Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menyerang kulit, selaput
lendir, saluran pernafasan dan disebabkan oleh bakteri tahan asam
Mycobacterium leprae. Pendekatan Daya Kasih Kristus merupakan kemampuan
setiap orang untuk memancarkan Kasih dalam kehidupan sehari-hari khususnya
bagi penderita kusta. Untuk menganalisis morfologi dari Mycobacterium leprae
dan pendekatan daya kasih Kristus pada penderita Morbus hansen di Panti
Rehabilitasi kusta Gema Kasih Galang. Rancangan penelitian bersifat deskriptif
dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan April- Mei
dengan jumlah sampel 19 dengan teknik pengambilan sampel total sampling.
Analisa data yang digunakan analisa Univariat. Hasil penelitian ditemukan 9
sampel positif (47,4%) terdapat Mycobacterium leprae dengan morfologi
berbentuk basil, bersifat gram positif dan memiliki indeks bakteri+1 sebanyak sampel (26,3%), indeks bakteri +3 sebanyak 4 sampel (21,1%). Sedangkan 10
sampel lain nya (52,6%), tidak ditemukan adanya Mycobacterium leprae.
Pendekatan Daya Kasih kristus yang dirasakan 19 responden di Panti
Rehabilitasi kusta Gema Kasih Galang berada dalam kategori baik. Morfologi
dari Mycobacterium leprae pada penderita Morbus hansen berbentuk basil,
bersifat gram positif dan memiliki indeks bakteri 0, +1 dan +3 Serta penderita
Morbus hansen sudah merasakan daya kasih Kristus dalam kehidupan seharihari.
Morbus hansen atau penyakit
kusta adalah penyakit yang
menyerang kulit menyebabkan luka
pada kulit; sistem saraf perifer yang
menyebabkan kerusakan saraf,
melemahnya otot dan mati rasa;
selaput lendir pada saluran
pernapasan atas serta mata
Penemuan Mycobacterium
leprae membuktikan bahwa Morbus
hansen disebabkan oleh kuman
bakteri. Mycobacterium leprae
hidup di makrofag dan sel Schwann,
tumbuh pada jaringan bersuhu
dingin seperti kulit, mu kosa
hidung, dan saraf tepi Pada
penderita kusta, sering ditemukan
Mycobacterium leprae bebentuk
basil pada sampel usapan hidung
yang dimana sekret hidung
merupakan sumber utama
terjadinya infeksi di warga ..
Morbus hansen atau penyakit
kusta sangat erat dengan stigma
negatif, yaitu suatu hukuman atau
kutukan yang diberikan kepada
penderita karena dosa atau
kesalahan yang diperbuat oleh
orang tersebut. Dampak stigma atau
pandangan tersebut berlanjut
sampai sekarang.Stigma yang
melekat bahwa penyakit kusta
sering dilakukan diskriminatif,
kurang kesempatan mendapatkan
lowongan kerja, kurang diterima
warga lain.
Penyakit Morbus hansen
memiliki beban tinggi atau disebut
dengan Triple burden disease
karena penyakit ini merupakan
penyakit yang belum tuntas saat ini,
penyakit menular yang lama timbul
kembali dan merupakan penyakit
menular diwarga . Pendampingan terhadap
penderita Morbus hansen penting
untuk menghindari stigma negatif
mengenai penderita. Sehingga
STIKes Santa Elisabeth Medan
melaksanakan pengabdian
warga kepada penderita
Morbus hansen dengan pendekatan
secara rutin. Pendekatan yang
dilaksanakan dengan perawatan
luka kusta serta bimbingan rohani
melalui pendekatan daya kasih
Kristus.
Panti rehabilitasi kusta, atau
yang disebut dengan Gema kasih
terletak di desa Jaharun,
Kecamatan Galang, Kabupaten Deli
Serdang, merupakan buah nyata
dari Kasih yang menggema dalam
hati Suster FSE
Morbus hansen adalah
penyakit infeksi menahun yang
menyebabkan noda dan peradangan
di kulit yang berbeda dengan kulit
yang sehat dan mengakibatkan
kerusakan saraf pada lengan dan
kaki yang menyebabkan tangan dan
kaki termutilasi. Penyakit ini juga disebut penyakit granulomatosa
kronis karena mirip dengan penyakit
tuberkulosis, ada nodul inflamasi
(granuloma) di kulit dan saraf tepi
seiring waktu
Kuman pemicu penyakit
Morbus hansen adalah
Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G. A. Hansen pada
tahun 1873 di Norwegia, yang
hingga saat ini belum dapat
dibiakkan dalam media kultur.
Mycobacterium leprae mengalami
proses perkembangbiakan dalam
waktu 2-3 minggu. Pertahanan
bakteri ini dalam tubuh manusia
mampu bertahan 9 hari di luar
tubuh manusia kemudian mem
belah dalam jangka 14-21 hari
dengan masa inkubasi rata-rata 2-5
tahun bahkan juga dapat memakan
waktu lebih dari 5 tahun.
Penyakit kusta Morbus hansen
yang disebabkan Mycobacterium
leprae pada stadium lanjut sering
disertai luka akibat terjadinya
kerusakan saraf pada daerah kaki
yang menimbulkan gangguan
sensibilitas kelumpuhan otot, kulit
kering akibat hilangnya fungsi
kelenjar keringat dan
lemak.(Bangun S.R., 2019).
Pedoman yang digunakan dalam
menentukan penyakit Morbus
hansen menurut klasifikasi WHO
adalah sebagai berikut :
1) Kusta Paucibacillary (PB),
yang menurut definisi
memiliki 1-5 lesi kulit, dan
2) Kusta Multibasiler (MB), yang
memiliki 6 atau lebih lesi
kulit.
Mycobacterium leprae
merupakan bakteri basil tahan
asam (BTA) pemicu kusta atau
Morbus hansen bersifat obligat
intraseluler menyerang saraf
perifer, kulit, dan organ lain seperti
mukosa saluran nafas atas, hati,
sumsum tulang. Mycobacterium
leprae ditemukan pertama kali
tahun 1872 oleh Gerhard A. Hansen
dan termasuk dalam ordo
Actinomycetalis dan family
Mycobacteriacae. Mycobacterium
leprae merupakan kuman obligat
intraseluler dan dapat bertahan
terhadap fagositosis karena
mempunyai dinding sel sangat kuat
dan resisten terhadap lisosim
Morfologi dari bakteri gram
positif ini bentuk batang lurus
dengan kedua ujung bulat, panjang
1-8 μm dan lebar 0,2-0,5 μm, tahan
asam, biasa berkelompok meski ada
yang tersebar Bakteri ini
tidak mudah diwarnai. Kalaupun
diwarnai, akan tahan terhadap
dekolorisasi oleh asam atau alkohol
sehingga dinamakan sebagai basil
‘tahan asam’, belum dapat dikultur
pada laboratorium
kemampuan atau anugerah
Kristus yang dicurahkan kepada
manusia sebagai rahmat yang utama
dan juga menyelamatkan manusia.
Orang yang mengasihi kristus juga
mengasihi segala ciptaan dan kasih
kepada sesama harus seperti kasih
kepada diri kita sendiri. Frasa
“Kasih Kristus” merupakan
kebalikan dari “kasih untuk
Kristus”, merujuk kepada kasih yang
Dia miliki bagi umat manusia.
Secara singkat, kasihnya dapat
dinyatakan dengan kerelaan-Nya
untuk demi kepentingan kita,
khususnya saat berkaitan dengan
kebutuhan terbesar kita, yaitu
diselamatkan.
Yesus memberikan teladan
yang menonjol dalam hal kasih yang
rela berkorban. Kerelaan untuk
berkorban mencakup mendahulukan
kebutuhan dan kepentingan orang
lain secara tidak mementingkan
diri. Orang yang mengasihi Kristus
juga mengasihi segala ciptaan dan kasih kepada sesama harus seperti
kasih kepada diri kita sendiri
Pertanyaan dalam penelitian
ini adalah Bagaimanakah morfologi
”Mycobacterium leprae dan
pendekatan daya kasih Kristus pada
penderita Morbus hansen di Panti
rehabilitasi kusta gema kasih Galang
desa Jaharun
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui Morfologi
dari Mycobacterium leprae dan
pendekatan daya kasih Kristus pada
penderita Morbus hansen di Panti
rehabilitasi kusta gema kasih Galang
desa Jaharun.
Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini
deskriptif kuantitatif dengan
pendekatan Cross sectional yang
bertujuan untuk mendeskripsikan
(memaparkan) morfologi dari
Mycobacterium leprae meliputi
bentuk bakteri, sifat gram, indeks
bakteri dan Pendekatan Daya Kasih
Kristus pada penderita Morbus
hansen. Alat yang digunakan
meliputi cotton swab, , object
glass, spidol, bunsen, korek api,
mikroskop, rak sediaan pewarnaan,
penjepit, timer. Bahan yang
digunakan meliputi NaCl fisiologis,
larutan carbol fuchsin 0,3 %, larutan
deklorinasi (asam alkohol),
aquadest, larutan methylen blue.
Penelitian ini dilakukan pada
bulan April-Mei 2023. Populasi pada
penelitian ini adalah penderita
Morbus hansen di Panti Rehabilitasi
Kusta Gema Kasih Galang. Sampel
yang digunakan dalam penelitian
adalah seluruh penderita kusta di
Panti Rehabilitasi Kusta Gema Kasih
Galang sebanyak 19 orang.
Prosedur penelitian meliputi,
Object glass disiapkan dan dibuat
pola bentuk lingkaran dengan
ukuran 2x3 cm di bagian bawah.
Selanjutnya, nomor identitas pasien
ditulis pada bagian ujung kaca
object glass. Cotton swab di
sterilkan terlebih dahulu. Cotton
swab yang sudah steril bisa
digunakan untuk pengambilan
sampel. Cotton Swab dimasukkan ke
dalam larutan NaCl fisiologis.
Diangkat, lalu Cotton Swab
dimasukkan sekurangnya 1 cm ke
dalam lubang hidung atau bila ada
lesi diambil di pinggir lesi. Lalu
swab diputar dan didiamkan selama
5 detik kemudian ditarik pelan
sambil digerakan memutar.
Kemudian dioleskan pada object
glass yang telah dibersihkan dan
disterilkan. Dibuat sediaan dengan
setipis mungkin sehingga
membentuk lingkaran dengan
diameter kira-kira 1 cm. Sediaan
dibiarkan mengering di udara,
kemudian difiksasi dengan
melewatkan di atas api tiga kali.
Setelah itu dilakukan pewarnaan
Ziehl-Neelsen. Diamati Morfologi
Mycobacterium leprae dibawah
mikroskop dan indeks bakteri
dihitung bawah mikroskop.
Setelah selesai pengambilan
sampel dilakukan penyebaran
kuesioner pendekatan Daya Kasih
Kristus. Setelah pengisian kuesioner
selesai, dicek hasil kuesioner
tersebut dan langsung serta
memeriksa kelengkapan isi
kuesioner yang telah dijawab oleh
responden. Jika masih ada jawaban
yang belum terisi, maka
mengonfirmasi kembali kepada
responden.Selanjutnya, data yang
diperoleh dari penelitian ini
dilakukan Analisa univariat,
dianalisis secara deskriptif dan
ditampilkan dalam bentuk Tabel
dan Gambar
HASIL PENELITIAN
1. Hasil Penelitian Analisis
Morfologi Mycobacterium
leprae
Berdasarkan hasil penelitian
Mycobacterium leprae Pada
Penderita Morbus hansen yang
dilakukan di Laboratorium
mikrobiologi STIKes Santa Elisabeth
Medan terhadap 19 sampel . Setelah
dilakukan pengamatan hasil positif
terdapat BTA Mycobacterium
leprae, maka ditemukan bentuk,
sifat gram dari bakteri
Mycobacterium leprae dan juga
indeks bakteri pemicu penyakit
Morbus hansen dapat dilihat tabel
dibawah ini.
Tabel 1. menunjukkan dari 19
sampel yang dilakukan pewarnaan
BTA dan pemeriksaan di bawah
mikroskop ditemukan sebanyak 9
sampel (47,4%) memiliki hasil
positif terdapat Mycobacterium
leprae dengan morfologi berbentuk
basil, sifat gram positif dan
memiliki indeks bakteri +1 sebanyak
5 sampel (26,3%), indeks bakteri
Mycobacterium leprae +3 sebanyak
4 sampel (21,1%). Sedangkan 10
sampel lain nya (52,6%), tidak
ditemukan adanya Mycobacterium
leprae. Tabel 2 menunjukkan bahwa
seluruh responden yang berada di
panti rehabilitasi kusta Gema Kasih
Galang merasakan dengan baik daya
Kasih Kristus dalam kesehariannya
yaitu sebanyak 19 orang (100%),
dimana seluruh responden memilih
setuju untuk pernyataan yang
tertera dalam kuesioner yang
diberikan oleh peneliti dan yang
merasakan pendekatan daya kasih
Kristus cukup atau kurang sebanyak
0 (0%) atau tidak ditemukan
responden cukup atau kurang
merasakan daya kasih Kristus.
PEMBAHASAN
1. Analisis hasil pemeriksaan
morfologi bentuk
Mycobacterium leprae
Penelitian ini dilakukan di
Panti Rehabilitasi Kusta Gema Kasih
Galang dengan menggunakan
sampel sebanyak 19, untuk
mengetahui morfologi bentuk BTA
Mycobacterium leprae pada sampel
apusan mukosa hidung penderita
Morbus hansen di Panti Rehabilitasi
kusta Gema Kasih Galang Desa
Jaharun. Untuk melihat morfologi
bentuk dari bakteri tahan asam
Mycobacterium leprae dilakukan
pewarnaan ZN dengan perbesaran
100× menggunakan minyak imersi.Dari Gambar diatas bagian
yang dilingkari warna hitam dan
beri tanda angka 1, 2 dan 3
merupakan bentuk Mycobacterium
leprae dengan ciri berwarna merah,
berbentuk batang. Sedangkan warna
biru yang diberi tanda 4, 5 dan 6
merupakan zat-zat sisa pewarnaan
Zielh Neelsen yang tidak luntur
pada kaca objek.
Setelah dilakukan
pengamatan dibawah mikroskop
pada 19 sampel apusan mokusa
hidung, ditemukan 9 sampel positif
terdapat bakteri Mycobacterium
leprae berbentuk basil, panjang dan
berwarna merah. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat
bakteri Mycobacterium leprae pada
mukosa hidung penderita kusta di
Panti Rehabilitasi Kusta Gema Kasih
Galang. Apusan mukosa hidung
potensial sebagai tempat
pengambilan spesimen untuk
mendeteksi Mycobacterium leprae.
Mycobacterium yang berbentuk
basil merupakan bakteri aerobik
yang tidak membentuk spora.
Setelah dilakukan
pemeriksaan bentuk bakteri,
kemudian dilakukan identifikasi
untuk menentukan sifat gram dari
Mycobacterium leprae.
Pada gambar 2 Warna merah
yang dilingkari dan diberi tanda
angka 1 dan 2 merupakan bakteri
Mycobacterium leprae dengan sifat
gram positif. Sedangkan warna biru
dengan tanda angka 3,4 dan 5
merupakan zat sisa Methilen Blue
yang tidak luntur pada sediaan kaca
objek.
Pada penelitian ini didapatkan
hasil dari 9 sampel positif terdapat
Mycobacterium leprae memiliki
sifat gram positif dimana jika
bakteri memiliki sifat gram positif
setelah dilakukan pewarnaan ZN
maka akan berwarna merah.
Pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN)
merupakan pewarnaan yang
digunakan untuk identifikasi kuman
Basil tahan asam. Pewarnaan ini
menyebabkan pori-pori lipid pada
bakteri akan melebur sehingga zat
warna dapat masuk kedalam tubuh
kuman. Bila preparat dingin zat
warna tidak dapat terlepas kembali
walaupun dipengeruhi dengan sam.
sehingga kuman yang tidak tahan
asam akan mengambil zat warna
kedua pada pewarnaan berikutnya.
Basil tahan asam akan menghasilkan
warna merah, sedangkan non Basil
tahan asam akan berwanra biru.
Setelah ditemukan sifat gram
dari Mycobacterium leprae, maka
dilakukan pemeriksaan indeks
bakteri dari Mycobcaterium leprae
pada penderita Morbus hansen di
Panti Rehabilitasi Kusta Gema Kasih
Galang. Berdasarkan gambar 3
merupakan hasil pemeriksaan
dibawah mikroskop untuk morfologi
indeks bakteri. Gambar (a)
menunjukan hasil pemeriksaan
indeks bakteri +1 dimana bagian
yang di tunjuk oleh panah adalah
Mycobacterium leprae dengan
bentuk basil. Sedangkan gambar (b)
menunjukan hasil pemeriksaan
indeks bakteri +3 dimana pada
gambar yang ditunjuk oleh tanda
panah yang berada dalam lingkaran
hitam merupakan Mycobacterium
leprae dengan jumlah 1-10 dalam
rata-rata 1 lapang pandang, Warna
biru pada latar merupakan zat sisa
pewarnaan yang dapat
mempertegas keberadaan
Mycobacterium leprae. Pada
gambar (c) merupakan hasil negatif
atau indeks bakteri 0 dimana tidak
ditemukan BTA Mycobacterium
leprae pada sediaan kaca objek.
Setelah dilihat dibawah mirkoskop
hanya terdapat latar berwarna biru
yang merupakan zat sisa
pewarnaan.
Hasil yang didapatkan pada
penelitian indeks bakteri +1
sebanyak 5 sampel (26,3%), indeks
bakteri +3 sebanyak 4 sampel
(21,1%) dan sebanyak 10 sampel
(52,6%) memiliki hasil negatif tidak
ditemukan bakteri BTA. Angka ini
menunjukkan bahwa terdapat
bakteri Mycobacterium leprae pada
mukosa hidung penderita Morbus
hansen di Panti Rehabilitasi kusta
Gema Kasih Galang Desa Jaharun.
Apusan mukosa hidung sangat
potensial sebagai tempat
pengambilan spesimen untuk
mendeteksi bakteri Mycobacterium
leprae. Tingkat kepositif-an Indeks
Mycobacterium leprae yang
berbeda dapat disebabkan oleh
jenis atau klasifikasi penyakit
Morbus hansen yang dialami
penderita. Dimana penyakit kusta
(Morbus hansen) terbagi menjadi 2
yakni Multibasiler (kusta basah) dan
Pausibasiler (Kusta kering).
Penelitian ini didukung oleh
(Setiyanti et al., 2022), melakukan
penelitian terhadap 20 orang
penderita kusta, yang telah
dilakukan pemeriksaan dengan
pengambilan spesimen melalui
apusan hidung, didapatkan
sebanyak 16 orang (80%) memiliki
hasil positif terdapat bakteri
Mycobacterium leprae dengan
bentuk basil, panjang, memiliki
sifat gram positif dan memiliki
indeks bakteri +1 sebanyak 14
sampel (70%) dan +2 sebanyak 2
sampel (10%) dan sebanyak 4 orang
(20%) memiliki hasil negatif tidak
terdapat bakteri Mycobacterium
leprae.
Hasil penelitian yang didapat
sesuai dengan teori (Siswanto et
al., 2020) bahwa penyakit Morbus
hansen diklasifikasikan menjadi 2
yakni Multibasiler dan Pausibasiler.
Penyakit Kusta Multibasiler jika
dilakukan pemeriksaan BTA dibawah
mikroskop dengan pewarnaan Zielh
Neelsen ditemukan BTA positif
sedangkan pada kusta Multibasiler
jika diperiksa di laboratorium,
kuman pemicu kusta kering tidak
dapat ditemukan.
Hasil negatif pada
pemeriksaan mikroskopik mungkin
saja dapat terjadi karena kesalahan
pada saat pengambilan sampel dan
pewarnaan. hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyebutkan
bahwa angka kesalahan baca adalah
angka kesalahan laboratorium yang
menyatakan persentase kesalahan
pembacaan slide/sediaan yang di
lakukan oleh laboratorium rujukan
lain. Angka kesalahan laboratorium
pemeriksaan pertama. Selain angka
kesalahan laboratorium yang
terjadi, kesalahan juga dapat
berupa tidak memadainya kualitas
sediaan, yaitu terlalu tebal atau
tipisnya sediaan, pewarnaan,
ukuran, kerataan, kebersihan dan
kualitas specimen.
2. Analisis Pendekatan Daya Kasih
Kristus
Penelitian dilakukan untuk
mengetahui pendekatan daya kasih
Kristus yang dirasakan para
penderita Morbus hansen di Panti
rehabilitasi kusta gema kasih Galang
desa jaharun. Dengan dilakukan
penyebaran kuesoner pada
responden didapat hasil bahwa
pendekatan daya kasih Kristus yang
dirasakan oleh responden berada
pada kategori baik dimana sebanyak
19 responden (100%) merasakan
dengan baik daya Kasih Kristus
dalam kesehariannya. Para
Penderita Morbus hansen di Panti
rehabilitasi kusta dirangkul untuk
sembuh, diberi pekerjaan yang
layak, bimbingan rohani, dan di
bina untuk mulai menerima keadaan
sehingga mereka dapat merasakan
Daya Kasih Kristus yang tercurah
dalam kehidupan sehari-hari.
Para penderita kusta yang
berada di Gema Kasih Galang
merasakan Daya Kasih Kristus yang
menyembuhkan melalui
pendampingan dan perawatan luka
yang dilakukan sekali seminggu oleh
dosen dan mahasiswa STIKes Santa
Elisabeth Medan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan
oleh (Rayani et al., 2021) Yang
melakukan perawatan luka pada
penderita kusta di Gema kasih
Galang dengan menggunakan obat
tradisional tambar tetanus dengan
tujuan agar dapat meningkatkan
pengetahuan warga terhadap
pentingnya perawatan luka. Pada 34
responden dimana warga
sangat antusias dalam mengikuti
perawatan luka yang dilaksanakan
serta akan berupaya
melaksanakannya secara mandiri
dirumah untuk meningkatkan status
kesehatan penderita kusta.
Didukung oleh penelitian mengenai pendampingan
pada penderita kusta dalam
perawatan luka mandiri yang
betujuan untuk memberikan
pendampingan kepada penderita
kusta dalam melakukan perawatan
luka kusta secara mandiri. Hasil
dari kegiatan ini adalah penderita
kusta memahami cara perawatan
luka mandiri, sehingga dapat
dilakukan sendiri di rumah untuk
mencegah terjadinya kecacatan.
Melayani Yesus Kristus
memberi Teladan yang sesama
dengan menerapkan kasih sama
artinya dengan melayani Allah. Hal
ini sesuai dengan kasih yang
menggema dalam hati suster FSE
dan pembinaan yang rutin di Gema
kasih Galang, para penderita
Morbus hansen dapat hidup mandiri,
serta dirangkul untuk sembuh, juga
penderita kusta diberi pekerjaan, di
lakukan perawatan luka dan diberi
pengobatan secara rutin serta
perawatan luka. Sehingga para
penderita kusta tidak merasa rendah diri dihadapan masayarakat
dengan kondisi mereka dan
mengurangi stigma negatif dari
masyarat mengenai penderita kusta
dan agar para penderita kusta dapat
diterima dengan baik oleh
warga .
Terdapat BTA (+) Positif
Mycobacterium leprae pada
pemeriksaan mukosa hidung
penderita Mycobacterium leprae di
Panti Rehabilitasi Kusta gema kasih
Galang desa Jaharun dengan
Morfologi bentuk basil , memiliki
sifat gram positif dan memiliki
indeks bakteri +1 sebanyak 5 sampel
(26,3%) dan +3 sebanyak 4 sampel
(21,1%) sedangkan 10 sampel
lainnya negatif tidak terdapat
Mycobacterium leprae. Pendekatan
Daya Kasih Kristus pada penderita
Morbus hansen berada pada
kategori baik.
Penelitian ini akan menjadi
salah satu data yang dapat
dikembangkan sebagai masukan
penelitian selanjutnya dan menjadi
referensi dalam memperluas
pengetahuan serta pengalaman
peneliti berikutnya untuk membuat
penelitian tentang Mycobacterium
leprae pemicu penyakit Morbus
hansen.
kusta13
Penyakit kusta (Morbus Hansen)
yaitu sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae jika tidak ditangani dapat
menyebabkan kerusakan kulit, saraf,
anggota gerak dan mata.1
Jalur penularan
kusta sampai saat ini belum seluruhnya
terungkap. Faktor risiko yang
mempengaruhi kejadian kusta di antaranya
yaitu kontak serumah dengan penderita
kusta, kontak tetangga, kondisi kebersihan
perseorangan yang buruk, pengetahuan,
jenis kelamin, status vaksinasi BCG, dan
kondisi sosio-ekonomi.2
Lebih dari 200.000 kasus kusta baru
ditemukan setiap tahun di dunia.3 Wilayah
dengan kasus tertinggi yaitu Asia Tenggara
(72,1%) dan Amerika (15,3%).4 Indonesia
telah mencapai target eliminasi kusta pada
tahun 2000, namun 13 provinsi masih
memiliki angka prevalensi lebih dari
1/10.000 penduduk.5 Penderita kusta di
ASEAN 2,2% dari Provinsi Jawa Timur.
Prevalence Rate (PR) pada tahun 2016
sebesar 1,06 per 10.000 penduduk. Sebelas
kabupaten/kota masih memiliki PR di atas
1/10.000 penduduk (high endemis),
tertinggi ada di Sumenep (PR:4,38) diikuti
Kabupaten Sampang (PR:3,69) dan paling
rendah ada di Tulungagung (PR:0,06).6
Kemoprofilaksis yaitu pemberian
obat untuk mencegah infeksi, pada kusta
mencegah infeksi M. leprae pada orang
yang berisiko tinggi terpapar bakteri
tersebut (kontak penderita).4 Kegiatan
kemoprofilaksis telah dilakukan terhadap
kontak penderita kusta sebanyak 15.848
orang (94,55%) dari sasaran kontak
sebesar dengan Case Detection Rate
sebesar 35,55 per 100.000 penduduk.
Proporsi wanita 41% proporsi anak 17%
dari seluruh kasus baru, yang masih tinggi
jika dibandingkan dari target sebesar
kurang dari 5%.6 16.762 orang di
Kabupaten Sampang sejak April 2012–
Desember 2014.7 Tahun 2016 kasus di
Kabupaten Sampang sebanyak 333 orang.
Penelitian ini bertujuan mencari faktorfaktor yang mempengaruhi kejadian kusta
pasca kemoprofilaksis.
Metode
Jenis penelitian yang dilakukan
yaitu penelitian observasional dengan
menggunakan case control study untuk
mengetahui beberapa faktor risiko kejadian
kusta pasca kemoprofilaksis. Variabel
bebas yang diteliti meliputi tingkat
pendidikan, status vaksinasi BCG, status
gizi, riwayat luka terbuka, kepatuhan
minum obat kemoprofilaksis, kondisi
ekonomi keluarga, kebersihan perorangan
dan kondisi rumah.
Sampel kasus yaitu penderita kusta
yang didiagnosis petugas Dinas Kesehatan
Sampang berdasarkan gejala klinis yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Sampel kontrol yaitu bukan penderita
kusta yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Jumlah sampel 248 dengan
perbandingan kasus dan kontrol 1:1.
Sampel diambil secara systematic
random sampling berdasarkan kasus
terbanyak di Puskesmas kemudian dipilih
berdasarkan interval.8 Instrumen yang
digunakan yaitu panduan kuesioner, alat
ukur tinggi badan dan alat ukur berat
badan. Data hasil penelitian dianalisis
secara bivariat dan multivariat.
Hasil Penelitian
Tingkat pendidikan terhadap kejadian
kusta pasca kemoprofilaksis
Proporsi responden alami kejadian
kusta pada kelompok pendidikan rendah
sebesar 59,7% > dibanding responden pada
kelompok pendidikan tinggi sebesar
40,3%. Faktor tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap kejadian kusta
(p=0,001; OR:2,27; 95% CI: 1,363-3,766).
Responden dengan tingkat pendidikan
rendah berisiko 2,27 kali tertular penyakit
kusta dibandingkan responden dengan
tingkat pendidikan tinggi (Tabel 1).
Kepatuhan minum obat terhadap
kejadian kusta pasca kemoprofilaksis
Proporsi responden alami kejadian
kusta pada kelompok tidak patuh minum
obat sebesar 51,6% > dibanding responden
pada kelompok patuh minum obat sebesar
48,4%. Faktor kepatuhan minum obat
berpengaruh terhadap kejadian kusta
(p=0,05; OR: 1,63; 95%CI: 0,987-2,702).
Responden yang tidak patuh meminum
obat kemoprofilaksis berisiko 1,63 kali
tertular penyakit kusta dibandingkan
responden yang patuh meminum obat
kemoprofilaksis (Tabel 2).
Lama kontak terhadap kejadian kusta
pasca kemoprofilaksis
Proporsi responden alami kejadian
kusta pada kelompok kontak 1 tahun
sebesar 74,2% > dibanding responden pada
kelompok kontak <1 tahun sebesar 48,4%.
Faktor lama kontak berpengaruh terhadap
kejadian kusta (p=0,035; OR: 1,814;
95%CI: 1,075 – 3,062). Responden yang
lama kontak dengan penderita ≥1 tahun
berisiko 2,29 kali tertular penyakit kusta
dibandingkan responden yang lama kontak
<1 tahun (Tabel 3).
Status vaksinasi BCG terhadap kejadian
kusta pasca kemoprofilaksis
Proporsi responden pada kelompok
tidak ada parut BCG dan kelompok ada
parut BCG masing-masing 50%. Faktor
status vaksinasi BCG merupakan faktor
protektif terhadap kejadian kusta pasca
kemoprofilaksis (p=0,029; OR: 0,57;
95%CI: 0,343 – 0,947) (Tabel 4).
Status gizi terhadap kejadian kusta
pasca kemoprofilaksis
Proporsi responden alami kejadian
kusta pada kelompok gizi buruk sebesar
74,2% > dibanding responden pada
kelompok gizi baik sebesar 25,8%. Faktor
status gizi berpengaruh terhadap kejadian
kusta (p=0,001; OR: 4,68; 95%CI: 2,725-
8,022). Orang yang tergolong status gizi
buruk berisiko 4,68 kali tertular penyakit
kusta dibandingkan orang yang status
gizinya baik (normal) (Tabel 5).
Riwayat luka terbuka terhadap
kejadian kusta pasca kemoprofilaksis
Proporsi responden alami kejadian
kusta pada kelompok pernah mengalami
luka terbuka sebesar 43,5% < dibanding
responden pada kelompok tidak pernah
mengalami luka terbuka sebesar 56,5%.
Faktor riwayat pernah mengalami luka
terbuka tidak berpengaruh terhadap
kejadian kusta (p=0,003;OR: 0,47;95%CI:
0,283–0,782) (Tabel 6).
Kondisi ekonomi terhadap kejadian
kusta pasca kemoprofilaksis
Proporsi responden alami kejadian
kusta pada kelompok pendapatan kurang
sebesar 75,0% > dibanding responden pada
kelompok pendapatan tinggi sebesar
25,0%. Faktor kondisi ekonomi keluarga
berpengaruh terhadap kejadian kusta
(p=0,001;OR:3,31; 95%CI: 1,930-5,660).
Orang yang tergolong kondisi ekonomi
keluarga berpendapatan kurang berisiko
3.31 kali tertular penyakit kusta
dibandingkan orang yang kondisi ekonomi
keluarga berpendapatan tinggi (Tabel 7).
Kebersihan perorangan terhadap
kejadian kusta pasca kemoprofilaksis
Proporsi responden mengalami
kejadian kusta pada kelompok kebersihan
perorangan buruk sebesar 73,4%>
dibanding dengan kelompok kebersihan
perorangan baik sebesar 26,6%. Faktor
kebersihan perorangan berpengaruh
terhadap kejadian kusta pasca
kemoprofilaksis(p=0,002;OR:2.35; 95%
CI:1,378-3,995). Orang yang tergolong
kebersihan perorangan buruk berisiko 2,35
kali tertular penyakit kusta dibandingkan
yang memiliki kebersihan perorangan baik
(Tabel 8).
Kondisi rumah terhadap kejadian kusta
pasca kemoprofilaksis
Proporsi responden alami kejadian
kusta pada kelompok kondisi rumah tidak
sehat sebesar 68,5%> dibanding responden
pada kelompok kondisi rumah sehat
sebesar 31,5%. Faktor kondisi rumah tidak
berpengaruh terhadap kejadian kusta pasca
kemoprofilaksis(p=0,501;OR:1,20;95%
CI: 0,707-2,033) (Tabel 9).
Tingkat pendidikan terhadap kejadian
kusta pasca kemoprofilaksis
Faktor tingkat pendidikan rendah
berpengaruh terhadap kejadian kusta
(p=0,026,OR:1,94, 95%CI: 1,083–3,490).
Responden dengan tingkat pendidikan
rendah berisiko 1,94 kali tertular kejadian
kusta pasca kemoprofilaksis dibanding
dengan tingkat pendidikan tinggi.
Penelitian yang dilakukan Pontes et
al9 menemukan bahwa subjek yang
berpendidikan rendah, pernah mengalami
kekurangan makanan, kebiasaan mandi di
badan air terbuka (sungai, danau, kolam)
sehingga meningkatkan risiko penularan
kusta di Brazil. Pada subjek yang
berpendidikan rendah lebih berisiko
mengalami kejadian kusta dibanding
dengan subjek yang berpendidikan tinggi
OR=2,05 (95% CI; 1,29-3,27). Keadaan ini
dapat disebabkan oleh pengetahuan tentang
penyakit kusta pada subjek yang
berpendidikan tinggi dapat memahami
mekanisme penularan kusta sehingga risiko
kejadian kusta dapat dihindarkan.9
Lama kontak terhadap kejadian kusta
pasca kemoprofilaksis
Faktor lama kontak dengan penderita
kusta ≥1 tahun berpengaruh terhadap
kejadian kusta pasca kemoprofilaksis
(p=0,023; OR=2,05; 95%CI=1,105-3,813).
Job et al10 enemukan bahwa pada penderita
kusta multibasiler yang belum diobati 80%
ditemukan M. leprae di kulit dan 60% di
mukosa hidung. Pada penelitian yang sama
didapatkan hasil bahwa pada orang yang
kontak serumah dengan penderita kusta
17% ditemukan M. leprae pada kulit dan
4% pada mukosa hidung. Dalam penelitian
ini juga ditemukan bahwa 6(60%)
penderita kusta multibasiler yang sudah
mendapatkan pengobatan dengan MDT
masih ditemukan M. leprae pada kulit dan 4 (40%) masih ditemukan M. leprae pada
mukosa hidung.10
Mekanisme penularan kusta yang
pasti belum diketahui, namun kedekatan
kontak dengan penderita kusta diyakini
bisa meningkatkan risiko kejadian kusta.
Penelitian yang dilakukan oleh Noordeen
pada tahun 1978 di India Selatan
menemukan bahwa tinggal serumah
dengan penderita kusta non-lepromatus
meningkatkan risiko terkena kusta sebesar
9,5 kali.11
Semakin dekat hubungan
keluarga dengan penderita kusta semakin
tinggi risiko terkena kusta. Demikian juga
dengan jarak tempat tinggal, semakin dekat
bertetangga dengan penderita kusta
semakin tinggi risiko menderita kusta.12
Status gizi terhadap kejadian kusta
pasca kemoprofilaksis
Faktor status gizi buruk pada
responden berpengaruh terhadap kejadian
kusta (p=0,000; OR=5,04; 95%CI=2,761 –
9,182). Penyakit kusta banyak menyerang
masyarakat dengan sosial ekonomi rendah.
Hal ini dikaitkan dengan rendahnya daya
tahan tubuh, gizi yang kurang baik dan
lingkungan serta hygiene yang tidak baik.13
Faktor nutrisi dikatakan berperan
dalam penularan M. leprae. Kejadian kusta
tampak berkaitan dengan rendahnya
produksi susu dan gandum. Menurut Berg,
kondisi nutrisi sangat membaik pada
pertengahan kedua abad 19, dan juga
perbaikan pendapatan per kapita membuat
populasi Norwegia lebih resisten terhadap
infeksi M. leprae.
14
Kondisi ekonomi keluarga terhadap
kejadian kusta pasca kemoprofilaksis
Kondisi ekonomi keluarga yang
berpendapatan kurang berpengaruh
terhadap kejadian kusta (p=0,000;
OR=3,25;95%CI=1,775-5,96). Penelitian
ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan Muharry di Kecamatan Tirto
Kabupaten Pekalongan yang telah
didiagnosis penderita kusta berdasarkan
pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Sampel diambil berdasarkan fixed disease
sampling. Hasil analisis multivariat
menunjukkan bahwa faktor ekonomi
keluarga yang rendah berpengaruh
terhadap kejadian kusta (p=0,001 dan
OR=6,356; 95%CI: 2,212 - 18,267).
2
Noorden13 menyebutkan faktor etnik,
iklim, migrasi dan kondisi sosial ekonomi
juga mempengaruhi penularan penyakit.
Dikatakan bahwa sosial ekonomi rendah,
kondisi rumah yang buruk dan terlalu padat
berpengaruh terhadap penularan penyakit
kusta. Rendahnya angka pasien baru di
Eropa dihubungkan dengan perbaikan
keadaan sosial ekonomi.13
Pendapatan merupakan salah satu
faktor yang mempunyai peran dalam
mewujudkan kondisi kesehatan seseorang.
Pendapatan yang diterima seseorang akan
mempengaruhi daya beli terhadap barangbarang kebutuhan lainnya seperti sandang
dan papan. Seseorang dengan kondisi
ekonomi keluarga rendah mempunyai
risiko 6,356 kali lebih besar menderita
kusta dibandingkan dengan seseorang yang
kondisi ekonomi keluarganya baik.2
Kebersihan perorangan terhadap
kejadian kusta pasca kemoprofilaksis
Faktor kebersihan perorangan yang
buruk berpengaruh terhadap kejadian
kusta (p=0,001; OR=2,77; 95%CI=1,498-
5,105). Hasil penelitian ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan Muharry2
di
Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan
yang telah didiagnosis penderita kusta
berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Sampel diambil berdasarkan
fixed disease sampling. Hasil analisis
multivariat menunjukkan faktor kebersihan
perorangan buruk berpengaruh terhadap kejadian kusta (p=0,000 dan OR=15,746;
95%CI=4,159-59,612).
2
Kebersihan perorangan yaitu
perawatan diri dari individu untuk
mempertahankan kesehatannya yang
dipengaruhi oleh nilai serta keterampilan.
Di dalam dunia keperawatan, kebersihan
perorangan merupakan kebutuhan dasar
manusia yang harus senantiasa terpenuhi.
Kebersihan perorangan termasuk dalam
tindakan pencegahan primer yang spesifik.
Kebersihan perorangan menjadi penting
karena kebersihan perorangan yang baik
akan meminimalkan pintu masuk (port of
entry) mikroorganisme dan pada akhirnya
mencegah seseorang terkena penyakit.15
Status vaksinasi BCG terhadap kejadian
kusta pasca kemoprofilaksis
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Haryadi dan Hardyanto16 di Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah pada analisis
multivariat menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara parut
BCG dengan kejadian kusta (OR: 0,37;
95% CI; 0,215-0,638). Faktor parut BCG
melindungi (protektif) terhadap kejadian
kusta sebesar 5,5% dan Parut BCG
memberi perlindungan terhadap kejadian
kusta sebesar 63%.16
Bacille Calmette Guerin (BCG)
dibuat dari satu strain dari Mycobacterium
bovis yang dilemahkan. Vaksin ini
digunakan utamanya untuk pencegahan
terhadap penyakit yang disebakan oleh
Mycobacterium tuberculosis (TBC).17
Pada
akhir tahun 1930 muncul dugaan bahwa
BCG juga mempunyai daya lindung
terhadap penyakit kusta. Ditemukan bahwa
vaksin BCG memberikan perlindungan
terhadap kejadian kusta sebesar 80% pada
kelompok umur 0-15 tahun di Uganda.
Vaksinasi BCG juga dapat memberikan
perlindungan sebesar 40% pada kelompok
umur 0-4 tahun di Burma. Vaksinasi BCG
memberikan perlindungan sebesar 46% di
populasi dengan perlindungan tertinggi
pada kelompok umur 5-14 tahun di
Karimui. Vaksinasi BCG juga diketahui
dapat melindungi seseorang dari terkena
gejala klinis kusta antara 20-80% di
berbagai tempat.18
Riwayat luka terbuka terhadap kejadian
kusta pasca kemoprofilaksis
Faktor riwayat luka terbuka
merupakan faktor protektif terhadap
kejadian kusta pasca kemoprofilaksis
(p=0,002; OR=0,37; 95%CI=0,200-0,699).
M. leprae sering kali masuk melalui luka
pada kulit yang terkontaminasi atau
inokulasi dan melalui mukosa nasal.
Responden merawat luka-luka pada kulit
dengan teratur dan baik sehingga kecil
kemungkinan untuk tertular kusta melalui
luka terbuka.
Kondisi rumah terhadap kejadian kusta
pasca kemoprofilaksis
Faktor kondisi rumah pada uji
bivariat tidak terbukti sebagai faktor risiko.
(p=0,501;OR:1,20,95%CI:0,707-2,033).
Kondisi rumah responden di Sampang
sebagian besar masih semi permanen yang
kebersihannya terjaga. Mereka memiliki
budaya yang khas yaitu kamar mandinya
terpisah dari rumah induk dengan alasan
agar tidak mengundang rayap yang akan
merusak konstruksi rumah, dan juga ada
tersedia mushola-mushola sebagai tempat
ibadah di setiap lingkungan mereka.