obat 43





 a kebutuhan tubuh, seperti 

pada pubertas dan pada wanita selama 

haid, hamil dan nifas.

– kualitas makanan yang tidak memadai.

– penyakit kronis. Antara lain penyakit 

thalassaemia (Yun. thalassa = laut), suatu 

anemia yang semula timbul pada penduduk pantai Laut Tengah, namun  sekarang 

diketahui juga ada  di seluruh dunia. 

Penanganannya dilakukan dengan sediaan besi.

Gejalanya berupa muka dan kuku pucat, 

rasa letih dan lesu, jari kaki-tangan dingin, 

palpitasi, adakalanya juga nyeri lidah, kelainan kuku dan kulit keriput (atrofia). Semua 

ini berkaitan dengan kekurangan enzim besi

yang perlu bagi pembaharuan sel-sel epitel. 

Defisiensi besi juga memengaruhi perilaku 

dan fungsi belajar anak-anak.

b. Anemia megaloblaster (anemia primer)

Penyakit ini disebabkan oleh kekurangan 

vitamin B12atau asam folat, dan bercirikan selsel darah abnormal dan besar (makrositer) dengan kadar Hb per eritrosit yang normal 

atau lebih tinggi (hiperkrom) dan MCV 

tinggi. Kekurangan vitamin ini  dapat disebabkan oleh gangguan resorpsinya,

seperti pada penyakit coeliakia (diare akibat hipersensitivitas terhadap gluten) dan 

steatorea (diare lemak pada seriawan/ 

”sprue”). Penyebab lainnya yaitu  efek toksik 

obat, misalnya kloramfenikol, sulfonamida, 

antidiabetika oral, fenitoin dan fenilbutazon. 

Penanganannya dilakukan dengan pemberian vitamin B12 atau asam folat, tergantung 

dari pemicu nya .

* Anemia perniciosa, suatu bentuk anemia 

hiperkrom ganas, yang disebabkan defisiensi 

vitamin B12 (= extrinsic factor); B12 ini tidak 

dapat diserap dari makanan sebab  tidak 

adanya intrinsic factor(Castle, 1929) di lambung. Intrinsic factor atau hemopoëtine adalah suatu hormon yang disekresi oleh sel 

parietal di ujung lambung.

Gejalanya berupa kelainan di saluran cerna 

(daya resorpsi yang buruk, nyeri lidah dan 

sebagainya). Yang sangat serius yaitu  timbulnya kerusakan irreversibel dari sistem saraf

dengan gangguan neurologi, seperti rasa 

kesemutan (paresthesia) kaki/tangan dan 

berkurangnya refleks otot. Selain itu, juga 

nampak degenerasi otak, sumsum tulang dan 

saraf perifer. Akibatnya yaitu  timbul gejala 

psikis, seperti hilang ingatan, halusinasi, 

depresi, kebingungan dan demensia. Anemia 

perniciosa sering kali timbul pada lansia, 

lazimnya kaum wanita.

c. Anemia lainnya

Dikenal beberapa bentuk anemia serius yang 

tidak ada hubungannya dengan kekurangan 

besi atau vitamin, sebagai berikut:

– anemia aplastis, yaitu eritrosit atau unsur 

darah lainnya tidak terbentuk lagi. Dapat 

juga disebut jenis primer atau congenital

yang disebabkan oleh keturunan namun  

jarang terjadi. Jenis sekunder ditimbulkan 

oleh perusakan langsung sumsum tulang 

sebagai efek samping obat. Terkenal buruk 

dalam kasus ini yaitu  kloramfenikol, 

karbimazol, sitostatika, seperti busulfan 

dan doksorubisin), juga insektisida. 

– anemia hemolitik, yaitu eritrosit dirusak, Hb dilarutkan dalam serum dan 

diekskresi lewat urin, antara lain pada 

malaria tropica.

Terapi

sebab  anemia hanya merupakan gejala saja, maka sebelum menjalani pengobatan, 

perlu terlebih dahulu ditentukan jenis dan 

pemicu nya . Untuk tujuan ini, dilakukan 

pemeriksaan sel darah dan adakalanya sumsum tulang serta penentuan kadar besi, B12, dan 

folat dalam darah.

* Anemia ferriprive umumnya diobati dengan suatu garam ferro (ferrofumarat dan

glukonat) untuk menormalisasi kadar Hb. 

Akan namun , pemicu nya  mungkin tetap 

masih ada, seperti pada tumor atau borok lambung. Pada jenis anemia ini, vitamin B12atau folat tidak berguna, malah dapat merugikan, sebab  menyulitkan diagnosis anemia primer berhubung cepat menghilangnya megaloblas (tingkat permulaan 

eritrosit besar) dari sumsum tulang.

* Anemia perniciosa perlu ditangani dengan 

vitamin B12. Asam folat tidak dapat diberikan, 

sebab  walaupun gambaran darah terlihat 

menjadi normal, namun dapat menyelubungi 

defisiensi vitamin B12. Lamanya terapi perlu 

minimal tiga bulan; sesudah masa latensi 

dari ±10 hari, kadar Hb (hemoglobin) akan 

naik ±1% (= 0,15 g%) sehari sampai nilainya 

kembali normal dalam waktu 1-2 bulan. 

Kemudian perlu dilanjutkan 1-2 bulan lagi 

untuk mengisi depot tubuh. 

Pada hakikatnya, pemakaian  kombinasi dari 

besi, vitamin B12 dan folat untuk mengobati anemia yaitu  tidak tepat!

Penggolongan hem(at)opoëtika

Obat-obat yang dipakai  pada defisiensi 

darah terdiri dari sediaan besi, asam folat 

dan sianokobalamin. Sediaan populer sering kali mengandung pula mineral spura.

Ekstrak hati sudah usang dan jarang sekali 

dipakai  lagi. Ketiga senyawa pertama 

akan dibicarakan secara mendalam di bawah 

ini.

Ekstrak hati atau Extr.hepaticum liquidum

mengandung vitamin B12 dan asam folat. 

Sampai tahun 1948 ekstrak ini merupakan 

obat utama pada terapi anemia perniciosa. 

Efek sampingnya berupa reaksi alergi dan 

nyeri di tempat injeksi. Dengan tersedianya 

kedua vitamin ini  dalam keadaan 

murni, yang tidak memicu  efek samping buruk (reaksi alergi, nyeri di tempat 

injeksi), maka ekstrak hati sudah menjadi 

obsolet. Di kebanyakan negara Barat, semua 

preparat dengan ekstrak hati sudah ditarik 

dari peredaran.

Mineral tertentu, yang juga lazim disebut 

elemen spura, seperti seng, selen, tembaga, 

kobal, molybden dan mangan, ada  dalam 

bahan makanan dengan jumlah kecil sekali 

(spura). Kerapkali elemen ini merupakan bagian khusus dari sediaan kombinasi populer 

yang dipromosikan sebagai obat penyakit 

kurang darah. Sebetulnya, anemia yang 

khusus disebabkan oleh defisiensi elemenelemen ini  jarang sekali terjadi, lagi pula 

belum terbukti secara ilmiah. Oleh sebab  itu, 

pengobatan anemia dengan sediaan mineral 

ini pada prinsipnya tidak betul. Selain dapat mengaburkan diagnosis yang tepat, juga 

dapat mengakibatkan efek samping buruk, 

misalnya nefritis dan struma akibat penggunaan kobal. Inilah sebabnya mengapa 

WHO dalam tahun 1968 telah menganjurkan 

agar jangan memasukkan lagi kobal dalam 

sediaan vitamin. Lihat selanjutnya Bab 53, 

Vitamin dan Mineral.

Obat-obat “baru” 

Sekarang tersedia beberapa obat baru untuk 

dipakai  pada keadaan khas, yang dapat 

dibagi dalam dua kelompok, yakni:

a. faktor-faktor pertumbuhan eritrosit (eritropoëtik), antara lain epoëtin dan darbepoëtin, 

yaitu glikoprotein yang dibuat dengan teknik 

rekombinan. Obat ini menstimulasi pembentukan eritrosit dan khususnya dipakai  oleh penderita anemia berat yang perlu menjalani dialisa akibat insufisiensi ginjal kronis. Faktor-faktor ini terlibat pada 

proliferasi dan diferensiasi sel-sel batang 

di sumsum tulang, yang tumbuh menjadi 

eritrosit, lekosit dan trombosit. 

b.faktor-faktor stimulasi koloni yang menstimulasi terutama pertumbuhan granulosit 

neutrofil, a.l. filgrastim dan lenograstim. Zatzat ini khusus dipakai  pada keadaan neutropeni.

Pegfilgrastim (Neulasta) memiliki t1/2 lebih panjang daripada filgrastim sehingga 

daya kerjanya lebih lama dan fekuensi pemberiannya dapat dikurangi. Dosis: s.k. 6 mg.

MONOGRAFI

1. Besi

Besi ada  dalam makanan, terutama sebagai kompleks ferri, yang dalam lambung 

diubah menjadi ferroklorida pada mana 

vitamin C bertindak sebagai stabilisator. Kadar normalnya dalam serum yaitu  antara 

11-27 milimol/liter.

Tubuh pria mengandung 2,5-4 g besi (±50 

mg/kg) dan wanita sebelum menopause 

±38 mg per kg, yang untuk 70% ada  

dalam eritrosit sebagai zat warna darah 

hemoglobin (Hb). Sisanya disimpan dalam 

sel-sel hati, limpa dan sumsum tulang sebagai persediaan besi dari tubuh dalam 

bentuk kompleks besi-globulin:ferritin dan 

hemosiderin (500-1.500 mg). Dari ferritin, 

yang melarut dalam air, besi lebih mudah 

dimobilisasi untuk pembentukan hemoglobin 

daripada hemosiderin yang tidak larut dalam 

air. Sebagian lain dari besi masuk ke dalam 

darah dan diangkut oleh suatu beta-globulin 

(transferrin), yang disintesis dalam hati, 

ke sumsum tulang, hati dan sel-sel lainnya 

untuk sintesis zat warna otot myoglobin (berperan pada metabolisme otot) dan enzim 

besi (metallo-enzim). Tiap molekul transferrin mengikat 2 ion ferri. Dua per tiga dari 

seluruh besi dalam tubuh berada dalam 

sirkulasi sebagai hemoglobin (2,5-3 g pada 

orang dewasa normal). Senyawa besi khusus 

dipakai  pada keadaan anemia ferriprive

(akibat kekurangan Fe). 

Resorpsi. Diet sehari-hari mengandung 

10-20 mg besi, yang ada  dalam dua ben-

tuk, yaitu dalam daging sebagai haem (= Fe 

terikat pada porfirin) dan dalam sayuran sebagai senyawa komplek ferri. Haem diserap 

lengkap oleh sel mukosa usus. Senyawa 

ferri dilarutkan oleh asam dan oleh vitamin 

C direduksi menjadi ferro. Hanya ±10% dari 

ferro ini diserap oleh usus ±1-2 mg sehari), 

yang mencukupi kebutuhan sehari. Vitamin 

C meningkatkan penyerapan besi dari makanan, sebaliknya garam fosfat dan asam 

fytat dari serat nabati dapat menurunkannya, 

seperti juga resorpsi dari mineral lain. Resorpsi 

dapat meningkat melalui suatu mekanisme 

kontrol, seperti di masa pubertas, selama kehamilan dan laktasi, juga bila ada  defisiensi (naik sampai ±40%). 

Resorpsi terjadi terutama di bagian atas 

usus halus, di mana lingkungan asam meningkatkan daya larut garam ferro dan mempertahankannya dalam bentuk ferro. Garam 

ferri lebih buruk resorpsinya, mungkin sebab  

terbentuk garam fosfat dan fitat yang sukar 

larut. Sesudah diserap, sebagian Fe diikat 

pada sel mukosa usus, sedangkan sebagian 

lain masuk ke sirkulasi darah dan diikat pada 

transferrin. Dengan transferrin ini, sebagian 

besar besi diangkut ke sumsum tulang, di 

mana terjadi inkorporasi di dalam molekul 

hemoglobin. Sebagian lainnya ditranspor ke 

hati dan limpa untuk sintesis myoglobin dan 

metallo-enzim yang juga disimpan sebagai a.l. 

ferritin. (Ferritin yaitu  kompleks larut air 

dari besi dan protein, yang ada  di plasma 

dalam jumlah kecil dan mudah dimobilisasi 

untuk pembentukan Hb. Kadar ferritin serum 

diukur untuk menentukan jumlah besi yang 

tertimbun). Ekskresi berlangsung 30% lewat 

urin. Beberapa faktor dapat memengaruhi 

resorpsi besi, yaitu:

– senyawa ferro lebih baik diserap daripada 

bentuk ferri;

– zat-zat reduktor, misalnya vitamin C, 

meningkatkan resorpsi besi; 

– alkohol juga meningkatkan resorpsinya.

Kebutuhan besi. Setiap hari 0,5-1 mg besi diekskresi lewat feses, urin dan keringat. Tubuh 

kehilangan besi ±1 mg sehari pada laki-laki 

melalui saluran pencernaan, misalnya dalam empedu. Wanita kehilangan unsur besi sewaktu haid ±40 ml darah per bulan, 

atau sama dengan lebih kurang 0,7 mg besi/

hari atau rata-rata ± 1,5 mg sampai lebih 

dari 2 mg per hari. Kebutuhan besi lebih 

meningkat lagi selama kehamilan (sampai 

1-2 mg/hari) dan menyusui, juga selama 

pertumbuhan meningkat sampai ±0,6 mg. 

Penyebab lain dari kehilangan unsur besi 

yaitu  pemakaian  obat-obat anti-radang 

yang memicu  perdarahan dari mukosa 

lambung. 

Pada orang sehat hanya 5-10% dari jumlah 

besi dalam makanan yang diserap, yaitu 10-20 

mg sehari, yang mencukupi kebutuhan sehari 

1-2 mg. namun  selama masa pubertas, haid, 

hamil dan laktasi, kebutuhan besi meningkat 

(sampai 2-4 mg sehari) dan resorpsinya juga ditingkatkan melalui suatu mekanisme 

kontrol di usus. Bila ada  defisiensi besi, 

resorpsi bisa naik sampai 120-140%. 

Dalam keadaan normal absorpsi besi seharinya yaitu  ±1 mg pada laki-laki dewasa 

dan 1,4 mg pada wanita dewasa; maksimal 

3-4 mg dari asupan makanan. Absorpsi meningkat bilamana timbunan (depot) besi 

dalam tubuh sudah berkurang atau erithropoiesis meningkat atau terganggu. 

Kekurangan ini pertama-tama ditampung 

oleh persediaan ferritin dalam hati dan sumsum tulang, sesudah  itu baru dipakai  besi 

plasma yang terikat pada transferrin. Proses 

ini tampak dari menurunnya kadar ferritin 

plasma; kemudian sesudah  persediaannya habis, kadar Hb baru menurun. Sebagai kompensasi, nilai Daya Ikat Besi dari transferrin 

meningkat (DIB).

Perhitungan kebutuhan tubuh untuk besi 

dapat dilakukan dengan rumus berikut: 

9 - kadar Hb dalam mmol/l 

Kebutuhan Fe = ———————————– x 2,5 + 1 

 (dalam g) 9 

 

Dalam rumus ini 9 yaitu  kadar Hb ratarata pada orang dewasa dan 2,5 yaitu  

jumlah gram total Fe (dari Hb), sedangkan 

1 merupakan jumlah gram besi yang perlu 

untuk mengisi depot yang kosong. Perlu 

diperhatikan bahwa hanya 10-30% dari besi

yang diberikan per oral dapat diserap oleh 

tubuh. pemakaian  oral dan parenteral secara 

bersamaan tidak boleh dilakukan, sebab  

penjenuhan ferritin dapat memicu  

reaksi toksik akut. 

Terapi dengan sediaan besi. Umumnya pengobatan anemia ferriprive dilakukan per oral

dengan suatu garam ferro, yaitu ferrofumarat, 

- glukonat, atau -sitrat (Ferromia). Juga dengan garam anorganik ferrosulfat, yang diserap lebih lemah. Dosis umum berkisar antara 100 dan 200 mg Fe (elemen) sehari. Risiko 

overdosis dan keracunan umumnya tidak 

ada, sebab  resorpsi dalam usus tergantung 

dari kebutuhan, yang diatur oleh suatu 

mekanisme kontrol.

pemakaian  parenteral besi-sorbitol-sitrat

atau Fe-dextran (Hibiron) tidak menghasilkan 

efek yang lebih baik dari pada per oral, 

sedangkan kecepatan naiknya kadar Hb tidak 

berbeda banyak. Oleh sebab  itu, parenteral 

hanya dilakukan bila pengobatan oral ti-dak 

mungkin, sebab  misalnya malabsorption 

syndrome, adanya perdarahan atau keluhan 

lambung-usus hebat.

Penyakit kronis tertentu, seperti rema 

(artrithis reumatoid), tidak menunjukkan kekurangan besi (kadar ferritin normal dan 

nilai DIB rendah), hanya tubuh tidak mampu 

memakai  depot besinya. Oleh sebab  

itu dalam keadaan demikian tidak boleh 

diberikan besi.

Lamanya terapi minimal 3 bulan; sesudah  

suatu masa latensi dari ±10 hari, kadar Hb 

akan naik ±1% (= 0.15 g%) sehari sampai nilai 

Hb pulih normal dalam waktu 1-2 bulan. 

Kemudian terapi perlu dilanjutkan 1-2 bulan 

lagi untuk mengisi depot besi dari tubuh.

Efek samping yang lebih sering terjadi dengan dosis semakin tinggi yaitu  pirosis 

(heartburn; rasa terbakar dalam lambung dan 

tekak), perasaan tidak nyaman di lambung, 

mual, muntah, sembelit ringan dan kadangkadang diare. Gejala ini diakibatkan oleh sifat 

merangsang dari besi dan bisa juga sebab  

perubahan pada flora usus. Juga timbul rasa logam dan tinja berwarna hitam. Untuk 

mengurangi efek samping ini, sebaiknya 

pemakaian  obat dimulai dengan dosis rendah yang lambat laun ditingkatkan.

Pada overdosis mekanisme kontrol usus tidak 

berfungsi lagi dan dapat terjadi perdarahan 

lambung-usus, syok, tachycardia, kerusakan 

hati, konvulsi dan koma. Terutama anak 

kecil sangat peka terhadap overdosis sebab  

mekanisme penangkalan dalam ususnya 

belum sempurna. Sebagai antidotum pada

keracunan besi tersedia injeksi dengan zat 

pengikat besi desferrioksamin (Desferal).

Kehamilan. Sediaan besi boleh dipakai  

per oral selama kehamilan.

lnteraksi. Tetrasiklin mengurangi resorpsi 

sebab  pembentukan kompleks yang tidak 

larut, sehingga pemberian dosis harus dilakukan dengan interval 3 jam. Begitupula halnya dengan antasida, garam kalsium dan fosfat

(dalam makanan, susu). Metildopa, penisilin, 

probenesid dan senyawa fenotiazin adakalanya 

dapat memicu  anemia hemolitik akibat 

reaksi hipersensitasi. 

Vitamin C meningkatkan resorpsi senyawa 

ferro sedangkan penyerapan senyawa kuinolon dikurangi oleh besi.

Dosis: oral 2 dd 65 mg Fe a.c. atau antara 

jam makan, dari dosis ini diserap rata-rata 

25 mg sehari. Dosis lebih tinggi tidak ada 

gunanya sebab  tidak mempercepat efek. 

Anak-anak: maksimal 3 mg/kg sehari dalam 

3 dosis. Makanan lazimnya mengurangi 

resorpsi, sehingga sebaiknya diminum pada 

perut kosong. namun  bila timbul gangguan 

saluran cerna, sebaiknya diminum pada 

waktu makan. 

Sediaan besi

1a. Ferrofumarat: Superton, *Nichobion

Garam ini mengandung 33% Fe, yaitu 

yang tertinggi dari semua garam ferro. Sifat 

merangsangnya juga lebih ringan dan tidak 

memicu  rasa logam. Oleh sebab  itu zat 

ini dianggap sebagai pilihan pertama pada 

terapi oral.

Dosis: 2 dd 200 mg (= 65 mg Fe) antara jam 

makan. 

1b. Ferrosulfat: Fero Gradumet, Iberet-500, Ferrograd

Bersifat sangat merangsang sebab  reaksi 

asamnya dan lebih sering memicu

mual dan muntah. Efek samping ini dapat 

dikurangi dengan memakai  tablet slowrelease atau juga dengan meminumnya sebagai larutan sesudah makan. 

Dosis: oral 2 dd 325 mg (= 65 mg Fe) atau 1 

dd tablet retard 525 mg (Gradumet = 105 mg 

Fe) sesudah makan pagi.

1c. Ferroglukonat: *Sangobion, *Inbion, Losferron

Garam organik ini tidak begitu merangsang 

seperti ferrosulfat. Sering dipakai  dalam 

sediaan kombinasi dengan B12 dan asam folat 

walaupun secara rasional kombinasi ini  

tidak dapat dibenarkan. 

Dosis: oral 2 dd 500 mg (= 55 mg Fe) antara 

jam makan.

1d. Ferri-sorbitolsitrat: Jectofer

Kompleks ini mengandung 14% Fe dan 

distabilkan dengan dekstran. Tidak dapat 

diberikan secara i.v., sebab  kadar Fe bebas 

dalam plasma mudah melampaui kadar 

normal. 

Dosis: i.m.(dalam) 100 mg Fe sehari (= 2 ml 

larutan).

2. Asam folat: vitamin B11, asam pteroilglutamat, acidum folicum

Vitamin dari kelompok B-kompleks (1947) 

ini ada  dalam gandum whole grain dan 

sayuran hijau yang kaya serat gizi (Lat. folium

= daun), antara lain dalam buncis, kacangkacangan dan kelapa, juga dalam daging, 

ikan, hati dan ragi, sedangkan dalam buahbuahan hanya sedikit. Pemanasan yang 

lama bisa merusak sampai 90% kadar folat 

dalam makanan. Dalam bahan-bahan ini, 

folat ada  sebagai senyawa konyugasi 

(poliglutamat), yang di jaringan diuraikan 

kembali oleh enzim.

Fungsi. Dalam hati, asam folat direduksi 

menjadi zat aktifnya THFA (tetrahydrofolic 

acid), suatu ko-enzim yang penting sekali bagi 

sintesis DNA dan RNA serta pembelahan sel. 

Lihat juga Bab 8. Sulfonamida, Mekanisme 

kerja. Oleh sebab  itu sama dengan vitamin 

B12, kekurangan folat dapat mengakibatkan 

anemia primer (megaloblaster). Di negara 

berkembang sering kali ada  pula anemia 

macrositer akibat malnutrisi dengan gejala 

seperti seriawan dan diare lemak.

Kebutuhan tubuh yaitu  50-100 mcg sehari, 

namun  waktu hamil dapat meningkat sampai 

300 mcg atau lebih. Selama kehamilan atau 

laktasi ±50 mcg folat seharinya “hilang”, 

antara lain masuk ke dalam air susu ibu. 

Kekurangan folat selama kehamilan dapat 

menghasilkan bayi dengan cacat spina bifida, 

suatu “neural tube defect”, yaitu adanya celah 

pada tulang belakang sebab  beberapa ruas 

tulang gagal bertaut. 

Defisiensi folat. Kekurangan dapat disebabkan oleh terganggunya absorpsi folat 

dari makanan, lihat di atas. Akibatnya yaitu  

pembentukan sel darah juga terganggu, sehingga timbul anemia primer, sama dengan 

yang diakibatkan oleh defisiensi vitamin B12. 

Perbedaannya yaitu  defisiensi folat: 

– memicu  anemia lebih cepat dibandingkan defisiensi vitamin B12, sebab  

depot asam folat dalam tubuh jauh lebih 

terbatas dan

– tidak memicu  gangguan neurologi 

(pada saraf).

Khasiat. Selain berkhasiat mencegah spina 

bifida pada bayi, asam folat diduga dapat

mencegah PJP, khususnya infark jantung. 

Pada trombosis vena/arteri berulang ada  kadar homosistein dalam darah, yang 

meningkat dan merupakan suatu faktor 

risiko untuk penyakit jantung dan pembuluh 

(trombosis, infark). Asam amino ini terbentuk sebagai produk-antara pada reaksi pengubahan metionin menjadi sistein, sebagai 

berikut:

metionin ——> homosistein ——> sistein

Asam folat dan juga vitamin B6 dan B12,

menurunkan kadar homosistein dan dengan 

demikian meniadakan faktor risiko ini  

(3). Lihat juga Bab 37, Obat-obat jantung dan 

pembuluh, faktor risiko.

Asam folat diperkirakan dapat melindungi 

terhadap kanker usus besar. Dahulu para 

ahli berpendapat bahwa perlindungan terhadap kanker ini  yaitu  berkat kadar 

serat dalam makanan, namun  kini ada  indikasi bahwa mungkin asam folat berperan 

atas efek ini.

pemakaian  yang terpenting yaitu  preventif untuk memperkecil risiko spina bifida dan untuk terapi anemia megalositer 

serta makrositer, juga terhadap kadar homosistein yang meningkat. Sama seperti terapi 

dengan vitamin B12, pemakaian nya yang 

efektif tergantung pada diagnosis yang tepat dan pengertian mengenai mekanisme 

penyakitnya. 

a. Profilaksis selama kehamilan. Sejak awal tahun 1990-an, asam folat 0,5 mg dianjurkan pada wanita yang ingin hamil dan 

selama kehamilan sampai minggu kedelapan 

untuk memperkecil risiko spina bifida. Di 

banyak negara Barat, folat dibubuhi pada 

makanan dasar, seperti produk makanan 

pagi (cereals), susu dan roti. Bahkan di AS, 

sejak 1 Januari 1998, tepung roti diwajibkan 

diperkaya dengan folat, yang mungkin sekali 

akan disusul oleh Inggris. Di samping itu, 

“perkayaan” ini  juga dianjurkan untuk 

besi dan vitamin lain, untuk mencegah antara 

lain timbulnya anemia ferriprive.

b. Terapi anemia megaloblaster akibat defisiensi folat. Sama dengan defisiensi vitamin 

B12, setiap penderita defisiensi asam folat dan 

anemia megaloblaster harus diteliti dengan 

saksama mengenai pemicu nya . Pada pengobatan ini, perlu diperhatikan beberapa 

faktor, yaitu:

– terapi harus sespesifik mungkin. pemakaian  

sediaan multi-vitamin harus dihindari, 

kecuali bila diperkirakan adanya defisiensi dari beberapa vitamin sekaligus 

– salah pengobatan anemia akibat B12. Pemberian folat dalam jumlah besar pada 

anemia megaloblaster akibat defisiensi 

vitamin B12 dapat seolah-olah menyembuhkannya. Akan namun  tidak menghindari atau menghilangkan defek neurologiks akibat kekurangan vitamin B12 yang 

dapat berkembang terus dan menjadi 

irreversibel. Umumnya dianggap bahwa 

penambahan folat pada terapi dengan B12

tidak ada manfaatnya

– salah-pengobatan pada anemia perniciosa,

sebab  meskipun berdaya memperbaiki 

kelainan darah, namun memperburuk 

atau memicu  gejala neurologiknya 

c. Pada anemia makrositer (eritrosit membesar) selama terapi rematik dengan antagonis folat (metotreksat) untuk mengurangi 

efek toksiknya. Begitu pula pada terapi malaria dengan pirimetamin.

Resorpsi dari usus lancar dan segera diubah 

enzimatik menjadi zat aktif 5-metil-THFA,

yang diangkut ke jaringan. Pengubahan ini 

pada dosis di bawah 1 mg praktis lengkap, 

namun  pada dosis tinggi hanya sedikit. Terikat 

kuat pada protein plasma; ekskresinya 

melalui urin.

Efek samping jarang terjadi dan berupa reaksi alergi (demam, ruam kulit). Dosis tinggi 

dapat memicu  gangguan lambungusus, sukar tidur, iritasi dan aktivitas berlebihan.

Dosis: anemia megaloblaster permulaan 

1-2 dd 0,5 mg, pemeliharaan 1 dd 0,1-0,5 mg. 

Untuk memperkecil risiko spina bifida 0,5 mg 

dimulai minimal 4 minggu sebelum pembuahan 

(konsepsi) sampai dengan minggu ke-8 dari kehamilan. 

* Asam folinat (acidum folinicum, citrovorumfactor, Rescuvolin)

Zat ini yaitu  derivat formil dan metabolit 

dari asam folat, yang merupakan campuran 

rasemis (1950). Hanya bentuk levonya yang 

aktif. pemakaian nya selama terapi MTX 

dan fluor-urasil dalam dosis tinggi dapat mengurangi efek samping dan memperkuat 

efeknya. Juga pada anemia megaloblaster 

akibat defisiensi folat, namun  untuk ini penggunaannya tidak lebih menguntungkan 

dibandingkan dengan asam folat, sebab  

reduksinya menjadi THFA tidak terhambat. 

sesudah  diserap, asam ini segera diubah 

menjadi zat aktif 5-metil-THFA pula dengan 

plasma-t½ rata-rata 6,5 jam. 

Dosis: sebagai antidotum pada overdosis

antagonis folat (rescue therapy) i.v. atau oral 4 

dd 15 mg selama 2-3 hari (garam Ca).

3. Sianokobalamin: vitamin B12, extrinsic factor

Vitamin B12 yaitu  nama umum untuk 

se-jumlah senyawa yang memiliki efek biologis dari sianokobalamin. Di alam dan 

dalam tubuh vitamin B12 ada  terutama 

sebagai hidroksokobalamin dan adenosilkobalamin dan sedikit sebagai metilkobalamin. Semua zat ini mudah larut dalam air. 

Vitamin B12 (1950) memiliki struktur yang 

mirip porfirin dengan 8 cincin (termasuk 4 

cincin pyrrol), yang saling terikat dengan 

atom kobal di pusatnya. (Lihat rumus 

bangun). Pada atom Co ini terikat gugusan 

-CN, -OH dan -CH3 pada masing-masing 

siano-, hidrokso- dan metilkobalamin. 

Vitamin B12 ada  dalam makanan hewani 

(daging, ikan, hati, telur, susu) dalam 

bentuk suatu kompleks protein, namun  tidak 

ada  dalam tumbuhan. Tahan terhadap 

pemasakan dan kini diperoleh dari biakan 

Streptomyces. 

Fungsinya. Vitamin B12 memegang peranan penting sebagai ko-enzim pada sintesis 

asam inti (nukleat, DNA/RNA), juga pada 

pembelahan sel yang terutama memengaruhi 

jaringan yang tumbuh pesat. Misalnya sistem 

haemopoiëtik (pembentukan darah) yang 

sangat peka terhadap kekurangan vitamin B12 

dan folat. 

Kebutuhan. Tubuh mengandung ±2,5 mg 

B12 dengan 60% ada  dalam hati. Kebutuhan sehari pada orang sehat yaitu  2-5 

mcg, minimal diperkirakan 1-2 mcg. Dari 

diet sehari-hari yang rata-rata mengandung 

5-30 mcg vitamin B12, hanya 2-3 mcg diserap 

oleh tubuh. Selama kehamilan dan laktasi, 

kebutuhan ini meningkat sampai masingmasing 3 dan 3,5 mcg. RDA dewasa yaitu  

2,5 mcg/hari. 

Defisiensi sangat jarang terjadi dan dapat disebabkan oleh diet yang miskin B12

(vegetarir), atau resorpsi terganggu akibat 

berbagai sebab, antara lain sebab  kekurangan sekresi intrinsic factor dalam getah lambung (lihat di bawah Resorpsi). Defisiensi 

pertama-tama nampak sebagai anemia primer dengan terbentuknya eritrosit abnormal 

dan penderita menjadi sangat anemis 

(pernicious anemia).

pemakaian  khusus pada defisiensi B12 setelah diadakan diagnosis yang cermat dan 

saksama, misalnya pada anemia perniciosa. 

Juga untuk mencegah anemia primer pada 

keadaan malabsorpsi, antara lain sesudah  resectio lambung (gastrectomi), atau pada vegetarir.

Pada anemia yang belum didiagnosis 

dengan pasti tidak dianjurkan pemberian 

asam folat bersamaan, sebab  asam ini dapat 

menyelubungi diagnosis anemia perniciosa. 

Dalam dosis oral tinggi sekali (1000 mcg), B12

dapat diserap sebanyak 1,2% tanpa adanya 

intrinsic factor.

Gangguan psikis pada lansia sering kali 

dapat ditangani secara efektif dengan vitamin B12, dengan perbaikan gejala depresi, 

apati dan lemah ingatan. Begitu pula pada 

perkiraan adanya anemia makrositer

(dengan eritrosit besar) atau gangguan saraf

yang tidak jelas pemicu nya .

Vitamin B12 terutama dipakai  sebagai 

injeksi, sebab  peroral efeknya tidak tetap, 

juga tidak bila dikombinasi dengan intrinsic 

factor (serbuk pylorus). pemakaian nya kini 

sudah banyak berkurang, sebab  hidroksokobalamin lebih menguntungkan. 

Untuk pemakaian  yang efektif hendaknya 

diperhatikan prinsip bahwa terapi harus sespesifik mungkin. Diterapkannya terapi vitamin “shotgun” pada defisiensi vitamin B12

dengan sediaan multivitamin dapat membahayakan. Ada kemungkinan bahwa asam 

folat diberikan sekian banyaknya, sehingga berefek perbaikan hematologik, namun  

defisiensi vitamin B12 diselubungi dan berlangsung terus. Keadaan demikian dapat 

mengakibatkan berkembangnya atau berlanjutnya kerusakan saraf.

Resorpsinya sangat rumit. Dalam lambung 

vitamin ini diikat pada suatu protein menjadi 

kompleks, yang dipecah lagi oleh enzim 

pankreas. Untuk transpor dan absorpsi yang 

sempurna, vitamin B12 perlu diikat pada 

intrinsic factor (IF) (Castle, 1953). IF ini adalah suatu glikoprotein (dengan BM > 44.000), 

yang disekresi bersama ion hidrogen (H+) 

oleh sel parietal lambung. Langkanya unsur 

ini dapat disebabkan oleh atrofia selaput 

lendir lambung atau sebab  pembedahan (2-3 

tahun sesudah  reseksi). 

Dalam ileum IF dilepaskan, lalu B12 diserap 

secara aktif oleh mukosa, padamana ion Ca 

dan lingkungan netral memegang peranan. Dalam darah, B12 terikat pada protein pembawa transkobalamin dan diangkut ke ginjal, 

hipofisis, jaringan dan terutama ke hati, di 

mana ±90% ditimbun (1-10 mg). Persediaan 

ini mampu menampung kegagalan absorpsi 

selama lebih dari 2 tahun sebelum gejala 

defisiensi nampak, sebab  kehilangan sehariharinya yaitu  kecil (1-2 mikrogram). Dari 

hati, vitamin B12 secara bertahap dilepaskan 

kembali ke dalam darah sesuai kebutuhan 

untuk pembentukan eritrosit. Biotransformasi 

praktis tidak terjadi; ekskresinya berlangsung 

melalui urin dan empedu; di ileum zat ini 

diserap kembali sesudah terikat pada intrinsic 

factor. berdasar  siklus enterohepatik ini, 

plasma-t½-nya panjang, ±12 bulan. 

Efek samping dapat berupa reaksi alergi terhadap kobal, antara lain eksem dan eksantem.

Dosis: pada defisiensi i.m. 0,5-1 mg seminggu, pemeliharaan 1 mg setiap 2 bulan. 

Pada gejala neurologik 1-2x seminggu 0,5-1 

mg, pemeliharaan 1 mg sebulan. Oral: 2-3 dd 

1 mg, profilaktis dalam sediaan multivitamin 

1-10 mcg/hari.

* Hidroksokobalamin: hidrokobamin

Derivat hidroksi ini (1962) lebih lambat 

resorpsi dan ekskresinya, sebab  lebih kuat 

terikat pada protein darah, sehingga kerjanya 

pun lebih lama. Pada pemakaian  parenteral 

menunjukkan puncak plasma yang lebih 

tinggi daripada sianokobalamin. Oleh sebab  

itu, praktis sudah mendesak sianokobalamin. 

Dosis: pada defisiensi i.m. atau s.k. 2 x seminggu 1 mg selama 5 minggu, lalu 1 mg 

setiap 2 bulan. Oral 1-3 mg sehari.

* Cobamamide (dibencozide, *Superton) yaitu  

metabolit aktif dari vitamin B12 yang bekerja 

sebagai ko-enzim. Ko-enzim yaitu  bagian 

non-protein dari suatu enzim yang berfungsi 

sebagai aktivator, lihat Bab 53. Vitamin.

Dosis: oromukosal 1500 mg dalam 1-2 dosis.

4. Epoetin alfa (Epogen, Procrit, Binocrit, 

Eprex) yaitu  glikoprotein dengan 165 

asam amino dan berat mollekul 30.400 

Dalton. Dibuat dalam kultur sel dengan 

memakai  teknologi DNA rekombinan. 

Memiliki efek imunologik dan biologik sama 

dengan eritropoietin endogen/human dan 

dipakai  untuk pengobatan anemia pada 

penderita gangguan ginjal kronis, pasien HIV 

dan penderita kanker.

Eritropoietin yaitu  suatu glikoprotein 

yang terutama dibentuk dalam ginjal dan 

merangsang produksi sel-sel darah merah 

(eritropoese). Jumlahnya menurun pada keadaan gagal ginjal atau pemakaian  obatobat tertentu, misalnya zidovudin (HIV) dan 

kemoterapi pada kanker. T½ i.v. 4 jam dan s.k. 

24 jam.

Efek samping yang tersering yaitu  hipertensi, sakit kepala, tachycardia, mual/muntah, pendek napas, hiperkalemia dan diare. 

Juga kemungkinan potensial untuk imunogenetik seperti lazimnya dengan proteinprotein terapeutik.

Dosis: permulaan bagi pasien gagal ginjal 3 

kali per minggu 50-100 unit/kg s.k. atau i.v.

5. Darbepoetin (Aranesp, Amgen)

Faktor pertumbuhan hematopoetik ini 

juga dipakai  bagi penderita anemia akibat gagal ginjal kronis. T½ s.k. 73 jam dan 

i.v. 21 jam.Dibandingkan dengan epoetin 

fekuensi dosisya lebih rendah sebab  waktu 

eliminasinya dari tubuh lebih lama. 

Efek samping: sangat sering hipertensi, 

udema dan alergi; juga sering kali gangguan 

kulit eritema, CVA dan tromboemboli.

Dosis: tergantung dari hasil monitoring 

kadar Hb dan diberikan perlahan-lahan 

melalui injeksi s.k. atau i.v.




SALURAN 

PERNAPASAN




Dalam seksi ini akan dibahas dua bab mengenai penyakit-penyakit saluran pernapasan, yang bersama dengan penyakit infeksi 

menempati posisi teratas dalam urutan/pola 

penyakit di negara kita .

Bab 40 akan membahas gangguan-gangguan 

yang dahulu dinamakan CARA (Chronic 

Aspecific Respiratory Affections). CARA mencakup antara lain asma yang berlatar belakang 

sebab-sebab alergis maupun non-alergis, 

juga bronkitis yang umumnya disebabkan 

oleh infeksi bakteri. Dewasa ini istilah CARA 

sudah dibagi menjadi Asma dan COPD 

(Chronic Obstructive Pulmonary Diseases). Bab 

41 akan menelaah fisiologi batuk dan menginventarisasikan jenis-jenis obat batuk yang 

sangat banyak ragamnya dan dipakai  

terhadap batuk yang produktif maupun nonproduktif.






OBAT ASMA DAN COPD

Istilah CARA atau Chronic Aspecific Respiratory 

Affections mencakup semua penyakit saluran 

pernapasan yang bercirikan penyumbatan 

(obstruksi) bronchi disertai pengembangan 

mukosa (udema) dan sekresi dahak (sputum)

berlebihan. Penyakit-penyakit ini  meliputi berbagai bentuk penyakit beserta 

peralihannya, yaitu asma, bronchitis kronis 

dan emfisema paru yang gejala kliniknya 

dapat saling menutupi (overlapping). Gejala 

terpentingnya a.l. sesak napas (dyspnoe) saat 

mengeluarkan tenaga atau selama istirahat 

dan/atau sebagai serangan akut, juga batuk kronis dengan pengeluaran dahak kental. sebab  gangguan ini  memiliki 

mekanisme pathofisiologi yang berbedabeda dengan penanganan yang juga tidak 

sama, maka pada umumnya telah dilakukan 

pemisahan antara asma dan bronchitis kronis + emfisema, yang kini dinamakan COPD

(Chronic Obstructive Pulmonary Diseases). Istilah ini selanjutnya akan dipakai  dalam 

uraian bab ini. (Barnes, 2008b)39

Walaupun dalam praktik diferensiasi ini 

sering kali tidak mudah dilakukan, namun 

sebetulnya memiliki konsekuensi langsung 

dan esensial untuk cara pengobatan dari 

kedua kelompok penyakit ini. Per definisi 

asma yaitu  steroidresponsif, artinya dapat 

ditangani dengan terapi kortison, terutama 

sebab  dasar dari penyakit ini yaitu  proses 

peradangan eosinofil. namun  sebaliknya beberapa penelitian jangka waktu panjang 

menunjukkan bahwa pemakaian  steroid 

inhalasi pada COPD tidak memengaruhi 

fungsi paru.21-25, walaupun jangka waktu 

pemburukkan dari gejalanya (exacerbatio)

dapat berkurang.33 Lihat selanjutnya pada 

pembahasan obat kortikosteroida inhalasi 

(ICS).

Obstruksi bronchi (Lat. obstructio = penyumbatan).

Penyumbatan bronchi dengan sesak napas, 

yang merupakan sebab utama asma dan 

COPD, diperkirakan dapat terjadi menurut 

mekanisme berikut, yaitu berdasar  hiperreaktivitas bronchi (HRB), reaksi alergi atau 

infeksi saluran pernapasan.

a. Hiperreaktivitas bronchi (HRB) Pada 

semua penderita asma dan COPD ada  hiperreaktivitas bronchi. HRB yaitu  

meningkatnya kepekaan bronchi, dibandingkan saluran pernapasan normal, terhadap 

zat-zat merangsang tak-spesifik yang dihisap 

dari udara. Sebagian penderita asma juga 

mengidap kepekaan berlebihan terhadap 

stimuli/rangsangan spesifik yang pada 

orang sehat tidak memberikan reaksi. HRB 

aspesifik selalu timbul bersamaan dengan 

reaksi peradangan di saluran pernapasan.

* Stimuli. Ada beberapa jenis stimuli, yaitu 

rangsangan fisis (perubahan suhu, dingin 

dan kabut), rangsangan kimiawi (polusi 

udara: gas-gas pembuang, sulfurdioksida, 

ozon, asap rokok), rangsangan fisik (exertion, 

hiperventilasi) dan rangsanganpsikis (emosi 

dan stress). Juga rangsangan farmakologik 

(histamin, serotonin, asetilkolin, beta-blocker, 

asetosal dan NSAIDs lainnya), termasuk 

obat-obat yang dapat membebaskan histamin 

(histamin liberators), seperti morfin, kodein, 

klordiazepoksida dan polimiksin. Akibat 

stimuli ini terhadap reseptor sensoris di 

selaput lendir dan otot, serta/atau stimulasi 

dari sistem kolinergik, maka terjadilah suatu 

reaksi kejang dengan obstruksi umum pada 

saluran pernapasan. 

b. Alergi. Pada sebagian pasien asma, di 

samping HRB aspesifik, juga ada  alergi.

Dengan ini dimaksudkan bakat keturunan untuk membentuk antibodies terhadap 

antigen (alergen) tertentu yang memasuki tubuh. Antibodies ini dari tipe IgE

(imunoglobulin type E) juga disebut reagin, mengikat diri pada mastcells a.l. di saluran pernapasan, mata dan hidung. Bilamana jumlah IgE sudah cukup besar, maka 

pada waktu alergen yang identik masuk 

lagi ke dalam tubuh, terjadilah penggabungan antigen-antibody. Mastcells pecah 

(degranulasi) dan segera melepaskan mediatornya, a.l. histamin. Akibatnya yaitu  

bronchokonstriksi (bronchospasm) dengan pengembangan mukosa (udema) dan hipersekresi dahak/mucus, yang merupakan gejala 

khas serangan asma. 

Bila pelepasan mediator ini  di atas 

bukannya setempat namun  menyeluruh (general release), maka dapat timbul anaphylaxis, 

suatu reaksi hebat yang dapat mengancam 

jiwa, misalnya sebab  sengatan tawon, injeksi penisilin (anaphylactic shock). Pada keadaan demikian perlu segera diberikan injeksi 

adrenalin i.m. yang diulang tiap 5 menit 

sampai ada perbaikan tekanan darah dan 

detak nadi. Di samping pemberian oksigen 

juga suatu antihistaminikum (klorfeniramin) 

dapat diberikan i.v. Pada anafilaksis parah 

atau yang berulang kali, diberikan injeksi 

hidrokortison i.m. atau i.v.

* Alergen inhalasi yang masuk ke tubuh 

lewat pernapasan merupakan penyebab utama reaksi alergi ini  di atas. Penderita 

asma menunjukkan kepekaan berlebihan 

terhadap terutama debu rumah, yang mengandung a.l. tungau (housedust mite) dan 

sisik/bulu binatang piaraan (animal danders), 

begitu pula terhadap sari bunga (pollen) 

berbagai tumbuhan dan pohon, jenis tepung 

dan jamur.

* Alergen oral dan lokal dikenal pula, yang 

memasuki tubuh melalui mulut atau kulit. 

Banyak bahan makanan mengandung alergen dan juga obat-obat tertentu atau metabolitnya dapat memicu  reaksi alergi. 

Lihat selanjutnya Bab 51, Anti-histaminika, 

Reaksi alergi.

c. Infeksi saluran pernapasan dapat menyebabkan gejala radang dengan perubahan 

di selaput lendir, yang pada pasien asma 

dan COPD memperkuat HRB dan bronchokonstriksi serta mempermudah penetrasi 

alergen. Akhirnya dapat terjadi suatu lingkaran setan dengan infeksi yang selalu 

kambuh akibat obstruksi bronchi, yang 

memudahkan infeksi ini .

1. ASMA (asthma

bronchiale) 

Asma atau bengek yaitu  suatu penyakit 

alergi yang bericirikan peradangan steril kronis

dari alat pernapasan, yang khas ditandai oleh 

aktivasi mastcells, infiltrasi dari eosinofil dan 

T helper 2 (TH2) limfosit. (Barnes, 2008b)39. 

Mastcells yang diaktivasi oleh alergen dan 

rangsangan fisik melepaskan mediator penyempit bronchus seperti histamin, leukotrien D4

 dan prostaglandin D2.

Peningkatan jumlah mastcel dalam otot 

alat pernapasan merupakan ciri khas dari 

asma.

Peradangan kronis dapat mengakibatkan 

perubahan struktural dari jaringan saluran 

pernapasan a.l. meningkatnya jumlah sel otot 

licin, saluran darah dan sel-sel pembentuk 

mukus.

Biasanya penyakit ini timbul pada waktu 

anak-anak, kemudian bisa menghilang menjelang dewasa untuk timbul kembali pada 

usia dewasa. Secara khas gangguan ini memperlihatkan respons pengobatan yang baik 

terhadap senyawa kortikosteroid dan obat 

bronchodilator.

Penyakit ini disertai serangan sesak napas 

akut secara berkala, mudah tersengal-sengal 

dan batuk (dengan bunyi khas). Ciri lain 

yaitu  hipersekresi dahak yang biasanya 

lebih parah pada malam hari dan meningkatnya ambang rangsang (hiperreaktivitas) 

bronchi terhadap rangsangan alergik maupun non-alergik. Faktorfaktor genetik bersama faktor lingkungan berperan pada 

timbulnya gejala-gejala ini .

Pada umumnya penyakit asma (ringan) ini 

stabil, namun  asma yang parah sudah timbu

sejak awal dan lebih memperlihatkan gejala 

COPD serta kurang memberikan respons 

terhadap pengobatan dengan kortikosteroida 

(Wenzel and Busse, 2007)40.

Berlainan dengan COPD, obstruksi saluran 

napas pada asma umumnya bersifat reversibel 

dan serangan biasanya berlangsung beberapa 

menit sampai beberapa jam. Di antara dua 

serangan, pasien tidak menunjukkan gejala 

apa pun. 

Status asthmaticus yaitu  serangan asma 

hebat dengan penciutan bronchi lebih kuat 

dan bertahan abnormal lama (sampai lebih 

dari 24 jam). Ciri-ciri lainnya yaitu  tachycardia dan tak bisa berbicara lancar (tersendatsendat) akibat napas tersengal-sengal.

Asma alergik pada umumnya sudah dimulai 

sejak masa kanak-kanak dan didahului oleh 

gejala alergi lain, khususnya eksem. Faktor 

keturunan dan resam (konstitusi) tubuh memegang peranan penting pada terjadinya 

jenis asma ini. Eksem ini umumnya membaik 

sesudah  anak-anak mencapai usia remaja,

namun  acapkali kambuh kembali pada usia 

20-40 tahun, sebab  peradangan dari saluran 

pernapasan tetap bertahan walaupun tanpa 

gejala.

Pasien asma memiliki kepekaan terhadap 

infeksi saluran pernapasan dan kebanyakan 

terhadap virus. Akibatnya yaitu  peradangan 

bronchi yang juga dapat memicu  serangan asma. Bronchitis asmatik demikian 

biasanya menyerang manula. 

Penyebab

Serangan asma disebabkan oleh peradangan 

steril kronis dari saluran pernapasan dengan 

mastcells dan granulosit eosinofi l sebagai pemeran penting. Pada orang-orang yang peka 

terjadi obstruksi saluran pernapasan yang 

difus dan reversibel. Di samping itu juga 

ada  hiperreaktivitas bronchi terhadap berbagai stimuli (a)spesifi k yang dapat 

memicu serangan. Stimuli terkenal yaitu  

zat-zat alergen, terutama partikel-partikel 

tinja dari tungau, pollen, spora jamur (Aspergillus fumigatus), zat-zat perangsang (a.l. asap

dan SO2 dari polusi kendaraan, asap rokok, 

uap, debu). Begitupula hawa dingin (kering), 

emosi, kelelahan dan infeksi virus (mis. 

rhinovirus, virus parainfluenza), juga obatobat tertentu (asetosal, β-blocker, NSAIDs).

Pada serangan yang hebat penyaluran 

udara dan oksigen ke darah menjadi sedemikian lemah, sehingga penderita membiru 

kulitnya (cyanosis). Sebaliknya, pengeluaran 

napas dipersulit dengan meningkatnya kadar CO2

 dalam darah, yang memperkuat 

perasaan terengah-engah dan kecemasan. 

Kontak dengan zat-zat tertentu (mis. bahanbahan kimia) di lingkungan pekerjaan 

(industri) dapat memicu timbulnya asma 

yang berkaitan dengan pekerjaan (occupational asthma). Hal ini disebabkan sebab  zatzat ini  dapat memicu  antibodies 

IgE spesifik. 

* Peranan lekosit. Di membran mukosa saluran pernapasan dan alveoli ada  banyak 

makrofag dan limfosit. Makrofag berperan 

penting pada pengikatan pertama alergen 

dan ‘penyajiannya’ kepada limfosit (lihat Bab 

49, Dasar-dasar Imunologi). Makrofag juga 

dapat melepaskan mediator peradangan, seperti prostaglandin, tromboksan, leukotriën 

dan PAF (platelet activating factor). T-helper 

cells (melepaskan sitokinnya, a.l. interleukin 

IL-3 dan IL-5, yang mungkin berperan CD4+) 

penting pada migrasi dan aktivasi mastcells 

dan granulosit. Lagipula IL-4 mendorong 

limfosit-B untuk membentuk IgE. Aktivitas 

makrofag dan limfosit ini  dihambat oleh 

kortikosteroida, namun  tidak oleh adrenergika. 

* Mastcells. Pada penderita asma, mastcells 

bertambah banyak di sel-sel epitel serta mukosa dan melepaskan mediator vasoaktif 

kuat pula, seperti histamin, serotonin dan bradikinin, yang mencetuskan reaksi asma akut. 

Prostaglandin dan leukotriën mulai dibentuk 

untuk dilepaskan kemudian. Diperkirakan 

bahwa mastcells juga dapat didegranulasi 

oleh rangsangan aspesifik, misalnya pada 

waktu hawa dingin pelat darah bisa menggumpal yang berakibat terbentuknya IgE 

(atau IgM). 

Mediator (zat perantara) yang berkhasiat 

vasokonstriktif terhadap otot polos selain 

prostaglandin, tromboksan dan leukotriën, juga 

mencakup neuropeptida dan PAF. LTB4 dan 

PAF dapat menstimulasi chemotaxis, artinya 

dapat menarik granulosit ke tempat peradangan. Senyawa ini memegang peranan 

penting pada proses pathogenesis asma, 

yang mekanisme eksaknya belum diketahui.

Diagnosis. Pada gangguan asma HRB berperan sentral, sehingga suatu ukuran bagi HR 

yang meningkat yaitu  variabilitas dari nilai

PEF(peak expiratory flow). Untuk menentukan 

PEF dipakai  suatu tabung khusus dengan 

diameter ±4 cm berskala yang berisi suatu 

pelocok (serupa piston yang bergerak keluar 

masuk). Pasien meniup ke dalam tabung 

hingga pelocok didorong ke depan dan lalu 

pada dinding tabung dapat dibaca volume 

embusan napasnya. Pada asma ringan, variabilitas PEF yaitu  <20%, sedangkan asma 

berat menunjukkan nilai sampai 30%.

Penanganan

Tindakan umum. Tujuan utama yaitu  mencegah reaksi antigen-antibody serta serangan asma dan menurunkan HRB dengan menghilangkan faktor pemicu. Asma menekan dan 

memperlambat pertumbuhan, maka penanganannya pada anak-anak juga dimaksudkan agar anak bertumbuh normal.

Tindakan yang dapat diambil berupa 

menjauhi sebanyak mungkin faktor pemicu 

serangan (sanitasi), berhenti merokok, hiposensibilisasi, latihan fisioterapi, mengurangi 

kepekaan terhadap alergen eksogen dan prevensi infeksi virus atau bakteri.

Begitupula dengan obat-obat profilaksis 

kromoglikat dan nedokromil, antihistaminika (ketotifen dan oksatomida) serta kortikosteroida. 

* Sanitasi, yaitu menyingkirkan semua rangsangan luar, terutama hewan piaraan (burung, 

anjing, kucing, kelinci) dan debu rumah. 

Rumah harus dibersihkan setiap hari dengan 

saksama, terutama kasur, sprei dan selimut 

yang biasanya penuh dengan tungau (housedust mite). Reduksi dari alergen juga dapat 

dicapai dengan penyaringan udara. Begitu 

pula faktor aspesifik, seperti perubahan suhu, 

hawa dingin, asap dan kabut harus dihindari, 

juga obat pembebas histamin.

* Berhenti merokok, sebab  asap rokok (merokok aktif maupun pasif) dapat memicu  bronchokonstriksi dan memperburuk asma, terutama pada anak-anak.30 Perlu 

pula menghindari zat-zat lain yang dapat 

merangsang saluran pernapasan. 

* Fisioterapi: menepuk-nepuk bagian dada 

(tapotage) untuk mempermudah pengeluaran dahak (ekspektorasi) dan juga latihan pernapasan serta relaksasi. Usaha ini terutama 

bermanfaat bagi anak-anak.

* Hiposensibilisasi dilakukan bila kontak 

dengan alergen, seperti pollen dan sisik/bulu 

binatang (danders), tidak dapat dihindari. 

Untuk mengurangi hipersensitasi terhadap 

alergen ini , pasien diberi sejumah injeksi dengan ekstrak alergen dalam kadar 

meningkat. Imunoglobulin yang terbentuk 

(terutama IgG dan IgA) akan mengikat alergen baru, sehingga reaksi antara alergen dan 

IgE tidak terjadi. Terapi ini paling efektif pada 

alergi terhadap pollen rumput-rumputan 

(Pollinex), lihat juga Bab 51. Antihistaminika. 

* Prevensi infeksi viral, misalnya dengan 

jalan vaksinasi (influenza) atau memakai  

obat-obat yang dapat meningkatkan ketahanan tubuh, seperti tingtur Echinacea.

* Prevensi infeksi bakteriil dapat dilakukan 

pada pasien asma (dan bronchitis), namun  tidak 

berguna terhadap infeksi virus. Umumnya 

diberikan amoksisilin atau doksisiklin selama 

10-14 hari. 

* Prevensi prenatal. Ibu yang sedang mengandung perlu menghindari zat-zat pemicu 

alergi, makanan tertentu dan asap rokok (aktif 

maupun pasif) yang dapat memengaruhi janin. Pemberian ASI pada bayi menurunkan 

risiko terhadap asma dan ekzem, terutama 

pada anak-anak dari keluarga yang memiliki 

riwayat alergi.31

Pengobatan

Pengobatan asma dan bronchitis dapat dibagi atas terapi serangan akut dan terapi pemeliharaan untuk mencegah serangan atau 

memburuknya penyakit.

1. Serangan asma akut biasanya dapat dihentikan dengan suatu bronchospasmolitikum

untuk membebaskan kejang bronchi. Pilihan 

pertama yaitu  suatu β2

-mimetikum (β2

-

agonis) per inhalasi, misalnya salbutamol

atau terbutalin dengan efek cepat (sesudah 

3-5 menit). Bila perlu dibantu dengan suppositoria aminofilin. Obat yang tak-selektif, 

seperti efedrin dan isoprenalin, dapat pula 

diberikan sebagai tablet, namun  efeknya baru 

nampak sesudah lebih kurang 1 jam. Bila 

sesudah 15 menit belum menghasilkan efek, 

inhalasi dapat diulang sekali lagi. Jika juga 

tidak memberikan efek, pasien perlu diberi 

obat secara injeksi intravena: aminofilin dan/

atau salbutamol. Pada serangan hebat, sering kali ditambahkan hidrokortison atau 

prednison i.v.

Sebagai tindakan terakhir dapat diinjeksikan adrenalin, yang dapat diulang 2 kali 

dalam waktu satu jam.

*Status asthmaticus. Merupakan serangan 

asma akut dan hebat yang bisa bertahan 

lama sekali. Efek suatu bronchodilator pada 

keadaan ini hanya kecil dan lambat, yang 

disebabkan oleh blokade reseptor-beta sebagai akibat umum dari suatu infeksi saluran 

pernapasan. Keadaan demikian perlu diobati secara khusus di rumah sakit dengan 

pemberian oksigen dan minum banyak air, 

hidrokortison i.v. dan bila perlu bikarbonat. 

Lazimnya pasien diberi injeksi i.v. dengan 

salbutamol dan/atau aminofilin serta hidrokortison dalam dosis besar (yang diperkirakan lebih cepat kerjanya daripada prednison). Perlu juga diambil tindakan-tindakan tambahan lainnya untuk melawan 

efek samping dari status asthmaticus. Pada 

serangan yang tidak dapat dihentikan dengan 

injeksi adrenalin sebagai tindakan terakhir 

(ultimum remedium) umumnya injeksi i.v. 

dengan novocain 2% (atau lidocain) efektif. 

Ref.: Visser J., Ned Tijdschr Geneeskd 2006; 

150: 1041

Terapi pemeliharaan

Pengobatan pemeliharaan pada umumnya 

dilakukan secara bertingkat, berdasar  

prinsip (baru) bahwa asma yaitu  suatu pe-


nyakit peradangan, maka obat antiradang perlu dipakai  sedini mungkin. Di samping 

itu, pemakaian  bronchodilator hendaknya 

dibatasi pada terapi serangan dan/atau dalam kombinasi dengan obat antiradang. Dalam garis besar sering kali ditempuh urutan 

sebagai berikut.

a. Asma ringan (serangan < 1x sebulan) dapat - 

bila perlu - diobati dengan suatu β2

-mimetikum yang bekerja singkat sebagai monoterapi, misalnya salbutamol atau terbutalin (1-2 inhalasi/minggu);

b. Asma sedang (serangan 1-4x sebulan) perlu diobati dengan obat yang menekan 

peradangan di saluran pernapasan, yaitu 

kortikosteroida-inhalasi, seperti beklometason, flutikason atau budesonida dalam dosis rendah (200-800 mcg/hari). Bila perlu dikombinasi dengan salbutamol atau 

terbutalin sampai 3-4 inhalasi/hari atau 

dengan obat pencegah kromoglikat dan 

nedokromil, juga per inhalasi. Untuk anakanak dengan asma yang bercirikan alergi dapat diberikan per oral ketotifen atau

oksatomida, yang juga berkhasiat mencegah degranulasi mastcells. 

c. Asma agak serius (serangan > 1-2 x seminggu) dapat ditanggulangi oleh kortikosteroida dengan dosis lebih tinggi 

(800-1200 mcg/hari) dan dikombinasi 

dengan β2

-mimetika