akibat penggunaan kobal. Inilah sebabnya mengapa
WHO dalam tahun 1968 telah menganjurkan
agar jangan memasukkan lagi kobal dalam
sediaan vitamin. Lihat selanjutnya Bab 53,
Vitamin dan Mineral.
Obat-obat “baru”
Sekarang tersedia beberapa obat baru untuk
dipakai pada keadaan khas, yang dapat
dibagi dalam dua kelompok, yakni:
a. faktor-faktor pertumbuhan eritrosit (eritropoëtik), antara lain epoëtin dan darbepoëtin,
yaitu glikoprotein yang dibuat dengan teknik
rekombinan. Obat ini menstimulasi pembentukan eritrosit dan khususnya dipakai oleh penderita anemia berat yang perlu menjalani dialisa akibat insufisiensi ginjal kronis. Faktor-faktor ini terlibat pada
proliferasi dan diferensiasi sel-sel batang
di sumsum tulang, yang tumbuh menjadi
eritrosit, lekosit dan trombosit.
b.faktor-faktor stimulasi koloni yang menstimulasi terutama pertumbuhan granulosit
neutrofil, a.l. filgrastim dan lenograstim. Zatzat ini khusus dipakai pada keadaan neutropeni.
Pegfilgrastim (Neulasta) memiliki t1/2 lebih panjang daripada filgrastim sehingga
daya kerjanya lebih lama dan fekuensi pemberiannya dapat dikurangi. Dosis: s.k. 6 mg.
MONOGRAFI
1. Besi
Besi ada dalam makanan, terutama sebagai kompleks ferri, yang dalam lambung
diubah menjadi ferroklorida pada mana
vitamin C bertindak sebagai stabilisator. Kadar normalnya dalam serum yaitu antara
11-27 milimol/liter.
Tubuh pria mengandung 2,5-4 g besi (±50
mg/kg) dan wanita sebelum menopause
±38 mg per kg, yang untuk 70% ada
dalam eritrosit sebagai zat warna darah
hemoglobin (Hb). Sisanya disimpan dalam
sel-sel hati, limpa dan sumsum tulang sebagai persediaan besi dari tubuh dalam
bentuk kompleks besi-globulin:ferritin dan
hemosiderin (500-1.500 mg). Dari ferritin,
yang melarut dalam air, besi lebih mudah
dimobilisasi untuk pembentukan hemoglobin
daripada hemosiderin yang tidak larut dalam
air. Sebagian lain dari besi masuk ke dalam
darah dan diangkut oleh suatu beta-globulin
(transferrin), yang disintesis dalam hati,
ke sumsum tulang, hati dan sel-sel lainnya
untuk sintesis zat warna otot myoglobin (berperan pada metabolisme otot) dan enzim
besi (metallo-enzim). Tiap molekul transferrin mengikat 2 ion ferri. Dua per tiga dari
seluruh besi dalam tubuh berada dalam
sirkulasi sebagai hemoglobin (2,5-3 g pada
orang dewasa normal). Senyawa besi khusus
dipakai pada keadaan anemia ferriprive
(akibat kekurangan Fe).
Resorpsi. Diet sehari-hari mengandung
10-20 mg besi, yang ada dalam dua ben-
tuk, yaitu dalam daging sebagai haem (= Fe
terikat pada porfirin) dan dalam sayuran sebagai senyawa komplek ferri. Haem diserap
lengkap oleh sel mukosa usus. Senyawa
ferri dilarutkan oleh asam dan oleh vitamin
C direduksi menjadi ferro. Hanya ±10% dari
ferro ini diserap oleh usus ±1-2 mg sehari),
yang mencukupi kebutuhan sehari. Vitamin
C meningkatkan penyerapan besi dari makanan, sebaliknya garam fosfat dan asam
fytat dari serat nabati dapat menurunkannya,
seperti juga resorpsi dari mineral lain. Resorpsi
dapat meningkat melalui suatu mekanisme
kontrol, seperti di masa pubertas, selama kehamilan dan laktasi, juga bila ada defisiensi (naik sampai ±40%).
Resorpsi terjadi terutama di bagian atas
usus halus, di mana lingkungan asam meningkatkan daya larut garam ferro dan mempertahankannya dalam bentuk ferro. Garam
ferri lebih buruk resorpsinya, mungkin sebab
terbentuk garam fosfat dan fitat yang sukar
larut. Sesudah diserap, sebagian Fe diikat
pada sel mukosa usus, sedangkan sebagian
lain masuk ke sirkulasi darah dan diikat pada
transferrin. Dengan transferrin ini, sebagian
besar besi diangkut ke sumsum tulang, di
mana terjadi inkorporasi di dalam molekul
hemoglobin. Sebagian lainnya ditranspor ke
hati dan limpa untuk sintesis myoglobin dan
metallo-enzim yang juga disimpan sebagai a.l.
ferritin. (Ferritin yaitu kompleks larut air
dari besi dan protein, yang ada di plasma
dalam jumlah kecil dan mudah dimobilisasi
untuk pembentukan Hb. Kadar ferritin serum
diukur untuk menentukan jumlah besi yang
tertimbun). Ekskresi berlangsung 30% lewat
urin. Beberapa faktor dapat memengaruhi
resorpsi besi, yaitu:
– senyawa ferro lebih baik diserap daripada
bentuk ferri;
– zat-zat reduktor, misalnya vitamin C,
meningkatkan resorpsi besi;
– alkohol juga meningkatkan resorpsinya.
Kebutuhan besi. Setiap hari 0,5-1 mg besi diekskresi lewat feses, urin dan keringat. Tubuh
kehilangan besi ±1 mg sehari pada laki-laki
melalui saluran pencernaan, misalnya dalam empedu. Wanita kehilangan unsur besi sewaktu haid ±40 ml darah per bulan,
atau sama dengan lebih kurang 0,7 mg besi/
hari atau rata-rata ± 1,5 mg sampai lebih
dari 2 mg per hari. Kebutuhan besi lebih
meningkat lagi selama kehamilan (sampai
1-2 mg/hari) dan menyusui, juga selama
pertumbuhan meningkat sampai ±0,6 mg.
Penyebab lain dari kehilangan unsur besi
yaitu pemakaian obat-obat anti-radang
yang memicu perdarahan dari mukosa
lambung.
Pada orang sehat hanya 5-10% dari jumlah
besi dalam makanan yang diserap, yaitu 10-20
mg sehari, yang mencukupi kebutuhan sehari
1-2 mg. namun selama masa pubertas, haid,
hamil dan laktasi, kebutuhan besi meningkat
(sampai 2-4 mg sehari) dan resorpsinya juga ditingkatkan melalui suatu mekanisme
kontrol di usus. Bila ada defisiensi besi,
resorpsi bisa naik sampai 120-140%.
Dalam keadaan normal absorpsi besi seharinya yaitu ±1 mg pada laki-laki dewasa
dan 1,4 mg pada wanita dewasa; maksimal
3-4 mg dari asupan makanan. Absorpsi meningkat bilamana timbunan (depot) besi
dalam tubuh sudah berkurang atau erithropoiesis meningkat atau terganggu.
Kekurangan ini pertama-tama ditampung
oleh persediaan ferritin dalam hati dan sumsum tulang, sesudah itu baru dipakai besi
plasma yang terikat pada transferrin. Proses
ini tampak dari menurunnya kadar ferritin
plasma; kemudian sesudah persediaannya habis, kadar Hb baru menurun. Sebagai kompensasi, nilai Daya Ikat Besi dari transferrin
meningkat (DIB).
Perhitungan kebutuhan tubuh untuk besi
dapat dilakukan dengan rumus berikut:
9 - kadar Hb dalam mmol/l
Kebutuhan Fe = ———————————– x 2,5 + 1
(dalam g) 9
Dalam rumus ini 9 yaitu kadar Hb ratarata pada orang dewasa dan 2,5 yaitu
jumlah gram total Fe (dari Hb), sedangkan
1 merupakan jumlah gram besi yang perlu
untuk mengisi depot yang kosong. Perlu
diperhatikan bahwa hanya 10-30% dari besi
yang diberikan per oral dapat diserap oleh
tubuh. pemakaian oral dan parenteral secara
bersamaan tidak boleh dilakukan, sebab
penjenuhan ferritin dapat memicu
reaksi toksik akut.
Terapi dengan sediaan besi. Umumnya pengobatan anemia ferriprive dilakukan per oral
dengan suatu garam ferro, yaitu ferrofumarat,
- glukonat, atau -sitrat (Ferromia). Juga dengan garam anorganik ferrosulfat, yang diserap lebih lemah. Dosis umum berkisar antara 100 dan 200 mg Fe (elemen) sehari. Risiko
overdosis dan keracunan umumnya tidak
ada, sebab resorpsi dalam usus tergantung
dari kebutuhan, yang diatur oleh suatu
mekanisme kontrol.
pemakaian parenteral besi-sorbitol-sitrat
atau Fe-dextran (Hibiron) tidak menghasilkan
efek yang lebih baik dari pada per oral,
sedangkan kecepatan naiknya kadar Hb tidak
berbeda banyak. Oleh sebab itu, parenteral
hanya dilakukan bila pengobatan oral ti-dak
mungkin, sebab misalnya malabsorption
syndrome, adanya perdarahan atau keluhan
lambung-usus hebat.
Penyakit kronis tertentu, seperti rema
(artrithis reumatoid), tidak menunjukkan kekurangan besi (kadar ferritin normal dan
nilai DIB rendah), hanya tubuh tidak mampu
memakai depot besinya. Oleh sebab
itu dalam keadaan demikian tidak boleh
diberikan besi.
Lamanya terapi minimal 3 bulan; sesudah
suatu masa latensi dari ±10 hari, kadar Hb
akan naik ±1% (= 0.15 g%) sehari sampai nilai
Hb pulih normal dalam waktu 1-2 bulan.
Kemudian terapi perlu dilanjutkan 1-2 bulan
lagi untuk mengisi depot besi dari tubuh.
Efek samping yang lebih sering terjadi dengan dosis semakin tinggi yaitu pirosis
(heartburn; rasa terbakar dalam lambung dan
tekak), perasaan tidak nyaman di lambung,
mual, muntah, sembelit ringan dan kadangkadang diare. Gejala ini diakibatkan oleh sifat
merangsang dari besi dan bisa juga sebab
perubahan pada flora usus. Juga timbul rasa logam dan tinja berwarna hitam. Untuk
mengurangi efek samping ini, sebaiknya
pemakaian obat dimulai dengan dosis rendah yang lambat laun ditingkatkan.
Pada overdosis mekanisme kontrol usus tidak
berfungsi lagi dan dapat terjadi perdarahan
lambung-usus, syok, tachycardia, kerusakan
hati, konvulsi dan koma. Terutama anak
kecil sangat peka terhadap overdosis sebab
mekanisme penangkalan dalam ususnya
belum sempurna. Sebagai antidotum pada
keracunan besi tersedia injeksi dengan zat
pengikat besi desferrioksamin (Desferal).
Kehamilan. Sediaan besi boleh dipakai
per oral selama kehamilan.
lnteraksi. Tetrasiklin mengurangi resorpsi
sebab pembentukan kompleks yang tidak
larut, sehingga pemberian dosis harus dilakukan dengan interval 3 jam. Begitupula halnya dengan antasida, garam kalsium dan fosfat
(dalam makanan, susu). Metildopa, penisilin,
probenesid dan senyawa fenotiazin adakalanya
dapat memicu anemia hemolitik akibat
reaksi hipersensitasi.
Vitamin C meningkatkan resorpsi senyawa
ferro sedangkan penyerapan senyawa kuinolon dikurangi oleh besi.
Dosis: oral 2 dd 65 mg Fe a.c. atau antara
jam makan, dari dosis ini diserap rata-rata
25 mg sehari. Dosis lebih tinggi tidak ada
gunanya sebab tidak mempercepat efek.
Anak-anak: maksimal 3 mg/kg sehari dalam
3 dosis. Makanan lazimnya mengurangi
resorpsi, sehingga sebaiknya diminum pada
perut kosong. namun bila timbul gangguan
saluran cerna, sebaiknya diminum pada
waktu makan.
Sediaan besi
1a. Ferrofumarat: Superton, *Nichobion
Garam ini mengandung 33% Fe, yaitu
yang tertinggi dari semua garam ferro. Sifat
merangsangnya juga lebih ringan dan tidak
memicu rasa logam. Oleh sebab itu zat
ini dianggap sebagai pilihan pertama pada
terapi oral.
Dosis: 2 dd 200 mg (= 65 mg Fe) antara jam
makan.
1b. Ferrosulfat: Fero Gradumet, Iberet-500, Ferrograd
Bersifat sangat merangsang sebab reaksi
asamnya dan lebih sering memicu
mual dan muntah. Efek samping ini dapat
dikurangi dengan memakai tablet slowrelease atau juga dengan meminumnya sebagai larutan sesudah makan.
Dosis: oral 2 dd 325 mg (= 65 mg Fe) atau 1
dd tablet retard 525 mg (Gradumet = 105 mg
Fe) sesudah makan pagi.
1c. Ferroglukonat: *Sangobion, *Inbion, Losferron
Garam organik ini tidak begitu merangsang
seperti ferrosulfat. Sering dipakai dalam
sediaan kombinasi dengan B12 dan asam folat
walaupun secara rasional kombinasi ini
tidak dapat dibenarkan.
Dosis: oral 2 dd 500 mg (= 55 mg Fe) antara
jam makan.
1d. Ferri-sorbitolsitrat: Jectofer
Kompleks ini mengandung 14% Fe dan
distabilkan dengan dekstran. Tidak dapat
diberikan secara i.v., sebab kadar Fe bebas
dalam plasma mudah melampaui kadar
normal.
Dosis: i.m.(dalam) 100 mg Fe sehari (= 2 ml
larutan).
2. Asam folat: vitamin B11, asam pteroilglutamat, acidum folicum
Vitamin dari kelompok B-kompleks (1947)
ini ada dalam gandum whole grain dan
sayuran hijau yang kaya serat gizi (Lat. folium
= daun), antara lain dalam buncis, kacangkacangan dan kelapa, juga dalam daging,
ikan, hati dan ragi, sedangkan dalam buahbuahan hanya sedikit. Pemanasan yang
lama bisa merusak sampai 90% kadar folat
dalam makanan. Dalam bahan-bahan ini,
folat ada sebagai senyawa konyugasi
(poliglutamat), yang di jaringan diuraikan
kembali oleh enzim.
Fungsi. Dalam hati, asam folat direduksi
menjadi zat aktifnya THFA (tetrahydrofolic
acid), suatu ko-enzim yang penting sekali bagi
sintesis DNA dan RNA serta pembelahan sel.
Lihat juga Bab 8. Sulfonamida, Mekanisme
kerja. Oleh sebab itu sama dengan vitamin
B12, kekurangan folat dapat mengakibatkan
anemia primer (megaloblaster). Di negara
berkembang sering kali ada pula anemia
macrositer akibat malnutrisi dengan gejala
seperti seriawan dan diare lemak.
Kebutuhan tubuh yaitu 50-100 mcg sehari,
namun waktu hamil dapat meningkat sampai
300 mcg atau lebih. Selama kehamilan atau
laktasi ±50 mcg folat seharinya “hilang”,
antara lain masuk ke dalam air susu ibu.
Kekurangan folat selama kehamilan dapat
menghasilkan bayi dengan cacat spina bifida,
suatu “neural tube defect”, yaitu adanya celah
pada tulang belakang sebab beberapa ruas
tulang gagal bertaut.
Defisiensi folat. Kekurangan dapat disebabkan oleh terganggunya absorpsi folat
dari makanan, lihat di atas. Akibatnya yaitu
pembentukan sel darah juga terganggu, sehingga timbul anemia primer, sama dengan
yang diakibatkan oleh defisiensi vitamin B12.
Perbedaannya yaitu defisiensi folat:
– memicu anemia lebih cepat dibandingkan defisiensi vitamin B12, sebab
depot asam folat dalam tubuh jauh lebih
terbatas dan
– tidak memicu gangguan neurologi
(pada saraf).
Khasiat. Selain berkhasiat mencegah spina
bifida pada bayi, asam folat diduga dapat
mencegah PJP, khususnya infark jantung.
Pada trombosis vena/arteri berulang ada kadar homosistein dalam darah, yang
meningkat dan merupakan suatu faktor
risiko untuk penyakit jantung dan pembuluh
(trombosis, infark). Asam amino ini terbentuk sebagai produk-antara pada reaksi pengubahan metionin menjadi sistein, sebagai
berikut:
metionin ——> homosistein ——> sistein
Asam folat dan juga vitamin B6 dan B12,
menurunkan kadar homosistein dan dengan
demikian meniadakan faktor risiko ini
(3). Lihat juga Bab 37, Obat-obat jantung dan
pembuluh, faktor risiko.
Asam folat diperkirakan dapat melindungi
terhadap kanker usus besar. Dahulu para
ahli berpendapat bahwa perlindungan terhadap kanker ini yaitu berkat kadar
serat dalam makanan, namun kini ada indikasi bahwa mungkin asam folat berperan
atas efek ini.
pemakaian yang terpenting yaitu preventif untuk memperkecil risiko spina bifida dan untuk terapi anemia megalositer
serta makrositer, juga terhadap kadar homosistein yang meningkat. Sama seperti terapi
dengan vitamin B12, pemakaian nya yang
efektif tergantung pada diagnosis yang tepat dan pengertian mengenai mekanisme
penyakitnya.
a. Profilaksis selama kehamilan. Sejak awal tahun 1990-an, asam folat 0,5 mg dianjurkan pada wanita yang ingin hamil dan
selama kehamilan sampai minggu kedelapan
untuk memperkecil risiko spina bifida. Di
banyak negara Barat, folat dibubuhi pada
makanan dasar, seperti produk makanan
pagi (cereals), susu dan roti. Bahkan di AS,
sejak 1 Januari 1998, tepung roti diwajibkan
diperkaya dengan folat, yang mungkin sekali
akan disusul oleh Inggris. Di samping itu,
“perkayaan” ini juga dianjurkan untuk
besi dan vitamin lain, untuk mencegah antara
lain timbulnya anemia ferriprive.
b. Terapi anemia megaloblaster akibat defisiensi folat. Sama dengan defisiensi vitamin
B12, setiap penderita defisiensi asam folat dan
anemia megaloblaster harus diteliti dengan
saksama mengenai pemicu nya . Pada pengobatan ini, perlu diperhatikan beberapa
faktor, yaitu:
– terapi harus sespesifik mungkin. pemakaian
sediaan multi-vitamin harus dihindari,
kecuali bila diperkirakan adanya defisiensi dari beberapa vitamin sekaligus
– salah pengobatan anemia akibat B12. Pemberian folat dalam jumlah besar pada
anemia megaloblaster akibat defisiensi
vitamin B12 dapat seolah-olah menyembuhkannya. Akan namun tidak menghindari atau menghilangkan defek neurologiks akibat kekurangan vitamin B12 yang
dapat berkembang terus dan menjadi
irreversibel. Umumnya dianggap bahwa
penambahan folat pada terapi dengan B12
tidak ada manfaatnya
– salah-pengobatan pada anemia perniciosa,
sebab meskipun berdaya memperbaiki
kelainan darah, namun memperburuk
atau memicu gejala neurologiknya
c. Pada anemia makrositer (eritrosit membesar) selama terapi rematik dengan antagonis folat (metotreksat) untuk mengurangi
efek toksiknya. Begitu pula pada terapi malaria dengan pirimetamin.
Resorpsi dari usus lancar dan segera diubah
enzimatik menjadi zat aktif 5-metil-THFA,
yang diangkut ke jaringan. Pengubahan ini
pada dosis di bawah 1 mg praktis lengkap,
namun pada dosis tinggi hanya sedikit. Terikat
kuat pada protein plasma; ekskresinya
melalui urin.
Efek samping jarang terjadi dan berupa reaksi alergi (demam, ruam kulit). Dosis tinggi
dapat memicu gangguan lambungusus, sukar tidur, iritasi dan aktivitas berlebihan.
Dosis: anemia megaloblaster permulaan
1-2 dd 0,5 mg, pemeliharaan 1 dd 0,1-0,5 mg.
Untuk memperkecil risiko spina bifida 0,5 mg
dimulai minimal 4 minggu sebelum pembuahan
(konsepsi) sampai dengan minggu ke-8 dari kehamilan.
* Asam folinat (acidum folinicum, citrovorumfactor, Rescuvolin)
Zat ini yaitu derivat formil dan metabolit
dari asam folat, yang merupakan campuran
rasemis (1950). Hanya bentuk levonya yang
aktif. pemakaian nya selama terapi MTX
dan fluor-urasil dalam dosis tinggi dapat mengurangi efek samping dan memperkuat
efeknya. Juga pada anemia megaloblaster
akibat defisiensi folat, namun untuk ini penggunaannya tidak lebih menguntungkan
dibandingkan dengan asam folat, sebab
reduksinya menjadi THFA tidak terhambat.
sesudah diserap, asam ini segera diubah
menjadi zat aktif 5-metil-THFA pula dengan
plasma-t½ rata-rata 6,5 jam.
Dosis: sebagai antidotum pada overdosis
antagonis folat (rescue therapy) i.v. atau oral 4
dd 15 mg selama 2-3 hari (garam Ca).
3. Sianokobalamin: vitamin B12, extrinsic factor
Vitamin B12 yaitu nama umum untuk
se-jumlah senyawa yang memiliki efek biologis dari sianokobalamin. Di alam dan
dalam tubuh vitamin B12 ada terutama
sebagai hidroksokobalamin dan adenosilkobalamin dan sedikit sebagai metilkobalamin. Semua zat ini mudah larut dalam air.
Vitamin B12 (1950) memiliki struktur yang
mirip porfirin dengan 8 cincin (termasuk 4
cincin pyrrol), yang saling terikat dengan
atom kobal di pusatnya. (Lihat rumus
bangun). Pada atom Co ini terikat gugusan
-CN, -OH dan -CH3 pada masing-masing
siano-, hidrokso- dan metilkobalamin.
Vitamin B12 ada dalam makanan hewani
(daging, ikan, hati, telur, susu) dalam
bentuk suatu kompleks protein, namun tidak
ada dalam tumbuhan. Tahan terhadap
pemasakan dan kini diperoleh dari biakan
Streptomyces.
Fungsinya. Vitamin B12 memegang peranan penting sebagai ko-enzim pada sintesis
asam inti (nukleat, DNA/RNA), juga pada
pembelahan sel yang terutama memengaruhi
jaringan yang tumbuh pesat. Misalnya sistem
haemopoiëtik (pembentukan darah) yang
sangat peka terhadap kekurangan vitamin B12
dan folat.
Kebutuhan. Tubuh mengandung ±2,5 mg
B12 dengan 60% ada dalam hati. Kebutuhan sehari pada orang sehat yaitu 2-5
mcg, minimal diperkirakan 1-2 mcg. Dari
diet sehari-hari yang rata-rata mengandung
5-30 mcg vitamin B12, hanya 2-3 mcg diserap
oleh tubuh. Selama kehamilan dan laktasi,
kebutuhan ini meningkat sampai masingmasing 3 dan 3,5 mcg. RDA dewasa yaitu
2,5 mcg/hari.
Defisiensi sangat jarang terjadi dan dapat disebabkan oleh diet yang miskin B12
(vegetarir), atau resorpsi terganggu akibat
berbagai sebab, antara lain sebab kekurangan sekresi intrinsic factor dalam getah lambung (lihat di bawah Resorpsi). Defisiensi
pertama-tama nampak sebagai anemia primer dengan terbentuknya eritrosit abnormal
dan penderita menjadi sangat anemis
(pernicious anemia).
pemakaian khusus pada defisiensi B12 setelah diadakan diagnosis yang cermat dan
saksama, misalnya pada anemia perniciosa.
Juga untuk mencegah anemia primer pada
keadaan malabsorpsi, antara lain sesudah resectio lambung (gastrectomi), atau pada vegetarir.
Pada anemia yang belum didiagnosis
dengan pasti tidak dianjurkan pemberian
asam folat bersamaan, sebab asam ini dapat
menyelubungi diagnosis anemia perniciosa.
Dalam dosis oral tinggi sekali (1000 mcg), B12
dapat diserap sebanyak 1,2% tanpa adanya
intrinsic factor.
Gangguan psikis pada lansia sering kali
dapat ditangani secara efektif dengan vitamin B12, dengan perbaikan gejala depresi,
apati dan lemah ingatan. Begitu pula pada
perkiraan adanya anemia makrositer
(dengan eritrosit besar) atau gangguan saraf
yang tidak jelas pemicu nya .
Vitamin B12 terutama dipakai sebagai
injeksi, sebab peroral efeknya tidak tetap,
juga tidak bila dikombinasi dengan intrinsic
factor (serbuk pylorus). pemakaian nya kini
sudah banyak berkurang, sebab hidroksokobalamin lebih menguntungkan.
Untuk pemakaian yang efektif hendaknya
diperhatikan prinsip bahwa terapi harus sespesifik mungkin. Diterapkannya terapi vitamin “shotgun” pada defisiensi vitamin B12
dengan sediaan multivitamin dapat membahayakan. Ada kemungkinan bahwa asam
folat diberikan sekian banyaknya, sehingga berefek perbaikan hematologik, namun
defisiensi vitamin B12 diselubungi dan berlangsung terus. Keadaan demikian dapat
mengakibatkan berkembangnya atau berlanjutnya kerusakan saraf.
Resorpsinya sangat rumit. Dalam lambung
vitamin ini diikat pada suatu protein menjadi
kompleks, yang dipecah lagi oleh enzim
pankreas. Untuk transpor dan absorpsi yang
sempurna, vitamin B12 perlu diikat pada
intrinsic factor (IF) (Castle, 1953). IF ini adalah suatu glikoprotein (dengan BM > 44.000),
yang disekresi bersama ion hidrogen (H+)
oleh sel parietal lambung. Langkanya unsur
ini dapat disebabkan oleh atrofia selaput
lendir lambung atau sebab pembedahan (2-3
tahun sesudah reseksi).
Dalam ileum IF dilepaskan, lalu B12 diserap
secara aktif oleh mukosa, padamana ion Ca
dan lingkungan netral memegang peranan. Dalam darah, B12 terikat pada protein pembawa transkobalamin dan diangkut ke ginjal,
hipofisis, jaringan dan terutama ke hati, di
mana ±90% ditimbun (1-10 mg). Persediaan
ini mampu menampung kegagalan absorpsi
selama lebih dari 2 tahun sebelum gejala
defisiensi nampak, sebab kehilangan sehariharinya yaitu kecil (1-2 mikrogram). Dari
hati, vitamin B12 secara bertahap dilepaskan
kembali ke dalam darah sesuai kebutuhan
untuk pembentukan eritrosit. Biotransformasi
praktis tidak terjadi; ekskresinya berlangsung
melalui urin dan empedu; di ileum zat ini
diserap kembali sesudah terikat pada intrinsic
factor. berdasar siklus enterohepatik ini,
plasma-t½-nya panjang, ±12 bulan.
Efek samping dapat berupa reaksi alergi terhadap kobal, antara lain eksem dan eksantem.
Dosis: pada defisiensi i.m. 0,5-1 mg seminggu, pemeliharaan 1 mg setiap 2 bulan.
Pada gejala neurologik 1-2x seminggu 0,5-1
mg, pemeliharaan 1 mg sebulan. Oral: 2-3 dd
1 mg, profilaktis dalam sediaan multivitamin
1-10 mcg/hari.
* Hidroksokobalamin: hidrokobamin
Derivat hidroksi ini (1962) lebih lambat
resorpsi dan ekskresinya, sebab lebih kuat
terikat pada protein darah, sehingga kerjanya
pun lebih lama. Pada pemakaian parenteral
menunjukkan puncak plasma yang lebih
tinggi daripada sianokobalamin. Oleh sebab
itu, praktis sudah mendesak sianokobalamin.
Dosis: pada defisiensi i.m. atau s.k. 2 x seminggu 1 mg selama 5 minggu, lalu 1 mg
setiap 2 bulan. Oral 1-3 mg sehari.
* Cobamamide (dibencozide, *Superton) yaitu
metabolit aktif dari vitamin B12 yang bekerja
sebagai ko-enzim. Ko-enzim yaitu bagian
non-protein dari suatu enzim yang berfungsi
sebagai aktivator, lihat Bab 53. Vitamin.
Dosis: oromukosal 1500 mg dalam 1-2 dosis.
4. Epoetin alfa (Epogen, Procrit, Binocrit,
Eprex) yaitu glikoprotein dengan 165
asam amino dan berat mollekul 30.400
Dalton. Dibuat dalam kultur sel dengan
memakai teknologi DNA rekombinan.
Memiliki efek imunologik dan biologik sama
dengan eritropoietin endogen/human dan
dipakai untuk pengobatan anemia pada
penderita gangguan ginjal kronis, pasien HIV
dan penderita kanker.
Eritropoietin yaitu suatu glikoprotein
yang terutama dibentuk dalam ginjal dan
merangsang produksi sel-sel darah merah
(eritropoese). Jumlahnya menurun pada keadaan gagal ginjal atau pemakaian obatobat tertentu, misalnya zidovudin (HIV) dan
kemoterapi pada kanker. T½ i.v. 4 jam dan s.k.
24 jam.
Efek samping yang tersering yaitu hipertensi, sakit kepala, tachycardia, mual/muntah, pendek napas, hiperkalemia dan diare.
Juga kemungkinan potensial untuk imunogenetik seperti lazimnya dengan proteinprotein terapeutik.
Dosis: permulaan bagi pasien gagal ginjal 3
kali per minggu 50-100 unit/kg s.k. atau i.v.
5. Darbepoetin (Aranesp, Amgen)
Faktor pertumbuhan hematopoetik ini
juga dipakai bagi penderita anemia akibat gagal ginjal kronis. T½ s.k. 73 jam dan
i.v. 21 jam.Dibandingkan dengan epoetin
fekuensi dosisya lebih rendah sebab waktu
eliminasinya dari tubuh lebih lama.
Efek samping: sangat sering hipertensi,
udema dan alergi; juga sering kali gangguan
kulit eritema, CVA dan tromboemboli.
Dosis: tergantung dari hasil monitoring
kadar Hb dan diberikan perlahan-lahan
melalui injeksi s.k. atau i.v.
SALURAN
PERNAPASAN
Dalam seksi ini akan dibahas dua bab mengenai penyakit-penyakit saluran pernapasan, yang bersama dengan penyakit infeksi
menempati posisi teratas dalam urutan/pola
penyakit di negara kita .
Bab 40 akan membahas gangguan-gangguan
yang dahulu dinamakan CARA (Chronic
Aspecific Respiratory Affections). CARA mencakup antara lain asma yang berlatar belakang
sebab-sebab alergis maupun non-alergis,
juga bronkitis yang umumnya disebabkan
oleh infeksi bakteri. Dewasa ini istilah CARA
sudah dibagi menjadi Asma dan COPD
(Chronic Obstructive Pulmonary Diseases). Bab
41 akan menelaah fisiologi batuk dan menginventarisasikan jenis-jenis obat batuk yang
sangat banyak ragamnya dan dipakai
terhadap batuk yang produktif maupun nonproduktif.
OBAT ASMA DAN COPD
Istilah CARA atau Chronic Aspecific Respiratory
Affections mencakup semua penyakit saluran
pernapasan yang bercirikan penyumbatan
(obstruksi) bronchi disertai pengembangan
mukosa (udema) dan sekresi dahak (sputum)
berlebihan. Penyakit-penyakit ini meliputi berbagai bentuk penyakit beserta
peralihannya, yaitu asma, bronchitis kronis
dan emfisema paru yang gejala kliniknya
dapat saling menutupi (overlapping). Gejala
terpentingnya a.l. sesak napas (dyspnoe) saat
mengeluarkan tenaga atau selama istirahat
dan/atau sebagai serangan akut, juga batuk kronis dengan pengeluaran dahak kental. sebab gangguan ini memiliki
mekanisme pathofisiologi yang berbedabeda dengan penanganan yang juga tidak
sama, maka pada umumnya telah dilakukan
pemisahan antara asma dan bronchitis kronis + emfisema, yang kini dinamakan COPD
(Chronic Obstructive Pulmonary Diseases). Istilah ini selanjutnya akan dipakai dalam
uraian bab ini. (Barnes, 2008b)39
Walaupun dalam praktik diferensiasi ini
sering kali tidak mudah dilakukan, namun
sebetulnya memiliki konsekuensi langsung
dan esensial untuk cara pengobatan dari
kedua kelompok penyakit ini. Per definisi
asma yaitu steroidresponsif, artinya dapat
ditangani dengan terapi kortison, terutama
sebab dasar dari penyakit ini yaitu proses
peradangan eosinofil. namun sebaliknya beberapa penelitian jangka waktu panjang
menunjukkan bahwa pemakaian steroid
inhalasi pada COPD tidak memengaruhi
fungsi paru.21-25, walaupun jangka waktu
pemburukkan dari gejalanya (exacerbatio)
dapat berkurang.33 Lihat selanjutnya pada
pembahasan obat kortikosteroida inhalasi
(ICS).
Obstruksi bronchi (Lat. obstructio = penyumbatan).
Penyumbatan bronchi dengan sesak napas,
yang merupakan sebab utama asma dan
COPD, diperkirakan dapat terjadi menurut
mekanisme berikut, yaitu berdasar hiperreaktivitas bronchi (HRB), reaksi alergi atau
infeksi saluran pernapasan.
a. Hiperreaktivitas bronchi (HRB) Pada
semua penderita asma dan COPD ada hiperreaktivitas bronchi. HRB yaitu
meningkatnya kepekaan bronchi, dibandingkan saluran pernapasan normal, terhadap
zat-zat merangsang tak-spesifik yang dihisap
dari udara. Sebagian penderita asma juga
mengidap kepekaan berlebihan terhadap
stimuli/rangsangan spesifik yang pada
orang sehat tidak memberikan reaksi. HRB
aspesifik selalu timbul bersamaan dengan
reaksi peradangan di saluran pernapasan.
* Stimuli. Ada beberapa jenis stimuli, yaitu
rangsangan fisis (perubahan suhu, dingin
dan kabut), rangsangan kimiawi (polusi
udara: gas-gas pembuang, sulfurdioksida,
ozon, asap rokok), rangsangan fisik (exertion,
hiperventilasi) dan rangsanganpsikis (emosi
dan stress). Juga rangsangan farmakologik
(histamin, serotonin, asetilkolin, beta-blocker,
asetosal dan NSAIDs lainnya), termasuk
obat-obat yang dapat membebaskan histamin
(histamin liberators), seperti morfin, kodein,
klordiazepoksida dan polimiksin. Akibat
stimuli ini terhadap reseptor sensoris di
selaput lendir dan otot, serta/atau stimulasi
dari sistem kolinergik, maka terjadilah suatu
reaksi kejang dengan obstruksi umum pada
saluran pernapasan.
b. Alergi. Pada sebagian pasien asma, di
samping HRB aspesifik, juga ada alergi.
Dengan ini dimaksudkan bakat keturunan untuk membentuk antibodies terhadap
antigen (alergen) tertentu yang memasuki tubuh. Antibodies ini dari tipe IgE
(imunoglobulin type E) juga disebut reagin, mengikat diri pada mastcells a.l. di saluran pernapasan, mata dan hidung. Bilamana jumlah IgE sudah cukup besar, maka
pada waktu alergen yang identik masuk
lagi ke dalam tubuh, terjadilah penggabungan antigen-antibody. Mastcells pecah
(degranulasi) dan segera melepaskan mediatornya, a.l. histamin. Akibatnya yaitu
bronchokonstriksi (bronchospasm) dengan pengembangan mukosa (udema) dan hipersekresi dahak/mucus, yang merupakan gejala
khas serangan asma.
Bila pelepasan mediator ini di atas
bukannya setempat namun menyeluruh (general release), maka dapat timbul anaphylaxis,
suatu reaksi hebat yang dapat mengancam
jiwa, misalnya sebab sengatan tawon, injeksi penisilin (anaphylactic shock). Pada keadaan demikian perlu segera diberikan injeksi
adrenalin i.m. yang diulang tiap 5 menit
sampai ada perbaikan tekanan darah dan
detak nadi. Di samping pemberian oksigen
juga suatu antihistaminikum (klorfeniramin)
dapat diberikan i.v. Pada anafilaksis parah
atau yang berulang kali, diberikan injeksi
hidrokortison i.m. atau i.v.
* Alergen inhalasi yang masuk ke tubuh
lewat pernapasan merupakan penyebab utama reaksi alergi ini di atas. Penderita
asma menunjukkan kepekaan berlebihan
terhadap terutama debu rumah, yang mengandung a.l. tungau (housedust mite) dan
sisik/bulu binatang piaraan (animal danders),
begitu pula terhadap sari bunga (pollen)
berbagai tumbuhan dan pohon, jenis tepung
dan jamur.
* Alergen oral dan lokal dikenal pula, yang
memasuki tubuh melalui mulut atau kulit.
Banyak bahan makanan mengandung alergen dan juga obat-obat tertentu atau metabolitnya dapat memicu reaksi alergi.
Lihat selanjutnya Bab 51, Anti-histaminika,
Reaksi alergi.
c. Infeksi saluran pernapasan dapat menyebabkan gejala radang dengan perubahan
di selaput lendir, yang pada pasien asma
dan COPD memperkuat HRB dan bronchokonstriksi serta mempermudah penetrasi
alergen. Akhirnya dapat terjadi suatu lingkaran setan dengan infeksi yang selalu
kambuh akibat obstruksi bronchi, yang
memudahkan infeksi ini .
1. ASMA (asthma
bronchiale)
Asma atau bengek yaitu suatu penyakit
alergi yang bericirikan peradangan steril kronis
dari alat pernapasan, yang khas ditandai oleh
aktivasi mastcells, infiltrasi dari eosinofil dan
T helper 2 (TH2) limfosit. (Barnes, 2008b)39.
Mastcells yang diaktivasi oleh alergen dan
rangsangan fisik melepaskan mediator penyempit bronchus seperti histamin, leukotrien D4
dan prostaglandin D2.
Peningkatan jumlah mastcel dalam otot
alat pernapasan merupakan ciri khas dari
asma.
Peradangan kronis dapat mengakibatkan
perubahan struktural dari jaringan saluran
pernapasan a.l. meningkatnya jumlah sel otot
licin, saluran darah dan sel-sel pembentuk
mukus.
Biasanya penyakit ini timbul pada waktu
anak-anak, kemudian bisa menghilang menjelang dewasa untuk timbul kembali pada
usia dewasa. Secara khas gangguan ini memperlihatkan respons pengobatan yang baik
terhadap senyawa kortikosteroid dan obat
bronchodilator.
Penyakit ini disertai serangan sesak napas
akut secara berkala, mudah tersengal-sengal
dan batuk (dengan bunyi khas). Ciri lain
yaitu hipersekresi dahak yang biasanya
lebih parah pada malam hari dan meningkatnya ambang rangsang (hiperreaktivitas)
bronchi terhadap rangsangan alergik maupun non-alergik. Faktorfaktor genetik bersama faktor lingkungan berperan pada
timbulnya gejala-gejala ini .
Pada umumnya penyakit asma (ringan) ini
stabil, namun asma yang parah sudah timbu
sejak awal dan lebih memperlihatkan gejala
COPD serta kurang memberikan respons
terhadap pengobatan dengan kortikosteroida
(Wenzel and Busse, 2007)40.
Berlainan dengan COPD, obstruksi saluran
napas pada asma umumnya bersifat reversibel
dan serangan biasanya berlangsung beberapa
menit sampai beberapa jam. Di antara dua
serangan, pasien tidak menunjukkan gejala
apa pun.
Status asthmaticus yaitu serangan asma
hebat dengan penciutan bronchi lebih kuat
dan bertahan abnormal lama (sampai lebih
dari 24 jam). Ciri-ciri lainnya yaitu tachycardia dan tak bisa berbicara lancar (tersendatsendat) akibat napas tersengal-sengal.
Asma alergik pada umumnya sudah dimulai
sejak masa kanak-kanak dan didahului oleh
gejala alergi lain, khususnya eksem. Faktor
keturunan dan resam (konstitusi) tubuh memegang peranan penting pada terjadinya
jenis asma ini. Eksem ini umumnya membaik
sesudah anak-anak mencapai usia remaja,
namun acapkali kambuh kembali pada usia
20-40 tahun, sebab peradangan dari saluran
pernapasan tetap bertahan walaupun tanpa
gejala.
Pasien asma memiliki kepekaan terhadap
infeksi saluran pernapasan dan kebanyakan
terhadap virus. Akibatnya yaitu peradangan
bronchi yang juga dapat memicu serangan asma. Bronchitis asmatik demikian
biasanya menyerang manula.
Penyebab
Serangan asma disebabkan oleh peradangan
steril kronis dari saluran pernapasan dengan
mastcells dan granulosit eosinofi l sebagai pemeran penting. Pada orang-orang yang peka
terjadi obstruksi saluran pernapasan yang
difus dan reversibel. Di samping itu juga
ada hiperreaktivitas bronchi terhadap berbagai stimuli (a)spesifi k yang dapat
memicu serangan. Stimuli terkenal yaitu
zat-zat alergen, terutama partikel-partikel
tinja dari tungau, pollen, spora jamur (Aspergillus fumigatus), zat-zat perangsang (a.l. asap
dan SO2 dari polusi kendaraan, asap rokok,
uap, debu). Begitupula hawa dingin (kering),
emosi, kelelahan dan infeksi virus (mis.
rhinovirus, virus parainfluenza), juga obatobat tertentu (asetosal, β-blocker, NSAIDs).
Pada serangan yang hebat penyaluran
udara dan oksigen ke darah menjadi sedemikian lemah, sehingga penderita membiru
kulitnya (cyanosis). Sebaliknya, pengeluaran
napas dipersulit dengan meningkatnya kadar CO2
dalam darah, yang memperkuat
perasaan terengah-engah dan kecemasan.
Kontak dengan zat-zat tertentu (mis. bahanbahan kimia) di lingkungan pekerjaan
(industri) dapat memicu timbulnya asma
yang berkaitan dengan pekerjaan (occupational asthma). Hal ini disebabkan sebab zatzat ini dapat memicu antibodies
IgE spesifik.
* Peranan lekosit. Di membran mukosa saluran pernapasan dan alveoli ada banyak
makrofag dan limfosit. Makrofag berperan
penting pada pengikatan pertama alergen
dan ‘penyajiannya’ kepada limfosit (lihat Bab
49, Dasar-dasar Imunologi). Makrofag juga
dapat melepaskan mediator peradangan, seperti prostaglandin, tromboksan, leukotriën
dan PAF (platelet activating factor). T-helper
cells (melepaskan sitokinnya, a.l. interleukin
IL-3 dan IL-5, yang mungkin berperan CD4+)
penting pada migrasi dan aktivasi mastcells
dan granulosit. Lagipula IL-4 mendorong
limfosit-B untuk membentuk IgE. Aktivitas
makrofag dan limfosit ini dihambat oleh
kortikosteroida, namun tidak oleh adrenergika.
* Mastcells. Pada penderita asma, mastcells
bertambah banyak di sel-sel epitel serta mukosa dan melepaskan mediator vasoaktif
kuat pula, seperti histamin, serotonin dan bradikinin, yang mencetuskan reaksi asma akut.
Prostaglandin dan leukotriën mulai dibentuk
untuk dilepaskan kemudian. Diperkirakan
bahwa mastcells juga dapat didegranulasi
oleh rangsangan aspesifik, misalnya pada
waktu hawa dingin pelat darah bisa menggumpal yang berakibat terbentuknya IgE
(atau IgM).
Mediator (zat perantara) yang berkhasiat
vasokonstriktif terhadap otot polos selain
prostaglandin, tromboksan dan leukotriën, juga
mencakup neuropeptida dan PAF. LTB4 dan
PAF dapat menstimulasi chemotaxis, artinya
dapat menarik granulosit ke tempat peradangan. Senyawa ini memegang peranan
penting pada proses pathogenesis asma,
yang mekanisme eksaknya belum diketahui.
Diagnosis. Pada gangguan asma HRB berperan sentral, sehingga suatu ukuran bagi HR
yang meningkat yaitu variabilitas dari nilai
PEF(peak expiratory flow). Untuk menentukan
PEF dipakai suatu tabung khusus dengan
diameter ±4 cm berskala yang berisi suatu
pelocok (serupa piston yang bergerak keluar
masuk). Pasien meniup ke dalam tabung
hingga pelocok didorong ke depan dan lalu
pada dinding tabung dapat dibaca volume
embusan napasnya. Pada asma ringan, variabilitas PEF yaitu <20%, sedangkan asma
berat menunjukkan nilai sampai 30%.
Penanganan
Tindakan umum. Tujuan utama yaitu mencegah reaksi antigen-antibody serta serangan asma dan menurunkan HRB dengan menghilangkan faktor pemicu. Asma menekan dan
memperlambat pertumbuhan, maka penanganannya pada anak-anak juga dimaksudkan agar anak bertumbuh normal.
Tindakan yang dapat diambil berupa
menjauhi sebanyak mungkin faktor pemicu
serangan (sanitasi), berhenti merokok, hiposensibilisasi, latihan fisioterapi, mengurangi
kepekaan terhadap alergen eksogen dan prevensi infeksi virus atau bakteri.
Begitupula dengan obat-obat profilaksis
kromoglikat dan nedokromil, antihistaminika (ketotifen dan oksatomida) serta kortikosteroida.
* Sanitasi, yaitu menyingkirkan semua rangsangan luar, terutama hewan piaraan (burung,
anjing, kucing, kelinci) dan debu rumah.
Rumah harus dibersihkan setiap hari dengan
saksama, terutama kasur, sprei dan selimut
yang biasanya penuh dengan tungau (housedust mite). Reduksi dari alergen juga dapat
dicapai dengan penyaringan udara. Begitu
pula faktor aspesifik, seperti perubahan suhu,
hawa dingin, asap dan kabut harus dihindari,
juga obat pembebas histamin.
* Berhenti merokok, sebab asap rokok (merokok aktif maupun pasif) dapat memicu bronchokonstriksi dan memperburuk asma, terutama pada anak-anak.30 Perlu
pula menghindari zat-zat lain yang dapat
merangsang saluran pernapasan.
* Fisioterapi: menepuk-nepuk bagian dada
(tapotage) untuk mempermudah pengeluaran dahak (ekspektorasi) dan juga latihan pernapasan serta relaksasi. Usaha ini terutama
bermanfaat bagi anak-anak.
* Hiposensibilisasi dilakukan bila kontak
dengan alergen, seperti pollen dan sisik/bulu
binatang (danders), tidak dapat dihindari.
Untuk mengurangi hipersensitasi terhadap
alergen ini , pasien diberi sejumah injeksi dengan ekstrak alergen dalam kadar
meningkat. Imunoglobulin yang terbentuk
(terutama IgG dan IgA) akan mengikat alergen baru, sehingga reaksi antara alergen dan
IgE tidak terjadi. Terapi ini paling efektif pada
alergi terhadap pollen rumput-rumputan
(Pollinex), lihat juga Bab 51. Antihistaminika.
* Prevensi infeksi viral, misalnya dengan
jalan vaksinasi (influenza) atau memakai
obat-obat yang dapat meningkatkan ketahanan tubuh, seperti tingtur Echinacea.
* Prevensi infeksi bakteriil dapat dilakukan
pada pasien asma (dan bronchitis), namun tidak
berguna terhadap infeksi virus. Umumnya
diberikan amoksisilin atau doksisiklin selama
10-14 hari.
* Prevensi prenatal. Ibu yang sedang mengandung perlu menghindari zat-zat pemicu
alergi, makanan tertentu dan asap rokok (aktif
maupun pasif) yang dapat memengaruhi janin. Pemberian ASI pada bayi menurunkan
risiko terhadap asma dan ekzem, terutama
pada anak-anak dari keluarga yang memiliki
riwayat alergi.31
Pengobatan
Pengobatan asma dan bronchitis dapat dibagi atas terapi serangan akut dan terapi pemeliharaan untuk mencegah serangan atau
memburuknya penyakit.
1. Serangan asma akut biasanya dapat dihentikan dengan suatu bronchospasmolitikum
untuk membebaskan kejang bronchi. Pilihan
pertama yaitu suatu β2
-mimetikum (β2
-
agonis) per inhalasi, misalnya salbutamol
atau terbutalin dengan efek cepat (sesudah
3-5 menit). Bila perlu dibantu dengan suppositoria aminofilin. Obat yang tak-selektif,
seperti efedrin dan isoprenalin, dapat pula
diberikan sebagai tablet, namun efeknya baru
nampak sesudah lebih kurang 1 jam. Bila
sesudah 15 menit belum menghasilkan efek,
inhalasi dapat diulang sekali lagi. Jika juga
tidak memberikan efek, pasien perlu diberi
obat secara injeksi intravena: aminofilin dan/
atau salbutamol. Pada serangan hebat, sering kali ditambahkan hidrokortison atau
prednison i.v.
Sebagai tindakan terakhir dapat diinjeksikan adrenalin, yang dapat diulang 2 kali
dalam waktu satu jam.
*Status asthmaticus. Merupakan serangan
asma akut dan hebat yang bisa bertahan
lama sekali. Efek suatu bronchodilator pada
keadaan ini hanya kecil dan lambat, yang
disebabkan oleh blokade reseptor-beta sebagai akibat umum dari suatu infeksi saluran
pernapasan. Keadaan demikian perlu diobati secara khusus di rumah sakit dengan
pemberian oksigen dan minum banyak air,
hidrokortison i.v. dan bila perlu bikarbonat.
Lazimnya pasien diberi injeksi i.v. dengan
salbutamol dan/atau aminofilin serta hidrokortison dalam dosis besar (yang diperkirakan lebih cepat kerjanya daripada prednison). Perlu juga diambil tindakan-tindakan tambahan lainnya untuk melawan
efek samping dari status asthmaticus. Pada
serangan yang tidak dapat dihentikan dengan
injeksi adrenalin sebagai tindakan terakhir
(ultimum remedium) umumnya injeksi i.v.
dengan novocain 2% (atau lidocain) efektif.
Ref.: Visser J., Ned Tijdschr Geneeskd 2006;
150: 1041
Terapi pemeliharaan
Pengobatan pemeliharaan pada umumnya
dilakukan secara bertingkat, berdasar
prinsip (baru) bahwa asma yaitu suatu pe-
nyakit peradangan, maka obat antiradang perlu dipakai sedini mungkin. Di samping
itu, pemakaian bronchodilator hendaknya
dibatasi pada terapi serangan dan/atau dalam kombinasi dengan obat antiradang. Dalam garis besar sering kali ditempuh urutan
sebagai berikut.
a. Asma ringan (serangan < 1x sebulan) dapat -
bila perlu - diobati dengan suatu β2
-mimetikum yang bekerja singkat sebagai monoterapi, misalnya salbutamol atau terbutalin (1-2 inhalasi/minggu);
b. Asma sedang (serangan 1-4x sebulan) perlu diobati dengan obat yang menekan
peradangan di saluran pernapasan, yaitu
kortikosteroida-inhalasi, seperti beklometason, flutikason atau budesonida dalam dosis rendah (200-800 mcg/hari). Bila perlu dikombinasi dengan salbutamol atau
terbutalin sampai 3-4 inhalasi/hari atau
dengan obat pencegah kromoglikat dan
nedokromil, juga per inhalasi. Untuk anakanak dengan asma yang bercirikan alergi dapat diberikan per oral ketotifen atau
oksatomida, yang juga berkhasiat mencegah degranulasi mastcells.
c. Asma agak serius (serangan > 1-2 x seminggu) dapat ditanggulangi oleh kortikosteroida dengan dosis lebih tinggi
(800-1200 mcg/hari) dan dikombinasi
dengan β2
-mimetika